bundo kanduang

15
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology ISSN: 1693-167X ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013 Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013 Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat

Upload: fatayu

Post on 11-Jul-2016

235 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pis

TRANSCRIPT

Page 1: Bundo Kanduang

Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia

ANTROPOLOGIINDONESIA

Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology

ISSN: 1693-167X

ANTROPO

LOG

I INDONESIA Vol. 34 No. 2 Juli-Desem

ber 2013

Vol. 34 No. 2Juli-Desember 2013

Ideological War in Inclusive Twitter:#IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal

The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe(An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)

Upaya Pencegahan PerceraianBerbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat

Page 2: Bundo Kanduang

ISSN 1693-167X ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013

Dewan PenasihatDekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin RedaksiSemiarto Aji Purwanto

Redaksi PelaksanaDave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.

Manajer Tata LaksanaNi Nyoman Sri Natih

Administrasi dan KeuanganDewi Zimarny

Distribusi dan SirkulasiNi Nyoman Sri Natih

Pembantu TeknisRendi Iken Satriyana Dharma

Dewan RedaksiAchmad Fedyani Saifuddin, Universitas IndonesiaBirgit Bräuchler, University of FrankfurtBoedhi Hartono, Universitas IndonesiaEngseng Ho, Duke UniversityGreg Acciaioli, University of Western AustraliaHeddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of SciencesMeutia F. Swasono, Universitas IndonesiaKari Telle, Chr. Michelsen InstituteRatna Saptari, University of LeidenSemiarto Aji Purwanto, Universitas IndonesiaSuraya Afiff, Universitas IndonesiaTimo Kaartinen, University of HelsinkiYasmine.Z. Shahab, Universitas IndonesiaYunita.T. Winarto, Universitas Indonesia

Page 3: Bundo Kanduang

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013

The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88(An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)Abdul Manan

Upaya Pencegahan Perceraian 101Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera BaratFachrina dan Rinaldi Eka Putra

Ideological War in Inclusive Twitter: 113#IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam LiberalSindhunata Hargyono

Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin 124di Rumah (Gadang) Zainal Arifin

Memahami Sistem Pengetahuan 134Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks KebencanaanLeny Veronika

‘Pokok Hari Nyalah’: 152Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global)Pangeran P.P.A. Nasution

Kekuasaan yang Bekerja 164Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan PerusahaanPrudensius Maring

Karakteristik Anak Jalanan 176dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera BaratErwin

Daftar Isi

Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.

Page 4: Bundo Kanduang

Arifin, Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin...124

Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin1

Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas

Abstrak

Minangkabau adalah kelompok etnik yang dikenal sangat kuat menerapkan adat matrilineal. Salah satu nilai-nilai adat matrilineal tersebut adalah posisi laki-laki (sumando) yang dianggap marginal, karena laki-laki adalah urang asing bagi kelompok perempuan (keluarga istri). Ini di-tunjukkan dalam pepatah adatnya bak abu diateh tunggu (seperti abu di atas tunggul). Posisi ini tentu saja tidak menguntungkan, sehingga laki-laki perlu bernegosiasi dengan perempuan dalam menguatkan identitas kelaki-laki-an nya. Ini menunjukkan adanya gerakan politik kaum laki-laki Minangkabau dalam upaya menunjukkan dan menguatkan identitas mereka.

Politik identitas laki-laki Minangkabau ini akan dipahami melalui kasus keberadaan lembaga tradisional (lembaga adat). Asumsinya dalam masyarakat Minangkabau yang lebih menguat-kan adat matrilineal (adat perempuan), ditemukan bahwa lembaga adat lebih didominasi oleh laki-laki. Sementara lembaga adat perempuan justru tidak begitu ditonjolkan, bahkan terkesan disembunyikan dan tidak ada variasinya kecuali sebutan bundo kanduang.

Artikel ini menggambarkan bagaimana laki-laki Minangkabau melalui lembaga tradisional (lembaga adat) mencoba menguatkan posisinya, sementara posisi bundo kanduang hanya dipahami sebatas rumah gadang saja. Bahkan Bundo Kanduang dipahami tidak memiliki kekuasaan, karena ia hanya sebagai istri penghulu (pemimpin klan).

Keywords: dualitas, politik identitas, Adat Minangkabau, Lembaga adat

Abstract

Minangkabau ethnic group known is very strictly implement custom of matrilineal. One of these values is male position (sumando) that marginal, because according to matrilineal custom, a man is urang asing (outsiders) in the group of women (wife families). This is expressed through the proverb bak abu diateh tunggua (like ashes on the stump). This position of course is not profitable, so that they have to negotiate with the women to strengthen “the identity of maleness" of them. It shows the politics movement of Minangkaba’s men in an effort to show and strengthen their identity.

This political identity of Minangkabau’s man will be understood identity politics Minangkabau men will be understood in the case of the existence of traditional institutions. The research assump-tion, in Minangkabau society that embraces and strengthens matrilineal custom (women custom) was found that traditional institutions more dominated by men. While traditional institutions for women does not stand out, impress hidden, and there is no variation than bundo kanduang (the main women).

This article to described how men of Minangkabau through traditional institutions reinforce the position, while the bundo Kanduang’s position only limited powers in rumah gadang alone. Moreover, bundo Kanduang understood even without any power, because bundo kanduang just as the wife of penghulu (clan leaders)

Keywords: duality , political identity, Minangkabau custom, traditional institutions

1 Zainal Arifin, pengajar di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas. E-mail: [email protected]

Page 5: Bundo Kanduang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 125

PendahuluanMasyarakat Minangkabau dikenal sebagai

salah satu masyarakat yang memiliki sifat du-alitas dalam praktik sosialnya (Arifin 2009). Salah satu bentuk dualitas yang ditampilkan adat Minangkabau tersebut, tercermin pada posisi laki-laki (khususnya sumando) dalam keluarga perempuan (istrinya), yang dianggap sebagai urang asing (orang luar). Ini ditunjuk-kan dalam pepatahnya bak abu di ateh tunggua (seperti abu di atas tunggul), yang bermakna bahwa seorang suami (sumando) sangat tergan-tung “kebaikan hati” keluarga istri untuk tetap mempertahankan dirinya, seperti abu yang siap diterbangkan apabila angin kencang datang. Menurut Goswami (2006), posisi demikian tentu saja tidak menguntungkan, sehingga mereka harus bernegosiasi dengan perempuan sebagai “penguasa” untuk memperkuat identi-tas “kelaki-lakian” mereka.

Di masyarakat Minangkabau, upaya untuk selalu bernegosiasi ini, tentu saja mendapat legitimasi oleh adat, dan legitimasi adat ini-lah yang diperkirakan munculnya berbagai gerakan-gerakan politik kaum laki-laki untuk semakin menguatkan posisi dan identitas mereka. Arifin (2010) misalnya, menunjukkan bagaimana masyarakat Minangkabau yang ditenggarai dimotori oleh kaum laki-laki- telah mampu meredefinisi adat yang memposisi-kan laki-laki sebagai marginal man menjadi laki-laki sebagai pemimpin utama dalam ke-lompoknya. Kemampuan dalam memolitisasi identitas kepemimpinan ini, membuat pe-mimpin kelompok “seolah-olah” ada di tan-gan laki-laki, yang diwakili dengan gelar dan sebutan penghulu dan niniak mamak. Padahal dalam realitanya, seorang penghulu dan niniak mamak tidak bisa berbuat apa-apa, apabila perempuan senior dalam kelompoknya (bundo kanduang) memutuskan sebaliknya. Artinya, dipermukaan terkesan pemimpin kelompok ada di tangan laki-laki, tetapi sebenarnya dibalik layar, perempuan lah yang menjadi pemimpin.

Politisasi identitas yang dilakukan laki-laki

ini pula, yang diperkirakan telah membuat lembaga kerapatan adat, lebih didominasi oleh laki-laki. Berbeda dengan perempuan yang cenderung tidak memiliki lembaga sebagaima-na kaum laki-laki, kecuali lembaga bundo kanduang, dan ini pun terkesan tidak perlu ada upaya untuk dikuatkan dan dilegitimasi secara formal. Ini memunculkan pertanyaan tersendiri, mengapa di tengah adat matrilineal (perempuan), justru keberadaan lembaga yang berorientasi laki-laki, lebih banyak dan ber-variasi, sedangkan lembaga yang berorientasi perempuan justru tidak menguat di tengah masyarakatnya.

Bundo Kanduang: Antara Mitos dan RealitaSalah satu ciri matrilineal Minangkabau

adalah: (1) Garis keturunan yang ditarik berdasarkan garis ibu, yang secara lebih luas kemudian membentuk kelompok kaum (lin-eages) dan suku (clans). (2) Penguasaan harta pusaka ada di tangan kaum ibu yang dipimpin oleh seorang wanita senior yang disebut bundo kanduang (Arifin 2009)2. Ciri-ciri ini men-egaskan bahwa posisi dan peran perempuan (bundo kanduang) sangatlah penting, walaupun dalam aplikasinya, peran bundo kanduang ini lebih banyak dimainkan oleh niniak mamak, sehingga dipermukaan terkesan laki-laki (nin-iak mamak) lah sebagai pemimpin kelompok matrilineal tersebut. Walaupun demikian, se-cara adat, peran laki-laki (niniak mamak) dalam memainkan fungsinya sebagai pemimpin ini (apalagi dalam mengambil keputusan) tetap ha-rus meminta persetujuan dari bundo kanduang.

Di masyarakat Minangkabau, sebutan bundo kanduang dilekatkan pada seorang perempuan yang sudah berkeluarga yang memiliki karisma karena kecerdasan, kearifan serta sifatnya yang arif bijaksana. Pada masyarakat Minangkabau

2 Sedikit berbeda dengan Azwar (2001) yang justru merumuskan ciri-ciri sistem matrilineal Minangkabau adalah: (1) garis keturunan di tarik dari ibu, (2) suku terbentuk menurut garis ibu, (3) adat menetap setelah menikah bersifat matrilokal, (4) tidak boleh kawin sesama suku (eksogami suku), (5) kekuasaan ada di tangan perempuan, (6) harta pusaka diwariskan mamak (MoBr) kepada kemenakan (SiSo). Lihat juga misalnya: Radjab, 1969; Navis 1984; dan juga LKAAM dan MUI Kabupaten Agam 2005.

Page 6: Bundo Kanduang

Arifin, Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin...126

penganut sistem politik Koto Piliang, seperti di nagari Pamuncak3, bundo kanduang dilekatkan pada semua perempuan yang sudah menikah yang memiliki garis keturunan urang nan ampek jiniah4. Ini berbeda dengan masyarakat Minangkabau yang menganut sistem politik Bodi Caniago, seperti di nagari Lembah, di-mana sebutan bundo kanduang lebih dilekat-kan pada setiap istri penghulu (datuak). Oleh sebab itu, di nagari Lembah5, jumlah bundo kanduang akan sama banyak dengan jumlah penghulu (datuk) yang ada dalam nagari. Se-mentara di nagari Pamuncak, bundo kanduang relatif banyak sangat memungkinkan urang ampek jinih akan mempunyai anak perempuan yang lebih dari satu orang, dan keturunannya juga akan terus bertambah.

Di nagari Pamuncak maupun di nagari Lembah, bundo kanduang sering digambar-kan dalam pepatah adatnya sebagai limpapeh rumah nan gadang, (pemimpin atau penguasa rumah gadang). Bundo kanduang juga sering digambarkan sebagai ambun puruik rumah gadang, pamacik kunci nan di dalam (pusat atau muara dari rumah gadang, pemegang kun-ci rumah gadang dari bagian dalam). Ambun puruak rumah gadang, mengandung makna bahwa bundo kanduang itu adalah pemegang kekuasaan di rumah Gadang, sehingga segala sesuatunya haruslah mendapat persetujuan dan legitimasi dari bundo kanduang. Oleh sebab itu, niniak mamak yang mewakili rumah Gadang tersebut, pergi bermusyawarah ke balai atau balerong idealnya akan membawa ide (kepent-ingan) dari bundo kanduang rumah gadang nya. Sementara pamacik kunci nan di dalam, mengandung makna bahwa bundo kanduang adalah perempuan yang akan menjaga mar-tabat dan kehormatan rumah Gadang, kaum

3 Pamuncak adalah nama samaran untuk sebuah nagari yang ada di Kabupaten Tanah Datar yang menjadi bahan penulisan artikel ini

4 Urang nan ampek jinih adalah sebutan untuk empat tokoh laki-laki yang dianggap sebagai pemimpin kelompok kaum atau suku dalam masyarakatnya, yang terdiri dari: (1) penghulu (pemimpin kaum atau suku), (2) manti (ahli adat), (3) malin (ahli agama), dan (4) dubalang (penjaga keamanan).

5 Lembah juga nama samaran untuk sebuah nagari yang ada di Kabu-paten Agam yang juga menjadi bahan penulisan artikel ini

atau suku nya. Oleh sebab itu, baik-buruk dan sukses-tidaknya seorang niniak mamak dan penghulu memainkan peran dalam kaum atau suku nya, sangat tergantung pada bundo kanduang.

Bila kita simak lebih jauh, rumah Gadang dalam konteks adat matrilineal Minangkabau ini, bukan sekedar sebuah bangunan tempat tinggal, tetapi juga memuat berbagai atribut yang mengikutinya, yaitu asal usul keturunan (kelompok kekerabatan), sako (gelar adat) dan pusako (harta ulayat). Ini misalnya ditunjuk-kan dengan pewarisan sako (gelar datuak) yang hanya diberikan sesuai dengan garis keturunan dari rumah Gadang pemiliknya (matrilineal). Dengan kata lain, gelar datuak atau jabatan penghulu, hanya boleh dijabat oleh saudara laki-laki bundo kanduang (MoBr), dan hanya bisa diwariskan kepada kemenakannya (SiSo) bukan pada anaknya (So).

Persoalannya, ungkapan rumah Gadang yang berkembang dan dikembangkan selama ini, sering dimaknai hanya sebatas sebuah rumah tempat tinggal, sehingga tugas dan fungsi seorang bundo kanduang pun akhirnya dikerdilkan hanya sebatas di dalam rumah (Gadang). Ini misalnya terbaca dari pernyata-an beberapa penghulu di nagari Pamuncak maupun di nagari Lembah yang mengatakan bahwa tugas bundo kanduang terkait dengan berbagai persoalan yang ada di dalam rumah Gadang, dan berbagai persoalan seperti tata cara berpakaian, pernikahan, makanan dan berbagai persoalan yang terkait dengan urusan perempuan. Dengan kata lain, tugas dan peran bundo kanduang lebih dimaknai hanya sebatas di dalam rumah (gadang) saja, sedangkan per-soalan adat dan urusan di luar rumah (gadang) adalah urusan laki-laki (niniak mamak).

Pengerdilan peran dan fungsi bundo kan-duang ini sering dikaitkan dengan persoalan keterbatasan seorang perempuan apabila harus memainkan perannya di luar rumah6. Oleh

6 Alasan ini sering dikaitkan dengan adanya siklus haid yang dialami perempuan, sehingga seorang perempuan dipandang oleh laki-laki (niniak mamak) akan mengalami kesulitan apabila diajak berunding di kerapatan adat apalagi harus berunding di masjid.

Page 7: Bundo Kanduang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 127

sebab itu, untuk menjalan tugas dan fungsinya di luar rumah, maka sosok bundo kanduang akan diwakili oleh saudara laki-laki nya (niniak mamak). Dengan demikian, idealnya pada se-tiap kerapatan adat, niniak mamak akan selalu membawa suara bundo kanduang dari rumah Gadang nya, dan akan melaporkan kembali hasil kerapatan yang telah didapat tersebut. Akan tetapi dalam realitanya, setiap kerapatan adat, laki-laki terkesan berjalan sendiri, bahkan menurut seorang penghulu di nagari Lembah, bundo kanduang akan selalu menyetujui segala keputusan yang dihasilkan oleh laki-laki di kerapatan adat (bundo kanduang tu ka mai-yoan se lai tu nyo). Kalau pun bundo kanduang merasa keberatan terhadap keputusan dari para niniak mamak, maka ia bisa mengajukan keberatannya ke KAN, dengan catatan harus melalui prosedur dan tata cara tertentu. Begitu juga apabila bundo kanduang memiliki usulan yang ingin diminta kesepakatan para niniak mamak, maka bundo kanduang harus menga-jukan ke Kerapatan Adat Nagari (selanjutnya disebut KAN), sekali lagi dengan tata cara dan prosedur yang benar.

Ini menunjukkan bahwa, ada ambivalensi cara pandang laki-laki (niniak mamak) dalam menempatkan posisi dan keberadaan seorang bundo kanduang. Di satu sisi bundo kanduang dilihat sebagai pemimpin rumah Gadang dimana para niniak mamak adalah yang me-wakili keberadaan bundo kanduang tersebut di luar rumah Gadang. Namun di sisi lain, laki-laki (niniak mamak) terkesan memiliki kekuasaan penuh dalam mengambil keputusan yang akan diaplikasikan kepada semua anggota masyarakat, termasuk kepada anak-kemenakan rumah Gadang nya sendiri7. Di masyarakat Minangkabau, ada kecenderungan kondisi ini sudah diterima begitu saja (taken for granted), sehingga banyak masyarakat, termasuk bundo kanduang tidak pernah mempersoalkannya.

Di nagari Lembah, pengkerdilan juga ter-lihat dengan memosisikan bundo kanduang

7 Sifat ambivalensi laki-laki dalam menempatkan bundo kanduang ini juga bisa dilihat dalam tulisan Herlina (2003), dan Abdullah (1970).

sebagai istri dari seorang pemimpin kaum atau suku (penghulu)8. Posisi ini tentu saja sangat berbau patrilineal, dimana seorang istri terke-san secara otomatis akan menjadi bagian dari suaminya, sehingga ketika suami tidak lagi menjabat sebagai penghulu, maka keberadaan dirinya sebagai bundo kanduang juga akan berakhir. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan gambaran akan bundo kanduang yang selama ini diungkapkan di tengah masyarakat-nya, sebagai limpapeh rumah Gadang, pama-ciak kunci nan di dalam. Di nagari Lembah, pepatah ini justru dimaknai sebagai fungsi yang harus dilakukan seorang bundo kanduang dalam menjaga nama baik suaminya sebagai seorang penghulu, dan sebagai bentuk dukun-gan bundo kanduang dalam menjalankan tugas suaminya sebagai seorang penghulu.

Pengonsepan bundo kanduang sebagai istri dari penghulu ini, tentu saja akan memuncul-kan permasalahan tersendiri, karena pemimpin dari sebuah rumah Gadang (limpapeh rumah Gadang), akhirnya ada di tangan perempuan yang bukan dari kaum atau suku pemilik rumah Gadang tersebut. Sementara dalam adatnya jus-tru mengatakan bahwa dari seorang perempuan lah (bundo kanduang) garis keturunan diten-tukan. Perempuan penerus garis keturunan ini tentu saja berasal dari sebuah rumah Gadang tertentu, karena niniak mamak yang ada dalam nagari akan diidentifikasi dari sebuah rumah Gadang atau dari seorang perempuan tertentu. Lalu mengapa justru bundo kanduang di nagari Lembah ini dilekatkan pada istri seorang peng-hulu, yang justru berasal dari kelompok (rumah Gadang) yang berbeda.

Hal yang sama juga terjadi di nagari Pamun-cak, dimana bundo kanduang dilekatkan pada seorang perempuan yang memiliki garis ketu-runan dari kelompok ampek jinih. Artinya, po-sisi dan keberadaan seorang bundo kanduang dilekatkan melalui garis keturunan laki-laki (kelompok ampek jinih), dan posisi ini akan

8 Salah seorang penghulu memberi alasan mengapa bundo kanduang itu dilekatkan pada istri penghulu (datuak), karena dahulunya bundo kanduang itu dipercaya sebagai istri Raja Pagaruyung

Page 8: Bundo Kanduang

Arifin, Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin...128

melekat terus menerus karena diwariskan ke generasi keturunan bundo kanduang tersebut. Dengan kata lain, posisi bundo kanduang tidak didasarkan dari garis keturunan perempuan (matrilineal), tetapi justru berasal dari garis keturunan laki-laki (patrilineal). Oleh sebab itu, posisi bundo kanduang di nagari Pamuncak ini, akan terus bertambah seiring pergantian jabatan ampek jinih (laki-laki) itu sendiri.

Ini menunjukkan bahwa posisi bundo kanduang sebagai limpapeh rumah Gadang semakin mengalami penciutan makna. Ter-jadinya penciutan makna bundo kanduang sebagai limpapeh ini, sering dikaitkan dengan semakin menguatkan peran negara yang lebih banyak menempatkan posisi perempuan dalam konteks patrilineal. Pada sisi lain, menguatnya Islam di masyarakat Minangkabau, juga sering dipandang sebagai penyebab terjadinya peruba-han dalam menempatkan posisi laki-laki dan posisi perempuan, tidak saja dalam aktivitas kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam adat.

Lembaga Kerapatan Adat: Dominasi dan Legitimasi

Setiap nagari di Minangkabau, minimal akan terdiri dari empat suku (clans), dimana setiap suku cenderung akan selalu menjaga gengsi dan kehormatannya. Laki-laki (niniak mamak) sebagai pengemban tugas di luar Gadang, selalu dituntut untuk menjaga nama baik dan kehormatan bundo kanduang sebagai pemilik rumah Gadang tersebut. Tugas ini tidaklah gampang, karena ditengah keraga-man berbagai kelompok suku, potensi konflik dan disharmoni akan sangat mungkin terjadi. Oleh sebab itu, harus ada media yang mampu meredam potensi konflik tersebut, yang di-masyarakat Minangkabau diwujudkan dalam bentuk musyawarah untuk mufakat (baiyo-iyo).

Arti penting musyawarah-mufakat inilah yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya kerapatan adat di Minangkabau, yang diper-cayai bermula dalam bentuk arena terbuka (medan nan bapaneh). Pada perkembangan

kemudian, tempat musyawarah ini lalu dibuat dalam bentuk bangunan yang dikenal sebagai balai atau balerong. Dalam berbagai mitos yang berkembang di tengah masyarakat, balai (balerong) panjang yang ada di Pariangan, di-percaya sebagai balai yang dahulunya dipakai sebagai tempat musyawarah bagi Datuk Kata-menggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang (nenek moyang pembentuk adat Minangkabau). Keberadaan balai yang ada di setiap nagari inilah yang kemudian diformalkan menjadi lembaga KAN.

KAN sebagai lembaga kerapatan adat, berisikan para pemimpin dari semua kelompok suku (clan) yang ada dalam nagari. Akan tetapi setiap nagari, ada perbedaan tentang siapa yang dimaksud sebagai pemimpin kelompok yang berhak dan diakui menjadi anggota dari lembaga kerapatan adat nagari tersebut. Di nagari Pamuncak para pemimpin suku ini dikenal dengan sebutan urang nan ampek jiniah (kelompok 4) yaitu, penghulu (pemimpin suku atau kaum), manti (ahli adat), dubalang (pen-jaga keamanan), dan malin (ahli agama). Sedikit berbeda dengan nagari Lembah, dimana para pemimpin suku ini dikenal dengan sebutan niniak mamak nagari, yang terdiri dari niniak mamak adat (pemimpin kaum) dan niniak ma-mak syarak (pemimpin agama di tingkat suku). Oleh sebab itu di setiap nagari, jumlah anggota kerapatan adat cenderung akan berbeda-beda.

Nama KAN itu sendiri baru dimuncul-kan seiring dengan diberlakukannya sistem pemerintahan desa di Sumatera Barat sesuai dengan amanat UU No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Pada masa itu, salah satu bentuk pengakuan akan kesatuan masyarakat hukum adat di masyarakat Minangkabau, maka DPRD Provinsi Sumatera Barat melalui Perda No.13 tahun 1983 menetapkan bahwa nagari se-bagai kesatuan masyarakat hukum adat diurus oleh suatu lembaga yang disebut sebagai KAN. Akan tetapi jauh sebelum dilegitimasi oleh pemerintah, keberadaan lembaga kerapatan adat sebagai tempat musyawarah mufakat ini, diperkirakan sudah ada pada masa penjajahan

Page 9: Bundo Kanduang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 129

Belanda. Joseph De Stuers, komandan militer dan residen di Padang tahun 1824-1829, pada tanggal 30 Agustus 1825, pernah melaporkan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerin-tahan yang terpusat dibawah seorang seperti raja, tetapi dipegang secara bersama-sama oleh para penghulu.

Penghulu di nagari Pamuncak maupun di nagari Lembah, menjelaskan bahwa arti pent-ing lembaga kerapatan adat ini, bisa ditelusuri dari beberapa pepatah adat seperti persyaratan berdirinya sebuah nagari yang harus babalai bamusajik (harus memiliki balai sebagai tem-pat musyawarah, dan harus memiliki musajik sebagai tempat beribadah). Keberadaan ker-apatan adat ini juga sering dikaitkan dengan pepatah adat yang berbunyi tuah sapakaik cilako basilang (perlunya melakukan kesepak-atan melalui musyawarah, karena akan celaka bila berseberangan). Pepatah lainnya adalah duduak surang basampik – sampik, duduak basamo balapang-lapang (duduk sendiri terasa sempit, duduk bersama terasa lapang). Begitu juga dengan pepatah basilang kayu mangko api ka iduik (bersilangnya kayu maka api bisa hidup), yang bermakna bahwa silang pendapat yang ada di tengah masyarakat justru akan menghasilkan tujuan yang lebih baik, yaitu melalui musyawarah.

Bila kita simak lebih dalam, pepatah adat di atas sebenarnya hanya menjelaskan akan arti pentingnya musyawarah yang harus dilakukan oleh anggota masyarakat dalam nagari yang terdiri dari berbagai kelompok kaum atau suku. Dengan kata lain, pepatah adat di atas, tidaklah secara tegas mengatakan bahwa keanggotaan lembaga kerapatan adat harus diisi oleh laki-laki. Lemahnya argumentasi akan dominasi laki-laki dalam lembaga kerapatan adat ini, oleh sebahagian penghulu, lalu didukung dengan pepatah adat lain tentang bagaimana seharusnya menempatkan posisi penghulu di tengah masyarakatnya, seperti misalnya pepa-tah Gadang di ambah, tinggi di anjuang, yang bermakna bahwa seorang penghulu itu harus

ditinggikan dan disanjung di tengah kelompok dan masyarakatnya. Akan tetapi, pepatah adat ini juga tidak mengungkapkan secara tegas kalau kerapatan adat tersebut harus didominasi oleh laki-laki.

Ini menunjukkan bahwa relatif sulit dite-mukan argumentasi adat mengapa lembaga kerapatan adat didominasi laki-laki, padahal sebagai kerapatan adat, sangat memungkinkan juga bisa diisi oleh kaum perempuan (khusus-nya bundo kanduang), karena persoalan adat dan pemahaman tentang adat tidak hanya persoalan yang dihadapi laki-laki, tetapi juga persoalan yang juga dihadapi oleh kaum perem-puan. Akan tetapi, kelompok laki-laki cender-ung memandang bahwa keberadaan seorang perempuan hanya sebatas dalam rumah, dan tidak di lembaga kerapatan adat. Posisi perem-puan seperti ini, ditafsirkan dari pepatah adat yang mengatakan bahwa bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan Gadang, yang kemudian sering ditafsirkan sebagai bentuk posisi seorang perempuan (bundo kanduang) sebagai pemimpin (limpapeh) hanya sebagai di dalam rumah (Gadang) nya saja, dan tidak di kerapatan adat itu sendiri.

Ini menunjukkan bahwa argumentasi me-lalui mitos dan beberapa pepatah adat yang ada, tidaklah secara tegas menempatkan bahwa kerapatan adat adalah wilayah domi-nasi laki-laki. Mitos dan pepatah adat yang ada lebih menegaskan bahwa kerapatan adat adalah salah satu bentuk yang dijadikan sebagai sarana untuk bermusyawarah bagi masyarakat Minangkabau. Begitu juga dengan pepatah yang menempatkan penghulu harus ditinggikan dan dihormati serta memainkan perannya di luar rumah Gadang, juga tidak menegaskan bahwa kerapatan adat harus didominasi kaum laki-laki. Akan tetapi posisi laki-laki di luar rumah Gadang ini lah, yang kemudian sering dijadikan argumentasi bagi laki-laki atas fungsi dirinya untuk mendominasi kerapatan adat dalam nagari. Dengan kata lain, nagari sebagai kumpulan kaum atau suku-suku yang berbeda, membuat berbagai persoalan yang

Page 10: Bundo Kanduang

Arifin, Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin...130

sering muncul diantara kelompok ini harus dapat diselesaikan secara arif, dan fungsi ini sering dianggap hanya mampu dilakukan oleh laki-laki. Oleh sebab itu, laki-laki senior yang memiliki pengetahuan dan kemampuan lah yang dianggap pantas untuk mengemban tugas tersebut.

Pemikiran seperti inilah yang berkembang di masyarakat Minangkabau sekarang ini, yang melegitimasi keanggotaan kerapatan adat hanya boleh diisi oleh laki-laki senior dari setiap kelompok rumah Gadang (suku). Peran laki-laki senior sebagai penyelesai per-soalan melalui kerapatan adat ini, membuat keberadaannya sering dipandang sebagai pe-mimpin kelompok (kaum atau suku), menga-lahkan posisi bundo kanduang sebagai limpa-peh rumah nan Gadang itu sendiri. Pengakuan sebagai pemimpin “bayangan” ini tentu saja harus mendapat legitimasi secara sosial (dari kelompoknya dan dari kelompok kaum/suku lainnya). Bentuk legitimasi tersebut, salah sa-tunya dilakukan melalui pepatah adat, seperti Gadang di ambah, tinggi di anjuang (dihormati dan ditinggikan posisinya).

Upaya meminta legitimasi keberadaan laki-laki sebagai pemimpin di luar rumah Gadang ini, terkesan juga tidak bisa dilakukan seorang diri oleh seorang penghulu saja. Upaya meminta legitimasi ini haruslah dilakukan secara bersama-sama, sehingga keberadaan seseorang yang dianggap atau diposisikan se-bagai pemimpin tidak saja dilekatkan pada diri seorang penghulu, tetapi juga dilekatkan pada individu (laki-laki) lainnya, yang dalam ban-yak nagari dikenal sebagai urang ampek jinih (empat orang laki-laki). Sebagai perwakilan bundo kanduang, maka kelompok ampek jinih ini harus mampu memainkan perannya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Apabila penghulu lebih memainkan fungsi sebagai pengambil keputusan akhir, maka nanti memainkan fungsinya sebagai penasehat bidang adat, sedangkan malin sebagai penas-ehat bidang syarak atau agama, dan dubalang memainkan fungsi sebagai penjaga keamanan.

Keberadaan urang ampek jinih di masing-masing kelompok kaum atau suku ini akhirnya sering menjadi argumentasi mengapa laki-laki yang menjadi anggota kerapatan adat, tidak selalu dari kalangan penghulu suku saja, tetapi terkadang juga diisi oleh laki-laki yang diposisikan sebagai penghulu kaum, bahkan wakil penghulu (panungkek) dan mereka yang dianggap sebagai urang ampek jinih. Bahkan di nagari yang menggunakan ideologi Bodi Caniago seperti Lembah, juga dirasa perlu memasukkan imam-katik (pemimpin agama) sebagai bagian dari kerapatan adat tersebut. Dengan kata lain, sebagai perwakilan dari seorang pemimpin rumah Gadang yaitu bundo kanduang, maka banyak laki-laki yang bisa memainkan peran dan fungsinya di luar rumah. Sebaliknya, tidak semua laki-laki juga bisa me-mainkan peran dan fungsinya dalam mewakili bundo kanduang tersebut, hanya laki-laki yang memiliki kemampuan dalam memimpin saja yang bisa memainkan fungsi bundo kanduang tersebut, dan sekelompok laki-laki ini adalah urang ampek jinih tersebut.

Legitimasi keberadaan laki-laki (urang ampek jinih) dalam kerapatan adat ini, terkesan berdiri sendiri dan tidak dalam posisi mewakili bundo kanduang. Bahkan keputusan yang diambil pun terkadang tidak perlu mendapat legitimasi dari bundo kanduang (bundo kan-duang tu ka maiyoan se lai tunyo). Ini menun-jukkan ada ambivalensi kaum laki-laki dalam memosisikan perempuan (bundo kanduang) itu sendiri. Disatu sisi bundo kanduang diakui sebagai pemilik dan penguasa rumah Gadang, tetapi di sisi lain, justru keputusan mereka (laki-laki) dianggap sebagai keputusan final yang tidak bisa diprotes oleh bundo kanduang. Dominasi ini semakin menguat dengan ma-suknya Islam yang memosisikan laki-laki se-bagai pemimpin kaumnya9, sehingga berbagai ayat-ayat Al-Quran lalu sering dijadikan alat

9 Menguatnya Islam sebagai agama etnis Minangkabau ini, membuat berbagai simbol dan atribut etnis Minangkabau harus di-Islam-kan. Ini tidak saja membuat tambo harus diawali dengan ucapan bismillah, tetapi secara umum filosofi kehidupannya harus di-Islamisasi menjadi adat basandi syarak (Islam), syarak basandi kitabullah (al-quran).

Page 11: Bundo Kanduang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 131

pelegitimasi akan posisi laki-laki sebagai pe-mimpin dan arti penting keberadaan kerapatan adat bagi kaum laki-laki tersebut10.

Upaya mengkerdilkan makna bundo kan-duang sebagai pemimpin rumah Gadang, terkadang tidak saja dilakukan dalam bentuk dominasi di lembaga kerapatan adat, bahkan berbagai pepatah adat lalu diperkuat dan dile-gitimasi untuk kepentingan dominasi tersebut. Pepatah yang mengatakan suku ba-panghulu, rumah Gadang ba-bundo kandung (suku memiliki penghulu, rumah Gadang memiliki bundo kanduang), sering sekali dengungkan sebagai pepatah adat yang melegitimasi siapa yang dianggap sebagai pemimpin dalam ke-lompok kaum atau suku tersebut. Oleh sebab itu, lembaga kerapatan adat diposisikan me-mang untuk kaum laki-laki, sementara bundo kanduang “diminta” untuk mengurusi urusan rumah tangga (rumah Gadang) saja. Dengan demikian, maka bundo kanduang hanya akan diajak ke kerapatan adat bila musyawarah tersebut lebih menyangkut ke persoalan rumah tangga, seperti persoalan perkawinan, masak-memasak (makanan), atau perhiasan rumah lainnya.

Upaya mengkerdilkan peran dan posisi bundo kanduang ini, juga akan terlihat dalam pepatah yang dari inyiak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan (dari kakek diwariskan ke mamak, dari mamak diwariskan ke kemenakan). Pepatah ini sering digunakan untuk merujuk siapa yang pantas dan boleh menggantikan peran dan fungsi seorang ninik mamak dan penghulu kaum atau suku pemilik rumah Gadang tersebut. Pepatah ini sering dimaknai sebagai bentuk pewarisan kepe-mimpinan dalam kelompok laki-laki, pada hal pewarisan yang dimaksud disini lebih bertumpu pada seorang perempuan pemilik rumah Gadang tersebut, yaitu seorang bundo

10 Seorang manti (ahli agama) di nagari Lembah misalnya, men-gatakan ungkapan dalam Islam berlapang – lapanglah dalam majelis, sebagai bentuk legitimasi mengapa kerapatan adat perlu ada di Minangkabau. Pepatah ini lalu dikaitkan dengan syarak mangato (agama mengatakan) yang dimaknai berlapang – lapanglah dalam majelis, dan adaik mamakai (adat mengaplikasikannya) yang dimak-nai sebagai bentuk musyawarah yang dilakukan oleh kerapatan adat.

kanduang. Berangkat dari berbagai pepatah yang ada tersebut, maka beberapa penghulu lalu memberikan argumentasi bahwa matri-lineal yang dimaksudkan bukan berarti kepe-mimpinan ada d i t angan perempuan, tetapi lebih sebagai bentuk pelanjut garis keturunan saja, yang keberadaannya ada di rumah Gadang.

KesimpulanMasyarakat Minangkabau adalah salah

satu etnik terbesar yang menerapkan sistem matrilineal dalam kehidupannya. Sebagai masyarakat penganut matrilineal, maka peran dan posisi perempuan sangatlah menentu-kan berbagai aspek kehidupannya, tidak saja berkenaan dengan garis keturunan, tetapi juga terkait dengan struktur kepemimpinan yang ditentukan berdasarkan garis ibu. Begitu juga pola kepemilikan dan pemeliharaan harta bersama (ulayat) dan pewarisan jabatan adat, akan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari seorang perempuan. Segala bentuk aturan dan ketentuan matrilineal ini, semuanya ber-muara pada satu ruang yang sama yaitu rumah Gadang. Artinya, rumah Gadang tidak saja dilihat sebagai rumah tempat tinggal, tetapi juga dilihat secara lebih luas yaitu sebagai pusat dari pengelompokkan sosial masyarakatnya (paruik, kaum dan suku).

Mengikuti ketentuan adatnya, sebuah rumah Gadang akan dipimpin oleh seorang perem-puan (bundo kanduang, limpapeh rumah nan Gadang), yang berarti bahwa bundo kanduang (idealnya) juga sebagai pemimpin pemimpin kelompok sosialnya. Namun dalam realitanya, bundo kanduang sering ditafsirkan hanya sebagai pemimpin dalam rumah Gadang, sementara pemimpin di luar rumah Gadang adalah saudara laki-laki dari bundo kanduang tersebut (niniak mamak). Pandangan ini se-benarnya juga mengisyaratkan bahwa laki-laki (niniak mamak), ketika menjadi pemimpin di luar rumah Gadang, juga lebih diposisikan se-bagai wakil dari bundo kanduang. Akan tetapi,

Page 12: Bundo Kanduang

Arifin, Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin...132

sebagian besar masyarakat Minangkabau justru lebih mempercayai bahwa laki-laki lah yang sejak dulu menjadi pemimpin di Minangkabau. Ini sering ditafsirkan dari mitologi asal usul masyarakatnya yang memitoskan keberadaan datuk Katamenggungan dan datuk Perpatih nan Sebatang sebagai pemimpin masyarakat adat Minangkabau.

Pandangan laki-laki (niniak mamak) sebagai pemimpin inilah yang juga sering dijadikan ar-gumentasi mengapa kerapatan adat diisi dan di-dominasi oleh kelompok laki-laki. Keberadaan kerapatan adat ini, dipandang sebagai sebuah lembaga yang sudah ada jauh sebelumnya, yaitu sejak nenek moyang mereka membentuk adat, yang dibuktikan dan mendapat legitimasi adat melalui pepatah (petitih) adatnya. Akan tetapi, relatif tidak ditemui pepatah (petitih) yang melegitimasi keanggotaan lembaga ker-apatan adat tersebut hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dengan kata lain, sebagai masyarakat matrilineal, dimana posisi perempuan menjadi sangat dipentingkan, cenderung tidak tergam-bar dalam kerapatan adat yang ada. Akan tetapi dalam konteks kekinian, dominasi laki-laki dalam kerapatan adat, cenderung sudah diterima begitu saja (taken for granted), sejak masa lalu.

Keberadaan kerapatan adat di masyarakat Minangkabau ini, telah menjadi lembaga yang sangat menentukan berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, karena melalui kerapatan adat lah, berbagai aturan yang menyangkut kehidupan masyarakat mendapat legitimasinya. Sebagai lembaga legitimasi, maka berbagai pemahaman dan konsepsi sering terbentuk melalui kerapatan adat ini. Di nagari Lembah misalnya, posisi bundo kanduang yang menjadi pemimpin di rumah Gadang, justru beralih konsep menjadi pendamping suami yang sedang mengemban jabatan adat (penghulu) dalam nagari. Hal yang sama juga terlihat di nagari Pamuncak, dimana seseorang dianggap sebagai bundo kanduang apabila perempuan ini berasal dari garis keturunan seorang penghulu atau dari keturunan ampek jinih.

Konsepsi tentang bundo kanduang seperti ini, jelas memunculkan pertanyaan tersendiri, karena seorang bundo kanduang berarti diten-tukan oleh status sosial seorang laki-laki, bukan dibentuk oleh garis keturunan matrilineal. Konsepsi bahwa bundo kanduang adalah istri seorang penghulu, secara tegas menunjukkan pola patrilineal, dimana seorang perempuan (istri) akhirnya lebih mengabdikan diri pada kelompok laki-laki (suami). Bundo kanduang yang seharusnya menjadi pemimpin di rumah Gadangnya kelompok sosialnya sendiri (pa-ruik, kaum atau suku), akhirnya justru menjadi pemimpin di rumah Gadang milik kelompok sosial orang lain. Ini tentu saja akan memun-culkan persoalan tersendiri bagi perempuan-perempuan saudara suaminya, yang justru dipimpin oleh perempuan dari kelompok lain. Padahal di masyarakat Minangkabau, masing-masing kelompok (bahkan setiap individu) dituntut untuk menjaga nama baik, kerahasiaan dan gengsi kelompoknya. Lalu apa yang terjadi kalau justru rumah gadang sebagai simbol kelompoknya justru dikuasai oleh orang lain.

Begitu juga dengan mengonsepsikan bundo kanduang sebagai perempuan yang memiliki darah keturunan seorang penghulu atau am-pek jinih, juga akan memunculkan persoalan tersendiri, karena posisi bundo kanduang be-rarti ditentukan berdasarkan garis keturunan laki-laki, bukan berdasarkan garis keturunan ibu. Dengan kata lain, ada kekacauan dalam garis keturunan matrilineal ini (matrilineal puzzle), dimana posisi niniak mamak ditentu-kan berdasarkan garis keturunan perempuan, sebagaimana terungkap dalam pepatah dari inyiak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan. Sebaliknya, kalau memang benar posisi seorang bundo kanduang harus-lah dari keluarga penghulu atau ampek jinih, maka berarti posisi bundo kanduang tersebut diturunkan berdasarkan garis keturunan laki-laki. Akan tetapi, relatif tidak ditemukan dasar adat yang menyatakan dan menguatkan bahwa bundo kanduang haruslah berasal dari keluarga penghulu atau niniak mamak.

Page 13: Bundo Kanduang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 133

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik 1970 “Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau Traditional Litera-

ture”. Indonesia, No. 9 (April). NY: Cornell Modern Indonesia Project. Hlm.1-22.

Arifin, Zainal 2010 Rekonstruksi dan Redefinisi Adat dalam Praktik Sosial Masyarakat Minangkabau. Pene-

litian Hibah Kompetensi. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tingi, Departemen Pendidikan Nasional RI.

Arifin, Zainal 2009 Dualitas dalam Masyarakat Minangkabau. Kasus Praktik Perkawinan Minangkabau di

Dua Nagari. Disertasi, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Azwar, Welhendri 2001 Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogyakarta: Galang Press.

Goswani, Amit 2006 “Being and Becoming: Men in a Matrilineal Society” presented in A South Asian Travel-

ling Seminar on Exploring Masculinities. Department of Gender dan Women’s Studies, University of Dhaka, Bangladesh 20-22 Desember 2006.

Herlina, Lusi (dkk) 2003 Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Masyarakat Matrilineal. Padang:

Penerbit LP2M dan The Asia Foundation.

LKAAM, MUI Kabupaten Agam 2005 Bahan Perbekalan Pengetahuan Adat Minangkabau. Lubuk Basung: LKAAM, MUI Ka-

bupaten Agam kerjasama dengan Kantor Kesbang dan Linmas Kabupaten Agam.

Navis, A.A1984 Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press.

Radjab, Muhammad. 1969 Sistem Kekerabatan Minangkabau. Padang: Centre for Minangkabau Studies Press.

Ini menunjukkan bagaimana kuatnya domi-nasi laki-laki dalam kerapatan adat sebagai lembaga yang melegitimasi berbagai aturan adat dalam kehidupan masyarakat Minangka-bau. Dominasi laki-laki ini, di satu sisi mem-bawa dampak munculnya peguatan posisi laki-laki di berbagai bidang kehidupan, yang kemudian dilegitimasi secara adat (melalui kerapatan adat). Namun disisi lain juga ber-dampak pada pengkerdilan posisi perempuan (termasuk bundo kanduang) sebagai pemilik garis keturunan dan pemilik harta pusaka dari

kelompok sosialnya (paruik, kaum dan suku). Dominasi laki-laki ini tidak saja ditunjuk-kan dengan semakin bervariasinya gelar adat untuk laki-laki, sementara gelar adat untuk perempuan cendrung tidak mengalami variasi dan perkembangan, akan tetapi juga ditunjuk-kan melalui legitimasi keanggotaan kerapatan adat yang hanya diperuntukkan bagi laki-laki dengan berbagai posisi sosial, sementara perempuan tetap dianggap tidak memiliki hak untuk masuk di dalamnya.

Page 14: Bundo Kanduang

copyright © 2013ANTROPOLOGI INDONESIA

Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas IndonesiaLantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424

Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail: [email protected] Website: http://journal.ui.ac.id/jai

• Panduan Penulisan untuk Kontributor

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan bu-daya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil pene-litian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat ba-gian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman ket-erlibatan penulis dengan masyarakat/komuniti, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pemban-gunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terha-dap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri.

Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email [email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan uku-ran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon.

Sistematika penulisan harus dibuat dengan men-cantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada ba-gian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:

Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam

Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274.

Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.

Jakarta: Penerbit Djambatan.Manoppo-Watupongoh, G.Y.J.

1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.

• Guidelines for contributors

Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; sec-ond, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years.

Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to [email protected] in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article.

Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper for-mat. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjust-ment as follow:

Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of

Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.

Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaran-

ingrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of

the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.

Page 15: Bundo Kanduang

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013

The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88(An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)Abdul Manan

Upaya Pencegahan Perceraian 101Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera BaratFachrina dan Rinaldi Eka Putra

Ideological War in Inclusive Twitter: 113#IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam LiberalSindhunata Hargyono

Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin 124di Rumah (Gadang) Zainal Arifin

Memahami Sistem Pengetahuan 134Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks KebencanaanLeny Veronika

‘Pokok Hari Nyalah’: 152Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global)Pangeran P.P.A. Nasution

Kekuasaan yang Bekerja 164Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan PerusahaanPrudensius Maring

Karakteristik Anak Jalanan 176dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera BaratErwin