bias jender dalam bahasa arab - blog … · web viewterjemahan seperti di muka merupakan pendapat...
TRANSCRIPT
BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB
Sebagai sebuah bagian dari bahasa-bahasa kuno dalam rumpun
bahasa Semitik, bias jender dalam bahasa Arab sangatlah kental.
Setiap kata dalam bahasa itu tidak bisa dilepaskan dari jenis kelamin
yang menjadi bagian kategorisnya: mudzakkar (maskulin) atau
muannats (feminin). Persoalan tentang konstruksi jender dalam
bahasa ini mengemuka ketika bahasa Arab menjadi bahasa induk
yang dipakai di hampir semua sumber-sumber klasik dalam kajian
keislaman. Dalam hal ini sumber utama hukum Islam: al-Qur’an dan
Hadits, menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai
oleh Nabi Muhammad SAW guna menyampaikan dakwahnya kepada
masyarakat Arab ketika itu. Argumen teologis yang menjawab
persoalan mengapa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dapat
dicerna melalui QS. Ibrahim 14:4,
wa ma arsalna min rasulin illa bilisani qawmihi... “
“Dan sekali-sekali Kami tidak mengutus salah seorang rasul kecuali
dengan bahasa kaumnya....” Akan tetapi, watak utama peradaban
Arab yang lekat dengan budaya patriarakhis menjadikan beberapa
konsep yang diusung oleh para mujtahid dalam agama Islam melalui
penelaahan terhadap al-Qur’an dan Hadis yang menggunakan
bahasa Arab, serta kreatifitas ijtihadi mereka dalam menggunakan
sumber-sumber hukum Islam yang lain pada setiap masanya
sebagian besar tidak bisa dilepaskan dari bias jender yang timbul
dari upaya penafsiran dan istinbat hukum yang berlatar belakang
budaya masyarakat Arab yang cenderung patriarkhis. Oleh karena
itu, persoalan bias jender bukan saja menyangkut aspek utama
secara lingusitik, di mana bahasa Arab sebagai bahasa induk kajian
Islam memang bertumpu pada pemilahan jender; tetapi juga terkait
dengan aspek penafsiran di mana konsep-konsep yang diturunkan
dari al-Qur’an dan Hadis turut pula diwarnai oleh latar belakang
budaya yang didominasi oleh peradaban partriarkhis yang bias
sebagai akibatnya.
Kenyataan ini membawa sebuah persoalan pelik dalam kajian Islam
ketika pada hakikatnya semangat dan keberadaan pesan yang
dibawa oleh Islam itu sendiri menjunjung tinggi asas kesetaraan
jender, di mana semua manusia secara ontologis setara
kedudukannya di sisi Allah SWT. Makalah ini akan membahas
persoalan-persoalan apa sajakah yang membawa dampak pada
terjadinya bias jender dalam bahasa Arab sebagai bahasa induk
kajian Islam. Dalam hal ini, uraian akan dibagi dalam tiga kategori
utama: bias jender dalam kosa kata (mufradat) bahasa Arab,
struktur bahasa yang didominasi bentuk jender maskulin, dan
kaidah-kaidah bahasa Arab yang ambigu yang berakibat timbulnya
ketidaksetaraan jender dalam aspek penafsiran. Sebelum memulai
ketiga pembahasan utama tersebut, akan diuraikan pula sekilas
tentang kedudukan penting bahasa Arab sebagai bahasa induk
dalam kajian keislaman.
A. Pentingnya Kedudukan Bahasa Arab dalam Kajian Islam
Bahasa Arab memiliki kedudukan yang penting dalam kajian Islam,
ketika al-Qur’an sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW tertuang dalam bahasa Arab yang jelas (bilisani
arabiyyin mubin).1 Dalam perkembangan bahasa Arab, bahasa al-
Qur’an dapat digolongkan ke dalam apa yang dinamakan dengan
bahasa Arab klasik, yaitu bahasa al-Qur’an yang berkembang pula
menjadi bahasa susastra sejak abad ke-7 masehi. Berkat ketinggian
bahasa al-Qur’an pulalah maka kemudian para ahli bahasa
membuat standarisasi bahasa Arab secara akademik pada abad ke-3
H (9 M) dan 4 H (10 M). Dalam proses standarisasi inilah ditentukan
sistematika grammatikal, sintaksis, kosa kata, serta pemakaian
susastra melalui berbagai aktivitas penelitian yang mendalam.2 Dari
sini, kita mendapati sebuah kenyataan bahwa keberadaan teks al-
Qur’an ber[eran besar bagi terciptanya kaidah-kaidah gramatikal
bahasa Arab secara umum.
Bila kita telusuri sejarah perkembangan bahasa Arab dari asal
muasal sejarahnya, maka akan didapati sebuah kenyataan bahwa
bahasa Arab adalah bagian dari rumpun bahasa semitik. Dalam hal
ini, pada masa pra-klasik bahasa Arab tergabung dalam rumpun
cabang bahasa semit selatan (south semitic) atau semit barat daya
(south-west semitic) yang tediri dari dua kelompok besar: (1) Arab
selatan (meliputi bahasa suku Sabean kuno, Minean, Katabanian, 1 Lihat QS. 16:103; 26:195; dan 46:12. 2 Lihat C. Rabin, “Arabiyya” dalam Encyclopaedia of Islam. Leiden: Brill, 1999 (CD ROM Edition) i, 564a.
dan Hadramitik di Yaman dan Hadramaut Selatan, serta bahasa
Mehri di Hadramaut Utara, dan bahasa penduduk pulau Sokotra); (2)
Bahasa Ethiopia (yang meliputi bahasa Ethiopia kuno atau Ge’ez,
Tigre, Tigrinya, Amharik, Hurari, dan Gurage. Dalam proses
pembentukannya, bahasa Arab juga dipengaruhi oleh bahasa-
bahasa Semit Barat Laut (bahasa Ibrani, bahasa Ugaritik dan bahasa
Aramaik).3 Oleh karena itu, secara keseluruhan bahasa Arab berdiri
diantara bahasa Semit Selatan dan Semit Barat Laut, serta menjalin
hubungan yang kuat dengan kedua cabang bahasa semitik tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika sebagian besar kelompok-
kelompok bahasa semitik dalam rumpun bahasa semit selatan tidak
ditemukan lagi penggunaannya kini kecuali bahasa Arab, maka
faktor utama yang membuat bahasa Arab tetap terjaga hingga kini
adalah karena bahasa Arab menjadi bahasa al-Qur’an, bahasa kitab
suci umat Islam dan bahasa resmi yang dipakai dalam beberapa
ritual ibadat umat Islam. Dalam ritual ibadat salat, misalnya,
pengucapan bacaan-bacaan salat dilakukan dalam bahasa Arabnya
yang asli, begitu juga dalam beberapa even dalam ritual ibadah Haji.
Selain itu, secara sosiologis, bahasa Arab kini menjadi bahasa ibu
yang dipakai oleh masyarakat di Asia Barat dan Afrika Utara.
Bahkan, bahasa Arab juga memiliki pengaruh besar terhadap
bahasa-bahasa lain seperti Persia, Turki, Urdu, Swahili, Melayu dan
Husa. Dengan kata lain, bahasa Arab sudah menjadi bahasa 3 Seperti akhiran –in yang menandai bentuk jamak maskulin ataupun bentuk pasif dan bentuk pengecilan (diminutive) melalui wazan fu’ayl yang kesemuanya tidak didapatkan dalam bahasa Arab selatan dan bahasa Ethiopia. (Lihat, C. Rabin, ibid., 564b.)
kebudayaan Islam yang diajarkan pada ribuan sekolah di luar dunia
Arab, termasuk negeri kita Indonesia dan kantong-kantong umat
Islam lainnya di seluruh dunia.4 Sehingga, kenyataan bahwa bahasa
Arab merupakan bahasa al-Qur’an dan bahasa kebudayaan Islam
menjadikan bahasa ini semakin terasa penting keberadaannya
sebagai bahasa yang tidak saja harus dikenal oleh umat Islam guna
bisa membaca al-Qur’an, dan melaksanakan beberapa ritual ibadah
penting, tetapi juga menjadi elemen penting yang harus dipelajari
guna dapat memahami al-Qur’an dan sumberr-sumber ajaran Islam
lainnya dalam kerangka upaya pengkajian terhadap Islam secara
umum.
Al-Qur’an menjadi sumber pokok ajaran Islam, dan bahkan ayat-ayat
al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelasan bagi ayat-ayat dalam
bahagian lain al-Qur’an yang masih samar menempati hirarkhi
tertinggi dalam sumber-sumber penafsiran kitab suci ini. Bila tidak
ditemukan penjelasan tentang makna sebuah ayat dalam bahagian
lain ayat-ayat al-Qur’an, maka barulah penafsiran dilakukan melalui
penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW yang tertuang
dalam bentuk hadis. Begitu seterusnya sampai kemudian penafsiran
didasarkan pada ijtihad masing-masing mufassir, mulai dari
kalangan sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, dan sampai kepada para
ulama mujtahidin dan mufassirin periode mutakhir. Bila kita
kemudian menyebut hierarkhi tata urutan sumber penafsiran al-
4 Lihat Nasaruddin Umar, Teologi Jender Antara Miitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka Cicero, 2003, 113.
Qur’an seperti itu dengan istilah hermeneutika al-Qur’an,5 maka
penguasaan yang paripurna terhadap bahasa Arab sebagai bahasa
al-Qur’an menempati urutan tertinggi dalam prasyarat penafsiran al-
Qur’an,6 di samping penguasaan terhadap disiplin cabang ilmu
keislaman yang lain seperti qira’at, teologi, usul fiqh, fiqh, asbab al-
nuzul, nasikh mansukh, serta penguasaan terhadap ilmu hadis
merupakan hal yang juga memegang peranan penting.
Dalam mencermati kesemua sumber-sumber dalam hirarkhi
penafsiran dan bahkan juga berlaku sebagai prosedur penetapan
istinbat hukum yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas ijtihad,
kedudukan dan fungsi bahasa Arab memegang peranan sangat
penting. Dalam hal ini, pemilahan jender yang diterapkan dalam
bahasa Arab kerap mengakibatkan terjadinya pemahaman yang
timpang bila ditinjau dari sisi keadilan jender antara status dan
peran sosial laki-laki dan perempuan dalam banyak aspek yang
diatur oleh Syariat Islam. Sebuah persoalan yang memerlukan upaya
penafsiran ulang, atau reinterpretasi, di mana pemahaman yang
semestinya tetap harus mengedepankan semangat kesetaraan
jender yang tidak membedakan status dan peran sosial berdasarkan
jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, diperlukan sebuah uraian
yang mengupas aspek-aspek mana saja yang kerap dapat
5 Lihat Jane Dammen Mc Auliffe, Qur’anic Christians An Analysis of Classical and Modern Exegesis. Cambridge: Cambridge Univ Press, 1991, 17.6 Lihat al-Suyuti, al-Itqan, ii, 180-1. Dalam hal ini, dari 15 cabang ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, penguasaan bahasa Arab mencakup sedikitnya 7 aspek bahasa: lughat, nahw, saraf, isytiqaq, ma’ani, badi’ dan bayan. Lihat juga, Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidaya fi al-tafsir al-mawdu’i, Kairo: Matba’ah al-hadarat al-arabiyya, 1977, 19-20.
menimbulkan pemahaman yang bias jender dalam bahasa Arab.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap bahasa Arab, baik tentang
makna kosa kata (mufradat), struktur, maupun kaidah yang berlaku
di dalamnya merupakan keniscayaaan untuk dapat memahami
kajian Islam dengan baik ketika umumnya generasi awal Islam
menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam karya-karya yang
berbahasa Arab, dan hanya dalam waktu akhir-akhir ini saja karya-
karya itu giat diterjemahkan dalam berbagai bahasa lain di dunia
Islam.
B. Bias Jender dalam Kosa Kata (mufradat)
Melalui pendekatan semantik, pemahaman tentang makna kosa
kata dalam sebuah bahasa merupakan pondasi kuat yang akan bisa
mengantar seseorang pada pemahaman yang tepat, tidak saja agar
bisa sesuai dengan semangat yang dibawa oleh teks yang dihendak
difahami, tetapi juga agar seorang penafsir dapat tepat sasaran
dalam memilih makna yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
penuturnya. Dalam hal ini, pemahaman yang baik terhadap makna
kosa kata bahasa Arab menjadi prasyarat utama yang harus
dilakukan dalam memahami teks kitab suci. Beberapa contoh
pemahaman terhadap teks kitab suci al-Qur’an yang terkesan
menimbulkan bias jender dapat disebutkan dalam memahami kosa
kata bahasa Arab seperti quru’, lamasa, dan kalala yang dipahami
secara berbeda oleh para ahli hukum Islam.7
7 Lihat Nasaruddin Umar, op.cit, 218-219.
1. Quru’
Kata quru’ merupakan bentuk jamak dari kata benda qar’ yang
secara leksikal berarti “waktu” yang berlaku baik untuk masa haid
maupun masa suci.8 Oleh karena itu, kata ini dapat dikategorikan
sebagai kata yang musytarak, yaitu kosa kata yang maknanya tidak
tunggal, bahkan saling bertentangan satu sama lain.9 Terkait
dengan proses pengambilan ketetapan hukum tentang lamanya
periode menunggu (iddah) yang diberikan kepada kaum perempuan
yang dijatuhi talak oleh suaminya, seperti yang tertuang dalam QS.
2:228, Wal mutallaqatu yatarabbashna bi anfusihinna tsalatata
quru’, “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri selama
tiga kali quru’....” Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang
makna apa yang paling tepat diambil dari kosa kata quru’ ini,
periode haidkah atau masa suci? Sebagian ulama menetapkan
makna quru’ sebagai masa haid, seperti yang dipilih oleh Ibn
Qayyim sesuai dengan hadis yang memerintahkan kaum perempuan
untuk meninggalkan salat di masa haid mereka, “da’i al-salata
ayyama aqra’iki...” Kata aqra’ yang menjadi padanan jamak kata
quru’ dalam hadis ini mengindikasikan kepada masa haid.
Pengambilan makna yang sama juga berlaku bila kita
mempertimbangkan kelanjutan QS. 2:228 yang menegaskan
larangan bagi kaum wanita untuk menyembunyikan apa yang
8 Lihat pendapat Abu Ubayd dalam Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, i, 130.9 Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Semarang: Toha Putra, tt, II, 279.
diciptakan oleh Allah di dalam rahim mereka, yang menurut
umumnya para ahli tafsir berarti haid dan kehamilan.10
Penafsiran berbeda dikemukakan para hali hukum Islam dari
kalangan madzhab Syafi‘i. Imam Syafi’i sendiri menegaskan bahwa
kata quru’ boleh dipakai baik untuk masa haid maupun masa suci.
Akan tetapi, menurutnya kata quru’ dalam QS. 2:228 hendaklah
dipahami sebagai masa suci. Pemilihan makna suci ini didasarkan
pada argumen bahwa ketika Ibn Umar mentalak isterinya yang
tengah haid, maka Umar kemudian meminta pendapat Nabi
mengenai apa yang harus dilakukannya. Nabi kemudian bersabda,
“Suruhlah dia (Ibn Umar) untuk merujuk isterinya, dan apabila tiba
waktu sucinya maka barulah ia jatuhkan talaknya; itulah iddah yang
diperintahkan Allah untuk mentalak kaum wanita.”11
Kedua penafsiran yang berbeda dalam menyikapi kosa kata dalam
bahasa Arab yang memiliki makna ganda (musytarak), bahkan yang
berlawanan antara satu makna dengan lainnya, pada gilirannya
mengakibatkan munculnya ketetapan hukum yang berbeda tentang
berapa lama seorang wanita mesti menunggu dan menahan diri dari
keinginan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. Pilihan terhadap
kata quru’ yang berarti masa haid, seperti pendapat yang dipegangi
oleh Abu Hanifah memberi akibat pada lamanya waktu menunggu
yang diperlukan oleh kaum wanita dalam menjalani masa iddah
mereka bisa mencapai minimal sekitar 60 hari dengan perhitungan: 10 Menurut pada ulama, makhluk di dalam rahim adalah mamsa datang bulan yang nyata (haidh wujudi). 11 Lihat Lisan al-Arab, i, 131.
masa haid pertama maksimal 10 hari, lalu suci 15 hari, haid lagi 10
hari, suci lagi 15 hari, dan terakhir haid lagi 10 hari. Hitungan yang
lebih pendek diberikan oleh pengikut (ashab ) madzhab Hanafi yang
lain bahwa masa iddahnya berlangsung minimal 39 hari dengan
menghitung masa haid minimal 3 hari. Oleh karena itu, dalam
rentang waktu tiga kali masa haid dihitung terdapat dua kali masa
suci masing-masing 15 hari, sehingga jumlah total lama iddah
minimal 39 hari (3+15+3+15+3=39).12 Rentang waktu masa
menunggu (iddah) minimal yang direkomendasikan oleh para ulama
Hanafiah tersebut masih terhitung lebih lama jika dibandingkan
dengan perhitungan rentang waktu iddah minimal yang dipahami
kelompok madzhab Syafi’i yang mengambil arti kata quru’ sebagai
masa suci. Menurut mereka, masa tunggu yang harus dijalani oleh
perempuan yang tertalak oleh suaminya berlangsung minimal 32
hari ditambah satu jam. Logikanya, jika seorang wanita tertalak
dalam keadaan suci dan satu jam kemudian dia mendapatkan masa
haid, maka masa satu jam tadi sudah bisa dianggap sebagai satu
kali suci, kemudian ia mesti menunggu masa haid pertama yang
minimal berlangsung 1 hari, kemudian masa suci 15 hari, haid lagi 1
hari, dan suci lagi 15 hari. Pada waktu ia menjalai masa haid yang
ketiga, maka berakhirlah masa menunggu yang dijalaninya.13
Walhasil, masa menunggu yang lebih pendek, sebagaimana
dipegangi oleh pendapat Imam Syafi‘i, dianggap lebih
12 Sayyid Sabiq, op.cit., 279-80. 13 Ibid., 279.
memperhatikan hak-hak kaum perempuan yang sedikit banyak
mampu memupus bias jender yang terjadi di dalam bahasa Arab
yang terlalu banyak membela kepentingan kaum lakilaki akibat
budaya patriarkhis masyarakat Arabia.
2. Lamasa
Kata kerja lamasa juga merupakan lafazh yang musytarak dalam
penggunaan bahasa Arab, sehingga perbedaan makna yang diambil
terhadap makna kata itu berimplikasi pada perbedaan ketetapan
hukum yang lahir dari pemakaian kata itu dalam teks al-Qur’an.
Dalam QS. 5:6 yang menerangkan aturan berwudu’ dan hal-hal yang
membatalkan wudu terdapat kalimat yang berbunyi aw lamastumun
nisa’. Kalimat ini dipahami secara berbeda olah para ahli hukum
Islam sebagai akibat perbedaan mereka dalam mengambil makna
yang dikehendaki oleh ayat tersebut dari penggunaan kata lamasa
dalam kebiasaan masyarakat Arab yang mengindikasikan
pemakaian yang majemuk. Dalam hal ini, ungkapan dalam ayat
tersebut ditafsirkan secara tidak sama sebagai akibat perbedaan
makna yang bisa diambil dari kata tersebut. Sebagian mengatakan
bahwa kata lamasa diartikan sebagai aktivitas menyentuh yang
dilakuan dengan tangan, sehingga menyentuh kulit perempuan
bukan muhrim tanpa penghalang dianggap sebagai tindakan yang
membatalkan wudu’. Sementara itu, sebagian ulama yang lain
memandang kalimat tersebut sebagai sebuah ungkapan konotatif
yang sebenarnya menjurus pada aktivitas persetubuhan, sehingga
persentuhan kulit semata-mata tidaklah berakibat pada batalnya
wudu’ seseorang. Pendapat pertama dipegangi umumnya oleh
kalangan madzhab Syafi‘i dan Maliki, meski ada perbedaan diantara
keduanya;14 sedangkan pandangan kedua dipegangi oleh kelompok
madzhab Hanafi. Dari dua pendapat ini, pendapat Abu Hanifa kali ini
nampak lebih moderat dibandingkan dengan pendapat dalam
madzhab lain seperti Syafi’i dan Maliki yang mengesankan adanya
sesuatu hal dalam tubuh perempuan yang begitu mudah bisa
membatalkan wudu bagi laki-laki yang menyentuhnya.15
3. Kalala
Kosa kata lain dalam bahasa Arab yang memiliki makna ganda,
sehingga menimbulkan perbedaan pandangan mengenai penetapan
hukum yang terkait dengan masalah itu dapat pula dicontohkan
dalam makna yang dikandung oleh lafazh kalala. Dalam ayat
pembagian waris QS. 4:12, “Jika seorang laki-laki atau perempuan
(meninggal dalam keadaan) tidak memiliki ayah ataupun anak, dan
ia memiliki seorang saudara laki-laki atau seorang saudara
perempuan, maka masing-masing keduanya memperoleh bagian
seperenam. Jika jumlah mereka ternyata lebih banyak dari itu, maka
14 Perbedaan antara kedua madzhab ini dipaparkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid sebagai akibat hukum yang didasarkan pada asas pengambilan keputusan hukum yang berbeda. Kelompok madzhab Maliki memandang persoalan tersebut dari sudut pandangan yang umum dengan menghendaki sesuatu yang bersifat khusus (bab al-‘am urida bihi al-khash), oleh karena itu mereka mensyaratkan terjadinya batal wudu’ jika akibat persentuhan tersebut menimbulkan syahwat. Sementara kelompok Syafiiyah menganggapnya dari sudut pandangan umum dengan menghendaki keumumannya (bab al-‘am urida bihi al-‘am) sehingga tidak ada syarat apakah persentuhan tersebut menimbulkan syahwat atidak, tetap saja hal tersebut dianggap telah membatalkan wudu. Lihat Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid. Singapura: Sulaiman Mara’i, tt, i, 38. 15 Lihat Nasaruddin Umar, op.cit., 219.
mereka bersekutu untuk (mendapatkan) bagian sepertiga....” Dalam
hal ini, makna kalala didefinisikan sebagai “seseorang yang tidak
memiliki anak maupun orang tua.”16 Perbedaan pendapat
menyeruak ketika timbul pertanyaan kepada siapa status kalala itu
dikenakan, apakah kepada si mayit yang tidak meninggalkan anak
dan orang tua, ataukah kepada kaum kerabat terdekatnya yang
ditinggalkan yang bukan merupakan ayah ataupun anak dari yang
meninggal? Kedua makna tersebut sama-sama diakui
keberadaannya oleh ahli bahasa Arab. Perbedaan pandangan
mengenai makna mana yang boleh diambil untuk lafazh kalala
menyebabkan lahirnya perbedaan dalam hal penetapan hukum,
apakah berlaku bagian yang sama-sama seperenam untuk saudara
baik laki-laki maupun perempuan, ataukah melalui cara pembagian
lain yang terkesan bias jender seperti yang ditunjukkan dalam hadis
Jabir bin Abdillah di mana kaum laki-laki memperoleh porsi dua kali
lebih besar dibandingkan dengan bahagian perempuan.17
Dari ketiga contoh kosa kata bahasa Arab yang memiliki makna
ganda (musyarak) sebagimana diuraikan di atas nampak bahwa
perbedaan makna menyebabkan terjadinya perbedaan keputusan
hukum yang berimplikasi pada munculnya bias jender, ketika
masing-masing pendapat yang dikemukakan memunculkan
perbedaan perlakuan yang didasarkan atas nama perbedaan jenis
kelamin. Dalam hal ini, dominasi budaya patriarkhis memojokkan
16 Lisan al-Arab, xi, 592.17 Lihat Nasaruddin Umar, op.cit. 219.
kaum perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, atau
bahkan minimal tidak diperlakukan setara dengan kaum laki-laki.
Ketiga contoh di atas cukup memberikan gambaran betapa kaum
perempuan diharuskan untuk menjalani waktu iddah yang lama,
atau bahkan lebih lama lagi akibat perbedaan parameter quru’;
tubuh perempuan menjadi sebab yang membatalkan wudu bagi laki-
laki yang menyentuhnya, serta pembagian waris yang tidak
seimbang dengan bagian waris laki-laki. Kesemua perlakuan yang
tidak didasarkan pada asas kesetaraan jender tersebut berakar pada
perbedaan ketetapan hukum sebagai akibat dari perbedaan makna
yang dikandung dalam kosa kata (mufradat) bahasa Arab yang
memiliki makna ganda. Dalam hal ini, sebenarnya bukanlah teks al-
Qur’an yang mengandung bias jender, tetapi perbedaan istinbat
hukum yang didasarkan pada perbedaan makna dalam penggunaan
lafazh tertentu dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan
penuturnya menjadikan proses interpretasi yang dilakukan seorang
mujtahid kerap menghasilkan keputusan hukum yang jatuh
terjerembab dalam bias jender, di mana kepentingan kaum
perempuan dinomorduakan dibandingkan dengan kepentingan laki-
laki.
C. Struktur Bahasa Arab yang didominansi Bentuk Maskulin
Selain aspek kosa katanya yang memberikan makna yang bias
jender, bahasa Arab memiliki beberapa struktur yang bentuk
maskulinnya terkesan mendominasi, sehingga penyebutan sebuah
bentuk maskulin mencakup pula di dalamnya masuknya jenis jender
feminin, dan bahkan beberapa bentuk maskulin terkesan begitu
dominan sehingga tidak memiliki bentuk feminin yang menjadi
padanan katanya. Dalam dua kasus ini, pokok persoalan yang
bermuara pada dominasi bentuk jender maskulin dalam struktur
bahasa Arab nampak sebagai akibat domain sosiologis yang bias
ketika peran sosial laki-laki lebih ditonjolkan dibandingkan dengan
peran perempuan, bahkan cenderung terdapat kesan bila kaum
perempuan berada di bawah sub-ordinas laki-laki.
1. Pemakaian Khitab Maskulin
Struktur bahasa Arab yang kerap menimbulkan bias jender berasal
dari kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari rumpun
bahasa Semitik yang lebih dominan memakai bentuk maskulin
dibandingkan dengan bentuk feminin. Contoh yang paling gamblang
dalam hal ini adalah pemakaian khitab laki-laki yang dianggap pula
mencakup pula jender feminin di dalamnya, bila keduanya
berkumpul dalam sebuah tempat yang sama. Dengan kata lain,
selain berarti khusus laki-laki khitab maskulin juga bisa diartikan
sebagai khitab universal yang tidak saja mencakup jender laki-laki,
tetapi juga mencakup jender perempuan pada tempat yang sama.
Kondisi semacam ini dipandang memiliki kaitan dengan konsepsi
kosmologi bangsa Semit yang menganggap perempuan berasal dari
tulang rusuk laki-laki, sehingga jika laki-laki dan perempuan
berkumpul di tempat yang sama, maka menyebutkan laki-laki
dirasakan sudah mencakup pula kaum perempuan di dalamnya.18
Beberapa sebutan yang menggunakan khitab laki-laki untuk maksud
universal di dalam teks al-Qur’an dapat disebutkan seperti
penyebutan khitab panggilan Ya ayyuha alladzina amanu (wahai
orang-orang yang beriman); ya ayyuha al-kafirun (wahai orang-
orang kafir), dan lain sebagainya, dengan jelas mengindikasikan
pemakaian bentuk maskulin untuk tujuan universal. Di samping itu,
untuk hampir semua khitab universal al-Qur’an juga menyebutnya
dengan bentuk maskulin, seperti aqimu al-salat, atimmu al-hajja,
dst.
Bentuk lain dominasi budaya patriakhis dalam struktur bahasa Arab
tercermin dalam urut-urutan penyebutan yang mendahulukan laki-
laki baru kemudian perempuan dalam urutan kata dalam sebuah
kalimat seperti QS. 4:1, ...wa batstsa minhuma rijalan katsiran wa
nisa’a..., QS. 4:7, lirrijali nasibun...wa lin nisa’i..., QS. 4:12, ...wa in
kana rajulun yuratsu kalalatan aw imra’atun..., QS. 5:38, Al-sariqu
was sariqatu faqta’u..., dsb. Tata urutan penyebutan semacam itu
yang mendahulukan sebutan bagi laki-laki dibandingkan perempuan
merupakan bentuk normal, karena ketika penyebutannya dibalik
seperti dalam kasus yang menyangkut hukuman pidana bagi pezina
dalam QS. 24:2, al-zaniyatu wa al-zani fajlidu..., maka hal ini
dianggap sebagai kasus khusus yang memerlukan penjelasan.
Sebagian mufassir menafsirkan didahulukannya penyebutan pelaku 18 Lihat Nasaruddin Umar, ibid., 227.
zinah perempuan (zaniyah) dalam ayat ini sebagai sebuah
peringatan (warning) yang kuat atas dasar alasan bahwa karena
syahwat dalam diri kaum perempuan dianggap lebih besar,
sehingga perlu didahulukan penyebutannya.19
Walhasil, struktur bahasa Arab yang lebih banyak didominasi oleh
pemakaian khitab maskulin, penggunaan kata ganti (dhamir)
mudzakkar dalam lingkup yang juga mencakup perempuan di
dalamnya sebagai sebuah kesatuan, dan penyebutan urutan laki-laki
yang didahulukan dari perempuan merupakan beberapa contoh
yang mencerminkan adanya bias jender dalam bahasa Arab yang
terjadi akibat produk budaya masyarakat yang patriarkhis.
Kenyataan ini menjadi keniscayaan yang tidak mungkin hilang,
mengingat budaya patriarkhis dalam masyarakat Arab memang
telah menciptakan dominasi laki-laki dan memojokkan posisi kaum
perempuan dalam peran dan relasi sosial dan keagamaan mereka,
yang pada gilirannya juga menciptakan konsep-konsep agama yang
lebih dominan memberikan bentuk-bentuk dan hak-hak khusus bagi
kaum laki-laki dan cenderung menafikan peran kaum perempuan di
dalamnya, sebagaimana sudah diuraikan dalam pertemuan-
pertemuan terdahulu.
2. Beberapa Bentuk Khusus Maskulin
Beberapa ungkapan dalam bahasa Arab ada yang cenderung
memiliki struktur dalam bentuk laki-laki saja, dan tidak memiliki
19 Tafsir al-Baghawi, xii, 160.
struktur dalam bentuk feminin. Dalam hal ini, kata imam dan
khalifah dengan jelas menunjukkan bahwa dua kata tersebut
merupakan bentuk kata benda maskulin yang tidak memiliki
bentuknya dalam jender feminin. Kenyataan yang sangat bias jender
dan cenderung patriarkhis ini pada gilirannya menyumbang amat
besar bagi lahirnya konsep-konsep keagamaan yang kemudian
hanya diperuntukkan sebagai hak bagi kaum laki-laki. Kata imam
yang tidak memiliki bentuk nomina feminin pada gilirannya selalu
ditonjolkan sebagai sesuatu yang berkonotasi laki-laki, seperti
predikat imam sebagai pemimpin dalam salat berjamaah, pemimpin
agama, atau bahkan pemuka masyarakat. Struktur bahasa Arab
yang didominasi bentuk maskulin kemudian memberi kesan lebih
jauh bahwa konsep imam melulu menjadi otoritas yang dimiliki
kaum laki-laki,20 dan sebaliknya meminggirkan atau bahkan
meniadakan peran perempuan di dalamnya.
Sementara itu, kata khalifah meskipun memiliki ciri feminin dengan
tambahan ta’ marbutah di akhir dianggap sebagai sebuah kata yang
digolongkan ke dalam bentuk mudzakkar dengan dua buah bentuk
jamak khulafa’ dan khala’if. Bentuk jamak yang pertama selalu
menampilkan bentuk mudzakar, sementara bentuk jamak yang
kedua bisa pula dianggap sebagai mu’annats. Di sini, berkait dengan
makna kata ini, bentuk yang selalu mudzakkar diberikan untuk kata
benda tunggal khalifah maupun bentuk jamaknya yang membawa
20 Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, xii, 22-27. Lihat pula Nasaruddin Umar, op.cit., 229.
arti “pemimpin (imam) tertinggi yang tidak ada lagi imam di
atasnya”.21
Walhasil, kekhususan bentuk mudzakar dalam contoh dua kata
imam dan khalifah menjadi dasar bagi lahirnya konsepsi-konsepsi
sosial dan politik yang kemudian turut pula menyeret dominasi hak-
hak khusus dan peran yang diperuntukkan hanya untuk kaum laki-
laki. Dalam hal ini, struktur bahasa Arab yang cenderung didominasi
laki-laki menyumbang peranan yang sangat besar bagi bias jender
yang asalnya sangat bersifat liguistik ini, ketika kemudian dominasi
budaya patriarkhis yang mendasari penafsiran terhadap al-
Qur’an,misalnya, tidak jarang pula memberikan sokongan bagi
lahirnya legitimasi secara keagamaan. Stempel keagamaan untuk
konsep-konsep yang bias jender ini merupakan dampak langsung
dari aktivitas interpretasi dalam bentuk ijtihad yang dilandasi
pemakaian bahasa yang didominasi oleh budaya, pemikiran, dan
ideologi masyarakat Arab secara umum yang masih patriarkhis dan
meninggikan peran laki-laki.
D. Kaidah Bahasa yang Bersifat Ambigu
Bias jender dalam bahasa Arab juga dapat dilihat dalam penerapan
beberapa kaidah kebahasaan yang terkesan bersifat ambigu.
Kaidah-kaidah yang ambigu ini terdapat dalam beberapa macam
kasus seperti tentang fungsi dan makna huruf waw, apakah huruf
itu berfungsi sebagai huruf ‘athaf, ataukah sebagai hal, dan fungsi-21 Lihat L. Ma’louf, al-Munjid, Beirut: Dar el-Masyriq, 1986, 192. Dukungan terhadap dominasi mudzakkar bagi makna tersebut diberikan pula oleh Sibawaih dan Ibn Sayyidih. Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, ix, 84.
fungsi gramatikal yang lain; begitu juga dengan kasus
ketidakjelasan mengenai ruang lingkup batas pengecualian
(istitsna); dan penetapan rujukan kata ganti (dhamir). Ketiga macam
kasus di atas merupakan persoalan konkrit yang ditemukan di dalam
teks al-Qur’an yang berbahasa Arab, ketika tidak ada kaidah yang
jelas mengatur bagaimana seharusnya fungsi dan makna elemen-
elemen kebahasaan tadi bisa diterapkan secara standar, dan
dengan begitu bisa diberikan makna secara lebih pasti menurut tata
kaidah bahasa Arab yang dianggap benar.
1. Fungsi dan Makna Huruf Waw
Huruf waw yang terletak di tengah-tengah kalimat dalam bahasa
Arab seringkali dipahami secara berbeda menyangkut status dan
fungsi gratikalnya. Perbedaan ini pada gilirannya menimbulkan
perbedaan makna yang dikandung oleh kalimat dimaksud. Berbeda
dengan waw yang terletak di muka kalimat yang sering dirujuk
dalam status qasam, di mana fungsi huruf ini menjadi kata pembuka
sumpah yang mengiringi penyebutan nama Tuhan atau tempat dan
objek yang dianggap sakral, huruf waw yang berada di tengah
kalimat lazimnya dirujuk sebagai huruf athaf (kata sambung atau
conjunction) dan hal (circumstantial expression).
Huruf waw yang berfungsi sebagai kata sambung yang dipahami
secara berbeda maknanya oleh para ulama dapat dilihat dalam
contoh QS. 4:3, wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama, fankihu ma
thaba lakum min al-nisa’i matsna wa tsulatsa wa ruba’, fa in khiftum
an la ta’dilu fa wahidah... ‘Dan jikalau kamu khawatir tidak akan bisa
berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Jika
kemudian kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka seorang
saja...” Terjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur
ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna
wa tsulatsa wa ruba’ sebagai huruf athaf yang mewakili lambang
“koma” dalam aksara latin dan bermakna “atau”22 yang dalam
bahasa Arab menempati fungsi sebagai “pengganti” (badal).23 Oleh
karena itu, tidak dibolehkan bagi laki-laki muslim menikahi wanita
lebih dari empat orang. Bila kemudian Nabi SAW sendiri menikahi
sembilan isteri, maka hal itu merupakan pengecualian yang
diberikan oleh Allah kepada beliau.
Akan tetapi, ada pendapat di kalangan sekte Syi’ah dan sebagian
penganut aliran Zhahiri yang membolehkan seorang lelaki muslim
untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Untuk itu mereka
menafsirkan huruf athaf waw dalam fungsi makna penjumlahan (lil
jam’i), sehingga ungkapan matsna wa tsulatsa wa ruba’ dimaknai
sebagai 2+3+4=9. Jumlah ini, menurut kaum Syi’ah sesuai dengan
jumlah isteri yang boleh dimiliki oleh Nabi SAW. Bahkan, pendapat
yang lebih buruk lagi diungkapkan oleh sebagian kelompok Zhahiri
yang menafsirkan matsna sebagai dua-dua, dst. Sehingga, jumlah
22 Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 227.23 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, II, 97.
wanita yang boleh dinikahi adalah 18 orang dari hasil penjumlahan
2+2+3+3+4+4=18.24
Beberapa penafsiran yang berbeda menyangkut status, fungsi dan
makna waw sebagai huruf athaf dilatarbelakangi oleh perbedaan
masing-masing penafsir dalam memberikan makna bagi status dan
fungsi waw sendiri yang memang tidak saja bersifat multi-tafsir.
Dalam tradisi pemakaian bahasa Arab, waw yang berfungsi sebagai
athaf dengan makna penjumlahan memang lazim dipakai oleh
penutur bahasa Arab, sehingga untuk mengatakan jumlah total
sembilan, orang Arab biasa mengatakan: “dua, tiga, dan empat”.
Begitu juga dengan ungkapan matsna untuk menunjuk "kelompok
dua", seperti ungkapan “mereka datang berdua-dua” maksudnya
dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari dua orang dua orang.
Sementara itu, jumhur membatasi jumlah wanita yang dinikahi
sebatas empat sebagaimana mereka menggunakan pertimbangan
dalil lain yang berasal dari hadis yang menegaskan kembali batasan
itu.25 Walhasil, perbedaan cara istinbat hukum, utamanya ketika
menyertakan pengambilan argumentasi menurut pemakaian bahasa
Arab secara umum turut memberikan kontribusi dalam penafsiran
teks al-Qur’an menyangkut makna apa yang mesti dikenakan
terhadap huruf athaf yang ambigu maknanya dan disimbolkan
dengan huruf waw tersebut. Kesemua penafsiran tentang makna
waw sebagai huruf athaf di atas sangat jelas mencerminkan
24 Ibid.25 Ibid., 96-98.
bagaimana bahasa Arab dipahami dan dibentuk dalam kultur yang
sangat bias jender. Akibat ketimpangan jender ini, nasib kaum
perempuan terkesan sangat dirugikan secara kultural.
2. Penetapan Batas Pengecualian (istisna)
Makna yang ambigu dalam kaidah bahasa Arab juga tercermin
dalam kaidah dalam menetapkan batas pengecualian (istisna)
apakah hanya kalimat yang berada dalam urutan terdekat saja,
ataukah bisa menjangkau sebagian atau keseluruhan kalimat yang
sudah disebutkan. Contoh yang cukup gamblang dapat dilihat dalam
contoh kasus QS. 24:4-5, walladzina yarmuna al-muhshanati
tsumma lam ya’tu bia rba’ati syuhada’a fajliduhum tsamanina
jaldah, wa la taqbalu lahum syahadatan abada, wa ula’ika hum al-
fasiqun (4). Illa alladzina tabu min ba’di dzalika...(5) “Dan orang-
orang yang menuduh (berzina terhadap) wanita-wanita yang baik,
kemudian tidak mendatangkan orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian
terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah
orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki dirinya. Maka sesungguhnya Allah
maha Pengampun lagi Penyayang.” Terdapat perbedaan pandangan
terhadap aspek mana sajakah yang termasuk dalam pengecualian
yang disebutkan di dalam ayat kelima dari surat al-Nur ini. Ada tiga
hal yang menjadi elemen hukuman bagi mereka yang melakukan
tuduhan palsu terhadap perbuatan zina: (1) hukuman 80 cambuk,
(2) ditolak kesaksiannya, (3) digolongkan ke dalam kelompok fasik.
Abu Hanifa mengatakan bahwa pengecualian hanya berlaku bagi
penggolongan terhadap kelompok fasik. Oleh karena itu, jika si
pelaku bertaubat maka dia dikeluarkan dari kategori fasik di
hadapan Allah. Sementara penolakan terhadap kesaksian dan
hukuman cambuk tetap berlaku. Akan tetapi, ulama lain secara
umum memandang bahwa selain dikeluarkan dari kategori fasik,
maka pelaku tuduhan palsu yang sudah bertaubat juga dikeluarkan
dari kelompok yang ditolak kesaksiannya. Dengan demikian, istisna
juga diberlakukan terhadap elemen yang kedua, sehingga
penolakan terhadap kesaksian digugurkan oleh taubat yang
dilakukannya. Meskipun demikian mereka tetap sepakat bahwa
taubat tidak bisa menggugurkan hukuman dera yang termaktub
dalam elemen pertama.26 Perbedaan penerapa hukuman akibat
perbedaan pandangan mengenai penetapan batas pengecualian ini
tentu saja menimbulkan dampak yang bias jender, karena
pandangan jumhur ulama yang membebaskan penolakan terhadap
kesaksian dengan taubat terkesan memberikan keringanan
hukuman kepada para pelaku tuduhan palsu yang umumnya
merupakan kaum laki-laki.27
3. Penetapan Rujukan Kata Ganti (dhamir)
Kaidah-kaidah dalam bahasa Arab yang mengesankan terjadinya
bias jender akibat ambiguitas yang ditunjuk dalam pemakaian 26 Lihat Tafsir al-Qurtubi, xii, 179. Lihat pula Ali al-Sabuni, Tafsir ayat ahkam, II, 76 dalam Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 225. 27 Nasarudin Umar, ibid.
istisna juga didapati dalam penetapan rujukan kata ganti (dhamir).
Dalam hal ini, di dalam al-Qur’an juga terdapat pemakaian kata
ganti yang tidak jelas ke mana rujukan yang sebenarnya. Salah satu
contoh yang kalau kita analisis lebih jauh akan menimbulkan bias
jender yang menjadi akar pemahaman yang juga bias jender dalam
teologi penciptaan manusia, sebagaimana tertuang dalam QS. 4:1,
Ya ayyuha al-nas (i)ttaqu rabbakum alladzi khalaqakum min nafsin
wahidah wa khalaqa minha zawjaha... “Hai manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu
(nafs wahida), dan dari padanya (minha) Allah menciptakan
pasangannya (zawjaha)...” Terdapat dua buah kata ganti (dhamir)
ha’ yang diperselisihkan ke mana kembalinya. Umumnya mufassir
mengembalikan rujukan dhamir ha tersebut kepada kata nafsin
wahida yang dimaknai sebagai Adam, sehingga dhamir ha’ dalam
kata zawjaha dimaknai sebagai pasangan Adam, yaitu Hawa. Bias
jender yang cenderung berpangkal dari keyakinan Israiliyat bahwa
Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok yang
kemudian dikuatkan pula oleh sebuah hadis Nabi menjadikan
penafsiran ayat ini menjadi penguat bagi lahirnya kultur dan budaya
yang menempatkan kedudukan wanita secara ontologis sebagai
makhluk yang tersubordinasi oleh kedudukan dan kekuasaan laki-
laki.
Penafsiran yang berbeda terhadap ayat ini diungkapkan oleh Abduh.
Mengikuti pendapat Abu Muslim al-Isfahani, Abduh mengembalikan
kata ganti dhamir ha hanya kepada kata nafsin yang bermakna diri
yang satu yang menjadi unsur pembentuk Adam. Sementara dhamir
kedua ha dimaknai sebagai pasangan genetik dari diri yang satu.28
Penetapan rujukan kata ganti dhamir ha dalam ayat di atas,
sebagaimana ditunjukkan dalam perbedaan penafsiran ayat
tersebut menunjukkan dengan jelas, bagaimana budaya patriarkhis
masyarakat Arab yang ditunjukkan dalam penggunaan bahasa Arab
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terjadinya
ketimpangan jender dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang
seyogianya paralel dengan semangat al-Qur’an yang menjunjung
tinggi kesamaan derajat semua manusia di hadapan Allah, tidak
peduli apa jenis kelamin dan peran sosialnya yang tercipta dari
perbedaan jenis kelamin itu.
Bias jender yang terjadi dalam memahami teks-teks al-Qur’an,
sebagaimana tercermin dalam pandangan-pandangan yang tertuang
dalam kitab-kitab tafsir yang mu’tabar secara umum berpangkal dari
penggunaan bahasa Arab yang bias jender. Kasus-kasus yang
memberi ruang bagi kemungkinan mufradat yang memiliki makna
ganda, struktur bahasa yang didominasi jender maskulin, ataupun
kaidah-kaidah yang terkadang bersifat ambigu akibat kurang
jelasnya batasan pengecualian maupun rujukan kata ganti dhamir
yang disebut menjadikan pemahaman terhadap teks-teks berbahasa
Arab kerapkali dibarengi dengan lahirnya penafsiran yang bias pula 28 Lihat Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 219-224.
dan menempatkan laki-laki setingkat lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan. Penafsiran semacam ini tidak sejalan dengan
semangat persamaan jender yang diusung oleh al-Qur’an, sehingga
sudah selayaknya untuk mulai ditinjau kembali. Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Rabin, C. “Arabiyya” dalam Encyclopaedia of Islam. Leiden: Brill, 1999 (CD ROM Edition) i, 564a.Umar, Nasaruddin. Teologi Jender Antara Miitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka Cicero, 2003.Mc Auliffe, J.D. Qur’anic Christians An Analysis of Classical and Modern Exegesis. Cambridge: Cambridge Univ Press, 1991,Suyuti, al-Itqan, Beirut: Dar el Fikr, 1979, 2 vols. Farmawi, Abd al-Hayy. al-Bidaya fi al-tafsir al-mawdu’i, Kairo: Matba’ah al-hadarat al-arabiyya, 1977. Ma’louf, L. al-Munjid, Beirut: Dar el-Masyriq, 1986.Ibn Mandzur, Lisan al-Arab. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Semarang: Toha Putra, tt, II, 279. Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid. Singapura: Sulaiman Mara’i, tt, i, 38. Tafsir al-Baghawi.Tafsir al-Qurtubi. Sabuni, Ali al-. Tafsir ayat ahkam, 2 vols.