b.j. habibie’s political thought in democratization in

23
157 B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in Indonesia Pemikiran Politik Bj. Habibie dalam Demokratisasi di Indonesia Ahmad Depri Kurniawan, Didik Sukriono, Rosyid Al Atok Universitas Negeri Malang Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia [email protected] Abstract This study aims to describe BJ. Habibie’s political thought in democratization in Indonesia. This study uses a qualitative approach with library research type. Data collecttion tehnique used in this study is a research tehnique using the domumentation method. Data analysis using content analysis. The result of study show that BJ. Habibie’s political thought began to appear when he became the president of Rebublic Indonesia, where these thought were embodied in his policies. Several policies of the presiden BJ. Habibie during his reign included: (1) economic reform; (2) restoration of political legitimacy; (3) the fisrt amendment to the 1945 constitution; (4) democratization of the press and human right enforcement; and (5) the East-Timor referendum. The role of BJ. Habibie in democratization in Indonesia can be seen from hos leadership style which changes the authoritarian leadership style of presiden Soeharto to be more democratic such as the release of political prisoners, freedom of the press, freedom to express opinions in public and many more. Keywords: Political Thought, B.J. Habibie, Democratization, Indonesia Journal of Politics and Policy Volume 3, Number 2, Juni 2021

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

157

B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in Indonesia

Pemikiran Politik Bj. Habibie dalam Demokratisasi di Indonesia

Ahmad Depri Kurniawan, Didik Sukriono, Rosyid Al Atok

Universitas Negeri Malang

Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia

[email protected]

Abstract This study aims to describe BJ. Habibie’s political thought in democratization in Indonesia.

This study uses a qualitative approach with library research type. Data collecttion tehnique

used in this study is a research tehnique using the domumentation method. Data analysis using

content analysis. The result of study show that BJ. Habibie’s political thought began to appear

when he became the president of Rebublic Indonesia, where these thought were embodied in his

policies. Several policies of the presiden BJ. Habibie during his reign included: (1) economic

reform; (2) restoration of political legitimacy; (3) the fisrt amendment to the 1945 constitution;

(4) democratization of the press and human right enforcement; and (5) the East-Timor

referendum. The role of BJ. Habibie in democratization in Indonesia can be seen from hos

leadership style which changes the authoritarian leadership style of presiden Soeharto to be

more democratic such as the release of political prisoners, freedom of the press, freedom to

express opinions in public and many more.

Keywords: Political Thought, B.J. Habibie, Democratization, Indonesia

Journal of Politics and Policy Volume 3, Number 2, Juni 2021

Page 2: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

158

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemikiran politik BJ. Habibie dalam demokratisasi

di Indonesia. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penelitian dengan

menggunakan metode dokumentasi. Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis isi atau content analisys. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemikiran politik BJ.

Habibie mulai terlihat ketika menjadi Presiden RI ke-3 yang mana pemikiran itu dituangkan

dalam kebijakan-kebijakan yang dilakukannya. Beberapa kebijakan Presiden BJ. Habibie

selama masa pemerintahannya: (1) Reformasi Ekonomi; (2) Pemulihan Legitimasi Politik; (3)

Proses Amandemen Pertama UUD 1945; (4) Demokratisasi Pers dan Penegakan HAM; dan (5)

Referendum Timor Timur. Peranan BJ. Habibie dalam upaya demokratisasi di Indonesia terlihat

dari gaya kepemimpinannya yang mengubah gaya kepemimpinan otoriter ala Presiden Soeharto

menjadi lebih demokratis seperti pembebasan para tahanan politik, kebebasan pers, kebebasan

menyampaikan pendapat di muka umum dan masih banyak lagi.

Kata Kunci: Pemikiran Politik, B.J. Habibie, Demokratisasi, Indonesia

PENDAHULUAN

Pemikiran politik adalah aspek teoritis dari ilmu politik yang mengkhususkan diri

dalam penyelidikan tentang pemikiran yang terdapat dalam bidang politik. Pemikiran politik

berurusan dengan pokok konseptual yang merajut keseluruhan fenomena politik di berbagai

zaman. Pemikiran politik sering juga digantikan dengan istilah filsafat politik atau teori

politik, namun filsafat politik sering diartikan dengan bentuk pemikiran yang lebih abstrak

(Suryajaya, 2016).

Bacharudin Jusuf Habibie atau yang lebih dikenal dengan B.J. Habibie adalah tokoh

yang pintar dalam hal teknologi pesawat terbang. B.J. Habibie adalah sosok yang sangat

diidolakan oleh masyarakat. Di samping sebagai seorang yang ahli dalam teknologi pesawat

terbang, B.J. Habibie juga terjun dalam dunia politik. B.J. Habibie memulai karier politiknya

di tanah air sebagai Penasihat Pemerintah Indonesia pada bidang teknologi tinggi dan

teknologi pesawat. Pada tahun 1978 B.J. Habibie diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan

Teknologi (Menristek) dalam Kabinet Pembangunan III (Makka, 2012). Jabatan ini

dipegangnya selama lima kali berturut-turut dalam kabinet pembangunan hingga tahun 1998.

Masyarakat Indonesia sebelum menggelar pemilu tahun 1997, sebenarnya B.J.

Habibie pernah menyampaikan niatnya kepada keluarga dan kerabat dekat bahwa ia

berencana akan berhenti dari jabatan selaku menteri setelah Kabinet Pembangunan Enam

berakhir. Akan tetapi pada 11 Maret 1998, MPR memilih dan mengangkat B.J. Habibie

Page 3: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

156

sebagai Wakil Presiden RI ketujuh (Shahab, 2008). B.J. Habibie pun terpilih menjadi

pendamping Presiden Soeharto di akhir Orde Baru, B.J. Habibie kemudian menggantikan

Presiden Soeharto ketika terjadi kerusuhan yang mengakibatkan Presiden Soeharto harus

turun dari istana. Permasalahan yang dihadapi oleh Habibie ketika menjabat menjadi seorang

Presiden begitu kompleks, mencakup semua lapisan: sosial, budaya, ekonomi, politik dan

hukum. Sistem yang ada tidak berjalan, malah penyebab keterpurukannya Negara pada saat

itu ialah sistem itu sendiri yang tersumbat, tidak berjalan dari hilir ke hulu sebagaimana

mestinya ungkap Fachry Ali dalam bukunya Esai Politik tentang Habibie (Ali, 2013).

Puncaknya para demonstran dari semua kalangan turun ke jalanan dan menuntut agar

Presiden Soeharto segera turun dari kursi Presiden, yang telah menjabat selama 30 tahun

lebih. Rani (2015) menjelaskan bahwa tepat pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.00, di Istana

Merdeka yang dihadiri Menhankam atau Pangab Wiranto, Mensesneg Saadilah Mursjid,

Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Menteri Kehakiman Muladi dan Wapres B.J. Habibie,

beserta Pimpinan Mahkamah Agung, Ketua DPR, Sekjen DPR, di hadapan wartawan dalam

dan luar negeri, Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai

Presiden. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Makka (2012) bahwa tepat pada pukul

09.00 Presiden Soeharto menyampaikan pengunduran diri sebagai Presiden.

Jika kita lihat kembali, apabila seorang Presiden berhenti dari jabatannya yang akan

dilakukan secara konstitusional, maka Wakil Presiden-lah yang akan menggantikannya. Ini

diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 8 ayat (1), yang isi lengkapnya adalah “Jika

Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa

jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya” (Makka, 2012).

Hal ini senada dengan yang diungkapkan Hosen (2003) ketika B.J. Habibie mengambil alih

kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, dia secara konstitusional tidak diwajibkan untuk

mengadakan pemilihan. Seperti dijelaskan dalam Pasal 8 UUD 1945 yang mengatur bahwa

jika Presiden 'berhenti menjabat', Wakil Presiden akan menyelesaikan sisa masa jabatan

Presiden. Oleh karena itu B.J. Habibie memiliki mandat konstitusional untuk menjalankan

masa jabatan Soeharto hingga tahun 2003. Dan selanjutnya yang terjadi, sejarah mencatat,

seorang Fisikawan pesawat terbang memimpin Republik Indonesia selama satu tahun lima

bulan. Mulai hari itu pula Kabinet Pembangunan VII dinyatakan demisioner, dan untuk

Page 4: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

157

menghindari kekosongan pimpinan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, Wakil

Presiden mengisi jabatan Presiden (Rani, 2015).

Presiden B.J. Habibie dalam waktu yang relatif singkat telah memelihara pandangan

modern beliau dalam demokrasi dan mengimplementasikannya dalam setiap proses

pembuatan keputusan. Peran penting B.J. Habibie dalam percepatan proses demokrasi di

Indonesia dikenal baik oleh masyarakat nasional maupun internasional sehingga beliau

dianggap sebagai “Bapak Demokrasi”. Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata.

Ketika MPR, institusi tertinggi di Indonesia memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan

Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie, Habibie secara berani

mengundurkan diri dari pemilihan Presiden yang baru pada pemilu tahun 1999. Beliau

melakukan ini, selain penolakan MPR atas pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut

serta dalam pemilihan, dan keyakinan dari pendukung beliau bahwa beliau akan tetap bisa

unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin bahwa pidatonya ditolak MPR akan

menjadi tidak etis baginya untuk tetap ikut dalam pemilu. Keputusan ini juga dimaksudkan

sebagai pendidikan politik dari arti sebuah demokrasi. Pakar politik menyebutkan alasan

penyebab ditolaknya pidato Presiden B.J. Habibie adalah masalah terlepasnya Timor Timur

dari NKRI akibat jajak pendapat (Sugiharto, 2017).

Sebelum lebih lanjut membahas mengenai B.J. Habibie, pada 2019 ada penelitian

yang membahas pemikiran B.J. Habibie yang berjudul “Kebangkitan Perekonomian

Indonesia dalam Pemikiran Bacharuddin Jusuf Habibie 1998-1999”. Penelitian ini dilakukan

Dewi (2019) yang didasari oleh krisis ekonomi 1998 yang membawa dampak besar bagi

perekonomian di Indonesia. Penelitian ini menjelaskan mengenai bagaimana kondisi

ekonomi Indonesia pada masa krisis moneter 1998. Dalam penelitian ini juga menjelaskan

mengenai pemikiran atau kebijakan B.J. Habibie dalam upaya kebangkitan ekonomi

Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan penelitian ini lebih fokus pada aspek ekonominya.

Berbeda dengan penelitian yang akan saya angkat yang membahas mengenai

pemikiran B.J. Habibie. Pada penelitian ini saya akan membahas mengenai pemikiran politik

BJ. Habibie, kebijakan-kebijakan yang dilakukan Presiden B.J. Habibie selama menjadi

presiden, dan peranan BJ. Habibie dalam demokratisasi di Indonesia. Sehingga dapat

dikatakan penelitian ini bukan merupakan plagiat dari penelitian terdahulu, dalam penelitian

Page 5: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

158

ini nantinya akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana pemikiran atau kebijakan-

kebijakan yang dilakukan Presiden B.J. Habibie dalam upaya demokratisasi di Indonesia.

Membahas demokratisasi tentunya tidak bisa terlepas dari demokrasi. Djafar (2015)

menjelaskan demokrasi dan demokratisasi sebagai dua konsep yang tidak bisa dipisahkan

karena keterkaitannya yang sangat erat. Secara umum, demokrasi berarti sebuah konsep

kekuasaan atau kehendak rakyat. Sementara itu, demokratisasi menunjukkan makna proses

perubahan yang mengarah pada tujuan memperkuat rakyat dan penumbuhan nilai-nilai

demokrasi. Konsep demokrasi dan demokratisasi dapat dikaji sebagai teori empiris yang

mengacu pada perubahan sistem politik otoritarian ke dalam sistem politik yang lebih

demokratis.

Istilah demokratisasi merujuk pada akar kata “demokrasi” suatu konsep yang secara

esensial masih menjadi perdebatan (essentially contested concept) di kalangan akademisi

maupun praktisi ilmu sosial politik. Tidak ada konsensus terhadap pemaknaan tunggal dan

pasti (fixed) atas konsep tersebut. Mereka mendefinisikan konsep-konsep tersebut dengan

caranya masing-masing tergantung pada bagaimana mereka menggunakan konsep tersebut

baik secara objektif maupun subjektif (Alami, 2016). Purnaweni (2004) juga menjelaskan

bahwa demokrasi adalah sebuah kata yang sering diucapkan. Namun, makin banyak ia

dibahas makin sulit mencari contoh negara yang memenuhi tatanan demokrasi.

Demokrasi secara etimologis dapat didefinisikan sebagai “the rule of the people”.

Definisi ini menunjukkan bahwa demokrasi mengandung dua komponen utama yaitu “rule”

dan “people”. Demokrasi menghendaki adanya pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi dapat

dicapai dengan karakter tersebut diperlukan suatu proses menuju demokrasi yang disebut

demokratisasi. Sebagai suatu proses, demokratisasi memerlukan waktu yang tidak singkat

dan bukanlah upaya yang mudah (Alami, 2016). Demokratisasi menjadi fenomena yang

penting sejak berakhirnya Perang Dingin. Demokratisasi tidak hanya menjamin hak-hak sipil,

tetapi menunjang keamanan dan perdamaian internasional (Rosyidin,2013).

Menurut Dahl & Lijphart, seperti dikutip Rose (1995) demokratlsasi adalah proses

bertahap evolusi menuju satu sistem politik di mana setiap orang memperoleh hak-hak positif

di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dengan kata lain demokratisasi adalah proses atau

tahapan perpindahan dari rezim yang otoriter ke rezim yang demokratis dan terjadi secara

perlahan. Demokratisasi ditentukan oleh banyak faktor. Transisi menuju demokrasi akan

Page 6: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

159

berbenturan dengan kompleksitas faktor yang saling berkaitan. Salah satu faktor utamanya,

tentu saja budaya politik masing-masing negara. Proses demokratisasi akan terjadi jika di

dalam masyarakat tersedia berbagai faktor pendukungnya. Dalam hal ini tentu terkait dengan

prasyarat demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Dahl & Leftwich seperti tingginya

tingkat melek huruf, komunikasi dan pendidikan; kelas menengah yang mapan dan aman,

masyarakat sipil yang menggemparkan; bentuk-bentuk ketimpangan material dan sosial yang

relatif terbatas, dan adanya ideologi masyarakat sekuler yang luas (Leftwich, 1994).

Ada juga yang beranggapan bahwa faktor ekonomi merupakan prasyarat utama bagi

berlangsungnya proses demokratisasi di suatu negara. Masyarakat industri modern yang

diasumsikan memiliki tingkat kemampuan ekonomi yang tinggi akan lebih mudah

menciptakan suatu negara yang demokratis. Asumsi itu didukung oleh pernyataan seorang

ahli politik yang bernama Seymour M. Lipset yang menyatakan bahwa semakin kaya suatu

bangsa maka akan semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi

(Sorensen, 1993).

Pendapat Lipset ini didukung kenyataan bahwa modernisasi dan kesejahteraan akan

selalu disertai dengan sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi yaitu meningkatnya

tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan, urbanisasi dan pembangunan media massa.

Kesejahteraan masyarakat yang tinggi juga akan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan

untuk meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik. Pernyataan Lipset itu

juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan pengamat politik yang lain yaitu Robert

Dahl, yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi suatu negara akan

semakin mungkin bagi masyarakat untuk menjadi demokratis (Nugroho, 2012).

Berdasarkan uraian singkat pada penjelasan di atas, maka rumusan masalah dalam

penulisan artikel ini yaitu: (1) bagaimana pemikiran politik BJ. Habibie?; (2) bagaimana

kebijakan presiden BJ. Habibie selama menjadi Presiden RI?; dan (3) peranan BJ. Habibie

dalam demokratisasi di Indonesia?.

Page 7: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

160

METODE

Penelitian mengenai “Pemikiran Politik BJ. Habibie dalam Demokratisasi di

Indonesia” ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini berorientasi

pada pengumpulan data yang terdapat dalam berbagai sumber yang ada. Berbagai bahan

pustaka dan data informasi yang digunakan berasal dari buku, jurnal ilmiah, media massa,

data pemerintah, artikel, dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

Penggunaan metode kepustakaan ini juga sering disebut dengan studi pustaka. Hal ini seperti

yang dijelaskan Zed (2018) bahwa studi pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan

dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan

penelitian. Dengan demikian, penelitian ini hanya membatasi kegiatannya pada bahan-bahan

koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan

sekunder. Data adalah segala keterangan atau informasi yang berkaitan dengan tujuan

penelitian (Arikunto, 2015). Data primer dalam penelitian ini adalah buku karangan B.J.

Habibie yang berjudul Bacharuddin Jusuf Habibie : Detik-Detik yang Menentukan-Jalan

Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: The Habibie Center Mandiri, 2006. Data

sekunder dalam penelitian ini menggunakan segala data tertulis yang berhubungan dengan

tema yang bersangkutan baik dari buku, dokumen, jurnal, skripsi, artikel, majalah, surat kabar,

dan penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan judul skripsi.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi.

Metode dokumentasi merupakan salah satu kegiatan yang untuk mencari sumber data

mengenai beberapa hal yang dapat berupa catatan, buku, artikel, jurnal, dokumen, biografi,

media massa, dan berbagai sumber bacaan lainnya yang dapat diterima kebenarannya yang

berkaitan dengan pemikiran politik B.J. Habibie, yang kemudian diolah sesuai dengan

metodologi yang digunakan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis isi (content analisys). Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam analisis

konten (isi) bertumpu pada acuan Philipp Mayring (2015). Melalui teknik inilah sebuah data

dianalisis untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya. Berdasarkan

penggunaan acuan di atas, peneliti menggunakan analisis isi yang digunakan untuk

menjelaskan pemikiran politik B.J. Habibie dalam demokratisasi di Indonesia.

Page 8: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

161

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemikiran Politik BJ. Habibie

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pemikiran politik BJ. Habibie, saya akan

memulainya dengan karier politiknya. Karier politik BJ. Habibie sebenarnya sudah dimulai

sejak dirinya bergabung dalam kabinet pembangun sejak pertemuan pertamanya dengan

Soeharto usai peristiwa Malari, tepatnya pada 28 Januari 1974. BJ. Habibie diminta

mendampingi Presiden Soeharto hingga 25 tahun ke depan hingga Pemilu 1997, waktu itu

rentang Habibie mendampingi Soeharto sudah memasuki tahun ke-23.

BJ. Habibie pun berencana pensiun dan berhenti dari gelanggang politik Indonesia

dengan menyampaikan rencana tersebut pada presiden Soeharto. Namun, presiden Soeharto

justru menggantung jawabannya dengan saran agar menunggu dan melihat keadaan. Pada

akhirnya DPR RI pun menemui Habibie di Putra Kuningan, menjelang Sidang Umum 1998.

Mereka meminta kesediaan Habibie untuk menjadi Wakil Presiden ke-7 dipasangkan dengan

Jendral Soeharto, Habibie pun tidak dapat mengelak dan menyatakan bersedia mendampingi

Soeharto dalam Pemilu 1998 (Sugiharto, 2017).

Sebelumnya Habibie sudah tampil dalam panggung politik selama 20 tahun menjadi

Menristek dan boleh jadi membuatnya cukup matang dalam berpolitik. Namun, menjadi

orang nomor dua di republik ini, tentu tidak mudah dan membutuhkan energi yang besar.

Berbicara mengenai pemikiran politik BJ. Habibie, tentunya sedikit asing ditelinga

kita. Bagaimana tidak? BJ. Habibie dulunya dikenal sebagai ilmuwan hebat melalui perannya

yang merancang pesawat terbang dan mendorong perkembangan sains di Indonesia (Mulyadi,

2019). Hal ini seperti dijelaskan Makka (2019) BJ. Habibie lebih dikenal sebagai sosok yang

ahli dalam membuat pesawat terbang. Contohnya saja, pesawat N-250 yang berhasil melesat

terbang ke udara tanggal 10 Agustus 1995 di Lapangan Udara Husein Sastranegara, Bandung.

Pesawat ini terbang tepat pada pukul 10.15 WIB, setelah melintasi setengah landasan pacu,

roda depan terangkat dan kemudian diikuti roda belakang, maka melesatlah sang “Gatotkaca”

(julukan N-250) terbang menembus awan biru dengan kecepatan hampir 200 knot. Seketika

itu juga, rasa tegang berganti tepuk sorak-sorai ribuan mata yang menyaksikan.

Kemudian, dalam hal pemikiran, antara Presiden BJ. Habibie dengan Presiden

Soeharto ada perbedaan pemikiran dalam menyikapi atau memahami politik/kekuasaan.

Page 9: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

162

Menurut Habibie, kekuasaan adalah sarana perjuangan dalam pengabdian kepada bangsa dan

negara. Kekuasaan merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat dan harus ditunaikan

dengan baik untuk kepentingan rakyat (Sugiharto, 2017).

Bahkan, BJ. Habibie menempatkan kekuasaan lebih religius, meski dalam konteks

demokrasi bukan berarti sakral, yakni sebagai fungsi dari kehendak Tuhan dan fungsi dari

kehendak rakyat. Sehingga, kekuasaan harus dilaksanakan sesuai ajaran Tuhan dan

dilaksanakan untuk memenuhi kehendak dan kedaulatan rakyat (Habibie, 2006).

Konsep tersebut secara jelas membedakan antara presiden BJ. Habibie dengan

presiden Soeharto. Dengan menjalankan konsep tersebut, menunjukkan bahwa presiden BJ.

Habibie tidak haus akan kekuasaan dan berambisi meraih kekuasaan dengan berbagai cara. Ia

pun juga tidak perlu ngotot dalam rangka untuk memperjuangkan dan menduduki kursi

kepresidenan lagi (Sugiharto,2017).

Berdasarkan penjelasan tersebut, di samping sebagai ilmuwan yang hebat dalam

dunia pesawat terbang, BJ. Habibie juga seorang tokoh politik yang hebat dan disegani. Ia

mempunyai peran yang penting dalam transformasi politik di Indonesia. Ketika Presiden

Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia pada Mei 1998, BJ. Habibie yang waktu itu

berkedudukan sebagai wakil presiden. Maka, sesuai dengan Pasal 8 Undang-undang Dasar

1945 maka BJ. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden (Mulyadi, 2019).

Pada masa kepemimpinan Habibie sebagai presiden, dia banyak mengeluarkan surat

keputusan dan undang-undang yang penting dalam kemajuan dan kebebasan berdemokrasi di

Indonesia. Politik yang lebih demokratis juga merupakan hasil pemerintahan Presiden BJ.

Habibie. BJ. dalam upaya mencapai politik yang demokratis, BJ. Habibie mengeluarkan

Undang-Undang Partai Politik No. 2 Tahun 1999. Yang mana undang-undang tersebut

membuka peluang berdirinya partai-partai politik yang baru. Tidak hanya itu, undang-undang

tersebut juga menyediakan penyelenggaraan pemilihan umum yang terbuka dan demokratis.

Presiden BJ. Habibie juga memberikan pengampunan bagi para politikus yang ada pada masa

pemerintahan Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 85 Tahun 1998 .

Melalui Keppres tersebut, BJ. Habibie memberikan amnesti kepada beberapa tahanan

politik, seperti Cancio AH Guterres, Thomas Agusto, Antonio Freitas, Jose Gomez,

Hermenigildo da Costa, Luis Pereira, dan Bendito Amaral yang diduga terlibat kasus makar

pada era Soeharto. BJ. Habibie juga memberikan grasi pada tahanan politik seperti Manan

Page 10: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

163

Effendi, Alexander Warrouw, dan Pudjo Prasetyo yang terlibat dalam kasus pemberontakan

Gerakan 30 September (Mulyadi, 2019).

Hal ini senada dengan yang disampaikan Febri Manna BR Sembiring, Marwoto

Saiman, dan Tugiman dalam penelitiannya yang berjudul “Kebijakan Politik Presiden BJ.

Habibie Tahun 1998-1999”. Ada beberapa kebijakan yang dilakukan Presiden BJ. Habibie

selama memerintah mulai tanggal 21 Mei 1998 sampai 21 Oktober 1999. Kebijakan politik

yang dibuatnya yaitu pembebasan tahanan politik dan narapidana politik, kebebasan pers,

kebebasan membentuk partai politik, pelaksanaan pemilu tahun 1999, referendum Timor-

Timur dan mengusut kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya. Dalam menjalankan kebijakan

politik tersebut, dampaknya berbagai pelanggaran HAM muncul, seperti terjadinya tragedi

semanggi I dan II yang banyak memakan korban jiwa, lepasnya Timor-Timur dari Indonesia

padahal sudah banyak pengorbanan dan bantuan Indonesia terhadap Timor-Timur dan juga

status hukum mantan Presiden Soeharto belum terselesaikan (Manna Br.S, 2013).

Walaupun demikian, telah banyak upaya-upaya yang dilakukan presiden BJ. Habibie

dalam rangka untuk mencapai politik yang demokratis, kestabilan politik dan pemerintahan.

Sehingga, setiap kebijakan politik tentu mempunyai dampaknya masing-masing. Yang mana,

kebijakan tersebut dilakukan demi masa depan politik Indonesia yang lebih baik.

B. Kebijakan B.J. Habibie Saat Menjabat Sebagai Presiden RI

Sebelum menjadi presiden, BJ. Habibie menyatakan secara terbuka pada sejumlah

kesempatan bahwa dia menganggap Presiden Soeharto sebagai mentornya dan merupakan

‘guru politik’ baginya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa banyak orang yang

skeptis bahwa ia akan memerintah secara berbeda dari pendahulunya. Pada kenyataannya,

Habibie menunjukkan di awal masa kepresidenannya bahwa dia adalah tipe pemimpin yang

berbeda (Hamonangan, 2019). Menurut Anwar dalam bukunya yang berjudul The Habibie

Presidency: Catapulting Towards Reform (2010), Habibie memiliki pendekatan yang berbeda

dengan bagaimana Soeharto memerintah dalam masa jabatannya. Pada masa jabatannya,

Presiden Soeharto memastikan kontrol politiknya yang tak tertandingi dengan

memberlakukan sensor ketat terhadap media, membatasi kebebasan berbicara dan berserikat,

memenjarakan lawan-lawan politik, dan melihat konsep hak asasi manusia sebagai sesuatu

yang asing bagi nilai-nilai Indonesia, Presiden Habibie justru melakukan yang sebaliknya.

Page 11: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

164

Sebagai Presiden pengganti, BJ. Habibie bukannya tanpa modal. Ia sudah

mendampingi Presiden Soeharto sejak tahun 1974, ini bukan pengalaman yang singkat. Ia

bahkan sudah lebih dari 20 tahun duduk dalam Kabinet Pembangunan. Serangkaian jejak

pengalaman politiknya sudah tidak diragukan lagi, di antaranya mengelola Keluarga Besar

Golkar yang juga mencakup Fraksi ABRI, Fraksi Utusan Daerah dan Fraksi Golkar. Namun,

sewaktu diera kepemimpinannya sebagai Presiden RI, ketiga unsur tersebut sudah dibubarkan

dan tidak dijalankan lagi dalam Sidang Istimewa MPR. Hal itu pun bisa menjadi modal yang

bermanfaat dalam mengorganisasikan kelompok-kelompok yang ada dalam internal

parlemen maupun masyarakat (Sugiharto, 2017).

Motivasi dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan Habibie memang dapat dikaitkan

dengan berbagai tekanan masyarakat yang ada saat itu dan keinginannya untuk memenangkan

dukungan rakyat. Namun dengan semangatnya, dia mampu melakukan beberapa inisiatif

reformasi yang beberapa di antaranya cukup radikal yang berdampak buruk terhadap

kepentingan politiknya (Habibie, 2006). Pada masa pemerintahannya, Indonesia tengah

mengalami gejolak moneter yang turut memberikan pengaruh yang semakin buruk terhadap

perekonomian, ketahanan, dan pembangunan nasional. Sehingga diperlukan keputusan yang

radikal dalam upaya pengembalian kondisi Indonesia, meskipun hal ini memiliki dampak

buruk terhadap posisinya (Hamonangan, 2019).

Melalui langkah-langkah yang diambil, Habibie menunjukkan perhatian dan

komitmennya terhadap reformasi untuk mengatasi dan memperbaiki kondisi negara. Jika

Habibie hanya peduli untuk memenangkan persetujuan publik, dia mungkin akan lebih

selektif, dengan memperkenalkan reformasi yang lebih populer, dan menghindari kebijakan

yang akan memiliki konsekuensi negatif bagi nasib politiknya sendiri. Sebaliknya, Habibie

tidak menghindar untuk memperkenalkan sejumlah reformasi dan perubahan yang penting,

meskipun dia sendiri mengetahui dengan jelas konsekuensi dari kebijakan dan perubahan

tersebut (Anwar, 2010).

Dalam kurun waktu 17 bulan pemerintahannya, banyak kebijakan yang dikeluarkan

Presiden BJ. Habibie, pada waktu itu Kabinet Reformasi Pembangunan telah menghasilkan

69 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang siap disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Sementara itu, masih ada agenda reformasi yang perlu diselesaikan seperti masalah law and

enforcement (penegakan hukum), peningkatan kualitas aparatur, dan budaya hukum

Page 12: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

165

masyarakat (Habibie, 2006:165). Berikut ini adalah beberapa kebijakan Presiden BJ.

Habibie selama masa pemerintahannya: (1) Reformasi Ekonomi; (2) Pemulihan

Legitimasi Politik; (3) Proses Amandemen Pertama UUD 1945; (4) Demokratisasi Pers dan

Penegakan HAM; dan (5) Referendum Timor Timur.

C. Peranan B.J. Habibie dalam Demokratisasi di Indonesia

Peranan BJ. Habibie dalam demokratisasi di Indonesia bisa dilihat dari kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkannya. Kepemimpinan Presiden BJ. Habibie dimulai dengan

mengubah gaya kepemimpinan dari model otoriter ala Soeharto menjadi lebih demokratis. Ia

mulai membuka keran kebebasan yang sebelumnya ditutup rapat-rapat di era Soeharto.

Presiden BJ. Habibie juga membebaskan tahan politik era Orba.

Sebelum menjadi presiden, BJ. Habibie menyatakan secara terbuka pada sejumlah

kesempatan bahwa dia menganggap Presiden Soeharto sebagai mentornya dan merupakan

‘guru politik’ baginya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa banyak orang yang

skeptis bahwa ia akan memerintah secara berbeda dari pendahulunya. Pada kenyataannya, BJ.

Habibie menunjukkan di awal masa kepresidenannya bahwa dia adalah tipe pemimpin yang

berbeda (Hamonangan, 2019). Menurut Anwar dalam bukunya yang berjudul The Habibie

Presidency: Catapulting Towards Reform (2010). BJ. Habibie memiliki pendekatan yang

berbeda dengan bagaimana Soeharto memerintah dalam masa jabatannya. Pada masa

jabatannya, Presiden Soeharto memastikan kontrol politiknya yang tak tertandingi dengan

memberlakukan sensor ketat terhadap media, membatasi kebebasan berbicara dan berserikat,

memenjarakan lawan-lawan politik, dan melihat konsep hak asasi manusia sebagai sesuatu

yang asing bagi nilai-nilai Indonesia, Presiden Habibie justru melakukan yang sebaliknya.

Dalam kepemimpinan BJ. Habibie ada beberapa upaya yang dilakukan dalam proses

demokratisasi, BJ. Habibie memulainya dengan mengubah gaya kepemimpinan dari model

otoriter ala Soeharto menjadi lebih demokratis. Ia mulai membuka keran kebebasan

demokrasi yang sebelumnya ditutup rapat-rapat di era Soeharto. Bahkan, Presiden BJ.

Habibie juga membebaskan tahanan politik era Orde Baru (Sugiharto, 2017).

Dalam upaya demokratisasi di Indonesia, BJ. Habibie pernah menyampaikan

pernyataannya dalam pidato pelantikannya bahwa rencana pertama yang akan dilakukannya

sebagai Presiden adalah menciptakan negara yang demokratis. Maka, untuk mewujudkan hal

Page 13: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

166

itu, pemerintahan BJ. Habibie segera melakukan perubahan dan penghapusan berbagai sistem

politik yang dilakukan pemerintahan sebelumnya (pemerintahan Presiden Soeharto) dan

menggantinya dengan sistem baru yang lebih demokratis. Hal ini dibuktikan dengan

kebijakannya yang mendukung penuh langkah DPR menyempurnakan Undang-undang

Politik yang terdiri dari Undang-undang Partai Politik, Undang-undang Pemilihan Umum

(Pemilu), serta Undang-undang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR (Makka, 2019).

Sidang Istimewa MPR yang berlangsung tanggal 10-13 November 1998 telah

menghasilkan 12 Ketetapan MPR, antara lain mengenai perubahan dan tambahan atas

ketetapan MPR tahun 1998 tentang Pemilu (Makka, 2019). Sebagai upaya tindak lanjut dari

hasil-hasil yang dicapai SI MPR 1998, pemerintah segera mempersiapkan berbagai perangkat

pendukung bagi terselenggaranya suatu pemilihan umum yang luber dan jurdil. Keseriusan

pemerintah dalam merespons tuntutan pemilihan umum semakin menjadi jelas setelah

Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 1 Februari 1999 mengesahkan tiga produk

perundang-undangan yang memiliki keterkaitan erat dengan pelaksanaan pemilihan umum.

Pertama, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Kedua, Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Ketiga, Undang-undang Nomor 4

Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dienaputra. 2001).

Seiring dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 tahun 1999, proses pelaksanaan

pemilihan umum pun mulai memasuki langkah-langkah yang lebih konkrit (Dienaputra.

2001). Berbagai langkah kongkret telah ditempuh, dalam rangka untuk melaksanakan

ketetapan MPR tersebut, di antaranya, membentuk Tim Sembilan yang bertugas menyeleksi

organisasi politik peserta Pemilu, pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia

Pemilihan Indonesia (PPI), dan Panwaslu (Panitia Pengawasan pemilu), serta kegiatan

pendaftaran peserta pemilu dan kampanye partai politik (Makka, 2019).

Salah satu langkah konkrit yang kemudian segera diambil pemerintah adalah

melakukan verifikasi terhadap partai-partai politik peserta pemilihan umum. Untuk

kepentingan ini, pemerintah membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan

Umum (P3KPU) atau lebih dikenal dengan Tim Sembilan. Dari 60 partai politik yang

memenuhi persyaratan administratif setelah dilakukan verifikasi, Tim Sembilan

merekomendasikan 48 partai politik yang dapat mengikuti Pemilihan Umum 1999. Sementara

Page 14: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

167

sisanya sebanyak 12 partai politik gagal memperoleh rekomendasi Tim Sembilan. Atas dasar

verifikasi P3KPU, Syarwan Hamig selaku Menteri Dalam Negeri sekaligus Ketua Lembaga

Pemilihan Umum (LPU) mengeluarkan Surat Keputusan No.3 Tahun 1999 tentang

pengesahan 48 partai politik sebagai peserta Pemilu 1999 (Dienaputra. 2001).

Presiden BJ. Habibie yakin bahwa pemilu bulan Juni 1999 dapat berjalan jurdil.

Dalam pemilu pertama ini ada 48 partai politik yang lolos seleksi sebagai peserta pemilu.

Partai ini dibentuk sesuai dengan hati nurani para pendirinya dan aspirasi dari rakyat. Yang

membuat peraturan juga wakil rakyat sendiri di DPR, dan berpegang pada ketetapan wakil

rakyat di MPR yang lalu. Sedangkan, KPU, PPI, dan Panwaslu dipilih dari bawah (rakyat)

bukan dari atas (Makka, 2019).

Jika dalam pemerintahan sebelumnya pemerintah menutup peluang berkembangnya

demokrasi hukum dan rule of law, maka pemerintahan BJ. Habibie merintis dan mendorong

reformasi di bidang politik sebagaimana yang diwujudkannya dalam bentuk kebijakan dan

keputusannya, seperti pembebasan tahanan politik, kebebasan pers, pembuatan beberapa

perangkat peraturan perundang-undangan bidang politik, penyelenggaraan pemilu yang

dipercepat secara jurdil dan demokratis, dan berbagai langkah dalam penghormatan atas

penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) (Pratiknya, 1999)

Dalam konteks pemilu pertama yang berjalan demokratis di bawah pemerintahan BJ.

Habibie, Indonesia telah meletakkan sejumlah elemen yang fundamental dan membawa pada

kemajuan demokrasi Indonesia. Jika di masa lalu pemilu dijadikan sebagai “alat pembenar”

bagi rezim untuk tetap mempertahankan kekuasaannya, kini dengan terbuka wacana pemilu

untuk mencapai tiga tujuan, yaitu: (1) sebagai ajang pemberdayaan kedaulatan rakyat (2)

sebagai medium bagi proses rekrutmen politik secara terbuka (3) sebagai instrumen awal bagi

pemerintah yang legitimate (memiliki legitimasi) (Pratiknya, 1999).

Presiden BJ. Habibie sejak awal sudah memahami bahwa proses demokratisasi erat

kaitannya dengan proses terbukanya kesempatan bagi penyebarluasan gagasan demokrasi dan

aplikasinya. Pikiran ini sebenarnya pertama kali disampaikan BJ. Habibie ketika dirinya

menjadi Wakil Presiden RI. Dalam acara Studi Nasional di Jakarta, 21 April 1998, Wapres BJ.

Habibie memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai Hasta Krida yang menyangkut nilai

dasar pembangunan politik. Ia mengatakan bahwa peningkatan kualitas kehidupan dan

semangat demokrasi Pancasila sebagai perwujudan sikap tanggap terhadap peningkatan

Page 15: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

168

aspirasi politik hendaknya harus dijadikan rujukan utama dalam membangun prinsip

demokrasi Indonesia (Pratiknya, 19995).

Terlepas dari semua itu, dalam hal kepemimpinan, berbeda dengan mentor politiknya,

jika presiden Soeharto menerapkan kepemimpinan militeristik, maka Presiden BJ. Habibie

lebih luwes dan liat dalam menerapkan kepemimpinan orang sipil dan non militer. Sugiharto

(2017) menjelaskan bahwa dalam kepemimpinannya presiden BJ. Habibie memiliki beberapa

pendekatan. Pertama, pendekatan dialog. Kedua, proses relaksasi, Ketiga, metode

aproksimasi. Keempat, pendekatan redundansi. Kelima, menghindari polemik dan

memanfaatkan underestimate.

a. Pendekatan Dialog

Presiden BJ. Habibie menerapkan pendekatan dialog untuk pengambilan keputusan

dan penyelesaian masalah. Sebelum Presiden BJ. Habibie mengambil keputusan, didahului

proses diskusi antar anggota kabinet dengan Presiden. Habibie mengubah forum rapat kabinet

menjadi lebih demokratis. Para menteri menyampaikan aspirasi masyarakat dan keputusan

yang diambil dalam sidang kabinet menunjukkan kualitas intelektual yang dikeluarkan dari

proses berpikir sistemik.

b. Proses Relaksasi

Proses relaksasi merupakan bagian dari pengelolaan atau crisis management. Dengan

tujuan, mengubah keadaan yang tidak menentu menjadi terkendali. Presiden BJ. Habibie

melakukannya dengan sesegera mungkin untuk menghindari dampak negatif yang

memungkinkan terjadi (Habibie, 2006).

c. Aprosimaksi

Aprosimaksi merupakan metode pemecahan masalah untuk mencapai keadaan yang

mendekati sempurna. Dengan kata lain, menyelesaikan masalah dengan pendekatan perkiraan

panjang. Permasalahan dapat diselesaikan sehingga mencapai kesempurnaan yang mana hal

itu ditentukan pula oleh pendidikan, pengalaman, budaya seseorang, sehingga penyelesaian

mendekati 100 persen.

d. Redundansi

Pendekatan mengoptimalkan keberhasilan suatu kebijakan dengan memanfaatkan

cadangan pengaman seefisien mungkin namun dapat menjamin stabilitas dan keamanannya.

Misalnya dalam menyikapi NKRI dan UUD 1945 setiap kebijakan yang dilakukan harus

Page 16: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

169

berlandaskan pada upaya mempertahankan NKRI dan konstitusional atau memiliki dasar

hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

e. Menghindari Polemik dan Memanfaatkan Underestimate

Presiden BJ. Habibie selalu berupaya menghindari polemik yang dinilainya tidak

produktif. BJ. Habibie juga menerima kritik dan cemoohan dari lawan politiknya tidak dengan

reaksi, melainkan dengan memperbaiki perbuatan dengan lebih baik sebagai jawaban atas

kritik dan cemoohan mereka.

Sebagai upaya untuk menghindari polemik, Presiden BJ. Habibie juga memberikan

informasi yang diperolehnya hanya kepada pihak-pihak yang memang perlu mengetahui dan

secara proporsional, tujuannya agar informasi tidak meluas hingga berakibat kontra produktif.

Sedang, kepada pihak yang underestimate dengan merendahkan dirinya, Habibie justru

menjadikannya sebagai peluang bagi dirinya untuk berbuat tanpa harus menghadapi risiko

gangguan dari pihak tersebut (Habibie, 2006).

Selama kepemimpinan Presiden BJ. Habibie, dalam upaya demokratisasi di Indonesia

telah menghasilkan 66 buah undang-undang. Jelas ini tidak lepas dari euforia

penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu perundang-undangan di era Habibie adalah yang

menegaskan arah perekonomian negara Indonesia. Hal ini diundangkan dalam perubahan

terhadap UU No.7 tahun 1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan. Jiwa

liberalisasi di sektor keuangan dan perbankan dinilai lebih liberal dibandingkan dengan

Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Singapura. Hal ini secara eksplisit dapat dibaca

dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b yang memberi kebebasan bagi WNA atau Badan Hukum

Asing untuk mendirikan Bank Umum dengan WNI atau Badan Hukum Indonesia (Syam,

2010).

Selain itu, dimasa kepemimpinan BJ Habibie, terdapat 6 macam tuntutan, yaitu:

penegakan hukum supremasi, pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),

mengadili mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, Amandemen Konstitusi,

Pencabutan Dwi Fungsi ABRI, dan pemberian otonomi daerah dengan seluas-luasnya. Tentu

di masa kepemimpinannya Habibie membawa reputasi yang tidak mudah dipercaya oleh

kalangan mahasiswa, militer, fraksi-fraksi besar, pemerintah asing, investor luar negeri, dan

bahkan berbadan hukum internasional (Amin, 2014).

Kebijakan yang diambil presiden BJ. Habibie adalah membebaskan para tahanan

Page 17: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

170

politik pada masa orde baru, peningkatan kebebasan pers. Hal ini terlihat dari munculnya

partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Selain itu, masyarakat dapat

menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah, pembentukan parpol, dan percepatan

pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999, penyelesaian Timor-Timur, pengusutan kekayaan

Soeharto dan kroni-kroninya, dan pemberian gelar pahlawan reformasi bagi korban Trisakti

(Firnandus, 2015).

Adapun capaian-capaian yang berhasil diraih oleh Presiden BJ. Habibie selama

menjadi Presiden selama 17 bulan, salah satunya adalah diadakan pembentukan kabinet.

Presiden BJ. Habibie Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei

1998 yang meliputi perwakilan militer (TNI-Polri), PPP, Golkar, dan PDI. Kemudian,

Presiden BJ. Habibie mampu memberikan kebijakan dalam bidang politik, yaitu dengan

melakukan Reformasi. Reformasi dalam bidang politik ini berhasil mengganti lima paket UU

masa Orde Baru dengan tiga UU politik yang lebih demokratis. Adapun tiga UU tersebut

adalah: (a) UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik; (b) UU No. 3 Tahun 1999 Tentang

Pemilihan Umum; (c) UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR

(sejarah-negara.com, 2014). Hendri & Permatasari (2018) juga menjelaskan mengenai

capaian Presiden BJ Habibie semasa pemerintahannya, yaitu membentuk kabinet baru

reformasi pembangunan, perbaikan bidang ekonomi, kebebasan berpendapat, melakukan

reformasi di bidang politik, pelaksanaan sidang istimewa MPR pada tahun 1998, dan

pemilihan umum tahun 1999.

Selain kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada

pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin

Usaha Penerbitan (SIUP) (Bimantara, 2011). Promosi kebebasan pers merupakan langkah

reformasi yang paling menonjol yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie. Pada

pemerintahan sebelumnya, Soeharto mengendalikan media tidak hanya dengan berbagai cara

melalui kontrolnya atas izin penerbitan (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, SIUPP). Lisensi

ini tidak hanya sulit diperoleh bagi awak media, namun juga pemerintah dapat mencabut izin

tersebut sesuai kebijaksanaan pemerintah, dan memaksa editor untuk melakukan self-

censorship yang ketat (Anwar, 2010).

Reformasi di bidang hukum juga dilakukan di bawah pemerintahan Presiden BJ.

Habibie. Reformasi hukum ini apakah sudah benar-benar mencerminkan keadilan, harus kita

Page 18: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

171

lihat terlebih dahulu. McGuire (2016) menjelaskan bahwa untuk mengetahui apakah

peraturan perundang-undangan benar-benar mempromosikan cita-cita keadilan harus dilihat

dulu hukum sebelumnya pada masa presiden Soeharto misalnya. Seperti yang kita tahu, pada

masa pemerintahan Soeharto, pembaharuan hukum ditandai dengan ketidakadilan kebijakan

politik, korupsi yang merajalela, dan kurangnya proses investigasi yang mengarah pada

pelanggaran hak asasi manusia.

Pada masa pemerintahan Orde Baru memang telah didengungkan pembaharuan

(reformasi) di bidang hukum, tetapi dalam realisasinya produk hukum tetap tidak melepaskan

karakter elitnya. Misalnya dalam UU Ketenagakerjaan, tetap saja terdapat dominasi penguasa.

DPR selama orde baru cenderung telah berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya

memihak penguasa bukan memihak kepentingan masyarakat. Prasyarat untuk melakukan

rekonstruksi dan reformasi hukum memerlukan reformasi politik yang melahirkan keadaan

demokratis dan DPR yang representatif mewakili kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu pemerintah dan DPR merupakan kunci untuk pembongkaran dan

reformasi hukum. Target reformasi hukum menyangkut tiga hal, yaitu: substansi hukum,

aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan institusi peradilan yang independen.

Hal tersebut karena mengingat produk hukum Orde Baru sangat tidak kondusif untuk

menjamin perlindungan hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi dan menghambat

kreativitas masyarakat, adanya praktik KKN sebagai akibat dari adanya aturan hukum yang

tidak adil dan merugikan masyarakat (sejarah-negara.com, 2014). Dengan hadirnya Presiden

BJ. Habibie, harapan reformasi di bidang hukum semoga terwujud agar Indonesia menjadi

negara yang adil dan demokratis yang benar-benar mempromosikan hukum bagi keadilan

semua (McGuire, 2016).

Mengenai masalah Timor Timur, jelas bahwa Presiden Habibie adalah penggerak

utama dalam memberikan orang Timor Timur pilihan integrasi atau kemerdekaan karena

Habibie tidak menginginkan persoalan Timor Timur tetap menjadi beban bagi Indonesia di

masa mendatang (Anwar, 2010). Pada saat itu, Indonesia mendapatkan berbagai tekanan dari

negara-negara barat. Aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur dan integrasinya ke dalam

Republik Indonesia pada tahun 1976, setelah kepergian pemerintahan kolonial Portugis, tidak

pernah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mayoritas anggotanya. Hal ini menjadi

penghalang utama dalam hubungan internasional Indonesia dan sangat mencoreng citra

Page 19: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

172

negara, khususnya di negara-negara Barat (Anwar, 2010).

PENUTUP

Pemikiran politik BJ. Habibie mulai terlihat ketika menjadi Presiden RI yang mana

pemikiran itu dituangkan dalam kebijakan-kebijakan yang dilakukannya. Pemikiran BJ.

Habibie sebenarnya tidak didasari atas kepentingan politik. Akan tetapi, BJ. Habibie

menjadikan dirinya sebagai panutan (role model) dalam setiap kebijakan dan pergerakannya

membawa perubahan dari rezim Orde Baru menuju Reformasi. Beberapa kebijakan Presiden

BJ. Habibie selama masa pemerintahannya antara lain: (1) reformasi di bidang ekonomi; (2)

pemulihan legitimasi politik; (3) amandemen pertama UUD 1945; (4) kebebasan pers; (5)

penegakan HAM; dan (6) referendum Timor-Timur. Peranan BJ. Habibie dalam

demokratisasi di Indonesia terlihat dari gaya kepemimpinannya yang mengubah gaya

kepemimpinan otoriter ala Presiden Soeharto menjadi lebih demokratis. Presiden BJ. Habibie

mengembangkan sebuah konsep yang lebih jelas mengenai demokrasi sebagai sebuah mesin

politik. Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam agenda pemerintahannya yang

mencakup reformasi dalam berbagai bidang politik, ekonomi, hukum dan keamanan.

Page 20: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

173

DAFTAR PUSTAKA

Alami, N.R. (2016). Profil Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Orde Baru.

Jurnal Penelitian Politik, 8(2), 163-181.

DOI: http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/viewFile/459/272.

Ali, Fachry. (2013). Esai Politik tentang Habibie. Bandung: Mizan.

Amin, F. (2014). 6 Tuntutan Reformasi. Retrieved from academia.edu:

http://www.academia.edu/942729 6/6_Tuntutan_Reformasi.

Anwar, D. F. (2010). The Habibie Presidency: Catapulting Towards Reform. In Soeharto’s

New Order and Its Legacy: Essays in honour of Harold Crouch. ANU Press.

DOI: https://doi.org/10.22459/snol.08.2010.07.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Dewi, D.I. (2019). Kebangkitan Perekonomian Indonesia dalam Pemikiran Bacharuddin

Jusuf Habibie 1998-1999. Jambi: FKIP Universitas Jambi.

Dienaputra, R.D., dkk. (2001). Prosesi Peralihan Kekuasaan Dari Habibie Ke Abdurahman

Wahid : Sebuah Penelitian Awal. Jurnal Sosiohumaniora, 3(3), 177-186.

DOI: (http://jurnal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/5203/2599).

Djafar, TB. M. (2015). Krisis Politik dan Proposisi Demokratisasi: Perubahan Politik Orde

Baru ke Reformasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Firnandus, A. F. (2015). Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999) Kebijakan Politik

Dalam Negeri. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Habibie, B. J. (2006). Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju

Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.

Hamonangan, I. (2019). Reformasi Demokrasi: Kebijakan Politik Luar Negeri Masa

Presidensi B.J. Habibie. Depok: International Relations Epistemic Community.

Hendri, W. J., & Permatasari, I. A. (2018). Capaian Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie

dan Megawati di Indonesia. Jurnal Cakrawala, 12(2):196-207

DOI: https://doi.org/10.32781/cakrawala.v12i2.274.

Hosen, N. (2003). Indonesian Political Laws in Habibie Era : Between Political Struggle and

Law Reform, Nordic Journal of Internasional Law, 72(4), 483–518.

DOI: https://doi.org/10.1163/157181003772759494.

Page 21: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

174

Leftwich, A. (1994). Governance, the State and the Politics of Development. Development

and Change, 25(2), 363–386.

DOI: https://doi.org/10.1111/j.1467-7660.1994.tb00519.x

Mayring, P. (2015). Qualitative Content Analysis: Theoretical Background and Procedures,

365-380. DOI: http://link.springer.com/10.1007/978-94-017-9181-6_13

McGuire, H. (2016). Indonesian Law Reform and The Promote 0f Justice: An Analysis of

Law in The Pos-Soeharto Period. Brawijaya Law Journal, 3(1), 60-78.

DOI: 10.21776/ub.blj.2016.00301.04.

Makka, A. M. (2012). Biografi Bacharuddin Jusuf Habibie: Dari Ilmuwan ke Negarawan

sampai “Minandito”. Jakarta: THC Mandiri.

Makka, A. M. (2019). Mr. Crack Dari Parepare: Dari Ilmuwan ke Negarawan sampai

Minandito. Jakarta: Republika.

Manna Br.S, F. (2013). B. J. Habibie political policy in 1998 up to 1999. Retrieved from

repository. unri.ac.id: https://repository.unri.ac.id/handle/ 123456789/ 4806.

Mulyadi, R. M. (2019). Menyisir Jejak Politik Habibie dan Kontribusinya pada Demokrasi

dan Gerakan Antikorupsi di Indonesia. Retrived from https;//theconversation-

com.cdn.ampproject.org/v/s/theconversation.com/amp/menyisir-jejak-politik-

habibie-dan-kontribusinya-pada-demokrasi-dan-gerakan-antikorupsi-di-Indonesia.

DOI: https://doi.org/10.18592/khazanah.v13i1.518

Nugroho, H. (2012). Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk

Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 1(1),

1-15.

DOI: https://doi.org/10.22146/jps.v1i1.23419

Pratiknya, A.W. (1999). Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie. Buku Satu. Edisi

Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Purnaweni, H. (2004). Demokrasi Indonesia: dari Masa ke Masa. Jurnal Administrasi Publik,

3(2), 118-131.

Rani, A. M. (2015). Gaya Kepemimpinan Bacharuddin Jusuf Habibie Pasca Orde Baru

Tahun 1998-1999. Jom FISIP, 2 (2), 1-9.

DOI:https://media.neliti.com/media/publications/32272-ID-gayakepemimpinan-

bacharuddin-jusuf-habibie-pasca-orde-baru-tahun-1998-1999.pdf.

Page 22: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

175

Rosyidin, M. (2013). Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Bagaimana Mendorong Negara

Menuju Kestabilan dan Keterbukaan?. Jurnal Penelitian Politik, 10 (1). 155-160.

Sejarah-negara.com. (2014). Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Retrieved

fromsejarahnegara:https://www.sejarahnegara.com/2014/04/masapemerintahan-

presiden-bj-habibie.html

Shahab, A. (2008). Biografi Politik Presiden RI Ketiga BJ Habibie Berbasis Teknologi.

Jakarta: Peace.

Sorensen, G. (1993). Democracy and Democratization,Process and Prospect in a Changing

World. Oxford: Westview Press Inc.

Sugiharto, R. T. (2017). Biografi Politik Habibie: Dari Malari Sampai Reformasi.

Yogyakarta: Media Pressindo.

Syam, N. (2010). Jejak Reformasi Dalam Lintasan Sosio-Historis. Retrieved from

uinsby:http://digilib.uinsby. ac.id/14244/

Zed, M. (2018). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Page 23: B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in

176

-----------------