caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
TRANSCRIPT
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
1/47
P a g e | 1
DAFTAR ISI
CATATAN PINGGIR
Racun 4
Goenawan Muhamad
CARI ANGIN
Tangis 6
Putu Setia
KOLOM
Nasionalisme Erros Djarot 8
Denny Sakrie
Estetisasi Bencana 11
Agus Dermawan T.
Mahkamah Siput 13
Feri Amsari
Kepercayaan 15Pongki Pamungkas
Politik Pemuda? 17
Arya Budi
Sertifikasi Bus Transjakarta 19
Flo K. Sapto W.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
2/47
P a g e | 2
Pengaruh 21
Amarzan Loebis
Pesan Moral dari Nguyen 23Agus Hidayat
Biaya Investasi Politik 2014 25
Teguh Dartanto
Tak Cukup dengan Teknokrasi 27
Anggun Trisnanto
Quo Vadis Go Organic 29
Khudori
Jambore TBM 2014 31
Agus M. Irkham
Tradisi Gunung 33
Heri Priyatmoko
Runtuhnya Penjaga Konstitusi 35
Reza Syawawi
Kearifan Prof Damardjati 38
Munawir Aziz
Kurikulum 2013 Bermasalah 40
Darmaningtyas
Ustad (Bukan) Selebritas 42
Husein Jafar
Damardjati, Sebuah Pencarian 44
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
3/47
P a g e | 3
Seno Joko Suyono
Kritik dan Kekuasaan 46
Andi Irawan
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
4/47
P a g e | 4
Racun
Senin, 17 Februari 2014
Bahasa datang, dan kemudian penghancuran. Kini orang bisa dengan mudah menulis atau
membaca kata-kata yang agresif, makian kasar, dan kalimat benci yang brutal di Internet,
terutama dalam Twitter. Mungkin semua itu hanya ekspresi tak matang dan gagah-gagahan
anak muda. Tapi jangan-jangan tak selamanya "anak muda". Jangan-jangan ada sesuatu yang
lebih serius.
"Bahasa tak semata-mata menulis dan berpikir bagiku; ia juga makin lama makin mendikte
perasaanku dan mengatur keseluruhan hidup rohaniku dan tanpa sadar aku menyerah
sepenuhnya kepadanya. Dan apa yang terjadi jika bahasa yang diolah itu terbuat dari anasir
yang beracun?"
Kata-kata itu ditulis diam-diam oleh Victor Klemperer di Jerman di bawah kekuasaan Nazi,
antara tahun 1933 dan 1935, ketika kebencian adalah bagian dari hidup sosial-politik.
Klemperer, guru besar sastra di Universitas Teknologi Dresden, mengalami sendiri
bagaimana bahasa membubuhkan marka-marka ke jalan kematian. Dikerumuni pidato,
poster, pers propaganda yang terus-menerus, orang Jerman hidup dalam bahasa yang
akhirnya memisahkan mana yang Jerman (asli) dan yang bukan (Yahudi). Klemperer dicopot
dari statusnya karena ia ada di bawah kata "Yahudi", dan ribuan orang lain masuk ke kamargas.
Catatan-catatan itu kemudian diterbitkan dengan judulLTI Lingua Tertii Imperii: Notizbuch
eines Philologenpada 1947 dan terbit dalam versi Inggris pada 2002. Petilan-petilannya
menunjukkan bagaimana traumatisnya pengalaman Klemperer: "Kata-kata dapat seperti
dosis-dosis kecil arsenikum: ditelan tanpa disadari, seakan-akan tak punya efek, dan
kemudian sejenak lagi reaksi racunnya merasuk."
Merasuknya arsenikum yang tanpa disadari itu yang agaknya menyebabkan tak mudah
menganalisis bagaimana proses pembinasaan itu bekerja. "Aku sendiri tak pernah bisa
mengerti," tulisnya, "bagaimana ia [Hitler], dengan suaranya yang tak merdu dan bising,
dengan kalimat-kalimatnya yang kasar dan bentukannya bukan-Jerman, bisa memikat orang
banyak dengan pidato-pidatonya."
Barangkali orang banyak itu sedang membutuhkan suara yang tak merdu dan bising bukan
suara puisi Goethe atau Rilke. Atau mungkin manusia tak sepenuhnya, dan tak selalu, sadar
bahwa kekerasan itu cocok baginya. Manusia hidup dalam yang disebut oleh Zizek (dengan
sedikit berlebihan, seperti biasa) "rumah penyiksaan melalui bahasa", torture-house of
language.Sejak bayi, manusia dibentuk oleh makna kata yang ditentukan ayah-ibu, keluarga,
masyarakat, dan Negara dan tak bisa membebaskan diri sepenuhnya dari bentukan itu,
meskipun dengan makna itu manusia berselisih.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
5/47
P a g e | 5
Atau tindas-menindas.
Bagaimanapun, ada kekuasaan dalam bahasa. Dalam Alkitab dikisahkan bahwa Tuhan
memberi mandat kepada Adam untuk memberi nama kepada hewan dan sejak itu Adam
berkuasa untuk, misalnya, memisahkan ulat dari kupu-kupu. Pemisahan akhirnya juga terjadi
dengan label "Yahudi", "negro", "Eropa", "kiri", "kanan", "liberal", "kafir", dan lain-lain.Orang pun dikurung.
Sebab bahasa selalu punya dorongan untuk menstabilkan makna. Kamus disusun dan batasan
diteguhkan. Sekolah, mahkamah, dan polisi menegaskannya. Kekuasaan lahir dari ujung
bedil, kata Mao Zedong. Tapi sebelum bedil dimaknai sebagai senjata yang bisa membunuh,
tak akan ada kekuasaan.
Bahkan bahasa bisa mematikan sebelum bedil ditodongkan.
Mao sendiri menggunakannya dalam Revolusi Kebudayaan yang diledakkannya di seluruh
Cina pada pertengahan 1960-an. Xing Lu, pengajar di DePaul University, menulisRhetoric ofthe Chinese Cultural Revolution(2004): sebuah dokumentasi panjang tentang hubungan kata
dan pembinasaan. Poster dengan huruf-huruf besar yang ditulis Pengawal Merah memuja-
muja Mao sebagai "matahari yang paling merah dari yang termerah", tapi berisi makian,
cercaan, kepada "musuh-musuh revolusimakin lama makin memekik, dengan nama-nama
binatang: "despot-anjing", "ular", "babi". Kata-kata kotor dianggap jadi lambang militansi.
Bahasa kekerasan itu, dalam catatan Xing Lu, berakhir dengan tindakan kekerasan. Pengawal
Merah menyiksa dan membunuh kaum "kontrarevolusioner" di mana-mana. Ayah Xing Lu
sendiri salah satu korbannya.
Satu insiden yang menarik ialah ketika seseorang disekap dan dilarang berbicara selama
berhari-hari. Begitu Revolusi Kebudayaan dihentikan oleh Mao, orang itu dibebaskan. Tapi
selama berminggu-minggu ia bisu. Ia kehilangan bahasa.
Sebab bahasa pada mulanya adalah proses pertemuan. Pertemuan: ketika engkau hadir bukan
sebagai rupa yang telah dipipihkan jadi rata, melainkan wajah yang bisa berbicara,
tersenyum, dan bersentuhan. Pengawal Merah tak berhadapan dengan wajah itu. Juga penulis
kata-kata kebencian dalam Twitter. Mereka sebenarnya mengelak dari pertemuan apa pun,
justru ketika mereka sibuk sepenuhnya dengan kata-kata.
Hannah Arendt agak keliru ketika ia membedakan, bahkan mempertentangkan, kekuasaan
dengan kekerasan. Bagi saya, senantiasa ada unsur kekerasan dalam kekuasaan. Tapi Arendt
benar bahwa ada wilayah di mana kekerasan tercegah: kehidupan politik sebagai kehidupan
dengan Vorhandensein von Anderen,hadirnya orang lain secara wajar dalam pertemuan.
Itulah yang tak ada dalam amuk massa juga tak ada ketika kita duduk memisah dari orang
lain dan menulis di Twitter.
Tapi hanya dalam pertemuan, racun dalam kata-kata bisa menemukan penangkalnya.
Goenawan Mohamad
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
6/47
P a g e | 6
TangisSabtu, 15 Februari 2014
Putu Setia
Gunung Kelud meletus. Abunya menyebar hingga Purwokerto dan Sumedang, lebih dari 400
kilometer ke arah barat. Lima bandar udara lumpuh--Malang, Surabaya, Solo, Semarang, dan
Yogyakarta. Luar biasa letusan itu.
Apakah ini bencana? Orang mengatakan begitu. Ukurannya, lahan pertanian bisa rusak, baik
oleh abu, pasir, awan panas, dan mungkin juga lahar. Rumah dan ternak ditinggal begitu saja
karena penghuninya mengungsi. Presiden mengadakan rapat mendadak, mengkoordinasikan
penanganan pasca-letusan. Orang-orang yang jauh dari Kelud bersimpati dan mungkin sudah
mengirim sumbangan. Bukankah ini bencana?
Penduduk di lereng Kelud, baik yang mengungsi maupun di desa yang masih aman dihuni,
barangkali tak menyebut bencana. Tinggal di lereng gunung berapi punya risiko untuk
mengungsi jika gunung itu "menunaikan tugasnya" untuk meletus. Kalau takut diempas
gelombang, jangan berumah di pinggir pantai; kalau takut gunung meletus, jangan tinggal di
lereng bukit. Penduduk Kelud tentu sadar tentang itu. Kini mereka mengungsi tanpa ada isak
tangis karena mereka yakin alam sedang mengharmoniskan diri dan sebentar lagi letusan itu
akan berhenti. Abu Kelud berubah menjadi pupuk alam yang menyuburkan tanah pertanian
mereka. Warga punya pengalaman, Kelud bukan sekali ini meletus.
Kitalah yang seharusnya menangis. Terutama para pengayom rakyat, apakah itu wali kota,
bupati, gubernur, menteri, ataupun presiden. Jika pejabat ini kurang mampu memenuhi
kewajiban untuk membantu hak-hak dasar para pengungsi Kelud, maka layak bersedih dan
menangis. Warga Kelud sudah mematuhi tugasnya untuk mengungsi. Maka kini para
pengayom rakyat yang melanjutkan tugas membantu warga di pengungsian.
Pengungsi tak boleh menderita, lapar tanpa ada yang memberikan makanan, sakit tanpa ada
yang mengobati. Itu harapan yang ideal. Jika masih ada rakyat yang menderita seperti itu--
apalagi karena kekuasaan alam dan bukan karena malas bekerja, misalnya--maka yang
mengayomi rakyat wajib menangis. Itulah tanda kepekaan seorang pemimpin. Pemimpintanpa memperhatikan rakyat bukanlah pemimpin sejati.
Teladan sudah diberikan oleh Ibu Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Ketika menyaksikan
seorang jompo tergolek lemah karena sakit dan keluarga yang mengurusinya tak berdaya, Ibu
Risma menangis. Tentu tak cukup menangis, Ibu Risma menolong warganya itu. Dalam
sebuah acara di televisi, Ibu Risma menyebutkan, menjadi pemimpin haruslah mengurusi
seluruh warga di wilayah tanggung jawabnya. Warga menderita, wali kota menangis.
Ada juga wali kota lain yang menangis, kebetulan pula wanita. Ia adalah Ibu Airin, Wali Kota
Tangerang Selatan. Ia menangis setelah menjenguk suaminya yang ditahan oleh Komisi
Pemberantasan Komisi. Kita tak tahu apa penyebab tangis itu. Yang diberitakan media massa
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
7/47
P a g e | 7
setelah "insiden tangis" itu adalah cerita tak sedap, yakni ada sederet artis yang menerima
aliran dana dari suami Airin. Apakah ada kaitan tangis dengan itu, adakah Ibu Airin merasa
"dihina" kecantikannya, karena suaminya melirik artis cantik? Tak ada jawaban.
Ibu Risma dan Ibu Airin sama-sama peka. Mungkin itulah kelebihan wanita. Tapi, yang
membedakan, Risma yang hidup sederhana peka terhadap warganya yang menderita,sedangkan Airin peka pada derita suaminya yang bergelimang harta.
Apakah Anda cukup peka dengan segala kekurangan yang dialami pengungsi Kelud--
mungkin masih ada pengungsi Sinabung dan pengungsi banjir? Jika ya, Anda berbakat jadi
pengayom rakyat. Jangan tunda berbuat baik, mari bantu mereka.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
8/47
P a g e | 8
Nasionalisme Erros DjarotSabtu, 15 Februari 2014
Denny Sakrie,
Pengamat Musik
Ketika hampir semua anak band Indonesia pada awal era 1970-an berlomba mematut-
matutkan diri dengan sederet pemusik rock mancanegara, mulai dari The Rolling Stones, Led
Zeppelin, Black Sabbath, hingga Deep Purple, Erros Djarot malah terobsesi ingin membentuk
band yang hanya mau memainkan karya sendiri dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Jelas ini perilaku menyimpang saat itu. Tolok ukur pergaulan ketika itu memang cenderung
kebarat-baratan. Tapi, toh, Erros berontak, tetap ingin mengedepankan sebuah jati diri dalamberkarya: menulis lagu dalam bahasa Indonesia. Periksalah karya-karya musik Erros Djarot
mulai dari era Barong's Band hingga albumsoundtrack Badai Pasti Berlalu, yang fenomenal
itu, niscaya Anda tak menemukan satu lagu pun yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sebuah
nasionalisme agaknya mulai tertatah dalam kredo berkesenian seorang Erros, bukan hanya
lewat medium musik, tapi juga merambah hingga ke dunia sinema.
Obsesi Erros untuk membuat album rekaman dengan menggunakan lirik berbahasa Indonesia
terwujud dalam albumsoundtrack Kawin Lari(1976). Bahkan, dalam album ini, Erros
meminta Titi Qadarsih dan Slamet Rahardjo menyanyikan lagu dengan gaya langgamkeroncong. Sedangkan di pentas pertunjukan, sederet pemusik Indonesia berbangga diri
disebut sebagai Mick Jagger Indonesia, Deep Purple Indonesia, hingga Led Zeppelin
Indonesia.
Menarik untuk dicatat bahwa, ketika bersama band yang dibentuknya, Barong's Band, akan
merekam albumKawin Lari, Erros sengaja membeli sejumlah kaset-kaset pop Indonesia yang
tengah beredar saat itu, seperti Koes Plus, Panbers, The Mercy's, Bob Tutupoly, Eddy
Silitonga, Ade Manuhutu, Arie Koesmiran, dan masih banyak lagi.
"Kaset-kaset itu kami dengarkan dan pelajari. Kami telaah melodinya dan menyimak tema-
tema syairnya. Ini merupakan referensi sebelum kami melangkah lebih jauh lagi bersama
Barong's Band," kata Erros suatu ketika. Hingga akhirnya, Erros berkesimpulan bahwa
pemusik Indonesia banyak yang terjebak dalam komersialisasi belaka. Kreativitas bermusik
terkuras dengan begitu banyak karya-karya pesanan yang sering kali mengatasnamakan selera
pasar atau selera masyarakat.
Pada saat proses penggarapan album Barong's Band, Erros bahkan berbuat sesuatu yang agak
ekstrem."Setiap anggota Barong's tidak boleh mendengarkan rekaman pemusik Barat. Agar
musikalitas mereka tak terganggu. Jadi, saya memang menginginkan karya-karya kami lebihorisinal," kata Erros.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
9/47
P a g e | 9
Pada awal era 1970-an, Erros mengenyam pendidikan di Jerman sambil membentuk band
bersama anak-anak Indonesia yang juga tengah bersekolah di Koeln. Mereka memainkan
lagu-lagu Barat. Namun Erros justru merasa kian gelisah saat bergabung dengan Kopfjaeger,
demikian nama band-nya yang kerap hanya tampil sebagai band pembawa lagu-lagu orangsaja. Diam-diam Erros menyimpan obsesi besar, yaitu membuat band yang bernuansa
Indonesia. "Saya merasa gelisah. Nasionalisme saya seolah tertantang untuk diwujudkan.
Perasaan cinta bangsa rasanya memang baru terasa berkobar-kobar jika kita tengah merantau
di negeri orang. Saat di Jerman, saya selalu merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua.
Sehebat apa pun Anda, secerdas apa pun atau sejenius apa pun, Anda tetap dianggap sebagai
warga kelas dua. Ini tentu menyakitkan. Saat itu nurani saya berontak. Saya bersama anak-
anak Indonesia yang kebetulan sedang bersekolah di Jerman berinisiatif membentuk band
yang dinamakan Barong's Band," Erros mengungkapkan. Barong's Band terbentuk 40 tahun
silam. Tahun 1974 merupakan langkah pertama Erros dalam dunia musik. Pada tahun itu,
Erros juga mulai menulis lagu sendiri.
Dalam penulisan lagu, wilayah kreatif Erros terbelah dua, antara penulisan lagu-lagu
beratmosfer romansa dan kritik sosial. Erros memang selalu meletup-letup di satu sisi, akan
tetapi di sisi lain ia bisa terkesan luar biasa romantis. Erros memang mengakui hal itu. "Jika
saya tergerak secara intelektual, maka akan berhamburanlah lirik bertema kritik sosial. Tapi,
jika impuls emosional saya bekerja, maka tertuanglah lagu-lagu yang romantik, seperti isi
sebagian besar albumBadai Pasti Berlalu," katanya.
Kita pun mulai mendengarkan kegeraman Erros yang tertuang dalam lagu yang sarat kritikterhadap republik ini, mulai dariNegara Kita, Negeriku Cintaku, hingga Superstar Tango.
Simaklah lirik lagu yang lugas dari laguNegeriku Cintaku:
Hai kaum muda masa kini, kita berantaslah korupsi/Jangan kau biarkan mereka
menganiayai hati kita
Tapi kita pun terbuai oleh lirik-lirik lagu bernuansa romansa, seperti Bisikku,Andai Bulan,
Angin Malam, danMerpati Putih, serta sederet lagu lainnya dalam albumBadai Pasti
Berlalu. Termasuk laguRindu, yang ditafsir ulang Agnes Monica.
Ketika terjadi kerusuhan besar pada 1998, Erros menulis lagu dengan lirik yang menyesakkan
dada:Jangan Menangis Indonesiaku. Lagu ini memang tidak pernah dirilis secara resmi,
melainkan hanya dibagi-bagikan kepada kerabat terdekat. Saat itu media cetak yang dipimpin
Erros dibredel pemerintah. Ruang gerak Erros yang dibebat membuatnya berontak yang
diekspresikan dalam delapan karya lagu. Tapi album ini tak boleh beredar, karena Erros
masih dianggap sebagai sosok berbahaya. Beberapa lagu tersebut akhirnya ditampilkan dalam
konser 40 tahun Erros Djarot Berkarya, 14 Februari lalu, di Jakarta Convention Center.
Di mata saya, Erros Djarot adalah trubadur yang mengungkap peristiwa-peristiwa dalamlirik-lirik yang menyentuh, jujur tanpa pupur kata. Pada 2014, saat tahun berkarya Erros
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
10/47
P a g e | 10
memasuki 40 tahun, dia masih menulis lagu, di antaranyaIndonesiaku,yang bertutur tentang
mimpi-mimpinya tentang negerinya, serta Tuhan Ampuni Dosa Kami, yang merupakan
renungan tentang bencana. "Mungkin bencana ada karena kesalahan kita sendiri," kata Erros.
Seorang seniman sejati memang tak pernah jeda dalam berkarya. Erros adalah trubadur yang
tetap melakukan penyaksian. Saya pun teringat akan ungkapan bijak yang bertutur bahwaseniman dan karyanya adalah saksi peradaban.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
11/47
P a g e | 11
Estetisasi Bencana
Senin, 17 Februari 2014
Agus Dermawan T.Pengamat budaya dan seni
Pada 2012, ketika guncangan ekonomi melanda banyak negara, dunia tiba-tiba dikejutkan
oleh harga lukisan The Scream yang dilelang Sotheby's New York edisi Mei. Lukisan
berukuran tinggi sedepa itu terbayar US$ 119.922.500 atau sekitar Rp 1,4 triliun.
The Scream (1893), ciptaan Edvard Munch asal Norwegia, menggambarkan orang sedang
menjerit ngeri di tengah jembatan yang dikurung mendung gelap. Lukisan ini selama satu
abad dinobatkan sebagai simbol utama psikologi rasa takut manusia.
Di tengah perasaan takjub, masyarakat umum lantas bertanya: mengapa harga lukisan
menakutkan tersebut bisa begitu "menghibur". Sejumlah jawaban lantas bisa diberikan.
Misalnya, lantaran presentasi lukisan memang memenuhi syarat-syarat teknik untuk
menyampaikan nilai artistik yang mahal nilainya. Atau karena lukisan itu mampu mengusung
tema menggoda sehingga tak henti menarik perhatian. Mendampingi itu, riwayat hidup
Munch sebagai anak dokter tentara Perang Dunia I yang dibasuhi darah dan air mata jadi
faktor ekstrinsik yang penting.
Namun jawaban paling relevan justru datang dari sang pembeli lukisan-yang sampai sekarang
tetap menyembunyikan identitasnya. Ia berkata bahwa sensasi harga Scream adalah untuk
mendekatkan masyarakat dunia dengan tema kemanusiaan yang terkandung di dalam lukisan
itu. Nilai nominal gila itu, yang saya sebut sebagai "estetisasi harga", adalah jendela untuk
mengapresiasi isi lukisan secara lebih mendalam, sehingga horor dalam Scream jadi bahan
penyadaran untuk perbaikan peradaban. Dan bisa membangun spirit manusia untuk semakin
anti-peperangan dan menyadari keberadaan sisi gelap alam.
Fenomena Scream bisa disetarakan dengan publikasi atas bencana alam yang terjadi pada
akhir-akhir ini di televisi, koran, majalah, dan media online. Kita bisa melihat betapa banjir,
puting-beliung, dan letusan gunung dikemas dalam gambar-gambar menarik.
Sebagian orang mempersepsikan publikasi gambar-gambar itu sebagai eksploitasi bencana.
Apalagi ketika diketahui gambar itu disiarkan berulang-ulang, dengan selipan jajaran iklan
yang mendatangkan uang. Dramatika gulungan awan Sinabung, nuansa warna monokrom abu
Gunung Kelud di sekujur desa dan kota, terempasnya mobil-mobil di gelombang air bah,
tatapan bayi yang belum dapat makan di pengungsian, mendadak tampil bak gambar-gambar
elok kartu pos. Sehingga jadi sah belaka ketika ada keluarga yang bareng memekik, "Iiih,
kereeen nian!" ketika melihat televisi dan koran menyiarkan rekaman debu vulkanikmenyelimuti kompleks Candi Prambanan.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
12/47
P a g e | 12
Belajar dari fenomena Scream, saya percaya bahwa penyiaran gambar-gambar indah bencana
tersebut menyimpan maksud yang positif. Karena dengan sentuhan seni, penyiaran bencana
akan lebih mengundang rasa empati. Gambar-gambar itu akan mengajak yang mujur untuk
berbagi rasa. Mengimbau yang malang dan menderita untuk kuat bertahan dan sigapmenyiapkan masa depan. Karena seni pada akhirnya memiliki fungsi yang lebih dari sekadar
jadi perhiasan kehidupan. Seperti yang dikatakan Pablo Picasso, "Di sebalik fungsi sebagai
penghiburan, seni adalah alat perang untuk mengubah perasaan dan jalan pikiran orang-
orang."
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
13/47
P a g e | 13
Mahkamah Siput
Senin, 17 Februari 2014
Feri Amsari, Pelajar William and Mary Law School, Virginia
Mengejutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pengujian UU Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2013 (baca: Perppu penyelamatan MK) hanya
dalam waktu 37 hari. Kecepatan memutus itu sesuai dengan asas peradilan: cepat, sederhana,
dan berbiaya ringan. Sebab, adagium hukum menyatakan, keputusan yang lamban adalah
ketidakadilan,justice delayed is justice denied.
Putusan itu mengejutkan karena kecepatan yang sama tidak diterapkan dalam beberapa
perkara penting lainnya. Misalnya, dalam perkara kontroversial pengujian UU Pemilu
Presiden, MK malah memutus dalam tempo yang sangat lama.
Perkara yang diputus lamban sesungguhnya "melimpah" di MK. Jika disimak sejumlah
perkara, MK acap kali lamban dalam memutus perkara pengujian undang-undang (PUU).
Keterlambatan putusan itu terasa janggal jika dibandingkan dengan beberapa putusan lain.
Misalnya dalam perkara yang dimohonkan Hambit Bintih (tersangka suap MK) yang menguji
UU Kehutanan, MK hanya butuh waktu kurang dari enam bulan untuk memutus perkara (10
Agustus 2011-21 Februari 2012). Kecepatan yang sama juga terjadi dalam PUU MPR, DPR,DPD, dan DPRD (UU MD3) yang diuji oleh anggota DPD. Perkara tersebut diputus MK
hanya dalam waktu enam bulan (24 September 2012-27 Maret 2013).
Perbedaan kecepatan membaca putusan perkara-perkara itu berindikasi tiga kemungkinan.
Pertama, adanya protes publik yang memaksa MK mempercepat pembacaan putusan. Itu
sebabnya, ketika Effendi Ghazali (pemohon PUU Pemilu Presiden) memprotes lambannya
pembacaan putusan perkaranya, MK terkejut dan secepat kilat membacakan putusan.
Kecepatan membacakan putusan kerap dilakukan MK untuk memenuhi aspirasi masyarakat.Dalam perkara PUU KPK (kasus pemberhentian sementara Bibit-Chandra), MK diduga
mempercepat perkara karena ditonton ribuan pasang mata. Tentu saja, dalam perkara Bibit-
Chandra tersebut, terdapat pula faktor agar keadilan cepat terpenuhi. Faktor itulah yang
diduga memaksa MK memutus cepat perkara Bibit-Chandra dalam waktu kurang dari satu
bulan (26 Oktober-25 November 2009). Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa
cepatnya putusan perkara ditentukan oleh siapa yang mengajukan permohonan dan mendapat
perhatian publik atau tidak.
Kedua, adanya pelayanan "khusus" terhadap pemohon tertentu. Dugaan pelayanan khusus itu
setidaknya terbukti ketika kasus suap Ketua MK terbongkar. Sebagaimana diungkap dalam
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
14/47
P a g e | 14
contoh perkara di atas, Hambit Bintih hanya membutuhkan waktu kurang dari enam bulan
agar perkaranya diputus. Jika dibandingkan dengan pemohon AMAN yang menguji UU yang
sama, aliansi masyarakat adat itu harus menunggu lebih dari setahun. Pelayanan khusus itu
juga terjadi dalam perkara yang berkaitan dengan kelembagaan MK. Selain pengujian UU
"Penyelamatan MK" yang diputus sangat cepat, MK memutus pengujian UU Nomor 8 Tahun2011 tentang MK dalam waktu 43 hari (5 Agustus-18 Oktober 2011, Perkara Nomor:
49/PUU-IX/2011). Kecurigaan publik bertambah, ketika memutus cepat perkara tersebut,
hakim MK juga terbukti membuat amar yang menguntungkan diri mereka sendiri. Di titik itu,
wajar jika publik mulai "gerah" atas hakim MK.
Ada kemungkinan ketiga penyebab putusan terlambat cukup legalistik formil. Keterlambatan
diduga karena UU tidak memberi pembatasan waktu yang tegas dalam proses persidangan
PUU. Padahal, dalam perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU), pembatasan persidangan
ditegaskan dalam UU, yaitu selama 30 hari (14 hari untuk pemilu presiden).
Sulit membantu agar siput berlari kencang disebabkan faktor alamiah yaitu: siput memang
diciptakan lamban. MK tentu saja memiliki kondisi berbeda karena peradilan memang
dirancang untuk "berlari" (baca: proses perkara) dengan cepat. Kecepatan MK memutus
perkara PUU dapat dibantu dengan pembenahan administrasi peradilan. Sebagai nyawa
profesionalitas peradilan, administrasi MK tak akan lamban jika tidak terdapat oknum hakim
yang mempengaruhi jadwal persidangan.
Hakim-hakim politik dan rentan disuap acap kali memainkan ranah administrasi untuk
transaksi putusan. Bisa jadi sebuah perkara sudah diputus dan diketahui pemenangnya, laluhakim-hakim memperlambat pembacaan putusan itu agar "bunyi putusan" dapat
"dijualbelikan" kepada pihak-pihak tertentu.
Untuk mencegah terjadinya permainan putusan yang lamban itu, pembatasan waktu
persidangan memang perlu dilakukan. Pembatasan itu dapat dilakukan dengan menentukan
bahwa pembacaan putusan harus dilakukan dalam waktu tiga bulan setelah permohonan
diajukan. Sehingga tidak ada lagi pemohon di MK yang menunggu keadilan seperti
menunggu siput berlari.
Tentu saja semua upaya itu sangat bergantung pada sembilan orang hakim MK. Jika sembilan
hakim bertindak bak siput, keadilan tak akan sampai tepat pada waktunya. MK harus mampu
membantah tidak ada faktor khusus yang mempercepat putusan perkara selain faktor
keadilan. Jangan lagi MK berlari kencang disebabkan perkara berkaitan dengan dirinya saja.
Apakah "siput" sudah dapat berlari kencang jika hendak menyelamatkan diri sendiri?
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
15/47
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
16/47
P a g e | 16
menguntungkan, hubungan efektif satu dengan yang lain. Kepercayaan ibarat minyak
pelumas yang memuluskan pergerakan roda-roda atau rantai suatu benda mekanis. Tanpa
kepercayaan, roda-roda atau rantai itu akan tersendat, hingga bahkan terhenti sama sekali.
Dalam konteks pembangunan karakter nasional-secara moral-saling mengingatkan untukselalu dapat dipercaya adalah tanggung jawab bersama. Secara teknis struktural, itu adalah
tanggung jawab utama yang harus dicontohkan oleh para pemimpin bangsa.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
17/47
P a g e | 17
Politik Pemuda?
Selasa, 18 Februari 2014
Arya Budi, Peneliti Pol-Tracking Institute
Dalam satu dekade ini, sejak pemilihan presiden langsung mulai digelar pada 2004 hingga
menjelang 2014, wacana kepemimpinan muda muncul sejalan dengan gagasan mengganti
generasi Orde Baru. Tapi, polemik kasus korupsi Anas Urbaningrum bisa menjadi preseden
buruk atas hadirnya tokoh-tokoh muda segar dalam Pemilu 2014 setelah satu dekade ini.
Anas Urbaningrum, yang memberi harapan baru bagi politik pemuda dalam Kongres
Demokrat-partai pemenang Pemilu 2009 dan partai pemerintah-pada 2010, kini terjerembap
"lumpur Hambalang". Namun, apakah terperosoknya Anas dalam Hambalang adalah
sebentuk senjakala politik pemuda?
Pada 2010, bertepatan dengan terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat, pada tahun yang sama Edward Samuel Miliband atau Ed Miliband terpilih sebagai
pemimpin Partai Buruh (Labour Party) di Inggris pada usia 41 tahun. Namun, kedua politikus
muda ini mengalami nasib berbeda. Ed Miliband terus memimpin oposisi mengawal
pemerintahan David Cameron dari Partai Konservatif, sementara Anas Urbaningrum
"tersandung" kasus Hambalang, diikuti sekuel publisitas konflik antar-faksi partainya sendiri,
Partai Demokrat. Setelah mengalahkan kakaknya sendiri, David Miliband, di kongres"kompetisi bersaudara" Partai Buruh, Ed merepresentasikan generasi baru setelah Tony Blair
dan Gordon Brown.
Di Indonesia, Anas tumbang di tengah jalan dan partai kembali dipegang secara kultural dan
struktural oleh generasi yang sudah terlalu akrab dengan jabatan publik. Tentu skema
konstitusi Indonesia (presidensial) dan Inggris (parlementer) serta sistem politik yang berbeda
tidak bisa menjadi dasar perbandingan Indonesia dengan Inggris, karena bisa jadi ini adalah
soal mentalitas dan kesiapan personal politik pemuda. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan
penyintasan politik pemuda di Indonesia bersumbu pendek?
Ringkasnya, ada dua bentuk kegagapan politik pemuda saat ini. Pertama, pemuda-aktivis
terjebak dalam mekanisme dan kultur politik kepartaian yang oligarkis dan paternalistik
(kalau tidak juga maternalistik), yang juga cenderung berwatak kolutif. Kedua, pemuda-
aktivis gagap dalam hal otoritas dan kekuasaan yang besar, sehingga pengaruh dan otoritas
yang besar dalam jabatan partai menciptakan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
secara koruptif.
Selain Demokrat, terpilihnya Anis Matta pada awal 2013 sebagai pemimpin PKS
menggantikan LHI sebenarnya juga menunjukkan refleksi lain politik pemuda. Sayangnya,kedua partai inilah yang juga digebuk alat pembunuh partai paling mematikan: kasus korupsi
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
18/47
P a g e | 18
pimpinan partai. Kini, Anis Matta yang memimpin PKS pun berada di tengah gempuran isu
korupsi partai.
Kini, pemuda berangsur tak lagi terkonsentrasi ke dalam gerakan politik ekstra parlementer
setelah Pemilu 1999 berhasil terselenggara secara fair. Aktivis kampus atau pemuda denganlatar belakang organisasi gerakan mahasiswa dan organisasi pemuda lainnya secara gegap-
gempita masuk ke partai politik. Tidak sedikit pemuda dan mantan aktivis kampus berada di
antara 6.607 calon legislator 2014.
Alhasil, partai pun menyediakan organ lembaga untuk mengakomodasinya. Tak bisa
dibantah, semua partai, terutama 12 partai peserta Pemilu 2014, mempunyai organisasi sayap
kepemudaan. Sebagai misal adalah Tunas Indonesia Raya (Gerindra), Angkatan Muda Partai
Golkar, Taruna Merah Putih (PDIP), Angkatan Muda Demokrat, Pemuda Hanura, Gerakan
Pemuda Kebangkitan Bangsa, Gerakan Pemuda Ka'bah, Garda Pemuda Nasdem, Matahari
Nusantara (PAN), serta Pemuda Bulan Bintang, Pemuda Penegak Keadilan dan Persatuan
Indonesia.
Bisa jadi, senjakala politik pemuda dengan refleksi kasus Anas bisa terjadi karena
ketidaksiapan pemuda dalam kelembagaan partai politik di Indonesia. Misalnya, berdasarkan
assessment researchPol-Tracking Institute oleh 100public opinion makersdan pakar pada
Oktober 2012 terhadap 35 figur muda terseleksi, dari skor total 13 aspek yang dinilai, hanya
ada empat kader partai yang termasuk dalam peringkat 10 teratas.
Meskipun demikian, jika semua nilai masing-masing figur dibuat rerata, secara keseluruhanrerata skor terendah figur yang terseleksi ada pada aspek akseptabilitas publik (53,7), dan
rerata tertinggi pada aspek kapabilitas (62,2). Artinya, berdasarkan hasil riset ini (dengan
standar ketercukupan adalah 60,0), sebenarnya banyak figur muda-baik sebagai kader partai
maupun di luar kelembagaan partai-yang mempunyai kapasitas dan kepantasan sebagai
pemimpin politik, namun tidak terlalu dikenal publik. Kalkulasi assessmentini menunjukkan
fenomena politik yang sejauh ini menjadi asumsi publik.
Padahal, dulu dalam satu era (19501959), sirkulasi kursi eksekutif jabatan perdana menteri
Indonesia dipegang oleh para figur muda. Apakah sejarah kembali berulang? Kita lihat saja
pada Juli 2014!
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
19/47
P a g e | 19
Sertifikasi Bus Transjakarta
Selasa, 18 Februari 2014
Flo. K. Sapto W., Praktisi pemasaran
Beberapa bus baru Transjakarta diketahui telah rusak dan berkarat di beberapa bagian (Koran
Tempo, 12 Februari 2014). Kini, upaya penyelidikan akan dilakukan. Hasil investigasi harian
ini mengindikasikan adanyapseudo-officedari tiga perusahaan. Dua perusahaan setidaknya
diketahui mensubkontrakkan lagi pengadaan bus ke perusahaan lain. Modus ini kurang-lebih
serupa dengan pengadaan simulator SIM. Yang mengherankan, kenapa cara-cara vulgar ini
masih saja dilakukan?
Agaknya, pemerintah kita memang bebal, tidak mau belajar dari pengalaman dan tidak
strategis, terutama dalam hal sertifikasi. Ketika pesawat jenis MA 60 milik Merpati jatuh di
Teluk Kaimana, Papua Barat (7 Mei 2011), permasalahan sertifikasi dan keterpenuhan
prosedur segera menjadi topik pembahasan. Pembelaan diri muncul bahkan dari para elite
birokrat yang berkompeten. Pesawat buatan Cina yang menewaskan 27 penumpang itu
ternyata tidak memiliki sertifikasi FAA (Federal Aviation Administration).
Sertifikasi FAA yang dikeluarkan oleh otoritas Amerika Serikat dirasa sudah cukup diwakili
oleh sertifikasi serupa dari otoritas Cina, yaitu Civil Aviation Administration of China(CAAC) dan otoritas penerbangan Indonesia, yaitu dari DKPPPU atau Direktorat Kelaikan
Pesawat dan Pengoperasian Pesawat Udara (9 Mei 2011). Padahal, berdasarkan sertifikasi
FAA, setidaknya bisa diketahui penerapan standar keselamatan tertinggi yang diakui pasar.
Untuk itu, bisa dimengerti jika segmentasi konsumennya kemudian hanyalah negara-negara
di luar AS dan Eropa. Di negerinya sendiri, pesawat itu hanya dibeli sebanyak sembilan buah
oleh beberapa maskapai penerbangan Cina (Vivanews, 10 Mei 2011). Negara lain yang juga
membeli produk ini adalah Bolivia, Ekuador, Laos, Myanmar, Nepal, Filipina, Kongo, Sri
Lanka, Zambia, dan Zimbabwe-masing-masing dua sampai enam buah. Indonesia merupakan
pengguna terbanyak dengan 15 buah pesanan.
Mengenai permasalahan sertifikasi tersebut, keberadaan pesawat MA 60 dan bus Transjakarta
tidak bisa dilepaskan dengan membanjirnya produk-produk Cina selepas pemberlakuan
ACFTA pada Januari 2010. Sebelumnya, bahkan pasar lokal juga sudah dibanjiri oleh
produk murah "mocin" (sepeda motor Cina). Kualitas produk yang dirasakan oleh para
konsumen telah menjadikannya terpinggirkan.
Namun pemerintah sebetulnya bisa melakukan hal lebih daripada sekadar membiarkan
mekanisme pasar bekerja. Setidaknya, supaya tidak menimbulkan korban dan kerugian
terlebih dulu. Satu hal yang mestinya dapat dilakukan adalah menerapkan serangkaiansertifikasi yang rumit dan berbelit terhadap sebanyak mungkin produk impor. Ini merupakan
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
20/47
P a g e | 20
sebuah keahlian yang selama ini-disadari atau tidak-nyaris telah mendarah-daging dalam
birokrasi. Merekayasa sebuah sistem sertifikasi yang tidak melanggar kesepakatan
perdagangan bebas tentu akan menjadi sebuah terobosan.
Jadi, kalau terhadap anak bangsa sendiri saja pemerintah hampir selalu melakukan hal ini,menjadi tidak masuk akal jika hal itu tidak dilakukan juga terhadap bangsa lain. Hal ini pun
sebetulnya juga sudah dilakukan Amerika Serikat dan Eropa. Sejumlah audit dan sertifikasi
akan dilakukan sebelum bisa berbisnis dengan mereka. Untuk itu, jika ini dilakukan terhadap
sejumlah bus Transjakarta, publik akan melihat apakah sertifikasinya sek pok (sekali beli
kapok) atau tetap saja adalah (karena) segepok (suap).
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
21/47
P a g e | 21
Pengaruh
Selasa, 18 Februari 2014
Amarzan Loebis, [email protected]
Kesalahan terbesar metodologi survei politik yang mencoba mengukur derajat keterpilihan
seorang bakal calon presiden akhir-akhir ini adalah tidak lengkapnya pertanyaan. Ada
pertanyaan tentang elektabilitas, ada pertanyaan tentang kapabilitas, ada pertanyaan tentang
rupa-rupa, tapi tidak ada pertanyaan tentang ahwal yang saya anggap mustahak: pengaruh
atau keterpengaruhan.
Misalkan saya menganggap calon presiden Badu tinggi tingkat elektabilitas dan
kapabalitasnya. Janji-janjinya merdu, sisiran rambutnya necis, tampangnya gaul, nenek
moyangnya begawan ini dan begawan itu, hartanya banyak, tapi kalau saya tidak bisa
dipengaruhi untuk memilih dia, mau apa? Di sinilah pentingnya pengaruh.
Dunia media massa sudah lama menyadari keistimewaan pengaruh. Karena itu, ada istilah
"koran berpengaruh". Dari dulu nian sudah disepakati bahwa fungsi kedua surat kabar adalah
mempengaruhi (to influence), setelah fungsinya yang pertama, yakni menginformasikan (to
inform). Karena itu, misalkan koranmu tak jelas kebijakan pemberitaannya, atau belepotan
tulisan para jurnalisnya, kalau koranmu sudah dianggap "berpengaruh", jangan khawatir,pengiklan akan antre sambung-menyambung.
Begitu pentingnya pengaruh, sehingga di bawah rezim "Orde Baru" dulu ada lembaga khusus
untuk menyelidiki keterpengaruhan warga negara, khususnya dari ideologi Marxisme-
Komunisme. Lembaga ini merupakan pengganti Kopkamtib, yang kepanjangannya saya
sudah lupa-saking ruwetnya. Sungguh disayangkan, hingga rezim itu gulung tikar, tak pernah
jelas bagaimana lembaga itu menakar keterpengaruhan tadi, dan siapa saja yang sempat
disimpulkan terpengaruh atau tidak terpengaruh.
Dalam film Soekarnojuga terlihat betapa pentingnya pengaruh. Sjahrir, yang digambarkan
hampir selalu bertentangan pendapat dengan Sukarno, tetap tidak setuju menisbikan Sukarno
karena, "Hanya dia (Sukarno) yang bisa mempengaruhi rakyat." Hatta bahkan digambarkan
jauh lebih memahami kebesaran pengaruh Sukarno itu.
Karena itulah saya tersentak ketika mendengar kabar terbitnya sebuah buku tentang 33-atau
berapalah, saya tak ambil pusing-sastrawan berpengaruh di Indonesia. Ini pasti hebat, pikir
saya. Mulailah saya membayangkan nama-nama besar dalam jagat sastra Indonesia, dari
zaman Aman Datoek Madjoindo sampai zaman yang tak begitu aman sekarang ini.
Meminjam istilah yang sering digunakan sahabat saya, Seno Joko Suyono, buku ini pasti"dahsyat".
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
22/47
P a g e | 22
Ternyata tak mudah mencari buku itu. Di toko langganan saya malah tak ada. "Kami belum
terpengaruh untuk menjualnya di sini," kata manajer toko. Segera saya hubungi sahabat saya,
sastrawan yang saya anggap pasti terpilih masuk buku itu. Dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Mengapa menghubungi saya?" kata dia. "Kami terlalu mudah dipengaruhi orang."
Belum kelar buncah saya, sudah marak cabuh gaduh. Ada penyusun buku yang menyatakan
mundur, dulu katanya cuma terpengaruh niat baik inisiator-yang belakangan ketahuan
lancung. Ada yang berterus terang menyatakan terpengaruh honorariumnya yang indah.
Bahkan, ada yang menyatakan tidak terpengaruh, tapi betul-betul terjebak.Karena itu, saya
putuskan tidak terpengaruh untuk membeli buku itu. Lagi pula, apa urusan saya dengan
pengaruh 33 sastrawan? Dipengaruhi satu sastrawan saja hidup saya sudah tak nyaman.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
23/47
P a g e | 23
Pesan Moral dari Nguyen
Rabu, 19 Februari 2014
Agus Hidayat, Mantan Wartawan, Praktisi PR
Dalam sejarah aplikasi peranti bergerak, tampaknya baru Dong Nguyen yang "membunuh"
ciptaannya justru di tengah popularitas yang sedang melesat naik. Bagi pengguna ponsel
pintar berbasis iOS dan Android, Flappy Bird menjadi perbincangan hangat di seluruh dunia
sejak Januari lalu. Permainan burung 2D dengan tampilan grafis yang tampak ketinggalan
zaman ini menjadi aplikasi yang paling banyak diunduh (dan tentu saja dimainkan) melalui
toko aplikasi milik Apple, App Store, dan toko aplikasi Android, Google Play.
Dalam sebuah laporan disebutkan, permainan ini membukukan pendapatan sebesar US$ 50
ribu per hari melalui in-game advertisingpada awal 2014. Angka ini mungkin akan terus
menanjak, mengingat popularitasnya yang kian naik.
Untuk itu, kita semua terkejut ketika pada Sabtu, 8 Februari lalu, Dong Nguyen, pencipta
Flappy Bird, melalui akun Twitter-nya berkicau mengumumkan penarikan permainan yang
tengah naik daun ini. "Saya tidak dapat menanggungnya lebih lama lagi," kata Nguyen, yang
menafikan penarikan ini berkaitan dengan aspek legal. "Flappy Bird dirancang untuk
dimainkan dalam beberapa menit saat Anda sedang santai. Kenyataannya malah membuat
orang menjadi ketagihan. Saya pikir hal ini menjadi masalah. Untuk menyelesaikan masalah
ini, cara terbaiknya adalah menutup Flappy Bird. Dia lenyap selamanya," kata Nguyen dalan
sebuah wawancara majalah.
Sampai titik inilah Nguyen menampar kita dengan pelajaran moralnya. Adalah cita-cita setiap
pengembanggame, yang memasang gratis permainannya di toko aplikasi, untuk membuat
pemakainya ketagihan dan terus mencetak laba melalui jumlah aplikasi yang diunduh. Sebab,
ini berkorelasi dengan banyaknya iklan yang akan hadir. Iklan ini tentu saja merupakan
lumbung uang.
Kenyataannya, Nguyen tak lantas silau dan gelap mata oleh pendapatan US$ 50 ribu per hari
yang dihasilkan dari Flappy Bird. Dia justru khawatir si Flappy Bird menjadi candu baru bagi
generasi mobile. Agaknya, belakangan Nguyen kian menyadari efek samping permainan ini.
Dari berbagai reviewdi App Store dan Google Play, serta berbagai percakapan di media
sosial, setidaknya kita dapat menangkap benang merah efek kecanduan memainkan Flappy
Bird: frustrasi dan pesimisme.
Padahal, permainan-apa pun bentuknya-dibuat agar penggunanya bersenang-senang dan
memperoleh kebahagiaan, bukan? Seandainya sebuah permainan menghadirkan efeksebaliknya, gampang saja, tinggal uninstallpermainan tersebut, habis perkara.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
24/47
P a g e | 24
Teknologi sejatinya bersifat bebas nilai dan manusialah yang kemudian memberi nilai kepada
teknologi ini. Namun, bagi Nguyen, teknologi tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari aspek
moralitas, apalagi bagi seseorang, di balik hadirnya teknologi itu. Untuk itu, pilihan Nguyen
rasanya patut diapresiasi. Ketika ia merasa teknologi sudah bertentangan dengan hati nurani,yang harus dimenangkan adalah hati nurani.
Mengutip Immanuel Kant, moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin, bukan sekadar
penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu hukum negara, agama, ataupun adat-istiadat.
Selanjutnya, Kant menyebut bahwa kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya
terhadap hatinya sendiri, moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena penghormatan
kepada hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
25/47
P a g e | 25
Biaya Investasi Politik 2014
Rabu, 19 Februari 2014
Teguh Dartanto, Dosen dan Peneliti UI
Genderang kampanye Pemilu 2014 sudah ditabuh. Para calon anggota legislatif
DPR/DPRD/DPD berlomba-lomba mempercantik diri, menebar simpati dan janji,
menyiapkan strategi dan amunisi, serta berusaha menutupi kekurangan diri untuk
memuluskan jalan menjadi anggota Dewan yang terhormat di negeri ini. Seberapa besar
pengorbanan/investasi politik yang masuk akal untuk menjadi seorang anggota dewan selalu
menyisakan tanda tanya besar.
Seorang calon legislator yang rasional hanya akan melakukan pengorbanan/investasi politik
sebanding dengan apa yang akan didapatkan ketika duduk manis menjadi anggota Dewan.
Marilah kita telisik seberapa besar pendapatan menjadi anggota DPR dan DPRD di
Indonesia. Berdasarkan laporan Sekretariat Jenderal DPR, bahwa take-home payanggota
DPR adalah sebesar Rp 1.075.493.600 per tahun, yang terdiri atas penerimaan bulanan
sebesar Rp 53.273.866, gaji ke-13, dan dana reses sebesar Rp 420 juta per tahun. Dengan
demikian, dalam kurun waktu lima tahun, harapan pendapatan (expected income) menjadi
anggota DPR adalah Rp 5,4 miliar. Sedangkan take-home payanggota DPRD provinsi adalah
Rp 357.430.000 per tahun, yang terdiri atas penerimaan bulanan sebesar Rp 24.736.750, gaji
ke-13, dan dana reses Rp 48 juta per tahun. Dalam kurun lima tahun, maka pendapatan
menjadi anggota DPRD provinsi adalah sebesar Rp 1,8 miliar.
Sangat wajar jika banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi anggota DPR, karena tidak
banyak pekerjaan yang menawarkan penghasilan lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Dengan
harapan penghasilan seperti di atas, sangat wajar ketika ada calon legislator DPR
mengeluarkan biaya investasi politik (dana kampanye) sebesar Rp 1-2 miliar untuk biaya
kampanye di Pemilu 2014. Jika kita menambahkan faktor non-ekonomi seperti kekuasaan,
status sosial dan penghormatan, serta pendapatan tidak resmi (unofficial income), akan sangat
wajar jika calon legislator mengeluarkan biaya kampanye sebesar Rp 2-4 miliar karenaharapan penghasilan (expected income) jauh melebihi biaya investasi politik.
LPEM FEUI (2014) dengan menggunakan teori investasi klasik mencoba menghitung biaya
investasi politik (dana kampanye) yang optimal dan wajar untuk caleg DPR, DPRD, dan
DPD untuk masing-masing provinsi di Indonesia. Secara garis besar, perhitungan biaya
investasi politik adalah perkalian antara peluang terpilih menjadi anggota Dewan dan nilai
harapan pendapatan sebagai anggota Dewan. Seorang anggota legislatif yang rasional akan
berhitung mengenai kemungkinan/peluang terpilih sebagai anggota Dewan dalam
mengeluarkan dana kampanye. Jika merasa memiliki kesempatan terpilih yang besar, merekaakan mengalokasikan dana yang besar untuk berinvestasi politik (dana kampanye). Dengan
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
26/47
P a g e | 26
membandingkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan dengan jumlah caleg, peluang terpilih
menjadi anggota DPR adalah 8,21 persen. Sedangkan peluang terpilih menjadi anggota
DPRD adalah 8,99 persen, dan menjadi anggota DPD adalah 14,21 persen. Berdasarkan data
ekspektasi pendapatan menjadi anggota Dewan dan peluang keterpilihan, dana investasi
politik (dana kampanye) 2014 yang optimal untuk caleg DPR adalah sebesar Rp 393,84 juta,dan caleg DPRD provinsi sebesar Rp 160,4 juta. Biaya investasi politik Pemilu 2014 untuk
masing-masing provinsi sangat bervariasi, di mana investasi politik termahal untuk caleg
DPR ada di Kepulauan Riau dan Papua. Jika kita memasukkan faktor non-ekonomi, seperti
kekuasaan, status sosial, dan penghormatan dalam perhitungan, dana investasi politik Pemilu
2014 yang optimal adalah berkisar Rp 712-852 juta per caleg DPR dan Rp 199-287 juta per
caleg DPRD provinsi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan tidak resmi anggota Dewan jauh lebih besar
dibandingkan dengan penghasilan resmi. Jika kita memasukkan penghasilan tidak resmi
(unofficial income) dalam perhitungan, biaya investasi politik/dana kampanye yang optimal
dalam Pemilu 2014 untuk caleg DPR berkisar Rp 1-1,23 miliar, sedangkan untuk caleg
DPRD sekitar Rp 298-570 juta.
Semakin besar harapan caleg terhadap penghasilan tidak resmi, semakin besar pula investasi
dana kampanye yang dikucurkan. Dengan mempertimbangkan pendapatan resmi, nilai non-
ekonomi, serta pendapatan tidak resmi yang wajar dan tidak melanggar undang-undang,
biaya investasi politik/dana kampanye yang optimal/wajar Pemilu 2014 adalah sebesar Rp
750 juta-Rp 1 miliar per caleg DPR dan sebesar Rp 250-500 juta per caleg DPRD provinsi.
Investasi politik sebesar angka ini tidak menjamin caleg akan terpilih. Tapi, jika kurang dariangka tersebut, peluang terpilih sangat kecil.
Caleg yang jorjoran, ketika terpilih, memiliki kecenderungan untuk mengembalikan modal
kampanye dengan cara-cara korupsi yang merusak nurani dan melanggar hukum. Karena itu,
suatu saat nanti perlu ada peraturan pembatasan dana kampanye untuk para caleg, sehingga
akan tercipta pemilu yang lebih sehat, bukan transaksional, serta memberikan kesempatan
yang luas bagi caleg modal ide.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
27/47
P a g e | 27
Tak Cukup dengan Teknokrasi
Rabu, 19 Februari 2014
Anggun Trisnanto,Pengajar Universitas Brawijaya
Belakangan ini, nama Jokowi dan Risma kembali mencuat. Dua orang pejabat publik tersebut
contoh pemimpin yang baik. Namun Wali Kota Risma sedang menghadapi masalah internal.
Walaupun belum bisa dipastikan kebenarannya, tekanan birokratis ada di balik wacana
pengunduran diri Risma.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang apa dan siapa di balik persoalan tersebut. Namun
tulisan ini akan mengungkap bahwa apa yang dilakukan Risma, dan mungkin juga Jokowi,tidak cukup untuk melakukan reformasi birokrasi. Salah satu agenda yang penting pasca-
Reformasi 1998 adalah reformasi birokrasi. Sayangnya, tidak dirinci secara detail bagaimana
melakukan hal tersebut. Yang selama ini dilakukan adalah reformasi birokrasi yang sifatnya
teknokratik. Proses pengambilan kebijakan yang transparan dan pola penganggaran yang
partisipatif adalah contoh model tradisional dalam model teknokrasi. Tapi, kenapa semua ini
belum dirasa cukup untuk melakukan reformasi total?
Ada dua alasan yang akan diuraikan. Pertama, jabatan publik adalah juga jabatan politik.
Artinya, pejabat harus mengakui bahwa dia akan melakukan pembenahan ke dalam instansi
pemerintahannya. Ini sudah terjadi, khususnya yang dilakukan Jokowi di Jakarta. Namun,
yang harus diingat, jabatan publik adalah juga bentuk kompromi atas relasi kekuasaan. Relasi
inilah yang sekarang ini berubah (dalam kasus Risma). Dukungan bisa berubah menjadi
ancaman dan juga sebaliknya. Pengakuan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan ternyata
belum cukup tanpa adanya penguatan dari aliansi pendukungnya. Aliansi ini bentuk nyata
kemapanan relasi kekuasaan antara pejabat publik, partai politik,dan masyarakat sipil.
Apabila peta aliansi berubah, maka jangan harap kekuasaan pejabat publik akan langgeng.
Kedua, kebijakan publik yang dikeluarkan tanpa menghitung kalkulasi ekonomi-politik justru
akan menjadi bumerang bagi pejabat publik. Misalnya, kebijakan pengentasan masyarakatdari kemiskinan, peningkatan pelayanan publik, transparansi anggaran dan pengadaan barang,
bisa jadi sebuah terobosan baru, namun bisa menjadi blunder apabila kebijakan ini
mengesampingkan kekuatan ekonomi-politik. Kekuatan ekonomi-politik di sini adalah
pengusaha, cukong, dan brokeryang selama ini menikmati keuntungan dari sistem lama yang
korup. Bisa jadi, kekuatan ini tidak hilang, namun sembunyi sementara untuk melihat kapan
waktu yang tepat untuk melakukan serangan balik.
Karena itu, perlu digagas ide baru tentang penyeimbangan kekuatan ekonomi-politik dan
model teknokrasi yang selama ini berjalan tidak seiring. Dari dua alasan tersebut, tulisan ini
ingin menggarisbawahi bahwa model penyelesaian teknokratik seperti yang sekarang
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
28/47
P a g e | 28
dilakukan Jokowi dan Risma tidaklah cukup untuk melanggengkan program kerja mereka
yang sudah berjalan baik. Perlu ada kalkulasi ulang dan pemetaan kembali peta relasi
kekuasaan yang dulu telah mendukung mereka mendapatkan jabatan publik. Sekaligus,
mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses pembuatan kebijakan (dengan catatan
bahwa kepentingan mereka tidak berbenturan dengan kepentingan publik).
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
29/47
P a g e | 29
Quo VadisGo Organic
Kamis, 20 Februari 2014
Khudori,Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
Kementerian Pertanian dan Komisi IV DPR sepakat mengalihkan subsidi pupuk organik ke
pupuk anorganik. Subsidi dialihkan untuk memenuhi kekurangan pagu subsidi pupuk
anorganik. Tahun ini, nilai subsidi pupuk Rp 21,04 triliun, kurang Rp 1 triliun dari
kebutuhan. Dari total subsidi Rp 21,04 triliun itu, Rp 3 triliun di antaranya digunakan untuk
membayar kekurangan subsidi tahun 2012. Nilai subsidi Rp 18,04 triliun tahun ini setara
dengan 7,78 juta ton pupuk, terdiri atas urea 3,42 juta ton, SP-36 0,76 juta ton, ZA 0,80 juta
ton, NPK 2 juta ton, dan organik 0,8 juta ton. Nilai subsidi pupuk organik hanya Rp 0,4
triliun.
Tepatkah pengalihan subsidi itu? Apa dampaknya terhadap program Go Organic pemerintah?
Ada dua tujuan pemerintah memberi subsidi pupuk, yakni agar pendapatan petani meningkat
dan mereka tetap bergairah bertani. Dua tujuan itu sulit digapai. Meskipun disubsidi, selama
ini petani selalu membeli pupuk di atas harga eceran tertinggi. Ini membuat pendapatan
mereka tergerus. Subsidi juga membuat petani mindedpupuk anorganik. Petani bahkan
memupuk melampaui dosis rekomendasi. Overdosis ini tak hanya menimbulkan inefisiensi,
tapi juga membuat kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah menurun. Produksi menyeluruhdan kesinambungan usaha tani menjadi taruhan.
Ini terjadi karena kebijakan subsidi pupuk salah arah. Pertama, subsidi bias pupuk urea dan
ZA. Ini memperburuk anjuran pemupukan berimbang. Kedua, sebagian besar subsidi
ditujukan untuk pupuk anorganik. Bias subsidi pupuk anorganik, plus praktek pertanian yang
tidak mengembalikan serasah kembali ke sawah, membuat tanah miskin bahan organik (C-
organik). Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, 73 persen lahan sawah
(5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik amat rendah sampai rendah (C-organik 2
persen), 22 persen berkandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan 4 persen berkandungan
C-organik tinggi ( 3 persen). Tanah dengan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan lahan
yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan sawah sehat (C organik > 3 persen),
kondisi lahan itu amat kritis (Simarmata, 2012). Untuk mendongkrak produktivitas,
kesuburan lahan harus dipulihkan.
Didasarkan pada kondisi itu, Kementerian Pertanian pada 2008 mencanangkan Go Organic.
Sesuai dengan skenario, Go Organic direncanakan digapai pada 2010. Program Go Organic
meliputi pengembangan teknologi pertanian organik, kelompok tani organik, pengembangan
perdesaan melalui pertanian organik, dan strategi pemasaran pertanian organik. Namun,
karena rendahnya komitmen, program itu jauh dari tercapai, bahkan bisa dikatakan gagal.Pada akhir pemerintahan Presiden SBY, Go Organic nyaris tak terdengar.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
30/47
P a g e | 30
Tak banyak hal yang dilakukan pemerintah soal Go Organic. Salah satunya, ya, subsidi
pupuk organik. Namun, selain jumlahnya kecil, skema subsidi tidak tepat. Subsidi pupuk
anorganik diberikan dalam bentuk input harga gas ke pabrik pupuk. Sedangkan subsidi pupuk
organik diberikan dalam bentuk harga beli, juga untuk pabrik pupuk. Keduanyamenguntungkan pabrik pupuk, bukan petani. Mestinya subsidi pupuk organik diberikan ke
petani agar bisa memproduksi sendiri guna mengurangi ketergantungan pada pabrik. Ke
depan, justru ini yang harus didorong dengan pendampingan kepada petani.
Memang benar pertanian organik tak hanya ditentukan oleh pemerintah, tapi juga oleh
masyarakat. Ini terlihat dalam banyak hal. Pertama, luas lahan pertanian organik yang terus
bertambah, yang pada 2011 mencapai 238.872,24 hektare. Ini diusahakan untuk beras, sayur,
buah, dan aneka tanaman perkebunan. Kedua, jumlah prosesor dan eksportir yang mencapai
71. Ketiga, lembaga pelatihan, lembaga sertifikasi (nasional dan internasional), dan
pedagang. Keempat, pasar. supermarket/hipermarket, dan restoran jadi outletpenting.
Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pelaku pertanian organik penting. Pertama,
potensi pasar yang besar. Meskipun ceruk pasar produk organik masih kecil dan terbatas,
perkembangan kelas menengah dan pertumbuhan pendapatan yang tinggi serta tumbuhnya
kesadaran akan pentingnya aspek kesehatan merupakan pasar baru produk-produk organik.
Kedua, lahan pertanian organik cukup luas. Terdapat 11,1 juta hektare lahan telantar yang
bisa dipakai untuk pertanian organik. Ketiga, teknologi pertanian organik cukup tersedia,
seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah, dan pestisida hayati.
Ke depan, pertanian organik akan jadi magnet petani untuk mempraktekkannya sepanjang
sejumlah kendala bisa diselesaikan. Pertama, ada kepastian kualitas produk lewat sertifikasi.
Kedua, biaya sertifikasi tidak memberatkan, terutama buat petani kecil. Ketiga, ada insentif
harga untuk produsen. Keempat, ada kepastian pasar. Kelima, investasi awal tidak terlalu
mahal. Keenam, edukasi konsumen akan pentingnya produk organik. Untuk mengatasi itu
semua, tentu peran parastakeholderpertanian organik tetap penting. Namun peran
pemerintah tetap menjadi penentu dalam memberikan arah yang jelas mau ke mana program
Go Organic, bagaimana tahapan dan hasil akhir yang hendak diraih. Tanpa arah yang jelas,
tentu kita pantas bertanya: quo vadis go organic?
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
31/47
P a g e | 31
Jambore TBM 2014
Kamis, 20 Februari 2014
Agus M. Irkham, Aktivis literasi
Pengurus pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (PP Forum TBM) dan Taman Bacaan
Rumah Dunia akan menyelenggarakan Jambore TBM di Kompleks Rumah Dunia, Serang,
Banten, pada 20-23 Februari mendatang. Helatan budaya membaca dan menulis ini
merupakan ajang silaturahmi para pengelola TBM se-Indonesia. Mereka bisa bertukar
pengalaman cara mengelola TBM yang kreatif, mendapat dan mengukuhkan jaringan (mitra)
yang sudah ada, memperoleh buku murah untuk penambahan koleksi TBM, dan menimba
ilmu dari para aktivis literasi lainnya. Jambore TBM menjadi salah satu bentuk
mengkampanyekan tradisi membaca dan menulis sebagai bagian dari proses belajar bersama.
Beragam acara akan digelar dalam acara bertajuk "Menuju Indonesia Menulis" ini. Mulai dari
orasi literasi, pertunjukan seni, diskusi, seminar, dongeng, workshop menulis, pemberian
penghargaan TBM Award 2014, bedah dan peluncuran buku, bazar buku murah dan bermutu
dari IKAPI, hingga aneka lomba literasi.
Khusus untuk acara pembukaan yang diteruskan dengan penyelenggaraan seminar akan
menghadirkan Lee Jung Yeoun PhD (interest in community library, Visiting ProfessorUniversity of Indonesia) dan Dr Wartanto, Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat
Kemendikbud.
Bukan tanpa dasar, dalam Jambore TBM 2014 ini kami menjadikan "Menuju Indonesia
Menulis" sebagai tema. Apa pasal tema ini penting?
Angka melek aksara kita sudah cukup tinggi, yakni mencapai 93 persen. Artinya, potensi
pembaca (buku) di Indonesia sungguh raksasa. Hanya, potensi tersebut akan berhenti pada
sekadar potensi jika tidak diikuti dengan kesiapan dari sisi pasokan (suplai) bacaan, yakni
jumlah buku baru yang diterbitkan, baik secara jumlah eksemplar maupun judul baru. Karena
indeks per kapita buku per orang kita 0,40. Sedangkan Malaysia 1,07.
Mendapati fakta di atas, maka perlu ijtihad literasi guna meretas pertambahan jumlah bacaan
tersebut. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran Taman Bacaan Masyarakat. Wujudnya
program Menulis Sejarah Kampung-yang kami adopsi dari program TBM Gelaran Iboekoe di
Yogyakarta.
Salah satu tujuan program Menulis Sejarah Kampung ini adalah melestarikan kearifan lokal
dengan mendokumentasikan peristiwa dan komponen sejarah lainnya melalui media tulisan.Serta mengkampanyekan tradisi membaca dan menulis sejarah sebagai bagian dari kehidupan
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
32/47
P a g e | 32
kolektif masyarakat yang memiliki multifungsi dan bisa dipelajari dalam proses belajar
bersama (Faiz Ahsoel, 2011).
Dengan demikian, tujuan terjauh dari Menuju Indonesia Menulis melalui program Menulis
Sejarah Kampung adalah kesepadanan antara besarnya jumlah potensi pembaca dan bukuyang tersedia. Kesepadanan itu akan menciptakan level minat dan budaya baca masyarakat
Indonesia pada posisi yang lebih tinggi lagi.
Dalam helatan Jambore TBM 2014, paling kurang ada delapan buku karya para pengelola
TBM yang akan diluncurkan dan dibedah. Semua bercerita tentang "Sejarah Kampung"
dalam berbagai variasi isi. Mulai fotografi, puisi, direktori, esai, biografi, hingga cerpen.
Barangkali ada yang mengatakan apatah arti delapan judul buku baru dibandingkan dengan
defisit kebutuhannya yang ribuan. Tidak signifikan. Namun saya kira ini sebuah langkah awal
yang baik. Karena untuk mencapai langkah keseribu bukankah kita memerlukan langkah
kesatu?
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
33/47
P a g e | 33
Tradisi Gunung
Kamis, 20 Februari 2014
Heri Priyatmoko, Peneliti Budaya Lereng Gunung Lawu
Percayalah, masyarakat gunung merupakan kelompok yang tersisa dalam memelihara
peradaban kuno di Nusantara. Meski digempur lahar muntahan gunung berapi, tradisi gunung
masih mereka rawat. Alih-alih meninggalkan kampung halaman gara-gara rumahnya disapu
lahar dan abu, sesudah situasi kondusif mereka kembali dan menunaikan tugasnya seperti
sedia kala: bertani dan berkarib dengan jagat pegunungan.
Segala ritual khas pegunungan yang mengacu pada kepercayaan leluhur, yaitu animisme dan
dinamisme, tetap dikerjakan demi membangun harmoni dengan alam semesta. Juga
mengekspresikan rasa syukur kepada Gusti Allah lewat persembahan tumpeng yang berisi
hasil pertanian dan aneka macam sesajen. Kemurnian budaya gunung makin terjaga karena
mereka relatif tak terkena pengaruh Islamisasi dan modernisasi yang "menyerang" warga
kota.
Memakai pendekatan antropologi Eric R. Wolf (1996) bahwa dunia petani bukanlah tanpa
bentuk (amorphous), melainkan suatu dunia yang teratur, yang memiliki pandangan dan
bentuk organisasi yang khas. Lagi pula pandangan dan bentuk organisasi itu berbeda dengankaum petani di wilayah pedesaan di bibir kota atau tempat lain. Tak mudah menemukan
rumusan yang berlaku bagi semuanya. Kealpaan akan fakta ini telah menyebabkan banyak
keputusan yang beriktikad baik, yang diambil pada tingkat atas masyarakat, kandas tak
mampu menembus perlawanan yang berwujud kepercayaan dan pola-pola kehidupan petani.
Contohnya, kasus Mbah Maridjan beserta pengikutnya di Gunung Merapi yang tak mau
direlokasi sejak dulu. Padahal gunung legendaris itu diprediksi akan menyemburkan lahar.
Masyarakat gunung lebih percaya bahwasing mbaureksoatau penunggu gunung tak mungkin
menyakiti anak-cucunya. Mereka yakin pula semburan gunung adalah pupuk terhebat
penyubur tanaman dan mensejahterakan mereka di kemudian hari. Dialog manusia gunung
dengan alam semesta justru menghasilkan ilmu pengetahuan lokal tanpa tanding. Bahkan
membuat peneliti asing tergagap menangkap fenomena unik ini. Misalnya, pranata mangsa
yang disebut-sebut sebagai pencapaian tertinggi nenek moyang Indonesia.
Menurut pakar geografi asal Indonesia terkemuka, Daldjoeni (1983), unsur-unsur alam raya
dipakai sebagai landasan manusia bekerja memperlakukan alam (sawah) sebagaimana
mestinya. Iklim yang dilambangkan dalam aneka unsur alam juga memberi pengaruh
terhadap perilaku manusia.
Hubungan gejala alam dan respons manusia gunung terhadap irama peredaran musim
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
34/47
P a g e | 34
berubah tiap tiga bulan. Musim ketiga (musim kering), gejala alamnya hawa panas, sumur
mengering, angin membawa debu, dan daun berguguran.Mangsa labuh(antara musim kering
dan musim hujan), yaitu hujan mulai turun dan alam kelihatan hijau. Kondisi ini membuat
hati manusia merasa tenteram, karena musim hujan lekas datang. Petani gunung pun penuh
keinginan, berangan apa yang diperbuat kala musim hujan tiba.
Demikianlah secuil local geniusmereka. Ia muncul berkat dialog manusia dengan alam. Juga
berkat tradisi gunung yang terus dilestarikan masyarakat pendukungnya. Sekali lagi, gunung
bukanlah musuh yang dihujat. Sebab, di satu sisi, gunung bak museum pengetahuan lokal
Nusantara. Tanpa "batuk" gunung berapi, bumi Nusantara tak mungkin subur. Lahar plus
abunya memang pahit di depan, tapi manis di belakang.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
35/47
P a g e | 35
Runtuhnya Penjaga Konstitusi
Jum'at, 21 Februari 2014
Reza Syawawi, Peneliti di Transparency International Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan kontroversial atas pengujian Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 1/2014 Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Oleh MK, undang-undang tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945. Putusan ini dianggap kontroversial karena telah membatalkan sebuah kebijakan yang,
oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai langkah untuk menyelamatkan MK.
Kasus korupsi yang menyeret bekas Ketua MK Akil Mochtar telah menempatkan lembaga ini
ke dalam kelindan korupsi yang tak berkesudahan.
MK, yang awalnya menjadi role modelperadilan modern dan bersih, justru telah
menunjukkan bahwa korupsi peradilan (judicial corruption) sudah sedemikian parah. Maka
tidak mengherankan jika peradilan di Indonesia masuk kategori sebagai lembaga negara
terkorup (Global Corruption Barometer, 2013).
MK mungkin bisa dipersepsikan sebagai peradilan politik, ada juga yang menyebutnyasebagai peradilan tata negara (constitutional court). Namun, jika merinci kewenangan MK
yang diatur di dalam konstitusi, hampir semua obyek perkaranya berkaitan dengan konteks
politik.
Ada lima kewenangan MK yang diatur oleh konstitusi, yaitu berwenang atas (1) pengujian
undang-undang terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; 3)
memutus pembubaran partai politik; 4) memutus perselisihan hasil pemilu; dan 5) wajib
memutus pendapat DPR untuk meng-impeachpresiden/wakil presiden. Dari semua
kewenangan dan kewajiban di atas, hanya ada satu yang tidak langsung berhubungan dengan
konteks politik, yaitu yang berkaitan dengan sengketa kewenangan lembaga negara.
Jika membaca putusan MK, yang membatalkan UU No. 4/2014, ada beberapa hal yang patut
dicermati. Pertama, persyaratan hakim konstitusi yang mengharuskan mundur dari partai
politik selama tujuh tahun oleh MK dianggap sebagai produk atas stigma masyarakat yang
buruk terhadap partai politik. Argumentasi ini sangat mudah dibantah, tidak koheren dengan
pendapat MK dalam putusan MK atas pengujian UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara
Pemilu terkait dengan syarat bagi anggota penyelenggara pemilu untuk mundur dari partai
politik selama lima tahun.
MK dalam putusannya menyebutkan bahwa "kemandirian" penyelenggara pemilu jika
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
36/47
P a g e | 36
merujuk pada sejarah perubahan UUD1945 (1999-2002) terkait dengan prinsip non-partisan.
Frasa kemandirian memberikan makna tidak memihak pada partai politik atau kontestan
pemilu mana pun.
MK bahkan menyatakan tidaklah sejalan dengan logika dan keadilan jika penyelenggarapemilu beranggotakan para peserta pemilu itu sendiri. Inilah yang kemudian membuka
peluang keberpihakan (conflict of interest) penyelenggara pemilu kepada salah satu kontestan
(pertimbangan 3.14).
Rumusan pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah "kekuasaan yang merdeka". Apakah frasa "kekuasaan yang merdeka"
tidaklah lebih menekankan prinsip imparsialitas dibanding frasa "mandiri"?
MK dalam menjalankan kewenangannya akan "berhadap-hadapan" dengan partai politik yang
berkaitan dengan perselisihan hasil pemilu dan pembubaran partai politik. MK akan
mengadili gugatan atas produk dari institusi yang semuanya diisi oleh partai politik
(pengujian UU). Dan MK akan memutus pendapat DPR atas impeachment terhadap
presiden/wapres.
Maka apakah hakim konstitusi tidak perlu "mandiri" dan tidak perlu "merdeka" jika
berhadapan dengan sengketa/gugatan yang sarat konteks (partai) "politik"?
Maka jelaslah sudah bahwa persyaratan soal mundur dari partai politik bukanlah soal stigma
masyarakat, tapi adalah kebutuhan MK. Jika MK diisi orang yang tidak steril darikepentingan partai politik tertentu, punahlah sudah harapan kita untuk mengawal produk
politik DPR yang bernama udang-undang, hilanglah kepercayaan kita terhadap legitimasi
prosesi demokrasi bernama pemilu, serta semakin kukuhlah dominasi kepentingan politik
busuk dalam semua sendi kehidupan bernegara.
Kedua, MK berpandangan bahwa proses seleksi hakim konstitusi telah mereduksi
kewenangan konstitusional MA, DPR, dan Presiden. Alasan ini bisa dianggap "salah alamat",
sebab perpu tersebut justru berasal dari Presiden, dan kemudian "didukung" oleh DPR
menjadi UU.
Jika dikalkulasi secara sederhana, langkah penyelamatan MK ini adalah kesadaran dari
pemerintah dan DPR. Desain pengaturan tentang seleksi hakim konstitusi ternyata keliru dan
itu diperbaiki melalui mekanisme executive reviewoleh pemerintah (perpu) dan diperkuat
melalui legislative reviewoleh DPR (pengesahan menjadi UU).
Sayangnya, MK tidak cukup "sadar diri" bahwa mereka sedang diselamatkan. Parahnya, MK
sendiri yang kemudian menjerumuskan dirinya pada kekeliruan di masa lampau yang dulu
menyeret bekas ketua MK dalam kubangan korupsi.
Terakhir, melalui putusan ini, MK semakin mengukuhkan dirinya untuk tidak diawasi oleh
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
37/47
P a g e | 37
lembaga mana pun, termasuk dari Komisi Yudisial (KY). Kalaupun sudah diterpa kasus
korupsi, MK masih begitu percaya diri bahwa mereka tak perlu diawasi, runtuhlah sudah
lembaga yang mengklaim dirinya sebagai penjaga konstitusi.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
38/47
P a g e | 38
Kearifan Prof Damardjati
Jum'at, 21 Februari 2014
Munawir Aziz, Alumnus Pascasarjana UGM
Prof Dr Damardjati Supadjar adalah biografi tentang kearifan. Seluruh hidupnya diwakafkan
untuk menyelami nilai-nilai Jawa, menyerap filosofinya, dan menyebarkan kepada murid-
muridnya. Sebagai orang yang sering ngangsu kaweruh-baik melalui kuliah, seminar,
maupun buku-bukunya-saya dan teman-teman UGM sangat merasa kehilangan atas wafatnya
pada 17 Februari 2014.
Kisah hidup Pak Damar-begitu panggilan akrabnya-menjadi referensi bagaimana intelektual
mengabdikan waktu, tenaga, dan pikirannya. Dosen filsafat Universitas Gadjah Mada ini
seakan sudah berada pada tahapan begawan, yang hanya ingin menceburkan diri pada ilmu
dan memberi pencerahan kepada murid-muridnya. Sebagaimana seorang sufi, Pak Damar
mampu mengelola ilmu sebagai jembatan untuk mencerahkan hati, juga jalan menuju Tuhan.
Damardjati kecil lahir di lereng utara Gunung Merbabu, Magelang, pada 30 Maret 1940. Ia
tumbuh dalam tradisi kawasan Gunung, yang kaya akan pernik budaya dan kearifan hidup.
Inilah fondasi utama Pak Damar dalam mencerap ilmu dan memaknai filsafat. Dari beberapa
ceramah dan kuliahnya terakhir, terlihat bahwa Pak Damar mampu mengelola pengetahuansebagai inspirasi.
Pak Damar juga kaya humor. Lelucon menjadi bingkai inspirasi dan nilai-nilai hikmah yang
beliau ajarkan. Ia berujar, "Pencari ilmu itu seperti detektif yang menyelidiki sebuah fakta,
gejala, peristiwa, lalu menyampaikan hipotesa, menguji, dan akhirnya menemukan hubungan
antar-fakta, sehingga kemudian mengambil kesimpulan." Inilah kerangka pemikiran Pak
Damar, yang menganggap ilmu sebagai-dalam istilah pesantren-manhaj al-fikr(metodologi
berpikir). Pandangan Pak Damar selaras dengan apa yang disampaikan Syekh al-Mawardi
dalam kitabnya,Ad-Dunya wa ad-Din, yang mengungkap filosofi ilmu.
Pak Damar, menulis beberapa karya:Kata-kata Kunci, Wulang-wulang Kejawen(1984),
Etika dan Tata Krama Jawa Masa Lalu dan Masa Kini(1985), sertaFilsafat Sosial Serat
Sastra Gending(2001). Dalam karya terakhir, Pak Damar memaknai serat karya Sultan
Agung Hanyokrokusumo (1593-1645), Sang Raja Mataram. Karya ini menjadi penanda
penting dari cara pandang, posisi keilmuan, dan kearifan hidup Pak Damar, dengan
menganalisis secara mendalam teks serat dalam kerangka filsafat sosial. Inilah titik pijak
keilmuan Pak Damar.
Dari beberapa ceramah, Pak Damar mengungkapkan: "hidup ini seperti matematika, dan kitaharus belajar dari angka nol." Ia menjelaskan, "Kalau diperhatikan, selama hidupnya manusia
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
39/47
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
40/47
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
41/47
P a g e | 41
seperti yang ada pada Kurikulum 2013. Bayangkan, penulis yang terlibat dalam perdebatan
dan membaca buku-buku kurikulum sejenis saja memerlukan waktu panjang untuk sekadar
memahami konsep Kurikulum 2013, apalagi guru-guru yang ditatar hanya tiga hari.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
42/47
P a g e | 42
Ustad (Bukan) Selebritas
Sabtu, 22 Februari 2014
Husein Ja'far, Al Hadar Pendiri Islamic Cultural Academy (ICA) Jakarta
Ada sederet ayat Al-Quran yang memuliakan ustad, guru, syekh, habib, kiai, ulama, atau
apalah gelarnya. Nabi pun berkali-kali memuliakan mereka dalam sabdanya, dengan salah
satu yang paling populer, yakni menyebut mereka sebagai ahli waris para nabi. Karena itu,
seperti dikemukakan Kuntowijoyo dalamMuslim Tanpa Masjid(2001), dalam tradisi Islam
Indonesia, akan ditemukan ragam bentuk penghormatan yang cenderung bersifat sosio-
kultural pada mereka.
Dulunya, menurut Kuntowijoyo, bias modernisme masih cenderung tak ada dalam rekrutmen
dan penobatan mereka, sehingga umat selalu mendapat dan disuguhi sosok pendakwah yang
berkualifikasi dan teladan. Maka, beragam bentuk penghormatan sosio-kultural juga tak
pernah menyilaukan mereka. Terjadi relasi sosio-kultural yang berbalut nilai teologis-religius
yang kuat antara umat dan ustad.
Namun, di zaman modern, apalagi saat ini, mengacu pada Kuntowijoyo, rekrutmen ustad
(apalagi yang dilakukan oleh media) biasanya terjadi secara segmental atau bahkan sporadis.
Maka, tak jarang umat disuguhkan sosok ustad yang tak memiliki kualifikasi keilmuan,apalagi keteladanan. Bahkan yang disyaratkan bukan lagi kualifikasi, melainkan kemampuan
menghibur dalam kemasan berdakwah.
Maka, ragam tradisi penghormatan yang bersifat sosio-kultural pun menjadi rentan
disalahgunakan oleh ustad itu sendiri, karena ketidakmatangan yang berdampak pada
kegagapan mereka dalam merespons euforia umat pada sosoknya. Misalnya ceramah atau doa
dikomersialkan. Posisinya pun dipahami sebagai profesi dan umat sebagai komoditas, bukan
lagi sebagai amanat suci yang penuh tanggung jawab kepada Allah. Alih-alih menjadi ahli
waris para nabi yang penuh akhlak serta pelayan umat, justru mereka menjadi semacam tuan
dengan melihat umat seperti budak yang dibodohi, dieksploitasi, dan dihinakan.
Kultur modernisme yang memicu munculnya ustad-ustad baru di media seharusnya bisa
dimaknai secara positif, yakni mendorong demokratisasi keagamaan dan sosialisasi nilai-nilai
Islam dalam pola akulturasi yang lebih egaliter dan fenomenologis, serta cakupan dakwah
yang lebih luas. Tanpa kualifikasi, yang muncul pada sosok para ustad selebritas itu justru
kegagapan yang menyebabkan mereka tunduk dan diwarnai modernisme, bukan lagi
mengendalikan dan mewarnai zaman. Bahkan yang mereka targetkan bukan lagi terdidiknya
umat, melainkan terpuaskannya awak media (peringkat tinggi dan perolehan iklan banyak).
Paling jauh, tuntunannya hanya menjadi tontonan. Malah, yang terjadi di layar kaca, paraustad itu seolah berdrama dengan akting saleh dan teladan. Tapi, begitu kamera tak
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
43/47
P a g e | 43
menyorotnya, kesalehan dan keteladanan itu pun sirna, sehingga bahkan, di mimbar (tanpa
sorot kamera), mereka menunjukkan sikap yang bukan lagi tak teladan, melainkan
memprihatinkan.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
44/47
P a g e | 44
Damardjati, Sebuah Pencarian
Sabtu, 22 Februari 2014
Seno Joko Suyono, [email protected]
Kita harus mati, sebelum mati." Tak ada lagi yang berbicara demikian di seminar-seminar.
Yogya kehilangan sosok uniknya. Prof Dr Damardjati Supadjar meninggal pada usia 72
tahun, Senin lalu. Dia dikenal di forum apa pun, selalu membahas tema dalam perspektif
spiritual sinkretis Jawa dan Islam. Banyak yang menganggap cara berpikirnya othak-athik.
Tapi justru di situlah letak keotentikannya.
Penampilannya bersahaja. Orang sering melihat Pak Damar melintas di Bulaksumur menyetir
sendiri Fiat oranye "balita" (di bawah lima juta). Ia melayani diskusi dari kelompok
mahasiswa sampai pengajian ibu-ibu. Metaforanya sering "porno". Kita menjadi tahu
mengapa banyak filsuf Jawa menggunakan idiom-idiom erotis untuk menjelaskan konsep
perenial seputar manunggaling kawula gustidansangkan paraning dumadi.
Nama Damardjati menanjak sepulang belajar di Belanda pada 1980-an. Ia menjadi penasihat
Sultan. Disertasi Damardjati di bawah bimbingan filsuf Belanda, Van Peursen, mengenai
pemikiran kosmologi Alfred North Whitehead. Betapapun demikian, ia seolah-olah
mengatakan bahwa apa yang dimaksud buku utama Whitead,Process and Reality,sesungguhnya sudah implisit ada dalam pemikiran spiritual Jawa. Di UGM sendiri,
tempatnya mengajar, ia mendorong mahasiswanya menggali konsep-konsep Ketuhanan
dalam berbagai teks Jawa. Bukan hanya pada "kanon-kanon" teks, seperti Wedhatama. Tapi
juga dari teks-teks komunitas-komunitas kebatinan kecil.
Tak banyak yang tahu Damardjati adalah Ketua Umum Hardo Pusoro, organisasi kebatinan
yang didirikan Ki Kusumowicitro di Kemanukan, Purworejo, pada 1895. Organisasi ini lebih
tua daripada Subud, Pangestu, dan Sumarah. Bila kita perhatikan, Damardjati sering
mengutip Serat Jati Murti, Serat Madurasa, Serat Kaca Wirangi,dan Wewadining Rasa.
Teks-teks itu karangan R. Soejonorejo, murid Kusumowicitro. Seorang mahasiswa
bimbingannya juga pernah menulis skripsi tentang konsep ketuhanan Serat Bayanullahkarya
Panji Natarata-guru Kusumowicitro.
Bimbingannya yang lain suatu ketika membahas seratIcip Pati(Mengicipi Kematian) karya
R. Indrajit Prawira. Tak diketahui siapa Indrajit karena susah memperoleh data biografinya.
Tapi, menurut Pak Damar, seratIcip Patiaslinya berhuruf Jawa kuno dan pernah
ditranskripsikan ke bahasa Latin oleh Panji Natarata.
Dalam kuliah-kuliahnya, Damardjati juga kerap menyinggung soal pemikir Rusia, Gurdjievdan Ouspensky, yang dikenal luas dalam kalangan teosofi. Di Belanda, ia membaca buku
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
45/47
P a g e | 45
Ouspensky:Fourth Dimension. Menurut Damardjati, orang Jawa juga merefleksikan dimensi
keempat. Maka dari itu, saat seorang mahasiswanya membuat skripsi membahas buku
Ouspensky, Tertium Organum, Damardjati gembira. Bagi Ouspensky, evolusi manusia secara
fisik sudah selesai. Namun ia percaya masih terbuka kemungkinan evolusi intuisi menuju
dimensi yang lebih tinggi.
Pak Damar tak henti-hentinya menganjurkan orang agar melatih kepekaan membaca epifani
ayat-ayat alam, sesuatu yang susah, dan, jelas, kita tak tahu bagaimana caranya. Tapi, di
tengah hiruk-pikuk politik, Pak Damar seperti oase. Saya sendiri tiba-tiba teringat, ia sering
mengutip kata-kata yang tertoreh pada nisan Sosrokartono di Kudus, kakak Kartini: Sugih
tanpa banda, digdaya tanpa aji. Tidak tahu adakah di nisan Damardjati di Magelang
terpahatkan kalimat-kalimat bijaknya.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
46/47
P a g e | 46
Kritik dan Kekuasaan
Sabtu, 22 Februari 2014
Andi Irawan, Peminat Telaah Ekonomi Politik
Umumnya, manusia tidak suka dikritik dan, sebaliknya, gandrung akan pujian. Dan derajat
ketidaksukaan akan kritik semakin tinggi ketika seseorang punya kekuatan untuk
membendung kritik terhadapnya. Karena itu, tidak salah kalau kita katakan kekuasaan itu
cenderung antikritik.
Kalau Anda mengunjungi museum, bacalah terjemahan tulisan-tulisan pada prasasti-prasasti
yang dibuat pada era Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Prasasti itu mengisahkan puji dan
puja yang sangat tinggi kepada para penguasa.Para raja era itu digambarkan sebagai sosok
yang suci. Mereka adalah titisan dewa dengan kemampuan kepemimpinan yang sangat prima
dan sangat dicintai rakyatnya.
Pada kurun yang sama, orang di semua belahan dunia menempatkan penguasa pada
kedudukan yang sangat sakral dan, tentu saja, jauh dari kritik serta penuh dengan puja hampir
setara dengan Tuhan. Di Jepang, kaisar dipercayai sebagai turunan Dewa Matahari. Di Cina,
jangankan mengkritik para kaisar, memandang wajahnya pun tak boleh, dan rakyat harus
sujud kepada sang raja sebagai bentuk penghormatan kepadanya.
Pemimpin-pemimpin kabilah di Arab pada era Nabi Muhammad punya penyair khusus yang
akan menciptakan syair yang penuh dengan puja dan puji terhadap kehebatan pemimpin
mereka. Dan di Romawi, pada Abad Pertengahan Eropa, perkataan raja adalah hukum yang
mengikat semua rakyatnya. Pada zaman itu, penguasa adalah kebenaran absolut, dan kritik
terhadapnya adalah kemustahilan.
Pada era Renaissance di Eropa (mulai abad ke-13 Masehi), kekuasaan para penguasa
memang tidak lagi seabsolut Abad Pertengahan, melainkan tetap dominan. Dalam era ini
mulai penting apa yang dinamakan tindakan preventif terhadap kemungkinan penguasa
mendapatkan oposisi yang kuat dari lawan-lawan politiknya.
Sang penguasa harus diopinikan di hadapan rakyat sebagai sosok yang mulia, sehingga kritik
dari musuh-musuhnya menjadi mentah. Kita bisa melihat hal ini dalam pandangan
Machiavelli (1469-1527) tentang pentingnya pencitraan seorang penguasa sebagaimana yang
disampaikan dalam bukunya, The Prince, Bab 18: ...Seorang pangeran harus menjaga
dirinya, yang mana orang harus melihat dan mendengarnya sebagai sosok pemurah,
beriman, manusiawi, jujur, dan agamais. Setiap orang melihat bagaimana Anda tampil,
walaupun hanya sedikit dari mereka yang tahu bagaimana Anda ini sesungguhnya. Merekayang sedikit itu tak berani menempatkan diri mereka menentang pendapat orang banyak.
-
8/13/2019 caping+cari angin+kolom tempo 16.2.2014-22.2.2014
47/47
P a g e | 47
Tentu saja, era penguasa yang mempunyai kekuasaan absolut bak Tuhan atau dominan telah
ditinggalkan Eropa dan berbagai belahan dunia sejak Rousseau (1712-1748) mempublikasi
pemikirannya tentang Kontrak Sosial (Contract Social) dan Montesquieu (1688-1755)
dengan Trias Politica-nya.Rousseau mengintroduksi konsep tentang kedaulatan rakyat.Kepentingan umum yang merefleksikan kedaulatan rakyat harus menjadi utama dibanding
kepentingan khusus (pribadi atau golongan). Rakyat menyerahkan tugas untuk mewujudkan
kepentingan umum kepada raja. Dan kepentingan umumnya dirumuskan dalam kesepakatan
bersama yang bernama undang-undang. Raja atau kaisar harus menjalankan kedaulatan
rakyat tersebut. Inilah bentuk kontrak sosial antara rakyat dan rajanya.
Montesquieu, berdasarkan pengalaman dan pengamatan dalam interaksi dengan banyak
kehidupan bernegara di Eropa, mengoreksi kekuasaan dominan para penguasa ketika itu
melalui pemikirannya tentang bahaya ketika kekuasaan negara dipegang oleh satu tangan
(raja). Kekuasaan harus dipilah menjadi tiga kekuatan. Pertama, kekuatan membuat undang-
undang yang dipegang oleh lembaga yang merepresentasikan kehendak rakyat. Kedua,
kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang tersebut. Ketiga, kekuasaan
yudikatif yang menegakkan hukum dan tata tertib masyarakat. Paradigma Montesquieu dan
Rousseau tentang manajemen bernegara yang sedemikian itulah yang kemudian menjadi
mainstreamdi dunia modern yang kita kenal dengan sebutan terminologi negara demokrasi.
Dalam negara demokrasi, kritik terhadap kekuasaan menjadi niscaya. Mengapa? Pertama, ia
sarana atau alat yang mutlak harus dihadirkan agar masyarakat madani bisa menyoroti secara
gamblang kinerja semua lembaga pendukung demokrasi, baik eksekutif, legislatif, maupunyudikatif.
Kedua, menjadi alat koreksi ketika ada kebijakan-kebijakan yang antipublik
diimplementasikan oleh para penguasa. Ketiga, menjadi media kontestasi gagasan, kebijakan,
bahkan perilaku para politikus dan partai politik. Ia berguna untuk menguji di hadapan publik
apakah gagasan, kebijakan, dan perilaku penguasa yang dipercaya publik atau alternatif yang
ditawarkan oleh kompetitor politiknya lebih dipercaya.
Tidak ada kritik yang terasa manis dan indah, tapi ia adalah keniscayaan prosedur yang
memastikan bahwa demokrasi tetap hadir secara benar. Semakin berkualitas kritik kita dan
semakin lapang dada kita menerima kritik, kian berkualitas demokrasi yang kita jalankan.