bidang unggulan : bahasa · kehidupan bermasyarakat. secara awam bahasa merupakan sarana komunikasi...
TRANSCRIPT
2
Bidang Unggulan : Bahasa
Kode/Nama Bidang Ilmu : 521/Ilmu Linguistik
PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
KEBERADAAN OUT DOOR SIGN
DI KAWASAN WISATA KUTA
(KAJIAN LINGUISTIC LANDSCAPES)
Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A
(0024105607)
I Wayan Mulyawan, S.S.,M.Hum.
(0001127807)
Dibiayai oleh
DIPA PNBP Universitas Udayana
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian
Nomor : 016/UN14.1.1/PNL.01.03.00/2015
PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS UDAYANA
APRIL 2015
3
DAFTAR ISI
Daftar Isi .......................................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Linguistics Landscapes ................................................................... 3
2.2 Makna Tanda ................................................................................... 4
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................ 7
3.1 Sumber Data .................................................................................... 7
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .......................................... 7
3.3 Metode dan Teknik Analisa Data ................................................... 8
3.4 Model Penelitian ............................................................................. 8
BAB IV. KAJIAN LINGUISTIC LANDSCAPES : OUTDOOR SIGN
DI KAWASAN WISATA KUTA................................................
4.1 Pengantar ......................................................................................
4.2 Analisis dan Diskusi ....................................................................
9
9
11
BAB V. SIMPULAN .................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 35
4
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa adalah merupakan kunci interaksi sosial manusia di dalam
kehidupan bermasyarakat. Secara awam bahasa merupakan sarana komunikasi
langsung antar manusia baik itu sebagai bahasa tulis maupun bahasa lisan. Namun
tidak banyak yang menyadari bahwa, selain sebagai bentuk sarana komunikasi
antar manusia, saat ini bahasa telah menjadi sarana komunikasi antara manusia
dengan lingkungannya.
Tanpa kita sadari, saat ini kita telah melakukan komunikasi dengan
berbagai tanda yang kita temui di lingkungan kita. Komunikasi tersebut
merupakan komunikasi masal yang tercipta melalui berbagai tanda/penada yang
kita ciptakan sendiri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup ini.
Berbagai tanda komunikasi ini dapat berupa nama jalan, nama tempat,
rambu lalu lintas, papan pengumuman dan yang paling banyak kita temui adalah
papan iklan. Jika kita perhatikan secara seksama maka lingkungan kita saat ini
mampu berbicara dengan gamblang kepada kita semua melalui bahasa yang ada
dalam setiap tanda tersebut. Lingkungan kebahasaan ini disebut sebagai Linguistic
Landscape (LL). Sangat sering kita jumpai pada suatu wilayah terdapat begitu
banyak LL sedangkan ditempat lainya sangat sedikit dan bahkan pada wilayah
tertentu tidak terdapat LL.
Keberadaan LL dalam setiap wilayah merupakan ciri khas wilayah tersebut
dan secara tidak langsung dapat mencerminkan situasi wilayah secara geografi
dan kondisi penduduknya secara demografi. Perbedaan LL pada suatu wilayah
tertentu dipengarui oleh banyak faktor, seperti misalnya taraf hidup masyarakat,
pola kehidupan masyarakat dan tentunya status wilayah tersebut.
Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengetahui keberadaan LL yang
berupa out-door sign di wilayah pariwisata Kuta. Wilayah Kuta dipilih karena
wilayah ini memiliki begitu banyak LL yang hampir tersebar merata di setiap
tempat. Dengan formulasi permasalahan sebagai berikut :
5
a. Out-door sign apa saja yang dapat ditemukan di wilayah pariwisata
Kuta ?
b. Jenis out-door sign apa saja yang dapat ditemukan di wilayah
pariwisata Kuta ?
c. Bagaimanakah persentase jumlah keberadaan dari masing-masing jenis
out-door sign yang ada ?
Penelitian tahap pertama ini bertujuan untuk mengidentifikasi
kemajemukan LL yang ada di seputaran wilayah pariwisata di Kuta, khusunya di
Jalan Raya Kuta, Jalan Pantai Kuta, Jalan Kartika Plaza, Jalan Raya Tuban dan
wilayah sekitarnya. Pada tahap awal penelitian ini, identifikasi yang ingin dicapai
meliputi jumlah tanda yang ada dengan kategori kelompok tertentu pada wilayah
tertentu dan jenis bahasa yang digunakan dalam setiap tanda yang ada. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan sampel
acak untuk setiap wilayah kajian.
Penelitian ini sangat penting untuk dapat menentukan tingkat pengaruh
bahasa asing khusunya bahasa Inggris dalam kehidupan masyarakat Kuta, serta
kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dengan berbagi tanda yang ada di
lingkungan mereka. Selain itu, penelitian ini juga sangat penting untuk
menentukan arah kebijakan pengembangan wilayah di Kuta agar sesuai dengan
keadaan lingkungan dan keadaan masyarakat sekitarnya.
Pada akhir penelitian, akan diperoleh tampilan sebaran LL di wilayah Kuta
dengan tingakat pengaruh bahasa asing pada setiap wilayah dan jenis tanda yang
ada dalam suatu wilayah tertentu. Kategori wilayah yang diharapkan adalah
pengelompokan wilayah akomodasi wisata, wilayah pemukiman, wilayah rumah
makan/restaurant, serta wilayah-wilayah yang masih mencerminkan wilayah adat.
Hal ini tentunya akan tercermin melalui tingkat penggunaan bahasa Inggris pada
setiap tanda dibandingkan dengan tingkat penggunaan bahasa Bali dan Indonesia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Linguistic Landscape
Linguitic Lanscape (LL) adalah kajian linguistik yang sedang menjadi
trend di kalangan para peneliti linguistik. Secara awam, LL terdiri atas dua kata
yaitu Linguistic yang berarti kajian ilmiah tentang bahasa dan Landscape yang
berarti hamparan suatu lahan yang cukup luas. Hamparan lahan ini biasanya
diasosiasikan dengan pemandangan alam yang luas dan indah atau hamparan
padang rumput.
Kajian LL yang dimaksud pada kajian ini adalah kajian kebahasaan yang
mengkaji keberadaan ragam bahasa tulis di lingkungan kita secara luas dan
bersifat sektoral. Bahasa tulis yang dimaksud adalah bahasa tulis sebagai out door
sign yang sangat sering kita jumpai di lingkungan kita terutama di sepanjang
jalan. Tanda ini meliputi tanda papan nama, rambu lalu lintas, papan
pengumuman, dan yang paling banyak kita jumpai yaitu papan iklan. Kajian
tentang LL ini pertama kali dicetuskan oleh Landry dan Bourhis (1997: 25) :
“The langauge of public road signs, advertising billboards,
street names, places names, commercial shop signs, and
public sign on government bildings combines to form the
LL of a given teritory, region, or urban agglomeration”
(Landry and Bourhis 1997:25)
Kajian LL merupakan kajian multilingual sebab semua bahasa yang
digunakan sebagai out door sign terdiri atas berbagai bahasa dan dapat dilihat oleh
banyak orang yang melintas pada wilayah tersebut. Pada saat ini telah ada
beberapa kajian LL yang telah diterbitkan seperti kajian LL di Israel, Bangkok,
Tokyo, Botswana dan beberapa kajian LL sektoral lainnya.
Akindele (2011) membahas LL sebagai sebuah komunikasi publik di
Gabrone Botswana. Dalam artikelnya, Akindele mencoba mengkaji pengaruh LL
dalam pembentukan dan perkembangan kebahasaan Gabarone Botswana sebagai
bentuk pemakaian bahasa, kebijakan kebahahasaan diantara masyarakat setempat.
7
“ ..... LL can provide valuable insight into the linguistic
situation of Gabarone Batswana, including common
pattern of langauge usage, official langauge policies,
prevalent language attitudes, and the longiterm
consequences of language contact, among others.”
(Akindele, 2011: 1)
Ben-Rafael E. et al. (2006) mengkaji tentang LL di Israel sebagai sebuah
konstruksi simbolis yang ada di tempat umum. Mereka menganalisa pengunaan
tiga bahasa utama di Israel pada out door sign. Hasil kajian menunjukkn bahwa
kombinasi penggunaan bahasa pada ranah publik menunjukkan pengelompokan
komunitas pada lingkungan LL.
“... study reveals essentially different LL patterns in
Israel‟s various communities: Hebrew-English signs
prevail in Jewish communities; Arabic-Hebrew in Israeli-
Palestinian communities; Arabic-English in East
Jerusalem.”
(Ben-Rafael E. et al. 2006 :1)
Huebner (2006) meneliti tentang campur kode dan perubahan bahasa pada
LL di Bangkok. Hasil analisa menunjukkan bahwa keberagaman penggunaan
bahasa di daerah metropolitan Bangkok adanya banyak perubahan penggunaan
bahsa dari bahasa Cina ke bahasa Inggris.
“.... reveal the extent of linguistic diversity in a large
metropolitan area like Bangkok,..... offers evidence of a
shift from Chinesse to English as the major language....”
(Huebner, 2006: 1)
2.2 Makna Tanda
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kajian LL merupakan
kajian tanda atau out door sign, sehingga kajian LL tidak dapat dipisahkan dari
kajian tentang tanda / sign itu sendiri. Secara linguitik, kajian tentang makna tanda
disebut dengan semiotika. Menurut Mulyawan (2010), kajian semiotika adalah
kajian tentang tanda dengan segala perannya di dalam kehidupan sosial
8
masyarakat, yang mampu membentuk sebuah konsep realitas tertentu dalam
masyarakat.
“... semiotika merupakan kajian tentang tanda (sign)
dengan segala perannya di dalam kehidupan sosial
masyarakat. ... yang kemudian memunculkan respon
berupa sebuah konsep realitas tertentu.”
(Mulyawan, 2010:13)
Ferdinand de Saussure (Saussure, url: web pg. 2 – 3) menjelaskan bahwa
bahasa merupakan sebuah sistem komunikasi yang melibatkan concept dan sound
image, di mana sound image merupakan signifier (penanda) dan concept
merupakan signified (petanda). Antara penanda dengan petanda tidak memiliki
hubungan korelasi satu satu. Penanda merupakan sesuatu yang bersifat arbitrer
atau mana suka dan tidak ada hubungannya dengan petanda yang dimaksud.
Seperti contoh kata „mobil‟, petanda (konsep makna ) yang kita pikirkan tidak ada
hubungannya dengan tata urutan bunyi dari penandanya yaitu mobil [ m o b I l ]
dalam bahasa Indonesia dan car [ k a: ] dalam bahasa Inggris. Lebih lanjut
Saussure menyebutkan :
… The bond between the signifier and signified is
arbitrary, there is nothing in either the thing or the word
that makes the two go together, no natural, intrinsic, or
logical relation between a particular sound image and a
concept; …
(Saussure, url: web pg. 2 – 3)
Berbeda dengan Saussure, Ogden & Richards (1923) menambahkan satu
unsur penghubung antara penanda dengan petanda yaitu thought or reference.
Stimulus penanda yang dalam hal ini dikatakan sebagai unsur linguistik berupa
kata atau kalimat, diolah di dalam otak melalui konsep makna yang telah kita
miliki atas penanda tersebut lalu keluar respon berupa objek (referent) sebagai
petanda. Jadi antara penanda dan petanda tidak berhubungan secara langsung tapi
berhubungan melalui konsep makna yang ada di dalam otak. Hubungan antara
ketiganya dijelaskan melalui gambar segitiga yang dikenal dengan semiotic
triangle.
9
The „symbol‟ is, of course, the linguistic element the
word, sentence, etc., and the „referent‟ the object, etc, in
the world of experience, while „thought or reference‟ is
concept. According to the theory there is no direct link
between symbol and referent (between language and the
world) the link is via thought or reference, the concept
of our mind.
(Ogden & Richards, 1923: 15)
Stimulus penanda yang dalam hal ini dikatakan sebagai unsur linguistik
berupa kata atau kalimat, diolah di dalam otak melalui konsep makna yang telah
kita miliki atas penanda tersebut lalu keluar respon berupa objek (referent) sebagai
petanda. Jadi antara penanda dan petanda tidak berhubungan secara langsung tapi
berhubungan melalui konsep makna yang ada di dalam otak.
10
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah langkah atau tahapan dalam melakukan
penelitian. Pada penelitian ini metode penelitian dibedakan menjadi empat yaitu:
sumber data; metode dan teknik pengumpulan data; metode dan teknik analisa
data; dan model penelitian.
3.1 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah sumber data primer yang dikumpulkan
langsung dari seputaran wilayah pariwisata di Kuta, khusunya di Jalan Raya Kuta,
Jalan Pantai Kuta, Jalan Kartika Plaza dan wilayah sekitarnya. Sumber data
adalah photo langsung seluruh out door sign yang terdapat di semua wilayah
kajian.
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi
langsung dari wilayah kajian melalui bidikan kamera. Seluruh out door sign yang
ada di seputaran jalan pada wilayah kajian adalah merupakan populasi data
penelitian. Seluruh photo populasi data akan dikumpulkan berdasarkan area atau
jalan masing-masing wilayah kajian.
Tahap selanjutnya yaitu mengelompokkan seluruh foto data berdasarkan
jenisnya. Jenis tanada dibedakan menjadi 2 kelompok utama yaitu : tanda
Komersial dan tanda Non-Komersial. Masing-masing kelompok di bedakan lagi
menjadi 3 subbagian yaitu :
1. Tanda Komersial : Komersial Jasa; Komersial Non-Jasa dan Komersial
Lainnya.
2. Tanda Non Komersial : Non Komersial Lokal; Non Komersial
Nasional dan Non Komersial Lainnya.
11
Sebagai tahap akhir yaitu memilih sampel data dengan teknik random
sampling dari setiap korpus data yang ada secara proporsional sesuai dengan
persentase keseluruhan populasi data. Seluruh sample data yang telah terpilih
selanjutnya di analisa secara kuantitatif dan kualitatif untuk menjawab
permasalahan penelitian.
3.3 Metode dan Teknik Analisa Data
Metode dan teknik analisa data pada penelitian ini adalah kombinasi antara
metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif digunakan sebagai
metode pengolahan jumlah populasi dan korpus data hingga penentuan jumlah
sampel data. Sedangkan metode kualitatif akan digunakan sebagai metode analisa
fitur linguistik dari sampel data yang meliputi jenis bahasa yang digunakan,
makna, serta fungsi dari seluruh sampel data.
3.4 Model Penelitian
POLPULASI DATA
(Dokumen / Photo LL)
KORPUS DATA
Komersial
Jasa
Komersial
Non-Jasa
Komersial
Lainnya
Non-
Komersial
Nasional
Non-
Komersial
Lokal
Non-
Komersial
Lainnya
SAMPEL DATA
ANALISIS
Analisis Kuantitatif Analisis Kualitatif
SIMPULAN
12
BAB IV
KAJIAN LINGUISTIC LANDSCAPES :
OUTDOOR SIGN DI KAWASAN WISATA KUTA
4.1 Pengantar
Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2015, yang diawali dengan Survey
Lokasi Penelitian dan dilanjutkan dengan penyusunan Proposal. Setelah mendapat
persetujuan, penelitian dimulai dengan pengumpulan data out door sign.
Pengumpulan data berlangsung selama bulan April 2015.
Pada bulan Mei 2015 dan Juni 2015 dilanjutkan dengan identifikasi data
hingga pembentukan korpus data data. Pengelompokan korpus data didasarkan
atas dua tujuan utama out door sign, yaitu sebagai tanda Komersial dan Tanda
Non-Komersial.
Tanda Komersial adalah segala tanda yang berfungsi sebagai iklan yang
bertujuan menawarkan sesuatu kepada khalayak yang membacanya. Sedangkan
Tanda Non-Komersial adalah segala tanda yang tidak berfungsi sebgai iklan
melainkan sebagai tanda pemberitahuan atau peraturan kepada khalayak tanda
adanya orientasi bisnis. Masing-masing kelompok dibedakan kembali menjadi
tiga sub-bagian yaitu ssebagai berikut :
a. Tanda Komersial
- Komersial Jasa : tanda Hotel, ATM/Bank, Spa, Laundry, Cargo
Services, Money Changer dll.
- Komersial Non-Jasa : tanda Restaurant, Warung Makan, Artshop
Mini Market dll.
- Komersial Lainnya : tanda Dikontrakkan, Disewakan, Over
Kontrak dan lain lain diluar Jasa/Non-Jasa.
b. Tanda Non-Komersial
- Non-Komersial Lokal : segala tanda yang berorientasi Lokal dan
menggunakan Bahasa Bali.
13
- Non-Komersial Nasional : segala tanda yang berorientasi Nasional
dan berlaku Nasional.
- Non-Komersial Lainnya : segala tanda yang dibuat demi
kepentingan pribadi pemasangnya tanda oientasi bisnis.
Pada periode bulan Juli 2015 hingga Agustus 2015 merupakan tahapan
analisis kuantitatif. Tahapan ini merupakan tahap penghitungan jumlah persentase
setiap kelompok korpus data dengan popolasi data dan populasi masing-masing
korpus. Hingga saat ini telah diperoleh perhitungan sebagai berikut :
Berdasarkan keseluruhan data di atas, tanda Komersial yang ditemukan
mencapai 805 tanda (71,11%) dan tanda Non-Komersial hanya 372 (28,89%).
Kolom % Populasi adalah persentase jumlah tanda jika dilihat dari keseluruhan
tanda yang ada (persentase dari keberadaan tanda terhadap keseluruhan tanda).
Sedangkan kolom % Korpus adalah persentase jumla tanda jika dilihat dari
masing-masing jumlah Tanda Komersial dan Non-Komersial. Sesuai dengan hasil
persentase data diatas, ternyata tanda yang paling banyak ditemukan adalah
komersial non-jasa yaitu 451 tanda, disusul oleh komersial jasa 345 tanda, non
komersial nasional 150 tanda, non komersial lainnya 107 tanda, non komersial
lokal 70 tanda dan yang paling sedikit adalah komersial lannya sebanyak 9 tanda.
14
Penggunaan bahasa dalam tanda dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu 1)
Bahasa Indonesia; 2) Bahasa Inggris; 3) Bahasa Bali; 4) Kombinasi Bahasa.
Untuk penggunaan Bahasa pada kelompok Tanda Komersial diperoleh
penggunaan bahasa sebagai berikut : Bahasa Indonesia banyak ditemukan pada
tanda komesrsial jasa khusunya pada tanda pedagang makanan lokal (warung
makan); Bahasa Inggris banyak dipakai pada tanda komersial jasa dan non jasa
seperti Hotel, Restaurant, Money Changer, dan Spa; Sedangkan Kombinasi
Bahasa didominasi oleh kombinasi Bahasa Inggris Indonesia dan beberapa
Kombinasi Bahasa Inggris, Indonesia, Jepang, Rusia, dan Cina. Kombinasi
Bahasa Inggris Indonesia banyak ditemukan pada tanda Komersial seperti Hotel
dan Resaturant; dan untuk kombinasi banyak bahasa hanya ditemukan pada tanda
Komersial Money Changer, ATM, Bank dan Spa.
Penggunaan Bahasa pada kelompok Tanda Non-Komersial didominasi
oleh penggunaan Bahasa Indonesia khusunya pada tanda-tanda rambu lalu lintas;
Untuk penggunaan Bahasa Bali hanya ditemukan pada tanda nama tempat suci
umat Hindu (pura) dan kuburan; Sedangkan kombinasi Bahasa Indonesia dengan
tulisan aksara Bali (bukan Bahasa Bali) ditemukan pada seluruh tanda nama Jalan.
4.2 Analisis dan Diskusi
Analisis data dan diskusi didasarkan pada LL, pengaruh globalisasi dan
kearifan lokal. Tampaknya konsep LL telah digunakan dengan cara yang berbeda.
Dalam konteks ini, LL digunakan untuk merujuk pada studi linguistik yang
meneliti keberadaan berbagai tanda-tanda bahasa tertulis yang digunakan di
lingkungan kita. Sebagai bahasa ada di sekitar kita dalam bentuk tekstual,
sehingga dapat menjadi bentuk tekstual pada tanda-tanda jalan umum, billboard
iklan, nama jalan, nama tempat, tanda-tanda toko komersial, dll. Penelitian LL
dapat memberikan pemahaman yang berharga tentang situasi linguistik dari suatu
wilayah tertentu, termasuk pola umum dari penggunaan bahasa, kebijakan bahasa
15
resmi, sikap bahasa para penuturnya, dan konsekuensi jangka panjang dari kontak
bahasa. Definisi globalisasi mungkin berbeda untuk para sarjana yang berbeda.
Menurut Cheng (2000), istilah globalisasi digunakan untuk merujuk pada
pentranseferan, adaptasi, dan pengembangan nilai-nilai, pengetahuan, teknologi,
dan norma-norma secara lintas negara dan masyarakat di dunia. Cheng lebih
lanjut mencatat bahwa fenomena khas dan karakteristik dari globalisasi adalah
yang berhubungan dengan pertumbuhan jaringan global, pengalihan teknologi,
sentuhan dan persaingan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan juga terjadinya
aliansi internasional, kerjasama internasional dan pertukaran budaya, timbulnya
desa global, kemultikulturan, serta penggunaan standar internasional dan bench-
marking.
4.2.1 Penggunaan Bahasa dan Fungsinnya dalam Perspective Linguistic
Langscape
Manusia bukanlah mahluk yang diciptakan sendirian. Manusia ada
di dunia bersama-sama dengan mahluk lain dan benda-benda lainya. Manusia
menjadi semakin berarti kalau mereka ada di tengah alam dan lingkungannya.
Untuk melangsungkan kehidupannya, manusia tidak bisa lepas dari lingkungan
mereka, sedangkan lingkungan bisa menunjukkan gejala yang berbeda dan rumit.
Dalam kaitannya dengan alam dan lingkungannya, manusia menata alam dan
lingkungannya agar menjadi tata kehidupan yang selaras. Oleh karena itu, dalam
perjalanan hidupnya manusia mengatur dirinya dan lingkungannya dalam sistem
sosio-kultural.
16
Sistem sosio-kultural yang dikembangkan berfungsi sebagai kontrol sosial
bagi manusia. Sistem ini mereka kembangkan sebagai cara mereka untuk
beradaptasi terhadap lingkungan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pengembangan sistem sosio-kultural suatu masyarakat biasanya terbangun
berdasarkan pengalaman mereka. Unsur-unsur sistem sosio-kultural yang mereka
anggap bermanfaat terus dipelihara, dikembangkan, dan diwariskan sehingga
mewujudkan pola-pola yang melembaga dalam pengelolaan lingkungan.
Lingkungan bisa bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan tatanan kehidupan
manusia itu sendiri. Penggunaan bahasa dalam out-door signs dapat dibedakan
menjadi empat kelompok yaitu 1) Bahasa Indonesia, 2) Bahasa Inggris, 3) Bahasa
Bali, dan 4) Kombinasi Bahasa. Bahasa-bahasa yang dominan digunakan adalah
bahasa Inggris dan Indonesia. Hanya dua out-door signs yang dalam bahasa Bali .
Dari perspektif linguistik lansdscape , bahasa yang digunakan dalam out-door
signs dapat dimaknai memiliki dua fungsi : fungsi informasi dan fungsi simbolik .
Yang paling dasar dari fungsi informasi adalah bahwa fungsi ini sebagai penanda
khas dari wilayah geografis yang dihuni oleh masyarakat bahasa tertentu. LL
berfungsi untuk menginformasikan baik ke dalam kelompok atau keluar
kelompok mengenai batas wilayah dan batas-batas bahasa yang mereka gunakan.
Fungsi ini tidak relevan dengan lokasi penelitian. Informasi fungsional yang
relevan dengan ketersediaan out-door signs yang ditemukan di daerah Kuta adalah
untuk menginformasikan kepada pembaca bahwa komunikasi dan layanan dapat
dilakukan dengan menggunakan bahasa yang digunakan dalam out-door signs
tersebut. Bahasa yang digunakan dalam ini out-door signs menunjukkan situasi
17
diglosik, bahasa dengan status yang tinggi lebih banyak digunakan dalam tanda-
tanda umum dibandingkan dengan bahasa status yang lebih rendah . Ini
menunjukkan keuntungan dari bahasa yang dominan. Bahasa lokal adalah
identitas lokal. Penggunaan bahasa pada out-door signs dari masyarakat tertentu
dapat memberikan perasaan yang baik dari penutur bahasa sebagai simbol
identitas mereka. Simbol identitas itu adalah fungsi simbolik dari satu bahasa.
Dari hasil klasifikasi bahasa yang digunakan tergambar dengan jelas adalah
masing-masing bahasa menjalankan fungsinya masing-masing. Bahasa Inggris
adalah bahasa internasional, bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa
Bali adalah bahasa lokal/daerah. Jka penggunaan bahsa dalam outdoor signs ini
dilihat sebagai teks atau wacana, harus juga dijelaskan ideologi apa yang ada
dibalik penggunaan bahasa tersebut. Pengungkapan makna seperti itu dapat
didasarkan kepada pendekatan semiotika. Wacana dapat didefinisikan sebagai
cara tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia) ini.
Membicarakan dan memahami dunia tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa
menggunakan bahasa, sehingga sebagaimana dikatakan oleh Aminuddin
(2002:29) sebagai berikut.
”wacana sebagai sasaran kajian secara konkret merujuk pada
realitas penggunaan bahasa yang disebut ‟teks‟. Teks sebagai
perwujudan konkret wacana terbentuk oleh untaian kalimat yang
mempunyai komposisi, urutan, dan ciri distribusi tertentu”.
Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan salah satu aspek kebudayaan,
dan ciri-ciri yang ada dalam bahasa dapat ditemukan pula pada aspek-aspek
lainnya dalam kebudayaan (Masinambow, 1985:174). Oleh karena itu, kajian
18
tentang wacana bukan hanya menelusuri realitas atas dasar unsur-unsur
linguistik, melainkan juga atas dasar unsur-unsur nonlinguistik. Berkenaan
dengan hal ini, teori semiotika memandang bahwa semua yang hadir dalam
kehidupan kita, termasuk pemakaian kata-kata atau kalimat, istilah, foto, gambar
dan lain-lain merupakan tanda, yaitu sesuatu yang harus kita beri makna. Dalam
rangka analisis wacana secara kritis, dapat dibedakan menjadi dua pengetian,
yaitu konsep wacana ‟kecil‟ dan wacana ‟besar‟. Wacana kecil merupakan sebagai
perhatian para ahli bahasa yang atas dasar-dasar linguistik melihat bagaimana
bahasa digunakan pada tempatnya untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan
identitas sedangkan wacana besar adalah analisis yang merangkaikan unsur
linguistik tadi bersama unsur-unsur nonlinguistik (cara beraksi, interaksi,
perasaan, kepercayaan, penilaian ) untuk mengenali atau mengakui diri sendiri
dan orang lain yang bermakna dan penuh arti dengan cara-cara tertentu. Jika
dilihat dari sisi ini, maka penggunaan bahsa dalam out-door signs sebgai wacana
besar membawa makna ideologis. Pemakaian bahasa ini ideologi dalam praktik;
tidak ada ideologi tanpa wacana dan tidak ada wacana tanpa ideologi. Ini berarti
bahwa dengan mencermati wacana dapat diketahui ideologi yang terkait dengan
wacana tersebut. Ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan antar bahasa
yang digunakan. Berdasarkan paparan tentang teori semiotika di atas dapatlah
diduga bahwa penggunaan bahasa dalam out-door signs terkati dengan status
bahasa masing-masing dan pengaruh ideologi pasar. Bila dilihat dari sudut
pandang ideologi pasar ini bahasa Bali hanya memerankan diri sebagai bahasa
lokal dan ada kecendrungan terpinggirkan.
19
4.2.2 Bahasa Bali: Termarginalkan dan Upaya Revitalisasi
Dari data penggunaan bahasa dalam out-door signs mencerminkan
adanya kontak bhasa dan budaya. Kontak bahasa dan kultur tidak bisa dihindarkan
karena derasnya pengaruh globalisasi. Kontak bahsa dan budaya ini bisa memebri
pengaruh yang negatif dan positif. Setiap individu dalam situasi bicara yang
berbeda akan memilih bahasa atau dialek ataupun variasi dari repertoire
linguistiknya yang dianggapanya paling baik dan sesuai dengan kepentingannya.
Setiap orang juga berusaha untuk meningkatkan repertoire linguistiknya untuk
memenuhi kepentingannya sehingga pergeseran bahasa masyarakat dari bahasa
satu ke yang lainnya adalah hasil dari banyaknya keputusan individual untuk
memilih bahasa tertentu. Ketika motivasi untuk memilih menggunakan bahasa
atau variasi untuk lingkungan bicara (domain) tertentu lebih kuat maka akan
terjadi pergeseran bahasa atau terjadinya kemerosotan penggunaan bahasa
tertentu. Pergeseran bahasa (language shift) terjadi karena adanya motivasi
tertentu dari pemakainya. Beberapa motivasi yang mendorong terjadinya
pergeseran bahasa adalah motivasi komunikatif, motivasi ekonomi, motivasi
identitas sosial, motivasi berbahasa yang lebih kuat dan berprestise, dan motivasi
religi (Karan, 2011). Perencanaan pengembangan bahasa harus diarahkan untuk
tercapainya kebertahanan yang berkesinambungan dengan menguatkan fungsi-
fungsi yang diemban oleh bahasa Ibu. Diperkirakan bahasa-bahasa yang ada di
dunia berjumlah berkisar antara 5000 sampai 7000 bahasa. Mungkin agak sulit
untuk mengetahui jumlah yang pasti dari bahasa-bahasa yang ada di dunia karena
perbedaan bahasa dan dialek di area tertentu tidak selalu jelas. Fenomena
20
keberagaman linguistik telah menjadi isu yang penting secara sosial karena
banyak bahasa kebertahannaya terancam. Vitalitas bahasa mempunyai implikasi
kepada penuturnya secara individu dan masyarakat penuturnya secara
keseluruhan. Sangatlah sulit untuk menemukan negara yang monolingual mutlak,
tampaknya kemultilingualan adalah kebutuhan normal bukan perkecualian.
Kemultilingualan terjadi mungkin sebagai hasil dari beberapa faktor, misalnya
karena sejarah, migrasi, tingginya kebutuhan komunikasi antar berbagai belahan
dunia, dan juga karena pemertahanan identias sosial dan budaya. Pemertahanan
identitas sosial dan budaya ini terciptalah situasi yang menuntut adanya dua
bahasa yang berdapingan untuk keperluan komunikasi. Salah satu bahasa yang
paling berpengaruh dan penting sebagai alat komunikasi luas adalah bahasa
Inggeris. Peran bahasa Inggeris seperti ini terjadi karena pengaruh kekuatan atau
kekuasaan Inggeris pada abad ke sembilan belas dan pengaruh kemimpinan
Amerikat Serikat pada abad ke 20. Di samping itu, bahasa Inggeris adalah bahasa
utama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahasa sering dianalogikan sebagai organisme : hidup, tumbuh dan berkembang
dan dapat pula mati. Kalau dilihat dari sisi ini, pada suatu saat bahasa tertentu ada
yang mati atau punah. Kepunahan atau kematian bahasa mungkin bisa dipandang
sebagai fenomena wajar. Kematian bahasa adalah kematian budaya?. Duranti
mencatat bahwa ada dua argumen penting yang dibangun dalam Antropologi
Linguistik ,yaitu (i) pentingnya peran bahasa dalam memahami kebudayaan dan
masyarakat dan (ii) relevansi phenomena kebudayaan dan masyarakat dalam
memahami bahasa. Duranti (1977:20 juga menyatakan bahwa „bahasa adalah
21
sumber budaya dan berbahasa adalah praktek budaya‟ Dalam konteks
pemertahanan identitas sosial dan budaya maka fungsi dan kedudukan bahasa
Ibu/Lokal penjadi sangat penting.
Bahasa-bahasa yang ada di dunia dapat dikelompokkan sesuai dengan
tujuan pengelompokkanya sehingga ada bermunculan istilah yang mengggunakan
kata bahasa sebagai inti dan kata lain sebagai pendamping untuk menghasilkan
sebuah struktur frasa nomina,yang bila dilihat secara semantik merupakan
klasifikasi, salah satunya adalah frasa bahasa ibu. Apakah yang dimaksudkan
dengan bahasa ibu? Secara umum bahasa Ibu adalah bahasa pertama yang
dikuasai oleh manusia sejak awal hidupnya.
Dalam konteks pemeliharaan, pengembangan dan pewarisan sistem sosio-
kultural ini, bahasa mempunyai peran yang sangat penting. Bahasa merupakan
alat komunikasi dalam kehidupan manusia. Bahasa selalu hadir dalam setiap
aktivitas manusia. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan apapun wujud dan
isi kebudayaan ada dalam bahasa. Bahasa juga alat untuk mengkomunikasikan
suatu kebudayaan satu masyarakat kepada masyarakat lain. Bahasa juga bisa
berbentuk bahasa verbal dan nonverbal, walaupun keduanya berbeda namun
keduanya dalam proses kumunikasi lisan menyatu untuk menciptakan makna dari
sebuah ujaran.
Bahasa mempunyai peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia.
Pengungkapan realitas apa pun melalui bahasa. Bahasa juga sebagai alat untuk
berpikir dan sekaligus sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan buah
pikiran. Bahasa Bali adalah bahasa daerah yang digunakan oleh orang Bali dan
22
juga oleh entik lainnya yang sudah lama menetap Bali. Bahasa Bali merupakan
identitas orang Bali, yang perlu dipelihara dan dikembangkan sebagai pengemban
kebudayaan dan tata masyarakat Bali. Fungsi Bahasa Bali sudah dicantumkan
dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 1992. Fungsi-fungsi yang
diemban oleh Bahasa Bali adalah sebagai berikut:
a) melambangkan kebanggaan dan identitas daerah serta masyarakat
penutur dan pendukung bahasa Bali.
b) merupakan alat expresi dan komunikasi keluarga.
c) sebagai media dari Kebudayaan Daerah Bali dan Agama Hindu.
d) sebagai bahasa dan aksara yang dipergunakan dalam penyusunan
Awig-awig desa adat, banjar adat dan lembaga adat lainnya.
e) sebagai bahasa yang dapat memperkaya perbendaharaan Bahasa
Indonesia, yang saling menunjang dan mengidupi satu dengan yang
lainnya.
f) Sebagai sarana untuk mengungkapakan budaya dan unsur kreativitas
masyarakat penutur serta pendukungnya.
g) Merupakan muatan lokal untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Tingkat Pertama, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas.
Banyak tulisan yang telah menguraikan dengan baik betapa pentingnya peran
bahasa Bali sebagai bahasa ibu dan mendesaknya untuk dilestarikan. Mungkin
semuanya setuju bahwa bahasa ibu mengandung dan menyimpan pengetahuan
tradisi, yang perlu dipertahankan dan direvitalisasikan. Pengetahuan tradisi ini
lebih dikenal dengan sebutan kearifan lokal. Setiap masyarakat memiliki kearifan
23
lokal. Keberadaan kearifan lokal yang dimiliki oleh berbagai etnik di Indonesia
telah menarik perhatian para peneliti dan sudah banyak kajian yang tersedia.
Atmaja (2008:15-16) mengemukakan beberapa karateristik, signifikasi dan fungsi
kearifan lokal sebagai berikut:
a) Kearifan lokal merupakan kekayaan budaya atau modal budaya
(kultural) yang dimiliki oleh suatu komunitas lokal.
b) Kearifan lokal sebagai model budaya berwujud aspek kognisi dan
aspek evaluatif yang dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen
penting, sehingga kearifan lokal dipraksiskan dalam kehidupan sehari-
hari (aspek psikomotorik) dengan sasaran mewujudkan keharmonisan
atau kekohesifan hubungan antara manusia dan manusia dengan
lingkungan alam sekala niskala.
c) Kearifan lokal memberikan pedoman bagi manusia agar bisa
menyelaraskan hubungan antarkomponen yang membangun diri
individu yakni tubuh, roh, akal budi, rasa, dan hasrat. Dengan cara ini
keharmonisan pada tataran mikrokosmos dan makrokosmos maupun
hubungan antarkeduanya terpelihara secara berkelanggengan.
d) Kearifan lokal memberikan pedoman bagi komunitas lokal untuk
menyelesaikan masalahnya secara baik dan benar sehingga konflik
terhindarkan yang sekaligus berarti kekohesifan sosial tetap terjaga
secara berkelanjutan.
24
e) Kearifan lokal tumbuh dan berkembang pada komunitas yang
bersangkutan lewat pengalaman langsung maupun warisan dari
generasi terdahulu kepada generasi berikutnya.
f) Kearifan lokal merupakan elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga,
lintas agama, dan lintas kepercayaan.
g) Kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi
sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat.
h) Kearifan lokal memberikan warna kebersamaan dan sekaligus sebagai
identitas bagi komunitas yang bersangkutan.
i) Kearifan lokal akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik
individu dan kelompok, dengan meletakkan di atasnya common
ground/kebudayaan yang dimiliki.
j) Kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan,
apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis
berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak solidaritas
(komunal), yang dipercayai berasas dan tumbuh di atas kesadaran
bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.
Masyarakat Bali kaya dengan „aturan-aturan‟ yang tercermin dalam
ungkapan-ungkapan tradisi. Ungkapan traditional ini dikumpulkan dan
diklasifikasikan oleh Simpen (1997). Ungkapan-ungkapan ini mengandung
kearifan lokal karena memberikan pedoman kepada masyarakat penggunanya,
yang secara substansial berisikan aspek kognisi dan aspek evaluatif yang
mengakibatkan manusia tercerahi ke arah pembentukan diri individu, diri sosial,
25
diri spiritual yang arif bijaksana dalam berinteraksi pada lingkungan sosial dan
lingkungan alam sekala dan niskala. Jadi kearfian lokal bisa berwujud kearifan
sosial dan kearifan lingkungan.
Globalisasi sering diartikan sebagai proses yang menghasilkan dunia
tunggal. Masyarakat di seluruh dunia menjadi saling tergantung di semua aspek
kehidupan: politik, ekonomi dan kultural (Sztompka,2004:101). Dewasa ini kita
bisa berbicara mengenai struktur global hubungan politik, ekonomi dan kultural,
yang telah berkembang melampaui batas tradisional ke dalam satu sistem, yakni
sistem global. Globalisasi sebagai fenomena yang kompleks atau
multidimensional. Hal ini terlihat dari definisi globalisasi yang dikemukakan oleh
Ritzer (2006:96), sebagai berikut.
“Sebagai penyebaran kebiasaan-kebiasaan yang mendunia,
ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisiasi dari
kehidupan sosial pada skala global, dan pertumbuhan dari
sebuah kesadaran global bersama”.
Globalisasi dengan segala aspeknya telah mengakibatkan dunia seakan-
akan tidak lagi dibatasi oleh tembok-tembok penyekat yang memisahkan negara
yang satu dengan negara yang lain (Ardika, 2007:13). Dengan kata lain, garis-
garis batas budaya nasional, ekonomi nasional, dan wilayah nasional semakin
kabur. Sejalan dengan proses itu tampaknya perubahan pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat dan budayanya sebagai dampak yang ditimbulkan oleh
globalisasi sungguh sulit dihindari sehingga kini tidak jarang realita kehidupan
sosial budaya yang telah jauh berbeda dengan realitanya di masa lampau.
26
Walaupun demikian bukan berarti globalisasi begitu saja dapat
menyebabkan perubahan budaya suatu masyarakat tanpa reaksi masyarakat yang
bersangkutan, karena sebagaimana dikemukakan oleh Ardika (2007:15) bahwa
pengaruh budaya global juga dapat menimbulkan hasrat untuk menegaskan
keunikan kultur sendiri. Dalam konteks inilah di kalangan para ahli berkembang
dua macam pandangan dasar dalam teori globalisasi, yang satu memandang
globalisasi menimbulkan grobalisasi sedangkan yang lainnya memandang
globalisasi menimbulkan glokalisasi. Pandangan tentang grobalisasi menekankan
semakin meningkatnya kemampuan organisasi-organisasi dan negara-negara
modern di seluruh dunia yang sebagian besar bersifat kapitalistik untuk
meningkatkan kekuasaan mereka dan menjangkau dunia (Ritzer, 2006:99).
Sebaliknya, pandangan tentang glokalisasi sebagaimana dijelaskan oleh Steger
(2006:57) merupakan interaksi yang kompleks antara global dan lokal yang
bercirikan peminjaman budaya. Lebih lanjut, pandangan tentang grobalisasi
menekankan terjadinya penyeragaman atau homogenisasi versus pandangan
tentang glokalisasi yang menekankan pada terjadinya heterogenisasi atau
penganekaragaman budaya masyarakat yang merupakan percampuran antara yang
global dan yang lokal (Ritzer, 2006 : 104; Steger, 2006 : 57).
Terjadinya glokalisasi yang menghasilkan budaya campuran ini tidak lepas
dari adanya orang-orang yang bermaksud untuk menentang globalisasi,
khususnya grobalisasi. Cara mereka dalam hal ini adalah mendukung dan
bersekutu dengan glokalisasi sebagai bentuk globalisasi yang lain, namun mereka
tetap mengadopsi budaya global yang telah berpengaruh kuat, sehingga timbul
27
budaya campuran (Ritzer, 2006:229). Upaya orang-orang yang hendak menentang
grobalisasi melalui glokalisasi seperti itu dapat dikatakan sebagai usaha
revitalisasi budaya mereka (Dhana, 2010). Mereka selain berjuang untuk
menghidupkan kembali adat tradisional atau kepercayaannya, para partisipan
gerakan revitalisasi budaya juga bisa dirasuki keinginan memperoleh barang-
barang asing dan mencontoh bentuk organisasi dan tingkah laku asing. Barang
maupun organisasi dan tingkah laku asing itu bisa dilihat sebagai budaya global
yang masuk melalui proses globalisasi yang telah berpengaruh demikian kuat
kepada masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, maka tidak tertutup
kemungkinannya bahwa selain untuk menghidupkan kembali adat tradisional,
pendorong grobalisasi seperti itu berlaku juga bagi masyarakat yang melakukan
revitalisasi budaya sebagai suatu gerakan sosial. Dhana (2010) dengan mengacu
pandangan rasionalitas menyatakan bahwa motivasi dan/atau prinsip-prinsip yang
berlaku dalam konteks gerakan sosial, teori rasionalitas mengasumsikan bahwa
setiap manusia pada dasarnya rasional dengan selalu mempertimbangkan prinsip
efisiensi dan efektifitas dalam melakukan setiap tindakan, termasuk tindakan
dalam melakukan gerakan sosial. Lebih jauh Dhana (2010) menyatakan bahwa
bahwa motivasi dan/atau prinsip-prinsip yang berlaku dalam gerakan sosial
bersifat materialistik atau ekonomistik yang mencerminkan karakter ideologi
pasar, yakni gerakan sosial yang dapat dilihat dan diperlakukan sebagai alat untuk
memenuhi kepentingan yang bernuansa ideologi pasar.
Sztompka (2004:108) mencatat bahwa tahap awal terjadinya globalisasi
kultur terdapat dalam karya antropolog-sosial B. Malinowski (1884-1942) dan
28
dalam karya A. R. Radcliffe Brown (1881-1955). Dalam penelitian lapangan
mereka berhadapan dengan fenomena kontak atau konflik kultural. Dicatat juga
bahwa benturan atau konflik kultural ini sangat menonjol ketika peradaban Barat
merasuk ke dalam kultur pribumi di kawasan jajahan mereka. Penerasi kultur
Barat sangat kuat sehingga pada awal abad ke 20 sudah sangat sedikit masyarakat
traditional di bumi ini yang yang tidak mengalami kontak kultural. Penetrasi
kultur Barat ini sering dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan misalnya
pada gaya hidup, norma dan nilai, adat istiadat, dan keyakinan. Kekuatan
pendorong utama globalisasi adalah rasionalisasi dan kebutuhan untuk
memperlihatkan kemampuan memperoleh keuntungan melalui imperialisme dan
hegemoni. Upaya orang-orang yang hendak menentang globalisasi melalui
glokalisasi dengan merevitalisasi budaya mereka. Revitalisasi tidak saja
melibatkan perubahan, yang mempengaruhi hal-hal yang hampir punah, tetapi
juga akan mengarah kepada penciptaan budaya baru.
Gerakan revitalisasi menjadi penting artinya karena globalisai membawa
dengan kemajuan bidang teknologi informasi berpengaruh luas. Misalnya, media
massa, terutama televisi, dikatakan telah mengubah dunia menjadi satu dusun
global. Kemajuan diberbagai bidang telah memungkinkan pergerakan penduduk
semakin menyebar dan memberikan peluang kepada mereka untuk mengenali pola
kehidupan asing secara langsung. Hal ini memunculkan kebutuhan akan ‟bahasa
gobal‟, sebagai alat untuk berkomunikasi dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, bisnis, dan juga untuk kepentingan komunikasi pribadi.
29
Untuk melakukan pengembangan bahasa dengan tujuan untuk mencapai
kebertahan bahasa, ada sebuah model yang patut dipertimbangkan untuk
dipergunakan. Model ini diberi nama Sustainable Use Model for Language
Development (disingkat SUM). Model ini dikembangkan oleh peneliti dari SIL
(Lewis and Simon, 2010). Secara ringkas model ini menekankan bahwa
penggunaan suatu bahasa perlu berada dalam suatu kondisi atau tingkat
penggunaan yang bertahan supaya bisa tetap hidup berkesinambungan. Setiap
usaha pengembangan bahasa harus ditujukkan untuk membawa bahasa yang
bersangkutan menuju dan berada pada tingkatbertahanan. Menurut SUM, ada 4
tingkat perkembangan bahasa yang bertahan atau berkesinambungan, seperti
berikut:
SUSTAINABLE HISTORY
The language is extensively documented and the data is safely archived
SUSTAINABLE IDENTITY
There is a group of people who link their ethnic identity to the language
and who use the language for the purpose of symbolizing and reinforcing
that identity
SUSTAINABLE ORALITY
There is a group of people who regularly and frequently use the language
orally for day-to-day life activities and who are passing this oral
proficiency on to their children
SUSTAINABLE LITERACY
There is a group of people who use the language for reading and writing
and there are institutions that are passing on literacy skills from one
generation to the next
30
Sebuah bahasa harus ada dalam salah satu tingkat perkembangan di atas
untuk bisa bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Untuk menuju ke salah
satu tingkat kebertahan tersebut, status keterancaman atau vitalitas sebuah bahasa
harus diidentifikasi terlebih dahulu. Untuk tujuan indentifikasi status ini, SUM
menetapkan skala tingkatan status yang disebut EGIDS ( Expanded Graded
Intergenerational Disruption Scale).
“The EGIDS consists of 13 levels with each higher number on
the scale representing a greater level of disruption to the
intergenerational transmission of the language. The EGIDS
levels are designed to largely coincide with Fishman's Graded
Intergenerational Disruption Scale, or GIDS (Fishman 1991).
The EGIDS is a multi-dimensional scale which focuses on
different aspects of vitality at different levels. Like Fishman's
GIDS, the EGIDS, at its core, measures disruption in use. The
EGIDS provides a general way to identify where a language
lies on the continuum between endangerment and
development”
(Lewis, et al., 2013)
sebagai berikut:
Level Label Description
0 International The language is widely used between nations in trade,
knowledge exchange, and international policy.
1 National The language is used in education, work, mass media,
and government at the national level.
2 Provincial The language is used in education, work, mass media,
and government within major administrative
subdivisions of a nation.
3 Wider
Communication
The language is used in work and mass media without
official status to transcend language differences across a
region.
31
Level Label Description
4 Educational The language is in vigorous use, with standardization
and literature being sustained through a widespread
system of institutionally supported education.
5 Developing The language is in vigorous use, with literature in a
standardized form being used by some though this is not
yet widespread or sustainable.
6a Vigorous The language is used for face-to-face communication by
all generations and the situation is sustainable.
6b Threatened The language is used for face-to-face communication
within all generations, but it is losing users.
7 Shifting The child-bearing generation can use the language
among themselves, but it is not being transmitted to
children.
8a Moribund The only remaining active users of the language are
members of the grandparent generation and older.
8b Nearly Extinct The only remaining users of the language are members
of the grandparent generation or older who have little
opportunity to use the language.
9 Dormant The language serves as a reminder of heritage identity
for an ethnic community, but no one has more than
symbolic proficiency.
10 Extinct The language is no longer used and no one retains a
sense of ethnic identity associated with the language.
Bila dilihat kesetaraan antara sustainability dan tingkat dalam EGIDS,
maka sustainable history setara dengan tingkat 10, sustainable Identity dengan
tingkat 9, sustaianable orality dengan tingkat 6a, sustainable literacy dengan
32
tingkat 4. Pengukuran tingkatan dalam skala EGIDS dapat dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan diagnostik seperti dalam bagan berikut.
Berikut adalah status bahasa Bali dalam skala EGDIS yang dikutif dari
ethnologue edisi ke 17 versi web.
A language of Indonesia
ISO 639-3
Balinese
Population
3,330,000 (2000 census). 7,000 in South Sulawesi. Includes immigrant
speakers in west Nusa Tenggara, west Lombok Islands.
Location
Java and Bali. Islands of Bali, north Nusa Penida.
Language Status
33
5 (Developing).
Classification
Austronesian, Malayo-Polynesian, Bali-Sasak-Sumbawa
Dialects
Highland Bali (“Bali Aga” (pej.)), Lowland Bali (Badung, Buleleng,
Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan), Nusa Penida.
Reportedly 2 distinct dialects. High Bali is used in religion, but users are
diminishing. Speech strata in several lowland varieties (1989 A. Clynes).
Language Development
Bible: 1990.
Language Resources
Writing
Balinese script. Javanese script, no longer in use. Latin script, used since
early 20th century.
Other Comments
Nusa Penida Island variety associated with Highland Bali dialect. It is a
scattering of villages with minimal influence from the former Majapahit
Empire. Hindu.
Pertanyaannya adalah ke arah manakah perkembangan atau
pengembangan bahasa Bali dengan status yang dimilikinya? Mungkin setiap
individu dalam situasi bicara yang berbeda akan memilih bahasa atau dialek
ataupun variasi dari repertoar linguistiknya yang dianggapanya paling baik dan
sesuai kepentingan dengan kepentingannya. Setiap orang juga berusaha untuk
meningkatkan repertoire linguistiknya untuk memenuhi kepentingannya sehingga
pergeseran bahasa masyarakat dari bahasa satu ke yang lainnya adalah hasil dari
banyaknya keputusan individual untuk memilih bahasa tertentu. Ketika motivasi
untuk memilih menggunakan bahasa atau variasi untuk lingkungan bicara
(domain) tertentu lebih kuat maka akan terjadi pergeseran bahasa. Ini adalah
kenyataan bahwa kecenderungan tinggi masyarakat Bali untuk memilih bahasa
Indonesia dan asing untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari dapat
34
dilihat sebagai tanda yang menunjukkan seberapa kuat keinginan mereka untuk
memiliki citra, prestise, materi dan kekuasaan yang dimiliki bythose orang yang
bisa berbahasa mereka bahasa. Dengan kemampuan ini, lebih mudah bagi mereka
untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan keuntungan materi (uang) yang dapat
digunakan untuk membangun citra dan kekuasaan dalam banyak arena kehidupan.
Masyarakat Bali telah menunjukkan karakteristik orang postmodern. Ini berarti
bahwa masyarakat Bali telah dipengaruhi oleh budaya global, budaya postmodern
dengan ideologi kapitalisme atau ideologi pasar. Hal ini terjadi karena globalisasi
bersatu Bali dengan negara-negara lain dari kapitalisme global, dan ideologi pasar
dengan cepat mempengaruhi sistem sosial-budaya Bali (Atmadja, 2010: 74) .Ini
bisa pandangan yang berbeda tersedia pada gagasan globalisasi. Salah satu
pandangan menyatakan bahwa globalisasi menyebabkan "glokalisasi". Glokalisasi
dipandang sebagai interaksi yang kompleks antara global dan lokal yang ditandai
dengan pinjaman budaya saat tumbuh mendorong dunia keseragaman atau
homogenisasi, tapi glokalisasi mendorong heterogenisasi atau diversifikasi budaya
yang merupakan campuran antara global dan lokal, maka model strategi
revitalisasi bahasa Bali yang akan relevan untuk dikembangkan di era globalisasi
adalah strategi bahasa Bali revitalisasi berdasarkan ideologi glokalisasi . Hal ini
penting karena mengandung semangat ideologi revitalisasi budaya local dengan
masih mengadopsi unsur-unsur budaya global . Dengan mengadopsi ideologi ini ,
masyarakat Bali masih mempertahankan penggunaan bahasa Bali dan juga dapat
memilih bahasa lain dari pilihan mereka . Tapi perlu dibuat sadar bahwa ketika
orang Bali berbicara dengan sesama orang Bali , bahasa Bali harus digunakan
35
.Bali diajarkan sebagai subjek dari SD ke sekolah tinggi di Bali. Banyak kegiatan,
seperti kontes pidato, menulis cerita pendek dll, dilakukan untuk membantu siswa
menguasai Bali, tetapi penguasaan Bali yang tepat masih kurang. Ajaran berbagai
ekspresi tradisional dan lagu-lagu tradisional yang mengandung pengetahuan
lokal dan kearifan dapat lebih intensif dilakukan di sekolah-sekolah. Di Bali ada
banyak kegiatan tradisional di masyarakat yang masih menggunakan bahasa Bali
dalam bentuk 'bernyanyi' yang memberikan pelajaran penting dari pengetahuan
lokal dan kearifan kepada masyarakat.
36
BAB V
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa wilayah Kuta sebagai
wilayah pariwisata memiliki banyak out-door sign yang secara glabal telah
dimengerti dan mampu menjadi dasar komunikasi dalam komunitas pariwisata.
Jenis tanda yang ditemukan dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu
Tanda Komersial dan Tnada Non-Komersial. Jumlah tanda Komersial mencapai
71,11% dari keseluruhan tanda yang ada dan tanda Non-Komersial hanya 28,89%.
Sedangkan bentuk tampilan tanda sangat bervariasi dari bentuk yang paling
sederhana dan kecil yaitu berupa nama toko dan jalan, hingga yang sangat besar
berupa papan reklame (Billboard). Hasil penelitian yang dijelaskan di atas
menunjukkan bahwa Bali telah terpinggirkan. Hal ini sering dicatat dalam literatur
bahwa ekonomi kapitalis global dapat menyebabkan erosi budaya lokal di negara-
negara berkembang. Dalam hal ini, pengembangan pariwisata di Bali, pengaruh
globalisasi ideologi kapitalisme telah memperkuat dan cepat mempengaruhi
sistem sosial budaya Bali (Atmadja, 2010: 74). Untuk menanggapi rasa takut
kehilangan identitas sebagai orang Bali, gerakan Ajeg Bali muncul, yaitu sebuah
gerakan yang bertujuan untuk melestarikan identitas budaya masyarakat Bali yang
telah berada di bawah pengaruh globalisasi (Atmadja, 2010: 3). Penggunaan
intensif bahasa Indonesia dan luar negeri juga memiliki pengaruh positif, yaitu
melalui pengembangan pariwisata di Bali, semakin banyak yang orang Bali yang
bisa berbicara bahasa Indonesia dan asing. Pilihan penggunaan bahasa dalam out-
door signs di Kuta adalah didorng oleh motivasi pilihan bahasa. Ada beberapa
37
motivasi yang mendorong terjadinya pergeseran bahasa seperti: motivasi
komunikatif, motivasi ekonomi, motivasi identitas sosial, motivasi berbahasa
yang lebih kuat dan berprestise, dan motivasi religi (Karan, 2011), tetapi yang
paling berpengaruh adalah motivasi ekonomi.
38
DAFTAR PUSTAKA
Akindele, Dele Olufemi. 2011. Linguistic Landscapes as Public Communication:
A Study of Public Signage in Gabarone Botswana. Macrothink Institute:
International Jurnal of Linguistics 2011, Vol. 3, No. 1: E39
Artawa, Ketut. 2013 “Pertarungan antara Teks Ideal dan Teks Sosial”. Makalah
seminar “language Maintenace dan Shift III”, Semarang , 2-3 Juli 2013.
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas, Kultural, dan
Globalisasi. Yogyakarta : LkiS.
Backhaus, Peter. 2006. Multilingualism in Tokyo: A Look into the Linguistic
Landscape. Clevedon: Multi Lingual Matters Ltd.
Ben-Rafael E. et al. 2006. Linguistic Landscape as Symbolic Construction of the
Public Space : The Case of Israel. Clevedon: Multi Lingual Matters Ltd.
Cenoz, Jasone. And Gorter, Durk. 2006. Linguistic Lanscape and Minority
Languages. Clevedon: Multi Lingual Matters Ltd.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge:CUP
Gorter, Durk. 2006. Further Possibilities for Linguistic Landscape Research.
Clevedon: Multi Lingual Matters Ltd.
Huebner, Thom. 2006. Bangkok’s L..inguistic Lanscapes: Enviromental Print,
Codemixing and Language Change. Clevedon: Multi Lingual Matters
Ltd.
Landry, Rodrigue and Bourhis, Richard Y. 1997. Linguistic Landscape and
Ethnolinguistic Vitality: An Empirical Study. Journal of Language and
Social Psychology 16, 23-49.
Mulyawan, I Wayan. 2010. Hipersemiotika Periklanan (Analisa Praktis).
Denpasar: Udayana University Press.
Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing Mengkonsumsi Kehampaan
di Era Globalisasi (Lucinda, penerjemah; Heru Nugroho, penyunting).
Yogyakarta : Universitas Atma Jaya.
Sibarani, Robert. 2003. “Identitas Budaya dalam Kemajemukan Bangsa”, dalam
Jurnal lmu-Ilmu Budaya Poestaka Ke Arah Pendidikan Multikultural
No. 6 Tahun XIV. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Halaman 18-36.
39
Simpen AB, Wayan. 1980. Basita Basa. Denpasar: Upada Sastra
Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial (diterjemahkan oeleh
Alimandan dari The Sociology of Sosial Change). Jakarta: Prenada
Media.
Tjia, Johnny. 2013. Isu Kebertahanan dalam Usaha Pencagaran Bahasa. Makalah
seminar “language Maintenace dan Shift III”, Semarang , 2-3 Juli 2013.