budaya banyumas sebagai sumber belajar ips di …/budaya... · memperkaya pengetahuan kebudayaan,...
TRANSCRIPT
BUDAYA BANYUMAS
SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS
DI SMP KABUPATEN BANYUMAS
T E S I S Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh :
Amin Hidayat
S 860908027
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
BUDAYA BANYUMAS
SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS
DI SMP KABUPATEN BANYUMAS
Disusun oleh :
Amin Hidayat
S 860908027
Telah disetujui oleh tim pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Warto, M. Hum. _______________ ___________
NIP. 131633898
Pembimbing II Prof. Dr. Herman J. Waluyo _______________ ___________
NIP. 130692078
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah,
Dr. Warto, M. Hum.
NIP. 131633898
iii
BUDAYA BANYUMAS
SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS
DI SMP KABUPATEN BANYUMAS
Disusun oleh :
Amin Hidayat
S 860908027
Telah disetujui dan disyahkan oleh tim penguji
Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal
Ketua : Dr. Suyatno Kartodirjo ...................... ...................
Sekretaris : Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum ...................... ...................
Pembimbing/ Anggota penguji :
Pembimbing I Dr. Warto, M. Hum. …………….. ………. ….
Pembimbing II Prof. Dr. Herman J. Waluyo ...................... ...................
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Pendidikan Sejarah, : Dr. Warto, M. Hum. ...................... ...............
NIP. 131633898
Direktur PPs UNS : Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. …………….. …………
NIP. 131472192
iv
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Amin Hidayat
NIM : S 860908027
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul ;
”Budaya Banyumas Sebagai Sumber Belajar IPS di SMP Kabupaten
Banyumas” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari
tesis tersebut.
Banyumas, 30 Nopember 2009
Yang membuat pernyataan,
Amin Hidayat
v
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, berkat rahmat dan karunia-Nya, penulisan tesis ini
dapat terselesaikan sesuai rencana. Hal ini tidak terlepas dari bimbingan, dorongan
dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dengan setulus-
tulusnya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah berkenan memberi kesempatan
untuk menyelesaikan studi di program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan arahan dan kesempatan menyelesaikan studi di program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Warto, M. Hum., selaku ketua Prodi Pendidikan Sejarah PPs UNS Surakarta,
dan juga sebagai dosen pembimbing untuk penyusunan tesis ini, yang telah
banyak memberikan ruang diskusi, arahan dan masukan dalam penyelesaian
makalah ini.
4. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum., selaku sekretaris Prodi Pendidikan Sejarah PPs
UNS Surakarta, yang leluasa membuka diri untuk berdiskusi dan memberi
dorongan tanpa pamrih.
5. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, selaku dosen pembimbing, yang dengan santai
namun serius mencermati dan mengoreksi konsep tesis ini.
vi
6. Dr. Tanto Sukardi, M. Hum., Drs. Sugeng Priyadi, M. Hum, Bambang S.
Poerwoko, Bapak Sopani dan informan lainnya yang tidak memungkinkan untuk
dapat disebut satu-persatu.
7. Kepala sekolah dan guru IPS pada SMPN 1 Ajibarang, SMPN 2 Purwokerto,
SMPN 1 Sumpyuh dan SMPN 2 Cilongok, yang dengan terbuka digunakan dan
membantu pengumpulan data.
8. Ketua dan pengurus MGMP IPS Kabupaten Banyumas yang dengan senang hati
membantu penjaringan data untuk guru IPS.
9. Istri tercinta, Miladiyah Susanti dan anak tersayang, Rizqi Larasati yang dengan
semangat memberi dorongan untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.
10. Semua pihak yang dengan ikhlas telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Penyusunan tesis ini telah dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan
kemampuan maksimal. Namun demikian, mungkin tanpa disadari terdapat
kekurangan, untuk itu mohon saran dan kritik membangun. Akhirnya, dengan penuh
harap semoga tesis ini memiliki manfaat.
Banyumas, 30 Nopember 2009
Amin Hidayat
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
PENGESAHAN TESIS ..................................................................................... iii
PERNYATAAN TESIS ..................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
ABSTRAK ........................................................................................................ xii
ABTRACT ........................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………... 5
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 5
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 6
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ................................. 8
A. Kajian Teori …………………………………………………… 8
1. Pengertian Kebudayaan ......……………………………..... 8
2. Kebudayaan Daerah .....………………………………....... 14
3. Culture Area .................................................…………........ 19
4. Hakikat Sumber Belajar ....................................................... 21
5. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ………………....... 24
B. Penelitian yang Relevan ………………………………………. 28
C. Kerangka Pikir ………………………………………………… 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………………… 33
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………… 33
viii
B. Jenis dan Strategi Penelitian ………………………………….. 33
1. Jenis Penelitian………………………………………………. 33
2. Srategi Penelitian……………………………………………. 35
C. Jenis Informasi ……………………………………………….. 36
D. Sumber Data ………………………………………………….. 37
E. Teknik Cuplikan (Sampling) ………………………………… 39
F. Teknik Pengumpulan Data …………………………………… 39
G. Validitas Data …………………………………………………. 42
H. Teknik Analisis Data ………………………………………….. 44
1. Reduksi Data............................................................................. 44
2. Sajian Data................................................................................ 45
3. Penarikan Kesimpulan/Verivikasi........................................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………… 48
A. Hasil Penelitian …………………………………………………. 48
1. Deskripsi Latar ……...………………………………………..... 48
a. Kondisi Geokultural ................................................................. 48
b. Kebudayaan Banyumas ………………………….………… 52
c. Sumber Belajar IPS di SMP Kabupaten Banyumas…………. 52
2. Sajian Data ……………………………………………………. 97
a. Pemahaman Guru IPS SMP di Kabupaten Banyumas Terhadap
Budaya Banyumas ………………………………………… 97
b. Jenis-jenis Budaya Banyumas Yang Dapat Dijadikan Sumber
Belajar IPS ........................................................................ 99
c. Strategi Pembelajaran yang dapat Digunakan Oleh Guru
dalam Memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai Sumber
Belajar IPS ………………………………………………... 100
B. Pokok-pokok Temuan ………………………………………… . 104
C. Pembahasan ……………………………………………………. 106
ix
1. Pemahaman Guru IPS SMP di Kabupaten Banyumas Terhadap
Budaya Banyumas ..................................................................... 106
2. Jenis-jenis Budaya Banyumas yang Dapat Dijadikan Sumber
Belajar IPS ………………………………………………….. 110
3. Alternatif Strategi Pembelajaran yang dapat Digunakan Guru dalam
Memanfaatkan Budaya Banyumas Sebagai Sumber Relajar IPS 119
BAB V : PENUTUP ..................................................................................... 123
A. Kesimpulan .............................................................................. 123
B. Implikasi .................................................................................. 124
C. Saran ........................................................................................ 126
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 128
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah suatu proses pembinaan guna mengantarkan peserta didik
menemukan kediriannya. Artinya, pendidikan dimaksudkan untuk membentuk diri
seseorang dalam hal ini siswa, agar menjadi manusia dewasa dan matang. Baik
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
x
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 butir 1, menyebutkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Pada Bab II : Dasar, Fungsi dan Tujuan, yang pada pasal 2 disebutkan bahwa
Pendidikan nasional berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Fungsinya untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuannya
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab
Pada Bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan pasal 4 butir 1 dikatakan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural dan kemajemukan bangsa (Wiji Suwarno, 2006: 32).
Tujuan pembelajaran IPS bersifat linier atau sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk peserta didik
menjadi warga negara yang baik, mampu membangun kemampuan berpikir,
mengenal dan mampu melestarikan kebudayaan bangsanya. Secara khusus tujuan
pembelajaran IPS menyangkut tiga hal, yaitu: penyampaian pengetahuan,
xi
pembentukan nilai dan sikap, serta melatih ketrampilan (Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama, 2004:24-25). Hal ini menunjukkan arah dan tujuan pembelajaran
IPS sangat luas dan komprehensif, yang menekankan pada aspek kebudayaan
sebagai sumber belajar
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan bagian integral dari
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di jenjang SMP. Di dalam pedoman
penyusunan dan pengembangan KTSP, jelas tergambar besarnya potensi
pemanfaatan lingkungan dan budaya lokal sebagai salah satu sumber belajar maupun
sarana penunjang (instrumen) bagi tercapainya tujuan pembelajaran, khususnya mata
pelajaran IPS secara menyeluruh (Masnur Muslich, 2007:11). Proses pembelajaran
IPS saat ini mengedepankan prinsip PAIKEM. Yaitu Pembelajaran Aktif, Inovatif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (Sugiyanto, 2007:2-3). Selain itu, pembelajaran
harus memiliki muatan konsep kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yang
meliputi nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekolah, penekanan yang diberikan oleh
guru, derajat antusiasme guru, iklim fisik dan sosial sekolah (Oliver, 1982:7). Karena
itu jelas dibutuhkan guru dengan dasar kemampuan yang memadai, baik dalam
menentukan teknik dan strategi mengajar maupun menyeleksi materi ajar. Artinya,
pengampu harus benar-benar mampu memilah dan memilih topik-topik permasalahan
dalam masyarakat lingkungannya yang dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran.
Tentu saja disertai dengan strategi yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan sesuai
dengan indikator-indikator Kompetensi Dasar (KD) dan Standar Kompetensi (SK)
IPS secara optimal.
xii
Kebudayaan lokal sebagai sumber belajar merupakan wujud penyajian kondisi
riil masyarakat sekitar peserta didik sebagai materi belajar di sekolah . Hal ini sejalan
dengan paradigma baru dalam strategi pembelajaran yang disebut Contextual
Teaching and Learning (CTL). Strategi ini menekankan adanya upaya mengaitkan
kondisi yang dihadapi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam pembelajaran
(Direktorat PLP, 2003:1). Kekuatan simbol-simbol dalam kebudayaan akan
menumbuhkan daya tangkap dan daya tanggap yang kuat atas diri peserta didik. Ia
akan memperoleh peluang untuk mengintegrasikan segenap pengalaman cipta-rasa-
karsanya. Ini berarti mengembangkan daya hayat secara luwes dan serasi (Suryanto
Sastroatmodjo, 2006:13).
Fuad Hassan menyatakan, pemerintah berkomitmen memajukan kebudayaan
nasional Indonesia sebagaimana termaktub dalam batang tubuh UUD 1945 (1989:17).
Pengembangan kebudayaan nasional Indonesia harus meliputi pengakuan dan
pengukuhan kebudayaan daerah. Dalam hal ini tentunya termasuk budaya daerah
Banyumas. Primordialisme sebenarnya juga merupakan salah satu unit-historis yang
harus diakui eksistensinya. Primordialisme Banyumas jelas menunjukkan adanya
kelampauan bersama yang telah dilalui dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena
itu, Budaya Banyumas perlu diposisikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan
budaya nasional. (Sugeng Priyadi, 2009:2). Dengan demikian jelas bahwa penyajian
Budaya Banyumas sebagai sumber pembelajaran mata pelajaran IPS di tingkat SMP
di Kabupaten Banyumas dapat mendukung upaya optimalisasi pencapaian tujuan
pembelajaran IPS secara menyeluruh.
xiii
Mencermati berbagai paradigma, ketentuan, dan tujuan pendidikan tersebut,
perlu kiranya guru mata pelajaran IPS jenjang SMP di Kabupaten Banyumas
memperkaya pengetahuan kebudayaan, khususnya Budaya Banyumas. Kepedulian
guru bukan lagi semata untuk mencapai tujuan pembelajaran, melainkan untuk
mewujudkan potensi pribadi peserta didik secara optimal. Dengan demikian proses
pembelajaran yang maksimal menjadi mutlak dilakukan. Guru harus mampu
menyusun skenario pembelajaran sedemikian rupa, sehingga dalam prosesnya
mampu membawa peserta didik pada pengalaman belajar yang lebih bermakna.
Berdasar kenyataan seperti itulah, penelitian ini dilakukan. Dalam
pelaksanaannya, penelitian difokuskan pada upaya menemukan unsur-unsur Budaya
Banyumas yang relevan sebagai materi pembelajaran IPS di tingkat SMP di
lingkungan Kabupaten Banyumas, baik sebagai materi pengayaan maupun instrumen
pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
Pada dasarnya penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan tentang
kepatutan dan relevansi Budaya Banyumas untuk diangkat menjadi salah satu sumber
belajar dalam pembelajaran mata pelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan
Kabupaten Banyumas. Secara lebih terperinci pertanyaan-pertanyaan yang harus
dijawab itu dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana pemahaman guru pengampu mata pelajaran IPS tingkat SMP di
lingkungan Kabupaten Banyumas terhadap Budaya Banyumas?
xiv
2. Jenis-jenis Budaya Banyumas manakah yang dapat dijadikan sebagai sumber
belajar mata pelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas?
3. Strategi pembelajaran semacam apa yang dapat digunakan oleh guru dalam
memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkap hal-hal
sebagai berikut.
1. Mengungkap pemahaman guru IPS tingkat SMP di lingkungan Kabupaten
Banyumas terhadap Budaya Banyumas.
2. Mendeskripsikan jenis-jenis Budaya Banyumas yang dapat dijadikan sebagai
sumber belajar mata pelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten
Banyumas.
3. Mengungkap berbagai alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan guru
dalam memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar mata pelajaran
IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini berupa deskripsi tentang Budaya Banyumas yang
dijadikan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran IPS pada SMP di Kabupaten
Banyumas. Adapun hasilnya diharapkan bermanfaat bagi upaya optimalisasi
xv
pencapaian tujuan pendidikan, khususnya dalam mata pelajaran IPS. Secara terperinci
manfaatnya diuraikan sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan terhadap teori pembelajaran
yang berkaitan dengan potensi lokal, dalam hal ini Budaya Banyumas sebagai
sumber belajar dalam pembelajaran IPS tingkat SMP di Kabupaten Banyumas.
Diharapkan pula dapat memberikan sumbangan bagi upaya pelestarian Budaya
Banyumas. Hasil Penelitian juga diharapkan turut memperkaya khasanah ilmu,
khususnya dalam pembelajaran mata pelajaran IPS di tingkat SMP di Kabupaten
Banyumas.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh Guru IPS tingkat SMP di
Kabupaten Banyumas sebagai model atau acuan dalam menyusun program
pembelajaran IPS dan pelaksanaannya di sekolah agar lebih kontekstual dan
bermakna. Dengan demikian, pembelajaran IPS akan mengarah pada prinsip
PAIKEM.
b. Bagi Pengelola Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh
Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas untuk
memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar dalam pembelajaran
IPS tingkat SMP di lingkungannya. Pelestrian Budaya Banyumas sebagai local
xvi
genius akan lebih sustainable jika berbasis pada kekuatan dalam, kekuatan
lokal dan kekuatan swadaya, termasuk keterlibatan para pemegang kebijakan
dunia pendidikan di lingkungan setempat.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Pengertian Kebudayaan
Budaya secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu bentuk pranata
kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Baik berupa karya seni, adat-
istiadat, kepercayaan, situs-situs sejarah, struktur sosiologi, ekologi, topografi,
xvii
maupun geologinya. Pada hakikatnya budaya tersebut telah mendarah daging,
hingga semestinya tak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat di
lingkungannya.
David Kaplan dan Robert A. Manners (2002:103-104) berpendapat,
ekologi budaya mendapat inspirasi dari wawasan jangka panjang tentang
manusia, yang melihat manusia sebagai hasil unik suatu evolusi biologis.
Keunikannya, manusia mampu menyelaraskan diri atau menundukkan
lingkungannya dengan cara-cara sangat berbeda dari cara-cara makhluk lain yang
lebih rendah (infrahuman). Pada tingkat infrahuman spesies melakukan adaptasi
terhadap lingkungan antara lain dengan proses belajar yang bersifat intraspesifik
dan nonkumulatif. Akan tetapi dalam jangka panjang adaptasi mereka dalam
lingkungan itu sangat bergantung pada proses pergantian unsur-unsur genetis dan
mekanisme seleksi alamiah. Semua bentuk infrahuman beradaptasi dengan
lingkungannya sebagai wujud adanya. Manusia makin memodifikasi dan
mengadaptasi lingkungannya terhadap diri manusia sendiri. Hal ini dapat
dilakukan manusia karena adanya unsur sarana yang disebut budaya atau kultur.
Budaya mencakup pengertian yang luas, karena menyangkut keseluruhan
hasil unsuritas manusia yang kompleks. Di dalamnya berisi struktur-struktur yang
saling berhubungan sehingga membentuk suatu sistem. Artinya, kebudayaan
merupakan suatu kesatuan organis dari rangkaian gejala, wujud, dan unsur-unsur
yang berkaitan satu dengan yang lain, (Tri Widiarto, 2007:10).
xviii
Dua ahli antropologi A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn telah
mengumpulkan kurang lebih 160 definisi tentang kebudayaan yang dibuat oleh
ahli-ahli antropologi, sosiologi, sejarah dan ilmu sosial yang lain termasuk dari
para ahli filsafat. Dari sekian banyak definisi, terlihat kecenderungan anggapan
bahwa gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan,
(Budiono Herusatoto, 1991: 8-9).
Djoko Widagdo (2008:19) mengutip pendapat beberapa ahli tentang
pengertian kebudayaan. Di antaranya pernyataan R. Linton dalam buku ”The
Cultural background of personality”, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta
diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Pakar lain, C. Klukhohn dan W.H.
Kelly merumuskan kebudayaan sebagasi hasil tanya jawab dengan para ahli
antropologi, sejarah, hukum, psychologi yang implisit, explisit, rasional, irasional
terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku
manusia. Sedangkan menurut Melville J. Herskovits, antropolog Amerika,
kebudayaan adalah ”Man made part of the environment”, kebudayaan bagian dari
lingkungan buatan manusia. Disebutkan pula pendapat, Dawson dalam buku ”Age
of the Gods”, bahwa kebudayaan adalah cara hidup bersama (culture is common
way of life). Demikian pula dengan sosok J.P.H Dryvendak yang mengatakan
bahwa kebudayaan adalah suatu kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai
yang beraneka ragam berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.
xix
Secara etimologi, istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah,
bentuk jamaknya buddhi, artinya akal. Pada diri manusia terdapat unsur-unsur
potensi budaya yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan akal pikiran
yang menimbulkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia selalu memiliki
keinginan untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan kehidupan. Dengan akal,
pikiran dan nalar, manusia selalu mencari, menyelidiki dan menemukan sesuatu
yang baru serta mampu menciptakan karya-karya besar. Rasa, artinya dengan
panca inderanya manusia mengembangkan rasa keindahan atau estetika, dan
melahirkan karya-karya kesenian. Sedangkan karsa, atau kehendak berarti
manusia selalu menghendaki untuk menyempurnakan hidupnya, merindukan
kemuliaan hidup, mencapai kesusilaan, budi pekerti luhur dan selalu mencari
perlindungan dari Sang Pencipta, (Koentjaraningrat, 2002:9).
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat, (Djoko Widagdho, 2008:21). Secara
teperinci dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia,
meliputi :
1) Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda
ciptaan manusia, misalnya alat-alat perlengkapan hidup.
2) Kebudayaan nonmaterial (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak
dapat dilihat dan diraba, misalnya religi, bahasa dan ilmu pengetahuan.
xx
b. Kebudayaan tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya
mungkin diperoleh dengan cara belajar.
c. Kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa
masyarakat akan sukar bagi manusia untuk membentuk kebudayaan.
Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual
maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.
d. Kebudayaan adalah kebudayaan manusia, hampir semua tindakan manusia
adalah kebudayaan.
Adapun fungsi kebudayaan secara sederhana dibedakan menjadi tiga, (Tri
Widiarto, 2007: 36), yaitu:
a. Melindungi diri terhadap alam. Dari fungsi ini kemudian tampak hasilnya dari
karya-karya berupa alat-alat dan teknologi guna memenuhi kebutuhan
manusia.
b. Mengatur hubungan antarmanusia. Wujudnya berupa hukum adat, norma-
norma atau kaidah yang meski tidak tertulis menjadi pedoman tingkah laku
setiap anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Fungsi
ini pula yang akhirnya melahirkan pola-pola perikelakuan (pattern of
behavior) para anggota kelompok.
c. Sebagai wadah segenap perasaan manusia. Fungsi inilah yang kemudian
memunculkan produk budaya berupa hasil-hasil seni; seni musik, seni suara,
seni tari, seni lukis, seni pahat, seni ukir, dan lain-lain.
xxi
Sedangkan wujud kebudayaan ada tiga, (Koentjaraningrat, 2000:186),
yaitu:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini berada pada alam pikiran
dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-
karangan warga masyarakat yang bersangkutan.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat, wujud ini berupa sistim sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ini berupa
kebudayaan fisik yang berbentuk nyata, merupakan hasil karya masyarakat
yang bersangkutan.
Berdasar klasifikasi tersebut jelas bahwa wujud pertama dan wujud kedua
merupakan buah akal dan budi manusia. Sedangkan wujud yang ketiga adalah
buah karya manusia.
Kuntowijoyo (2006:42) menyoroti adanya dualisme budaya. Yaitu budaya
desa dengan budaya kota, dan disparitas budaya antara yang mampu dengan yang
tidak mampu. Sejalan dengan itu, Mudji Sutrisno (tanpa tahun:109) menyatakan
bahwa rasionalitas, subjektivitas dan libertas (kebebasan) merupakan penemuan
kesadaran manusia untuk merajut kebudayaan menjadi peradaban. Selanjutnya
David Kaplan (2002:82) menyatakan, suatu institusi atau kegiatan budaya
xxii
dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian
sistem tertentu dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi.
Definisi-definisi dan pemahaman tentang kebudayaan tersebut sepintas
terlihat berbeda. Namun jika dicermati, semuanya mengakui adanya ciptaan
manusia, meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia, diatur oleh tata kelakuan
melaui proses belajar, dan semuanya tersusun dalam masyarakat.
Secara umum masyarakat mengartikan kebudayaan sebagai the general
body of the arts. Bagian-bagiannya meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat,
seni rupa, pengetahuan filsafat atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan.
Dapat disimpulkan, kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup, baik yang konkret maupun abstrak.
Ada tiga karakteristik penting dari kebudayaan menurut Dr. Alo Liliweri,
M.S., (2007: 57) dan ini sejalan dengan tafsir kebudayaan yang diuraikan Geertz
(1992: 21), yaitu :
a. Kebudayaan itu dapat dipelajari.
Kebudayaan itu dapat dipelajari karena interaksi antarmanusia ditentukan oleh
penggunaan simbol, bahasa verbal maupun nonverbal. Tradisi budaya, nilai-
nilai, kepercayaan dan standar perilaku semuanya diciptakan oleh kreasi
manusia dan bukan sekedar diwarisi secara instink, melainkan melalui proses
pendidikan dengan cara-cara tertentu menurut kebudayaan.
b. Kebudayaan dipertukarkan.
xxiii
Istilah pertukaran, merujuk pada kebiasaan individu atau kelompok untuk
menunjukkan kualitas kelompok budayanya. Dalam interaksi dan pergaulan
antarmanusia setiap orang mewakili kelompoknya lalu menunjukkan
kelebihan-kelebihan budayanya dan membiarkan orang lain untuk
mempelajarinya. Proses pertukaran budaya, terutama budaya material,
dilakukan melalui mekanisme ‘belajar budaya’.
c. Kebudayaan Tumbuh dan Berkembang.
Setiap kebudayaan terus ditumbuhkembangkan oleh para pemilik
kebudayaannya. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa kebudayaan itu
terus mengalami perubahan.
Implikasi karakteristik kebudayaan sebagai hal yang dapat dipelajari,
dapat ditukar dan dapat berubah itu terjadi hanya jika ada jaringan interaksi
antarmanusia dalam bentuk komunikasi antar pribadi maupun antar kelompok
budaya yang terus meluas, (Alo Liliweri, 2007:59).
2. Kebudayaan Daerah
Berbicara tentang kebudayaan daerah di Indonesia bukan hal mudah.
Terdapat ribuan wujud kebudayaan di negeri yang terdiri atas deretan pulau besar
dan kecil yang membentang dari Sabang sampai P. Rote. Jumlah kebudayaan
daerah di seluruh bangsa ini paling tidak sebanding dengan jumlah suku bangsa
dengan latar belakang sejarah masing-masing. Keberagaman kebudayaan di
daerah merupakan akibat dari suatu pengalaman historis yang berbeda-beda.
xxiv
Sedikit mengungkap tentang latar belakang keragaman kebudayaan di
wilayah Indonesia, Koentjaraningrat (1988:1) menguraikannya dengan
mengaitkan sejarah terbentuknya kepulauan nusantara. Konon, manusia
Indonesia tertua sudah ada sejak lebih dari satu juta tahun lalu, saat dataran Sunda
masih merupakan daratan dan Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan
masih menyatu. Fosil manusia tertua itu kemudian dikenal dengan
Pithecanthropus Erectus, yang diyakini berevolusi menjadi Homo Soloensis.
Fosilnya antara lain ditemukan di Lembah Bengawan Solo. Puluhan ribu tahun
kemudian, baru berevolusi lagi menjadi manusia dengan ciri-ciri seperti manusia
sekarang. Fosilnya ditemukan di Distrik Wajak dan dikenal dengan Homo
Wajakensis, yang ciri-cirinya memiliki banyak persamaan dengan fosil nenek
moyang penduduk asli Australia sebelum dikuasai oleh orang-orang Eropa.
Sedangkan wilayah Indonesia pada awalnya merupakan dua dataran yang
amat luas di antara Benua Asia dan Australia, dengan deretan gunung berapi yang
membentang dari Pegunungan Himalaya ke tenggara lalu ke timur, ke utara di
dalam laut di antara kedua dataran tersebut. Kedua dataran itu disebut dengan
Dataran Sunda yang merupakan ekstensi Benua Asia, dan Dataran Sahul yang
dianggap sebagai ekstensi Benua Australia ke utara.
Saat zaman es akhir (Kala Gracial Wurn) lapisan es di kutub utara dan
selatan meleleh sehingga permukaan laut lebih tinggi. Kedua dataran tersebut
tenggelam. Yang tinggal hanya deretan pegunungan di atasnya yang kemudian
xxv
membentuk kepulauan yang sekarang disebut gugusan kepulauan Indonesia dan
Filipina.
Sebagai daerah kepulauan yang diapit Benua Asia dan Australia, iklimnya
sangat ditentukan oleh angin musim. Hal ini mempengaruhi banyak sedikitnya
curah hujan dan kesuburan tanah di masing-masing wilayah. Pengaruh
sedimentasi vulkanik muda dari gunung-gunung berapi juga sangat berpengaruh
terhadap kesuburan tanah. Semakin subur suatu wilayah, semakin padat
penduduknya, hingga berpotensi menjadi tempat berkembangnya suatu
kebudayaan, (Koentjaraningrat, 1988:2-3).
Hal lain yang mempengaruhi terbentuknya suatu kebudayaan di berbagai
wilayah masih menurut Koentjaraningrat (1988:3-20), adalah berbagai peristiwa
pada zaman prehistori, yaitu:
a. Persebaran manusia dengan ciri-ciri Austro Melanesoid yang membawa
kebiasaan hidup di muara sungai, hidup dari usaha menangkap ikan, berburu,
dan meramu tumbuh-tumbuhan dan akar. Seperti masyarakat di Irian.
b. Pengaruh ciri-ciri Mongoloid yang mengembangkan kebudayaan berburu
dengan busur panah bercorak Toala. Seperti di Sulawesi.
c. Persebaran bangsa-bangsa pembawa kebudayaan Neolitik. Mereka ini telah
mengenal cocok tanam tanpa irigasi. Mereka juga membawa bahasa Proto
Austronesia yang menyebar dari Cina Selatan ke selatan hingga Semenanjung
Melayu, Sumatra, Jawa dan lain-lain kepulauan Indonesia bagian barat,
xxvi
Kalimantan Barat, NTT, Flores, Sulawesi, hingga Filipina. Kebudayaan ini
tidak pernah sampai ke bagian timur Indonesia.
d. Persebaran pengaruh kepandaian membuat benda-benda perunggu, yang
konon berawal dari Vietnam Utara.
Senada dengan pendapat Koentjaraningrat, Edi Sedyawati (2006:328)
menyatakan, di dalam masing-masing kesatuan masyarakat yang membentuk
bangsa, baik berskala kecil ataupun besar, terjadi proses pembentukan dan
perkembangan budaya yang berfungsi sebagai penanda jati diri bangsa tersebut.
Di Indonesia, proses demikian itu telah terjadi sejak zaman prasejarah, di berbagai
kawasan dalam wilayah Indonesia.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kehidupan pada masa prasejarah dalam
satuan-satuan kemasyarakatan yang relatif terpisah satu sama lain telah
memberikan peluang besar untuk tumbuhnya kebudayaan dengan ciri-ciri
khasnya masing-masing. Keunikan budaya masing-masing tersebut mendapat
momentum untuk pemantapan ketika masyarakat yang bersangkutan telah
menginjak pada kehidupan menetap. Dengan perkembangan ini, jati diri budaya
masing-masing ditandai kekhasan yang lebih rumit pula, menyangkut berbagai
komponen kebudayaannya.
Selama abad-abad histori, kebudayan di Indonesia masih mendapatkan
pengaruh besar, yaitu;
a. Pengaruh Kebudayaan Hindu yang memperkenalkan konsep tentang susunan
negara yang hierarkis, yang menganggap raja adalah keturunan dewa sehingga
xxvii
harus diagungkan. Konsep ini terutama berkembang di negara-negara
(kerajaan waktu itu) pedalaman yang ekonominya berdasarkan sistem
pertanian dengan irigasi sawah. Sedangkan negara (kerajaan) yang
berdasarkan pada perdagangan maritim tidak mengikuti konsep ini, seperti
Kutai dan Sriwijaya. Pengaruh Hindu juga masuk ke wilayah Jawa, dengan
negara terbesarnya Majapahit.
b. Pengaruh Kebudayaan Islam. Pengaruh ini berasal dari Parsi dan Gujarat di
India Selatan, yang banyak mengandung unsur-unsur mistik. Masuk melalui
Sumatera, menyebar ke Jawa dan Pantai Kalimantan.
c. Pengaruh Kebudayaan Eropa yang bermula dari aktivitas perdagangan orang
Portugis pada paruh pertama abad ke-16, setelah Portugal tahun 1511
menaklukkan pelabuhan Malaka sebagai pintu gerbang masuk wilayah
nusantara. Wujud konkretnya terutama adalah agama Katholik dan Kristen
Protestan.
Secara lebih sederhana, faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan
kebudayaan suatu kelompok adalah latar belakang kelompok tersebut, yang
meliputi; sejarah, ras, suku bangsa, letak geografis, tingkat pendidikan, dan
tingkat ekonomi, (Tri Widiarto, 2007:33). Alan R. Beals, George and Louise
Spindler (1973:290) menyatakan bahwa sistem budaya pada suatu daerah
kebudayaan mengalami perubahan secara efektif ketika terjadi proses difusi,
inovasi dan akulturasi.
xxviii
Koentjaraningrat (1988:33), menyatakan bahwa kebudayaan daerah dapat
diklasifikasikan menurut beberapa ciri atau tipe masyarakatnya, yaitu;
a. Tipe masyarakat dengan mata pencaharian berkebun yang masih sederhana.
b. Tipe masyarakat pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam tanpa irigasi.
c. Tipe masyarakat pedesaan yang bercocok tanam di sawah dengan irigasi.
d. Tipe masyarakat perkotaan yang menjadi pusat pemerintahan, dan
e. Tipe masyarakat daerah metropolitan.
Dengan demikian, kebudayaan daerah dapat diartikan sebagai suatu
bentuk kebudayaan yang didukung oleh masyarakat suatu daerah tertentu, di
mana kebudayaan itu ada dan berkembang. Hal ini senada dengan pendapat
Soekmono (1988:11) yang menyatakan bahwa tidak akan ada kebudayaan, jika
tidak ada pendukungnya, yakni manusia di daerah itu sendiri.
3. Culture Area
Suatu daerah kebudayaan (culture area) merupakan suatu penggabungan /
penggolongan dari suku-suku bangsa dalam masing-masing kebudayaan yang
beraneka warna, tetapi memiliki beberapa unsur dan ciri-ciri mencolok yang
serupa, (Koentjaraningrat, 1979:271). Suatu culture area menggolongkan ke
dalam satu golongan beberapa puluh kebudayaan yang satu dengan lainnya
berbeda, berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri-ciri mencolok
kebudayaan-kebudayaan yang bersangkutan. Baik ciri-ciri berupa unsur
kebudayaan fisik (seperti alat-alat bertani, transportasi, senjata, bentuk ornamen,
xxix
dan lain-lain) maupun unsur kebudayaan yang abstrak (adat-istiadat, cara berpikir,
upacara keagamaan, dan lain-lain).
Culture area Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur Pulau Jawa.
Termasuk di antaranya Banyumas, Kedu, Madiun, Malang, dan Kediri, dengan
pusatnya di daerah bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah (1755) yaitu
Yogyakarta dan Surakarta, (Koentjaraningrat, 1988:329). Oleh karena itu, meski
di lingkungan tersebut terdapat berbagai variasi dan perbedaan yang bersifat
lokal akibat perubahan sistem budaya, namun dalam beberapa unsur kebudayaan,
jika dicermati tetap menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan yang
sama.
Kebudayaan Jawa, Sunda, dan Bali pada dasarnya merupakan tipe
kebudayaan pada masyarakat pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam di
sawah dengan padi sebagai diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak
kompleks. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya mewujudkan suatu
peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dangan kepegawaian yang dibawa
oleh sistem pemerintah kolonial, beserta semua pengaruh kebudayaan asing yang
dialami. Pandangan hidup orang Jawa disebut kejawen, dalam bahasa Inggris
disebut Javaneseness, Javanism. Sebagai suatu sistem, pemikiran javanism adalah
lengkap pada dirinya, berisikan kosmologi, mitologi, dan seperangkat konsepsi.
Yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang
pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya hidup Jawa, (Rini Fidiyani,
2008:44).
xxx
Banyumas, baik secara geografis, kultural maupun etnis, termasuk dalam
wilayah kebudayaan Jawa. Menurut Lombard, di tanah Jawa dapat dibedakan
menjadi lima wilayah pokok, dan Banyumas termasuk wilayah pokok daerah
lembah sungai Serayu, merupakan salah satu daerah tempat berkembangnya
kegiatan kecil yang sibuk bersamaan dengan daerah Purbalingga, Cilacap dan
Purwokerto. Lebih lanjut Lombard menyatakan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17
daerah itu berfungsi sebagai persinggahan Islam di antara Demak dan bagian
timur Tanah Pasundan. Bagi mereka yang datang dari barat, daerah itu merupakan
serambi dunia Jawa, (Lombard, 2005:33).
4. Hakikat Sumber Belajar
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan kepada
para siswa agar dapat mencapai dan menguasai semua kompetensi. Dengan
tercapainya secara tuntas sejumlah kompetensi tersebut maka bisa dikatakan
bahwa sekolah sudah mampu menjalankan tugas dan fungsinya. Sekolah juga
mempunyai peranan untuk melestarikan budaya lokal, yang dapat pula dijadikan
sebagai sumber belajar bagi siswanya agar lebih mendorong siswa lebih aktif
belajar, dan mengenal budaya daerahnya.
Belajar bukan sekedar menghafal dan mengingat, sebab belajar merupakan
proses yang salah satu indikatornya harus ada perubahan pada diri orang yang
belajar, (Nana Sujana, 2008:22). Sedangkan menurut Slameto belajar merupakan
proses usaha yang dilakukan individu untuk mempunyai perubahan yang baru
sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan, (Slameto, 2003:2). Guru bukan
xxxi
satu-satunya sumber belajar. Sumber belajar dapat dikembangkan secara kreatif
sesuai dengan kemampuannya oleh pendidik dan peserta didik.
Sumber belajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan
bahan atau situasi yang memungkinkan siswa belajar secara individual. Sumber
adalah asal yang mendukung terjadinya belajar, termasuk sistem pelayanan, bahan
pembelajaran dan lingkungan. Sedangkan belajar adalah proses yang komplek
yang tejadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih
bayi sampai ke liang lahat, (Arief S. Sadiman, 1996:1).
Sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru
guna memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajarnya, (Nana Sujana,
2001:77). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa sumber belajar terdapat di berbagai
tempat, yang berwujud manusia, lingkungan, sarana, fasilitas dan aktivitas yang
bermanfaat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan belajar mengajar .
Sumber belajar pada hakikatnya adalah semua sumber yang terdiri dari
pesan, manusia, material (media software), peralatan (hardware), teknik (metode)
dan lingkungan yang digunakan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-
sama (kombinasi) untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran, (AECT, 1977:8).
Dalam perkembangannya, sumber belajar merupakan bahan atau materi untuk
menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar,
sebab pada hakekatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru atau
perubahan, (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006:48). Lebih spesifik
Sri Anitah (2008:5-6), menyatakan bahwa sumber belajar diartikan sebagai segala
xxxii
sesuatu yang dapat digunakan untuk memfasilitasi kegiatan belajar. Sumber
belajar dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
a. Sumber belajar yang dirancang (resources by design), sumber belajar yang
sengaja direncanakan untuk keperluan pembelajaran. Sumber belajar yang
termasuk kategori ini adalah buku teks, modul, brosur, ensiklopedia, film,
video, tape, slide, film strips, OHP dan LCD.
b. Sumber belajar yang dimanfaatkan ( resources by utilization), yaitu segala
sesuatu yang sudah tergelar di sekitar kita, misalnya : pasar, toko, museum,
tokoh masyarakat, peninggalan sejarah dan gedung lembaga negara.
Berbagai sumber yang tersedia bagi pengajaran dapat dikelompokkan ke
dalam sejumlah kategori. Sedangkan yang paling bermanfaat bagi pendidikan
menurut Jerold E Kemp (1994:187) adalah:
a. Sumber yang nyata, berupa narasumber, benda, alat, model, atau tiruan benda
asli.
b. Bahan takterproyeksikan (dwimatra), yang dapat berupa lembaran kertas
bercetak, papan tulis, diagram, foto, bagan, grafik, dan lain-lain.
c. Rekaman suara.
d. Gambar diam yang diproyeksikan, dapat berupa; slide, carikan film, program
komputer, dan lain-lain.
e. Gambar bergerak yang diproyeksikan.
f. Kombinasi media.
xxxiii
Pemahaman terhadap sumber belajar sangat penting bagi pengguna,
karena tidak semua yang ada di sekitar sekolah dan lingkungan siswa dapat
dikategorikan sebagai sumber belajar. Pemilihan sumber belajar yang tepat dapat
mendorong proses pembelajaran menjadi lebih hidup atau aktif, kreatif, efektif,
inovatif dan menyenangkan. Konsep pembelajaran seperti inilah yang sering
disebut sebagai pembelajaran PAIKEM.
Adapun beberapa kriteria dalam memilih dan menetapkan sumber belajar
antara lain bahwa sumber tersebut harus dapat:
a. Memberi dorongan kepada siswa dengan menarik perhatian dan merangsang
minat mereka terhadap pelajaran.
b. Melibatkan siswa secara langsung dan bermakna dalam memperoleh
pengalaman belajar.
c. Memberikan saham dalam membentuk sikap dan mengembangkan apresiasi
siswa.
d. Menjelaskan dan mengilustrasikan bahan ajar pengetahuan dan ketrampilan
kinerja.
e. Memberikan kesempatan untuk melakukan swaanalisis dalam kinerja dan
tingkah laku perseorangan, (Jerrold E Kemp, 1994:187).
5. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS )
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan istilah yang diadopsi dari
Amerika Serikat yang sejatinya dinamakan Social Studies. Dilihat dari
muatannya, IPS dapat diartikan sebagai mata pelajaran tentang penelaahan
xxxiv
masyarakat, baik yang terdapat di sekelilingnya maupun di negeri lain, masa
sekarang maupun masa lampau.
IPS adalah mata pelajaran hasil fusi atau peleburan dari sejumlah disiplin
ilmu sosial, seperti sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, tata negara
dan psikologi sosial. IPS merupakan pelajaran ilmu-ilmu sosial yang
disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD dan SMP, (Nasution, 1987:3).
Penyederhanaan ini memiliki makna :
a. Menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di
perguruan tinggi menjadi pelajaran yang sesuai dengan kematangan berpikir
siswa setingkat SD dan SMP.
b. Mempertautkan dan memadukan bahan berasal dari aneka cabang ilmu sosial
dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi bahan pelajaran yang mudah
dicerna.
Pembelajaran IPS menurut pendapat Daldjoeni (1992:27) memiliki lima
tujuan, yaitu :
a. IPS mempersiapkan siswa untuk studi lanjut di bidang ilmu sosial. Jika nanti
masuk SMA dan perguruan tinggi, akan disajikan secara parsial antara
ekonomi, sejarah, geografi, antropologi dan sosiologi.
b. IPS bertujuan untuk mendidik warga negara yang baik. Karena itu mata
pelajaran yang disajikan ditempatkan dalam konteks budaya melalui
pengolahan secara ilmiah dan psikologis yang tepat.
xxxv
c. IPS yang mempelajari closed area, yaitu masalah-masalah sosial yang
pantang dibahas di muka umum, bahannya berbagai pengetahuan ekonomi
sampai politik, dari sosial sampai kultural untuk melatih siswa berpikir
demokratis.
d. Membina warga negara Indonesia atas dasar moral Pancasila dan UUD 1945,
serta sikap sosial rasional dalam kehidupan.
Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama (2004:7) menyatakan bahwa
Pengetahuan Sosial (sekarang IPS), di Indonesia diberikan di sekolah dan
memiliki tujuan untuk mempersiapkan anak didik menjadi warga negara yang
baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan menitikberatkan pada
pengembangan individu yang dapat memahami masalah-masalah dalam
lingkungan, baik yang berasal dari lingkungan sosial yang membahas interaksi
antar manusia, dan lingkungan alam yang membahas interaksi antar manusia
dengan lingkungannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Selain itu anak didik diharapkan dapat berpikir kritis dan kreatif,
dapat melanjutkan serta mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa.
Dengan demikian IPS merupakan mata pelajaran yang menelaah masalah-
masalah dalam masyarakat yang muncul seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan komunikasi. Bahan kajian IPS lebih menekankan
pada masalah-masalah sosial budaya yang terdapat di masyarakat dan
lingkungannya maupun yang ada di negara lain pada masa lampau, masa sekarang
xxxvi
serta mengantisipasi perubahan sosial budaya beserta pengaruhnya terhadap
kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.
Mata pelajaran IPS senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sehingga materi pelajaran juga mengalami perubahan. Hal ini dapat
terlihat dalam perkembangan kurikulum sampai detik ini yaitu KTSP. Fungsi IPS
dalam KTSP adalah mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap dan ketrampilan
sosial peserta didik agar dapat direfleksikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara Indonesia.
Dalam Kurikulum (KTSP) SMP yang berlaku saat ini, mata pelajaran IPS
tidak secara tegas membedakan materi geografi, sejarah, ekonomi maupun
sosiologi seperti sebelumnya. Meski demikian Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) menunjukkan adanya muatan materi-materi tersebut
secara jelas. Selain itu, SK dan KD juga menunjukkan ruang bagi masuknya
potensi lokal dalam rangka pencapaian tujuannya. Adapun gambaran lengkap
tentang SK dan KD yang berpotensi dimasuki muatan lokal secara tersebut,
lengkap disajikan pada bagian lampiran.
Proses pembelajaran IPS yang materinya terdiri atas berbagai disiplin ilmu
tersebut memerlukan berbagai alternatif pendekatan. Seperti pendekatan
lingkungan yang semakin meluas, pendekatan pemecahan masalah yang aktual,
serta pendekatan partisipasi sosial. Juga dikenal adanya pendekatan monodisiplin
atau sering disebut juga pendekatan struktural, pendekatan interdisipliner yaitu
memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial yang dapat didekati dari
xxxvii
berbagai disiplin keilmuan sosial dan pendekatan terpadu atau integrated
approach, (Direktorat PLP, 2004:18-20).
Pembelajaran sejarah sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran IPS
harus mampu mengkaji realitas sosial yang ada. Karena itu, proses
pembelajarannya perlu berorientasi pada masalah (problem oriented), terutama
berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini didasari
atas pemikiran bahwa semua kejadian yang terdapat dalam peristiwa sejarah
mengandung pelajaran penting dan bermanfaat. Dengan demikian makna belajar
sejarah bukan hanya untuk mengetahui rentetan peristiwa masa lampau, namun
yang lebih penting adalah agar generasi yang hidup sekarang dapat mengambil
hikmah kearifan kesadaran sejarah, (Sukardi, 2009:4).
Kearifan, menurut Pitoyo Amrih (2008:24) adalah sebuah kemauan untuk
melihat hukum alam yang diciptakan Sang Khaliq. Manusia memang diciptakan
memiliki akal dan hasrat, juga dibekali sebuah keistimewaan oleh Sang pencipta
untuk bebas menentukan pilihan. Akan tetapi apapun pilihan manusia, harus
selalu tunduk aturan main hukum alam-Nya. Sebuah kebebasan menentukan
pilihan, tetapi yang selaras dengan aturan main-Nya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang upaya mengangkat potensi kedaerahan menjadi materi
pelajaran IPS telah pernah dilakukan. Di antaranya oleh Neneng Dewi Setyowati
dengan judul penelitian: Fungsionalisasi Benda Cagar Budaya Sebagai Sumber
xxxviii
Belajar dan Peningkatan Kesadaran Sejarah Bangsa Siswa Sekolah Menengah
Umum Kabupaten Boyolali.
Penelitian tersebut merupakan tesis Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta, tahun 2004. Tujuan penelitian itu untuk mengungkap
masalah pokok tentang benda cagar budaya di Kabupaten Boyolali yang dapat
berfungsi sebagai sumber belajar serta kebermanfaatannya bagi siswa SMU di
Kabupaten Boyolali. Penelitian itu juga mengungkap berbagai kemungkinan agar
cagar budaya diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan
sebagai sarana peningkatan kesadaran sejarah.
Relevansi penelitian tersebut adalah pada kajiannya yang mengambil
fokus warisan budaya lokal sebagai sumber belajar. Akan tetapi, orientasi
penelitian hanya mengungkap masalah pokok benda cagar budaya yang terdapat
di Kabupaten Boyolali yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar sebagai guna
peningkatan kesadaran sejarah. Dengan demikian, cagar budaya tersebut
digunakan hanya sebagai penunjang atau sarana pengajaran, bukan sebagai
substansi materi pengayaan.
Penelitian lain yang senada adalah tesis karya Hadiyah berjudul:
Lingkungan Sekolah Sebagai Sumber Belajar Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) Kelas IV Sekolah Dasar (SD) Negeri Kleco II Surakarta, berupa.
tesis Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana UNS tahun 2004.
Relevansi penelitian menyoroti berbagai faktor yang dekat dengan diri
siswa untuk dimanfaatkan sebagai sumber belajar pembelajaran IPS. Faktor
xxxix
tersebut hanya sebatas pada potensi lingkungan sekolah yang berwujud
(kebudayaan material), seperti perpustakaan, musium dan cagar budaya seperti
keraton. Pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar diasumsikan
dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep IPS yang dalam
hal ini cenderung hanya menitikberatkan pada aspek kognitif. Selanjutnya
diharapkan akan tumbuh kesadaran dalam diri siswa untuk ikut melestarikan
benda-benda bersejarah dan akan lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran
IPS di kelas.
C. Kerangka Pikir
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) IPS di tingkat SMP
memberikan ruangan yang cukup bagi masuknya budaya lokal sebagai sumber
belajar. Memang tidak secara jelas dan tegas pernyataan itu dirumuskan, namum
rumusan standard kompetensi maupun kompetensi dasar menyiratkan hal
tersebut.
Ruang tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif oleh guru untuk
melakukan inovasi dengan menyeleksi materi-materi budaya lokal dalam hal ini
Budaya Banyumas, sehingga layak disajikan sebagai sumber belajar IPS. Dengan
demikian, apa yang digariskan KTSP IPS tetap dapat tercapai, sedangkan siswa
terkonsep untuk lebih mengenal budaya daerahnya sebagai bagian dari keragaman
budaya nusantara. Pada akhirnya mereka akan bisa menjadi orang-orang yang
xl
mumpuni ilmu pengetahuannya, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai Bangsa
Indonesia.
Budaya lokal seperti Budaya Banyumas bagi masyarakatnya, merupakan
warisan leluhur dengan nilai historis, estetika, dan etika, yang mencerminkan
pribadi masyarakat itu sendiri. Namun seperti budaya-budaya lokal lainnya,
Budaya Banyumas pun mulai ditinggalkan pemiliknya. Kalaupun masih, warisan
luhur itu ’hanya’ berada di tangan segelintir orang yang sudah ’uzur’.
Mengingat kompleks dan luasnya materi pelajaran IPS yang ditetapkan
dan harus dicapai siswa dalam KTSP tingkat SMP, tidak mungkin menyajikan
mentah-mentah budaya lokal tersebut secara utuh. Perlu dilakukan seleksi
terhadap jenis-jenis budaya lokal (dalam konteks penelitian ini adalah
Kebudayaan Banyumas) yang memenuhi kriteria, dan tujuan dalam KTSP yang
dikembangkan sekolah. Materi yang telah terpilih masih perlu dikemas secara
baik dengan strategi dan teknik penyampaian, sehingga dapat lebih efektif dan
bermanfaat.
Terdapat banyak unsur maupun wujud kebudayaan lokal, termasuk
Budaya Banyumas yang tumbuh dan tetap dikembangkan masyarakat pemiliknya.
Walau demikan tidak semuanya langsung dapat diterapkan sebagai sumber belajar
IPS. Selain tidak semua sesuai dengan ketentuan dalam KTSP, tidak semua guru
memahaminya. Oleh karena itu, diperlukan suatu acuan berupa kriteria tertentu
yang dapat digunakan guru dalam menyeleksi jenis-jenis budaya lokal sehingga
layak menjadi sumber belajar IPS.
xli
Dari dasar pemikiran itulah, penelitian ini dilakukan. Agar lebih jelas,
kerangka pikir dapat dicermati pada skema berikut .
Gambar : 1
Gambar : 1
Kerangka Pikir
Sumber Belajar IPS
Budaya Banyumas
Seleksi Materi yang Relevan
Teknik/ Cara Pemanfaatan
Pemahaman Guru IPS
Pembelajaran IPS
xlii
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Banyumas, dengan objek
penelitian sekolah SMP dan cagar budaya. Sekolah yang dipilih adalah SMP N I
Ajibarang, dengan pertimbangan bahwa sekolah tersebut telah melaksanakan kegiatan
out door activity ke cagar budaya di lingkungan Kabupaten Banyumas dalam
pembelajaran IPS. Sedangkan cagar budaya yang diteliti meliputi; Masjid Saka
Tunggal di Wangon, Makam Dawuhan di Banyumas, dan Pendopo si Panji di
Purwokerto.
Penelitian dilaksanakan selama delapan bulan, dari April 2009 sampai dengan
Nopember 2009. Waktu tersebut digunakan untuk observasi awal, penyusunan
proposal, seminar proposal, pengumpulan data, analisis data, penyusunan draf
laporan. Tindak lanjut bulan berikut adalah bimbingan/ konsultasi dan finalisasi
penyusunan laporan.
B. Jenis dan Strategi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, mengingat
penekanannya pada upaya untuk mengungkap unsur-unsur budaya lokal dalam
hal ini Budaya Banyumas yang relevan dijadikan sumber belajar, baik sebagai
xliii
materi maupun sarana pendukung pembelajaran IPS pada siswa tingkat SMP di
wilayah Kabupaten Banyumas.
Sifat penelitian kualitatif selalu menyajikan temuan dalam bentuk
deskripsi terperinci, lengkap, dan mendalam mengenai suatu proses mengapa dan
bagaimana sesuatu terjadi, (Sutopo, 2006:139). Tujuan utama penelitian kualitatif
deskriptif adalah menggambarkan sifat suatu keadaan yang berjalan pada saat
penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.
Tujuan lainnya untuk melukiskan kondisi yang ada pada situasi tertentu saat
penelitian dilakukan. Kondisi dimaksud adalah pemanfaatan budaya Banyumas di
lingkungan sekolah sebagai sumber belajar mata pelajaran IPS di SMP Negeri di
kawasan Banyumas. Satu hal yang khas adalah bahwa penelitian tidak bermaksud
menguji hipotesis.
Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari manusia dan perilakunya yang
dapat diobservasi. Penelitian kualitatif sebagai salah satu jenis penelitian yang
berkembang secara pesat, merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial secara mendasar. Hasilnya sangat ditentukan oleh observasi pada manusia
dalam latar sendiri dan saat berinteraksi dengan orang lain, baik dalam bahasa
maupun peristilahannya.
Sutopo (2006:136) secara tegas mengatakan bahwa penelitian kualitatif
akan mampu mengungkap berbagai informasi berkualitas dengan deskripsi teliti
dan penuh nuansa yang lebih berharga dari sekedar statemen kuantitatif maupun
xliv
frekuensi dalam bentuk angka. Dijelaskan pula bahwa salah satu kriteria utama
penelitian kualitatif adalah peran peneliti sebagai instrumen utama (human
instrument).
2. Strategi Penelitian
Penelitian kualitatif mengenal adanya jenis penelitian yang berupa studi
kasus tunggal dan studi kasus ganda. Secara lebih khusus, baik studi kasus
tunggal atau pun studi kasus ganda juga dibedakan adanya jenis penelitian yang
sifatnya terpancang dan tidak terpancang (penjelajahan). Suatu penelitian disebut
sebagai studi kasus tunggal, bilamana penelitian itu terarah pada sasaran dengan
satu karakteristik. Meskipun penelitian dilakukan dibeberapa lokasi, kalau sasaran
studi tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam, maka penelitian
tersebut tetap merupakan studi kasus tunggal, (Sutopo, 2006:140). Dengan
demikian penelitian yang terarah pada sasaran dengan karakteristik lebih dari satu
dinamakan studi kasus ganda.
Robert K. Yin (2008:18) mendefinisikan, tentang studi kasus adalah suatu
inquiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata,
bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan
dimana multisumber bukti dimanfaatkan. Sedangkan menurut Sutopo (2006:139)
penelitian yang sifatnya terpancang (embedded research) adalah penelitian yang
sudah terarah pada batasan atau fokus tertentu yang dijadikan sasaran dalam
penelitian, sebaliknya penelitian yang tidak terfokus pada batasan tertentu
dikategorikan studi kasus tidak terpancang (penjelajahan/ grounded research)
xlv
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dimana
peneliti harus mengumpulkan data setepat-tepatnya dan selengkap-lengkapnya
dari kasus tersebut untuk mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi dari
masalah yang diteliti. Kategori penelitian ini merupakan studi kasus tunggal dan
terpancang, strategi yang digunakan difokuskan pada satu karakteristik dan satu
permasalahan penelitian. Alasan menggunakan terpancang karena penelitian ini
sudah mengarah pada tujuan yang berkaitan dengan fokus permasalahannya.
Namun meskipun fokus penelitian sudah terarah, berdasarkan karakteristik
metodologi penelitian kualitatif khususnya yang berkaitan dengan disain yang
lentur dan terbuka, dan proses analisisnya yang bersifat induktif, penelitian ini
tidak mengembangkan hipotesis.
C. Jenis Informasi
Penelitian ini menghimpun berbagai jenis informasi yang digali dan
dikumpulkan dari berbagai sumber data. Perinciannya dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
1. Informasi tentang jenis Budaya Banyumas di Kabupaten Banyumas yang dapat
berfungsi sebagai sumber belajar IPS.
2. Informasi tentang pemahaman dan kemampuan guru mata pelajaran IPS tingkat
SMP di Kabupaten Banyumas untuk menjadikan Budaya Banyumas sebagai
sumber belajar sesuai dengan SK/KD IPS.
xlvi
3. Informasi tentang strategi pemanfaatan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar
IPS yang relevan bagi siswa tingkat SMP di Kabupaten Banyumas.
D. Sumber Data
Lofland dan Hoflan sebagaimana dikutip Lexy J. Moloeng (2008:157)
mengatakan, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan
tindakan. Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata
dan tindakan orang-orang yang diamanati atau diwawancarai merupakan sumber data
utama. Selanjutnya sumber data utama tersebut dicatat melalui catatan tertulis atau
melalui perekaman video / audio tape, pengambilan foto maupun film.
Kegiatan pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai setting, sumber
dan cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah
(natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan
berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan, dan lain-lain. Dilihat dari
sumber datanya, pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen.
Sedangkan bila dilihat dari segi cara, atau teknik pengumpulan data, maka dapat
dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner
(angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya, (Sugiyono, 2009: 224-225).
xlvii
Sumber data dipilih berdasarkan jenis informasi yang ingin didapat
berdasarkan arahan beragam hal yang terdapat dalam rumusan masalah. Sebaiknya
sumber data dirumuskan secara rinci yang berkaitan dengan jenisnya, apa dan siapa
yang secara langsung berkaitan dengan jenis informasi atau data yang akan digali,
(Sutopo.2006:180).
Sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Informan atau nara sumber, terutama dari para pemerhati sejarah dan Budaya
Banyumas, tokoh adat dan Budaya Banyumas, sebagian besar guru pengampu
mata pelajaran IPS SMP di Kabupaten Banyumas. Selain itu, yang menjadi
informan adalah pelaku seni seperti dalang wayang purwa, tari, begalan, ebeg
serta beberapa juru kunci penjaga situs sejarah di Banyumas seperti juru kunci
Masjid Saka Tunggal di Cikakak dan Pendopo Si Panji di Purwokerto.
2. Dokumen/arsip berupa sumber-sumber pustaka atau literatur tentang Profil
Banyumas, Babad Banyumas, Sejarah Banyumas, tradisi dan seni Banyumas,
buklet atau catatan mengenai cagar budaya yang ada di Banyumas, KTSP mata
pelajaran IPS untuk SMP, dan catatan prestasi atau kegiatan siswa yang berkaitan
dengan Budaya Banyumas.
3. Tempat cagar budaya, terfokus pada tempat peninggalan sejarah yang ada di
Kabupaten Banyumas seperti Masjid Saka Tunggal di Cikakak, Makam Dawuhan
dan Pendopo Si Panji di Purwokerto.
xlviii
E. Teknik Cuplikan ( Sampling )
Cuplikan berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis dari
sumber data yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan
teknik cuplikan purposive sampling dan time sampling.
1. Purposive Sampling
Teknik sampling dengan purposive sampling memiliki kecenderungan
peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan
masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data
yang mantap, (Sutopo, 2006:64). Tipe cuplikan ini sering digunakan dalam ilmu
sosial berdasarkan asumsi dan penilaian subjektif dari peneliti yang menganggap
bahwa orang yang menjadi sampel penelitian dapat mewakili suatu populasi.
2. Time Sampling
Cuplikan waktu ini berkaitan dengan waktu yang dipilih dan dipandang
tepat untuk mengumpulkan informasi sesuai dengan jenis informasi yang
diperlukan, berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Waktu yang dipilih oleh
peneliti dalam penelitian ini adalah pada saat objek penelitian aktif melakukan
pekerjaan. Pada jadwal penelitian, waktu pengumpulan data lapangan pada bulan
Oktober dan Nopember, atau pada masa pertama tahun pelajaran 2009/ 2010.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung dari jenis
datanya. Bila sumber datanya berupa manusia atau informan, jelas teknik
xlix
pengumpulan datanya berupa wawancara. Bila tempat, benda atau peristiwa menjadi
sumber datanya, maka digunakan teknik observasi. Demikian pula bila sumber
datanya berupa arsip atau dokumen tertulis, maka diperlukan kajian isi atau content
analysis, (Sutopo, 2006:181).
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik guna mengumpulkan data.
1. Wawancara Mendalam ( in-depth interviewing)
Data dari informan dikumpulkan melalui wawancara. Mengingat
penelitian ini berupa penelitian lapangan, jenis wawancara yang dilakukan tidak
terstruktur dan mendalam seperti yang telah sering digunakan dalam penelitian
kualitatif. Jenis data diharapkan terjaring melalui teknik ini berupa informasi
tentang sejarah Banyumas, tradisi dan seni Banyumas, masalah pemahaman guru
IPS dan kemampuannya dalam melaksanakan proses pembelajaran sesuai
SK/KD.
Menurut H.B. Sutopo (2006:68), tujuan utama melakukan wawancara
adalah agar bisa menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks
mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi,
tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, untuk merekonstruksi
beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau, dan
memproyeksikan hal-hal itu yang dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di
masa yang akan datang.
Dipilihnya wawancara mendalam dalam penelitian ini karena sifatnya
lentur dan terbuka, dalam suasana keakraban, sehingga lebih mudah mendapatkan
l
informasi yang lebih mendalam. Apalagi wawancara yang tidak dilakukan secara
formal ini dapat dilakukan berulang kali, sehingga informasinya pun semakin
teperinci dan lengkakp sesuai dengan keperluan penelitian.
2. Observasi
Pernyataan Spradley yang dikutip H.B. Sutopo (2006:75), menyebutkan
bahwa pelaksanaan teknik observasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu tak berperan
sama sekali, dan observasi berperan.
Seorang peneliti yang melakukan wawancara mendalam, secara tidak
langsung juga melakukan observasi atau pengamatan, terutama pada pribadi
narasumber dan lingkungan tempat wawancara. Gambaran lengkap tentang
karakteristik dan latar belakang narasumber yang didapat selama observasi, akan
berpengaruh pada kualitas informasi yang disampaikannya.
Penelitian ini juga menggunakan teknik observasi langsung. Data yang
diperoleh berupa gambaran konkret tentang situs-situs budaya di Kabupaten
Banyumas. Selain itu juga untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi sekolah-
sekolah SMP di Kabupaten Banyumas, proses pembelajaran IPS sesuai SK/KD
di SMP, penggunaan sarana dan prasarana di sekolah, serta ketersediaan literatur
tentang Budaya Banyumas.
Observasi yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah observasi
langsung bersifat aktif. Artinya, peneliti terlibat secara langsung dalam kegiatan
sebenarnya. tidak hanya berperan sebagai penonton. Objek diamati langsung dan
li
teliti, baik secara formal (kegiatan pembelajaran IPS), maupun tidak formal
(kunjungan ke cagar budaya Banyumas).
3. Content Analysis
Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data penting dalam
penelitian kualitatif. Terutama bila sasarannya mengarah pada latar belakang atau
berbagai peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan kondisi atau peristiwa
masa kini yang sedang diteliti. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari
yang tertulis sederhana sampai yang lebih lengkap dan kompleks dan bahkan
berupa benda-benda lain peninggalan masa lampau, (Sutopo, 2006:80-81).
Dokumen yang di analisis dalam penelitian ini meliputi; literatur tentang
Babad Banyumas, Profil Banyumas, Cagar Budaya di Banyumas, sistem religi,
seni dan tradisi Banyumas serta dokumen Kurikulum KTSP.
G. Validitas Data
Data yang telah berhasil digali di lapangan dikumpulkan dan dicatat dalam
kegiatan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kedalaman, kemantapan, dan
kebenaran data. Oleh karena itu setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan
cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya,
(Sutopo, 2006:91).
Untuk memperoleh kemantapan data dalam penelitian ini dilakukan teknik
trianggulasi. Pada dasarnya teknik trianggulasi merupakan teknik yang didasari pola
pikir fenomenologi yang bersifat multi perspektif. Artinya untuk menarik simpulan
lii
yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang. Misalnya dalam memandang
suatu benda bila hanya menggunakan satu perspektif maka hanya akan melihat satu
bentuk. Jika benda itu dilihat dari beberapa perspektif yang berbeda maka dari setiap
hasil pandangan akan menemukan bentuk yang berbeda dengan bentuk yang
dihasilkan dari pandangan lain. Dari beragam bentuk yang diperoleh seseorang akan
memiliki data yang lebih lengkap, mantap dan mendalam.
Trianggulasi merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan
validitas data dalam penelitian kualitatif, (Sutopo, 2006:92). Penelitian ini
menggunakan teknik trianggulasi sumber / data dan trianggulasi metode.
1. Trianggulasi Sumber/Data
Cara ini mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data,
menggunakan beragam sumber data. Data yang sama atau sejenis akan lebih
mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber berbeda.
2. Trianggulasi Metode
Teknik ini dilakukan dalam proses pengumpulan data. Pengumpulan data
penelitian yaitu tentang budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS, dilakukan
dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data. Data hasil wawancara
ditrianggulasikan dengan data yang terkumpul melalui teknik observasi maupun
analisis dokumen dan arsip. Dengan teknik trianggulasi tersebut akan diperoleh
data yang lebih valid.
liii
H. Teknik Analisis Data
Setelah pengumpulan data selesai, dilakukan proses pembahasan untuk
menarik kesimpulan berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi atau sajian
data. Sedangkan proses analisis data sudah dilakukan sejak awal, bersamaan dengan
pengumpulan data penelitian. Selanjutnya, data yang diperoleh dikomparasikan
secara interaktif antara reduksi data dan sajian data, guna memperoleh suatu simpulan
hasil penelitian. Proses seperti ini dikenal dengan model jalinan atau analisis
interaktif.
Dalam model analisis interaktif terdapat tiga komponen pokok, yaitu; reduksi
data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi.
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan
abstraksi data kasar, yang ada dalam catatan lapangan. Proses ini berlangsung
terus selama pelaksanaan penelitian.
Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan tentang
kerangka kerja konseptual, pemilihan kasus, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan, dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan. Pada saat
pengumpulan data belangsung, reduksi data dilakukan dengan membuat
singkatan, pemberian kode, memusatkan tema, membuat batasan, dan menulis
memo. Proses reduksi ini terus berlangsung sampai laporan akhir penelitian
selesai.
liv
2. Sajian Data
Sajian data adalah suatu rakitan organisasi atau kumpulan informasi tentang
Budaya Banyumas dan pengembangan pembelajaran mata pelajaran IPS di SMP
di Kabupaten Banyumas, yang memungkinkan simpulan penelitian data
dilakukan. Sajian ini meliputi gambaran/skema, jaringan kerja kegiatan, dan tabel.
Kesemuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur dan menyeluruh
sehingga mudah dipahami.
3. Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi
Sejak awal pengumpulan data, peneliti sudah memahami apa arti dari
temuan-temuan dengan melakukan pencatatan terhadap pernyataan-pernyataan,
pola-pola, dan konfigurasi yang mungkin, arahan sebab-akibat dan berbagai
proposisi. Pemahaman tersebut diverifikasi agar cukup mantap sehingga benar-
benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ketika simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan data
dalam reduksi atau sajian data, peneliti kembali melakukan pengumpulan data
yang sudah terfokus. Kegitan ini dimaksudkan untuk mencari data pendukung
dari simpulan yang telah dikembangkan.
Dalam konteks ini, proses penelitian selalu berlangsung dalam bentuk
siklus yang oleh H.B. Sutopo (2006:120) digambarkan sebagai berikut :
lv
( 1 ) ( 2 )
( 3 )
Gambar : 2
Model Analisis Interaktif
Secara teperinci berbagai langkah yang ditempuh peneliti dalam menerapkan
analisis interaktif adalah sebagai berikut :
1. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan melalui berbagai sumber, begitu
data diperoleh tanpa menunggu data selanjutnya langsung menganalisis data
tersebut. Selanjutnya disusul analisis data setiap kali data lain diperoleh. Dari data
tersebut, kemudian diolah dan disusun pengertian secara singkat dengan
memahami arti setiap peristiwa, yang disebut reduksi data.
Pengumpulan
data
Sajian data
Penarikan simpulan/ verifikasi
Reduksi data
lvi
2. Peneliti membuat sajian data berupa cerita sistematis dengan komponen dan
peralatan yang mendukung.
3. Peneliti mulai menarik simpulan dengan verifikasinya berdasarkan semua hal
yang ada dalam reduksi data dan sajian data.
4. Seandainya hasil simpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti mencari data lagi
dalam fieldnote.
5. Peneliti mengumpulkan data ulang, terutama data yang dianggap kurang memadai
atau meragukan.
6. Pengumpulan data, reduksi data, sajian data serta verifikasi atau penarikan
simpulan dilakukan secara bersambung dan berlanjut sampai diperoleh simpulan
yang mantap.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Latar
a. Kondisi Geokultural
Banyumas adalah kawasan yang berada di wilayah Jawa Tengah
bagian barat. Penduduknya sebagian besar merupakan Suku Jawa, yang secara
lvii
turun-temurun mendiami wilayah bagian tengah dan timur Pulau Jawa, dan
menggunakan bahasa Jawa dengan beragam dialek dalam kehidupan seharí-
harinya. Koentjaraningrat yang mengutip pendapat Kodiran menyebut
wilayah Banyumas merupakan daerah kejawen bersama dengan Kedu,
Yogyakarta, Surakarta dan Madiun. Wilayah di luar itu disebut Pesisir dan
Ujung Timur, (Koentjaraningrat, 1990:329).
Secara geografis, Banyumas terletak di sebelah selatan lereng Gunung
Slamet. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyumas di sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Tegal, Brebes, dan Kabupaten Pemalang. Di
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cilacap. Sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Cilacap. Sedangkan di
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, dan
Kebumen, (Badan Arsip Informasi dan Kehumasan dengan Badan Pusat
Statistik Kab. Banyumas, 2002:2).
Sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, Banyumas
memiliki luas wilayah 132.759 ha atau 1.327,59 km2 setara dengan 4,08 %
dari luas propinsi, memiliki 27 kecamatan, 229 desa dan 29 kelurahan. Secara
umum wilayah ini memiliki tingkat curah hujan tinggi, sehingga kondisi lahan
cukup subur untuk dijadikan areal pertanian, terutama padi. Bahkan dapat
dikatakan Banyumas sebagai salah satu daerah lumbung padi bagi Propinsi
Jawa Tengah, (Koderi, 1991:1).
lviii
Jumlah penduduk Banyumas pada akhir tahun 2004 berdasarkan hasil
sensus penduduk tahun 2005 tercatat sebesar 1.538.285 jiwa (pertumbuhan
menurun 0,15 % dibanding tahun 2003), dengan kepadatan penduduk
mencapai 1.159 jiwa/km2. Jumlah rumah tangga pada akhir tahun 2004
sebesar 409.631, dengan rata-rata jiwa per rumah tangga sekitar tiga sampai
empat jiwa. Dari jumlah tersebut sebagian besar menempati daerah pedesaan
yang bertumpu pada sektor pertanian sebagai roda penggerak perekonomian.
Dengan demikian, wilayah Banyumas merupakan salah satu daerah agraris,
(http://geminastiti. blogspot. com/2007/10/pengembangan-kemitraan-
peternakan.html, diakses tanggal 10 April 2009).
Secara antropologis historis, Banyumas memiliki kedudukan yang
unik dalam kerangka Kebudayaan Jawa. Secara antropologis berada antara
dua kebudayaan besar di Pulau Jawa, yaitu Kebudayaan Jawa yang berpusat
di Surakarta/Yogyakarta, dan Kebudayaan Sunda. Sedangkan secara historis
berada di antara dua wilayah kerajaan besar, yakni di bagian timur merupakan
wilayah paling barat dari Kerajaan Majapahit, dan bagian barat merupakan
wilayah kekuasaan paling timur dari Kerajaan Pajajaran. Letak wilayah yang
terlalu jauh dari pusat Kebudayaan Jawa (Surakarta/Yogyakarta)
memungkinkan Banyumas memiliki sikap dan karakter yang berbeda dengan
Orang Jawa pada umumnya, (Rini Fidiyani, 2008:2).
Secara historis sosiologis, wilayah Banyumas bagian barat merupakan
daerah perbatasan yang masyarakatnya memiliki hubungan persaudaraan
lix
dengan Kraton Pakuan Parahiyangan (Pajajaran). Menurut Budiono
Herusatoto (2008:15), hubungan ini terjalin sejak zaman Kadipaten
Pasirluhur. Sedangkan wilayah bagian timur memiliki hubungan historis
dengan Kebudayaan Jawa, mengingat latar belakangnya sebagai wilayah
mancanegara dari kraton-kraton di Jawa sejak Kerajaan Majapahit, Pajang,
Mataram, Kartasura, Surakarta, sampai Jogjakarta.
Koentjaraningratpun menyebutkan bahwa Banyumas merupakan salah
satu dari tujuh wilayah kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1994:25-29).
Disebutkan bahwa wilayah Kebudayaan Banyumas itu meliputi eks
Karesidenan Banyumas yang terdiri atas empat kabupaten. Yaitu; Kabupaten
Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara.
Pada umumnya masyarakat Banyumas menyebut dirinya Wong
Banyumas. Namun menurut Drs. Sugeng Priyadi, M. Hum, pakar naskah
kuno dan pengkaji Babad Banyumas dari Universitas Muhammadiyah
Purwokerto, Wong Banyumas adalah pembauran antara dua kelompok
masyarakat dari kerajaan yang berdampingan, yaitu Pakuan
Parahiyangan/Pajajaran dan Pasirluhur/Galuh). Pembauran ini akhirnya
membentuk satu komunitas baru, sebagai suatu keluarga besar yang hidup
rukun dan berkesinambungan, baik dalam sejarah maupun kehidupan sosial-
budaya yang khas, (wawancara tanggal 28 Oktober 2009). Dijelaskan pula
bahwa dinasti Banyumas adalah keturunan dinasti lokal Pasir dan Wirasaba
dengan Pajajaran dan Majapahit. Teks Babad Banyumas melegitimasikan
lx
nenek moyang Wong Banyumas berasal dari dua kerajaan yang berwibawa di
Pulau Jawa, yaitu Pajajaran dan Majapahit, (Sugeng Priyadi dan Suwarno,
2004:4).
Salah satu ciri utama Wong Banyumas terlihat pada bahasa ibu. Jika
mereka berbicara terdengar cowag (keras nada suaranya), gemluthuk
(bergelutuk karena bunyi-bunyi yang muncul terkesan serba berat) kalau
berbincang seperti tergesa atau cepat menanggapi. Logat bahasanya kenthel,
luged, mbleketaket (kental, mengasyikkan) enak didengar oleh komunitas
masyarakat pemiliknya sesama daerah, tetapi kadang membuat orang dari
wilayah lain tersenyum dan kesulitan memahami maknanya.
Daerah persebaran Bahasa Jawa dialek Banyumasan jauh berbeda
dengan luas wilayah administratif pemerintahan. Perkembangannya pun maju
searah dengan kemajuan zaman. Daerah persebaran yang saat ini masih
menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan adalah Kebumen,
Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes, dan
Pesisir Cirebon bagian timur, (Budiono Herusatoto, 2008:20).
b. Kebudayaan Banyumas
Kebudayaan Banyumas merupakan salah satu kebudayaan daerah
yang berkembang di wilayah Banyumas, yang menjadi lambang identitas
daerah. Dapat pula diartikan sebagai segala bentuk warisan lokal yang
dimiliki masyarakat Banyumas, baik yang berwujud (konkret) maupun tak
berwujud (abstrak).
lxi
Berbicara tentang sejarah budaya Banyumas berarti membahas
perkembangan warisan budaya, berupa kebudayaan tradisional yang didukung
oleh masyarakat Banyumas. Masyarakat dengan penuh kreatifitas menata
unsur-unsur budaya itu menjadi sesuatu yang harmonis dan khas. Pola
kebudayaan yang telah berurat berakar pada pendukungnya ini diwariskan
dari generasi ke generasi.
Unsur-unsur Budaya Banyumas yang menonjol adalah; sistem sosial,
religi, bahasa, seni, sejarah, dan adat istiadat. Warisan lokal ini perlu
dilestarikan karena memiliki nilai-nilai moral, ideologi, sosiologi, dan politik
yang tinggi bagi pemiliknya. Selain itu jika dikembangkan bisa menjadi aset
pendapatan daerah yang cukup potensial.
Penelitian terhadap Budaya Banyumas menunjukkan bahwa para
Bupati Banyumas merupakan client dari patron raja-raja Jawa, (Sugeng
Priyadi dan Suwarno, 2004:7). Karena itu, pola relasi sosial masyarakat
Banyumas pun menunjukkan aspek paternalistik dan egaliter yang menonjol.
Budaya paternalistik menunjukkan bahwa hubungan antara patron (bapak
dari anak-anaknya) dengan masyarakat tidak ada jarak yang terlalu lebar.
Contohnya hubungan bapak dan anak seringkali diperlihatkan dalam
pergaulan yang dekat. Anak atau anak muda menyebut ayahnya atau orang
yang lebih tua dengan sebutan ma, rama, atau ramane. Menurut Koderi
(1991:150-152) orang Banyumas memiliki ungkapan anak polah bapa
kepradhah, sebagai bentuk tanggung jawab yang besar seorang patron
lxii
terhadap perilaku anak-anaknya. Ungkapan dikempit diindhit, dikukup diraup,
menunjukkan bahwa seorang patron harus dekat dengan rakyatnya dan tidak
pilih kasih (emban cindhe emban siladan).
Budaya egaliter menjelaskan adanya hubungan yang sepadan antara
patron dengan rakyat, misalnya ungkapan ngisor galeng, nduwur galeng.
Ungkapan tersebut merupakan sikap yang tidak membeda-bedakan antara
dirinya sebagai seorang patron dengan rakyatnya. Bahkan ungkapan angger
agi dudu, aja kaya dadi; angger agi dadi, aja kaya dudu, menunjukkan
kerendahan hati orang Banyumas, (Sugeng Priyadi, 2009:3).
Cablaka atau blakasuta (kebiasaan berbicara dan berbuat spontan apa
adanya) yang berkedudukan sebagai sistem nilai budaya dalam kerangka
kebudayaan Banyumas, memberikan contoh suatu masyarakat yang
demokratis, egaliter, terus-terang, dan terbuka dalam berhubungan dengan
masyarakat lain. Keterbukaan itu dapat dilihat dari kemauan dan kemampuan
untuk menerima kebudayaan lain. Dalam hal ini kebudayaan Sunda.
Banyumas sebagai daerah periphery mempunyai dua ciri kebudayaan, yaitu
Jawa dan Sunda. Kebudayaan Jawa yang mendapat pengaruh Majapahit,
tecermin pada dialek bahasa Banyumasan, yang lebih dekat dengan bahasa
Jawa Kuna. Dengan demikian dialek bahasa Banyumasan itu lebih tua
daripada bahasa Jawa baku, yaitu Sala dan Jogja. Bahasa kuna tidak mengenal
strata bahasa yang meliputi ngoko, krama dan krama inggil. Bahasa Jawa
dialek Banyumasan lekat dengan kecablakaan atau sangat terbuka dan apa
lxiii
adanya, karena bahasa tersebut mencerminkan keegaliteran manusia
Banyumas, (Sugeng Priyadi, 2009:4).
Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah mancanegara dari
kerajaan-kerajaan Jawa; sejak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura
hingga Kasunanan Surakarta. Setelah peristiwa perang Jawa atau Perang
Diponegoro (1825-1830), Banyumas yang saat itu merupakan kadipaten,
dilepas dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1830, (Warwin R. Sudarmo
dan Bambang S. Purwoko, 2009:149-157).
Pemerintah kolonial kemudian memecah bekas Kadipaten Banyumas
menjadi dua kabupaten; yaitu Banyumas dan Ajibarang. Keduanya
dipersiapkan untuk menjadi wilayah karesidenan, bersama dengan tiga
kabupaten lainnya yaitu; Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap. Berdasar
Memori Residen Banyumas (M Zandweld) tanggal 4 Juli 1922 segera
dibangun sarana irigasi dan transportasi baik jalan, jembatan dan rel kereta
api penghubung antarkabupaten dalam karesidenan Banyumas, (Badan
Penelitian dan Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah, 2005:2-3).
Bupati II Ajibarang yang bernama Mertadiredja II, memindahkan
ibukota kabupaten dari Ajibarang ke Purwokerto, dan berganti nama menjadi
Kabupaten Purwokerto. Selanjutnya, ketika resmi menjadi karesidenan,
wilayah Banyumas terdiri atas lima kabupaten yaitu; Purbalingga,
Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, dan Purwokerto, (M. Koderi, 1991:5).
lxiv
Pada tahun 1935, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menghapus
Kabupaten Purwokerto, kemudian menggabungkannya dengan Kabupaten
Banyumas. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1936, karesidenan Banyumas
terdiri dari empat kabupaten, yaitu Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan
Banjarnegara, (Budiono Herusatoto, 2008:14).
Status Banyumas sebagai wilayah karesidenan kemudian dihapus pada
masa Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Orde Baru). Sejak
itu, keempat kabupaten tersebut secara administratif langsung berada di
bawah kewenangan Gubernur Propinsi Jawa Tengah, dengan status sebagai
daerah Pembantu Gubernur Jawa Tengah wilayah Banyumas.
Menurut riwayat, nama Banyumas diberikan oleh Jaka Kaiman yang
juga dikenal dengan sebutan Adipati Mrapat dan kemudian bergelar Adipati
Wargo Utomo II. Nama itu diberikan saat sedang membangun pusat
pemerintahan di daerah hutan Mangli, (Koderi, 1991:3). Konon ketika tengah
sibuk bekerja, tiba-tiba ada sebatang kayu besar bernama pohon Kayu Mas,
hanyut di sungai Serayu, dan berhenti dekat lokasi pembangunan. Adipati
Mrapat yang memimpin pembangunan tertarik untuk mengambil batang kayu
tersebut dan dijadikan salah satu saka guru atau tiang utama bangunan.
Karena kayu itu namanya Kayu Mas, dan hanyut terbawa banyu (air), maka
pusat pemerintahan yang baru dibangun itu kemudian diberi nama Banyumas,
(Adisarwono dan Bambang S. Purwoko, 1992:52). Namun secara resmi
lxv
Kabupaten Banyumas didirikan oleh Adipati Wargo Utomo II pada hari Jumat
Kliwon, tanggal 6 April 1582 M, (Warsito dkk, 2004:3).
Adapun beberapa versi tentang sejarah Banyumas dapat diungkap dan
disajikan secara ringkas meliputi babad atau cerita rakyat yang diyakini
memiliki fakta, disusun secara kronologis adalah sebagai berikut.
1) Sejarah Banyumas Prakolonial
Budiono Herusatoto (2008:31-49) mendeskripsikan sejarah Banyumas
prakolonial dalam kronologi dan pembabakan sebagai berikut :
a) Babad Pasir Luhur Zaman Hindu
Babad Pasir Luhur merupakan awal dari percaturan sejarah
lokal dan menjadi sumber legalitas dari para elit penguasa di wilayah
barat daya Jawa bagian tengah, yang kini bernama Banyumas. Babad
Pasir Luhur menuturkan kisah dari zaman Kerajaan Pakuan
Parahiyangan (Pajajaran) di Jawa Barat bagian timur sejak
pemerintahan Sri Prabu Langgawesi Dewa Niskala (1466-1474),
yang kemudian dilanjutkan oleh puteranya Sri Prabu Linggawastu
Ratu Purana Jaya Dewata (1474-1513).
Sri Prabu Linggawastu memiliki empat putera, yaitu :
(1) Raden Harya Banyak Catra.
(2) Raden Harya Banyak Blabur.
(3) Raden Harya Banyak Ngampar.
(4) Dewi Rena Pamekas.
lxvi
Cerita Kamandaka (Lutung Kasarung atau Banyak Catra)
merupakan identitas penting sebagai alat penelusur silsilah Pasir
(yang merupakan salah satu wilayah di bagian barat Purwokerto)
dengan Pajajaran. Menurut silsilah Babad Pasir, yang menjadi
Adipati Pasir Luhur hanya sampai pada keturunan keenam, yang
dimulai dari Adipati Banyak Catra (Kamandaka), Adipati Banyak
Wirata, Adipati Banyak Rama, Adipati Banyak Kesumba, Adipati
Banyak Belanak dan Banyak Thole. Setelah masa penyebaran Islam,
pada generasi kelima (Banyak Belanak), Pasir Luhur berada di
bawah pengaruh Demak. Dengan demikian babakan zaman Hindu
dan kekuasaan Kerajaan Majapahit berakhir dan memasuki zaman
pra-Islam.
Pasir Luhur yang notabene Islam saat itu, membantu dalam
penyebaran Islam dan pembangunan Masjid Demak. Karena jasanya
yang dianggap cukup besar, Banyak Belanak diberi gelar Pangeran
Senapati Mangkubumi I oleh Sultan Demak.
b) Babad Wirasaba I Zaman Hindu
Babad Wirasaba menceritakan asal-usul Jaka Katuhu dan
Raden Paguwon (Adipati Wirahudaya) yang saat itu menjadi Adipati I
di Kadipaten Wirasaba I (abad ke-15). Wilayah Kadipaten Wirasaba I
saat itu merupakan bagian wilayah Kerajaan Majapahit II (1429-1522),
tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Kertabumi-Brawijaya V
lxvii
(1468-1478). Sampai saat wafatnya Adipati Wirahudaya, Kadipaten
Wirasaba I merupakan kadipaten yang tentram dan makmur.
Ketika Adipati Anom Wirautama menjabat Adipati II,
Kadipaten Wirasaba I itu, wilayahnya hingga batas Gunung Sindoro-
Sumbing. Kadipaten Ageng Wirasaba selalu ambal-tinambal
(berganti-ganti), dipimpin oleh putera, wayah, buyut, canggah, wareng
(lima keturunan trah Wirautama I), yaitu Adipati Wirasaba III, Raden
Jaka Hurang, bergelar Adipati Wirautama II, Adipati Wirasaba IV,
Raden Jaka Surawin bergelar Adipati Wirautama III, Adipati Wirasaba
V, Raden Jaka Tambangan bergelar Kiai Raden Adipati Surautama,
dan Adipati Wirasaba VI, Raden Jaka Suwarga, bergelar Kiai Adipati
Wargautama I.
c) Babad Pasirbatang Zaman Islam
Setelah zaman Hindu berakhir (keturunan kedelapan trah
Kamandaka, Adipati Banyak Belanak), Pasir Luhur berada di bawah
kekuasaan Demak. Didampingi Pangeran Makedum Wali dari Demak,
Banyak Belanak berhasil mengembangkan agama Islam sampai ke
Tanah Pasundan (Parahiyangan). Rakyat di daerah Kelundhung
Bentar, Endralaya, Batulaya, Timbanganten, Ukur, dan Cibalunggung
berhasil di Islamkan.
lxviii
Setelah zaman Adipati Banyak Belanak, trah Kamandaka lenyap
akibat ulah putranya sendiri, Raden Arya Banyak Thole yang
membangkang dan murtad kembali memeluk Hindu. Ia membunuh
ayahnya sendiri dengan cara dikubur hidup-hidup saat tengah sakit.
Karena alasan itu, Kadipaten Pasirbatang diserbu pasukan Demak, dan
ia melarikan diri.
Patih dari Adipati Banyak Belanak dan sempat juga menjadi
Patih dari Adipati Banyak Thole, yang bernama Banyak Geleh alias
Patih Wirakencana, diberi kekuasaan penuh untuk mewakili Sultan
Demak, menggantikan jabatan sebagai Adipati Pasir. Sejak itulah
dalem Kadipaten Pasirluhur pindah dan nama wilayahnya disebut
Kadipaten Pasirbatang. Praktis garis keturunan/silsilah keluarga
kerajaan pun berganti, dan dimulai dari Adipati Wirakencana tersebut.
d) Babad Wirasaba II Zaman Islam
Pada zaman Kraton Pajang abad ke-16 (1546-1586), tepat
setelah masuknya era Islam, yang menjadi Adipati Wirasaba adalah
Kiai Adipati Wargautama. Ia memiliki lima putera; Raden Ayu
Kartimah, Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wirakusuma, Ngabehi
Wirayuda, dan Raden Rara Sukartiyah. Disebutkan, Raden Ayu
Kartimah dikawinkan dengan Raden Jaka Kaiman yang berasal dari
trah keturunan Kadipaten Pasirbatang, dari silsilah Pangeran Senapati
lxix
Mangkubumi II (Adipati Arya Wirakencana) yang diangkat anak dan
juga sebagai murid dari Ki Tolih.
Sejak tahun 1582, Jaka Kaiman (Adipati Wargautama II)
menggantikan Kiai Adipati Wargautama. Ia membagi Kadipaten
Wirasaba II menjadi empat wilayah. Selanjutnya keempat wilayah
tersebut diberikan kepada saudara-saudara iparnya (putera Adipati
Wargautama I), sedangkan ia sendiri ditetapkan oleh Sultan
Hadiwijaya sebagai Wedana Bupati yang menkoordinir keempat
wilayah itu. Karena tindakannya membagi wilayah kadipaten menjadi
empat wilayah itu pula, ia kemudian diberi gelar sebagai Adipati
Mrapat, oleh rakyat. Artinya, orang yang membagi menjadi empat.
Empat wilayah pembagian dari kadipaten Wirasaba II adalah :
(1) Daerah Wirasaba, utara sungai Serayu-Pegunungan Perahu
(Sokaraja Lor, Wirasaba, Kali Merawu) diserahkan kepada
Ngabehi Wargawijaya, yang kemudian dibangun menjadi
Kabupaten Purbalingga.
(2) Daerah Merden, asal kata wedhen, mredhen; pesisir laut (Kali
Citanduy, Pegunungan Kendeng, pesisir Laut Kidul) diserahkan
kepada Ngabehi Wirakusuma, yang kemudian dibangun menjadi
Kabupaten Cilacap.
lxx
(3) Wilayah Banjar Pertambakan (kali Merawu, dataran tinggi Dieng,
pegunungan Kendheng) diserahkan kepada Ngabehi Wirayuda,
yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Banjarnegara.
(4) Sedangkan Adipati Wargautama II mendapatkan wilayah Kejawar
(selatan pegunungan Perahu, Ajibarang, Wangon, Sampang,
Tambak, Kali Bodo) yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten
Banyumas. Adipati wargautama II kemudian membangun ibu kota
kabupaten di sebelah barat Kejawar.
2) Sejarah Banyumas Masa Kolonial
a) Banyumas Zaman VOC
Pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645)
kabupaten-kabupaten di wilayah barat dijadikan sebagai lumbung
(gudang logistik). Daerah-daerah penghasil padi itu terbentang dari
Nusawungu sampai Kawunganten yang cukup banyak menghasilkan
padi guna memenuhi kebutuhan pangan prajurit Mataram yang
melakukan penyerbuan ke pusat kekuasaan Kompeni Belanda (VOC)
di Batavia, (Budiono Herusatoto, 2008:65).
Disebutkan pula bahwa Kabupaten Banyumas dipimpin oleh
Bupati Banyumas IV, Mertayuda (putera Mertasura/Janah II) ikut
serta dalam perjuangan Sultan Agung melawan VOC, yaitu ketika
melakukan penyerbuan ke Benteng Belanda pada tahun 1628 dan
1629. Atas peranan pentingnya itu, Mertayuda diberi gelar
lxxi
Tumenggung. Sejak itulah sejarah Banyumas muncul dalam kerangka
sejarah Jawa.
b) Banyumas Zaman Kolonial Belanda
Kekuasaan Belanda di Banyumas merupakan imbas dari
Perang Diponegoro. Ketika berkecamuk perang tersebut antara tahun
1825 sampai 1830, seorang lurah prajurit bernama Singadipa, Wedana
Ajibarang, menjadi andalan Pangeran Diponegoro. Perjuangan
heroiknya adalah saat berhasil menghancurkan benteng Margalayu
milik Belanda di daerah Karangbolong, dengan mengerahkan kekuatan
600 prajurit (Tim DHC BPP-JSN 45 Banyumas, 2004:2-3).
Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830. Menurut
Purnawan Basundoro (2009:4), ketika perlawanan Pangeran
Diponegoro bisa dipadamkan (dengan tipu muslihat Belanda), Belanda
menderita kerugian yang amat besar. Dari segi finansial mereka telah
menanggung beban untuk biaya perang sebesar 30.000.000 Gulden,
belum termasuk biaya khusus untuk keperluan militer mereka yang
berjumlah tidak kurang dari 2.000.000 Gulden. Jumlah korban jiwa
selama peperangan tersebut juga luar biasa banyak. Tidak kurang dari
8.000 serdadu berkebangsaan Eropa serta tidak kurang dari 7.000
serdadu pribumi tewas. Kurang lebih 200.000 rakyat Jawa juga tewas,
yang menyebabkan penduduk Yogyakarta menyusut separuh seusai
peperangan tersebut.
lxxii
Dengan pertimbangan itu, Belanda beranggapan bahwa segala
biaya dan kerugian yang dikeluarkan oleh Belanda juga menjadi
tanggung jawab kedua kerajaan yang dibelanya. Belanda tidak mau
begitu saja melepaskan Surakarta dari persoalan ini, walaupun
sebenarnya urusan pemberontakan Pangeran Diponegoro adalah
persoalan antara Kerajaan Yogyakarta dengan Belanda.
Kerugian sangat besar yang diderita oleh Belanda hampir
seluruhnya dibebankan kepada pihak kerajaan. Sedangkan kerajaan
sendiri tidak memiliki uang untuk menebus kerugian Belanda tersebut.
Sebagai gantinya, Belanda minta sebagian wilayah yang menjadi
kekuasaan kerajaan. Yaitu wilayah mancanegara barat terdiri atas
Banyumas, Bagelen, dan wilayah mancanegara timur yang mencakup
Kediri, Madiun.
Sebagai langkah awal dalam rangka pengambilalihan wilayah
mancanegara, pemerintah kolonial Belanda membentuk komisi urusan
tanah-tanah kerajaan (Commisie ter Regeling der Zaken) di Surakarta.
Sebagian wilayah Kerajaan Surakarta akan ikut diambil alih oleh
Belanda, walaupun sebenarnya Pangeran Diponegoro berasal dari
Kerajaan Yogyakarta. Alasannya, selama berlangsung perang
Diponegoro terpaksa mereka juga harus melindungi Kerajaan
Surakarta.
lxxiii
Pada tangal 24 Mei 1830, sebelum diperoleh kesepakatan
mengenai pengambilalihan tanah-tanah mancanegara tersebut, salah
seorang anggota komisi, J.J. Sevenhoven, secara sepihak menunjuk
Residen Pekalongan M.H. Hallewijn mempersiapkan penyelenggaraan
pemerintahan sipil di Banyumas dan distrik-distrik di sekitarnya.
Ketika Hallewijn tiba di Banyumas pada tanggal 13 Juni 1830, kepala
perwakilan sementara pemerintahan Belanda di Banyumas, Borger,
yang merupakan anak buah Residen Tegal van Poel, tidak mau
mengadakan serah terima jabatan dengan alasan tidak mendapat
perintah dari atasannya. Walaupun demikian ia tetap mau menjalankan
setiap perintah dari penguasa yang baru.
Di Banyumas, persiapan pengambilalihan pemerintahan
berlangsung terus tanpa seijin Susuhunan di Surakarta. Pada tanggal
15 Juni 1830, Hallewijn minta kepada seluruh bupati di wilayah
Banyumas untuk menyerahkan piagam pengangkatannya sebagai
bupati dari Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Baru pada tanggal 22
Juni 1830, pemerintah kolonial Belanda mengadakan perjanjian
dengan raja di Surakarta. Dengan perjanjian ini maka secara resmi
wilayah mancanegara barat diserahkan kepada pemerintah kolonial
Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda tampaknya masih cukup baik hati
kepada Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dengan memberikan
lxxiv
kompensasi atas diambilnya daerah mancanegara. Kompensasi bagi
pengambilalihan wilayah Banyumas sebesar 90.000 Gulden. Uang
tersebut diberikan kepada Kerajaan Surakarta sebesar 80.000 Gulden
dan kepada Kerajaan Yogyakarta sebesar 10.000 Gulden. Sejak saat
itu, wilayah Banyumas berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda
(http://basundoro.blog.unair.ac.id/2009/01/31/sisi-terang-
kolonialisme-belanda-di-banyumas/).
Sedangkan unsur-unsur Budaya Banyumas yang masih terpelihara
antara lain:
1) Bawor, Simbol Wong Banyumas
Di kalangan masyarakat Banyumas, tokoh Bawor dalam
pewayangan menjadi ikon penting. Penetapan secara tidak tertulis ini
bermula dari ide Bambang S Purwoko, salah satu tokoh pemerhati
kebudayaan Banyumas pada tahun 1987, dan direstui Bupati Banyumas
kala itu, Djoko Soedantoko. Hal ini terungkap dari wawancara yang
dilakukan dengan Bambang S Purwoko tanggal 18 November 2009.
Tokoh Bawor dalam pakem pedalangan Layang Purwacarita yang
menjadi pedoman dasar cerita (pakem) pedalangan gagrag (gaya, model)
Banyumasan, diceritakan sebagai buah ciptaan dari bayang-bayang Semar,
bukan anak keturunan Semar. Konon, Bawor diciptakan oleh Sang Hyang
Tunggal dari bayang-bayang Semar untuk menjadi teman seperjalanan
menuju tempat tugasnya di ngarcapada (alam dunia versi wayang).
lxxv
Secara etimologis, ‘Bawor’ berasal dari bahasa Kawi yaitu ‘Ba’
artinya ‘sunar’ (cahaya atau sinar) dan ‘Wor’ artinya awor (campur).
Artinya campuran dari cahaya terang dan gelap. Cahaya terang yang
terhalang oleh suatu benda sehingga bercampur dengan cahaya gelap dan
memunculkan bentuk berupa bayang-bayang, (Budiono Herusatoto,
2008:198).
Bentuk tubuh Bawor mirip dengan bentuk tubuh Semar yang
nyaris bulat (tambun). Kepala Bawor berambut bkoak, jidat nonong, perut
bulat berpusar bodong, suaranya besar dan berat, namun dalam setiap
penampilannya selalu menjadi tokoh yang dihormati dan pendapatnya
dipercaya oleh adik-adiknya; Gareng dan Petruk.
Secara umum menurut budayawan Ahmad Tohari, (Rini Fidiyani,
2008:88) yang menjadi ciri khas lageyan (pola tingkah) Bawor
menggambarkan watak :
a) Sabar lan narima. Meski dalam cerita sosok ini sering menjadi bahan
tertawaan karena wujud fisiknya yang jelek dan suara khasnya, sering
disepelekan orang lain, ia digambarkan tetap sabar tak pernah marah.
Bahkan dengan keluguannya, ia selalu memberikan ide-ide cemerlang
dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.
b) Berjiwa ksatria. Sosok ini dikenal selalu berbicara jujur, toleran,
rukun, suka membantu orang lain, dan selalu mendahulukan
kepentingan bersama.
lxxvi
c) Cancudan dan ringan tangan. Bawor digambarkan sebagai sosok yang
rajin dan cekatan dalam setiap tindakannya.
d) Cablaka, lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang
dari apa yang diucapkannya secara spontan dengan bahasa yang lugas
tanpa tedeng aling-aling atau basa-basi.
Orang Banyumas mengaku dirinya seperti Bawor karena filosofi
sifat dan sikapnya tersebut. Hal ini antara lain terbentuk oleh faktor adoh
ratu cedhek watu (jauh dari raja dan hanya dekat dengan batu). Artinya,
jauh dari tata pergaulan kraton, hanya dekat dengan kehidupan alam yang
keras. Bicaranya saja dengan bahasa Jawa kluthuk (bersahaja, asli kuno),
sing pating mblekuthuk (saling menimpali adu keras seperti suara air
mendidih). Lageyane, anggeren kumpul toli bleketupuk (kebiasaannya bila
sudah berkumpul sesama wong Banyumasan lalu asyik berbicara dengan
akrab sehingga tidak ingat sekitarnya). Bila sudah seperti itu, tentu tidak
ada lagi unggah-ungguh (sikap sopan santun) yang sesuai dengan tata
krama.
Bawor yang dijadikan teladan bagi wong Banyumas dan
menjadi simbol masyarakat digambarkan sebagai sosok dengan sifat
sabar, rajin, jujur, dan ksatria. Terlepas dari sifat buruknya yang
meminta-minta (clamit), sifat bersahaja semacam itulah yang
menjadi cerminan wong Banyumas.
lxxvii
Dr. Tanto Sukardi, M. Hum, dosen sejarah lokal UMP tidak
setuju bila tokoh Bawor dianggap sebagai simbol wong Banyumas.
Sifat buruk clamit itulah yang menurutnya tidak sesuai dengan sifat
dasar masyarakat Banyumas (hasil wawancara tanggal 28 Oktober
2009). Senada dengan itu, Subur Widadi yang adalah seorang dalang
juga menolak penokohan Bawor sebagai simbul masyarakat
Banyumas. Menurutnya, yang tepat dijadikan simbol adalah tokoh
Bima, yang dikenal gagah berani dan bersifat ksatria, (Rini Fidayani,
2008: 89-90). Meski demikian, tokoh Bawor tetap dianggap sebagai
ikon Wong Banyumas sampai saat ini.
2) Upacara Adat Banyumas
Masyarakat Jawa termasuk Banyumas, dikenal sebagai
masyarakat yang gemar melakukan selametan. Semacam tradisi
makan bersama keluarga dan masyarakat sekitar dalam rangka hajat
tertentu, dengan jenis hidangan tertentu pula sesuai hajat yang
diinginkan. Jika diterjemahkan, berbagai bentuk slametan itu
dimaksudkan untuk memohon dihindarkan dari berbagai gangguan
dalam menjalani suatu fase kehidupan. Juga dapat dimaknai sebagai
tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan
kemudahan yang telah diberikan. Menurut M. Koderi, (1991:114-
131), biasanya selamatan semacam ini muncul pada upacara adat
lxxviii
yang berhubungan dengan lingkaran hidup, yaitu; kelahiran, kitanan,
pernikahan, dan kematian.
a) Upacara Kelahiran
Beberapa tradisi dilakukan masyarakat dalam menyambut
kelahiran seorang anak manusia. Upacara selamatan pra-
kelahiran pun digelar dengan berbagai harapan positif terhadap
bayi yang hendak lahir. Biasanya upacara itu berupa kenduri,
semacam acara makan bersama masyarakat sekitar dengan
hidangan tertentu sesuai usia janin dalam kandungan. Ketika
janin masih berusia tiga bulan dalam kandungan, diadakan
selamatan jenang bening, bubur sumsum, dan nasi punar. Lalu
ketika janin berusia empat bulan, dilakukan selamatan dengan
sebutan ngupati. Wujudnya berupa ketupat, gudeg, nasi pecel,
tumpeng, enten-enten dan ketan. Lalu pada masa kehamilan
tujuh bulan, ada selamatan lagi yang disebut mitoni atau
ningkebi dengan upacaranya disebut tingkeban. Bahkan ketika
usia kehamilan mencapai sembilan bulan ada selamatan lagi
yang disebut mrocoti. Makanan atau masakan yang diperlukan
antara lain: jenang procot, kupat, nasi golong, bulus angrem,
dhawet, dan lain-lain.
Perubahan mencolok terjadi pada proses kelahiran bayi.
Jika dahulu peran dukun bayi sangat dominan dalam membantu
lxxix
kelahiran, kini perannya digantikan oleh tenaga medis; bidan dan
dokter kandungan. Meski begitu di beberapa wilayah pinggiran,
keberadaan dukun bayi masih dibutuhkan masyarakat. Terutama
untuk melakukan perawatan berupa pijat urut bayi pada minggu-
minggu awal kelahiran.
Satu tradisi khas Banyumas yang masih terpelihara
hingga kini berkaitan dengan kelahiran bayi adalah penyimpanan
ari-ari atau tali pusat bayi yang tidak dikubur sebagaimana di
daerah lain. Setelah dipotong, baik dengan alat tradisional berupa
welat (bilah bambu yang ditipiskan sedemikian rupa hingga
menjadi tajam seperti pisau) yang telah dibaluti kunyit, maupun
pisau dan gunting, tali pusat itu dimasukkan ke dalam kendhil
(periuk dari tanah) yang masih baru. Kemudian ditutup dengan
daun pisang raja, ditaburi kembang telon (kantil, mawar, melati),
minyak wangi, garam, jarum, benang, gereh pethek (sejenis ikan
asin) dua ikat sirih keris dan jambe serta kemiri. Juga disertakan
kertas bertuliskan huruf abjad Arab, Latin dan Jawa. Baru di
atasnya ditutup dengan cobek dari tanah. Selanjutnya, kendhil
tersebut dihanyutkan di sungai, dengan maksud agar kelak anak
tersebut gemar merantau. Ada pula yang digantung di laur
rumah, agar kelak anaknya sendiri yang menghanyutkan. Namun
juga ada yang ditanam (dikubur) oleh ayahnya sendiri. Saat
lxxx
menanamnya pun mengikuti aturan, harus berpakaian rapi, ari-ari
digendong dengan selendang dan dipayungi. Setiap hari
kelahirannya (weton) ari-ari ditaburi bunga telon.
Saat sisa usus bayi yang melekat pada pusar mengering
dan lepas, sering disebut puput puser. Menurut adat, bila bayi
laki-laki, lubang pusernya disumbat dengan dua buah mrica agar
kelak menjadi lelaki sejati. Bila bayinya perempuan, lubang
pusar disumbat dengan ketumbar. Sore harinya biasanya
diadakan upacara selamatan dengan hidangan terdiri dari nasi
dan janganan (sayuran), jenang merah putih, baro-baro dan jajan
pasar. Sedangkan sesajinya berupa golong lima yaitu ikan,
padupan, bunga cempaka dan uang logam, ditempatkan di takir
(daun pisang dibentuk bundar).
b) Upacara Sepitan/ Sunatan/ Khitanan
Anak laki-laki yang menginjak usia sekitar 12 -14
tahun, biasanya dikhitan sebagai tanda sudah baliq. Upacara
sunatan biasanya dilakukan dengan memasang tarub, disaksikan
oleh para famili, tetangga dan warga desa lainnya. Dahulu yang
menyunat anak dilakukan oleh dukun sepit. Biasanya sunatan
pada pagi hari (subuh). Sebelumnya anak yang mau disunat
disuruh berendam selama kurang lebih satu jam agar darahnya
tidak banyak keluar. Apalagi jaman dahulu, pengobatan masih
lxxxi
sangat sederhana. Alat yang digunakan si dukun dahulu dari
welad (sembilu), kemudian menggunakan pisau kecil atau
pemes.
Anak yang baru dikhitan, biasanya tidak boleh banyak
bergerak dan tidak mandi cukup disekah (diusap pakai lap
basah), agar bagian luka yang disunat tidak kena air, sehingga
cepat sembuh. Anak yang bersangkutan juga harus menjalani
puasa ngasrep (makanan tanpa garam, gula, dan cabai).
Pantangan itu bertujuan agar darah tidak keluar dari luka, dan
cepat kering.
Anak-anak yang disunat biasanya mendapat hadiah dari
sanak famili ataupun para undangan dan teman sebaya. Hari-hari
penyelenggaraan sunatan bagi si anak biasanya dilakukan dengan
memilih hari baik, bukan hari pantangan. Demikian pula dengan
pemilihan bulan yang didasarkan pada perhitungan tertentu
sehingga dianggap baik untuk melaksanakan hajatan. Bulan yang
dianggap baik untuk mengadakan hajatan pada umumnya adalah
bulan Besar (Dulhijjah), Mulud (Rabi’ulawal), Jumadilakhir,
Rajab dan Ruwah (Sya’ban).
c) Upacara Perkawinan
Hal-hal penting dalam tata urutan upacara perkawinan
menurut tata urutan Jawa sebagai berikut :
lxxxii
Utusan, merupakan proses penyelidikan dengn menanyakan
status si gadis. Yang menjalankan tugas ini dinamakan
congkokog.
Melamar, pembicaraan resmi yang disampaikan utusan orang tua
pihak laki-laki dengan maksud melamar di rumah orang tua si
gadis.
Srah-srahan atau bawa besanan, yaitu menyerahkan uba rampe
(barang-barang) kepada keluarga calon penganten wanita oleh
keluarga calon penganten pria. Biasanya dilakukan dua atau tiga
hari sebelum hari perkawinan.
Siraman, yaitu upacara memandikan calon penganten wanita.
Upacara ini biasanya dilakukan sehari sebelum akad nikah
berlangsung. Waktunya menjelang tengah hari atau sekitar jam
sebelas siang. Tujuan siraman untuk menyucikan secara jasmani
dan rohani karena pada hari berikutnya calon mempelai akan
melaksanakan salah satu tugas suci dalam hidup di dunia, yaitu
palakrama, akad nikah (Suwarna Pringgawidagda, 2003:1).
Rias Pengantin, yaitu merias kedua calon pengantin sebelum
upacara panggih atau sebelum upacara akad nikah. Tugas merias
dilakukan oleh ahli perias pengantin wanita yang sering disebut
dukun penganten. Busana yang digunakan pengantin putri
biasanya berupa kain batik, stagen, rimong cinde, baju kebaya,
lxxxiii
dan selop. Busana dan perlengkapan pengantin pria yaitu kemeja
putih lengan panjang, kain jarit (bebed), stagen, sabuk bora,
epek timang, rompi, dasi kupu-kupu, jas bukak warna hitam,
selop dan blangkon nodang Banyumasan.
Upacara Akad Nikah, merupakan inti dari semua rangkaian
upacara perkawinan. Akad nikah yang menentukan sah tidaknya
suatu perkawinan, biasanya dilakukan dengan mengundang
penghulu. Umumnya pelaksanaan akad nikah (ijab qabul)
bersamaan dengan upacara adat perkawinan, dan acara pesta
walimahan. Dalam upacara panggih, setelah ijab qabul,
diteruskan dengan: memutus benang lawe, menginjak telur,
tuntunan, menanam (nandur), rebutan panggang, suap-suapan,
sungkeman, dan diakhiri acara makan untuk para tamu atau
undangan, (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 38).
d) Upacara Kematian
Tata upacara kematian di daerah Banyumas nampak
adanya akulturasi kebudayaan zaman animisme, Hindu-Buddha
dengan Islam. Pengaruh pra-Islam cukup kuat pada tradisi ini.
Jika menurut tuntunan agama Islam yang dijalankan oleh
mayoritas masyarakat perawatan jenazah terdiri atas empat hal
pokok, yaitu; memandikan, mengafani, menyolatkan, dan
menguburkan, dalam praktiknya masih ada prosesi lain yang
lxxxiv
dilaksanakan. Yaitu menaburkan kembang setaman, beras
kuning, dan uang logam di sepanjang perjalanan jenazah dari
kediaman sampai ke makam. Sebagian kembang disebar di atas
gundukan pemakamannya. Kelapa muda yang telah dipotong
salah satu ujungnya sampai berlobang, diletakkan dekat nisan.
Ada pula yang memberi sesaji dengan membakar kemenyan dan
air dalam kendi di atas gundukan tanahnya.
Tradisi lain yang juga masih dilestarikan dalam rangka
upacara kematian ini adalah kenduri nyusur tanah, semacam
acara pembacaan mantra yang dilanjutkan dengan sesaji pada
malam harinya. Kenduri juga diadakan pada hari ke-3, ke-7, ke-
40 dan hari ke-100, bahkan hari ke-1000 dari hari kematian,
karena menurut kepercayaan, pada hari-hari tersebut arwah orang
yang sudah meninggal masih berada di sekitar rumah.
Ketika Islam masuk adat tersebut dibiarkan tetap
berjalan, tetapi isi dan tata caranya dimasuki ajaran agama Islam.
Seperti mantra-mantra diganti dengan doa dan tahlilan atau
bacaan Al-Qur’an. Sampai saat ini, tradisi dengan nuansa Islam
tersebut masih berjalan.
Bertakziah atau melayat adalah berkunjung ke tempat
keluarga yang terkena musibah kematian. Maksudnya untuk
lxxxv
membantu atau meringankan beban penderitaan keluarga yang
ditinggalkan.
3) Kesenian Banyumas
a) Ebeg
Ebeg adalah salah satu bentuk tarian rakyat yang
berkembang di daerah Banyumas. Di tempat lain, kesenian ini
dikenal dengan nama Jaran Kepang, Kuda Lumping, atau Jathilan.
Walaupun namanya tidak sama, namun dilihat dari gerak tari,
adanya segmen intrance (kerasukan) pada para pemain maupun
penonton, dan peralatannya, pada dasarnya sama.
Sejarah pertunjukan ebeg menurut M. Koderi (1991:70),
lahir di tengah-tengah rakyat pedesaan, di luar tembok istana.
Masyarakat Banyumas berpendapat bahwa ebeg dahulunya
merupakan tarian sakral yang biasa diikutsertakan dalam upacara
keagamaan. Umurnya sudah sangat tua. Tidak ada literatur atau
catatan pasti mengenai lahirnya ebeg. Perkembangannya sejak
sekitar abad ke -19 sampai sesudah kemerdekaan mulai dibumbui
dengan unsur-unsur magis. Pemain dibuat kerasukan (kesurupan)
oleh pemimpin atau komandannya yang sekaligus bertindak
sebagai pawang.
Setiap regu ebeg senantiasa terdiri dari dua kelompok
dengan dua orang komandan. Komandan yang satu menaiki kuda
lxxxvi
kepang berwarna putih, dan yang lainnya menaiki kuda kepang
hitam. Yang putih menunjukkan pemimpin menuju kebenaran
sejati, sedangkan yang hitam menunjukkan pemimpin kejahatan.
Pada trik-trik tertentu dalam permainan kedua pemimpin itu
bertemu dan tampak saling menggelengkan kepala. Hal ini
merupakan simbolisasi bahwa antara kebenaran dan kejahatan tak
dapat bertemu. Kemudian mundur beberapa langkah, maju lagi
sesaat ketemu menggelengkan kepala begitulah seterusnya dengan
gerak-gerak yang lain.
Ebeg dipentaskan di tempat yang luas seperti; pelataran,
lapangan, atau halaman rumah, karena melibatkan cukup banyak
pemain. Bahkan tak jarang penontonnya pun terbawa memasuki
alam permainan, hingga tanpa sadar ikut menari dan mengalami
kerasukan. Waktu permainan biasanya pada siang hari, dengan
durasi antara satu hingga empat jam. Jumlah penari inti biasanya
delapan orang, dua orang berperan sebagai Penthul – Tembem,
satu orang sebagai pemimpin, dan tujuh orang sebagai penabuh
gamelan. Jadi satu grup bisa beranggotakan 16 orang atau lebih.
Ciri-ciri ebeg antara lain :
(1) Pemainnya memakai mekutho (semacam mahkota yang terbuat
dari kain).
(2) Pakaian para pemainnya relatif lebih tertutup.
lxxxvii
(3) Irama yang mengiringi permainan merupakan lagu-lagu
Banyumasan. Seperti; ricik-ricik, gudril, eling-eling, lung
gadhung dan blendong.
Kuda ebeg terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk
menyerupai kuda, diberi warna hitam atau putih dan diberi
lonceng. Karena itulah, di daerah lain kesenian ini dikenal dengan
nama Jaran Kepang yang artinya kuda dari kepang (anyaman
bambu).
Penarinya memakai celana yang dilapisi kain batik, tetapi
sebatas lutut. Mekutha (mahkota) di kepala, dan sumping di
telinga. Kedua tangan dan kaki memakai gelang yang diberi
kerincingan. Biasanya pemain mengenakan kacamata hitam. Ada
dua orang yang memakai topeng, yang biasa disebut Penthul dan
Tembem. Fungsi keduanya adalah sebagai pelawak. Peralatan
instrumen yang digunakan yaitu: gendang, gong bumbung, saron,
kenong dan trompet.
b) Lengger
Secara umum, seni lengger atau ronggeng merupakan
tarian yang diiringi dengan tembang (nyanyian) dan instrumen
gamelan. Yang khas, tariannya tidak diiringi dengan gamelan,
lxxxviii
tetapi dengan calung, yaitu alat musik yang seluruhnya terbuat dari
bambu wulung, baik gambang, saron, gong maupun suling. Baik
untuk irama ‘laras pelog’ paupun ‘laras slendro’-nya, (Koderi,
1991:61). Satu-satunya alat yang bukan bambu adalah kendhang
(gendang) yang tetap dibuat dari kayu dan kulit sapi.
Lengger sering diasumsikan sebagai tarian rakyat kecil
yang terlalu vulgar, cenderung porno. Hal ini disebabkan
banyaknya gerakan bodor (pelucu/pelawak) yang memancing
birahi, sehingga sering mengundang amor (cinta
rahasia/perselingkuhan). Kesan yang menimbulkan image yang
salah ini sudah terlanjur melekat di hati masyarakat. Tetapi
sebenarnya dulu lengger justru merupakan seni tari tingkat atas.
Pernyataan Koentjaraningrat yang dikutip Budiono Herusatoto
(2008:218), menyebutkan bahwa kesenian tayub bukan hanya
sebagai kesenian rakyat, melainkan juga seni pertunjukkan di
kalangan priayi dan bahkan di kalangan kraton Jawa.
Buku History of Java, karya Thomas Stamford Raffles
menyebutkan bahwa hampir semua daerah di pulau Jawa memiliki
jenis tarian ini. Hal ini dibuktikan dengan nama-nama dari masing-
masing daerah yang menamakan jenis tarian ini dengan istilah
gandrung, ronggeng, tledhek/ledhek, tandhak, tayub, lengger dan
ronggeng, (Budiono Herusatoto, 2008:217).
lxxxix
Dalam Serat Sastramiruda dan Serat Centini disebutkan
pula bahwa tayub sudah ada pada zaman Majapahit sampai
Demak. Bahkan pada zaman Mataram, Panembahan Senopati
mengutus putrinya, Rara Pambayun menjadi penari tayub guna
memikat dan mengalahkan Ki Ageng Mangir yang membangkang
dan tidak mengakui kekuasaan Mataram, (Budiono Herusatoto,
2008:217).
c) Begalan
Istilah begalan, berasal dari kata begal, artinya perampok.
Istilah begalan dalam tradisi Banyumas menurut Supriyadi
(1993:6) bukan berarti merampas barang orang lain, melainkan
menjaga keselamatan apabila nanti ada roh-roh jahat datang
mengganggu. Begalan diartikan dengan ucapan kebegalan
sambekalanipun, maksudnya dijauhkan dari segala mara bahaya.
Tradisi ini dilaksanakan sebagai syarat atau krenah/ pengruwat
guna menghindari segala kekuatan-kekuatan gaib yang
mengancam keselamatan kedua mempelai.
Tradisi begalan dilaksanakan apabila seseorang
mempunyai hajat mengawinkan anak sulung dengan anak sulung,
anak bungsu dengan anak sulung, atau anak bungsu dengan anak
bungsu. Perkawinan semacam itu dalam tradisi Banyumas
merupakan suatu pantangan. Oleh karenanya jika perkawinan tetap
xc
akan dilangsungkan, perlu diadakan begalan guna menyingkirkan
segala bentuk gangguan yang mungkin terjadi. Begalan biasanya
dilakukan pada siang atau sore hari, (Koderi, 1991:55).
Sebenarnya seni begalan pada zaman dahulu diadakan oleh
para demang, yang kekuasaannya kala itu adalah mutlak
selayaknya raja. Setiap perintahnya harus segera dilaksanakan.
Karena itu, rakyat beranggapan bahwa seni begalan merupakan
warisan dari para leluhur Banyumas yang tidak boleh ditinggalkan.
Bahkan karena sangat taatnya, seseorang yang sebenarnya tidak
mampu, memaksakan diri dengan berbagai cara untuk bisa
melaksanakannya. Fungsinya pun bergeser dari sekedar upacara
dalam rangka memohon keselamatan (ruwatan) menjadi sarana
untuk memperolah kebanggaan dan dan pujian.
Pertunjukkan begalan tidak memerlukan tempat yang
khusus atau mewah. Tidak perlu mendirikan panggung, cukup di
halaman rumah, tanpa dekor. Tata pakaian dan tata rias sangat
sederhana. Pakaian cukup baju koko hitam, celana komprang
hitam, stagen dan sabuk, kain atau sarung, sampur dan iket wulung
(hitam). Sedang perlengkapan yang dipergunakan yaitu wlira dan
brenong kepang. Wlira yaitu alat yang berwujud pedang kayu dan
dipergunakan sebagai pemukul. Panjang wlira satu meter, tebal
dua centimeter dan lebar empat centimeter. Bahan yang
xci
dipergunakan dari ruyung atau pohon pinang. Pembawa wlira
adalah si begal dari pihak mempelai wanita dengan nama
Suradenta. Pengantar mempelai laki-laki yang membawa
peralatan-peralatan brenong kepang bernama Surantani atau
Jurutani, (Supriyadi,1993:10-12)
Brenong kepang berupa sepikul alat-alat dapur. Masing-
masing alat-alat dapur itu memiliki makna kias tersendiri. Adapun
macam-macam alat dapur tersebut yaitu wangkring atau pikulan,
ian dan ilir, cething, kukusan, kalo, tampah, sorok, centong, irus,
siwur, kendil, pala pendem, pala gumantung, dan seikat padi.
Kebiasaan orang Banyumas, sebelum pertunjukkan dimulai
didahului dengan mengadakan (menyajikan) sesajen dengan
membakar kemenyan disertai pembacaan mantra-mantra. Maksud
sesajen itu supaya selama hajat dilaksanakan dan waktu mempelai
disandingkan terhindar dari berbagai gangguan. Macam-macam
sesajian ini biasanya diletakkan di tempat yang tidak terjangkau
oleh pengunjung atau tamu. Sering ditempatkan di bagian dapur
atau dekat mempelai disandingkan.
Jalannya pertunjukkan, kedua penari Suradenta dan
Surantani dengan membawa peralatannya masuk sambil menari ke
tempat pentas diiringi gendhing ricik-ricik. Setelah gending suwuk
(berhenti), salah satu penari, biasanya Suradenta, memperkenalkan
xcii
diri, menceritakan maksud dan tujuannya mengadakan begalan.
Penari berdialog menanyakan nama dan maksudnya, lalu minta
gendhing Gunungsari. Di sinilah Surantani menjelaskan panjang
lebar sanepa (makna kias) dari semua isi brenong kepang. Intinya
berisi nasehat untuk mempelai berdua dalam membangun rumah
tangganya agar nantinya langgeng terhindar dari berbagai cobaan
hingga kakek-kakek nenek-nenek.
Saat terjadi pertengkaran mulut, diiringi gendhing Pisang
Balik. Pada waktu gendhing suwuk, pertengkaran berbuntut
perkelahian diiringi gendhing Renggong Kulon. Perkelahian
diakhiri dengan pemecahan kendil yang berisi beras kuning,
pertanda rejeki bagi mempelai kelak akan senantiasa melimpah,
kemudian isi brenong kepang diperebutkan oleh penonton. Mereka
meyakini, bila mendapat barang dari brenong kepang akan
mendapat sawab (berkah). Alunan gendhing Eling-eling
Banyumasan mengakhiri opera begalan ini, (Wawancara tanggal
21 Nopember 2009 dengan Dibyo Suwignyo, pelaku Suradenta
pada tradisi begalan di Notog, Banyumas).
Tampak jelas seni begalan di Banyumas memiliki
kekhasan tersendiri. Bahkan upacara seperti ini tidak dijumpai di
daerah lain yang biasanya melakukan ruwatan dengan
pertunjukkan wayang.
xciii
d) Wayang Kulit ’gagrag’ Banyumas
Wayang purwa (kulit) seperti bentuknya yang sekarang
adalah hasil rekonstruksi/ciptaan Walisanga yang telah melalui
proses penyempurnaan dari bentuk aslinya. Wayang purwo kuno
sudah ada sejak zaman Mataram kuno, seperti yang tertera pada
relief-relief candi di Jawa Tengah dan candi-candi Jawa Timur
zaman Majapahit.
Secara etimologi, kata ’wayang’ berasal dari kata ’ayang-
ayang’ (bayang-bayang) atau ’wewayangan’ (bayangan) yang
berwujud dan berwarna hitam/gelap. Wujud tersebut terbentuk dari
bayangan benda yang terkena sinar/cahaya lampu blencong.
Wayang hanyalah sebagai lambang atau simbol dari hidup dan
kehidupan manusia. Wayang dibuat oleh manusia yang
difungsikan sebagai alat untuk menggambarkan watak dan sifat
manusia dalam kehidupan. Wayang dapat pula menjadi alat untuk
retrospeksi dan introspeksi diri.
Ciri utama gambaran watak wayang purwa terlihat pada
warna cat muka/wajah tokoh-tokoh wayang yang bersangkutan,
(Soekatno, tanpa tahun:29). Adapun warna-warna wajah tokoh-
tokoh wayang tersebut meliputi:
(1) Warna merah menggambarkan watak angkara murka atau
dalam bahasa Jawa dur angkara. ’Dur’ berasal dari kata
xciv
’drusila’/ ’dursila’ (jahat, buruk, bodoh) dan ’angkara’ (loba,
tamak, pemarah).
(2) Warna hitam menggambarkan watak ksatria. ’Ksatria’ artinya
bersifat jujur, berani karena benar, bertekat besar untuk
menegakkan kebenaran, dan pemaaf.
(3) Warna kuning emas menggambarkan watak mulia, budi pekerti
halus, penyayang kepada sesama makhluk Tuhan.
(4) Warna putih menggambarkan kesuciah hati, pikiran jernih, dan
bijaksana, yang dimiliki tokoh tersebut.
(5) Warna kelabu/abu-abu menggambarkan watak slewuh (dari
kata mengsle lan owah). ’Mengsle’ (menyimpang) dan ’owah’
(gampang berubah-ubah) berarti ’setengah-setengah’. Setengah
putih dan setengah hitam berarti abu-abu diartikan sok pintar,
berlagak suci, suka mencela, penakut dan tidak percaya diri.
Ciri lainnya dari wayang purwa terlihat pada bleger
(bentuk tubuh) wayang. Menurut Budiono Herusatoto (2008:189)
ada lima ciri utama pada bleger, yaitu:
(1) Golongan raksasa, umumnya menggambarkan watak yang dur
angkara atau drusila/ dursila.
(2) Golongan ksatria, umumnya menggambarkan watak jujur dan
ikhlas atau legawa.
xcv
(3) Golongan pandhita (pendeta), umumnya menggambarkan
watak suci dan bijaksana.
(4) Golongan dewa, umumnya menggambarkan watak mulya
(mulia).
(5) Golongan punakawan (para abdi), umumnya menggambarkan
watak yang ngemong (mengasuh), tut wuri handayani
(menjaga dan mendorong semangat), memberi nasihat dan
petunjuk dan hidup sederhana.
Seni Pewayangan di daerah Banyumas diperkirakan telah
ada sejak zaman Majapahit. Hal ini didasarkan atas asal-usul
pemerintahan di daerah Banyumas yang bermula ketika Raden
Baribin, putra Prabu Brawijaya IV di Majapahit, singgah di
Banyumas saat menuju Pajajaran. Dalam kesempatan itu, Raden
Baribin juga menyebarkan kebudayaan, termasuk seni wayang,
(Koderi, 1991:66). Disebutkan pula bahwa pakem pedalangan
gagrag Banyumasan diawali tahun 1920 dengan dimotori oleh
dalang dari Desa Menganti, Gombong bernama Ki Cerma yang
kemudian dikenal dengan sebutan Ki Dhalang Menganti.
Ciri pewayangan gagrag Banyumasan menurut Ki Sugino
Siswocarito, dalang kondang asal Banyumas, dalam wawancara di
Ajibarang, Minggu, 8 Nopember 2009, antara lain:
xcvi
(1) Saat pementasan akan dimulai, buka kelir, pegunungan
dicabut, tokoh yang muncul sebagai pembuka walau sekedar
muncul sekilas adalah sosok wayang keputren yang diiringi
emban (limbuk).
(2) Tokoh punakawan terdiri atas Semar, Gareng, Petruk dan
Bawor. Versi Surakarta dan Yogyakarta tokoh Bawor tidak
ada, adanya Bagong.
(3) Dialog punakawan menggunakan bahasa cablaka Banyumasan
(ngapak-ngapak).
Fungsi wayang purwa di samping sebagai ekspresi
kebudayaan juga merupakan media pendidikan, informasi dan
hiburan. Sebagai media pendidikan karena isinya banyak
memberikan ajaran kepada manusia, baik sebagai individu maupun
anggota masyarakat. Wayang banyak mengandung unsur
pendidikan terutama dalam hal penanaman budi pekerti, mental,
dan watak.
Wayang menjadi media informasi karena sifatnya yang
sangat komunikatif. Dengan demikian sangat tepat digunakan
untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat, memberikan
informasi tentang masalah-masalah kehidupan dan seluk-beluknya.
Sedangkan fungsi wayang sebagai media hiburan, karena
xcvii
pertunjukannya dapat disajikan dalam berbagai macam keperluan
sebagai tontonan yang menghibur, (Soekatno, tanpa tahun:1).
4) Cagar Budaya di Banyumas
a) Pasarehan Dawuhan
Pesarehan Dawuhan adalah makam para pepunden
(pendiri dan petinggi) Banyumas. Ada 12 orang yang pernah
menjadi Bupati Banyumas dimakamkan di pesarehan ini. Bupati
Banyumas pertama, Jaka Kaiman, yang dikenal sebagai Adipati
Mrapat juga dimakamkan di tempat ini. Selain itu juga terdapat
makam tiga orang Bupati Purwokerto dan dua orang Bupati
Purbalingga, (Koderi, 1991:36).
Dalam buku itu disebutkan pula bahwa pesarehan
seluas lima hektare tersebut berada di lereng Pegunungan Serayu,
kurang lebih sejauh lima kilometer sebelah barat kota Banyumas.
Pada bulan Ruwah (sya’ban) pesarehan ini sering dikunjungi
peziarah, baik yang sekedar ingin berdoa maupun mereka yang
menginginkan hajat tertentu.
Menurut riwayat, sebagaimana disampaikan oleh
Bambang S Purwoko, Desa Dawuhan dulunya merupakan desa
perdikan yang dikepalai seorang demang. Namun sejak proklamasi
kemerdekaan RI, status tersebut dihapus, sesuai dengan Undang-
undang No. 13 tahun 1946, tentang penghapusan kedudukan desa-
xcviii
desa perdikan. Dalam Babad Banyumas yang disusun oleh dan
atas perintah Pangeran Juru Pensiun Pepatih Dalem Kasultanan
Yogyakarta, Pasarehan Dawuhan dinamakan Astana Redi
Bendungan, (wawancara tanggal 28 Oktober 2009).
Upaya pemeliharaan dan pelestarian makam bersejarah
bagi masyarakat Banyumas ini telah dilakukan. Mulanya hanya
dibentuk sebuah panitia perbaikan yang disebut Panitia Perbaikan
Makam Dawuhan Banyumas. Lalu pada tanggal 12 Januari 1977
dibentuk ”Yayasan Pasarehan Dawuhan Banyumas” yang
bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pelestarian situs
budaya ini.
Di dalam kompleks makam ini berdiri sebuah masjid yang
sudah cukup tua bernama ”Masjid Nurul Huda”. Masjid ini
didirikan oleh Tumenggung Cakrawerdana I, Bupati Banyumas
XIII, sekitar tahun 1830.
b) Pendapa si Panji
Ketika Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I menjabat
sebagai Bupati Banyumas, dan residennya adalah S. Van Deventer,
banjir besar atau yang lebih dikenal dengan ’Blabur Banyumas’
merendam ibukota kabupaten dengan ketinggian mencapai tiga
xcix
meter. Peristiwa ini berlangsung selama tiga hari, dari hari Kamis
wage sampai dengan Sabtu legi yang bertepatan dengan tanggal
21-23 Pebruari 1861 M, (Bambang S. Purwoko, tanpa tahun:2).
Sebelum terjadi banjir ada sesepuh Banyumas yang
mengatakan ” Bakale ana betik mangan manggar” artinya suatu
ketika akan terjadi ikan betik memakan manggar (bunga kelapa).
Orang baru mengerti maksud perkataan itu setelah terjadi banjir.
Rupanya tinggi air mencapai tinggi pohon kelapa yang baru keluar
bunganya, yaitu setinggi tiga sampai empat meter, (M. Koderi,
1991:108).
Konon, ketika air yang masuk menggenangi halaman
pendapa semakin tinggi, saka guru (tiang utama) pendapa itu
terangkat seolah-olah terapung. Setelah air surut, saka guru itu
masih berdiri pada tempat semula, tidak bergeser sedikitpun dan
masih kokoh. Walaupun terkesan fiktif, cerita tersebut dipercaya
benar-benar terjadi dan menimbulkan kekagumam warga
Banyumas. Sejak saat itu, saka guru dianggap benda keramat dan
memiliki kekuatan gaib, sehingga setiap malam Jum’at kliwon dan
Selasa kliwon selalu diberi sesaji berupa bunga, kelapa muda hijau
dan kemenyan, (wawancara dengan Bambang S Purwoko).
Pada tanggal 5 Maret 1937, ibu kota Kabupaten
Banyumas pindah ke Purwokerto. Pendapa dan saka gurunya ikut
c
dipindahkan. Prosesi pemindahannya pun melalui upacara dengan
berpantang melewati Kali Serayu. Pendapa tersebut kini
dinamakan Pendapa si Panji. Nama si Panji mungkin diambil dari
nama salah seorang Bupati Banyumas yang membangunnya, yaitu
Raden Adipati Panji Gandakusuma yang sebelumnya bernama R.
Mertawijaya, putra dari Yudanegara I, (Warwin R. Sudarmo dan
Bambang S. Purwoko, 2009:187).
c) Masjid Saka Tunggal Cikakak
Masjid Saka Tunggal Cikakak merupakan salah satu
peninggalan sejarah dan purbakala yang dilindungi dan terdaftar
dengan nomor Inventaris : 25.02.89 (Daftar Inventaris Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Se-Jawa Tengah Tahun 1980/1981:89).
Masjid ini didirikan oleh Mbah Toleh Mustholih di Desa Cikakak
dekat Wangon. Masjid itu dianggap istimewa karena hanya
memiliki satu saka (tiang) yang menyangga atap tepat di tengah
bangunan, sehingga dinamai Masjid Saka Tunggal. Sekarang
masjid ini dinamakan ”Masjid Baitussalam”.
Bangunan Masjid Saka Tunggal, seperti layaknya
bangunan masjid di Jawa Tengah, berbentuk tajug. Menurut
keterangan Sopani, juru kunci, masjid ini didirikan tahun 1288
sebagaimana keterangan yang tertulis dengan angka Arab pada
Saka Tunggal. Pada mulanya masjid ini beratap ijuk, kemudian
ci
diganti dengan sirap pada masa Bupati Banyumas Poedjadi
Djaring Bandayoeda pada tahun 1977. Ketika Djoko Soedantoko
menjabat sebagai bupati, pada tahun 1994 masjid ini kembali
dipugar sesuai ukuran aslinya 12 m x 18 m dan beratap ijuk
(wawancara dengan Sopani, tanggal 23 Nopember 2009). Puncak
atap (mustaka) berbentuk piramida dan pada ujung atasnya
berakhir dengan bentuk bulatan. Pada bagian bulatan ini diberi
sembir-sembir, sehingga berkesan seolah-olah putik dan daun
bunga. Tiap ujung tepian atap diberi bungkak, yaitu hiasan
melengkung yang lazim digunakan pada bangunan tradisional di
daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Bagian dalam masjid dihiasi relief dan kaligrafi dengan
media cat. Hiasan-hiasan tersebut antara lain terdapat pada tiang
utama, langit-langit, dinding samping bangunan, emprit ganthil,
mihrab, dan mimbar. Hiasan pada tiang mulai dari bawah (umpak)
sampai ke batas penyangga sayap (kapitil) pertama. Keempat sisi
tiang dihiasi relief bermotif sulur gelung mengarah ke atas dengan
warna selang-seling merah, kuning tua, hijau tua dan selingan daun
dan bunga berwarna putih.
Langit-langit yang terbagi empat bidang, juga penuh
dengan hiasan. Pada keempat bidang tersebut terbentuk garis
diagonal yang berbentuk anak panah, tertuju ke sebuah lingkaran
cii
di tengah bidang. Hiasan pada lingkaran ini seolah-olah
melambangkan matahari. Sedangkan pada bagian segi tiga di
antara diagonal terdapat tanda ’ + ’ yang melambangkan bintang.
Di antara pintu mihrab terdapat relief besar bermotif sulur
daun bunga yang bergelung. Di atas relief tertulis ayat-ayat suci
Al-Qur’an pada papan berwarna hijau tua. Tempat pertemuan
antara tiang yang berdiri di kanan kiri mihrab dengan balok
blandar dan pengeret terdapat relief berbentuk sayap. Sedangkan
mimbar yang seluruhnya terbuat dari kayu jati juga penuh dengan
hiasan relief bermotif bunga dengan daun bunga melebar dan
menggelung ke kanan dan ke kiri, (hasil obsevasi, tanggal 23
Nopember 2009).
Sopani juga menegaskan bahwa bangunan dan benda yang
masih asli meliputi saka guru, bedug, kenthong, mimbar, tongkat,
ornamen depan pengimaman, lampu lentera, dan bak air. Sampai
sekarang bangunan tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya, dan
ramai dikunjungi masyarakat, terutama saat liburan,
Satu hal yang paling khas di kawasan Masjid Saka Tunggal
adalah hadirnya kera liar yang jumlahnya cukup banyak di sekitar
bangunan. Pada dasarnya kera-kera tersebut tidak dipiara secara
khusus, tetapi dilindungi dan habitatnya berada di dalam hutan
ciii
dekat masjid. Binatang itu menjadi terkesan jinak jika diberi
makanan berupa kacang oleh pengunjung.
c. Sumber Belajar IPS SMP di Kabupaten Banyumas
Kegiatan pembelajaran mata pelajaran IPS yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah SMP di Kabupaten Banyumas selama ini, masih bersifat
teacher- centered learning, yang memusatkan kegiatannya pada guru sebagai
sumber belajar utama bagi pembelajar. Dalam praktiknya, rata-rata guru
menyajikan materi pelajaran dengan menggunakan sumber belajar lain berupa
buku teks. Sedangkan sumber belajar yang ada di sekitar lingkungan sekolah
seperti cagar budaya, musium, atau lainnya masih jarang digunakan. Hal ini
terungkap pada obsevasi di SMP Negeri 1 Ajibarang dan wawancara yang
dilakukan dengan guru-guru IPS SMP di Kabupaten Banyumas pada tanggal 4
Januari 2010 di SMP N Ajibarang dalam forum MGMP IPS menunjukkan hal
tersebut.
Secara lengkap hasil wawancara dari beberapa nara sumber tentang
sumber belajar yang biasa digunakan dalam kegiatan pembelajaran, adalah
sebagai berikut.
a. Siti Aisah S.Pd, guru SMP N 1 Ajibarang
”Sumber belajar yang selalu saya gunakan terutama buku. Alat peraga
seperti peta, atlas, globe, model gunung api, anometer juga kadang saya
pakai. Cagar budaya yang dekat dengan sekolah, Masjid Saka Tunggal di
civ
Cikakak juga pernah dimanfaatkan untuk memperkenalkan konsep awal
masuknya Islam. Juga Musium BRI di Purwokerto untuk membahas sejarah
koperasi dan sejarah uang.”
b. Supriyadi, guru SMP N 1 Ajibarang
”Ada beberapa sumber belajar yang biasa saya gunakan dalam kegiatan
pembelajaran. Seperti; peta, atlas, gambar-gambar peninggalan masa lalu,
dan gambar-gambar lainnya yang berkaitan dengan KD. Saat menjelaskan
KD tentang peninggalan Hindu-Budha dan KD yang berkaitan dengan masa
penjajahan Belanda, saya mencontohkan penginggalan-peninggalan cagar
budaya yang ada di Banyumas. Namun sebatas saya terangkan saja.”
c. Mujiono, guru SMP N 1 Ajibarang
”Buku-buku, baik buku teks maupun sumber asli hampir selalu dipakai
sebagai sumber belajar. Selain itu juga menggunakan gambar, film, maupun
dokumentasi sejarah. Tetapi tentu lingkungan juga dimanfaatkan, seperti
musium. Kegiatan belajar IPS dilaksanakan dengan pembelajaran
kontekstual, khususnya yang berkaitan dengan materi sosiologi dan sejarah,
memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajarnya.”
d. Setiyowati, guru SMP N 1 Ajibarang
”Saya memanfaatkan buku-buku, peta, atlas, surat kabar, dan alat peraga.
Internet juga kadang-kadang saya manfaatkan sebagai sumber belajar.
Tetapi terus terang kalau benda-benda cagar budaya dan lingkungan di
cv
sekitar sekolah, hampir tidak pernah saya manfaatkan. Saya tak tahu
bagaimana harus memanfaatkannya.”
Hasil wawancara agar lebih dapat mewakili informasi tentang sumber
belajar yang biasa digunakan dalam kegiatan pembelajaran oleh guru-guru
IPS pada SMP di Kabupaten Banyumas, perlu menggali dari guru IPS SMP
lain di Kabupaten Banyumas, seperti pada :
a. Welas Yuniasih, guru SMP N 1 Somagede
”Waktu di kelas saya menggunakan buku teks sebagai sumber belajar
pokok. Dibantu dengan alat peraga, seperti globe, peta, atau gambar-
gambar.”
b. Supriyanto S.Pd, guru SMP N 1 Sumpiuh
“Lebih banyak ceramah saya kalau di kelas. Siswa belajar dengan dibantu
buku teks yang sudah tersedia. Kemudian dilakukan tanya jawab.
Madang-kadang saya menggunakan atlas atau gambar-gambar yang
sesuai.”
2. Sajian Data
a. Pemahaman Guru IPS SMP di Kabupaten Banyumas terhadap Budaya
Banyumas
cvi
Informasi tentang karakteristik guru IPS tingkat SMP di Banyumas
dan pemahamannya terhadap Budaya Banyumas diperoleh melalui wawancara
dan melihat RPP yang dibuat antara lain oleh guru IPS SMP N 1 Ajibarang.
Poin pokok dalam wawancara tersebut berkaitan dengan pengetahuan dasar
guru-guru tersebut tentang Budaya Banyumas. Di antaranya tentang tingkat
pemahaman mereka tentang sejarah Banyumas, tingkat pengetahuan tentang
cagar budaya, dan apresiasinya terhadap tradisi dan seni yang berkembang di
masyarakat. Selain itu juga kepedulian mereka terhadap upaya pelestarian
kebudayaan melalui proses belajar-mengajar di sekolah.
Dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap guru-guru IPS
SMP Negeri Ajibarang pada tanggal 19 September 2009, diketahui bahwa
pemahaman mereka terhadap Budaya Banyumas masih sangat minim. Bahkan
ada guru yang sama sekali tidak mengetahui jenis-jenis Budaya Banyumas
serta nilai luhur yang terkandung di dalamnya, karena berasal dari luar
wilayah. Hal seperti ini juga didapat pada Sumbarningsih, guru SMP Negeri
2 Cilongok, yang lahir dan besar di Boyolali. Sementara Siti Asyiah, S.Pd,
guru IPS SMP Negeri 1 Ajibarang yang berasal dari Sukoharjo berkata,
”Materi IPS sudah begitu padat, bila dikembangkan dengan memasukkan
potensi lokal Banyumas, saya malah jadi bingung. Bingung mengatur alokasi
waktu dan bingung memilih potensi lokal Banyumas yang mana. Saya kurang
paham tentang budaya Banyumas.”
cvii
Guru yang merupakan putra daerah pun tidak banyak menguasai
budayanya karena berbagai alasan. Antara lain karena tidak sempat
mempelajari, jarang ditemui lagi di masyarakat, dan akibat sikap apatisnya
sendiri. Seperti Setyowati, S.Pd, guru IPS SMP Negeri 1 Ajibarang. Meski
lahir dan besar di Kalisari, wilayah pinggiran di Banyumas, ia mengaku tidak
banyak tahu tentang budaya daerahnya ”Untuk memahami budaya Banyumas
yang beragam perlu belajar dulu,” katanya saat diwawancara tanggal 15
September 2009.
Pendapat senada disampaikan oleh; Supriyanto, S.Pd, guru IPS SMP
Negeri 1 Sumpyuh, dan Bambang, S.Pd, guru IPS SMP Negeri 2 Purwokerto.
Bahkan dengan nada sinis Supriyanto, S.Pd. berkata, ”Budaya Banyumas
paling ebeg yang disenangi siswa khususnya laki-laki. Itu pun sebenarnya
tidak pantas bagi siswa karena pertunjukannya seperti tingkah laku setan dan
orang mabok. Itu bertentangan dengan tuntunan Islam.”
Sedangkan Bambang, S.Pd dengan kalem memberi tanggapan jujur
bahwa ia tidak suka yang namanya ebeg, lengger, maupun wayang. Tempat-
tempat bersejarah seperti Makam Dawuhan, Masjid Saka Tunggal Cikakak
dan Musium di Purwokerto pun tidak paham. Karena itu, jika nantinya jenis-
jenis budaya tersebut harus disisipkan dalam pembelajaran IPS atau sebagai
sumber belajar, ia mengaku masih harus belajar banyak.
Lain lagi tanggapan dari Sikko Varianto, guru IPS SMP Negeri 2
Cilongok, ”Saya paham sedikit tentang seni lengger, ebeg, wayang, begalan
cviii
dan ketoprak, tapi hubungannya dengan pelajaran IPS kelihatannya mengada-
ada. Lagi pula kearifan lokalnya saya tidak paham letaknya dimana, yang saya
tahu ya hanya sebatas hiburan, kalau ada buku pegangan guru tentang itu
mungkin saya bisa memahami,” (wawancara tanggal 15 September 2009).
Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa kesadaran
para guru tersebut budaya lokal kurang. Oleh karena itu sangat sedikit guru
yang mengaplikasikan Budaya Banyumas dalam proses belajar mengajarnya.
Meski demikian, saat disodorkan ide untuk memanfaatkan budaya lokal,
dalam hal ini Budaya Banyumas sebagai sumber belajar dengan alasan untuk
melestarian budaya lokal, seluruh guru IPS yang diwawancarai sepakat
bersedia, walaupun harus belajar lagi.
b. Jenis-jenis Budaya Banyumas yang Dapat Dijadikan sebagai Sumber
Belajar IPS
Budaya Banyumas dapat dijadikan sebagai sumber belajar IPS SMP,
setelah diseleksi dan disaring berdasar Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar IPS pada KTSP SMP di Banyumas. Hasil wawancara tanggal 4
Nopember 2009 terhadap Supriyadi, Mujiono, Setyowati dan Siti Asyiah,
selaku guru IPS SMP Negeri 1 Ajibarang, dapat dihimpun bahwa Jenis-jenis
Budaya Banyumas tersebut terdiri atas:
1) Sejarah Banyumas yang meliputi:
a) Sejarah Banyumas Era Joko Kaiman
cix
b) Sejarah Banyumas Masa Penjajahan
2) Tradisi Banyumas yang meliputi:
a) Mimiti, Sadranan dan
b) Begalan
3) Kesenian Banyumas yang meliputi; ebeg, lengger, dan wayang kulit .
4) Cagar Budaya di Banyumas, antara lain; Masjid Saka Tuggal di Cikakak,
Musium Panglima Besar Sudirman, Musium Wayang dan Bangunan yang
telah berusia lebih dari 50 tahun seperti SMP N 2 Purwokerto.
c. Strategi Pembelajaran yang Dapat Digunakan oleh Guru dalam
Memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai Sumber Belajar IPS
Guru Mata Pelajaran IPS SMP di Kabupaten Banyumas ditantang
untuk mengerahkan pengetahuan dan kemampuannya jika mau memanfaatkan
Budaya Banyumas menjadi sumber belajar. Selain harus mau meningkatkan
pengetahuan dan pemahamannya tentang Budaya Banyumas guna menyeleksi
materi, juga harus kreatif menyusun strategi dan memilih teknik yang tepat
dalam penyampaiannya. Meski demikian ada faktor-faktor yang dapat
mempermudah guru mewujudkan tujuan dalam SK/KD jika memakai unsur
budaya lokal ini sebagai materi maupun sumber belajar. Demikian garis besar
dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap guru-guru IPS SMP
di Kabupatenn Banyumas pada tanggal 19 september 2009.
Secara lebih terperinci, hasil wawancara tersebut adalah sebagai
berikut.
cx
a. Drs. Sukiman, guru IPS SMP 2 Purwokerto, Banyumas. Menurutnya jika
memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS, proses
belajar-mengajar akan lebih praktis, mudah, dan murah. Mengingat siswa
sudah kenal dan dekat dengan budaya tersebut. Kalaupun harus ada
kegiatan outdoor, tidak akan banyak memakan waktu, tenaga dan biaya
karena relatif lebih dekat dengan sekolah. Jangan memilih objek yang jauh
dari lingkungan sekolah, kalaupun itu harus dikenalkan pada siswa, ambil
cara lain seperti lewat gambar atau tayangan film.
b. Supriyanto, S.Pd, guru SMP 1 Sumpyuh, Banyumas, mengatakan bahwa
ada beberapa materi IPS yang memang perlu diberi muatan Budaya
Banyumas. Misalnya dikaitkan dengan materi sejarah, ekonomi, geografi,
dan sosiologi. Meski demikian, materi tersebut harus dipilih yang relevan,
dan tidak dipaksakan keterkaitannya. Guru harus lebih mendalami Budaya
Banyumas, baik sejarah, tradisi, maupun seninya. Guru juga dituntut harus
merancang sekenario pembelajarannya. Teknik atau cara yang dipilih
harus mampu dilakukan oleh guru IPS itu sendiri. Khususnya masalah
alokasi waktu pembelajarn IPS yang dalam struktur kurikulum hanya
empat jam pelajaran dalam satu Minggu.
c. Drs. Mudjiono, guru IPS SMP 1 Ajibarang, Banyumas, mengaku sudah
beberapa kali memanfaatkan muatan lokal, terutama musium dan
lingkungan sekolah sebagai sumber belajar IPS. Karena pelajaran IPS
sangat dekat dengan budaya, ia menanamkan konsep tentang kearifan
cxi
lokal dalam pembelajaran IPS melalui tayangan CD/DVD tentang Budaya
Banyumas. Misalnya tentang pernikahan, ebeg, begalan, wayang ataupun
tentang situs-situs sejarah di kawasan Banyumas. ”Siswa tidak harus
dibawa ke tempat-tempat cagar budaya yang cukup jauh dari sekolah.
Guru tidak perlu menyelenggarkan tontonan ebeg, begalan atau wayang.
Cukup hadirkan itu semua dalam bentuk tayangan media elektronik
melalui VCD player. Hal ini sangat menghemat waktu, tenaga dan biaya.
Tayangan semacam itu harus diikuti pula dengan penjelasan tentang arti
penting dan maknanya, sehingga siswa memahami,” tuturnya.
d. Drs. Suratno, guru IPS SMP 2 Cilongok, Kabupaten Banyumas, sangat
mendukung bila Budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS. Guru IPS
dalam pembelajaran tidak harus memberi contoh yang jauh dari
lingkungan siswa, apalagi dari luar negeri. Contoh yang dimaksudkan
untuk memperjelas materi pokok pada SK/KD tersebut dapat diambil dari
hal-hal yang dekat dengan siswa, seperti KD tentang penyimpangan sosial
dilengkapi dengan contoh kasus dari yang ada di sekitar siswa. SK /KD
tentang produksi, distribusi, dan konsumsi bisa berkunjung ke tempat
pembuatan tahu di Kalisari, pasar di Cilongok, dan toko di Panambangan.
Wawancara lain dengan Ketua MGMP IPS Kabupaten Banyumas
Umar, S.Pd, dan guru inti IPS, Hapiningsih Asriah, M.Pd memberikan lebih
banyak masukan tentang berbagai strategi pembelajaran yang mungkin
digunakan guru saat memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar
cxii
IPS, seperti modeling dan karyawisata lokal. Keduanya memberi tanggapan
yang cukup simpatik terhadap wacana untuk memanfaatkan Budaya
Banyumas sebagai sumber belajar IPS. Mereka menekankan, guru IPS harus
menyusun program pelaksanaan pembelajaran, teknik atau cara pembelajaran
dan evaluasi dengan cermat agar benar-benar memiliki makna. Beberapa
alternatif strategi yang mungkin digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran
pun mereka sampaikan. Antara lain; dengan melakukan kunjungan (outdoor)
ke tempat-tempat yang relevan dengan materi pokok dari SK/KD. Sebagai
contoh saat SK/KD tentang produksi, distribusi, dan konsumsi, siswa dibawa
ke pabrik, pasar, dan supermarket (toko) di lingkungan sekolah. Saat SK/KD
tentang era kolonialisme, siswa diajak mengunjungi musium, monumen, atau
situs sejarah yang relevan. Jika kegiatan outdoor tidak mungkin dilaksanakan,
bisa disajikan melalui tayangan film, slide, atau model.
Alternatif lainnya adalah dengan menyusun LKS IPS (buku ringkasan
materi dan soal-soal) yang dikembangkan dengan memasukkan potensi
Budaya Banyumas. SK/ KD dipetakan dan selanjutnya materi-materi Budaya
Banyumas dikaji dengan baik sehingga diperoleh materi yang relevan. Seleksi
materi dan strategi maupun teknik pembelajaran tersebut harus pula
memperhatikan keterbatasan alokasi waktu untuk IPS, yang di dalam struktur
kurikulum pada KTSP, hanya empat jam per minggu.
Kendala-kendala yang dihadapi guru-guru IPS SMP dalam
memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar, menurut mereka
cxiii
dapat diatasi antara lain dengan adanya buku-buku tentang Budaya Banyumas
yang tersusun secara sistematis sebagai referensi.
B. Pokok-pokok Temuan
1. Sebagian besar guru IPS tingkat SMP di wilayah Banyumas tidak memahami
kebudayaan daerah tempat mereka mengajar. Baik karena latar belakangnya yang
dari luar wilayah Banyumas, tidak memiliki latar belakang akademik IPS,
ataupun karena mereka juga tidak memiliki kepedulian terhadap budaya lokal.
Akibatnya, itikad guru-guru tersebut untuk menjadikan unsur-unsur kebudayaan
Banyumas sebagai sumber belajar IPS selama ini juga sangat minim. Meski
demikian ketika disodori ide untuk mengangkat unsur-unsur budaya Banyumas
sebagai salah satu sumber belajar IPS, mereka kompak menyetujui dan
menunjukkan antusiasmenya.
2. Wilayah Banyumas memiliki jenis-jenis seni, tradisi budaya khas, dan situs-situs
sejarah dengan nilai filosofis, sosiologis, etis, dan edukatif yang sangat tinggi.
Jenis-jenis seni, tradisi dan sejarah Banyumas sebagai komponen atau unsur
Budaya Banyumas yang menonjol dapat dimanfaatkan sebagai sumber relajar IPS
adalah sebagai berikut :
a. Sejarah Banyumas, dengan pembabakan :
cxiv
1) Sejarah Banyumas Prakolonial, yang mencakup ; Babad Pasir Luhur zaman
Hindu, Babad Wirasaba I zaman Hindu, Babad Pasir Batang zaman Islam
dan Babad Wirasaba II zaman Islam.
2) Sejarah Banyumas Masa Kolonial, dengan titik berat pada zaman VOC dan
zaman Kolonial Belanda.
b. Tradisi Banyumas, menguraikan tokoh pewayangan bawor sebagai simbol
wong Banyumas dan upacara adat Banyumas dari upacara kelahiran, khitanan,
perkawinan dan kematian.
c. Kesenian Banyumas yang khas seperti ebeg (kuda lumping), lengger), begalan,
dan wayang kulit gagrag Banyumasan.
d. Cagar Budaya di Banyumas: Pasarehan Dawuhan Banyumas, Pendopo Si
Panji, dan Masjid Saka Tunggal Cikakak peninggalan awal masuknya Islam.
Kini, berbagai tradisi baik berupa seni maupun pola kehidupan sosial
tersebut nyaris terlupakan oleh generasi muda. Literatur tentang Budaya
Banyumas pun sangat terbatas. Kalaupun ada, sebagian terkesan materinya
disusun asal-asalan sehingga sulit untuk dipahami. Padahal jika dipelajari dengan
sungguh-sungguh, unsur-unsur tersebut dapat menjadi bahan pelajaran yang
sangat baik bagi siswa dalam rangka menemukan jati dirinya sebagai Bangsa
Indonesia dengan keunikan daerah asalnya. Hal ini dapat memperkuat rasa
nasionalisme siswa dan menghindarkannya dari bahaya arus modernisasi yang
cenderung membuat siswa tidak berpijak pada buminya.
cxv
3. Berbagai alternatif strategi pembelajaran dapat dipilih dan diterapkan guru IPS
dalam memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar, antara lain
dengan mengaplikasikannya melalui model pembelajaran kontekstual. Hal ini
dimungkinkan dengan tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku, yaitu KTSP.
C. Pembahasan
1. Pemahaman Guru IPS tingkat SMP di Kabupaten Banyumas terhadap
Budaya Banyumas
Minimnya pengetahuan dan wawasan guru-guru IPS tingkat SMP di
wilayah Kabupaten Banyumas tentang Budaza Banyumas, sangat berpengaruh
pada kontribusi mereka bagi upaya pelestarian budaya lokal, dalam hal ini
Budaya Banyumas itu sendiri. Ketika guru IPS sejarah misalnya tak mengerti
bahkan tak peduli dengan tradisi lokal, maka sejarah yang diajarkan hanya
berhenti pada uraian kronologis peristiwa masa lalu tanpa makna. Bahkan
cenderung membosankan.
Pemahaman guru IPS terhadap sejarah lokal dalam hal ini Budaya
Banyumas penting, namun hal itu juga tergantung bagaimana guru yang
bersangkutan memaknainya. Pembelajaran sejarah dalam IPS misalnya, haruslah
dilanjutkan dengan penekanan bahwa sejarah tersebut senantiasa berada dalam
proses waktu yang selalu terkait, satu dengan yang lain. Karena itu, sejarah selalu
beredar dalam kekiniannya. Demikian kesimpulan dari pendapat sejarawan,
Anhar Gonggong dalam wawancara di sela-sela seminar nasional tentang
cxvi
Pendidikan yang Membangkitkan Nasionalisme, di Universitas Muhammadiyah
Purwokerto (UMP), tanggal 28 Oktober 2009. Selain tidak membosankan,
maknanya pun akan langsung dirasakan siswa yang merasa terlibat dalam
berbagai materi belajarnya.
Guru-guru IPS di Kabupaten Banyumas semestinya memiliki pemahaman
terhadap nilai-nilai dan kearifan lokal, dalam konteks ini budaya Banyumas. Hal
ini sangat penting artinya mengingat dewasa ini masyarakat Indonesia tengah
menghadapi aneka perubahan, baik yang berkaitan dengan tuntutan lokal,
nasional maupun global. Sebagai bunga dan harapan bangsa, generasi muda
dituntut pula untuk mempraktikan budi pekerti yang luhur, sesuai dengan nilai-
nilai budaya. Di sinilah arti penting pembelajaran sejarah sebagai bagian dari
pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Demikian Dr. Tanto Sukardi, M.
Hum., Dosen FKIP Prodi Sejarah UMP dalam wawancara tanggal 28 Oktober
2009.
Pentingnya guru IPS memahami Budaya Banyumas juga tersirat dari hasil
wawancara dengan Drs. Sugeng Priyadi, M. Hum, ahli sejarah lokal Banyumas
yang juga dosen FKIP UMP pada tanggal 28 Oktober 2009. Ia mengatakan
bahwa pembahasan terhadap budaya Banyumas merupakan tindakan ’pulang
kampung’. Harus disadari, primordialisme merupakan salah satu unit historis
yang musti diakui eksistensinya. Primordialisme Banyumas jelas menunjukkan
adanya kelampauan bersama yang telah dilalui dalam waktu yang cukup lama.
cxvii
Oleh karena itu, Budaya Banyumas beserta beberapa aspeknya perlu diposisikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan budaya nasional.
Perlu pula disadari bahwa budaya egaliter seolah telah menjadi fitrah
orang Banyumas dalam kehidupan sehari-hari. Egaliter merupakan sikap yang
dapat menghargai prinsip-prinsip nasionalisme yang meliputi; kesatuan,
kebebasan, kesamaan, kepribadian, dan prestasi. Dari sini saja jelas terlihat,
banyak yang dapat diambil oleh seorang guru IPS dari Budaya Banyumas dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran yang diembannya.
Mengingat hal-hal tersebut, menjadi harga mati bagi guru-guru IPS untuk
meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang budaya-budaya lokal (bagi guru
IPS di wilayah Banyumas mutlak harus memahami Budaya Banyumas) dengan
segala keunikan dan nilai-nilai yang dikandungnya. Apalagi saat ini tingkat
kesejahteraan mereka telah jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Artinya,
tidak berlebihan jika mereka dituntut untuk lebih profesional dalam menjalankan
tugas. Bukan semata-mata menyuapkan materi pelajaran mentah-mentah supaya
ditelan siswa, melainkan juga mengupayakan bagaimana makanan berupa mata
pelajaran tersebut berdampak dan bermakna bagi pertumbuhan serta
perkembangan intelektual maupun moral anak didiknya sebagai generasi penerus
negeri ini.
Hasil penelitian yang menujukkan betapa minimnya pengetahuan guru-
guru IPS SMP di Kabupaten Banyumas tentang Budaya Banyumas menunjukkan
pula ketidakpedulian mereka terhadap kelestarian budaya lokal. Dari situ pula
cxviii
terlihat bahwa rata-rata mereka tidak mampu mengambil sari pati budayanya
sendiri, yang berupa nilai-nilai luhur, baik estetika, etika, sosiologi, ideologi,
maupun filosofinya untuk kemudian memanfaatkannya sebagai sumber relajar
yang potensial. Barangkali tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa para
guru tersebut juga tidak lagi mampu mengenali jati dirinya sebagai warga bangsa
dengan keunikan pribadi yang lahir dari sebuah tradisi.
Ketika wacana untuk memanfaatkan budaya lokal dalam hal ini Budaya
Banyumas mendapat respon positif dari para guru IPS SMP di Kabupaten
Banyumas, saat itu pula mereka mendapat tantangan besar. Mereka jelas dituntut
untuk mengeluarkan energi lebih banyak, baik berupa biaya, pikiran, maupun
waktu, untuk mempelajari dan mamahami unsur-unsur Budaya Banyumas yang
masih terpelihara. Apalagi mengingat terbatasnya literatur yang benar-benar
kompeten tentang Budaya Banyumas, upaya untuk memahaminya juga
memerlukan strategi tersendiri. Kreativitas mereka pun tertantang untuk dapat
menggunakan strategi pembelajaran yang tepat guna mengangkat materi-materi
jadul tradisi Budaya Banyumas tersebut menjadi layak, relevan, dan menarik serta
sarat makna bagi siswa.
Walau seberat apa pun, mau atau tidak mau, guru-guru IPS SMP harus
melakukannya. Sebab jika tidak, tujuan pembelajaran IPS SMP membentuk
peserta didik menjadi warga negara yang baik, mampu membangun kemampuan
berpikir, mengenal, dan mampu melestarikan kebudayaan bangsa (Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama, 2004:24) mustahil akan tercapai. Bahkan pada
cxix
akhirnya nanti, pelajaran IPS hanya akan tinggal sebagai uraian tanpa makna.
Sejarah tak lebih dari sekedar urutan kronologis suatu peristiwa pada masa
lampau yang membosankan. Ekonomi koperasi juga sekedar uraian tentang teori-
teori yang hanya bisa dihafal. Demikian juga dengan sub-sub IPS lainnya akan
menjadi tak bermanfaat bagi siswa.
2. Jenis-jenis Budaya Banyumas yang Dapat Dijadikan Sumber Belajar IPS
Budaya Banyumas merupakan salah satu kebudayaan daerah yang
berkembang di wilayah Banyumas dan menjadi lambang identitas daerah. Dapat
diartikan pula sebagai bentuk warisan lokal yang dimiliki masyarakat Banyumas,
baik berwujud (konkret) maupun tak berwujud (abstrak).
Berbagai jenis kebudayaan daerah dalam konteks ini Budaya Banyumas,
memiliki nilai estetik, edukatif, sosiologis, dan filosofis sangat tinggi. Bahkan jika
digali dan dikembangkan dapat menjadi materi ajar yang lebih menyentuh
langsung pada kehidupan siswa sebagai subjek belajar. Hal ini sangat efektif
terutama dalam rangka menanamkan nilai-nilai luhur yang menjadi ciri
kepribadian masyarakat tempat siswa belajar.
Sebagai suatu tradisi, nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai jenis
kebudayaan tentu telah mengalami seleksi alam cukup lama. Proses yang panjang
melalui berbagai penyesuaian, pengembangan, dan perubahan sesuai dengan
perkembangan peradaban manusia pemilik kebudayaan itu sendiri. Dengan
demikian nilainya pun tak bisa begitu saja diabaikan. Sayangnya dalam era
globalisasi saat ini, banyak yang beranggapan bahwa segala yang berbau tradisi
cxx
adalah kuno atau jadul (jaman dulu) hingga ‘tak patut’ dipelajari. Bahkan tak
jarang siswa yang malu bila harus bersentuhan dengan segala yang berbau
tradisional. Tak terkecuali siswa-siswa SMP, anak-anak yang tengah menginjak
remaja dan sedang dalam tahap mencari jati diri.
Di tengah marak dan mudahnya akses teknologi informasi modern hingga
ke pelosok-pelosok, pengaruh budaya luar lebih mudah mereka serap. Pasalnya,
selain lebih mudah dinikmati, penyajiannya pun sangat apik hingga mampu
membuat anak-anak yang dalam masa transisi itu ’bermimpi’ menjadi seperti
yang disaksikannya. Alhasil, pelan tapi pasti tradisi lokal semakin terlupakan.
Bukan mustahil benar-benar hilang jika tak segera dilakukan pembenahan.
Sedini mungkin generasi muda ini perlu dipersiapkan dirinya, sehingga
pada saatnya nanti siap tampil sebagai pemimpin yang tangguh, tidak hanya
secara fisik, tetapi juga secara moral dan intelektual. Pendidikan sejarah sebagai
salah satu mata pelajaran IPS misalnya, memiliki arti penting untuk menciptakan
kesadaran sejarah dalam rangka membangun identitas nasional. Tanpa
pemahaman sejarah kolektif yang berangkat dari pemahaman lokal, dalam hal ini
budaya lokal, akan memungkinkan peserta didik tidak mengenal diri, karena tidak
mengenal landasan identitas dirinya.
Beberapa jenis Budaya Banyumas sebenarnya sangat baik untuk dijadikan
sumber belajar IPS bagi siswa SMP di kawasan ini. Pemanfaatannya sebagai
sumber belajar dapat berupa pesan, material, peralatan, teknik dan lingkungan.
Melalui pengembangan materi secara kontekstual, potensi lokal dalam hal ini
cxxi
Budaya Banyumas yang memiliki aspek historis, filosofis, sosiologis dan simbolis
dapat membawa anak pada suasana belajar yang lebih ’membumi’. Mereka juga
tergiring untuk lebih memahami nilai-nilai dasar yang hendak disampaikan
melalui mata pelajaran IPS, karena materinya langsung bersentuhan dengan
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian materi pokok dari Standar Kompetensi
(SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan ketentuan minimal dari pusat,
tetap dapat dicapai.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam memilih sumber belajar adalah
sebagai berikut.
a. Tujuan pengadaan sumber belajar. Pengadaan sumber belajar harus didasarkan
tujuan yang jelas. Misalnya suatu sumber belajar diadakan dengan tujuan untuk
membantu pemahaman terhadap konsep, ketrampilan, nilai, dan sikap (kognitif,
psikomotor, dan afektif).
b. Tingkat perkembangan peserta didik. Sumber belajar yang digunakan, harus
disesuaikan karakteristik siswa SMP yang berada dalam masa praremaja
(pubertas), peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Secara umum,
masa ini ditandai dengan sikap ingin menonjolkan diri dan atau sebaliknya
menyendiri, yang cenderung berlebihan (over acting). Selain itu muncul juga
sikap ingin mencoba-coba sesuatu yang baru, dan kepekaan emosinya
meningkat. Oleh karena itu, sumber belajar yang digunakan semestinya mampu
mengarahkan sikap-sikap tersebut ke arah positif sehingga menunjang
keberhasilan proses pembelajaran.
cxxii
c. Konsep yang dikembangkan. Dalam memilih sumber belajar, guru harus
memilih dan menentukan konsep yang relevan dengan tujuan (SK/KD), waktu
dan sarana yang ada.
d. Alokasi waktu. Pemilihan sumber belajar harus disesuaikan dengan alokasi
waktu yang tersedia. Penyusunan strategi dan penggunaan teknik yang tepat
sangat menentukan efektivitas proses pembelajaran.
Agar diperoleh manfaat yang optimal dari sumber belajar, perlu
diperhatikan ciri-ciri pokoknya, yaitu:
a. Sumber belajar mempunyai daya dan kekuatan yang dapat memberikan
sesuatu yang diperlukan dalam mencapai tujuan.
b. Sumber belajar dapat mengubah tingkah laku yang lebih baik sesuai dengan
kompetensi.
c. Sumber belajar dapat digunakan secara sendiri-sendiri (terpisah) maupun
secara kombinasi.
d. Dapat memberi pengalaman belajar yang lebih konkret dan langsung kepada
siswa, seperti karyawisata ke museum, candi, keraton, dan peninggalan
sejarah yang lain.
e. Dapat menyajikan sesuatu yang tidak mungkin diadakan, dikunjungi atau
dilihat secara langsung, seperti foto, film, dan model.
f. Dapat memperluas cakrawala sajian pelajaran di dalam kelas, misalnya buku
teks, modul, dan nara sumber.
cxxiii
g. Dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan terbaru, misalnya melalui
siaran TV edukasi maupun internet.
h. Dapat membantu memecahkan masalah pendidikan secara mikro maupun
makro.
i. Mampu memberi motivasi yang positif bagi siswa untuk belajar.
j. Merangsang siswa untuk berpikir lebih kritis dan positif terhadap materi
pelajaran.
Berdasar analisis KD-KD IPS, Budaya Banyumas yang bisa dipakai sebagai
sumber belajar adalah sebagai berikut.
1) Sejarah Banyumas
Budaya Banyumas yang berupa sejarah Banyumas dapat dipakai pada
pembelajaran IPS tingkat SMP untuk kelas VII, pada :
a) KD 1.2 Mendeskripsikan kehidupan pada masa praaksara di Indonesia,
dapat memanfaatkan sumber belajar Budaya Banyumas tentang Babad
Banyumas yang menceritakan animisme dan dinamisme, sesaji dan
peninggalan berupa batu menhir di Desa Sambirata, Cilongok.
b) KD 5.1 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan
pemerintahan pada masa Hindu-Buddha serta peninggalan-
peninggalannya, bisa memanfaatkan Babad Banyumas yang bercerita
kerajaan Pasir Luhur dan Wirasaba jaman Hindu.
c) KD 5.2 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan
pemerintahan pada masa Islam di Indonesia serta peninggalan-
cxxiv
peninggalannya, dapat memanfaatkan Babad Banyumas tentang
kerajaan Pasir Batang. Peninggalan cagar budaya yang dapat dikunjungi
atau dihadirkan dikelas berupa tayangan film adalah keberadaan Masjid
Saka Tunggal di Cikakak, Wangon.
d) KD 5.3 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan
pemerintahan pada masa kolonial Eropa, dapat memanfaatkan Babad
Banyumas yang menceritakan perjuangan Ki Lurah Singadipa pengikut
Pangeran Diponegoro yang dengan gigih melakukan penyerbuan
terhadap pertahanan kolonial Belanda. Peninggalan yang dapat
dikunjungi sebagai pembelajaran adalah Makam Ki lurah Singadipa di
Desa Panambangan, Cilongok, dan stasiun kereta api peninggalan
kolonial Belanda. Musium BRI di Purwokerto dan Musium jenderal
Sudirman di Karang Lewas juga relevan dengan indikator KD 5.3 ini.
Budaya Banyumas yang berupa sejarah Banyumas dapat dimanfaatkan
pada pembelajaran IPS SMP untuk kelas VIII, pada :
a) KD 5.1 Mendeskripsikan peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi dan
proses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bisa
melakukan kunjungan di Musium Panglima Besar Soedirman di
Karanglewas, Monumen Gatot Subroto di Berkoh, Purwokerto dan
Musium BRI di Purwokerto.
cxxv
b) KD 5.2 Menjelaskan proses persiapan kemerdekaan Indonesia, bisa
berkunjung ke gedung RRI di Purwokerto sebagai sarana komunikasi
penyebaran berita proklamasi.
Budaya Banyumas yang berupa sejarah Banyumas dapat dimanfaatkan
pada pembelajaran IPS SMP untuk kelas VIII, pada :
a) KD 2.1 Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, dapat berkunjung ke musium Panglima Besar
Jendral Soedirman di Karang Lewas, sebelah barat Purwokerto.
b) KD 6.2 Mendeskripsikan peristiwa tragedi Nasional Peristiwa
Madiun/PKI, DI/TII, G 30 S/ PKI dan konflik-konflik internal lainnya,
diajak ke musium Jendral Sudirman.
2) Tradisi Banyumas
a) KD 2.1 Mendeskripsikan interaksi sebagai proses sosial dapat mengajak
siswa mengamati kegiatan gotong royong gugur gunung, upacara adat
Suran atau sedekah bumi, upacara mimiti biasanya dilaksanakan
menjelang panen, dan upacara Nyadran, yaitu saling tukar makanan atau
memasak bersama untuk masyarakat. Kearifan lokal yang bisa diambil
adalah semangat gotong royong, kebersamaan, egalitarian, dan rasa
bersyukur.
b) KD 2.2 Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan
kepribadian, dan KD 2.3 Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi
cxxvi
sosial, dengan cara siswa supaya mengamati kegiatan upacara kelahiran,
kematian, khitanan dan pernikahan yang biasanya ada pertunjukkan
begalan. Makna filosofi yang terdapat pada upacara atau kegiatan ritual
itu sangat bagus sebagai bentuk kearifan lokal. Orang akan memahami
sikap toleransi, berkorban, kebersamaan, tujuan hidup rumah tangga,
dan menyadari akan kekuasaan sang khaliq.
c) KD 3.1 Mengidentifikasi berbagai penyakit sosial (miras, judi, narkoba,
HIV/Aids, PSK dan sebagainya) sebagai akibat penyimpangan sosial
dalam keluarga dan masyarakat, siswa diajak ke rumah sakit terdekat,
kantor polisi dan bila terjangkau ke tempat objek wisata Baturaden yang
kerap untuk mangkal para PSK.
d) KD 6.2 Mendeskripsikan pranata sosial dalam kehidupan masyarakat
Siswa diperkenalkan instansi kehakiman, kepolisian, kantor agama dan
lembaga permasyarakatan terdekat.
3) Kesenian Banyumas
a) KD 5.1 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan
pemerintahan pada masa Hindu-Buddha serta peninggalan-
peninggalannya, bisa memanfaatkan Peninggalan yang terdapat pada
seni wayang kulit dan tradisi upacara adat pada lingkaran kehidupan
manusia seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian.
cxxvii
b) KD 5.2 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan
pemerintahan pada masa Islam di Indonesia serta peninggalan-
peninggalannya, dapat memanfaatkan musik hadroh atau tokoh wayang
dan dalang.
c) KD 2.2 Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan
kepribadian, siswa supaya mengamati pertunjukkan ebeg, lengger dan
begalan. Nilai kearifan dapat dipetik dari pertunjukkan ebeg bahwa
kejahatan takkan pernah dapat disatukan dengan kebenaran.
Pertunjukkan lengger memberi hikmah akan nilai etika dan estetika yang
harus dijaga. Pada pertunjukkan begalan, kaya akan nasehat tentang
hidup berumah tangga yang hakiki.
4) Cagar Budaya di Banyumas
a) KD 2.1 Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, dapat berkunjung ke musium Panglima Besar
Jendral Soedirman di Karang Lewas, sebelah barat Purwokerto, dan
monumen Gatot Subroto di Berkoh, sebelah timur Purwokerto.
b) 5.2 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan
pemerintahan pada masa Islam di Indonesia serta peninggalan-
peninggalannya cagar budaya Banyumas yang bisa dimanfaatkan adalah
masjid Saka Tunggal Cikakak dan makam Dawuhan.
c) 5.3 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan
pemerintahan pada masa Kolonial Eropa, mengunjungi pendopo Si
cxxviii
Panji, stasiun kereta api dan Pabrik Gula di Kalibagor bangunan
pemerintah kolonial Belanda.
3. Alternatif Strategi Pembelajaran yang Dapat Digunakan Guru dalam
Memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai Sumber Belajar IPS
Harus diakui, penerapan dan realisasi pemanfaatan budaya lokal, dalam
hal ini Kebudayaan Banyumas, tidak semudah membalik telapak tangan.
Pasalnya, ia menuntut kesiapan yang lebih dari guru-guru SMP pengampu mata
pelajaran IPS di wilayah ini. Baik berkaitan dengan khasanan pemahaman materi
berupa jenis-jenis Budaya Banyumas, maupun penguasaan berbagai strategi
pembelajaran. Akan tetapi jika niat itu ada, apalagi jika didukung oleh kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas khususnya, langkah ini akan lebih
mudah diterapkan.
Pemanfaatan Budaya Banyumas dalam pembelajaran IPS dapat dilakukan
dengan memilih bahan ajar yang relevan dan mengintegrasikannya pada
Kompetensi Dasar (KD) dengan acuan potensi lokal. Bahan-bahan ajar tersebut
kemudian dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan
paradigma pembelajaran kontekstual.
Dalam memilih strategi pembelajaran, baik pendekatan dan metode yang
akan diterapkan, guru harus melihat kriteria sebagai berikut :
a. Ketepatan dengan tujuan pengajaran. Artinya, metode pengajaran dipilih atas
dasar tujuan atau tuntutan indikator yang dikembangkan dari SK dan KD.
cxxix
b. Dukungan terhadap konsep yang dikembangkan. Artinya, bahan pelajaran yang
sifatnya fakta, prinsip, konsep, dan generalisasi sangat memerlukan bantuan
metode dan media yang mudah dipahami siswa. Misalnya menggunakan media
visual seperti peta, tayangan CD pembelajaran, atau model untuk
mengkongkretkan konsep-konsep abstrak sehingga lebih mudah dicerna siswa.
c. Ketrampilan guru dalam menggunakan metode. Artinya apapun jenis metode
yang digunakan, guru yang bersangkutan harus benar-benar menguasai dan
mampu menggunakannya dengan langkah-langkah yang sistematis dan tepat
dalam proses pembelajaran.
Pemanfaatan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS sesuai dengan
paradigma pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning-CTL).
Pendekatan CTL ini melibatkan tujuh komponen utama dalam pembelajaran,
yakni: kontruktivisme (Contructivism), bertanya (questioning), menemukan
(inquiry), masyarakat belajar (learning community), refleksi (reflecting)
pemodelan (modeling) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Pemanfaatan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar mata pelajaran
IPS oleh guru pengampu IPS harus dituangkan dalam perangkat pembelajaran.
Penyusunan perangkat pembelajaran dapat dipaparkan sebagai berikut.
a. Kompetensi Dasar yang berpotensi untuk dijabarkan, dapat dikembangkan
lebih lanjut yang terkait dengan Budaya Banyumas. Lakukan identifikasi dan
masukan jenis-jenis potensi lokal Banyumas yang relevan. Hal ini nantinya
cxxx
akan menjadi standard isi model pengembangan pada KTSP di SMP, yang
digunakan sebagai acuan menyusun rencana pembelajaran.
b. Langkah selanjutnya, susun silabus dengan pedoman KTSP model
pengembangan yang telah dipilih sebelumnya.
c. Tuangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan memperhatikan
silabus.
d. Dalam menyusun model pembelajaran, perlu perhatikan metode, teknik, alat
dan media yang dapat digunakan sebagai sumber belajar. Metode-metode
yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar antara lain; metode
demontrasi, sosiodrama, dan studi lapangan objek di lingkungan siswa.
Sedangkan media yang mungkin dapat menunjang proses belajar mengajar
antara lain menggunakan gambar wayang purwo, tayangan film seni tradisi
Banyumas dalam kelas, atau bisa juga menghadirkan budayawan atau
pemerhati seni Banyumas.
e. Ciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dalam memilih strategi
pembelajarannya. Dengan demikian dapat dimunculkan kearifan lokal dan
nilai-nilai luhur budaya lokal yang menopang budaya nasional, dengan
harapan pembelajaran lebih bermakna.
Jika mengacu pada pendapat Jerrold E Kemp (1994:187), beberapa
kriteria dalam memilih dan menetapkan sumber belajar antara lain bahwa sumber
tersebut harus dapat:
cxxxi
f. Memberi dorongan kepada siswa dengan menarik perhatian dan merangsang
minat mereka terhadap pelajaran. Misalnya dengan menghadirkan pakar dan
pelaku Budaya Banyumas, seperti dalang, dan pelaku seni ebeg, ronggeng,
maupun begalan. Teknik lain yang dapat dilakukan adalah dengan membawa
peraga, berupa benda tiruan seperti wayang Bawor, atau dengan memutar
slide atau alat audio visual lainnya.
g. Melibatkan siswa secara langsung dan bermakna dalam memperoleh
pengalaman belajar. Teknik yang dapat diterapkan adalah dengan out door
activity, seperti berkunjung ke cagar budaya terdekat.
h. Memberikan saham dalam membentuk sikap dan mengembangkan apresiasi
siswa. Siswa diberi tugas untuk melakukan pengamatan terhadap salah satu
jenis Budaya Banyumas, dan menguraikan nilai-nilai sosiologi, etika, dan
filosofi yang dikandungnya.
i. Menjelaskan dan mengilustrasikan bahan ajar pengetahuan dan ketrampilan
kinerja. Strategi pembelajaran yang dapat diterapkan antara lain dengan
pembuatan peta konsep, kliping, atau menyusun karya tulis tentang cagar
budaya setempat.
j. Memberikan kesempatan untuk melakukan swaanalisis dalam kinerja dan
tingkah laku perseorangan. Kegiatan kunjungan dan tugas tentang Budaya
Banyumas oleh individu maupun kelompok merupakan salah satu strategi
yang tepat dengan fungsi ini.
cxxxii
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya Banyumas dapat dijadikan sumber belajar bagi siswa SMP di
wilayah Banyumas. Selain memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap
upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya daerah sebagai bagian integral dari
budaya nasional, Pembelajaran IPS akan lebih bermakna bagi siswa.
Wilayah Banyumas memiliki jenis-jenis seni, tradisi budaya khas, dan
situs-situs sejarah dengan nilai filosofis dan edukatif yang sangat tinggi. Jenis-jenis
seni, tradisi dan sejarah Banyumas sebagai komponen atau unsur Budaya Banyumas
yang menonjol dan penting untuk diangkat adalah: Sejarah Banyumas, Tradisi
Banyumas, Kesenian Banyumas dan Cagar Budaya di Banyumas.
Sebagian besar guru IPS tingkat SMP di wilayah Banyumas tidak
memahami kebudayaan daerah tempat mereka mengajar. Baik karena latar
belakangnya yang dari luar wilayah Banyumas, tidak memiliki latar belakang
akademik IPS, ataupun karena mereka juga tidak memiliki kepedulian terhadap
budaya lokal.
Berbagai strategi pembelajaran dapat diterapkan guru IPS dalam
menyajikan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar, antara lain dengan
mengaplikasikannya melalui model pembelajaran kontekstual, dan memperhatikan
kriteria pemilihan sumber belajar yang ada. Hal ini dimungkinkan dengan tetap
mengacu pada kurikulum yang berlaku, yaitu KTSP.
cxxxiii
Nilai-nilai baik estetis, edukatif, sosiologis, ideologis, maupun filosofis dapat
diperkenalkan dan ditanamkan kepada siswa dari berbagai jenis Kebudayaan
Banyumas. Misalnya dari lakon atau tokoh wayang. Juga dari tradisi slametan yang
pada dasarnya menggugah kita untuk tetap mengingat Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pemilik kehidupan, sehingga kita harus tetap berbagi dengan sesama. Dari situs-situs
sejarah maupun Babad Banyumas diperoleh informasi bahwa sejak dahulu bangsa ini
telah memiliki ilmu dan teknologi yang bahkan sering tak mampu dihadapi oleh
kolonial Belanda, kecuali dengan tipu daya.
Dengan belajar memahami hal-hal yang berasal dan ada di lingkungannya
sendiri, nilai-nilai tersebut akan lebih mudah dicerna siswa. Pada akhirnya siswa akan
mendapatkan bekal kuat bagi kediriannya, berupa pemahaman tentang landasan bagi
jati dirinya sebagai manusia. Ia tidak akan mudah terombang-ambing oleh gemerlap
budaya baru yang dilihatnya melalui berbagai media informasi.
Upaya mengangkat budaya lokal, dalam hal ini Budaya Banyumas, menjadi
materi pelajaran IPS di SMP memerlukan tingkat dedikasi yang tinggi pada para guru
pengampu mata pelajaran IPS. Pasalnya, mereka masih harus menambah pengetahuan
tentang Budaya Banyumas yang masih sangat minim. Mereka juga dihadapkan pada
terbatasnya literatur tentang Kebudayaan Banyumas yang benar-benar memadai.
B. Implikasi
Pemanfaatan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar memiliki implikasi
pada beberapa hal yang terkait dengan upaya pembenahan berbagai komponen
cxxxiv
pendidikan. Seperti kesiapan guru dan siswa, ketersediaan sarana prasarana, biaya,
maupun kebijakan Pemerintah Daerah Banyumas.
Berbagai kesulitan dan kendala yang dihadapi guru IPS tingkat SMP di
Banyumas untuk mengangkat Budaya Banyumas sebagai sumber belajar, sebenarnya
akan mudah terpecahkan jika upayanya dilakukan secara kolektif. Melalui
Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPS misalnya. Forum yang merupakan wadah bagi
guru-guru mata pelajaran IPS tingkat SMP ini, bisa mengambil langkah-langkah
strategis melalui musyawarah. Langkah konkret yang bisa ditempuh antara lain:
1. Mengkaji dan menyusun potensi lokal Budaya Banyumas sebagai literatur atau
buku teks.
2. Peningkatan pemahaman Budaya Banyumas melalui kegiatan diskusi dan
pendalaman materi.
3. Pemanfaatan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar dapat melalui kegiatan :
a. Pelatihan atau workshop penyusunan perangkat pembelajaran (silabus dan
RPP) yang mencakup materi lokal.
b. Pelatihan menyusun skenario pembelajaran atau model pembelajaran yang
melibatkan potensi lokal.
c. Pelatihan Teknologi Informatika (TI) sebagai media pembelajaran tentang
potensi lokal Budaya Banyumas.
d. Pelatihan Action Research (Penelitian Tindakan Kelas) dengan memanfaatkan
Budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS.
cxxxv
Kegiatan-kegiatan tersebut sekaligus membuka peluang bagi para guru IPS
untuk meningkatkan profesionalisme, dengan melakukan penelitian dan menyusun
literatur-literatur tentang jenis-jenis Kebudayaan Banyumas yang dapat dipelajari
siswanya. Seperti peribahasa, ”Sekali mengayuh dayung, dua tiga pulau terlampaui,”
sambil menambah pengetahuan, dan meningkatkan profesionalisme, profit berupa
materi pun didapat.
Dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas sebagai yang
berkewajiban melindungi aset-aset daerah, termasuk tradisi kebudayaannya, juga
diperlukan guna mengoptimalkan pencapaian tujuan belajar IPS melalui materi
Kebudayaan Banyumas. Dukungan tersebut bisa berupa penyediaan sarana prasarana
yang memudahkan guru mendapatkan informasi sebanyak mungkin serta tentang
jenis-jenis Kebudayaan Banyumas. Seperti penyediaan literatur tentang Kebudayaan
Banyumas yang memadai dan kemudahan mendapatkannya, atau dapat pula berupa
kebijakan yang memungkinkan guru-guru termotivasi untuk lebih aktif turut serta
melestarikan kebudayaan lokal tersebut.
C. Saran
Budaya Banyumas sebagai sumber belajar mata pelajaran IPS di SMP di
Kabupaten Banyumas memiliki kedudukan penting. Oleh karena itu agar
pembelajaran IPS yang memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar
lebih berkualitas dan tepat sasaran, maka dikemukakan saran-saran sebagai berikut.
cxxxvi
1. Mengingat informasi tentang Budaya Banyumas masih sangat terbatas, perlu
adanya kebijakan Pemerintah Daerah atau forum MGMP untuk memprakarsai
pengadaan buku teks Budaya Banyumas.
2. Perlu diadakan kegiatan-kegiatan, seperti;
a. Pelatihan atau workshop penyusunan perangkat pembelajaran (silabus dan
RPP) yang mencakup materi lokal.
b. Pelatihan penyusunan skenario pembelajaran atau model pembelajaran yang
memanfaatkan potensi lokal.
c. Pelatihan Teknologi Informatika (TI) sebagai media pembelajaran tentang
potensi lokal Budaya Banyumas.
d. Pelatihan Action Research (Penelitian Tindakan Kelas) dengan memanfaatkan
Budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS.
3. Jika dimungkinkan, otoritas pemerintah daerah mengeluarkan surat edaran
berupa anjuran atau kewajiban penyampaian tradisi budaya lokal secara
terintegrasi dalam pembelajaran IPS. Surat ini nantinya akan memaksa guru IPS
untuk melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.
cxxxvii
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwono, S., Bambang S. Purwoko.1992. Sejarah Banyumas. Purwokerto : UD
Satria Utama.
Akhmad Solekhudin. 2007. Pengembangan Kemitraan Peternakan di Banyumas, http://geminastiti.blogspot.com/2007/10/pengembangan-kemitraan-peternakan.html , diunduh tanggal 6 April 2009. Alan R. Beals, George and Louise Spindler. 1973. Culture In Process; second
Edition, New York : Holt, Rinehart and Winston, INC. Alo Liliweri. 2007. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : PT
LKiS Pelangi Aksara.
Anhar Gonggong. 2009. “Revitalisasi Pendidikan yang Berbasis Nasionalisme: Posisi Khas Sejarah Membangsa Indonesia”, Makalah Seminar Nasional Pendidikan, Purwokerto : FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Arif S. Sadiman. 1996. Media Pendidikan, Pengetahuan, Pengembangan dan Pemanfaatan. Jakarta : Raja Gratindo Persada. Association for Educational and Technology. 1997. The Definition of Educational
Technology. Washington D.C. : AECT. Badan Arsip Informasi dan Kehumasan dengan Badan Pusat Statistik Kab.
Banyumas. 2002. Banyumas Dalam Angka (Banyumas in figure). Badan Penelitian Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah. 2005. Memori Serah
terima Jabatan Residen Banyumas Tahun 1922-1928. Purwokerto : Balitbangtelarda.
Bambang S. Purwoko. tanpa tahun. Sejarah dan Perkembangan Kota Purwokerto.
Purwokerto : UD. Satria Utama Budiono Herusatoto. 1991. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT.
Hanindita
cxxxviii
_______, 2008. Banyumas; Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak. Yogyakarta : LkiS Daftar Inventaris Peninggalan Sejarah dan Purbakala Se Jawa Tengah Tahun 1980 /
1981. Semarang : Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Se Jawa Tengah.
Daldjoeni, N. 1992. Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung : Alumni Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2003. Pendekatan Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta: Dir. PLP. _______, 2004. Konsep Dasar Pengetahuan Sosial. Bahan Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi Guru SMP. Djoko Widagdho. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara Edi Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Fuad Hassan. 1989. Renungan Budaya. Jakarta : Balai Pustaka. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan (Edisi terjemahan oleh Fransisco Budi
Hardiman). Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Kaplan, David.and Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya (Edisi terjemahan oleh
Landung Simatupang). Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Kemp, Jerrold E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (Edisi terjemahan oleh
Asril Marjohan). Bandung : Penerbit ITB. Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata dan Budaya. Purwokerto : CV. Metro Jaya Koentjaraningrat. 1990. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan _______, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka _______, 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta
cxxxix
_______, 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT Tiara Wacana. _______. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : PT Tiara Wacana. Lexy J. Moloeng. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosda Karya. Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa : Silang Budaya (Edisi terjemahan oleh Winarsih
Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hidayati Yusuf) Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Masnur Muslich. 2007. KTSP, Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta : PT
Bumi Aksara Mudji Sutrisno, In Bene, Hendar Putranto. Tanpa tahun. Cultural Studies,
Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan. Jakarta : Penerbit Koekoesan
Nana Sudjana,dkk. 2001. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo _______. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Nasution S. 1982. Teknologi Pendidikan. Bandung: Jemmera _______. 1987. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung :
Sinar Baru Algensindo. Oliva. Peter F., 1982. Developing The Curriculum. Boston, Toronto : Little Brown
and Company
Pitoyo Amrih. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta : Pinus Book Publisher
Purnawan Basundoro.2009. Sisi Terang Kolonialisme Belanda di Banyumas.
http://basundoro.blog.unair.ac.id/2009/01/31/sisi-terang-kolonialisme-
cxl
belanda-di-banyumas/, diunduh tanggal 6 April 2009.
Purwadi dan Munarsih. 2005. Ilmu Kecantikan Putri Jawa. Yogyakarta : Tunas
Harapan. Rini Fidiyani. 2008. Banyumas dan Kebudayaannya; Membaca Kearifan Dalam
Tradisi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar mengajar. Jakarta :
PT Rineka Cipta Sardiman A.M. 2009. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka
Cipta. Sri Anitah. 2008. Media Pembelajaran, Surakarta : UNS Press Soekatno. (tanpa tahun). Wayang Kulit Purwa; Klasifikasi, Jenis dan Sejarah. Semarang : Aneka Ilmu. Soekmono, R. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius. Sugeng Priyadi dan Suwarno. 2004. Laporan Penelitian : Suntingan Teks, Fungsi dan
Hubungan Intertekstual. Purwokerto: FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Sugeng Priyadi. 2009. “Kearifan Lokal Banyumas dan Nasionalisme” Makalah
Seminar Nasional Pendidikan, Purwokerto : FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Sugiyanto. 2007. Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG); Model-model
Pembelajaran Inovatif. Surakarta : Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung :
CV Alfabeta. Supriyadi. 1993. Begalan. Purwokerto : UD Satria Utama
cxli
Suryanto Sastroatmodjo. 2006. Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta : Penerbit NARASI . Sutopo,H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas
Sebelas Maret Suwarna Pringgawidagda. 2003. Siraman. Yogyakarta : Adicita karya Nusa. Tanto Sukardi. 2009. “Revitalisasi Pembelajaran Sejarah: Menuju Pembelajaran
Sejarah Yang Berorientasi Nilai”, Makalah Seminar Nasional Pendidikan, Purwokerto : FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Thomas Wiyasa Bratawidjaja. 2000. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan. Tim DHC BPP- JSN 45 Banyumas. 2004. Banyumas Membara di Era Tahun 1945-
1950. Gombong : Grafika Group. Tri Widiarto. 2007. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga: Widya Sari Press Warwin R. Sudarmo, M., dan Bambang S. Purwoko. 2009. Sejarah Banyumas dari
Masa ke Masa; Sejak akhir abad ketiga sampai Bupati Pilihan Rakyat. Tanpa kota terbit dan penerbit.
Wiji Suwarno. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus, Desain & Metode (Edisi terjemahan oleh M.
Dzauzi Mudzakir). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
cxlii