boo tesis revisi - digital library uns/studi... · tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika...
TRANSCRIPT
STUDI ANALISIS INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 8 TAHUN 2002
TENTANG PEMBERIAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA
DEBITUR YANG TELAH MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA ATAU
TINDAKAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TIDAK
MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA BERDASARKAN
PENYELESAIAN KEWAJIBAN PEMEGANG SAHAM DALAM
PENYELESAIAN KASUS BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum dan Kebijakan Publik
Oleh:
Rizki Amalia
NIM : S 310508014
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dimensi kejahatan yang masih mendapat sorotan global dan mendapat
perhatian serius dalam Konggres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana adalah
korupsi, terutama dalam kaitannya dengan economic crime dan organized
crime, khususnya mengingat korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dinilai
dapat menghancurkan efektivitas potensial program pemerintah sehingga
berimplikasi menghambat pembangunan. Bahkan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse the power) termasuk dalam crime trend yang dinilai membahayakan
dan merugikan disamping white collar crime dan economic crime.1 Demikian
urgennya efek korupsi bagi perekonomian dan keuangan negara sehingga
pemberantasan korupsi selalu menjadi prioritas agenda pemerintah untuk
ditanggulangi secara serius sebagai bagian dari upaya mengembalikan
kepercayaan masyarakat atas hukum dalam rangka memulihkan dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Agenda pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, sebagai bagian
dari bentuk kebijakan publik, secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu kasus tindak pidana korupsi
terbesar yang melibatkan berbagai kajian ilmu untuk menemukan upaya
penyelesaian yang dinilai tepat adalah dugaan korupsi yang melingkupi
penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
saat Indonesia mengalami krisis moneter yang berdampak pada situasi
perbankan yang mengalami rush, bahkan hingga saat ini masih belum tuntas
dan terus diupayakan pengembalian uang negara.
1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Ed. Pertama ctk. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 14-15.
BLBI merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan agar perbankan
nasional tidak mengalami collapse. Bank Indonesia sebagai lender of the last
resort, sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun
1968 menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas
kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.
Selanjutnya Pasal 37 ayat (2) huruf b UU Nomor 7 Tahun 1992 menegaskan
bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang
membahayakan langsung usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan
lain sesuai perundang-undangan lain. Adapun kebijakan yang diambil oleh
pemerintah bersama Bank Indonesia berupa bantuan dan jaminan pemerintah
dalam bentuk BLBI bertujuan untuk menyehatkan manajemen dan kinerja di
sektor perbankan nasional. Kesalahan pengelolaan keuangan Negara, terkait
dengan penyaluran dan penyalahgunaan dana BLBI dimana pengelolaan uang
Negara dilakukan dengan kesengajaan ataupun kelalaian sehingga
menimbulkan kerugian Negara.
Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan
bukan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional,
melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank, sehingga
penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar hukum
mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31
Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan
menjalankan usaha bank dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Undang-Undang Perbankan.
Penyalahgunaan dana BLBI merupakan suatu bentuk tindak pidana
korupsi yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (white collar crime),
dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada 1939, diartikan sebagai kejahatan
yang dilakukan oleh orang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi
dalam pekerjaannya. White collar crime sebagai kegiatan di bidang bisnis
sering terjadi dalam bentuk penyampaian laporan keuangan suatu perusahaan
secara tidak benar, penyuapan pejabat publik, baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk memperoleh kemudahan dan penyimpangan penggunaan
dana termasuk dalam kasus penyalahgunaan BLBI. Kesempatan terjadinya
tindak pidana korupsi idealnya terjadi pada suatu organisasi yang besar, negara
misalnya, namun terbatas pada organisasi yang kecil dan pengawasannya
cenderung ketat. Namun demikian tidak berlaku bagi beberapa bank yang
masuk dalam program penyehatan perbankan dan memperoleh kucuran dana
BLBI.2
Penyalahgunaan dana BLBI yang telah mengakibatkan timbulnya
kerugian Negara sebenarnya telah tegas melanggar perundang-undangan yang
telah disebut diatas, dimana mekanisme pengembalian kerugian Negara telah
jelas pula harus melalui court settlement, dengan pertimbangan adanya upaya
paksa baik berupa sanksi pidana maupun berupa penyitaan aset-aset dalam
rangka pengembalian uang Negara. Namun demikian guna mendorong
pengembalian dana BLBI tersebut, penanggulangan kejahatan kontemporer
yang melibatkan beberapa debitur dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI
sejauh ini lebih mengutamakan sarana non penal karena terdapat hambatan
dalam memperoleh pengembalian kewajiban yang berasal dari bantuan
likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pemenuhan penyelesaian kredit yang
melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) sehingga mendorong
ditempuhnya penyelesaian out of court settlement.
Bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang digunakan untuk
penyelesaian kasus BLBI adalah dengan melakukan perjanjian yang disebut
dengan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA),3 Master
2 M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm.
21-25. The optimal size of government balances the wishes of the corrupt public sector for a larger government, and so greater opportunities for corruption, with those in the private sector who prefer a smaller government. Lihat dalam Raul A. Barreto, Corruption, Optimal Taxation, and Growth, http://pfr.sagepub.com/cgi/content/abstract/31/3/2007, 10 Oktober 2009, 22.40 WIB.
3 MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali bank yang bermasalah (PSP
bank) yang masih memiliki aset yang dinilai cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah. Penyelesaian kewajiban PSP bank dibedakan menjadi dua, yaitu 1) PSP bank yang berstatus BBO/BBKU untuk menyelesaikan kewajiban BLBI dan kredit BMPK; dan 2) PSP bank yang berstatus BTO untuk menyelesaikan kredit yang melanggar BMPK. MRNIA diberlakukan
Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan
Utang.
Penyelesaian kasus BLBI berlanjut pada keluarnya Inpres Nomor 8 tahun
2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang
Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur
Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham yang menjadi dasar hukum bagi penyelesaian
kasus BLBI secara out of court settlement, menginstruksikan kepada Menko
Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan
Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan seluruh
kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU.
Adapun dalam butir-butir Inpres tersebut menyebutkan bahwa bagi para
debitur yang telah menyelesaikan kewajiban sebagai pemegang saham dalam
bentuk MSAA, MRNIA, dan APU akan diberikan bukti penyelesaian berupa
pelepasan dan pembebasan dalam rangka memberikan kepastian hukum
sebagaimana telah diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Bahkan dalam
butir ke 4 disebutkan pembebasan debitur dari aspek pidana, baik yang masih
dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan sekaligus
dilakukannya proses penghentian penanganan aspek pidana namun proses ini
tetap dilakukan dalam koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen Kedua bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di terhadap PSP bank yang asetnya setelah dinilai tidak dicapai kesepakatan mengenai nilainya. PSP bank mengakui bahwa penyelesaian kewajibannya belum selesai meskipun telah melakukan pembayaran sebagian secara tunai. Akta Pengakuan Utang diberlakukan terhadap pemegang saham yang tidak mengikuti salah satu dari dua perjanjian sebelumnya dengan mengikatkan diri dalam perjanjian disertai jaminan pribadi dan atau aset. Lihat dalam Kusumaningtuti, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 182-183.
hadapan hukum. Penegasan demikian berarti bahwa hukum tidak mengenal
adanya diskriminasi dalam upaya penegakannya. Namun tidak demikian
dengan adanya Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau
Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang lebih dikenal
dengan Release and Discharge,4 menandai adanya proses transformasi
penegakan hukum dari proses penegakan hukum punitive melalui court
settlement mengarah pada out of court settlement pada kejahatan bisnis
meskipun sifatnya kasuistis.
Instruksi Presiden tidak dikenal dalam sistem ketatanegaran Indonesia,
sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 tentang tata
urutan perundang-undangan ditegaskan bahwa tata urutan perundang-undangan
sebagai pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya.5 Pengaturan
tentang kebijakan penyelesaian dalam bentuk instruksi presiden dinilai tidak
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku saat itu, yaitu Ketetapan
MPR Nomor III Tahun 2000. Terlebih materi yang diatur bisa jadi merupakan
bentuk diskresi yang terlalu luas, menjadikan situasi dan kondisi yang dihadapi
saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sebagai alasan pembenar dalam
mengambil kebijakan out of court settlement dalam dugaan tindak pidana di
bidang perbankan yang dilakukan dalam penggunaan dana Bantuan Likuditas
Bank Indonesia, karena pengaturan mengenai tindak pidana korupsi telah
diatur secara terpisah.
4 Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam ibid., hlm. 57.
5 Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 2.
Kebijakan out of court settlement sebagai upaya penyelesaian kasus
BLBI dalam bentuk Instruksi Presiden dinilai hanya mengedepankan upaya
pengembalian keuangan Negara saja sehingga upaya penegakan hukum pidana
yang mempunyai mekanisme pengembalian kerugian Negara melalui upaya
paksa dan penyitaan asset bagi terdakwa dimana hukum pidana dalam kasus
BLBI diterapkan sebagai ultimum remidium dikesampingkan. Alasan-alasan
penggunaan sarana out of court settlement sebagai upaya penyelesaian kasus
BLBI inilah yang hendak dikaji dengan menggunakan teori kebijakan hukum
pidana, disamping mengkaji sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Release and Discharge terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dalam sebuah tesis dengan judul.
Studi Analisis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 Tentang
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur
Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Kebijakan Hukum
Pidana.
B. Perumusan Masalah
Kebijakan penyelesaian kasus BLBI berupa Inpres No. 8 Tahun 2002
tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang
Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham, yang lebih dikenal dengan Release and Discharge,
mengutamakan penyelesaian out of court settlement dengan mengesampingkan
aspek pidana dalam kasus tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun demikian upaya
penyelesaian out of court settlement tetap dipertahankan bahkan hingga saat ini
upaya penyelesaian tersebut masih terus dilanjutkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah yang
dibahas adalah sebagai berikut :
1. Apakah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia?
2. Mengapa Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian kasus
tindak pidana korupsi BLBI secara out of court settlement ditinjau dari
perspektif kebijakan hukum pidana?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui kedudukan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002
tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang
Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada
Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam system perundang-
undangan di Indonesia.
b. Menganalisis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur
Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham sebagai kebijakan dalam upaya
penyelesaian kasus BLBI ditinjau dari perspektif kebijakan hukum
pidana.
2. Tujuan Subyektif
a. Memperoleh data secara lengkap dan jelas sebagai bahan penyusunan
penulisan hukum.
b. Mendalami pemahaman kebijakan publik yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pelaksanaan
kebijakan.
D. Manfaat Penelitian
1. Segi Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu hukum serta ilmu lain yang terkait dengan penelitian
ini.
2. Segi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan bagi para
pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas pemerintahan yang baik,
serta mempertimbangkan ekses kebijakan bagi keberadaan hukum pidana
dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
1. Awal Munculnya Krisis Perbankan
Prioritas yang diberikan oleh berbagai negara, khususnya negara-
negara berkembang termasuk Indonesia, bagi pelaksanaan deregulasi
sektor keuangan selama dasawarsa 1970an dan 1980an berkaitan erat
dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang diterapkan di negara-
negara berkembang pada periode 1950an dan 1960an yang cenderung
mengarahkan pembangunan ekonomi ke sektor-sektor strategis. Berkaitan
dengan itu, kebijakan di sektor keuangan yang diambil adalah melakukan
selective credit policy atau semacamnya agar dana lebih banyak mengalir
ke sektor-sektor ekonomi tersebut.
Kebijakan ini didukung oleh kebijakan suku bunga kredit yang
rendah. Berbagai kebijakan itu telah membatasi keleluasaan sektor
keuangan untuk bergerak secara efisien dalam menyalurkan dana dari
pemilik ke pengguna dana. Sebagai dampak dari terbatasnya ruang gerak
sektor keuangan maka terjadilah apa yang disebut sebagai “financial
repression” yang menyebabkan “shallow finance”, yaitu tidak tersalurnya
dana (daya beli) secara efisien ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang
produktif dan efisien pula, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi
terhalang. Untuk mengatasi masalah itu dianjurkan agar diadakan
liberalisasi (deregulasi) sehingga terjadi “financial deepening”.6 Melalui
6 McKinnon dan Shaw dalam Burhanuddin Abdullah, Peran Kebijakan Moneter dan
Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia, Ceramah pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas, Jakarta, tanggal 13 Juni 2003, hlm. 1-6, terdapat dalam http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8DCFCBCE-0709-40B7-843CD1FEC3FE61B/8035/tindak.pdf. , 12 Oktober 2009, 08.05 WIB. Banyak tulisan dan hasil kajian yang mencoba menjelaskan penyebab Indonesia mengalami krisis yang dalam dan menelan biaya besar, khususnya di sektor perbankan. Pandangan analis ekonomi mengemukakan bahwa krisis perbankan di Indonesia, selain merupakan perkembangan dari krisis nilai tukar, juga disebabkan oleh rentannya sistem perbankan Indonesia. Lemahnya sektor
deregulasi, bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya diberi
keleluasaan yang lebih besar untuk beroperasi secara efisien atas dasar
mekanisme pasar sehingga mereka dapat berfungsi dengan baik dan
seefisien mungkin dalam menyalurkan dana dari pemilik dana kepada
pengguna dana (pengusaha) untuk keperluan produksi. Mereka
berkeyakinan bahwa ketersediaan dana berdasarkan mekanisme pasar
merupakan faktor yang sangat penting untuk dapat menciptakan sistem
perekonomian yang efisien dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Strategi deregulasi sektor keuangan itu yang diterapkan di
Indonesia, dimulai secara terbatas dengan menetapkan suku bunga bank
lebih realistis pada tahun 1968 – 1970, dan kemudian dilanjutkan dengan
deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai hasilnya, sektor perbankan telah
berhasil meningkatkan perannya sebagai media intermediasi dan penyedia
jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah pula menunjang pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di masa lalu. 7
perbankan di Indonesia disebabkan setidaknya 3 hal, yaitu : (1) pertumbuhan jumlah bank yang pesat tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank sentral; (2) lemahnya penerapan good corporate governance di sector perbankan antara lain karena konsentrasi kepemilikan sangat tinggi; (3) terjadinya economic boom dan integrasi keuangan internasional yang mengakumulasi tingkat kerentanan system perbankan Indonesia. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit, hlm. 2-3.
7 The Indonesian banking system has experienced structural developments. Following the implementation of extensive bank reforms in October 1988, the banking industry grew rapidly in terms of the number of banks as well as total assets. However, a lack of effective supervision resulted in imprudent behaviour by the banking industry. In February 1991, prudential banking principles were introduced, and banks were urged to merge or consolidate. Furthermore, in the mid-1990s self-regulatory measures, including the improvement of internal controls as well as information technology and systems were introduced to strengthen the banks’ soundness. Unfortunately, the wide-scale banking consolidation and the improvement of bank control systems never took place prior to the recent crisis. This was due to a lack of commitment by the owners of banks to strengthen their organisations and weak law enforcement from Bank Indonesia (BI) as the supervisory authority. Under the old law of 1968, Bank Indonesia lacked independence and, to a large extent, was unable to apply tough measures on well-politically connected banks. During the pre-crisis period, besides having poor governance and control, the banking industry also suffered from fundamental liquidity management weaknesses as indicated by: (i) large volatile deposits in the composition of banks’ funds (ii) a high loan to deposit ratio and exposure to foreign exchange risk. As the currency crisis spread in mid-1997, this generated other risks. Firstly, there was an increase of liquidity risk due to a huge maturity mismatch of assets and liabilities. Secondly, credit risk increased due to the inability of debtors to repay their foreign currency loans as the rupiah depreciated sharply. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and
Pertumbuhan perbankan yang sangat pesat ini bukannya tidak
menimbulkan permasalahan tersendiri, pada tingkat makro perkembangan
sektor keuangan yang pesat ini telah menimbulkan permasalahan di sektor
moneter. Bagi pengendalian moneter, perkembangan sektor keuangan
yang pesat, yang juga salah satunya didorong oleh arus globalisasi, telah
menyebabkan berbagai hubungan kausalitas antara besaran-besaran
moneter menjadi tidak tetap, yang berimplikasi kepada makin
kompleksnya transmisi kebijakan moneter dan kurang efektifnya
instrumen moneter yang ada. Kompleksitas permasalahan ini
bagaimanapun juga turut mempengaruhi kemampuan dalam merespon
setiap gejolak yang timbul dalam perekonomian.
Dalam perkembangannya, ternyata infrastruktur perekonomian di
Indonesia belum mampu menghadapi semakin cepatnya proses integrasi
perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Perangkat
kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien ternyata belum
tertata dengan baik. Sebagai konsekuensinya, ekonomi Indonesia menjadi
sangat rentan terhadap gejolak eksternal sebagaimana terjadi pada
pertengahan tahun 1997. Sebagaimana terbukti dari pengalaman negara-
negara tetangga di Asia yang sejak pertengahan tahun 1997 mengalami
krisis ekonomi, kestabilan ekonomi makro ternyata tidak dapat menjamin
kinerja perekonomian yang baik secara berkesinambungan selama masih
terdapat kelemahan-kelemahan pada infrastruktur perekonomian.8
Bambang W. Budiawan, Problem Bank Identification, Intervention And Resolution In Indonesia, Ocassional Internal Paper, 2002, p. 69, terdapat dalam http: // www.seacen.org/publications/content/2008/rp74/4-chap3.pdf., 10 Oktober 2009, 22.30 WIB. Some countries chose to have only bank finance of firms for political reasons, and then adjusted their laws accordingly to protect banks and discourage shareholders. Strong system of legal enforcement could substitute for weak rules, since active and well-functioning courts can step in and rescue investors abused by the management. La Porta, http://mba.tuck.dartmouth.edu/pages/faculty/rafael laporta/ publications/laporta PDF papers-ALL/Laws and finance-all/law&finance/PDF., 10 Oktober 2009, 23.00 WIB.
8 Lihat uraian Burhanuddin Abdullah, op. cit., hlm.5-6.
Pengaturan perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian,
termasuk pengaturan yang berkenaan dengan kecukupan modal,
sebenarnya telah diperkenalkan jauh sebelum krisis, yaitu pengaturan
menyeluruh terhadap modal, aset, manajemen, equity, dan likuiditas yang
dikenal sebagai CAMEL,9 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan
bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas
manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Kebijakan dan pengaturan
penyelesaian bank bermasalah pada masa sebelum krisis tahun 1997 tidak
secara jelas diatur sehingga penyelesaian bank bermasalah berupa
pencabutan izin usaha sebelum krisis tahun 1997 sangat dihindari.10
2. Kebijakan Penyelesaian Krisis Perbankan
Terpuruknya sistem perbankan nasional akibat krisis pada tahun
1997 membuat negara-negara yang mengalami krisis menempuh upaya
penanggulangan kebijakan dan kegiatan yang dilakukan diprioritaskan
untuk menstabilkan sistem keuangan dan mengembalikan kepercayaan
dalam pengelolaan perekonomian. Langkah-langkah yang sifatnya
memaksa diperlukan untuk menghentikan penarikan simpanan besar-
besaran, mempertahankan sistem pembayaran, membatasi bantuan
likuiditas bank sentral, meminimalkan gangguan pada arus kredit,
9 Kusumaningtuti, op. cit., hlm 4-5. 10 Kerentanan sistem perbankan diakibatkan oleh tidak adanya exit policy serta lemahnya
pengawasan dan pengaturan bank. Sebelum krisis 1997, Bank Indonesia mengadopsi strategi resolusi penyelematan bank (open bank resolution) melalui pinjaman darurat baik untuk kebutuhan likuiditas maupun untuk modal. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa penutupan bank akan mengurangi kepercayaan terhadap sistem perbankan, menyebabkan penarikan dana besar-besaran dan membahayakan stabilitas perbankan sehingga demikian besar dana yang dikucurkan demi mempertahankan bank bermasalah dalam pengawasan intensif. Namun demikian dalam pelaksanaannya kebijakan BI tersebut menimbulkan moral hazard. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, op. cit.
memelihara pengendalian moneter, dan menahan pelarian arus modal
keluar.
Berdasarkan rekomendasi IMF, pada 1 November 1997, Bank
Indonesia menutup 16 bank kecil yang insolven dan menempatkan lebih
banyak bank bermasalah lain dalam pengawasan intensif dengan
melakukan penggantian simpanan yang ditalangi oleh pemerintah secara
terbatas, maksimal 20 juta rupiah per nasabah per bank, mencakup 90%
jumlah penyimpan namun hanya 20 % dari total nilai simpanan (dana
pihak ketiga). Dampak penutupan yang tidak dapat diantisipasi, dengan
tujuan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, berbalik
terjadi penarikan dana secara besar-besaran. Hal ini terjadi disebabkan
pedoman pengembalian simpanan tidak jelas, kebijakan likuiditas yang
lemah disertai ketidakpastian politik, kepentingan penutupan bank
sehingga menimbulkan kepanikan pasar.11
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka program
penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam
tiga bagian besar, yaitu : 1) kelompok penanggulangan yang terdiri dari: a)
exit policy yang bertujuan memperlancar likuidasi bank; b) diterapkannya
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk mencegah jatuhnya system
perbankan; c) mengembalikan kepercayaan masyarakat melalui blanket
guarantee; 2) kelompok penyehatan yang terdiri dari: a) pendirian BPPN;
b) penyelesaian asset; c) akuisisi, merger, dan konsolidasi; d) rekapitalisasi
bank-bank; 3) kelompok penguatan ketahanan yang terdiri dari: a)
restrukturisasi kredit; b) jaring pengaman keuangan (financial safety net).
11 http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-
Yang Membebani, , 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Indonesia’s crisis resolution suffered from two main problems: (i) a lack of understanding on the part of the International Monetary Fund (IMF) and of the authorities handling the crisis which resulted in inappropriate strategies both at the macro- and microlevel; and (ii) a lack of government commitment to take consistent and objective measures. The intense political intervention also worsened the situation. In addition, the absence of a clear mechanism of the crisis resolution has created costly Bank Indonesia Liquidity Support (BLBI) during the 1997 crisis, which in turn created a painful and very controversial case. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, op. cit.
Bank Indonesia memberikan kredit likuiditas darurat kepada beberapa
bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat adanya penarikan dana
secara besar-besaran oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam
jangka waktu yang bersamaan (rush).12
Pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia lebih dikenal dengan
istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).13 Kredit Likuiditas
12 Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 91-94. Penarikan dana secara besar-besaran dalam waktu
bersamaan mengakibatkan bank kesulitan dalam membayar dana nasabahnya sehingga membutuhkan bantuan dana dari BI berupa kredit likuiditas yang diberikan melalui sistem kliring yaitu proses yang dilakukan tiap hari di lembaga penyelenggara kliring yaitu BI atau bank lain yang ditunjuk BI, menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimiliki setiap bank pada bank lainnya. Lihat juga dalam Marwan Batubara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, ctk. I, Haekal Media Center, Jakarta, 2008, hlm. 4.
13 Istilah BLBI atau liquidity support dikenal sejak 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan
pemerintah dalam Letter of Intent dengan International Moneter Fund (IMF) yang menyatakan pentingnya bantuan likuiditas Bank Indonesia pada perbankan menjadi salah satu prasyarat cairnya bantuan IMF. Dalam arti luas liquidity support meliputi kredit subordinasi, Kredit Likuiditas Darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun BLBI saat itu mencakup bantuan likuiditas pada bank untuk menutup kekurangan likuiditas berupa saldo debet, fasilitas diskonto SBPU khusus serta talangan untuk membayar kewajiban luar negeri. http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, op. cit., 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Kesalahpahaman pengertian terjadi antara Kredit Likuiditas Darurat atau lebih dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. KLD merupakan dana bank sentral yang dipergunakan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam jumlah besar dalam rangka menghindari efek negatif pada sistem perbankan sedangkan KLBI diberikan untuk membiayai berbagai kredit program pemerintah yang disalurkan melalui Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 91-94. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebagai fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun jangka panjang. Lihat dalam Marwan Batubara, op.cit, hlm. 2. Dalam KLD (BLBI) terdapat 5 fasilitas dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda sebagai berikut. 1. Fasilitas yang diberikan untuk mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu bila
terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Fasilitas untuk jangka pendek dikenal dengan Fasilitas Diskonto I, sedangkan fasilitas jangka panjang disebut dengan Fasilitas Diskonto II.
2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU) lelang dan bilateral.
3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi. 4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran
sehubungan dengan rush atau penarikan dana secara besar-besaran (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau saldo debet (overdraft) rekening bank di Bank Indonesia).
5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri dan dalam rangka penjaminan oleh pemerintah).
Lihat dalam Indonesian Corruption Watch, Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, 2006, Jakarta, hlm. 3.
Darurat yang diberikan oleh Bank Indonesia dari segi yuridis dalam
melaksanakan fungsinya sebagai lender of last resort14 merupakan
penyediaan likuiditas oleh bank sentral pada lembaga keuangan atau pasar
karena terjadi shock secara tiba-tiba sehingga menyebabkan peningkatan
permintaan likuiditas secara abnormal yang tidak dapat dipenuhi oleh
sumber-sumber lainnya.15 BLBI dalam perkembangannya bukan saja
menjadi instrumen mencegah terjadinya rush, namun juga untuk mengatasi
berbagai permasalahan lainnya, termasuk dalam rangka pelaksanaan
program penjaminan serta mencegah makin merosotnya kredibilitas
perbankan nasional. Upaya untuk memilah kriteria bank penerima bantuan
likuiditas pada saat krisis sebagai tanggapan terhadap pandangan bahwa
bantuan likuiditas hanya disediakan bagi bank yang tidak likuid dan bukan
pada bank yang menunjukkan gejala insolven karena pada saat krisis
indikasi bank-bank yang mengalami kesulitan akan mengarah pada ke
kondisi insolven. Terlebih setelah likuidasi bank-bank pada November
tahun 1997, terdapat kebijakan untuk tidak melakukan likuidasi lagi dalam
waktu dekat sehingga Bank Indonesia terperangkap dalam posisi terpaksa
menyediakan likuiditas.16 Namun demikian pemberian kredit likuiditas
14 Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank (BI) dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Pasal 37 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15 Suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun
dana dalam rekening giro bank tidak mencukupi sehingga harus mencari sumber pendanaan lain, baik simpanan bank itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain. Bilamana pandanaan masih tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening giro bank bersangkutan di BI. Pada saat terjadi krisis, bank-bank yang telah bersaldo negatif tetap diperbolehkan melakukan kliring untuk mempertahankan stabilitas perbankan di masyarakat. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 4.
16 Likuidasi adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk: pertama, mengubah harta (aset) ke
dalam bentuk tunai atau persediaan menjadi rekening likuid untuk memnuhi kewajiban segera dan pembayaran utang jangka panjang perusahaan; kedua, pemberhentian kegiatan usaha dengan menjual seluruh harta kekayaan dan membagi hasilnya untuk melunasi kewajiban dan utang;
darurat mengandung beberapa kelemahan, antara lain ketidakjelasan
kriteria bank yang dapat dipilih sebagai bank penerima kredit, prosedur
pengawasan yang kurang efektif, dan adanya moral hazard
penyalahgunaan bantuan oleh pemilik dan pengurus bank, termasuk
penentuan besaran biaya fiskal berupa dispute mengenai
pertanggungjawaban beban BLBI antara Bank Indonesia dan pemerintah
memberi celah terjadinya penyalahgunaan dana BLBI dari tujuan semula
termasuk pengembalian dana BLBI dari debitur pada pemerintah masih
temui halangan, salah satunya belum tercapai kesepakatan jumlah
pengembalian debitur pada pemerintah. Pengaturan masalah pemberian
kredit likuiditas darurat dilakukan secara tegas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bahwa
kesulitan perbankan yang sifatnya sistemik menjadi tanggung jawab
pemerintah; dengan kata lain beban biayanya menjadi beban fiskal
sehingga dana yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terlebih dahulu
dianggap sebagai dana talangan, yang kemudian akan diperhitungkan oleh
pemerintah.
Penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dilakukan dengan
membentuk suatu lembaga pemerintah dan bertindak atas nama
pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 sebagai
dasar hukum pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN).17 Upaya BPPN untuk mengoptimalkan pengembalian uang
ketiga, menyelesaikan long atau short position termasuk pembekuan operasi dan pembekuan kegiatan usaha bank. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 101.
17 BPPN bertugas : a) melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah
kepada Bank Umum; b) melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang telah dinyatakan tidak sehat oleh BI; c) melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Tugas BPPN sebagaimana tercantum dalam keppres tersebut tidak diikuti dengan kewenangan yang jelas sehingga dikeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1998, dimana kewenangan BPPN antara lain meliputi meminta pernyataan bank dalam penyehatan untuk menaati persyaratan praktik perbankan yang sehat dan peningkatan kinerja bank,; meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk menandatangani segala dokumen yang bersifat mengikat; dan meminta untuk mengajukan rancana perbaikan. Disamping itu BPPN memiliki tugas tambahan untuk mengambil alih pengoperasian bank; menentukan tingkat kompensasi yang dapat diberikan kepada direksi,
Negara baik dari para bankir, pemegang saham terkait maupun dari debitur
masing-masing bank yang mendapat penyaluran dana BLBI, ditempuh
berbagai konsep penyelesaian yang sifatnya menyeluruh.18
Optimalisasi pengembalian dana BLBI ke dalam kas negara, dari
pemerintah melalui BPPN untuk melakukan tiga hal.19
1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali (pemilik bank), diberlakukan bagi bank-bank yang dikategorikan bank beku operasi (BBO), dan bank beku kegiatan usaha (BBKU). Penandatanganan perjanjian antara pemerintah dan pemegang saham tersebut meliputi Master Settlement and Aqcuisition (MSAA), Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA).
2. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS) pada bank-bank kategori Bank Take Over (BTO).
komisaris, dan karyawan bank; dan mengambil alih pengelolaan termasuk penilaian kembali kekayaan yang dimiliki bank. Lihat dalam ibid., hlm. 171.
18 Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm. 9.
19Sejalan dengan optimalisasi tersebut, dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan
perjanjian antara pemerintah dan debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada penerima BLBI yang asetnya
dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional.
2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo.
3. Akta Pengakuan Hutang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho.
Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm. 9.
3. Pengalihan utang bank ke pemegang saham pengendali melalui penandatanganan Akta Pengakuan Hutang (APU).
Penyelesaian kasus BLBI berlanjut pada keluarnya Inpres Nomor 8
tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur
Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada
Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, dikenal dengan Release and
Discharge menjadi dasar hukum bagi penyelesaian kasus BLBI secara out
of court settlement, menginstruksikan kepada Menko Bidang
Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK),
Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan
Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan
seluruh kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA,
MRNIA, dan APU.20 Maksud dan tujuan pemberian release and
discharge adalah penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK (Batas
Minimum Pemberian Kredit) dengan pembebasan dari semua tuntutan
hukum, termasuk aspek pidana. Adapun dalam butir-butir Inpres tersebut
menyebutkan bahwa bagi para debitur yang telah menyelesaikan
kewajiban sebagai pemegang saham dalam bentuk MSAA, MRNIA, dan
20 Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan
acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam loc.cit., hlm. 57. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan rangkaian kebijakan BLBI telah mendapatkan landasan hukum yang sah. Karena itu, kini pemerintah tetap berupaya untuk mengembalikan uang negara sebesar mungkin. Rangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis, termasuk kebijakan BLBI, program penjaminan, penyehatan dan rekapitulasi perbankan, dan program divestasi telah melalui proses politik saat itu dan mendapatkan landasan hukum yang sah. http://www.mediaindonesia.com/. 13Februari 2008.
APU akan diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan
dalam rangka memberikan kepastian hukum sebagaimana telah diatur
dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Bahkan dalam butir ke 4 disebutkan
pembebasan debitur dari aspek pidana, baik yang masih dalam tahap
penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan sekaligus dilakukannya
proses penghentian penanganan aspek pidana yang dilakukan dalam
koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Konsep Hukum dan Kebijakan Publik
1. Ruang Lingkup Kebijakan Publik
Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki
keterkaitan yang sangat erat, seiring makin luasnya peranan pemerintah
dalam berbagai bidang kehidupan yang kompleks baik ekonomi, sosial,
dan politik. Sehingga peraturan hukum berperan untuk membantu
pemerintah dalam usaha menemukan alternatif kebijakan yang baik dan
bermanfaat bagi masyarakat dimana penilaian bahwa fungsi hukum
menjadi penting ketika semua perencanaan kebijaksanaan dan program-
program pemerintah dilaksanakan melalui hukum.21
Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan
publik, dan sebagai peraturan perundang-undangan hukum telah
menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk melaksanakan
kebijaksanaan. Hukum menjadi indikator adanya kebijaksanaan dimana
menurut Siegler, bahwa constitutions, statutes, administrative orders and
executive orders are indicators of policy dimana hukum merupakan bagian
integral dari kebijaksanaan, yang pembentukannya dilakukan oleh
21 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,
Semarang, 2005, hlm. 130. Lihat juga Esmi Warasih dalam Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 76-77. Pemberlakuan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan karena secara teknis hukum dapat memberikan atau melakukan hal-hal: a. hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat, b. hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi, c. hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik, d. hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya.
legislatif dalam bentuk peraturan-peraturan untuk kemudian diberikan
pengesahan sehingga berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi.22
Kebijakan publik yang telah memasuki bidang kehidupan hukum harus
memenuhi tehnik perumusan pembuatan perundang-undangan,
menggunakan bahasa resmi yang sederhana sehingga mudah dipahami
sehingga harus berpijak pada tata administrasi dalam hal ini berkaitan
dengan hukum administrasi Negara.
Konsep kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
kenegaraan didefinisikan berbeda oleh para ahli, antara lain oleh David
Easton memberikan arti policies sebagai the autoritative allocation of
values for the whole society,23 dimana hanya pemerintah dalam sistem
politik yang secara sah dapat melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat.24 Lasswel
dan Kaplan mengartikan kebijaksanaan publik sebagai a projected
program of goals, values, and practices.25 Thomas R Dye mendefinisikan
kebijaksanaan Negara sebagai “is whatever government choose to do or
not to do”, bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus
ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijaksanaan negara harus meliputi
semua “tindakan” pemerintah jadi bukan semata-mata pernyataan
pemerintah, disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh
pemerintah juga termasuk kebijaksanaan Negara karena kebijaksanaan
untuk tidak melakukan sesuatu dengan kebijaksanaan melakukan sesuatu
akan memiliki dampak yang sama.26
22 Ibid., hlm. 131-133. 23 Ibid., hlm. 132. 24 M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,
Jakarta, 2007, hlm. 19. 25 Esmi Warassih, op. cit., hlm. 132. 26 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 18. Dalam sumber lain disebutkan Dye menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan tidak dapat
menjadi kebijakan publik kalau ia tidak dirumuskan, disahkan, dan dilaksanakan oleh lembaga-
Carl J. Frederick mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “….a
proposed course of action of a person, group, or government within a
given environment providing obstacles and opportunities which the policy
was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or
realize an objective or a purpose”. Sedangkan menurut James E.
Anderson, bahwa kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang
pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.
Namun demikian kebijaksanaan Negara menurut James E. Anderson
diartikan sebagai kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh
badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Definisi kebijakan publik
sebagaimana dikemukakan oleh Edward dan Sharkansky bahwa
kebijaksanaan publik dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat pemerintah
atau juga berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah. 27
Pelbagai definisi kebijaksanaan publik yang beragam dan luas, tidak
menjadikan suatu kebijaksanaan publik sempit artinya bilamana
menggunakan suatu definisi secara tepat dan rasional karena kebijaksanaan
publik memiliki fokus yang sama yaitu pada nilai, tujuan, dan sarana.
Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan perundang-
undangan, utamanya undang-undang yang dilegitimasi melalui pengesahan
oleh DPR sehingga mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga
lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lebih lanjut dalam Materi Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik. Jamal Wiwoho. 2008. hlm. 5.
27 Sehingga implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah: (1) bahwa kebijaksanaan
Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2) bahwa kebijaksanaan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) bahwa kebijaksanaan merupakan apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya pernyataan keinginan ; (4) bahwa kebijaksanaan dapat bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negative, berupa keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan (5) bahwa kebijaksanaan pemerintah dalam arti positif, dimana kebijaksanaan selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Lihat dalam ibid., hlm 17-19.
masyarakat. Oleh karena itu, pada hakikatnya hukum pun mengandung
nilai, konsep-konsep dan tujuan yang mana proses perwujudan ide dan
tujuan merupakan hakikat dari penegakan hukum. Hukum tidak lagi hanya
berfungsi sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana
untuk melakukan perubahan masyarakat hingga digunakan sebagai sarana
untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik.28 Alokasi penetapan tujuan
merupakan output dari sistem politik yang dapat berupa alokasi nilai
otoritatif dinyatakan sebagai kebijakan publik, selanjutnya akan
diimplementasikan pada masyarakat, sehingga nampak bahwa hukum
merupakan indikator adanya kebijakan.
Makna dalam istilah kebijakan (policy) tidak hanya bersifat tekstual
melainkan lebih bersifat kontekstual, beragam mengikuti dinamika aksi
sosio-ekonomi dan politik yang terjadi disekitar kita dan persepsi terhadap
istilah kebijakan.29 Hogwood dan Gunn mengelompokkan beberapa
penggunaan istilah kebijakan dalam sepuluh (10) kelompok, antara lain.30
1. Policy as a label for Feld of Activity (Kebijakan sebagai Sebuah Label atau Merk bagi Suatu Bidang Kegiatan Pemerintah). Istilah kebijakan sebagai suatu label bagi suatu bidang kegiatan pemerintah pada dasarnya berkaitan dengan bidang-bidang kegiatan pemerintah atau bidang-bidang kegiatan tertentu dimana pemerintah terlibat didalamnya. Konsep ruang kebijakan (policy space) digunakan untuk menggambarkan suatu ruang kebijakan tertentu cenderung padat sepanjang waktu ditandai dengan makin gencarnya campur tangan pemerintah dan makin kompleksnya interaksi di antara instansi-instansi pemerintah yang terlibat didalamnya. Sebaliknya konsep ini juga dapat dideskripsikan bahwa ruang kebijakan tertentu relatif kosong dari campur tangan pemerintah.
2. Policy as an Expression of General Purpose or Desired State of Affairs (Kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki).
28 Esmi Warassih, op. cit., hlm. 133. 29 Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM Press, Malang,
2008, hlm. 17. 30 Ibid., hlm. 18. Lihat juga dalam Bambang Sunggono, op. cit., hlm. 15.
Istilah kebijakan digunakan untuk menunjukkan pernyataan-pernyataan kehendak pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum dari kegiatan yang dilakukannya dalam bidang tertentu yang diharapkan dicapai pada kurun waktu tertentu. Namun pernyataan kehendak ini belum bersifat operasional karena masih sebatas wacana sehingga mudah dilupakan baik oleh masyarakat maupun pembuat kebijakan.
3. Policy as Spesific Proposals (Kebijakan sebagai suatu usulan-usulan khusus). Istilah kebijakan digunakan untuk menunjukkan adanya usulan-usulan tertentu (spesifik) yang berasal baik dari luar struktur pemerintahan (kelompok-kelompok kepentingan atau partai politik) maupun dari dalam struktur pemerintahan untuk mempengaruhi proses pengesahan kebijakan terkait dengan usulan-usulan tersebut, dan dimungkinkan juga menunjukkan cara-cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar sebagaimana kebijakan sebagai suatu label bagi suatu bidang kegiatan pemerintah serta pernyataan-pernyataan kehendak pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum dari kegiatan yang dilakukannya dalam bidang tertentu yang diharapkan dicapai pada kurun waktu tertentu.
4. Policy as Decision of Government (Kebijakan sebagai keputusan pemerintah). Istilah kebijakan pada lingkup ini terfokus pada keputusan yang muncul ketika terdapat alternative pilihan dengan mempertanyakan implementasinya dan hasil yang dicapai.
5. Policy as Formal Authorization (kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal). Istilah kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal ditandai dengan diundangkannya seperangkat aturan oleh parlemen diharapkan dapat diimplementasikan. Tahap pengesahan bukan tidak penting, namun pengesahan saja belum memberikan gambaran tentang hal substansial yang menjadi dampak dari pengesahan kebijakan tersebut. Diundangkannya suatu aturan tidak serta merta dapat diimplementasikan, karena dipengaruhi faktor-faktor pelaksanaan yang tidak mendukung.
6. Policy as Programme (kebijakan sebagai program). Istilah kebijakan sebagai program dimaksudkan pada suatu lingkup kegiatan pemerintah yang relative khusus dan jelas batas-batasnya, mencakup serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan legislasi, pengorganisasian, dan penyediaan sumber daya yang diperlukan. Program-program atau sub-sub program dipandang sebagai sarana (instrumen) untuk mewujudkan berbagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah.
7. Policy as Output (kebijakan sebagai keluaran).
Kebijakan sebagai keluaran dipandang sebagai apa yang telah dihasilkan atau diberikan oleh pemerintah, sebagai kebalikan dari apa yang telah dijanjikan, saat kebijakan sebagai bentuk pernyataan tujuan yang dikehendaki atau bahkan saat kebijakan tersebut sebagai pengesahan formal berupa undang-undang. Kebijakan sebagai keluaran bentuknya bermacam-macam, dapat berupa pemberlakuan peraturan-peraturan, program-program berupa pemberian manfaat secara langsung (berupa uang), pemberian pelayanan kepada publik berupa barang (air bersih atau beras untuk orang miskin). Namun adakalanya kebijakan ini sendiri merupakan faktor penunjang bagi tercapainya output bukan output itu sendiri, karena masih memerlukan serangkaian tindakan untuk mewujudkan apa yang menjadi kebijakan sebagai output.
8. Policy as Outcome (kebijakan sebagai hasil akhir). Upaya lain memahami makna kebijakan adalah dengan melihat kebijakan dari sudut hasil akhir yaitu apa yang sesungguhnya telah dicapai dalam artian pencapaian dari program-program tertentu, memungkinkan adanya penilai mengenai tujuan formal (normatif) dari suatu kebijakan (sebagaimana tercantum dalam dokumen) yang telah dibuktikan dalam praktik kebijakan. Sehingga dapat dilakukan penilaian mengenai terwujudnya tujuan formal dari suatu kebijakan. Sedangkan fokus pada dampak kebijakan sendiri juga berguna untuk mengingatkan bahwa implementasi sebuah kebijakan dan dampaknya jarang sebagai akibat hubungan langsung antara instrument kebijakan tertentu atau interaksi organisasi tertentu dengan lingkungannya untuk menghasilkan dampak yang jelas.
9. Policy as Theory or Model (kebijakan sebagai sebuah teori atau model). Kebijakan pada dasarnya mengandung asumsi-asumsi mengenai apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan akibat yang terjadi sebagai dampak dari tindakan-tindakan tersebut. Namun demikian kebijakan public pada umumnya memuat suatu teori atau model tertentu yang menyiratkan hubungan sebab dan akibat, yangmana dalam praktiknya untuk menilai bahwa suatu kebijakan gagal dilaksanakan sehingga berdampak sesuai dengan teori kausalitas cukup rumit.
10. Policy as Procees (kebijakan sebagai proses). Kebijakan dipandang sebagai sebuah proses, terutama proses politik (political process), maka kebijakan dipersepsikan sebagai sebuah ban berjalan (conveyor belt) yang difokuskan pada tahap pelaksanaan kebijakan. Adapun pembuatan kebijakan meliputi. 1) Penyusunan agenda tertentu berupa daftar-daftar persoalan,
dilihat dari tingkat kepentingannya, oleh pejabat pemerintah dianggap perlu mendapat perhatian serius.
2) Perumusan kebijakan, disebut juga adopsi kebijakan (policy adoption) yaitu proses pengesahan yang dirancang khusus untuk mengatasi atau mengurangi masalah yang terjadi di masa lalu atau untuk mencegah terjadinya kembali masalah kebijakan publik yang sama dimasa mendatang.
3) Implementasi kebijakan, dapat dirumuskan sebagai suatu proses, output (keluaran), atau hasil akhir (outcome). Sebagai suatu proses, implementasi kebijakan mengacu pada serangkaian keputusan dan tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan. Konsep implementasi kebijakan sebagai output (keluaran) mengacu pada cara-cara atau sarana yang telah dipakai untuk mencapai tujuan tertentu yang telah diprogramkan, misalnya sejumlah ongkos untuk mengatasi suatu masalah. Sedangkan implementasi kebijakan yang dipandang sebagai outcome (hasil akhir) adalah terjadinya perubahan-perubahan tertentu pada permasalahan sosial yang ingin diatasi oleh suatu program, misalnya penurunan angka kejahatan atau kriminalitas.
4) Evaluasi kebijakan memfokuskan pada dampak nyata dari sebuah proses legislasi atau seberapa jauh kebijakan tertentu mencapai hasil-hasil yang diinginkan.
5) Perubahan kebijakan (policy change) mencakup berbagai tahapan siklus kebijakan seperti perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan pengakhiran kebijakan.
Konsep perubahan kebijakan merupakan instrumen analitik yang mengacu pada suatu titik dimana kebijakan seharusnya dievaluasi dan didesain kembali, yang dengan perubahan kebijakan tersebut menjadi keseluruhan proses kebijakan yang baru. Pengakhiran kebijakan ini sendiri merupakan cara mengakhiri kebijakan yang telah kadaluwarsa atau kinerjanya dianggap tidak lagi memadai.
2. Proses dan Model-Model Kebijakan Publik
Kebijaksanaan negara dibentuk melalui suatu proses perumusan,
meliputi serangkaian tindakan dalam memilih alternatif-alternatif yang
tersedia sebagai penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi dengan
mengambil satu diantara beberapa alternatif tersebut sebagai sebuah
keputusan. Pengambilan keputusan tersebut kemudian dirumuskan sebagai
sebuah kebijaksanaan. Permasalahan yang timbul dapat diartikan secara
formal, untuk kepentingan kebijaksanaan, menurut David G Smith disebut
sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan yang
yang harus dicari upaya penanggulangannya namun tidak semua masalah
(problems) akan berakhir dengan kebijaksanaan sebagai pengakhiran
masalah. Bahwa suatu problems baru akan menjadi problema-problema
kebijaksanaan (policy problems) bila masalah-masalah tersebut mendorong
orang banyak, terutama para pembuat kebijaksanaan, melakukan
tindakan.31
Analisis kebijakan publik (public policy analysis) bertujuan untuk
meramu secara sistematik beragam gagasan yang berasal dari berbagai
macam disiplin kemudian digunakan untuk menginterpretasikan sebab dan
akibat dari tindakan pemerintah. Berbagai definisi mengenai kebijakan
mengartikan bahwa sesungguhnya sukar untuk mengidentifikasi waktu
pembuatan sebuah kebijakan yang dimaksud karena seringkali kebijakan
bersifat berkelanjutan bahkan berkembang sedemikian rupa dalam tahap
implementasi sehingga muncul anggapan bahwa suatu kebijakan telah
bersifat final. Hal ini berarti bahwa permasalahan suatu kebijakan bukan
hanya ditahap pembuatan kebijakan dari proses kebijakan, melainkan juga
pada tahap implementasi.32
Analisis kebijakan publik membutuhkan alat-alat konseptual
(conceptual tools), berupa model-model dan tipologi tertentu sehingga
dapat diketahui beberapa aspek penting yang terdapat dalam proses
kebijakan, menurut Thomas R Dye sebagai upaya untuk menyederhanakan
atau mengejewantahkan kenyataan politik. Model-model analisis
kebijakan publik menurut Thomas R Dye meliputi 6 model, yaitu.33
1. Model Kelembagaan; Model kelembagaan merupakan model analisis yang memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah secara otoritatif dirumuskan, ditetapkan, disahkan, dilaksanakan dan dipaksakan
31 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 79. Lihat juga dalam Solichin Abdul Wahab, op. cit, hlm.
33. 32 Solichin Abdul Wahab, ibid., hlm. 38-41. 33 Ibid., hlm. 79-123.
pemberlakuannya. Sehingga terdapat hubungan yang erat antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah.
2. Model Kelompok; Kebijaksanaan negara merupakan equilibrium
(keseimbangan) yang dicapai sebagai perjuangan kelompok, sehingga untuk menjaga keseimbangan tersebut sistem politik berperan untuk menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.
Individu-individu dengan latar belakang yang sama akan bergabung dalm kelompok baik formal maupun informal yang kemudian mendesakkan kepentingan-kepentingan tersebut pada pemerintah. Perilaku individu baru memiliki makna politik ketika mereka bertindak atas nama atau dengan membawa kepentingan kelompok, sehingga kelompok berfungsi sebagai jembatan politik yang menghubungkan antara individu dengan pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan publik
Kebijakan publik model kelompok, menurut Earl Latham, adalah keadaan seimbang yang tercapai sesudah berlangsung perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu, kebijakan publik ini mencerminkan keseimbangan setelah kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kabijakan publik kearah yang menguntungkan mereka. Pada model ini, legislatif bertindak sebagai penengah dalam membantu tercapainya kompromi-kompromi serta mengesahkannya dalam bentuk undang-undang.
3. Model Elit; Kebijakan publik dari sudut model elit selalu dianggap
sebagai the result of the preferences and values of governing elite, dimana pejabat pemerintah dan administrator hanya dianggap sebagai alat dan pelaksana kebijaksanaan yang substansinya telah dipikirkan, dirumuskan dan ditetapkan sebagaimana oleh Ralp Miliband disebut instrumentalism. Alasan yang dikemukakan bahwa negara hanya sebagai instrumen bagi elit untuk mengokohkan dominasi secara sosial, ekonomi, politik dalam masyarakat adalah sebagai berikut. 1. Kesamaan latar belakang sosial antara golongan borjuis dan
anggota elit negara, yaitu menduduki jabatan-jabatan senior dalam pemerintahan baik dinas sipil, militer, badan peradilan maupun lembaga kenegaraan lain.
2. Adanya kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki oleh golongan borjuis yang memungkinkan untuk bertindak sebagai kelompok penekan melalui kontak dan jaringan hubungan pribadi yang dibangun serta melalui asosiasi bisnis dan industri yang dikuasainya.
3. Kendala yang dihadapi oleh negara berkenaan dengan usaha untuk mempertahankan eksistensi melalui proses penanaman modal.
4. Model Rasional; Kebijakan dengan model rasional mendifinisikan proses
kebijakan dengan suatu pemilihan keputusan dari alternatif-alternatif dari hasil analisis yang menyeluruh dari seluruh alternatif yang tersedia dengan mempertimbangkan akibat yang akan terjadi dari pemilihan keputusan tersebut. Model rasional menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional seefisien mungkin, dimana rasio nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan lebih tinggi dibanding nilai alternatif lain.
Suatu kebijakan dinilai rasional menurut model ini bila kebijakan yang diambil diarahkan bagi tujuan-tujuan atau kepentingan negara. Oleh karena itu pada kebijakan dengan model rasional harus ditentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara untuk kemudian menggunakan sarana yang tersedia, perlunya pemahaman yang holistik dan mendasarkan diri pada nilai-nilai yang ada didalam masyarakat serta kepentingan yang relevan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan tersebut.
5. Model Inkremental; Kebijakan negara dipandang sebagai suatu kelanjutan
kegiatan-kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya melakukan perubahan.-perubahan seperlunya. Lidblom, sebagaimana dikutip oleh Dye, berpendapat bahwa pembuat kebijakan tidak akan melakukan penilaian tahunan secara teratur terhadap seluruh kebijakan-kebijakan yang ada maupun yang telah diusulkan sebelumnya sehingga enggan untuk mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan berikut semua akibat-akibatnya.
Pembuatan kebijakan publik dengan model inkremental memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Pembuat kebijakan sering kali enggan untuk berpikir dalam
kerangka yang menyeluruh atau setidaknya menjelaskan secara terbuka tujaun-tujuan yangt hendak dicapai. Pilihan untuk tidak menjelaskan disebabkan adanya ketakutan memperoleh rekasi pertentangan atas kebijakan yang dibuat.
b. Pembuat kebijakan melakukan perubahan-perubahan kecil atau penyesuaian-penyesuaian seperlunya yang cenderung inkremental terthadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil bilamana kebijakan sebelumnya ternyata gagal mengatasi masalah.
c. Adanya pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada pemecahan masalah yang menyelesaikan secara singkat karena kebijakan merupakan siklus yang akan kembali dari awal.
d. Kebijakan-kebijakan publik lebih banyak dibuat melalui interaktif dari banyak pihak yang dapat mempengaruhi kebijakan dan yang beroperasi dalam suatu jaringan kekuasaan.
e. Adanya penyesuaian diri pada masing-masing pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik melalui tawar menawar, negosiasi, dan kompromi.
f. Kebijakan yang muncul merupakan kebijakan yang saling disepakati oleh kelompok-kelompok yang terlibat sebagai bentuk konsensus.
Model inkremental merupakan gaya konservatif dalam pembuatan kebijakan publik, karena dasar pertimbangan yang digunakan selalu mengacu pada program-program yang sudah ada dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan pada masa sebelumnya. Sehingga, pembuat kebijakan cenderung tidak peduli terhadap efektivitas kebijakan yang telah ada sebelumnya dan menerima keabsahan dari program-program yang sudah ada untuk menyelesaikan masalah yang saat ini sedang dihadapi.
6. Model Sistem. Kebijakan, menurut David Easton, dipandang sebagai
respon suatu sistem politik terhadap kekuatan yang meliputi kekuatan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya sehingga kebijaksanaan negara merupakan hasil dari sistem-sistem politik. Sistem politik disini adalah lembaga-lembaga, yang terdiri dari badan legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, kelompok kepentingan, golongan elit, struktur birokrasi, prosedur, mekanisme politik, sikap dan perilaku pembuat keputusan serta aktivitas-aktivitas politik berinteraksi dalam proses untuk mengubah tuntutan, dukungan, dan sumber bagi suatu kebijakan (input) menjadi hasil keluaran (output). Sehingga kebijaksanaan negara merupakan hasil dari kegiatan politik yang otoritatif dengan konsekuensi, baik berupa dampak yang diharapkan maupun timbulnya dampak yang tidak diharapkan.
Salah satu proses utama dari sistem politik adalah masukan-masukan (inputs), yang berbentuk tuntutan-tuntutan (demands) dan dukungan-dukungan (support) serta sumber daya (resources). Tuntutan-tuntutan mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai yang sah dari pihak penguasa (pemerintah). Sedangkan dukungan-dukungan mencakup berbagai tindakan, seperti memilih dalam pemilihan umum, kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan, dan kesediaan membayar pajak. Sementara itu sumber-sumber daya antara lain meliputi kekayaan alam, harta benda, pengetahuan dan teknologi. 34
34 Ibid., hlm. 119. Suatu sistem politik akan menyerap pelbagai macam tuntutan (baik dari
dalam maupun dari luar), dan dapat terjadi bahwa diantara tuntutan-tuntutan tersebut tidak relevan atau bertentangan satu sama lain. Dalam hal seperti itu diperlukan pengaturan terhadap tuntutan-tuntutan tersebut dan memaksakan pengaturan itu kepada pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan agar tuntutan-tuntutannya dapat dikonversikan (diproses) didalam sistem politik
Masukan, dukungan maupun sumber-sumber yang merupakan input kebijakan pada model sistem ini (sistem politik) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa keadaan sosial, ekonomi, politik dan berpengaruh pula pada output yang dihasilkan bahkan terhadap dampak dari implementasi output tersebut. Adapun dampak implementasi yang diakibatkan, baik positif maupun negatif, dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik untuk digunakan atau tidak dipertimbangkan kembali sebagai input (masukan) dalam proses politik berikutnya.
Berdasarkan tipologi Dye tersebut diatas, Nicholas Henry
mengelompokkan tipologi tersebut menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu:
(1) Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut proses, lebih bersifat
deskriptif, mencoba menggambarkan proses pembuatan kebijakan, antara
lain model kelembagaan, model elit massa, model kelompok, dan model
sistem; (2) Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut hasil dan akibatnya,
bersifat preskriptif dengan berupaya menunjukkan cara untuk
meningkatkan kualitas isi, hasil dan akibat kebijaksanaan negara, meliputi
model rational comprehensive dan model inkremental.35
Evaluasi terhadap sebuah kebijakan dapat dilakukan dengan
mengorganisasikan fenomena menjadi kategori-kategori tertentu guna
mensistemasikan program analisis, dengan terlebih dulu memahami
tipologi kebijakan. Tipologi dapat dipakai untuk memahami pembuatan
kebijakan publik dengan menggunakan kerangka analisis bersifat umum
untuk mengonversikan fakta-fakta dari studi-studi kasus pada seperangkat
penelitian yang dapat dievaluasi, ditimbang, dan dihimpun. Adapun
kategori kebijaksanaan negara adalah antara lain sebagai berikut.36
sehingga menghasulkan keputusan atau kebijaksanaan. Lihat dalam M. Irfan Islamy, op.cit., hlm 45
35 M. Irfan Islamy, Ibid., hlm. 36. 36 Ibid., hlm. 103. Bandingkan Menurut Theodore Lowi, kebijakan publik dapat dibagi
dalam tiga tipe, yang mana pada tiap-tiap tipe kebijakan mempunyai tipe hubungan politik tertentu, yaitu. 1. Kebijakan regulatoris (regulatory policies); 2. Kebijakan distributif (distributive policies); 3. Kebijakan redistibutif (distributive policies).
1. Substantive dan Procedural Policies Substantive policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan
tentang apa yang akan atau ingin dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan procedural policies merupakan kebijaksanaan yang meliputi tentang siapa atau pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijaksanaan negara dan cara perumusannya.
2. Distributive, Re-distributive, Regulatory dan Self Regulatory Policies
Distributive policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungan bagi sejumlah khusus penduduk. Re-distributive policies adalah kebijaksanaan yang sengaja dilakukan pemerintah untuk memindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan, atau hak-hak diantara kelas dan kelompok penduduk. Sedangkan regulatory policies berkenaan dengan pembatasan atau larangan-larangan perbuatan bagi seseorang atau sekelompok orang sehingga bersifat mengurangi kebebasan untuk berbuat sesuatu. Adapun self-regulatory policies merupakan kebijaksanaan mengenai pembatasan-pembatasan atau pengawasan perbuatan pada masalah-masalah tertentu bagi sekelompok orang, yang biasanya sering dibutuhkan dan didukung oleh kelompok orang yang berkepentingan dengan kebijaksanaan tersebut sebagai alat untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan kelompok.
Penilaian kebijaksanaan dapat ditinjau dari :37 (1) sudut spesifikasi
obyektif yang meliputi hasil dari program-program pemerintah yang telah
dilaksanakan, (2) sudut teknik penilaian dengan mengumpulkan data-data
untuk menilai hasil program pemerintah tersebut dengan menggunakan
teknik yang ilmiah, sistematis, dan (3) sudut metode analisa untuk menilai
program pemerintah mampu menunjukkan hasil dan dampak
kebijaksanaan sebagai akibat dan konsekuensi yang timbul dari
pelaksanaan kebijaksanaan secara akurat, baik dampak positif maupun
dampak negatif. Dampak kebijaksanaan dapat difungsikan sebagai umpan
balik dan menjadi masukan baru dalam proses perumusan kebijaksanaan
negara berikutnya, baik sebagai perbaikan kebijaksanaan terdahulu
maupun kebijaksanaan baru.
Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 128.
37 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 112.
C. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare) sebagai tujuan
akhir dari politik kriminal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik
kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu
kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Secara skematis dapat
digambarkan sebagai berikut : 38
Istilah “kebijakan” berasal dari istilah “policy” atau “politiek” sehingga
istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik
hukum pidana”, yang dalam kepustakaan asing istilah ini dikenal dengan istilah
“penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”. Kebijakan
38 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm.2-3. Politik
kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel sebagai the rational organization of the control of crime by society. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels, menyatakan, criminal policy is the rational of the social reaction to crime. Lihat dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, ctk. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 13.
Social Welfare Policy
Social Policy
Tujuan
Social Defence Policy
Penal
Criminal Policy
Non-Penal
hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun dari politik
kriminal. Politik hukum adalah : 39
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Berdasarkan pengertian diatas, melaksanakan “politik hukum pidana”
berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna
dan merupakan usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana
yang sesuai pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Sebagai
bagian dari politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-
undangan pidana yang baik.40
Kebijakan hukum pidana sebagai usaha yang rasional dari masyarakat
dalam penanggulangan tindak pidana, menurut G. Peter Hoefnagels dapat
ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu.41
1. criminal law application;
2. prevention without punishment;
3. influencing views of society on crime and punishment.
39 Menurut Prof. Sudarto dalam Barda Nawawi Arief, ibid, hlm. 22. 40 Menurut Marc Ancel, “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Lihat dalam Mokhamad Najih, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Intrans Publishing, Malang, 2008, hlm. 43. Dengan demikian, istilah “penal policy” sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
41 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 17-18.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi
2 (dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan
menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum
pidana (non- penal policy).
1. Penanggulangan Tindak Pidana Menggunakan Sarana Hukum Pidana
(Penal Policy)
Menurut Roeslan Saleh ada tiga alasan masih perlunya pidana dan
hukum pidana, yaitu.42
1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang hendak dicapai melainkan pada usaha untuk menggunakan paksaan.
2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan bagi terpidana dan adanya reaksi atas pelanggaran yang telah dilakukan.
3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada pelaku, tetapi juga untuk mempengaruhi masyarakat. Hukum pidana, menurut Utrecht,43 memberi suatu sanksi istimewa,
baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum
publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh
peraturan-peraturan hukum privat maupun hukum publik. Hukum pidana
melindungi kedua macam kepentingan tersebut dengan membuat sanksi
istimewa karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang
lebih keras.
Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan
menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpelihara
ketertiban umum. Secara khusus sebagai hukum publik, hukum pidana
berfungsi, yaitu:44
42 Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Ed. 2, ctk. 2, Alumni,
Bandung, 1998, hlm. 153. 43Teguh Prasetyo, op.cit., hlm. 10. 44 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 15-16.
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang kepentingan hukum;
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan atas pelbagai kepentingan hukum;
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum. Berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama hukum pidana, maka
hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memuat ketentuan
mengenai.45
1. Aturan umum hukum pidana yang dikaitkan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan baik aktif maupun pasif tertentu yang disertai dengan ancaman berupa pidana bagi pelakunya.
2. Syarat-syarat yang harus ada untuk menjatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggar. Aspek hukum pidana dalam rumusan ini adalah mengenai ada tidaknya kesalahan sehingga dapat diperpertanggungjawabkan secara pidana pada diri si pembuat atau yang lebih dikenal dengan asas geen straf zonder schuld bahwa untuk dapat dipidana pada seseorang yang perbuatannya nyata melanggar hukum pidana, disyaratkan bahwa itu dapat dipersalahkan padanya, ialah si pembuat itu mempunyai kesalahan. Kedua aspek ini merupakan hukum pidana materiil yang mana memuat aturan umum dan larangan disertai ancaman sanksi.
3. Tindakan dan upaya-upaya yang harus dilakukan negara melalui alat perlengkapannya terhadap pelaku tindak pidana, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana, serta upaya yang dapat ditempuh oleh pelaku untuk melindungi dan mempertahankan haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana. Aspek ini berisi tentang hak dan kewenangan negara dalam menegakkan hukum pidana. Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua
merupakan hukum pidana materiil tidak berdampak bilamana tidak
dilaksanakan melalui hukum pidana dalam arti formil berupa tindakan alat
perlengkapan negara pada aspek ketiga.
Negara melalui alat perlengkapannya dalam menjalankan fungsi
melindungi kepentingan hukum, secara represif diberi hak dan kekuasaan
untuk menjatuhkan pidana. Pidana dalam hukum pidana adalah suatu alat
45 Ibid., hlm. 2-5.
dan bukan tujuan dari hukum pidana. Tujuan utama hukum pidana adalah
ketertiban. Penjatuhan sanksi pidana oleh negara menjadi dasar untuk
mencari alasan dan tujuan negara dalam menjalankan haknya dengan
melanggar hak pribadi orang. Adapun tujuan pemidanaan dapat digolongkan
menjadi 3, yaitu.46
a. Teori absolut atau teori pembalasan,
b. Teori relatif atau teori tujuan,
c. Teori gabungan
Dasar pembenar dari penjatuhan pidana menurut teori absolut adalah
pembalasan sebagai akibat mutlak terhadap orang yang melakukan
kejahatan. Pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan rasa
keadilan. Menurut Nigel Walker teori retributif dibagi dalam beberapa
golongan, yaitu
a. teori retributif murni, bahwa pidana harus sesuai dengan kesalahan
pelaku;
b. teori retributif tidak murni, terbagi dalam :
1) teori retributif terbatas, yaitu pidana tidak harus sesuai dengan
kesalahan namun tidak boleh melebihi batas sesuai kesalahan
terdakwa;
2) teori retributif distributif, yaitu pidana tidak boleh dikenakan pada
orang yang tidak bersalah, tetapi juga pengenaan pidana tidak
harus sesuai dan dibatasi oleh kesalahan.
Pemidanaan menurut teori pembalasan mempunyai maksud memberi
efek jera atas pidana yang dijatuhkan sehingga pelaku merasakan derita
seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukan sehingga diharapkan
mampu menciptakan kembali ketertiban dalam masyarakat.
Teori relatif atau tujuan berpangkal pada pemidanaan sebagai sarana
untuk melindungi kepentingan masyarakat bukan untuk memuaskan
46 Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op. cit., hlm. 18.
Lihat juga dalam Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Ed.2, ctk. I., Jakarta, 2007, hlm. 59-62.
tuntutan absolut dari keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana
mempunyai sifat pencegahan, yaitu.47
1. Pencegahan umum dimaksudkan pengaruh pidana pada masyarakat
pada umumnya dengan mempengaruhi tingkah laku anggota
masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.
2. Pencegahan khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana
untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pidana disini bertujuan agar
terpidana dapat berubah dan berguna bagi masyarakat, teori ini
dikenal dengan Rehabilitation Theory.
Teori relatif lebih tepat disebut teori reduktif karena dasar pembenaran
pidana terletak pada upaya mengurangi frekuensi kejahatan, bukan hanya
pembalasan melainkan mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh
karena itu pula disebut dengan utilitarian theory.
Sedangkan pada teori gabungan mendasarkan pada asas pembalasan
dan asas pertahanan ketertiban masyarakat. Teori gabungan dapat dibedakan
atas.48
1. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, namun tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan cukup untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Penjatuhan pidana mempunyai makna pembalasan dengan maksud untuk melindungi tata tertib hukum.
2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidana dalam undang-undang, yang apabila tidak cukup kuat dan efektif maka diadakan pencegahan khusus seperti menakuti, memperbaiki, dan membinasakan. Kebijakan hukum pidana atau kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana merupakan suatu proses bagaimana hukum pidana
47 Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 18. Teori relatif bertolak pada tiga tujuan utama
pemidanaan, yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Khusus mengnai tujuan preventif dan detterence, menurut Jeremy Bentham ada empat tujuan utama pidana: (1) mencegah semua pelanggaran, (2) mencegah pelanggaran yang paling jahat, (3) menekan kejahatan, (4) menekan kerugian/ biaya sekecil-kecilnya. Lihat dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 96.
48 Adami Chazawi, op. cit., hlm. 162-163.
dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat
undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan
yudikatif), dan kebijakan aplikasi (kebijakan eksekutif).49
Kebijakan legislatif dipandang sebagai tahap yang menentukan karena
pada tahap ini proses kriminalisasi sebagai proses penetapan suatu
perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana mulai
terbentuk untuk kemudian diatur dalam peraturan perundang-undangan
dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kebijakan aplikasi merupakan kebijakan hukum pidana yang berkaitan
dengan penerapan perundang-undangan hukum pidana sebagai kebijakan
yudikatif dengan melibatkan polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan petugas
lembaga pemasyarakatan selaku aparat penegak hukum serta masyarakat,
dimana keseluruhan elemen ini merupakan penegakan hukum dalam
kerangka sistem peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan.
Kebijakan hukum pidana pada tahap aplikasi tidak dapat dilepaskan dengan
kebijakan legislatif yang telah memberi legitimasi tahap-tahap selanjutnya,
berupa perumusan tindak pidana, sanksi pidana termasuk mekanisme sistem
peradilan pidana sebagai penegakan hukum pidana yang diharapkan efektif.
Crime policy termasuk sistem peradilan pidana, menurut La Patra,
dikatakan efektif apabila mampu mengurangi kejahatan, baik dalam hal
pencegahan (prevention of crime) maupun dalam hal melakukan perbaikan
terhadap pelaku kejahatan (rehabilitation of criminals). Peradilan pidana
tidak hanya dilihat sebagai sistem penanggulangan kejahatan, melainkan
juga sebagai social problem yang sama dengan kejahatan karena tingginya
tingkat kejahatan menjadi indikator bahwa sistem peradilan pidana yang
tidak efektif menjadi faktor kriminogen dan viktimogen. Kebijakan hukum
pidana pada tahap eksekutif merupakan kebijakan pelaksanaan dari apa
yang telah ditetapkan dalam kebijakan yudikatif, dengan mendasarkan pada
sistem pemidanaan yang telah direncanakan dengan tepat dan efektif apabila
49 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 18.
dikenakan terhadap terpidana, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan
dalam hukum pidana.50
Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum, khususnya hukum pidana, melalui pembuatan
peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral dari politik sosial
dalam upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat.
Namun demikian dalam pembuatan peraturan perundang-undangan pidana
yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan dan
hal demikian akan nampak dalam perumusan sanksi pidana yang
diancamkan.51
Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana
menanggulangi kejahatan harus memperhitungkan semua faktor yang dapat
mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya sehingga
kriminalisasi harus terus dilakukan evaluasi karena, menurut Sudarto,52
pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang
mengetahui tentang adanya sanksi pidana namun demikian intensitas
pengaruhnya tidak sama antara tindak pidana satu dengan tindak pidana
lainnya. Dinamika hukum pidana semakin diandalkan dalam mengatur dan
menertibkan masyarakat dapat dilihat dari adanya kebijakan sanksi pidana
melalui pencantuman ketentuan pidana dalam perumusan peraturan
perundang-undangan.
Perumusan dan penyelenggaraan hukum pidana, menurut Mardjono
Reksodiputro, harus memperhatikan sejumlah asas yaitu:53
50 Supanto, Delik Agama, ctk. 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2007, hlm. 50-57. 51 Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 29-30. 52 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 20. Penggunaan hukum
pidana sebagai salah satu sanksi sosial sebagaimana diungkapkan Nigel Walker memiliki keterbatasan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang sampai dimana tapal batas penggunaan hukum pidana. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 131.
53 Mokhammad Najih, op. cit., hlm. 43.
1. asas masuk akalnya kerugian yang dapat digambarkan oleh perbuatan tersebut (dapat mempunyai aspek moral, tetapi seharusnya merupakan “public issues”);
2. asas toleransi terhadap perbuatan tersebut (penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan erat dengan ada atau tidaknya toleransi: toleransi didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggung jawab individu);
3. asas subsidiaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan apakah kepentingan hukum yang terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi dngan cara lain; hukum pidana hanya ultimum remidium);
4. asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang digambarkan dengan batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dan dengan pidana yang diberikan);
5. asas legalitas telah dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan baik hingga kepentingan hukum yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas kesalahan sebagai sendi utama hukum pidana);
6. asas penggunaannya secara praktis dan efektivitasnya, berkaitan dengan kemungkinan penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum.
Menurut Barda Nawawi Arief, proses kriminalisasi harus
memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut. 54
1. Penggunaan hukum harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat;
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benafit principles) juga biaya sosial, dimana usaha untuk mengkriminalisasi harus seimbang dengan hasilnya;
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum agar tidak terdapat kelebihan beban kerja yang mengakibatkan peraturan menjadi tidak efektif (overblasting).
Pertimbangan kriminalisasi tersebut diatas umumnya dilakukan
dilakukan dengan alasan:
54 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 50-51.
a. adanya korban;
b. kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;
c. harus berdasarkan asas ratio principle; dan
d. adanya kesepakatan sosial.
Alasan yang menyebutkan adanya korban disini adalah perbuatan
tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan
kerugian. Konsep hukum pidana sebagai social defence mempunyai
konsekuensi bahwa pendekatan kebijakan yang rasional namun juga
ekonomis, antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat dengan
digunakannya hukum pidana dengan efektivitas sanksi pidana perlu
dipertimbangkan. Pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang
ekonomis (economical detterence) apabila dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
b. pidana tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/
merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana tidak
dikenakan;
c. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan
bahaya/ kerugian yang lebih kecil.
Mengenai kriminalisasi dan dekriminalisasi, Muladi memberikan
batasan-batasan atau kriteria ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara
doktrinal harus berpedoman pada:55
a. kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”;
55 Mokhammad Najih, op. cit., hlm. 35. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto, Sosiologi
Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1987, hlm. 156. Suatu proses dekriminalisasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang kebijakan, antara lain : 1. Sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu. 2. Adanya kemungkinan nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku
tertentu mengalami perubahan. 3. Timbul keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-
sanksi negatif tertentu. 4. Adanya keinginan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif
tertentu sangat besar. 5. Terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan
menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum.
b. kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; c. kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing); d. kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan
prinsip ultimum remidium; e. kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforcable”; f. kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); g. kriminalisasi harus mengandung unsur “subsocialiteit”
(mengakibatkan biaya bagi masyarakat, sekalipun kecil); h. kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap
peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.
Hukum pidana dapat menjadi primum remidium jika:56
a. korban sangat besar;
b. terdakwa residivis;
c. kerugian tidak dapat dipulihkan.
Penggunaan hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan perlu
memperhatikan fungsi hukum pidana yang subsider, digunakan apabila
upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberikan hasil yang memuaskan.
Namun bilamana hukum pidana tetap akan dilibatkan, maka perlu melihat
hubungan keseluruhan politik kriminal sebagai bagian integral dari rencana
pembangunan nasional.57 Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan kriminal, demikian juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan upaya perlindungan bagi masyarakat dan upaya untuk mencapai
kesejahteraan dalam bentuk perencanaan program pembangunan secara
keseluruhan tercakup dalam kebijakan pembangunan nasional. Pendekatan
sistematik diperlukan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai
satu-kesatuan dengan kebijakan pembangunan nasional, mulai dari
keseluruhan penentuan hukum pidana substantif dan hukum acara pidana;
meliputi pemasukan proses dekriminalisasi, depenalisasi, dan diversi, baik
mengenai pembaharuan prosedurnya yang menjamin dukungan warga
56 Menurut H.G de Bunt dalam Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media , Jakarta, 2003, hlm. 77.
57 Barda Nawawi dan Muladi, op.cit., hlm. 129.
masyarakat maupun mengadakan tinjauan terhadap keberadaan semua
kebijakan dengan memperhitungkan segala akibatnya.58
Namun demikian dalam menghadapi perkembangan delik-delik baru,
perlu dipikirkan alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahan.59
Skala prioritas pembangunan dalam sistem ekonomi yang berimbang
dimana faktor ekonomi merupakan primadona karena leverage effect yang
diharapkan terhadap bidang-bidang pembangunan yang lain, seringkali
pendekatan non penal lebih dikedepankan daripada menggunakan sarana
penal. Meskipun secara teoritik tidak menguntungkan, sebab dalam kasus-
kasus yang serius pertimbangan pemidanaan dinilai penting yaitu untuk
tujuan moral dan deterrent effect. Namun demikian alasan untuk
menggunakan hukum pidana lebih beralasan mengingat viktimologis yang
sangat luas.60
Hukum pidana akan selalu dimanfaatkan dalam upaya
penanggulangan kejahatan sehubungan dengan perkembangan masyarakat
dalam pembangunan sebagai keterlibatan hukum pidana, yang dapat bersifat
otonom dalam arti bersifat murni dalam perundang-undangan hukum pidana
baik dalam merumuskan perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum,
dalam penentuan pertanggungjawaban pidananya, maupun dalam
penggunaan sanksi pidana dan tindakan yang diperlukan. Keterlibatan
hukum pidana yang bersifat komplementer terhadap bidang hukum lain,
misalnya hukum administrasi, hukum pidana berkedudukan sebagai
penunjang penegakan hukum lain, misalnya pengaturan masalah perpajakan,
58 Supanto, op.cit., hlm. 40. 59 Permasalahan yang muncul adalah mengenai pemilihan dan penetapan pidana apa yang
paling tepat, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious” Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op.cit., hlm. 132.
60 Penal intervention becomes essential in many and diversified field of business practices
in order to control conducts which pose a threat to the life, health, property, and happiness of the general public. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. I, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 18.
hak cipta, paten, dan sebagainya, dalam hal-hal tertentu diharapkan bersifat
fungsional mengingat situasi perekonomian yang kurang menguntungkan.61
Kompleksitas karakteristik pasar turut mempengaruhi masalah hukum yang
dihadapi, terutama berkaitan dengan kejahatan bisnis di bidang perbankan
dan keuangan sehingga terdapat beberapa aspek hukum yang melingkupi
yaitu hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Konsekuensi
yang logis dari keadaan dan masalah hukum berkaitan dengan pelanggaran
dalam kejahatan bisnis yang telah mencapai titik mengkhawatirkan,
sementara perangkat hukum untuk menemukan pelaku dan menghukumnya
sudah tidak memadai, maka diperlukan perangkat hukum lain untuk
menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta keadilan bagi para
pelaku dan pihak yang dirugikan. Perangkat hukum ini adalah hukum
pidana.62
2. Penanggulangan Tindak Pidana Menggunakan Sarana Di Luar Hukum
Pidana (Non-Penal Policy)
Politik kriminal dapat dilakukan dengan menggunakan baik sarana
penal maupun sarana non penal (prevention without punishment). Sarana
penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi
sampai dengan pelaksanaan pidana. Sedangkan sarana non penal pada
dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik
sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi.63
Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam kategori
berikut:
61 Supanto, op.cit., hlm. 41-44. 62 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 34-36. 63 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, ctk. I,
The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 156.
1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan
publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan,
dengan target masyarakat umum.
2. Secondary prevention; targetnya adalah calon-calon pelaku.
3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan
kejahatan.
Oleh karena hukum pidana hanya merupakan salah satu cara saja
maka secara bersamaan juga perlu dilakukan upaya-upaya lain secara
sinergis untuk menanggulangi kejahatan. Walaupun demikian penggunaan
hukum pidana tetap diperlukan sebagai sarana pencelaan masyarakat dan
negara terhadap kejahatan dan pelakunya, dengan memperhatikan 6 prinsip
menurut Nigel Walker, yaitu:64
1. Hukum pidana tidak digunakan dengan tujuan semata-mata untuk pembalasan;
2. Tindak pidana yang dilakukan harus menimbulkan kerugian dan korban yang jelas.
3. Hukum pidana tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai.
4. Kerugian yang ditimbulkan pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat tindak pidana.
5. Mendapat dukungan masyarakat. 6. Dapat diterapkan secara efektif.
Penanggulangan kejahatan dengan jalur “non penal” lebih
menitikberatkan pada sifat-sifat “preventive” (pencegahan) sebelum
kejahatan terjadi namun walaupun demikian sebenarnya penanggulangan
dengan “penal” juga merupakan tindakan represif pada hakikatnya juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Sasaran utama dari
penanggulangan “non penal” adalah menangani faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain
berpusat pada kondisi-kondisi sosial secara langsung maupun tidak
langsung dapat menimbulkan bahkan menumbuhsuburkan kejahatan.
64 Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
Ed. Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.78.
Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan
global, maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari
keseluruhan upaya politik kriminal.65
Sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan
pula dalam berbagai kongres PBB mengenai The Prevention Of Crime And
The Treatment Of Offenders, salah satu hasil kongres tersebut
menyebutkan.66
a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang.
b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
c. Penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi ras dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk.
Proyek-proyek dan program-program pembangunan direncanakan dan
dilaksanakan disesuaikan dengan kenyataan lokal, regional, dan nasional
didasarkan pada penilaian dan perkiraan yang nyata mengenai
kecenderungan sosial, ekonomi pada masa sekarang dan masa yang akan
datang, meliputi kejahatan dan kajian terhadap pengaruh sosial dan akibat
keputusan kebijakan serta penanaman modal. Pembangunan bukan sebagai
penyebab timbulnya kejahatan atau sebaliknya, tetapi aspek-aspek dari
pembangunan yang memunculkan faktor kriminogen berkaitan dengan
permasalahan perkembangan masyarakat industri yang sangat kompleks
dengan segala kemajuan teknologi sehingga kemudian muncul kriminalitas
kontemporer, misalnya kejahatan di bidang lingkungan hidup, sumber
energi, dan pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan perbankan,
komputer, penipuan konsumen, dan berbagai pola kejahatan korporasi.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian
integral dari kebijakan hukum pidana, dan menjadi bagian integral dari
65 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 40. 66 Ibid., hlm. 41.
politik sosial yaitu kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial sekaligus
perlindungan masyarakat sebagaimana tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945.67
Kejahatan merupakan gejala, dimana sebab-sebab yang menjadi faktor
kondusif timbulnya kejahatan tidak dapat diatasi dengan hanya
menggunakan upaya “penal”, disinilah letak keterbatasan jalur “penal” yang
perlu ditunjang dengan oleh jalur “non penal”. Demikian pula dengan
efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak
diketahui seberapa jauh pengaruhnya.68
Memilih dan menetapkan pidana yang paling tepat terutama dalam
menghadapi perkembangan tindak pidana yang dinilai baru, perlu dipikirkan
alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahannya, dengan
mengamati masalah-masalah yang berhubungan dengan badan hukum dan
perbankan sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Apabila
hakikat permasalahannya lebih bersifat tindakan-tindakan di bidang hukum
perekonomian, maka sanksi yang dinilai sesuai berupa tindakan tata tertib
dan sanksi pidana denda harus lebih diutamakan. Dengan mengingat
prioritas dalam perkembangan masyarakat yang sedang membangun.69
67 Supanto, op. cit., hlm. 41-44. 68 Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu Negara tidaklah
berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam masyarakat. Lebih lanjut dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 44-49.
69 Sebagaimana dinyatakan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is roundless,
needless, unprofitable, or inefficacious”. Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, loc.cit., hlm. 132. Perkembangan hukum ekonomi pada umumnya dan tindak pidana di bidang perekonomian khususnya, selain dipengaruhi kondisi-kondisi ekonomi internasional juga dipengaruhi oleh sistem ekonomi negara dan tidak lepas dari rezim yang berkuasa dan sistem pemerintahan yang digunakan. Sehingga terjadi pergeseran dalam fungsi pemidanaan dalam tindak pidana bidang perekonomian, dari pendekatan tradisional ke arah pendekatan kemanfaatan dimana fungsi hukum pidana tidak hanya diarahkan pada kesalahan individual tetapi juga diarahkan pada perlindungan public order yang direkayasa sesuai dengan kebutuhan pembangunan saat tertentu. Lihat dalam Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, op. cit., hlm. 13-14.
Romli Atmasasmita mencermati perbedaan hukum memang diakui
dalam ilmu pengetahuan hukum namun bukan berupa pemisahan atau
pembagian hukum berdasar obyek pembahasannya, misal : perdata, pidana
dan tata negara. Presumsi pembagian atau pemisahan yang demikian kurang
tepat untuk perkembangan masyarakat yang kompleks. Implikasi hukum
dalam perkembangan bidang kehidupan masyarakat salah satunya adalah
peranan hukum mana yang seharusnya dikedepankan untuk mendukung
perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.70
D. Hukum Ditinjau dari Teori Hukum
1. Pengertian Hukum dalam Kajian Positivisme
Hukum dalam pandangan positivisme, menurut H.L.A. Hart dianggap
sebagai: (a) undang-undang adalah perintah-perintah manusia, (b) anggapan
bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum
yang ada dan yang seharusnya ada, (c) anggapan bahwa analisis konsepsi
hukum layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian historis
mengenai sebab-sebab atau asal dari undang-undang, dihindarkan dari
penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial
lainnya, (d) anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem hukum yang
logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu
tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma
moral, dan (e) anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat
70 Hukum pidana hanya merupakan salah satu sarana disamping sarana lain untuk
pemulihan di bidang ekonomi. Kondisi stabilitas politik ikut menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi, hal ini membuktikan bahwa kebijakan hukum pidana dan kebijakan ekonomi harus saling berkaitan. Kebijakan pemerintah dalam memberlakukan ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana di bidang perbankan seperti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan bentuk kontrol yang ketat terutama terhadap bank-bank swasta nasional, sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, merupakan faktor penunjang dalam rangka mencegah bank melakukan kejahatan sehingga sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium dapat berfungsi. Lihat dalam Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 25.
dipertahankan, antara pernyataan tentang fakta dan alasan-alasan yang
rasional, petunjuk, atau bukti.71
Esensi hukum menurut Hart terletak pada penggunaan unsur paksaan
oleh karena itu hukum cenderung bersifat formal, jelas dan diinstitusikan
secara sengaja. Kelsen tegas menyatakan bahwa hukum adalah suatu tata
perbuatan manusia dalam suatu sistem aturan-aturan dan hukum dipahami
sebagai seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan melalui
sistem hukum.72
2. Teori Stuffenbau
Hukum adalah legal, bilamana undang-undang dan peraturan yang
ditentukan menurut kriteria yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan
yuridis.73 Karakter dinamis dari sistem norma dan fungsi norma dasar
mengungkapkan kekhasan hukum, dimana hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk
membuat norma hukum yang lain hingga derajat tertentu, menentukan isi
dari norma hukum yang lain. Sehingga antara norma satu dengan lainnya
membentuk hubungan ”superordinasi” dan ”subordinasi”, dimana norma
yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi,
sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang
lebih rendah. Suatu peraturan baru dapat diakui legal, bila tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang
yang lebih tinggi, yang dikenal dengan teori Stufenbau. Teori stuffenbau
71 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005, hlm. 61.
72 Ibid., hlm. 62. 73 Hukum yang diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan suatu tatanan hukum
tertentu, maka hukum adalah sesuatu yang teleh dibuat menurut prosedur yang ditetapkan konstitusi yang menjadi dasar bagi tatanan hukum tersebut. Disebut sebagai norma hukum bilamana segala sesuatu yang telah dibuat sesuai prosedur tersebut berisikan norma untuk mengatur perbuatan manusia, dengan menetapkan suatu tindakan paksaan sebagai sanksi. Lihat dalam Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, ctk. I. Nusamedia, Bandung, 2006, hlm. 178.
memperlihatkan bahwa seluruh sistem hukum mempunyai suatu struktur
piramida, mulai dari yang abstrak sampai yang konkret.74
Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum
(Stufentheorie) dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, dalam arti, suatu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar
(Grundnorm).75 Norma, menurut Hans Kelsen, merupakan suatu kesatuan
dengan struktur piramida. Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus
menerus, mulai dari abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya sampai
menjadi yang konkrit, dimulai dari yang bersifat relatif. Hal ini berkaitan
dengan fungsi sistem hukum yaitu mengusahakan keseimbangan tatanan
dalam masyarakat (restitutio in integrum), dimana sistem hukum bersifat
kontinu, berkesinambungan dan otonom.76
Susunan hirarkis tatanan hukum suatu negara secara umum, dengan
mempostulasikan norma dasar, dalam hal ini identik dengan konstitusi,
menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi dalam arti
materiil tidak hanya menentukan organ-organ dan prosedur pembentukan
undang-undang, namun pada derajat tertentu menentukan isi dari hukum
yang akan datang, baik secara negatif maupun positif, dengan melarang
hukum dan mengamanatkan isi hukum.77
74 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 44. Suatu tatanan
urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda, kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Rangkaian proses pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi membentuk suatu kesatuan tatanan hukum. Hans Kelsen, op. cit., hlm.179.
75 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (1), Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 41-44. 76 Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ed. Revisi, Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 7. 77 Konstitusi dalam hal ini dipahami bukan dalam arti formal berkaitan dengan suatu
dokumen resmi, yang pembentukannya membutuhkan ketentuan khusus, melainkan dipahami dalam arti materiil terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma
Teori Fuller menekankan pada isi hukum positif oleh karena itu harus
dipenuhi delapan (8) asas yang disebut principles of legality, yaitu.78
1. Suatu sistem hukum yang harus mengandung suatu peraturan-peraturan, tidak boleh, mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad-hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3. Tidak boleh peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila
ada yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu bilamana menjadi pedoman tingkah laku, membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Lebih lanjut, Fuller juga mengemukakan tentang adanya cita-cita
kekuasaan hukum yang menuntut agar aturan-aturan bersifat adil, karena
telah dikembangkan berbagai prinsip yang dipedomani dalam pembuatan
hukum.79 Hal tersebut diperkuat oleh Gustav Radbruch yang
mengemukakan bahwa cita hukum tersebut ditopang oleh kehadiran tiga
nilai dasar (Grundwerten), yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan
(Zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (Rechtssicherkeit).80 Nilai-nilai
dasar tersebut tidak selalu dalam hubungan serasi satu sama lain,
melainkan saling berhadapan, bertentangan, muncul ketegangan
hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan undang-undang. Hans Kelsen, op.cit., hlm. 180.
78 Khudzaifah Dimyati, op. cit., hlm. 64. 79 Ibid., hlm. 61.
80 Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, ctk. I, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm.
135. Namun pada perkembangannya terdapat kritik yang mengemukakan bahwa tujuan hukum, sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch sebelumnya, harus dilihat kasus per kasus.
(Spannungsverhaeltnis) satu sama lain. Keadilan bisa bertabrakan dengan
kemanfaatan dan kepastian hukum, tuntutan kemanfaatan bisa
bertabrakan dengan keadilan dan kepastian hukum, dan seterusnya.
Cita hukum makin menonjol ketika terjadi perkembangan menuju
hukum modern yang ditandai dengan dituliskan atau dipositifkan hukum,
sehingga turut memunculkan permasalahan yang tidak ada sebelumnya,
yaitu kepastian sebagai wacana yang baru dalam perkembangan hukum
dibanding nilai-nilai dasar lainnya yaitu keadilan dan kemanfaatan.
Positivisme hukum memang harus dilepaskan dari moral dan keadilan,
namun demikian dalam proses pembentukan hukum positif, secara
substantif ditujukan untuk mencapai nilai-nilai dasar yang utama yaitu
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah buku dengan judul
“Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di
Bidang Perbankan”, M. Arief Amrullah, Bayu Media Publishing, Malang,
2007. Pembahasan berupa politik hukum pidana dalam rangka perlindungan
korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, dengan salah satu sampel
berupa kasus penyalahgunaan dana BLBI.
F. Kerangka Berpikir
Bank Indonesia sebagai lender of the last resort, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 1968 menyebutkan
bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank
untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Adapun kebijakan
yang diambil oleh pemerintah bersama Bank Indonesia berupa bantuan dan
jaminan pemerintah dalam bentuk BLBI bertujuan untuk menyehatkan
manajemen dan kinerja di sector perbankan nasional. Kesalahan pengelolaan
keuangan Negara, terkait dengan penyaluran dan penyalahgunaan dana BLBI
mengakibatkan timbulnya kerugian Negara. Tindak pidana di bidang
perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan bukan untuk menyehatkan
manajeman dan kinerja perbankan nasional, melainkan disalahgunakan untuk
keperluan pribadi pemilik bank, sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi
perbuatan yang melanggar hukum. Tindak pidana di bidang perbankan berupa
penyalahgunaan dana BLBI mengarah dapat mengarah pada tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Sedangkan pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK) terjadi karena pemberian kredit bank yang seharusnya dibatasi pada
unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan tidak dipatuhi
sehingga dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-
Undang Perbankan.
Menurut stuffenbau theorie, Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002
tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang
Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham dinilai tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Tap MPR/Nomor III/Tahun 2000
tentang Tata Urutan Perundang-undangan. Pola kebijakan yang ditempuh
dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan BLBI dapat dikategorikan sebagai
kebijakan inkremental, dimana penyelesaian yang ditempuh tidak mengalami
perubahan mendasar melainkan hanya melanjutkan kebijakan sebelumnya.
Penyalahgunaan dana BLBI yang telah mengakibatkan timbulnya
kerugian Negara sebenarnya telah tegas melanggar Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana mekanisme pengembalian kerugian
Negara telah jelas pula harus melalui court settlement meskipun terdapat
pengembalian uang Negara tetap tidak menghapuskan sifat dapat dipidana.
Namun demikian guna mendorong pengembalian dana BLBI tersebut,
pemerintah mengupayakan penyelesaian secara out of court settlement berupa
Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing
and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan Utang hingga
dikeluarkannya kebijakan yang kemudian menjadi dasar hukum penyelesaian
out of court settlement serta pembebasan debitur dari aspek pidana melalui
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau
Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham maka upaya penal
dikesampingkan. Upaya non penal digunakan dengan pertimbangan efisiensi
antara biaya dan hasil dalam upaya pengembalian uang Negara dan adanya
kelemahan pada sarana penal.
Adapun kerangka pemikiran dapat terlihat pada bagan di bawah ini.
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge
Teori Stuffenbau
Kebijakan Hukum Pidana
Sarana penal Sarana non penal
Alasan Memilih Sarana Non Penal dalam
Penyelesaian Kasus BLBI
1. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
1. Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA),
2. Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan
3. Akte Pengakuan Utang.
Kebijakan Publik
Teori penal policy menurut Soedarto dan Mardjono Reksodipuro
Teori non penal policy menurut Nigel Walker dan Bentham
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Pandangan terhadap pengertian hukum dan sejauh mana batasan hukum
serta bagaimana merumuskan hukum yang baik terus berkembang sehingga
memunculkan aliran-aliran dalam filsafat hukum untuk mencari pengertian
dan batasan-batasan hukum. Mengikuti pendapat Soetandyo Wignjosoebroto,
terdapat lima konsep hukum, yaitu.81
a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal;
b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional;
c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law;
d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik;
e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.
Penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif dan
termasuk dalam konsep hukum yang kedua, yaitu hukum adalah norma-norma
positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilaksanakan dengan cara
meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif
bertujuan untuk memahami adanya hubungan antara ilmu hukum dan asas
hukum positif adalah dengan melakukan telaah terhadap unsur-unsur hukum,
mencakup.82
a. Penelitian terhadap asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematik;
81 Setiono, Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana UNS, Surakarta, 2005, hlm. 20. 82 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ed. 1 ctk. 10, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 14.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal;
d. Penelitian perbandingan hukum;
e. Penelitian sejarah hukum.
Adapun penelitian hukum normatif yang hendak dilakukan adalah
melakukan penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara vertikal suatu Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2002 terhadap peraturan perundang-undangan yang
ada diatasnya, berdasarkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundangan yang menjadi dasar bagi
penyusunan suatu produk hukum, yang kemudian difokuskan pada Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.
Berdasarkan bentuknya penelitian ini, terutama permasalahan kedua,
dapat dikategorikan sebagai penelitian diagnostik yang dilakukan untuk
mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau
beberapa gejala.83
Penelitian dengan judul Studi Analisis Instruksi Presiden Nomor 8
Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur
Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada
Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana untuk
membahas permasalahan pertama menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan, dengan melihat hukum sebagai bahan hukum utama,
dengan fokus pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang
83 Setiono, op. cit., hlm. 5.
Saham sebagai suatu bentuk kebijakan yang menjadi dasar hukum, dalam
perumusannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yaitu Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urut Peraturan Perundangan sebagai dasar pembentukan produk hukum pada
masa pembentukkannya, dengan mensinkronkan substansi kebijakan
penyelesaian kasus BLBI yang terdapat dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; sedangkan pada
permasalahan kedua menggunakan pendekatan konsep mengenai kebijakan
hukum pidana.84
B. Jenis Data
Adapun data yang digunakan dalam penelitian normatif merupakan
jenis data sekunder, mencakup :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain
peraturan perundangan yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian
ini, terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut
Peraturan Perundangan sebagai dasar pedoman pembentukan Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer diperoleh dari literatur, catatan, karya ilmiah, buku-buku,
dokumen.
84 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, 2007, hlm. 231.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan yang
dapat memberi informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Bahan
hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup.85
1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Misalnya, abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, internet.
2. Bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum. Misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat daan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan yaitu suatu
pengumpulan dokumen-dokumen, buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang
mendukung berkaitan dengan pembahasan penelitian dalam hal ini peneliti
mengumpulkan data-data dengan cara mempelajari buku-buku dan bahan
pustaka lainnya yang berkaitan dengan pokok-pokok bahasan penelitian serta
dokumen-dokumen atau berkas-berkas lain yang diperoleh kemudian dikaji
secara komprehensif.
D. Analisis Data
Analisa data dilakukan dengan menginventarisasi peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian dengan menggunakan ilmu
interdisipliner untuk mendukung penelitian yang hendak dilakukan. Analisis
data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah
yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah pokok
85 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hlm. 33.
permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat deskriptif.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik logika deduktif.86
Logika deduktif yaitu penarikan kesimpulan secara deduktif dari premis
yang umum (premis mayor) kepada premis khusus (premis minor), melalui
suatu konstruksi silogisme. Silogisme dalam bidang hukum dimulai dari suatu
premis mayor yang merupakan statement normatif, sehingga silogisme seperti
itu disebut dengan silogisme logika normatif (norm-logic syllogism).87 Premis
mayor dalam penelitian ini adalah kebijakan hukum pidana, sedangkan premis
minornya adalah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham.
86 Ibid., hlm. 249. Logika deduktif dimaksudkan untuk membangun sistem hukum positif. Lihat dalam Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ctk.4, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 10.
87 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007,
hlm. 26.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia
1. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia Menurut Teori
Stuffenbau
Teori jenjang norma Hans Kelsen mengenai struktur piramida norma
hukum memiliki pengaruh yang memberi dasar pengaturan sistem norma di
Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/
Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan ditegaskan bahwa
tata urutan perundang-undangan sebagai pedoman dalam pembuatan aturan
hukum dibawahnya meliputi.88
(1) Undang Undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-Undang
(4) Perpu
(5) Peraturan Pemerintah
(6) Keputusan Presiden
88 Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Tap MPR No. III/MPR/2000
mengandung arti bahwa : a. Aturan yang lebih rendah merupakan aturan pelaksana dari aturan yang lebih tinggi; b. Aturan yang lebih rendah tidak boleh mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih
tinggi; tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipkan suatu ketentuan baru, tidak memodifikasi substansi dan pengertian yang telah ada dalam peraturan induknya.
Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 104. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan fokus pada Tap MPR Nomor III Tahun 2000 yang menjadi dasar pedoman pembuatan peraturan perundang-undangan berdasarkan waktu pembuatan kebijakan sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
(7) Peraturan Daerah
Hirarki merupakan penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-
undangan yang didasarkan pada asas lex specialis derogate lex generalis,
dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.89
Kendati bersifat hirarkis bukan berarti dalam hal perumusan dan penetapan
suatu peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau merupakan
perincian teknis dari peraturan perundang-undangan yang berada persis
diatasnya. Penyusunan hirarki dilakukan dalam upaya menyinkronkan atau
menghindari konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Sehingga suatu
peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara efektif.90
Meskipun tidak dikenal dalam sistem ketatanegaran Indonesia,
sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000
tentang Tata Urutan Perundang-undangan, kebijakan pemerintah berupa
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan
Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham (dikenal dengan Release and Discharge), 91 baik dari segi
keabsahan, meskipun telah diajukan judicial review atas Inpres Nomor 8
89 Muin Fahmal, op. cit., hlm. 2. 90 Imam Syaukani dan A. Ahsani Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Ed.1, ctk. 2, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 85-86. Efektivitas hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) tkomponen menurut Lawrence M. Friedmann, meliputi (1) Struktur, (2) Substantif, dan (3) Kultur. Komponen substansi berupa norma-norma hukum baik peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan, ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan ketidakefisienan hukum. Lihat dalam Esmi Warassih, op. cit., hlm.138.
91 Instruksi dinilai tidak tepat disebut sebagai peraturan perundang-undangan karena
instruksi bersifat individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak dan berlaku terus-menerus. Lihat dalam Maria Farida, op.cit, hlm. 79-80.
Tahun 2002 dan ditolak oleh Mahkamah Agung,92 maupun efektivitas
pelaksanaannya yang selalu diperdebatkan tetap dikeluarkan dan berlaku
sebagai dasar hukum bagi upaya penyelesaian kasus tindak pidana korupsi
BLBI. Namun dalam pembahasan ini akan dibatasi pada sinkronisasi Inpres
Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum
Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan
Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga sebagai bentuk
kebijakan yang kemudian menjadi suatu produk hukum, Inpres Nomor 8
Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur
Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada
Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Tap MPR Nomor III Tahun 2000.
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 ini berlaku intern bagi (1)
Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite
Kebijakan Sektor Keuangan; (2) Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia; (3) Para Menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan; (4)
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;(5) Jaksa Agung Republik
Indonesia; (6) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan (6) Ketua
Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Adapun instruksi tersebut memuat
tindakan-tindakan guna mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka penyelesaian
seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik
yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU,
dengan berpedoman pada kebijakan sebagai berikut :
92 Keputusan penolakan gugatan judicial review ditetapkan dalam Surat Putusan MA No.
06G/HUM/2003 tanggal 30 Desember 2003.
1. Kepada para Debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang
Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan
Utang/APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan
pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur
dalam perjanjian-perjanjian tersebut ;
2. Kepada para Debitur yang sedang melakukan penyelesaian sesuai dengan
perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang
berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberi
kesempatan untuk terus dan secepatnya menyelesaikan kewajiban-
kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh Komite
Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ;
3. Kepada para Debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia
menyelesaikan kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan
Nasional baik dalam rangka MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan
Utang/APU sampai dengan berakhirnya batas waktu yang telah
ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), diambil
tindakan hukum yang tegas dan konkret, yang dilaksanakan secara
terkoordinasi antara Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional,
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung
Republik Indonesia;
4. Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang
terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau
penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan
dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang
pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pembuatan kebijakan, dalam hal ini Inpres No. 8 Tahun 2002 harus
memperhatikan asas-asas legalitas yang berlaku dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum dan moral. Asas hukum merupakan sumber pokok dan jiwa dari
norma-norma yang berlaku serta merupakan landasan penerapan norma dan
leading motive dari norma-norma hukum tersebut. Penerapan norma hukum
yang mengabaikan atau melupakan asas-asas hukum merupakan penerapan
yang tanpa arah dan kehilangan landasan untuk berpijak dalam
menyelesaikan kasus-kasus hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Perangkat kaidah atau dikenal dengan norma-norma harus
memenuhi asas lex certa yaitu rumusan harus pasti (certainty), jelas
(concise), dan tidak membingungkan (unambiguous). Penerapan norma-
norma tersebut harus dilandasi asas hukum yang telah diakui, misalnya asas
nebis in idem dalam hukum pidana, asas konsesuil dalam hukum perdata,
dan asas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dalam hukum
tata Negara.93
Pedoman dalam pembuatan aturan hukum ditegaskan dalam
Ketetapan MPR Nomor III/ 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan,
meliputi : (1) Undang Undang Dasar 1945; (2) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang; (4) Perpu; (5) Peraturan
Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (6) Peraturan Daerah. Terkait dengan
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau
Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan
Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
(dikenal dengan Release and Discharge) sebagai dasar hukum bagi
penyelesaian kasus penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK,
dalam pembentukannya dinilai tidak sesuai dengan beberapa peraturan
perundang-undangan yang ada diatasnya, meliputi :
1) Undang Undang Dasar 1945
a. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen
Pasal UUD 1945 amandemen Pasal 1 ayat (3) menyebutkan
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Ketentuan tersebut
93 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 25.
memberikan makna segala permasalahan negara harus diselesaikan
bukan dengan kekuasaan semata, tetapi harus sesuai dengan prosedur
hukum. Ketentuan ini berfungsi mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun
masyarakat. Implikasi pernyataan Negara hukum adalah setiap
permasalahan akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku.
Demikian pula dalam kaitannya dengan kasus penyalahgunaan dana
BLBI yang dilakukan oleh debitur, yangmana dalam
perkembangannya setelah diadakan berbagai perjanjian mengenai
skema penyelesaian pengembalian uang Negara berupa dana
talangan yang diberikan pada sejumlah bank, Inpres No.8 Tahun
2002 menunjukkan bahwa Presiden telah mengintervensi kekuasaan
yudikatif dengan menginstruksikan membebaskan seseorang yang
tersangkut kasus pidana tanpa proses hukum melalui peradilan, atau
dengan kata lain Presiden menyelesaikan permasalahan hukum
dengan kekuasaan semata.
Penyelesaian terkait dengan penyalahgunaan dana BLBI dan
pelanggaran BMPK yang dilakukan oleh debitur penerima dana
BLBI telah terakomodir dalam perundang-undangan yang berlaku,
secara jelas dan tegas menentukan proses hukum yang ditempuh
sebagai upaya menjaga dan melaksanakan asas Negara hukum.
Namun demikian keberadaan perundang-undangan yang berlaku
untuk mengakomodir permasalahan hukum terutama berkaitan
dengan penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK tidak
menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan Inpres Nomor 8
Tahun 2002 tentang Release and Discharge, melainkan adanya
proses politik yang mendasari keluarnya inpres tersebut.94 Ketika
hukum berhadapan dengan politik maka hubungan antara keduanya
94 Menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan kebijakan guna
mengatasi krisis telah melalui proses politik sebagai upaya pengembalian uang negara. Lihat dalam www.indonesia.go.id.
berada pada subordinat karena hukum dibentuk dalam suatu proses
politik, dengan mudahnya disesuaikan dengan kebijakan, sehingga
hukum hanya berperan sebagai alat legalisasi keinginan-keinginan
politik yang saling bersaing.95
b. Pasal 14 UUD RI 1945 menyebutkan bahwa :
1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan dalam butir 4 menyebutkan bahwa dalam hal
pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1
menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait
langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau
penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga
dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya,
yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden selaku kepala
Negara hanya mempunyai kewenangan memberikan grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan masukan
Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat, diluar daripada
keempat hal tersebut diatas, Presiden dinilai telah melakukan
tindakan inkonstitusional serta dapat dikategorikan sebagai
penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14
95 Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hubungan antara subsistem politik dan
subsistem hukum nampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Praktik politik, menurut Sri Sumantri, secara substantif sebagian besar bertentangan dengan aturan-aturan hukum sehingga senyatanya pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukum dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 71-72.
UUD RI 1945. Menurut Purnadi Purbacaraka perilaku atau sikap
tindak melanggar hukum, yaitu.96
1) Perilaku atau sikap tindak melampaui batas kekuasaan dalam bidang hukum tata negara (excess de pouvoir);
2) Perilaku atau sikap tindak menyalahgunakan kekuasaan di bidang hukum administrasi negara (detournement de pouvoir);
3) Perilaku atau sikap tindak yang merupakan penyelewengan perdata (onrechtmatige daad);
4) Peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang tata negara, administrasi negara maupun perdata, namun yang ada ancaman pidananya (strafbaarfeit).
Adapun parameter untuk mengukur penyalahgunaan
wewenang adalah sebagai berikut.97
1) Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya
pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas
kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan Negara.
2) Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan
diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun apabila
terdapat peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar tertulis
nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan
tertentu yang mendesak sifatnya.
Namun demikian keadaan mendesak tidak dapat diterapkan
terkait dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Release and Discharge, karena rentang waktu yang cukup lama
antara hasil audit BPK yang menyimpulkan adanya penyalahgunaan
dana BLBI dan pelanggaran BMPK dengan berbagai skema
penyelesaian yang diadakan antara pemerintah, dalam hal ini
diwakili oleh BPPN, dan debitur penerima dana BLBI. Demikian
pula proses hukum untuk sebagian pihak terkait dengan kasus BLBI
tetap berjalan, sehingga implikasi adanya Inpres Nomor 8 Tahun
96 Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hlm. 72. 97 Pendapat Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang
dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, Laksbang Mediatama, Ed. I, ctk. ke-2, 2009. hlm. 96.
2002 adalah dihentikannya proses hukum yang sedang dilaksanakan
dimana pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) dapat digunakan
sebagai surat yang membebaskan debitur dari proses hukum dengan
adanya pengembalian uang. Adapun dalam skema penyelesaian out
of court settlement yang dilakukan oleh kedua belah pihak tidak
satupun yang menyebutkan masalah pembebasan
pertanggungjawaban pidana bagi debitur, melainkan dilakukannya
tindakan hukum bagi debitur yang tidak melaksanakan perjanjian
yang telah disepakati dalam upaya penyelesaian kasus BLBI sebatas
pengembalian pinjaman.
Kriteria penilaian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir) adalah dengan melakukan pengujian
bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan dicapai.
Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat
(wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan)
adalah dengan menggunakan peraturan perundang-undangan atau
menggunakan asas legalitas,98 sedangkan pada kewenangan bebas
(diskresi) menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik
sebagai parameternya. Penyalahgunaan wewenang sendiri dapat
dikategorikan sebagai crime trend yang dinilai tidak hanya
membahayakan melainkan juga merugikan karena hukum tidak
berfungsi sebagaimana semestinya, hukum tidak lagi berpengaruh
bagi golongan yang dapat menawar berlakunya hukum dan kerugian
akan tetap ditanggung Negara karena tidak adanya ketegasan dalam
upaya pengembalian uang negara.
Pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung
dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang
98 Asas legalitas merupakan asas yang universal sebagai perwujudan perlindungan hak
asasi manusia berlaku sebagai prinsip utama yang dijasdikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, dimana pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang untuk mencapai tujuan tertentu. Lihat dalam Nur Basuki Minarno, ibid. hlm. 83.
masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan
oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan
proses penghentian penanganan aspek pidana sebagaimana
disebutkan dalam diktum pertama butir ke-4 inpres tersebut
merupakan bentuk intervensi pemerintah dibidang yudikatif,
meskipun dalam butir tersebut juga ditegaskan bahwa pelaksanaan
pembebasan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dengan melibatkan Jaksa Agung
menggunakan hak oportunitas yang dimiliki sesuai Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun demikian
depoonering yang dikeluarkan dengan alasan untuk kepentingan
umum, terutama pengembalian uang Negara dari dana talangan
dalam rangka mengatasi krisis keuangan sistemik, tidak tepat
diterapkan dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI termasuk
pelanggaran BMPK. Pertimbangan demi kepentingan hukum
hendaknya jelas apakah dengan out of court settlement keadaan
perekonomian nasional akan pulih kembali tanpa mengesampingkan
efek samping kebijakan tersebut terhadap timbulnya ketidaktertiban
dan ketidakadilan hukum. Terlebih, program penyelesaian kewajiban
bagi para pemegang saham bank-bank penerima dana BLBI
merupakan suatu bentuk hubungan perdata,99 dimana suatu
perjanjian telah dianggap selesai ketika masing-masing pihak telah
melaksanakan prestasi sesuai yang diperjanjikan. Adapun telah
selesainya hubungan keperdataan tidak menghentikan berjalannya
proses hukum pidana. Oleh karena itu Inpres Nomor 8 Tahun 2002
99 Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) merupakan mekanisme penyelesaian
di luar jalur pengadilan atas dugaan pelanggaran hukum atau transaksi tidak wajar yang mengatur tata cara penyelesaian kewajiban pihak terkait yang dibuat oleh dan antara eks PSP dan Ketua BPPN dengan persetujuan Menteri Keuangan, dikenakan pada PSP BTO (Bank Take Over), BBO (Bank Beku Operasi), dan BBKU (Bank Beku Kegiatan Usaha) yang bersedia dan kooperatif. Bilamana sebaliknya maka BPPN akan menyelesaikan melalui jalur litigasi, baik jalur hukum pidana maupun perdata. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 63.
tentang Release and Discharge merupakan suatu kebijakan yang
dibuat diluar kewenangan Presiden sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berkenaan dengan pendapat Purnadi Purbacaraka
mengemukakan bahwa perilaku atau sikap tindak melanggar hukum,
maka Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dapat dikategorikan sebagai
peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di
bidang tata negara, administrasi negara maupun perdata, namun
terdapat ancaman pidana (strafbaarfeit). Yakni sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 3 “Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sehingga kebijakan yang
dikeluarkan oleh pejabat Negara, dalam hal ini Presiden, dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
c. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
Persamaan kedudukan di hadapan hukum dikecualikan dalam
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 ditandai dengan adanya keleluasaan
dalam pemenuhan kewajiban debitur dan pemberian jaminan
kepastian dari proses pidana. Pemberian pembebasan hukum hanya
dapat dilakukan melalui undang karena indemnity merupakan
penyimpangan dari prinsip equality before the law.100 Terlebih
pembebasan kualifikasi tindak pidana merupakan bentuk
100 Menurut Bagir Manan dalam M. Arief Amrullah, op. cit., hlm. 33.
dekriminalisasi, sehingga dalam prosesnya harus melalui tahap
legislatif, tidak hanya berupa kebijakan berupa instruksi presiden.
Kebijakan presiden seharusnya mampu mempertimbangkan aspek-
aspek hukum sehingga terjaga rasa keadilan masyarakat. Namun
dalam praktiknya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 justru menampakkan
perbedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana white collar crime
dengan pelaku tindak pidana umum yang dibungkus dalam sebuah
kebijakan produk hukum agar nampak legal.
Hipotesa yang menyatakan bahwa semakin kompleks
stratifikasi sosial suatu masyarakat semakin banyak hukumnya. Hal
ini disebabkan makin banyak kepentingan yang hanya dapat diatur
oleh hukum.101 Harus diakui bahwa tindakan-tindakan diskriminatif
di dalam penerapan hukum tidak berawal mula dari karakteristik
alami hukum itu sendiri melainkan aparatur penegak hukum. Hukum
sebagai kaidah sejak awal selalu dinyatakan berlaku umum tanpa
membeda-bedakan. Kalaupun ada pengecualian, akan dinyatakan
secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima
dan dibenarkan.102 Perbedaan perlakuan di muka hukum dalam
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 terletak pada pelepasan debitur yang
telah menyelesaikan kewajibannya meskipun belum penuh yaitu
sebesar 30% dari keseluruhan kewajiban, namun pemerintah tetap
memberikan pelepasan dan pembebasan termasuk penghentian
penanganan aspek pidana menyalahartikan maksud dari adanya
jaminan kepastian hukum bagi para debitur. Tepat sebagaimana
dikemukakan Sahetapy bahwa hukum selalu berpihak, selalu
berwarna karena itu tidak ada kata keadilan atau kebenaran dalam
101 Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 199. 102 Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
Jakarta, ELSAM, 2002, hlm. 6.
makna dan hakikat yang sebenarnya, selain kata kepastian.103
Kepastian berarti bahwa hukum tidak boleh sering diubah-ubah,
terlebih oleh suatu peraturan perundang-undangan yang
berkedudukan lebih rendah dibandingkan dengan apa yang
dinamakan hukum itu sendiri, yaitu undang-undang. Keberpihakan
dan keberwarnaan hukum tidak perlu terjadi apabila nilai-nilai
demokrasi dan keadilan sosial yang mendasari proklamasi
kemerdekaan diterjemahkan secara memadai ke dalam produk-
produk hukum.104
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, meliputi.105
a. Tap MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, khususnya
Pasal 4 secara tegas menyebutkan “Upaya pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap
siapapun juga, baik pejabat Negara, mantan pejabat Negara,
keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat
termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”. Hal ini
merupakan suatu penegasan bahwa pemberantasan korupsi, kolusi,
dan nepotisme diharapkan berlaku secara universal tanpa pandang
bulu sehingga persamaan dihadapan hukum sungguh benar adanya.
103 Lihat dalam M. Arief Amrullah, op. cit., hlm. 80. Ada empat hal yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum, yaitu: 1) hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht); 2) hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim; 3) fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan; 4) hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Lihat dalam Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm. 136.
104 Abdul Hakim Garuda dalam ibid, hlm. 80. 105 Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 105-106. Lihat juga dalam Indonesian
Corruption Watch, Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, Jakarta,2006, hlm. 14.
b. Tap MPR No.VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme Pasal 2 ayat 2 merekomendasikan “Melakukan
penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap
semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa
lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi
hukuman yang seberat-beratnya.” Tindakan hukum sebagaimana
dimaksud Tap MPR No.VII/MPR/2001 meliputi kasus korupsi
yang terjadi di masa lalu tidak berhenti proses penegakan
hukumnya sebagai bentuk kesungguhan pemerintah dalam
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
c. Tap MPR No.X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan
MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR
RI Tahun 2001, berkenaan dengan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah melakukan
Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan
debitor yang berbentuk perjanjian MSAA (Master of Settlement
and Acquisition Agreement), MRNIA (Master of Refinancing and
Note Issuance Agreement), dan/atau Perjanjian Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta
Pengakuan Utang/APU). Terkait dengan hal ini Tap MPR
No.X/MPR/2001 menugaskan Presiden dalam pengelolaan dan
penjualan aset-aset yang dikelola BPPN, antara lain konsistensi
menjalankan MSAA dan MRNIA, dan bagi mereka yang belum
memenuhi kewajibannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2000 tentang Propenas butir c nomor 2,3, dan 4 perlu
diambil tindakan tegas.
Ketetapan MPR tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-
undangan karena masih merupakan suatu aturan dasar Negara, meliputi
pula sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.
Suatu Ketetapan MPR merupakan keputusan yang hanya mengikat
Presiden karena Ketetapan MPR merupakan suatu amanat yang harus
dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka menjalankan pemerintahan
dan tidak mengatur umum.106 Salah satu substansi Ketetapan MPR yang
menjadi salah satu dasar dikeluarkannya dalam Inpres Nomor 8 Tahun
2002 adalah Tap MPR No.X/MPR/2001. Namun demikian amanat yang
terkandung dalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 disalahartikan
dari konsistensi pelaksanaan MSAA dan MRNIA, serta penyelesaian
kewajiban oleh para debitur menjadi pelepasan dan pembebasan dalam
rangka jaminan kepastian hukum.
Ketidakkonsistenan pelaksanaan perjanjian diatas disalahartikan
dengan adanya pemberian jaminan kepastian hukum sebagaimana
dalam diktum 1 butir keempat dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yaitu
pembebasan debitur dari aspek pidana pada semua tahap proses hukum
tidak bersesuaian dengan tindakan hukum yang tegas. yang hendak
diterapkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Propenas butir c nomor 2, 3, dan 4. Ketidaksesuaian internal
dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 terdapat dalam butir ketiga dan butir
keempat yaitu adanya tindakan hukum yang tegas dan konkrit
dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua BPPN, Kapolri, dan
Jaksa Agung. Koordinasi antara ketiga instansi tersebut memungkinkan
adanya tindakan hukum dan proses pidana terkait dengan pengembalian
uang Negara, terutama bagi debitur yang tidak melaksanakan
MSAA,MRNIA dan/atau APU hingga batas waktu yang ditetapkan.
Inkonsistensi juga terjadi ketika pemerintah memutuskan melakukan
reformulasi APU yang bertujuan untuk menurunkan jumlah kewajiban
yang harus dibayarkan dan penundaan jatuhnya tenggang waktu
pembayaran dari batas waktu yang telah ditetapkan dari Maret 2004
mundur menjadi Maret 2006.
3. Undang-Undang
106 Maria Farida, op. cit., hlm. 90.
a. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31
Tahun 1999
1) Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)”. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan”.
Sebagaimana dikemukakan dalam ayat (1) diatas kata
dapat sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian
negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, dimana tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat. Sehingga unsur kerugian
keuangan Negara yang tidak ditemukan dalam kasus
penyalahgunaan dana BLBI seharusnya tidak menjadi alasan
dihentikannya proses hukum. Dugaan penyalahgunaan dana
BLBI dilakukan ketika Negara mengalami krisis keuangan
sistemik, dalam rangka pengembalian kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan nasional pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk memberikan sejumlah dana talangan bagi
masyarakat. Namun demikian dalam pelaksanaannya,
berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan adanya penyimpangan
dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI.107 Keluarnya
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 sebagai bentuk
kebijakan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus
penyalahgunaan dana BLBI dalam berbagai bentuk perjanjian
yang difasilitasi pemerintah108 tidak mempertimbangkan
adanya unsur yang memberatkan suatu tindak pidana
dilakukan saat Negara berada dalam situasi krisis keuangan
dan perbankan.
2) Pasal 4 menyebutkan “Pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3”. Sebagaimana dikemukakan dalam
107 Hasil audit BPK pada tahun 2000 No.06/01/Auditama II/AI/VII/2000 menunjukkan
terdapat berbagai penyimpangan dalam penggunaan BLBI sehingga BPK kemudian menyimpulkan adanya sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 61.
108 Dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan perjanjian antara pemerintah dan
debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada penerima BLBI yang
asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan asset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional.
2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo.
3. Akta Pengakuan Hutang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho.
Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.
Pasal 4, dimaksudkan bahwa pengembalian kerugian keuangan
Negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak
pidana korupsi, melainkan hanya merupakan salah faktor yang
meringankan.
Alasan yang dapat menghapuskan pidana, dalam teori
hukum pidana terdiri atas.109
a) Alasan pembenar yaitu alasan untuk menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut
dan benar.
b) Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan
kesalahan terdakwa, sehingga perbuatan yang dilakukan
tetap bersifat melawan hukum tetapi tidak dipidana
karena tidak adanya kesalahan.
c) Alasan penghapusan penuntutan dengan dasar
pertimbangan kemanfaatan di masyarakat atau dikenal
dengan istilah kepentingan umum.
Pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud
dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and
Discharge segera setelah debitur menyelesaikan pengembalian
uang Negara, dalam kenyataannya pembayaran dilakukan
sebanyak 30% dari jumlah kewajiban yang harus dibayar
namun tetap diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL), berupa
109 Ketentuan mengenai penghapusan pidana diatur dalam KUHP, meliputi :
1. Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa. 2. Pasal 51 ayat (1) KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan yang dengan
sepengetahuannya diberikan oleh pejabat yang berwenang. 3. Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan perintah undang-undang.
Selain penghapusan pidana KUHP mengatur hapusnya hak untuk menuntut, antara lain: 1. nebis in idem (Pasal 76 KUHP) 2. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) 3. Perkara daluwarsa (Pasal 78 KUHP) 4. Terjadinya penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82 KUHP)
pelepasan dan pembebasan dalam memberikan jaminan
kepastian hukum dengan menghentikan penanganan aspek
pidana tidak dapat dikategorikan sebagai alasan hapusnya
pidana. Demikian pula SKL tidak dapat digunakan sebagai
dasar alasan dikeluarkannya SP3 (Surat Penghentian
Penyidikan Perkara) karena unsur dalam tindak pidana korupsi
tidak hapus karena adanya pengembalian uang Negara
melainkan hanya salah satu faktor yang meringankan pidana.
Demikian pula dengan penggunaan SKL sebagai bukti baru
dalam proses persidangan berkenaan dengan penyalahgunaan
dana BLBI dan pelanggaran BMPK.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang
Perbankan.
1) Pasal 49 ayat (2) huruf a disebutkan “Anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja
meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk
menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan,
uang atau barang barang berharga, untuk keuntungan
pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka
mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam
memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari
bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh
bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas
dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka
memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan
penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank”.
Berlanjut pada huruf b disebutkan “Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-
undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank, diancam paling lama 8
(delapan) tahun serta denda sekurang-kurang Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
2) Pasal 50 disebutkan “Pihak terafiliasi yang dengan sengaja
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-
undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).”
Adapun pihak terafiliasi dimaksud dalam Pasal 50
sebagimana dijelaskan dalam Pasal 1 poin ke-22 adalah:
a. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang
berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain
akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan
lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang
saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga
pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus;
3) Pasal 50A disebutkan “ Pemegang saham yang dengan sengaja
menyuruh Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan
bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).”
Kesengajaan pemegang saham yang mengakibatkan
bank tidak melaksanakan langkah-langkah untuk memastikan
ketaatan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan,
salah satu diantaranya adalah berkenaan dengan batas-batas
BMPK terutama terkait dengan penggunaan dana BLBI,
berfungsi sebagai dana talangan, seharusnya dibayarkan pada
nasabah.110 BPK menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8
triliun, antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk
membiayai kontrak derivatif atau spekulasi valas. Audit yang
dilakukan BPKP terhadap 42 bank penerima BLBI, 17 Juli
2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 53,4 triliun
penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi dan
tindak pidana perbankan dan Rp 1,159 triliun penyalahgunaan
non tindak pidana korupsi atau non tindak pidana perbankan.
Penyalahgunaan BLBI paling besar menurut audit BPKP
adalah spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan
110 Jumlah BLBI yang jatuh pada pemiliknya atau kepada kelompoknya sendiri adalah
sebagai berikut : a. Bank Central Asia milik Liem Sioe Liong sejumlah 60% (enam puluh persen). b. Bank Danamon milik Usman Admajaja sejumlah 60% (enam puluh persen). c. Bank Umum Nasional milik Bob Hasan sejumlah 78% (tujuh puluh delapan persen). d. Bank Dagang Nasional Indonesia milik Syamsul Nursalim sejumlah 91% (sembilan puluh
satu persen). Dalam Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 106.
membayar kepada pihak terkait. Berdasarkan hasil audit BPK,
dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum
nasional, sebesar Rp 138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan
berpotensi merugikan Negara, karena kurang jelas
pengunaannya.111
Hasil audit BPK pada tahun 2000 No.06/01/Auditama
II/AI/VII/2000 menunjukkan terdapat berbagai penyimpangan
dalam penggunaan BLBI sehingga BPK kemudian
menyimpulkan adanya sangkaan tindak pidana atau perbuatan
yang merugikan keuangan negara. Adapun bentuk
penyimpangan dalam kasus BLBI tidak hanya pelanggaran
perdata melainkan juga tindak pidana, berupa pengucuran
BLBI kepada kelompok sendiri dengan melanggar Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). BMPK membatasi
pemberian kredit kepada kelompok sendiri sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan Pasal 1 ayat 4 tidak melebihi 10 persen (10%)
modal bank, namun pada kenyataannya kredit diberikan pada
unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan
melebihi batas yang telah ditetapkan.112 Pelanggaran dalam
BMPK merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 jo. Pasal 50 jo. Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.113
111 Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27-No 2 Tahun 2008, hlm. 49. 112 Samsul Nursalim sebagai pemilik BDNI menurut kantor akuntan Ernst and Young
bahwa seluruh kredit per 13 April 1998 sebesar Rp 16,904 triliun, dimana 75,6 persen (75,6%) dari seluruh uang dipinjamkan sebagai kredit. Lihat dalam Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Terkorup, Kompas, Cet. I., Jakarta, 2006, hlm. 168.
113 Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 61-62.
Tuntutan pidana dalam penyalahgunaan dana BLBI
oleh pemegang saham dapat dikenakan atas dasar adanya
penyimpangan BMPK dan penggunaan BLBI. Penghapusan
aspek pidana hanya dapat dilakukan dalam ketentuan hukum
yang setara kedudukannya dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan bukan oleh produk kebijakan
yang berada dibawah undang-undang terlebih tidak terdapat
kesesuaian dengan peraturan yang ada diatasnya sebagaimana
tercantum dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release
and Discharge.
Kebijakan pemberian pinjaman dana BLBI adalah instrumen
bisnis dan hukum yang merupakan niat baik pemerintah bertujuan
untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional yang
terkena dampak krisis moneter, namun terdapat penyalahgunaan dana
didalamnya. Penyalahgunaan ini merupakan perubahan nilai-nilai
kejujuran dalam masyarakat ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan
sehingga merugikan kepentingan masyarakat luas. Hubungan dalam
ranah perdata bergeser pada ranah hukum pidana ketika terjadi
perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Namun dalam perkembangannya, pemerintah mengeluarkan produk
kebijakan, dimana rentan terjadi kecacatan hukum dengan adanya
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang mengedepankan penyelesaian out of
court settlement bagi debitur yang bersedia memenuhi kewajiban
hutang sehingga terjadi pergeseran menuju hukum perdata. Pergeseran
hukum dari pidana ke perdata dianggap sebagai manifestasi
melemahnya hukum pidana. Hukuman pidana jarang dapat menjadi
cara yang efektif untuk memperbaiki kerusakan dan pada saat yang
sama berpotensi mempunyai sifat keras sehingga perlu dibatasi oleh
formalisme prosedural.114
114 Philippe Nonet-Philip Selznick, Hukum Responsif, Jakarta, Nusamedia, ctk. 2, 2008,
hlm.100.
2. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Sebagai Bagian dari Kebijakan Publik
Suatu public problem dapat masuk dalam agenda pemerintah,
membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang tegas dan aktif dari para
pembuat keputusan, bilamana terjadi krisis atau peristiwa yang luar biasa
sehingga mendapat perhatian yang cukup besar dari masyarakat, termasuk
pembuat keputusan, untuk memasukkan dalam agenda pemerintah
menjadikan sebagai salah satu masalah yang perlu dicari penyelesaiannya,
begitu pula dengan penyalahgunaan dana BLBI yang muncul sebagai akibat
dari krisis moneter yang dialami Indonesia saat itu sehingga Bank
Indonesia, selaku the last lender resort, menyuntikkan dana pada bank-bank
nasional yang sedang mengalami kesulitan likuiditas agar dapat membayar
kepada nasabah masing-masing. Permasalahan yang kemudian muncul
akibat dari penanganan krisis tersebut berupa penyalahgunaan dana yang
semula dimaksudkan untuk dibayarkan pada nasabah beralih pada
penggunaan dana tersebut untuk kepentingan pemilik bank-bank penerima
dana BLBI, berlanjut pada pengembalian dana yang berbentuk pinjaman
pada bank-bank tersebut tidak selesai baik karena tidak sesuainya aset yang
dijaminkan maupun kaburnya pemilik bank-bank penerima dana BLBI.
Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki
keterkaitan yang sangat erat, seiring makin luasnya peranan pemerintah
dalam berbagai bidang kehidupan yang kompleks baik ekonomi, sosial, dan
politik. Sehingga peraturan hukum berperan untuk membantu pemerintah
dalam usaha menemukan alternatif kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi
masyarakat dimana penilaian bahwa fungsi hukum menjadi penting ketika
semua perencanaan kebijaksanaan dan program-program pemerintah
dilaksanakan melalui hukum.115 Namun demikian ketika kebijakan publik
telah memasuki bidang kehidupan hukum, kebijakan publik harus
115 Esmi Warassih, loc.cit, hlm. 130.
memenuhi tehnik perumusan pembuatan perundang-undangan,
menggunakan bahasa resmi yang sederhana sehingga mudah dipahami
sehingga harus berpijak pada tata administrasi dalam hal ini berkaitan
dengan hukum administrasi Negara. Asas legalitas dalam hukum
administrasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu wewenang, prosedur, dan
substansi. Ketiga aspek tersebut harus berdasarkan peraturan perundang-
undangan, karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah
ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi,
prosedur untuk mencapai tujuan serta substansinya. Parameter
penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas
legalitas, sedangkan pada wewenang bebas menggunakan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.116
Instruksi presiden, sebagai bentuk kebijakan berbentuk produk
hukum yang ditujukan pada subyek dan masalah tertentu, tidak dikenal
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan namun masih muncul
dalam praktik ketatanegaraan. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002
merupakan tindakan hukum publik sepihak berkedudukan sebagai
kebijakan, bentuk adanya freies emerssen atau kebebasan untuk
menjabarkan kebijakan berkaitan dengan aspek yuridis. Rauke menjelaskan
bahwa “discretion refers to the ability of an administrator to choose among
alternative to decide in effect law the policies of the government should be
implemented in specific case”.117 Namun demikian batasan dalam
116 Nur Basuki Minarno, op.cit. hlm. 98. Asas-asas pemerintahan yang baik dalam hukum
positif Indonesia terdapat dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, meliputi : a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. b. bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. c.
117 Diskresi disini merupakan tindakan, berupa pilihan-pilihan, oleh penyelenggara Negara sesuai kemampuan yang ada padanya dalam memutuskan kebijakan yang perlu diambil dibatasi hanya untuk masalah-masalah tertentu. Namun demikian kebebasan dalam menentukan kebijakan publik tidak boleh diartikan berlebihan melainkan perlu pertimbangan obyektif atas dasar asas-asas umum pemerintahan yang layak, lebih tepatnya wewenang bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Dalam Esmi Warassih, op. cit., hlm. 138.
pembentukan peraturan kebijakan redaksi yuridisnya harus tetap mengikuti
format peraturan perundang-undangan. Perumusan peraturan kebijakan yang
tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku mengakibatkan
suatu produk kebijakan tidak dapat dijadikan dasar hukum karena
mengandung cacat hukum yaitu ketidaksesuaian peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan
publik, dan sebagai peraturan perundang-undangan hukum telah
menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk melaksanakan
kebijaksanaan.118 Penyelesaian penyalahgunaan dana BLBI melalui out of
court settlement terutama sebagaimana yang dirumuskan dalam Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge berlaku
sebagai dasar hukum, menginstruksikan kepada Menko Bidang
Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK),
Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan
Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan
seluruh kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA,
dan APU.119
Peraturan perundang-undangan dalam bentuk kebijakan merupakan aturan hukum yang dibentuk oleh pejabat atau badan tata usaha negara atas kewenangan yang bersumber dari freies emerssen. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm 48.
118 Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 131-133. 119 Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan
acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam ibid., hlm. 57.
Kebijaksanaan, menurut James E. Anderson, diartikan sebagai
serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu, yang dikembangkan oleh badan-badan
dan pejabat-pejabat pemerintah. Sedangkan definisi kebijakan sebagaimana
diutarakan oleh WI. Jenkins, diungkapkan bahwa kebijakan merupakan
serangkaian keputusan-keputusan yang saling terkait berkenaan dengan
pemilihan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi
tertentu.120 Kebijaksanaan negara dibentuk melalui suatu proses perumusan,
meliputi serangkaian tindakan dalam memilih alternatif-alternatif yang
tersedia sebagai penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi dengan
mengambil satu diantara beberapa alternatif tersebut sebagai sebuah
keputusan. Pengambilan keputusan tersebut kemudian dirumuskan sebagai
sebuah kebijaksanaan. Menurut Nigro dan Nigro bahwa every policy
determination is decision, sehingga tidak ada pembedaan antara
pengambilan keputusan dan perumusan kebijaksanaan. Namun demikian
kebijaksanaan-kebijaksanaan membentuk rangkaian-rangkaian tindakan
yang mengarahkan berbagai keputusan dalam rangka melaksanakan tujuan
yang telah dipilih.121 Permasalahan yang timbul dapat diartikan secara
formal, untuk kepentingan kebijaksanaan, menurut David G Smith disebut
sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan yang
yang harus dicari upaya penanggulangannya. 122 Penekanan dari pengertian
kebijaksanaan berdasar pengertian diatas adalah adanya tujuan yang hendak
dicapai oleh pembuat kebijaksanaan melalui rangkaian-rangkaian tindakan
sebagai cara untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Adapun sarana yang
120 Sehingga salah satu implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah kebijaksanaan
Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Lihat dalam M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 17-19. Kebijakan disebut pula sebagai keputusan pemerintah. Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, op.cit., hlm. 24-27.
121 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 24. 122 Ibid., hlm. 79.
digunakan dari serangkaian tindakan pembuat kebijaksanaan berupa
keputusan yang menjadi dasar hukum penyelesaian dari permasalahan yang
sedang dihadapi.
Penyelesaian secara out of court settlement merupakan salah satu
dari berbagai alternatif penyelesaian yang sebenarnya dapat ditempuh
terutama dengan mengoptimalkan fungsi hukum pidana sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya menjadikan Inpres
Nomor 8 Tahun 2002 sebagai bentuk kebijakan yang merupakan keputusan
pemerintah. Tindak pidana di bidang perbankan terjadi ketika dana BLBI
digunakan bukan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan
nasional, melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank,
sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar
hukum. Tindak pidana di bidang perbankan berupa penyalahgunaan dana
BLBI mengarah dapat mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK) terjadi karena pemberian kredit bank yang seharusnya
dibatasi pada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan
tidak dipatuhi sehingga dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Undang-Undang Perbankan. Namun demikian pemerintah dalam hal
ini lebih memberikan prioritas bagi pengembalian uang Negara yang
sebelumnya berfungsi sebagai dana talangan untuk mengatasi krisis
perbankan secara sistemik dibandingkan penegakan hukum dengan
menggunakan hukum pidana. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan
pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus BLBI melalui Perjanjian
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang terdiri atas Master
Agreement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and
Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang dari masa
pemerintahan Presiden Habibie berlanjut hingga dikeluarkannya Inpres
Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge pada masa
pemerintahan Presiden Megawati.
Analisis kebijakan publik (public policy analysis) bertujuan untuk
meramu secara sistematik beragam gagasan yang berasal dari berbagai
macam disiplin kemudian digunakan untuk menginterpretasikan sebab dan
akibat dari tindakan pemerintah. Nicholas Henry mengelompokkan tipologi
tersebut menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu: (1) Kebijaksanaan negara
dianalisa dari sudut proses, lebih bersifat deskriptif, mencoba
menggambarkan proses pembuatan kebijakan, antara lain model
kelembagaan, model elit massa, model kelompok, dan model sistem; (2)
Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut hasil dan akibatnya, bersifat
preskriptif dengan berupaya menunjukkan cara untuk meningkatkan kualitas
isi, hasil dan akibat kebijaksanaan negara, meliputi model rational
comprehensive dan model inkremental.123 Tipologi dapat dipakai untuk
memahami pembuatan kebijakan publik dengan menggunakan kerangka
analisis bersifat umum untuk mengonversikan fakta-fakta dari studi-studi
kasus pada seperangkat penelitian yang dapat dievaluasi, ditimbang, dan
dihimpun. Pemahaman tipologi kebijakan berguna untuk mensistemasi
analisis yang hendak dipakai dalam melakukan evaluasi terhadap sebuah
kebijakan.
Berdasarkan tipologi Nicholas Henry, ditinjau dari sudut proses
pembuatannya, Inpres Nomor 8 Tahun 2002 merupakan kebijakan yang
mendekati pada model sistem, dimana masukan, dukungan maupun sumber-
sumber yang merupakan input kebijakan pada model sistem ini (sistem
politik) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa keadaan sosial,
ekonomi, politik dan berpengaruh pula pada output yang dihasilkan bahkan
terhadap dampak dari implementasi output tersebut. Inpres Nomor 8 Tahun
2002 yang substansinya memerintahkan kepada menteri-menteri dan
lembaga-lembaga yang ditunjuk dengan berbagai faktor yang turut
123 M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 36.
mempengaruhi dikeluarkannya kebijakan yang diharapkan yaitu konsistensi
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui mekanisme
yang telah ditentukan berupa MSAA, MRNIA, dan APU, bukan hanya
pertimbangan pihak-pihak yang berkepentingan melainkan juga adanya
faktor lain berupa upaya pengembalian keuangan negara dalam rangka
stabilitas ekonomi nasional dinilai lebih memenuhi kualifikasi sebagai
bentuk kebijakan sistem. Proses pembuatan kebijakan dengan model sistem
merupakan hasil dari sistem politik yang meliputi lembaga-lembaga, yang
terdiri dari badan legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, kelompok
kepentingan, golongan elit, struktur birokrasi, prosedur, mekanisme politik,
sikap dan perilaku pembuat keputusan serta aktivitas-aktivitas politik
berinteraksi dalam proses untuk mengubah tuntutan, dukungan, dan sumber
bagi suatu kebijakan (input) menjadi hasil keluaran (output). Inpres Nomor
8 Tahun 2002 merupakan produk politik sehingga karakter produk hukum
akan sangat dipengaruhi oleh imbangan kekuatan politik.124 Terlebih upaya
yang ditujukan untuk mengembalikan uang negara melalui mekanisme
perjanjian sebagaimana telah disetujui oleh debitur dengan pemerintah
merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya
kebijakan yang dikeluarkan pemeritah melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2002
berkenaan dengan konsistensi penyelesaian kewajiban pemegang saham.
124 Moh.Mahfud MD, op.cit., hlm. 4. Intervensi politik juga melatarbelakangi dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan kebijakan mengatasi krisis telah melalui proses politik sebagai upaya pengembalian uang negara. Lihat dalam www.indonesia.go.id. Kebijakan mengenai penyelesaian kasus BLBI tidak mengalami perubahan setelah pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah masih bersikap kompromistis terhadap para debitur BLBI dan lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya. Ironisnya pemerintah seringkali memperlakukan para konglomerat yang telah dinilai telah merugikan keuangan negara itu secara istimewa. Perlakuan istimewa itu ditunjukkan dengan kedatangan tiga debitur BLBI, yaitu Ulung Bursa, pemegang saham Bank Lautan Berlian; James Januardi, pemegang saham Bank Namura; serta Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief, pemegang saham Bank BIRA, ke Kantor Presiden untuk menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang nilainya ratusan milyar rupiah asalkan mendapatkan kepastian hukum atau release and discharge. http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16.
Penyusunan kebijakan akan lebih dipengaruhi oleh kelompok-kelompok dan
individu-individu yang kepentingannya terkait dengan kebijakan dan
menunggu hingga saat implementasi kebijakan. Penyusunan agenda
pemerintah juga dipengaruhi oleh faktor tambahan yang berasal dari luar
sistem politik negara, yang dilakukan terutama oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional dalam mendikte pemerintah penerima bantuan
dalam menetapkan kebijakan.125 Suasana politik justru melingkupi upaya
penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia lebih mendominasi
dibandingkan semangat untuk melakukan upaya penegakan hukum. Hal ini
juga ditandai dengan diadakannya pertemuan antara pemerintah dengan
mengundang debitur penerima dana likuiditas Bank Indonesia di istana
Negara.126 Karakter hukum sebagai konfigurasi politik yang dimaksud akan
menghasilkan produk hukum yang bersifat responsif atau otonom maupun
hukum yang otoriter. Meskipun pembentukan Inpres Nomor 8 Tahun 2002
dipengaruhi kekuatan politik namun tetap dianggap sebagai dasar hukum
yang berlaku bagi aparat-aparat yang ditunjuk didalamnya.
Sedangkan ditinjau dari sudut hasil dan akibat dari kebijakan yang
dikeluarkan, maka dengan melihat substansi Inpres Nomor 8 Tahun 2002
tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang
Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham (dikenal dengan Release and Discharge) berupa
konsistensi pelaksanaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham melalui
perjanjian yang telah disepakati antara debitur dan pemerintah dengan tanpa
perubahan yang berarti terutama fokus mekanisme penyelesaiannya yang
125 Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 110. Intervensi lembaga keuangan internasional
dalam kebijakan ekonomi Indonesia sebagaimana terdapat dalam Letter of Intent IMF, meliputi antara lain kebijakan pengetatan likuiditas, penutupan 16 bank nasional, peninjauan fungsi BI sebagai the lender of the last resort, pengucuran obligasi, rekapitulasi perbankan, dan penjualan aset negara. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 239-251.
126 Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004.
kemudian ditegaskan melalui inpres tersebut sebagai dasar hukum
penyelesaian kasus BLBI, maka sebagai bentuk kebijakan Inpres Nomor 8
Tahun 2002 dikategorikan sebagai kebijakan inkremental dalam upaya
mencari penyelesaian dalam rangka pengembalian dana BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia). Penyelesaian kasus BLBI yang memfokuskan
pada upaya pengembalian uang Negara selalu menjadi agenda bagi
pemerintahan berikutnya, meliputi.127
1. Pembentukan BPPN melalui Keppres No.27 Tahun 1998 pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto, bertugas untuk : (1) menyehatkan
dunia perbankan, (2) mengembalikan dana Negara, (3) mengelola
asset-aset yang diambil alih oleh pemerintah sehubungan dengan
keputusan penutupan 16 bank bermasalah.128
2. Kebijakan pada masa pemerintahan Presiden Habibie dilakukan
dengan mengambil tindakan yang berpegang pada prinsip out of court
settlement berupa Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham (PKPS) yang terdiri atas Master Agreement and Acquisition
Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance
Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang.
3. Masa pemerintahan Presiden Megawati mengambil tindakan
penyelesaian kasus BLBI dengan melanjutkan penanganan masalah
perbankan, terutama berkaitan dengan pengambilalihan asset-aset
obligor dan penjualan aset tersebut berlandaskan Tap MPR
No.X/MPR/2001 dan Tap MPR No.VI/MPR/2002 sebagai konsistensi
pelaksanaan kebijakan MSAA dan MRNIA.
127 Lihat dalam Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 171. Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati menegaskan rangkaian kebijakan BLBI telah mendapatkan landasan hukum yang sah. Karena itu, kini pemerintah tetap berupaya untuk mengembalikan uang negara sebesar mungkin. Rangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis, termasuk kebijakan BLBI, program penjaminan, penyehatan dan rekapitulasi perbankan, dan program divestasi telah melalui proses politik saat itu dan mendapatkan landasan hukum yang sah. http://www.mediaindonesia.com/. 13 ebruari 2008.
128 Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 hari
di Puncak Gedung Bundar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hlm. 319-323.
Selanjutnya dikeluarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 untuk
memberikan jaminan kepastian hukum pada obligor yang kooperatif
dan sanksi bagi obligor yang tidak kooperatif. Berdasarkan Inpres ini,
para debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya, walaupun
hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS)
dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak
kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang diperiksa dalam
proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila kasusnya dalam
proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau bukti baru
yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.129
4. Adapun kebijakan yang diambil pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana disampaikan dalam sebuah
wawancara dengan MetroTV menegaskan bahwa pemerintah tidak
akan mengganggu gugat kebijakan penyelesaian terkait kasus BLBI
dari pemerintahan sebelumnya. Adapun dalam perkembangannya
antara pemerintah dan delapan debitur penandatangan Akta Pengakuan
Utang yaitu Adisaputra Januardi/ James Januardi, Atang Latief, Ulung
Bursa, Omar Putihrai, Lidia Muchtar, Marimutu Sinivasan, dan Agus
Anwar dilakukan pembaharuan kebijakan dalam pengembalian uang
Negara mengalami penundaan jatuh tempo pembayaran hingga akhir
Desember 2006.130 Pemerintah memberikan kelonggaran penyelesaian
kewajiban bagi 8 (delapan) debitur dalam program penyelesaian segera
dan tata cara pembayaran PKPS yang dilakukan dengan pembayaran
tunai sebesar 70% dan 30% berupa Suku Bunga Indonesia (SBI) dan
129 http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16. 130 Dikeluarkan Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006 oleh
Menteri Keuangan tentang Prosedur Operasi Standar Penanganan Program PKPS dan BPPN, antara lain (1) memberikan kelonggaran kepada delapan pengutang BLBI menyelesaikan kewajiban hingga akhir Desember 2006, (2) pola pembayaran PKPS dilakukan dengan 70 persen tunai dan 30 persen near cash, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) paling lambat akhir 2006. Debitur BLBI yang mampu melunasi kewajibannya hingga akhir Desember 2006 akan menerima surat keterangan PKPS dari Menkeu (dibebaskan dari tuntutan pidana). Lihat dalam Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 324-327.
Surat Utang Negara sedangkan bagi debitur yang mampu melunasi
kewajiban tersebut akan diberikan surat keterangan PKPS dari Menteri
Keuangan dan dibebaskan dari tuntutan pidana.
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge
dikategorikan dalam kebijakan inkremental bukan dilihat dari bentuknya
sebagai produk hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagai kelanjutan
kebijakan dari pemerintah sebelumnya dengan bentuk produk hukum yang
sama yaitu instruksi presiden melainkan karena substansi didalamnya yang
bertujuan menyelesaikan kasus BLBI dalam hal pemenuhan kewajiban oleh
para debitur merupakan serangkaian kebijakan yang hampir tidak terdapat
perubahan yang berarti hingga ditegaskan oleh pemerintah sebagai dasar
hukum bagi penyelesaian kasus BLBI yang kemudian pada tahun 2006
dilakukan sedikit perubahan berupa reformulasi perjanjian Akta Pengakuan
Utang (APU). Kebijakan penyelesaian masalah hukum yang demikian
longgar mengakibatkan dampak negatif bagi penegakan hukum, terutama
fungsi hukum pidana dalam melindungi kepentingan hukum.
Ketidakpatuhan individu-individu maupun kelompok-kelompok tertentu
pada hukum makin nyata karena beberapa kebijaksanaan Negara, antara
penegakan hukum dan penyelesaian penyalahgunaan BLBI saling
bertentangan satu sama lain. Namun demikian pemerintah masih
mempertahankan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 sebagai dasar hukum
penyelesaian penyalahgunaan BLBI untuk menghormati politik hukum pada
pemerintahan sebelumnya dengan mengesampingkan kepentingan hukum
terkesan hanya melanjutkan kebijakan pada masa pemerintahan sebelumnya
tanpa ada kepastian hukum bagi obligor yang tidak kooperatif. Namun
demikian hingga akhir Desember 2006, belum tercapai kesepakatan antara
pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, dengan para obligor tentang
tentang jumlah final utang dan mekanisme pembayarannya.131
131 Ibid. hlm. 326.
Kebijakan inkremental pada negara berkembang belum tepat untuk
diterapkan karena kebijakan dengan model ini dinilai tepat apabila
diberlakukan pada kondisi yang tidak memerlukan perubahan mendasar.
Selain itu terkait dengan kebijakan out of court settlement yang dipilih
pemerintah dalam menyelesaikan kasus tindak pidana dalam penggunaan
dana BLBI membutuhkan evaluasi baik perumusan, pelaksanaan maupun
dampak kebijakan bagi sistem hukum di Indonesia. Kebijakan pemerintah
untuk tidak melakukan tindakan apapun yang dapat mengubah arah
kebijakan penyelesaian kasus BLBI dilihat dari perspektif kebijakan publik
merupakan tipe inkremental dimana dalam menetapkan suatu kebijakan
tidak dilakukan penilaian terhadap seluruh kebijakan yang telah ada dengan
mengidentifikasi alternatif kebijakan termasuk akibat yang timbul dari
dikeluarkannya suatu kebijakan sehingga cenderung melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan yang sebelumnya telah ada.
Ukuran mengenai adanya suatu sistem hukum yang baik dalam rangka
efektivitas hukum yang hendak diwujudkan menurut Fuller dalam delapan
asas yang disebut principles of legality, salah satu diantaranya suatu sistem
hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama
lain.132 Sebagaimana dikemukakan Lawrence M. Friedman bahwa
efektivitas hukum ditentukan oleh 3 (tiga) komponen, salah satunya adalah
komponen substansi.133 Ketidaksesuaian substansi peraturan perundang-
undangan satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain dapat
mengakibatkan inefektivitas hukum.
B. Out of Court Settlement Sebagai Dasar Hukum Penyelesaian Kasus Tindak
Pidana Korupsi BLBI ditinjau dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana
1. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Bentuk Kebijakan Publik
132 Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 31. 133 Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 138.
Makna dalam istilah kebijakan (policy) tidak hanya bersifat tekstual
melainkan lebih bersifat kontekstual, beragam mengikuti dinamika aksi
sosio-ekonomi dan politik yang terjadi disekitar kita dan persepsi terhadap
istilah kebijakan.134 Hogwood dan Gunn mengelompokkan beberapa
penggunaan istilah kebijakan, antara lain kebijakan sebagai bentuk
pengesahan formal (Policy as Formal Authorization). Istilah kebijakan
sebagai bentuk pengesahan formal ditandai dengan diundangkannya
seperangkat aturan oleh parlemen diharapkan dapat diimplementasikan.
Disinilah hukum mulai berperan dalam memberikan legitimasi bagi
pelaksanaan kebijakan publik, dan sebagai peraturan perundang-undangan,
hukum telah menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk
melaksanakan kebijakan. Hukum merupakan bagian integral dari kebijakan,
yang pembentukannya dilakukan oleh legislatif dalam bentuk peraturan-
peraturan untuk kemudian diberikan pengesahan sehingga berlaku sebagai
hukum yang harus dipatuhi.135
Kebijakan hukum pidana disebut dengan istilah “politik hukum
pidana” dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun dari politik
kriminal. Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna dan merupakan
usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai pada
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Sebagai bagian dari
134 Solichin Abdul Wahab, loc. cit., hlm. 17.
135 Hukum menjadi indikator adanya kebijaksanaan dimana menurut Sigler, bahwa constitutions, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Lihat dalam Esmi Warassih, op.cit., hlm. 131-133. Hukum dan kebijakan publik memiliki keterkaitan yang erat dan memiliki kesamaan yaitu bermula pada fokus dan muara yang sama. Hanya saja pada proses pembentukan hukum lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undang-undang, sedangkan pada proses formulasi kebijakan publik hasil akhir adalah pada terpilihnya sebuah alternatif solusi bagi penyelesaian masalah-masalah publik tertentu. Hubungan ideal antara hukum dan kebijakan publik terletak pada manfaat kebijakan publik dalam memaparkan kandungan yang ada dalam sebuah produk hukum. Dalam Setiono, Hukum dan Kebijakan Publik, Bahan Matrikulasi Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008, hlm. 4-5.
politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana
mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan
pidana yang baik.136
Kebijakan hukum pidana diwujudkan dalam perundang-undangan
sebagai dasar hukum pelaksanaan kebijakan penanggulangan kejahatan,
merupakan bagian dari kebijakan publik.137 Kebijakan publik, menurut
James E. Anderson, sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan
tertentu. Sehingga implikasi dari pengertian tersebut adalah kebijakan
publik memiliki orientasi tujuan yang hendak dicapai, dimana untuk
mencapai tujuan yang dimaksud, pembuat kebijakan membutuhkan sarana
untuk mengesahkan suatu kebijakan publik menjadi sebuah dasar hukum
dalam melaksanakan tindakan yang dimaksud.138 Edward dan Sharkansky
menyatakan bahwa kebijaksanaan publik dapat ditetapkan secara jelas
dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato
pejabat pemerintah atau juga berupa program-program dan tindakan-
136 Menurut Marc Ancel, “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Lihat dalam Mokhamamad Najih, loc.cit, hlm. 43. Dengan demikian, istilah “penal policy” sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
137 Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari kebijakan penegakan
hukum, khususnya hukum pidana, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral dari politik sosial dalam upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat. Namun demikian dalam pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan dan hal demikian akan nampak dalam perumusan sanksi pidana yang diancamkan. Barda Nawawi dan Muladi, loc. cit., hlm. 29-30.
138 Sehingga implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah: (1) bahwa kebijaksanaan
Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2) bahwa kebijaksanaan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) bahwa kebijaksanaan merupakan apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya pernyataan keinginan ; (4) bahwa kebijaksanaan dapat bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negative, berupa keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan (5) bahwa kebijaksanaan pemerintah dalam arti positif, dimana kebijaksanaan selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Lihat dalam M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 17-19.
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan menurut Siegler, undang-
undang merupakan salah satu indikator adanya kebijaksanaan.139
Kebijakan hukum pidana atau kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana sebagai bagian integral dari politik sosial dalam
upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat
merupakan suatu proses bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan
baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan
legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan kebijakan aplikasi
(kebijakan eksekutif).140
Kebijakan hukum pidana yang diwujudkan dalam bentuk undang-
undang, dalam kaitannya dengan permasalahan diatas, salah satu
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan
menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum
pidana (non-penal policy) dimana masing-masing pemilihan penggunaan
sarana-sarana tersebut memiliki pertimbangan tujuan yang hendak dicapai
yaitu pengembalian uang Negara dalam kasus BLBI dan sarana yang
digunakan dalam mencapai tujuan tersebut berupa penyelesaian out of court
settlement.
2. Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi BLBI Melalui Sarana Non
Penal
1) Optimalisasi pengembalian uang negara
139 Ibid., hlm 17-19. 140 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 18.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan
menjadi 2 (dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana
dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan
kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
di luar hukum pidana (non-penal policy). Sarana non penal pada
dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode
etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum
administrasi.141 Menghadapi perkembangan delik-delik baru, perlu
dipikirkan alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahan.
Permasalahan yang muncul mengenai pemilihan dan penetapan pidana
apa yang paling tepat, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment
ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or
inefficacious”,142 dengan melihat skala prioritas pembangunan dalam
sistem ekonomi yang berimbang dimana faktor ekonomi merupakan
primadona karena leverage effect yang diharapkan terhadap bidang-
bidang pembangunan yang lain, seringkali pendekatan non penal lebih
dikedepankan daripada menggunakan sarana penal. Meskipun secara
teoritik sarana di luar hukum pidana (non-penal policy) tidak
menguntungkan, dalam kasus-kasus yang serius pertimbangan
pemidanaan dinilai penting yaitu untuk tujuan moral dan deterrent
effect. Sehingga penekanan penggunaan sarana non penal dalam upaya
pengembalian uang negara terutama menghadapi kasus yang sulit,
dalam kasus BLBI misalnya terletak pada kemanfaatan digunakannya
sebuah sarana hukum yang dinilai tepat saat itu.
Upaya penanggulangan kejahatan sehubungan dengan
perkembangan masyarakat dalam pembangunan akan selalu
memanfaatkan hukum pidana, dapat bersifat otonom dalam arti bersifat
141 Muladi, op. cit., hlm. 156 142 Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op.cit., hlm.
132.
murni dalam perundang-undangan hukum pidana baik dalam
merumuskan perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum, dalam
penentuan pertanggungjawaban pidananya, maupun dalam penggunaan
sanksi pidana dan tindakan yang diperlukan. Keterlibatan hukum
pidana yang bersifat komplementer terhadap bidang hukum lain dalam
hal-hal tertentu diharapkan bersifat fungsional mengingat situasi
perekonomian yang kurang menguntungkan.143
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum kepada Para Debitor yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor
yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham merupakan finalisasi kebijakan
penyelesaian out of court settlement dengan memberikan legalitasnya
sebagai dasar hukum dalam penyelesaian kasus dana BLBI. Bahkan
jauh hari sebelum munculnya Inpres Nomor 8 Tahun 2002,
penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dilakukan dengan
membentuk suatu lembaga pemerintah dan bertindak atas nama
pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 sebagai
dasar hukum pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN).144 Upaya BPPN untuk mengoptimalkan pengembalian uang
Negara baik dari para bankir, pemegang saham terkait maupun dari
143 Supanto, op. cit., hlm. 41-44. 144 BPPN bertugas : a) melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah
kepada Bank Umum; b) melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang telah dinyatakan tidak sehat oleh BI; c) melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Tugas BPPN sebagaimana tercantum dalam keppres tersebut tidak diikuti dengan kewenangan yang jelas sehingga dikeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1998, dimana kewenangan BPPN antara lain meliputi meminta pernyataan bank dalam penyehatan untuk menaati persyaratan praktik perbankan yang sehat dan peningkatan kinerja bank,; meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk menandatangani segala dokumen yang bersifat mengikat; dan meminta untuk mengajukan rancana perbaikan. Disamping itu BPPN memiliki tugas tambahan untuk mengambil alih pengoperasian bank; menentukan tingkat kompensasi yang dapat diberikan kepada direksi, komisaris, dan karyawan bank; dan mengambil alih pengelolaan termasuk penilaian kembali kekayaan yang dimiliki bank. Lihat dalam loc.cit., hlm. 171.
debitur masing-masing bank yang mendapat penyaluran dana BLBI,
ditempuh berbagai konsep penyelesaian yang sifatnya menyeluruh.145
Optimalisasi pengembalian dana BLBI ke dalam kas negara, dari
pemerintah melalui BPPN untuk melakukan tiga hal.146
1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali (pemilik bank), diberlakukan bagi bank-bank yang dikategorikan bank beku operasi (BBO), dan bank beku kegiatan usaha (BBKU). Penandatanganan perjanjian antara pemerintah dan pemegang saham tersebut meliputi Master Settlement and Aqcuisition (MSAA), Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA).
2. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS) pada bank-bank kategori Bank Take Over (BTO).
3. Pengalihan utang bank ke pemegang saham pengendali melalui penandatanganan Akta Pengakuan Hutang (APU).
Konversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara yang dilakukan pemerintah mengakibatkan pada tanggungan kerugian yang dialami oleh bank sebagai resiko dalam menjalankan bisnis perbankan sehingga kerugian Negara dalam menjalankan perusahaan bukan sebagai tindak pidana korupsi.
Sejalan dengan optimalisasi tersebut, dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan perjanjian antara pemerintah dan debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada
penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional.
2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya
145 Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.
146Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian
Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.
mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo.
3. Akta Pengakuan Utang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho.
2) Penerapan fungsi hukum pidana sebagai ultimum remidium
Penyelesaian kasus dana BLBI sepenuhnya menerapkan fungsi
hukum pidana sebagai ultimum remidium, dimana prinsip penyelesaian
out of court settlement yang memungkinkan terjadinya proses
bargaining dalam hal pengembalian uang Negara lebih dikedepankan
baru kemudian menggunakan hukum pidana bilamana pola
penyelesaian out of court settlement tidak tercapai. Hal ini nampak
dalam data hasil audit BPK No.34G/XII/11/2006, menyebutkan
terdapat 21 debitur yang menerima SKL dari pola penyelesaian Master
Settlement and Aqcuisition (MSAA) dan pola penyelesaian Akta
Pengakuan Hutang (APU), sedangkan debitur penandatangan Master
Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) tidak
memperoleh SKL karena dinilai tidak kooperatif dalam upaya
pengembalian utang. Adapun pemegang saham yang menandatangani
perjanjian PKPS dengan MRNIA yang tidak mendapat SKL adalah :147
No. Bank PSP JKPS (Juta Rp)
Status
1. Danamon Ind.
Usman Admadjaja 12.532.749 Tidak ada kepastian
147Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 68. Daftar pemegang saham yang menandatangi perjanjian PKPS-APU. Selanjutnya lihat dalam Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 492.
2. Hokindo Ho Kianto/ Ho Kiarto
297.571 Dialihkan ke TP-BPPN
3. BUN Kaharudin Ongko 8.347.882 Vonis bebas 4 Bank Modern Samadikun Hartono 2.663.873 Proses pengadilan:
buron Total 23.842.075
Sedangkan peserta yang menandatangani PKPS APU yang
dinilai tidak kooperatif karena belum meyelesaikan kewajibannya dan
tidak mendapatkan SKL meliputi : 148
No.
Bank PSP JKPS APU/ Reformulasi (Juta Rp.)
Realisasi Pembayaran
(Juta Rp.)
Status
1. Bank Tamara Omar
Putihrai 190.169 31.028 Belum
selesai
2. Bank Tamara Lidia
Muchtar 202.802 13.762 Belum
selesai
3. Bank Namura-Yasonta
Adisaputra Januardy/
James
123.042 35.439 Belum
selesai
4. Bank BIRA Atang Latief 325.457 134.754 Belum
selesai
5. Bank Lautan Berlian
Ulung Bursa 615.443 160.113 Belum
selesai
6. Bank Putera Multikarsa
Marimutu Sinivasan
1.130.609 249.337 Belum
selesai
7. Agus Anwar Pelita/ Istismarat
577.812 - Belum
selesai
PKPS APU antara kedelapan obligor tersebut diatas dengan
BPPN sebagian besar ditandatangani pada tahun 2000, sedangkan
APU Bank Pelita ditandatangani pada tahun 2003. Hingga batas waktu
pelunasan kewajiban sebagaimana yang jatuh tempo pada Maret 2004,
148 Hasil audit BPK Nomor 34G/XII/11/2006, lihat dalam Abdul Rahman Saleh, ibid., hlm. 494.
para obligor tidak mampu memenuhi kewajibannya. Sehingga
dilakukan reformulasi JKPS yang pada intinya pemerintah dalam hal
ini KKSK, yang bertugas memberikan pedoman baik berupa keputusan
maupun kebijakan bagi BPPN dalam melaksanakan tugas penyehatan
dan restrukturisasi utang perusahaan, memberikan keringanan kepada
obligor berupa penurunan jumlah kewajiban dalam APU dan
tambahan waktu untuk melunasi kewajibannya hingga Maret 2006,
termasuk kelonggaran dalam penyelesaian JKPS melalui kombinasi
pembayaran secara tunai dan penyerahan aset yang dilakukan dengan
mencicil. Reformulasi ini dilakukan dengan prasayarat bilamana
terjadi default, maka perjanjian utang dikembalikan pada perjanjian
APU awal.149 Namun demikian hingga Maret 2006 para obligor tidak
memenuhi kewajibannya sehingga jumlah kewajiban yang
diperhitungkan kembali pada APU awal ditambah denda dan bunga.
Penyelesaian out of court settlement kembali berlarut-larut karena
obligor menolak dasar perhitungan pemerintah yang ditambah dengan
bunga dan denda sebagai kewajiban dengan alasan selama ini telah
dilakukan pembayaran. Namun demikian nilai pembayaran sangatlah
kecil bila dibandingkan jumlah kewajiban yang harus ditanggung.
Alasan lain yang menyebabkan obligor menolak kembali pada APU
awal adalah karena obligor merasa memiliki bukti, prosedur,
korespondensi terutama dengan BPPN dan Tim Pemberantasan yang
menyatakan obligor tidak dalam keadaan default, dengan adanya
penolakan ini maka terdapat perbedaan jumlah kewajiban sebesar Rp.
149 Terhadap Agus Anwar tidak diberikan pengurangan utang melalui JKPS reformulasi
karena melarikan diri keluar negeri. Marwan Batubara, op. cit., hlm. 93. Dikeluarkan Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006 oleh Menteri Keuangan tentang Prosedur Operasi Standar Penanganan Program PKPS dan BPPN, antara lain (1) memberikan kelonggaran kepada delapan pengutang BLBI menyelesaikan kewajiban hingga akhir Desember 2006, (2) pola pembayaran PKPS dilakukan dengan 70 persen tunai dan 30 persen near cash, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) paling lambat akhir 2006. Debitur BLBI yang mampu melunasi kewajibannya hingga akhir Desember 2006 akan menerima surat keterangan PKPS dari Menkeu (dibebaskan dari tuntutan pidana). Lihat dalam Abdul Rahman Saleh, loc. cit., hlm. 324-327.
100 miliar untuk masing-masing obligor. Sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pasal 36 ayat 4 disebutkan bahwa piutang Negara yang mencapai lebih
dari Rp. 100 miliar dalam penyelesaiannya ditetapkan oleh Presiden
setelah mendapat pertimbangan DPR. Berdasarkan keputusan DPR
pada 6 Februari 2008, terhadap obligor yang belum menyelesaikan
kewajibannya sesuai APU reformulasi akan ditindaklanjuti dengan
serangkaian tindakan pengurusan piutang Negara berupa penetapan
jumlah piutang Negara sehingga dapat ditindaklanjuti dengan
penetapan surat paksa, penyitaan terhadap harta kekayaan dan
gijzeling.150 Namun demikian hendaknya pemerintah mengkaji
kembali atas rencana pengenaan gijzeling terhadap obligor yang belum
melunasi kewajibannya, mengingat konsistensi yang selama ini
dipegang dan untung rugi atas diterapkannya gijzeling terhadap
pemulihan kerugian uang Negara. Pertimbangan “konsistensi”
pemerintah melakukan reformulasi perjanjian APU terhadap kedelapan
obligor tersebut diatas karena pada perjanjian APU awal tidak ada
mekanisme tentang asset settlement sehingga terhadap obligor yang
hingga batas waktu Maret 2006 belum juga menyelesaikan
kewajibannya dan juga menolak untuk kembali pada APU awal mau
tidak mau akan diselesaikan melalui APU reformulasi dengan
kombinasi pembayaran tunai dan penyerahan aset.
150 Dibacakan dalam Keterangan dan Jawaban Pemerintah RI Mengenai Penyelesaian KLBI
dan BLBI pada Rapat Paripurna DPR RI 12 Februari 2008. Lihat dalam http://www.presidenri.go.id/../856.html. Lembaga gijzeling adalah proses hukum dalam hukum perdata untuk penyelesaian hutang yang tidak dibayar berdasarkan niat buruk pengutang diajukan oleh dengan biaya ditanggung pemohon. Gijzeling diberlakukan melalui Perma Nomor 1 Tahun 2000 dapat diterapkan setelah adanya putusan pengadilan pada proses perdata yang telah in kracht, dengan jangka waktu terbatas yaitu hanya 6 (enam) bulan dan diperpanjang maksimal selama 3 (tiga) tahun dan si berhutang tidak mau melakukan pembayaran sesuai dengan doktrin imprisonment for civil debts. Selain itu negara harus memiliki hak untuk menggunakan hukum publik selayaknya hukum pidana, sehingga harus melalui settlement court. Lihat dalam http://beritasore.com/2008/04/11/gijzeling.
Ketika tekstur hukum terbuka maka penilaian hukum akan
kehilangan kekhususannya dalam menentukan apa yang secara hukum
benar dan salah pada kasus tertentu dengan mempertimbangkan tujuan,
hambatan situasional, dan alternatif praktis. Hukum pidana dipaksa
untuk melihat konteks yang jauh melampaui perbuatan, dengan
terkikisnya peraturan-peraturan, berlipatgandanya alasan-alasan
pemaaf, tumbuhnya doktrin pertanggungjawaban yang kompleks
merupakan analisis pengkategorian yang tumpang tindih dibidang
kejahatan.151 Pemberian kesempatan berulang kali dilakukan dalam
berbagai bentuk perjanjian pelunasan utang, reformulasi berupa
pengurangan kewajiban dan tenggang waktu pembayaran yang dapat
dimundurkan melalui Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal
16 Maret 2006 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan merupakan
kenyataan proses penyelesaian kasus BLBI yang berlarut-larut. Sikap
politik pemerintah dalam menentukan rangkaian kebijakan untuk
mengatasi penyelesaian kasus BLBI didasarkan pada fakta adanya
landasan hukum yang “sah” setelah melalui proses politik, adanya
hasil audit BPK terhadap recovery asset tahun 2006 dijadikan dasar
bagi pemerintah untuk melanjutkan penyelesaian kasus BLBI secara
out of court settlement sedangkan punitive sanction hanya akan
dikenakan pada obligor yang tidak kooperatif dan melakukan
perbuatan melawan hukum sebagai bagian dari apa yang disebut
pemerintah sebagai konsistensi kebijakan demi menjamin kepastian
hukum.
3) Konsistensi pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian
hukum melalui out of court settlement
Nilai kepastian hukum yang dipertahankan pemerintah sebagai
alasan mutlak dikeluarkannya kebijakan penyelesaian out of court
151 Philippe Nonet-Philip Selznick, op. cit., hlm. 100.
settlement dalam kasus BLBI dinilai hanya mengedepankan pentingnya
kepastian hukum tanpa mempertimbangkan nilai keadilan bagi
masyarakat dan kepentingan hukum. Dominasi kepastian hukum dalam
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 nampak dari tujuan yang hendak dicapai
dari lahirnya sebuah kebijakan berupa pemberian jaminan kepastian
hukum berdasarkan penyelesaian kewajiban dalam perjanjian-
perjanjian, meliputi MSAA dan APU. Penyelesaian kewajiban tersebut
akan disertai dengan pelepasan dan pembebasan debitur dari aspek
pidana.
Nilai kepastian hukum dimaknai secara limitatif oleh pembuat
kebijakan dengan mengesampingkan makna kepastian hukum yang
termasuk juga konsistensi terhadap undang-undang yang berlaku. Nilai
kepastian hukum yang mendominasi mengabaikan keberadaan nilai
dasar lain, yaitu keadilan. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan
Jaksa Agung Abdulrahman Saleh bahwa rasa keadilan justru terabaikan
bilamana menilai kebijakan pemerintah dalam penyelesaian kasus
BLBI dengan menggunakan tolak ukur keadilan karena situasi kritis
yang dinilai luar biasa yang dihadapi saat itu.152 Ukuran keadilan
dipandang berbeda baik secara absolut maupun secara relatif. Keadilan
absolut berlaku dimana saja dan kapan saja, sedangkan keadilan relatif
diberlakukan berbeda-beda menurut tempat dan waktunya. Perbedaan
ukuran berlakunya keadilan menjadi dasar bagi pemerintah dalam
memilih kebijakan penyelesaian out of court settlement diluar dogma
keadilan berlaku secara universal.
Hukum pidana hanya merupakan salah satu cara saja, maka
secara bersamaan juga perlu dilakukan upaya-upaya lain secara sinergis
untuk menanggulangi kejahatan. Walaupun demikian penggunaan
hukum pidana tetap diperlukan sebagai sarana pencelaan masyarakat
dan negara terhadap kejahatan dan pelakunya, dengan memperhatikan 6
152 Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 329.
prinsip menurut Nigel Walker, salah satu diantaranya hukum pidana
tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai.153
Terlepas digunakan atau tidaknya prinsip pembatasan hukum pidana
tersebut dalam penyelesaian kasus BLBI, serangkaian kebijakan yang
diambil pemerintah mengarah pada penggunaan out of court settlement
dinilai lebih baik dan damai untuk diterapkan dimana pemerintah tetap
konsisten melakukan asset tracing terhadap 8 (delapan) obligor yang
dilakukan mulai 1 Januari 2007. Kelanjutan asset tracing akan diikuti
dengan melakukan lelang aset yang hasilnya akan dimasukkan dalam
kas negara melalui mekanisme konversi aset menjadi uang tunai oleh
Panitia Urusan Piutang Negara dibawah Departemen Keuangan dengan
target kurang lebih 6 (enam) bulan. Konsistensi pemerintah akan terus
berlanjut, bahkan bila aset yang diperoleh dan kemudian dilelang
tersebut tidak mencukupi jumlah utang, melakukan pengejaran karena
konteksnya adalah kas Negara. 154 Namun demikian hendaknya
terhadap obligor yang tidak kooperatif segera ditentukan batas waktu
pengejaran, bila tidak maka pertimbangan yang mendasari penggunaan
out of court settlement atas adanya prinsip biaya dan hasil tidak berlaku
karena biaya operasional yang harus disediakan untuk jangka waktu tak
terbatas dengan hasil minimum.
4) Inefektivitas sarana penal
153 Prinsip yang membatasi penggunaan hukum pidana menurut Nigel Walker meliputi.
1. Hukum pidana tidak digunakan dengan tujuan semata-mata untuk pembalasan; 2. Tindak pidana yang dilakukan harus menimbulkan kerugian dan korban yang jelas. 3. Hukum pidana tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai. 4. Kerugian yang ditimbulkan pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat tindak pidana. 5. Mendapat dukungan masyarakat. 6. Dapat diterapkan secara efektif.
Lihat dalam Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, op. cit., hlm.78.
154 http://m.detik.com/read/2006/12/26.
Perkembangan penyelesaian kasus-kasus pidana dalam praktik
ini menyimpang dari paradigma lama yang dianut dalam sistem hukum
pidana klasik yaitu tujuan pidana untuk efek jera bagi pelaku dan fungsi
preventif bagi orang lain mengarah pada model penyelesaian dengan
restoratif-rehabilitatif yang diambil dari spirit penyelesaian menurut
hukum adat yang telah dimodernisasi untuk memulihkan keadaan,
meskipun sulit diterima masyarakat dan dipandang tidak sejalan dengan
rasa keadilan masyarakat, 155 terutama keadilan yang menetapkan
standar umum untuk memperbaiki perilaku dan tujuan yang hendak
dicapai melalui ukuran yang obyektif bahwa hukum harus
memperbaiki kejahatan dan ganti rugi harus memulihkan keuntungan
yang tidak sah.156
Pemerintah melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Release and Discharge menawarkan penyelesaian yang dibayar dengan
kepastian hukum berupa pelepasan dari segala proses hukum. Prosedur
hukum inilah yang dihindari oleh para debitur sehingga sedapat
mungkin dilakukan agar aparat hukum bersedia “menggeser” wilayah
hukum dari pidana ke wilayah hukum perdata. Pergeseran hukum dari
pidana ke perdata merupakan bentuk dekriminalisasi yang hanya
ditentukan berdasarkan kebijakan pemegang wewenang. Perubahan
masyarakat yang begitu cepat kadang tidak dapat diikuti oleh hukum
yang ada, dimana hukum harus mengikuti perubahan tersebut. Suatu
proses dekriminalisasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan
pemegang kebijakan berupa keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang
ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu dan
terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga
155 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 73. 156 Aristoteles membedakan keadilan atas keadilan distributif dan keadilan korektif. Dalam
Khudzaifah Dimyati, op.cit, 2005, hlm. 53.
penerapannya akan menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum.157
Keraguan akan tujuan yang hendak dicapai dengan menetapkan sanksi-
sanksi negatif berupa penjatuhan pidana pada debitur yang tidak
kooperatif menjadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap
konsisten menyelesaikan kasus dana BLBI secara out of court
settlement, selain itu prioritas utama adalah pengembalian uang negara
mengingat situasi ekonomi yang membutuhkan kecepatan pengambilan
keputusan.
Penilaian bahwa out of court settlement lebih mampu menjadi
upaya penyelesaian kasus BLBI disebabkan adanya pandangan bahwa
proses peradilan justru memakan waktu yang lama, dengan biaya dan
tenaga yang tidak sedikit untuk pengembalian uang negara.158
Penegakan hukum di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih
terdapat kelemahan dalam bidang politik, ekonomi, keuangan, dan
iklim perbankan yang kurang bahkan tidak sehat, sehingga penegakan
hukum pidana sulit dilaksanakan secara konsisten dan sesuai dengan
asas kepastian hukum serta imparsialitas peradilan masih diragukan.159
Kejahatan merupakan gejala, dimana sebab-sebab yang menjadi faktor
kondusif timbulnya kejahatan tidak dapat diatasi dengan hanya
menggunakan upaya “penal”, disinilah letak keterbatasan jalur “penal”
157 Soerjono Soekanto, loc. cit., hlm. 156. Suatu proses dekriminalisasi yang
mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang kebijakan, antara lain : 1. Sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku
tertentu. 2. Adanya kemungkinan nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap
perilaku tertentu mengalami perubahan. 3. Timbul keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-
sanksi negatif tertentu. 4. Adanya keinginan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif
tertentu sangat besar. 5. Terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan
menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum. 6.
158 Mokhamad Najih, op. cit., hlm. 35. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto, ibid., hlm. 156.
159 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 75.
yang perlu ditunjang dengan oleh jalur “non penal”. Demikian pula
dengan efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya
tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.160
3. Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi BLBI Melalui Sarana Penal
Pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia lebih dikenal dengan
istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)161 diberikan oleh Bank
Indonesia dari segi yuridis dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of
last resort162 merupakan penyediaan likuiditas oleh bank sentral pada
lembaga keuangan atau pasar karena terjadi shock secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan peningkatan permintaan likuiditas secara abnormal yang tidak
160 Johannes Anderson menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana harus dilihat dari
keseluruhan, karena adanya saling mempengaruhi antara hukum dan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan. Sedangkan menurut Karl O. Christiansen menyatakan adanya pertimbangan politik kriminal yang rasional dimana pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit untuk diukur. Lebih lanjut dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 44-49.
161 Istilah BLBI atau liquidity support dikenal sejak 15 Januari 1998 sebagaimana
ditegaskan pemerintah dalam Letter of Intent dengan International Moneter Fund (IMF) yang menyatakan pentingnya bantuan likuiditas Bank Indonesia pada perbankan menjadi salah satu prasyarat cairnya bantuan IMF. Dalam arti luas liquidity support meliputi kredit subordinasi, Kredit Likuiditas Darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun BLBI saat itu mencakup bantuan likuiditas pada bank untuk menutup kekurangan likuiditas berupa saldo debet, fasilitas diskonto SBPU khusus serta talangan untuk membayar kewajiban luar negeri. http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, loc.cit., 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia merupakan dana bank sentral yang dipergunakan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam jumlah besar dalam rangka menghindari efek negatif pada sistem perbankan. Lihat dalam Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 91-94. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebagai fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun jangka panjang. Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 2. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm 3.
162 Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank (BI) dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Pasal 37 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
dapat dipenuhi oleh sumber-sumber lainnya.163 Bantuan likuiditas dalam
berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima menurut
tujuannya, dana BLBI diperuntukkan membayar dana pihak ketiga
(masyarakat). Namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar
transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.
Bantuan likuiditas pada awalnya merupakan obyek dalam hukum
perdata, karena adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau
kontrak sebagai kreditur dan debitur. Kelemahan dalam pemberian kredit
likuiditas darurat, antara lain ketidakjelasan kriteria bank yang dapat dipilih
sebagai bank penerima kredit, prosedur pengawasan yang kurang efektif,
dan adanya moral hazard penyalahgunaan bantuan oleh pemilik dan
pengurus bank, serta mismanajemen dalam bank bersangkutan merupakan
salah satu masalah internal yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan,
termasuk fungsi pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia yang
dilakukan tidak sesuai dengan prosedur membuka celah bagi debitur
menyalahgunakan dana BLBI.164 Timbulnya penyalahgunaan dana BLBI
yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara membawa
implikasi pada bergesernya hubungan hukum dari hukum perdata menuju
hukum pidana menjadi dasar penyelesaian pengembalian dana BLBI.
163 Suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun
dana dalam rekening giro bank tidak mencukupi sehingga harus mencari sumber pendanaan lain, baik simpanan bank itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain. Bilamana pandanaan masih tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening giro bank bersangkutan di BI. Pada saat terjadi krisis, bank-bank yang telah bersaldo negatif tetap diperbolehkan melakukan kliring untuk mempertahankan stabilitas perbankan di masyarakat. Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 4.
164 Struktur perbankan Indonesia dikatakan rentan karena pelaksanaan liberalisasi yang
terlalu cepat, ditandai dengan pertumbuhan jumlah bank yang pesat tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank sentral, lemahnya penerapan prinsip good corporate governance karena konsentrasi kepemilikan amat tinggi, terjadi economic boom dan integrasi keuangan internasional. Sehingga perbankan Indonesia tidak siap dalam menghadapi krisis keuangan yang terjadi di Asia pada tahun 1997. Kusumaningtuti, op.cit., hlm. 2.
Terkait dengan tugasnya Badan Pemeriksa Keuangan melakukan
audit investigasi terhadap kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada
pemerintah sebagai berikut.165
Tabel I. Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah
Deskripsi Jumlah (Rp. juta) Bank Beku Operasi (BBO), 10 bank 57.686.947 Bank Take Over (BTO), 5 bank 57.639.214 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), 18 bank 17.320.988 Bank Dalam Likuidasi (BDL), 15 bank 11.888.937 Total 144.536.086
Hasil audit investigasi yang dilakukan oleh BPK menemukan adanya
penyimpangan dalam penyaluran BLBI oleh BI dan penyimpangan
penggunaan BLBI oleh bank penerima, yaitu : 166
Tabel II. Penyimpangan penyaluran BLBI dan penyimpangan
penggunaan BLBI
Temuan Audit Investigasi
BLBI yang disalurkan
Potensi kerugian Negara/penyimpangan (Rp. juta)
%
165 Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah. Dalam Indonesian
Corruption Watch, op. cit., hlm 5. Lihat juga Lampiran II Bank-bank penerima BLBI per 29 Januari 1999. Dalam Marwan Batubara, loc.cit. hlm. 43. Pemeriksaan investigasi diupayakan untuk menstabilkan keuangan Negara pada posisi semula. Setelah pemeriksaan berakhir dilaksanakan, pemeriksa wajib menyusun laporan hasil pemeriksaan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pemeriksaan yang dilaksanakan dan jika diperlukan dapat diususun laporan intern pemeriksaan yang diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan secara keseluruhan dengan tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya kerugian Negara. Lihat dalam Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 66.
166 Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah. Dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm 5. Lihat juga Lampiran III Daftar potensi kerugian negara dalam penyaluran BLBI. Dalam Marwan Batubara, loc.cit. hlm. 44-45.
A. Penyaluran BLBI oleh BI 1. Saldo debet 2. FSBUK 3. Fasilitas Saldo Debet 4. New Fasdis 5. Dana talangan Rp. 6. Dana talangan valas
144.536.086 18.163.169 28.231.481 54.460.895 28.530.968 5.335.003 9.814.570
138.442.026 18.163.169 28.231.481 54.460.895 28.530.968 142.903 8.912.610
95.78 100 100 100 100 2.68 80
B. Penggunaan BLBI oleh bank penerima
144.536.086 84.842.162 58.70
Audit yang dilakukan oleh BPK secara umum menyimpulkan, dalam
pemberian dana talangan valas kepada perbankan nasional terdapat
penyimpangan yang dilakukan BI, yaitu.167
a. Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai
sebelum melaksanakan pembayaran valas.
b. Melakukan pengikatan jaminan yang tidak sepenuhnya dapat
menjamin pengembalian dana talangan dari bank debitur dalam negeri
yang mendapat pinjaman dana talangan valas.
c. Melakukan pembayaran yang menyalahi ketentuan.
d. Tidak menciptakan prosedur pengendalian terhadap penggunaan dana
talangan valas oleh bank debitur dalam negeri dan pengembalian valas
dari kreditur luar negeri.
Dari total penerimaan dana BLBI pada 48 bank, senilai Rp.144,53
triliun, telah ditemukan penyimpangan-penyimpangan mencapai nilai
Rp.84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan dana BLBI, diuraikan sebagai
berikut. 168
167 Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm 7.
Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000. Laporan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK dan BPKP menyebutkan bahwa kerugian Negara juga disebabkan oleh peranan BI, antara lain pengawasan perbankan, lalai dalam melakukan pengamanan terhadap bank yang dalam laporannya terindikasi pelanggaran BMPK, prinsip prudential, dan kejanggalan mutasi akuntasi.
168 Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000, dalam ibid.
Tabel III. Uraian penyimpangan penggunaan BLBI
P
E
P
Penyimpangan terbesar dilakukan oleh 5 bank, yang mencapai 74%
dari total penyimpangan 48 bank penerima BLBI, yaitu : 169
Tabel IV. 5 (lima) besar penyimpangan BLBI
Nama Bank Nilai penyimpangan
BLBI
% Pemilik
Bank Dagang Nasional Indonesia
24,47 triliun 28,84 Sjamsul Nursalim
Lihat juga Lampiran 4 Daftar potensi kerugian Negara dalam penyimpangan penggunaan BLBI berdasarkan bank penerima per 29 Januari 1999. Dalam Marwan Batubara, op. cit. hlm. 46-47.
169 Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000, dalam ibid., hlm. 7. Lihat juga dalam Munir Fuady, op. cit., hlm. 106.
No.
Uraian Penyimpangan Jumlah (Rp.juta)
1 BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman atau pinjaman subordinasi
46.088
2 Untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis
113.812
3 Untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait 18.505.140 4 Untuk transaksi surat berharga 136.902 5 Untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang
melanggar ketentuan 4.469.316
6 Untuk membiayai kontrak derivative baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/ cut loss
22.363.682
7 Untuk membiayai placement baru di PUAB 9.822.383 8 Untuk membiayai ekspansi kredit atau
merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada
15.812.953
9 Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen personal baru, peluncuran produk baru, penggantian system baru.
456.357
10 Untuk membiayai over head bank umum 87.144 11 Untuk membiayai lain-lain yang tidak termasuk
butir 1-10 di atas 10.028.324
Jumlah 84.842.162
Bank Central Asia 15,82 triliun 18,64 Soedono Salim
Bank Danamon 13,8 triliun 16,27 Usman Admadjaja
Bank Umum Nasional (BUN)
5,09 triliun 6,00 Bob Hasan
Bank Indonesia Raya (BIRA)
3,66 triliun 4,31 Atang Latief
Potensi kerugian Negara akibat penyimpangan-penyimpangan
tersebut diatas disebabkan adanya fakta-fakta, yaitu :
1. BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp.144,53 triliun (posisi 29 Januari 1999)
2. Pemerintah harus membayar bunga kepada BI sebesar 3 % per tahun dari nilai BLBI setelah disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen.
3. Bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah.
4. Apabila BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai dengan pedoman akuntansi BI, BLBI kepada BBO/BBKU/BDL akan disisihkan sebagai kerugian 100% dan untuk BLBI kepada BTO akan disisihkan sebagai kerugian 2-20%.
5. BPPN dan tim likuidasi Bank-Bank Dalam Likuidasi melakukan upaya pengembalian BLBI, tetapi karena membutuhkan waktu, potensi kerugian Negara saat audit dilakukan belum bisa dihitung.
6. BLBI kepada BTO akan dikonversi menjadi penyertaan (equity) pemerintah, pengembalian BLBI akan sangat tergantung dari divestasi yang dilakukan.
Berdasarkan data-data berkaitan dengan penyimpangan BLBI baik
dalam hal penyaluran oleh BI maupun penggunaannya oleh bank penerima
sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat ditemukan adanya unsur-unsur
tindak pidana dalam BLBI, antara lain sebagai berikut :
1. Penggunaan BLBI diluar ketentuan yang telah ditentukan.
Dana kredit likuiditas (BLBI), pada prinsipnya hanya boleh
dipergunakan untuk membayar nasabah, namun beralih pada
penggunaan lain sebagaimana diuraikan dalam Tabel III diatas, telah
memenuhi unsur tindak pidana melawan hukum. Uraian salah satu
unsur inilah yang dapat memasukkan penyimpangan-penyimpangan
dalam kasus BLBI dalam ranah hukum pidana.170
2. Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
Pembatasan pemberian kredit kepada kelompok sendiri, dikenal
dengan BMPK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 4 tidak melebihi 10 persen
(10%) modal bank, namun pada kenyataannya kredit diberikan pada
unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan
melebihi batas yang telah ditetapkan.171 Pelanggaran BMPK sesuai
dengan Pasal 49 ayat 9 (2) jo. Pasal 50 jo. Pasal 50 A UU No.10 Tahun
1998 tentang Perbankan merupakan tindak pidana.
3. Pemberian fasilitas kliring yang diberlakukan BI meskipun rekening
bank yang bersangkutan telah bersaldo negatif. Keadaan perekonomian
yang tidak stabil tidak dapat dijadikan alasan yang membenarkan
proses kliring terhadap bank yang bersaldo negatif tetap berlangsung,
melainkan seharusnya mengambil tindakan untuk menghentikan
operasional bank bersangkutan, melakukan rekapitulasi tanggungan
kewajiban pada pihak ketiga terutama nasabah. Selain itu BI dalam
melakukan pengikatan jaminan tidak sepenuhnya dapat menjamin
170 Penyalahgunaan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dilakukan para
bankir pemerintah dan swasta penerima BLBI merupakan salah satu bentuk kejahatan bisnis. Hasil audit BPK, 31 Juli 2000 menyebutkan, dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum nasional, sebesar Rp 138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan berpotensi merugikan Negara, karena kurang jelas pengunaannya. BPK menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8 triliun, antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk membiayai kontrak derivatif atau spekulasi valas. Audit yang dilakukan BPKP terhadap 42 bank penerima BLBI, 17 Juli 2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 53,4 triliun penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan dan Rp 1,159 triliun penyalahgunaan non tindak pidana korupsi atau non tindak pidana perbankan. Penyalahgunaan BLBI paling besar menurut audit BPKP adalah spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan membayar kepada pihak terkait. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27-No 2 Tahun 2008, loc.cit., hlm. 49. Lihat juga dalam artikel BLBI dan Hukum Yang Bungkam http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16.
171 Samsul Nursalim sebagai pemilik BDNI menurut kantor akuntan Ernst and Young bahwa seluruh kredit per 13 April 1998 sebesar Rp 16,904 triliun, dimana 75,6 persen (75,6%) dari seluruh uang dipinjamkan sebagai kredit. Lihat dalam Kwik Kian Gie, loc. cit., hlm. 168.
pengembalian dana talangan dari bank debitur dalam negeri yang
mendapat pinjaman dana talangan valas. 172
4. Penggelembungan nilai aset oleh debitur BLBI dalam upaya menutup
kewajiban yang harus dibayarkan pada pemerintah.
Menurut audit BPK, dari total jaminan aset yang diserahkan ke
BPPN dari BI senilai Rp. 132,77 triliun, sedangkan besaran dana BLBI
yang dikeluarkan pemerintah senilai Rp. 144,5 triliun. Adapun nilai
komersial aset hanya mencapai Rp. 12,29 triliun, sehingga terdapat
penggelembungan aset sebesar Rp. 120,5 triliun oleh pihak perbankan.
Selebihnya tidak mempunyai nilai komersial, misalnya tidak likuid,
bermasalah dengan hukum dan fiktif. Namun demikian dengan nilai
aset yang jauh dari laporan yang diberikan, debitur tetap menerima
fasilitas release and discharge berupa SKL sehingga bebas dari
tuntutan pidana.173 Penggelembungan nilai aset dilakukan oleh para
debitur, salah satu diantaranya adalah Syamsul Nursalim (SN).
Berdasarkan MSAA kewajiban pembayaran SN mencapai Rp. 28.408
triliun, dengan skema pembayaran sebagai berikut :
a. Pembayaran tunai senilai Rp. 1 triliun.
b. Pembayaran dengan penyerahan aset dengan perkiraan mencapai
Rp. 27,4 triliun.
Review ulang yang dilakukan oleh BPK atas aset-aset tersebut
hanya mencapai Rp. 25,131 triliun (8,6%) dari nilai yang disepakati
sebelumnya. Penurunan aset terbesar adalah perusahaan tambak
Dipasena, penilaian aset oleh Credit SuisseFirast Boston dan SN
mencapai Rp. 19,961 triliun sedangkan penilaian yang dilakukan oleh
172 Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 7. Sumber Laporan Audit BPK
No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000. Laporan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK dan BPKP menyebutkan bahwa kerugian Negara juga disebabkan oleh peranan BI, antara lain pengawasan perbankan, lalai dalam melakukan pengamanan terhadap bank yang dalam laporannya terindikasi pelanggaran BMPK, prinsip prudential, dan kejanggalan mutasi akuntasi.
173 Marwan Batubara, op.cit., hlm. 182-183.
PricewaterhouseCoopers sepengetahuan DPR hanya mencapai kurang
dari Rp. 1 triliun.174 Mark up nilai aset dari nilai sesungguhnya
merupakan suatu tindak pidana melanggar Pasal 49 ayat 1 Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berkaitan dengan pencatatan
laporan keuangan yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan
pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 10 miliar.175
Penyalahgunaan dana BLBI merupakan suatu bentuk tindak pidana
korupsi yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (white collar
crime), White collar crime sebagai kegiatan di bidang bisnis sering terjadi
dalam bentuk penyampaian laporan keuangan suatu perusahaan secara tidak
benar, penyuapan pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk memperoleh kemudahan dan penyimpangan penggunaan
dana termasuk dalam kasus penyalahgunaan BLBI.176 Maka penyelesaian
pengembalian uang negara dalam bentuk utang yang diberikan berupa dana
BLBI yang bertujuan membayar pihak ketiga (masyarakat) sebagai nasabah
telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI
yang menimbulkan kerugian keuangan negara dinilai telah cukup memenuhi
rumusan pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001 untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam
proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
174 Ibid. hlm. 188-189. Lihat juga dalam Lihat dalam Kwik Kian Gie, op. cit., hlm. 172-
174. 175 Lihat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 49 ayat 1 huruf a,b,dan c. 176 Dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada 1939, white collar crime diartikan sebagai
kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. Lihat dalam M. Arief Amrullah, loc. cit., hlm. 21-25. Kejahatan bisnis telah memasukkan konsep hukum pidana dengan sifat memaksa kedalam lingkup hukum perdata sebagai penerimaan (kooptasi). Implikasinya pada pola penyelesaian antara kooptasi hukum pidana dalam lingkup hukum perdata secara mutlak, sehingga tidak terdapat bargaining dan masih adanya ruang untuk melakukan tawar-menawar dalam pola penyelesaian dimaksud, lihat dalam Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 38-39.
Pertanggungjawaban pidana juga dapat dilakukan terhadap
pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terjadi karena
pemberian kredit bank yang seharusnya dibatasi pada unit usaha yang
dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan, sebesar 10 persen (10%)
modal bank, tidak dipatuhi sehingga dinilai telah melanggar Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan.
Atas dasar kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari
kejahatan korporasi, maka sangat beralasan jika kebijakan kriminal
(criminal policy) diorganisasikan secara sistematis guna penanggulangan
kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara
berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata,
hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non-
yuridis, yakni dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam rangka
mengatasi kendala-kendala penggunaan bidang hukum lainnya. Dalam
kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umumnya
pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum
remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium, diharapkan dalam
hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. (1) Tingkat kerugian yang
diderita publik; (2) Tingkat keterlibatan corporate managers; (3) Lamanya
masa pelanggaran; (4) Frekuensi pelanggaran oleh korporasi; (5) Bukti-
bukti kesengajaan tindak pidana; (6) Bukti telah terjadinya penyuapan; (7)
Reaksi negatif dari media massa; (8) Preseden dalam hukum; (9) Riwayat
kejahatan serius yang dilakukan korporasi; (10) Kemungkinan pengaruh
pencegahan; (11) Tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi.177
Kejahatan ekonomi atau “white collar crime” mencakup pula
kejahatan korporasi, yakni setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi
yang diancam sanksi, baik itu hukum administrasi, hukum perdata atau
177 Muladi, op. cit., hlm. 150.
hukum pidana. Kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit
antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan
“mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan “sungguh-sungguh
jahat” tetapi lebih karena kesialan ( unfortunate mistake) atau secara teknis
tidak berbuat apa yang diharuskan (technical omission). Krisis moneter
yang terjadi secara sistemik di seluruh wilayah Asia sehingga sulit untuk
dibendung ketika krisis ini menjalar pada perbankan nasional dijadikan
alasan oleh debitur dalam mempertanggungjawabkan kesalahannya.178
Kejahatan ekonomi, khususnya kejahatan korporasi, telah menjadi
perhatian nasional maupun internasional karena dimensinya cukup luas
dilihat dari sudut korban yang menanggung akibatnya (viktimologi), seperti
perusahaan saingan, negara, karyawan, konsumen, masyarakat, dan
pemegang saham. Belum lagi kerugian tidak langsung seperti biaya sistem
peradilan yang mahal, karena biasanya kasus dan sasaran korbannya juga
sangat kompleks. Faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya
kejahatan ekonomi karena ciri-ciri sebagai berikut: kompleks, difusi
tanggung jawab, difusi korban, sulit dideteksi, sanksi kurang berat serta
hukum dan status pelaku yang mendua.
Hukum pidana, menurut Utrecht, memberi suatu sanksi istimewa,
baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum
publik.179 Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan
oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun hukum publik dengan
membuat sanksi istimewa karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan
pemerintah yang lebih keras. Tindakan keras inilah yang umumnya
dianggap mampu memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus diharapkan
mampu mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan
pemerintah terkait dengan kasus penyalahgunaan dana BLBI yang dilakukan
178 Pengaturan perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian, termasuk pengaturan yang berkenaan dengan kecukupan modal, sebenarnya telah diperkenalkan jauh sebelum krisis Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 4-5.
179 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, loc. cit., hlm. 10.
pada saat terjadi krisis perbankan dan moneter di Indonesia pada tahun
1997.
Prinsip hukum pidana sebagai primum remidium bukan suatu hal
yang mustahil dengan tetap mempertimbangkan kemanfaatan sarana hukum
pidana untuk memulihkan kerugian keuangan negara dan kerugian pada
pihak ketiga sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dalam bidang
keuangan dan perbankan.180 Hukum pidana dapat menjadi primum
remidium jika: 181
a. korban sangat besar;
b. terdakwa residivis;
c. kerugian tidak dapat dipulihkan.
Salah satu alasan yang memperkuat penggunaan fungsi hukum
pidana sebagai primum remidium dalam kejahatan bisnis yang didalamnya
tidak terdapat ruang untuk tawar-menawar antara pola penyelesaian melalui
hukum perdata dan hukum pidana adalah besarnya korban baik masyarakat
sebagai nasabah dan negara sebagai penanggung jawab kestabilan sistem
perbankan nasional yang memberikan dana BLBI untuk menalangi
sementara bagi para nasabah. Bahkan pengembaliannya melalui out of court
settlement yang ditempuh secara konsisten oleh pemerintah selama ini dari
berbagai tagihan pembayaran dari para obligor belum mampu menutup
jumlah kerugian yang diderita negara dan akibatnya bagi perekonomian
negara.
Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejak kasus
BLBI ditangani Kejaksaan Agung pada tahun 2000 hingga tahun 2005, dari
65 orang tersangka yang telah dilakukan pemerikaan, baru 16 orang
tersangka yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, sebagai berikut.
180 Permasalahan yang muncul adalah mengenai pemilihan dan penetapan pidana apa yang paling tepat dengan melihat dari segi manfaat dijatuhkannya pidana, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious” Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, loc.cit., hlm. 132.
181 Menurut H.G de Bunt dalam Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 77.
Pengadilan atas 16 Orang Tersangka BLBI 182
No. Vonis Pengadilan Jumlah (orang)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Seumur hidup (in absentia) 20 tahun penjara (in absentia) 8 tahun penjara 4 tahun penjara Dibawah 1 tahun Bebas
3 orang 2 orang 1 orang 1 orang 6 orang 3 orang
Total 16 orang
Proses hukum melalui peradilan pidana bukannya tidak ada namun
demikian proses hukum berlangsung demikian lambat, hal ini nampak dari
sejumlah 16 kasus yang dilimpahkan, baru 5 kasus yang telah divonis di
tingkat kasasi dan telah in kracht dan putusan tanpa dihadiri terdakwa,
karena yang bersangkutan telah melarikan diri. Sedangkan 11 kasus lainnya
masih dalam proses dan belum jelas kepastian hukumnya.
Hasil yang dicapai dari proses peradilan secara keseluruhan dinilai
sangat mengecewakan. Tiga tersangka, yaitu Leonard Tanubrata, Kaharudin
Ongko, dan Leo Ardiyanto memperoleh vonis bebas oleh pengadilan. Dari
13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama,
banding, atau kasasi, hanya Hendrawan Hartono, terpidana kasus korupsi
BLBI Aspac, yang dapat dilakukan eksekusi. Dibutuhkan waktu selama 4
tahun untuk sampai pada putusan yang in kracht setelah adanya putusan
Peninjauan Kembali oleh MA dengan vonis 1 tahun penjara. Selebihnya
para terdakwa melarikan diri keluar negeri ketika proses hukum
berlangsung,183 termasuk David Nusa Wijaya pemilik Bank Sertivia dan
Adrian Kiki selaku pemilik Bank Surya.
David Nusa Wijaya adalah pemegang saham non kooperatif
meskipun telah menandatangi APU dengan BPPN, dengan JKPS awal Rp.
182 Marwan Batubara, op.cit. hlm. 87. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, op.
cit., hlm. 18. 183 Marwan Batubara, ibid., hlm. 86. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, ibid.
3,336 triliun dan turun menjadi Rp. 2,305 triliun berdasarkan JKPS
Reformulasi, disamping pelanggaran lain sehingga uang negara yang dapat
ditagih kembali hanya sejumlaah Rp. 27,892 miliar atau recovery rate hanya
mencapai 0,84%. Sehingga BPPN menyerahkan tindakan hukum atas David
Nusa Wijaya pada pihak kepolisian, namun dalam proses hukum yang
bersangkutan melarikan diri keluar negeri dan diekstradisi. Selanjutnya
dijatuhi vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada
proses banding di Pengadilan Tinggi divonis empat tahun penjara, dan pada
tingkat Mahkamah Agung divonis lebih tinggi yaitu delapan tahun
penjara.184 Namun demikian hingga saat ini vonis belum dapat dieksekusi
karena terpidana kasus korupsi BLBI kembali melarikan diri keluar negeri.
Hal yang sama juga dilakukan oleh terpidana kasus korupsi BLBI
Adrian Kiki Ariawan. Perkembangan terbaru dalam upaya pengejaran
terhadap Adrian Kiki dimulai dengan keluarnya putusan Pengadilan
Australia (Magistrate of the State of Western Australia) pada 16 September
2009 yang menyatakan bahwa Adrian Kiki dapat diekstradisi ke Indonesia.
Meskipun atas putusan ini Adrian Kiki tidak menggunakan hak banding,
ektradisi belum dapat dilakukan karena dimungkinkan untuk melakukan
sejenis perlawanan dengan menyatakan belum mau diekstradisi untuk
menjalani pidana.185
Hukum pidana harus maju kedepan dalam hal dimana hukum lain
selain hukum pidana gagal. Sebagaimana dikemukakan Modderman, bahwa
negara seharusnya menjatuhkan pidana terhadap hal-hal yang bertentangan
dengan hukum, yang tidak dapat dihambat oleh upaya-upaya lain dengan
184 Kwik Kian Gie, op. cit., hlm. 215. Dari 16 orang PSP, mencakup 1 BTO dan 11 BBKU,
meskipun telah dikelola oleh BPPN selama empat tahun, tidak memperoleh SKL. Dengan demikian terdapat 7 bank yang dialihkan pada tim penyelesaian BPPN, sedangkan sisanya termasuk David Nusa Wijaya diproses ke lembaga peradilan. Selanjutnya dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 78. Reformulasi JKPS dilakukan setelah default pada batas yang ditentukan yaitu Maret 2004, adapun reformulasi ini memberi keringanan beban utang debitur berupa penurunan kewajiban sebagaimana tercantum dalam APU dan mundurnya tenggang waktu pengembalian kewajiban hingga Maret 2006.
185 http://www.detiknews.com/read/2009/10/15/15:35
baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remidium.186 Pada kasus
David Nusa Wijaya, sarana non penal telah dilaksanakan melalui
penandatanganan Akta Pengakuan Utang (APU) dengan BPPN yang
kemudian dilakukan reformulasi oleh pemerintah berupa penurunan jumlah
kewajiban dan mundurnya jatuh tempo pembayaran yang tidak dipenuhi
oleh yang bersangkutan sehingga kemudian penyelesaian terakhir yang
ditempuh pemerintah dalam hal ini diwakili BPPN adalah tindakan hukum
melalui proses peradilan pidana. Fungsi hukum pidana sebagai ultimum
remidium diupayakan sebagai jalan terakhir, meskipun demikian dalam
pelaksanaannya terhadap terpidana belum dapat dieksekusi karena
lambannya sikap tegas aparat penegak hukum dalam peradilan tindak pidana
korupsi.
Buruknya penanganan kasus BLBI diperparah dengan kebijakan
Jaksa Agung yang menghentikan proses penyidikan dengan mengeluarkan
SP3 terhadap debitur BLBI dengan alasan telah memperoleh Surat
Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8
Tahun 2002. Berdasarkan laporan BPK No.34G/XII/11/2006 debitur yang
memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) mencapai 21 orang, 187 antara
lain Syamsul Nursalim pemilik BDNI yang belakangan tersandung dalam
kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan selaku Ketua Tim yang
memimpin penyidikan lanjutan kasus BLBI. Pemberian SKL membawa
implikasi bagi para debitur dapat dinyatakan bebas dari tuntutan pidana
Inpres tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang
Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur
Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham, lebih dikenal dengan Inpres tentang release
and discharge. Berdasarkan Inpres ini, para debitur BLBI dianggap sudah
186 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 10. 187 Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 68.
menyelesaikan utangnya, walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban
pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan
sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang
diperiksa dalam proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila
kasusnya dalam proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau
bukti baru yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.
Upaya pengembalian uang Negara termasuk penyelesaian kasus
penyalahgunaan dana BLBI sebenarnya dapat ditempuh dengan
menggunakan sarana penal melalui persidangan in absentia bagi terdakwa
kasus korupsi BLBI. Berdasarkan catatan ICW, sedikitnya terdapat enam
kasus korupsi BLBI pada yang diperiksa dan diputus secara in absentia.188
Persidangan perkara korupsi secara in absentia dapat dibenarkan dalam
kerangka hukum positif di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 38
UU No. 31 tahun 1999 diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyebutkan jika
terdakwa dalam perkara korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak
hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (in absentia). Meskipun demikian
terhadap putusan in absentia tersebut masih dibuka kesempatan bagi
terdakwa atau kuasanya untuk mengajukan banding terhadap putusan yang
dijatuhkan. Pengkhususan terhadap terdakwa meninggal dunia sebelum
putusan dijatuhkan berupa penetapan oleh hakim atas penuntut umum untuk
melakukan perampasan barang-barang yang telah disita dengan
pertimbangan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan
188 Lihat juga dalam artikel Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia
http://antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viacat&cid=6. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil yang menunjukkan pelaksanaan peradilan in absentia sampai dengan saat ini efektif hanya terhadap pemeriksaan dan putusan perkara pidana terhadap terdakwa yang melarikan diri untuk menghindarkan diri dari penuntutan. Dalam Edi Irsan Kurniawan, Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi. http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journals&id=65&type=19&task=list.
telah melakukan tindak pidana korupsi, dan penetapan perampasan tersebut
tidak dapat dimohonkan upaya banding.
Peradilan kasus korupsi secara in absentia dinilai memiliki beberapa
keuntungan, yaitu :
a) Jaminan kepastian hukum
Upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum, meskipun
terdakwa melarikan diri, tetap berlangsung melalui peradilan in
absentia. Proses persidangan dari awal hingga vonis tanpa kehadiran
terdakwa (in absentia), meskipun diberi kesempata namun tidak
menggunakan kesempatan untuk menggunakan haknya di persidangan,
terhadap putusan yang telah in kracht tersebut dapat dilakukan eksekusi
baik terhadap aset maupun terpidana bilamana tertangkap kembali.
b) Keberadaan aset-aset dari pelaku korupsi bisa langsung disita dan
dieksekusi, sehingga jumlah kerugian negara dapat ditekan turut
ditentukan tindakan aparat penegak hukum untuk secara aktif
menangani kasus korupsi terutama tersangka maupun terdakwa yang
melarikan diri.
Sikap kompromistis pemerintah terhadap debitur BLBI didasarkan
pengalaman kegagalan BPPN sebelum dibubarkan dalam penyelesaian
kasus korupsi BLBI melalui proses hukum, baik perdata maupun pidana.
Mekanisme yang dimungkinkan secara perdata seperti penyitaan,
menggugat ke pengadilan, atau melakukan paksa badan
(gijzeling/penyanderaan) terhadap debitur yang membandel membayar
utang atau tidak mau menyerahkan asetnya. Upaya itu seringkali mengalami
kegagalan dan justru mendapat perlawanan, bahkan tidak sedikit yang kalah
di pengadilan. Sedangkan ketika diproses secara pidana seperti yang
diuraikan sebelumnya, hasilnya jauh dari memuaskan. Bahkan tidak
memberikan efek jera, karena pelakunya divonis ringan. Penjatuhan vonis
yang dinilai berat sekalipun tidak memberikan efek karena pada
kenyataannya terdakwa melarikan diri keluar negeri.
Proses penyelesaian kasus korupsi BLBI yang berjalan lamban,
terutama terhadap terdakwa dan terpidana yang melarikan diri keluar negeri,
turut dipengaruhi pula perbedaan sistem hukum negara sebagaimana dialami
oleh Tim Pemburu Koruptor yang terdiri atas Kejaksaan Agung,
Depkumham, Polri, Deplu, dan unsur PPATK dalam kasus Adrian Kiki
masih terkendala perlawanan dari yang bersangkutan. Keterbatasan yang
menyulitkan membawa kembali terdakwa dan terpidana koruptor untuk
menjalani pidananya adalah tidak adanya perjanjian ekstradisi di negara
yang menjadi tempat pelarian, misalnya Singapura. Inilah titik dimana
pemerintah seharusnya mulai mengambil tindakan tegas dalam upaya
mengembalikan uang negara tidak hanya terfokus pada konteks
pengembalian kas negara namun juga mempertimbangkan serangkaian
kebijakan penyelesaian kasus BLBI merupakan preseden hukum yang buruk
dalam lintasan sejarah hukum Indonesia, dimana asas-asas peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikesampingkan dengan proses politik
singkat untuk memunculkan keabsahan produk hukum sebagaimana
terdapat dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and
Discharge.
Sedangkan kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam perundang-
undangan dikesampingkan, upaya non penal hanya efektif dilaksanakan dan
dipenuhi oleh beberapa obligor. Namun demikian terhadap obligor yang
tidak kooperatif konsistensi pemerintah untuk mengupayakan pengembalian
uang negara dengan terus mengejar obligor tidak dibatasi waktu yang tegas
hingga kapan dilakukan. Fungsi pidana sebagai ultimum remidium
dikesampingkan, pidana dianggap tidak lagi efektif bilamana dikaitkan
dengan pengembalian uang Negara karena subyek yang dihadapi adalah
pihak yang sangat paham akan proses tawar-menawar hukum, menandatangi
perjanjian dengan menyadari sepenuhnya kewajiban yang harus dibayarkan
kemudian melakukan melakukan penggelembungan aset jaminan sehingga
nilai aset sesungguhnya jauh dari yang dilaporkan serta pelanggaran
perbankan lainnya. Namun pidana pula yang juga dinilai efektif diterapkan
sebagai ultimum remidium, setelah upaya out of court settlement melalui
pelbagai perjanjian tidak dilaksanakan, pada beberapa kasus korupsi BLBI
karena justru proses pidana inilah yang dihindari hingga penawaran
pengembalian yang berkepastian hukum dipilih sebagai alternatif
penyelesaian.
Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana
menanggulangi kejahatan harus memperhitungkan semua faktor yang dapat
mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya sehingga
kriminalisasi harus terus dilakukan evaluasi, karena, menurut Sudarto,189
pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang
mengetahui tentang adanya sanksi pidana namun demikian intensitas
pengaruhnya tidak sama antara tindak pidana satu dengan tindak pidana
lainnya. Putusan pengadilan terhadap terdakwa kasus korupsi BLBI yang
hingga saat ini belum dapat dilaksanakan eksekusinya merupakan bentuk
kegagalan tujuan dijatuhkannya pidana baik retributif sebagai upaya
pencapaian keadilan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sehingga
mengakibatkan kerugian Negara dan utamanya jatuhnya kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan, kegagalan tujuan penjatuhan pidana untuk
memperbaiki pelaku karena tanpa eksekusi tidak akan ada pembinaan,
maupun kegagalan tujuan pidana sebagai prevensi general dimana pidana
mencegah masyarakat atau calon-calon pelaku melakukan tindak pidana
yang sama.
189 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, loc. cit., hlm. 20. Penggunaan hukum
pidana sebagai salah satu sanksi sosial sebagaimana diungkapkan Nigel Walker memiliki keterbatasan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang sampai dimana tapal batas penggunaan hukum pidana. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 131.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge
merupakan kebijakan inkremental dalam upaya penyelesaian kasus tindak
pidana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dalam
pembuatannya dipengaruhi oleh imbangan kekuatan politik. Berlaku
sebagai kebijakan yang menjadi dasar hukum bagi penyelesaian kasus
tindak pidana korupsi BLBI, dalam butir-butir Inpres Nomor 8 Tahun
2002 tentang Release and Discharge terdapat ketidaksinkronan dengan
Tap MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundang-
undangan yang berlaku sebagai dasar pengaturan sistem norma di
Indonesia yang turut mempengaruhi efektivitas hukum. Ketidaksinkronan
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge dengan
peraturan perundang-undangan lain diatasnya, antara lain :
a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
meliputi Pasal 1 ayat (3), Pasal 14, dan Pasal 27 ayat (1);
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, meliputi Tap MPR
No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Tap MPR No.VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Tap MPR
No.X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh
Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001;
c. Undang-Undang, meliputi (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 4,
(2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang
Perbankan Pasal 49 ayat (2) huruf a, Pasal 50, dan Pasal 50A.
2. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat ditempuh melalui
penggunaan sarana hukum pidana (penal policy) dan sarana diluar hukum
pidana (non penal policy). Penggunaan non penal policy berupa
penyelesaian secara out of court settlement dalam rangka penyelesaian
kasus tindak pidana korupsi kasus BLBI didasarkan atas pertimbangan
pemerintah, meliputi.
a. Optimalisasi pengembalian uang Negara dari obligor pemegang
saham secara out of court settlement melalui mekanisme perjanjian
MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA
(Master Refinancing and Note Issuance Agreement), dan APU (Akte
Pengakuan Utang) dilihat dari nilai kemanfaatan.
b. Konsistensi pemerintah atas jaminan kepastian hukum penyelesaian
kasus BLBI melalui out of court settlement hingga dikeluarkannya
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and
Discharge sebagai dasar hukum penyelesaian tindak pidana korupsi
kasus BLBI. Kebijakan serupa tetap berlanjut pada pemerintah
berikutnya dengan melakukan reformulasi perjanjian Akta Pengakuan
Utang.
c. Penerapan fungsi hukum pidana berlaku sebagai upaya hukum
terakhir (ultimum remidium).
d. Inefektivitas sarana penal
B. Implikasi
1. Ketidaksinkronan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release
and Discharge dengan peraturan perundang-undangan diatasnya,
merupakan preseden hukum terbesar yang dialami Indonesia karena
adanya kecacatan hukum baik formil maupun materiil pada kebijakan
pemerintah yang kemudian berlaku sebagai dasar hukum penyelesaian
tindak pidana korupsi kasus BLBI secara out of court settlement.
2. Mekanisme out of court settlement yang diupayakan dalam rangka
pengembalian uang Negara berkaitan dengan tindak pidana korupsi kasus
BLBI tidak secara optimal tercapai karena inkonsistensi pelaksanaan
kebijakan dan hukum pidana sebagai ultimum remidium diterapkan secara
lambat.
C. Saran
1. Kebijakan merupakan keluasan dari kewenangan namun tetap harus berada
dalam koridor batas-batas pembentukan kebijakan yang berlaku yaitu asas
umum pemerintahan yang baik dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perjalanan suatu pemerintahan akan selalu diperlukan adanya
suatu kebijakan sehingga preseden hukum dalam penyelesaian kasus BLBI
melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham yang melukai rasa keadilan hukum dalam pandangan
masyarakat hendaknya tidak terulang kembali dengan melakukan kajian
awal sebelum mengeluarkan suatu kebijakan yang menjadi dasar hukum
penyelesaian.
2. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan lemahnya
perekonomian negara merupakan sedikit dari multi akibat tindak pidana di
bidang perbankan dalam kasus BLBI. Konsistensi out of court settlement
dalam penyelesaian kasus BLBI melalui Instruksi Presiden Nomor 8
Tahun 2002 hendaknya harus dihentikan ketika ternyata upaya tersebut
tidak optimal kemudian beralih menggunakan sarana hukum pidana
sebagai upaya hukum terakhir yang memungkinkan adanya persidangan in
absentia dan mekanisme sita terhadap aset-aset obligor agar menjadi shock
therapy bagi pelaku dan tujuan prevensi umum bagi calon-calon pelaku
tindak pidana korupsi di bidang perbankan agar tidak terulang kembali
mengingat dampaknya bagi perekonomian negara. Disamping upaya
represif melalui sarana penal sebagai upaya terakhir sebagaimana tersebut
diatas, upaya preventif yang hingga saat ini dinilai lemah adalah fungsi
Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta. Abdul Rahman Saleh. 2008. Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz.
Memoar 930 hari di Puncak Gedung Bundar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika,
Jakarta. Barda Nawawi Arief dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. I,
Alumni, Bandung. ____________________________. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung. Barda Nawawi Arief. 2005. Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Ed. Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung. __________________. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Ed. Pertama ctk. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum, ctk. 4, PT. Rineka Cipta,
Jakarta. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama, Semarang. Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi, Ed.2, ctk. I., Sinar Grafika, Jakarta. Hans Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, ctk. I. Nusamedia.
Bandung. Imam Syaukani dan A. Ahsani Thohari. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum, Ed.1,
ctk. 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Johnny Ibrahim. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Banyumedia, Malang.
Khudzaifah Dimyati. 2005. Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Kusumaningtuti. 2009. Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di
Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Terkorup, Kompas, ctk. I., Jakarta. Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (1), Kanisius, Yogyakarta. Marwan Batubara. 2008. Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara,
Haekal Media Center, Jakarta. M. Arief Amrullah. 2006. Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang. Moh. Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama
Media, Yogyakarta. Mokhamamad Najih. 2008. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Intrans
Publishing, Malang. M. Irfan Islamy. 2007. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi
Aksara, Jakarta. Muhammad Djafar Saidi. 2008. Hukum Keuangan Negara, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta. Muin Fahmal. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta. Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, ctk. I, The Habibie Center, Jakarta. Munir Fuady. 2004. Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung. ___________. 2007. Dinamika Teori Hukum, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia,
Bogor. Nur Basuki Minarno. 2009. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana
Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ed. I, ctk. ke-2, Laksbang Mediatama, Jakarta.
Philippe Nonet-Philip Selznick. 2008. Hukum Responsif, ctk. 2, Nusamedia,
Jakarta.
Riawan Tjandra. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ed. Revisi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Romli Atmasasmita. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media,
Jakarta. Satjipto Rahardjo. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban, ctk. I, UKI Press,
Jakarta. Setiono. 2005. Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana UNS, Surakarta. ______. 2008. Hukum dan Kebijakan Publik, Bahan Matrikulasi Program
Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Soerjono Soekanto. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali,
Jakarta. ________________ dan Sri Mamudji. 2005. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Solichin Abdul Wahab. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM Press,
Malang.
Soetandyo Wignyosoebroto. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM, Jakarta.
Supanto. 2007. Delik Agama, ctk. 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, ctk. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
B. Makalah dan Jurnal
Burhanuddin Abdullah, Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia, Ceramah pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas tanggal 13 Juni 2003, p.1-6, Jakarta terdapat dalam http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8DCFCBCE-0709-40B7-843CD1FEC3FE61B/8035/tindak.pdf. , 12 Oktober 2009, 08.05 WIB.
La Porta, http://mba.tuck.dartmouth.edu/pages/faculty/rafael laporta/ publications/laporta PDF papers-ALL/Laws and finance-all/law&finance/PDF. 10 Oktober 2009, 23.00 WIB.
Raul A. Barreto, Corruption, Optimal Taxation, and Growth, dalam
http://pfr.sagepub.com/cgi/content/abstract/31/3/2007., 10 Oktober 2009, 22.40 WIB.
Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, Problem Bank Identification,
Intervention And Resolution In Indonesia, Ocassional Internal Paper, 2002, p. 69, terdapat dalam http: //www.seacen.org/publications/content/2008/rp74/4-chap3.pdf., 10 Oktober 2009, 22.30 WIB.
http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, 10 Oktober 2009, 22.45 WIB.
Indonesian Corruption Watch. 2006. Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, Jakarta.
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 2 Tahun 2008, hlm. 48-52.
Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia, dalam http://antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viacat&cid=6. Edi Irsan Kurniawan, Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia
Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi.
http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=co
m_journals&id=65&type=19&task=list
http://www.detiknews.com/read/2009/10/15/15:35
BLBI dan Hukum Yang Bungkam
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16. http://www.mediaindonesia.com/, 13Februari 2008.
C. Koran
Kompas, 14 Januari 2003.
Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004.
D. Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan
Perundangan. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum
Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.