b.j. habibie’s political thought in democratization in
TRANSCRIPT
157
B.J. Habibie’s Political Thought in Democratization in Indonesia
Pemikiran Politik Bj. Habibie dalam Demokratisasi di Indonesia
Ahmad Depri Kurniawan, Didik Sukriono, Rosyid Al Atok
Universitas Negeri Malang
Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia
Abstract This study aims to describe BJ. Habibie’s political thought in democratization in Indonesia.
This study uses a qualitative approach with library research type. Data collecttion tehnique
used in this study is a research tehnique using the domumentation method. Data analysis using
content analysis. The result of study show that BJ. Habibie’s political thought began to appear
when he became the president of Rebublic Indonesia, where these thought were embodied in his
policies. Several policies of the presiden BJ. Habibie during his reign included: (1) economic
reform; (2) restoration of political legitimacy; (3) the fisrt amendment to the 1945 constitution;
(4) democratization of the press and human right enforcement; and (5) the East-Timor
referendum. The role of BJ. Habibie in democratization in Indonesia can be seen from hos
leadership style which changes the authoritarian leadership style of presiden Soeharto to be
more democratic such as the release of political prisoners, freedom of the press, freedom to
express opinions in public and many more.
Keywords: Political Thought, B.J. Habibie, Democratization, Indonesia
Journal of Politics and Policy Volume 3, Number 2, Juni 2021
158
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemikiran politik BJ. Habibie dalam demokratisasi
di Indonesia. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penelitian dengan
menggunakan metode dokumentasi. Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis isi atau content analisys. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemikiran politik BJ.
Habibie mulai terlihat ketika menjadi Presiden RI ke-3 yang mana pemikiran itu dituangkan
dalam kebijakan-kebijakan yang dilakukannya. Beberapa kebijakan Presiden BJ. Habibie
selama masa pemerintahannya: (1) Reformasi Ekonomi; (2) Pemulihan Legitimasi Politik; (3)
Proses Amandemen Pertama UUD 1945; (4) Demokratisasi Pers dan Penegakan HAM; dan (5)
Referendum Timor Timur. Peranan BJ. Habibie dalam upaya demokratisasi di Indonesia terlihat
dari gaya kepemimpinannya yang mengubah gaya kepemimpinan otoriter ala Presiden Soeharto
menjadi lebih demokratis seperti pembebasan para tahanan politik, kebebasan pers, kebebasan
menyampaikan pendapat di muka umum dan masih banyak lagi.
Kata Kunci: Pemikiran Politik, B.J. Habibie, Demokratisasi, Indonesia
PENDAHULUAN
Pemikiran politik adalah aspek teoritis dari ilmu politik yang mengkhususkan diri
dalam penyelidikan tentang pemikiran yang terdapat dalam bidang politik. Pemikiran politik
berurusan dengan pokok konseptual yang merajut keseluruhan fenomena politik di berbagai
zaman. Pemikiran politik sering juga digantikan dengan istilah filsafat politik atau teori
politik, namun filsafat politik sering diartikan dengan bentuk pemikiran yang lebih abstrak
(Suryajaya, 2016).
Bacharudin Jusuf Habibie atau yang lebih dikenal dengan B.J. Habibie adalah tokoh
yang pintar dalam hal teknologi pesawat terbang. B.J. Habibie adalah sosok yang sangat
diidolakan oleh masyarakat. Di samping sebagai seorang yang ahli dalam teknologi pesawat
terbang, B.J. Habibie juga terjun dalam dunia politik. B.J. Habibie memulai karier politiknya
di tanah air sebagai Penasihat Pemerintah Indonesia pada bidang teknologi tinggi dan
teknologi pesawat. Pada tahun 1978 B.J. Habibie diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan
Teknologi (Menristek) dalam Kabinet Pembangunan III (Makka, 2012). Jabatan ini
dipegangnya selama lima kali berturut-turut dalam kabinet pembangunan hingga tahun 1998.
Masyarakat Indonesia sebelum menggelar pemilu tahun 1997, sebenarnya B.J.
Habibie pernah menyampaikan niatnya kepada keluarga dan kerabat dekat bahwa ia
berencana akan berhenti dari jabatan selaku menteri setelah Kabinet Pembangunan Enam
berakhir. Akan tetapi pada 11 Maret 1998, MPR memilih dan mengangkat B.J. Habibie
156
sebagai Wakil Presiden RI ketujuh (Shahab, 2008). B.J. Habibie pun terpilih menjadi
pendamping Presiden Soeharto di akhir Orde Baru, B.J. Habibie kemudian menggantikan
Presiden Soeharto ketika terjadi kerusuhan yang mengakibatkan Presiden Soeharto harus
turun dari istana. Permasalahan yang dihadapi oleh Habibie ketika menjabat menjadi seorang
Presiden begitu kompleks, mencakup semua lapisan: sosial, budaya, ekonomi, politik dan
hukum. Sistem yang ada tidak berjalan, malah penyebab keterpurukannya Negara pada saat
itu ialah sistem itu sendiri yang tersumbat, tidak berjalan dari hilir ke hulu sebagaimana
mestinya ungkap Fachry Ali dalam bukunya Esai Politik tentang Habibie (Ali, 2013).
Puncaknya para demonstran dari semua kalangan turun ke jalanan dan menuntut agar
Presiden Soeharto segera turun dari kursi Presiden, yang telah menjabat selama 30 tahun
lebih. Rani (2015) menjelaskan bahwa tepat pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.00, di Istana
Merdeka yang dihadiri Menhankam atau Pangab Wiranto, Mensesneg Saadilah Mursjid,
Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Menteri Kehakiman Muladi dan Wapres B.J. Habibie,
beserta Pimpinan Mahkamah Agung, Ketua DPR, Sekjen DPR, di hadapan wartawan dalam
dan luar negeri, Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai
Presiden. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Makka (2012) bahwa tepat pada pukul
09.00 Presiden Soeharto menyampaikan pengunduran diri sebagai Presiden.
Jika kita lihat kembali, apabila seorang Presiden berhenti dari jabatannya yang akan
dilakukan secara konstitusional, maka Wakil Presiden-lah yang akan menggantikannya. Ini
diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 8 ayat (1), yang isi lengkapnya adalah “Jika
Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya” (Makka, 2012).
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Hosen (2003) ketika B.J. Habibie mengambil alih
kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, dia secara konstitusional tidak diwajibkan untuk
mengadakan pemilihan. Seperti dijelaskan dalam Pasal 8 UUD 1945 yang mengatur bahwa
jika Presiden 'berhenti menjabat', Wakil Presiden akan menyelesaikan sisa masa jabatan
Presiden. Oleh karena itu B.J. Habibie memiliki mandat konstitusional untuk menjalankan
masa jabatan Soeharto hingga tahun 2003. Dan selanjutnya yang terjadi, sejarah mencatat,
seorang Fisikawan pesawat terbang memimpin Republik Indonesia selama satu tahun lima
bulan. Mulai hari itu pula Kabinet Pembangunan VII dinyatakan demisioner, dan untuk
157
menghindari kekosongan pimpinan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, Wakil
Presiden mengisi jabatan Presiden (Rani, 2015).
Presiden B.J. Habibie dalam waktu yang relatif singkat telah memelihara pandangan
modern beliau dalam demokrasi dan mengimplementasikannya dalam setiap proses
pembuatan keputusan. Peran penting B.J. Habibie dalam percepatan proses demokrasi di
Indonesia dikenal baik oleh masyarakat nasional maupun internasional sehingga beliau
dianggap sebagai “Bapak Demokrasi”. Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata.
Ketika MPR, institusi tertinggi di Indonesia memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie, Habibie secara berani
mengundurkan diri dari pemilihan Presiden yang baru pada pemilu tahun 1999. Beliau
melakukan ini, selain penolakan MPR atas pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut
serta dalam pemilihan, dan keyakinan dari pendukung beliau bahwa beliau akan tetap bisa
unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin bahwa pidatonya ditolak MPR akan
menjadi tidak etis baginya untuk tetap ikut dalam pemilu. Keputusan ini juga dimaksudkan
sebagai pendidikan politik dari arti sebuah demokrasi. Pakar politik menyebutkan alasan
penyebab ditolaknya pidato Presiden B.J. Habibie adalah masalah terlepasnya Timor Timur
dari NKRI akibat jajak pendapat (Sugiharto, 2017).
Sebelum lebih lanjut membahas mengenai B.J. Habibie, pada 2019 ada penelitian
yang membahas pemikiran B.J. Habibie yang berjudul “Kebangkitan Perekonomian
Indonesia dalam Pemikiran Bacharuddin Jusuf Habibie 1998-1999”. Penelitian ini dilakukan
Dewi (2019) yang didasari oleh krisis ekonomi 1998 yang membawa dampak besar bagi
perekonomian di Indonesia. Penelitian ini menjelaskan mengenai bagaimana kondisi
ekonomi Indonesia pada masa krisis moneter 1998. Dalam penelitian ini juga menjelaskan
mengenai pemikiran atau kebijakan B.J. Habibie dalam upaya kebangkitan ekonomi
Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan penelitian ini lebih fokus pada aspek ekonominya.
Berbeda dengan penelitian yang akan saya angkat yang membahas mengenai
pemikiran B.J. Habibie. Pada penelitian ini saya akan membahas mengenai pemikiran politik
BJ. Habibie, kebijakan-kebijakan yang dilakukan Presiden B.J. Habibie selama menjadi
presiden, dan peranan BJ. Habibie dalam demokratisasi di Indonesia. Sehingga dapat
dikatakan penelitian ini bukan merupakan plagiat dari penelitian terdahulu, dalam penelitian
158
ini nantinya akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana pemikiran atau kebijakan-
kebijakan yang dilakukan Presiden B.J. Habibie dalam upaya demokratisasi di Indonesia.
Membahas demokratisasi tentunya tidak bisa terlepas dari demokrasi. Djafar (2015)
menjelaskan demokrasi dan demokratisasi sebagai dua konsep yang tidak bisa dipisahkan
karena keterkaitannya yang sangat erat. Secara umum, demokrasi berarti sebuah konsep
kekuasaan atau kehendak rakyat. Sementara itu, demokratisasi menunjukkan makna proses
perubahan yang mengarah pada tujuan memperkuat rakyat dan penumbuhan nilai-nilai
demokrasi. Konsep demokrasi dan demokratisasi dapat dikaji sebagai teori empiris yang
mengacu pada perubahan sistem politik otoritarian ke dalam sistem politik yang lebih
demokratis.
Istilah demokratisasi merujuk pada akar kata “demokrasi” suatu konsep yang secara
esensial masih menjadi perdebatan (essentially contested concept) di kalangan akademisi
maupun praktisi ilmu sosial politik. Tidak ada konsensus terhadap pemaknaan tunggal dan
pasti (fixed) atas konsep tersebut. Mereka mendefinisikan konsep-konsep tersebut dengan
caranya masing-masing tergantung pada bagaimana mereka menggunakan konsep tersebut
baik secara objektif maupun subjektif (Alami, 2016). Purnaweni (2004) juga menjelaskan
bahwa demokrasi adalah sebuah kata yang sering diucapkan. Namun, makin banyak ia
dibahas makin sulit mencari contoh negara yang memenuhi tatanan demokrasi.
Demokrasi secara etimologis dapat didefinisikan sebagai “the rule of the people”.
Definisi ini menunjukkan bahwa demokrasi mengandung dua komponen utama yaitu “rule”
dan “people”. Demokrasi menghendaki adanya pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi dapat
dicapai dengan karakter tersebut diperlukan suatu proses menuju demokrasi yang disebut
demokratisasi. Sebagai suatu proses, demokratisasi memerlukan waktu yang tidak singkat
dan bukanlah upaya yang mudah (Alami, 2016). Demokratisasi menjadi fenomena yang
penting sejak berakhirnya Perang Dingin. Demokratisasi tidak hanya menjamin hak-hak sipil,
tetapi menunjang keamanan dan perdamaian internasional (Rosyidin,2013).
Menurut Dahl & Lijphart, seperti dikutip Rose (1995) demokratlsasi adalah proses
bertahap evolusi menuju satu sistem politik di mana setiap orang memperoleh hak-hak positif
di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dengan kata lain demokratisasi adalah proses atau
tahapan perpindahan dari rezim yang otoriter ke rezim yang demokratis dan terjadi secara
perlahan. Demokratisasi ditentukan oleh banyak faktor. Transisi menuju demokrasi akan
159
berbenturan dengan kompleksitas faktor yang saling berkaitan. Salah satu faktor utamanya,
tentu saja budaya politik masing-masing negara. Proses demokratisasi akan terjadi jika di
dalam masyarakat tersedia berbagai faktor pendukungnya. Dalam hal ini tentu terkait dengan
prasyarat demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Dahl & Leftwich seperti tingginya
tingkat melek huruf, komunikasi dan pendidikan; kelas menengah yang mapan dan aman,
masyarakat sipil yang menggemparkan; bentuk-bentuk ketimpangan material dan sosial yang
relatif terbatas, dan adanya ideologi masyarakat sekuler yang luas (Leftwich, 1994).
Ada juga yang beranggapan bahwa faktor ekonomi merupakan prasyarat utama bagi
berlangsungnya proses demokratisasi di suatu negara. Masyarakat industri modern yang
diasumsikan memiliki tingkat kemampuan ekonomi yang tinggi akan lebih mudah
menciptakan suatu negara yang demokratis. Asumsi itu didukung oleh pernyataan seorang
ahli politik yang bernama Seymour M. Lipset yang menyatakan bahwa semakin kaya suatu
bangsa maka akan semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi
(Sorensen, 1993).
Pendapat Lipset ini didukung kenyataan bahwa modernisasi dan kesejahteraan akan
selalu disertai dengan sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi yaitu meningkatnya
tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan, urbanisasi dan pembangunan media massa.
Kesejahteraan masyarakat yang tinggi juga akan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan
untuk meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik. Pernyataan Lipset itu
juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan pengamat politik yang lain yaitu Robert
Dahl, yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi suatu negara akan
semakin mungkin bagi masyarakat untuk menjadi demokratis (Nugroho, 2012).
Berdasarkan uraian singkat pada penjelasan di atas, maka rumusan masalah dalam
penulisan artikel ini yaitu: (1) bagaimana pemikiran politik BJ. Habibie?; (2) bagaimana
kebijakan presiden BJ. Habibie selama menjadi Presiden RI?; dan (3) peranan BJ. Habibie
dalam demokratisasi di Indonesia?.
160
METODE
Penelitian mengenai “Pemikiran Politik BJ. Habibie dalam Demokratisasi di
Indonesia” ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini berorientasi
pada pengumpulan data yang terdapat dalam berbagai sumber yang ada. Berbagai bahan
pustaka dan data informasi yang digunakan berasal dari buku, jurnal ilmiah, media massa,
data pemerintah, artikel, dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Penggunaan metode kepustakaan ini juga sering disebut dengan studi pustaka. Hal ini seperti
yang dijelaskan Zed (2018) bahwa studi pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian. Dengan demikian, penelitian ini hanya membatasi kegiatannya pada bahan-bahan
koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan
sekunder. Data adalah segala keterangan atau informasi yang berkaitan dengan tujuan
penelitian (Arikunto, 2015). Data primer dalam penelitian ini adalah buku karangan B.J.
Habibie yang berjudul Bacharuddin Jusuf Habibie : Detik-Detik yang Menentukan-Jalan
Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: The Habibie Center Mandiri, 2006. Data
sekunder dalam penelitian ini menggunakan segala data tertulis yang berhubungan dengan
tema yang bersangkutan baik dari buku, dokumen, jurnal, skripsi, artikel, majalah, surat kabar,
dan penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan judul skripsi.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi.
Metode dokumentasi merupakan salah satu kegiatan yang untuk mencari sumber data
mengenai beberapa hal yang dapat berupa catatan, buku, artikel, jurnal, dokumen, biografi,
media massa, dan berbagai sumber bacaan lainnya yang dapat diterima kebenarannya yang
berkaitan dengan pemikiran politik B.J. Habibie, yang kemudian diolah sesuai dengan
metodologi yang digunakan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis isi (content analisys). Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam analisis
konten (isi) bertumpu pada acuan Philipp Mayring (2015). Melalui teknik inilah sebuah data
dianalisis untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya. Berdasarkan
penggunaan acuan di atas, peneliti menggunakan analisis isi yang digunakan untuk
menjelaskan pemikiran politik B.J. Habibie dalam demokratisasi di Indonesia.
161
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemikiran Politik BJ. Habibie
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pemikiran politik BJ. Habibie, saya akan
memulainya dengan karier politiknya. Karier politik BJ. Habibie sebenarnya sudah dimulai
sejak dirinya bergabung dalam kabinet pembangun sejak pertemuan pertamanya dengan
Soeharto usai peristiwa Malari, tepatnya pada 28 Januari 1974. BJ. Habibie diminta
mendampingi Presiden Soeharto hingga 25 tahun ke depan hingga Pemilu 1997, waktu itu
rentang Habibie mendampingi Soeharto sudah memasuki tahun ke-23.
BJ. Habibie pun berencana pensiun dan berhenti dari gelanggang politik Indonesia
dengan menyampaikan rencana tersebut pada presiden Soeharto. Namun, presiden Soeharto
justru menggantung jawabannya dengan saran agar menunggu dan melihat keadaan. Pada
akhirnya DPR RI pun menemui Habibie di Putra Kuningan, menjelang Sidang Umum 1998.
Mereka meminta kesediaan Habibie untuk menjadi Wakil Presiden ke-7 dipasangkan dengan
Jendral Soeharto, Habibie pun tidak dapat mengelak dan menyatakan bersedia mendampingi
Soeharto dalam Pemilu 1998 (Sugiharto, 2017).
Sebelumnya Habibie sudah tampil dalam panggung politik selama 20 tahun menjadi
Menristek dan boleh jadi membuatnya cukup matang dalam berpolitik. Namun, menjadi
orang nomor dua di republik ini, tentu tidak mudah dan membutuhkan energi yang besar.
Berbicara mengenai pemikiran politik BJ. Habibie, tentunya sedikit asing ditelinga
kita. Bagaimana tidak? BJ. Habibie dulunya dikenal sebagai ilmuwan hebat melalui perannya
yang merancang pesawat terbang dan mendorong perkembangan sains di Indonesia (Mulyadi,
2019). Hal ini seperti dijelaskan Makka (2019) BJ. Habibie lebih dikenal sebagai sosok yang
ahli dalam membuat pesawat terbang. Contohnya saja, pesawat N-250 yang berhasil melesat
terbang ke udara tanggal 10 Agustus 1995 di Lapangan Udara Husein Sastranegara, Bandung.
Pesawat ini terbang tepat pada pukul 10.15 WIB, setelah melintasi setengah landasan pacu,
roda depan terangkat dan kemudian diikuti roda belakang, maka melesatlah sang “Gatotkaca”
(julukan N-250) terbang menembus awan biru dengan kecepatan hampir 200 knot. Seketika
itu juga, rasa tegang berganti tepuk sorak-sorai ribuan mata yang menyaksikan.
Kemudian, dalam hal pemikiran, antara Presiden BJ. Habibie dengan Presiden
Soeharto ada perbedaan pemikiran dalam menyikapi atau memahami politik/kekuasaan.
162
Menurut Habibie, kekuasaan adalah sarana perjuangan dalam pengabdian kepada bangsa dan
negara. Kekuasaan merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat dan harus ditunaikan
dengan baik untuk kepentingan rakyat (Sugiharto, 2017).
Bahkan, BJ. Habibie menempatkan kekuasaan lebih religius, meski dalam konteks
demokrasi bukan berarti sakral, yakni sebagai fungsi dari kehendak Tuhan dan fungsi dari
kehendak rakyat. Sehingga, kekuasaan harus dilaksanakan sesuai ajaran Tuhan dan
dilaksanakan untuk memenuhi kehendak dan kedaulatan rakyat (Habibie, 2006).
Konsep tersebut secara jelas membedakan antara presiden BJ. Habibie dengan
presiden Soeharto. Dengan menjalankan konsep tersebut, menunjukkan bahwa presiden BJ.
Habibie tidak haus akan kekuasaan dan berambisi meraih kekuasaan dengan berbagai cara. Ia
pun juga tidak perlu ngotot dalam rangka untuk memperjuangkan dan menduduki kursi
kepresidenan lagi (Sugiharto,2017).
Berdasarkan penjelasan tersebut, di samping sebagai ilmuwan yang hebat dalam
dunia pesawat terbang, BJ. Habibie juga seorang tokoh politik yang hebat dan disegani. Ia
mempunyai peran yang penting dalam transformasi politik di Indonesia. Ketika Presiden
Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia pada Mei 1998, BJ. Habibie yang waktu itu
berkedudukan sebagai wakil presiden. Maka, sesuai dengan Pasal 8 Undang-undang Dasar
1945 maka BJ. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden (Mulyadi, 2019).
Pada masa kepemimpinan Habibie sebagai presiden, dia banyak mengeluarkan surat
keputusan dan undang-undang yang penting dalam kemajuan dan kebebasan berdemokrasi di
Indonesia. Politik yang lebih demokratis juga merupakan hasil pemerintahan Presiden BJ.
Habibie. BJ. dalam upaya mencapai politik yang demokratis, BJ. Habibie mengeluarkan
Undang-Undang Partai Politik No. 2 Tahun 1999. Yang mana undang-undang tersebut
membuka peluang berdirinya partai-partai politik yang baru. Tidak hanya itu, undang-undang
tersebut juga menyediakan penyelenggaraan pemilihan umum yang terbuka dan demokratis.
Presiden BJ. Habibie juga memberikan pengampunan bagi para politikus yang ada pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 85 Tahun 1998 .
Melalui Keppres tersebut, BJ. Habibie memberikan amnesti kepada beberapa tahanan
politik, seperti Cancio AH Guterres, Thomas Agusto, Antonio Freitas, Jose Gomez,
Hermenigildo da Costa, Luis Pereira, dan Bendito Amaral yang diduga terlibat kasus makar
pada era Soeharto. BJ. Habibie juga memberikan grasi pada tahanan politik seperti Manan
163
Effendi, Alexander Warrouw, dan Pudjo Prasetyo yang terlibat dalam kasus pemberontakan
Gerakan 30 September (Mulyadi, 2019).
Hal ini senada dengan yang disampaikan Febri Manna BR Sembiring, Marwoto
Saiman, dan Tugiman dalam penelitiannya yang berjudul “Kebijakan Politik Presiden BJ.
Habibie Tahun 1998-1999”. Ada beberapa kebijakan yang dilakukan Presiden BJ. Habibie
selama memerintah mulai tanggal 21 Mei 1998 sampai 21 Oktober 1999. Kebijakan politik
yang dibuatnya yaitu pembebasan tahanan politik dan narapidana politik, kebebasan pers,
kebebasan membentuk partai politik, pelaksanaan pemilu tahun 1999, referendum Timor-
Timur dan mengusut kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya. Dalam menjalankan kebijakan
politik tersebut, dampaknya berbagai pelanggaran HAM muncul, seperti terjadinya tragedi
semanggi I dan II yang banyak memakan korban jiwa, lepasnya Timor-Timur dari Indonesia
padahal sudah banyak pengorbanan dan bantuan Indonesia terhadap Timor-Timur dan juga
status hukum mantan Presiden Soeharto belum terselesaikan (Manna Br.S, 2013).
Walaupun demikian, telah banyak upaya-upaya yang dilakukan presiden BJ. Habibie
dalam rangka untuk mencapai politik yang demokratis, kestabilan politik dan pemerintahan.
Sehingga, setiap kebijakan politik tentu mempunyai dampaknya masing-masing. Yang mana,
kebijakan tersebut dilakukan demi masa depan politik Indonesia yang lebih baik.
B. Kebijakan B.J. Habibie Saat Menjabat Sebagai Presiden RI
Sebelum menjadi presiden, BJ. Habibie menyatakan secara terbuka pada sejumlah
kesempatan bahwa dia menganggap Presiden Soeharto sebagai mentornya dan merupakan
‘guru politik’ baginya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa banyak orang yang
skeptis bahwa ia akan memerintah secara berbeda dari pendahulunya. Pada kenyataannya,
Habibie menunjukkan di awal masa kepresidenannya bahwa dia adalah tipe pemimpin yang
berbeda (Hamonangan, 2019). Menurut Anwar dalam bukunya yang berjudul The Habibie
Presidency: Catapulting Towards Reform (2010), Habibie memiliki pendekatan yang berbeda
dengan bagaimana Soeharto memerintah dalam masa jabatannya. Pada masa jabatannya,
Presiden Soeharto memastikan kontrol politiknya yang tak tertandingi dengan
memberlakukan sensor ketat terhadap media, membatasi kebebasan berbicara dan berserikat,
memenjarakan lawan-lawan politik, dan melihat konsep hak asasi manusia sebagai sesuatu
yang asing bagi nilai-nilai Indonesia, Presiden Habibie justru melakukan yang sebaliknya.
164
Sebagai Presiden pengganti, BJ. Habibie bukannya tanpa modal. Ia sudah
mendampingi Presiden Soeharto sejak tahun 1974, ini bukan pengalaman yang singkat. Ia
bahkan sudah lebih dari 20 tahun duduk dalam Kabinet Pembangunan. Serangkaian jejak
pengalaman politiknya sudah tidak diragukan lagi, di antaranya mengelola Keluarga Besar
Golkar yang juga mencakup Fraksi ABRI, Fraksi Utusan Daerah dan Fraksi Golkar. Namun,
sewaktu diera kepemimpinannya sebagai Presiden RI, ketiga unsur tersebut sudah dibubarkan
dan tidak dijalankan lagi dalam Sidang Istimewa MPR. Hal itu pun bisa menjadi modal yang
bermanfaat dalam mengorganisasikan kelompok-kelompok yang ada dalam internal
parlemen maupun masyarakat (Sugiharto, 2017).
Motivasi dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan Habibie memang dapat dikaitkan
dengan berbagai tekanan masyarakat yang ada saat itu dan keinginannya untuk memenangkan
dukungan rakyat. Namun dengan semangatnya, dia mampu melakukan beberapa inisiatif
reformasi yang beberapa di antaranya cukup radikal yang berdampak buruk terhadap
kepentingan politiknya (Habibie, 2006). Pada masa pemerintahannya, Indonesia tengah
mengalami gejolak moneter yang turut memberikan pengaruh yang semakin buruk terhadap
perekonomian, ketahanan, dan pembangunan nasional. Sehingga diperlukan keputusan yang
radikal dalam upaya pengembalian kondisi Indonesia, meskipun hal ini memiliki dampak
buruk terhadap posisinya (Hamonangan, 2019).
Melalui langkah-langkah yang diambil, Habibie menunjukkan perhatian dan
komitmennya terhadap reformasi untuk mengatasi dan memperbaiki kondisi negara. Jika
Habibie hanya peduli untuk memenangkan persetujuan publik, dia mungkin akan lebih
selektif, dengan memperkenalkan reformasi yang lebih populer, dan menghindari kebijakan
yang akan memiliki konsekuensi negatif bagi nasib politiknya sendiri. Sebaliknya, Habibie
tidak menghindar untuk memperkenalkan sejumlah reformasi dan perubahan yang penting,
meskipun dia sendiri mengetahui dengan jelas konsekuensi dari kebijakan dan perubahan
tersebut (Anwar, 2010).
Dalam kurun waktu 17 bulan pemerintahannya, banyak kebijakan yang dikeluarkan
Presiden BJ. Habibie, pada waktu itu Kabinet Reformasi Pembangunan telah menghasilkan
69 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang siap disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
Sementara itu, masih ada agenda reformasi yang perlu diselesaikan seperti masalah law and
enforcement (penegakan hukum), peningkatan kualitas aparatur, dan budaya hukum
165
masyarakat (Habibie, 2006:165). Berikut ini adalah beberapa kebijakan Presiden BJ.
Habibie selama masa pemerintahannya: (1) Reformasi Ekonomi; (2) Pemulihan
Legitimasi Politik; (3) Proses Amandemen Pertama UUD 1945; (4) Demokratisasi Pers dan
Penegakan HAM; dan (5) Referendum Timor Timur.
C. Peranan B.J. Habibie dalam Demokratisasi di Indonesia
Peranan BJ. Habibie dalam demokratisasi di Indonesia bisa dilihat dari kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkannya. Kepemimpinan Presiden BJ. Habibie dimulai dengan
mengubah gaya kepemimpinan dari model otoriter ala Soeharto menjadi lebih demokratis. Ia
mulai membuka keran kebebasan yang sebelumnya ditutup rapat-rapat di era Soeharto.
Presiden BJ. Habibie juga membebaskan tahan politik era Orba.
Sebelum menjadi presiden, BJ. Habibie menyatakan secara terbuka pada sejumlah
kesempatan bahwa dia menganggap Presiden Soeharto sebagai mentornya dan merupakan
‘guru politik’ baginya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa banyak orang yang
skeptis bahwa ia akan memerintah secara berbeda dari pendahulunya. Pada kenyataannya, BJ.
Habibie menunjukkan di awal masa kepresidenannya bahwa dia adalah tipe pemimpin yang
berbeda (Hamonangan, 2019). Menurut Anwar dalam bukunya yang berjudul The Habibie
Presidency: Catapulting Towards Reform (2010). BJ. Habibie memiliki pendekatan yang
berbeda dengan bagaimana Soeharto memerintah dalam masa jabatannya. Pada masa
jabatannya, Presiden Soeharto memastikan kontrol politiknya yang tak tertandingi dengan
memberlakukan sensor ketat terhadap media, membatasi kebebasan berbicara dan berserikat,
memenjarakan lawan-lawan politik, dan melihat konsep hak asasi manusia sebagai sesuatu
yang asing bagi nilai-nilai Indonesia, Presiden Habibie justru melakukan yang sebaliknya.
Dalam kepemimpinan BJ. Habibie ada beberapa upaya yang dilakukan dalam proses
demokratisasi, BJ. Habibie memulainya dengan mengubah gaya kepemimpinan dari model
otoriter ala Soeharto menjadi lebih demokratis. Ia mulai membuka keran kebebasan
demokrasi yang sebelumnya ditutup rapat-rapat di era Soeharto. Bahkan, Presiden BJ.
Habibie juga membebaskan tahanan politik era Orde Baru (Sugiharto, 2017).
Dalam upaya demokratisasi di Indonesia, BJ. Habibie pernah menyampaikan
pernyataannya dalam pidato pelantikannya bahwa rencana pertama yang akan dilakukannya
sebagai Presiden adalah menciptakan negara yang demokratis. Maka, untuk mewujudkan hal
166
itu, pemerintahan BJ. Habibie segera melakukan perubahan dan penghapusan berbagai sistem
politik yang dilakukan pemerintahan sebelumnya (pemerintahan Presiden Soeharto) dan
menggantinya dengan sistem baru yang lebih demokratis. Hal ini dibuktikan dengan
kebijakannya yang mendukung penuh langkah DPR menyempurnakan Undang-undang
Politik yang terdiri dari Undang-undang Partai Politik, Undang-undang Pemilihan Umum
(Pemilu), serta Undang-undang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR (Makka, 2019).
Sidang Istimewa MPR yang berlangsung tanggal 10-13 November 1998 telah
menghasilkan 12 Ketetapan MPR, antara lain mengenai perubahan dan tambahan atas
ketetapan MPR tahun 1998 tentang Pemilu (Makka, 2019). Sebagai upaya tindak lanjut dari
hasil-hasil yang dicapai SI MPR 1998, pemerintah segera mempersiapkan berbagai perangkat
pendukung bagi terselenggaranya suatu pemilihan umum yang luber dan jurdil. Keseriusan
pemerintah dalam merespons tuntutan pemilihan umum semakin menjadi jelas setelah
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 1 Februari 1999 mengesahkan tiga produk
perundang-undangan yang memiliki keterkaitan erat dengan pelaksanaan pemilihan umum.
Pertama, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Kedua, Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Ketiga, Undang-undang Nomor 4
Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dienaputra. 2001).
Seiring dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 tahun 1999, proses pelaksanaan
pemilihan umum pun mulai memasuki langkah-langkah yang lebih konkrit (Dienaputra.
2001). Berbagai langkah kongkret telah ditempuh, dalam rangka untuk melaksanakan
ketetapan MPR tersebut, di antaranya, membentuk Tim Sembilan yang bertugas menyeleksi
organisasi politik peserta Pemilu, pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI), dan Panwaslu (Panitia Pengawasan pemilu), serta kegiatan
pendaftaran peserta pemilu dan kampanye partai politik (Makka, 2019).
Salah satu langkah konkrit yang kemudian segera diambil pemerintah adalah
melakukan verifikasi terhadap partai-partai politik peserta pemilihan umum. Untuk
kepentingan ini, pemerintah membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan
Umum (P3KPU) atau lebih dikenal dengan Tim Sembilan. Dari 60 partai politik yang
memenuhi persyaratan administratif setelah dilakukan verifikasi, Tim Sembilan
merekomendasikan 48 partai politik yang dapat mengikuti Pemilihan Umum 1999. Sementara
167
sisanya sebanyak 12 partai politik gagal memperoleh rekomendasi Tim Sembilan. Atas dasar
verifikasi P3KPU, Syarwan Hamig selaku Menteri Dalam Negeri sekaligus Ketua Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) mengeluarkan Surat Keputusan No.3 Tahun 1999 tentang
pengesahan 48 partai politik sebagai peserta Pemilu 1999 (Dienaputra. 2001).
Presiden BJ. Habibie yakin bahwa pemilu bulan Juni 1999 dapat berjalan jurdil.
Dalam pemilu pertama ini ada 48 partai politik yang lolos seleksi sebagai peserta pemilu.
Partai ini dibentuk sesuai dengan hati nurani para pendirinya dan aspirasi dari rakyat. Yang
membuat peraturan juga wakil rakyat sendiri di DPR, dan berpegang pada ketetapan wakil
rakyat di MPR yang lalu. Sedangkan, KPU, PPI, dan Panwaslu dipilih dari bawah (rakyat)
bukan dari atas (Makka, 2019).
Jika dalam pemerintahan sebelumnya pemerintah menutup peluang berkembangnya
demokrasi hukum dan rule of law, maka pemerintahan BJ. Habibie merintis dan mendorong
reformasi di bidang politik sebagaimana yang diwujudkannya dalam bentuk kebijakan dan
keputusannya, seperti pembebasan tahanan politik, kebebasan pers, pembuatan beberapa
perangkat peraturan perundang-undangan bidang politik, penyelenggaraan pemilu yang
dipercepat secara jurdil dan demokratis, dan berbagai langkah dalam penghormatan atas
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) (Pratiknya, 1999)
Dalam konteks pemilu pertama yang berjalan demokratis di bawah pemerintahan BJ.
Habibie, Indonesia telah meletakkan sejumlah elemen yang fundamental dan membawa pada
kemajuan demokrasi Indonesia. Jika di masa lalu pemilu dijadikan sebagai “alat pembenar”
bagi rezim untuk tetap mempertahankan kekuasaannya, kini dengan terbuka wacana pemilu
untuk mencapai tiga tujuan, yaitu: (1) sebagai ajang pemberdayaan kedaulatan rakyat (2)
sebagai medium bagi proses rekrutmen politik secara terbuka (3) sebagai instrumen awal bagi
pemerintah yang legitimate (memiliki legitimasi) (Pratiknya, 1999).
Presiden BJ. Habibie sejak awal sudah memahami bahwa proses demokratisasi erat
kaitannya dengan proses terbukanya kesempatan bagi penyebarluasan gagasan demokrasi dan
aplikasinya. Pikiran ini sebenarnya pertama kali disampaikan BJ. Habibie ketika dirinya
menjadi Wakil Presiden RI. Dalam acara Studi Nasional di Jakarta, 21 April 1998, Wapres BJ.
Habibie memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai Hasta Krida yang menyangkut nilai
dasar pembangunan politik. Ia mengatakan bahwa peningkatan kualitas kehidupan dan
semangat demokrasi Pancasila sebagai perwujudan sikap tanggap terhadap peningkatan
168
aspirasi politik hendaknya harus dijadikan rujukan utama dalam membangun prinsip
demokrasi Indonesia (Pratiknya, 19995).
Terlepas dari semua itu, dalam hal kepemimpinan, berbeda dengan mentor politiknya,
jika presiden Soeharto menerapkan kepemimpinan militeristik, maka Presiden BJ. Habibie
lebih luwes dan liat dalam menerapkan kepemimpinan orang sipil dan non militer. Sugiharto
(2017) menjelaskan bahwa dalam kepemimpinannya presiden BJ. Habibie memiliki beberapa
pendekatan. Pertama, pendekatan dialog. Kedua, proses relaksasi, Ketiga, metode
aproksimasi. Keempat, pendekatan redundansi. Kelima, menghindari polemik dan
memanfaatkan underestimate.
a. Pendekatan Dialog
Presiden BJ. Habibie menerapkan pendekatan dialog untuk pengambilan keputusan
dan penyelesaian masalah. Sebelum Presiden BJ. Habibie mengambil keputusan, didahului
proses diskusi antar anggota kabinet dengan Presiden. Habibie mengubah forum rapat kabinet
menjadi lebih demokratis. Para menteri menyampaikan aspirasi masyarakat dan keputusan
yang diambil dalam sidang kabinet menunjukkan kualitas intelektual yang dikeluarkan dari
proses berpikir sistemik.
b. Proses Relaksasi
Proses relaksasi merupakan bagian dari pengelolaan atau crisis management. Dengan
tujuan, mengubah keadaan yang tidak menentu menjadi terkendali. Presiden BJ. Habibie
melakukannya dengan sesegera mungkin untuk menghindari dampak negatif yang
memungkinkan terjadi (Habibie, 2006).
c. Aprosimaksi
Aprosimaksi merupakan metode pemecahan masalah untuk mencapai keadaan yang
mendekati sempurna. Dengan kata lain, menyelesaikan masalah dengan pendekatan perkiraan
panjang. Permasalahan dapat diselesaikan sehingga mencapai kesempurnaan yang mana hal
itu ditentukan pula oleh pendidikan, pengalaman, budaya seseorang, sehingga penyelesaian
mendekati 100 persen.
d. Redundansi
Pendekatan mengoptimalkan keberhasilan suatu kebijakan dengan memanfaatkan
cadangan pengaman seefisien mungkin namun dapat menjamin stabilitas dan keamanannya.
Misalnya dalam menyikapi NKRI dan UUD 1945 setiap kebijakan yang dilakukan harus
169
berlandaskan pada upaya mempertahankan NKRI dan konstitusional atau memiliki dasar
hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
e. Menghindari Polemik dan Memanfaatkan Underestimate
Presiden BJ. Habibie selalu berupaya menghindari polemik yang dinilainya tidak
produktif. BJ. Habibie juga menerima kritik dan cemoohan dari lawan politiknya tidak dengan
reaksi, melainkan dengan memperbaiki perbuatan dengan lebih baik sebagai jawaban atas
kritik dan cemoohan mereka.
Sebagai upaya untuk menghindari polemik, Presiden BJ. Habibie juga memberikan
informasi yang diperolehnya hanya kepada pihak-pihak yang memang perlu mengetahui dan
secara proporsional, tujuannya agar informasi tidak meluas hingga berakibat kontra produktif.
Sedang, kepada pihak yang underestimate dengan merendahkan dirinya, Habibie justru
menjadikannya sebagai peluang bagi dirinya untuk berbuat tanpa harus menghadapi risiko
gangguan dari pihak tersebut (Habibie, 2006).
Selama kepemimpinan Presiden BJ. Habibie, dalam upaya demokratisasi di Indonesia
telah menghasilkan 66 buah undang-undang. Jelas ini tidak lepas dari euforia
penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu perundang-undangan di era Habibie adalah yang
menegaskan arah perekonomian negara Indonesia. Hal ini diundangkan dalam perubahan
terhadap UU No.7 tahun 1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan. Jiwa
liberalisasi di sektor keuangan dan perbankan dinilai lebih liberal dibandingkan dengan
Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Singapura. Hal ini secara eksplisit dapat dibaca
dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b yang memberi kebebasan bagi WNA atau Badan Hukum
Asing untuk mendirikan Bank Umum dengan WNI atau Badan Hukum Indonesia (Syam,
2010).
Selain itu, dimasa kepemimpinan BJ Habibie, terdapat 6 macam tuntutan, yaitu:
penegakan hukum supremasi, pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),
mengadili mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, Amandemen Konstitusi,
Pencabutan Dwi Fungsi ABRI, dan pemberian otonomi daerah dengan seluas-luasnya. Tentu
di masa kepemimpinannya Habibie membawa reputasi yang tidak mudah dipercaya oleh
kalangan mahasiswa, militer, fraksi-fraksi besar, pemerintah asing, investor luar negeri, dan
bahkan berbadan hukum internasional (Amin, 2014).
Kebijakan yang diambil presiden BJ. Habibie adalah membebaskan para tahanan
170
politik pada masa orde baru, peningkatan kebebasan pers. Hal ini terlihat dari munculnya
partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Selain itu, masyarakat dapat
menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah, pembentukan parpol, dan percepatan
pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999, penyelesaian Timor-Timur, pengusutan kekayaan
Soeharto dan kroni-kroninya, dan pemberian gelar pahlawan reformasi bagi korban Trisakti
(Firnandus, 2015).
Adapun capaian-capaian yang berhasil diraih oleh Presiden BJ. Habibie selama
menjadi Presiden selama 17 bulan, salah satunya adalah diadakan pembentukan kabinet.
Presiden BJ. Habibie Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei
1998 yang meliputi perwakilan militer (TNI-Polri), PPP, Golkar, dan PDI. Kemudian,
Presiden BJ. Habibie mampu memberikan kebijakan dalam bidang politik, yaitu dengan
melakukan Reformasi. Reformasi dalam bidang politik ini berhasil mengganti lima paket UU
masa Orde Baru dengan tiga UU politik yang lebih demokratis. Adapun tiga UU tersebut
adalah: (a) UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik; (b) UU No. 3 Tahun 1999 Tentang
Pemilihan Umum; (c) UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR
(sejarah-negara.com, 2014). Hendri & Permatasari (2018) juga menjelaskan mengenai
capaian Presiden BJ Habibie semasa pemerintahannya, yaitu membentuk kabinet baru
reformasi pembangunan, perbaikan bidang ekonomi, kebebasan berpendapat, melakukan
reformasi di bidang politik, pelaksanaan sidang istimewa MPR pada tahun 1998, dan
pemilihan umum tahun 1999.
Selain kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada
pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin
Usaha Penerbitan (SIUP) (Bimantara, 2011). Promosi kebebasan pers merupakan langkah
reformasi yang paling menonjol yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie. Pada
pemerintahan sebelumnya, Soeharto mengendalikan media tidak hanya dengan berbagai cara
melalui kontrolnya atas izin penerbitan (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, SIUPP). Lisensi
ini tidak hanya sulit diperoleh bagi awak media, namun juga pemerintah dapat mencabut izin
tersebut sesuai kebijaksanaan pemerintah, dan memaksa editor untuk melakukan self-
censorship yang ketat (Anwar, 2010).
Reformasi di bidang hukum juga dilakukan di bawah pemerintahan Presiden BJ.
Habibie. Reformasi hukum ini apakah sudah benar-benar mencerminkan keadilan, harus kita
171
lihat terlebih dahulu. McGuire (2016) menjelaskan bahwa untuk mengetahui apakah
peraturan perundang-undangan benar-benar mempromosikan cita-cita keadilan harus dilihat
dulu hukum sebelumnya pada masa presiden Soeharto misalnya. Seperti yang kita tahu, pada
masa pemerintahan Soeharto, pembaharuan hukum ditandai dengan ketidakadilan kebijakan
politik, korupsi yang merajalela, dan kurangnya proses investigasi yang mengarah pada
pelanggaran hak asasi manusia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru memang telah didengungkan pembaharuan
(reformasi) di bidang hukum, tetapi dalam realisasinya produk hukum tetap tidak melepaskan
karakter elitnya. Misalnya dalam UU Ketenagakerjaan, tetap saja terdapat dominasi penguasa.
DPR selama orde baru cenderung telah berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya
memihak penguasa bukan memihak kepentingan masyarakat. Prasyarat untuk melakukan
rekonstruksi dan reformasi hukum memerlukan reformasi politik yang melahirkan keadaan
demokratis dan DPR yang representatif mewakili kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah dan DPR merupakan kunci untuk pembongkaran dan
reformasi hukum. Target reformasi hukum menyangkut tiga hal, yaitu: substansi hukum,
aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan institusi peradilan yang independen.
Hal tersebut karena mengingat produk hukum Orde Baru sangat tidak kondusif untuk
menjamin perlindungan hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi dan menghambat
kreativitas masyarakat, adanya praktik KKN sebagai akibat dari adanya aturan hukum yang
tidak adil dan merugikan masyarakat (sejarah-negara.com, 2014). Dengan hadirnya Presiden
BJ. Habibie, harapan reformasi di bidang hukum semoga terwujud agar Indonesia menjadi
negara yang adil dan demokratis yang benar-benar mempromosikan hukum bagi keadilan
semua (McGuire, 2016).
Mengenai masalah Timor Timur, jelas bahwa Presiden Habibie adalah penggerak
utama dalam memberikan orang Timor Timur pilihan integrasi atau kemerdekaan karena
Habibie tidak menginginkan persoalan Timor Timur tetap menjadi beban bagi Indonesia di
masa mendatang (Anwar, 2010). Pada saat itu, Indonesia mendapatkan berbagai tekanan dari
negara-negara barat. Aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur dan integrasinya ke dalam
Republik Indonesia pada tahun 1976, setelah kepergian pemerintahan kolonial Portugis, tidak
pernah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mayoritas anggotanya. Hal ini menjadi
penghalang utama dalam hubungan internasional Indonesia dan sangat mencoreng citra
172
negara, khususnya di negara-negara Barat (Anwar, 2010).
PENUTUP
Pemikiran politik BJ. Habibie mulai terlihat ketika menjadi Presiden RI yang mana
pemikiran itu dituangkan dalam kebijakan-kebijakan yang dilakukannya. Pemikiran BJ.
Habibie sebenarnya tidak didasari atas kepentingan politik. Akan tetapi, BJ. Habibie
menjadikan dirinya sebagai panutan (role model) dalam setiap kebijakan dan pergerakannya
membawa perubahan dari rezim Orde Baru menuju Reformasi. Beberapa kebijakan Presiden
BJ. Habibie selama masa pemerintahannya antara lain: (1) reformasi di bidang ekonomi; (2)
pemulihan legitimasi politik; (3) amandemen pertama UUD 1945; (4) kebebasan pers; (5)
penegakan HAM; dan (6) referendum Timor-Timur. Peranan BJ. Habibie dalam
demokratisasi di Indonesia terlihat dari gaya kepemimpinannya yang mengubah gaya
kepemimpinan otoriter ala Presiden Soeharto menjadi lebih demokratis. Presiden BJ. Habibie
mengembangkan sebuah konsep yang lebih jelas mengenai demokrasi sebagai sebuah mesin
politik. Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam agenda pemerintahannya yang
mencakup reformasi dalam berbagai bidang politik, ekonomi, hukum dan keamanan.
173
DAFTAR PUSTAKA
Alami, N.R. (2016). Profil Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Orde Baru.
Jurnal Penelitian Politik, 8(2), 163-181.
DOI: http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/viewFile/459/272.
Ali, Fachry. (2013). Esai Politik tentang Habibie. Bandung: Mizan.
Amin, F. (2014). 6 Tuntutan Reformasi. Retrieved from academia.edu:
http://www.academia.edu/942729 6/6_Tuntutan_Reformasi.
Anwar, D. F. (2010). The Habibie Presidency: Catapulting Towards Reform. In Soeharto’s
New Order and Its Legacy: Essays in honour of Harold Crouch. ANU Press.
DOI: https://doi.org/10.22459/snol.08.2010.07.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Dewi, D.I. (2019). Kebangkitan Perekonomian Indonesia dalam Pemikiran Bacharuddin
Jusuf Habibie 1998-1999. Jambi: FKIP Universitas Jambi.
Dienaputra, R.D., dkk. (2001). Prosesi Peralihan Kekuasaan Dari Habibie Ke Abdurahman
Wahid : Sebuah Penelitian Awal. Jurnal Sosiohumaniora, 3(3), 177-186.
DOI: (http://jurnal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/5203/2599).
Djafar, TB. M. (2015). Krisis Politik dan Proposisi Demokratisasi: Perubahan Politik Orde
Baru ke Reformasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Firnandus, A. F. (2015). Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999) Kebijakan Politik
Dalam Negeri. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Habibie, B. J. (2006). Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju
Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
Hamonangan, I. (2019). Reformasi Demokrasi: Kebijakan Politik Luar Negeri Masa
Presidensi B.J. Habibie. Depok: International Relations Epistemic Community.
Hendri, W. J., & Permatasari, I. A. (2018). Capaian Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie
dan Megawati di Indonesia. Jurnal Cakrawala, 12(2):196-207
DOI: https://doi.org/10.32781/cakrawala.v12i2.274.
Hosen, N. (2003). Indonesian Political Laws in Habibie Era : Between Political Struggle and
Law Reform, Nordic Journal of Internasional Law, 72(4), 483–518.
DOI: https://doi.org/10.1163/157181003772759494.
174
Leftwich, A. (1994). Governance, the State and the Politics of Development. Development
and Change, 25(2), 363–386.
DOI: https://doi.org/10.1111/j.1467-7660.1994.tb00519.x
Mayring, P. (2015). Qualitative Content Analysis: Theoretical Background and Procedures,
365-380. DOI: http://link.springer.com/10.1007/978-94-017-9181-6_13
McGuire, H. (2016). Indonesian Law Reform and The Promote 0f Justice: An Analysis of
Law in The Pos-Soeharto Period. Brawijaya Law Journal, 3(1), 60-78.
DOI: 10.21776/ub.blj.2016.00301.04.
Makka, A. M. (2012). Biografi Bacharuddin Jusuf Habibie: Dari Ilmuwan ke Negarawan
sampai “Minandito”. Jakarta: THC Mandiri.
Makka, A. M. (2019). Mr. Crack Dari Parepare: Dari Ilmuwan ke Negarawan sampai
Minandito. Jakarta: Republika.
Manna Br.S, F. (2013). B. J. Habibie political policy in 1998 up to 1999. Retrieved from
repository. unri.ac.id: https://repository.unri.ac.id/handle/ 123456789/ 4806.
Mulyadi, R. M. (2019). Menyisir Jejak Politik Habibie dan Kontribusinya pada Demokrasi
dan Gerakan Antikorupsi di Indonesia. Retrived from https;//theconversation-
com.cdn.ampproject.org/v/s/theconversation.com/amp/menyisir-jejak-politik-
habibie-dan-kontribusinya-pada-demokrasi-dan-gerakan-antikorupsi-di-Indonesia.
DOI: https://doi.org/10.18592/khazanah.v13i1.518
Nugroho, H. (2012). Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk
Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 1(1),
1-15.
DOI: https://doi.org/10.22146/jps.v1i1.23419
Pratiknya, A.W. (1999). Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie. Buku Satu. Edisi
Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Purnaweni, H. (2004). Demokrasi Indonesia: dari Masa ke Masa. Jurnal Administrasi Publik,
3(2), 118-131.
Rani, A. M. (2015). Gaya Kepemimpinan Bacharuddin Jusuf Habibie Pasca Orde Baru
Tahun 1998-1999. Jom FISIP, 2 (2), 1-9.
DOI:https://media.neliti.com/media/publications/32272-ID-gayakepemimpinan-
bacharuddin-jusuf-habibie-pasca-orde-baru-tahun-1998-1999.pdf.
175
Rosyidin, M. (2013). Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Bagaimana Mendorong Negara
Menuju Kestabilan dan Keterbukaan?. Jurnal Penelitian Politik, 10 (1). 155-160.
Sejarah-negara.com. (2014). Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Retrieved
fromsejarahnegara:https://www.sejarahnegara.com/2014/04/masapemerintahan-
presiden-bj-habibie.html
Shahab, A. (2008). Biografi Politik Presiden RI Ketiga BJ Habibie Berbasis Teknologi.
Jakarta: Peace.
Sorensen, G. (1993). Democracy and Democratization,Process and Prospect in a Changing
World. Oxford: Westview Press Inc.
Sugiharto, R. T. (2017). Biografi Politik Habibie: Dari Malari Sampai Reformasi.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Syam, N. (2010). Jejak Reformasi Dalam Lintasan Sosio-Historis. Retrieved from
uinsby:http://digilib.uinsby. ac.id/14244/
Zed, M. (2018). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
176
-----------------