buku csl blok emergency
TRANSCRIPT
VISUM ET REPERTUMOleh : dr. Exsa Hadibrata, dr. Handayani DU, Sp.F
A. Tema PembelajaranKeterampilan pemeriksaan luar dan pembuatan visum et repertum
B. Tujuan Mahasiswa mampu mendeskripsikan dan menentukan klasifikasi luka Mahasiswa mampu menyusun hasil pemeriksaan Mahasiswa mampu menarik kesimpulan dari hasil pemeriksaan Mahasiswa mampu membuat visum et repertum
C. Level Kompetensi
No KompetensiLevel Kompetensi
SKDI Target Capaian
1 Visum et Repertum 4 42 Traumatologi 4 4
D. Alat dan Bahan1. Foto-foto luka2. Form Visum et repertum3. Meteran
E. SkenarioAnda seorang dokter jaga UGD di RS. Saat sedang jaga, seorang pasien laki-
laki 21 tahun datang ditemani oleh pamannya. Ia mengaku pusing, mual dan
sempat pingsan karena dipukuli dan dikeroyok oleh teman-temannya. Pada
pemeriksaan didapatkan luka-luka memar pada kedua kelopak mata, pipi,
dada, punggung dan kedua lengan berwarna merah kebiruan. Saat diperiksa
pasien mengatakan ingin dibuatkan visum untuk menuntut para pelaku ke
pengadilan.
F. Dasar Teori
Definisi Dan Dasar Hukum VeR
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia
baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan
interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.
Menurut Budiyanto et al (1997), dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai
berikut:
1
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP.
Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a,
yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik
tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan
jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai
pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai
negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanksi
pidana :
Pasal 216 KUHP :
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu,atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa
untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan
guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Peranan Dan Fungsi VeR
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis
dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana
2
VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang
di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
barang bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan
demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran
dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat
diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi
hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang
menyangkut tubuh dan jiwa manusia.
Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang
pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan
baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya
pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan
yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil
pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP.
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk
mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna
untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai
alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari
tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional
Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et
repertum.
Struktur Dan Isi VeR
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai
berikut:
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b. Bernomor dan bertanggal
c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
3
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan
temuan pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada
lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik
POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut
dapat diberi visum et repertum masing-masing asli
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya,
dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun
Pada umumnya visum et repertum dibuat mengikuti struktur sebagai berikut :
1. Pro Justitia
Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak
perlu bermeterai.
CONTOH :
Lampung, 24 Agustus 2011
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No. /TUM/VER/VIII/2011
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul
diterimanya permohonan visum et repertum, identitas dokter yang melakukan
pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,
alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan,
alasan dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat
sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang
mengantar korban ke rumah sakit
CONTOH :
Yang bertandatangan di bawah ini, Exsa Hadibrata, dokter spesialis forensik pada
RSUD Abdul Muluk, atas permintaan dari kepolisian sektor.........dengan suratnya
4
nomor..........................tertanggal....................maka dengan ini menerangkan
bahwa pada tanggal..........pukul...........bertempat di RSUD Abdul Muluk, telah
melakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi..................yang menurut
surat tersebut adalah :
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Warga negara :
Pekerjaan :
Agama :
Alamat :
3.Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama
dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang
tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya,
koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat
adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka
atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada
pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan
kembali.
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :
a. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda
dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan
perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya
(status lokalis).
b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan
sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya
dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya
tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk
5
menghindari kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter
dan tepat-tidaknya kesimpulan yang diambil.
c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus
diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu
anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran
luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.4
CONTOH :
HASIL PEMERIKSAAN :
1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang.
Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan
pada kepala -----------------------------------------------------------------------------------
2. Pada korban ditemukan ------------------------------------------------------------------
a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang,
empat senti meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor, sudut luka
tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya
dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat senti meter ----
b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi
tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul,
berukuran dua sentimeter kali setengah sentimeter dasar otot.----------------
c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan
serta nyeri pada penekanan. --------------------------------------------------------
d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya
cedera kepala ringan. ----------------------------------------------------------------
3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak
menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri
menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan. ----------------
4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan. ---
5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu lagi.-----------------------
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari
fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan
6
dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada
bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan
derajat kualifikasi luka.
CONTOH :
KESIMPULAN : -----------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan
cederan kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta
patah tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera
tersebut dapat mengakibatkan penyakit /halangan dalam menjalankan pekerjaan
jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.----------------------------------------------
5. Penutup
- Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan
mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
- Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum
CONTOH :
Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan
menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah jabatan sesuai
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dokter Pemeriksa
dr. Exsa Hadibrata
Tata Laksana VeR pada Korban Hidup
1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup
a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal
133 ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat
Polisi Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer
(POM) dikategorikan sebagai penyidik.
7
b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal
133 ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa
permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas
telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik
yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan
keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya.
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik
a. Dokter
b. Perawat
c. Petugas Administrasi
3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup
a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum
sampai dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah
Sakit tersebut. Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan
kesehatannya dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah ditangani
aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap
korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal
yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai
penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat
permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan
aspek yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban
akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban
datang sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum
et repertum.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang
pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa
SPV.
Sebagai berikut :
1. Setiap pasien dengan trauma
8
2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
“Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal
pencatatan temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda
pada map rekam medisnya (tanda “VER”), warna sampul rekam medis
serta penyimpanan rekam medis yang tidak digabung dengan rekam medis
pasien umum.”
“Ingat ! kemungkinan atas pasien tersebut di atas pada saat yang akan
datang, akan dimintakan visum et repertumnya dengan surat permintaan
visum yang datang menyusul.”
c. Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang
telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan
yang mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan.
Ada kemungkinan didapati benda bukti dari tubuh korban misalnya anak
peluru, dan sebagainya. Benda bukti berupa pakaian atau lainnya hanya
diserahkan pada pihak penyidik. Dalam hal pihak penyidik belum
mengambilnya maka pihak petugas sarana kesehatan harus me-
nyimpannya sebaik mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan.
Status benda bukti itu adalah milik negara, dan secara yuridis tidak boleh
diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui penyidik.
d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas
administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena
ditujukan untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir
alinea dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh :
9
“Pada pipi kanan 2 sentimeter dari sumbu wajah, 2 sentimeter dibawah
mata terdapat luka robek, tepi tidak rata panjang lima sentimeter lebar satu
sentimeter dalam nol koma lima sentimeter, tidak teraba derik tulang------“
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya
adalah dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh
dokter. Sering terjadi bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik
datang terlambat, sedangkan dokter yang menangani telah tidak bertugas
di sarana kesehatan itu lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang
siapa yang harus menandatangani visum et repertun korban hidup tersebut.
Hal yang sama juga terjadi bila korban ditangani beberapa dokter sekaligus
sesuai dengan kondisi penyakitnya yang kompleks.
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang
menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani
tersebut (dokter pemeriksa). Dalam hal korban ditangani oleh beberapa
orang dokter, maka idealnya yang menandatangani visumnya adalah setiap
dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas korban. Dokter
pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan
pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan duka / cedera /
racun / tindak pidana.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (di luar kota)
atau sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka visum et
repertum ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan
forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh Direktur Rumah
Sakit tersebut.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada
penyidik saja dengan menggunakan berita acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.
10
Surat keterangan ahli/visum etrepertum juga hanya boleh diserahkan pada
pihak penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi
penyidikan sekaligus meminta surat visum et repertum.
Traumatologi Forensik
Materi dapat dibaca pada buku ajar Ilmu Kedokteran Forensik FK UI dan
Medicolegal FK Unair.
G. Prosedur
1. Sapalah klien, membina sambung rasa
2. Melakukan anamnesis, untuk menanyakan alasan klien datang
3. menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu inform consent
4. Memeriksa tanda-tanda vital klien
5. Mulai lakukan pemeriksaan luar
Mendokumentasikan luka sebelum dimanipulasi dan setelah
dibersihkan
Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah
Menilai letak luka secara anatomis (nilai absis dan ordinatnya)
Menilai jenis luka dan karakteristiknya
Menilai ukuran luka
6. Melakukan pemeriksaan penunjang bila perlu
7. Membuat kesimpulan dari hasil pemeriksaan
8. Membuat menjadi sebuah visum et repertum korban hidup
H. Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik.
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1997.
2. Herkutanto. Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di Jakarta dan Faktor
yang Mempengaruhinya. Maj Kedokt Indon, September 2004 ; 54 (9) :
355-60.
11
3. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The Quality of visum et repertum of the
living victims In Arifin Achmad General Hopital during January 2004-
September 2007. Jurnal Ilmu Kedokteran, Maret 2008 ; 2 (1) : 19-22.
4. Sampurna B, Samsu Z. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum.
Jakarta: Pustaka Dwipar, 2003.
5. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta :
Binarupa Aksara, 1997.
6. Hamdani N. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1992.
7. Afandi, dedi. Visum et repertum pada korban hidup. Bagian Forensik FK
Unri. Diunduh pada www.scribd.com 2 oktober 2011.
I. Evaluasi
Cek List Latihan Pemeriksaan Luar dan Pembuatan Visum et Repertum
No LANGKAH KLINIK YANG DINILAISkor
0 1 2I ITEM INTERAKSI DOKTER-PASIEN1 Senyum, salam dan sapa dan membina sambung rasa2 Anamnesis untuk menanyakan alasan klien datang3 Jelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu lakukan informed consentII ITEM PROSEDURAL1 Memeriksa tanda-tanda vital klien
Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan luar2 Mendokumentasi luka sebelum dimanipulasi dan setelah dibersihkan3 Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah
4 Menilai letak luka secara anatomis (nilai absis dan ordinatnya)
5 Menilai jenis luka dan karakteristiknya
6 Menilai ukuran luka 7 Lakukan Pemeriksaan Penunjang bila perlu
Membuat Visum et Repertum8 Pro Justisia dan Pendahuluan9 Hasil pemeriksaan10 Kesimpulan dan penutupIII ITEM PROFESIONALISME11 Tunjukkan sikap percaya diri dan menghormati klien
TOTAL
12
INTUBASI ENDOTRACHEALOleh: dr. Khairun Nisa., Mkes., AIFO.
A. TemaKetrampilan prosedural intubasi endotracheal
B. Tujuan Dapat melakukan intubasi endotracheal dengan benar Melakukan penilaian jalan nafas pasien (airway manajemen) Mampu melakukan reposisi untuk persiapan pemasangan ETT Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dari ETT Mampu menjelaskan tujuan, obat obatan dan komplikasi pemasangan ETT Mampu mengevaluasi hasil pemasangan ETT
C. Level Kompetensi
No KompetensiLevel Kompetensi
SKDI Target Capaian
1 Intubation 3 3
D. Alat dan Bahan Manekin RJP Masker penutup hidung dan mulut Handscoen Laringoskop Pipa endotracheal Pipa orofaring atau nasofaring Stilet atau forcep intubasi Plester Suction
E. SkenarioSeorang pemuda berusia 28 tahun dibawa ke UGD setelah mengalami
kecelakaan. Dia terpental dari motor yang ditumpanginya dan wajahnya
membentur trotoar. Pasien tidak sadar, menderita luka di wajah, pasien juga
terlihat sesak. Darah keluar dari telinga dan hidung. Dokter UGD segera
memberikan pertolongan dengan pemasangan ETT untuk mengelola
pernafasan si penderita.
13
F. Dasar TeoriPatennya jalan nafas, oksigenisasi, ventilasi dan menghindari aspirasi
merupakan tujuan utama manajemen pengelolaan jalan nafas. Pengelolaan
jalan nafas/Airway management merupakan aspek yang penting dalam
menangani kasus emergensi.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan
melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu
pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus
diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu
bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut
Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga direkomendasikan
untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas.
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu
lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan
nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim,2002).
Tujuan Intubasi Endotracheal
14
Gambar 1. Posisi Setelah Terpasang Endotracheal Intubasi
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Endotracheal
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002
antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
f. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan,
karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan
face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
g. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tidak ada ketegangan.
15
h. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal.
i. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
j. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
k. Tracheostomni.
l. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah,
ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical,
antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya,
depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih
lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
f. Pada post operatif deengan insufisiensi pernafasan
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomi pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Komplikasi akibat pemasangan ETT
Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi
laringeal cuff.
16
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau
mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi
retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial
dan malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi
kulit hidung.
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.
Komplikasi setelah ekstubasi.
a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau
trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring.
Obat obatan yang digunakan
a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant
dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg,
diberikan setelah pasien dianestesi. Suxamethonium bisa diberikan I.M.
bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct
vision intubation.
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision
intubation sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam
intubasi.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan
zat-zat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation,
tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
17
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring
dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
Menghisap lozenges anagesik.
Spray mulut, faring, cord.
Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
Suntikan trans tracheal.
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya
pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan
emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus
dapat diintubasi tanpa anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif
et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
o Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
o Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
o Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
o Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
o Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
o Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
o Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
18
G. Prosedur
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa
prosedur yang telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras
atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea
dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the
air possition. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan
leher.
b. Oksigenasi
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup
muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.
Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta
epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis
diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai
balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan
dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi
19
atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan
kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan
kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila
terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas
kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing,
sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua
paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi
(dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama
pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan
intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
Anonim,(2002),Endotracheal Intubation,
http://www.medicinet.com/script/main/art.asp?li=mni&articlekey=7035
Gail Hendrickson, RN, BS., (2002), Intubation,
20
http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html
Gisele de Azevedo Prazeres, MD., (2002), Orotracheal Intubation,
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html
Halliday HL., (2002), Endotracheal Intubation at Birth for Preventing Morbidity and
Mortality in Vigorous, Meconium-stained Infants Bord at Term,
http://www.update- software.com/ceweb/cochrane/revabstr/ab000500.html
Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W., (ed)., (2002), Kapita Selekta
Kedokteran, edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta
Tjunt & Earley, (1995), Anatomy and Physiology, FA Davis Company, Philadelphia.
William, R. Peter, (1995), Gray’s Anatomy, Churchil Livingstone, New York.
H. Daftar Pustaka
I. Ceklist Prosedur Intubasi Endotracheal
No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Score0 1 2
INTERPERSONAL
21
1 Siapkan alat dan pasienCONTENT
2 Menyiapkan alat dan pasien3 Cuci tangan WHO4 Pemakaian masker dan handscoen5 Pemasangan ETT:
- Tangan kanan memegang kedua bibir lalu buka mulut pasien, - Tangan kiri memegang laringoscope,- Masukkan blade dari sebelah kanan mulut sambil membawa bagian lidah
ke arah kiri sampai terlihat uvula dan epiglottis6 Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya
epiglottis7 Masukkan ETT dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke
arah tengah8 Isi balon ETT dengan spuit kosong9 Sambungkan ETT dengan ventilator /bag10 Pasang mayo untuk menghindari ETT tergigit11 Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop, masuk ke esofagus, terlalu kanan
atau kiri dari bronchus12 Fiksasi menggunakan plester
PROFESSIONALISM13 Melakukan dengan penuh percaya diri14 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL
Ekstraksi Corpus Alienum Hidung dan Telinga
dr. Rasmi Zakiah Oktarlina, dr. Fatah Satya Wibawa, SpTHT-KL
22
A. Tema Pembelajaran
Ekstraksi corpus alienum hidung dan telinga.
B. Tujuan
Tujuan Instruksional Umum
Mahasiswa mampu mengidentifikasi pasien dengan corpus alienum hidung
dan telinga serta dapat melakukan tindakan dan terapi
Tujuan Instruksional Khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum hidung
2. Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum telinga
C. Alat dan Bahan
1. Meja dan kursi periksa
2. Lampu kepala
3. Speculum
4. Otoscop
5. Forcep cunam/forcep aligator
6. Manekin hidung dan telinga
7. Pinset berujung lancip/pinset bayonet
8. Pengait ujung tumpul/haak
D. Skenario
Seorang perempuan berusia 4 tahun di antar oleh ibunya datang ke praktek dokter
umum dengan keluhan hidung sebelah kanan kemasukan biji jagung setelah bermain
dengan kakaknya hari ini. Ibu pasien juga mengatakan ada sisa cotton bud pada
23
telinga kanan. Selain itu Keluhan lain disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tanda-tanda vital TD 110/70 mmHg, N 90x/mnt, RR 22 x/mnt, S 380c. Pada
pemeriksaan menggunakan speculum dan otoscop tampak biji jagung dan cotton bud.
E. Dasar Teori
Corpus alienum Telinga
Benda asing (corpus alienum) yang berada di liang telinga bervariasi sekali. Lebih
sering terjadi pada anak tetapi dapat pula terjadi pada dewasa. Bisa berupa benda
mati, benda hidup, binatang, komponen tumbuhan dan mineral. Kacang hijau, manik,
mainan, baterai jam tangan, dan karet penghapus banyak ditemukan pada pasien anak-
anak. Pasien dewasa seringkali berupa potongan korek api dan binatang seperti kecoa,
semut dan nyamuk.
Beberapa faktor penyulit pengeluaran benda asing (corpus alienum) dari liang telinga,
yaitu :
Tidak kooperatif
Pasien kooperatif terutama anak-anak beresiko berpotensi besar terjadi
kerusakan gendang telinga dan struktur telinga tengah lainnya pada
penanganan yang tidak hati hati.
Edema.
Edema liang telinga yang disebabkan trauma dapat menghambat pengeluaran
benda asing (corpus alienum).
Benda hidup
Benda organik.
Benda organik akan membesar bila kita membiarkannya lama dan kondisi
lembab di liang telinga.
24
Kegagalan.
Usaha yang gagal dapat mendorong benda asing (corpus alienum) lebih ke
dalam liang telinga.
Usaha mengeluarkan benda asing seringkali malah mendorongnya lebih ke dalam.
Mengeluarkan benda asing haruslah hati-hati. Bila kurang hati-hati atu bila pasien
tidak kooperatif, beresiko trauma yang merusak membran timpani atau struktur
telinga tengah. Anak harus dipegang sedemikian rupa sehingga tubuh dan kepala tidak
dapat bergerak bebas.
Bila masih hidup, binatang di liang telinga harus dimatikan lebih dahulu dengan
memasukkan tampon basah keling telinga lau meneteskan cairan (misalnya rivanol
atau obat anestesi lokal) lebih kurang 10 menit. Setelah binatang mati, dikeluarkan
dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat.
Benda asing berupa baterai jam tangan, sebaiknya jangan dibasahi mengingat efek
korosif yang ditimbulkan. Benda asing yang besar dapat ditarik dengan pengait
serumen, sedangkan yang kecil diambil dengan cunam atau oinset berujung lancip.
Kontraindikasi relatif yaitu apabila pasien tidak kooperatif. Jika kontraindikasi relatif
ada, maka pasien dirujuk ke dokter spesialis THT.
Komplikasi
Otitis eksterna (radang telinga luar)
Otitis media jika corpus alienum menimbulkan perforasi spontan
Kerusakan telinga tengah dan telinga dalam
Teknik pengeluaran benda asing dari liang telinga antara lain :
Benda hidup. Harus dimatikan terlebih dahulu sebelum kita keluarkannya.
Masukkan tampon basah ke dalam liang telinga lalu tetesi cairan misalnya
larutan rivanol dan biarkan selama 10 menit.
25
Tidak kooperatif. Pegang kepala anak. Anestesi umum dapat kita lakukan pada
kasus tertentu.
Irigasi. Gunakan air bersih yang sesuai suhu tubuh.
Pinset.
Kapas yang terpilin.
Pengait serumen. Gunakan untuk mengeluarkan benda asing (corpus alienum)
yang besar.
Cunam atau pengait. Gunakan pada benda asing (corpus alienum) yang kecil.
Penanganan serumen obturan. Serumen dapat diambil langsung dengan hook
extraction atau diirigasi lebih dahulu. Jika serumen keras dapat ditetesi dengan
tetes nitrogliserin atau minyak zaitun (oleum olivarum) selama beberapa hari
agar serumen melunak sehingga mudah diekstraksi. Telinga diirigasi dengan
air bersih non bakteriologis pada suhu 37º C sama dengan suhu tubuh agar
tidak terjadi trauma fisik dengan menggunakan syringe telinga dengan kanula
tumpul. Air hanyalah diarahkan ke posterosuperior agar tidak mengenai
membrane timpani secara langsung. Setelah irigasi harus diikuti dengan
evaluasi yaitu pemeriksaan otoskopi ulang.
Corpus alienum Hidung
Corpus alienum pada hidung sering trjadi pada anak-anak yang suka memasukkan benda-benda apa saja kedalam lubang hidung, seperti biji kacang, jagung, dan benda lain yang luput dari perhatian orang tua. Jika benda yang masuk agak ringan maka anak dapat disuruh mengeluarkan sendiri seperti mengeluarkan ingus tapi ini bisa dilakukan kalau anaknya sudah mengerti atau sudah besar dan tidak cengeng.
Gejala yang paling seing adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis dan bersin. Pada pemeriksaan, tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi serta ditenukan rinolith. Benda asing biasanya tertutup oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis. Jika demikian, dalam menghisap mukopus haruslah hati-hati supaya benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang
26
kemudian dapat masuk ke laring, trakea dan bronkus. Benda asing, seperti karet busa, sangat cepat menimbulkan sekret yang berbau busuk.
Mengeluarkan benda asing dari lubang hidung dapat dilakukan namun sangat tergantung apakah anak dapat diajak kerja sama atau tidak, kalau benda asingnya masih dapat terlihat maka berarti belum jauh kedalam. Posisi anak dalam pangkuan seseorang yang seperti memeluk kedua tangan dipegang dan seorang lagi memegang kepala anak dengan muka agak di dongakkan jadi dokter atau perawat bisa mengintip kedalam lubang hidung dan memasukkan pengait untuk menarik benda yang masuk ke lubang hidung. Pemilihan alat tergantung jenis benda asingnya. Jika terjadi kegagalan maka rujuklah ke dokter spesialis THT.
Komplikasi :
Sinusitis
Aspirasi
Prosedur Pengeluaran benda asing (corpus alienum) dari hidung :
Pengeluaran benda asing dari hidung adalah dengan menggunakan pengait (haak)
yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai
menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik kedepan.
Dengan cara tersebut, benda asing akan terbawa keluar. Dapat pula menggunakan
cunam Nortman atau “wire loop”.
Penanganan yang salah bila mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring
dengan maksud supaya masuk kedalam mulut. Dengan cara tersebut, benda asing
dapat terus masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang menyebabkan sesak
napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat.
Pemberian antibiotik sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda
asing yang telah menimbulkan infeksi hidung maupun sinus.
F. Prosedur
Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari liang telinga, antara lain :
27
1. Informed Consent
2. Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada telinga.
3. Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu.
4. Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga
5. Melakukan tindakan ekstraksi benda asing
Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari hidung :
1. Informed Consent
2. Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada hidung.
3. Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu.
4. Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga
5. Melakukan tindakan ekstraksi benda asing
G. Daftar Pustaka
Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. 2007. dr. H. Efiaty
Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor).
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tamin S. Benda asing saluran napas dan cerna. Satelit simposium penanganan
mutakhir kasus telinga hidung tenggorok.
Kurnaedi W., Purwanto B. Benda asing pada bronkus. Dalam: Kumpulan naskah
ilmiah kongres nasional XII. 1999. Semarang: Badan penerbit Universitas
Diponegoro.
Boies Higler, Adams. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. Ke-6. 1997. Dr. Harjanto
Effendi, dr. R.A. Kuswidayati Santoso (Editor). Jakarta : EGC
28
H. Ceklist Latihan Ekstraksi Corpus Alienum No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Skor
0 1 2
INTERPERSONAL
1 Membina sambung rasa (Senyum, Salam, Sapa dan
menunjukkan sikap kesediaan meluangkan waktu
untuk berbicara dengannya, kesejajaran)
2 Informed consent
CONTENT
3 Persiapan alat
4 Cuci tangan tangan WHO, pakai handscoon
Pengangkatan Corpus alienum telinga
5 Memposisikan pasien dengan baik, orang tua membantu dengan satu tangan memeluk kepala pasien kedada orang tuanya, dan tangan yang lain memegang badan agar telinga menghadap ke arah dokter
6 Angkat daun telinga bagian atas dan lihat dengan menggunakan otoskop dan mengidentifikasi secara pasti benda apa yang terdapat pada telinga
7 Ekstraksi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai.
Pengangkatan corpus alienum hidung
8 Memposisikan anak dalam pangkuan orang tua dan membelakanginya. Orang tua memeluk badan dan kedua tangannya serta mengusahakan agar kepala anak agak mendongak dengan cara tangan yang satu mendorong ringan dagu dan memfiksasi dagu. Tangan yang lainnya memegang kepala.
9 Gunakan speculum dan mengidentifikasi secara pasti benda apa yang terdapat pada hidung.
10 Ekstrasi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai
PROFESSIONALISM
11 Melakukan dengan penuh percaya diri
12 Menyampaikan semua informasi sesuai
dengan konteksnya (clinical reasoning)
13 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL
29