cadangane sains medika#2#final

26
185 Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi ABSTRACT Neurodegeneratif disease and brain aging constitute problem that happen on many people nowadays. Study about endogen antioxidant toward this two case still little, thereby this papper will discuss about potenty of glutathione as endogen antioxidant. Glutathione as key phisiologycal parameter can be used indicator regard status of organ function especially for cases be related to neurodegeneratif disease and brain aging. In addition glutathione also known have role of important as body defence system toward free radical. Thereby this papper will discus information about neurodegeneratif disease and brain aging that its be related to glutathione, source of reactive oxygen species in body, glutathione potention, mechanism and function of glutathione, glutathione metabolism and glutathione metabolic interaction between astrocyte and neuron and its role for neurodegeneratif disease and brain aging inhibition. Finish discussion conclude that glutathione as endogen antioxidant own potention to free radical detoxification or reactive oxygen species, especially that be related to metabolism neuron and astrocyte cell in brain. Neuron and astrocyte cell in brain strongly mutual affect especially be related to glutathione metabolism and defence system toward reactive oxygen species. Glutathione system that be found astrocyte cell can contribute against brain defence and enhance neuron protection system against reactive oxygen species effect thus neurodegeneratif disease and brain aging can inhibited, (Sains Medika, 1 (2) : 185-210). Keywords: glutathione, neurodegeneration, brain aging, astrocyte, neuron, reactive oxygen species ABSTRAK Penyakit neurodegeneratif dan penuaan otak merupakan masalah yang dialami oleh banyak umat manusia dewasa ini. Kajian yang berkaitan dengan antioksidan endogen terhadap kedua kasus ini masih sedikit oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang potensi antioksidan endogen glutathione. Glutathion sebagai salah satu parameter fisiologis kunci dapat dijadikan sebagai indikator mengenai status fungsi organ terutama untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif dan penuaan otak. Selain itu glutathion juga diketahui mempunyai peranan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap radikal bebas. Oleh karena itu makalah ini akan membahas informasi tentang penyakit neurodegeneratif dan penuaan otak yang berkaitan dengan glutathion, sumber reactive oxygen species dalam tubuh, potensi glutathion, fungsi dan mekanisme glutathion, metabolisme glutathion dan interaksi metabolik glutathion antara astrosit dan neuron serta perannnya dalam menghambat neurodegenrasi dan penuaan otak. Diakhir pembahasan disimpulkan bahwa glutathion sebagai antioksidan endogen mempunyai potensi mendetoksifikasi radikal bebas atau reactive oxygen species, terutama yang berkaitan dengan metabolisme yang terjadi dalam sel-sel astrosit dan neuron otak. Sel astrosit dan neuron dalam otak secara kuat mempengaruhi satu sama lain terutama yang berkaitan dengan metabolisme glutathion dan pertahanan terhadap reactive oxygen species. Sistem glutathion yang dimiliki oleh astrosit dapat memberi kontribusi terhadap pertahanan otak dan meningkatkan sistem proteksi neuron terhadap efek reactive oxygen species sehingga dapat menghambat neurodegenerasi dan penuaan otak, (Sains Medika, 1 (2) : 185-210). Kata kunci: glutathion, neurodegenerasi, penuaan otak, astrosit, neuron, reactive oxygen species The Gluttathion Role As Antioxidant in Inhibition of Neurode generative Disease and Brain Aging Focus Review on Glutathione Metabolic Interaction betwen As Trocyte and neuron in Ros Defence System Sunarno 1 1 Staf pengajar Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Diponegoro Semarang Jl. Prof. Soedarto, SH Kampus Undip Tembalang 50275, ([email protected])

Upload: nguyendang

Post on 31-Dec-2016

243 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

185Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

ABSTRACTNeurodegeneratif disease and brain aging constitute problem that happen on many people nowadays.Study about endogen antioxidant toward this two case still little, thereby this papper will discuss aboutpotenty of glutathione as endogen antioxidant. Glutathione as key phisiologycal parameter can be usedindicator regard status of organ function especially for cases be related to neurodegeneratif disease andbrain aging. In addition glutathione also known have role of important as body defence system toward freeradical. Thereby this papper will discus information about neurodegeneratif disease and brain aging thatits be related to glutathione, source of reactive oxygen species in body, glutathione potention, mechanismand function of glutathione, glutathione metabolism and glutathione metabolic interaction betweenastrocyte and neuron and its role for neurodegeneratif disease and brain aging inhibition. Finish discussionconclude that glutathione as endogen antioxidant own potention to free radical detoxification or reactiveoxygen species, especially that be related to metabolism neuron and astrocyte cell in brain. Neuron andastrocyte cell in brain strongly mutual affect especially be related to glutathione metabolism and defencesystem toward reactive oxygen species. Glutathione system that be found astrocyte cell can contributeagainst brain defence and enhance neuron protection system against reactive oxygen species effect thusneurodegeneratif disease and brain aging can inhibited, (Sains Medika, 1 (2) : 185-210).

Keywords: glutathione, neurodegeneration, brain aging, astrocyte, neuron, reactive oxygen species

ABSTRAKPenyakit neurodegeneratif dan penuaan otak merupakan masalah yang dialami oleh banyak umatmanusia dewasa ini. Kajian yang berkaitan dengan antioksidan endogen terhadap kedua kasus ini masihsedikit oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang potensi antioksidan endogen glutathione.Glutathion sebagai salah satu parameter fisiologis kunci dapat dijadikan sebagai indikator mengenaistatus fungsi organ terutama untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif danpenuaan otak. Selain itu glutathion juga diketahui mempunyai peranan penting sebagai sistempertahanan tubuh terhadap radikal bebas. Oleh karena itu makalah ini akan membahas informasi tentangpenyakit neurodegeneratif dan penuaan otak yang berkaitan dengan glutathion, sumber reactive oxygenspecies dalam tubuh, potensi glutathion, fungsi dan mekanisme glutathion, metabolisme glutathion daninteraksi metabolik glutathion antara astrosit dan neuron serta perannnya dalam menghambatneurodegenrasi dan penuaan otak. Diakhir pembahasan disimpulkan bahwa glutathion sebagaiantioksidan endogen mempunyai potensi mendetoksifikasi radikal bebas atau reactive oxygen species,terutama yang berkaitan dengan metabolisme yang terjadi dalam sel-sel astrosit dan neuron otak. Selastrosit dan neuron dalam otak secara kuat mempengaruhi satu sama lain terutama yang berkaitandengan metabolisme glutathion dan pertahanan terhadap reactive oxygen species. Sistem glutathionyang dimiliki oleh astrosit dapat memberi kontribusi terhadap pertahanan otak dan meningkatkan sistemproteksi neuron terhadap efek reactive oxygen species sehingga dapat menghambat neurodegenerasidan penuaan otak, (Sains Medika, 1 (2) : 185-210).

Kata kunci: glutathion, neurodegenerasi, penuaan otak, astrosit, neuron, reactive oxygen species

The Gluttathion Role As Antioxidant in Inhibition of Neurodegenerative Disease and Brain Aging

Focus Review on Glutathione Metabolic Interaction betwen As Trocyteand neuron in Ros Defence System

Sunarno1

1 Staf pengajar Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Diponegoro Semarang Jl. Prof. Soedarto, SH

Kampus Undip Tembalang 50275, ([email protected])

Page 2: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

186 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

PENDAHULUAN

Penyakit neurodegenerasi dan penuaan (aging) adalah suatu sindrom yang

ditandai dengan adanya perubahan yang diakibatkan oleh kerusakan yang berlangsung

secara progresif, bersifat umum dan irreversibel. Penyakit neurodegenerasi dan penuaan

diawali dengan munculnya tanda-tanda kerusakan yang hampir sama yaitu kerusakan

mulai dari tingkat molekul, yaitu DNA, protein, lipid sampai dengan kerusakan pada

tingkat seluler dan organ-organ yang pada akhirnya memperpendek umur biologis.

Kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS)

merupakan teori yang paling popular dan umum, berkaitan dengan terjadinya berbagai

macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan.

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mempunyai sifat sangat tidak

stabil karena mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan pada orbit

terluarnya. Dalam memperoleh pasangan elektron, radikal bebas menjadi sangat reaktif,

sehingga untuk memperoleh pasangan elektron, radikal bebas akan menyerang secara

acak. Semakin reaktif suatu radikal bebas,maka serangan tersebut semakin tidak selektif.

Radikal bebas dapat menyerang lemak, gula, protein dan DNA melalui mekanisme rantai

reaksi sehingga menimbulkan kerusakan membran, modifikasi protein, deaktivasi enzim

dan kerusakan DNA (Suratno, 2006).

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa patogenesis beberapa penyakit

degeneratif dan proses penuaan melibatkan pembentukan radikal bebas atau ROS dan

terjadinya disfungsi mitokondria. Akhir-akhir ini, telah diketahui bahwa aspek genetika

molekuler dan neurokimia sebagai proses penting yang terlibat dalam kematian sel dan

berhubungan erat dengan stres oksidatif dan disfungsi mitokondria. Kedua proses

tersebut berkaitan satu sama lain. Selain itu, dinyatakan bahwa terjadinya kerusakan

neurodegeneratif dan penuaan disebabkan oleh gangguan homeostasis glutathion akibat

adanya stres oksidatif (Dringen et al., 2000).

Metabolisme glutathion berperan penting dalam proses patogenesis berbagai

macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan, oleh karena itu pemberian perlakuan

untuk meningkatkan sintesis GSH atau menghambat degradasi GSH merupakan sebuah

alternatif untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut. Namun demikian, karena GSH

tidak atau hanya sedikit yang mampu melintasi membran atau sawar darah otak (blood-

brain barrier) serta tidak dapat diambil secara langsung oleh neuron, maka pemberian

Page 3: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

187Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

glutathion dilakukan dalam bentuk pemberian GSH monoetil ester, prekursor glutathion

atau glutathion analog lainnya yang dapat meningkatkan GSH neuron otak.

Berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki oleh glutathion, dalam makalah ini

akan dibahas mengenai penuaan dan fase-fase penuaan, penuaan otak yang berkaitan

dengan penurunan konsentrasi glutathion intraseluler, sumber ROS intraseluler, stres

oksidatif dan bentuk kematian neuron otak, potensi antioksidan glutathion, metabolisme

dan fungsi glutathion, metabolisme glutathion pada astrosit dan neuron, glutathion dan

detoksifikasi radikal bebas pada astrosit dan neuron, interaksi antara astrosit dan

neuron dalam metabolisme glutathion dalam fungsinya sebagai pertahanan terhadap

radikal bebas atau ROS dalam menghambat proses neurodegenerasi dan penuaan.

TINJAUAN PUSTAKA

Penuaan dan Fase – Fase Penuaan

Seiring dengan meningkatnya umur manusia, akan diikuti oleh menurunnya fungsi

sistem fisiologis tubuh yang dapat berakibat munculnya tanda-tanda penyakit

neurodegeneratif dan penuaan. Berdasarkan perubahan pada setiap tingkat umur

manusia, penuaan terjadi dalam beberapa fase, yaitu fase subklinis, transisi dan klinis.

Fase subklinis merupakan fase awal yang ditandai oleh munculnya gejala-gejala atau

perubahan yang dapat mengawali munculnya penyakit neurodegeneratif dan proses

penuaan, terjadi pada manusia dengan kisaran umur 25-35 tahun. Pada fase ini terjadi

penurunan fungsi sistem fisiologis tubuh dengan persentase 14% dibanding umur

sebelumnya. Fase berikutnya adalah fase transisi yang ditandai dengan penurunan fungsi

sistem fisiologis tubuh dengan persentase mencapai 25%, sehingga gejala-gejala atau

perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh mulai terlihat lebih nyata. Fase ini terjadi

pada manusia dengan kisaran umur 35-45 tahun. Fase lanjutan dari fase subklinis dan

transisi adalah fase klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi sistem fisiologis

yang lebih nyata dibanding kedua fase sebelumnya dan biasanya terjadi pada manusia

dengan umur 45 tahun ke atas. Kondisi stres oksidatif sering dijumpai pada fase ini dan

menjadi pemicu munculnya tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan penuaan yang

terjadi secara cepat. Sebuah penelitian telah membuktikan, bahwa tikus umur 12 bulan

mengalami penurunan respon fisiologis yang mengarah terjadinya penyakit

Page 4: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

188 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

neurodegeneratif dan penuaan lebih nyata dibanding tikus dengan umur 6 bulan (Eddy,

2006; Sudatri, 2006).

Penuaan Otak yang Berkaitan dengan Penurunan Glutathion Intraseluler

Dari berbagai fakta membuktikan bahwa terjadinya berbagai macam penyakit

neurodegeneratif dan penuaan otak diakibatkan oleh adanya stres oksidatif. Stres

oksidatif yang terjadi pada otak ditandai dengan terjadinya perubahan struktur dan

fungsi neuron, sehingga neuron mengalami disfungsi bahkan dapat berakibat pada

kematian neuron tersebut. Penurunan sistem glutathion merupakan salah penyebab

terjadinya kedua kondisi tersebut.

Dibandingkan dengan organ-organ lain, otak merupakan organ yang mempunyai

fungsi sangat penting dan mempunyai resiko paling tinggi (endangered), berkaitan dengan

pembentukan dan detoksifikasi ROS. Sel-sel otak manusia mampu mengkonsumsi oksigen

20% dari kebutuhan oksigen seluruh tubuh meskipun organ ini hanya menempati 2%

dari total volume tubuh (Clarke and Sokoloff, 1999). Tingkat konsumsi oksigen yang

tinggi ini memungkinkan terbentuknya ROS dalam jumlah yang besar di dalam otak

selama berlangsungnya proses oksidasi-fosforilasi. Pernyataan lain menyebutkan,

kandungan ion besi yang tinggi di beberapa wilayah pada otak (Gerlach et al., 1994),

mampu mengkatalisis pembentukan ROS. Otak adalah organ yang mudah diserang

(vulnerable) oleh ROS, karena di dalam otak mengandung banyak lipid dengan asam-

asam lemak rantai panjang tidak jenuh, yang merupakan target utama peroksidasi lipid.

Bukti penelitian lain menyebutkan, ROS dapat menyerang protein dan asam-asam amino

intraseluler sel yang menyebabkan terjadinya deaktifasi, modifikasi dan terganggunya

proses metabolisme.

Semua asam amino pada protein sangat peka terhadap serangan oksidan dan

radikal bebas, termasuk glutathion dan asam-asam amino penyusunnya. Radikal-radikal

bebas akan menyerang asam-asam amino pada protein, sehingga protein akan mengalami

modifikasi secara struktural yang secara berurutan menyebabkan terjadinya agregasi,

crosslingking protein, degradasi atau fragmentasi protein yang pada akhirnya akan

menimbulkan gangguan terhadap sistem enzimatis atau aktivitas protein yang

dipengaruhi atau dengan kata lain menyebabkan gangguan fungsional dan metabolit

yang sangat komplek. Bukti lain menyatakan bahwa efek serangan radikal bebas terhadap

Page 5: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

189Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

protein, menyebabkan terbentuknya rantai reaksi radikal bebas yang menyebabkan

terjadinya gangguan homeostasis kalsium, kalium dan natrium (ketidakseimbangan ion-

ion antara bagian dalam dan luar sel) dan pengambilan glukosa. Munculnya berbagai

macam gangguan ini dapat menimbulkan efek yang merusak terhadap protein dan lipid

pada membran sel dan kondisi ini dapat menyebabkan modifikasi membran dan fungsi

seluler, dan akhirnya menyebabkan kematian atau nekrosis neuron otak.

Gangguan protein transport ion yang diperantarai oleh stres oksidatif dapat

terjadi pada protein transport ion Na+/K+-ATPase dan Ca2+-ATPase di mitokondria neuron.

Mitokondria adalah organel di dalam sel yang paling peka terhadap stres oksidatif,

karena organel ini mempunyai kebutuhan konsumsi oksigen yang sangat tinggi, selain

itu organel ini juga dikenal sebagai sumber penyedia radikal bebas secara terus menerus,

terutama di membran bagian dalam (inner membrane). Oleh sebab itu, terjadinya

gangguan pada organel ini secara otomatis akan mempercepat kematian sel. Stres

oksidatif yang diakibatkan oleh peningkatan ion kalsium intraseluler dapat terjadi

melalui 3 mekanisme, yaitu: (1) Meningkatnya ion kalsium intraseluler akan

meningkatkan aktivitas enzim fosfolipase yang selanjutnya akan meningkatkan

konsentrasi asam arakidonat dan produksi radikal bebas melalui metabolisme asam

lemak, (2) Meningkatnya ion kalsium intraseluler akan menyebabkan sistem transport

elektron dalam mitokondria terganggu, sehingga menimbulkan kebocoran elektron dan

menyebabkan terbentuknya radikal bebas anion ROS yang menimbulkan dampak

kerusakan terhadap sel yang lebih besar.

Terganggunya sistem enzimatis, aktivitas protein serta disfungsi mitokondria

oleh stres oksidatif secara otomatis menganggu sistem glutathion yang berperan sebagai

pertahanan terhadap radikal bebas atau ROS. Kondisi ini pada akhirnya dapat memicu

terjadinya munculnya tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan proses penuaan otak.

Bukti penelitian menyatakan bahwa hilangnya neurons pada otak orang dewasa

bukan akibat adanya pembentukan neurons yang baru. Otak mampu berfungsi sepanjang

hidup manusia, hal ini mengindikasikan adanya sistem antioksidan yang secara efektif

bekerja di dalam otak. Namun demikian, sangat dimungkinkan terjadinya gangguan

keseimbangan antara pembentukan ROS dan proses-proses antioksidatif untuk beberapa

kasus kekacauan neurologis. Bukti yang paling nyata adalah terjadinya perubahan

Page 6: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

190 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

orientasi metabolisme glutathion yang merupakan faktor utama yang memberi kontribusi

terjadinya patogenesis berbagai macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan. Adanya

keterlibatan gangguan sistem glutathion terhadap kekacauan neurologis telah dijelaskan

oleh Schulz et al., (2000). Penelitian lain menyatakan, menurunnya kemampuan fungsi

mitokondria memberi kontribusi terjadinya kekacauan neurologis (Cassarino and Bennet,

1999) dan hal ini berkaitan dengan konsentrasi glutathion dan radikal bebas nitrit

oksida (NO) (Heales et al., 1999).

Gambar 1. Skema neurotoksisitas yang diinduksi stres oksidatif

Penurunan glutathion seiring dengan bertambahnya umur telah diamati pada

sejumlah organisme yang mengalami penuaan (senescent), meliputi nyamuk, lalat rumah

dewasa, lalat buah, mencit, tikus dan manusia (Sohal and Weindruch, 1996). Konsentrasi

glutathion dalam cairan serebral spinal pada manusia menurun selama penuaan

(Cudkowicz et al., 1999). Kandungan glutathion yang tinggi berkaitan dengan panjangnya

masa hidup (Sohal and Weindruch, 1996). Sebuah penelitian telah membuktikan bahwa

glutathion akan menurun seiring dengan bertambahnya umur, dengan demikian kehadiran

glutathion merupakan faktor kunci dalam proses penuaan dan berkaitan dengan sejumlah

perubahan-perubahan yang terjadi dalam penuaan dan awal kejadian suatu penyakit

neurodegeneratif.

Page 7: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

191Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

Secara patologi, tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan penuaan adalah

berkurangnya jumlah neuron dopaminergik dalam bagian pars compacta substansia

nigra (substantia nigra pars compacta/SNpc), yang pada akhirnya menyebabkan kejadian

klinis mayor dan abnormalitas secara farmakologis. Penyebab berkurangnya jumlah

neurons SNpc belum diketahui. Namun demikian, patogenesis penyakit neurodegeneratif

dan penuaan diduga berkaitan dengan kejadian-kejadian morfologi dan biokimiawi.

Diduga penghambatan proses oksidasi- fosforilasi, eksitotoksisitas dan pembentukan

ROS merupakan mediator penting terjadinya kematian sel pada kedua kondisi ini (Beal,

1995).

Konsep yang menyatakan bahwa stres oksidatif yang terjadi dalam penyakit

neurodegeneratif dan penuaan berkaitan erat dengan metabolisme dopamin adalah

sebuah fakta yang benar. Melalui metabolisme dopamin, baik secara kimiawi atau

enzimatis dapat membentuk radikal-radikal bebas dan ROS. Auto-oksidasi dopamin pada

akhirnya menyebabkan pembentukan neuromelamin dan quinon/semiquionon serta ROS.

Oksidasi dopamin oleh reaksi enzimatis yang dikatalisis oleh monoamina oksidase

dapat menyebabkan pembentukan hidrogen peroksida (H2O2), deaminasi metabolit-

metabolit membentuk asam 3,4-dihidroksibensoat/3,4-dihydroxybenzoic acid (DOPAC)

dan asam homovanilat/homovanillic acid (HVA). Secara normal H2O

2 diaktivasi oleh

katalase atau glutathione peroksidase dalam reaksi dimana glutathion digunakan sebagai

kosubstrat. Katalase terdapat dalam peroksisom yang mempunyai fungsi dominan

detoksifikasi sitosolik, sedangkan glutathion peroksidase berfungsi untuk detoksifikasi

peroksida mitokondria. H2O

2 dapat bereaksi dengan Fe2+ dan mempunyai sifat reaktivitas

yang tinggi dan membentuk radikal hidroksil (OH) melalui reaksi Fenton. Berkurangnya

konsentrasi glutathion secara cepat disebabkan oleh menurunnya kemampuan neurons

dopamin yang merupakan kompensasi terjadinya pertukaran dopamin dengan

ditingkatkannya pembentukan H2O

2 dan kebutuhan terhadap sistem glutathion dalam

neuron yang masih tersisa. Hipotesis ini didukung oleh bukti penelitian yang menyatakan

bahwa meningkatnya pertukaran dopamin mempunyai keberkaitanan erat dengan

meningkatnya pembentukan glutathion bentuk oksidasi (GSSG) dan hal ini dapat dicegah

melalui penghambatan metabolisme dopamin. Berbagai macam biomolekul penting,

seperti lipid, protein dan DNA dapat dirusak oleh ROS, dengan cara demikian berpotensi

menyebabkan terjadinya neurodegenerasi.

Page 8: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

192 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Stres oksidatif diinisiasi oleh menurunnya sistem pertahanan oksidatif atau stres

oksidatif yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mungkin menurunkan konsentrasi

antioksidan. Perubahan kemampuan antioksidan pertahanan ini mendukung sebuah

hipotesis yang menyatakan bahwa stres oksidatif memegang peranan penting dalam

patofisiologi berbagai macam penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Perubahan

antioksidan yang mempunyai fungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap radikal bebas

atau ROS dapat dilihat dengan menurunnya konsentrasi glutathion.

Sebuah penelitian membuktikan, menurunnya konsentrasi total glutathion dalam

SNpc akan memicu terjadinya berbagai macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan

(Riederer et al., 1989). Penurunan glutathion dapat mencapai 30-40% dibanding kondisi

normal dan penurunan ini tidak mempunyai hubungan dengan peningkatan konsentrasi

GSSG atau glutathion dalam bentuk oksidasi (Sian et al., 1994; Sofic et al., 1992). Lebih

spesifik lagi, konsentrasi glutathion (GSH) tidak mengalami penurunan pada beberapa

wilayah otak lainnya pada orang yang menderita penyakit neurodegenerasi dan penuaan.

Marker biokimiawi yang menjadi faktor penting dan berubah selama terjadinya penyakit

ini adalah aktivitas complex I pada rantai transport elektron yang berkaitan dengan

berkurangnya konsentrasi total glutathion dalam sitosol dan atau mitokondria.

Gambar 2. Kejadian stres oksidatif yang terjadi secara cepat dalam patogenesisberbagai macam penyakit neurodegeneratif dan penuaan.

Penurunan konsentrasi glutathion dalam neuron dopaminergik dapat diamati

dengan metode imunohistokimia. Bagaimanapun, dalam sebagian besar wilayah otak,

glutathion terlokalisasi dalam glia (Philbert et al., 1991; Hjelle et al., 1994). Sebanyak

40% konsentrasi glutathion menurun dalam SNpc pada penyakit neurodegeneratif dan

Page 9: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

193Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

penuaan. Penurunan GSH ini diduga tidak hanya menurunkan neuron dopaminergik

yang hanya 1-2% dari total populasi sel, tetapi juga sel glial. Penurunan GSH glial

merupakan faktor yang sangat menentukan keberlanjutan hidup neuron dopaminergik

dalam medium kultur (McNaught and Jenner, 1999; Mytilineou et al., 1999). Penurunan

GSH lebih disebabkan karena glial memproduksi NO dan sitokin atau tidak tersedianya

suplai prekursor GSH untuk neuron oleh astrosit (Dringen et al., 2000).

Gambar 3. Hipotesis mekanisme GSH dan metabolit GSH dalam neurons dopaminergik.

Pengetahuan tentang patogenesis berbagai macam penyakit neurodegeneratif

dan penuaan diperoleh melalui eksperimen menggunakan neurotoksin 1-methyl-4-phenyl-

1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP). Produk MPTP secara klinis bersifat irreversible, secara

biokimiawi dan neuropatologis pengaruhnya berhubungan erat dengan terjadinya

idiopati pada penyakit neurodegeneratif dan penuaan (Bloem et al, 1990). MPTP

dimetabolisasi menjadi 1-methyl-4-phenylpyridinium (MPP+) oleh enzim monoamina

oksidase B. MPP+ secara bertahap dan selektif dibawa menuju bagian terminal

dopaminergik, kemudian dikonsentrasikan dalam mitokondria neuron dalam substansia

nigra. MPP+ berikatan dengan dan menghambat complex I pada rantai transport elektron

mitokondria (Tipton and Singer, 1993), dengan cara demikian menghasilkan kerusakan

biokimiawi dan hal ini dideteksi pada penyakit neurodegeneratif dan penuaan.

Eksperimen terinduksipada hewan kronis penurunan konsentrasi GSH dalam otak

tidak menyebabkan secara langsung terjadinya penurunan viabilitas neuron dopaminergik

dalam SNpc atau penurunan pada sejumlah dopaminergic terminals dalam striatum,

Page 10: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

194 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

tetapi keberadaan GSH meningkatkan kepekaan atau sensitifitas neuron dopaminergik

terhadap neurotoksin yang spesifik. Tingkat penurunan konsentrasi dopamin striatum

dan berkurangnya enzim tirosin hidroksilase dalam substansia nigra serta jumlah sel-

sel yang memberi respons imuns disebabkan oleh 6-hydroxydopamine (6-OHDA) atau

MPTP/MPP+ yang konsentrasinya semakin meningkat seiring dengan berkurangnya

konsentrasi total GSH akibat pemberian buthionine sulfoximine (BSO) (Pileblad et al.,

1989; Wu Ilner et al., 1996). Pentingnya sistem GSH berkaitan dengan MPTP yang bersifat

toksik dapat diketahui dengan membuat perlakuan defisiensi glutathion peroksidase

pada mencit (Klivenyi et al., 2000). Melalui percobaan pada mencit, pemberian MPTP

menyebabkan penurunan konsentrasi dopamin dalam jumlah yang besar, DOPAC dan

HVA dibanding pada mencit kontrol. Berkurangnya eksitotoksik akan menginduksi

aktivitas glutathion peroksidase dalam mikroglia.

Penjelasan tentang sebab terjadinya penurunan konsentrasi total GSH dalam

penyakit neurodegenerasi dan penuaan masih belum lengkap. Kondisi ini tidak berkaitan

dengan GSSG, maka penjelasan yang lebih dekat adalah dugaan yang berkaitan dengan

stres oksidatif.

Penyakit neurodegenerasi dan penuaan terlihat adanya peningkatan aktivitas γ-

glutamyltranspeptidase (γGT) (Sian et al., 1994). γGT adalah ektoenzim membran yang

mengkatalisis transfer γ-glutamyl moiety dari GSH atau glutathion konjugat ke dalam

molekul aseptor (Dringen et al., 2000). GSH ekstraseluler berfungsi sebagai substrat

untuk ektoenzim γGT astroglial. Produk reaksi γGT, dipeptida cysteinylglycine dihidrolisis

menjadi sistein dan glisin yang dapat diambil dan digunakan oleh neuron dalam sintesis

GSH (Gambar 3 kiri). Neuron tidak dapat mengambil GSH secara langsung sehingga

meningkatnya aktivitas γGT diduga merupakan kompensasi adanya peningkatan regulasi

dalam rangka menyediakan prekursor dipeptida untuk neuron untuk membentuk GSH

yang lebih banyak lagi. Pelepasan GSH dari nigral glial dan terjadinya peningkatan

aktivitas ãGT diduga menginisiasi tahapan dalam patogenesis penyakit neurodegenerasi

dan penuaan (Gambar 3 kanan). Jika sistein tidak digunakan untuk sintesis GSH, sistein

akan bereaksi dengan dopamine-o-quinon (oksidasi no-enzimatik pada dopamin) untuk

membentuk 5-S-cysteinildopamine (Spencer et al., 1998). Dalam substansia nigra pada

orang penderita penyakit neurodegenerasi dan penuaan, ditemukan sistein pada 3,4-

Page 11: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

195Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

dihydroxyphenylalanine (L-Dopa), dopamine dan DOPAC yang meningkat dibandingkan

dengan kontrol. Konjugat-konjugat ini secara berurutan dikonversi menjadi turunan

dihydrobenzothiazine yang mempunyai sifat sitotoksik yang tinggi yang diduga beraksi

sebagai inhibitor complex I yang bersifat irreversible (Zhang and Dryhurst, 1994; Shen and

Dryhurst, 1996; Lie and Dryhurst, 1997).

Glutathion transferase adalah enzim detoksifikasi yang mempunyai dua fungsi

yang dilibatkan dalam metabolisme pestisida dan toksin-toksin lainnya. Glutathion

transferase adalah antioksidan yang bersifat aktif dan secara langsung dilibatkan dalam

metabolisme dopamin. Aktivitas glutathion transferase terlihat normal dalam otak

penderita penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Meskipun tidak ada keberkaitanan

antara idiopati penyakit neurodegeneratif dan penuaan dan polimorfisme glutathion

transferase, distribusi genotif glutathion transferase I berbeda secara signifikan antara

penderita penyakit neurodegeneratif dan penuaan dengan kontrol yang didedahkan

dengan menggunakan pestisida (senyawa neurotoksin) (Menegon et al., 1998).

Penemuan lain menemukan bukti yang sama bahwa penyakit neurodegeneratif

dan penuaan berhubungan erat dengan kerusakan sistem oksidasi-fosforilasi, yaitu

terjadinya penurunan aktivitas complex I pada rantai transport elektron dalam substansia

nigra (Schulz and Beal, 1994). Penurunan konsentrasi GSH diketahui merupakan awal

terjadinya kerusakan sistem oksidasi-fosforilasi dan sebaliknya peningkatan GSH akan

meningkatkan fungsi sistem oksidasi-fosforilasi. Penelitian pada pasien yang menderita

Lewy body disease membuktikan bahwa menurunnya konsentrasi GSH merupakan awal

munculnya gangguan sistem oksidasi-fosforilasi (Gambar 2) (Dexter et al., 1994).

Berkurangnya konsentrasi total GSH mitokondria (bukan GSH sitosolik) dalam sel-sel

line PC12 mengakibatkan pembentukan ROS dan terhambatnya sistem oksidasi-

fosforilasi (Seyfried et al., 1999). Selanjutnya, penghambatan compelex I menggunakan

MPP+/tidak menghasilkan pembentukan ROS secara langsung tetapi berpengaruh

terhadap homeostasis GSH (Seyfried et al., 2000). Sebaliknya, berkurangnya konsentrasi

total GSH oleh BSO menghasilkan peningkatan ukuran dan degenerasi mitokondria pada

tikus neonatal (Jain et al., 1991) dan menurunkan aktivitas complex I dan IV pada tikus-

tikus yang telah disapih (weaning rats). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa

terjadinya patogenesis pada beberapa penyakit neurodegenerative dan penuaan

Page 12: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

196 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

disebabkan oleh gangguan primer, yaitu gangguan homeostasis GSH dan gangguan

sekunder, yaitu penghambatan sistem oksidasi-fosforilasi.

Sumber ROS Intraseluler

Secara umum ROS dapat ditemukan dalam semua sistem biologis organisme.

ROS mempunyai karakteristik yang berbeda untuk setiap tempat pembentukannya, baik

fungsi fisiologis, reaktivitas maupun waktu paruh biologis (biological half-life).

Mitokondria, nitrit oksida sintetase, metabolisme asam arakidonat, xantin oksidase,

monoamina oksidase dan enzim-enzim P450 adalah sumber ROS di dalam otak. Laju

metabolik yang tinggi dalam neuron, mengindikasikan produksi ROS basal yang tinggi.

Pada sisi lain sel-sel otak yang sehat memiliki enzim-enzim dan molekul-molekul kecil

antioksidan dengan konsentrasi yang tinggi yang berfungsi sebagai pertahanan. Enzim-

enzim tersebut meliputi Cu, Zn-superoksida dismutase, Mn-superoksida dismutase, GSH

peroksidase dan katalase, selain itu juga molekul-molekul kecil, seperti glutathion, asam

askorbat, vitamin E dan sejumlah flavonoid yang berasal dari makanan. Dalam kondisi

fisiologis yang normal, sel mempunyai kemampuan untuk mengatasi efek rantai reaksi

radikal bebas dari ROS. Dalam kondisi stres oksidatif berbagai macam antioksidan

yang berfungsi sebagai pertahanan selalu menjaga keseimbangan ROS agar selalu di

bawah ambang batas toksik. Hal ini untuk menghindari produksi ROS yang berlebihan,

yang sekaligus dapat menimbulkan konsekuensi terjadinya penurunan kandungan

antioksidan itu sendiri.

ROS dibentuk secara terus - menerus selama metabolisme oksidatif. ROS meliputi

molekul-molekul anorganik, seperti radikal anion superoksida, hidrogen peroksida (H2O

2)

dan radikal-radikal hidroksil, selain itu juga molekul-molekul organik, seperti alkoksil

dan radikal peroksil. Dalam usaha untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh

ROS, seperti kerusakan strand DNA, peroksidasi lipid dan modifikasi protein, mekanisme

yang telah berkembang selama evolusi adalah dengan menghilangkan (dispose) atau

mencegah pembentukan ROS. Sebagai contoh, pemindahan H2O

2 dan superoksida,

mencegah pembentukan radikal-radikal hidroksil yang mempunyai reaktivitas yang tinggi,

yang dibentuk oleh reaksi Fenton yang dikatalisis besi (ion Fe) atau oleh reaksi Haber-

Page 13: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

197Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

Weiss (Halliwell and Gutteridge, 1999). Peningkatan produksi ROS dan atau menurunnya

kapasitas antioksidatif pada sel-sel menyebabkan stres oksidatif yang dapat menekan

fungsi penting seluler.

Stres Oksidatif dan Bentuk Kematian Sel Neuron

Menurunnya glutathion dan terjadinya kerusakan oksidatif merupakan bukti awal

yang diduga memicu terjadinya pensignalan kematian sel yang berupa apoptosis. Dalam

sel-sel timus, penurunan glutathion dan gangguan potensial transmembran mitokondria

merupakan kejadian awal yang memicu apoptosis. Penelitian secara in vitro menyatakan,

menurunnya glutathion secara cepat ditemukan dalam sel-sel FL5.12 yang mengalami

apoptosis yang diinduksi oleh IL3 (interleukin-3) dan protein Fas.

Sebuah bukti penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa berkurangnya

konsentrasi glutathion menyebabkan kematian sel (Li et al., 1997). Dengan menggunakan

neuron kortek yang belum matang fungsional (immature) dan sel-sel line neuron, beberapa

peneliti telah membuktikan bahwa menurunnya konsentrasi glutathion dapat memicu

pengaktifan 12-lipoksigenase neuron yang menyebabkan terjadinya produksi peroksida,

influk Ca2+ dan secara cepat menimbulkan kematian sel. Dengan menggunakan neuron

serebelum bergranula dan sel-sel PC12, mereka juga membuktikan bahwa meningkatnya

ROS dapat menyebabkan efek secara langsung terhadap penurunan konsentrasi

glutathion dalam sitoplasma dan mitokondria secara cepat. Peningkatan ROS juga

menyebabkan gangguan potensial transmembran mitokondria dan menurunnya fungsi

mitokondria secara cepat (Wu Ilner et al., 1999; Seyfried et al., 1999). Kondisi sebaliknya

menunjukkan, selama penghambatan sintesis glutathion, glutathion dalam mitokondria

secara relatif dipertahankan, tidak ada ROS yang terdeteksi dan potensial transmembran

mitokondria tidak berubah. Meskipun kematian sel dapat dihambat atau diblokir melalui

sintesis protein inhibitor, sebuah bukti menunjukkan bahwa terjadinya kematian pada

sel-sel yang aktif tidak menunjukkan ciri-ciri apoptosis, dan hal ini mengindikasikan

bahwa meskipun terjadi penurunan glutathion seperti yang telah dilaporkan dalam

sejumlah pandangan tentang kematian sel secara apoptosis, penurunan glutathion belum

tentu mengakibatkan terjadinya kematian sel secara apoptosis.

Page 14: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

198 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Gambar 4. Keseimbangan pembentukan ROS dan sistem antioksidatif

Potensi Antioksidan Glutathion

Dringen et al., (2000) membuktikan tentang potensi antioksidan glutathion yang

mampu mendetoksifikasi radikal bebas atau ROS, terutama yang berkaitan dengan

metabolisme yang terjadi dalam sel-sel astrosit dan neuron dalam otak. Penelitian ini

membuktikan keterkaitan stres oksidatif dengan antioksidan glutathion dalam proses

penuaan dan patogenesis pada beberapa penyakit neurodegeneratif, seperti penyakit

Parkinson, Huntington, sklerosis amiotrofik lateral, hereditary spastic paraplegia dan

degenerasi. Bukti adanya disfungsi metabolisme glutathion dan disfungsi mitokondria

berdasarkan pada uji terhadap hewan yang telah dimatikan (post mortem examinations)

dan kultur sel atau jaringan otak hewan tersebut.

Bukti penelitian lainnya menyebutkan bahwa GSH analog YM 737 dapat

memproteksi efek iskhemia yang terjadi pada serebrum tikus dengan menghambat

terjadinya peroksidasi lipid (Yamamoto et al., 1993). Dringen et al., (2000) menyatakan,

sintesis glutathion dalam neuron dibatasi oleh ketersediaan sistein, oleh sebab itu

pemberian senyawa-senyawa yang dapat dimetabolisasi menjadi sistein dapat

digunakan sebagai pro-obat (pro-drugs) untuk meningkatkan konsentrasi GSH neuron

otak. Perlakuan dengan prekursor glutathione N-acetyl-L-cysteine dapat menurunkan secara

signifikan kehilangan neuron motorik dan meningkatkan konsentrasi glutathion

peroksidase dalam cervical spinal cord (Henderson et al., 1996). Perlakuan dengan L-2-

oxothiazolidine-4-carboxylate sebagai prekursor GSH (Dringen and Hamprecht, 1999) juga

dapat meningkatkan GSH. Selain itu, GSH dalam otak dapat ditingkatkan pula dengan

Page 15: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

199Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

pemberian dipeptida γ-glutamylcysteine secara intraserebroventrikular (Pileblad and

Magnusson, 1992). Hasil berbagai penelitian tersebut membuktikan bahwa neuron otak

mampu menyediakan γ-glutamylcysteine atau cysteinilglycine untuk sintesis GSH.

Metabolisme dan Fungsi Glutathion

Glutathion adalah salah satu antioksidan seluler yang dominan, jumlahnya

melimpah dalam sitoplasma, nukleus dan mitokondria. Selain berfungsi sebagai

antioksidan, glutathion juga mempunyai beberapa fungsi lainnya, yaitu: (a) sebagai

antitoksin, yang mengeliminasi sejumlah xenobiotik dan senyawa-senyawa karsinogenik

dari dalam tubuh; (b) berkaitan dengan fungsi imun yang dimediasi sel; (c) berperan

penting dalam memelihara integritas sel darah merah; dan (d) Berkaitan dengan penuaan

seluler, defisiensi sistem glutathione akan menyebabkan secara signifikan terjadinya

apoptosis (cellular aging) dan merupakan awal terjadinya penurunan derajat kesehatan

(morbiditas).

Glutathion disintesis secara beurutan oleh reaksi biokimia yang memerlukan

ATP, magnesium dan tiga asam amino, yaitu sistein, glutamat dan glisin. Pada umumnya,

laju sintesis gamma-glutamylcysteine menentukan laju sintesis glutathion. Sistein

(sulfhydryl group/-SH) mempunyai potensi biologis yang lebih penting dalam membentuk

glutathion dibanding glutamat dan glisin. Untuk mengkaji fungsi antioksidan seluler,

sistein dan glutathion merupakan antioksidan endogen yang menentukan berkaitan

dengan fungsi seluler.

Tripeptida glutathion (GSH; γ-L-glutamyl-L-cysteinyl-glycine) yang paling banyak

dijumpai dalam kondisi melimpah dalam sel mamalia adalah bentuk thiol dengan

konsentrasi lebih dari 12 mM (Cooper, 1997). GSH disintesis secara in vivo oleh aksi

berurutan (consecutive) pada dua enzim. γ-Glutamycysteine synthetase (γ-GluCys)

menggunakan glutamat dan sistein sebagai substrat dan membentuk dipeptida γ-GluCys,

yang kemudian dipeptida ini dikombinasikan dengan glisin dalam reaksi yang dikatalisis

oleh glutathion sintetase membentuk glutathion (GSH). ATP merupakan sebagai kosubstrat

untuk dua enzim ini. Keseimbangan sintesis seluler dan konsumsi GSH diregulasi oleh

mekanisme umpan balik penghambatan (feed back inhibition) pada reaksi γ-GluCys

sintetase dengan produk akhir GSH (Richman and Meister, 1975).

Page 16: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

200 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

GSH mempunyai fungsi penting sebagai antioksidan, yang memindahkan dan

menyimpan bentuk sistein dalam reaksi yang berkaitan dengan detoksifikasi xenobiotik

dan kofaktor dalam reaksi isomerisasi (Cooper, 1997; Meister and Anderson, 1983).

Bukti lain menjelaskan, GSH memelihara potensi reaksi redoks thiol dalam sel untuk

menyimpan gugus sulfidril pada protein sitosol dalam bentuk reduksi. Penelitian akhir-

akhir ini telah membuktikan bahwa GSH juga berperan peranan penting dalam regulasi

apoptosis (Hall, 1999).

Sistem glutathion sangat penting untuk pertahanan seluler terhadap ROS. GSH

bereaksi secara langsung dengan radikal-radikal dalam reaksi-reaksi enzimatik dan

donor elektron dalam reduksi peroksida yang dikatalisis oleh GPx (Gambar 5). Produk

oksidasi GSH adalah glutathion disulfida (GSSG) atau glutathion bentuk oksidasi. GSH

dibentuk dari GSSG dalam sel oleh reaksi yang dikatalisis oleh flavoenzim glutathion

reduktase (GR). Enzim ini membentuk kembali GSH dengan pentransferan reduksi yang

ekuivalen dari NADPH menjadi GSSG (Gambar 5).

Gambar 5. Fungsi GSH sebagai antioksidan. Reaksi GSH non-enzimatik dengan radikal-radikal bebas (R.) dan reaksi donor elektron untuk reduksi peroksida (ROOH)dalam reaksi yang dikatalisis oleh GPx. GSH dibentuk kembali dari GSSGoleh glutathion reduktase yang menggunakan NADPH sebagai kofaktor.

Selama reaksi yang dikatalisis oleh GPx dan glutathion reduktase, glutathion

akan dibentuk secara berulang. Sebaliknya, GSH dikonsumsi selama pembentukan

glutathion-S-konjugat oleh glutathion transferase (Salinas and Wong, 1999) atau dengan

pelepasan glutathion dari sel (Akerboom and Sies, 1990; Kaplowitz et al., 1996). Dua

proses tersebut menyebabkan total glutathion intraseluler lebih rendah. Selanjutnya,

dalam memelihara kestabilan konsentrasi GSH intraseluler, GSH yang dikonsumsi akan

Page 17: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

201Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

diganti dengan resintesis asam-asam amino penyusun GSH. GSH ekstraseluler dan GSH

konjugat adalah substrat untuk ektoenzim γ-glutamyl transpeptidase (ãGT). Enzim ini

mengkatalisis transfer γ-glutamyl moiety dari GSH atau glutathion konjugat ke dalam

aseptor molekul (Gambar 6). Produk-produk senyawa γ-glutamyl adalah dipeptida

sisteinil-glisin (CysGly) atau CysGly konjugat (Taniguchi and Ikeda, 1998). Peptida-peptida

menghidrolisis CysGly menjadi sistein dan glisin. Asam-asam amino ini secara berurutan

dapat berfungsi kembali sebagai substrat untuk sintesis GSH seluler (Gambar 6).

Gambar 6. Metabolisme glutathion (GSH)

Metabolisme Glutathion pada Astrosit dan Neuron

Berbagai bukti penelitian telah menunjukkan adanya glutathion yang terkandung

pada beberapa wilayah otak, lokalisasi GSH dalam otak dan enzim-enzim yang terlibat

dalam metabolisme glutathion (Dringen, 2000). Astrosit diketahui mengandung sejumlah

besar GSH dengan konsentrasi lebih tinggi daripada neuron, baik dalam kondisi in vivo

maupun dalam kultur in vitro.

Kandungan GSH dalam sel-sel astrosit yang dikultur dapat dimodulasi oleh

berbagai macam perlakuan. Sebagai contoh, kandungan GSH akan menurun secara cepat

apabila sintesis GSH dihambat oleh buthionine sulfoximine atau jika sel-sel diinkubasi

dalam kehadiran reagen seperti dimethyle maleate atau ethacrynic acid, yang bereaksi

dengan gugus thiol pada GSH. Sebaliknya, kandungan GSH meningkat setelah perlakuan

prekursor GSH (Dringen, 2000). Menurunnya konsentrasi GSH sebagai akibat proses

katabolisme akan diikuti oleh proses anabolisme yaitu sintesis GSH kembali dengan

menggunakan asam-asam amino prekursor GSH yang spesifik, seperti sistein, glutamat

dan glisin. Berbagai macam asam-asam amino eksogen, senyawa-senyawa yang

mengandung sulfur dan peptida-peptida dapat digunakan sebagai prekursor dalam kultur

astrosit untuk sintesis GSH (Dringen and Hamprecht, 1998). Prekursor eksogen sistein

Page 18: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

202 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

yang penting untuk sintesis GSH dalam sel-sel astrosit adalah asam amino sistin (Kranich

et al., 1998). Asam-asam amino ini dipindahkan melintasi membran sel astrosit dan

berubah menjadi bentuk glutamat melalui sistem transport X-C (Cho and Bannai, 1990).

Sel-sel astrosit yang dikultur melepas GSH (Yudkoff et al., 1990, Dringen et al.,

1997) yang digunakan sebagai substrat untuk ektoenzim γGT. Dalam 1 jam, sel-sel astrosit

tersebut melepaskan kurang lebih 10% glutathion intraselulernya (Dringen et al., 1997).

Secara simultan, GSH diresintesis kembali sebagai kompensasi terhadap GSH yang

dilepas dalam usaha untuk memelihara kestabilan konsentrasi GSH seluler. Pelepasan

GSH dari sel-sel astrosit ini secara kuantitatif merupakan proses yang sangat penting

yang mengkonsumsi/memakai GSH intraseluler. Laju pelepasan GSH dari sel-sel astrosit

tergantung pada konsentrasi GSH intraseluler, mengikuti hukum kinetika Michaelis-

Menten (Sagara et al., 1996). GSH ekstraseluler berfungsi sebagai substrat untuk ektoenzim

γGT sel-sel astrosit (Dringen et al., 1997). Dipeptida CysGly, produk pada reaksi γGT,

digunakan kembali oleh sel-sel astrosit yang dikultur untuk sintesis GSH. Peptida

transporter (PepT2) diekspresikan dalam sel-sel astrosit yang dikultur dan memberi

respons untuk pengambilan CysGly (Dringen et al., 1998). Setelah hidrolisis intraseluler

CysGly, sistein dan glisin dibentuk dan berfungsi sebagai substrat untuk sintesis

glutathion dalam sel-sel astrosit (Dringen et al., 1997).

Dalam kultur neuron, kandungan sistein dan prekursor sistein dalam medium

sangat menentukan kandungan GSH dalam neuron (Kranich et al., 1996; Sagara et al.,

1993). Oleh karena itu, sistein dan prekursor sistein merupakan faktor pembatas yang

paling utama untuk sintesis glutathion dalam neuron. Neuron otak mampu menggunakan

sistein donor CysGly, γGluCys dan N-acetylcysteine sebagai prekursor untuk GSH (Dringen

et al., 1999; Dringen and Hamprecht, 1997).

Sejumlah prekursor eksogen GSH neuron, dipeptida CysGly merupakan salah satu

prekursor yang sangat penting karena prekursor ini dibentuk dari GSH ekstraseluler

dalam reaksi γGT. Konsentrasi CysGly dalam mikromolar sangat efisien tersedia dalam

neuron. Konsentrasi CysGly menyebabkan waktu paruh maksimal (half-maximal) GSH

yang terkandung dalam neuron lebih rendah daripada sel-sel astrosit, hal ini

mengindikasikan bahwa neuron lebih efisien dalam menggunakan peptida daripada

sel-sel astrosit. Pengambilan peptida ke dalam neuron seperti yang terjadi pada sel-sel

Page 19: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

203Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

astrosit dengan menggunakan peptida transporter. Dalam neuron, peptida akan

dihidrolisis oleh ektopeptidase neuron menghasilkan asam amino, yang secara berurutan

akan diambil sebagai prekursor untuk sintesis GSH. Bukti penelitian melaporkan bahwa

ektopeptidase neuron dilibatkan dalam penyediaan CysGly neuron. Sistein dan glisin

dibebaskan oleh hidrolisis pada CysGly dan berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis

GSH neuron. Asam-asam amino ini diambil dan dimasukkan ke dalam sel-sel otak melalui

proses transport yang tergantung sodium (Cho and Bannai, 1990; Holopainen and Kontro,

1989; Sagara et al., 1993).

Glutathion dan Detoksifikasi Radikal Bebas pada Astrosit dan Neuron

Sel-sel astrosit yang dikultur membuang keluar H2O2 (Desagher et al., 1996; Dringen

and Hamprecht, 1997) dan hidroperoksida organik seperti tertiary butyl hydroperoxide

atau cumene hydroperoxide dengan sangat efisien. Peroksida-peroksida ini adalah

substrat untuk enzim GPx. Berkaitan dengan hal tersebut, kecepatan oksidasi pada GSH

telah diketahui setelah perlakuan peroksida tersebut terhadap sel-sel astrosit yang

dikultur. Penghambatan katalase, yaitu enzim seluler kedua yang dilibatkan dalam

pembuangan H2O

2 akan menyebabkan penurunan laju penghilangan H

2O

2 sepanjang sistem

glutathion dalam astrosit tidak terlibat didalamnya. Dan sebaliknya, penghambatan

enzim katalase dan GPx secara kuat akan menurunkan kemampuan sel-sel astrosit untuk

membuang H2O

2. Penemuan ini membuktikan bahwa sistem glutathion pada sel-sel

astrosit yang dikultur dapat berfungsi sebagai pengganti fungsi katalase dalam

menghilangkan/membersihkan H2O

2. Katalase tidak dapat menerima hidroperoksida

organik sebagai substrat. Selanjutnya, sistem glutathion mampu merespons dan berperan

secara cepat pada pembuangan hidroperoksida organik dalam sel-sel astrosit yang

dikultur (Dringen et al., 1998; Kussmaul et al., 1999).

Neuron yang dikultur mampu membuang keluar H2O

2. Bukti penelitian ini

memperlihatkan bahwa pertahanan neuron terhadap H2O

2 dimediasi, terutama oleh

sistem glutathion. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberian H2O

2 ke neuron menyebabkan

oksidasi GSH secara cepat. Pemindahan peroksida akan diikuti regenerasi atau

pembentukan GSSG dari GSH secara sempurna. Nampaknya sel-sel astrosit yang dikultur

mempunyai kapasitas yang lebih tinggi daripada neuron untuk detoksifikasi H2O

2

Page 20: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

204 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

(Desagher et al., 1996; Dringen et al., 1999). Baik sel-sel astrosit atau neuron pada otak

mempunyai persamaan kemampuan untuk mendetoksifikasi hidrogen peroksida (H2O2)

eksogen. Dengan demikian, kecepatan penghilangan/pembersihan H2O2 oleh GPx dan

katalase neuron adalah sangat penting dan kondisi ini sangat berbeda dengan sel-sel

astrosit. Sistem glutathion dalam neuron secara fungsional tidak dapat melakukan

kompensasi seiring dengan menurunnya reaksi katalase (Dringen et al., 1999). Efisiensi

sistem glutathion neuron pada detoksifikasi peroksida (organic peroxide cumene) lebih

rendah daripada yang terdapat pada sel-sel astrosit.

Interaksi antara Astrosit dan Neuron dalam Metabolisme Glutathion dan Pertahanan

terhadap Radikal Bebas

Secara in vivo sel-sel otak mempunyai jenis yang berbeda-beda, tetapi sel-sel

tersebut mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Dalam proses pertumbuhan,

sel-sel astrosit dan neuron secara intensif berperan dalam perubahan proses metabolik.

Demikian halnya dengan interaksi yang berkaitan dengan homeostasis glutathion dan

proteksi otak terhadap stres oksidatif.

Dalam medium kokultur, astrosit akan mendukung jenis sel-sel lain dalam

kaitannya sebagai fungsi pertahanan terhadap ROS. Kehadiran sel-sel astrosit dalam

neuron akan membantu proteksi neuron terhadap toksisitas yang diinduksi oleh ROS

pada berbagai macam senyawa dan perlakuan. H2O

2 merupakan peroksida yang dibentuk

dalam jumlah yang tinggi dalam otak, proteksi oleh astrosit pada neuron terhadap

toksisitas yang disebabkan oleh H2O

2 tampaknya merupakan hal yang sangat penting

(Desagher et al., 1996; Langeveled et al., 1995). Dalam medium kokultur, neuron diproteksi

terhadap toksisitas H2O

2 oleh sel-sel astrosit dengan rasio 1 sel astrosit untuk 20 neuron

(Desagher et al., 1996). Neuron dalam kultur menjadi dirusak oleh ROS ekstraseluler dan

keberadaan ROS ini akan didetoksifikasi oleh sel-sel astrosit. GSH penting untuk fungsi

ini karena efek protektif sel-sel astrosit menjadi berkurang (diminish) ketika sel-sel ini

mengandung konsentrasi GSH yang rendah (Drukarch et al., 1997).

Interaksi metabolik antara sel-sel astrosit dan neuron akan berfungsiuntuk GSH

Ketersediaan sistein sangat menentukan kandungan GSH neuron. Jika neuron yang dikultur

terdapat sel astrosit, kandungan GSH neuron akan meningkat secara. Hal ini

Page 21: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

205Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

mengindikasikan bahwa sel-sel astrosit, prekursor sistein disediakan dari sel-sel astrosit

untuk neuron dalam rangka meningkatkan sintesis GSH neuron. Dipeptida CysGly, yang

dibentuk dari GSH ekstraseluler oleh reaksi γ GT, tersedia secara efisien dalam

konsentrasi mikromolar sebagai prekursor untuk GSH neuron (Dringen et al., 1999).

Penghambatan γGT dapat dicegah secara total oleh pengaruh yang diinduksi astrosit

terhadap kandungan GSH neuron yang membuktikan bahwa CysGly sangat mungkin

sebagai prekursor GSH yang disediakan oleh sel-sel astrosit untuk neuron.

Gambar 7 memperlihatkan sebuah hipotesis tentang interaksi metabolik antara

sel-sel astrosit dengan neuron terkait metabolisme glutathion. Pelepasan glutamin oleh

sel-sel astrosit (Hertz et al., 1999) dan pembentukan CysGly ekstraseluler dari GSH, sel-

sel astrosit menyediakan bagi neuron semua asam amino yang merupakan bagian dari

GSH. Dalam hipotesis ini menyatakan adanya keterlibatan metabolisme glutathion antara

sel-sel astrosit dengan neuron.

Gambar 7. Skema yang membuktikan adanya interaksi antara sel-sel astrosit denganneuron dalam metabolisme GSH.

Dalam kondisi hipoksia, pemberian larutan sistein secara superfusion akan

sangat berpengaruh dalam mencegah kehadiran γGT-inhibitor activin. Setelah

mikroinfusion 1-methyl-4-phenylpyridinium ke dalam otak tikus @ > 1000 kali lipat dalam

waktu sebentar meningkatkan konsentrasi GSH dalam penentuan dengan mikrodialisis

yang diikuti dengan meningkatnya konsentrasi sistein ekstraseluler. Laju penurunan

GSH secara berurutan akan meningkatkan konsentrasi sistein secara kuat yang

dipengaruhi oleh penghambatan γGT (Han et al., 1999). Bukti data ini menjelaskan bahwa

Page 22: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

206 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

sistein dibentuk dari GSH ekstraseluler dengan reaksi secara bertahap pada γGT dan

dipeptidase.

KESIMPULAN

Antioksidan glutathion mempunyai kemampuan mendetoksifikasi radikal bebas

atau ROS, terutama yang berkaitan dengan metabolisme yang terjadi dalam sel-sel astrosit

dan neuron dalam otak. Sel astrosit dan neuron dalam otak secara kuat mempengaruhi

satu sama lain berkenaan dengan metabolisme GSH dan pertahanan terhadap ROS. Sel-

sel astrosit berperan penting dalam pertahanan otak terhadap ROS dan secara khusus

berkaitan dengan fungsi metabolisme glutathion. Sistem glutathion yang dimiliki oleh

astrosit dapat berkontribusi terhadap pertahanan otak dan meningkatkan sistem proteksi

neuron terhadap efek ROS, sehingga dapat menghambat neurodegenerasi dan penuaan

otak.

DAFTAR PUSTAKA

Akerboom, T. and Sies, H., 1990, Glutathione transport and its significance in oxidativestress, In Glutathione: Metabolism and Physiological Functions (Vina, J., ed.), pp.45±55. CRC Press, Boca Raton, FL.

Beal, M.F., 1995, Aging, energy and oxidative stress in neurodegenerative diseases, Ann.Neurol, 38, 357±366.

Bloem, B.R., Irwin, I., Buruma, O.J.S., Haan, J., Roos, R.A.C., Tetrud, J.W. and Langston, J.W. ,1990, The MPTP model: versatile contributions to the treatment, J. Neurol. Sci. 97,273±293.

Cassarino, D.S. and Bennet, J.P. Jr., 1999, An evaluation of the role of mitochondria inneurodegenerative diseases: mitochondrial mutations and oxidative pathology,protective nuclear responses, and cell death in neurodegeneration, Brain Res. Rev.29, 1±25.

Cho, Y. and Bannai, S., 1990, Uptake of glutamate and cysteine in C-6 glioma cells andcultured astrocytes, J. Neurochem, 55, 2091±2097.

Clarke, D.D. and Sokoloff, L., 1999, Circulation and energy metabolism of the brain. In BasicNeurochemistry: Molecular, Cellular and Medical Aspects (Siegel, G.J., Agranoff, B.W.,Albers, R.W., Fisher, S.K. & Uhler, M.D., eds), pp. 637±669, Lippincott-Raven,Philadelphia.

Cooper, A.J.L., 1997, Glutathione in the brain: disorders of glutathione metabolism. In TheMolecular and Genetic Basis of Neurological Disease (Rosenberg, R.N., Prusiner,S.B., DiMauro, S., Barchi, R.L. & Kunk, L.M., eds), pp. 1195±1230, Butterworth-Heinemann, Boston.

Page 23: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

207Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

Cudkowicz, M.E., Sexton, P.M., Ellis, T., Hayden, D.L., Gwilt, P.R., Whalen, J. and Brown, R.H.Jr., 1999,The pharmacokinetics and pharmaco-dynamics of procysteine inamyotrophic lateral sclerosis, Neurology 52, 1492±1494.

Desagher, S., Glowinski, J. and Premont, J., 1996, Astrocytes protect neurons from hydrogenperoxide toxicity, J. Neurosci, 16, 2553±2562.

Dexter, D.T., Sian, J., Rose, S., Hindmarsh, J.G., Mann, V.M., Cooper, J.M., Wells, F.R., Daniel,S.E., Lees, A.J., Schapira, A.H., Jenner, P. and Marsden, C.D., 1994, Indices of oxidativestress and mitochondrial function in individuals with incidental Lewy bodydisease, Ann. Neurol, 35, 38±44.

Dringen, R., Gutterer, J.M and Hirrlinger, J., 2000, Glutathione metabolism in brain:metabolic interaction between astrocytes and neurons in the defense againstreactive oxygen species, Eur. J. Biochem, 267, 4912 ±4916.

Dringen, R. and Hamprecht, B., 1999, N-Acetylcysteine, but not methionine or 2-oxothiazolidine-4-carboxylate, serves as cysteine donor for the synthesis ofglutathione in cultured neurons derived from embryonal rat brain, Neurosci. Lett.,259, 79±82.

Dringen, R., Hamprecht, B. and Broer, S., 1998, The peptide transporter PepT2 mediatesthe uptake of the glutathione precursor CysGly in astroglia-rich primary cultures,J. Neurochem, 71, 388±393.

Dringen, R., Kranich, O. and Hamprecht, B., 1997. The g-glutamyl transpeptidase inhibitoracivicin preserves glutathione released by astroglial cells in culture, Neurochem.Res. 22, 727±733.

Drukarch, B., Schepens, E., Jongenelen, C.A.M., Stoof, J.C. and Langeveld, C.H. (1997).Astrocyte-mediated enhancement of neuronal survival is abolished by glutathionedeficiency. Brain Res. 770, 123±130.

Eddy, L., 2006, Suplementasi Somatotropin Untuk Memperbaiki Tampilan Fisiologis TikusJantan Umur 6 Bulan dan 12 Bulan, Sekolah Pascasarjana, Institut PertanianBogor, Bogor.

Gerlach, M., Ben-Shachar, D., Riederer, P. and Youdim, M.B.H., 1994, Altered brainmetabolism of iron as a cause of neurodegenerative diseases? J. Neurochem., 63,793±807.

Hall, A.G., 1999, The role of glutathione in the regulation of apoptosis, Eur. J. Clin. Invest.29, 238±245.

Halliwell, B. and Gutteridge, J.M.C., 1999, Free Radicals in Biology and Medicine, OxfordUniversity Press, New York.

Han, J., Cheng, F.C., Yang, Z. and Dryhurst, G., 1999, Inhibitors of mitochondrial respiration,iron (II), and hydroxyl radical evoke release and extracellular hydrolysis ofglutathione in rat striatum and substantia nigra: potential implications toParkinson’s disease, J. Neurochem,73, 1683±1695.

Heales, S.J.R., Bolanos, J.P., Stewart, V.C., Brookes, P.S., Land, J.M. and Clark, J.B., 1999,Nitric oxide, mitochondria and neurological disease, Biochim. Biophys. Acta 1410,215±228.

Page 24: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

208 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Hertz, L., Dringen, R., Schousboe, A. & Robinson, S.R., 1999, Astrocytes: glutamate producersfor neurons, J. Neurosci. Res. 57, 417±428.

Hjelle, O.P., Chaudhry, F.A. and Ottersen, O.P., 1994, Antisera to glutathione:characterization and immunocytochemical application to the rat cerebellum.Eur. J. Neurosci., 6, 793±804.

Holopainen, I. and Kontro, P., 1989, Uptake and release of glycine in cerebellar granulecells and astrocytes in primary culture: potassiumstimulated release from granulecells is calcium-dependent, J. Neurosci. Res. 24, 374±383.

Jain, A., Martensson, J., Stole, E., Auld, P.A. and Meister, A., 1991, Glutathione deficiencyleads to mitochondrial damage in brain, Proc. Natl Acad. Sci. USA 88, 1913±1917.

Kaplowitz, N., Fernandez-Checa, J.C., Kannan, R., Garcia-Ruiz, C., Ookhtens, M. and Yi, J.R.,1996, GSH transporters: molecular characterization and role in GSH homeostasis,Biol. Chem. Hoppe-Seyler 377, 267±273.

Klivenyi, P., Andreassen, O.A., Ferrante, R.J., Dedeoglu, A., Mueller, G., Lancelot, E., Bogdanov,M., Andersen, J.K., Jiang, D. and Beal, M.F., 2000, Mice deficient in cellularglutathione peroxidase show increased vulnerability to malonate, 3-nitropropionicacid, and 1-methyl-4-phenyl-1,2,5,6-tetrahydropyridine, J. Neurosci., 20, 1±7.

Kranich, O., Dringen, R., Sandberg, M. and Hamprecht, B., 1998, Utilization of cysteineand cysteine precursors for the synthesis of glutathione in astroglial cultures:preference for cystine, Glia 22, 11±18.

Kranich, O., Hamprecht, B. and Dringen, R., 1996, Different preferences in the utilizationof amino acids for glutathione synthesis in cultured neurons and astroglial cellsderived from rat brain, Neurosci. Lett. 219, 211±214.

Kussmaul, L., Hamprecht, B. and Dringen, R., 1999, The detoxification of cumenehydroperoxide by the glutathione system of cultured astroglial cells hinges onhexose availability for the regeneration of NADPH, J. Neurochem. 73, 1246±1253.

Lie, H. and Dryhurst, G., 1997, Irreversible inhibition of mitochondrial complex I by 7-(2-aminoethyl)-3,4-dihydro-5-hydroxy-2H-1,4- benzothiazine-3-carboxylic acid(DHBT-1): a putative nigral endotoxin of relevance to Parkinson’s disease, J.Neurochem. 69, 1530±1541.

Li, Y., Maher, P. and Schubert, D., 1997, A role for 12-lipoxygenase in nerve cell deathcaused by glutathione depletion, Neuron. 19, 453±463.

McNaught, K.S. and Jenner, P., 1999, Altered glial function causes neuronal death andincreases neuronal susceptibility to 1-methyl-4- phenylpyridinium- and 6-hydroxydopamine-induced toxicity in astrocytic/ventral mesencephalic co-cultures, J. Neurochem. 73, 2469±2476.

Meister, A. and Anderson, M.E., 1983, Glutathione, Annu. Rev. Biochem, 52, 711±760.

Menegon, A., Board, P.G., Blackburn, A.C., Mellick, G.D. and Le Couteur, D.G., 1998,Parkinson’s disease, pesticides, and glutathione transferase polymorphisms,Lancet 352, 1344±1346.

Mytilineou, C., Kokotos Leonardi, E.T., Kramer, B.C., Jamindar, T. and Olanow, C.W, 1999,Glial cells mediate toxicity in glutathionedepleted mesencephalic cultures, J.Neurochem. 73, 112±119.

Page 25: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

209Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi

Philbert, M.A., Beiswanger, C.M., Waters, D.K., Reuhl, K.R. and Lowndes, H.E., 1991, Cellularand regional distribution of reduced glutathione in the nervous system of the rat:histochemical localization by mercury orange and o-phthaldialdehyde-inducedhistofluorescence, Toxicol. Appl. Pharmacol. 107, 215±227.

Pileblad, E., Magnusson, T. and Fornstedt, B., 1989, Reduction of brain glutathione by l-buthionine sulfoximine potentiates the dopaminedepleting action of 6-hydroxydopamine in rat striatum, J. Neurochem. 52, 978±980.

Richman, P.G. and Meister, A., 1975, Regulation of g-glutamylcysteine synthetase bynonallosteric feedback inhibition by glutathione, J. Biol. Chem. 250, 1422±1426.

Riederer, P., Sofic, E., Rausch, W.D., Schmidt, B., Reynolds, G.P., Jellinger, K. and Youdim,M.B., 1989, Transition metals, ferritin, glutathione, and ascorbic acid inparkinsonian brains, J. Neurochem. 52, 515±520.

Sagara, J., Makino, N. and Bannai, S., 1996, Glutathione efflux from cultured astrocytes,J. Neurochem. 66, 1876±1881.

Sagara, J., Miura, K. and Bannai, S., 1993, Cystine uptake and glutathione level in fetalbrain cells in primary culture and in suspension, J. Neurochem. 61, 1667±1671.

Salinas, A.E. and Wong, M.G., 1999, Glutathione S-transferases ± a review, Curr. Med.Chem. 6, 279±309.

Schulz, J.B., Lindenau, J., Seyfried, J. and Dichgans, J., 2000, Glutathione, oxidative stress,and neurodegeneration, Eur. J. Biochem. 267, 4904±4911.

Schulz, J.B. and Beal, M.F., 1994, Mitochondrial dysfunction in movement disorders, Curr.Opin. Neurol. 7, 333±339.

Seyfried, J., Soldner, F., Kunz, W.S., Schulz, J.B., Klockgether, T., Kovar, K.A. and Wu llner, U.,2000, Effect of 1-methyl-4-phenylpyridinium on glutathione in ratpheochromocytoma PC12 cells, Neurochem. Int. 36, 489±497.

Seyfried, J., Soldner, F., Schulz, J.B., Klockgether, T., Kovar, K.A. and Wu lner, U., 1999,Differential effects of l-buthionine sulfoximine and ethacrynic acid on glutathionelevels and mitochondrial function in PC12 cells, Neurosci. Lett. 264, 1±4.

Shen, X.M. and Dryhurst, G., 1996, Further insights into the influence of l-cysteine on theoxidation chemistry of dopamine: reaction pathways of potential relevance toParkinson’s disease, Chem. Res. Toxicol. 9, 751±763.

Sian, J., Dexter, D.T., Lees, A.J., Daniel, S., Jenner, P. and Marsden, C.D., 1994, Glutathione-related enzymes in brain in Parkinson’s disease, Ann. Neurol. 36, 356±361.

Sofic, E., Lange, K.W., Jellinger, K. and Riederer, P., 1992, Reduced and oxidized glutathionein the substantia nigra of patients with Parkinson’s disease, Neurosci. Lett. 142,128±130.

Sohal, R.S. and Weindruch, R., 1996, Oxidative stress, caloric restriction, and aging,Science 273, 59±63.

Spencer, J.P., Jenner, P., Daniel, S.E., Lees, A.J., Marsden, D.C. and Halliwell, B., 1998,Conjugates of catecholamines with cysteine and GSH in Parkinson’s disease:possible mechanisms of formation involving reactive oxygen species, J. Neurochem.71, 2112±2122.

Page 26: Cadangane Sains Medika#2#FINAL

210 Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Sudatri, N. W., 2006, Suplementasi Somatotropin Untuk Memperbaiki Tampilan FisiologisTikus Betina Usia Enam Bulan dan Satu Tahun, Sekolah Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor, Bogor.

Suratno, Y., 2006, Pengembangan Produk Pangan Fungsional Instan Berbasis Antioksidan.Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Taniguchi, N. and Ikeda, Y.,1998, g-Glutamyl transpeptidase: catalytic mechanism and gene expression, Adv.Enzymol. 72, 239±278.

Tipton, K.F. and Singer, T.P., 1993, Advances in our understanding of the mechanisms ofthe neurotoxicity of MPTP and related compounds, J. Neurochem. 61, 1191±1206.

Wu llner, U., Seyfried, J., Groscurth, P., Beinroth, S., Winter, S., Gleichmann, M., Heneka, M.,Lo Schmann, P., Schulz, J.B., Weller, M. and Klockgether, T., 1999, Glutathionedepletion and neuronal cell death: the role of reactive oxygen intermediates andmitochondrial function, Brain Res. 826, 53±62.

Wu llner, U., Loschmann, P.-A., Schulz, J.B., Schmid, A., Dringen, R., Eblen, F., Turski, L. andKlockgether, T., 1996, Glutathione depletion potentiates MPP1-toxicity in nigraldopaminergic neurons, Neuroreport 7, 921±923.

Yudkoff, M., Pleasure, D., Cregar, L., Lin, Z.-P., Nissim, I., Stern, J. and Nissim, I., 1990,Glutathione turnover in cultured astrocytes: studies with [15N] glutamate, J.Neurochem. 55, 137±145.

Zhang, F. and Dryhurst, G., 1994, Effects of l-cysteine on the oxidation chemistry ofdopamine: new reaction pathways of potential relevance to idiopathic Parkinson’sdisease, J. Med. Chem. 37, 1084±1098.