case ika ashita fix.doc
TRANSCRIPT
Laporan Kasus
Seorang Perempuan Umur 46 Tahun Datang dengan
Sesak Nafas Sejak ± 3 Hari SMRS
Oleh:
Ashita Hulwah Adwirianny, S. Ked
Riska Asri, S. Ked
04084811416068
04084811416070
Pembimbing:
dr. Dini, SpPD
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
F A K U L T A S K E D O K T E R A N
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
i
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul:
Seorang Perempuan Umur 46 Tahun Datang dengan
Sesak Nafas Sejak ± 3 Hari SMRS
Disusun oleh :
Ashita Hulwah Adwirianny, S. Ked
Riska Asri, S. Ked
04084811416068
04084811416070
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Stase Jejaring
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Periode 14 September-03 Oktober 2015
Muara Enim, September 2015
Pembimbing,
dr. Dini, SpPD
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 2
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 13
BAB IV ANALISIS KASUS................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 36
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Jantung merupakan organ yang sangat penting dalam tubuh manusia. Jantung
memiliki dua atrium, yaitu atrium kanan dan atrium kiri, yang membentuk ruang atas
jantung, dan dua ventrikel, yaitu ventrikel kiri dan ventrikel kanan, yang membentuk
ruang yang lebih rendah pada jantung. Salah satu fungsi jantung adalah untuk
memompakan darah baik ke paru maupun ke seluruh tubuh. Bagian jantung yang
berfungsi untuk memompakan darah ke paru-paru adalah ventrikel kanan, sedangkan
bagian jantung yang berfungsi untuk memompakan darah ke seluruh tubuh adalah
ventrikel kiri.1
Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung kongestif (CHF) adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme yang
mendasar tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang
mengarah pada curah jantung kurang dari normal. Kondisi umum yang mendasari
termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi atau degeneratif otot
jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat menunjang perkembangan dan keparahan dari
gagal jantung. Peningkatan laju metabolic (misalnya: demam, koma, tiroktoksikosis),
hipoksia dan anemia membutuhkan suatu peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen.1
Kompensasi terhadap gagal jantung kongestif tersebut merupakan alasan
kedatangan penderita ke rumah sakit. Berdasarkan data Medicare di Amerika Serikat
dan data Scottish di Eropa, gagal jantung merupakan penyebab rawat inap yang paling
banyak di rumah sakit. Tingginya insidensi dan angka kematian pada gagal jantung
kongestif sesuai dengan data tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung
kongestif memerlukan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Untuk itu diperlukan
pemahaman lebih lanjut mengenai gagal jantung kongestif ini. Itulah sebabnya, kasus
ini perlu diangkat untuk dipelajari.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
1.1. Identifikasi
Nama : Ny. Lasimah
Tanggal lahir : 01 Juli 1969
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Lawang Kidul, Tegal Rejo, Muara Enim
MRS tanggal : 28 September 2015
Medrek : 16.77.10
1.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Sesak nafas sejak ± 3 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak ± 3 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas (+).Sesak nafas dipengaruhi
aktivitas, seperti berjalan ±100 m dan berkurang bila pasien beristirahat. Sesak nafas
tidak dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Pasien
mengaku sering terbangun di malam hari karena sesak. Mengi (-), nyeri dada (-), dada
berdebar (-), demam (-), mual (-), muntah (-). Pasien tidak berobat.
Sejak ±1 bulan SMRS, pasien mengaku sesak nafas (+). Sesak dipengaruhi aktivitas,
seperti berjalan ±100 m dan berkurang bila pasien beristirahat. Sesak nafas tidak
dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Pasien
mengaku sering terbangun di malam hari karena sesak. Pasien juga mengeluh kedua
tungkai bengkak (+), bengkak tidak hilang dengan istirahat. Mengi (-), nyeri dada (-),
dada berdebar (-), demam (-), mual (-), muntah (-). Pasien tidak berobat.
Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengaku sesak nafas (+) semakin hebat. Sesak
dipengaruhi aktivitas, seperti berjalan ±50 m dan berkurang bila pasien beristirahat.
Sesak nafas tidak dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2
bantal. Pasien mengaku sering terbangun di malam hari karena sesak. Pasien juga
5
mengeluh kedua tungkai yang semakin membengkak (+), bengkak tidak hilang dengan
istirahat. Batuk (+) kering. Mengi (-), nyeri dada (-), dada berdebar (-), demam (-), mual
(-), muntah (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan, Pasien kemudian berobat ke IGD
RSUD M. Rabain Muara Enim.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit yang sama disangkal
Riwayat sakit darah tinggi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
Riwayat sakit paru-paru sebelumnya disangkal
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Tidak ada riwayat hipertensi, DM, ginjal asthma, dan keganasan pada keluarga os.
Keluarga os tidak mempunyai keluhan yang sama dengan os.
Riwayat Kebiasaan Keluarga:
Riwayat merokok disangkal
Riwayat konsumsi alkohol disangkal
Riwayat konsumsi obat sesak nafas sebelumnya disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tidak bekerja tetapi membuka warung di rumah
1.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Pernafasan : 32 x/menit
Suhu : 36,7ºC
Tinggi Badan : 157 cm
Berat badan : 45 kg
Status Gizi : IMT: 18,2 Normoweight
6
Keadaan Spesifik
Kepala
a. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil bulat isokor
b. Hidung dan mulut : Epistaksis (-), septum deviasi (-), bibir kering (-),
cyanosis (-), atrophi papil lidah (-)
Leher : JVP (5+0)cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Spider nevi (-), barrel chest(-)
a. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV LPS dextra,
batas kiri ICS V Linea aksilaris anterior
Auskultasi : HR = 82x/m, Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
b. Pulmo
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Stemfremitus kanan sama dengan kiri, sela iga melebar
(-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Redup di kedua basal paru, batas paru hepar ICS V,
peranjakan paru hepar di ICS VI.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+) basah kasar di seluruh
lapang paru, wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi vena (-), caput medusa (-)
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
shifting dullness (-), undulasi (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral dingin (-/-), akral pucat (+/+), palmar eritem (+/+), Edema pretibia (+/+)
1.4. Pemeriksaan Penunjang
7
Pemeriksaan Laboratorium (29 September 2015)
Hematologi
Hemoglobin : 12,9 g/dl (13,2-17,3 g/dL)
Leukosit : 8.500/mm3 (4500 -11.000/mm3)
Hematokrit : 36% (43-49%)
Trombosit : 206.000/µL (150.000-450.000/µL)
Hitung Jenis Leukosit : 0/0/69/20/9 (0-1/1-6/50-70/20-40/2-8)
Kimia Klinik
BSS : 80 mg/dl (76-115 mg/dl)
Kolestrol total : 147 mg/dl (<200 mg/dl)
Trigliserid : 101 mg/dl (<200 mg/dl)
Kolestrol HDL : 63 mg/dl (35-79 mg/dl)
LDL : 113 mg/dl (<130 mg/dl)
Pemeriksaan Echocardiography (29 September 2015)
Kesan : RA & RV dilatasi
Pemeriksaan Rontgen Thoraks PA (29 September 2015)
Tampak gambaran aorta elongasi
Jantung membesar
Sudut costofrenicus tumpul
Kesan : Kardiomegali + efusi pleura
1.5. Diagnosis Kerja
CHF e.c. Cor Pulmonale
1.6. Diagnosis Banding
CHF e.c. Cor Pulmonale
CHF e.c ASHD
8
1.7. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
Istirahat
Edukasi
Diet Bubur Biasa
O2 3-5liter/menit
b. Farmakologi
IVFD RL gtt x/menit
Inj. Furosemide 1x20mg amp i.v
Inj. Ondancetron 2x4mg amp i.v
Inj. Pantoprazole 1x40mg vial i.v
Benocol syrup 3x1C p.o
c. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia
9
FOLLOW UP
Tanggal 29 September 2015
S: Sesak (), Edema (+)
O:
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Penapasan
Suhu tubuh
Mata
Leher
Thorax
Pulmo
Jantung
Abdomen
Ekstremitas
Kompos mentis
110/70 mmHg
84 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
28 x/menit, tipe abdominotorakal
36,5oC
Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
JVP (5+0) cmH2O, pembesaran KGB (-)
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi: Stemfremitus kanan sama dengan kiri, sela iga
melebar (-), nyeri tekan (-)
Perkusi: Redup di kedua basal paru, batas paru hepar ICS V,
peranjakan paru hepar di ICS VI.
Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+) di seluruh
lapangan paru, wheezing (-/-)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV LPS dextra,
batas kiri ICS V Linea aksilaris anterior
Auskultasi: HR = 84x/m, Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Inspeksi:Datar, venektasi (-), caput medussae (-),
Palpasi: Lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palmar eritem (+/+), Edema pretibia (+/+)
10
A CHF e.c Cor Pulmonale
P Non Farmakologi
Istirahat, Edukasi, Diet Bubur Biasa, O2 3-5liter/menit
Farmakologi
IVFD RL gtt x/menit
Inj. Furosemide 1x20mg amp i.v
Inj. Ondancetron 2x4mg amp i.v
Inj. Pantoprazole 1x40mg vial i.v
Benocol syrup 3x1C p.o
Tanggal 30 September 2015
S: Sesak (), Edema (+)
O:
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Penapasan
Suhu tubuh
Mata
Leher
Thorax
Pulmo
Jantung
Kompos mentis
110/70 mmHg
80 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
24 x/menit, tipe abdominotorakal
36,8oC
Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
JVP (5+0) cmH2O, pembesaran KGB (-)
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi: Stemfremitus kanan sama dengan kiri, sela iga
melebar (-), nyeri tekan (-)
Perkusi: Redup di kedua basal paru, batas paru hepar ICS V,
peranjakan paru hepar di ICS VI.
Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+) di seluruh
lapangan paru, wheezing (-/-)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan ICS IV LPS dextra,
batas kiri ICS V Linea aksilaris anterior
11
Abdomen
Ekstremitas
Auskultasi: HR = 84x/m, Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Inspeksi:Datar, venektasi (-), caput medussae (-),
Palpasi: Lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palmar eritem (+/+), Edema pretibia (+/+)
A CHF e.c Cor Pulmonale
P Non Farmakologi
Istirahat, Edukasi, Diet Bubur Biasa, O2 3-5liter/menit
Farmakologi
IVFD RL gtt x/menit
Inj. Furosemide 1x20mg amp i.v
Inj. Ondancetron 2x4mg amp i.v
Inj. Pantoprazole 1x40mg vial i.v
Benocol syrup 3x1C p.o
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3. 1. CHF
3. 1. 1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Gambar 1. Gambaran CHF
Beberapa istilah dalam gagal jantung :
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik:
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan fisis,
foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga
curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik
menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih
dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal,
tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan
katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan resistensi
vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A –V, beri-beri,
dan Penyakit Paget . Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan (CHF)
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi
13
kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal
primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena
perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-
tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular
yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan
darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure , hampir selalu
disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena
ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini
menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan
tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal
jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga
jantung.2
3. 1. 2. Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan
defek septum ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta
dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium
dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-
paru dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup
mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik (CAD), dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan
kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat
terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau
pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis
atau trikuspid.2
14
3. 1. 3. Patofisiologi
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka kemampuan
pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan timbul dua efek utama
penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan
vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu dalam
upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan aktivitas
adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk
mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal
perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan
menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal
jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah peningkatan
aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis
merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla
adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek
inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah
misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan.
Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk
mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap
rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap
kerja ventrikel.
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh
ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun
15
mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa
berikut:
Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensinI
Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.
3. Hipertrofi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah tebalnya
dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan kontraksi
ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan; namun
akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan kerja
jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti
vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan
memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena
dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga
meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium
lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban
miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.3
16
Gambar 2. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF.
3. 1. 4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya
muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi
terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang
lebih ringan. Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai
dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah
gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan gejala
yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan
seseorang untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan
keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi
kebutuhan oksigen.
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti
vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara
juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari
kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar,
maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan
17
gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian- bagian tubuh yang di bawah ke
arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan
menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal
Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan
manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea
atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari
gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik.
Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami
bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama
inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap
peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula
hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-
mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari;
dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga
berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik
dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari
bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung
kanan yang nyata.
18
Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat
iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi
dan merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.3-5
3. 1. 5. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman
untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik,
antara lain:
19
NYHA class I , penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik
serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak
napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
NYHA class II , penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka
tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,
sesak napas atau nyeri dada.
NYHA class III , penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti yang tersebut di atas.
NYHA class IV , penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan.2,6,7
Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunjang
sebaiknya dilakukan.
a. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil
lipid.
b. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI
(ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolik pada LV.
c. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi pleura.
begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien.
20
d. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan
fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan
dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai
gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2- D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting
dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam
penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV
adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan
sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada
afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral
sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun
demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya
adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).4,7
3. 1. 6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non
farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun
kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.
Non –farmakologi :
a. Anjuran Umum
- Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
- Aktivasi social dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
- Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
- Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu.
21
- Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan
hormone dosis rendah masih dapat dianjurkan.
b. Tindakan Umum
- Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g
pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5
liter pada gagal jantung ringan).
- Hentikan rokok
- Hentikan alcohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
- Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut
jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
- Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
Farmakologi
- Diuretic : kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretic regular dosis rendah dengan tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis
normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretic atau
tiazid. Bila respom tidak cukup baik, dosis dapat dinaikan, berikan diuretic intravena
atau kombinasi loop diuretic dengan tiazid. Diuretic hemat kalium, spironolakton
dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.
- Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
- Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dengan
dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau
metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretic.
- Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi penggunaan
penghambat ACE.
- Kombinasi hidralazin dengan ISDN memberi hasil yang baik pada pasien yang
intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan.
22
- Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama
diuretic, penghambat ACE, penyekat beta.
- Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, thrombosis dan transient ischemis attack, thrombus intrakardiak dan
aneurisma ventrikel.
- Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia
ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindarkan kecuali pada
aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian
mendadak.
- Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.6,8
3. 1. 7. Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang,
tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5%
pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan
progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi
ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen
maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin
plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan
akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya
adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami
gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif
yang sangat cermat. 8
3. 2. COR PULMONALE
3. 2. 1. Pengertian
Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan atau dilatasi
ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru (setelah menyingkirkan
23
penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain primer pada jantung kiri). Cor
pulmonale dapat terjadi secara akut maupun kronik penyebab akut tersering adalah emboli
paru masif dan biasanya terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan.9
3. 2. 2. Etiologi
Penyebab cor pulmonale antara lain :
a. Penyakit paru obstruktif seperti bronkiektasis dan fibrotik kistik.
b. Penyakit paru restriktif seperti pneumoconiosis, interstitial pneumonitis,
skleroderma, dan sarkoidosis.
c. Hilangnya jaringan paru seperti pada post operasi paru masif.
d. Kelainan pintas jantung kongenital, misalnya pada defek septum ventrikel.
e. Penyakit vaskuler paru seperti tromboemboli berulang, hipertensi pulmonal primer,
dan vaskulitis pulmonal.
f. Insufisiensi respirasi tanpa penyakit paru seperti pada kifoskoliosis, gangguan
neuromuscular yang berkaitan dengan distropi otot dinding dada dan sklerosis
amiotropik lateral, poliomiositis, dan lesi medulla spinalis di atas segmen C6.
g. Sindrom hiperventilasi obesitas (pickwickian syndrome) dan obstruksi saluran
nafas atas.
h. Tinggal di daerah yang tinggi (chronic mountain sickness).10
3. 2. 3. Epidemiologi
Menurut penelitian sekitar 80-90% pasien cor pulmonale mempunyai PPOK dan 25
% pasien dengan PPOK akan berkembang menjadi cor pulmonale.11 Cor pulmonale
merupakan 25% dari semua jenis gagal jantung. Cor pulmonale sering ditemukan di daerah
dimana insidensi merokok dan PPOK tinggi dan biasanya mengenai usia pertengahan sampai
usia lanjut dan lebih sering mengenai pria dari pada wanita. Di Inggris terdapat sedikitnya
0,3% populasi dengan resiko terjadinya cor pulmonale pada populasi usia lebih dari 45 tahun
dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi
oksigen jangka panjang.11
Angka mortalitas yang berkaitan dengan cor pulmonale sulit dinilai karena penegakan
diagnosis cor pulmonale membutuhkan pemeriksaan yang invasif. Terdapat data mortalitas
akibat penyakit paru kronik di Amerika yakni sekitar 100.000 populasi per tahun, tetapi
24
angka ini tidak menggambarkan secara khusus peran cor pulmonale maupun hipertensi
pulmonal sekunder.12
3. 2. 4. Patogenesis
Patogenesis cor pulmonale sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja
paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.13
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang
ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat
menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan terjadinya
gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan
sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh
adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang
melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi
pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder)
didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni
>20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah mekanisme
vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga
mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif
seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin-1.14
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat
mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini diperberat
dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air
dan natrium, serta meningkatnya cardiac output.14 Ketika jantung kanan tidak lagi dapat
melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang
ditandai dengan adanya edema perifer.
Secara garis besar patognesis cor pulmonale dapat digambarkan sebagai berikut
(gambar 1):14,15
1. Hipoventilasi alveoli
2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
25
3. Terjadinya pintas (shunt) dalam paru
4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
5. Kelainan jantung kanan
6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miokardium
7. Gagal jantung kanan
Gambar 1. Patogenesis Cor pulmonale
26
3. 2. 5. Diagnosis
Diagnosis cor pulmonale dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi
pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis
cor pulmonale secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat
menemukan data-data yang mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural
maupun fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan
hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.9,10
Pada cor pulmonale selama jantung masih bisa melakukan kompensasi terhadap
hipertensi pulmonal, anamnesis pada penderita cor pulmonale hanya didapatkan keluhan
yang terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya. Keluhan yang biasanya didapatkan
adalah batuk produktif, sesak nafas saat aktivitas (dispneu on effort), adanya mengi, cepat
letih, dan lemas. Ketika progresivitas penyakit bertambah keluhan yang sering muncul adalah
sesak nafas walaupun tidak beraktivitas, tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak
nyaman pada kuadran kanan atas.12
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar
anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru didapatkan
memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi biasanya didapatkan mengi
dan ronki. Pasien yang telah menjadi gagal jantung kanan didapatkan tanda-tanda seperti
edema, peningkatan tekanan vena jugularis, refluks hepatojugular, pulsasi epigastrium dan
parasternal, asites, hepatomegali dan takikardia. Menurunnya cardiac output dapat
menyebabkan hipotensi dan pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung pasien dengan
gagal jantung kanan didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang menyebabkan batas
jantung kanan bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi didapatkan suara gallop S3
disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup trikuspid ditandai dengan
adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri bawah dan mengeras dengan
inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik pulmonal. 9,10,12
Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara pasti tejadinya cor pulmonale
adalah dengan kateterisasi jantung kanan (Swan-Ganz catheterization) untuk mengukur
secara pasti hipertensi pulmonal. Kateterisasi jantung kanan ini dimasukkan melalui vena
sentral (V. axillaris, v, jugularis, atau v. brachiocephalica) dan diteruskan ke dalam ventrikel
kanan melalui katup trikuspid dan diteruskan ke dalam arteri pulmonalis.9
Dalam pemasangannya pasien diharuskan puasa 8 jam sebelumnya. Operator harus
memperhatikan gambaran radiologis sebelumnya agar dalam memasang kateter tidak
27
mencederai organ yang dilewati. Adapun penggunaan kateter ini memiliki resiko antara lain,
infeksi, emboli, jendalan darah dan dapat menyebabkan aritmia. Penggunaan kateter ini
masih sangat terbatas karena sifatnya yang invasif, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan
biaya yang diperlukan cukup tinggi.9
Mengingat banyaknya kekurangan dengan menggunakan kateter Swan-Ganz maka
untuk menunjang diagnosis cor pulmonale diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang
lebih mudah, tidak invasif, dan lebih terjangkau. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari dan
untuk menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan
antara lain, hematokrit untuk mengetahui polisitemia, antinuclear antibody untuk
mengetahui penyakit vaskuler kolagen seperti skleroderma, proteins S dan C,
antitrombin III, factor V Leyden, antikardiolipin antibodi, dan homocysteine untuk
mengetahui hiperkoagulasi, analisis gas darah untuk mengetahui saturasi oksigen,
pemeriksaan kadar BNP (Brain Natruretic Peptide) untuk mengatahui hipertensi
pulmonal dan gagal jantung kanan, serta pemeriksaan spirometri untuk mengetahui
status fungsional paru.11
2. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto Toraks
Pada pasien dengan cor pulmonale hasil foto toraks didapatkan pelebaran arteri
pulmonal sentral. Hipertensi pulmonal dicurigai jika ditemukan diameter arteri
pulmonal desenden kanan lebih lebar dari 16 mm dan arteri pulmonal kiri lebih
lebar dari 18 mm.4 Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter transversal
meningkat dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan jantung melebar
ke kanan pada foto toraks posisi anteroposterior.
Pada pasien dengan PPOK didapatkan gambaran sela iga melebar, diafragma
mendatar dan gambaran pinggang jantung pendulum (Gambar 2).4 Pada foto
lateral didapatkan pengisian ruang retrosternal dan meningkatnya diameter toraks
anterroposterior (Gambar 3).
28
Gambar 2. Foto toraks posisi anteroposterior
Gambar 3. Foto toraks posisi anteroposterior dan lateral.
b. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis
cor pulmonale adalah dengan ekokardiografi. Pemeriksaan dengan gelombang
suara menggunakan Doppler ekokardiografi ini memungkinkan penghitungan
gradien tekanan yang transtrikuspid dari kecepatan puncak pancaran regurgitan
katup trikuspid, yakni dengan menggunakan persamaan Bernouili. Dengan
asumsi bahwa tekanan atrium kanan adalah 5 mmHg maka tekanan sistolik
29
ventrikel kanan yang identik dengan tekanan sistolik arteri pulmonal dapat
diestimasikan. Caranya, yakni dengan menjumlahkan tekanan atrium kanan
dengan gradient tekanan transtrikuspid.10
Pada pasien PPOK penggunaan Doppler ekokardiografi ini kurang efektif karena
hiperinflasi dan pengisian ruang retrosternal yang menyebabkan transmisi
gelombang suara kurang optimal. Computed tomography (CT) scan, Magnetic
Resonance Imaging (MRI), maupun ekokardiografi dua dimensi dapat digunakan
untuk menilai ketebalan dinding ventrikel kanan sehingga dapat mengetahui
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan (Gambar 4).9,10
Gambar 4. Ekokardiogram (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)
3. Pemeriksaan EKG
Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya
hiperinflasi.
30
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark
miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium
terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal,
takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat
dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan
bronkodilator berlebihan).9,10,12
3. 2. 6. Penatalaksanaan
Penanganan cor pulmonale secara umum adalah mencegah berlanjutnya proses
patogenesis yang masih bisa ditangani secara langsung dan secara bersamaan menangani
komplikasi yang terjadi seperti hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis. Pemberian terapi pada
cor pulmonale ditujukan untuk mengurangi hipoksemia, meningkatkan toleransi aktivitas
pasien dan jika memungkinkan menghilangkan faktor yang mendasari.10 Untuk mengatasi
faktor-faktor tersebut diatas perlu diambil tindakan berikut 10,12 :
a. Mengusahakan supaya jalan nafas tetap terbuka dengan jalan memberikan obat-
obatan (bronkodilator, mukolitik), drainase postural, pengisapan lendir dari jalan
nafas dan lain-lain.
b. Pemberian O2
Terapi O2 pada penderita cor pulmonale yang disebabkan oleh PPOK harus
berhati-hati oleh karena dapat mengakibatkan retensi CO2.. Oleh karena itu
pemeriksaan analisa gas darah yang berulang-ulang sangat penting. Biasanya O2
diberikan dengan konsentrasi rendah. Pemberian terapi oksigen jangka panjang
pada pasien PPOK terbukti memperbaiki prognosis dan dapat mencegah terjadinya
hipertropi ventrikel kanan.
c. Mengatasi infeksi saluran nafas, yakni dengan pemberian antibiotik yang sesuai
dan dengan dosis adekuat.
d. Pemberian glikosida jantung (digoxin) pada pasien dengan gagal jantung kanan.
Digoxin bersifat inotropik positif sehingga dapat meningkatkan cardiac output
pada pasien dengan gagal jantung kanan.
31
e. Vasodilator arteri pulmonal seperti diazoxide, nitroprussid, hydralazin, ACE
inhibitor, penyekat kanal kalsium, atau prostaglandin. Pemberian inhalasi
vasodilator dalam jangka panjang harus dihindari karena efek toksiknya. Pada
pasien PPOK pemberian vasodilator masih dipertanyakan. Hal ini dikarenakan
hipertensi pulmonal pada PPOK cenderung ringan tetapi dapat menjadi berat saat
terjadi eksaserbasi.
f. Flebotomi untuk mengurangi jumlah sel darah merah. Hal ini jarang dilakukan
karena prosedur yang invasif. Tujuannya adalah menghilangkan polisitemia.
g. Antikoagulan untuk mengurangi resiko tromboemboli.
h. Diet rendah garam, pembatasan asupan cairan, pemberian diuretic, untuk
mengurangi edema dan mengurangi afterload.
32
BAB IV
ANALISIS KASUS
Dari anamnesis diketahui seorang perempuan 46 tahun datang ke IGD RSUD Muara
Enim sejak ± 3 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas (+).Sesak nafas dipengaruhi
aktivitas, seperti berjalan ±100 m dan berkurang bila pasien beristirahat. Sesak nafas tidak
dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Pasien mengaku
sering terbangun di malam hari karena sesak. Pasien tidak berobat. Sejak ±1 bulan SMRS,
pasien mengaku sesak nafas (+). Sesak dipengaruhi aktivitas, seperti berjalan ±100 m dan
berkurang bila pasien beristirahat. Sesak nafas tidak dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien
lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Pasien mengaku sering terbangun di malam hari karena
sesak. Pasien juga mengeluh kedua tungkai bengkak (+), bengkak tidak hilang dengan
istirahat. Pasien tidak berobat. Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengaku sesak nafas (+)
semakin hebat. Sesak dipengaruhi aktivitas, seperti berjalan ±50 m dan berkurang bila pasien
beristirahat. Sesak nafas tidak dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien lebih nyaman tidur
dengan 2 bantal. Pasien mengaku sering terbangun di malam hari karena sesak. Pasien juga
mengeluh kedua tungkai yang semakin membengkak (+), bengkak tidak hilang dengan
istirahat. Batuk (+) kering. Mengi (-), nyeri dada (-), dada berdebar (-), demam (-), mual (-),
muntah (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan, Pasien kemudian berobat ke IGD RSUD M.
Rabain Muara Enim.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada leher ditemukan peningkatan tekanan vena
jugularis sebesar (5+0) cmH2O. Pada thoraks, perkusi jantung didapatkan batas batas kanan
ICS IV LPS dextra, batas kiri ICS V linea aksilaris anterior, pada perkusi pulmo didapatkan
redup di kedua basal paru, dan ditemukan ronkhi (+/+) basah kasar di seluruh lapang paru
pada auskultasi paru. Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan edema pretibia (+/+).
Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu penegkkan diagnosis
pasien ini. Pada hasil foto thoraks PA ditemukan gambaran kardiomegali dan efusi pleura.
Ditambah dengan pemeriksaan echocardiografi didapatkan gambaran dilatasi atrium dan
ventrikel kanan.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini memenuhi Framingham yaitu:
Kriteria mayor
o Paroksismal nocturnal dispnea
o Ronkhi paru
33
o Kardiomegali
o Peningkatan tekanan vena jugularis
Kriteria minor
o Edema ekstremitas
o Batuk di malam hari
o Dispnea d’effort
Pada pasien ini ditemukan 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, sehingga dapat
ditegakkan diagnosa gagal jantung kongestif.
Selain itu, ditemukan adanya tanda-tanda hipertensi pulmonal yaitu hipertrofi ventrikel
kanan (hasil echocardiografi), pelebaran daerah cabang paru di hilus. Klinis ini ditambah
dengan adanya gagal jantung kanan mendukung tegaknya diagnosa cor pulmonale pada
pasien ini. Sehingga dapat ditegakkan diagnosis pasien ini sebagai CHF e.c cor pulmonale.
Tujuan pengobatan cor pulmonale sendiri terbagi atas :
1. Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas
2. Menurunkan hipertensi pulmonal
3. Meningkatkan kelangsungan hidup
4. Pengobatan dasar dan komplikasinya
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, maka pasien ini penatalaksanaan utama untuk
pasien ini meliputi edukasi. Pasien perlu diberikan penjelasan mengenai penyakit yang
dialaminya, penyebab penyakitnya dan cara menanggulangi kemungkinan rekurensi pada
pasien ini. Pasien juga dianjurkan untuk beristirahat di tempat tidur (bed rest), tidak berjalan
atau bekerja agar tidak memperparah sesak yang dialaminya. Untuk mengatasi sesak, pasien
diberikan O2 3-5 l/m via nasal canul.
Untuk terapi farmakologi, pasien diberikan infus IVFD RL gtt x/menit. Pemberian infus
RL dengan tetesan X/menit bertujuan sebagai restriksi cairan pada pasien CHF dengan
keluhan sesak nafas. Farmakologi utama yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian
diuretik yaitu injeksi furosemide 1x20mg amp secara intravena. Diuretika diberikan pada
pasien cor pulmonale bila ditemukan adanya gagal jantung, terutama gagal jantung kanan.
Namun, perlu diketahui bahwa pemberian diuretika berlebihan dapat memicu peningkatan
hiperkapnia. Di samping itu, dengan terapi diuretik dapat terjadi kekurangan cairan yang
meningkatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun. Obat-obatan simptomatik
lainnya juga diberikan pada pasien ini. Obat-obatan simptomatik tersebut terdiri atas injeksi
ondansentron 2x4mg, injeksi pantoprazole 1x40mg, serta benecol syrup 3x1 c. Pemberian
34
obat-obat simptomatik ini ditujukan untuk mengatasi gejala atau keluhan lain yang menyertai
keluhan utama pasien ini seperti rasa tidak enak pada perut dan batuk.
Untuk prognosis pada pasien ini quo ad vitam: dubia ad bonam, quo ad
functionam:dubia ad bonam dan quo ad sanationam :dubia
35
DAFTAR PUSTAKA
1. P R Marantz et al. 2012. The relationship between left ventricular systolic function and
congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. Circulation Journal Of The
American Heart Association. Available from : http://circ.ahajournals.org
2. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed.IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. h. 1514-7.
3. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. h. 1638-45.
4. Nicholas J. Talley, Nimish Vakil. 2005. Guidelines for the Management of Dyspepsia,
Practice Parameters Committee of the American College of Gastroenterology. American
Journal of Gastroenterology.
5. Djojodibroto R Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. h. 132-5.
6. McPhee S and Papadakis M A. 2008. Current Medical Diagnosis & Treatment 47th
Edition. Mc Graw Hill. h. 464-8.
7. Brashers V L. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan & Manajemen. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. h. 261-5.
8. Rani A A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. h. 83-6.
9. Eugene Braunwald, Stephen L. Hauser, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, L Longo, J
Larry Jameson. Heart Failure and Cor pulmonale. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, seventeenth edition, 2010, PP. 158-160
10. Fishman A, Elias J.A, et al. Cor pulmonale. Fishman’s Pulmonary Diseases and
Disorders, fourth edition,2008, PP. 1360- 1370
11. Aderaye, G. Causes and Clinical Characteristics Of Chronic Cor-Pulmonale In Ethiopia.
East African Medical Journal. 2004. 81 (4): 202-205.
12. Springhouse. Cor pulmonale. Professional Guide to Diseases. Lippincott Williams &
Wilkins.2005.
13. Hill. N.S and Farber. W. Pulmonary Hypertension. N Engl J Med. 2008. 359;20.
14. Allegra et al. Possible Role Of Erythropoietin In The Pathogenesis Of Chronic Cor
pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 2867.
15. Weitzenblum, Emmanuel. Chronic Cor pulmonale. Heart. 2003. 89(2): 225–230.
36