bersikap - balitbangdiklat.kemenag.go.id · diawali dengan penelitian di tahun 2015 yang kemudian...

360

Upload: ngonga

Post on 11-Mar-2019

253 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim i

KETIKA PEREMPUAN BERSIKAP:

KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT

PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN TAHUN 2016

Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta, 2016

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimii

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim Ed. 1, Cet. 1.— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016 xxii + 333hlm; 15 x 21 cm. ISBN : 978-602-8739-68-9

Hak cipta pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, September 2016 Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim Editor: Dr. Hj. Kustini, M.Si & Ida Rosidah, MA Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE

Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://www.puslitbang1.kemenag.go.id

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim iii

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT karena penerbitan buku ini dapat diselesaikan dengan baik. Proses penyelesaian buku ini melalui tahap yang cukup pajang, diawali dengan penelitian di tahun 2015 yang kemudian dilakukan diseminasi melalui seminar hasil penelitian. Beberapa bagian dari hasil penelitian ini juga telah didiseminasikan melalui publikasi jurnal ilmiah oleh masing-masing peneliti. Meski demikian, kami tetap mengangap perlu hasil penelitian ini disebarkan lebih luas sehingga bisa dibaca oleh masyarakat di berbagai daerah. Untuk tujuan perluasan pembaca itulah maka hasil penelitian tersebut diedit kembali dan diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim di Indonesia.

Banyak pihak yang telah terlibat aktif dan memberi kontribusi bagi penerbitan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini kami selaku Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan mengucapkan terima kasih. Pertama, terima kasih kepada tim peneliti yang telah melaksanakan penelitian dan menyiapkan laporan hasil penelitian sebagai bahan utama buku ini. Kedua, terima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. H. Abd Rahman Mas’ud, Ph. D. atas segala arahannya sehingga kegiatan di Puslitbang Kehidupan Keagamaan dapat terlaksana dengan hasil maksimal. Ketiga, terima kasih kepada Bapak Wahyu Widiana, MA yang telah ikut membaca seluruh naskah ini serta memberikan naskah Prolog di awal buku ini sehingga pembaca lebih mudah memahami isi buku. Keempat, terima kasih kepada editor Saudara Kustini dan Ida Rosyidah atas kesediaannya untuk

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimiv

mengedit dan menyelaraskan naskah sehingga lebih mudah dipahami sebagai satu tulisan yang saling melengkapi. Dan akhirnya kelima, kami sampaikan terima kasih kepada tim administratif Saudara Khaolani, Asnawati, Suka dan yang lainnya atas ketekunannya mempersiapkan penerbitan buku ini.

Meski demikian, penerbitan buku bukanlah tujuan akhir dari penelitian. Lebih dari itu, kami berharap stake holder di lingkungan Kementerian Agama dapat mengambil manfaat dan menindaklanjuiti melalui program-program strategis. Untuk hal itu, kami merasa bersyukur karena pada tahun 2016 ini Ditjen Bimas Islam bekerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah menyusun Modul dan Bahan Bacaan Bimbingan Perkawinan. Penyusunan Modul Bimbingan Perkawinan merupakan salah satu rekomendasi hasil penelitian tentang perlunya mengefektifkan bimbingan perkawinan yang sebelumnya disebut kursus calon pengantin.

Demikian, semoga penerbitan buku ini menjadi satu bukti kesungguhan dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam memilih dan menentukan fokus-fokus penelitian yang relevan dengan tugas pokok unit-unit terkait di Kementerian Agama. Semoga Allah SWT mencatat kegiatan ini sebagai satu perbiatan baik dalam rangka menciptakan kehidupan keluarga yang lebih harmonis.

Jakarta, September 2016 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan H. Muharam Marzuki, Ph. D.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim v

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT

Cerai gugat bukanlah merupakan suatu fenomena yang terjadi baru-baru ini. Data di Badan Peradilan Agama (pusat) maupun Pengadilan Agama (kabupaten/kota) berbagai kabupaten dan kota selama beberapa dekade, menunjukkan angka dominan untuk cerai gugat dibanding cerai talak. Bagi Kementerian Agama khususnya Ditjen Bimas Islam yang salah satu tugasnya terkait dengan pembinaan keluarga sakinah, fenomena tingginya cerai gugat menjadi sesuatu yang harus didalami dan dicari penyebabnya. Karena itulah Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu unit di Kementerian Agama, dirasa perlu untuk mengungkapkan data tentang cerai gugat.

Saya melihat pentingnya hasil penelitian ini yang telah disosialisasikan melalui seminar dengan dihadiri oleh berbagai unsur baik aparat yang memiliki tugas terkait pembinaan keluarga, serta dihadiri pula oleh masyarakat umum. Pentingnya hasil penelitian juga terlihat dari berita di beberapa media yang secara langsung mengutip atau mengexpose hasil penelitian ini. Namun demikian, sebagai sebuah unit kajian di Kementerian Agama, tidak cukup jika hanya disosialisasikan dalam sebuah seminar atau dikutip oleh media. Jauh lebih penting dari hal itu adalah bagaimana stakeholder dapat memanfaatkan hasil penelitian ini menjadi sebuah kebijakan strategis dalam rangka menunjang tugas dan fungsi Kementerian Agama.

Secara khusus kami mencermati dua dari empat rekomendasi hasil penelitian ini yaitu: (1) Ditjen Bimas Islam agar melakukan evaluasi dan menyempurnakan Gerakan Keluarga Sakinah (GKS) dan mengoptimalkan Kursus Calon

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimvi

Pengantin (Suscatin) di KUA. (2). Ditjen Bimas Islam dan Badan Litbang dan Diklat perlu bekerjasama untuk menyusun modul atau pedoman praktis pembinaan keluarga sakinah. Dari dua rekomendasi tersebut telah ditindaklanjuti oleh Ditjen Bimas Islam dalam Surat Dirjen Bimas Islam Nomor: 1261/DJ.III/HM.01/05/2016 tertanggal 12 Mei 2016 Perihal Kerjasama Penyusunan Modul Bimbingan Perkawinan. Dalam surat tersebut Dirjen Bimas Islam mengajukan permohonan agar Badan Litbang dan Diklat menyusun Modul Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin.

Saya juga mengapresiasi Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan serta tim terkait yang pada tahun 2016 telah menindaklanjuti Surat Ditjen Bimas Islam tersebut dalam bentuk Penyusunan Modul Bimbingan Perkawinan bekerjasama dengan Ditjen Bimas Islam. Ke depan, saya berharap setiap penelitian dapat merumuskan rekomendasi yang secara langsung dapat digunaan oleh stakeholder sebagai bahan penyusunan program.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran keiatan ini. Semoga Allah mencatat semua aktivitas tersebut sebagai bagian dari ibadah yang menambah berat catatan amal baik kita semua.

Jakarta, September 2016 Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph. D.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim vii

PROLOG Buku “Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat

Masyarakat Muslim”

Perkawinan merupakan sesuatu yang dipandang sangat penting dalam Islam. Ia didefinisikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Ikatan ini bahkan disebutkan di dalam kitab suci Al-Quran dengan kalimat mitsaqan ghalizha atau perjanjian yang amat kukuh (QS An-Nisa 4:21). Terkait penggunaan istilah mitsaqan ghalizha tersebut, Al-Quran menggunakannya pada ayat lain untuk menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi ulul azmi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7) dan perjanjian Allah dengan umat-Nya terkait pelaksanaan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154). Hal ini memberi indikasi betapa luhurnya perikatan atau perjanjian antara dua manusia, suami-istri, dalam ikatan perkawinan tersebut.

Perikatan lahir dan batin tersebut di atas menuntut adanya kesiapan lahir dan batin dari kedua pasangan, calon suami dan isteri. Tidak hanya soal persiapan material dan teknis, namun terutama kematangan emosional dan tanggung jawab vertikal. Bahwa dari perikatan atau perjanjian untuk hidup bersama antara suami dan isteri, terdapat tantangan psikologis kesalingpahaman, konformitas dalam karakter dan kultur, serta terkandung sejumlah hak dan kewajiban baik di antara kedua pihak maupun antara keduanya dengan Sang Pemilik Rasa Kasih. Hal-hal ini menjadi penting karena tanpa kesadaran dan pemahaman akan hal-hal tersebut serta keterampilan dalam mengaplikasikannya, maka akan sulit

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimviii

menciptakan keseimbangan hubungan atau harmonitas dalam perkawinan. Dalam tingkat tertentu, ekstrimnya, yang terjadi adalah kekurangsepahaman, kekurangpaduan, gesekan, konflik, atau bahkan berujung perceraian. Padahal, perceraian merupakan hal yang paling tidak disukai dalam agama. Perceraian merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Allah.

Tidak hanya dalam kacamata teologis, perkawinan juga dipandang sangat penting secara psikologis, sosiologis, dan biologis. Ada kepatutan-kepatutan alamiah yang mendorong terjalinnya hubungan interpersonal antara laki-laki dan perempuan. Ada kebutuhan dan tuntutan yang taken for granted melekat dalam diri manusia. Hal ini menjadi kebutuhan dasar manusia pada umumnya. Dan sebaliknya, konflik dan perceraian merupakan hal yang pada dasarnya tidak diharapkan manusia. Hal itu melawan kesejatian manusia sebagai makhluk yang cenderung pada ketentraman, kedamaian, dan cinta kasih.

Sementara itu, dewasa ini ada kecenderungan yang mengkhawatirkan terkait fenomena perceraian di kalangan muslim di Indonesia. Sebagaimana diulas dan dilaporkan di dalam buku hasil penelitian lapangan ini, ada kenaikan angka perceraian dalam beberapa tahun terakhir di sejumlah daerah. Bahkan secara nasional, angka cerai gugat (dimana isteri mengajukan gugatan perceraian) jauh lebih tinggi dibanding angka cerai talak (dimana suami mengajukan permohonan untuk menalak isteri). Merujuk pada data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) tahun 2015, angka cerai gugat mencapai 72% dibanding cerai talak yang mencapai 28%.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim ix

Tabel 1

Jika kita perhatikan data yang diputus Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (PA/MS) untuk semua jenis perkara secara nasional selama periode 2001-2015 (Tabel 1), ada kenaikan sebesar 180%, yaitu dari 159.299 perkara pada tahun 2001 menjadi 445.568 perkara pada tahun 2015. Kenaikan tajam terjadi sejak tahun 2006, yaitu sejak jumlah perkara yang diputus 167.807 perkara. Ini berarti selama periode 2006-2015 ada kenaikan 166%. Sedangkan periode 2001-2006 kenaikannya hanya 5%, itupun terjadi fluktuasi, tidak flat. Yang menarik adalah dari jumlah semua jenis perkara itu sekitar 90%nya merupakan perkara perceraian.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimx

Tabel 2

Sejalan dengan kenaikan jumlah perkara yang diputus dari semua jenis (Tabel 1), tren data perceraian periode 2001-2015 (Tabel 2) juga mengalami kenaikan, baik data cerai gugat maupun cerai talak. Dari tahun 2001 sampai 2006, ada kenaikan sedikit dan dibarengi dengan fluktuasi, sementara setelah 2006 sampai 2014 ada kenaikan tajam. Sedangkan dari 2014 ke 2015 mengalami penurunan. Ini berbeda dengan data yang diputus untuk semua jenis perkara (Tabel 1), yang memperlihatkan data 2015pun naik dibanding data 2014.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim xi

Tabel 3

Walaupun ada sedikit fluktuasi pada tren data perceraian seperti disebut di atas, tren perbedaan jumlah cerai talak dan cerai gugat relatif konstan, semakin besar. Selama periode 2001-2015 (Tabel 3), tren perbedaan itu memperlihatkan data cerai talak semakin menurun, sementara cerai gugat semakin naik. Pada tahun 2001, presentase cerai talak adalah 42,5%, sedangkan cerai gugat 57,5%. Ada perbedaan sebesar 15%. Sedangkan pada tahun 2015, cerai talak 28,1%, cerai gugat 71,9%. Perbedaannya 43,8%. Jadi perbedaan presentase data cerai talak dengan cerai gugat dari tahun ke tahun sejak 2001 sampai 2015 naik terus, dari 15% menjadi 43,8%.

Mengapa angka perceraian (khususnya cerai gugat) cenderung meningkat? Alasan apa saja yang melatarbelakanginya? Menarik mencermati temuan-temuan lapangan dalam penelitian ini. Bahwa, menurut penelitian ini,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimxii

ternyata penyebab utamanya bukan terkait fenomena kesetaraan gender perempuan dengan laki-laki, sebagaimana hipotesis semula, melainkan beragam faktor seperti ketidakharmonisan dengan beragam variasinya. Mulai dari perselingkuhan, tidak memberikan nafkah lahir dan batin, ekonomi hingga masalah lain seperti kecemburuan. Hal-hal tersebut dewasa ini kian meningkat karena pergeseran budaya yang semakin terbuka, menurunnya makna dan nilai perkawinan, serta lemahnya pemahaman agama. Selain itu, di daerah tertentu, ada juga mitos-mitos dalam masyarakat yang mendorong pada perceraian.

Temuan empirik tersebut dapat ditambahkan dengan hasil observasi dan testimoni sejumlah hakim yang menangani kasus-kasus perceraian dan aparat lainnya di kantor PA/MS. Informasi ini penting diungkapkan sebagai “suara dari dalam” yang belum tersampaikan dalam catatan peneliti. Bahwa berdasarkan pengalaman sejumlah hakim dan aparat pengadilan dalam memproses kasus permohonan perceraian, ada fenomena pihak berperkara melakukan “rekayasa proses kasus” demi kemudahan atau cepat selesainya proses perceraian. Tegasnya mengubah kondisi seolah-olah pihak perempuan yang ingin mencerai (cerai gugat) meskipun pada mulanya sang suami yang bermaksud mentalak sang isteri. Sang suami setelah diberi panggilan sidang secara sah dan patut tidak hadir di persidangan walaupun sudah dua kali dipanggil. Putusanpun dilakukan secara verstek, karena pihak suami sebagai tergugat tidak hadir.

Hal ini terjadi dalam kasus pasangan suami-isteri yang ingin berpisah dan malas untuk mengikuti persidangan yang panjang dan lama. Sementara sang isteri “bersedia” mengabaikan haknya untuk mendapatkan sesuatu dari suami paska perceraian, seperti mut’ah, nafkah iddah, nafkah anak dan hak-hak lainnya. Alasan bernuansa teknis ini dapat dipahami

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim xiii

karena berdasarkan pengalaman empirik proses-proses persidangan yang tidak dihadiri oleh tergugat relatif lebih cepat selesai dibanding jika kedua pihak hadir. Proses seperti ini tidak mewajibkan adanya mediasi yang memakan waktu lama dan sang isteripun tidak bisa menuntut banyak dari suaminya, selain perceraian, sehingga perdebatan antara kedua pihak tidak terjadi dan proses sidangpun akan lebih cepat.

Melambungnya data cerai gugat juga tidak lepas dari adanya peraturan perundangan dan fasilitas dari negara seperti adanya sidang keliling, pembebasan biaya perkara dan pos bantuan hukum serta kemudahan lainnya yang memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat, khususnya perempuan. Ketentuan yang semula lebih mempermudah suami untuk melakukan ikrar talak –sebelum 1974 cukup di KUA, sementara cerai gugat harus di PA/MS-kini berdasarkan UU 1/1974, talak dan cerai harus dilaksanakan di depan sidang majlis hakim PA/MS. Demikian pula, yang semula cerai gugat itu harus di PA/MS yang mewilayahi domisi suami (UU 1/1974), kini cukup di PA/MS domisili isteri (UU 7/1989).

Demikianlah, pada prinsipnya memang perceraian sedapat mungkin dihindari. Benar bahwa hakim dilarang menolak perkara, namun demikian, hakim juga harus tetap berupaya sedapat mungkin mendamaikan dan mengurungkan rencana perceraian tersebut. Ada istilah, jika untuk menikah sebuah pasangan harus dipermudah, maka sebaliknya, untuk perceraian harus dipersulit. Maksudnya, dibuat berjangka waktu dan melalui tahapan-tahapan perdamaian.

Upaya menyelamatkan bahtera rumah tangga suatu pasangan dalam hubungan perkawinan yang tidak harmonis,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimxiv

baik secara hukum maupun sosial, menjadi tanggung jawab semua pihak. Ada upaya-upaya perdamaian yang dapat dilakukan oleh sejumlah pihak sesuai kewenangan para pihak dan tata peraturan perundangan yang ada. Upaya-upaya perdamaian ini penting dilakukan untuk mengurangi dan menekan jumlah perceraian yang dilaporkan cenderung meningkat seperti tersebut di atas.

Pertama, dalam proses persidangan, hakim-hakim di PA/MS diwajibkan melakukan upaya perdamaian terlebih dahulu kepada pasangan berperkara yang ingin bercerai. Hal ini sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Agama yang antara lain bersumberkan Hukum Acara Perdata Umum (Herzien Inlandsch Reglement/Rechtreglement voor de Buitengewesten atau kerap disingkat HIR/RBg). Disebutkan dalam Pasal 130 HIR dan pasal 154 RBg, bahwa pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara, hakim wajib mendamaikan antara para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh hakim dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Namun jika tidak berhasil maka dilanjutkan pada tahapan sidang berikutnya.

Kedua, pembentukan BP4 secara nasional tahun 1960 dan dikukuhkan oleh Keputusan Menteri Agama No 85/1961 bertujuan untuk mempertinggi kualitas perkawinan, mencegah perceraian sewenang-wenang dan mewujudkan rumah tangga yang bahagia sejahtera menurut tuntunan agama Islam. Keputusan Menteri itu menyebutkan bahwa BP4 adalah sebagai satu-satunya badan yang bergerak dalam bidang penasihatan perkawinan, talak dan rujuk dan upaya untuk mengurangi angka perceraian yang terjadi di Indonesia. Sampai sekarang, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya BP4 terus melaksanakan fungsinya sesuai dengan tujuannya dan perkembangan, antara lain memberikan penasihatan, advokasi, mediasi dan pelatihan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim xv

Ketiga, terdapat Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai-pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundangan-Undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam. Di dalam Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 30 Ayat (2) disebutkan bahwa PA setelah mendapat penjelasan tentang pengajuan perceraian, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat agar suami-isteri dapat hidup rukun lagi. Akibat adanya peraturan ini, bahkan dalam prakteknya, terjadi bahwa sebelum ke PA, suami-isteri itu terlebih dahulu datang ke BP4.

Keempat, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 mewajibkan untuk perkara-perkara tertentu, termasuk untuk perceraian, agar melalui proses mediasi setelah dilakukan sidang pertama. Mediasi dilakukan pada pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara tersebut belum diputus (Pasal 21). Selain itu, dalam Perma 2008 disebutkan bahwa mediator dapat dari dalam maupun luar pengadilan (Pasal 4 ayat 1), hakim dan non hakim. Secara umum, Perma 2008 memberi penekanan pada peranan mediator yang lebih luas dalam proses mediasi. Bahkan disebutkan bahwa tidak menempuh prosedur mediasi mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 2 Ayat 3).

Kelima, lebih maju dari Perma 2008, Perma Nomor 1 Tahun 2016 diterbitkan Mahkamah Agung. Perma 2016 ini juga mengganti Perma 2008. Di antara poin pentingnya adalah penegasan adanya peranan mediator independen untuk berperan lebih aktif dalam menyelesaikan perkara atau sengketa di luar pengadilan. Hasil mediasinya yang disepakati dapat diajukan penetapan ke Pengadilan melalui mekanisme gugatan. Dalam konteks ini, peranan BP4 (Badan Penasihatan,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimxvi

Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan), sebagaimana juga disinggung dalam temuan dan rekomendasi penelitian ini, mendapat “ruang baru” dalam proses mediasi non-hakim, dari pemberlakukan Perma No. 1 Tahun 2016 tersebut. Saat ini tengah dikembangkan Community Mediation, yakni proses mediasi di luar pengadilan oleh komunitas-komunitas mediasi, seperti BP4 dan lembaga-lembaga penyelenggara mediasi lainnya. Peran-peran di luar proses litigasi ini dipercaya lebih hemat dan memudahkan bagi semua pihak.

Upaya “melawan” tren peningkatan angka perceraian dan pelestarian keluarga menjadi tugas dan agenda semua pihak. Selain topangan regulasi yang semakin baik, program-program Pemerintah dalam penguatan keluarga, peran-peran hakim dan lembaga di luar pengadilan dalam mediasi, serta termasuk pengayaan kajian dan penelitian seperti yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan ini, penting untuk terus dioptimalkan. Buku yang memuat sketsa fenomena terkini ini menjadi penting untuk dibaca dan menjadi inspirasi bagi perbaikan proses-proses ke depan. Pelebaran ruang kajian, pemokusan ruang lingkup dan sekaligus pendalaman isu spesifik, penting menjadi pertimbangan ke depan. Topik-topik seperti fenomena keluarga perkotaan, long distance family, optimalisasi peran BP4, dan sebagainya, layak menjadi kajian berikutnya. []

JJakarta, 6 September 2016

Wahyu Widiana

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim xvii

PENGANTAR EDITOR

Mencermati tingginya angka cerai gugat di hampir seluruh wilayah Indonesia yang telah terjadi lebih dari tiga dekade, tentunya banyak hal yang bisa dikaji, baik dari sisi agama, budaya maupun posisi perempuan. Dari sisi agama, sebagaimana diketahui dengan merujuk kepada ayat Al Qur’an suami memiliki hak untuk menceraikan isterinya. Cerai atau talak disebutkan dalam beberapa ayat al-Quran antara lain QS al-Baqarah 230, 236, dan 237. Meskipun Islam menetapkan bahwa talak itu adalah hak suami, dia dapat menjatuhkannya bilamana dia mau, tetapi menjatuhkan talak kepada istri tidak termasuk sikap yang terpuji dan amat tidak disukai, karena hal itu termasuk kufur nikmat Allah. Sedangkan kufur nikmat itu tercela dan dilarang. Adapun jika istri yang meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tepat, maka di dalam sebuah al-Hadits disebutkan ia akan rugi, tidak akan mencium bau surga. Dari sisi hukum positif, perceraian telah diatur melalu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa perceraian dilaksanakan melalui sebuah lembaga yaitu Pengadilan Agama. Pengadilan Agama berkedudukan di kota atau kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten tersebut.

Meski dasar terjadinya perceraian dari sisi agama maupun hukum positif telah jelas, namun patut untuk dipelajari secara mendalam mengapa perempuan, yang seringkali diidentikkan dengan kelompok masyarakat yang rentan dan tidak mandiri, ternyata berani mengambil keputusan untuk bercerai. Buku Ketika “Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim” secara jelas menunjukkan bahwa perempuan dengan berbagai

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimxviii

pertimbangan memilih untuk mengajukan cerai dibanding dengan meneruskan hidup dalam perkawinan yang tidak membahagiakan.

Penyebab perceraian bukanlah hal yang tunggal. Faktor ketidakcukupan ekonomi yang memicu pertengkaran, menjadi salah satu ciri bahwa perkawinan tidak lagi harmonis. Suami yang secara umum diposisikan sebagai kepala keluarga, tidak lagi memenuhi kewajibannya dan isteri merasa bahwa suami tidak lagi bertanggung jawab. Akumulasi faktor-faktor itulah yang menyebabkan terjadinya perceraian. Data di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menyebutkan hanya satu dari 14 faktor penyebab perceraian. Penelitian ini yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif, melalui wawancara mendalam, berhasil mengungkapkan secara lebih komprehensif penyebab terjadinya perceraian.

Alasan-alasan perempuan untuk bercerai itulah yang didalami dan merupakan salah satu focus penelitian ini, serta dampak social yang timbul dari perceraian itu. Jika merujuk pada perspektif teori pertukaran social (social exchange theory) dapat dijelaskan bahwa keberadaan dan daya tahan dari kelompok sosial seperti keluarga dapat terus bertahan jika kepentingan para anggota kelompk tersebut dapat terpenuhi. Individu-individu datang berkumpul di dalam kelompok-kelompok untuk memaksimalkan imbalan (rewards) yang didapat. Jika pengorbanan dari keanggotaan kelompok melebihi imbalan (reward), maka keanggotaan di dalam kelompok itu sudah tidak lagi suatu pilihan yang rasional. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Berdasarkan teori ini, ketika perempuan bersikap

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim xix

untuk memilih melepaskan dirinya dari ikatan keluarga melalui perceraian, maka ia tidak lagi merasa adanya keseimbagan antara unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).

Penelitian ini telah memilih tujuh daerah untuk diteliti yaitu Aceh, Padang, Indramayu, Brebes, Pekalongan, Tulung Agung dan Ambon. Selain karena ketujuh daerah tersebut memiliki kesamaan yaitu fenomena tingginya angka cerai gugat, tetapi dari sisi lain masing-masing daerah penelitian memiliki nilai-nilai budaya yang tentu sangat berpengaruh pada institusi perkawinan dan keluarga. Sebagai contoh di Aceh yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, ternyata banyak suami yang lebih mementingkan keluarga mereka sendiri ketimbang kepada istri dan anak-anaknya. Hal ii menjadi salah satu tingginya konflik di rumah tangga yang jika tidak dikelola Dapat menyebabkan perceraian termasuk cerai gugat. Sementara di wilayah penelitian Indramayu dicirikan dengan banyaknya perempuan yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Hubungan jarak jauh (long distance relationship) sangat rawan terjadinya pemutusan hubungan perkawinan melalui perceraian.

Meskipun perempuan memilih untuk bercerai, sesungguhnya perceraian bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Di beberapa daerah, status janda merupakah suatu aib, bahkan memiliki label negative dan tidak jarang menjadi bahan olok-olokan. Sebagai sebuah aib, maka tidak mudah untuk diceritakn kepada orang lain apalagi orang yang baru ditemui seperti peneliti. Karena itu, kami menyampaikan apresiasi kepada para peneliti yang telah berhasil menggali data secara mendalam dan melalukan proses trust building sehingga mampu mengungkap fenomena di balik perceraian tersebut.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimxx

Sebagai sebuah penelitian kebijakan, penelitian ini telah berhasil menyusun rekomendasi yang bisa segera ditindaklanjuti oleh stakeholder dalam hal ini Ditjen Bimas Islam. Penyusunan Modul Bimbingan Perkawinan yang pada tahun 2016 ini telah diprogramkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagaman bekerjasama dengan Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah. Modul tersebut direncanaan menjadi pegangan bagi para pelaksanana atau fasilitator bimbingan perkawinan dalam melaksanakan bimbingan perkawinan.

Terima kasih kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan H. Muharam Marzuki, Ph.D. dan Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D. atas arahan dan bimbingannya sehingga penelitian ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Apresiasi untuk para peneliti yang telah berhasil memperoleh data atau informasi mendalam terkait cerai gugat yang bagi sebagian orang mungkin sesuatu yang tidak menyenangkan untuk diceritakan kepada orang lain yang belum dikenal lama. Semoga hasil penelitian ini dapat memberi manfaat khususnya bagi kehidupan perempuan yang lebih baik di masa yang akan datang. Hanya kepada Allah kita memohon dan berserah diri.

Jakarta, September 2016 Dr. Hj. Kustini, M.Si Ida Rosidah, MA

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim xxi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ....................................... iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA ............................ v PROLOG ............................................................................ ix PRAKATA EDITOR ......................................................... xvii DAFTAR ISI ...................................................................... xix

CERAI GUGAT: MEGAPA PENTING DITELITI

- Angka Cerai Gugat yang Mendominasi....... 1

- Kajian Pustaka .................................................... 6

- Metode Penelitian .............................................. 18

MENGGAPAI ASA DI MEJA HIJAU, MEREBUT STATUS JANDA: MEMAHAMI TREN CERAI GUGAT DAN PERJUANGAN PEREMPUAN DI KOTA BANDA ACEH

Oleh: Iklilah Muzayyanah DF & Muchtar Siswoyo ... 21

FENOMENA PENINGKATAN CERAI GUGAT DI PADANG: INDIKASI KEBANGKITAN PEEMPUAN?

oleh: Dr. Wahidah R. Bulan, M.Si dan Lastriyah ....... 75

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslimxxii

TREND CERAI GUGAT DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI KOTA CILEGON PROVINSI BANTEN

oleh : Agus Mulyono dan Fatchan Kamal .................. 137

MEMAHAMI REALITAS TREN CERAI GUGAT DI INDRAMAYU

Oleh: Abd. Jamil Wahab & Fakhruddin ...................... 167

GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN (STUDI TENTANG DOMINASI CERAI GUGAT DI KOTA PEKALONGAN)

Oleh : Nur Rofiah & Kustini.......................................... 205

TREND CERAI GUGAT DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI KABUPATEN BANYUWANGI

Oleh: Zaenal Abidin dan Selamet .............................. 235

TREND CERAI GUGAT DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI KOTA AMBON

Oleh : I Nyoman Yoga Segara dan Dedi Djubaedi ... 281

INDEKS ........................................................................... 331

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 1

251.208 276.792

304.395 361.816 382.231

2010 2011 2012 2013 2014

Angka Perceraian (2010 -2014)

CERAI GUGAT: MENGAPA PENTING DITELITI

Angka Cerai Gugat yang Mendominasi:

Jumlah perceraian di Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan angka yang terus meningkat. Data tahun 2010- 2014 menunjukkan dari sekitar dua juta pasangan menikah, ada 15 % atau sekitar tiga ratus ribu pasangan yang melakukan perceraian di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Selain itu, tren perceraian naik dari tahun ke tahun. Berikut data perceraian yang diputus Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah seluruh Indonesia selama lima tahun berturut-turut.

Gambar 1 : Data Perceraian yang diputus Pengadilan Agama/Mahkaman Syar’iyah Agama se-Indonesia.

Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI, 2014

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim2

-

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

Alasan Perceraian (2010-2014)

Perceraian tersebut dapat dilakukan oleh suami maupun istri dengan berbagai alasan. Dari data perceraian yang ada di Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) RI, alasan tidak lagi ada keharmonisan menjadi angka terbesar. Kemudian disusul dengan alasan lainnya yaitu tidak adanya tanggung jawab, ekonomi, dan gangguan pihak ketiga.

Gambar 2: Data Alasan Perceraian 2010-2014

Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014

Data Badilag MA tersebut menjelaskan bahwa angka cerai gugat atau gugatan cerai yang diajukan pihak istri mengalami tren naik dan jumlahnya lebih besar dibanding cerai talak.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 3

81.535 85.779 91.800 111.456 113.850 169.673 191.013 212.595

250.360 268.381

2010 2011 2012 2013 2014

Perbandingan Cerai Talak & Cerai Gugat

Cerai Talak Cerai Gugat

Cerai Talak30%

Cerai Gugat70%

Persentase Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat Tahun 2014

Gambar 3 : Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat

Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014

Jika dibandingkan data cerai gugat dengan cerai talak di tahun 2014, jumlah cerai gugat lebih tinggi dibanding cerai talak, perbandingannya mencapai 70 : 30. Talak dan Cerai Gugat Tahun 2014

-

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

Alasan Perceraian (2010-2014)

Perceraian tersebut dapat dilakukan oleh suami maupun istri dengan berbagai alasan. Dari data perceraian yang ada di Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) RI, alasan tidak lagi ada keharmonisan menjadi angka terbesar. Kemudian disusul dengan alasan lainnya yaitu tidak adanya tanggung jawab, ekonomi, dan gangguan pihak ketiga.

Gambar 2: Data Alasan Perceraian 2010-2014

Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014

Data Badilag MA tersebut menjelaskan bahwa angka cerai gugat atau gugatan cerai yang diajukan pihak istri mengalami tren naik dan jumlahnya lebih besar dibanding cerai talak.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim4

Tingginya angka perceraian khususnya cerai gugat di masyarakat tentu perlu disikapi oleh pihak-pihak yang selama ini memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan perkawinan, khususnya Kementerian Agama.

Beberapa rujukan peraturan perundangan dalam masalah perkawinan dan perceraian diantaranya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah, terakhir oleh UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, serta UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Sejak berlakunya UU No 7/1989 seluruh masalah perceraian menjadi kewenangan Peradilan Agama, baik mengenai penanganan kasusnya maupun penerbitan Akta Cerainya. Peran KUA terkait perkawinan, kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan praperkawinan atau kursus calon pengantin (Suscatin).

Dalam sejarahnya, kebijakan tentang mediasi perceraian mengalami beberapa kali perubahan terutama terkait wewenang untuk melakukan mediasi perceraian. Jika sebelum berlakunya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa proses mediasi dilakukan oleh KUA dan Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4), maka setelah berlakunya UU Perkawinan proses mediasi dilakukan oleh Pengadilan Agama yang saat itu masih di bawah Kementerian Agama dan BP4. Setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, maka mediasi perceraian itu tetap dilakukan oleh Pengadilan Agama namun berada di bawah MA, dimana proses mediasi dijembatani oleh seorang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 5

hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama tersebut. Namun demikian, berdasarkan PERMA No 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi, BP4 tetap dilibatkan dalam proses mediasi pasangan yang mengajukan perceraian ke PA.

Dengan begitu, kewenangan Kementerian Agama kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta melakukan bimbingan perkawinan yang biasanya dilakukan melalui pembekalan terhadap calon pengantin, dan tidak lagi berwenang memediasi sebagai upaya antisipasi terhadap perceraian. Bahkan kini Kementerian Agama telah mengeluarkan peraturan bahwa kursus calon pengantin (Suscatin) bisa dilakukan oleh lembaga lain di luar Kementerian Agama yang sudah mendapat sertifikasi dari Kementerian Agama. Dengan kewenangan yang semakin terbatas tersebut, maka Kementerian Agama dituntut untuk lebih maksimal dalam merancang dan menetapkan kebijakan terkait pembinaan perkawinan sehingga dapat lebih efektif dan efisien.

Berdasarkan uraian tersebut, penting dilakukan kajian tentang mengapa tren cerai gugat di masyarakat semakin meningkat? faktor-faktor apa yang melatarbelakangi munculnya tren tersebut? apa saja alasan-alasan istri melakukan cerai gugat? bagaimana peran keluarga dan kerabat dekat dan struktur sosial yang ada untuk meminimalisir tingginya cerai gugat? dan bagaimana proses cerai gugat itu berlangsung? Hasil kajian tersebut merupakan informasi yang sangat penting untuk menjadi masukan bagi Kementerian Agama dalam menetapkan kebijakan terkait penasehatan pra-nikah maupun pembinaan perkawinan secara umum. Mengingat terbatasnya kewenangan Kementerian Agama dalam memediasi perceraian, maka

Tingginya angka perceraian khususnya cerai gugat di masyarakat tentu perlu disikapi oleh pihak-pihak yang selama ini memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan perkawinan, khususnya Kementerian Agama.

Beberapa rujukan peraturan perundangan dalam masalah perkawinan dan perceraian diantaranya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah, terakhir oleh UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, serta UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Sejak berlakunya UU No 7/1989 seluruh masalah perceraian menjadi kewenangan Peradilan Agama, baik mengenai penanganan kasusnya maupun penerbitan Akta Cerainya. Peran KUA terkait perkawinan, kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan praperkawinan atau kursus calon pengantin (Suscatin).

Dalam sejarahnya, kebijakan tentang mediasi perceraian mengalami beberapa kali perubahan terutama terkait wewenang untuk melakukan mediasi perceraian. Jika sebelum berlakunya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa proses mediasi dilakukan oleh KUA dan Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4), maka setelah berlakunya UU Perkawinan proses mediasi dilakukan oleh Pengadilan Agama yang saat itu masih di bawah Kementerian Agama dan BP4. Setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, maka mediasi perceraian itu tetap dilakukan oleh Pengadilan Agama namun berada di bawah MA, dimana proses mediasi dijembatani oleh seorang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim6

dibutuhkan revitalisasi dan strategi khusus dalam menjalankan perannya sebagai lembaga yang melakukan penasehatan dan pembinaan perkawinan.

Dari sekian banyak permasalahan terkait dengan cerai gugat, penelitian ini membatasi pada beberapa fokus permasalahan. Pembatasan fokus permasalahan dianggap penting agar dapat menggali data secara mendalam dan komprehensif. Fokus permasalahan dimaksud adalah: (1) Apa alasan-alasan istri sehingga memutuskan untuk melakukan cerai gugat?; (2) Bagaimana dampak cerai gugat terhadap anggota keluarga pasangan tersebut? Dan (3) Bagaimana struktur sosial merespon terjadinya cerai gugat?

Sejalan dengan fokus permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan dalam 3 hal: (1) Menemukan alasan-alasan dari pihak istri sehingga memutuskan untuk melakukan cerai gugat; (2) Mendeskripsikan dampak dari cerai gugat terhadap anggota keluarga pasangan tersebut; dan (3). Mendeskripsikan respon struktur sosial dalam peristiwa cerai gugat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kementerian Agama dalam menetapkan kebijakan terkait penasihatan maupun pembinaan perkawinan. Diharapkan juga dapat dimanfaatkan oleh kementerian/lembaga lain yang berkepentingan dengan data perceraian.

Kajian Pustaka

1. Cerai (Talak) dalam Islam

Cerai dalam bahasa Arab adalah talak, yang artinya melepaskan ikatan atau hallu al-‘aqdi. Secara istilah pengertian

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 7

cerai atau talak adalah pemutusan hubungan perkawinan antara suami istri, dengan mempergunakan kata-kata “talak” atau yang sama maksudnya dengan itu. Dasar hukum talak adalah firman Allah, yaitu: .

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…… (QS. al-Baqarah: 229).

Selain firman Allah tersebut, talak terdapat dalam beberapa ayat al-Quran antara lain QS. al-Baqarah: 230, 236, dan 237. Selain nash al-Quran, hukum tentang talak juga terdapat dalam Hadits Nabi riwayat Abu Daud dan Al-Hakim (shahih) dari Ibnu Umar: “abghadul al-halal ila Allah ‘azza wa jalla at-Tahalaqu” artinya: “Yang paling dibenci Allah dari yang halal adalah talak.”Ayat al-Quran dan al-Hadits tersebut di atas, menunjukkan adanya hukum talak menurut ajaran Islam. Dan para ulama ijma’ mengakuinya, sehingga tidak ada ikhtilaf di antara mereka (Said, 1993: 4).

Dalam Islam, talak itu adalah hak seorang suami di mana suami dapat menjatuhkannya kapanpun dia mau, tetapi menjatuhkan talak kepada istri tidak termasuk sikap yang terpuji dan amat tidak disukai, karena hal itu termasuk kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan kufur nikmat itu tercela dan dilarang. Sebagaimana disebutkan dalam QS. an-Nisa: 19:

Artinya: “...Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, menjatuhkan talak itu tidak halal, kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat (Said, 1993: 6).

dibutuhkan revitalisasi dan strategi khusus dalam menjalankan perannya sebagai lembaga yang melakukan penasehatan dan pembinaan perkawinan.

Dari sekian banyak permasalahan terkait dengan cerai gugat, penelitian ini membatasi pada beberapa fokus permasalahan. Pembatasan fokus permasalahan dianggap penting agar dapat menggali data secara mendalam dan komprehensif. Fokus permasalahan dimaksud adalah: (1) Apa alasan-alasan istri sehingga memutuskan untuk melakukan cerai gugat?; (2) Bagaimana dampak cerai gugat terhadap anggota keluarga pasangan tersebut? Dan (3) Bagaimana struktur sosial merespon terjadinya cerai gugat?

Sejalan dengan fokus permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan dalam 3 hal: (1) Menemukan alasan-alasan dari pihak istri sehingga memutuskan untuk melakukan cerai gugat; (2) Mendeskripsikan dampak dari cerai gugat terhadap anggota keluarga pasangan tersebut; dan (3). Mendeskripsikan respon struktur sosial dalam peristiwa cerai gugat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kementerian Agama dalam menetapkan kebijakan terkait penasihatan maupun pembinaan perkawinan. Diharapkan juga dapat dimanfaatkan oleh kementerian/lembaga lain yang berkepentingan dengan data perceraian.

Kajian Pustaka

1. Cerai (Talak) dalam Islam

Cerai dalam bahasa Arab adalah talak, yang artinya melepaskan ikatan atau hallu al-‘aqdi. Secara istilah pengertian

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim8

Jika istri yang meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tepat, maka di dalam sebuah al-Hadits disebutkan ia akan rugi, dan tidak akan mencium bau surga. Dalam sebuah al-Hadits yang diriwayatkan oleh Ash-Habus Sunan dan dihasankan oleh Turmudzi, Rasulallah bersabda:

Artinya: “Siapa saja wanita meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab (yang dibenarkan), maka haram atasnya bau surga” (Fiqhus Sunnah, Juz II, hal 207).

Namun demikian, di dalam Islam juga dikenal hukum khulu’ yaitu perceraian suami-istri dengan tebusan atau imbalan dari istri kepada suami. Dalil adanya khulu’ terdapat dalam QS. an-Nisa: 4, dan QS al-Baqarah: 229. Di samping nash al-Quran itu, terdapat pula al-Hadits riwayat al-Bukhari dan an-Nasai dari Ibnu Abbas, bahwa Istri Tsabit bin Qis bin Syams telah mendatangi Rasulallah dan berkata: “Rasulallah, saya tidak ingin bercerai dengan suami saya karena buruk perangainya dan tidak pula karena kekurangan agamanya, tetapi saya tidak menyukai kekafiran dalam Islam.” Rasulallah bersabda: ”Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu kepadanya?” Wanita itu menjawab: “Ya, mau”. Maka Rasulallah pun bersabda kepada Tsabit bin Qid: “Terimalah kebun itu dan talakkan dia dengan talak satu.” Dalam beberapa keterangan dijelaskan, bahwa alasan istri Tsabit ingin bercerai adalah karena ia tak menyukai Tsabit secara fisik , dan ia khawatir akan berbuat durhaka kepada suaminya apabila terus hidup berdampingan (Said: 1993: 98-99).

2. Perceraian dalam Peraturan Perundangan

Dalam UU No. 1 Tahun 1974, perceraian disebutkan sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan putusnya sebuah perkawinan. Dengan demikian, perceraian diakui

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 9

dalam hukum peraturan perundangan, sedangkan tata cara perceraian telah diatur dalam UU perkawinan tersebut yaitu pada Pasal 39, yang memuat di antaranya yaitu : (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun kembali sebagai suami isteri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.

Terkait teknis pengajuan perceraian dijelaskan secara lebih rinci pada Pasal 40 yaitu: (1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2) Tata cara mengajukan gugatan sebagaimana tertera pada ayat (1) bahwa pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Dalam hukum Islam, telah dijelaskan bahwa perceraian disebut talak. Hak talak pada dasarnya hanya dimiliki suami, sehingga hanya suami yang dapat mengendalikan talak. Sementara itu, seorang istri tidak memiliki hak untuk talak. Namun demikian dalam Islam juga terdapat kasus khulu’, di mana perempuan bisa mengajukan perceraian karena alasan tertentu. Dalam rangka melindungi hak-hak istri dari adanya unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam suatu perkawinan, terutama adanya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, psikis maupun ekonomi, maka dalam hukum perkawinan di Indonesia, dikenal adanya cerai yang diajukan oleh pihak istri ke Pengadilan Agama yang dikenal dengan istilah cerai gugat.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 20 disebutkan bahwa gugat cerai diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang

Jika istri yang meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tepat, maka di dalam sebuah al-Hadits disebutkan ia akan rugi, dan tidak akan mencium bau surga. Dalam sebuah al-Hadits yang diriwayatkan oleh Ash-Habus Sunan dan dihasankan oleh Turmudzi, Rasulallah bersabda:

Artinya: “Siapa saja wanita meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab (yang dibenarkan), maka haram atasnya bau surga” (Fiqhus Sunnah, Juz II, hal 207).

Namun demikian, di dalam Islam juga dikenal hukum khulu’ yaitu perceraian suami-istri dengan tebusan atau imbalan dari istri kepada suami. Dalil adanya khulu’ terdapat dalam QS. an-Nisa: 4, dan QS al-Baqarah: 229. Di samping nash al-Quran itu, terdapat pula al-Hadits riwayat al-Bukhari dan an-Nasai dari Ibnu Abbas, bahwa Istri Tsabit bin Qis bin Syams telah mendatangi Rasulallah dan berkata: “Rasulallah, saya tidak ingin bercerai dengan suami saya karena buruk perangainya dan tidak pula karena kekurangan agamanya, tetapi saya tidak menyukai kekafiran dalam Islam.” Rasulallah bersabda: ”Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu kepadanya?” Wanita itu menjawab: “Ya, mau”. Maka Rasulallah pun bersabda kepada Tsabit bin Qid: “Terimalah kebun itu dan talakkan dia dengan talak satu.” Dalam beberapa keterangan dijelaskan, bahwa alasan istri Tsabit ingin bercerai adalah karena ia tak menyukai Tsabit secara fisik , dan ia khawatir akan berbuat durhaka kepada suaminya apabila terus hidup berdampingan (Said: 1993: 98-99).

2. Perceraian dalam Peraturan Perundangan

Dalam UU No. 1 Tahun 1974, perceraian disebutkan sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan putusnya sebuah perkawinan. Dengan demikian, perceraian diakui

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim10

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Sementara alasan-alasan perceraian disebutkan oleh UU tersebut dalam Pasal 19, yaitu a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c) salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri; f) antara suami dan istri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian, berdasarkan peraturan dan perundangan yang ada, perceraian di samping dapat dilakukan oleh suami (cerai talak) juga dapat dilakukan oleh istri (cerai gugat). Selain itu, gugat cerai juga terdapat dalam KHI Pasal 114, yang selengkapnya berbunyi, “Putusnya perkawinan yang disebabkan perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Selanjutnya dalam Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam dijelaskan, “Perceraian dapat terjadi karena alasan suami melanggar ta’lik talak dan tidak sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran ta’lik talak.” Dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan itu, apabila seorang istri ingin bercerai dengan suaminya, tentu saja dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Perceraian yang diajukan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 11

oleh istri ke pengadilan inilah yang selanjutnya disebut sebagai cerai gugat.

3. Landasan Teori

Kerangka teoritik yang dapat dipakai untuk melihat adanya disharmoni dalam keluarga adalah teori Fungsionalisme Struktural. Teori ini dikembangkan antara lain oleh Parson (1937) dan Merton (1957). Parson dalam teorinya menyebut empat faktor penting yang mempengaruhi tindakan individu, yaitu: 1) organisme prilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi diri dengan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan eksternal; 2) sistem kepribadian adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuannya; 3) sistem sosial yaitu sistem tindakan yang melaksanakan fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya; dan 4) sistem kultur ialah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak (Ritzer. 2004: 121-122). Teori Fungsionalisme melihat bahwa masyarakat seperti organisme hidup. Setiap organ yang ada dalam organisme itu senantiasa harus berfungsi terhadap yang lain. Apabila terdapat organ yang sakit maka organ tubuh lainnya akan terganggu dan tidak berfungsi dengan baik. Fungsionalisme menjelaskan bahwa masyarakat merupakan struktur sosial yang memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi serta masing-masing memiliki fungsi tersendiri terhadap anggota keluarga dan masyarakat. Apabila struktur sosial ini tidak berfungsi, struktrul sosial akan mengalami gangguan dan hilang dengan sendirinya. Begitu juga terhadap keluarga,

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Sementara alasan-alasan perceraian disebutkan oleh UU tersebut dalam Pasal 19, yaitu a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c) salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri; f) antara suami dan istri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian, berdasarkan peraturan dan perundangan yang ada, perceraian di samping dapat dilakukan oleh suami (cerai talak) juga dapat dilakukan oleh istri (cerai gugat). Selain itu, gugat cerai juga terdapat dalam KHI Pasal 114, yang selengkapnya berbunyi, “Putusnya perkawinan yang disebabkan perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Selanjutnya dalam Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam dijelaskan, “Perceraian dapat terjadi karena alasan suami melanggar ta’lik talak dan tidak sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran ta’lik talak.” Dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan itu, apabila seorang istri ingin bercerai dengan suaminya, tentu saja dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Perceraian yang diajukan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim12

apabila tidak mampu menjalankan fungsinya, maka keluarga itu akan mengalami goncangan/disharmoni sampai kepada perpecahan. Dalam fungsionalisme terdapat anggapan dasar bahwa masyarakat, termasuk di dalamnya keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, haruslah dilihat sebagai bagian yang saling berhubungan satu dan lainnya; hubungan-hubungan itu dapat terjadi dalam hubungan asosiatif yang terdiri dari kerjasama, akomodasi, dan asimilasi atau disasiosiatif, yaituterdiri dari persaingan, kontroversi, dan pertentangan (Liliweri. 2005: 135-192).

Cerai gugat mulai meningkat secara tajam melebihi cerai talak sejak tahun 2007. Keberanian perempuan menggugat cerai menjadi indikator semakin “beraninya” perempuan mendobrak mitos. Wong (1976) mengungkapkan, “Ketika masih gadis, perempuan selalu menurut dan tergantung pada ayahnya, ketika menikah ia tergantung pada suaminya, dan ketika menjadi janda sekalipun ia tetap harus menurut dan tergantung pada anak laki-lakinya. Perempuan baru bisa ‘berbicara’ ketika ia menjadi mertua” (Wong, 1976: 15).

Keberanian dan kemampuan untuk hidup mandiri, juga menjadi pemicu penting ketika perempuan harus menggugat cerai suaminya. Sebab dalam masyarakat patriarki, sebenarnya terdapat ketidaksetaraan (inequal) antara laki-laki dengan perempuan. Sistem patriarki telah begitu berurat akar dalam struktur masyarakat kita, sehingga penolakan terhadap ketidakadilan gender dianggap sebagai ancaman terhadap struktur sosial yang telah mapan dan menjadi kesepakatan bersama (Mose, J.C. 1996).

Sementara itu Ihromi (1995) mengatakan bahwa peran pokok perempuan dalam sebuah kebudayaan dibagi ke dalam tiga hal. Pertama, peran produktif yang menyangkut

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 13

pendapatan demi kelangsungan hidup keluarga, tanpa perempuan harus mendapat gaji selayaknya, seperti bertani dan berdagang. Kedua, peran reprodutif, peran yang menyangkut kelangsungan hidup manusia dalam keluarga, seperti melahirkan; menyusui; memasak dan beberapa pekerjaan domestik lainnya. Ketiga, peran sosial, yakni peran yang terkait dengan hubungan komunal luar/sosialisasi.

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Badilag MA, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perceraian. Faktor tertinggi adalah ketidakharmonisan. Ini menjadi menarik karena ketidakharmonisan itu merupakan problem limitatif. Pada masa lalu orang cenderung mencari harmoni, sehingga mereka selalu mencoba menemukan harmoni dalam disharmoni. Ini artinya, pasangan suami istri (pasutri) saat ini cenderung memaknai disharmoni dalam makna yang ‘terbatas’. Sedikit masalah saja, kemudian memudahkan orang untuk mengambil keputusan bercerai. Ini yang harus digali, bagaimana seseorang itu memberi makna tentang disharmoni. Bisa jadi pada masa-masa lalu, keluarga memang tidak dimulai dari pondasi cinta, karena orang Jawa begitu patuh dengan orang tua dan para tetua di masyarakat. Menurut Geertz (1983), pertengkaran antara suami dan istri biasanya tidak meledak-ledak. Pasangan suami istri mencoba untuk memendam konflik antar mereka sehingga tetangga dan anak-anak tidak mengetahui pertengkaran tersebut. Ketika temperamen meninggi, Geertz (1983) menemukan bahwa pasangan suami istri lebih memilih cara satru, yaitu bentuk ekspresi diam, di mana pasangan suami istri tersebut tidak saling berbicara selama beberapa hari, satu minggu atau lebih. Kontak langsung jarang digunakan untuk mendamaikan perbedaan. Untuk menyelesaikan masalah suami istri, diperlukan seorang atau beberapa mediator, yang biasanya

apabila tidak mampu menjalankan fungsinya, maka keluarga itu akan mengalami goncangan/disharmoni sampai kepada perpecahan. Dalam fungsionalisme terdapat anggapan dasar bahwa masyarakat, termasuk di dalamnya keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, haruslah dilihat sebagai bagian yang saling berhubungan satu dan lainnya; hubungan-hubungan itu dapat terjadi dalam hubungan asosiatif yang terdiri dari kerjasama, akomodasi, dan asimilasi atau disasiosiatif, yaituterdiri dari persaingan, kontroversi, dan pertentangan (Liliweri. 2005: 135-192).

Cerai gugat mulai meningkat secara tajam melebihi cerai talak sejak tahun 2007. Keberanian perempuan menggugat cerai menjadi indikator semakin “beraninya” perempuan mendobrak mitos. Wong (1976) mengungkapkan, “Ketika masih gadis, perempuan selalu menurut dan tergantung pada ayahnya, ketika menikah ia tergantung pada suaminya, dan ketika menjadi janda sekalipun ia tetap harus menurut dan tergantung pada anak laki-lakinya. Perempuan baru bisa ‘berbicara’ ketika ia menjadi mertua” (Wong, 1976: 15).

Keberanian dan kemampuan untuk hidup mandiri, juga menjadi pemicu penting ketika perempuan harus menggugat cerai suaminya. Sebab dalam masyarakat patriarki, sebenarnya terdapat ketidaksetaraan (inequal) antara laki-laki dengan perempuan. Sistem patriarki telah begitu berurat akar dalam struktur masyarakat kita, sehingga penolakan terhadap ketidakadilan gender dianggap sebagai ancaman terhadap struktur sosial yang telah mapan dan menjadi kesepakatan bersama (Mose, J.C. 1996).

Sementara itu Ihromi (1995) mengatakan bahwa peran pokok perempuan dalam sebuah kebudayaan dibagi ke dalam tiga hal. Pertama, peran produktif yang menyangkut

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim14

adalah orang tua dari satu atau kedua belah pihak. Nilai inilah yang saat ini mulai berubah.

Faktor berikutnya adalah tidak adanya tanggung jawab dan ekonomi. Arus utama gender sebenarnya menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan itu seimbang, sederajat. Ketika kata ‘tidak bertanggung jawab’ itu muncul, umumnya ditimpakan kepada laki-laki. Maka fenomena ini menjadi menarik untuk mengkritisi kembali arus utama gender. Bagaimana ‘tanggung jawab’ menafkahi secara ekonomi itu menjadi hal yang ditimpakan laki-laki. Akibatnya makna ‘tidak bertanggung jawab’ umumnya ditimpakan laki-laki.

Faktor lain yang menyebabkan perceraian adalah gangguan pihak ketiga. Faktor ini ditengarai lebih banyak merupakan persoalan gaya hidup. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota, tetapi juga sudah merambah ke wilayah pedesaan , tidak hanya terjadi pada pasangan usia muda, tetapi juga pasangan-pasangan yang sudah cukup lama menikah. Pada persoalan ini, sangat mungkin dipengaruhi oleh dampak hadirnya media komunikasi, baik televisi, telfon seluler, dan media sosial. Berbagai sarana komunikasi tersebut menyebabkan komunikasi individu dengan individu lain semakin lebih mudah.

Berdasarkan uraian di atas, di mana tren cerai gugat terjadi di dalam budaya patriarki yang sangat kuat, maka upaya untuk mengadvokasi perempuan menjadi penting. Untuk itu, riset ini diarahkan kepada perempuan yang melakukan cerai gugat sehingga dapat menjadi bagian dari upaya advokasi terhadap perempuan. Selain itu, dalam teori Fungsionalisme dinyatakan bahwa untuk menuju integrasi sosial, masyarakat (keluarga) sesungguhnya bergerak ke arah equilibrium (keseimbangan) yang bersifat dinamis, sementara

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 15

itu, nilai-nilai agama secara normatif juga ‘membenci’ perceraian, maka penelitian ini juga diarahkan untuk melihat sejauh mana struktur sosial yang ada dalam keluarga selama ini bergerak ke arah equilibrium tersebut.

4. Kajian Terdahulu

Penelitian tentang perceraian telah dilakukan oleh beberapa lembaga maupun individu, berikut ini beberapa penelitian terdahulu, baik penelitian perceraian secara umum maupun cerai gugat secara khusus, antara lain yaitu, pertama, penelitian “Kemajuan terbaru dalam Perceraian di Indonesia: Idealisme perkembangan dan Pengaruh Perubahan Politik”, yang dilakukan oleh M. Cammack, T. Heaton (2011). Heaton dkk (2001) dalam kajian sebelumnya menyebutkan bahwa dinamika yang mendasari perubahan perilaku keluarga di Indonesia telah bergeser dari waktu ke waktu. Tren perceraian di Indonesia pada abad ke-20 telah menarik perhatian masyarakat Barat. Sementara kekuatan-kekuatan sosial yang terkait dengan modernisasi menghasilkan kenaikan yang dramatis dalam masyarakat. Bukti terakhir, menunjukkan bahwa tren perceraian telah berbalik arah di Indonesia, sehingga tingkat perceraian mulai meningkat cukup signifikan. Kemungkinan faktor-faktor sosial tertentu telah menggeser tingkat perceraian seperti hubungan antara kekerabatan, kondisi ekonomi, tingkat pendidikan, tinggal di perkotaan/pedesaan, agama dan usia saat pernikahan. Secara khusus, faktor usia saat menikah pertama kali dan latar pendidikan merupakan prediktor utama bagi stabilitas perkawinan. Hasil penelitian kuantitatif menunjukan adanya peningkatan angka perceraian dimulai sejak akhir 1990-an dan awal 2000-an. Kenaikan jumlah perceraian tampaknya terjadi dalam spektrum yang luas di Indonesia. Sementara analisis

adalah orang tua dari satu atau kedua belah pihak. Nilai inilah yang saat ini mulai berubah.

Faktor berikutnya adalah tidak adanya tanggung jawab dan ekonomi. Arus utama gender sebenarnya menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan itu seimbang, sederajat. Ketika kata ‘tidak bertanggung jawab’ itu muncul, umumnya ditimpakan kepada laki-laki. Maka fenomena ini menjadi menarik untuk mengkritisi kembali arus utama gender. Bagaimana ‘tanggung jawab’ menafkahi secara ekonomi itu menjadi hal yang ditimpakan laki-laki. Akibatnya makna ‘tidak bertanggung jawab’ umumnya ditimpakan laki-laki.

Faktor lain yang menyebabkan perceraian adalah gangguan pihak ketiga. Faktor ini ditengarai lebih banyak merupakan persoalan gaya hidup. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota, tetapi juga sudah merambah ke wilayah pedesaan , tidak hanya terjadi pada pasangan usia muda, tetapi juga pasangan-pasangan yang sudah cukup lama menikah. Pada persoalan ini, sangat mungkin dipengaruhi oleh dampak hadirnya media komunikasi, baik televisi, telfon seluler, dan media sosial. Berbagai sarana komunikasi tersebut menyebabkan komunikasi individu dengan individu lain semakin lebih mudah.

Berdasarkan uraian di atas, di mana tren cerai gugat terjadi di dalam budaya patriarki yang sangat kuat, maka upaya untuk mengadvokasi perempuan menjadi penting. Untuk itu, riset ini diarahkan kepada perempuan yang melakukan cerai gugat sehingga dapat menjadi bagian dari upaya advokasi terhadap perempuan. Selain itu, dalam teori Fungsionalisme dinyatakan bahwa untuk menuju integrasi sosial, masyarakat (keluarga) sesungguhnya bergerak ke arah equilibrium (keseimbangan) yang bersifat dinamis, sementara

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim16

kualitatif menunjukkan bahwa media dan meningkatnya penekanan pada hak-hak perempuan telah memainkan peran penting dalam peningkatan angka perceraian. Temuan dari tulisan ini konsisten dengan gagasan bahwa keyakinan termasuk dalam 'perkembangan idealisme' yang dapat menjelaskan naik turunnya angka perceraian di Indonesia. Dampak sosial dari perceraian mempengaruhi perilaku keluarga. Meskipun hal ini sering juga tergantung pada struktur yang sudah ada dan pengaturan ideologis terhadap mereka. Pada konteks sistem awal perjodohan, peningkatan pendidikan memiliki efek mengurangi pengaruh orang tua terhadap kehidupan anak-anak mereka yang akhirnya menghasilkan perkawinan yang lebih stabil (Asian Journal of Social Science 39. 2011: 776–796).

Kedua, penelitian “Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pengambilan Keputusan Seorang Isteri untuk Mengajukan Gugatan Cerai”. Penelitian dilakukan oleh Dewi Permatasari, dalam skripsinya di Program Studi Psikologi Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang (2009). Angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini juga disertai dengan munculnya fenomena bahwa “istri” yang lebih banyak mengajukan gugatan perceraian dibandingkan dengan suami. Para perempuan ini memiliki alasan yang berbeda untuk mengakhiri pernikahannya. Keputusan seorang istri untuk mengakhiri pernikahannya merupakan suatu bentuk kesadaraan akan kesetaraan gender di mana perempuan tidak ingin dianggap sebagai kelas kedua dalam perkawinan akan tetapi sebagai individu yang memiliki hak dan kesetaraan yang sama dengan kaum laki-laki. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang meneliti dan mengkaji masalah secara obyektif sebagaimana adanya tanpa ada

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 17

manipulasi atau memberikan perlakuan pada variabel tertentu. Penelitian ini merupakan penelitian expost facto yang meneliti peristiwa yang telah terjadi, kemudian merunut ke belakang melalui data yang diperoleh untuk menemukan faktor-faktor yang mendahului dan menentukan sebab yang mungkin dari peristiwa yang diteliti.

Ketiga, penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang” oleh Wahyu Ernaningsih dan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, tahun 2009. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris/non doktrinal yang salah satu tujuannya adalah untuk menganalisis dan memberikan jawaban tentang efektifitas bekerjanya seluruh struktur institusional hukum. Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari sumber pertama meliputi aparat penegak hukum, masyarakat, dan aktivis perempuan Kota Palembang. Sementara, data sekunder didapat melalui studi kepustakaan sebagai data pendukung. Tingkat perceraian di kota Palembang dalam kurun waktu lima tahun (2004-2008) cenderung mengalami peningkatan. Misalnya, 70% dari perkara cerai yang masuk di Pengadilan Agama Palembang adalah gugat cerai. Adapun faktor penyebab gugat cerai adalah faktor ekonomi, penghasilan istri lebih besar dari suami; KDRT, poligami, ketidakadilan, dan campur tangan keluarga. Ketidakadilan bagi perempuan yang akan menggugat cerai adalah masalah ekonomi, kurangnya pengetahuan tentang proses perceraian dan faktor budaya .

Berbeda dengan beberapa penelitian tersebut yang lebih menyoroti pada faktor-faktor penyebab perceraian, penelitian tren cerai gugat ini lebih fokus pada alasan dibalik keputusan perempuan melakukan cerai gugat, meskipun penelitian Dewi

kualitatif menunjukkan bahwa media dan meningkatnya penekanan pada hak-hak perempuan telah memainkan peran penting dalam peningkatan angka perceraian. Temuan dari tulisan ini konsisten dengan gagasan bahwa keyakinan termasuk dalam 'perkembangan idealisme' yang dapat menjelaskan naik turunnya angka perceraian di Indonesia. Dampak sosial dari perceraian mempengaruhi perilaku keluarga. Meskipun hal ini sering juga tergantung pada struktur yang sudah ada dan pengaturan ideologis terhadap mereka. Pada konteks sistem awal perjodohan, peningkatan pendidikan memiliki efek mengurangi pengaruh orang tua terhadap kehidupan anak-anak mereka yang akhirnya menghasilkan perkawinan yang lebih stabil (Asian Journal of Social Science 39. 2011: 776–796).

Kedua, penelitian “Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pengambilan Keputusan Seorang Isteri untuk Mengajukan Gugatan Cerai”. Penelitian dilakukan oleh Dewi Permatasari, dalam skripsinya di Program Studi Psikologi Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang (2009). Angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini juga disertai dengan munculnya fenomena bahwa “istri” yang lebih banyak mengajukan gugatan perceraian dibandingkan dengan suami. Para perempuan ini memiliki alasan yang berbeda untuk mengakhiri pernikahannya. Keputusan seorang istri untuk mengakhiri pernikahannya merupakan suatu bentuk kesadaraan akan kesetaraan gender di mana perempuan tidak ingin dianggap sebagai kelas kedua dalam perkawinan akan tetapi sebagai individu yang memiliki hak dan kesetaraan yang sama dengan kaum laki-laki. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang meneliti dan mengkaji masalah secara obyektif sebagaimana adanya tanpa ada

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim18

Permatasari di atas, juga menyebut alasan keputusan perempuan melakukan cerai gugat, namun karena pendekatan yang dilakukan adalah kuantitaif maka belum banyak mengungkap secara lebih jauh latar belakang keputusan perempuan melakukan cerai gugat. Penelitian ini juga ingin menggali sejauh mana sistem yang mempengaruhi perilaku individu dalam paradigma fungsionalisme-struktural, seperti struktur sosial, sistem sosial, kepribadian, dan organisme sosial, berkontribusi pada keputusan perempuan melakukan cerai gugat. Penelitian ini juga akan mengkaji struktur sosial yang ada, di antaranya nilai-nilai dan norma agama, adat, dan sistem hukum), peran-peran lembaga sosial seperti BP4, penghulu (KUA), keluarga/kerabat, dan unsur lainnya dalam mencegah atau mendorong terjadinya cerai gugat.

Metode Penelitian

Penelitian ini meggunakan pendekatan kualitatif. Istrumen utama dalam pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Untuk wawancara, informan yang dilibatkan dalam penggalian data terdiri dari key informan yaitu istri sebagai pelaku cerai gugat. Selain key informan, beberapa pihak akan dijadikan sebagai narasumber yaitu, suami sebagai pasangan yang dicerai dengan cerai gugat, unsur keluarga dekat yang mendampingi proses cerai gugat, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat struktural Pengadilan Agama terdiri dari Hakim dan petugas mediasi dan mediator dari pihak BP4 yang mendampingi pasangan yang mengajukan perceraian (cerai gugat), serta pejabat Kankemenag yang terdiri dari unsur staf dan pejabat KUA/penghulu yang sebelumnya menangani

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 19

penasehatan/bimbingan pernikahanpernikahan. Sementara untuk data pendukung diperoleh dari review berbagai buku, hasil penelitian, dokumen, dan laporan, baik dari institusi kementerian agama serta pemerintah daerah terkait objek penelitian. Krteria key informan adalah perempuan yang telah mengajukan gugat cerai paling lama 3 tahun dihitung dari waktu penelitian dilaksanakan. Usia perkawinan ketika terjadi perceraian adalah 1-5 tahun masa perkawinan. Adapun kriteria narasumber adalah mereka yang mengetahui permasalahan seputar kehidupan pasangan yang melakukan cerai gugat.

Dalam laporan Badilag MA (2014) terdapat daerah-daerah yang merupakan daerah yang memiliki angka tertinggi dalam kasus cerai gugat yaitu: Jawa Timur (63.406 kasus), Jawa Tengah (54.786 kasus), Jawa Barat (51.731 kasus), Selawesi Selatan (10.003 kasus), DKI Jakarta (8.426 kasus), Sumatera Utara (7.920 kasus), Riau (7.399 kasus), dan Banten (6.582 kasus). Lokus penelitian ini adalah 8 daerah, yaitu terdiri dari 4 daerah yang merupakan daerah tertinggi angka perceraiannya berdasarkan data yang dikeluarkan Badilag MA di tahun 2014 di atas, yaitu: Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. Di samping 4 daerah itu, ada 3 daerah lain yang dijadikan lokasi penelitian karena memiliki aspek budaya yang khas yaitu: Sumatera Utara (patrilineal), Sumatera Barat (matrilineal) dan Maluku (Indonesia Timur).

Penelitian lapangan dilakukan pada bulan April 2015. Setelah pengumpulan data melalui kajian di lapangan, selanjutnya dilakukan analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia. Pendekatan yang digunakan dalam analisis data adalah bersifat induktif yaitu melalui reduksi data, pengelompokkan, dan ketegorisasi data, dengan

Permatasari di atas, juga menyebut alasan keputusan perempuan melakukan cerai gugat, namun karena pendekatan yang dilakukan adalah kuantitaif maka belum banyak mengungkap secara lebih jauh latar belakang keputusan perempuan melakukan cerai gugat. Penelitian ini juga ingin menggali sejauh mana sistem yang mempengaruhi perilaku individu dalam paradigma fungsionalisme-struktural, seperti struktur sosial, sistem sosial, kepribadian, dan organisme sosial, berkontribusi pada keputusan perempuan melakukan cerai gugat. Penelitian ini juga akan mengkaji struktur sosial yang ada, di antaranya nilai-nilai dan norma agama, adat, dan sistem hukum), peran-peran lembaga sosial seperti BP4, penghulu (KUA), keluarga/kerabat, dan unsur lainnya dalam mencegah atau mendorong terjadinya cerai gugat.

Metode Penelitian

Penelitian ini meggunakan pendekatan kualitatif. Istrumen utama dalam pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Untuk wawancara, informan yang dilibatkan dalam penggalian data terdiri dari key informan yaitu istri sebagai pelaku cerai gugat. Selain key informan, beberapa pihak akan dijadikan sebagai narasumber yaitu, suami sebagai pasangan yang dicerai dengan cerai gugat, unsur keluarga dekat yang mendampingi proses cerai gugat, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat struktural Pengadilan Agama terdiri dari Hakim dan petugas mediasi dan mediator dari pihak BP4 yang mendampingi pasangan yang mengajukan perceraian (cerai gugat), serta pejabat Kankemenag yang terdiri dari unsur staf dan pejabat KUA/penghulu yang sebelumnya menangani

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim20

jalan abstraksi yang merupakan upaya memuat rangkuman inti, proses dan pernyataan. Sebagai tahap akhir sebelum kesimpulan dilakukan interpretasi yaitu mencoba untuk memaknai, mendiskusikan, membandingkan, mencocokkan, dengan teori yang ada.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 21

MENGGAPAI ASA DI MEJA HIJAU, MEREBUT STATUS JANDA:

MEMAHAMI TREN CERAI GUGAT DAN PERJUANGAN PEREMPUAN DI KOTA BANDA ACEH

Oleh: Iklilah Muzayyanah DF & Muchtar Siswoyo

KOTA BANDA ACEH DALAM SEJARAH DAN REALITAS

a. Sekilas Pandang Sejarah Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh memiliki sejarah yang sarat dengan gambaran kekuasaan dan politik. Sejumlah kerajaan kecil hidup dan berkembang di berbagai daerah. Sebaran kerajaan kecil ini mampu dipersatukan oleh Ali Muchayat Syah di masa kepemimpinannya pada tahun 1514-1528. Kegigihannya dalam menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di pinggir pantai utara dan darat Aceh telah melahirkan kerajaan Islam yang kokoh dan kuat. Upaya ini dikembangkan lebih luas oleh Iskandar Muda pada masa kepemimpinannya di tahun 1607-1636 sehingga mampu menjadi kerajaan yang disegani di kawasan Asia Tenggara (Saleh, 1992:15).

Kekuatan kerajaan Aceh telah mampu membangun hubungan perdagangan dengan Belanda, Inggris, dan Prancis dengan posisi tawar (bargaining power) yang cukup kuat. Sejumlah perjanjian yang menguntungkan kerajaan Aceh pun terjadi, salah satunya Traktat London 1824. Namun demikian, perjanjian yang melemahkan kekuatan kerajaan Aceh juga terjadi sehingga kekuatan Belanda yang bekerjasama dengan

jalan abstraksi yang merupakan upaya memuat rangkuman inti, proses dan pernyataan. Sebagai tahap akhir sebelum kesimpulan dilakukan interpretasi yaitu mencoba untuk memaknai, mendiskusikan, membandingkan, mencocokkan, dengan teori yang ada.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim22

Inggris melalui perjanjian Traktat Sumatera tahun 1871 menguatkan posisi Belanda di tanah Sumatera. Akibatnya, dua tahun berikutnya, Belanda mengultimatum Raja Aceh untuk menyerah sehingga akhirnya Kutaraja (Banda Aceh) dikuasai Belanda. Tindakan Belanda di Aceh ini telah membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan Belanda (Saleh, 1992:15).

Perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah telah menelan korban jiwa yang tidak terhitung. Demikian juga ketika masa DOM di Aceh diberlakukan sejak 1989-1998. Korban nyawa telah mencapai lebih dari 30.000 rakyat Aceh (Al-Chaidar, 1998:22). Kegigihan perjuangan rakyat Aceh ini telah tercatat dalam sejumlah catatan sejarah dan diakui sebagai perjuangan yang kuat dan gigih. Sementara itu, di masa kemerdekaan, rakyat Aceh masih diuji kembali dengan terjadinya sejumlah gempa bumi hingga 9,2 skala richter dan bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Menurut data Pemerintah Kota Banda Aceh, bencana ini telah menghancurkan lebih dari 60% infrastruktur Kota Banda Aceh dan sekitarnya serta menelan korban nyawa rakyat Aceh hingga mencapai ratusan ribu jiwa. Untuk mengenang duka peristiwa tsunami, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh telah membangun Musium Tsunami di Kota Banda Aceh yang telah diresmikan pada Bulan Februari 2008. Selain untuk mengenang bencana besar yang dialami rakyat Aceh, museum ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pusat evakuasi jika tsunami kembali terjadi di tanah Aceh (disbudpar.acehprov.go.id).

Saat ini, Kota Banda Aceh telah bangkit kembali dan terus mengembangkan pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusianya. Kota Banda Aceh merupakan ibu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 23

kota provinsi Daerah Istimewa Aceh dan telah menjadi pusat pemerintahan sejak masa Kasultanan Aceh berdiri. Hingga kini, Kota Banda Aceh tetap menjadi pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat kegiatan ekonomi dan politik Aceh. Kota Islam tertua di Asia Tenggara ini telah menunjukkan kemampuannya bangkit dari serangkaian keterpurukan.

Kekhasan sejarah Aceh yang dinilai sangat Islami menempatkan Aceh sebagai provinsi dengan berbeda dengan provinsi lainnya. Melalui surat keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959 Daerah Swatantra Tingkat 1 atau Propinsi Aceh diberi status “daerah istimewa” dengan sbutan daerah istimewa Aceh. Posisi ini menempatkan Provinsi Aceh memiliki hak otomoni yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan dan kemudian dikukuhkan dengan undang-undang nomor 18 tahun 1965. Pada tahun 2002 dengan disyahkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2002, daerah istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya berdasarkan peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 tahun 2009 diubah dan diseragamkan dari sebutan Naggroe Aceh Darussalam (NADF) menjadi Aceh yang menyatakan nama Aceh sebagai propinsi dalam system NKRI, dan akan dutentukan oleh DPRA hasil pemilu 2009 (BPS Aceh Dalam Angka 2013).

b. Kondisi Geografis, Demografis dan Sosial

Wilayah geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05 16' 15" - 05 36' 16" Lintang Utara dan 95 16' 15" - 95 22' 35" Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut. Kota Banda Aceh terdiri dari 9 Kecamatan, 17 mukim, dan 90 Desa (masyarakat menyebutnya Gampong). Luas

Inggris melalui perjanjian Traktat Sumatera tahun 1871 menguatkan posisi Belanda di tanah Sumatera. Akibatnya, dua tahun berikutnya, Belanda mengultimatum Raja Aceh untuk menyerah sehingga akhirnya Kutaraja (Banda Aceh) dikuasai Belanda. Tindakan Belanda di Aceh ini telah membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan Belanda (Saleh, 1992:15).

Perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah telah menelan korban jiwa yang tidak terhitung. Demikian juga ketika masa DOM di Aceh diberlakukan sejak 1989-1998. Korban nyawa telah mencapai lebih dari 30.000 rakyat Aceh (Al-Chaidar, 1998:22). Kegigihan perjuangan rakyat Aceh ini telah tercatat dalam sejumlah catatan sejarah dan diakui sebagai perjuangan yang kuat dan gigih. Sementara itu, di masa kemerdekaan, rakyat Aceh masih diuji kembali dengan terjadinya sejumlah gempa bumi hingga 9,2 skala richter dan bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Menurut data Pemerintah Kota Banda Aceh, bencana ini telah menghancurkan lebih dari 60% infrastruktur Kota Banda Aceh dan sekitarnya serta menelan korban nyawa rakyat Aceh hingga mencapai ratusan ribu jiwa. Untuk mengenang duka peristiwa tsunami, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh telah membangun Musium Tsunami di Kota Banda Aceh yang telah diresmikan pada Bulan Februari 2008. Selain untuk mengenang bencana besar yang dialami rakyat Aceh, museum ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pusat evakuasi jika tsunami kembali terjadi di tanah Aceh (disbudpar.acehprov.go.id).

Saat ini, Kota Banda Aceh telah bangkit kembali dan terus mengembangkan pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusianya. Kota Banda Aceh merupakan ibu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim24

wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61,36 Km2 dengan situasi alam terdiri dari tanah kering 6.651,30 km2 dan rawa-tambak 571 km2 (BPS Kota Banda Aceh, 2013). Situasi garis pantai di Kota Banda Aceh mengalami perubahan pasca tsunami, yaitu berkurang 2 KM sehingga saat ini garis pantai menjadi 9 KM (Profil Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh 2014).

Berdasarkan data BPS Kota Banda Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kota Banda Aceh adalah 238.784 jiwa yang terdiri dari 122.874 laki-laki dan 115.910 perempuan. Jumlah ini mengalami peningkatan di tahun 2013 dengan jumlah penduduk Kota Banda Aceh 249.282 jiwa atau mengalami pertambahan penduduk hampir 9 % pertahunnya (BPS Kota Banda Aceh, 2014). Penduduk Kota Banda Aceh pada umumnya bekerja di bidang jasa, perdagangan, dan perhotelan dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tahun 2012 sebanyak 57,06. (BPS Kota Banda Aceh 2013).

Di bidang pendidikan, Kota Banda Aceh memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai. Di tahun 2012, Kota Banda Aceh telah memiliki 80 unit sekolah TK, 80 unit Sekolah Dasar (SD), 30 SLTP, dan 27 SMU dan 8 SMK. Para pendidik di sekolah yang bergelar sarjana telah mencapai 78,72%.

c. Situasi Kehidupan Keagamaan dan Budaya

Penduduk Kota Banda Aceh mayoritas beragama Islam. Berdasarkan data BPS Kota Banda Aceh tahun 2013, jumlah penduduk muslim mencapai 99,02 % dari keseluruhan jumlah penduduk yang ada. Sementara sisanya beragama Kristen sebanyak 0,18%, Katolik 0,14%, Hindu 0,02% dan Buddha

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 25

0,64%. Sementara itu, jumlah rumah ibadah bagi umat muslim berjumlah 263 tempat ibadah, 3 bangunan gereja untuk umat katholik dan kristen, 1 kuil dan 1 klenteng. Data ini sedikit berbeda dengan data dari Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh tahun 2014 yang menyebutkan adanya rumah ibadat bagi penduduk muslim sebanyak 275 bangunan yang terdiri dari masjid 94 buah, Meunasah 85 buah, Mushalla 91 buah. Sementara itu, untuk umat Kristen terdapat 2 buah gereja dan umat Katolik 1 buah, dan umat Hindu terdapat 1 buah kuil dan umat Buddha memiliki 1 buah Vihara.

Oganisasi atau Lembaga Keagamaan di Kota Banda Aceh berjumlah 26 pondok pesantren (dayah). Pesantren yang ada di Kota Banda Aceh ini terbagi dalam dua tipe pesantren, yaitu 20 pesantren merupakan pesantren salafiyah (76,90%) dan 6 pesantren merupakan pesantren modern (23,10%). Sedangkan santri yang menempuh pendidikan agama di sejumlah pesantren tersebut berjumlah 2.484 santri yang terdiri dari santri laki-laki sebanyak 1.315 santri (52,94%) dan 1.169 santri wanita.(47,06%). (Profil Kementerian Agama Kota Banda Aceh, 2014). Masih dominannya pesantren salafiyah di Kota Banda Aceh ini merefleksikan masih kuatnya pendidikan salafiyah yang menekankan pada sumber-sumber kitab ulama salaf (kitab kuning) dengan metode pembelajaran yang khas dari tipe pesantren salafiyah, seperti sorogan, hafalan, dan lainnya.

Kuatnya nilai Islam di Aceh menempatkan Aceh sebagai kota yang menekankan nilai-nilai Islam dalam berbagai kebijakannya. Penggunaan istilah yang bersumber dari Bahasa Arab juga menjadi pilihan dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Aceh, seperti istilah Qanun, Syariat Islam, dan lainnya. Demikian halnya dengan perkembangan kebudayaan

wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61,36 Km2 dengan situasi alam terdiri dari tanah kering 6.651,30 km2 dan rawa-tambak 571 km2 (BPS Kota Banda Aceh, 2013). Situasi garis pantai di Kota Banda Aceh mengalami perubahan pasca tsunami, yaitu berkurang 2 KM sehingga saat ini garis pantai menjadi 9 KM (Profil Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh 2014).

Berdasarkan data BPS Kota Banda Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kota Banda Aceh adalah 238.784 jiwa yang terdiri dari 122.874 laki-laki dan 115.910 perempuan. Jumlah ini mengalami peningkatan di tahun 2013 dengan jumlah penduduk Kota Banda Aceh 249.282 jiwa atau mengalami pertambahan penduduk hampir 9 % pertahunnya (BPS Kota Banda Aceh, 2014). Penduduk Kota Banda Aceh pada umumnya bekerja di bidang jasa, perdagangan, dan perhotelan dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tahun 2012 sebanyak 57,06. (BPS Kota Banda Aceh 2013).

Di bidang pendidikan, Kota Banda Aceh memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai. Di tahun 2012, Kota Banda Aceh telah memiliki 80 unit sekolah TK, 80 unit Sekolah Dasar (SD), 30 SLTP, dan 27 SMU dan 8 SMK. Para pendidik di sekolah yang bergelar sarjana telah mencapai 78,72%.

c. Situasi Kehidupan Keagamaan dan Budaya

Penduduk Kota Banda Aceh mayoritas beragama Islam. Berdasarkan data BPS Kota Banda Aceh tahun 2013, jumlah penduduk muslim mencapai 99,02 % dari keseluruhan jumlah penduduk yang ada. Sementara sisanya beragama Kristen sebanyak 0,18%, Katolik 0,14%, Hindu 0,02% dan Buddha

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim26

di Aceh yang sarat dengan budaya yang diyakini merefleksikan nilai-nilai ajaran Islam, seperti seni musik dan tari yang sampai kini menjadi ciri khas kesenian Aceh. Sejumlah kaligrafi arab terlihat di sejumlah lokasi dan rumah adat Aceh. Hal ini semakin menguatkan julukan Aceh sebagai provinsi Serambi Makkah yang telah disematkan pada daerah provinsi istimewa ini.

Budaya dan kehidupan masyarakat di Aceh menerapkan adat istiadat Islam Melayu. Segala perilaku dan tindak tanduk masyarakat Aceh senantiasa didasarkan pada sumber hukum Islam, atau lebih dikenali dengan istilah adat bersendikan hukum syariat Islam. Sebenarnya, penerapan syariat Islam di provinsi ini bukan merupakan kebijakan baru. Nilai ajaran Islam yang dipahami masyarakat Aceh telah diterapkan di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diraih. Kesultanan Aceh yang beragama Islam telah menjadi dasar diterapkannya dasar Agama Islam dalam berbagai kebijakan pemerintah dan adat hingga saat ini.

MENEROPONG FENOMENA PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DI KOTA SERAMBI MAKKAH

a. Perkawinan yang Tercerai Berai

Kota Banda Aceh memiliki 9 Kantor Urusan Agama (KUA) yang berlokasi di setiap kecamatan yang ada. Berdasarkan data Kementerian Agama Kota Banda Aceh Tahun 2010-2014, jumlah perkawinan di 9 KUA menggambarkan varian jumlah yang stabil dari tahun ke tahun. Kecamatan Kota Alam memiliki data perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan 8 kecamatan lainnya, kecuali di tahun 2014. Sedangkan Kecamatan Meuraxa merupakan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 27

kecamatan dengan angka peristiwa perkawinan paling sedikit ketimbang kecamatan lainnya. Secara detail, data peristiwa perkawinan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 Jumlah Peristiwa Perkawinan di Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh

Tahun 2010 - 2014 No Kecamatan Tahun

2010 2011 2012 2013 2014 1 Kota Alam 241 242 217 231 176 2 Baiturrahman 196 187 196 190 182 3 Meuraxa 92 82 94 78 97 4 Syiah Kuala 198 199 195 193 186 5 Banda Raya 164 127 132 137 132 6 Jaya baru 129 126 141 126 128 7 Leung Bata 124 143 138 150 147 8 Kota Raja 55 58 60 54 57 9 Ulee Kareng 137 138 146 153 133 Jumlah 1336 1302 1319 1321 1238

Sumber: Kankemenag Kota Banda Aceh Tahun .

Bila dilihat data perkawinan dalam jangka waktu 5 tahun terakhir, maka jumlah perkawinan secara keseluruhan di Kota Banda Aceh tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Tahun 2010 jumlah peristiwa perkawinan mencapai 1336 peristiwa, pada tahun 2011 menurun 34, namun di 3 tahun berikutnya naik 17, 2, dan 17 peristiwa perkawinan secara berurutan. Perbedaan jumlah peristiwa perkawinan ini merupakan situasi yang biasa, mengingat jumlah usia menikah penduduk berbeda setiap tahunnya,

di Aceh yang sarat dengan budaya yang diyakini merefleksikan nilai-nilai ajaran Islam, seperti seni musik dan tari yang sampai kini menjadi ciri khas kesenian Aceh. Sejumlah kaligrafi arab terlihat di sejumlah lokasi dan rumah adat Aceh. Hal ini semakin menguatkan julukan Aceh sebagai provinsi Serambi Makkah yang telah disematkan pada daerah provinsi istimewa ini.

Budaya dan kehidupan masyarakat di Aceh menerapkan adat istiadat Islam Melayu. Segala perilaku dan tindak tanduk masyarakat Aceh senantiasa didasarkan pada sumber hukum Islam, atau lebih dikenali dengan istilah adat bersendikan hukum syariat Islam. Sebenarnya, penerapan syariat Islam di provinsi ini bukan merupakan kebijakan baru. Nilai ajaran Islam yang dipahami masyarakat Aceh telah diterapkan di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diraih. Kesultanan Aceh yang beragama Islam telah menjadi dasar diterapkannya dasar Agama Islam dalam berbagai kebijakan pemerintah dan adat hingga saat ini.

MENEROPONG FENOMENA PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DI KOTA SERAMBI MAKKAH

a. Perkawinan yang Tercerai Berai

Kota Banda Aceh memiliki 9 Kantor Urusan Agama (KUA) yang berlokasi di setiap kecamatan yang ada. Berdasarkan data Kementerian Agama Kota Banda Aceh Tahun 2010-2014, jumlah perkawinan di 9 KUA menggambarkan varian jumlah yang stabil dari tahun ke tahun. Kecamatan Kota Alam memiliki data perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan 8 kecamatan lainnya, kecuali di tahun 2014. Sedangkan Kecamatan Meuraxa merupakan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim28

demikian juga jumlah kenaikan penduduk, urbanisasi, peristiwa pindah lokasi perkawinan di KUA daerah lain, dan sebagainya.

Gambaran jumlah data peristiwa perkawinan yang ada berbanding sejalan dengan data kasus perceraian di Mahkamah Syar’iyah. Data kasus perceraian dalam lima tahun terakhir tidak menggambarkan penurunan kasus yang stabil, bahkan terjadi peningkatan di dua tahun terakhir. Dari data kasus perceraian yang ada, jumlah perkara perceraian termasuk kategori cukup tinggi jika dibandingkan dengan data peristiwa perkawinan yang ada di kota ini. secara detail, angka kasus perceraian terlihat pada tabel 3 berikut ini,

Tabel 2

Perkara Perceraian yang Diterima dan Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh

Tahun 2010 - 2014

No Tahun Perkara yang

Diterima Perkara yang

Diputus 1 2010 (tidak

ditemukan) 211

2 2011 262 191 3 2012 214 173 4 2013 261 197 5 2014 280 240 6 Jumlah 1.017 1.012

Sumber: Diolah dari Data Tahunan Perkara Perceraian yang Diterima dan Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010 - 2014.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 29

Berdasarkan data peristiwa perkawinan dan perkara perceraian yang masuk di MS Banda Aceh, maka perkara perceraian yang diterima oleh MS Banda Aceh di 4 tahun terakhir berada dalam rentang 16% sampai 23 %, dengan persentase tertinggi di tahun 2014. Sedangkan jika dibandingkan persentase jumlah peristiwa perkawinan dengan perkara perceraian yang diputus MS Banda Aceh dalam 5 tahun terakhir, maka persentase perceraian mencapai angka 13% sampai 19%.

Data ini merefleksikan angka perceraian yang sangat tinggi di Banda Aceh. Persentase ini melampaui persentase perceraian secara nasional di Indonesia, dimana tahun 2013 persentase perkara perceraian dibandingkan peristiwa perkawinan sebesar 14,6 %. Menurut Nazaruddin Umar, angka perceraian lebih dari 10% saja sudah merupakan angka yang sangat tinggi, apalagi sampai mendekati atau bahkan melebihi 20%. Lebih Jauh, Nazaruddin Umar juga menyatakan bahwa perkara perceraian didominasi oleh pasangan muda yang baru membina rumah tangga dalam rentang waktu 2-5 tahun pertama. Jumlah pasangan muda yang bercerai ini pernah mencapai angka 80% dari jumlah perkara perceraian yang terjadi di tahun 2012 (m.bisnis.com).

Tingginya angka perceraian di Banda Aceh disebabkan oleh berbagai faktor. Jika merujuk pada data MS Banda Aceh dalam 5 tahun terakhir, maka 3 penyebab terbanyak perceraian di Banda Aceh adalah karena ketidakharmonisan, tidak bertanggung jawab, dan gangguan pihak ketiga. Secara detail, gambaran penyebab perceraian yang tercatat di MS Banda Aceh dapat dilihat dari data tabel 5 berikut ini:

demikian juga jumlah kenaikan penduduk, urbanisasi, peristiwa pindah lokasi perkawinan di KUA daerah lain, dan sebagainya.

Gambaran jumlah data peristiwa perkawinan yang ada berbanding sejalan dengan data kasus perceraian di Mahkamah Syar’iyah. Data kasus perceraian dalam lima tahun terakhir tidak menggambarkan penurunan kasus yang stabil, bahkan terjadi peningkatan di dua tahun terakhir. Dari data kasus perceraian yang ada, jumlah perkara perceraian termasuk kategori cukup tinggi jika dibandingkan dengan data peristiwa perkawinan yang ada di kota ini. secara detail, angka kasus perceraian terlihat pada tabel 3 berikut ini,

Tabel 2

Perkara Perceraian yang Diterima dan Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh

Tahun 2010 - 2014

No Tahun Perkara yang

Diterima Perkara yang

Diputus 1 2010 (tidak

ditemukan) 211

2 2011 262 191 3 2012 214 173 4 2013 261 197 5 2014 280 240 6 Jumlah 1.017 1.012

Sumber: Diolah dari Data Tahunan Perkara Perceraian yang Diterima dan Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010 - 2014.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim30

Tabel 3 Faktor Penyebab Perceraian

Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014

TA HUN

PENYEBAB PERCERAIAN

JUM LAH

MORAL MENINGGAL

KAN KEWAJIBAN

KAW

IN D

I BAW

AH U

MUR

PENG

ANIA

YAAN

/KDR

T

DIHU

KUM

CA

CAT

BIOL

OGIS

TERUS MENERUS BERSELISIH

POLI

GAM

I TID

AK

SEHA

T KR

ISIS

AKH

LAK

CEM

BURU

KWAI

N PA

KSA

EKON

OMI

TIDA

K BE

RTAN

GGUN

G JA

WAB

POLI

TIS

GANG

GUAN

PIHA

K KE

TIGA

TIDA

K AD

A KE

HARM

ONIS

AN

2010 1 0 8 0 0 35 0 10 0 0 0 20 130

204

2011 1 0 3 0 3 65 1 3 0 0 0 20 120

216

2012 2 1 6 0 0 50 1 14 2 1 0 22 74

173

2013 0 2 3 0 0 26 0 1 0 0 0 31 137

200

2014 0 5 1 0 0 10 0 2 0 0 0 27 212

257

JUMLAH 4 8 21 0 3 186 2 30 2 1 0 120 673

Sumber: Dikompilasi dari Laporan Tahunan Faktor Penyebab Perceraian Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010 sampai 2014.

Data di MS Banda Aceh tersebut sejalan dengan informasi dari sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ditemui. Faktor tingginya angka perceraian di Banda Aceh diyakini didominasi namun tidak terbatas pada lima hal berikut:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 31

Pertama, ketidaksiapan pasangan laki-laki dan perempuan dalam menjalani bahtera rumah tangga. Ketidaksiapan ini menjadikan ikatan perkawinan yang ada tidak kuat menghadapi konflik yang muncul, termasuk ketika ada gangguan yang muncul atau kesalahpahaman yang terjadi di antara pasangan suami istri. Kondisi ini menempatkan ikatan perkawinan menjadi rentan di ambang perceraian.

Kedua, persoalan ekonomi kerap menjadi sumber persoalan yang menghantarkan pasangan suami istri duduk di hadapan hakim pengadilan agama. Ketidaksiapan dan tuntutan peran mencari nafkah yang dibebankan kepada pihak suami menempatkan suami disalahkan katika kebutuhan ekonomi keluarga mengalami kendala. Abriati, Ketua Ormas Islam PW. Fatayat NU menegaskan banyak masyarakat Aceh yang meyakini menikah akan memudahkan mereka mendapatkan rizki. Karena itulah, kesiapan ekonomi sebelum perkawinan kerap tidak dijadikan pertimbangan utama. Namun saat menghadapi kenyataan bahwa tidak mudah mendapatkan pekerjaan, keharmonisan dalam rumah tangga mulai diuji. Dalam situasi ini, tidak jarang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang semakin memperburuk hubungan perkawinan yang ada.

Ketiga, keterlibatan pihak ketiga di Banda Aceh cukup kental terasa. Dalam konteks masyarakat Aceh, di masa awal perkawinan dimana pasangan suami istri belum mandiri secara ekonomi, maka pihak suami tinggal dan menetap di rumah keluarga istri. Hal ini menempatkan laki-laki dalam posisi dilematis. Di satu sisi, budaya masyarakat Aceh menempatkan suami sebagai pemimpin keluarga, namun di sisi lain, posisi suami sebagai oranh luar (outsider) dalam rumah keluarga istrinya menempatkannya secara subordinat

Tabel 3 Faktor Penyebab Perceraian

Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014

TA HUN

PENYEBAB PERCERAIAN

JUM LAH

MORAL MENINGGAL

KAN KEWAJIBAN

KAW

IN D

I BAW

AH U

MUR

PENG

ANIA

YAAN

/KDR

T

DIHU

KUM

CA

CAT

BIOL

OGIS

TERUS MENERUS BERSELISIH

POLI

GAM

I TID

AK

SEHA

T KR

ISIS

AKH

LAK

CEM

BURU

KWAI

N PA

KSA

EKON

OMI

TIDA

K BE

RTAN

GGUN

G JA

WAB

POLI

TIS

GANG

GUAN

PIHA

K KE

TIGA

TIDA

K AD

A KE

HARM

ONIS

AN

2010 1 0 8 0 0 35 0 10 0 0 0 20 130

204

2011 1 0 3 0 3 65 1 3 0 0 0 20 120

216

2012 2 1 6 0 0 50 1 14 2 1 0 22 74

173

2013 0 2 3 0 0 26 0 1 0 0 0 31 137

200

2014 0 5 1 0 0 10 0 2 0 0 0 27 212

257

JUMLAH 4 8 21 0 3 186 2 30 2 1 0 120 673

Sumber: Dikompilasi dari Laporan Tahunan Faktor Penyebab Perceraian Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010 sampai 2014.

Data di MS Banda Aceh tersebut sejalan dengan informasi dari sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ditemui. Faktor tingginya angka perceraian di Banda Aceh diyakini didominasi namun tidak terbatas pada lima hal berikut:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim32

dalam banyak hal. Ketika konflik muncul, tidak jarang pihak keluarga turut serta mengintervensi konflik yang ada sehingga tidak jarang semakin memperkeruh persoalan yang ada. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap suasana harmonis yang sedang dibangun oleh pasangan suami istri yang masih di usia awal perkawinan.

Keempat, dalam budaya masyarakat Aceh yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan dalam rumah tangga, ditemui banyak para suami yang lebih memerhatikan keluarga mereka sendiri ketimbang kepada istri dan anak-anaknya. Pemahaman ini tampak muncul dari pemahaman masyarakat Aceh terhadap nilai dan ajaran Islam, dimana seorang anak laki-laki yang sudah menikah tetap harus mengutamakan orang tuanya dari lainnya. Karena itulah, sudah menjadi fenomena umum, seorang suami akan memenuhi segala permintaan orang tuanya dan melakukannya tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan istri, namun hal yang sebaliknya terjadi bila keluarga pihak istri datang dan membutuhkan sesuatu.

Kelima, perceraian yang tinggi juga berhubungan dengan gagalnya upaya mediasi, baik di Mahkamah Syar’iyah maupun di sejumlah sumber daya yang memberikan layanan konsultasi dan mediasi bagi keluarga yang berkonflik. BP4, layanan konsultasi keluarga di KUA, lembaga adat tuha peuet, kechiek, dan lembaga masyarakat seperti LP2K yang memberikan layanan konsultasi keluarga tidak selalu menjadi pilihan utama bagi pasangan suami istri yang berkonflik. Ada banyak alasan yang muncul mengapa sumber daya tersebut tidak dimaksimalkan, di antaranya karena kerahasiaan yang kerap terbongkar di ruang konsultasi tuha peuet, metode yang tidak tepat, rasa malu, keterbatasan SDM konsultan di KUA

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 33

yang merangkap sebagai penghulu dan tugas lainnya, atau karena melemahnya posisi lembaga konsultasi seperti BP4.

Situasi ini menghantarkan pilihan pada langkah langsung menuju Mahkamah Syar’iyah, meskipun upaya mediasi di MS cukup rendah keberhasilannya, bahkan tingkat kegagalannya mencapai 99%. Gambaran rendahnya tingkat kegagalan upaya mediasi di MS Banda Aceh dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat dari data tabel 6 berikut ini:

Tabel 4 Rekapitulasi Jumlah Mediasi

Pada Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014

Tahun

Perkara yang bisa

dimediasi

HASIL MEDIASI PERSENTASE

Gagal

Berhasil

Dalam

Proses

Gagal

Berhasil

2010 136 123 13 17 90% 10%

2011 109 103 6 0 94% 6%

2012 95 94 1 0 99% 1%

2013 231 117 26 88 82% 18%

2014 261 144 25 92 85% 15%

Sumber: Diolah dari Laporan Hasil Mediasi Mediasi Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh pada Perkara yang Diputus Tahun 2010-2014

dalam banyak hal. Ketika konflik muncul, tidak jarang pihak keluarga turut serta mengintervensi konflik yang ada sehingga tidak jarang semakin memperkeruh persoalan yang ada. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap suasana harmonis yang sedang dibangun oleh pasangan suami istri yang masih di usia awal perkawinan.

Keempat, dalam budaya masyarakat Aceh yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan dalam rumah tangga, ditemui banyak para suami yang lebih memerhatikan keluarga mereka sendiri ketimbang kepada istri dan anak-anaknya. Pemahaman ini tampak muncul dari pemahaman masyarakat Aceh terhadap nilai dan ajaran Islam, dimana seorang anak laki-laki yang sudah menikah tetap harus mengutamakan orang tuanya dari lainnya. Karena itulah, sudah menjadi fenomena umum, seorang suami akan memenuhi segala permintaan orang tuanya dan melakukannya tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan istri, namun hal yang sebaliknya terjadi bila keluarga pihak istri datang dan membutuhkan sesuatu.

Kelima, perceraian yang tinggi juga berhubungan dengan gagalnya upaya mediasi, baik di Mahkamah Syar’iyah maupun di sejumlah sumber daya yang memberikan layanan konsultasi dan mediasi bagi keluarga yang berkonflik. BP4, layanan konsultasi keluarga di KUA, lembaga adat tuha peuet, kechiek, dan lembaga masyarakat seperti LP2K yang memberikan layanan konsultasi keluarga tidak selalu menjadi pilihan utama bagi pasangan suami istri yang berkonflik. Ada banyak alasan yang muncul mengapa sumber daya tersebut tidak dimaksimalkan, di antaranya karena kerahasiaan yang kerap terbongkar di ruang konsultasi tuha peuet, metode yang tidak tepat, rasa malu, keterbatasan SDM konsultan di KUA

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim34

Selain karena alasan-alasan tersebut, tingginya tingkat kegagalan mediasi juga dapat dilihat dari sisi kualitas konflik yang dikonsultasikan. Pada umumnya, tingkat konflik rumah tangga yang dikonsultasikan sudah mencapai kondisi yang parah. Dalam pengalaman para konsultan di BP4 dan KUA, kebanyakan kasus yang masuk sudah dalam kondisi akut dan komplek sehingga sulit dicari jalan keluarnya. Dari kasus yang masuk di BP4 dan KUA, tingkat keberhasilannya tidak sampai 5%. Sebagai ilustrasi, jumlah konflik perkawinan yang melapor melalui BP4 selama 5 tahun atau sejak tahun 2010 sampai 2014 hanya sebanyak 45 kasus pengaduan. Jumlah ini terdiri dari 11 pelapor di tahun 2010, 7 pelapor di tahun 2011, 7 pelapor di tahun 2012, 9 pelapor di tahun 2013, dan 11 pelapor di tahun 2014. Dari jumlah kasus ini, tidak diketahui jumlah kasus yang melanjutkan ke tingkat permohonan perceraian di MS, karena mayoritas pelapor setelah berkonsultasi tidak melaporkan kembali solusi yang diambil kepada BP4.

Uraian di atas memberikan pemahaman tentang mengapa angka perceraian di Banda Aceh sangat tinggi, melampaui persentase di tingkat nasional. Sejumlah faktor yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah maupun dari sumber informasi tokoh agama dan masyarakat di atas menjelaskan tentang pentingnya intervensi yang lebih kongkrit pada upaya penurunan angka perceraian di Banda Aceh ini.

b. Cerai Gugat yang Mendominasi

Jumlah perceraian yang sangat tinggi di Banda Aceh ini merefksikan fenomena perceraian yang penting ditelisik lebih dalam. Bukan saja karena persentasenya yang sangat tinggi, namun juga dari pihak pemohon yang mengajukan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 35

perceraian. Hal ini penting dipelajari untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dalam melihat perceraian di Banda Aceh.

Berdasarkan data Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, pihak yang mengajukan permohonan perkara perceraian lebih didominasi oleh pihak istri, atau dalam istilah Pengadilan Agama dikategorisasikan sebagai Perkara Cerai Gugat. Sedangkan cerai talak atau permohonan perkara perceraian yang diajukan pihak suami dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan cerai gugat. Perbandingan perkara cerai gugat dan cerai talak ini mencapai perbandingan 63% sampai 75%. Gambaran ini menunjukkan cerai gugat menjadi trend perceraian dalam lima tahun terakhir. Fenomena ini dapat dilihat dari data MS Banda Aceh tahun 2010-2014 dalam tabel 5 dan tabel 6 berikut ini:

Tabel 5

Perbandingan Perkara Perceraian yang Diputus di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh Tahun 2010-2014

Selain karena alasan-alasan tersebut, tingginya tingkat kegagalan mediasi juga dapat dilihat dari sisi kualitas konflik yang dikonsultasikan. Pada umumnya, tingkat konflik rumah tangga yang dikonsultasikan sudah mencapai kondisi yang parah. Dalam pengalaman para konsultan di BP4 dan KUA, kebanyakan kasus yang masuk sudah dalam kondisi akut dan komplek sehingga sulit dicari jalan keluarnya. Dari kasus yang masuk di BP4 dan KUA, tingkat keberhasilannya tidak sampai 5%. Sebagai ilustrasi, jumlah konflik perkawinan yang melapor melalui BP4 selama 5 tahun atau sejak tahun 2010 sampai 2014 hanya sebanyak 45 kasus pengaduan. Jumlah ini terdiri dari 11 pelapor di tahun 2010, 7 pelapor di tahun 2011, 7 pelapor di tahun 2012, 9 pelapor di tahun 2013, dan 11 pelapor di tahun 2014. Dari jumlah kasus ini, tidak diketahui jumlah kasus yang melanjutkan ke tingkat permohonan perceraian di MS, karena mayoritas pelapor setelah berkonsultasi tidak melaporkan kembali solusi yang diambil kepada BP4.

Uraian di atas memberikan pemahaman tentang mengapa angka perceraian di Banda Aceh sangat tinggi, melampaui persentase di tingkat nasional. Sejumlah faktor yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah maupun dari sumber informasi tokoh agama dan masyarakat di atas menjelaskan tentang pentingnya intervensi yang lebih kongkrit pada upaya penurunan angka perceraian di Banda Aceh ini.

b. Cerai Gugat yang Mendominasi

Jumlah perceraian yang sangat tinggi di Banda Aceh ini merefksikan fenomena perceraian yang penting ditelisik lebih dalam. Bukan saja karena persentasenya yang sangat tinggi, namun juga dari pihak pemohon yang mengajukan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim36

Sumber: Diolah dari Data Perkara Perceraian yang Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014

Tabel 6

Persentase Cerai Gugat dan Cerai Talak pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Tahun 2010-2014

TAHUN JUMLAH

PERKARA PERCERAIAN

JENIS PERKARA PERSENTASE CG

PADA CT

CER

AI

TALA

K

CER

AI

GU

GA

T

2010 211 79 132 63%

2011 191 61 130 68%

2012 173 47 126 73%

2013 197 50 147 75%

2014 240 76 164 68%

JUMLAH 1.012 313 699

Sumber: Diolah dari Data Perkara Perceraian yang Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014.

Menurut sejumlah tokoh masyarakat, tingginya perkara gugat cerai di Banda Aceh ditopang oleh kondisi perkotaan yang memungkinkan peluang perempuan sampai pada upaya melakukan cerai gugat. Setidaknya, terdapat 3 argumentasi mengapa cerai gugat menjadi trend di Banda Aceh. Pertama, keterbukaan informasi dan akses perempuan terhadap hak-hak dirinya menjadikan perempuan memiliki pilihan saat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 37

menghadapi masalah perkawinannya. Perempuan mulai berpikir ketika situasi tidak harmonis dihadapi dalam rumah tangga, apalagi sampai terjadi sejumlah tindak kekerasan di dalamnya.

Kedua, stigma status janda di Banda Aceh bukan suatu yang menyurutkan niat perempuan mengajukan permohonan cerai gugat. Seorang tokoh masyarakat, H. Moh. Ali Ibrahim dalam wawancara menegaskan bahwa perempuan yang menjadi single parent (menjanda) di mata masyarakat tidak masalah sepanjang mereka bisa menjaga norma-norma agama. Masyarakat akan mempersoalkannya ketika perempuan dengan status “janda” bertingkah laku yang tidak sejalan dengan adat dan norma yang berlaku, dimana hal yang sama juga akan terjadi pada perempuan dengan status selain janda.

Dalam penjelasan tokoh yang lain, stigma status janda ini cukup berbeda dengan situasi di pedesaan. Bagi perempuan di pedesaan, status janda merupakan aib yang berat. Perceraian dinilai sebagai satu fase yang buruk bagi kehidupan seseorang karena dianggap gagal mempertahankan mahligai rumah tangga yang seharusnya dijaga dan dipertahankan. Tidak jarang perceraian di pedesaan menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah atau pihak yang bertanggung jawab atas hancurnya ikatan perkawinan tersebut. Menurut sejumlah tokoh masyarakat, kondisi ini tidak terlalu terasa di wilayah perkotaan. Karena itulah, perempuan kota (khususnya di Kota Banda Aceh) lebih mudah menyesuaikan dirinya saat mulai beralih dari status istri menjadi status janda. Mereka tidak dilekati stigma dan beban yang lebih berat sebagaimana yang dialami perempuan pedesaan.

Sumber: Diolah dari Data Perkara Perceraian yang Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014

Tabel 6

Persentase Cerai Gugat dan Cerai Talak pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Tahun 2010-2014

TAHUN JUMLAH

PERKARA PERCERAIAN

JENIS PERKARA PERSENTASE CG

PADA CT

CER

AI

TALA

K

CER

AI

GU

GA

T

2010 211 79 132 63%

2011 191 61 130 68%

2012 173 47 126 73%

2013 197 50 147 75%

2014 240 76 164 68%

JUMLAH 1.012 313 699

Sumber: Diolah dari Data Perkara Perceraian yang Diputus Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014.

Menurut sejumlah tokoh masyarakat, tingginya perkara gugat cerai di Banda Aceh ditopang oleh kondisi perkotaan yang memungkinkan peluang perempuan sampai pada upaya melakukan cerai gugat. Setidaknya, terdapat 3 argumentasi mengapa cerai gugat menjadi trend di Banda Aceh. Pertama, keterbukaan informasi dan akses perempuan terhadap hak-hak dirinya menjadikan perempuan memiliki pilihan saat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim38

Ketiga, penerapan syariat Islam di Aceh tidak berpengaruh bagi perempuan berstatus janda di Banda Aceh. Selain karena penerimaan masyarakat terhadap perempuan yang bekerja sudah dapat diterima secara sosial, juga karena pilihan pekerjaan untuk perempuan tidak terbatasi hanya di siang hari. Saat ini, sudah hal yang biasa melihat perempuan di kota keluar malam untuk kepentingan mencari nafkah, tanpa mempersoalkan statusnya sebagai orang yang masih terikat perkawinan, belum menikah, atau berstatus janda. Situasi ini memudahkan perempuan menata hidupnya pasca perceraian, dimana kebanyakan kasus perceraian menempatkan perempuan untuk bertanggung jawab pada masa depan anak-anak hasil perkawinannya.

GELAR PERKARA CERAI GUGAT, MENDENGAR SUARA PEREMPUAN

a. Perkawinan Ninis dan Nawan, Perkara No. 104/Pdt.G/2013/MS-Bna

Sebut saja Ninis, usia 28 tahun saat ini, adalah seorang janda dengan seorang anak berusia 3 tahun hasil perkawinannya dengan Nawan, 33 tahun yang bekerja sebagai satpam di salah satu bank swasta di Banda Aceh. Ninis bekerja di sebuah kantor kecil di Desa Lhonga Aceh. Sehari-hari Ninis tinggal bersama ibunya, kakak dan dua orang adiknya. Ninis merupakan anak ke-7 dari 9 bersaudara dengan 7 saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan.

Orang tua Ninis berasal dari Tapanuli Selatan Sumatera Selatan. Ayahnya seorang pensinanan pegawai salah satu kecamatan di Kota Banda Aceh. Selepas pensiun, sang ayah yang tinggal di Tapanuli Selatan untuk mengurus kebun

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 39

sawitnya, sedangkan sang ibu memilih tinggal bersama anak-anak di Banda Aceh. Sang ayah jarang ke Banda Aceh, biasanya ayah Ninis menjenguk sang ibu dan keluarganya setiap 5 sampai 7 bulan sekali. Hal yang disesalkan Ninis sampai sekarang adalah kebiasaan sang ayah yang kerap menghabiskan uang hasil kebunnya untuk berjudi.

Pernikahan Ninis dengan Nawan terjadi sebagaimana umumnya orang Aceh. Ada masa perkenalan, lamaran, dan akhirnya menikah di salah satu KUA di Kota Banda Aceh. Pertemuan Ninis dan Nawan terjadi tanpa sengaja. Mereka menjalani masa perkenalan dalam 3 bulan dan memutuskan menikah. Pernikahan mereka dihadiri oleh kedua belah pihak meskipun tidak lengkap. Hanya sang ibu yang menemani Nawan di KUA karena sang ayah telah wafat, sementara keluarga Ninis juga diwakili oleh sejumlah kerabat dan orang tua.

Perkawinan Ninis dan Nawan sudah mengalami kendala di awal perkawinan. Orang tua keduanya pada mulanya kurang sepakat mereka menikah segera, padahal baru 3 bulan kenal. Belum lagi, kala itu Ninis masih belum bekerja. Menjelang pernikahan berlangsung, Ninis mendapat tawaran pekerjaan di sebuah bank, namun mensyaratkannya menempuh pendidikan di Kota Jakarta selama satu bulan. Melihat peluang ini, Nawan mengajukan diri untuk menemani Ninis di Jakarta. Tawaran ini diamini oleh keluarga keduanya. Karena itulah, Nawan meminta perkawinannya disegerakan agar lebih mudah mendampingi Ninis di Jakarta.

Setelah pernikahan di KUA, Ninis dibawa pulang ke rumah orang tua Nawan dan meminta Ninis menemani ibunya yang sudah menjanda. Mereka merencanakan melangsungkan resepsi perkawinan dalam 3 bulan setelah

Ketiga, penerapan syariat Islam di Aceh tidak berpengaruh bagi perempuan berstatus janda di Banda Aceh. Selain karena penerimaan masyarakat terhadap perempuan yang bekerja sudah dapat diterima secara sosial, juga karena pilihan pekerjaan untuk perempuan tidak terbatasi hanya di siang hari. Saat ini, sudah hal yang biasa melihat perempuan di kota keluar malam untuk kepentingan mencari nafkah, tanpa mempersoalkan statusnya sebagai orang yang masih terikat perkawinan, belum menikah, atau berstatus janda. Situasi ini memudahkan perempuan menata hidupnya pasca perceraian, dimana kebanyakan kasus perceraian menempatkan perempuan untuk bertanggung jawab pada masa depan anak-anak hasil perkawinannya.

GELAR PERKARA CERAI GUGAT, MENDENGAR SUARA PEREMPUAN

a. Perkawinan Ninis dan Nawan, Perkara No. 104/Pdt.G/2013/MS-Bna

Sebut saja Ninis, usia 28 tahun saat ini, adalah seorang janda dengan seorang anak berusia 3 tahun hasil perkawinannya dengan Nawan, 33 tahun yang bekerja sebagai satpam di salah satu bank swasta di Banda Aceh. Ninis bekerja di sebuah kantor kecil di Desa Lhonga Aceh. Sehari-hari Ninis tinggal bersama ibunya, kakak dan dua orang adiknya. Ninis merupakan anak ke-7 dari 9 bersaudara dengan 7 saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan.

Orang tua Ninis berasal dari Tapanuli Selatan Sumatera Selatan. Ayahnya seorang pensinanan pegawai salah satu kecamatan di Kota Banda Aceh. Selepas pensiun, sang ayah yang tinggal di Tapanuli Selatan untuk mengurus kebun

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim40

akad nikah, atau di Bulan Maret 2011. Akan tetapi resepsi perkawinan ini tidak pernah terjadi karena konflik telah muncul. Tepatnya, setelah 3 minggu usia perkawinan Ninis dan Nawan, panggilan pendidikan di Jakarta diterima Ninis, namun Nawan mengingkari janjinya untuk menemani Ninis ke Jakarta. Tidak hanya tidak menemaninya, Nawan juga secara sepihak melarang Ninis keluar rumah, berinteraksi dengan dunia luar, dan tidak mengizinkan Ninis menempuh pendidikan di Jakarta demi memenuhi syarat tawaran pekerjaan yang akan dijalaninya.

Meskipun segala kebutuhan rumah tangga dipenuhi oleh Nawan, namun keputusan Nawan ini menjadikan Ninis merasa terkekang dan dibohongi. Beberapa kali Ninis mengajukan keberatan atas keputusan suaminya, namun Nawan tidak mendengarnya. Hal ini mengakibatkan pertengkaran terus menerus tidak dapat dihindari di antara keduanya. Karena tidak menemukan titik temu, Ninis pulang ke rumah orang tuanya. Selang dua hari berikutnya, Nawan meminta Ninis pulang. Ninis meminta Nawan menjemputnya, dan Nawan memenuhi keinginan Ninis. Namun selang beberapa waktu saat Ninis pulang ke rumah orang tuanya dan meminta dijemput, Nawan justru mengucapkan kata sindiran perceraian. Nawan mengatakan bahwa “kalau enggak mau pulang tidak usah pulang seterusnya juga tidak apa-apa”. Kalimat ini sontak membuat Ninis merasa kurang nyaman, padahal ia sedang hamil buah perkawinannya dengan Nawan.

Sejak saat itu, hubungan perkawinan Nawan dan Ninis mengalami masa sulit. Nawan tidak pernah menjenguk Ninis, tidak mengirimkan nafkah lahir, dan hampir tidak terjadi komunikasi sama sekali. Meski Nawan tahu ninis sedang hamil, Nawan tampak tidak terlalu peduli. Bahkan saat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 41

kandungan Ninis masuk usia 7 bulan, Nawan memiliki wanita idaman lain (WIL). Hal inilah yang menjadikan Ninis mempertimbangkan mengajukan perceraian. Sikap acuh Nawan terus berlangsung sampai Ninis melahirkan. Nawan tidak menjenguknya atau menanyakan buah hatinya. Kondisi ini masih terus berlangsung hingga wawancara ini dilakukan, Nawan tidak pernah sekalipun menengok anaknya, apalagi memberikan nafkah bagi anak semata wayang dari perkawinannya dengan Ninis.

Ketika sang anak berusia 4 bulan, Ninis berniat mengurus akte kelahiran putranya. Ninis menemui nawan dan meminta buku nikah yang keduanya disimpan Nawan. Namun di luar dugaan, nawan mengaku buku nikah tersebut sudah dibakar. Akibatnya, Ninis harus mengurus surat salinan nikah ke Kecamatan dan di teruskan ke KUA untuk dibuatkan salinan surat nikah agar hak anaknya mendapatkan akta lahir dapat terwujud.

Situasi konflik yang berkepanjangan ini menjadikan Ninis berniat bercerai. Meskipun upaya ishlah sudah dilakukan oleh pihak keluarga, namun Nawan tidak memberikan respon sama sekali. Upaya berdamai juga telah dilakukan oleh keluarga Ninis dengan melibatkan pak keucik atau pemimpin desa, namun lagi-lagi Nawan tidak memberikan respon sama sekali.

Proses cerai gugat yang diajukan Ninis di tahun 2011 berjalan sangat lama. Mahkamah Syar’iyah telah melakukan pemanggilan hingga 4 kali kepada Nawan sebagai pihak tergugat, namun tidak pernah sekalipun direspon oleh Nawan. Proses peradilan Ninis ini baru diputus setelah berjalan selama 2 tahun 6 bulan dengan tanpa mediasi karena pihak suami tidak pernah hadir. Putusan pengadilan ini pun

akad nikah, atau di Bulan Maret 2011. Akan tetapi resepsi perkawinan ini tidak pernah terjadi karena konflik telah muncul. Tepatnya, setelah 3 minggu usia perkawinan Ninis dan Nawan, panggilan pendidikan di Jakarta diterima Ninis, namun Nawan mengingkari janjinya untuk menemani Ninis ke Jakarta. Tidak hanya tidak menemaninya, Nawan juga secara sepihak melarang Ninis keluar rumah, berinteraksi dengan dunia luar, dan tidak mengizinkan Ninis menempuh pendidikan di Jakarta demi memenuhi syarat tawaran pekerjaan yang akan dijalaninya.

Meskipun segala kebutuhan rumah tangga dipenuhi oleh Nawan, namun keputusan Nawan ini menjadikan Ninis merasa terkekang dan dibohongi. Beberapa kali Ninis mengajukan keberatan atas keputusan suaminya, namun Nawan tidak mendengarnya. Hal ini mengakibatkan pertengkaran terus menerus tidak dapat dihindari di antara keduanya. Karena tidak menemukan titik temu, Ninis pulang ke rumah orang tuanya. Selang dua hari berikutnya, Nawan meminta Ninis pulang. Ninis meminta Nawan menjemputnya, dan Nawan memenuhi keinginan Ninis. Namun selang beberapa waktu saat Ninis pulang ke rumah orang tuanya dan meminta dijemput, Nawan justru mengucapkan kata sindiran perceraian. Nawan mengatakan bahwa “kalau enggak mau pulang tidak usah pulang seterusnya juga tidak apa-apa”. Kalimat ini sontak membuat Ninis merasa kurang nyaman, padahal ia sedang hamil buah perkawinannya dengan Nawan.

Sejak saat itu, hubungan perkawinan Nawan dan Ninis mengalami masa sulit. Nawan tidak pernah menjenguk Ninis, tidak mengirimkan nafkah lahir, dan hampir tidak terjadi komunikasi sama sekali. Meski Nawan tahu ninis sedang hamil, Nawan tampak tidak terlalu peduli. Bahkan saat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim42

tidak dihadiri oleh Nawan. Lamanya proses perceraian di peradilan ini dimanfaatkan Ninis untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat Strata 1 di Aceh. Dengan berbekal Kartu Tidak Mampu dan bantuan biaya dari keluarga dan kerabat, Ninis mencapai gelar sarjana pada tahun 2014.

Ninis mengakui perjalanan perceraian terasa sangat berat dan melelahkan. Ninis harus berkali-kali ke Mahkamah Syar’iyah, menghadiri persidangan yang terasa tak kunjung selesai, menghadirkan saksi dan mendengarkan saksi-saksi, dan sempat merasa putus asa ingin menyerah. Perjalanan melelahkan ini akhirnya membuahkan hasil. Status janda yang diperoleh Ninis disambut dengan tangis bahagia dan lega. Meski di dalam hati kecilnya, Ninis merasa malu malu kepada orang Tua dan kerabat karena usia perkawinannya hanya sebentar. Saat ini, Ninis melanjutkan perkawinannya dan bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah kantor desa tempatnya kini tinggal.

b. Perkawinan Een dan Zidny, Perkara No. 258/Pdt.G/2013/MS-Bna

Sebut saja Een, perempuan berusia 24 tahun ini adalah anak ketiga di keluarganya. Een bekerja sebagai seorang pegawai Rumah Sakit Umum di Banda Aceh. Een menikah pada tahun 2010 dengan Zidny (29 tahun), seorang laki-laki berusia 29 tahun yang bekerja sebagai anggota Polisi Banda Aceh. Pada mulanya, Zidny dikenal Een sebagai sosok pria gagah dan penuh perhatian.

Perkenalan Een dengan Zidny berlangsung selama 6 bulan. Sejak awal masa perkenalan ini, orang tua Een yang notabene sebagai guru tidak merestui hubungan mereka.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 43

Ketidaksetujuan orang tua Een ini sebenarnya didasarkan pada harapan agar putrinya menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah. Demi harapan tersebut, orang tua Een dengan sengaja mengatur cara agar Een sementara waktu berada di Medan untuk persiapan melanjutkan pendidikan di Palembang. Langkah ini mengalami kegagalan karena Zidny terus saja menghubunginya melalui berbagai cara sehingga Een yakin atas kesungguhan Zidny. Orang tua Een menyerah, Een pun kembali ke Banda Aceh dan mengikuti ritual lamaran secara adat Aceh dan keduanya menikah di tahun 2010

Imaji atas kebahagiaan yang akan dinikmati keduanya tampak tidak mudah dicapai. Sejak keduanya menikah, Een dan Zidny kerap menghadapi masalah yang terasa tak kunjung berakhir. Selalu saja ada pemicu konflik di antara keduanya, meski kadangkala hanya persoalan sepele. Salah satu sumber konflik yang kerap muncul adalah persoalan gaji Zidny yang sulit sampai di tangan Een. Meskipun Zidny sudah memiliki pekerjaan sebagai anggota polisi, namun gajinya selalu dihabiskan untuk dirinya. Zidny memiliki kebiasaan berjudi, bahkan pada akhirnya Een mengetahui Zidny juga seorang pengguna narkoba. Hal inilah yang menjadi penyebab penghasilan Zidny tidak pernah dikontribusikan untuk kepentingan rumah tangga.

Siuasi ekonomi yang masih tidak stabil dan ibunda Een yang tinggal sendiri menjadi alasan keduanya tinggal dalam satu atap di rumah orang tua Een. Kondisi ini menjadikan kebutuhan ekonomi keluarga Een dan Zidny ditopang langsung oleh orang tua Een. Meski tidak ada income yang dapat diandalkan karena perilaku Zidny, kebutuhan sandang dan pangan tetap terpenuhi karena disediakan oleh ibunda

tidak dihadiri oleh Nawan. Lamanya proses perceraian di peradilan ini dimanfaatkan Ninis untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat Strata 1 di Aceh. Dengan berbekal Kartu Tidak Mampu dan bantuan biaya dari keluarga dan kerabat, Ninis mencapai gelar sarjana pada tahun 2014.

Ninis mengakui perjalanan perceraian terasa sangat berat dan melelahkan. Ninis harus berkali-kali ke Mahkamah Syar’iyah, menghadiri persidangan yang terasa tak kunjung selesai, menghadirkan saksi dan mendengarkan saksi-saksi, dan sempat merasa putus asa ingin menyerah. Perjalanan melelahkan ini akhirnya membuahkan hasil. Status janda yang diperoleh Ninis disambut dengan tangis bahagia dan lega. Meski di dalam hati kecilnya, Ninis merasa malu malu kepada orang Tua dan kerabat karena usia perkawinannya hanya sebentar. Saat ini, Ninis melanjutkan perkawinannya dan bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah kantor desa tempatnya kini tinggal.

b. Perkawinan Een dan Zidny, Perkara No. 258/Pdt.G/2013/MS-Bna

Sebut saja Een, perempuan berusia 24 tahun ini adalah anak ketiga di keluarganya. Een bekerja sebagai seorang pegawai Rumah Sakit Umum di Banda Aceh. Een menikah pada tahun 2010 dengan Zidny (29 tahun), seorang laki-laki berusia 29 tahun yang bekerja sebagai anggota Polisi Banda Aceh. Pada mulanya, Zidny dikenal Een sebagai sosok pria gagah dan penuh perhatian.

Perkenalan Een dengan Zidny berlangsung selama 6 bulan. Sejak awal masa perkenalan ini, orang tua Een yang notabene sebagai guru tidak merestui hubungan mereka.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim44

Een. Pendidikan Een pun masih tetap dapat dilanjutkan di jurusan keperawatan dalam program D3 di sebuah universitas dengan biayai dari orang tua Een. Namun Een terpaksa mengajukan cuti karena melahirkan putra pertamanya yang kini telah berusia 4 tahun.

Konflik berujung pada pertimbangan bercerai ketika Zidny harus mendekam di ruang tahanan selama 15 hari karena tertangkap tangan menggunakan narkoba. Wacana perceraian pun muncul di kalangan keluarga Een. Dalam situasi yang rumit, Een harus menghadapi tekanan dari mertuanya yang menyalahkannya dan menganggap Een tidak bersyukur atas apa yang diusahakan Zidny, suaminya. Keluarga Zidny menganggap Een terlalu banyak menuntut ekonomi pada Zidny dan menuduh Een tidak merasa cukup dari uang yang diberikan Zidny kepadanya. Meski telah berusaha menjelaskan situasi sebenarnya, namun mertua Een tidak bergeming dari anggapan negatif kepada Een.

Jerat narkoba juga telah membutakan akal sehat Zidny. Beberapa kali Zidny harus masuk jeruji penjara karena kasus-kasus pencurian, tunggakan pinjaman yang tidak dibayar, dan sejumlah kasus lainnya. karena masalah tersebut, Zidny juga jarang pulang hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Di masa kehamilan Een, Zidny juga masih berjibaku dengan persoalan hukum yang menjeratnya karena pengaruh narkoba dan judi. Belum lagi kebiasaan Zidny mulai dibawa ke rumah. Beberapa kali Een menemukan narkoba jenis shabu-shabu yang disimpan Zidny di kamarnya. Hal ini membuat perasaan Een makin tidak tenang dan dilematis.

Pengaruh narkoba juga telah merubah sikap dan perilaku Zidny. Beberapa kali Zidny dalam pengaruh narkoba melakukan kekerasan kepada Een. Sejumlah konflik di antara

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 45

Een dan Zidny makin sulit dibicarakan karena Zidny kesulitan berpikir jernih. Situasi ini terus menerus terjadi, yang tidak lagi jarang Een merasakan kekerasan dari Zidny pada saat dipengaruhi narkoba. Kekerasan psikis juga dirasakan Een saat Zidny menuduhnya berselingkuh dengan pria lain, padahal hal tersebut tidak pernah sekalipun dilakukan Een. Sejumlah masalah inilah yang semakin membulatkan tekad Een untuk mengakhiri perkawinannya melalui gugatan cerai di Mahkamah Syar’iyah.

Tuduhan sang mertua dan sikap sang suami yang tidak kunjung berubah memicu pertengkaran di antara Een dan Zidny semakin sering. Atas dasar inilah, Een dengan didukung keluarganya mengajukan gugatan cerai ke Mahkamah Syar’iyah. Een tidak melakukan upaya mediasi melalui sejumlah sumber daya mediasi yang ada karena Een dan keluarganya telah berusaha berkali-kali menasehati dan meminta Zidny menghentikan kebiasaan buruknya berjudi dan mengkonsumsi narkoba. Een dan keluarganya juga sudah kerap mengingatkan Zidny untuk memperhatikan kebutuhan nafkah di keluarganya yang kini telah membuahkan seorang anak. Namun semua upaya dan nasehat yang disampaikan menguap bagai air di bawah terik matahari. Zidny tidak berubah.

Proses peradilan yang dijalani Een tidak mudah. Pada panggilan pertama, Zidny tidak datang, namun diwakili oleh ibunya. Dalam sidang pertama, hakim menawarkan untuk berdamai dan menjalani proses mediasi sebagaimana prosedur yang telah ditetapkan di Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Een menolak karena Zidny tidak hadir di persidangan tersebut. Selang satu bulan berikutnya, dalam panggilan sidang ke dua, lagi-lagi Zidny tidak hadir dan

Een. Pendidikan Een pun masih tetap dapat dilanjutkan di jurusan keperawatan dalam program D3 di sebuah universitas dengan biayai dari orang tua Een. Namun Een terpaksa mengajukan cuti karena melahirkan putra pertamanya yang kini telah berusia 4 tahun.

Konflik berujung pada pertimbangan bercerai ketika Zidny harus mendekam di ruang tahanan selama 15 hari karena tertangkap tangan menggunakan narkoba. Wacana perceraian pun muncul di kalangan keluarga Een. Dalam situasi yang rumit, Een harus menghadapi tekanan dari mertuanya yang menyalahkannya dan menganggap Een tidak bersyukur atas apa yang diusahakan Zidny, suaminya. Keluarga Zidny menganggap Een terlalu banyak menuntut ekonomi pada Zidny dan menuduh Een tidak merasa cukup dari uang yang diberikan Zidny kepadanya. Meski telah berusaha menjelaskan situasi sebenarnya, namun mertua Een tidak bergeming dari anggapan negatif kepada Een.

Jerat narkoba juga telah membutakan akal sehat Zidny. Beberapa kali Zidny harus masuk jeruji penjara karena kasus-kasus pencurian, tunggakan pinjaman yang tidak dibayar, dan sejumlah kasus lainnya. karena masalah tersebut, Zidny juga jarang pulang hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Di masa kehamilan Een, Zidny juga masih berjibaku dengan persoalan hukum yang menjeratnya karena pengaruh narkoba dan judi. Belum lagi kebiasaan Zidny mulai dibawa ke rumah. Beberapa kali Een menemukan narkoba jenis shabu-shabu yang disimpan Zidny di kamarnya. Hal ini membuat perasaan Een makin tidak tenang dan dilematis.

Pengaruh narkoba juga telah merubah sikap dan perilaku Zidny. Beberapa kali Zidny dalam pengaruh narkoba melakukan kekerasan kepada Een. Sejumlah konflik di antara

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim46

hanya diwakili ibunya. Di ruang sidang, Ibu Zidny justru memojokkan Een dengan mengatakan “lebih baik bercerai saja, mumpung anak baru satu, dan kamu tidak bersyukur dengan gaji yang ada”, ucap Een menirukan kalimat Ibu Mertuanya.

Persoalan nafkah ekonomi tampak menjadi lebih rumit saat Een menjelaskan adanya tuntutan ekonomi dari ibu mertuanya kepada Zidny. Dari gaji yang diterima Zidny sebesar sekitar Rp. 1.500.000,, Ibu mertuanya meminta Rp. 500.000/bulan. Itupun kerap kali meminta tambahan setelah lewat 1-2 minggu dengan besaran jumlah yang kurang lebih sama kepada Een. Jika Een tidak memberikan, maka ia akan mendapat cacian yang tidak menyenangkan, termasuk mengatakan Een sebagai menantu yang pelit. Padahal Een sudah tidak lagi memegang uang lebih karena kebutuhan ekonomi yang lebih besar untuk keperluan sang anak.

Persidangan ketiga dan keempat dijalani Een dengan tetap tanpa kehadiran Zidny. Di persidangan keempat, kedua belah pihak diminta menghadirkan dua orang saksi. Selanjutnya putusan perceraian dijatuhkan pengadilan dengan tanpa kehadiran Zidny. Proses perceraian ini menghabiskan waktu sekitar 6 bulan. Meski tidak lama, namun Een merasa proses perceraian ini merupakan proses yang berat, apalagi ia harus selalu berhadapan dengan ibu mertuanya yang memosisikan dirinya sebagai pihak yang salah di hadapan hakim. Sementara Zidny tampak acuh tak acuh dan membiarkan dirinya memperjuangkan statusnya untuk bercerai.

Saat putusan cerai dijatuhkan, Een merasa lega dan bersyukur. Ia merasa dapat menata hidupnya dengan lebih baik bersama dengan anak semata wayangnya. Een pun

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 47

menyelesaikan pendidikan D3 nya sambil bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan kosmetik. Saat ini, Zidny masih berusaha mengajak Een kembali rujuk dengannya, namun Een tidak ingin mengulangi pengalaman buruk yang telah dijalani beberapa tahun bersama Zidny. Terkadang Zidny menemui Een dan memberikan sejumlah uang untuk anaknya. Hal ini sejalan dengan putusan pengadilan yang mengharuskan Zidny memberikan nafkah untuk sang anak sebesar Rp. 500.000/bulan. Meskipun tidak rutin, bagi Een hal tersebut tidak dijadikan masalah. Sepanjang hatinya tenang dan tidak dibebani berbagai konflik dan masalah, hal itu sudah cukup bagi Een. Kabar terakhir, Een mendengar Zidny sudah menikah lagi. Sang anak terkadang diajak Zidny menginap di rumahnya dan Een tidak pernah membatasi pertemuan anaknya dengan ayahnya.

c. Perkawinan Lilis dan Amir, Perkara No. 146/Pdt.G/2013/MS-Bna

Namanya Lilis, perempuan cerdas yang senang beraktifitas sosial di berbagai kegiatan. Lilis merupakan anak pertama dalam keluarganya. Ia menikah dengan Amir, seorang aktifis sosial yang sedang memperjuangkan pemulihan masyarakat Aceh dari bencana Tsunami. Perkenalannya dengan Amir terjadi tanpa sengaja dalam sebuah kesempatan kegiatan sosial. Perkenalan ini semakin mendekatkan keduanya karena memiliki perhatian yang sama pada isu sosial.

Amir melamar Lilis dan mengajaknya menikah. Ibunda Lilis sebenarnya sejak awal menyetujui pilihan anaknya, namun sebenarnya berharap tidak segera menikah mengingat

hanya diwakili ibunya. Di ruang sidang, Ibu Zidny justru memojokkan Een dengan mengatakan “lebih baik bercerai saja, mumpung anak baru satu, dan kamu tidak bersyukur dengan gaji yang ada”, ucap Een menirukan kalimat Ibu Mertuanya.

Persoalan nafkah ekonomi tampak menjadi lebih rumit saat Een menjelaskan adanya tuntutan ekonomi dari ibu mertuanya kepada Zidny. Dari gaji yang diterima Zidny sebesar sekitar Rp. 1.500.000,, Ibu mertuanya meminta Rp. 500.000/bulan. Itupun kerap kali meminta tambahan setelah lewat 1-2 minggu dengan besaran jumlah yang kurang lebih sama kepada Een. Jika Een tidak memberikan, maka ia akan mendapat cacian yang tidak menyenangkan, termasuk mengatakan Een sebagai menantu yang pelit. Padahal Een sudah tidak lagi memegang uang lebih karena kebutuhan ekonomi yang lebih besar untuk keperluan sang anak.

Persidangan ketiga dan keempat dijalani Een dengan tetap tanpa kehadiran Zidny. Di persidangan keempat, kedua belah pihak diminta menghadirkan dua orang saksi. Selanjutnya putusan perceraian dijatuhkan pengadilan dengan tanpa kehadiran Zidny. Proses perceraian ini menghabiskan waktu sekitar 6 bulan. Meski tidak lama, namun Een merasa proses perceraian ini merupakan proses yang berat, apalagi ia harus selalu berhadapan dengan ibu mertuanya yang memosisikan dirinya sebagai pihak yang salah di hadapan hakim. Sementara Zidny tampak acuh tak acuh dan membiarkan dirinya memperjuangkan statusnya untuk bercerai.

Saat putusan cerai dijatuhkan, Een merasa lega dan bersyukur. Ia merasa dapat menata hidupnya dengan lebih baik bersama dengan anak semata wayangnya. Een pun

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim48

Lilis bercita-cita ingin menjadi PNS dan menjadi sarjana. Sementara ayah Lilis lebih memilih mengikuti keputusan istrinya. Namun karena Amir terus meyakinkan Lilis dan orang tuanya, akhirnya mereka menikah pada Bulan Agustus 2008 dan Lilis meninggalkan kuliahnya demi perkawinannya dengan Amir. Lilis harus mengakhiri mimpinya menjadi sarjana karena Amir meminta Lilis tinggal di kota tempat Amir bekerja dan jauh dari universitas tempat Lilis belajar.

Di awal perkawinan, Lilis dan Amir tinggal di kota yang berbeda dengan orang tua Lilis. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan dan menjalani kehidupan dengan bahagia. Lilis merasakan hangatnya kasih sayang Amir kepadanya. Lilis merasa sangat bahagia dan melupakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah. Selang satu tahun berikutnya, saat Amir tidak mendapatkan perpanjangan kontrak dari kerjanya sebagai aktifis social, masalah mulai muncul. Amir dengan statusnya yang aktifis social tampak kurang berusaha untuk mencari pekerjaan di ruang publik lainnya. Dalam situasi sulit ini, Lilis mengandung buah hati perkawinan mereka dan harus bekerja sebagai buruh cuci demi dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga.

Dalam kondisi hamil yang berat, Lilis bekerja di beberapa rumah di sekitar tempat tinggalnya. Sementara Amir memulai kebiasaan barunya dengan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman aktifisnya. Mereka kerap diajak datang ke rumah Amir dan berpesta minuman keras bersama-sama. Lilis dipaksa untuk menyediakan makanan dan memberikan uang untuk membeli minuman keras tersebut. Hal ini memicu pertengkaran antara Lilis dan Amir.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 49

Beratnya beban kerja yang ditanggung Lilis membuat tubuh Lilis menjadi kurus. Saat Lilis pulang ke rumah orang tuanya, sang ibu heran melihat perubahan pada tubuh Lilis. Namun Lilis selalu menutupi masalah rumah tangganya karena dia merasa bersalah telah memaksa orang tuanya menyetujui perkawinan mereka yang sebenarnya tidak dikehendaki waktunya oleh sang ibunda. Sikap Lilis yang menutupi masalah keluarganya tidak dapat merubah perasaan sang ibu terhadap kehidupan anaknya yang jauh dari dirinya. Ibunya pun meminta adik laki-laki Lilis untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Lilis di rumah kontrakannya.

Kebiasaan mabuk Amir semakin menjadi-jadi. Hal ini menjadikan Amir semakin tidak berpikir untuk bekerja demi keberlangsungan keluarganya. Hingga anaknya lahir dan mulai tumbuh besar, kebiasaan Amir tidak kunjung berakhir. Dalam hitungan ingatan Lilis, tanggung jawab ekonomi yang diemban Lilis sudah terjadi sejak tahun 2010 hingga Lilis memutuskan mengajukan gugatan cerai pada tahun 2013.

Keputusan Lilis ini bukan keputusan yang mudah. Lilis harus mempertimbangkan berbagai hal, khususnya masa depan anak lelaki semata wayangnya. Di saat Lilis sudah yakin dengan pilihannya, Lilis menyampaikan kepada Amir, namun Amir justru marah dan menyalahkan Lilis. Amir menilai sikap Lilis yang telah membuatnya berubah. Lilis dianggap tidak bersyukur dengan kondisi yang ada dan memaksa dirinya bekerja, padahal belum ada pekerjaan yang cocok untuk dirinya. Amir tidak melihat bagaimana Lilis bekerja bertahun-tahun demi kebutuhan keluarga dan biaya kontrakan rumah dapat terbayar. Namun Amir tetap pada

Lilis bercita-cita ingin menjadi PNS dan menjadi sarjana. Sementara ayah Lilis lebih memilih mengikuti keputusan istrinya. Namun karena Amir terus meyakinkan Lilis dan orang tuanya, akhirnya mereka menikah pada Bulan Agustus 2008 dan Lilis meninggalkan kuliahnya demi perkawinannya dengan Amir. Lilis harus mengakhiri mimpinya menjadi sarjana karena Amir meminta Lilis tinggal di kota tempat Amir bekerja dan jauh dari universitas tempat Lilis belajar.

Di awal perkawinan, Lilis dan Amir tinggal di kota yang berbeda dengan orang tua Lilis. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan dan menjalani kehidupan dengan bahagia. Lilis merasakan hangatnya kasih sayang Amir kepadanya. Lilis merasa sangat bahagia dan melupakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah. Selang satu tahun berikutnya, saat Amir tidak mendapatkan perpanjangan kontrak dari kerjanya sebagai aktifis social, masalah mulai muncul. Amir dengan statusnya yang aktifis social tampak kurang berusaha untuk mencari pekerjaan di ruang publik lainnya. Dalam situasi sulit ini, Lilis mengandung buah hati perkawinan mereka dan harus bekerja sebagai buruh cuci demi dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga.

Dalam kondisi hamil yang berat, Lilis bekerja di beberapa rumah di sekitar tempat tinggalnya. Sementara Amir memulai kebiasaan barunya dengan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman aktifisnya. Mereka kerap diajak datang ke rumah Amir dan berpesta minuman keras bersama-sama. Lilis dipaksa untuk menyediakan makanan dan memberikan uang untuk membeli minuman keras tersebut. Hal ini memicu pertengkaran antara Lilis dan Amir.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim50

pendiriannya dan justru memilih meninggalkan Lilis hingga berbulan-bulan tanpa kabar.

Lilis berusaha mencari informasi dimana Amir berada, namun usaha Lilis tidak kunjung berhasil. Selama Amir tidak pulang, Lilis terus berusaha bekerja sambil merawat anaknya yang masih berusia 2 tahun. Namun secara tiba-tiba, Amir datang dan akan mengambil anaknya untuk dibawa entah kemana. Tentu saja Lilis keberatan dan merasa khawatir Amir akan datang kembali dan mengambil anaknya tanpa sepengetahuannya. Akhirnya Lilis kembali pulang ke rumah orang tuanya dan menceritakan semua masalah perkawinannya pada orang tuanya.

Melihat situasi tersebut, orang tua Lilis mengajak Lilis berkonsultasi pada pak Keuceuk atau ke ustadz di kampong orang tua Lilis. Proses mediasi pun dilakukan, namun hasil mediasi selalu meminta Lilis untuk bersabar dan mempertahankan rumah tangganya. Adik Lilis dan orang tua Lilis akhirnya menyetujui keputusan Lilis untuk melakukan gugat cerai di Mahkamah Syar’iyah pada Bulan Mei 2013. Lilis mengajukan gugatan cerai dengan dua alasan utama, yaitu masalah nafkah yang tidak pernah dipenuhi sang suami lebih dari 3 tahun dan kebiasaan mabuk dan minum minuman keras sang suami. Lilis tidak mengajukan alasan kekerasna yang dialaminya karena saran dari pihak Posbakum Mahkamah Syar’iyah. Proses sidangpun mulai dijalani Lilis.

Persidangan yang dilalui Lilis memakan waktu lebih dari satu tahun. Hal ini dikarenakan Amir tidak pernah hadir dalam persidangan sehingga selalu tertunda-tunda. Suatu ketika, Lilis sudah merasa putus asa menjalani proses persidangan yang terasa tidak pernah berakhir. Namun untunglah Lilis bertemu kembali dengan seorang teman

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 51

kuliahnya dahulu dan memberikan semangat untuk terus berjuang demi masa depan Lilis dan anaknya.

Di setiap persidangan, keluarga Lilis terus mendampingi Lilis. Meski Amir tidak pernah hadir dan tidak ada yang mewakilinya, namun keluarga Lilis terus memberikan dukungan hingga akhirnya putusan cerai diterima Lilis. Lilis merasa sangat lega dengan putusan tersebut. Bagi Lilis, menjadi janda jauh lebih baik baginya ketimbang memiliki status istri namun dengan beban berat yang tidak adil baginya.

Setelah perceraian, orang tua Lilis mendorong Lilis untuk bangkit menggapai cita-citanya yang tertunda dengan kembali meneruskan kuliahnya. Dengan bantuan biaya dari orang tuanya, Lilis kembali menikmati bangku kuliah dan saat wawancara berlangsung, Lilis telah menjadi sarjana strata 1 dari sebuah universitas swasta di Aceh. Sementara komunikasi Amir dan Lilis semakin jarang dan dalam kualitas buruk karena masih menyalahkan Lilis. Sesekali Amir datang diam-diam menemui anaknya dan memberikan uang saku sebesar Rp. 5.000-10.000. Anak Lilis yang masih berusia 4 tahun tersebut senang mendapatkan uang dari ayahnya, meski Lilis prihatin dengan cara Amir menemui sang anak mereka. Lilis tidak pernah mempersoalkan uang nafkah untuk anaknya yang harus dipenuhi Amir berdasarkan keputusan MS. Bagi Lilis, hal tersebut dapat Lilis maklumi, mengingat di masa perkawinan mereka saja, Amir tidak memberikan nafkah untuknya dan anaknya. Apalagi sekarang yang sudah tinggal berbeda kota dengan Lilis. Saat ini, Lilis sudah menikah lagi, demikian juga dengan Amir, Lilis mendengar Amir sudah menikah lagi. Lilis bersyukur karena suami keduanya sekarang adalah sosok suami yang sangat

pendiriannya dan justru memilih meninggalkan Lilis hingga berbulan-bulan tanpa kabar.

Lilis berusaha mencari informasi dimana Amir berada, namun usaha Lilis tidak kunjung berhasil. Selama Amir tidak pulang, Lilis terus berusaha bekerja sambil merawat anaknya yang masih berusia 2 tahun. Namun secara tiba-tiba, Amir datang dan akan mengambil anaknya untuk dibawa entah kemana. Tentu saja Lilis keberatan dan merasa khawatir Amir akan datang kembali dan mengambil anaknya tanpa sepengetahuannya. Akhirnya Lilis kembali pulang ke rumah orang tuanya dan menceritakan semua masalah perkawinannya pada orang tuanya.

Melihat situasi tersebut, orang tua Lilis mengajak Lilis berkonsultasi pada pak Keuceuk atau ke ustadz di kampong orang tua Lilis. Proses mediasi pun dilakukan, namun hasil mediasi selalu meminta Lilis untuk bersabar dan mempertahankan rumah tangganya. Adik Lilis dan orang tua Lilis akhirnya menyetujui keputusan Lilis untuk melakukan gugat cerai di Mahkamah Syar’iyah pada Bulan Mei 2013. Lilis mengajukan gugatan cerai dengan dua alasan utama, yaitu masalah nafkah yang tidak pernah dipenuhi sang suami lebih dari 3 tahun dan kebiasaan mabuk dan minum minuman keras sang suami. Lilis tidak mengajukan alasan kekerasna yang dialaminya karena saran dari pihak Posbakum Mahkamah Syar’iyah. Proses sidangpun mulai dijalani Lilis.

Persidangan yang dilalui Lilis memakan waktu lebih dari satu tahun. Hal ini dikarenakan Amir tidak pernah hadir dalam persidangan sehingga selalu tertunda-tunda. Suatu ketika, Lilis sudah merasa putus asa menjalani proses persidangan yang terasa tidak pernah berakhir. Namun untunglah Lilis bertemu kembali dengan seorang teman

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim52

penyayang dan mencintai anak lelaki Lilis buah perkawinan sebelumnya.

d. Perkawinan Cantik dan Heru. Kasus masih dalam proses menuju persidangan Gugat Cerai.

Perempuan paruh baya itu sebut saja Cantik, ia seorang PNS di pemerintah daerah Kota Banda Aceh di bagian pelayanan kesehatan masyarakat. Cantik menikah dengan Hery, seorang pegawai honorer di sebuah rumah sakit swasta di Aceh. Hery adalah pria pilihan hati Cantik yang dinilainya sangat mencintai dirinya. Perkenalan mereka berlangsung cukup lama, dan telah berpacaran lebih dari satu tahun.

Perkaiwnan Cantik sudah masuk tahun ke tujuh. Sejak Cantik bekerja di 4 tahun silam, Hery tidak lagi memberikan nafkah kepadanya. Gaji hasil kerjanya yang biasanya diberikan kepadanya, semua atau sebagian, kini tidak lagi diterimanya sama sekali. Cantik kerap menanyakan kepada Hery, mengapa ia tidak lagi memberikan nafkah kepadanya. Namun bukan jawaban yang diterima Cantik, namun sebaliknya, Hery menghujaninya dengan sejumlah tindak kekerasan fisik.

Kekerasan dalam rumah tangga yang dirasakan oleh Cantik telah berlangsung lebih dari 3 tahun terakhir. Tindakan kekerasan ini tidak hanya dalam bentuk bentakan, cacian, dan kekerasan verbal lainnya, namun sudah dalam bentuk kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, membenturkan kepala Cantik di tembok, dan menghantamkan kepala Cantik di dasbord mobil sehingga mengeluarkan darah yang tidak sedikit.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 53

Hery juga telah memiliki wanita idaman lain dan Hery sudah sering menginap di rumah perempuan tersebut. belakangan, Cantik mengetahui Hery telah terjerat narkoba dan di sanalah uang hasil kerja Hery lebih banyak dibelanjakan. Bahkan tidak jarang, dengan pola kekerasan, Hery memaksa Cantik memberikan sejumlah uang kepadanya dengan tanpa menjelaskan untuk kepentingan apa.

Atas tindak kekerasan yang dialaminya, Cantik pernah melaporkan ke kepolisian dan menjadikan Hery ditahan selama satu minggu. Kemudian Cantik mencabut laporannya dan membebaskan Hery dengan status tahanan kota karena sebenarnya Cantik hanya ingin memberikan pelajaran kepada Hery agar menghentikan kebiasaan buruknya melakukan kekerasan kepadanya. Namun ternyata usaha Cantik tidak membuahkan hasil. Hery tetap saja mengulang perbuatannya, bahkan di depan anaknya yang masih berusia 3 tahun. Cantik semakin khawatir tindakan Hery ini dapat merusak mental sang anak dan memperburuk masa depannya.

Cantik pun berniat mengajukan cerai gugat, namun ibunda cantik tidak menyetujuinya. Dalam amatan ibunya, perkawinan Cantik dan Hery yang masih tinggal di rumah ibunda Cantik ini masih bisa diselamatkan. Hal ini dikarenakan tindak kekerasan sang suami selalu ditutupi di hadapan ibunya. Masalah ekonomi juga tidak pernah dikeluhkan Cantik, bahkan kerap Cantik berbohong kepada ibunya dengan mengatakan bahwa uang yang diberikan Cantik kepada ibunya adalah dari Hery, padahal uang tersebut dari gaji dirinya bekerja.

Suatu ketika, kekerasan kembali terjadi karena Cantik membuang narkoba yang ditemukannya di bawah baju Hery. Sontak Hery marah besar dan menjambak rambut Cantik

penyayang dan mencintai anak lelaki Lilis buah perkawinan sebelumnya.

d. Perkawinan Cantik dan Heru. Kasus masih dalam proses menuju persidangan Gugat Cerai.

Perempuan paruh baya itu sebut saja Cantik, ia seorang PNS di pemerintah daerah Kota Banda Aceh di bagian pelayanan kesehatan masyarakat. Cantik menikah dengan Hery, seorang pegawai honorer di sebuah rumah sakit swasta di Aceh. Hery adalah pria pilihan hati Cantik yang dinilainya sangat mencintai dirinya. Perkenalan mereka berlangsung cukup lama, dan telah berpacaran lebih dari satu tahun.

Perkaiwnan Cantik sudah masuk tahun ke tujuh. Sejak Cantik bekerja di 4 tahun silam, Hery tidak lagi memberikan nafkah kepadanya. Gaji hasil kerjanya yang biasanya diberikan kepadanya, semua atau sebagian, kini tidak lagi diterimanya sama sekali. Cantik kerap menanyakan kepada Hery, mengapa ia tidak lagi memberikan nafkah kepadanya. Namun bukan jawaban yang diterima Cantik, namun sebaliknya, Hery menghujaninya dengan sejumlah tindak kekerasan fisik.

Kekerasan dalam rumah tangga yang dirasakan oleh Cantik telah berlangsung lebih dari 3 tahun terakhir. Tindakan kekerasan ini tidak hanya dalam bentuk bentakan, cacian, dan kekerasan verbal lainnya, namun sudah dalam bentuk kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, membenturkan kepala Cantik di tembok, dan menghantamkan kepala Cantik di dasbord mobil sehingga mengeluarkan darah yang tidak sedikit.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim54

untuk kemudian dibenturkan di tembok kamar. Suara gaduh ini terdengar sang ibu, namun Cantik masih berusaha menutupi kejadian tersebut di hadapan dengan mengatakan dirinya jatuh saat tidur. Meskipun ibunya heran karena ada darah mengucur di sela bibir Cantik, namun ibunya memilih diam. Di hari yang lain, Cantik kembali mengalami kekerasan saat handphone Hery berdering saat Hery mengemudikan mobil. Spontan Cantik menjawab suara panggilan telepon tersebut yang ternyata dari wanita idaman lain Hery. Kesempatan tersebut digunakan Cantik untuk membuktikan kebenaran Hery telah berselingkuh. Cantik membunyikan suara telepon (menggunakan loadspeaker) dan menanyakan apakah dia adalah kekasi Hery. Perempuan di seberang telepon yang tidak tahu itu suara istri Hery menjawab apa adanya, sehingga Hery marah dan membanting HP tersebut. Kemudi mobil menjadi oleng karena kemudian Hery membentur-benturkan kepala Cantik di dasbord mobil hingga Cantik bersimbah darah dan tidak sadarkan diri.

Hery panik dan langsung menuju pulang. Ibunda Cantik kaget dengan kondisi Cantik dan segera membawa ke puskesmas terdekat. Beruntung nyawa Cantik dapat diselamatkan. Namun kejadian tersebut membangunkan kesadaran sang ibunda terhadap keselamatan putrinya. Sejak saat itulah, ibunda Cantik menyerahkan keputusan Cantik untuk bercerai.

Saat wawancara ini berlangsung, Cantik masih menjalani proses mediasi di sebuah KUA di Banda Aceh meskipun izin permohonan cerai gugatnya sudah dikantonginya untuk selanjutnya diserahkan ke Mahkamah Syar’iyah. Cantik tidak menuntut apapun dari Hery, kecuali status perkawinannya dapat dilepaskan dan pengasuhan anak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 55

di tangannya. Bagi Cantik, ikhiyar yang sudah dijalaninya selama 3 tahun terakhir dengan harapan Hery dapat merubah tindakannya telah gagal. Karena itulah, Cantik merasa harus segera mengambil tindakan bercerai demi masa depan dirinya dan anaknya. Keputusan ini merupakan keputusan berat buat Cantik, selain karena Cantik masih mencintai suaminya, juga karena orang tuanya merasa malu jika perkawinan anaknya berakhir dengan perceraian. Namun Cantik meyakini rangkaian kekerasan ini harus diakhiri agar tidak semakin buruk dan mengancam jiwa diri dan anaknya.

KETIKA “MEMILIH” MELEPAS IKATAN PERKAWINAN

a. Menggugat Cerai untuk Mengakhiri Ketidakadilan

Dari elaborasi data dan empat kasus di atas, dapat dilihat apa alasan utama perempuan melakukan gugat cerai. Pilihan untuk melakukan gugat cerai bukan perkara mudah bagi perempuan, apalagi ketika telah hadir seorang anak di tengah-tengah kehidupan mereka. Sejumlah alasan yang dijadikan alasan perempuan mengadukan cerai gugat adalah karena faktor ekonomi, narkoba, kekerasan dalam rumah tangga, dan adanya pihak ketiga baik dari kalangan keluarga maupun dari luar keluarga.

Fakta ini tampak sejalan dengan informasi dari beberapa narasumber yang terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, hakim, dan konsultan perkawinan. Mayoritas alasan yang menjadi penyebab perceraian adalah perselingkuhan, masalah ekonomi, dan masalah pihak ketiga. Sedangkan secara spesifik salah satu hakim MS Kota Banda Aceh menyebutkan bahwa persoalan mendasar dari perkara cerai gugat terkait erat dengan kesadaran masyarakat dalam

untuk kemudian dibenturkan di tembok kamar. Suara gaduh ini terdengar sang ibu, namun Cantik masih berusaha menutupi kejadian tersebut di hadapan dengan mengatakan dirinya jatuh saat tidur. Meskipun ibunya heran karena ada darah mengucur di sela bibir Cantik, namun ibunya memilih diam. Di hari yang lain, Cantik kembali mengalami kekerasan saat handphone Hery berdering saat Hery mengemudikan mobil. Spontan Cantik menjawab suara panggilan telepon tersebut yang ternyata dari wanita idaman lain Hery. Kesempatan tersebut digunakan Cantik untuk membuktikan kebenaran Hery telah berselingkuh. Cantik membunyikan suara telepon (menggunakan loadspeaker) dan menanyakan apakah dia adalah kekasi Hery. Perempuan di seberang telepon yang tidak tahu itu suara istri Hery menjawab apa adanya, sehingga Hery marah dan membanting HP tersebut. Kemudi mobil menjadi oleng karena kemudian Hery membentur-benturkan kepala Cantik di dasbord mobil hingga Cantik bersimbah darah dan tidak sadarkan diri.

Hery panik dan langsung menuju pulang. Ibunda Cantik kaget dengan kondisi Cantik dan segera membawa ke puskesmas terdekat. Beruntung nyawa Cantik dapat diselamatkan. Namun kejadian tersebut membangunkan kesadaran sang ibunda terhadap keselamatan putrinya. Sejak saat itulah, ibunda Cantik menyerahkan keputusan Cantik untuk bercerai.

Saat wawancara ini berlangsung, Cantik masih menjalani proses mediasi di sebuah KUA di Banda Aceh meskipun izin permohonan cerai gugatnya sudah dikantonginya untuk selanjutnya diserahkan ke Mahkamah Syar’iyah. Cantik tidak menuntut apapun dari Hery, kecuali status perkawinannya dapat dilepaskan dan pengasuhan anak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim56

memahami nilai perkawinan yang masih rendah, persoalan ekonomi/nafkah, dan persoalan kesibukan dan pemahaman yang berbeda antara suami dan istri. Gambaran ini tampak linier dengan data data Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dalam lima tahun terakhir sebagaimana dalam tabel di bab sebelumnya.

Terkait data peceraian di Mahkamah Syar’iyah, ada 3 hal yang perlu diperhatikan, pertama, data yang ada merupakan data yang berlaku umum pada semua jenis perceraian. Mahkamah Syar’iyah tidak melakukan pemilahan alasan perceraian berdasarkan dua jenis perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat.

Kedua, data alasan perceraian memungkinkan bukan data yang sesungguhnya menjadi alasan utama pihak yang berperkara. Di satu sisi, dalam satu perkara perceraian hakim hanya mengambil salah satu sebab perceraian yang diajukan. Padahal dalam setiap perkara perceraian, alasan perceraian dapat meliputi lebih dari 1 alasan. Pilihan alasan yang dimasukkan dalam data Mahkamah Syar’iyah merujuk pada kesimpulan hakim yang menangani perkara perceraian tersebut. Hakim akan mengambil salah satu alasan yang dianggap paling dominan dari perkara yang ada karena alasan lain yang tidak dominan dianggap sebagai alasan penyerta atau dampak lanjutan dari alasan utama (wwcr hakim). Sedangkan di sisi yang lain, ada banyak strategi yang dilakukan pihak yang berperkara dalam upaya mempercepat proses perceraiannya sehingga kadangkala alasan perceraian dipilih yang paling memudahkan proses persidangan nantinya.

Ketiga, dalam menelusuri perkara perceraian, hakim tidak selalu menanyakan hal spesifik yang melandasi

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 57

perkawinan tersebut, khususnya terkait proses pra perkawinan dilangsungkan. Padahal hubungan antara keduanya sangat mungkin relevan. Pun alasan perceraian diakui hakim tidak selalu dikembangkan untuk menemukan sebab paling utama karena dalam perspektif hakim. Dalam penjelasan hakim melalui wawancara, upaya ini dilakukan hakim dengan maksud agar persoalan tidak semakin besar sehingga perceraian yang terjadi tidak semakin membuka benih kebencian dan permusuhan di antara para pihak yang berperkara. Dengan demikian, perceraian tetap menjadi jalan keluar yang diperkecil kemungkinan menimbulkan masalah baru yang lain di luar pengadilan, misalnya mangkirnya sang suami atas nafkah anak, atau hubungan orang tua dengan anak hasil perkawinan tidak semakin rusak. Akan tetapi niat baik ini berpengaruh terhadap data yang dimiliki MS dalam hal alasan perceraian.

Dalam konteks alasan cerai gugat, dari 3 pengalaman perempuan menyatakan bahwa alasan yang diajukan dalam materi gugatan tidak selalu menyebutkan semua hal yang menjadi alasan dirinya mengambil keputusan menggugat cerai. Perempuan hanya menyebutkan beberapa alasan yang menurut mereka paling dirasakan menjadi penyebab dirinya menggugat cerai. Hal ini terlihat dari contoh kasus Ninis yang menggugat cerai suaminya karena alasan tidak diberi nafkah. Padahal sejatinya perkara Ninis diawali oleh pengingkaran perjanjian pra nikah oleh pihak suami kepada Ninis dan pelarangan Ninis bekerja di ranah publik. Demikian juga pada perkara gugat cerai Cantik yang masih dalam proses pengajuan, pihak istri yang mengalami kekerasan fisik berat ini memilih mencabut gugatan pidananya di kepolisian dan berencana membuat simplifikasi pada materi gugatan

memahami nilai perkawinan yang masih rendah, persoalan ekonomi/nafkah, dan persoalan kesibukan dan pemahaman yang berbeda antara suami dan istri. Gambaran ini tampak linier dengan data data Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dalam lima tahun terakhir sebagaimana dalam tabel di bab sebelumnya.

Terkait data peceraian di Mahkamah Syar’iyah, ada 3 hal yang perlu diperhatikan, pertama, data yang ada merupakan data yang berlaku umum pada semua jenis perceraian. Mahkamah Syar’iyah tidak melakukan pemilahan alasan perceraian berdasarkan dua jenis perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat.

Kedua, data alasan perceraian memungkinkan bukan data yang sesungguhnya menjadi alasan utama pihak yang berperkara. Di satu sisi, dalam satu perkara perceraian hakim hanya mengambil salah satu sebab perceraian yang diajukan. Padahal dalam setiap perkara perceraian, alasan perceraian dapat meliputi lebih dari 1 alasan. Pilihan alasan yang dimasukkan dalam data Mahkamah Syar’iyah merujuk pada kesimpulan hakim yang menangani perkara perceraian tersebut. Hakim akan mengambil salah satu alasan yang dianggap paling dominan dari perkara yang ada karena alasan lain yang tidak dominan dianggap sebagai alasan penyerta atau dampak lanjutan dari alasan utama (wwcr hakim). Sedangkan di sisi yang lain, ada banyak strategi yang dilakukan pihak yang berperkara dalam upaya mempercepat proses perceraiannya sehingga kadangkala alasan perceraian dipilih yang paling memudahkan proses persidangan nantinya.

Ketiga, dalam menelusuri perkara perceraian, hakim tidak selalu menanyakan hal spesifik yang melandasi

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim58

cerainya karena tidak ingin masalah lebih besar terjadi setelahnya.

Dalam proses pengambilan keputusan, pengalaman perempuan menunjukkan bahwa pada dasarnya perempuan mencoba mempertahankan perkawinannya dengan berbagai upaya. Memaafkan kesalahan sang suami menjadi satu ritual yang telah berkali-kali dilakukan perempuan dalam kebanyakan konflik yang ada. Misalnya saja, pada pengalaman perkawinan Een yang bersuamikan pecandu narkoba, ia selalu memaafkan tindakan kekerasan fisik yang dialaminya karena dianggap berada dalam pengaruh narkoba. Kekurangan ekonomi karena terserapnya gaji suami untuk kepentingan narkoba juga selalu ditutupi dengan menggunakan sumber ekonomi dari dirinya dan bantuan orang tuanya. Een juga tak hentinya mengingatkan suaminya untuk memperbaiki bersama, namun kerapkali berakhir dengan kekerasan. Hingga sampai pada tindak kekerasan yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh Een, barulah ia memikirkan untuk mengambil keputusan. Hal ini merefleksikan bahwa gugatan perceraian yang diajukan perempuan merupakan tindakan terakhir setelah berbagai upaya dicoba dilakukan.

Dalam memutuskan perceraian, perempuan selalu mengalami masa maju mundur. Hal ini dialami 3 perempuan yang telah menjalani perceraian gugat dan seorang perempuan yang sedang menjalani proses gugat cerai. Keterbatasan pengetahuan perempuan dalam prosedur perceraian membuat perempuan seringkali jauh dari pikiran untuk bercerai. Perempuan baru berpikir bercerai setelah terpapar informasi yang cukup tentang prosedur perceraian, durasi waktu yang akan dijalani, dan perkiraan biaya yang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 59

harus disiapkan sampai putusan terjadi. Namun hal mendasar yang membuat perempuan berada dalam kebimbangan keputusan seringkali berada di luar diri perempuan. Di antara alasan kebimbangan perempuan adalah nama baik keluarga, kepentingan pendidikan dan perkembangan anak, dan jaminan ekonomi untuk penghidupan dan pendidikan anak. Dalam situasi yang lain, perempuan terkadang diragukan oleh perasaan cinta yang seperti masih ada dalam dirinya serta harapan akan kemungkinan terjadinya perdamaian.

Di dalam proses perceraian, perempuan tidak pernah sendirian. Ia selalu didampingi oleh pihak lain, seperti ibu, kakak, teman, pendamping hokum atau pengacara, meskipun perempuan tidak mengharapkannya. Namun perempuan merasa lebih percaya diri saat ada yang mendampingi proses berat yang dia jalani. Pihak-pihak yang ada di Mahkamah Syar’iyah dirasakan cukup membantu perempuan dalam menjalani proses perceraiannya. Kemudahan mendapatkan informasi dan pendampingan dalam penyusunan materi gugatan cukup baik dirasakan perempuan. Sementara itu, durasi waktu proses perceraian yang dilalui dinilai perempuan sebagai proses yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu berbelit-belit. Sekitar 3-6 bulan proses perceraian selesai sampai keluarnya akta cerai, namun juga ada yang sampai lebih dari 2 tahun. Namun demikian, pada kasus dimana perempuan menggugat cerai suaminya yang adalah anggota kepolisian, perempuan merasakan prosedur yang lebih rumit dan lebih panjang. Proses meminta izin atasan dan berbagai hal terkait administrasi harus dilalui oleh perempuan sendiri karena suami yang akan diceraikannya tidak menunjukkan itikad baik membantunya dalam pengurusan adminstasi perceraiannya.

cerainya karena tidak ingin masalah lebih besar terjadi setelahnya.

Dalam proses pengambilan keputusan, pengalaman perempuan menunjukkan bahwa pada dasarnya perempuan mencoba mempertahankan perkawinannya dengan berbagai upaya. Memaafkan kesalahan sang suami menjadi satu ritual yang telah berkali-kali dilakukan perempuan dalam kebanyakan konflik yang ada. Misalnya saja, pada pengalaman perkawinan Een yang bersuamikan pecandu narkoba, ia selalu memaafkan tindakan kekerasan fisik yang dialaminya karena dianggap berada dalam pengaruh narkoba. Kekurangan ekonomi karena terserapnya gaji suami untuk kepentingan narkoba juga selalu ditutupi dengan menggunakan sumber ekonomi dari dirinya dan bantuan orang tuanya. Een juga tak hentinya mengingatkan suaminya untuk memperbaiki bersama, namun kerapkali berakhir dengan kekerasan. Hingga sampai pada tindak kekerasan yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh Een, barulah ia memikirkan untuk mengambil keputusan. Hal ini merefleksikan bahwa gugatan perceraian yang diajukan perempuan merupakan tindakan terakhir setelah berbagai upaya dicoba dilakukan.

Dalam memutuskan perceraian, perempuan selalu mengalami masa maju mundur. Hal ini dialami 3 perempuan yang telah menjalani perceraian gugat dan seorang perempuan yang sedang menjalani proses gugat cerai. Keterbatasan pengetahuan perempuan dalam prosedur perceraian membuat perempuan seringkali jauh dari pikiran untuk bercerai. Perempuan baru berpikir bercerai setelah terpapar informasi yang cukup tentang prosedur perceraian, durasi waktu yang akan dijalani, dan perkiraan biaya yang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim60

b. Dampak Cerai Gugat pada Institusi Keluarga

Setelah proses perceraian berlangsung, beberapa perempuan memahami bahwa masa iddah dimulai setelah ia menerima akta cerai. Padahal pada hakikatnya perceraian sudah jatuh dan sah saat dijatuhkan talak oleh ketua majelis hakim. Namun pengetahuan perempuan yang terbatas menjadikan perempuan menjalani masa iddah dua kali, yaitu saat sudah dijatuhkan talak oleh hakim. Sedangkan sebagian yang lainnya menjalani masa iddahnya di saat setelah akta cerai diterima.

Dalam materi yang tertuang dalam putusan pengadilan, terdapat hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dari suami atau istri. Namun penerapan putusan pengadilan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Dalam perkara perceraian Lilis dan Ninis, misalnya, mantan suaminya tidak pernah mengiriminya sejumlah dana yang seharusnya diterima untuk anaknya sebagaimana putusan pengadilan. Namun karena sifat pengadilan agama yang pasif, maka ketidakpatuhan atas putusan pengadilan tidak dapat langsung ditindak kecuali dengan pengajuan tuntutan baru dari pihak perempuan. Dalam konteks ini, seringkali berdampak ketidakadilan pada perempuan karena selain harus merawat dan mendidik anaknya, perempuan juga harus bertanggung jawab atas kebutuhan ekonomi anaknya.

Dalam situasi ini, perempuan mengaku tidak ingin melakukan gugatan baru kepada laki-laki karena tidak menjalankan putusan hakim. Perempuan cenderung memilih untuk mengambil alih peran dan kewajiban mantan suaminya. Bagi perempuan, kondisi semacam ini sesungguhnya sudah diperkirakan sebelumnya karena tingkat tanggung jawab laki-laki di masa perkawinan sudah tidak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 61

mennjukkan komitmen yang baik. Namun dalam konteks keadilan hokum, situasi semacam ini harus dipertimbangkan agar keadilan hokum dapat dirasakan oleh semua subyek hokum.

Dalam hal pendidikan anak, perceraian dalam bentuk apapun dapat dipastikan memiliki dampak pada perkembangan pendidikan dan petumbuhan anak. Keutuhan sebuah institusi keluarga yang damai memberi pengaruh yang lebih baik dalam perkembangan psikologi anak. Perasaan tidak sempurna sebagaimana rekan-rekan bermainnya akan menjadi salah satu persoalan perkembangan anak yang semestinya disadari oleh para orang tua yang bercerai. Meskipun saat ini pengalaman perempuan belum menunjukkan hal tersebut, namun perlu diantisipasi.

Di luar kemungkinan terjadinya persoalan perkembangan psikologi anak, dampak yang terlihat pada anak-anak dari keluarga cerai gugat adalah adanya kedekatan emosional yang berbeda dari anak kepada orang tuanya. Rasa asing pada ayahnya karena intensitas pertemuan yang jarang dan perasaan tidak suka pada sosok ayah terjadi. Dalam pengakuan keluarga dinyatakan bahwa hal tersebut tumbuh secara alamiah pada anak, meskipun perlu dikaji lebih mendalam. Penolakan untuk bersama sang ayah seringkali ditolak anak, hal ini terlihat dari dua kasus cerai gugat di atas, dimana sang anak menolak bertemu ayahnya karena merasa asing atau tidak mengenalinya. Situasi ini makin kuat ketika perempuan sudah menikah lagi, maka sang anak memiliki figur ayah baru yang dirasakan lebih dekat dengan dirinya. Hal ini diakui dua informan dari 4 kasus yang ada.

Perceraian pada akhirnya berdampak pada cara pandang perempuan terhadap nilai dari institusi perkawinan.

b. Dampak Cerai Gugat pada Institusi Keluarga

Setelah proses perceraian berlangsung, beberapa perempuan memahami bahwa masa iddah dimulai setelah ia menerima akta cerai. Padahal pada hakikatnya perceraian sudah jatuh dan sah saat dijatuhkan talak oleh ketua majelis hakim. Namun pengetahuan perempuan yang terbatas menjadikan perempuan menjalani masa iddah dua kali, yaitu saat sudah dijatuhkan talak oleh hakim. Sedangkan sebagian yang lainnya menjalani masa iddahnya di saat setelah akta cerai diterima.

Dalam materi yang tertuang dalam putusan pengadilan, terdapat hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dari suami atau istri. Namun penerapan putusan pengadilan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Dalam perkara perceraian Lilis dan Ninis, misalnya, mantan suaminya tidak pernah mengiriminya sejumlah dana yang seharusnya diterima untuk anaknya sebagaimana putusan pengadilan. Namun karena sifat pengadilan agama yang pasif, maka ketidakpatuhan atas putusan pengadilan tidak dapat langsung ditindak kecuali dengan pengajuan tuntutan baru dari pihak perempuan. Dalam konteks ini, seringkali berdampak ketidakadilan pada perempuan karena selain harus merawat dan mendidik anaknya, perempuan juga harus bertanggung jawab atas kebutuhan ekonomi anaknya.

Dalam situasi ini, perempuan mengaku tidak ingin melakukan gugatan baru kepada laki-laki karena tidak menjalankan putusan hakim. Perempuan cenderung memilih untuk mengambil alih peran dan kewajiban mantan suaminya. Bagi perempuan, kondisi semacam ini sesungguhnya sudah diperkirakan sebelumnya karena tingkat tanggung jawab laki-laki di masa perkawinan sudah tidak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim62

Kegagalan perkawinan yang telah dilalui perempuan direfleksikan sebagai sebuah proses pembelajaran diri dan pendewasaan diri. Namun demikian, perempuan cenderung lebih memilih menjadi single parent dan mempertimbangkan secara matang apabila akan menikah kembali. p Tidak mudah bagi perempuan untuk masuk dalam mahligai rumah tangga baru, sementara kenangan buruk pada perkawinan sebelumnya masih terus melekat dalam ingatannya. Hal ini diakui 3 informan di atas dan kalaupun pada akhirnya mereka menikah, hal ini harus dilalui perempuan melalui pertimbangan yang lama dan dalam.

c. Tren Cerai Gugat dan Respon Masyarakat

Dalam konteks social, meningkatnya gugat cerai di masyarakat dilihat sebagai sebuah fenomena positif, yaitu pertama, adanya kemajuan relasi laki-laki dan perempuan yang lebih setara. Seorang perempuan yang memiliki relasi yang tidak setara tidak akan mudah memutuskan untuk melakukan gugat cerai. Perempuan yang inferior cenderung menggantungkan keputusan pada laki-laki dan ‘menerima’ kondisi kehidupan rumah tangganya meskipun terasa berat. Akan tetapi ketika perempuan sanggup mengambil keputusan untuk bercerai dan melakukan gugat cerai, maka hal ini dinilai sebagai salah satu indikator adanya perubahan relasi tersebut.

Kedua, adanya kesadaran perempuan untuk keluar dari situasi yang tidak menguntungkan baginya. Keputusan untuk menggugat cerai bagi perempuan merupakan salah satu bentuk adanya kesadaran perempuan terhadap hak-hak dirinya. Perempuan mengetahui adanya UU Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang melindungi dirinya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 63

dari berbagai tindak kekerasan, perempuan mengetahui adanya hak reproduksi yang harus dipenuhi dalam perkawinan, dan perempuan menyadari adanya ketidakadilan yang dirasakan dari relasi yang terbangun dalam rumah tangganya. Kesadaran ini tampak dengan kesadaran perempuan akan resiko dan dampak keputusannya, khususnya terkait tanggung jawab ekonomi dan social yang harus ditanggung.

Ketiga, keterbukaan akses dan informasi. Trend cerai gugat menunjukkan bagaimana perempuan memperoleh kemudahan dalam memperoleh informasi terkait hak-hak dirinya. Perempuan mudah memperoleh informasi terkait prosedur perceraian dan mekanisme yang harus dijalaninya. Dengan demikian, perempuan dapat mengukur sejauh mana hak-hak nya telah dilanggar dan kemampuan dirinya menjalani proses perceraian di pengadilan agama.

Sementara itu, dari aspek sosial budaya, status janda bagi perempuan yang melakukan gugat cerai diakui sebagai status yang sama dengan janda yang dicerai suaminya melalui cerai talak. Dalam masyarakat Aceh, status janda dan duda sama-sama memiliki resiko diperbincangkan jika tidak dapat menjaga diri (wwcr, Abriati). Pada umumnya, baik perempuan janda maupun laki-laki duda diperlakukan secara terhormat dalam masyarakat Aceh. Tidak ada pembedaan perlakuan atau stigma negative khusus, kecuali terdapat tindakan yang melanggar hukum adat setempat, sebagaimana akan dilekatkan juga pada laki-laki dan perempuan dengan status lajang atau menikah (wwcr tokoh).

Pandangan ini tidak lain karena ada satu pandangan tentang pemahaman keagamaan terkait perceraian yang berkembang di kalangan tokoh masyarakat. Bagi sebagian

Kegagalan perkawinan yang telah dilalui perempuan direfleksikan sebagai sebuah proses pembelajaran diri dan pendewasaan diri. Namun demikian, perempuan cenderung lebih memilih menjadi single parent dan mempertimbangkan secara matang apabila akan menikah kembali. p Tidak mudah bagi perempuan untuk masuk dalam mahligai rumah tangga baru, sementara kenangan buruk pada perkawinan sebelumnya masih terus melekat dalam ingatannya. Hal ini diakui 3 informan di atas dan kalaupun pada akhirnya mereka menikah, hal ini harus dilalui perempuan melalui pertimbangan yang lama dan dalam.

c. Tren Cerai Gugat dan Respon Masyarakat

Dalam konteks social, meningkatnya gugat cerai di masyarakat dilihat sebagai sebuah fenomena positif, yaitu pertama, adanya kemajuan relasi laki-laki dan perempuan yang lebih setara. Seorang perempuan yang memiliki relasi yang tidak setara tidak akan mudah memutuskan untuk melakukan gugat cerai. Perempuan yang inferior cenderung menggantungkan keputusan pada laki-laki dan ‘menerima’ kondisi kehidupan rumah tangganya meskipun terasa berat. Akan tetapi ketika perempuan sanggup mengambil keputusan untuk bercerai dan melakukan gugat cerai, maka hal ini dinilai sebagai salah satu indikator adanya perubahan relasi tersebut.

Kedua, adanya kesadaran perempuan untuk keluar dari situasi yang tidak menguntungkan baginya. Keputusan untuk menggugat cerai bagi perempuan merupakan salah satu bentuk adanya kesadaran perempuan terhadap hak-hak dirinya. Perempuan mengetahui adanya UU Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang melindungi dirinya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim64

tokoh masyarakat, perceraian meskipun disandarkan pada hadis yang menyatakan kehalalannya namun Allah membencinya, namun setiap perceraian yang jatuh merupakan bagian dari kehendak Allah. Tidak ada satu kejadian pun yang dapat terjadi di luar kehendak-Nya, demikian juga dengan perceraian, siapapun yang terlebih dahulu mengajukan permohonan perceraian. Pandangan ini tampak menjadi salah satu hal yang dapat menekan pandangan negative terhadap status janda yang kebanyakan dialami oleh perempuan di daerah lain. Akan tetapi, perlu ada kajian yang lebih dalam mengenai hal ini mengingat Aceh memiliki banyak peraturan daerah (kanun) yang merujuk pada pandangan pemahaman Islam.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

a. Kesimpulan

Meningkatnya jumlah cerai gugat pada masyarakat Kota Banda Aceh pada dasarnya merefleksikan adanya realitas kehidupan rumah tangga yang tidak sejalan dengan harapan yang diimajinasikan oleh perempuan sebagai istri. Dalam konteks ini, istri terkadang masih mengedepankan pola relasi yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian, peran-peran kepala rumah tangga menjadi satu tuntutan yang harus mampu dipenuhi laki-laki sebagai suami. Akan tetapi, pola relasi tersebut tidak juga menjadi sumber konflik yang mendorong perempuan mengajukan cerai gugat. Ada banyak persoalan lain yang terasa berat bagi perempuan dan telah coba dinegosiasikan perempuan namun tidak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 65

membuahkan hasil. Hal inilah yang pada akhirnya perempuan berada di satu titik dimana ia merasa harus mengambil satu keputusan yang sesungguhnya tidak diinginkannya, cerai gugat.

Berbagai persoalan yang kemudian diangkat sebagai materi gugatan cerai ini sangat berfariasi, di antaranya adalah karena kekerasan dalam rumah tangga, ekonomi, tidak dinafkahi, narkoba/napza, perselingkuhan atau tuduhan berselingkuh, intervensi pihak orang tua/mertua, istri dan anak menjadi jaminan hutang suami, pengingkaran perjanjian pra nikah (pelarangan bekerja), sikap acuh tak acuh/pembiaran yang dilakukan suami, dan suami dipenjara. Dari farian yang ada, tiga sebab tertinggi alasan perceraian yang dicatat oleh Mahkamah Syar’iyah adalah tidak ada keharmonisan, tidak bertanggung jawab, dan gangguan pihak ketiga.Dalam hal gangguan pihak ketiga, selain dalam bentuk perselingkuhan, tampak intervensi keluarga yang turut serta dalam berbagai pengambilan keputusan di dalam rumah tangga menjadi pemicu konflik yang berujung perceraian. Hal ini disinyalir karena adanya konsepsi adat yang mengkondisikan posisi tawar laki-laki dalam rumah tangga istrinya kurang kuat ketika mereka masih tinggal bersama keluarga perempuan.

Akibat dari perceraian secara pasti akan melemahkan fungsi organisasi terkecil di masyarakat ini. Institusi perkawinan yang ideal telah berakhir dan realitas akan menuntut anggota keluarga yang ada menyesuaikan pola relasi yang baru pasca perceraian. Selain pelemahan institusi keluarga, dampak yang kerap dirasakan oleh anak adalah hilangnya hak-hak anak terkait pendidikan, ekonomi, dan perkembangan psikologi anak. Selain itu, ditemui juga

tokoh masyarakat, perceraian meskipun disandarkan pada hadis yang menyatakan kehalalannya namun Allah membencinya, namun setiap perceraian yang jatuh merupakan bagian dari kehendak Allah. Tidak ada satu kejadian pun yang dapat terjadi di luar kehendak-Nya, demikian juga dengan perceraian, siapapun yang terlebih dahulu mengajukan permohonan perceraian. Pandangan ini tampak menjadi salah satu hal yang dapat menekan pandangan negative terhadap status janda yang kebanyakan dialami oleh perempuan di daerah lain. Akan tetapi, perlu ada kajian yang lebih dalam mengenai hal ini mengingat Aceh memiliki banyak peraturan daerah (kanun) yang merujuk pada pandangan pemahaman Islam.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

a. Kesimpulan

Meningkatnya jumlah cerai gugat pada masyarakat Kota Banda Aceh pada dasarnya merefleksikan adanya realitas kehidupan rumah tangga yang tidak sejalan dengan harapan yang diimajinasikan oleh perempuan sebagai istri. Dalam konteks ini, istri terkadang masih mengedepankan pola relasi yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian, peran-peran kepala rumah tangga menjadi satu tuntutan yang harus mampu dipenuhi laki-laki sebagai suami. Akan tetapi, pola relasi tersebut tidak juga menjadi sumber konflik yang mendorong perempuan mengajukan cerai gugat. Ada banyak persoalan lain yang terasa berat bagi perempuan dan telah coba dinegosiasikan perempuan namun tidak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim66

hubungan antara anak dan orang tua, khususnya pada kasus cerai gugat dimana anak diasuh ibunya, hubungan anak dan ayah menjadi terganggu. Sementara itu, cerai gugat juga telah kerapkali memposisikan perempuan abai terhadap hak dasar dirinya dari sebuah perceraian. Hak gono gini tidak menjadi pertimbangan utama, termasuk ketika pemenuhan nafkah anak yang tidak dibayarkan oleh pihak laki-laki, perempuan tidak melakukan upaya hokum lanjutan.

Akan tetapi dibalik kondisi yang merugikan perempuan dan anak-anak, cerai gugat ternyata menjadi satu pintu alternative akhir bagi perempuan untuk keluar dari kungkungan situasi yang tidak menguntungkan, tertekan, bahkan dalam lingkaran kekerasan yang tidak terperi. Ada perasaan lega yang mendalam dirasakan perempuan saat akta cerai telah ada di tangan. Perempuan tidak lagi berada dalam situasi tertekan, merasa dapat lebih leluasa menjalani hidup, dapat lebih fokus mendidik dan mengawasi perkembangan anak, dan dapat lebih mandiri. Selain itu, kegagalan dalam perkawinan yang dijalaninya membuat perempuan merasa lebih matang dalam mengambil keputusan, termasuk lebih hati-hati dalam memilih pasangan nikah di masa yang akan datang.

Secara sosial, adanya fenomena cerai gugat ini secara umum tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Beberapa pandangan tokoh masyarakat dan tokoh agama justru menilainya sebagai sesuatu yang positif. Cerai gugat dianggap merefleksikan adanya perubahan relasi laki-laki dan perempuan yang lebih setara, tingginya kesadaran perempuan untuk keluar dari situasi yang tidak menguntungkan baginya, dan keterbukaan akses dan informasi untuk perempuan,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 67

khususnya dalam konteks akses dan informasi atas status dan identitas hukum perempuan.

Pandangan negatif pada perempuan yang mengajukan cerai gugat tidak menjadi persoalan sosial secara spesifik di Aceh, namun tetap ada persoalan yang harus dihadapi perempuan yang telah berstatus janda. Dalam konteks masyarakat Aceh, seorang dengan status janda harus lebih berhati-hati dalam bersikap dan beinteraksi dengan lawan jenis kelaminnya.Hal ini juga berlaku pada laki-laki dengan status duda. Status janda atau duda tidak akan mengalami persoalan sosial sepanjang mereka tidak melanggar hukum adat dan agama, khususnya terkait pola relasi yang dibangun dengan lawan jenis kelaminnya.

Realitas perceraian yang tinggi juga direspon oleh struktur sosial, bukan hanya karena meningkatnya cerai gugat namun lebih menekankan pada upaya menyelamatkan bahtera rumah tangga sebagai kekuatan social masyarakat.Berbagai mekanisme konsultasi telah hadir dalam masyarakat Aceh mulai tingkat privat hingga public.Adanya orang tua yang turut andil dalam membantu menyelesaikan konflik dalam rumah tangga anak-menantunya, tuha peuet, kechiek, dan BP4 merupakan beberapa organ pemerintah dan adat yang turut serta memberikan layanan pembinaan dan bimbingan keluarga.Upaya mengembangkan peran masyarakat dalam lembaga pembinaan keluarga sakinah juga pernah dilakukan, meski harus dibekukan karena berbagai alasan teknis.Hal ini menunjukkan respon struktur social yang ada memberikan perhatian khusus, meski tidak semua peran tersebut dimaksimalkan fungsinya oleh pihak-pihak yang sedang berkonflik dalam rumah tangga. Sementara itu, Mahkamah Syar’iyah tampak menjadi pilihan utama saat

hubungan antara anak dan orang tua, khususnya pada kasus cerai gugat dimana anak diasuh ibunya, hubungan anak dan ayah menjadi terganggu. Sementara itu, cerai gugat juga telah kerapkali memposisikan perempuan abai terhadap hak dasar dirinya dari sebuah perceraian. Hak gono gini tidak menjadi pertimbangan utama, termasuk ketika pemenuhan nafkah anak yang tidak dibayarkan oleh pihak laki-laki, perempuan tidak melakukan upaya hokum lanjutan.

Akan tetapi dibalik kondisi yang merugikan perempuan dan anak-anak, cerai gugat ternyata menjadi satu pintu alternative akhir bagi perempuan untuk keluar dari kungkungan situasi yang tidak menguntungkan, tertekan, bahkan dalam lingkaran kekerasan yang tidak terperi. Ada perasaan lega yang mendalam dirasakan perempuan saat akta cerai telah ada di tangan. Perempuan tidak lagi berada dalam situasi tertekan, merasa dapat lebih leluasa menjalani hidup, dapat lebih fokus mendidik dan mengawasi perkembangan anak, dan dapat lebih mandiri. Selain itu, kegagalan dalam perkawinan yang dijalaninya membuat perempuan merasa lebih matang dalam mengambil keputusan, termasuk lebih hati-hati dalam memilih pasangan nikah di masa yang akan datang.

Secara sosial, adanya fenomena cerai gugat ini secara umum tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Beberapa pandangan tokoh masyarakat dan tokoh agama justru menilainya sebagai sesuatu yang positif. Cerai gugat dianggap merefleksikan adanya perubahan relasi laki-laki dan perempuan yang lebih setara, tingginya kesadaran perempuan untuk keluar dari situasi yang tidak menguntungkan baginya, dan keterbukaan akses dan informasi untuk perempuan,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim68

konflik tidak dapat diakhiri secara damai melalui mekanisme social dan kultural yang ada.Karena itulah, upaya mediasi yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah kerap mendapati kegagalan.

b. Rekomendasi

Berdasarkan sejumlah data dan analisa di atas, beberapa rekomendasi penting disampaikan untuk:

1. Lembaga Adat Aceh perlu lebih memaksimalkan peran dan fungsinya melalui Tuha Peuet dalam membantu penyelesaian konflik rumah tangga. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah prinsip-prinsip kerahasiaan kasus yang menjadi pertimbangan mendasar pihak-pihak yang berperkara.

2. BP4 di tingkat kecamatan dan kabupaten meningkatkan 3 hal mendasar, pertama dalam pencegahan terjadinya ketidak-harmonisan keluarga perlu diperkuat pendidikan pra nikah pada para calon pengantin. Pendidikan pra nikah ini tidak hanya dalam pelaksanaan kursus calon pengantin (suscatin) yang telah menjadi program baik yang dimiliki KUA, namun juga perlu penguatan penyuluhan pada kelompok remaja dan usia menjelang menikah dalam kegiatan-kegiatan kultural yang ada. Kedua, dalam proses layanan konseling pada pihak-pihak yang sedang bermasalah, selain memaksimalkan peran orang tua atau hakam dari kedua belah pihak yang berperkara, namun pencatatan administrative juga tampak perlu mendapat perhatian meskipun catatan konseling terlihat tidak menjadi laporan tahunan yang dilaporkan. Ketiga, perlu ada upaya khusus memberikan konseling

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 69

pasca perceraian, khususnya pada hal-hal terkait pemenuhan hak anak dan pola pendidikan anak yang dapat diterapkan dalam situasi orang tua telah bercerai.

3. Mahkamah Agung, Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama perlu memperhatikan tiga hal, pertama pengadilan perlu mempertimbangkan cerai gugat yang dilakukan untuk kasus pengesahan perceraian yang telah diucapkan oleh pihak suami kepada istri di luar pengadilan. Meskipun secara hokum Negara, perceraian di luar pengadilan tidak diakui, namun perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya thalak bain kubro pada kasus cerai gugat yang memiliki konsekuensi hokum yang berbeda dengan talak raj’I dalam konsepsi hukum fikih Islam. Kedua, pengadilan perlu mempertimbangkan pola permohonan baru dalam jenis permohonan yang dapat diajukan oleh masyarakat, yaitu Permohonan Konseling Keluarga. Hal ini diperlukan sebagai salah satu upaya bersama BP4 dan system budaya yang ada dalam memberikan pilihan akses konseling bagi masyarakat yang sedang menhadapi masalah keluarga demi terwujudnya keluarga sakinah. Dan ketiga, perlu memperhitungkan layanan satu atap bagi kasus-kasus perceraian yang disebabkan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Adanya sanksi hokum bagi pelaku kekerasan yang menjerakan akan memberi harapan tidak terulang kembali kasus kekerasan dalam rumah tangga pada pelaku yang melangsungkan perkawinan dengan perempuan laki pasca perceraiannya. Selain itu, sikap hokum yang pro aktif dalam perkara kekerasan akan memberikan pendidikan public yang baik bagi penghormatan harkat dan martabat kemanusiaan.

konflik tidak dapat diakhiri secara damai melalui mekanisme social dan kultural yang ada.Karena itulah, upaya mediasi yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah kerap mendapati kegagalan.

b. Rekomendasi

Berdasarkan sejumlah data dan analisa di atas, beberapa rekomendasi penting disampaikan untuk:

1. Lembaga Adat Aceh perlu lebih memaksimalkan peran dan fungsinya melalui Tuha Peuet dalam membantu penyelesaian konflik rumah tangga. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah prinsip-prinsip kerahasiaan kasus yang menjadi pertimbangan mendasar pihak-pihak yang berperkara.

2. BP4 di tingkat kecamatan dan kabupaten meningkatkan 3 hal mendasar, pertama dalam pencegahan terjadinya ketidak-harmonisan keluarga perlu diperkuat pendidikan pra nikah pada para calon pengantin. Pendidikan pra nikah ini tidak hanya dalam pelaksanaan kursus calon pengantin (suscatin) yang telah menjadi program baik yang dimiliki KUA, namun juga perlu penguatan penyuluhan pada kelompok remaja dan usia menjelang menikah dalam kegiatan-kegiatan kultural yang ada. Kedua, dalam proses layanan konseling pada pihak-pihak yang sedang bermasalah, selain memaksimalkan peran orang tua atau hakam dari kedua belah pihak yang berperkara, namun pencatatan administrative juga tampak perlu mendapat perhatian meskipun catatan konseling terlihat tidak menjadi laporan tahunan yang dilaporkan. Ketiga, perlu ada upaya khusus memberikan konseling

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim70

4. Pemerintah daerah perlu meningkatkan peran sertanya dalam menguatkan peran-peran social budaya yang memiliki fungsi pembinaan dan pendampingan masyarakat. Pemerintah daerah perlu menjadi inisiator jaringan antara tokoh agama, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki concern pada penguatan institusi keluarga.

5. Pemerintah pusat dan lembaga legislative perlu melakukan revisi pada undang-undang perkawinan, khususnya pada pasal-pasal yang membakukan peran gender agar pembagian peran dalam rumah tangga yang lebih berkeadilan dan lebih proporsional dapat diwujudkan. Pola relasi yang berkeadilan merupakan salah satu benteng yang kokoh dalam penguatan institusi keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Chaidar, dkk. 1998. Aceh Bersimbah Darah, Jakarta: Pustaka Al-kausar.

Banda Aceh dalam Angka 2014. 2014. Banda Aceh: BPS Kota Banda Aceh dan Bappeda Kota Banda Aceh.

Banda Aceh dalam Angka 2013. 2013. Banda Aceh: BPS Kota Banda Aceh.

Cammack, M. dan T. Heaton. 2011. Kemajuan terbaru dalam Perceraian di Indonesia: Idealisme perkembangan dan Pengaruh Perubahan Politik. Makalah dalam Asian Journal of Social Science 39.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 71

Ernaningsih, Wahyu dan Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 2009. Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang.

http://m.bisnis.com/kabar24/read/20140814/79/249947/data-perceraian-di-indonesia-sudah-lewati-10%. Diakses pada tanggal 24 Desember 2015.

Ihromi, Tapi Omas (ed). 1995. Kajian Wanita dalam pembangunan.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural. Yogyakarta: LkiS.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan.Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Permatasari, Dewi.2009. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pengambilan Keputusan Seorang Isteri untuk Mengajukan Gugatan Cerai.Skripsi di Program Studi Psikologi Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Profil Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh Tahun 2014. Banda Aceh.

Laporan Tahunan Mahkamah Syar’iyah Kelas 1-A Banda Aceh Tahun 2010-2014

Laporan Tahunan Kantor Kementerian Agama Banda Aceh tahun 2010-2014

Catatan Mediasi BP4 tahun 2010-2014.

Catatan Mediasi KUA Kota Banda Aceh Tahun 2010-2014.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke Enam. Jakarta: Kencana.

4. Pemerintah daerah perlu meningkatkan peran sertanya dalam menguatkan peran-peran social budaya yang memiliki fungsi pembinaan dan pendampingan masyarakat. Pemerintah daerah perlu menjadi inisiator jaringan antara tokoh agama, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki concern pada penguatan institusi keluarga.

5. Pemerintah pusat dan lembaga legislative perlu melakukan revisi pada undang-undang perkawinan, khususnya pada pasal-pasal yang membakukan peran gender agar pembagian peran dalam rumah tangga yang lebih berkeadilan dan lebih proporsional dapat diwujudkan. Pola relasi yang berkeadilan merupakan salah satu benteng yang kokoh dalam penguatan institusi keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Chaidar, dkk. 1998. Aceh Bersimbah Darah, Jakarta: Pustaka Al-kausar.

Banda Aceh dalam Angka 2014. 2014. Banda Aceh: BPS Kota Banda Aceh dan Bappeda Kota Banda Aceh.

Banda Aceh dalam Angka 2013. 2013. Banda Aceh: BPS Kota Banda Aceh.

Cammack, M. dan T. Heaton. 2011. Kemajuan terbaru dalam Perceraian di Indonesia: Idealisme perkembangan dan Pengaruh Perubahan Politik. Makalah dalam Asian Journal of Social Science 39.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim72

Said, Fuad. 1993. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Putaka Husna.

Saleh, Hasan. 1992. Mengapa Aceh Bergejolak, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

www.disbudpar.acehprov.go.id/museum-tsunami/ diakses pada tanggal 20 Desember 2015.

Wong, Aline K. 1976. Women in Modern Singapore. London. Kuala Lumpur: University Press.

Daftar Wawancara:

A. Informan Utama

1. Ninis, Pelaku Cerai Gugat, tanggal 17 April 2015.

2. Lilis, Pelaku Cerai Gugat, tanggal 20 April 2015.

3. Cantik, Pelaku Cerai Gugat, Tanggal 21 April 2015.

4. Een, Pelaku Cerai Gugat, Tanggal 24 April 2015.

B. Kerabat Informan Utama

1. Ibunda Ninis, tanggal 17 April 2015.

2. Ibunda Lilis, tanggal 20 April 2015.

3. Adik laki-laki Lilis, tanggal 20 April 2015.

4. Ibunda Een, Tanggal 23 April 2015

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 73

C. Tokoh Masyarakat, Tokoh agama, Aparat Pemerintah

1. Drs. H. Amiruddin, MA, Kepala. Kandepag Kota Banda Aceh, 15 April 2015.

2. Kasi Urais & Sekretaris BP-4 Kota Banda Aceh, tgl, 15 dan 16 April 2015.

3. Drs. H. Syaifullah, Kep. KUA Banda Raya, tgl. 15 dan 16 April 2015.

4. H. Solihin, SH., Wakil Sekretaris & pedamping hakim Pengadilan Agama Banda Aceh, tanggal 17 April 2015.

5. Imam Sudirman, Tokoh Agama/Masyarakat dan Petugas P3N, tanggal 17 April 2015

6. Abriati, Ketua PW Fatayat NU Kota banda Aceh, Tanggal 18 April 2015

7. Drs. H. Mahdi Usman, SH., Wakil Ketua Mahkamah Syari’yah Kota Banda Aceh, tanggal 20 April 2015

8. Drs. H. Marwan Usman,, Wakil Ketua BP-4 Kota Banda Aceh, tanggal 20 April 2015

9. Drs. H. Syaifuddin, KUA Baiturrahman Kota Banda Aceh, tanggal 21 April 2015.

10. H. moh Ali Ibrahim, Tokoh Masyarakat, Tanggal 21 April 2015.

11. Hakim Mahkamah Syariyah Kota Banda Aceh, Tanggal 23 April 2015.

Said, Fuad. 1993. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Putaka Husna.

Saleh, Hasan. 1992. Mengapa Aceh Bergejolak, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

www.disbudpar.acehprov.go.id/museum-tsunami/ diakses pada tanggal 20 Desember 2015.

Wong, Aline K. 1976. Women in Modern Singapore. London. Kuala Lumpur: University Press.

Daftar Wawancara:

A. Informan Utama

1. Ninis, Pelaku Cerai Gugat, tanggal 17 April 2015.

2. Lilis, Pelaku Cerai Gugat, tanggal 20 April 2015.

3. Cantik, Pelaku Cerai Gugat, Tanggal 21 April 2015.

4. Een, Pelaku Cerai Gugat, Tanggal 24 April 2015.

B. Kerabat Informan Utama

1. Ibunda Ninis, tanggal 17 April 2015.

2. Ibunda Lilis, tanggal 20 April 2015.

3. Adik laki-laki Lilis, tanggal 20 April 2015.

4. Ibunda Een, Tanggal 23 April 2015

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim74

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 75

FENOMENA PENINGKATAN CERAI GUGAT DI PADANG:

INDIKASI KEBANGKITAN PEEMPUAN?

Oleh: Dr. Wahidah R. Bulan, M.Si dan Lastriyah

PROFIL KOTA PADANG

Sejarah Luas Wilayah dan Kondisi Demografi Kota Padang

Kota Padang merupakan salah satu kota tertua di Pantai Barat Sumatera di Lautan Hindia. Sebelum abad ke-17, ketika kota ini belum begitu penting karena arus perdagangan lebih mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar, kota Padang hanya dihuni oleh para nelayan, petani garam, dan pedagang. Akan tetapi ketika selat Malaka tidak lagi aman baik karena persaingan dagang yang keras serta banyaknya peperangan dan pembajakan yang diikuti dengan perpindahan jalur perdagangan dari pantai timur ke pantai barat Pulau Sumatera, Kota Padang mulai menempati posisi strategis dan didatangi berbagai kelompok dagang dari luar. Satu di antaranya suku Aceh, yang menjadi kelompok pertama yang datang ke wilayah ini, tak lama setelah Malaka ditaklukkan Portugis pada akhir abad ke XVI. Pantai Tiku atau Pariaman dan Inderapura yang dikuasai raja-raja muda wakil Pagaruyung saat itu berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya yang dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.

Belanda datang tak lama setelah itu. Mereka mengincar muara pantai Padang yang indah, cukup besar, serta udaranya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim76

yang nyaman. Belanda berhasil menguasai wilayah tersebut pada tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 Belanda bahkan membuat loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi, serta menguasai daerah sekitarnya untuk mengokohkan keberadaannya. Perlawanan rakyat setempat pun terjadi. Puncaknya pada 7 Agustus 1669, ketika terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan keberhasilan masyarakat menguasai loji-loji Belanda di daerah Muaro, Padang. Tanggal ini kemudian diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang.

Peristiwa penting lainnya terjadi pada 20 Mei 1784, yaitu ketika Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangan Belanda di Sumatera Barat, terlebih dengan dibangunnya Pelabuhan Teluk Bayur tak lama setelah itu, yang membuat kota Padang semakin ramai. Pada 31 Desember 1799 seluruh kekuasaan VOC diambilalih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial, Padang pun dijadikan sebagai pusat kedudukan Residen. Pada 1 Maret 1906 lahir ordonansi, Padang ditetapkan sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) mulai 1 April 1906.

Pada awalnya, luas Kota Padang hanya 33 Km2, terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan, dan Padang Timur. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980, wilayah Kota Padang diperluas menjadi 694,96 km2, terdiri dari 11 kecamatan dan 193 kelurahan. Pada awal tahun 2001, ketika pelaksanaan otonomi daerah, wilayah administratif Kota Padang kembali mengalami perubahan, yaitu dibagi ke dalam 11 kecamatan, yang terdiri dari 103

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 77

kelurahan. Perubahan kembali terjadi dengan keluarnya Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi Kelurahan, yaitu menjadi 104 Kelurahan.

Berdasarkan data BPS Pusat, jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat sebanyak 4.846.909 jiwa, yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 1.877.822 jiwa (38,74 %), sementara di daerah perdesaan sebanyak 2.969.087 jiwa (61,26 %). Dari jumlah tersebut, 17,02 % di antaranya tinggal di Kota Padang (distribusi penduduk di Sumatera Barat tertinggi di Kota Padang, sementara yang terendah di Kota Padang Panjang yaitu sebesar 0,97 %). Jumlah penduduk di Kota Padang sebanyak 876.678 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1.261 jiwa/km2 (BPS Kota Padang, 2013). Jumlah penduduk tersebut tidak terdistribusi merata. Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Koto Tangah dengan jumlah penduduk 174.567 jiwa, sedangkan yang relatif sedikit penduduknya adalah Kecamatan Bungus Teluk Kabung dengan jumlah penduduk hanya 23.858 jiwa. Selain itu juga terdapat Kecamatan Pauh dengan jumlah penduduk 443 jiwa/km2 dan Lubuk Kilangan 603 jiwa/km2. Meski memiliki jumlah penduduk terbanyak, kepadatan penduduk di Koto Tangah bukan yang tertinggi di Sumatera Barat. Banyaknya jumlah penduduk di Koto Tangah lebih disebabkan luasnya wilayah Kota Tangah, yaitu mencapai 33% dari wilayah Kota Padang. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Padang Timur dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 9.667/km2, sedangkan Kecamatan Bungus Teluk Kabung yang penduduknya paling sedikit, juga sekaligus yang paling redah kepadatan penduduknya, yaitu hanya 237 jiwa/km2 (lihat tabel 1).

yang nyaman. Belanda berhasil menguasai wilayah tersebut pada tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 Belanda bahkan membuat loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi, serta menguasai daerah sekitarnya untuk mengokohkan keberadaannya. Perlawanan rakyat setempat pun terjadi. Puncaknya pada 7 Agustus 1669, ketika terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan keberhasilan masyarakat menguasai loji-loji Belanda di daerah Muaro, Padang. Tanggal ini kemudian diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang.

Peristiwa penting lainnya terjadi pada 20 Mei 1784, yaitu ketika Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangan Belanda di Sumatera Barat, terlebih dengan dibangunnya Pelabuhan Teluk Bayur tak lama setelah itu, yang membuat kota Padang semakin ramai. Pada 31 Desember 1799 seluruh kekuasaan VOC diambilalih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial, Padang pun dijadikan sebagai pusat kedudukan Residen. Pada 1 Maret 1906 lahir ordonansi, Padang ditetapkan sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) mulai 1 April 1906.

Pada awalnya, luas Kota Padang hanya 33 Km2, terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan, dan Padang Timur. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980, wilayah Kota Padang diperluas menjadi 694,96 km2, terdiri dari 11 kecamatan dan 193 kelurahan. Pada awal tahun 2001, ketika pelaksanaan otonomi daerah, wilayah administratif Kota Padang kembali mengalami perubahan, yaitu dibagi ke dalam 11 kecamatan, yang terdiri dari 103

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim78

Jumlah penduduk perempuan dan laki-laki di Sumatera Barat selama kurun waktu 2000-2010 cenderung berimbang, laki-laki sebanyak 2.404.377 jiwa sementara perempuan 2.442.532 jiwa, atau seks rasio sebesar 98, yaitu terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Sedangkan untuk Kota Padang, berdasarkan data BPS Kota Padang, penduduk Kota Padang yang pada tahun 2013 berjumlah 876.678, terdiri dari laki-laki 437.162 (49,87%), selisih sedikit dengan perempuan yang berjumlah 439.516 (50,13%); dengan sex ratio sebesar 99,46 atau cenderung seimbang antara jumlah perempuan dengan jumlah laki-laki. Lihat table 1.

Tabel 1 Jumlah, Laju Pertumbuhan, Kepadatan Penduduk, dan Sex

Ratio di Kota Padang Tahun 2013

No Kecamatan Jumlah Penduduk

Jumlah Penduduk Laki-laki

Jumlah Penduduk

Perempuan

Sex Ratio

Pertumbuhan Penduduk

(2003-2013)

Kepadatan Penduduk

1. Bungus Teluk Kabung 23.858 12.263 11.595 105,76 0,74 237 2. Lubuk Kilangan 51.847 26.086 25.761 101,26 2,96 603 3. Lubuk Begalung 113.217 57.174 56.043 102,02 1,96 3.663 4. Padang Selatan 58.780 29.459 29.321 100,47 0,25 5.860 5. Padang Timur 78.789 39.129 39.660 98,66 -0,08 9.667 6. Padang Barat 45.781 23.077 22.704 101,64 -2,16 6.540 7. Padang Utara 70.051 33.193 36.858 90,06 0,08 8.670 8. Nanggalo 59.137 28.694 30.443 94,25 1,07 7.328 9. Kuranji 135.7887 67.448 68.339 98,70 2,57 2.365 10. Pauh 64.864 32.711 32.153 101,74 3,07 443 11. Koto Tangah 174.567 87.928 86.639 101,49 2,11 752 JUMLAH 876.678 437.162 439.415 99,46 1,37 1.262

Sumber: BPS Kota Padang, 2013

Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010), laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Sumatera Barat relatif rendah, yaitu 1,34 %, lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk nasional yang mencapai 1,49 %. Rendahnya angka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 79

pertumbuhan penduduk ini setidaknya menunjukkan masih kuatnya budaya merantau bagi kalangan tertentu di Sumatera Barat. Meski sebagian kalangan mensinyalir bahwa budaya merantau mulai memudar terutama di kalangan generasi muda namun pertumbuhan ekonomi di Jawa yang lebih tinggi masih menjadi magnet yang cukup kuat bagi penduduk Sumatera Barat meninggalkan kampung halamannya guna mengadu nasib (migrasi karena faktor ekonomi menguat dibanding faktor kultural). Selain itu suksesnya program keluarga berencana yang berhasil menekan angka kelahiran, juga turut menyumbang rendahnya angka pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat. Sedangkan ditingkat Kabupaten Kota, laju pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Kabupaten Dharmasraya (3,09 %), sedangkan yang terendah di Kabupaten Tanah Datar (0,33%).

Berdarkan usia, penduduk di Provinsi Sumatera Barat termasuk kategori menengah, yaitu median umur penduduk umumnya berada pada kisaran usia 20-30 tahun, dengan rasio ketergantungan penduduk 60,22 atau setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 60 orang usia tidak produkif (0-14 dan 65+). Rasio ketergantungan di daerah perkotaan lebih rendah sedikit, yaitu 53,07, sementara di daerah perdesaan 65,10. Bagaimana dengan struktur kependudukan di Kota Padang berdasarkan usia? Komposisi penduduk berdasarkan usia menunjukkan bahwa Kota Padang memiliki penduduk dengan usia produktif sangat tinggi 612.064 (69,81 %), dibanding usia tidak produktif usia 0-14 tahun yang berjumlah 231.364 (26,39 %) terlebih lagi usia lebih dari 65 tahun yang berjumlah 34.446 jiwa (3,93 %).

Jumlah penduduk perempuan dan laki-laki di Sumatera Barat selama kurun waktu 2000-2010 cenderung berimbang, laki-laki sebanyak 2.404.377 jiwa sementara perempuan 2.442.532 jiwa, atau seks rasio sebesar 98, yaitu terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Sedangkan untuk Kota Padang, berdasarkan data BPS Kota Padang, penduduk Kota Padang yang pada tahun 2013 berjumlah 876.678, terdiri dari laki-laki 437.162 (49,87%), selisih sedikit dengan perempuan yang berjumlah 439.516 (50,13%); dengan sex ratio sebesar 99,46 atau cenderung seimbang antara jumlah perempuan dengan jumlah laki-laki. Lihat table 1.

Tabel 1 Jumlah, Laju Pertumbuhan, Kepadatan Penduduk, dan Sex

Ratio di Kota Padang Tahun 2013

No Kecamatan Jumlah Penduduk

Jumlah Penduduk Laki-laki

Jumlah Penduduk

Perempuan

Sex Ratio

Pertumbuhan Penduduk

(2003-2013)

Kepadatan Penduduk

1. Bungus Teluk Kabung 23.858 12.263 11.595 105,76 0,74 237 2. Lubuk Kilangan 51.847 26.086 25.761 101,26 2,96 603 3. Lubuk Begalung 113.217 57.174 56.043 102,02 1,96 3.663 4. Padang Selatan 58.780 29.459 29.321 100,47 0,25 5.860 5. Padang Timur 78.789 39.129 39.660 98,66 -0,08 9.667 6. Padang Barat 45.781 23.077 22.704 101,64 -2,16 6.540 7. Padang Utara 70.051 33.193 36.858 90,06 0,08 8.670 8. Nanggalo 59.137 28.694 30.443 94,25 1,07 7.328 9. Kuranji 135.7887 67.448 68.339 98,70 2,57 2.365 10. Pauh 64.864 32.711 32.153 101,74 3,07 443 11. Koto Tangah 174.567 87.928 86.639 101,49 2,11 752 JUMLAH 876.678 437.162 439.415 99,46 1,37 1.262

Sumber: BPS Kota Padang, 2013

Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010), laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Sumatera Barat relatif rendah, yaitu 1,34 %, lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk nasional yang mencapai 1,49 %. Rendahnya angka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim80

Kondisi Sosial Budaya

Berdasarkan angkatan kerja, 86,01% penduduk Kota Padang berumur 15 tahun ke atas bekerja atau sementara tidak bekerja tetapi sebenarnya mempunyai pekerjaan, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang bekerja relatif berimbang, yaitu laki-laki 89,15% sedangkan perempuan 87,14%. Jumlah pencari kerja (penduduk usia produktif yang mencari kerja) sebanyak 11,48%, dengan proporsi sebesar 10,85% laki-laki dan 12,59 % perempuan. Jumlah pencari kerja tersebut relatif meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya berdasarkan data di Disnakersos Kota Padang, yaitu dari 6.194 orang menjadi 14.954 orang (6.046 lulusan SMU sedangan sisanya, 6.479 orang dengan pendidikan sarjana). Dari pencari kerja tersebut yang paling banyak mendapat pekerjaan adalah perempuan, yaitu sebanyak 55,73%, sedangkan laki-laki 44,22%. Sementara itu, penduduk Kota Padang usia 15 tahun ke atas yang bukan angkatan kerja sebanyak 58,81%, masuk ke dalamnya mereka yang bersekolah sebanyak 32,54%, mengurus rumah tangga 49,82%, sedangkan sisanya masuk kategori lain-lain.

Penduduk laki-laki di Kota Padang umumnya bekerja di bidang perdagangan, hotel dan restoran (24,75%) dan jasa/services (24,72) disusul konstruksi (15,06%) dan komunikasi-transportasi (9,71%). Sedangkan untuk perempuan yang terbanyak di bidang jasa/service (46,11%) serta perdagangan, hotel dan restoran (33,58%).

Angka Partisipasi Sekolah di Kota Padang untuk tingkat SD (usia 7-12) 99,33%; SMP (13-15) 94,44%; SMA (16-18) 63,96 %, sedangkan untuk Perguruan Tinggi (19-24) sebanyak 52,07%; dengan tingkat APM dan APK sebagaimana dapat dilihat pada tabel. Terkait dengan kesejahteraan,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 81

terdapat 206.358 rumah tangga di Kota Padang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 4,2 jiwa. Tingkat kesejahteraan keluarga di Kota Padang relatif baik, yang terindikasi dari relatif rendahnya jumlah keluarga prasejahtera yaitu 3.467 (19,56%) dari total jumlah keluarga yang ada yaitu 177.236 dan mayoritas keluarga berada pada kondisi Keluarga Sejahtera (KS) II, yaitu sebanyak 90.240 keluarga (50,92%). Sisanya masuk kategori KS I sebanyak 27.089, KS III sebanyak 42,920, dan KS III plus sebanyak 13.520.

Perkiraan rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki di Sumatera Barat adalah 25,7 tahun, sedangkan untuk perempuan 22,9 tahun. Usia perkawinan yang cukup ideal jika merujuk pada ketetapan BKKBN, yang menetapkan usia perkawinan pertama bagi perempuan yang ideal adalah 20-21 tahun, sedangkan bagi laki-laki 25 tahun.

Terdapat sejumlah stakeholder perkawinan di Kota Padang, yaitu Kanwil Kementerian Agama Sumatera Barat, Pengadilan Agama Kota Padang, KUA, dan BP4. Selain itu terdapat P2TP2A yang meski tidak langsung bertanggung jawab terhadap persoalan pernikahan, akan tetapi mengingat terdapat sejumlah kasus perceraian yang ditangani penyelesaiannya oleh P2TP2A, maka keberadaan lembaga ini penting dimasukkan sebagai salah satu stakeholder perkawinan yang perlu diangkat dalam studi ini. Lalu bagaimana gambaran keberadaan institusi stakeholder perkawinan tersebut di Kota Padang dan bagaimana pula sistem komunikasi dan kordinasi antar institusi yang dibangun dalam penanganan masalah perkawinan (termasuk perceraian) di Kota Padang? Berikut penjelasan mengenai hal tersebut.

Kondisi Sosial Budaya

Berdasarkan angkatan kerja, 86,01% penduduk Kota Padang berumur 15 tahun ke atas bekerja atau sementara tidak bekerja tetapi sebenarnya mempunyai pekerjaan, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang bekerja relatif berimbang, yaitu laki-laki 89,15% sedangkan perempuan 87,14%. Jumlah pencari kerja (penduduk usia produktif yang mencari kerja) sebanyak 11,48%, dengan proporsi sebesar 10,85% laki-laki dan 12,59 % perempuan. Jumlah pencari kerja tersebut relatif meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya berdasarkan data di Disnakersos Kota Padang, yaitu dari 6.194 orang menjadi 14.954 orang (6.046 lulusan SMU sedangan sisanya, 6.479 orang dengan pendidikan sarjana). Dari pencari kerja tersebut yang paling banyak mendapat pekerjaan adalah perempuan, yaitu sebanyak 55,73%, sedangkan laki-laki 44,22%. Sementara itu, penduduk Kota Padang usia 15 tahun ke atas yang bukan angkatan kerja sebanyak 58,81%, masuk ke dalamnya mereka yang bersekolah sebanyak 32,54%, mengurus rumah tangga 49,82%, sedangkan sisanya masuk kategori lain-lain.

Penduduk laki-laki di Kota Padang umumnya bekerja di bidang perdagangan, hotel dan restoran (24,75%) dan jasa/services (24,72) disusul konstruksi (15,06%) dan komunikasi-transportasi (9,71%). Sedangkan untuk perempuan yang terbanyak di bidang jasa/service (46,11%) serta perdagangan, hotel dan restoran (33,58%).

Angka Partisipasi Sekolah di Kota Padang untuk tingkat SD (usia 7-12) 99,33%; SMP (13-15) 94,44%; SMA (16-18) 63,96 %, sedangkan untuk Perguruan Tinggi (19-24) sebanyak 52,07%; dengan tingkat APM dan APK sebagaimana dapat dilihat pada tabel. Terkait dengan kesejahteraan,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim82

Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumbar terdapat pegawai sebanyak 957 orang, yang pada umumnya berpendidikan tinggi, yaitu: Pascasarjana 61 orang, S1 sebanyak 715 orang, dan Diploma 83 orang. Selebihnya (90 orang) berpendidikan SLTA dan terdapat 3 orang dengan pendidikan SLTP. Berdasarkan kepangkatan, terdapat pegawai golongan II sebanyak 109 orang dan golongan III sebanyak 567 orang. Mereka umumnya perempuan, yaitu 5.395 (termasuk guru-guru), sementara laki-laki sebanyak 3.040 orang. Dengan visi terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri, dan sejahtera lahir batin sebagaimana termaktub di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010; Kanwil Kementerian Agama Sumatera Barat bertanggung jawab melaksanakan salah satu misi Kementerian Agama, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan beragama.

Setelah keluarnya kebijakan pemisahan Pengadilan Agama (PA) dari Kementerian Agama, belum dibangun sistem komunikasi dan kordinasi antara Kanwil Kementerian Agama Sumatera Barat dengan PA Kota Padang. Karena itu, urusan perceraian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pengadilan Agama, sementara Kanwil Kemenag Sumatera Barat dapat dikatakan tidak melakukan peran apapun. Berubahnya status BP4 menjadi institusi independen, juga menjadi salah satu sebab mengapa Kanwil Kemenag Sumbar tidak mengambil peran dalam penyelesaian konflik rumah-tangga pasutri. Satu-satunya peran Kanwil Kemenag terkait perkawinan lebih kepada pembekalan pra- perkawinan (pelaksanaan suscatin) serta penyelenggaraan perkawinan (dalam hal ini dilakukan oleh KUA-KUA yang ada).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 83

Meski tidak ada aturan kerjasama atau mekanisme bersama antar lembaga terkait penyelesaian masalah perceraian, Kanwil Kemenag Sumatera Barat dengan Pemprov Sumbar memiliki MoU dalam penyelesaian permasalahan rumah-tangga di kalangan PNS di kantor Provinsi Sumbar. Mereka membentuk institusi semacam BP4 (diistilahkan dengan BKD) dilingkup Pemprov Sumbar yang berada di bawah pengelolaan Kanwil Kemenag Sumbar, yang memberi bantuan penyelesaian permasalahan perselisihan dalam rumah-tangga di lingkup PNS Pemprov Sumbar. Kebijakan dikeluarkan guna mengantisipasi peningkatan perceraian di kalangan PNS, khususnya di Pemprov Sumatera Barat.

Pengadilan Agama Kota Padang tergolong pada tipologi Pengadilan tingkat I A. Visinya yaitu terwujudnya Pengadilan Agama Padang yang agung, yang dijabarkan ke dalam sejumlah misi berikut ini, yaitu: (1) Menjaga kemandirian Pengadilan Agama Padang, (2) Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan, (3) Meningkatkan kualitas kepemimpinan Pengadilan Agama Padang, dan (4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Pengadilan. SDM PA terdiri dari 61 pegawai, dengan kepangkatan golongan II satu orang, golongan III 39 orang, dan golongan IV 21 orang. 5 orang dari SDM tersebut dengan pendidikan SMA, 2 orang Diploma, Sarjana/D IV 45 orang, serta Pascasarjana 9 orang. Dari jumlah SDM tersebut 18 di antaranya bertindak sebagai hakim yang bertugas menangani perkara, yang empat di antaranya juga bertindak sebagai tenaga mediator. Selain itu terdapat tenaga mediator dari luar, yaitu mantan hakim senior yang sudah pensiun yang direkrut PA untuk melakukan tugas mediasi. Adapun pejabat dilingkungan PA terdiri dari ketua, wakil ketua, panitera merangkap sekretariat, wakil panitera, wakil sekretaris,

Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumbar terdapat pegawai sebanyak 957 orang, yang pada umumnya berpendidikan tinggi, yaitu: Pascasarjana 61 orang, S1 sebanyak 715 orang, dan Diploma 83 orang. Selebihnya (90 orang) berpendidikan SLTA dan terdapat 3 orang dengan pendidikan SLTP. Berdasarkan kepangkatan, terdapat pegawai golongan II sebanyak 109 orang dan golongan III sebanyak 567 orang. Mereka umumnya perempuan, yaitu 5.395 (termasuk guru-guru), sementara laki-laki sebanyak 3.040 orang. Dengan visi terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri, dan sejahtera lahir batin sebagaimana termaktub di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010; Kanwil Kementerian Agama Sumatera Barat bertanggung jawab melaksanakan salah satu misi Kementerian Agama, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan beragama.

Setelah keluarnya kebijakan pemisahan Pengadilan Agama (PA) dari Kementerian Agama, belum dibangun sistem komunikasi dan kordinasi antara Kanwil Kementerian Agama Sumatera Barat dengan PA Kota Padang. Karena itu, urusan perceraian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pengadilan Agama, sementara Kanwil Kemenag Sumatera Barat dapat dikatakan tidak melakukan peran apapun. Berubahnya status BP4 menjadi institusi independen, juga menjadi salah satu sebab mengapa Kanwil Kemenag Sumbar tidak mengambil peran dalam penyelesaian konflik rumah-tangga pasutri. Satu-satunya peran Kanwil Kemenag terkait perkawinan lebih kepada pembekalan pra- perkawinan (pelaksanaan suscatin) serta penyelenggaraan perkawinan (dalam hal ini dilakukan oleh KUA-KUA yang ada).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim84

kasubag umum, kasubag keuangan, kasubag kepegawaian, panitera muda hukum, panitera muda gugatan, dan panitera muda permohonan.

PA Kota Padang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang Muslim di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

PA Padang membuat beragam ketentuan mengenai prosedur berperkara kasus cerai gugat (CG), di mana Pihak Penggugat (Istri) atau kuasanya harus melakukan sejumlah hal berikut, yaitu:

1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989). Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989). Surat gugatan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita (fakta kejadian dan fakta hukum) dan petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita). Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan dan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

2. Gugatan tersebut diajukan kepada PA/Mahkamah Syar’iyah. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 85

gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974). Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989). Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).

3. Permohonan yang diajukan harus memuat: (a) Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon; (b) Posita; dan (c) Petitum.

4. Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).

5. Membayar biaya perkara (Pasal 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg) dan (Pasal 145 R.Bg).

Sedangkan proses penyelesaian perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Padang, dilakukan sebagai berikut:

1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah.

kasubag umum, kasubag keuangan, kasubag kepegawaian, panitera muda hukum, panitera muda gugatan, dan panitera muda permohonan.

PA Kota Padang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang Muslim di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

PA Padang membuat beragam ketentuan mengenai prosedur berperkara kasus cerai gugat (CG), di mana Pihak Penggugat (Istri) atau kuasanya harus melakukan sejumlah hal berikut, yaitu:

1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989). Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989). Surat gugatan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita (fakta kejadian dan fakta hukum) dan petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita). Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan dan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

2. Gugatan tersebut diajukan kepada PA/Mahkamah Syar’iyah. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim86

2. Penggugat dan Tergugat akan dipanggil oleh PAgama/Mahkamah Syar’iah untuk menghadiri persidangan

3. Tahapan persidangan :

a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);

b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);

c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 158 R.Bg);

4. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas permohonan cerai gugat, yaitu sebagai berikut :

a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan AMahkamah Syar’iah tersebut;

b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;

c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 87

5. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Ppengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Dengan memperhatikan prosedur dan proses penyelesaian kasus cerai gugat seperti diuraikan di atas, tidak terdapat kordinasi antara PA-KUA-maupun BP4 dalam penyelesaian kasus cerai gugat. Dengan kata lain penyelesaian kasus cerai gugat yang diajukan ke PA sepenuhnya ditangani PA.

Sesuai dengan jumlah kecamatan, di Padang terdapat 11. Untuk mendapatkan gambaran mengenai keberadaan KUA di Padang, berikut disampaikan gambaran salah satu KUA yang ada, yaitu KUA Pauh. Pengajuan pendaftaran perkawinan di KUA Pauh dilakukan paling lambat10 hari masa kerja sebelum tanggal pelaksanaan pernikahan. Penetapan waktu 1 hari kerja tersebut dikeluarkan agar pihak KUA dapat mengatur penjadwalan dengan lebih baik selain penyiapan pelaksanaan perkawinan dapat lebih maksimal. Sebagaimana ketetapan Kemenag, jika dilaksanakan di kantor KUA tidak dikenakan biaya, sedangkan jika dilaksanakan di luar kantor dipungut biaya sebesar Rp 600.000,-. Penasehatan kepada calon pengantin (catin) di KUA Pauh dilakukan oleh BP4 yang masih menyatu dengan KUA di mana kepala KUA sekaligus menjabat sebagai kepala BP4.

Selain pelaksanaan suscatin, di KUA Pauh terkadang juga diberikan konsultasi perkawinan sebelum pihak yang ingin mendaftar, terutama aspek-aspek hukum terkait dengan pelaksanaan perkawinan seperti orang tua tidak setuju. Pelaksanaan suscatin umumnya dilakukan sepekan sebelum

2. Penggugat dan Tergugat akan dipanggil oleh PAgama/Mahkamah Syar’iah untuk menghadiri persidangan

3. Tahapan persidangan :

a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);

b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);

c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 158 R.Bg);

4. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas permohonan cerai gugat, yaitu sebagai berikut :

a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan AMahkamah Syar’iah tersebut;

b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;

c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim88

pelaksanaan pernikahan, dengan variasi beragam menurut situasi dan kondisi yang ada. Lama pelaksanaan konsultasi umumnya satu jam atau lebih, dilakukan dengan cara massal (dikumpulkan beberapa orang untuk diberi arahan). Jika jumlah mereka banyak (lebih dari 10 pasang), kegiatan suscatin biasanya dilakukan di masjid tak jauh dari lokasi KUA, karena ruang yang tersedia sangat kecil berukuran 4x5 m2 sehingga tidak dapat menampung seluruh peserta.

Petugas yang memberikan nasihat diatur berdasarkan waktu piket, jika ada peserta yang tidak tertangani (terutama pada perkawinan yang bermasalah seperti hamil sebelum nikah), maka terkadang melibatkan kepala KUA dalam pelaksanaannya.

Pendaftaran perkawinan di KUA Pauh selain harus mendapatkan persetujuan kedua orang tua/wali juga harus mendapatkan persetujuan ninik-mamak. Hal tersebut juga didapati di KUA Padang Panjang, yang menjadikan ijin ninik-mamak sebagai salah satu prasyarat agar permohonan perkawinan dapat diproses lebih lanjut.

Kegiatan sosialisasi tentang membangun keluarga Samara (Sakinah, Mawaddah, Warahmah) kepada masyarakat belum banyak dilakukan karena keterbatasan anggaran. Selain itu, sosialisasi tentang keluarga sakinah ini juga akan dilakukan kepada mahasiswa Universitas Andalas, yang banyak bermukim (indekost) di sekitar KUA Pauh dalam bentuk pelatihan di masjid.

Dengan PA sama sekali tidak ada kordinasi maupun komunikasi (terutama perceraian suami istri yang tinggal ke Kecamatan Pauh), yang sangat disayangkan oleh KUA Pauh mengingat ketika terjadi perceraian permasalahan akan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 89

berimbas pada masyarakat di Kecamatan Pauh. Dukungan Pemda terhadap kerja KUA Pauh menurutnya sangat baik, terutama dirasakannya saat menjabat sebagai Ketua KUA di Padang Utara. Bentuk dukungan dimaksud berupa penyediaan fasilitas kendaraan (mobil dinas), yang diberikan kepada semua KUA di Kota Padang. Kepala KUA tak menampik bahwa bantuan diberikan terkait dengan pelaksanaan pilkada, namun menurutnya sangat membantu tugas KUA mengingat pihak KUA terkadang harus mendatangi daerah-daerah yang sulit dijangkau untuk pelaksanaan perkawinan (di rumah pihak calon pengantin) maupun dalam memberikan sosialisasi kepada warga.

Stake holder lain terkait penanganan kasus cerai gugat adalah BP4. Pada tahun 2013 terdapat 12 BP4 di Kota Padang. Jumlah tersebut mengalami perubahan setelah dikeluarkannya kebijakan tentang independensi BP4, yang menyebabkan BP4 tidak lagi berada di bawah kordinasi KUA. Penerapan kebijakan ini di lapangan tidak direspon sama sekali oleh semua KUA, karena ditemukan KUA yang tetap menjadikan BP4 sebagai salah satu unit kerja yang ada di institusi tersebut, sebagaimana terjadi di KUA Pauh. Kepala KUA Pauh bertindak sebagai ketua BP4, dengan pertimbangan bahwa jika BP4 dilepas dari KUA maka lembaga tersebut tidak dapat bekerja mengingat terdapat sejumlah problem di antaranya problem ketersediaan anggaran.

Pengurus BP4 Pauh terdiri dari ketua KUA sekaligus bertindak sebagai ketua BP4, sekretaris KUA, bendahara, dan lima orang anggota yang berstatus PNS. BP4 berkantor di KUA Pauh, dan menempati ruang tempat penyelenggaraan perkawinan. Tugas BP4 yaitu memberikan penasihatan

pelaksanaan pernikahan, dengan variasi beragam menurut situasi dan kondisi yang ada. Lama pelaksanaan konsultasi umumnya satu jam atau lebih, dilakukan dengan cara massal (dikumpulkan beberapa orang untuk diberi arahan). Jika jumlah mereka banyak (lebih dari 10 pasang), kegiatan suscatin biasanya dilakukan di masjid tak jauh dari lokasi KUA, karena ruang yang tersedia sangat kecil berukuran 4x5 m2 sehingga tidak dapat menampung seluruh peserta.

Petugas yang memberikan nasihat diatur berdasarkan waktu piket, jika ada peserta yang tidak tertangani (terutama pada perkawinan yang bermasalah seperti hamil sebelum nikah), maka terkadang melibatkan kepala KUA dalam pelaksanaannya.

Pendaftaran perkawinan di KUA Pauh selain harus mendapatkan persetujuan kedua orang tua/wali juga harus mendapatkan persetujuan ninik-mamak. Hal tersebut juga didapati di KUA Padang Panjang, yang menjadikan ijin ninik-mamak sebagai salah satu prasyarat agar permohonan perkawinan dapat diproses lebih lanjut.

Kegiatan sosialisasi tentang membangun keluarga Samara (Sakinah, Mawaddah, Warahmah) kepada masyarakat belum banyak dilakukan karena keterbatasan anggaran. Selain itu, sosialisasi tentang keluarga sakinah ini juga akan dilakukan kepada mahasiswa Universitas Andalas, yang banyak bermukim (indekost) di sekitar KUA Pauh dalam bentuk pelatihan di masjid.

Dengan PA sama sekali tidak ada kordinasi maupun komunikasi (terutama perceraian suami istri yang tinggal ke Kecamatan Pauh), yang sangat disayangkan oleh KUA Pauh mengingat ketika terjadi perceraian permasalahan akan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim90

perkawinan bagi mereka akan menikah (suscatin) dan konsultasi permasalahan perkawinan bagi yang sudah menikah dan menghadapi masalah pernikahan, dengan waktu kerja setiap hari Selasa dan Rabu. Sebelumnya, pelaksanaan penasihatan perkawinan dilaksanakan di Mesjid Raya Pasar Baru Kelurahan Cupak Tangah. Akan tetapi karena SK terkait dengan independensi BP4 belum keluar, pelaksanaan pelayanan konsultasi perkawinan dikembalikan ke KUA. Saat ini setiap bulannya tak kurang dari lima orang datang untuk berkonsultasi menyampaikan permasalahan perkawinan termasuk mereka yang berkonsultasi untuk pengajuan perceraian. Untuk penasihatan permasalahan perkawinan sepenuhnya dilakukan oleh KUA, sedangkan untuk suscatin dilakukan oleh anggota BP4 lainnya.

Problem perceraian tidak hanya ditangani oleh KUA dan BP4, tetapi juga P2TP2A yang merupakan lembaga otonom yang dibentuk oleh Badan Pemberdayaan Perempuan Pemprov. Sumatera Barat. Yang membuat P2TP2A Sumbar menjadi berbeda, institusi ini menjadi binaan Kanwil Kementerian Agama Sumbar, dalam hal ini bidang Urusan Agama Islam (URAIS), yang ditandai dengan penempatan salah satu SDM dibidang URAIS sebagai pengurus P2TP2A. Selain itu, beberapa orang pensiunan PNS Kanwil Kemenag serta pensiunan PNS dari beberapa dinas lain di lingkungan Pemprov Sumatera Barat juga menjadi pengurus P2TP2A. Meski demikian, dalam praktiknya, P2TP2A yang salah satu programnya adalah melakukan pendampingan perempuan yang sedang melakukan cerai gugat (terbatas hanya pada mereka yang meminta bantuan ke P2TP2A), tidak dapat bekerja maksimal karena terkendala dengan problem keterbatasan dana. Meski mendapat bantuan dana dari Badan Pemberdayaan Perempuan Sumbar, bantuan yang diperoleh

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 91

lebih berupa perlengkapan kantor dan sekretariat sedangkan dana untuk pengelolaan kegiatan rutin P2TP2A tidak mempunyai sumber dana memadai.

Terkait dengan kasus perceraian di Kota Padang yang terus meningkat terutama kasus cerai gugat, menurut informan di P2TP2A hal itu terjadi karena banyak di antara mereka yang mempunyai problem rumah tangga, termasuk perempuan, langsung datang ke PA untuk mendapat penyelesaian permasalahan. Sementara pendekatan PA lebih pada pendekatan hukum dari pada penyelesaian permasalahan, di mana penyelesaiannya tidak harus berujung dengan perceraian. Banyak diantara perempuan maupun pihak laki-laki yang berkasus tidak mengetahui bahwa mereka dapat meminta bantuan (konsultasi untuk penyelesaian masalah) ke BP4 atau meminta bantuan hukum ke P2TP2A. Kurangnya sosialisasi terhadap keberadaan BP4 maupun P2TP2A dirasakan pengurus sebagai problem utama mengapa lembaga tersebut tidak banyak berperan dalam mencegah terjadinya perceraian. Akibatnya problem-problem rumah tangga yang sesungguhnya masih dapat diselesaikan, harus berakhir dengan perceraian karena hanya diselesaikan dengan pendekatan yuridis semata dan kurang memperhatikan aspek-aspek lainnya, seperti agama, psikologis, sosiologis, dan lain-lain. Tidak adanya kordinasi dan komunikasi antara stakeholder yang menangani masalah perkawinan termasuk perceraian, juga diduga pengurus P2TP2A menjadi sebab mengapa sedikit saja rumah tangga yang dapat diselamatkan dari perceraian yang terindikasi dari meningkatnya angka perceraian termasuk cerai gugat. (Pengurus P2TP2A Sumbar.Wawancara.17 April 2015)

perkawinan bagi mereka akan menikah (suscatin) dan konsultasi permasalahan perkawinan bagi yang sudah menikah dan menghadapi masalah pernikahan, dengan waktu kerja setiap hari Selasa dan Rabu. Sebelumnya, pelaksanaan penasihatan perkawinan dilaksanakan di Mesjid Raya Pasar Baru Kelurahan Cupak Tangah. Akan tetapi karena SK terkait dengan independensi BP4 belum keluar, pelaksanaan pelayanan konsultasi perkawinan dikembalikan ke KUA. Saat ini setiap bulannya tak kurang dari lima orang datang untuk berkonsultasi menyampaikan permasalahan perkawinan termasuk mereka yang berkonsultasi untuk pengajuan perceraian. Untuk penasihatan permasalahan perkawinan sepenuhnya dilakukan oleh KUA, sedangkan untuk suscatin dilakukan oleh anggota BP4 lainnya.

Problem perceraian tidak hanya ditangani oleh KUA dan BP4, tetapi juga P2TP2A yang merupakan lembaga otonom yang dibentuk oleh Badan Pemberdayaan Perempuan Pemprov. Sumatera Barat. Yang membuat P2TP2A Sumbar menjadi berbeda, institusi ini menjadi binaan Kanwil Kementerian Agama Sumbar, dalam hal ini bidang Urusan Agama Islam (URAIS), yang ditandai dengan penempatan salah satu SDM dibidang URAIS sebagai pengurus P2TP2A. Selain itu, beberapa orang pensiunan PNS Kanwil Kemenag serta pensiunan PNS dari beberapa dinas lain di lingkungan Pemprov Sumatera Barat juga menjadi pengurus P2TP2A. Meski demikian, dalam praktiknya, P2TP2A yang salah satu programnya adalah melakukan pendampingan perempuan yang sedang melakukan cerai gugat (terbatas hanya pada mereka yang meminta bantuan ke P2TP2A), tidak dapat bekerja maksimal karena terkendala dengan problem keterbatasan dana. Meski mendapat bantuan dana dari Badan Pemberdayaan Perempuan Sumbar, bantuan yang diperoleh

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim92

Menurut adat Minangkabau, untuk menengakkan syariat Islam, terdapat institusi adat yang terdiri dari para ninik-mamak, yang dipilih melalui rapat adat, yang memegang empat jenis kepemimpinan, yaitu imam, bilal, khotib, dan qodhi. Imam ditamsilkan sebagai imam shalat, yaitu orang yang diikuti atau diteladani kata-kata dan perbuatannya karena kepahamannya yang baik tentang agama. Imam dipatuhi sebagaimana kepatuhan seseorang kepada imam dalam shalat ataupemimpin suatu kaum. Bilal adalah pemimpin kaum yang bertugas memanggil atau mengumpulkan sanak family seperti anak-kemenakan untuk berkumpul untuk mengambil keputusan atau untuk mendapatkan pengarahan, sebagaimana ditamsilkan dalam peran bilal yang memanggil orang untuk shalat. Khotib adalah mereka yang bertugas untuk memberi arahan atau bimbingan agama (bertugas memberikan pengajaran kepada suatu kaum), sedangkan qodhi atau penghulu, adalah mereka yang dinilai memiliki kepahaman yang baik tentang hukum Islam, sehingga menjadi tempat kembali bagi suatu kaum untuk mendapatkan pertimbangan hukum. Sementara nagari ini dalam praktik sehari-hari difungsikan sebagai P3N atau pembantu penghulu.

Kepemimpinan ini berjenjang mulai di tingkat kaum hingga di tingkat Nagari, sebagaimana tergambar dalam falsafah: rumah bakali, kampung batuo, artinya rumah atau kaum ada kepemimpinannya, begitu juga kampung atau Jorong ada kepemimpinannya. Jika terdapat masalah, pertama-tama diselesaikan di tingkat Kaum, jika tidak selesai, baru dibawa ke tingkat Jorong, dan seterusnya jika tidak selesai di Jorong baru dibawa ke Nagari.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 93

Qodhi memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Minang, termasuk dalam kehidupan perkawinan atau kehidupan berkeluarga. Sebagai contoh, jika seorang suami tidak pulang ke rumah paling lama tiga hari, maka pihak ninik-mamak akan mengusut untuk mencari tahu mengapa hal tersebut terjadi. Perempuan yang suaminya tidak pulang tersebut akan ditanyai, begitu juga pihak sumando atau keluarga suami, juga ditanyai untuk mencari tahu apa yang menjadi sebab sehingga suami tidak mau kembali ke rumah istri dalam beberapa hari (Aresno Dt. Andomo. Wawancara. 18 April 2015).

Kalau ada masalah, maka kedua belah pihak akan menerima nasihat dari ninik-mamak agar masalah dapat diselesaikan, sehingga dengan cara ini masalah dapat dideteksi sejak awal dan karenanya sejak awal pula sudah dapat dicarikan jalan keluarnya sehingga tidak berujung pada perceraian. Jika masalah tidak selesai di tingkat Kaum (diistilahkan dengan ranji keturunan), barulah dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu dari Kaum ke Jorong, dan dari Jorong ke Nagari. Kondisi ini berbeda dengan kondisi saat ini, yaitu ketika ada sedikit masalah langsung dibawa ke Pengadilan Agama tanpa menanyakan terlebih dahulu persoalan tersebut kepada BP4 Nagari. Sebelumnya, sebuah perkara sulit berujung menjadi perceraian, baikcerai talak maupun cerai gugat.

Terkait dengan keterlibatan ninik-mamak dalam kehidupan berkeluarga, masyarakat Minang meyakini bahwa fungsi para ninik mamak, biasanya diistilahkan sebagai bundo kandung, diibaratkan sebagai anak kunci rumah tangga, yaitu mereka yang mengetahui segala seluk-beluk persoalan rumah-tangga yang terjadi pada para kemenakannya.

Menurut adat Minangkabau, untuk menengakkan syariat Islam, terdapat institusi adat yang terdiri dari para ninik-mamak, yang dipilih melalui rapat adat, yang memegang empat jenis kepemimpinan, yaitu imam, bilal, khotib, dan qodhi. Imam ditamsilkan sebagai imam shalat, yaitu orang yang diikuti atau diteladani kata-kata dan perbuatannya karena kepahamannya yang baik tentang agama. Imam dipatuhi sebagaimana kepatuhan seseorang kepada imam dalam shalat ataupemimpin suatu kaum. Bilal adalah pemimpin kaum yang bertugas memanggil atau mengumpulkan sanak family seperti anak-kemenakan untuk berkumpul untuk mengambil keputusan atau untuk mendapatkan pengarahan, sebagaimana ditamsilkan dalam peran bilal yang memanggil orang untuk shalat. Khotib adalah mereka yang bertugas untuk memberi arahan atau bimbingan agama (bertugas memberikan pengajaran kepada suatu kaum), sedangkan qodhi atau penghulu, adalah mereka yang dinilai memiliki kepahaman yang baik tentang hukum Islam, sehingga menjadi tempat kembali bagi suatu kaum untuk mendapatkan pertimbangan hukum. Sementara nagari ini dalam praktik sehari-hari difungsikan sebagai P3N atau pembantu penghulu.

Kepemimpinan ini berjenjang mulai di tingkat kaum hingga di tingkat Nagari, sebagaimana tergambar dalam falsafah: rumah bakali, kampung batuo, artinya rumah atau kaum ada kepemimpinannya, begitu juga kampung atau Jorong ada kepemimpinannya. Jika terdapat masalah, pertama-tama diselesaikan di tingkat Kaum, jika tidak selesai, baru dibawa ke tingkat Jorong, dan seterusnya jika tidak selesai di Jorong baru dibawa ke Nagari.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim94

Para ninik-mamak ini juga bertugas melakukan kontrol terhadap tindak-tanduk atau gerak-gerik para kemenakannya. Sebagai contoh, jika selepas shalat Isya ditemukan ada anak gadis yang masih di luar rumah, anak gadis tersebut akan dipertanyakan akhlak dan budi pekertinya dan penghulu Kaum akan memanggil ninik-mamaknya untuk menanyakan mengapa kemenakannya masih di luar rumah selepas Isya. Ketatnya kontrol sosial ini menyebabkan tiap orang menjaga secara sungguh-sungguh perilakunya, sehingga berbagai penyimpangan dan tindakan yang tidak semestinya dapat dihindarkan melalui kontrol sosial yang cukup ketat tersebut. Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini. Ketika seorang anak dari sebuah keluarga tidak pulang hingga pukul satu malam, orang tua yang ditanya oleh ninik-mamaknya justru marah.

Seiring dengan implementasi UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, kebijakan yang mengubah Nagari menjadi desa, fungsi ninik-mamak mulai hilang. Hal ini terjadi ketika situs Nagari mulai hilang sebagai konsekuensi logis implementasi UU Pemerintahan Daerah tahun 1974. Perubahan Nagari menjadi desa, kerap pula disebut dengan desaisasi. Setelah UU No. 22/1999 diberlakukan dan Nagari dikembalikan fungsinya, maka ketika ada masalah dalam keluarga, mereka tidak langsung membawanya ke polisi tapi ke ninik-mamak terlebih dulu. Sebagaimana penuturan salah seorang nara sumber dalam sebuah wawancara:

Ada raso badusanak, rasa bertetanggo, rasa berkorong kampung. Saya akan bercerai dengan anaknya, padahal istri saya kemenakan bapak saya. Rasa inilah di Minangkabau diperhatkan. Kalau bercerai, hancur persaudaraan karena segala macam ada sangkut-pautnya.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 95

Prinsipnya, nilai-nilai keterikatan pada keluarga berbasis norma-norma lokal diperkuat kembali sebagai salah satu cara untuk meminimalisir perceraian.

Gambaran Umum Kasus Cerai Gugat di Kota Padang

Mengingat keberadaannya sebagai ibukota provinsi, peristiwa nikah dan rujuk di Kota Padang, sebagaimana data pada Kanwil Kementerian Agama Sumatera Barat, menempati angka paling tinggi dibanding daerah lain selama lima tahun terakhir. Lihat tabel berikut.

Tabel 2 Jumlah Peristiwa Nikah dan Rujuk di Sumatera Barat

Tahun 2010-2014 No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 1. Kab. Pesisir Selatan 5536 5506 4735 4475 4156 2. Kab. Solok 4406 5091 4085 3957 3740 3. Kab. Sijunjung 2273 2138 2062 1846 1818 4. Kab. Tanah Datar 3881 3809 3858 3260 3520 5. Kab. Padang Pariaman 4406 4707 4575 4406 4096 6. Kab. Agam 5055 5335 4632 4588 4516 7. Kab. 50 Koto 3139 3467 3243 2898 2901 8. Kab. Pasaman 2869 3320 2756 2319 2507 9. Kota Padang 6996 7173 6737 6356 6106 10. Kota Solok 554 582 580 607 531 11. Kota Sawahlunto 532 522 521 476 479 12. Kota Padang Panjang 354 428 443 563 357 13. Kota Bukittinggi 858 811 796 684 728 14. Kota Payakumbuh 988 1076 1069 931 1012 15. Kab. Kepulauan Mentawai 77 135 94 114 105 16. Kota Pariaman 817 862 812 774 3560 17. Kab. Dharmasraya 1630 1962 1558 1516 1487 18. Kab. Solok Selatan 1492 1540 1527 1376 1437 19. Kab. Pasaman Barat 3502 4030 3934 3579 755

J U M L A H (Provinsi Sumbar) 49365 52494 48017 44725 43811 Sumber: Kanwil Kementerian Agama Povinsi Sumatera Barat

Para ninik-mamak ini juga bertugas melakukan kontrol terhadap tindak-tanduk atau gerak-gerik para kemenakannya. Sebagai contoh, jika selepas shalat Isya ditemukan ada anak gadis yang masih di luar rumah, anak gadis tersebut akan dipertanyakan akhlak dan budi pekertinya dan penghulu Kaum akan memanggil ninik-mamaknya untuk menanyakan mengapa kemenakannya masih di luar rumah selepas Isya. Ketatnya kontrol sosial ini menyebabkan tiap orang menjaga secara sungguh-sungguh perilakunya, sehingga berbagai penyimpangan dan tindakan yang tidak semestinya dapat dihindarkan melalui kontrol sosial yang cukup ketat tersebut. Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini. Ketika seorang anak dari sebuah keluarga tidak pulang hingga pukul satu malam, orang tua yang ditanya oleh ninik-mamaknya justru marah.

Seiring dengan implementasi UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, kebijakan yang mengubah Nagari menjadi desa, fungsi ninik-mamak mulai hilang. Hal ini terjadi ketika situs Nagari mulai hilang sebagai konsekuensi logis implementasi UU Pemerintahan Daerah tahun 1974. Perubahan Nagari menjadi desa, kerap pula disebut dengan desaisasi. Setelah UU No. 22/1999 diberlakukan dan Nagari dikembalikan fungsinya, maka ketika ada masalah dalam keluarga, mereka tidak langsung membawanya ke polisi tapi ke ninik-mamak terlebih dulu. Sebagaimana penuturan salah seorang nara sumber dalam sebuah wawancara:

Ada raso badusanak, rasa bertetanggo, rasa berkorong kampung. Saya akan bercerai dengan anaknya, padahal istri saya kemenakan bapak saya. Rasa inilah di Minangkabau diperhatkan. Kalau bercerai, hancur persaudaraan karena segala macam ada sangkut-pautnya.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim96

Begitu pula dengan angka perceraian. Merujuk pada data Sumbar dalam Angka Tahun 2014, angka perceraian, cerai talak maupun cerai gugat, di Pengadilan Agama Kota Padang juga menempati angka tertinggi dibandingkan dengan angka di Pengadilan Agama lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Selain tertinggi di Sumatera Barat, angka perceraian, menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, dengan trend peningkatan cukup signifikan terutama untuk kasus cerai gugat. Lihat tabel berikut.

Tabel 3.

Jumlah Perceraian di Sumatera Barat (2010-2014) No Pengadilan Agama 2010 2011 2012 2013 2014

CT CG CT CG CT CG CT CG CT CG 1. Padang 354 688 351 701 2. Pariaman 119 340 119 335 3. Batusangkar 178 365 143 330 4. Bukittinggi 194 420 172 415 5. Payakumbuh 176 346 153 365 6. Sawahlunto 69 165 54 162 7. Solok 96 218 102 202 8. Padang Panjang 71 180 63 165 9. Muara Labuh 83 149 66 154 10. Kab. Sijunjung 89 152 71 155 11. Koto Baru 104 198 105 260 12. Painan 60 144 54 115 13. Lubuk Sikaping 50 121 76 123 14. Talu 150 194 123 204 15. Maninjau 42 116 40 113 16. Kab. Lima Puluh Koto 108 230 114 224 17. Lubuk Basung 49 136 62 150

J U M L A H (Provinsi Sumbar) 1669 3260 1912 3841 1992 4162 1868 4173 Prosentase

Sumber: Sumbar Dalam Angka 2010-2014

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 97

Tren peningkatan angka perceraian terutama cerai gugat di Padang dibenarkan oleh Ketua Panitera Muda Hukum PA Padang, Yelti Mulfi dalam wawancara dengan Harian Haluan Padang. Sepanjang 21 hari bulan pertama di tahun 2015 perkara cerai yang sudah terdaftar di PA Kota Padang mencapai 110 kasus. Jika dihitung berdasarkan hari kerja efektif, maka pada Januari 2015 dari tujuh pasangan menikah, satu diantaranya mengajukan gugatan cerai.

Merujuk pada data Pengadilan Agama Kota Padang tahun 2010-2014, faktor penyebab utama perceraian yaitu tidak ada keharmonisan dan tidak ada tanggung-jawab karena frekuensinya selalu menempati posisi tertinggi selama lima tahun terakhir.. Faktor berikutnya yang frekruensinya lebih rendah yaitu faktor ekonomi, gangguan pihak ketiga, cemburu. krisis akhlak, poligami, dipenjara/dihukum, kekejaman jasmani, cacat biologis, KDRT, dan penganiayaan (lihat tabel).

Tabel 4

Penyebab Perceraian di Kota Padang Tahun 2010-2014 No Penyebab Perceraian 2010 2011 2012 2013 2014 1. Poligami Tidak Sehat 2 4 5 2. Krisis Akhlak 8 31 35 3. Cemburu 2 22 68 16 18 4. Ekonomi 72 126 42 39 5. Tidak Ada Tanggung-jawab 143 328 468 243 169 6. Kawin Dibawah Umur 3 7. Dihukum/Dipenjara 2 1 8. Cacat BIologis 3 9. KDRT 10. Gangguan Pihak Ketiga 30 18 76 132 127 11. Tidak Ada Keharmonisan 301 322 304 548 693 12. Penganiayaan 2 13. Kekejaman Jasmani 2 31 18

Sumber: Pengadilan Agama Padang, data diolah.

Begitu pula dengan angka perceraian. Merujuk pada data Sumbar dalam Angka Tahun 2014, angka perceraian, cerai talak maupun cerai gugat, di Pengadilan Agama Kota Padang juga menempati angka tertinggi dibandingkan dengan angka di Pengadilan Agama lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Selain tertinggi di Sumatera Barat, angka perceraian, menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, dengan trend peningkatan cukup signifikan terutama untuk kasus cerai gugat. Lihat tabel berikut.

Tabel 3.

Jumlah Perceraian di Sumatera Barat (2010-2014) No Pengadilan Agama 2010 2011 2012 2013 2014

CT CG CT CG CT CG CT CG CT CG 1. Padang 354 688 351 701 2. Pariaman 119 340 119 335 3. Batusangkar 178 365 143 330 4. Bukittinggi 194 420 172 415 5. Payakumbuh 176 346 153 365 6. Sawahlunto 69 165 54 162 7. Solok 96 218 102 202 8. Padang Panjang 71 180 63 165 9. Muara Labuh 83 149 66 154 10. Kab. Sijunjung 89 152 71 155 11. Koto Baru 104 198 105 260 12. Painan 60 144 54 115 13. Lubuk Sikaping 50 121 76 123 14. Talu 150 194 123 204 15. Maninjau 42 116 40 113 16. Kab. Lima Puluh Koto 108 230 114 224 17. Lubuk Basung 49 136 62 150

J U M L A H (Provinsi Sumbar) 1669 3260 1912 3841 1992 4162 1868 4173 Prosentase

Sumber: Sumbar Dalam Angka 2010-2014

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim98

Lalu kelompok mana yang paling banyak mengalami perceraian? Berdasarkan pekerjaan, data Pengadilan Agama tahun 2014 mencatat perceraian di Padang banyak terjadi pada buruh dan swasta (633 kasus), disusul mereka yang tidak ada pekerjaan (355 kasus) dan PNS/POLRI/TNI/Pensiunan (131 kasus). Sedangkan berdasarkan pendidikan, kasus perceraian banyak terjadi pada mereka dengan pendidikan SLTA (625 kasus), disusul S1 (196 kasus), dan SLTP (134 kasus). Selain itu terdapat 62 kasus pada mereka dengan tingkat pendidikan SD dan yang paling sedikit pada mereka dengan tingkat pendidikan D1 (9 kasus) serta S3 (3 kasus).

Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2008, Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Padang sebelum memutuskan kasus perceraian melakukan proses mediasi untuk mendamaikan antara pihak suami dan istri dalam waktu 40 hari. Akan tetapi proses mediasi tidaklah mudah untuk dapat dilakukan terutama untuk kasus cerai gugat, mengingat dalam banyak kasus cerai gugat pihak suami umumnya tidak datang sementara proses mediasi mensyaratkan kehadiran kedua-belah pihak. Selain ditangani tiga hakim, pada tahun 2013 juga dilibatkan 2 orang dari unsur non hakim, seperti hakim senior yang sudah pensiun. Proses mediasi menurut Ali Amar SH, MHI selaku hakim mediator dari unsur non hakim, diawali dengan disidangkannya perkara yang masuk. Setelah disidangkan, berkas dikirim ke hakim mediator untuk dimediasi. Rata-rata hakim mediator menangani 20 perkara setiap bulannya, dengan tingkat keberhasilan bervariasi sebagaimana dapat dilihat pada tabel. Pada tahun 2013 terdapat 358 kasus yang berhasil (???).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 99

STUDI KASUS CERAI GUGAT DI KOTA PADANG

Terdapat tiga kasus yang didalami untuk studi ini, yaitu kasus EL, IK, dan Fat. Berikut uraian mengenai ketiga kasus tersebut:

1. Kasus EL dan OS: Dominasi Keluarga Suami atas Suami.

a. Masa Pranikah.

EL anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Setelah menamatkan program Diploma tiga (D3) pada sebuah perguruan tinggi swasta pada tahun 2005, EL sempat menganggur selama enam bulan hingga akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya pada tahun 2010 di Politeknik Negeri di Padang pada Jurusan Akuntansi, setelah tabungannya dirasa cukup untuk biaya kuliah karena ia membiayai sendiri kuliahnya. EL memilih kuliah setiap hari Sabtu dan Minggu, dengan alasan bisa sambil bekerja.

Terkait dengan pelaksanaan adat Minang di dalam keluarga, meski tinggal di Padang bahkan EL lahir di Padang, keluarga EL tidak lagi mempraktikkan adat Minang mengingat latar-belakang keluarga ibunya yang lama merantau ke Medan.

“Kami namanya saja orang minang. Tapi sejak kelas lima SD, saya sudah merantau ke Medan. Apalagi adik-adik saya (ibu EL), mereka masih kecil-kecil lagi sudah meninggalkan kampung halaman. Masalah adat itu kami sudah banyak tertinggal, bahkan kami lebih banyak mengikut kebiasan Jawa, karena di sekitar kami tinggal banyak orang Jawa.” (Mamak EL. Wawancara. 26 April 2015)

Lalu kelompok mana yang paling banyak mengalami perceraian? Berdasarkan pekerjaan, data Pengadilan Agama tahun 2014 mencatat perceraian di Padang banyak terjadi pada buruh dan swasta (633 kasus), disusul mereka yang tidak ada pekerjaan (355 kasus) dan PNS/POLRI/TNI/Pensiunan (131 kasus). Sedangkan berdasarkan pendidikan, kasus perceraian banyak terjadi pada mereka dengan pendidikan SLTA (625 kasus), disusul S1 (196 kasus), dan SLTP (134 kasus). Selain itu terdapat 62 kasus pada mereka dengan tingkat pendidikan SD dan yang paling sedikit pada mereka dengan tingkat pendidikan D1 (9 kasus) serta S3 (3 kasus).

Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2008, Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Padang sebelum memutuskan kasus perceraian melakukan proses mediasi untuk mendamaikan antara pihak suami dan istri dalam waktu 40 hari. Akan tetapi proses mediasi tidaklah mudah untuk dapat dilakukan terutama untuk kasus cerai gugat, mengingat dalam banyak kasus cerai gugat pihak suami umumnya tidak datang sementara proses mediasi mensyaratkan kehadiran kedua-belah pihak. Selain ditangani tiga hakim, pada tahun 2013 juga dilibatkan 2 orang dari unsur non hakim, seperti hakim senior yang sudah pensiun. Proses mediasi menurut Ali Amar SH, MHI selaku hakim mediator dari unsur non hakim, diawali dengan disidangkannya perkara yang masuk. Setelah disidangkan, berkas dikirim ke hakim mediator untuk dimediasi. Rata-rata hakim mediator menangani 20 perkara setiap bulannya, dengan tingkat keberhasilan bervariasi sebagaimana dapat dilihat pada tabel. Pada tahun 2013 terdapat 358 kasus yang berhasil (???).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim100

Mereka merantau ke Medan karena kakek EL (orang tua ibu EL) yang bekerja sebagai tentara (ABRI) dan sempat ikut menjadi tentara pada PRRI Permesta, mengadu nasib ke Medan akibat harus pensiun dini setelah perang PRRI Permesta. Ketika perang selesai, mereka yang ikut PRRI Permesta discreening dan diberikan dua pilihan, yaitu kembali menjadi tentara bagi tentara atau bagi yang sedang mengikuti pendidikan kembali ke lembaga pendidikan. Kakek EL mengalami cacat pada mata saat perang. Karenanya meski lulus screning, kakek EL dipensiunkan dini karena dianggap tidak lagi bisa aktif menjadi tentara. Akan tetapi mengingat bahwa kakek EL mempunyai banyak anak (sembilan orang) sehingga tidak mungkin mengandalkan hidup hanya dari pensiun, kakek EL memutuskan berdagang ke Medan diajak seorang kenalan. Awalnya hanya kakek EL saja yang berangkat. Setelah ada tempat tinggal dan peluang untuk berusaha mulai terlihat, kurang lebih tiga atau empat bulan setelahnya, secara bertahap kakek EL meminta istri dan anak-anaknya menyusul ke Medan. Karenanya ibu EL yang saat itu masih sangat kecil serta mamak EL yang sudah duduk di kelas V SD (saat ini tinggal di Pondok Gede), menyusul ayah mereka ke Medan.“Pertama orang tua dulu, setelah ada tiga atau empat bulan barulah kami menyusul. Itu terjadi setelah tahun 65”.

Mereka menetap di Medan cukup lama. Paman EL bahkan baru meninggalkan Medan dan tinggal di Jakarta pada tahun 2001. Adapun Ibu EL, kembali ke Padang dan bukan ke kampung halaman di Sijunjung, karena menikah dengan ayah EL.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 101

“Asal kami dari Mantuo. Setelah itu merantau ke Sijunjung. Lalu merantau lagi ke Medan. Jadi kampung kami Medan lagi kini bukan yang lain. Asal usul sudah tidak tahu lagi. Tanah pusaka sudah habis dijual. Orang tua juga sudah tidak ada…” (Ibu EL. Wawancara. 16 April 2015)

Meski sudah tidak lagi melaksanakan adat Minang karena sudah lama merantau, dalam keluarga EL mamak yaitu paman EL yang tinggal di Pondok Gede masih melaksanakan peran penting mengingat keberadaannya sebagai kakak tertua di keluarga ibu EL. Sebagai contoh saat EL hendak memutuskan apakah akan menikah dengan OS atau tidak, peran mamak EL sangat dominan. Mamak EL satu-satunya anggota keluarga EL yang bertemu langsung dengan OS. Mamak EL yang tinggal di Pondok Gede sementara OS di Bekasi, memungkinkan untuk saling bertemu sementara EL dan keluarga karena tinggal berjauhan (di Padang) hanya dapat berkomunikasi dengan OS melalui telfon dan media sosial. Mamak EL lah yang ditemui OS dan keluarga (Ibu OS dan kakak OS) untuk meminang EL menjadi istri OS.

Tentang perkenalan EL dengan suami (OS), terjadi melalui teman kampus EL bernama DS. EL memang sedang mencari pendamping hidup mengingat usianya yang sudah cukup matang (27 tahun). “Saya memang tidak mau pacaran, karena umur juga sudah cukup dan dia juga mau serius.” Karena itu ia tertarik dengan OS. Menurut penuturan DS yang mencomblangi EL dengan OS, OS ingin mencari pasangan hidup yang siap untuk segera diajak menikah. EL kemudian mencermati profil OS pada akun FB milik OS sebagaimana diminta DS, yang juga dilakukan OS atas diri EL. Hal tersebut dilakukan

Mereka merantau ke Medan karena kakek EL (orang tua ibu EL) yang bekerja sebagai tentara (ABRI) dan sempat ikut menjadi tentara pada PRRI Permesta, mengadu nasib ke Medan akibat harus pensiun dini setelah perang PRRI Permesta. Ketika perang selesai, mereka yang ikut PRRI Permesta discreening dan diberikan dua pilihan, yaitu kembali menjadi tentara bagi tentara atau bagi yang sedang mengikuti pendidikan kembali ke lembaga pendidikan. Kakek EL mengalami cacat pada mata saat perang. Karenanya meski lulus screning, kakek EL dipensiunkan dini karena dianggap tidak lagi bisa aktif menjadi tentara. Akan tetapi mengingat bahwa kakek EL mempunyai banyak anak (sembilan orang) sehingga tidak mungkin mengandalkan hidup hanya dari pensiun, kakek EL memutuskan berdagang ke Medan diajak seorang kenalan. Awalnya hanya kakek EL saja yang berangkat. Setelah ada tempat tinggal dan peluang untuk berusaha mulai terlihat, kurang lebih tiga atau empat bulan setelahnya, secara bertahap kakek EL meminta istri dan anak-anaknya menyusul ke Medan. Karenanya ibu EL yang saat itu masih sangat kecil serta mamak EL yang sudah duduk di kelas V SD (saat ini tinggal di Pondok Gede), menyusul ayah mereka ke Medan.“Pertama orang tua dulu, setelah ada tiga atau empat bulan barulah kami menyusul. Itu terjadi setelah tahun 65”.

Mereka menetap di Medan cukup lama. Paman EL bahkan baru meninggalkan Medan dan tinggal di Jakarta pada tahun 2001. Adapun Ibu EL, kembali ke Padang dan bukan ke kampung halaman di Sijunjung, karena menikah dengan ayah EL.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim102

mengingat EL dan OS tinggal berjauhan. EL di Padang, sementara OS di Tambun, Bekasi, Jawa Barat. “Teman saya kasih tahu kalau ada temennya yang sedang cari jodoh. Saya diminta liat FB nya. Saya liat dan cocok…”

Meski setelah melihat akun FB OS, EL merasa cocok, ia tidak ingin mendahului. EL menunggu OS menghubunginya langsung. “Saya nggak mau mulai duluan, karena saya kan cewek…. Terus dia menghubungi saya lewat telfon…. dari situ lanjut… Itu terjadi waktu Maret 2012…”

Setelah OS menghubungi EL lewat telfon dan menyatakan ketertarikannya, perkenalan dilanjutkan dengan menggunakan fasilitas chatting baik melalui FB maupun HP (video call). Karena keduanya merasa makin mantap, EL meminta OS berkunjung ke rumah mamak EL (kakak ibu EL) yang tinggal di Jakarta (Pondok Gede) untuk berkenalan lebih lanjut mengingat kondisi mereka yang berjauhan tempat tinggal.

“Lalu dia ketemu Uwo saya (Pak Tuo atau Pak De, pen) yang di Jakarta. Kebetulan temen saya yang ngenalin juga sedang ada di Bekasi…”

Hal itu dibenarkan AL (mamak EL) yang mengatakan bahwa OS datang ke rumah Mamak EL ditemani ibu dan kakak kandungnya (OS anak kedua dari dua bersaudara) serta suami kakaknya (kakak ipar OS). Mereka semua tinggal satu rumah (di rumah Kakak OS) di Bekasi. (AL.Wawancara.26 April 2015)

“Waktu EL dan OS berkenalan, saya tidak tahu. Saya hanya dapat informasi saja. Tapi pada saat sebelum mereka menikah, yang laki-laki datang kesini, karena kami sama-sama di Jakarta. Datang ke sini sama kakaknya, sama iparnya, sama ibunya. Kita

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 103

ngobrol-ngobrol, saling berkunjung keluarga untuk mengenal.” (AL. Wawancara. 26 April 2015)

Berdasarkan penilaian Mamak EL, OS memiliki pribadi yang baik dan sudah memiliki kesiapan untuk menikah. Keluarga mereka pun kelihatan baik dan saling mendukung satu sama lain. Karena hal itu, ia memberi rekomendasi positif kepada EL dan keluarga atas diri OS, yaitu setuju jika diteruskan ke tahap lebih lanjut.“Kalau saya liat, keluarganya sih bagus-bagus saja. Hubungan mereka bersaudara kelihatan akrab, baik sekali.

Karena sudah mendapat rekomendasi positif dari mamak EL, EL makin mantap untuk meneruskan hubungannya ke jenjang pernikahan dengan OS. Maka pada Juni 2012, saat OS bersama keluarganya datang ke Solok (rumah keluarga besar OS, tempat dimana OS dan keluarga biasa bermalam jika berkunjung ke Solok), saat itu menjelang hari raya, sekaligus dimanfaatkan untuk hal tersebut. Sebagaimana tradisi Minang, diawali dengan silaturahim keluarga laki-laki ke rumah perempuan sebagai pertanda persetujuan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan dan dilanjutkan dengan kedatangan keluarga perempuan ke rumah keluarga laki-laki untuk meminang (manjapuik). Maka datanglah OS ke rumah EL dengan kakaknya untuk berkenalan (itu merupakan pertemuan EL dengan OS yang pertama kali, karena selama ini mereka hanya berkomunikasi jarak-jauh). Setelah itu dilanjutkan dengan kedatangan EL dan keluarga ke rumah keluarga besar OS di Solok untuk melamar.

“Kenalan hari Rabu, lalu hari Sabtu saya dan keluarga ke Solok. Di Solok ada mamaknya, neneknya, adik mamanya…Yang pergi satu mobil: saya, mama, papa, dan saudara papa tiga orang.

mengingat EL dan OS tinggal berjauhan. EL di Padang, sementara OS di Tambun, Bekasi, Jawa Barat. “Teman saya kasih tahu kalau ada temennya yang sedang cari jodoh. Saya diminta liat FB nya. Saya liat dan cocok…”

Meski setelah melihat akun FB OS, EL merasa cocok, ia tidak ingin mendahului. EL menunggu OS menghubunginya langsung. “Saya nggak mau mulai duluan, karena saya kan cewek…. Terus dia menghubungi saya lewat telfon…. dari situ lanjut… Itu terjadi waktu Maret 2012…”

Setelah OS menghubungi EL lewat telfon dan menyatakan ketertarikannya, perkenalan dilanjutkan dengan menggunakan fasilitas chatting baik melalui FB maupun HP (video call). Karena keduanya merasa makin mantap, EL meminta OS berkunjung ke rumah mamak EL (kakak ibu EL) yang tinggal di Jakarta (Pondok Gede) untuk berkenalan lebih lanjut mengingat kondisi mereka yang berjauhan tempat tinggal.

“Lalu dia ketemu Uwo saya (Pak Tuo atau Pak De, pen) yang di Jakarta. Kebetulan temen saya yang ngenalin juga sedang ada di Bekasi…”

Hal itu dibenarkan AL (mamak EL) yang mengatakan bahwa OS datang ke rumah Mamak EL ditemani ibu dan kakak kandungnya (OS anak kedua dari dua bersaudara) serta suami kakaknya (kakak ipar OS). Mereka semua tinggal satu rumah (di rumah Kakak OS) di Bekasi. (AL.Wawancara.26 April 2015)

“Waktu EL dan OS berkenalan, saya tidak tahu. Saya hanya dapat informasi saja. Tapi pada saat sebelum mereka menikah, yang laki-laki datang kesini, karena kami sama-sama di Jakarta. Datang ke sini sama kakaknya, sama iparnya, sama ibunya. Kita

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim104

Sedangkan keluarga di Solok ada ibunya, kakaknya, keluarga ibunya…”

Tentang waktu pelaksanaan pernikahan, EL sebenarnya menginginkan agar pernikahannya dilaksanakan di akhir tahun, yaitu berbarengan dengan kakak pertama EL yang juga akan menikah. Selain itu, EL juga ingin enyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Akan tetapi OS dan keluarga,terutama kakak OS bersikeras agar pernikahannya dilaksanakan segera, yaitu setelah Hari Raya sekitar Juli-Agustus 2012, mengingat menjelang hari raya dirinya dan keluarga berkunjung ke rumah kerabat mereka di Solok. EL dan keluarga terpaksa mengalah. Pada saat itu bibit-bibit konflik berupa adanya intervensi dari keluarga OS, terutama sikap kakak OS yang berlebihan sebenarnya mulai tampak, akan tetapi EL dan keluarga tidak menyadari.

Intervensi kakak OS kembali terjadi saat persiapan pernikahan, di antaranya dalam hal penetapan pakaian pengantin. EL menginginkan agar pakaian penganten menggunakan payet agar lebih bagus, akan tetapi kakak OS tidak setuju karena sulit mencari tukang jahit yang memiliki ketrampilan tersebut. Namun, OS bersikeras dan bahkan bersedia mencarinya, sehingga kakak OS pada akhirnya mendukung keinginannya. Begitu pula dalam hal pengadaan cincin kawin. Kakak OS menilai cincin kawin tidak perlu diadakan karena tidak merupakan kewajiban. EL pun memahami bahwa cincin kawin hanya simbol, akan tetapi ia menilai pentingnya barang tersebut sebagai pertanda bahwa keduanya sudah menikah. Untungnya OS tidak berkeberatan dan bersedia membeli cincin kawin meski kakaknya tidak setuju. EL tidak pernah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 105

menyangka hal ini akan menjadi masalah besar yang memicu terjadinya konflik besar di dalam rumah-tangganya, bahkan mengakibatkan rumah tangganya berakhir dengan perceraian.

Tentang hal ini paman EL mengatakan,“Kalau saya liat, keluarganya sih bagus-bagus saja. Hubungan mereka bersaudara kelihatan akrab, baik sekali. Cuma kalau menurut saya penyebab masalah Elsa itu karena sangat baiknya hubungan mereka. Terlalu dekat. Karena ibunya hanya punya dua anak. Inilah yang menurut saya penyebabnya.”

Apa yang disampaikan paman EL ada benarnya. Ketidak-patuhan OS kepada kakaknya ternyata menimbulkan ketidak-puasan dan kemarahan terpendam bagi kakak OS. Akibatnya saat pelaksanaan pernikahan kakak OS tidak datang. Alasannya, kakak OS kesal pada kelakuan OS yang dinilainya lebih condong mengikuti keinginan calon istri dari pada nasihatnya, juga karena sebelum berangkat dari rumah famili OS di Solok menuju tempat tinggal EL di Padang, paginya sempat terjadi percekcokan antara OS, ibunya, dan kakaknya. EL tidak tahu pasti apa yang menjadi penyebabnya. EL hanya mendapat cerita dari kerabat OS yang tinggal di Solok yang hubungannya cukup dekat dengan EL, bahwa pagi hari menjelang berangkat ke rumah EL untuk pelaksanaan pernikahan, sempat terjadi keributan besar antara OS, ibunya, dan kakaknya; yang berbuntut pada ketidaksertaan kakak OS pada pelaksanaan pernikahan OS. Sesuatu yang janggal mengingat OS hanya dua bersaudara, sekaligus menggambarkan besarnya kemarahan kakak OS pada adiknya.

Sedangkan keluarga di Solok ada ibunya, kakaknya, keluarga ibunya…”

Tentang waktu pelaksanaan pernikahan, EL sebenarnya menginginkan agar pernikahannya dilaksanakan di akhir tahun, yaitu berbarengan dengan kakak pertama EL yang juga akan menikah. Selain itu, EL juga ingin enyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Akan tetapi OS dan keluarga,terutama kakak OS bersikeras agar pernikahannya dilaksanakan segera, yaitu setelah Hari Raya sekitar Juli-Agustus 2012, mengingat menjelang hari raya dirinya dan keluarga berkunjung ke rumah kerabat mereka di Solok. EL dan keluarga terpaksa mengalah. Pada saat itu bibit-bibit konflik berupa adanya intervensi dari keluarga OS, terutama sikap kakak OS yang berlebihan sebenarnya mulai tampak, akan tetapi EL dan keluarga tidak menyadari.

Intervensi kakak OS kembali terjadi saat persiapan pernikahan, di antaranya dalam hal penetapan pakaian pengantin. EL menginginkan agar pakaian penganten menggunakan payet agar lebih bagus, akan tetapi kakak OS tidak setuju karena sulit mencari tukang jahit yang memiliki ketrampilan tersebut. Namun, OS bersikeras dan bahkan bersedia mencarinya, sehingga kakak OS pada akhirnya mendukung keinginannya. Begitu pula dalam hal pengadaan cincin kawin. Kakak OS menilai cincin kawin tidak perlu diadakan karena tidak merupakan kewajiban. EL pun memahami bahwa cincin kawin hanya simbol, akan tetapi ia menilai pentingnya barang tersebut sebagai pertanda bahwa keduanya sudah menikah. Untungnya OS tidak berkeberatan dan bersedia membeli cincin kawin meski kakaknya tidak setuju. EL tidak pernah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim106

Pesta perkawinan itu sendiri dilaksanakan di rumah EL di Kota Padang pada 25 Agustus 2012. Menurut tradisi yang ada di Padang, pembiayaan pesta dilakukan oleh masing-masing pihak. Ketika acara perkawinan di rumah perempuan, dibiayai perempuan; dan jika diadakan pesta di rumah laki-laki, maka dibiayai oleh pihak laki-laki dan keluarga. Karena pelaksanaan perkawinan EL dan OS dilakukan di rumah keluarga EL, maka dibiayai sepenuhnya oleh EL dan keluarga. Semula direncanakan diadakan syukuran di rumah pihak laki-laki, yang sedianya dilaksanakan saat EL datang ke Jakarta selepas selesai kuliah pada Desember 2011 atau Januari 2012. Akan tetapi acara tidak jadi dilaksanakan, dengan alasan yang tidak terlalu jelas bagi EL.

Meski merupakan hari bahagia bagi EL dan OS, beberapa insiden tidak mengenakkan sempat terjadi pada saat pelaksanaan pernikahan, yang menggambarkan bahwa sejak awal perkawinan kehidupan mereka sudah penuh dinamika. Insiden dimaksud adalah, peristiwa ketika rombongan Mamak pengantin laki-laki (OS) tersesat ketika menuju rumah pengantin perempuan (EL). Karena pengantin pria sudah sampai lebih dulu dan penghulu harus bertugas menikahkan ditempat lain, penghulu sempat meminta agar akad segera dilaksanakan tanpa kehadiran Ninik-Mamak. Mendengar hal itu Ninik-Mamak OS marah besar karena bagi mereka sebuah perkawinan tidak sah tanpa kehadiran Ninik-Mamak sesuai adat Minangkabau dimana peran Mamak sama dengan peran orang tua atau wali, hingga akhirnya, penghulu setelah dibujuk bersedia menunggu.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 107

b. Masa Pernikahan

Pada awal pernikahannya, EL dan OS sudah langsung berhadapan dengan ujian yang cukup berat. OS yang bekerja di Yamaha, diberhentikan dari tempat bekerja beberapa hari saja setelah pernikahannya. Hal itu terjadi karena OS yang mengambil cuti 10 hari untuk persiapan dan pelaksanaan perkawinannyamendadak diminta kantor untuk segera kembali bekerja. Karena kondisi tidak memungkinkan, OS terpaksa harus merelakan dirinya diberhentikan dari tempatnya bekerja.

Karena suami tidak lagi bekerja, setelah OS diberhentikan hingga Desember atau sekitar tiga bulan setelah pernikahan, EL yang tetap tinggal bersama ibunya setelah perkawinan untuk menuntaskan studinya dan sekaligus mengurus pemberhentian dirinya dari tempat bekerja, terpaksa masih harus membiayai sendiri kebutuhan dirinya selama kurun waktu itu. Bahkan ketika EL datang ke Jakarta menyusul suaminya meski untuk sementara waktu (hanya tiga minggu mengingat skripsinya yang sudah selesai ditulisnya, tetapi masih belum diujikan), EL terpaksa menggunakan uang simpanan pribadinya, berupa uang pesangon dari tempatnya bekerja untuk kebutuhan sehari-hari dirinya ,termasuk membeli tiket Jakarta-Padang PP dan keperluannya selama di Jakarta. Selain itu, EL juga harus menanggung sebagian dari keperluan suaminya, kakak ipar dan ibu mertuanya karena EL tinggal satu atap dengan mereka. Akibatnya uang pesangon EL habis untuk membayar aneka kebutuhan tersebut.

Saat itu, konflik terbuka mulai muncul dan semakin menjadi-jadi saat EL kembali datang ke Jakarta pada

Pesta perkawinan itu sendiri dilaksanakan di rumah EL di Kota Padang pada 25 Agustus 2012. Menurut tradisi yang ada di Padang, pembiayaan pesta dilakukan oleh masing-masing pihak. Ketika acara perkawinan di rumah perempuan, dibiayai perempuan; dan jika diadakan pesta di rumah laki-laki, maka dibiayai oleh pihak laki-laki dan keluarga. Karena pelaksanaan perkawinan EL dan OS dilakukan di rumah keluarga EL, maka dibiayai sepenuhnya oleh EL dan keluarga. Semula direncanakan diadakan syukuran di rumah pihak laki-laki, yang sedianya dilaksanakan saat EL datang ke Jakarta selepas selesai kuliah pada Desember 2011 atau Januari 2012. Akan tetapi acara tidak jadi dilaksanakan, dengan alasan yang tidak terlalu jelas bagi EL.

Meski merupakan hari bahagia bagi EL dan OS, beberapa insiden tidak mengenakkan sempat terjadi pada saat pelaksanaan pernikahan, yang menggambarkan bahwa sejak awal perkawinan kehidupan mereka sudah penuh dinamika. Insiden dimaksud adalah, peristiwa ketika rombongan Mamak pengantin laki-laki (OS) tersesat ketika menuju rumah pengantin perempuan (EL). Karena pengantin pria sudah sampai lebih dulu dan penghulu harus bertugas menikahkan ditempat lain, penghulu sempat meminta agar akad segera dilaksanakan tanpa kehadiran Ninik-Mamak. Mendengar hal itu Ninik-Mamak OS marah besar karena bagi mereka sebuah perkawinan tidak sah tanpa kehadiran Ninik-Mamak sesuai adat Minangkabau dimana peran Mamak sama dengan peran orang tua atau wali, hingga akhirnya, penghulu setelah dibujuk bersedia menunggu.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim108

Februari 2013, segera setelah urusan kuliahnya benar-benar rampung dan ia sudah berhenti bekerja. Sumber utama konflik adalah keinginan EL untuk tinggal terpisah dari keluarga OS, yang sebenarnya sudah merupakan kesepakatan EL dan OS saat mereka belum menikah. Keduanya sempat menyepakati bahwa mereka tidak akan tinggal di rumah keluarga EL maupun keluarga OS. Selain itu EL merasa tidak nyaman, bila harus menumpang di rumah kakak OS seperti selama ini mereka lakukan.. Tentang hal ini ibu EL mengatakan,

“Kami mengerti kalau anak kami tinggal di rumah orang tua OS. Akan tetapi tinggal di rumah kakaknya yang sudah menikah dan memiliki anak pula, kami agak tak paham. Kami sebagai orang-tua jadi kesulitan mengunjungi anak sendiri. Karena kalau kami datang dari Padang, paling-paling hanya bisa bermalam satu hari saja karena tidak enak. Lain kalau anak tinggal di rumah sendiri, atau sekurang-kurangnya tinggal di rumah orang tuanya. Kalau tinggal di rumah kakaknya kami kan jadi segan…” (Ibu EL.Wawancara.18 April 2015)

Hal lain yang mendorong keinginan EL untuk tinggal terpisah, karena OS sudah memiliki rumah sendiri meskipun kecil dan membutuhkan sedikit renovasi untuk dapat ditinggali. Selain itu EL dan OS pun sudah sempat mencari kontrakan bahkan membayar uang mukanya, sehingga EL melihat tidak ada alasan mengapa mereka harus bertahan tinggal di rumah kakak OS.

Keributan demi keributan pun akhirnya terus terjadi. Bukan hanya dengan kakak OS akan tetapi belakangan juga melibatkan ibu OS. Masalah pun berkembang dari ketidak-setujuan EL dan OS keluar dari rumah kakak OS hingga perilaku sehari-hari EL yang selalu dinilai buruk.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 109

Menurut penuturan EL, kakak dan ibu OS sering memperlakukannya dengan tidak baik. Berbagai urusan rumah-tangga seperti memasak, merapikan rumah, dan berbelanja ke pasar, diserahkan kepada EL sementara EL sedang hamil. OS yang awalnya kerap membela EL belakangan tampak mendua bahkan akhirnya kerap membela kakak dan ibunya. Apapun yang dilakukan EL dinilai salah.

Konflik memuncak ketika EL dan OS akhirnya pindah ke rumah OS yang sudah direnovasi. Persoalan biaya renovasi serta perebutan perabotan rumah tangga milik OS yang disimpan di rumah kakak OS dan dibawa OS ke rumah yang ditinggali bersama EL, ikut memperkeruh suasana. Hanya tiga minggu EL tinggal disitu. Setelah itu EL diminta OS pulang ke Padang dengan alasan agar dapat melahirkan di Padang, padahal sebelumnya OS meminta orangtua EL datang ke Jakarta untuk menemani EL saat EL melahirkan. Kebetulan pula saat itu kakak EL yang baru menikah sedang berkunjung ke Jakarta. Dengan alasan ada yang menemani, OS meminta EL pulang ke Padang. Maka EL pun kembali ke Padang untuk melahirkan.

Ketika EL di Padang (sebelum melahirkan), ibu OS sempat datang ke Solok (ke rumah kerabatnya) bahkan tinggal di sana hingga lebaran. Ibu OS tidak mau mendatangi EL yang tinggal di rumah orang-tuanya di Padang, bahkan meminta EL yang mendatangi Ibu OS di Solok. Karena OS memaksa EL untuk datang agar ibunya tidak marah, meski berat mengingat kehamilannya sudah memasuki usia delapan bulan akhir, EL akhirnya pergi ke Solok ditemani ayahnya. Sesampai di Solok EL tidak berhasil

Februari 2013, segera setelah urusan kuliahnya benar-benar rampung dan ia sudah berhenti bekerja. Sumber utama konflik adalah keinginan EL untuk tinggal terpisah dari keluarga OS, yang sebenarnya sudah merupakan kesepakatan EL dan OS saat mereka belum menikah. Keduanya sempat menyepakati bahwa mereka tidak akan tinggal di rumah keluarga EL maupun keluarga OS. Selain itu EL merasa tidak nyaman, bila harus menumpang di rumah kakak OS seperti selama ini mereka lakukan.. Tentang hal ini ibu EL mengatakan,

“Kami mengerti kalau anak kami tinggal di rumah orang tua OS. Akan tetapi tinggal di rumah kakaknya yang sudah menikah dan memiliki anak pula, kami agak tak paham. Kami sebagai orang-tua jadi kesulitan mengunjungi anak sendiri. Karena kalau kami datang dari Padang, paling-paling hanya bisa bermalam satu hari saja karena tidak enak. Lain kalau anak tinggal di rumah sendiri, atau sekurang-kurangnya tinggal di rumah orang tuanya. Kalau tinggal di rumah kakaknya kami kan jadi segan…” (Ibu EL.Wawancara.18 April 2015)

Hal lain yang mendorong keinginan EL untuk tinggal terpisah, karena OS sudah memiliki rumah sendiri meskipun kecil dan membutuhkan sedikit renovasi untuk dapat ditinggali. Selain itu EL dan OS pun sudah sempat mencari kontrakan bahkan membayar uang mukanya, sehingga EL melihat tidak ada alasan mengapa mereka harus bertahan tinggal di rumah kakak OS.

Keributan demi keributan pun akhirnya terus terjadi. Bukan hanya dengan kakak OS akan tetapi belakangan juga melibatkan ibu OS. Masalah pun berkembang dari ketidak-setujuan EL dan OS keluar dari rumah kakak OS hingga perilaku sehari-hari EL yang selalu dinilai buruk.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim110

bertemu ibu OS karena ibu OS pergi entah kemana. Belakangan EL tahu bahwa ibu OS sengaja bersembunyi karena tidak ingin bertemu.

Ketika lebaran, EL dan keluarga datang mengunjungi keluarga OS di Solok dan ibu OS yang masih tinggal disana. Akan tetapi yang terjadi EL hanya menerima kemarahan, karena dinilai tidak tahu adat mengingat EL hanya membawa kue-kue dan tidak membawa makanan lengkap sebagaimana kebiasaan di keluarga OS. Saat lebaran itu suami EL juga datang ke Padang. Meski sempat bermalam di rumah orang tua EL bersama EL, akan tetapi OS lebih banyak tinggal di Solok ketimbang di rumah orang tua EL. Saat Hari Raya itu pula EL mendapat informasi dari kerabat OS di Solok bahwa orang-tua dan kakak OS serta OS sudah tidak menyukai EL dan akan menceraikan EL setelah EL melahirkan.

Ketika EL melahirkan, OS yang sudah kembali ke Jakarta datang ke Padang. Akan tetapi karena bangun kesiangan ia sempat ketinggalan pesawat, dan terpaksa dipinjami uang untuk membeli tiket oleh orang tua EL agar dapat berangkat ke Padang, karena OS mengeluh tidak punya uang. OS yang hanya semalam tinggal di Padang, kembali lagi ke Jakarta karena harus bekerja. Sedangkan kakak dan ibu OS tidak pernah mau melihat anak EL hingga kini. EL sudah mengikuti arahan suaminya OS untuk mengirim SMS kepada Ibu OS dan kakak OS untuk memberitahu bahwa ia sudah melahirkan. Akan tetap sms EL tidak pernah dibalas. Satu-satunya SMS yang dikirim ibu OS berisi luapan kemarahan dan sumpah-serapah, di antaranya menyebut anak EL sebagai anak setan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 111

Atas semua perlakuan buruk yang diterimanya EL tidak pernah mengadu kepada orang tuanya. Barulah setelah OS mentalak EL tak lama setelah EL melahirkan (terjadi setelah EL terlibat percekcokan dengan OS karena EL tidak mau kembali ke Jakarta jika harus tinggal di rumah kakak OS), EL menceritakan berbagai peristiwa yang dialaminya saat ia menyusul OS ke Jakarta baik pertama kali maupun yang kedua setelah ia lulus kuliah, serta beberapa kejadian saat ia menemui ibu OS di Solok.

OS sendiri sehari setelah mentalak EL (melalui telfon) mengirim SMS kepada EL mengajak rujuk. Akan tetapi OS mengajukan persyaratan bahwa EL dan keluarga yang harus datang ke Jakarta karena Ibu OS dan kakaknya tidak mau datang menemui EL dan keluarga di Padang. EL dan keluarga menilai hal tersebut sebagai penghinaan, mereka mendiamkan saja dan menunggu apakah OS akan mendatangi anak dan istrinya jika ada itikad baik. Setelah itu praktis tidak ada kontak antara EL dengan OS hingga EL memutuskan melakukan gugatan cerai. Selama itu pula OS tidak pernah mengirim uang, sehingga praktis kondisi EL secara faktual seolah-olah sudah bercerai. Pengajuan gugat cerai oleh EL karenanya lebih untuk memperjelas status pernikahannya, terlebih setelah tersiar kabar bahwa OS sudah menikah dan sudah pula memiliki anak.

c. Tahap gugatan cerai

Proses gugatan cerai sendiri tidak berlangsung lama. Setelah EL menceritakan perihal masalah rumah tangganya tak lama setelah OS menyatakan talak kepadanya melalui telfon sekitar September 2013, kedua orang tua dan mamak EL yang tinggal di Jakarta yang berempati kepadanya, dapat menerima keinginan EL

bertemu ibu OS karena ibu OS pergi entah kemana. Belakangan EL tahu bahwa ibu OS sengaja bersembunyi karena tidak ingin bertemu.

Ketika lebaran, EL dan keluarga datang mengunjungi keluarga OS di Solok dan ibu OS yang masih tinggal disana. Akan tetapi yang terjadi EL hanya menerima kemarahan, karena dinilai tidak tahu adat mengingat EL hanya membawa kue-kue dan tidak membawa makanan lengkap sebagaimana kebiasaan di keluarga OS. Saat lebaran itu suami EL juga datang ke Padang. Meski sempat bermalam di rumah orang tua EL bersama EL, akan tetapi OS lebih banyak tinggal di Solok ketimbang di rumah orang tua EL. Saat Hari Raya itu pula EL mendapat informasi dari kerabat OS di Solok bahwa orang-tua dan kakak OS serta OS sudah tidak menyukai EL dan akan menceraikan EL setelah EL melahirkan.

Ketika EL melahirkan, OS yang sudah kembali ke Jakarta datang ke Padang. Akan tetapi karena bangun kesiangan ia sempat ketinggalan pesawat, dan terpaksa dipinjami uang untuk membeli tiket oleh orang tua EL agar dapat berangkat ke Padang, karena OS mengeluh tidak punya uang. OS yang hanya semalam tinggal di Padang, kembali lagi ke Jakarta karena harus bekerja. Sedangkan kakak dan ibu OS tidak pernah mau melihat anak EL hingga kini. EL sudah mengikuti arahan suaminya OS untuk mengirim SMS kepada Ibu OS dan kakak OS untuk memberitahu bahwa ia sudah melahirkan. Akan tetap sms EL tidak pernah dibalas. Satu-satunya SMS yang dikirim ibu OS berisi luapan kemarahan dan sumpah-serapah, di antaranya menyebut anak EL sebagai anak setan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim112

untuk menggungat cerai. Hal itu karena setelah OS menyatakan talak, tidak lagi ada kabar berita dari OS dan mereka melihat EL memerlukan kejelasan status untuk masa depannya. Gugatan cerai dilakukan pada Mei 2014 sementara SK keluar pada Agustus 2014. Menurut penuturan pihak PA, dapat lebih cepat karena pihak laki-laki (OS) yang tinggal di Jakarta tidak pernah datang dalam persidangan meski surat undangan sudah dilayangkan dan dinyatakan sampai atau diterima oleh pihak yang bersangkutan.

Selama proses gugatan cerai EL didampingi oleh ayahnya, sesekali ditemani sepupunya yang juga bertindak sebagai saksi dalam proses cerai gugat tersebut.

d. Paska Gugatan cerai

Sejak kembali ke rumah orang tua untuk melahirkan hingga akhirnya suami mentalak EL lewat telepon dan EL mengajukan cerai gugat, EL tinggal di rumah orang tuanya bersama kakak perempuannya yang sudah menikah dan juga adik-adiknya. Peran pengasuhan karena hal itu ditangani bersama oleh orang tua dan kakak serta ipar dan adik-adik, yang menyayangi anak EL sebagaimana layaknya menyayangi anak dan kemenakan. Karena hal itu EL tidak terlalu menghadapi masalah terkait pengasuhan, mengingat adanya peran dari keluarga besar.

Problem yang agak berat dirasa EL terkait masalah ekonomi karena ia tidak bekerja dan tidak lagi memiliki tabungan saat ditelantarkan suaminya hingga saat ia melakukan gugatan cerai. Akan tetapi karena EL menilai kejelasan status pernikahannya lebih penting dan ia yakin

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 113

akan memperoleh pekerjaan mengingat ia sebelumnya sudah punya pengalaman kerja serta adanya dukungan penuh dari orang tua, kakak, adik serta kerabat termasuk mamaknya yang tinggal di Pondok Gede; EL mantap dengan keputusannya menggugat cerai. Terbukti tak lama setelah gugatan cerai dilakukan, EL yang sudah mengirimkan sejumlah lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan akhirnya mendapat panggilan kerja pada awal 2015 lalu. Ia kini sedang melewati masa job-training dan optimis dapat terus bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Dukungan keluarga besar dalam pengasuhan anak juga membantu EL berkonsentrasi penuh pada pekerjaan, karena ia dapat meninggalkan anak di rumah dengan tenang saat ia bekerja.

Lingkungan sekitar begitu pula kerabat, tidak seluruhnya tahu bahwa EL sudah resmi bercerai melalui gugatan cerai. Namun kerabat yang sudah tahu tentang perceraiannya pada umumnya memahami posisi EL dan berempati padanya. Meski demikian EL juga tidak ingin mempublish secara luas tentang status perkawinanya, karena menurutnya tidak ada gunanya. “Biarlah mereka tahu sendiri. Saya tidak ingin ramai-ramai (membicarakannya, pen). Tidak ada gunanya…”

Menurut EL kalaupun orang-orang yang kini belum tahu bahwa dirinya sudah bercerai nantinya akan tahu juga (termasuk perusahaan dimana ia bekerja), EL yakin bahwa mereka akan dapat menerima dan memahami jika mendapat penjelasan.“Sekarang masyarakat sudah pintar. Kalau diberitahu akan paham.”

EL kini hanya ingin membesarkan anaknya dan menekuni pekerjaannya dengan baik dan belum berfikir apakah akan

untuk menggungat cerai. Hal itu karena setelah OS menyatakan talak, tidak lagi ada kabar berita dari OS dan mereka melihat EL memerlukan kejelasan status untuk masa depannya. Gugatan cerai dilakukan pada Mei 2014 sementara SK keluar pada Agustus 2014. Menurut penuturan pihak PA, dapat lebih cepat karena pihak laki-laki (OS) yang tinggal di Jakarta tidak pernah datang dalam persidangan meski surat undangan sudah dilayangkan dan dinyatakan sampai atau diterima oleh pihak yang bersangkutan.

Selama proses gugatan cerai EL didampingi oleh ayahnya, sesekali ditemani sepupunya yang juga bertindak sebagai saksi dalam proses cerai gugat tersebut.

d. Paska Gugatan cerai

Sejak kembali ke rumah orang tua untuk melahirkan hingga akhirnya suami mentalak EL lewat telepon dan EL mengajukan cerai gugat, EL tinggal di rumah orang tuanya bersama kakak perempuannya yang sudah menikah dan juga adik-adiknya. Peran pengasuhan karena hal itu ditangani bersama oleh orang tua dan kakak serta ipar dan adik-adik, yang menyayangi anak EL sebagaimana layaknya menyayangi anak dan kemenakan. Karena hal itu EL tidak terlalu menghadapi masalah terkait pengasuhan, mengingat adanya peran dari keluarga besar.

Problem yang agak berat dirasa EL terkait masalah ekonomi karena ia tidak bekerja dan tidak lagi memiliki tabungan saat ditelantarkan suaminya hingga saat ia melakukan gugatan cerai. Akan tetapi karena EL menilai kejelasan status pernikahannya lebih penting dan ia yakin

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim114

menikah lagi atau tidak. Ia juga yakin akan dapat melewati masa sulit yang kini dialami dengan baik, di antaranya karena dukungan penuh keluarga besar. “Belum ada terfikir (untuk menikah lagi, pen). Mau konsentrasi membesarkan anak dan bekerja. Tapi saya optimis saya bisa. Saya bersyukur papa dan mama serta kakak dan adik serta uwo di Jakarta dan famili lain sangat mendukung… Saya merasa lebih baik. Sekarang semua jadi jelas…”

2. Kasus IK dan IB: Campur Tangan Keluarga Perempuan atas Perempuan

a. Pra Pernikahan:

IK merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan S1, saat menikah ayahnya yang kini sudah meninggal merupakan kepala dinas di Pemprov Sumatera Barat. Ibunya pun orang yang berpendidikan, yaitu guru di sebuah SLTA, yang sengaja pensiun dini agar dapat mengurus anak dan cucunya. Secara ekonomi IK yang berusia dua tahun lebih tua dari mantan suaminya IB, yaitu 29 tahun, tergolong cukup mampu. Sejak sebelum menikah sudah bekerja, yaitu sebagai tenaga MLM pada sebuah produk herbal yang cukup ternama di Kota Padang.

Adapun IB berasal dari Pariaman, namun lahir dan tinggal di Padang Panjang. Orang tuanya lama merantau ke Bukit Tinggi, sehingga kerap merasa lebih sebagai orang Bukit Tinggi ketimbang orang Pariaman. Sebagaimana halnya IK, IB berasal dari keluarga terpandang dan cukup mampu. Bapaknya mantan rektor di salah satu universitas negeri di Sumatera Barat, sementara ibunya kini sebagai dekan di salah satu perguruan tinggi negeri. Lahir sebagai

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 115

anak ketiga dari lima bersaudara, IB yang menyukai seni ini sangat halus perasaannya. Ia mengenal IK sebagai teman satu kampus dan telah menjalin hubungan beberapa tahun selama mereka kuliah hingga akhirnya menikah.

b. Masa Pernikahan.

IK dan IB menikah secara Islam pada Juli 2012. Dengan perayaan perkawinan yang cukup mewah dan meriah mengingat kedua orang tua pasangan suami istri ini merupakan pejabat terpandang (orang tua IK pejabat di Pemprov Sumbar sementara orang tua IB pejabat di Padang Panjang), IK dan IB yang setelah menikah tinggal di rumah ibunya, semula merupakan pasangan yang cukup berbahagia. Masalah mulai muncul karena IK tidak puas dengan keuangan IB yang dinilainya tidak memadai. IB yang seniman menurut IK tidak bekerja maksimal, sehingga IB hanya bisa membawa pulang uang sedikit. IK menilai IB malas dan tidak bertanggung-jawab, meski dalam perspektif IB dan keluarga persoalan tidak seperti itu. Tentang tidak bekerja maksimal misalnya, IB yang bekerja di bidang seni ini memang memiliki dinamika pekerjaan berbeda dengan pegawai kebanyakan. Ia tidak beroleh uang setiap bulan secara rutin, akan tetapi tergantung pada pertunjukkan yang diselenggarakan.

IB menilai IK tidak dapat memahami keinginannya untuk berusaha, karena terlalu memilih-milih jenis pekerjaan. Ketika IB hendak membuka toko misalnya, IK keberatan karena menilai tidak layak dengan kondisi ekonomi dirinya dan keluarga. Selain itu jika IK menilai IB malas dan kurang berusaha, persoalan sesungguhnya dalam rumah tangga mereka karena IK kurang menghargai IB. IK

menikah lagi atau tidak. Ia juga yakin akan dapat melewati masa sulit yang kini dialami dengan baik, di antaranya karena dukungan penuh keluarga besar. “Belum ada terfikir (untuk menikah lagi, pen). Mau konsentrasi membesarkan anak dan bekerja. Tapi saya optimis saya bisa. Saya bersyukur papa dan mama serta kakak dan adik serta uwo di Jakarta dan famili lain sangat mendukung… Saya merasa lebih baik. Sekarang semua jadi jelas…”

2. Kasus IK dan IB: Campur Tangan Keluarga Perempuan atas Perempuan

a. Pra Pernikahan:

IK merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan S1, saat menikah ayahnya yang kini sudah meninggal merupakan kepala dinas di Pemprov Sumatera Barat. Ibunya pun orang yang berpendidikan, yaitu guru di sebuah SLTA, yang sengaja pensiun dini agar dapat mengurus anak dan cucunya. Secara ekonomi IK yang berusia dua tahun lebih tua dari mantan suaminya IB, yaitu 29 tahun, tergolong cukup mampu. Sejak sebelum menikah sudah bekerja, yaitu sebagai tenaga MLM pada sebuah produk herbal yang cukup ternama di Kota Padang.

Adapun IB berasal dari Pariaman, namun lahir dan tinggal di Padang Panjang. Orang tuanya lama merantau ke Bukit Tinggi, sehingga kerap merasa lebih sebagai orang Bukit Tinggi ketimbang orang Pariaman. Sebagaimana halnya IK, IB berasal dari keluarga terpandang dan cukup mampu. Bapaknya mantan rektor di salah satu universitas negeri di Sumatera Barat, sementara ibunya kini sebagai dekan di salah satu perguruan tinggi negeri. Lahir sebagai

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim116

dan IB yang tinggal di rumah orang tua IK paska menikah, kerap memperlakukannya dengan tidak baik. IB yang merupakan anak dari keluarga terpandang di Padang Panjang ini misalnya, merasa terhina karena ketika kakak iparnya pulang bekerja, ia harus bertugas membuka dan menutup pintu garasi. Begitu pula dengan kebiasaan makan. IB menilai kurang mendapat pelayanan yang baik karena diperlakukan sebagai orang yang tinggal menumpang dan bukan sebagai suami.

IK juga kerap bicara dengan suara keras. seolah membentak. sementara IB yang sangat halus dan perasa ini, tidak pernah diperlakukan seperti itu di rumah orang tuanya. Bapaknya yang juga seorang datuk atau kepala kaum, biasa bertutur kata halus dan jarang bicara dengan bahasa yang kasar apalagi membentak-bentak. Selain itu IK menurut ibu IB tidak paham bahwa laki-laki di Minang tidak bisa diperlakukan sama seperti laki-laki di Jawa, terlebih lagi karena bapak IB seorang kepala adat (datuk). Ibu IB menilai IK kurang memahami rasa dan sopan santun sebagai istri sehingga suaminya tidak merasa diperlakukan dengan baik.

“Anak saya tidak dihargai di rumah istrinya. Kita harus menyadari bahwa perempuan memang di bawah laki-laki kalau di Minang ini… akan tetapi karena sekarang perempuan sudah merasa tinggi, laki-laki jadi kurang dihargai. Padahal dalam seribu laki-laki di Minang, sepuluh bandingannya yang bisa diperlakukan seperti laki-laki di Jawa.”

IB juga menilai keluarga IK sering membanding-bandingkan dirinya dengan kakak laki-laki IK, sementara kondisi keduanya tidak layak diperbandingkan karena tentu ada perbedaan satu sama lain. Dan yang paling

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 117

mendasar, IB kecewa dengan IK karena ketika menikah dengannya ternyata sudah tidak lagi gadis. Meski IB berusaha memaafkan, akan tetapi sulit bagi IB melakukannya, terutama jika dibarengi dengan sikap IK yang tidak tahu balas budi atas pengorbanan suami. IB dapat saja langsung pergi pada saat setelah mengetahui kondisi istrinya segera setelah pesta pernikahan. Akan tetapi Karena menenggang kedua orang tua yang telah susah payah mengadakan pesta, IB memilih mengalah dan memaafkan. Hanya saja ketika IK menunjukkan perangai yang kurang baik, hati IB yang terluka kembali merasa sakit yang berujung pada keengganannya untuk meneruskan pernikahan.

Konflik antara IB dan IK relatif bersifat tidak terbuka. IB yang pendiam lebih banyak memendam rasa. Ketika kesabarannya hilang, ia cenderung menghindar dengan memilih pulang ke rumah orang tuanya di Padang Panjang. Puncaknya ketika ia meninggalkan rumah istri dan pergi ke Batam. Saat itu IB sudah tidak lagi ingin meneruskan pernikahannya karena merasa sudah tidak lagi ada kecocokan. IB pergi dari rumah pada saat IK sedang hamil enam bulan dan tidak lagi pernah ada kontak dengan IK hingga IK mengajukan gugatan cerai. IB bukan tidak ingin memberi nafkah setelah ia pergi dari rumah, namun menurut keluarga IB, IK selalu menampik pemberian IB karena merasa sudah cukup secara materi. IB menyimpan uang yang sedianya diberikan kepada IK untuk biaya pengasuhan anaknya, dengan rencana akan diberikannya kelak jika waktunya lebih kondusif.

dan IB yang tinggal di rumah orang tua IK paska menikah, kerap memperlakukannya dengan tidak baik. IB yang merupakan anak dari keluarga terpandang di Padang Panjang ini misalnya, merasa terhina karena ketika kakak iparnya pulang bekerja, ia harus bertugas membuka dan menutup pintu garasi. Begitu pula dengan kebiasaan makan. IB menilai kurang mendapat pelayanan yang baik karena diperlakukan sebagai orang yang tinggal menumpang dan bukan sebagai suami.

IK juga kerap bicara dengan suara keras. seolah membentak. sementara IB yang sangat halus dan perasa ini, tidak pernah diperlakukan seperti itu di rumah orang tuanya. Bapaknya yang juga seorang datuk atau kepala kaum, biasa bertutur kata halus dan jarang bicara dengan bahasa yang kasar apalagi membentak-bentak. Selain itu IK menurut ibu IB tidak paham bahwa laki-laki di Minang tidak bisa diperlakukan sama seperti laki-laki di Jawa, terlebih lagi karena bapak IB seorang kepala adat (datuk). Ibu IB menilai IK kurang memahami rasa dan sopan santun sebagai istri sehingga suaminya tidak merasa diperlakukan dengan baik.

“Anak saya tidak dihargai di rumah istrinya. Kita harus menyadari bahwa perempuan memang di bawah laki-laki kalau di Minang ini… akan tetapi karena sekarang perempuan sudah merasa tinggi, laki-laki jadi kurang dihargai. Padahal dalam seribu laki-laki di Minang, sepuluh bandingannya yang bisa diperlakukan seperti laki-laki di Jawa.”

IB juga menilai keluarga IK sering membanding-bandingkan dirinya dengan kakak laki-laki IK, sementara kondisi keduanya tidak layak diperbandingkan karena tentu ada perbedaan satu sama lain. Dan yang paling

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim118

c. Masa Pengajuan Gugatan Cerai.

Gugatan cerai diajukan pada bulan Februari 2015 dan sudah mendapat SK putusan pada bulan Maret. Sebagaimana diungkap ibu IB, putusan terlalu cepat bahkan mereka tidak tahu bahwa putusan sidang sudah dikeluarkan karena hanya sekali menerima panggilan sidang. Mereka masih menunggu-nunggu pemanggilan berikutnya, bahkan ibu IB menunggu kesempatan untuk dapat bersaksi, sementara putusan ternyata sudah keluar. Saat sidang pertama IB memang tidak datang karena khawatir kemarahannya terbuka di forum selain karena bekerja dan tinggal di luar kota (di Batam), namun ia tidak menduga bahwa itu menjadi panggilan sidang satu-satunya dalam proses cerai gugat tersebut dan keputusan segera keluar. Selama proses cerai gugat, IK ditemani ibu dan kakak laki-lakinya yang mendukung penuh keputusan IK dan yang sekaligus menjadi saksi selama proses persidangan.

d. Paska Cerai Gugat.

Mengingat proses cerai gugat baru terjadi (SK keluar pada Maret 2015 dan pengajuan dilakukan pada Februari 2014), belum dapat diketahui apa yang terjadi setelah cerai gugat dilakukan. Namun secara umum IK yang tinggal bersama ibu dan kakaknya yang juga sudah menikah dan mempunyai anak, sebagaimana halnya EL, banyak terbantu dengan keberadaan keluarga luas (ibu dan kakaknya) terutama dalam peran pengasuhan. Untuk ekonomi IK juga banyak terbantu dengan dukungan ekonomi keluarga, selain ia juga mempunyai penghasilan tetap meski tidak terlalu banyak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 119

Respon masyarakat sekitar tempatnya tinggal juga tidak terlalu terlihat, mengingat IK tinggal di perumahan elit yang cenderung agak individualis. Selain itu keberadaan orang-tuanya yang merupakan tokoh (meski sekarang ayahnya sudah meninggal), menyebabkan IK tidak terlihat memiliki beban dengan perceraian yang dialaminya (keputusan cerai gugat yang dilakukannya). Saat ditanya mengenai perasaan dirinya, IK menjawab bahwa ia kini merasa lega karena sudah resmi dapat berpisah dari IB. Keluarga IB menduga, IK sengaja melakukan cerai gugat karena ingin kembali dengan mantan pacarnya sebelum ia kenal dengan IB, yang sekaligus merupakan orang yang dengannya ia menyerahkan kegadisannya untuk pertama kali. Karena itu pula mengapa IK sama sekali tidak mengajukan tuntutan pembiayaan (nafkah) kepada IB setelah bercerai, yang menurut penuturan IK dilakukan agar proses dapat berlangsung cepat sebagaimana diutarakan oleh petugas PA. Karena hal itu dalam putusan cerai IB sama sekali tidak diwajibkan memberi nafkah kepada IK, meski IK ditetapkan mendapatkan pengasuhan atas anak satu-satunya buah perkawinan IK dengan IB.

3. Kasus FAT dan FIK: Istri temperamental

a. Pra Pernikahan.

Berbeda dengan EL dan IK yang berpendidikan tinggi (sarjana), Fat meski akhirnya dapat menamatkan sekolahnya di bangku SLTA, ia perlu bersekolah di enam sekolah untuk itu karena setiap tidak naik kelas pindah sekolah. Menikah pada usia yang relatif muda, yaitu 19 tahun, Fat secara emosional tampak tidak stabil dan cenderung meledak-ledak. Saat diwawancarai hal tersebut jelas terlihat, Fat pun nampak masih sangat geram

c. Masa Pengajuan Gugatan Cerai.

Gugatan cerai diajukan pada bulan Februari 2015 dan sudah mendapat SK putusan pada bulan Maret. Sebagaimana diungkap ibu IB, putusan terlalu cepat bahkan mereka tidak tahu bahwa putusan sidang sudah dikeluarkan karena hanya sekali menerima panggilan sidang. Mereka masih menunggu-nunggu pemanggilan berikutnya, bahkan ibu IB menunggu kesempatan untuk dapat bersaksi, sementara putusan ternyata sudah keluar. Saat sidang pertama IB memang tidak datang karena khawatir kemarahannya terbuka di forum selain karena bekerja dan tinggal di luar kota (di Batam), namun ia tidak menduga bahwa itu menjadi panggilan sidang satu-satunya dalam proses cerai gugat tersebut dan keputusan segera keluar. Selama proses cerai gugat, IK ditemani ibu dan kakak laki-lakinya yang mendukung penuh keputusan IK dan yang sekaligus menjadi saksi selama proses persidangan.

d. Paska Cerai Gugat.

Mengingat proses cerai gugat baru terjadi (SK keluar pada Maret 2015 dan pengajuan dilakukan pada Februari 2014), belum dapat diketahui apa yang terjadi setelah cerai gugat dilakukan. Namun secara umum IK yang tinggal bersama ibu dan kakaknya yang juga sudah menikah dan mempunyai anak, sebagaimana halnya EL, banyak terbantu dengan keberadaan keluarga luas (ibu dan kakaknya) terutama dalam peran pengasuhan. Untuk ekonomi IK juga banyak terbantu dengan dukungan ekonomi keluarga, selain ia juga mempunyai penghasilan tetap meski tidak terlalu banyak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim120

terhadap mantan suaminya. Ketika nama Fik disebut kemarahan Fat langsung terlihat, baik melalui kata-kata maupun tindak-tanduk. Fat merupakan anak kedua dari dua bersaudara, keluarga Fat hidup dalam keterbatasanekonomi.. Kakaknya sempat bekerja sebagai buruh di Jakarta, akan tetapi kini menganggur dan tinggal bersama orang tuanya di Lubuk Minturun, di pinggiran Kota Padang. Orang tua Fat pun hanya buruh tani (ladang), dengan penghasilan terbatas. Sedangkan Fat kini bekerja di bidang pengemasan penganan pada home industri di sekitar tempat tinggalnya.

FIK pun berasal dari keluarga kebanyakan bahkan cenderung kurang (status sosial rendah). Berasal dari keluarga besar dengan jumlah saudara hingga dua belas orang, bapak dan ibu Fik yang bekerja sebagai buruh tani (ladang) tidak mengecap pendidikan cukup. Bapak Fik yang sudah tua tidak mampu lagi mengingat nama anak-anaknya (apalagi urutan kelahiran anak-anaknya) dan bicara dengan tutur kata yang agak kasar dan dengan suara yang agak keras, yang sekaligus menunjukkan kemampuan intelektual dan status sosial ekonomi keluarga tersebut.

Fik menikah pada usia yang cukup matang, yaitu 24 tahun (saat bercerai usia 27 tahun) dan sudah mempunyai pekerjaan cukup baik di sebuah pabrik besar di Kota Padang pada saat menikah dan masih bekerja di sana hingga kini.

Perkenalan Fat dan Fik difasilitasi oleh kerabat Fik, yang kebetulan kenal baik dengan Fat. Perkenalan berlangsung setahun lebih, hingga kemudian keduanya memutuskan meneruskan ke jenjang pernikahan. Mereka menikah pada

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 121

Februari 2011, dikaruniai satu anak yang lahir pada Juli 2012.

b. Masa Pernikahan

Setelah menikah Fat dan Fik sebagaimana umumnya tradisi Minang, tinggal di rumah perempuan (Fat). Perkawinan mereka awalnya penuh kebahagiaan. Akan tetapi karena sifat Fat yang belum matang (membentak-bentak, berteriak atau meraung-raung bahkan pernah berguling-guling di pelataran saat marah), menyebabkan keributan demi keributan tak terhindarkan. Persoalan kecil cenderung menjadi besar, karena mendapat respon berlebihan dari Fat. Fat selain suka mengamuk juga kerap melakukan tindakan yang tidak semestinya, seperti datang ke kantor Fik dan mengamuk, yang membuat Fik menjadi malu. Adapun Fik menurut Fat juga berubah menjadi kasar setelah menikah, terutama karena Fik kerap terlibat perjudian. Konflik memuncak ketika Fik meninggalkan rumah Fat dan membawa semua barang-barangnya, sebagai pertanda bahwa ia sudah tidak lagi ingin meneruskan pernikahannya dengan Fat. Fat yang tidak terima sempat mendatangi Fik dan mengamuk di rumah Fik, meminta Fik kembali ke rumah namun Fik tidak menggubris. Kondisi bertambah parah karena bapak Fat juga kerap bereaksi keras, seperti melabrak Fik sambil membawa parang.

Fik tidak juga kembali hingga Fat melahirkan, bahkan hingga anaknya sudah bisa berjalan. Sesekali Fik memberi nafkah kepada Fat, namun tidak rutin dan hal itu kerap memicu kemarahan Fat dan yang kemudian mendorong Fat melabrak Fik ke kantornya.

terhadap mantan suaminya. Ketika nama Fik disebut kemarahan Fat langsung terlihat, baik melalui kata-kata maupun tindak-tanduk. Fat merupakan anak kedua dari dua bersaudara, keluarga Fat hidup dalam keterbatasanekonomi.. Kakaknya sempat bekerja sebagai buruh di Jakarta, akan tetapi kini menganggur dan tinggal bersama orang tuanya di Lubuk Minturun, di pinggiran Kota Padang. Orang tua Fat pun hanya buruh tani (ladang), dengan penghasilan terbatas. Sedangkan Fat kini bekerja di bidang pengemasan penganan pada home industri di sekitar tempat tinggalnya.

FIK pun berasal dari keluarga kebanyakan bahkan cenderung kurang (status sosial rendah). Berasal dari keluarga besar dengan jumlah saudara hingga dua belas orang, bapak dan ibu Fik yang bekerja sebagai buruh tani (ladang) tidak mengecap pendidikan cukup. Bapak Fik yang sudah tua tidak mampu lagi mengingat nama anak-anaknya (apalagi urutan kelahiran anak-anaknya) dan bicara dengan tutur kata yang agak kasar dan dengan suara yang agak keras, yang sekaligus menunjukkan kemampuan intelektual dan status sosial ekonomi keluarga tersebut.

Fik menikah pada usia yang cukup matang, yaitu 24 tahun (saat bercerai usia 27 tahun) dan sudah mempunyai pekerjaan cukup baik di sebuah pabrik besar di Kota Padang pada saat menikah dan masih bekerja di sana hingga kini.

Perkenalan Fat dan Fik difasilitasi oleh kerabat Fik, yang kebetulan kenal baik dengan Fat. Perkenalan berlangsung setahun lebih, hingga kemudian keduanya memutuskan meneruskan ke jenjang pernikahan. Mereka menikah pada

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim122

c. Saat Cerai Gugat

Karena Fik tidak kunjung kembali dan tidak memberi nafkah Fat dalam waktu yang agak lama, Fat atas masukan keluarga dan teman akhirnya menggugat cerai. Gugatan cerai diajukan Fat pada bulan Mei 2013 dan keluar putusan cerainya pada Juni 2013. Sebagaimana halnya IK, putusan gugatan cerai Fat sangat cepat, yaitu hanya sebulan setelah diajukan.

Meski di dalam SK cerai disebutkan bahwa Fik dihukum untuk membayar nafkah setiap bulannya (sebesar lima ratus rupiah), nafkah tersebut tidak pernah diberikan kepada Fat setelah putusan cerai gugat keluar hingga kini. Keluarga Fik memang pernah memberi uang saat anak Fat dan Fik berulang tahun, akan tetapi bersifat temporal berbeda dengan keputusan yang ditetapkan.

Fat dan keluarga pun tidak terlalu paham haknya, karena mereka tidak mengerti bahwa Fik diwajibkan (bahkan di dalam SK disebutkan menghukum) untuk memberi nafkah bagi biaya perawatan anak Fik dan Fat.

d. Paska Cerai Gugat

Paska cerai gugat Fat masih terlihat terguncang hingga kini dan belum dapat menerima. Kemarahan masih jelas terlihat pada wajah Fat yang bereaksi negatif ketika nama Fik disebut atau ketika kasusnya ditanyakan kembali.

Untuk pengasuhan Fat mengandalkan dukungan keluarga, namun karena keluarga bukanlah orang yang mengerti pendidikan anak, pengasuhan dilakukan seadanya tanpa pengetahuan yang memadai (oleh ibunya yang sudah agak sepuh atau kakaknya yang belum menikah dan kini menganggur). Meski Fat terbantu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 123

dengan dukungan tugas pengasuhan dari keluarga besar, akan tetapi secara kualitas pendidikan yang diterima anak Fat tidaklah memadai. Selain itu Fat yang belum dapat berdamai dengan masalah yang dihadapinya, cenderung tidak terlalu fokus pada pengasuhan anak karena disibukkan dengan urusan dendamnya kepada mantan suaminya.

Lingkungan sekitar tempat tinggal Fat yang masih bernuansakan pedesaan masih cenderung menilai perceraian sebagai aib, sehingga respon negatif lingkungan masih kerap diterima Fat selain karena karakter Fat yang temperamental. Meski demikian Fat diuntungkan kini karena sudah mempunyai pekerjaan (menjadi buruh pada perusahaan makanan di depan rumahnya), sehingga perlahan-lahan dapat mengalihkan kemarahannya pada hal lain yang lebih produktif (bekerja).

MEMAKNAI FENOMENA CERAI GUGAT DI KOTA PADANG

Faktor Penyebab Istri Menggugat Cerai

Merujuk pada tiga kasus sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, faktor utama penyebab istri menggugat cerai di Kota Padang karena adanya penelantaran ekonomi oleh pihak suami, suami pergi meninggalkan istri tanpa kabar dan tanpa memberikan nafkah sejak istri mengandung beberapa bulan hingga anak lahir bahkan hingga anak berusia setahun lebih. Perginya suami dari rumah, untuk kasus EL istri diminta kembali ke rumah keluarganya namun tidak kunjung dijemput pulang, terjadi bukan karena ketidakmampuan

c. Saat Cerai Gugat

Karena Fik tidak kunjung kembali dan tidak memberi nafkah Fat dalam waktu yang agak lama, Fat atas masukan keluarga dan teman akhirnya menggugat cerai. Gugatan cerai diajukan Fat pada bulan Mei 2013 dan keluar putusan cerainya pada Juni 2013. Sebagaimana halnya IK, putusan gugatan cerai Fat sangat cepat, yaitu hanya sebulan setelah diajukan.

Meski di dalam SK cerai disebutkan bahwa Fik dihukum untuk membayar nafkah setiap bulannya (sebesar lima ratus rupiah), nafkah tersebut tidak pernah diberikan kepada Fat setelah putusan cerai gugat keluar hingga kini. Keluarga Fik memang pernah memberi uang saat anak Fat dan Fik berulang tahun, akan tetapi bersifat temporal berbeda dengan keputusan yang ditetapkan.

Fat dan keluarga pun tidak terlalu paham haknya, karena mereka tidak mengerti bahwa Fik diwajibkan (bahkan di dalam SK disebutkan menghukum) untuk memberi nafkah bagi biaya perawatan anak Fik dan Fat.

d. Paska Cerai Gugat

Paska cerai gugat Fat masih terlihat terguncang hingga kini dan belum dapat menerima. Kemarahan masih jelas terlihat pada wajah Fat yang bereaksi negatif ketika nama Fik disebut atau ketika kasusnya ditanyakan kembali.

Untuk pengasuhan Fat mengandalkan dukungan keluarga, namun karena keluarga bukanlah orang yang mengerti pendidikan anak, pengasuhan dilakukan seadanya tanpa pengetahuan yang memadai (oleh ibunya yang sudah agak sepuh atau kakaknya yang belum menikah dan kini menganggur). Meski Fat terbantu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim124

ekonomi, akan tetapi lebih sebagai isyarat bahwa pihak suami sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinan, namun tidak mau mengambil tindakan menceraikan. Hal ini berbeda dengan kebanyakan temuan studi perceraian, yang menempatkan faktor ekonomi selalu sebagai penyebab dominan. Pengabaian berdasarkan temuan studi juga sangat mungkin terjadi karena pihak suami merasa sudah tidak lagi ada kecocokan, senada dengan data PA tahun 2010-2014 yang menunjukkan bahwa adanya ketidakcocokan dan tidak adanya keharmonisan sebagai penyebab utama perceraian. Hal ini menunjukkan pergeseran penyebab perceraian dari faktor ekonomi (materi), kepada faktor yang lebih personal (immateri).

Di lain pihak, keberanian pihak istri menggugat cerai juga terjadi bukan semata karena peningkatan kemampuan ekonomi perempuan (pada tiga kasus yang diteliti ketiganya dalam kondisi tidak bekerja), pada kasus Kota Padang, lebih karena dukungan penuh keluarga besar yang sekaligus menunjukkan masih eksisnya keluarga besar di Padang meski terbatas pada ibu, bapak, serta kakak dan adik, sementara peran ninik-mamak meski pun ada tidak terlalu menonjol. Dukungan diberikan karena pengabaian yang menyebabkan penderitaan kepada pihak perempuan, sehingga dinilai perlu dilakukan guna memperjelas status pihak istri yang tidak menentu atau dengan kata lain untuk mengeluarkan perempuan dari penderitaannya. Karena hal itu, dalam kasus yang diteliti, keputusan pihak istri menggugat cerai suami dapat dinilai lebih sebagai upaya perempuan untuk keluar dari tindakan kesewenang-wenangan, yang dilakukan dengan memperjelas status pernikahannya mengingat pihak istri berada dalam situasi tidak jelas dalam kurun waktu cukup lama.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 125

Keengganan pihak suami untuk mengeluarkan uang guna mengurus perceraian serta tidak ingin repot, dapat diduga menjadi penyebab terjadinya pembiaran meski pihak suami sudah tidak lagi menginginkan untuk mempertahankan perkawinan mereka. Pada sisi lain hal ini menunjukkan semakin tidak bekerjanya kontrol sosial masyarakat, sehingga tindakan pengabaian, dalam arti suami tidak melaksanakan peran dan tidak memenuhi kewajiban terhadap istri dan anak, dapat berlangsung lama tanpa ada respon apapun dari kerabat dan masyarakat sekitar.

Dalam konteks masyarakat Minang, hal ini sekaligus menunjukkan sudah tidak bekerjanya pranata sosial masyarakat setempat yang bersumber dari adat istiadat, dalam mencegah tindakan penyimpangan. Kontrol atas masyarakat melalui peran ninik-mamak sebelumnya dalam kurun waktu yang lama cukup efektif untuk mencegah berbagai tindakan penyimpangan yang ada seperti hamil di luar nikah, berhubungan dengan bukan muhrim, perjudian, dan lain-lain, sekaligus menjaga keutuhan keluarga dan kesucian lembaga pernikahan. Akan tetapi seiring dengan makin menurunnya peran ninik-mamak (terutama peran ekonomi) baik karena tantangan internal pada diri ninik-mamak tersebut yang harus berkonsentrasi memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sehingga peran membimbing (dan menafkahi) anak kemenakan menjadi terabaikan. Ninik-mamak kehilangan saham untuk dapat melaksanakan peran yang lebih besar (pengawasan, penasihatan). Karenanya dalam banyak kasus ninik-mamak hanya menjadi stempel atas kebijakan yang diambil, dengan penguatan peran pada ayah bahkan pada individu itu sendiri yang makin individualis.

ekonomi, akan tetapi lebih sebagai isyarat bahwa pihak suami sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinan, namun tidak mau mengambil tindakan menceraikan. Hal ini berbeda dengan kebanyakan temuan studi perceraian, yang menempatkan faktor ekonomi selalu sebagai penyebab dominan. Pengabaian berdasarkan temuan studi juga sangat mungkin terjadi karena pihak suami merasa sudah tidak lagi ada kecocokan, senada dengan data PA tahun 2010-2014 yang menunjukkan bahwa adanya ketidakcocokan dan tidak adanya keharmonisan sebagai penyebab utama perceraian. Hal ini menunjukkan pergeseran penyebab perceraian dari faktor ekonomi (materi), kepada faktor yang lebih personal (immateri).

Di lain pihak, keberanian pihak istri menggugat cerai juga terjadi bukan semata karena peningkatan kemampuan ekonomi perempuan (pada tiga kasus yang diteliti ketiganya dalam kondisi tidak bekerja), pada kasus Kota Padang, lebih karena dukungan penuh keluarga besar yang sekaligus menunjukkan masih eksisnya keluarga besar di Padang meski terbatas pada ibu, bapak, serta kakak dan adik, sementara peran ninik-mamak meski pun ada tidak terlalu menonjol. Dukungan diberikan karena pengabaian yang menyebabkan penderitaan kepada pihak perempuan, sehingga dinilai perlu dilakukan guna memperjelas status pihak istri yang tidak menentu atau dengan kata lain untuk mengeluarkan perempuan dari penderitaannya. Karena hal itu, dalam kasus yang diteliti, keputusan pihak istri menggugat cerai suami dapat dinilai lebih sebagai upaya perempuan untuk keluar dari tindakan kesewenang-wenangan, yang dilakukan dengan memperjelas status pernikahannya mengingat pihak istri berada dalam situasi tidak jelas dalam kurun waktu cukup lama.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim126

Meski upaya-upaya ke arah penguatan kembali bundo kanduang (ninik-mamak) terus dilakukan, di antaranya dengan memunculkan kembali lembaga adat melalui pembentukan institusi Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Lembaga Kerapatan Adat Minang (LKAM), akan tetapi kuatnya muatan politis pada kehadiran institusi ini (terutama LKAM), menyebabkan efektifitasnya tidak terlalu dapat diandalkan. Untuk KAN, meski di beberapa Nagari mulai berperan aktif, peran yang dilaksanakan baru sebatas pada pengurusan tanah adat atau tanah pusaka dan belum masuk ke ranah perkawinan. Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat KAN baru dikembangkan di tingkat Nagari (Kecamatan), sementara di tingkat jorong bahkan desa serta kaum, yang sangat mungkin berperan mengurus masalah perkawinan (penanaman nilai-nilai tentang berkeluarga dan konsultasi pernikahan), belum terlihat. Di tingkat Nagari, KAN juga mulai difungsikan sebagai BP4 (disebut dengan BP4 Nagari), namun belum efektif untuk semua kecamatan.

Persoalan lain, mengapa pihak suami meninggalkan istri? Untuk kasus EL, faktor campur tangan keluarga suami yaitu ibu dan kakak perempuan, terutama dalam urusan kebebasan pasangan suami istri tersebut untuk tinggal terpisah dari keluarga suami, menjadi faktor utama. Hubungan antar anggota keluarga yang terlalu kuat antara ibu dan anak laki-lakinya serta antara kakak perempuan dengan adik laki-lakinya, menjadikan pihak ibu dari suami EL serta kakak kandung OS tidak bisa memahami kebutuhan keluarga baru tersebut terutama kebutuhan pihak istri adiknya atau kebutuhan menantunya. Hal tersebut menjadi semakin buruk ketika suami istri tinggal terpisah, dan juga diperparah dengan ketidaksabaran pihak suami untuk menunggu konflik mereka mereda serta sikap proaktif pihak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 127

suami untuk menyelesaikan masalah. Kondisi menjadi makin sulit ketika dalam kondisi penuh konflik pihak suami justru memutuskan untuk menikah lagi. Pada tahap ini pengabaian pihak suami terhadap istri dan anak yang dikandung serta keputusan suami menikah lagi sementara masalah belum selesai, memantapkan pihak istri untuk mengajukan gugatan cerai.

Hal tersebut relatif mirip dengan kasus IK meski dengan bentuk agak berbeda. Jika konflik dalam rumah tangga EL dipicu oleh dominasi keluarga suami atas diri suami, pada kasus IK dominasi keluarga istri yang memunculkan sikap kurang penghargaan istri terhadap suami yang tinggal di rumahnya yang menjadi penyebab. Meski rumah IK yang berasal dari keluarga cukup mampu memungkinkan pasangan suami istri tersebut tinggal di rumah keluarga istri, namun jika pihak istri kurang dapat menunjukkan penghargaan terhadap suami mengingat laki-laki Padang umumnya perlu diperlakukan khusus karena kuatnya budaya patriarki. Terlebih lagi karena suami IK datang dari keluarga terpandang dengan status sosial baik dan sekaligus pimpinan dari suatu kaum. Sikap kurang menghargai bukan hanya akan melukai perasaan suami, akan tetapi sekaligus menimbulkan penolakan dari keluarga besar suami karena dinilai merendahkan keluarga besar. Karenanya kemampuan perempuan untuk melakukan penyesuaian perangainya terhadap kebiasaan yang hidup di masyarakat, menjadi kebutuhan mutlak guna menjaga keutuhan rumah-tangganya. Perbedaan karakter antara suami dan istri pada kasus IK dan IB juga perlu dicermati, karena meskipun keduanya datang dari keluarga terpandang dan dengan status pendidikan yang sama tingginya, akan tetapi penyesuaian masing-masing pihak terhadap karakter personal pasangan, persoalan lain

Meski upaya-upaya ke arah penguatan kembali bundo kanduang (ninik-mamak) terus dilakukan, di antaranya dengan memunculkan kembali lembaga adat melalui pembentukan institusi Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Lembaga Kerapatan Adat Minang (LKAM), akan tetapi kuatnya muatan politis pada kehadiran institusi ini (terutama LKAM), menyebabkan efektifitasnya tidak terlalu dapat diandalkan. Untuk KAN, meski di beberapa Nagari mulai berperan aktif, peran yang dilaksanakan baru sebatas pada pengurusan tanah adat atau tanah pusaka dan belum masuk ke ranah perkawinan. Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat KAN baru dikembangkan di tingkat Nagari (Kecamatan), sementara di tingkat jorong bahkan desa serta kaum, yang sangat mungkin berperan mengurus masalah perkawinan (penanaman nilai-nilai tentang berkeluarga dan konsultasi pernikahan), belum terlihat. Di tingkat Nagari, KAN juga mulai difungsikan sebagai BP4 (disebut dengan BP4 Nagari), namun belum efektif untuk semua kecamatan.

Persoalan lain, mengapa pihak suami meninggalkan istri? Untuk kasus EL, faktor campur tangan keluarga suami yaitu ibu dan kakak perempuan, terutama dalam urusan kebebasan pasangan suami istri tersebut untuk tinggal terpisah dari keluarga suami, menjadi faktor utama. Hubungan antar anggota keluarga yang terlalu kuat antara ibu dan anak laki-lakinya serta antara kakak perempuan dengan adik laki-lakinya, menjadikan pihak ibu dari suami EL serta kakak kandung OS tidak bisa memahami kebutuhan keluarga baru tersebut terutama kebutuhan pihak istri adiknya atau kebutuhan menantunya. Hal tersebut menjadi semakin buruk ketika suami istri tinggal terpisah, dan juga diperparah dengan ketidaksabaran pihak suami untuk menunggu konflik mereka mereda serta sikap proaktif pihak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim128

yang juga perlu menjadi perhatian. Hal ini sekaligus memunculkan pertanyaan, mengingat pada ketiga perkawinan yang kasusnya didalami, meski perkawinan diawali dengan perkenalan (berpacaran) bahkan pada kasus IK-IB berpacaran setahun lebih, ternyata tidak membantu masing-masing pihak untuk saling mengenal karakter pasangannya. Hal ini semakin menunjukkan bahwa proses berpacaran yang kerap ditengarai sebagai tahapan saling mengenal, tidak selalu terjadi karena masing-masing pihak masih harus beradaptasi dengan agak sulit setelah menikah.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah bahwa temuan penelitian menunjukkan pasangan suami istri kini tidak lagi melihat perkawinan sebagai sesuatu yang sakral. Hal tersebut setidaknya terindikasi dari menurunnya daya tahan keluarga dalam menghadapi masalah, yang kerap dengan mudah menjadikan perceraian sebagai solusi atas masalah yang dihadapi. Peningkatan angka perceraian diduga di antaranya terjadi karena semakin rendahnya ketahanan keluarga yang ada, terutama keluarga dengan usia perkawinan kurang dari lima tahun. Hal tersebut didorong pula oleh proses perceraian yang makin mudah dan murah, sehingga bagi sebagian orang pilihan perceraian dijadikan solusi, tanpa mempertimbangkan ekses negatif yang mungkin menyertai. Rendahnya pemahaman yang benar tentang keluarga karena tidak berfungsinya sistem pembinaan masyarakat mengenai keluarga baik melalui keluarga, sekolah, maupun komunitas, menyebabkan perkawinan atau kehidupan berkeluarga termasuk perceraian kini dimaknai dalam arti berbeda, tidak lagi sebagai institusi sakral yang perlu dipertahankan. Transformasi kehidupan masyarakat ke arah yang makin individualistis, turut disebut-sebut sebagai penyumbang. Terbatasnya sosialisasi keluarga sakinah dan pelaksanaan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 129

suscatin oleh Kemenag baik di pusat maupun di daerah, menyebabkan fenomena kemerosotan pemaknaan tentang keluarga ini terus terjadi tanpa dapat dikendalikan, yang berujung pada peningkatan angka perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat.

Dampak Cerai Gugat pada Institusi Keluarga

Pada kasus EL dan IK yang memiliki latar belakang pendidikan cukup baik (tamat S1) dan mempunyai kesanggupan untuk bekerja menafkahi diri sendiri dan anak, meski dalam jumlah terbatas, serta adanya dukungan keluarga pihak perempuan, dampak perceraian bagi EL dan IK tidak terlalu besar mengingat persoalan ekonomi dapat diminimalisir. Terlebih lagi karena ketika mereka masih menikahpun suami dan keluarga tidak memberikan nafkah maksimal (istri masih terlibat dalam pembiayaan keuangan rumah tangga. Pada kasus EL bahkan uang pesangon miliknya habis digunakan untuk keperluan rumah tangga.

Hal tersebut berbeda dengan kasus Fat yang berpendidikan SLTA dan tidak memiliki cukup ketrampilan serta kondisi keuangan yang terbatas. Selain itu lingkungan sosial Fat yang tinggal di pinggir kota (Lubuk Minturun), menyebabkan isu perceraian masih menjadi isu sensitif. Ketidaksedian Fat untuk diwawancarai (menjawab tapi hanya terbatas) dan ekspresi kemarahan Fat sat ditanya, menjadi gambaran tentang hal tersebut. Begitu pula ekspresi kemarahan keluarga suami Fat atas kedatangan peneliti. Kurangnya pendidikan dan lingkungan sosial yang relatif agak tradisional berpengaruh besar atas keberadaan keluarga pasangan tersebut.

yang juga perlu menjadi perhatian. Hal ini sekaligus memunculkan pertanyaan, mengingat pada ketiga perkawinan yang kasusnya didalami, meski perkawinan diawali dengan perkenalan (berpacaran) bahkan pada kasus IK-IB berpacaran setahun lebih, ternyata tidak membantu masing-masing pihak untuk saling mengenal karakter pasangannya. Hal ini semakin menunjukkan bahwa proses berpacaran yang kerap ditengarai sebagai tahapan saling mengenal, tidak selalu terjadi karena masing-masing pihak masih harus beradaptasi dengan agak sulit setelah menikah.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah bahwa temuan penelitian menunjukkan pasangan suami istri kini tidak lagi melihat perkawinan sebagai sesuatu yang sakral. Hal tersebut setidaknya terindikasi dari menurunnya daya tahan keluarga dalam menghadapi masalah, yang kerap dengan mudah menjadikan perceraian sebagai solusi atas masalah yang dihadapi. Peningkatan angka perceraian diduga di antaranya terjadi karena semakin rendahnya ketahanan keluarga yang ada, terutama keluarga dengan usia perkawinan kurang dari lima tahun. Hal tersebut didorong pula oleh proses perceraian yang makin mudah dan murah, sehingga bagi sebagian orang pilihan perceraian dijadikan solusi, tanpa mempertimbangkan ekses negatif yang mungkin menyertai. Rendahnya pemahaman yang benar tentang keluarga karena tidak berfungsinya sistem pembinaan masyarakat mengenai keluarga baik melalui keluarga, sekolah, maupun komunitas, menyebabkan perkawinan atau kehidupan berkeluarga termasuk perceraian kini dimaknai dalam arti berbeda, tidak lagi sebagai institusi sakral yang perlu dipertahankan. Transformasi kehidupan masyarakat ke arah yang makin individualistis, turut disebut-sebut sebagai penyumbang. Terbatasnya sosialisasi keluarga sakinah dan pelaksanaan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim130

Masyarakat Minang umumnya, termasuk mereka yang tinggal di Kota Padang, masih kuat menganut sistem keluarga luas (extended family), dalam hal ini keluarga pihak istri. Segera setelah menikah peran keluarga istri langsung dapat dirasakan, antara lain keharusan pasangan yang baru menikah tinggal di rumah keluarga istri. Tradisi ini tampak jelas pada disain Istana Baso Pagaruyung yang menempatkan anak-anak mereka yang sudah menikah masuk ke dalam rumah pusako atau rumah bundo kanduang, masing-masing mendapat satu kamar. Meski beberapa tradisi Minang sudah mulai memudar, kembalinya anak perempuan yang sudah menikah ke rumah orang tuanya, masih kuat dipraktikkan di masyarakat Minang Sumatera Barat.

Karena itu pula peran pengasuhan anak umumnya tidak dilakukan sendirian, akan tetapi bersama-sama dengan keluarga istri. Pada pasangan yang belum mampu memiliki rumah sendiri, tradisi ini sangat membantu karena dapat mengurangi beban ekonomi keluarga muda tersebut dan tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya mengontrak atau membeli rumah. Selain itu jika pasangan keluarga muda tersebut bekerja, keterlibatan keluarga istri dalam pengasuhan membantu mereka untuk jangka pendek karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk upah pembantu. Begitu pula ketika terjadi perceraian, peran pengasuhan tidak terlalu berat dirasakan pihak istri ketika mereka harus mengasuh anak setelah perceraian, karena orang tua dan kakak serta adik-adik bahkan iparnya ikut terlibat membantu.

Apa yang terjadi pada Ik, El, dan Fat, ketiganya menunjukkan fenomena keterlibatan keluarga besar dalam pengasuhan anak. Pihak perempuan yang bercerai dapat mencari nafkah dengan lebih leluasa karena peran

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 131

pengasuhan dilakukan oleh keluarganya sementara ia bekerja. Bukan hanya dalam pengasuhan, kebutuhan ekonomi pihak perempuan yang bercerai juga ditanggung bersama oleh keluarga perempuan tersebut, meski kini sudah tidak lagi melibatkan ninik-mamak sebagaimana adat Minang yang dulu biasa berlaku.

Dukungan penuh keluarga dalam pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi ini sedikit banyak memberikan kontribusi bagi perempuan yang rumah tangganya bermasalah dalam mengambil keputusan untuk menggugat cerai, meski pihak keluarga tidak mendorong dilakukannya perceraian. Peran keluarga besar ini pun sangat membantu dalam mengurangi ekses negatif yang muncul pada keluarga, terutama pada peran pengasuhan dan ekonomi.

Respon Struktur Sosial atas Cerai Gugat

Respon struktur sosial terhadap cerai gugat relatif berubah ke arah yang makin objektif. Stigma negatif mengenai perceraian terutama untuk konteks kota, mulai berkurang. Dari tiga kasus yang diteliti, dua kasus menunjukkan hal tersebut. Masyarakat kota yang makin kritis tidak lagi dengan serta merta memberi penilaian negatif terhadap tindakan perceraian, akan tetapi mencoba memahami lebih dalam sebelum memberikan penilaian. Hal tersebut berbeda pada masyarakat pinggiran dan tentu desa, yang masih cenderung merespon negatif kasus-kasus perceraian yang terjadi.

Hal yang perlu dicermati terkait dengan peran PA sebagai institusi yang melakukan eksekusi atas permohonan perceraian. Tidak adanya kordinasi antara lembaga yang

Masyarakat Minang umumnya, termasuk mereka yang tinggal di Kota Padang, masih kuat menganut sistem keluarga luas (extended family), dalam hal ini keluarga pihak istri. Segera setelah menikah peran keluarga istri langsung dapat dirasakan, antara lain keharusan pasangan yang baru menikah tinggal di rumah keluarga istri. Tradisi ini tampak jelas pada disain Istana Baso Pagaruyung yang menempatkan anak-anak mereka yang sudah menikah masuk ke dalam rumah pusako atau rumah bundo kanduang, masing-masing mendapat satu kamar. Meski beberapa tradisi Minang sudah mulai memudar, kembalinya anak perempuan yang sudah menikah ke rumah orang tuanya, masih kuat dipraktikkan di masyarakat Minang Sumatera Barat.

Karena itu pula peran pengasuhan anak umumnya tidak dilakukan sendirian, akan tetapi bersama-sama dengan keluarga istri. Pada pasangan yang belum mampu memiliki rumah sendiri, tradisi ini sangat membantu karena dapat mengurangi beban ekonomi keluarga muda tersebut dan tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya mengontrak atau membeli rumah. Selain itu jika pasangan keluarga muda tersebut bekerja, keterlibatan keluarga istri dalam pengasuhan membantu mereka untuk jangka pendek karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk upah pembantu. Begitu pula ketika terjadi perceraian, peran pengasuhan tidak terlalu berat dirasakan pihak istri ketika mereka harus mengasuh anak setelah perceraian, karena orang tua dan kakak serta adik-adik bahkan iparnya ikut terlibat membantu.

Apa yang terjadi pada Ik, El, dan Fat, ketiganya menunjukkan fenomena keterlibatan keluarga besar dalam pengasuhan anak. Pihak perempuan yang bercerai dapat mencari nafkah dengan lebih leluasa karena peran

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim132

mengurus perkawinan (KUA), lembaga penasihatan perkawinan (BP4), dan lembaga yang mengeksekusi perceraian (PA); menyebabkan kehidupan berkeluarga dilihat sebagai sekuel yang terpisah: perkawinan satu hal, penyelesaian masalah satu hal, dan perceraian merupakan hal yang lain. Bukan hanya dilihat terpisah, akan tetapi terdapat perbedaan penanganan dan pendekatan. PA sebagai lembaga eksekusi perkawinan misalnya, cenderung melihat perceraian secara administratif dan juridis semata. Karena itu kasus-kasus perceraian (dalam hal ini cerai gugat) dapat diselesaikan dalam waktu sangat singkat, tanpa upaya-upaya untuk menjaga sakralisasi (keutuhan) pernikahan. Upaya untuk menghadirkan pihak tergugat pada kasus cerai gugat misalnya terlihat sangat lemah (pasif), padahal dengan ketidak-hadiran pihak tergugat mediasi tidak dapat dilakukan. Selain itu hak-hak perempuan untuk mendapatkan nafkah setelah perceraian (terutama jika membawa anak) belum mendapat perlindungan, mengingat banyaknya putusan cerai gugat yang tidak mewajibkan suami untuk memberi nafkah untuk anak yang dibawa istri. Pendekatan administratif lagi-lagi menjadi prioritas (supaya kasus cepat selesai), yang menghilangkan makna substantif yang sedianya juga diperhatikan (menjaga generasi atau anak dari ekses negatif perceraian). Keputusan cerai gugat yang menetapkan mantan suami untuk memberi nafkahpun ada kecenderungan dibiarkan tidak dilaksanakan, dengan tidak adanya mekanisme pelaksanaan putusan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 133

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Cerai gugat di Kota Padang pada kasus yang diteliti, terjadi lebih sebagai upaya perempuan untuk memperjelas status pernikahannya setelah mengalami pengabaian oleh pihak suami dalam kurun waktu cukup lama, yaitu sejak pihak perempuan tersebut mengandung hingga anak lahir, bahkan hingga anak sudah dapat berlari. Yang menarik, pengabaian terjadi tidak selalu karena faktor ekonomi khususnya untuk kasus pada pasangan terdidik dan ekonomi menengah ke atas, akan tetapi lebih sebagai simbol bahwa pihak suami sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinannya. Keengganan suami untuk meneruskan perkawinan dipicu oleh pertengkaran yang terus menerus terjadi, yang tidak selalu bersumber dari problem pada suami istri tersebut, akan tetapi juga karena adanya campur tangan atau dominasi keluarga istri atas kehidupan istri yang sifatnya berlebihan maupun karena campur tangan atau dominasi keluarga suami atas kehidupan suami yang berlebihan pula. Pada kasus lain keengganan muncul karena tidak tahan atas sifat istri yang temperamental, yang terjadi pada kasus istri dengan usia relatif masih muda dan dengan pendidikan cenderung rendah.

Terkait hal itu, terdapat temuan bahwa ketahanan keluarga pada pasangan muda yang ada di Kota Padang mulai melemah dengan adanya kecenderungan pasangan suami istri untuk mudah “menyerah” atas masalah yang dihadapi (daya tahan atau endurens rendah) dan dengan cepat menjadikan perceraian sebagai solusi. Selain itu, kurangnya pemahanan tentang keluarga diduga menjadi penyebab mengapa lembaga perkawinan tidak lagi dianggap sebagai

mengurus perkawinan (KUA), lembaga penasihatan perkawinan (BP4), dan lembaga yang mengeksekusi perceraian (PA); menyebabkan kehidupan berkeluarga dilihat sebagai sekuel yang terpisah: perkawinan satu hal, penyelesaian masalah satu hal, dan perceraian merupakan hal yang lain. Bukan hanya dilihat terpisah, akan tetapi terdapat perbedaan penanganan dan pendekatan. PA sebagai lembaga eksekusi perkawinan misalnya, cenderung melihat perceraian secara administratif dan juridis semata. Karena itu kasus-kasus perceraian (dalam hal ini cerai gugat) dapat diselesaikan dalam waktu sangat singkat, tanpa upaya-upaya untuk menjaga sakralisasi (keutuhan) pernikahan. Upaya untuk menghadirkan pihak tergugat pada kasus cerai gugat misalnya terlihat sangat lemah (pasif), padahal dengan ketidak-hadiran pihak tergugat mediasi tidak dapat dilakukan. Selain itu hak-hak perempuan untuk mendapatkan nafkah setelah perceraian (terutama jika membawa anak) belum mendapat perlindungan, mengingat banyaknya putusan cerai gugat yang tidak mewajibkan suami untuk memberi nafkah untuk anak yang dibawa istri. Pendekatan administratif lagi-lagi menjadi prioritas (supaya kasus cepat selesai), yang menghilangkan makna substantif yang sedianya juga diperhatikan (menjaga generasi atau anak dari ekses negatif perceraian). Keputusan cerai gugat yang menetapkan mantan suami untuk memberi nafkahpun ada kecenderungan dibiarkan tidak dilaksanakan, dengan tidak adanya mekanisme pelaksanaan putusan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim134

lembaga yang sakral dan perlu dijaga keberlangsungannya, yang juga dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai banyaknya perceraian terjadi di sekitar mereka serta kasus-kasus seperti hamil sebelum nikah. Tidak tersedianya mekanisme penanaman nilai-nilai mengenai keluarga yang lebih terstruktur, sistematis dan intensif baik di tingkat keluarga, sekolah, maupun di masayarakat, menyebabkan terjadi perubahan pemaknaan atas perkawinan bahkan perceraian.

Rekomendasi

1. Kepada Kemenag di Pusat dan Daerah:

a. Perlunya mengintensifkan dan menyempurnakan metode pelaksanaan sosialisasi keluarga sakinah dan suscatin kepada masyarakat mengingat problem serius terkait peningkatan perceraian di antaranya terjadi karena lemahnya pemahaman masyarakat mengenai makna dan hakikat keluarga. Keluarga semakin dinilai sebagai lembaga yang tidak sakral dan dipihak lain perceraian kini dengan mudah dijadikan sebagai alternatif solusi atas masalah yang dihadapi. Hal ini menunjukkan semakin menurunnya ketahanan keluarga, yang menyebabkan usia perkawinan dalam jangka panjang dapat menjadi semakin singkat (bukan hanya terjadi peningkatan perceraian akan tetapi peningkatan perceraian pada usia perkawinan muda).

b. Perlunya pelibatan multi pihak termasuk lembaga adat dalam penanaman nilai mengenai keluarga dan perkawinan serta dalam penyelesaian masalah pernikahan, mengingat urgensi penanganan masalah dan potensi yang ada pada berbagai institusi

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 135

tersebut. Dalam tataran praksis kini tidak tersedia sistem dan mekanisme penanaman nilai mengenai keluarga dan perkawinan baik di tingkat keluarga, sekolah, maupun masyarakat sebagai akibat ditinggalkannya peran-peran pembinaan mengenai keluarga oleh lembaga tersebut, sebagai implikasi meningkatnya independensi individu. Persoalan pernikahan, perceraian, dan keluarga dinilai sebagai hal yang bersifat individual sehingga tidak perlu campur tangan pihak lain. Hal penting yang tak bisa dilupakan adalah bahwa krisis keluarga sesungguhnya berimplikasi langsung pada terjadinya krisis (kehancuran) dalam perkawinan.

2. MA dan PA: Perlunya komunikasi dan kordinasi yang lebih intensif dan sistematis antara lembaga yang menangani pernikahan, konsultasi pernikahan, mengingat adanya kesalingterkaitan yang erat antara keduanya. Permohonan perceraian yang masuk ke MA dan PA tidak dapat dilihat berdiri sendiri apalagi pendekatan administratif, yang semata-mata hanya berorientasi pada penyelesaian kasus secara cepat. Penegakan hak-hak para pihak yang berperkara perlu menjadi perhatian, mengingat perceraian secara faktual menimbulkan sejumlah konsekuensi (dan ekses negatif) yang suka atau tidak suka juga harus diperhatikan implikasinya.

lembaga yang sakral dan perlu dijaga keberlangsungannya, yang juga dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai banyaknya perceraian terjadi di sekitar mereka serta kasus-kasus seperti hamil sebelum nikah. Tidak tersedianya mekanisme penanaman nilai-nilai mengenai keluarga yang lebih terstruktur, sistematis dan intensif baik di tingkat keluarga, sekolah, maupun di masayarakat, menyebabkan terjadi perubahan pemaknaan atas perkawinan bahkan perceraian.

Rekomendasi

1. Kepada Kemenag di Pusat dan Daerah:

a. Perlunya mengintensifkan dan menyempurnakan metode pelaksanaan sosialisasi keluarga sakinah dan suscatin kepada masyarakat mengingat problem serius terkait peningkatan perceraian di antaranya terjadi karena lemahnya pemahaman masyarakat mengenai makna dan hakikat keluarga. Keluarga semakin dinilai sebagai lembaga yang tidak sakral dan dipihak lain perceraian kini dengan mudah dijadikan sebagai alternatif solusi atas masalah yang dihadapi. Hal ini menunjukkan semakin menurunnya ketahanan keluarga, yang menyebabkan usia perkawinan dalam jangka panjang dapat menjadi semakin singkat (bukan hanya terjadi peningkatan perceraian akan tetapi peningkatan perceraian pada usia perkawinan muda).

b. Perlunya pelibatan multi pihak termasuk lembaga adat dalam penanaman nilai mengenai keluarga dan perkawinan serta dalam penyelesaian masalah pernikahan, mengingat urgensi penanganan masalah dan potensi yang ada pada berbagai institusi

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim136

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 137

TREND CERAI GUGAT DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI KOTA

CILEGON PROVINSI BANTEN

oleh : Agus Mulyono dan Fatchan Kamal

PROFIL KOTA CILEGON

Cilegon dikenal sebagai kota industri di kawasan Banten bagian barat dan merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Pada saat berdiri tahun 1999 Kota Cilegon terdiri dari 4 (empat) kecamatan 2 (dua) kelurahan dan 41 (empat puluh satu) desa. Dalam perkembangannya Kota Cilegon telah memperlihatkan kemajuan yang pesat di berbagai bidang baik bidang fisik maupun sosial ekonomi.

Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 15 tahun 2002 dan Peraturan Daerah nomor 12 tahun 2003 struktur dministrasi wilayah Kota Cilegon mengalami pemekaran menjadi 8 (delapan) kecamatan dan 43 (empat puluh tiga) kelurahan. Luas wilayah Kota Cilegon terdiri dari daratan seluas 175,51 km², termasuk 5 (lima) pulau yaitu pulau Merak Besar, Merak Kecil, Pulorida, Tempurung, dan Pulau Ular.

Secara geografis Kota Cilegon berbatasan dengan Selat Sunda disebelah barat dan Kabupaten Serang di utara, timur, dan selatan. Kota Cilegon merupakan Kota yang paling sedikit jumlah penduduknya di Provinsi Banten. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Kota Cilegon berjumlah 226,1 ribu jiwa, dan dari hasil SP2000,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim138

jumlah penduduk Kota Cilegon sebesar 294,9 ribu jiwa. Pada bulan Mei 2010 dilakukan Sensus Penduduk 2010 (SP2010). Dari hasil akhir SP2010 jumlah penduduk Kota Cilegon tercatat sebesar 373,4 ribu jiwa. Selang periode tahun 2010-2013, jumlah penduduk bertambah menjadi 398,3 ribu jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,9 % per tahun.

Penduduk laki-laki di Kota Cilegon sedikit lebih banyak daripada perempuan. Jumlah penduduk Kota Cilegon yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah sekitar 203,5 ribu jiwa dan penduduk perempuan sebesar 194,8 ribu jiwa. Dengan demikian sex rasio penduduk Kota Cilegon sebesar 104. Kecamatan Citangkil merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu mencapai 69,9 ribu jiwa. Sedangkan, kecamatan paling sedikit penduduknya adalah Kecamatan Purwakarta yang berjumlah 39,4 ribu jiwa.

Proporsi penduduk laki-laki terbanyak terdapat di Kecamatan Purwakarta dan Ciwandan dengan sex rasio sebesar 107. Dilihat dari perkembangannya, Kecamatan Cibeber, Grogol, dan Citangkil adalah tiga kecamatan dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, yaitu masing-masing sebesar 2,92 %, 1,99 % dan 1,89 % per tahun. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya pengembangan perumahan di ketiga kecamatan tersebut. Wilayah terpadat penduduknya adalah Kecamatan Jombang mencapai 5.534 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Cilegon dengan 4.595 jiwa/km2. Sedangkan penduduk berdasarkan agama yang dipeluk dapat dilihat dalam tabel berikut:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 139

Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

di Kota Cilegon Menurut Kecamatan Tahun 2013

Data BPS Kota Cilegon 2014

Dari data di atas sebagian besarnya adalah pemeluk agama Islam yang tersebar merata di delapan kecamatan. Penganut Katholik mayoritas berada di kecamatan Jombang dan Citangkil, pemeluk agama Hindu mayoritas berada di Kecamatan Cilegon dan Purwakarta, dan pemeluk agama Buddha mayoritas berada di Kecamatan Jombang dan Cilegon.

Orang beragama biasanya mempunyai tempat untuk melaksanakan ritual yang diyakini, sarana peribadatan di Kota Cilegon masih didominasi oleh penduduk mayoritas yaitu Islam. Jumlah tempat ibadat dapat dilihat pada tabel berikut ini:

jumlah penduduk Kota Cilegon sebesar 294,9 ribu jiwa. Pada bulan Mei 2010 dilakukan Sensus Penduduk 2010 (SP2010). Dari hasil akhir SP2010 jumlah penduduk Kota Cilegon tercatat sebesar 373,4 ribu jiwa. Selang periode tahun 2010-2013, jumlah penduduk bertambah menjadi 398,3 ribu jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,9 % per tahun.

Penduduk laki-laki di Kota Cilegon sedikit lebih banyak daripada perempuan. Jumlah penduduk Kota Cilegon yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah sekitar 203,5 ribu jiwa dan penduduk perempuan sebesar 194,8 ribu jiwa. Dengan demikian sex rasio penduduk Kota Cilegon sebesar 104. Kecamatan Citangkil merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu mencapai 69,9 ribu jiwa. Sedangkan, kecamatan paling sedikit penduduknya adalah Kecamatan Purwakarta yang berjumlah 39,4 ribu jiwa.

Proporsi penduduk laki-laki terbanyak terdapat di Kecamatan Purwakarta dan Ciwandan dengan sex rasio sebesar 107. Dilihat dari perkembangannya, Kecamatan Cibeber, Grogol, dan Citangkil adalah tiga kecamatan dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, yaitu masing-masing sebesar 2,92 %, 1,99 % dan 1,89 % per tahun. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya pengembangan perumahan di ketiga kecamatan tersebut. Wilayah terpadat penduduknya adalah Kecamatan Jombang mencapai 5.534 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Cilegon dengan 4.595 jiwa/km2. Sedangkan penduduk berdasarkan agama yang dipeluk dapat dilihat dalam tabel berikut:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim140

Tabel 2 Jumlah Tempat Peribadatan

Menurut Jenisnya di Kota Cilegon Tahun 2013

No Kecamatan Masjid Mushalla Langgar Gereja Vihara Jlh 1 Ciwandan 64 5 66 - - 135 2 Citangkil 68 89 79 - - 236 3 Pulomerak 48 29 17 - - 94 4 Purwakarta 38 3 33 - - 74 5 Grogol 38 7 42 - - 87 6 Cilegon 40 17 7 - - 64 7 Jombang 58 36 44 - - 136 8 Cibeber 37 36 22 - - 95 Jumlah 391 222 310 - - 923

Data Statistik Kota Cilegon 2014

GAMBARAN TIGA KASUS CERAI GUGAT DI KOTA CILEGON

1. Pasangan SM (Istri) dan Yd (Suami).

SM umur 34 tahun, pendidikan SLTA, agama Islam, pekerjaan mengurus rumah tangga, tempat tinggal di Jalan Ir. Sutami Link. Kapudenok Masjid, Rt. 01, Rw. 01, No. 14, Kelurahan Lebakdenok, Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon.

Pada awal perkawinan perkawinan SM merasa sudah siap lahir batin untuk lillahi ta'ala dalam hidup berumah tangga. Ia akan berusaha menjadi istri yang sholehah dan terbaik bagi suami, karena calon suami juga atas pilihannya sendiri. SM memilih Yd sebagai suami, karena selama pacaran sekitar 1 tahun, dia bersikap baik dan perhatian. Ketika Yd sedang mempunyai uang maka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 141

selalu mengajak makan di luar dan jalan-jalan ke mall. Ketika ibunya sakit, juga membantu biaya pengobatannya.

Sebelum menikah SM belum bekerja, namun Yd sudah bekerja honorer di Kementerian Agama RI. Walaupun SM belum mempunyai penghasilan, namun ia merasa sudah siap lahir batin, karena menurut prinsipnya untuk masalah uang bisa dicari berdua setelah menikah.

Untuk meningkatkan hubungan dilakukan prosesi lamaran di rumah SM yang diterima oleh ibu dan saudara-saudaranya. Dari pihak Yd, ikut hadir adalah kedua orang tua dan 2 kakaknya, karena ia adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Keluarga Yd datang dengan membawa buah-buahan dan kueh, diantaranya kueh putu dan papais. Pada saat lamaran disepakati juga tentang waktu pelaksanaan akad nikah berdasarkan perhitungan orang tua.

Sekitar satu bulan setelah lamaran, dilanjutkan akad nikah pada tanggal 28 Desember 2007. Akad nikah dilaksanakan di rumah SM dan dilanjutkan dengan resepsi kecil-kecilan. Setelah itu dilanjutkan dengan serah terima pengantin oleh perwakilan masing-masing mempelai. Dilanjutkan dengan saweran, yalil dan bersalaman dengan para undangan yang hadir untuk mengucapkan selamat kepada mempelai. Setelah akad nikah, hati SM merasa gembira, karena dapat menikah dengan laki-laki pilihannya.

Menurut pengakuan Sh dan As -ibu dan kakak kandung SM- agak kurang setuju menikah dengan Yd, karena menurut informasi yang diterima mereka, ia suka minum-minuman keras, namun karena kemauan SM

Tabel 2 Jumlah Tempat Peribadatan

Menurut Jenisnya di Kota Cilegon Tahun 2013

No Kecamatan Masjid Mushalla Langgar Gereja Vihara Jlh 1 Ciwandan 64 5 66 - - 135 2 Citangkil 68 89 79 - - 236 3 Pulomerak 48 29 17 - - 94 4 Purwakarta 38 3 33 - - 74 5 Grogol 38 7 42 - - 87 6 Cilegon 40 17 7 - - 64 7 Jombang 58 36 44 - - 136 8 Cibeber 37 36 22 - - 95 Jumlah 391 222 310 - - 923

Data Statistik Kota Cilegon 2014

GAMBARAN TIGA KASUS CERAI GUGAT DI KOTA CILEGON

1. Pasangan SM (Istri) dan Yd (Suami).

SM umur 34 tahun, pendidikan SLTA, agama Islam, pekerjaan mengurus rumah tangga, tempat tinggal di Jalan Ir. Sutami Link. Kapudenok Masjid, Rt. 01, Rw. 01, No. 14, Kelurahan Lebakdenok, Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon.

Pada awal perkawinan perkawinan SM merasa sudah siap lahir batin untuk lillahi ta'ala dalam hidup berumah tangga. Ia akan berusaha menjadi istri yang sholehah dan terbaik bagi suami, karena calon suami juga atas pilihannya sendiri. SM memilih Yd sebagai suami, karena selama pacaran sekitar 1 tahun, dia bersikap baik dan perhatian. Ketika Yd sedang mempunyai uang maka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim142

sudah bulat, sebagai orang tua dan saudara-saudaranya hanya mendoakan semoga menjadi keluarga yang baik. Pada prosesi akad nikah sebagian besar dana adalah dari keluarga SM, hanya sebagian kecil bantuan dari pihak keluarga Yd.

Setelah akad nikah di rumah SM, mempelai tinggal di rumah orang tua SM selama 3 hari. Semasa mempelai menjalani masa bulan madu di rumah orang tua SW dijalani sebagaimana pengatin baru, semua kebutuhan hidup selama 3 hari tersebut disiapkan oleh keluarga SM. Setelah tiga hari di rumah mertua, kemudian mempelai di boyong ke rumah orang tua Yd. Pada awalnya SM menghendaki untuk tinggal di kontrakan, namun mertua perempuan tidak berkenan kalau mempelai tinggal di luar rumah sehingga SM “terpaksa” memenuhi kehendak mertuanya.

Setelah tinggal di rumah mertua, SM merasa seperti tinggal di sangkar burung emas. Pekerjaan sehari-hari di rumah mertua adalah mandi, makan dan melayani suami, karena sudah ada 2 pembantu rumah tangga di rumah mertua yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun demikian SM tidak merasa nyaman tinggal di rumah mertua, karena semenjak tinggal di rumah mertua, tingkah Yd berubah 180⁰. Sisa dana walimahan yang sedianya ditabung, justru digunakan oleh Yd untuk modifikasi “motor ninja” miliknya, sehingga menimbulkan percekcokan.

Kemudian ketika Yd menerima uang honor, SM hanya dikasih sebagian, bahkan terkadang tidak diberi uang oleh Yd. Menurut pengakuan SM, selama menikah dengan Yd, ia tidak pernah tahu berapa gaji honornya.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 143

Baju yang yang dia pakai hanya baju-baju yang dibawa dari rumah orang tuanya, sehingga baju yang dipakai sehari-hari kelihatan lusuh.

Antara SM dan Yd jarang berkomunikasi, karena setelah pulang kerja Yd biasanya main bersama kawan-kawannya dan pulang pada pagi hari. Ketika dikonfirmasi tentang kegiatannya di luar, seringnya marah-marah, bahkan menurut pengakuannya pernah hampir di cekik. Dari kebiasaannya yang sudah mulai kelihatann aslinya, Yd akan bertingkah agak baik ketika ada maunya, namun tidak jarang ia juga memaksa ketika ingin berhubungan suami istri. Dengan keadaan yang demikian, SM pernah menanyakan kepada Yd, “tujuannya apa sih menikah dengan saya”, jawab Yd “hanya ingin merasakan barangmu”. Begitu terkejutnya SM mendengar jawaban Yd, sehingga ia merasa bingung. Mau bercerita kepada siapa, tidak ada yang bisa diajak bicara, karena setelah tinggal di rumah mertua, ia juga tidak memegang HP.

Dalam kesehariannya SM jarang berkomunikasi dengan mertua, karena seringnya berada di kamar, hanya sekali-kali ngobrol dengan mertua. Dengan Yd juga jarang-jarang bisa berkomunikasi sehingga menambah rumit persoalanya. Ketika sedang terjadi perselisihan antara Yd dan SM tidak jarang ibu mertua ikut terlibat dan membela Yd. Ketika terjadi perselisihan Yd terkadang tidak segan-segan memukul dan menendang.1

Dengan seringnya terjadi pertengkaran dengan sebab-sebab masalah nafkah, komunikasi yang hanya

1Hal ini juga terlihat dari ekspresi Yd dengan menendang-nendang

ketika peneliti menanyakan tentang beberapa persoalan yang sering menjadi penyebab pertengkarannya.

sudah bulat, sebagai orang tua dan saudara-saudaranya hanya mendoakan semoga menjadi keluarga yang baik. Pada prosesi akad nikah sebagian besar dana adalah dari keluarga SM, hanya sebagian kecil bantuan dari pihak keluarga Yd.

Setelah akad nikah di rumah SM, mempelai tinggal di rumah orang tua SM selama 3 hari. Semasa mempelai menjalani masa bulan madu di rumah orang tua SW dijalani sebagaimana pengatin baru, semua kebutuhan hidup selama 3 hari tersebut disiapkan oleh keluarga SM. Setelah tiga hari di rumah mertua, kemudian mempelai di boyong ke rumah orang tua Yd. Pada awalnya SM menghendaki untuk tinggal di kontrakan, namun mertua perempuan tidak berkenan kalau mempelai tinggal di luar rumah sehingga SM “terpaksa” memenuhi kehendak mertuanya.

Setelah tinggal di rumah mertua, SM merasa seperti tinggal di sangkar burung emas. Pekerjaan sehari-hari di rumah mertua adalah mandi, makan dan melayani suami, karena sudah ada 2 pembantu rumah tangga di rumah mertua yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun demikian SM tidak merasa nyaman tinggal di rumah mertua, karena semenjak tinggal di rumah mertua, tingkah Yd berubah 180⁰. Sisa dana walimahan yang sedianya ditabung, justru digunakan oleh Yd untuk modifikasi “motor ninja” miliknya, sehingga menimbulkan percekcokan.

Kemudian ketika Yd menerima uang honor, SM hanya dikasih sebagian, bahkan terkadang tidak diberi uang oleh Yd. Menurut pengakuan SM, selama menikah dengan Yd, ia tidak pernah tahu berapa gaji honornya.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim144

searah, serta beberapa keinginan Yd yang tidak terpenuhi menambah beban mental SM sehari-hari. Namun harapan SM masih ada, sehingga ia berharap Yd bisa berubah. Walaupun berbagai perselisihan telah terjadi namun sampai SM mempunyai anak pertama, biduk rumah tangganya masih bisa dipertahankan. Bahkan Yd pernah menyampaikan ke SM, bahwa anak yang dilhirkan bukan anaknya.

Setelah anak pertama lahir, persoalan bukannya berkurang namun bertambah lagi. Persoalan nafkah yang belum terselesaikan, campur tangan mertua perempuan, dan memaksa berhubungan sexual walaupun SM sedang tidak berkehendah. Menambah beban berat kehidupan SM di sangkar emas mertua.

Karena berlarut-larutnya persaoalan dalam rumah tangga SM dan Yd, tanpa ada solusi akhirnya timbul keinginan SM untuk menggugat cerai Yd. Namun setelah SM berbicara dengan Yd tidak ada tanggapan yang bisa menenangkannya. Bahkan SM dipersilahkan untuk menggugat namun Yd tidak akan mengeluarkan biaya untuk proses gugat cerai tersebut. Karena sudah sama-sama tidak mau hidup berumah tangga, maka akhirnya SM mengguat Yd ke PA Cilegon.

Ketika akan ke PA cilegon, keluarga SM sempat memberi nasihat agar diurungkan, namun dengan penjelasan SM beberapa kejadian yang menimpanya, maka pihak keluarganya menyerahkan sepenuhnya kepada SM. Pada mulanya SM sesungguhnya merasa berat karena sudah mempunyai satu anak, namun karena SM merasa sudah tidak kuat lagi bersama Yd, maka dikukuhkannya untuk mengajukan CG ke PA Cilegon.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 145

Pada saat sidang pertama di PA Cilegon, Yd tidak menghadiri, sehingga tidak ada proses mediasi anatara SM dan Yd. Begitupun pada sat sidang ke dua Yd tidak hadir, sehingga dalam proses CG SM merasa tidak ada hambatan yang berarti. Selama proses sidang, SM ditemani pihak ibu dan kakak. Dengan tidak hadirnya Yd di sidang pengadilan, kelihatnnya membuat keputusan hakim menjadi lebih cepat.

Ketika hakim mengabulkan CG yang dijukan SM, maka ia merasa gembira bisa terlepas dari sangkar burung emas Yd. Setelah surat kuning turun SM tinggal di rumah orang tua bersama anaknya. Ketika peneliti mengunjungi rumah SM, ada kesempatan berdialog dengan anaknya yang sudah berumur 5 tahun. Peneliti menanyakan tentang bapaknya, ia diam saja dan ketika diajak ke rumah Yd, ia tidak mau. Dari wajah sang anak ketika ditanyakan tentang bapaknya, terlihat tidak ada eksprsi gembira dan justru cenderung menutup mukanya ke pelukan ibu ataupun neneknya.

2. Pasangan SS (Istri) dan HS (Suami)

SS umur 28 tahun, pendidikan D3, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, tempat kediaman di Komp. Perumnas Bumi Cibeber Kencana (BCK) Blok C.2 Rt. 04 Rw. 10, No. 13 Kelurahan Cibeber, Kecamatan Cibeber Kota Cilegon.

Menurut SS, menikah adalah proses sakral yang dilakukan sekali dalam seumur hidupnya, dengan tujuan membuat hati tenang serta membina hidup rumah tangga yang bahagia. Pada awal mau menikah dengan (HS), SS kurang sreg karena belum begitu mengenalnya. Namun

searah, serta beberapa keinginan Yd yang tidak terpenuhi menambah beban mental SM sehari-hari. Namun harapan SM masih ada, sehingga ia berharap Yd bisa berubah. Walaupun berbagai perselisihan telah terjadi namun sampai SM mempunyai anak pertama, biduk rumah tangganya masih bisa dipertahankan. Bahkan Yd pernah menyampaikan ke SM, bahwa anak yang dilhirkan bukan anaknya.

Setelah anak pertama lahir, persoalan bukannya berkurang namun bertambah lagi. Persoalan nafkah yang belum terselesaikan, campur tangan mertua perempuan, dan memaksa berhubungan sexual walaupun SM sedang tidak berkehendah. Menambah beban berat kehidupan SM di sangkar emas mertua.

Karena berlarut-larutnya persaoalan dalam rumah tangga SM dan Yd, tanpa ada solusi akhirnya timbul keinginan SM untuk menggugat cerai Yd. Namun setelah SM berbicara dengan Yd tidak ada tanggapan yang bisa menenangkannya. Bahkan SM dipersilahkan untuk menggugat namun Yd tidak akan mengeluarkan biaya untuk proses gugat cerai tersebut. Karena sudah sama-sama tidak mau hidup berumah tangga, maka akhirnya SM mengguat Yd ke PA Cilegon.

Ketika akan ke PA cilegon, keluarga SM sempat memberi nasihat agar diurungkan, namun dengan penjelasan SM beberapa kejadian yang menimpanya, maka pihak keluarganya menyerahkan sepenuhnya kepada SM. Pada mulanya SM sesungguhnya merasa berat karena sudah mempunyai satu anak, namun karena SM merasa sudah tidak kuat lagi bersama Yd, maka dikukuhkannya untuk mengajukan CG ke PA Cilegon.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim146

karena orang tua SS sudah setuju sehingga perkawinan perkawinan dapat terus dilaksanakan. Pada awalnya SS pernah meminta kepada orang tua untuk membatalkan pernikahannya, karena ada hal-hal yang kurang disukai oleh SS. Oleh karena itu SS berpikir ulang untuk dijalani dahulu dalam perkawinan perkawinan tersebut.

Ketika wawancara dengan orang tua SS, mereka menceritakan bahwa HS bekerja satu perusahaaan dengan ibu SS, sehingga sedikit tahu tentang HS. Oleh karena itu setelah mengetahui bahwa SS berpacaran dengan HS orang tua cenderung menyetujuinya, walaupun secara jujur orang tua SS belum begitu mengenal HS.

SS dalam berpacaran dengan HS sekitar 2 bulan, itupun jarang bisa berkomunikasi secara baik, karena masing-masing bekerja secara shif di perusahaan, sehingga jarang sekali bisa berkomunikasi secara langsung. Dengan singkatnya pertemuan antara SS dan HS dan jarangnya berkomunikasi langsung antara mereka sehingga antara mereka belum begitu saling mengenal.

Pada dasarnya menurut SS, ia sudah siap lahir dan batin untuk menikah. Pada saat mau menikah ia sudah mempersiapkan diri dengan bekal ilmu agama. Ia juga sudah mengenakan jilbab sebelum menikah. Menurut SS, harta dapat dicari berdua, sehingga masalah ekonomi sejak awal pernikahannya tidak dipermasalahkan.

Pada saat pernikahan, menurut SS ia sudah berdandan secara rapi dan berusaha tersenyum, namun menurut teman-temannya kelihatan cemberut. Ia merasa belum sreg betul menikah dengan calon suaminya, sehingga walaupun ia sudah berusaha menyiapkan diri

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 147

raut mukanya masih kelihatan cemberut. Dalam pesta perkawinan perkawinan tersebut pihak kelurga SH memberikan sumbangan sebesar 15 juta. Uang sebesar itu menurut SS sesungguhnya masih kurang karena perkawinan perkawinan tersebut dilaksanakan di Kota Cilegon. Menurut SS, mungkin karena SH berasal dari daerah sehingga menganggap bahwa dengan jumlah uang tersebut mencukupi, namun ia tidak mempermasalahkan jumlah uang tersebut.

Setelah menikah mereka tinggal di Komp. Citra Garden BMW berpisah dengan orang tua. Pada awal kehidupan rumah tangganya berjalan seperti keluarga pada umumnya, namun kemudian SS merasa mulai ada yang aneh dalam kehidupan rumah tangganya. Ketika SS menghendaki memiliki momongan HS belum mau, alasannya belum siap secara finansial. Namun SS merasa kalau suami sedang bekerja, ia merasa sendirian dan kesepian di rumah sehingga ingin memiliki anak. Dengan berbagai usaha selama ini akhirnya setelah 10 bulan pernikahannya bisa hamil, namun menurut SS suaminya kurang begitu senang dengan kehamilannya.

Mengenai keuangan, SS juga melihat HS tidak transparan. Terutama mengenai penghsilannya, baik gaji maupun bonus-bonusnya. SS pernah menanyakan gaji suami namun justru terjadi perselisihan. HS juga seorang yang pendiam, baik di rumah maupun di kantor. Ketika sedang berada di rumah kalau tidak ditanya, tidak ada komunikasi, kalaupun dijawab sangat singkat. Begitupun di kantor, ketika SS menanyakan kepada kawannya di kantor juga menyebutkan bahwa HS adalah seorang yang pendiam.

karena orang tua SS sudah setuju sehingga perkawinan perkawinan dapat terus dilaksanakan. Pada awalnya SS pernah meminta kepada orang tua untuk membatalkan pernikahannya, karena ada hal-hal yang kurang disukai oleh SS. Oleh karena itu SS berpikir ulang untuk dijalani dahulu dalam perkawinan perkawinan tersebut.

Ketika wawancara dengan orang tua SS, mereka menceritakan bahwa HS bekerja satu perusahaaan dengan ibu SS, sehingga sedikit tahu tentang HS. Oleh karena itu setelah mengetahui bahwa SS berpacaran dengan HS orang tua cenderung menyetujuinya, walaupun secara jujur orang tua SS belum begitu mengenal HS.

SS dalam berpacaran dengan HS sekitar 2 bulan, itupun jarang bisa berkomunikasi secara baik, karena masing-masing bekerja secara shif di perusahaan, sehingga jarang sekali bisa berkomunikasi secara langsung. Dengan singkatnya pertemuan antara SS dan HS dan jarangnya berkomunikasi langsung antara mereka sehingga antara mereka belum begitu saling mengenal.

Pada dasarnya menurut SS, ia sudah siap lahir dan batin untuk menikah. Pada saat mau menikah ia sudah mempersiapkan diri dengan bekal ilmu agama. Ia juga sudah mengenakan jilbab sebelum menikah. Menurut SS, harta dapat dicari berdua, sehingga masalah ekonomi sejak awal pernikahannya tidak dipermasalahkan.

Pada saat pernikahan, menurut SS ia sudah berdandan secara rapi dan berusaha tersenyum, namun menurut teman-temannya kelihatan cemberut. Ia merasa belum sreg betul menikah dengan calon suaminya, sehingga walaupun ia sudah berusaha menyiapkan diri

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim148

Ketika HS ditanyakan kenapa diam saja, HS tidak menjawab. Dengan kondisi HS yang cenderung diam kalau diajak berkomunikasi SS merasa tertekan. Ia mempertanyakan dirinya sendiri, “bagaimana ke depan kalau tidak mau mengobrol sama sekali, kalau saya ada masalah dipendam sendiri dan diselesaiakan sendiri. Hidup dengan gaji saya sendiri”.

Tentang persoalan seksual, dalam beberapa tahun terakhir HS juga jarang melakukannya. SS pernah curhat kepada saudara HS tentang persoalan seksual, saudaranya justru menanyakan “kenapa suami yang tidak mengajak duluan?” SS menjawab, “kalau saya mengajak, tangan saya ditepis, kalau HS dipeluk juga tidak mau”, sehingga SS merasa bahwa sekan-akan dia bukan istrinya. SS waktu itu khawatir, kalau ia tidak mengajak berhubungan HS maka mungkin akan pindah ke yang lain.

Pada awal perkawinan SS dan HS sebagaimana hubungan suami istri pada umumnya melakukan hubungan seksual, walaupun SS yang selalu mendahului mangajaknya. Namun pada beberapa tahun terakhir HS jarang sekali melakukan hubungan seksual, bisa 4-5 bulan sekali. Ketika mediasi di PA, hal tersebut juga sempat ditanyakan mediator kata HS, “karena ada anak”. Selanjutnya mediator memberi jawaban, “anak ko jadi alasan”.

Setelah mempunyai anak, HS sepertinya merasa keenakan, enjoy dengan dirinya sendiri dan kurang memperhatikan kebutuhan keluarga, untuk makan sehari-hari menggunakan uang istri. Kalau HS ditanya tentang gaji dan bonus justru terjadi percekcokan. Menurut SS, asalkan transparan dalam membagi-bagi keuangan untuk

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 149

keluarga dan anak tidak menjadi persoalan, sampai sekarangpun akan dipertahankan keluarganya. Namun karena tidak transparan, tidak ada komunikasi yang baik dalam kehidupan keluarga sehingga SS memberanikan diri untuk mengajukan ke PA.

Dalam proses pengajuan cerai, SS sudah dua kali mengajukan ke PA. Pengajuan yang pertama baru sampai pendaftaran di PA, kemudian dicabut kembali, karena dinasehatin orang tua agar dikomunikasikan lagi, karena hanya masalah ekonomi. Sebab menurut orang tuanya itu masalah sepele yang masih dapat diperbaiki, padahal menurut SS sesungguhnya permasalahan tersebut sudah memberatkannya.

Setelah SS berdamai dengan suami, dua minggu pertama kelihatan harmonis, namun pada minggu berikutnya persoalan-persoalan dalam rumah tangganya muncul kembali hingga berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Ketika SS berkomunikasi dengan suami untuk sama-sama menyelesaikan permasalahnnya, HS diam saja. Akhirnya SS mendaftarkan gugatannya ke PA yang ke dua.

Pada waktu sidang di PA, sempat terjadi mediasi, namun HS tidak dapat mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang menjadi beban penggugat, baik dengan SS maupun dengan orang tuanya. Persoalan yang perlu dikomunikasikan pada kasus SS dan SM antara lain, masalah nafkah, dan hubungan sexual. Terkait masalah nafkah, HS seringkali lupa dengan tanggung jawab anak dan istrinya. Menurut pengakuan ibu SS, ketika jumlah uang di ATM HS hanya cukup untuk membayar rumah, maka akan diberikan ke istri, namun ketika ATM

Ketika HS ditanyakan kenapa diam saja, HS tidak menjawab. Dengan kondisi HS yang cenderung diam kalau diajak berkomunikasi SS merasa tertekan. Ia mempertanyakan dirinya sendiri, “bagaimana ke depan kalau tidak mau mengobrol sama sekali, kalau saya ada masalah dipendam sendiri dan diselesaiakan sendiri. Hidup dengan gaji saya sendiri”.

Tentang persoalan seksual, dalam beberapa tahun terakhir HS juga jarang melakukannya. SS pernah curhat kepada saudara HS tentang persoalan seksual, saudaranya justru menanyakan “kenapa suami yang tidak mengajak duluan?” SS menjawab, “kalau saya mengajak, tangan saya ditepis, kalau HS dipeluk juga tidak mau”, sehingga SS merasa bahwa sekan-akan dia bukan istrinya. SS waktu itu khawatir, kalau ia tidak mengajak berhubungan HS maka mungkin akan pindah ke yang lain.

Pada awal perkawinan SS dan HS sebagaimana hubungan suami istri pada umumnya melakukan hubungan seksual, walaupun SS yang selalu mendahului mangajaknya. Namun pada beberapa tahun terakhir HS jarang sekali melakukan hubungan seksual, bisa 4-5 bulan sekali. Ketika mediasi di PA, hal tersebut juga sempat ditanyakan mediator kata HS, “karena ada anak”. Selanjutnya mediator memberi jawaban, “anak ko jadi alasan”.

Setelah mempunyai anak, HS sepertinya merasa keenakan, enjoy dengan dirinya sendiri dan kurang memperhatikan kebutuhan keluarga, untuk makan sehari-hari menggunakan uang istri. Kalau HS ditanya tentang gaji dan bonus justru terjadi percekcokan. Menurut SS, asalkan transparan dalam membagi-bagi keuangan untuk

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim150

dipegang SS, herannya HS selalu cemberut. Bahkan karena persoalan ekonomi SS pernah ditendang kepanya oleh HS di depan orang tuanya.

Pada pengajuan yang kedua keluarga SS berupaya melindungi anak semata wayangnya, karena telah mengetahui persoalan yang sesungguhnya dan melihat dengan jelas kelakuan HS. Selanjutnya orang tua SS hanya menyerahkan persoalan gugatan tersebut ke SS yang pada akhirnya surat CG bisa dikabulkan oleh hakim PA Cilegon. Setelah terjadi perceraian, menurut kedua orang tuanya, mantan suami masih merasa tidak bersalah, bahkan kedua orang tua SS merasa heran dengan ketidakpahamannya tersebut.

3. Pasangan SL (Istri) dan AK (suami).

SL berumur 25 tahun, pendidikan S1, Agama Islam, pekerjaan mengurus Rumah Tangga, tempat kediaman di Link. Tegal Padang, Rt. 03, Rw. 03, Kelurahan Kebondalem Kecamatan Purwakarta Kota Cilegon.

Ia punya prinsip tidak mau berpacaran. Menikah merupakan ibadah sehingga setelah mengenal AK selama sekitar 4 bulan kemudian menikah. Selama proses perkenalan tersebut, ia sesungguhnya belum begitu mengenal kepribadianya, namun karena karena dorongannya yang kuat akhirnya SL dan AK menikah.

SL menikah dengan AK atas keinginannya sendiri. Sebelum menikah SL pernah dinasihati oleh temannya ketika meminta respon terhadap calon suaminya walaupun temannya belum pernah bertemu dengan AK, agar SL bersabar dengan kondisi calon suaminya. Karena

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 151

menurut perhitungannya, AK mempunyai watak yang keras.

Menurut Sy (ibu SL) pada awal mengenal AK "seperti orang bener", Sy juga merasa "seperti ragu-ragu mau menikahkan anaknya dengan SL, karena kelihatannya tidak serius" namun dengan meyakinkan, SL dapat menenangkan keragu-raguan para pihak yang kurang yakin terhadap keseriusan SL untuk menikah dengan AK. Dengan keyakinan tersebut SL berharap bahwa AK adalah suami pertama dan terakhir baginya.

AK bekerja di PT Satomer Cilegon sebagai pegawai kontrak. Setelah menikah dengan SL, mereka tinggal di rumah orang tuanya. Namun semenjak menikah dalam keseharian AK mulai terlihat watak aslinya yang keras. Selama hidup berumah tangga SL tidak pernah tahu berapa jumlah gaji suaminya. Ketika AK mendapatkan gaji, paling banyak diberikan kepada istri hanya satu juta dan selanjutnya hanya sekitar 200-300 ribu sebulan. Ketika AK dikonfirmasi tentang penghasilannya untuk apa saja, kemudian berakhir dengan pertengakaran.

Sehari menginap di rumah mertua, dua hari AK menginap di rumah orang tuanya. Kadang dua hari menginap di rumah mertua, 4 hari menginap di rumah orang tua. Dengan keadaan demikian, SL menyarankan ke AK untuk mengontrak agar keluarga lebih mandiri, namun AK selalu menolaknya.

Hari demi hari selalu ada permasalahan dalam kehidupan rumah tangga SL yang tidak bisa diselesaikan. Bahkan dengan hal-hal kecil misalnya ingin berangkat kondangan bersama suami selalu diawali dengan

dipegang SS, herannya HS selalu cemberut. Bahkan karena persoalan ekonomi SS pernah ditendang kepanya oleh HS di depan orang tuanya.

Pada pengajuan yang kedua keluarga SS berupaya melindungi anak semata wayangnya, karena telah mengetahui persoalan yang sesungguhnya dan melihat dengan jelas kelakuan HS. Selanjutnya orang tua SS hanya menyerahkan persoalan gugatan tersebut ke SS yang pada akhirnya surat CG bisa dikabulkan oleh hakim PA Cilegon. Setelah terjadi perceraian, menurut kedua orang tuanya, mantan suami masih merasa tidak bersalah, bahkan kedua orang tua SS merasa heran dengan ketidakpahamannya tersebut.

3. Pasangan SL (Istri) dan AK (suami).

SL berumur 25 tahun, pendidikan S1, Agama Islam, pekerjaan mengurus Rumah Tangga, tempat kediaman di Link. Tegal Padang, Rt. 03, Rw. 03, Kelurahan Kebondalem Kecamatan Purwakarta Kota Cilegon.

Ia punya prinsip tidak mau berpacaran. Menikah merupakan ibadah sehingga setelah mengenal AK selama sekitar 4 bulan kemudian menikah. Selama proses perkenalan tersebut, ia sesungguhnya belum begitu mengenal kepribadianya, namun karena karena dorongannya yang kuat akhirnya SL dan AK menikah.

SL menikah dengan AK atas keinginannya sendiri. Sebelum menikah SL pernah dinasihati oleh temannya ketika meminta respon terhadap calon suaminya walaupun temannya belum pernah bertemu dengan AK, agar SL bersabar dengan kondisi calon suaminya. Karena

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim152

perselisihan. Tentang sholat dan puasa wajib juga selalu diingatkan yang terkadang ujung-ujungnya terjadi pertengkaran. Pernah satu saat puasa ramadhan di rumah sudah sahur, namun di rumah kakaknya ternyata makan siang, hal ini sudah beberapa kali terjadi. Walaupun demikian SL masih bisa bertahan dengan kondisi tersebut.

Hingga dua kali mediasi di rumah kakak ipar masih bisa berusaha mempertahankan pernikahan. Yang unik menurut SL semenjak mediasi yang pertama sesungguhnya kakak ipar sudah mendorong SL untuk menggugat ke Pengadilan Agama namun ia masih bertahan. Hingga setelah mediasi yang ke dua SL sudah merasa tidak mampu lagi untuk bisa mempertahankan biduk rumah tangganya, sehingga mengungkapkan kepada AK “yang mengajukan saya atau AK”, namun suami justru menyerahkan kepada SL untuk mengurus gugat cerainya dengan alasan tidak mempunyai biaya.

Kemudian SL mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama Cilegon diantar saudara iparnya. Proses pendaftaran dan sidang berjalan dengan lancar. Bahkan pada waktu akan sidang pertama AK juga dihubungi untuk bisa hadir dalam proses sidang, namun ternyata tidak bisa hadir begitupun dengan sidang ke dua tidak bisa hadir juga.

Sebagai penggugat, pada sidang pertama dan kedua SL membawa dua saksi dari pihak keluarga yang mengetahui duduk persoalannya. Sehingga mereka bisa menjelaskan kepada hakim bagaimana persoalan sesungguhnya yang terjadi dengan keluarga SL. Tidak ada mediasi dalam proses perceraian SL, karena AK tidak hadir dalam 2 persidangan. Karena tidak ada kehadiran

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 153

pihak tergugat, baik sidang pertama maupun ke dua, maka hakim mengabulkan gugatan SL.

SL merasa gembira setelah hakim mengabulkan permohonan gugatnnya. Namun dengan dikabulkannya gugatan tersebut, AK beberapa kali mengintimidasi lewat pesan SMS hingga sekitar dua bulanan. Karena dirasa sampai mengganggu probadi SL, maka ia meminta bantuan kakak iparnya untuk membantu menghentikan intimidasi tersebut dan berhasil menyelesaikannya.

Alasan Perceraian yang terjadi di Kota Cilegon

Fenomena perceraian yang terjadi di Kota Cilegon ini penulis menyadari alasan perceraian yang terjadi bukan alasan baru tetapi di saat-saat tersebut dibaca lewat paradigma sosiologis. Perubahan sosial budaya bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri, tetapi selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Terdapat dua faktor pendorong terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Kedua faktor itu adalah faktor pendorong yang datangnya dari luar masyarakat (ekstern) dan faktor dari mayarakat yang mengalami perubahan(intern).

Keluarga dalam hal ini suami istri seringkali berhadapan dengan perbedaan emosi, yang sewaktu-waktu berdampak positif ataupun negatif bagi keduanya. dalam situasi negatiflah keluarga akan mengalami guncangan, dan tidak sedikit dari mereka yang mengarah pada retaknya hubungan dan berakhir dengan perceraian.

Hidup berkeluarga tidak hanya mengandalkan cinta yang "abstarak" tetapi bagaimana membangun eksistensi keluarga dalam masyarakat dengan tidak menafikan unsur-

perselisihan. Tentang sholat dan puasa wajib juga selalu diingatkan yang terkadang ujung-ujungnya terjadi pertengkaran. Pernah satu saat puasa ramadhan di rumah sudah sahur, namun di rumah kakaknya ternyata makan siang, hal ini sudah beberapa kali terjadi. Walaupun demikian SL masih bisa bertahan dengan kondisi tersebut.

Hingga dua kali mediasi di rumah kakak ipar masih bisa berusaha mempertahankan pernikahan. Yang unik menurut SL semenjak mediasi yang pertama sesungguhnya kakak ipar sudah mendorong SL untuk menggugat ke Pengadilan Agama namun ia masih bertahan. Hingga setelah mediasi yang ke dua SL sudah merasa tidak mampu lagi untuk bisa mempertahankan biduk rumah tangganya, sehingga mengungkapkan kepada AK “yang mengajukan saya atau AK”, namun suami justru menyerahkan kepada SL untuk mengurus gugat cerainya dengan alasan tidak mempunyai biaya.

Kemudian SL mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama Cilegon diantar saudara iparnya. Proses pendaftaran dan sidang berjalan dengan lancar. Bahkan pada waktu akan sidang pertama AK juga dihubungi untuk bisa hadir dalam proses sidang, namun ternyata tidak bisa hadir begitupun dengan sidang ke dua tidak bisa hadir juga.

Sebagai penggugat, pada sidang pertama dan kedua SL membawa dua saksi dari pihak keluarga yang mengetahui duduk persoalannya. Sehingga mereka bisa menjelaskan kepada hakim bagaimana persoalan sesungguhnya yang terjadi dengan keluarga SL. Tidak ada mediasi dalam proses perceraian SL, karena AK tidak hadir dalam 2 persidangan. Karena tidak ada kehadiran

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim154

unsur di luar cinta seperti: harta kekayaan, anak, hiburan, hubungan yang harmonis dan lain-lain. Sehingga yang terpenting dari dasar keluarga adalah bagaimana membangun relasi mutualistik antara suami dan istri yang dibungkus dengan cinta dan kasih sayang, sebagaimana tertuang dalam teori pertukaran, bahwasannya perkawinan perkawinan perlu adanya jalinan pertukaran hak dan kewajiban antara suami-istri sehingga pada kondisi tertentu, dalam hal ini dapat memperkecil ruang perbedaan, dan memberikan ruang kesadaran kelebihan dan kekurangan yang dimiliki keduanya.

Sesuatu yang paling banyak dirasakan oleh pasangan dalam perkawinan adalah saat timbulnya ketidakpuasan dalam menjalani hidup bersama untuk membina keluarga. dengan menempuh jalan hidup masing-msaing dengan berbagai macam perkembangan dan motivasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Menurut Sohari, salah satu ulama di Kota Cilegon mengatakan bahwa, berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat, terdapat banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya perceraian, faktor pemicu munculnya perceraian dalam institusi keluarga lebih dominan disebabkan lemahnya pendidikan masyarakat. di samping itu terdapat faktor lain yang paling sering menimbulkan perceraian adalah faktor ekonomi keluarga (Sohari, Wawancara, 24 Mei 2015).

Proses di Pengadilan Agama yang singkat

Sesudah pembacaan surat dan anjuran damai tidak berhasil, ketua majelis akan menanyakan kepada tergugat, apakah ia akan menjawab lisan atau tulisan. Namun dalam 3 kasus cerai gugat di atas, hanya 1 kasus yang mengalami

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 155

tahapan replik-duplik yaitu kasus SK. Sejak saat itu, masuklah proses ke dalam tahap jawab menjawab, baik antara pihak dengan pihak maupun antara hakim dengan para pihak.

Untuk kasus SK ternyata juga tidak dapat diselesaikan dengan mediasi walaupun hakim sudah menyediakan hak dan bebas serta leluasa untuk membela hak dan kepentingan SS atas gugatan SK. Menurut ketua PA Kota Cilegon, kepada penggugat sesungguhnya diberi pula hak untuk menanggapi pembelaan tergugat, maka terjadilah dalam pemerikasaan persidangan suatu dialog langsung dalam bentuk replik duplik. Namun jawaban SS tidak bisa meyakinkan hakim sehingga keputusan hakim untuk mengabulkan gugatan SK terpenuhi.

Lain halnya kasus SS dan SL, pihak tergugat tidak mau menghadiri sidang pemeriksaan sekalipun sudah dipanggil secara patut dan resmi. Dalam hal seperti itu, Undang-undang memberi pengeculian. Hakim dapat menyelesaiakn perkara melalui proses Verstek sesuai dengan ketentuan pasal 125 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang berbunyi: ”Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.”. Atau bisa juga digunakan pasal 149 RBG (Reglement Buitengewesten) Pasal 149 untuk mempercepat penyelesaian perkawinan yang bermasalah. Dengan ketidak hadiran tanpa alasan yang sah, pemeriksaan tetap dilanjutkan hakim. Pemeriksaan seperti itu tetap dianggap bersifat contradictoir (tatacara pemeriksaan perkara mesti dilakukan jawab menjawab secara timbal balik). Sekalipun tanpa jawaban atau bantahan dari pihak yang tidak

unsur di luar cinta seperti: harta kekayaan, anak, hiburan, hubungan yang harmonis dan lain-lain. Sehingga yang terpenting dari dasar keluarga adalah bagaimana membangun relasi mutualistik antara suami dan istri yang dibungkus dengan cinta dan kasih sayang, sebagaimana tertuang dalam teori pertukaran, bahwasannya perkawinan perkawinan perlu adanya jalinan pertukaran hak dan kewajiban antara suami-istri sehingga pada kondisi tertentu, dalam hal ini dapat memperkecil ruang perbedaan, dan memberikan ruang kesadaran kelebihan dan kekurangan yang dimiliki keduanya.

Sesuatu yang paling banyak dirasakan oleh pasangan dalam perkawinan adalah saat timbulnya ketidakpuasan dalam menjalani hidup bersama untuk membina keluarga. dengan menempuh jalan hidup masing-msaing dengan berbagai macam perkembangan dan motivasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Menurut Sohari, salah satu ulama di Kota Cilegon mengatakan bahwa, berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat, terdapat banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya perceraian, faktor pemicu munculnya perceraian dalam institusi keluarga lebih dominan disebabkan lemahnya pendidikan masyarakat. di samping itu terdapat faktor lain yang paling sering menimbulkan perceraian adalah faktor ekonomi keluarga (Sohari, Wawancara, 24 Mei 2015).

Proses di Pengadilan Agama yang singkat

Sesudah pembacaan surat dan anjuran damai tidak berhasil, ketua majelis akan menanyakan kepada tergugat, apakah ia akan menjawab lisan atau tulisan. Namun dalam 3 kasus cerai gugat di atas, hanya 1 kasus yang mengalami

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim156

hadir, hal itu seperti dalam ketentuan pasal 127 HIR atau pasal 151 RGB.

Dalam kasus yang seperti SL dan SS pemeriksaan perkara tidak perlu diundur. Dapat tetap dilanjutkan walaupun pihak lawan tidak hadir. Karena dalam hal seperti itu, pihak yang tidak hadir dianggap pihak sungguh-sungguh tidak lagi membela kepentingannya dalam perkara yang bersangkutan. Dia dianggap sudah menerima apa saja yang dikemukakan pihak lawan.

Faktor Penyebab Istri Menggugat Cerai Suami

Di dalam sebuah perceraian sering kita jumpai banyak faktor-faktor atau penyebab terjadinya perceraian itu sendiri. Menurut data PA Kota Cilegon dari tahun 2011-2013, tiga penyebab tertinggi terjadinya perceraian dapat dilihat sebagi berikut:

Penyebab Tertinggi Perceraian

di PA Kota Cilegon Tahun 2011-2013

No Penyebab Perceraian 2011 2012 2013 1 Ekonomi 79 115 250 2 Tidak Harmonis 149 169 98 3 Tidak Ada Tanggung Jawab 65 81 87

Setelah melihat data Pengadilan Agama Kota Cilegon, faktor ekonomi menduduki posisi tertinggi mengenai penyebab terjadinya perceraian, kemudian tidak harmonis dan menyusul tidak adanya tanggung jawab. Namun demikian dari hasil wawancara dengan SM, Yd, SK, dan SL sebagai narasumber utama penelitian ini, terdapat beberapa

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 157

sebab yang melatarbelakangi terjadinya cerai gugat di antaranya:

1. Adanya nusyus (durhaka), yaitu sikap tak acuh baik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau sikap istrinya terhadap suaminya, yang semuanya (suami-istri) tidak lagi mengindahkan antara kewajiban dan hak masing-masing.

2. Suami tidak pandai mengambil i’tibar dari latar belakang kehidupan istri sebelum mempersuntingnya padahal, pemberian nafkah yang berlatar belakang kaya seharusnya tidak sama dengan istri yang berlatar belakang miskin.

3. Suami berwatak kikir dalam pemberian nafkah.

4. Keluarga suami terlalu banyak mencampuri urusan anak yang sudah berumah tangga.

5. Ketergantungan suami kepada orangtuanya, sehingga ia tidak berani mengambil keputusan-keputusan mengenai rumah tangganya tanpa lebih dahulu meminta pertimbangan orang tuanya atau meniru tindakan orang tuanya yang pernah dialaminya.

6. Adanya salah pengertian, salah sangka di antara suami istri.

7. Adanya faktor akhlak. Dengan pesatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain menguntungkan tetapi di sisi lainnya merugikan membawa kehancuran ahlak.

8. Gagal dalam berkomunikasi dengan pasangannya.

9. Tidak ada yang mau mengalah.

hadir, hal itu seperti dalam ketentuan pasal 127 HIR atau pasal 151 RGB.

Dalam kasus yang seperti SL dan SS pemeriksaan perkara tidak perlu diundur. Dapat tetap dilanjutkan walaupun pihak lawan tidak hadir. Karena dalam hal seperti itu, pihak yang tidak hadir dianggap pihak sungguh-sungguh tidak lagi membela kepentingannya dalam perkara yang bersangkutan. Dia dianggap sudah menerima apa saja yang dikemukakan pihak lawan.

Faktor Penyebab Istri Menggugat Cerai Suami

Di dalam sebuah perceraian sering kita jumpai banyak faktor-faktor atau penyebab terjadinya perceraian itu sendiri. Menurut data PA Kota Cilegon dari tahun 2011-2013, tiga penyebab tertinggi terjadinya perceraian dapat dilihat sebagi berikut:

Penyebab Tertinggi Perceraian

di PA Kota Cilegon Tahun 2011-2013

No Penyebab Perceraian 2011 2012 2013 1 Ekonomi 79 115 250 2 Tidak Harmonis 149 169 98 3 Tidak Ada Tanggung Jawab 65 81 87

Setelah melihat data Pengadilan Agama Kota Cilegon, faktor ekonomi menduduki posisi tertinggi mengenai penyebab terjadinya perceraian, kemudian tidak harmonis dan menyusul tidak adanya tanggung jawab. Namun demikian dari hasil wawancara dengan SM, Yd, SK, dan SL sebagai narasumber utama penelitian ini, terdapat beberapa

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim158

Dampak Cerai Gugat pada Istitusi Keluarga

Dari tiga kasus di atas yang secara singkat telah diuraikan, walaupun kelihatannya terasa berat untuk diambil keputusan, namun itulah keputusan yang sudah diambil apapun resikonya. Bagi ketiga kasus di atas secara ekonomi tidak tampak pengaruh bagi keluarganya, karena masing-masing sudah mempunyai pekerjaan. Mereka berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri, walaupun kemudian mereka tinggal bersama orang tua masing-masing.

Untuk kasus SM dan SS ketika terjadi perceraian sudah mempunyai anak, masing-masing 1 orang. Menurut pengakuan keduanya semua kebutuhan anak-anak mereka tercukupi, walau tidak dikasih nafkah oleh mantan suami masing-masing. Bahkan ketika peneliti bertanya tentang bapaknya kepada anak SM yang sekarang telah berumur 5 tahun, ia mengatakan tidak mau bertemu dengan bapaknya.

Begitu juga dengan anak SS yang telah berusia sekitar 3 tahun terlihat gembira bersama ibu dan nenek/kakeknya. Anak-anak mereka kelihatan tidak tertekan bersama ibu, namun secara sekilas ketika peneliti menanyakan tentang bapak mereka kelihatannya mereka malu-malu. SM dan SS sampai sekarang tidak habis pikir kenapa mantan suami mereka berperilaku kasar, masa bodoh dll terhadap mereka ketika menjadi istrinya. Namun mereka merasa senang karena bisa terlepas dari belenggu laki-laki yang sering menyakiti mereka, walaupun demikian mereka juga berterimakasih telah bidsa dikarunia satu anak. Kemudian mereka berharap agar kelak ketika mempunyai suami dapat mendapatkan yang lebih baik lagi.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 159

Peran Lembaga dalam Kasus Cerai Gugat

Terwujudnya keluarga sakinah disadari pemerintah merupakan cikal bakal lahirnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera materiil dan spiritual. Ada beberapa struktur sosial yang berperan dalam pembinaan perkawinan perkawinan dan perceraian. KUA sebagai lembaga keagamaan di Kecamatan, berperan menciptakan kebahagiaan pasangan suami isteri. Namun mencermati 3 kasus di atas rata-rata mereka mendapatkan bimbingan suscatin sekitar 15 menit sampai 1 jam, sehingga bekal mereka dalam menempuh hidup berumah tangga merasa kurang terpenuhi. Begitupun setelah mereka menikah, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama tidak pernah memberikan bimbingan pasca menikah sehingga seakan-akan mereka merasa dibiarkan. Mereka berharap agar setelah menikah ada semacam workshop atau pelatihan bagi rumah tangga baru.

Adanya lembaga penasihatan perkawinan perkawinan yang bertujuan mewujudkan keluarga sakinah yaitu Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan Perkawinan (BP­4) juga tidak bisa berjalan dengan baik “Laa yamuutu wa laa yahyaa”, tidak bisa bermutu karena tidak ada biaya, karena wujudnya ada namun tidak berperan dalam masyarakat khususnya Kota Cilegon.

Pengadilan Agama setelah pindah ke Mahkamah Agung mengalami perubahan struktural yang signifikan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tugas PA meliputi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara umat Islam dalam bidang pernikahanpernikahan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi Syariah. Setiap hari Pengadilan Agama Kota Cilegon menerima dan menyelesaikan banyak kasus-kasus tersebut. Namun ketika

Dampak Cerai Gugat pada Istitusi Keluarga

Dari tiga kasus di atas yang secara singkat telah diuraikan, walaupun kelihatannya terasa berat untuk diambil keputusan, namun itulah keputusan yang sudah diambil apapun resikonya. Bagi ketiga kasus di atas secara ekonomi tidak tampak pengaruh bagi keluarganya, karena masing-masing sudah mempunyai pekerjaan. Mereka berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri, walaupun kemudian mereka tinggal bersama orang tua masing-masing.

Untuk kasus SM dan SS ketika terjadi perceraian sudah mempunyai anak, masing-masing 1 orang. Menurut pengakuan keduanya semua kebutuhan anak-anak mereka tercukupi, walau tidak dikasih nafkah oleh mantan suami masing-masing. Bahkan ketika peneliti bertanya tentang bapaknya kepada anak SM yang sekarang telah berumur 5 tahun, ia mengatakan tidak mau bertemu dengan bapaknya.

Begitu juga dengan anak SS yang telah berusia sekitar 3 tahun terlihat gembira bersama ibu dan nenek/kakeknya. Anak-anak mereka kelihatan tidak tertekan bersama ibu, namun secara sekilas ketika peneliti menanyakan tentang bapak mereka kelihatannya mereka malu-malu. SM dan SS sampai sekarang tidak habis pikir kenapa mantan suami mereka berperilaku kasar, masa bodoh dll terhadap mereka ketika menjadi istrinya. Namun mereka merasa senang karena bisa terlepas dari belenggu laki-laki yang sering menyakiti mereka, walaupun demikian mereka juga berterimakasih telah bidsa dikarunia satu anak. Kemudian mereka berharap agar kelak ketika mempunyai suami dapat mendapatkan yang lebih baik lagi.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim160

peneliti mengikuti beberapa sidang perceraian kelihatannya belum maksimal dalam menanganinya, banyak persoalan-persoalan yang perlu ditelusuri dari masing-masing kasus yang diajukan masyarakat, namun karena keterbatasan SDM beberapa kasus seperti dianggap sama saja padahal perlu penangan khusus.

PENUTUP

Berdasarkan hasil temuan penelitian di atas, ada tiga kesimpulan yang dapat disampaikan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian dan tiga rekomendasi, antara lain:

Kesimpulan

1. Ada beberapa faktor terjadinya cerai gugat, faktor tersebut tidak berdiri sendiri seperti yang disebutkan dalam hasil putusan PA, namun berkaitan antara satu dengan yang lainnya diantaranya adalah adanya nusyus (durhaka), baik suami, maupun istri; suami tidak pandai mengambil i’tibar dari latar belakang kehidupan istri sebelumnya; suami berwatak kikir dalam pemberian nafkah; keluarga suami terlalu banyak mencampuri urusan anak yang sudah berumah tangga; ketergantungan suami kepada orangtuanya; adanya salah pengertian, salah sangka di antara suami istri; adanyakemerosotan akhlak; gagal dalam berkomunikasi dengan pasangannya dan; tidak ada yang mau mengalah.

2. Dampak perceraian dari ketiga kasus di atas ada yang positif dan ada yang negative. Yang positif adalah istri dapat memperoleh status hukum yang jelas sehingga dapat melanjutkan kehidupan yang lebih baik; terbebas dari perseteruan yang terus berlangsung dengan suami;

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 161

terbebas dari kekerasan fisik, psikologis, financial, seksual dan spiritual; dapat bekerja lebih giat untuk membesarkan dan mendidik anaknya walaupun tidak bersama bapaknya. Sedangkan dampak negative nya antara lain: tumbuh kembang anak kurang perhatian dari seorang ayah karena jarang bertemu; tidak ada nafkah dari ayahnya dan; diteror oleh mantan suami.

3. Kondisi sosial masyarakat Kota Cilegon sangat berpengaruh terhadap pola perceraian di masyarakat Cilegon. Tindakan perceraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Cilegon sangat kental dengan manusia modernitas. Ekonomi adalah salah satu variabel penting bagi masyarakat modern ternyata ia telah menjadi problem perceraian. Penduduk Masyarakat Kota Cilegon termasuk ke dalam kategori masyarakat semi modern, di mana daerah ini merupakan pusat pemerintahan maupun pusat pergerakan ekonomi. Dengan demikian menjadi suatu keharusan bagi penduduk dan masyarakatnya untuk menyesuaikan diri dengan konteks perubahan sosial. Konteks sosial inilah yang pada akhirnya banyak membentuk masyarakat Kota Cilegon untuk memiliki orientasi hidup yang pragmatis dan relistis. Artinya sejauh tindakannya dapat membuat ia bertahan dan hidup nikmat di dalam modernitas, ia akan tetap terjaga dan pertahankan begitu pula sebaliknya. Jika suatu perubahan dapat membuat mereka merasa sengsara, mereka akan meninggalkannya termasuk juga dengan problem keluarga pada masyarakat Kota Cilegon di saat hidupnya mereka mapan dan bisa eksis dalm konteks perubahan sosial, mereka akan tetap bertahan kelestarian hidup rumah tangga dan jika tidak, maka perceraian adalah jalan alternatifnya.

peneliti mengikuti beberapa sidang perceraian kelihatannya belum maksimal dalam menanganinya, banyak persoalan-persoalan yang perlu ditelusuri dari masing-masing kasus yang diajukan masyarakat, namun karena keterbatasan SDM beberapa kasus seperti dianggap sama saja padahal perlu penangan khusus.

PENUTUP

Berdasarkan hasil temuan penelitian di atas, ada tiga kesimpulan yang dapat disampaikan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian dan tiga rekomendasi, antara lain:

Kesimpulan

1. Ada beberapa faktor terjadinya cerai gugat, faktor tersebut tidak berdiri sendiri seperti yang disebutkan dalam hasil putusan PA, namun berkaitan antara satu dengan yang lainnya diantaranya adalah adanya nusyus (durhaka), baik suami, maupun istri; suami tidak pandai mengambil i’tibar dari latar belakang kehidupan istri sebelumnya; suami berwatak kikir dalam pemberian nafkah; keluarga suami terlalu banyak mencampuri urusan anak yang sudah berumah tangga; ketergantungan suami kepada orangtuanya; adanya salah pengertian, salah sangka di antara suami istri; adanyakemerosotan akhlak; gagal dalam berkomunikasi dengan pasangannya dan; tidak ada yang mau mengalah.

2. Dampak perceraian dari ketiga kasus di atas ada yang positif dan ada yang negative. Yang positif adalah istri dapat memperoleh status hukum yang jelas sehingga dapat melanjutkan kehidupan yang lebih baik; terbebas dari perseteruan yang terus berlangsung dengan suami;

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim162

Rekomendasi

1. KUA perlu membuat format pembinaan suscatin dan pasca menikah yang lebih mengena bagi masyarakat dengan membuat modul atau buku yang praktis sebagai pegangan bagi mereka.

2. Dengan kurang berperannya BP4 dalam pembinaan pernikahanpernikahan, perlu formulasi yang lebih praktis agar BP4 bisa berkiprah di masyarakat, oleh karena itu dukungan dari pemerintah, baik Pemda maupun Pusat secara financial perlu disegerakan.

3. PA hendaknya tidak hanya mempercepat penyelesaian perkawinan perkawinan yang bermasalah, akan tetapi agar memberi pengaruh yang positif seperti yang dicita-cita Undang-undang Perkawinan Perkawinan yang pada azasnya mempersulit terjadinya perceraian.

Daftar Narasumber

1 SM Narasumber Utama-1

2 SS Narasumber Utama-2

3 SL Narasumber Utama-3

4 SA Narasumber Sekunder-1 (Kakak kandung SM)

5 Sm Narsumber Sekunder-1 (Ibu kandung SM)

6 Yd Narsumber Sekunder-1 (Mantan suami SM)

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 163

7 KM Narsumber Sekunder-1 (Orang tua Yd)

8 KD Narsumber Sekunder-2 (Ibu kandung SS)

9 MN Narsumber Sekunder-2 (Adenya Ibu SS)

10 Sw Narsumber Sekunder-3 (Ibu kandung SL)

11 Dr. H. Sohari, M.H.MM

Tokoh Agama (MUI Kota Cilegon)

12 H. Abas, S.Pd.MM Kep.KUA Pulau Merak

13 H.Muslih, S.Ag Kep.KUA Kec.Cilegon

14 Drs.H.Kholilurrohman, MM

Kep.KUA Kec.Citangkil

15 A.Uzair Rohman Kep.KUA Kec.Grogol

16 H.A. Kholilurrohman Penghulu KUA Kec.Jombang

17 Drs. Muslim, SH.MA Wakil Ketua PA Cilegon

18 H. Isomudin, SH, M.Pd Kasi Bimas Islam Kota Cilegon

19 Dra. Hj. Kurniatin Koswara, Psi

Ormas Perempuan P3KC

20 Nisaul Istiqomah, S.Psi,

Ormas Perempuan P3KC

21 Yasmita PA Kota Cilegon

Rekomendasi

1. KUA perlu membuat format pembinaan suscatin dan pasca menikah yang lebih mengena bagi masyarakat dengan membuat modul atau buku yang praktis sebagai pegangan bagi mereka.

2. Dengan kurang berperannya BP4 dalam pembinaan pernikahanpernikahan, perlu formulasi yang lebih praktis agar BP4 bisa berkiprah di masyarakat, oleh karena itu dukungan dari pemerintah, baik Pemda maupun Pusat secara financial perlu disegerakan.

3. PA hendaknya tidak hanya mempercepat penyelesaian perkawinan perkawinan yang bermasalah, akan tetapi agar memberi pengaruh yang positif seperti yang dicita-cita Undang-undang Perkawinan Perkawinan yang pada azasnya mempersulit terjadinya perceraian.

Daftar Narasumber

1 SM Narasumber Utama-1

2 SS Narasumber Utama-2

3 SL Narasumber Utama-3

4 SA Narasumber Sekunder-1 (Kakak kandung SM)

5 Sm Narsumber Sekunder-1 (Ibu kandung SM)

6 Yd Narsumber Sekunder-1 (Mantan suami SM)

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim164

DAFTAR BACAAN

Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan. Jakarta: Penerbit Balanoor, tahun 2011

Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.Tahun 2007

Badan Pusat Statistik Kota Cilegon, Cilegon Dalam Angka Tahun 2014

Badan Peradilan Agama MA RI, 2014.

Cammack, M. dan T. Heaton. 2011. Kemajuan terbaru dalam Perceraian di Indonesia: Idealisme perkembangan dan Pengaruh Perubahan Politik. Makalah dalam Asian Journal of Social Science 39.

Departemen Agama RI. Pedoman Penghulu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Jakarta, Tahun 2008

Erna Karim, “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”. Dalam Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Ernaningsih, Wahyu dan Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 2009. Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang.

Ihromi, Tapi Omas (ed). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural. Yogyakarta: LkiS.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan. Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 165

Permatasari, Dewi. 2009. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pengambilan Keputusan Seorang Isteri untuk Mengajukan Gugatan Cerai. Skripsi di Program Studi Psikologi Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke Enam. Jakarta: Kencana.

Said, Fuad. 1993. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Putaka Husna.

Peraturan dan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang PernikahanPernikahan

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang PernikahanPernikahan

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

DAFTAR BACAAN

Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan. Jakarta: Penerbit Balanoor, tahun 2011

Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.Tahun 2007

Badan Pusat Statistik Kota Cilegon, Cilegon Dalam Angka Tahun 2014

Badan Peradilan Agama MA RI, 2014.

Cammack, M. dan T. Heaton. 2011. Kemajuan terbaru dalam Perceraian di Indonesia: Idealisme perkembangan dan Pengaruh Perubahan Politik. Makalah dalam Asian Journal of Social Science 39.

Departemen Agama RI. Pedoman Penghulu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Jakarta, Tahun 2008

Erna Karim, “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”. Dalam Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Ernaningsih, Wahyu dan Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 2009. Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang.

Ihromi, Tapi Omas (ed). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural. Yogyakarta: LkiS.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan. Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim166

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 167

MEMAHAMI REALITAS TREN CERAI GUGAT DI INDRAMAYU

Oleh: Abd. Jamil Wahab & Fakhruddin

GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN

Kabupaten Indramayu adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan ibukotanya Indramayu yang sekaligus sebagai pusat pemerintahan. Secara geografis, Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 313 desa dan kelurahan. Hari jadi Kabupaten Indramayu jatuh pada 7 Oktober 1527.

Indramayu dilintasi jalur pantura, yakni salah satu jalur terpadat di Pulau Jawa, terutama pada musim mudik. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api lintas utara Pulau Jawa, stasiun kereta api terbesar di Indramayu adalah Stasiun Jatibarang yang berada di Jatibarang, sekitar 19 km di selatan Kota Indramayu. Titik keramaian yang ada di Indramayu terletak di Jatibarang.Beberapa kota-kota penting di wilayah kabupaten Indramayu di antaranya adalah Indramayu, Jatibarang, Haurgeulis, Patrol, dan Karangampel. Walaupun Indramayu berada di Jawa Barat yang notabene adalah tanah Pasundan yang berbudaya dan berbahasa Sunda, namun sebagian besar penduduk Indramayu berbahasa Jawa khas Indramayu, masyarakat setempat menyebutnya dengan Dermayon, yakni dialek

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim168

Bahasa Jawa yang hampir serupa dengan Dialek Cirebon dan Serang Banten.

Namun demikian, di bagian selatan dan barat daya kabupaten ini menggunakan bahasa Sunda, mengingat kabupaten Indramayu itu sendiri berada di Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan budaya Sunda. Kabupaten Indramayu dilalui jalur utama pantura, yakni jalur nomor satu sebagai uratnadi perekonomian pulau Jawa, jalur pantura Indramayu mulai dari ruas Partol-Lohbener-Jatibarang-Sukagumiwang. Sebagai jalur alternatif bisa juga menggunakan jalur pantura Jatibarang-Karangampel-Krangkeng yang menuju ke arah Cirebon, atau melalui jalur Lohbener lalu ke kota Indramayu kemudian ke Karangampel diteruskan ke arah Cirebon. Oleh karena Indramayu dilalui oleh jalur utama pantura, maka wilayah Indramayu menjadi tempat persinggahan dan perantau-an dari daerah di timur PulauJawa, sehingga tidak heran jika Indramayu menjadi salah satu wilayah Jawa Barat yang berbahasa Jawa.

Gambar 1 Peta Kabupaten Indramayu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 169

Data Demografi

Jumlah Penduduk (2013) adalah 1.690.977 Jiwa, dengan luas wilayah: 2.092,10 (km2). Adapun kepadatan Penduduk adalah 805,44 Orang/km2.Jumlah terbesar penduduk adalah berada di Kecamatan Kandanghaur, Haurgeulis, Anjatan, dan Juntinyuat (di atas 40 ribu).Sedangkan jumlah penduduk terkecil adalah berada di Kecamatan Pasekan, Bangodua, dan Cantigi (dibawah 15 ribu).

Kondisi Sosial Ekonomi

Data survei terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011 menempatkan provinsi DKI Jakarta sebagai provinsi dengan peringkat IPM tertinggi di Indonesia, yaitu 77,97. Pada peringkat lima tertinggi selanjutnya, ditempati oleh provinsi Sulawesi Utara (IPM=76,54), Riau (76,53), DI Yogyakarta (76,32) dan Kalimantan Timur (76,22). Sementara itu, peringkat lima terbawah diduduki oleh provinsi Papua (IPM=65,36), Nusa Tenggara Barat (66,23), Nusa Tenggara Timur (67,75), Maluku Utara (69,47), dan Irian Jaya Barat (69,65). Secara nasional, rata-rata IPM Indonesia adalah sebesar 72,77, dengan provinsi Bali (IPM=72,84) dan Jawa Barat (72,73) yang berada di sekitar rata-rata IPM nasional.

IPM atau HDI (Human Development Index) adalah pengukuran perbandingan dari angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk suatu kelompok masyarakat di suatu wilayah tertentu. Secara umum, IPM dapat pula dikatakan sebagai angka yang menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat yang meliputi bidang kesehatan, pendidikan dan pendapatan masyarakat. IPM

Bahasa Jawa yang hampir serupa dengan Dialek Cirebon dan Serang Banten.

Namun demikian, di bagian selatan dan barat daya kabupaten ini menggunakan bahasa Sunda, mengingat kabupaten Indramayu itu sendiri berada di Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan budaya Sunda. Kabupaten Indramayu dilalui jalur utama pantura, yakni jalur nomor satu sebagai uratnadi perekonomian pulau Jawa, jalur pantura Indramayu mulai dari ruas Partol-Lohbener-Jatibarang-Sukagumiwang. Sebagai jalur alternatif bisa juga menggunakan jalur pantura Jatibarang-Karangampel-Krangkeng yang menuju ke arah Cirebon, atau melalui jalur Lohbener lalu ke kota Indramayu kemudian ke Karangampel diteruskan ke arah Cirebon. Oleh karena Indramayu dilalui oleh jalur utama pantura, maka wilayah Indramayu menjadi tempat persinggahan dan perantau-an dari daerah di timur PulauJawa, sehingga tidak heran jika Indramayu menjadi salah satu wilayah Jawa Barat yang berbahasa Jawa.

Gambar 1 Peta Kabupaten Indramayu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim170

digunakan untuk mengggolongkan suatu masyarakat, apakah termasuk maju, berkembang atau terbelakang, dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Gambar 3

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2), dan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat

Tahun 2013

Kabupaten/Kota 2013 (September)

Jumlah Penduduk

Miskin (000)

Persentase Penduduk Miskin (%)

P1 P2 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bulan)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Bogor 499,1 9,54 1,39 0,33 271 970 Sukabumi 222,8 9,24 1,50 0,38 240 188 Cianjur 267,9 12,02 1,70 0,39 264 580 Bandung 271,7 7,94 1,13 0,25 256 733 Garut 320,9 12,79 1,73 0,41 226 308 Tasikmalaya 199,3 11,57 1,47 0,28 237 114 Ciamis 133,0 8,62 1,28 0,29 270 515 Kuningan 139,4 13,34 2,09 0,47 261 858 Cirebon 307,2 14,65 2,09 0,46 300 990 Majalengka 164,9 14,07 2,24 0,55 353 727 Sumedang 127,4 11,31 1,48 0,32 260 160 Indramayu 251,1 14,99 2,02 0,47 350 455 Subang 185,4 12,35 1,69 0,41 272 854 Purwakarta 83,6 9,28 1,41 0,32 271 270 Karawang 238,6 10,69 1,55 0,36 335 273 Bekasi 157,7 5,20 0,77 0,18 361 510 Bandung Barat 206,0 12,92 2,29 0,64 256 789 Kota Bogor 83,3 8,19 1,13 0,21 360 518 Kota Sukabumi 25,2 8,05 1,17 0,25 411 523 Kota Bandung 117,7 4,78 0,48 0,08 340 355 Kota Cirebon 31,9 10,54 1,11 0,20 334 439 Kota Bekasi 137,8 5,33 0,73 0,16 449 026 Kota Depok 45,9 2,32 0,26 0,06 443 302 Kota Cimahi 32,3 5,63 1,09 0,29 347 234 Kota Tasikmalaya 112,2 17,19 2,57 0,63 337 841 Kota Banjar 12,8 7,11 1,33 0,31 250 311 Jawa Barat 4 375,2 9,61 1,65 0,44 276 825 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 171

ASUMSI DAN FAKTA SEPUTAR TINGGINYA PERCERAIAN DI INDRAMAYU

Perceraian di Indramayu tertinggi di Indonesia, asumsi di atas hampir diyakini oleh banyak masyarakat baik di Indramayu maupun dari daerah lain. Setiap harinya, kecuali Sabtu dan Minggu atau hari libur, gedung Pengadilan Agama Kota Indramayu dipadati banyak anggota masyarakat, yaitu suami dan/atau istri, yang ingin mengurus proses perceraianatau keluarga dan kerabat yang mengantar. Menurut M. Sodik Wakil Panitera Pengadilan Agama Kab. Indramayu dan juga dibenarkan oleh salah seorang hakim di Pengadilan Agama tersebut, setiap harinya gedung itu didatangi kurang lebih seratus pengunjung dari masyarakat yang mengajukan perceraian.Dengan banyaknya kasus perceraian di Indramayu tersebut, memperkuat dugaan bahwa Kabupaten Indramayu tertinggi dalam hal banyaknya kasus perceraian di Indonesia.

Namun demikian jika dilihat dari perbandingan di kota/kabupaten lainnya di Indonesia, sebenarnya yang tertinggi adalah Banyuwangi Jawa Timur. Berdasarkan data yang dikeluarkan pihak Kankemenag dan Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, angka perkawinan pada tahun 2014 adalah sekitar 22.624 kasus, sedangkan angka perceraian adalah 8.067 kasus, jika dipersentasekan kasus perceraian tersebut adalah sekitar 26% jika dibanding angka perkawinan perkawinan pada tahun yang sama. Banyuwangi pada tahun 2014 angka perkawinan perkawinan adalah 15.752 kasus, sedangkan perceraian mencapai 6.711 kasus.Jika di%tasekan angka perceraian di Banyuwangi adalah sekitar 30%, dibandingkan dengan angka perkawinan pada tahun itu. Dengan demikian berdasarkan persentasenya maka

digunakan untuk mengggolongkan suatu masyarakat, apakah termasuk maju, berkembang atau terbelakang, dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Gambar 3

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2), dan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat

Tahun 2013

Kabupaten/Kota 2013 (September)

Jumlah Penduduk

Miskin (000)

Persentase Penduduk Miskin (%)

P1 P2 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bulan)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Bogor 499,1 9,54 1,39 0,33 271 970 Sukabumi 222,8 9,24 1,50 0,38 240 188 Cianjur 267,9 12,02 1,70 0,39 264 580 Bandung 271,7 7,94 1,13 0,25 256 733 Garut 320,9 12,79 1,73 0,41 226 308 Tasikmalaya 199,3 11,57 1,47 0,28 237 114 Ciamis 133,0 8,62 1,28 0,29 270 515 Kuningan 139,4 13,34 2,09 0,47 261 858 Cirebon 307,2 14,65 2,09 0,46 300 990 Majalengka 164,9 14,07 2,24 0,55 353 727 Sumedang 127,4 11,31 1,48 0,32 260 160 Indramayu 251,1 14,99 2,02 0,47 350 455 Subang 185,4 12,35 1,69 0,41 272 854 Purwakarta 83,6 9,28 1,41 0,32 271 270 Karawang 238,6 10,69 1,55 0,36 335 273 Bekasi 157,7 5,20 0,77 0,18 361 510 Bandung Barat 206,0 12,92 2,29 0,64 256 789 Kota Bogor 83,3 8,19 1,13 0,21 360 518 Kota Sukabumi 25,2 8,05 1,17 0,25 411 523 Kota Bandung 117,7 4,78 0,48 0,08 340 355 Kota Cirebon 31,9 10,54 1,11 0,20 334 439 Kota Bekasi 137,8 5,33 0,73 0,16 449 026 Kota Depok 45,9 2,32 0,26 0,06 443 302 Kota Cimahi 32,3 5,63 1,09 0,29 347 234 Kota Tasikmalaya 112,2 17,19 2,57 0,63 337 841 Kota Banjar 12,8 7,11 1,33 0,31 250 311 Jawa Barat 4 375,2 9,61 1,65 0,44 276 825 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim172

Banyuwangi memiliki angka perceraian lebih tinggi dibanding Indramayu.

Gambar 4 Perbandingan Perkawinan dan Perceraian

Kabupaten Indramayu

Terkait dengan adanya pernyataan bahwa perceraian

merupakan budaya masyarakat Indramayu, hal itu tidak sepenuhnya dibenarakan oleh penduduk di sana. Sebagian masyarakat misalnya, An (49 th) menyatakan, “Tidak benar jika dikatakan sudah menjadi budaya, memang ada perceraian tapi bukan karena budaya, tapi karena banyak usia belum matang dan minim dari segi pendidikan, disamping itu ekonomi suami belum memadai, suami kerjanya belum tetap masih buruh dan kadang pengangguran”. Pandangan itu juga dinyatakan oleh AS (55 th), “Ada unsur pasangan itu belum siap menikah tapi terpaksa harus menikah, jadi tidak siap mengahadapi tantangan rumah tangga, akhirnya ya tidak bisa

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 173

bertahan. Baru satu, dua tahun sudah bercerai.” Sementara itu, berdasarkan pengakuan warga masyarakat lainnya AR (43 th), ia setuju jika banyak perceraian di Indramayu dan itu sudah menjadi budaya. Alasannya di lingkungan keluarganya banyak yang menjalani perkawinan lebih dari satu kali, AR mengatakan, “ayah saya sudah menikah dua kali, bahkan ibu saya menikah tiga kali, demikian kerabatnya yang lain, paman, bibi juga begitu mereka ada yang tidak hanya satukali menjalani pernikahan. Jadi meski saya gak setuju, tapi nyatanya demikian, banyak perceraian di sini”.

Gambaran di atas menunjukkan masih terdapat perbedaan persepsi di masyarakat, dalam menilai apakah perceraian merupakan budaya di masyarakat Indramayu. Namun demikian fakta yang diungkapkan berdasarkan jumlah kasus perceraian dari PA Kab. Indramayu menunjukkan bahwa hingga saat ini kasus perceraian di Indramayu relatif tinggi, yaitu mencapai 26% dari angka perkawinan pada tahun yang sama.

1. Penyebab Tingginya Perceraian: Poligami, Rendahnya Ekonomi dan Pendidikan, Banyak yang Menjadi TKI, dan Kawin Usia Dini?

Terdapat asumsi bahwa di Indramayu banyak laki-laki Indramayu yang melakukan poligami sehingahal demikian menjadifactor penyebab tingginya cerai gugat.Mayoritas masyarakat Indramayu adalah muslim, yang umumnya memiliki pemahaman (khususunya laki-laki), bahwa berdasarkan ajaran agama, poligami dibolehkan dalam Islam.Alasannya adalah karena ada dalam al-Quran dan Hadits, pandangan itu kemudian digunakan kaum laki-laki untuk membenarkan bolehnya poligami.ZA (55 th) seorang guru agama mengatakan,

Banyuwangi memiliki angka perceraian lebih tinggi dibanding Indramayu.

Gambar 4 Perbandingan Perkawinan dan Perceraian

Kabupaten Indramayu

Terkait dengan adanya pernyataan bahwa perceraian

merupakan budaya masyarakat Indramayu, hal itu tidak sepenuhnya dibenarakan oleh penduduk di sana. Sebagian masyarakat misalnya, An (49 th) menyatakan, “Tidak benar jika dikatakan sudah menjadi budaya, memang ada perceraian tapi bukan karena budaya, tapi karena banyak usia belum matang dan minim dari segi pendidikan, disamping itu ekonomi suami belum memadai, suami kerjanya belum tetap masih buruh dan kadang pengangguran”. Pandangan itu juga dinyatakan oleh AS (55 th), “Ada unsur pasangan itu belum siap menikah tapi terpaksa harus menikah, jadi tidak siap mengahadapi tantangan rumah tangga, akhirnya ya tidak bisa

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim174

“Dalam Islam, laki-laki itu punya hak menikah lebih dari satu, tapi namanya hak, itu bisa digunakan bisa tidak, beda dengan kewajiban. Kalo kewajiban itu harus (dilaksanakan).”Lebih lanjut AS menjelaskan, “Jika keadaan tertentu, maka bisa digunakan hak itu, dengan cara lebih dahulu meminta ijin secara baik-baik pada istri, misalnya karena sudah lama tidak punya anak. Kalo dikatakan sunnah(mengikuti ajaran Nabi) juga tidak benar, itu sesuai keadaan saja. Masa kawin lagi dengan yang lebih muda disebut sunnah, itu ngambil enaknya saja, kalau perkawinan perkawinan Nabi itu dengan yang umurnya tua, apa dia mau?”

Sementara itu menurut Mj (36 th) seorang anak tokoh agama, menurutnya,“Karena poligami adalah hak suami maka boleh tidak seijin istri, jika harus ijin istri ya, mana ada istri yang mengijinkan suminya punya istri lagi.” Dalam pandangan Mj tersebut, adalah umum dan wajar jika suami melakukan poligami, baik secara terang-terangan atau sembunyi.Alasan yang dikemukakan oleh Mj adalah karena agama membolehkan itu.

Pandangan bolehnya poligami diyakini oleh cukup banyak masyarakat di Indramayu.Implikasinya adalah, ada beberapa kasus dimana suami melakukan poligami tanpa seijin istri pertama, sehingga hal tersebut menjadi penyebab terjadinya beberapa kasus perceraian.Meski tidak menjadi mayoritas dari penyebab perceraian, pertengkaran dan konflik mulai terjadi ketika diketahui oleh istri bahwa suaminya telah beristri lagi yang biasanya dilakukan secara sirri. Ketika suami tetap dalam pendiriannya bahwa ia ingin berpoligami, maka akhirnya konflik semakin memuncak dan sulit didamaikan, tidak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 175

sedikit akhirnya pasangan itu bercerai, dimana pihak istri kemudian menuntut cerai gugat ke pengadilan agama.

Asumsi lain tentang penyebab perceraian di Indramayu lainnya adalah, bahwa kemiskinan menjadi penyebab perceraian termasuk cerai gugat. Data tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index HDI) yaitu suatu pengukuran perbandingan dari angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk suatu kelompok masyarakat di suatu wilayah tertentu. Secara umum, berdasarkan laporan dari BPS Provinsi Jawa Barat, untuk Kabupaten Indramayu memang menunjukkan bahwa kota ini terendah di Jawa Barat. Untuk Indramayu pada tahun 2013 rata-rata IPM-nya adalah 69,52, sedangkan angka rata-rata IPM Jawa Barata adalah 73,40. Demikian halnya data tentang angka penduduk untuk kategori miskin maka untuk Jawa Barat jumlah terbesar adalah Kab.Cirebon yaitu sekitar 307 ribu jiwa, Indramayu menduduki rangking kedua. Angka jumlah penduduk miskinnya adalah tertinggi, yaitu mencapai 251- ribuan penduduk. Namun demikian jika di%tasekan maka untuk Jawa Barat sebenarnya angka kemiskinan tertinggi adalah Tasikmalaya, yaitu mencapai 17,19 %. sedangkan untuk Indramayu persentasenya mencapai 14,99 %.

“Dalam Islam, laki-laki itu punya hak menikah lebih dari satu, tapi namanya hak, itu bisa digunakan bisa tidak, beda dengan kewajiban. Kalo kewajiban itu harus (dilaksanakan).”Lebih lanjut AS menjelaskan, “Jika keadaan tertentu, maka bisa digunakan hak itu, dengan cara lebih dahulu meminta ijin secara baik-baik pada istri, misalnya karena sudah lama tidak punya anak. Kalo dikatakan sunnah(mengikuti ajaran Nabi) juga tidak benar, itu sesuai keadaan saja. Masa kawin lagi dengan yang lebih muda disebut sunnah, itu ngambil enaknya saja, kalau perkawinan perkawinan Nabi itu dengan yang umurnya tua, apa dia mau?”

Sementara itu menurut Mj (36 th) seorang anak tokoh agama, menurutnya,“Karena poligami adalah hak suami maka boleh tidak seijin istri, jika harus ijin istri ya, mana ada istri yang mengijinkan suminya punya istri lagi.” Dalam pandangan Mj tersebut, adalah umum dan wajar jika suami melakukan poligami, baik secara terang-terangan atau sembunyi.Alasan yang dikemukakan oleh Mj adalah karena agama membolehkan itu.

Pandangan bolehnya poligami diyakini oleh cukup banyak masyarakat di Indramayu.Implikasinya adalah, ada beberapa kasus dimana suami melakukan poligami tanpa seijin istri pertama, sehingga hal tersebut menjadi penyebab terjadinya beberapa kasus perceraian.Meski tidak menjadi mayoritas dari penyebab perceraian, pertengkaran dan konflik mulai terjadi ketika diketahui oleh istri bahwa suaminya telah beristri lagi yang biasanya dilakukan secara sirri. Ketika suami tetap dalam pendiriannya bahwa ia ingin berpoligami, maka akhirnya konflik semakin memuncak dan sulit didamaikan, tidak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim176

Gambar 5

Penyebab Perceraian di Indramayu No Penyebab Perceraian 2010 2011 2012 2013 2014 1 Moral Poligami

Tidak Sehat 23 13 22 8 75

Krisis Moral 34 10 4 2 176 Cemburu 9 4 4 10 21

2 Meninggalkan Kewajiban

Kawin paksa 28 50 15 3 14 Ekonomi 3205 4905 6493 8136 6814 Tidak ada Tanggung Jawab

9 34 15 19 47

3 Kawin di Bawah Umur 0 0 2 0 1 4 Menyakiti

Jasmani Menyakiti Jasmani

2 4 2 2 29

Menyakiti Mental

0 0 0 1 5

5 Dihukum 0 1 1 0 0 6 Cacat Biologis 0 3 0 0 11 7 Terus

Menerus Berselisih

Politis 0 0 0 0 1 Gangguan Pihak Ketiga

67 202 63 22 88

Tidak ada Keharmonisan

1060 324 88 53 103

8 Lain-Lain 0 0 0 0 0 Jumlah 4437 5550 6709 8256 7385

Berdasarkan data di Pengadilan Agama Kab. Indramayu di atas, maka untuk penyebab atau alasan perceraian paling tinggi adalah karena alasan ekonomi, jumlah perceraian di tahun 2014 yang disebabkan karena alasan ekonomi mencapai 6.814 kasus atau mencapai 92% dari total kasus yaitu 7.385 perceraian. Dengan demikian, sangat logis bahwa penyebab tingginya perceraian di Indramayu adalah karena persoalan ekonomi, ketika data perceraian tersebut dihubungkan dengan data indeks

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 177

kemiskinan yang ada di Indramayu yang memang cukup tinggi.

Menurut Supyanseorang hakim di PA Kab.Indramayu yang biasa memediasi perceraian, untuk kasus ekonomi itu biasanya penghasilan suami tiap bulannya sedikit, penghasilan suami di bawah satu juta. Namun tidak semua kasusperceraian karena alasan ekonomi, itu murni 100% ekonomi, menurutnya biasanya berkelindan dengan factor lain. Istri biasanya mau menerima jika hanya faktor kurang bisa menafkahi.Supyan menjelaskan, “Biasanya istri karena kecewa, kok gak mau gigih berusaha, malah leha-leha (santai), perilaku suami menjengkelkan, kalau malem keluyuran pulang lewat tengah malam. Di situ istri merasa kurang diperhatiakan, adakalanya malah ditemukan suami iseng dengan perempuan lain.” Lebih lanjut Supyan menjelaskan, “Kurang lebih hanya 10% saja sebenarnya yang sebab murni karena ekonomi.”

Asumsi lain yang menarik tentang penyebab tingginya perceraian di Indramayu adalah bahwa, banyak perempuan menjadi TKI di luar menjadi penyebab cerai gugat. Tingginya angka kemiskinan di Indramayu menyebabkan banyak penduduk yang berusaha mencari pekerjaan di kota-kota lain, termasuk mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga Negara Indoensia yang bekerja di luar negeri.Ada beberapa daerah tujuan para TKI antara lain: Malaysia, Taiwan, Singapura, Jepang, Korea, Cina, Arab Saudi, Oman, Qatar, Eni Emirat Arab, Brunei Darussalam, dan lainnya. Para TKI itu melakukan hubungan kerja dengan negara-negara tersebut untuk

Gambar 5

Penyebab Perceraian di Indramayu No Penyebab Perceraian 2010 2011 2012 2013 2014 1 Moral Poligami

Tidak Sehat 23 13 22 8 75

Krisis Moral 34 10 4 2 176 Cemburu 9 4 4 10 21

2 Meninggalkan Kewajiban

Kawin paksa 28 50 15 3 14 Ekonomi 3205 4905 6493 8136 6814 Tidak ada Tanggung Jawab

9 34 15 19 47

3 Kawin di Bawah Umur 0 0 2 0 1 4 Menyakiti

Jasmani Menyakiti Jasmani

2 4 2 2 29

Menyakiti Mental

0 0 0 1 5

5 Dihukum 0 1 1 0 0 6 Cacat Biologis 0 3 0 0 11 7 Terus

Menerus Berselisih

Politis 0 0 0 0 1 Gangguan Pihak Ketiga

67 202 63 22 88

Tidak ada Keharmonisan

1060 324 88 53 103

8 Lain-Lain 0 0 0 0 0 Jumlah 4437 5550 6709 8256 7385

Berdasarkan data di Pengadilan Agama Kab. Indramayu di atas, maka untuk penyebab atau alasan perceraian paling tinggi adalah karena alasan ekonomi, jumlah perceraian di tahun 2014 yang disebabkan karena alasan ekonomi mencapai 6.814 kasus atau mencapai 92% dari total kasus yaitu 7.385 perceraian. Dengan demikian, sangat logis bahwa penyebab tingginya perceraian di Indramayu adalah karena persoalan ekonomi, ketika data perceraian tersebut dihubungkan dengan data indeks

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim178

jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Adapun untuk TKI perempuan, sering juga disebut dengan istilah Tenaga Kerja Wanita (TKW).

TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa, karena penghasilan (upah) yang mereka terima kemudian banyak yang dikirim ke tanah air untuk menghidupi keluarga mereka. Jumlah TKI setiap tahunnya terus meningkat.Secara nasional, jumlah TKI berdasarkan data dari BNP2TIKI.

Gambar 6

Data Jumlah TKI di Indonesia

NO TAHUN JUMLAH TKI 1 2011 586.802 2 2012 494.609 3 2013 512.168 4 2014 429.872 5 2015 (s.d 28

Februari) 47.957

Dari data nasional tersebut, mayoritas adalah pekerja perempuan yaitu mencapai 62%, sedangkan laki-laki sebanyak 38 %. Untuk status data TKI sendiri yang telah menikah jumlahnya mencapai 56%, untuk status belum menikah sebnayak 35% dan status cerai 9%. Dari data TKI tersebut, pada tahun 2015 Kabupaten Indramayu menduduki angka tertinggi dalam pengiriman TKI ke luar negeri.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 179

Berdasarkan data tersebut, dimana 62 % TKI adalah perempuan dan 56 % TKI adalah berstatus kawin, maka bisa dipastikan bahwa banyak TKI perempuan asal Indramayu yang dalam status memiliki suami kemudian bekerja di luar negeri. Hubungan suami-istri jarak jauh ini tentunya sangat rawan untuk terjadinya poligami tanpa ijin pihak istri, khususnya suami yang ditinggalkan. Banyak kasus diungkapkan oleh beberapa informan, ketika istri bekerja sebagai TKI di luar negeri, maka suami kemudian menikah lagi, bahkan dengan menggunakan uang yang dikirim oleh istrinya tersebut. Menurut AS (52 th) seorang tokoh masyarakat, “Sangat wajar jika karena istrinya yang jauh di luar negeri berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, padahal suami memiliki kebutuhan biologis. Hal itu mendorong suami mencari istri lagi yang dinikah secara sirri guna memenuhi kebutuhannya itu.”

Nampaknya persoalan kemiskinan, yaitu ketidakmampuan suami mencukupi kebutuhan rumah tangga berkorelasi dengan istri yang kemudian berusaha mencari solusi dengan mencari kerja di luar negeri, dan adanya pandangan agama dalam perspektif umumnya masyarakat (laki-laki) yang membolehkan poligami, maka banyak kasus ketika istri yang menjadi TKI kemudian akhirnya melakukan cerai gugat, setelah mengetahui suaminya telah menikahi perempuan lain secara siri tanpa seijinnya.

Di samping persoalan poligami dan banyaknya perempuan menjadi TKI, Indramayu juga berkembang asumsi, bahwa kemiskinan (ekonomi lemah) dan kebodohan (lemahnya tingkat pendidikan) telah menjadi penyebab banyaknya perceraian.Bagi sebagian masyarakat

jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Adapun untuk TKI perempuan, sering juga disebut dengan istilah Tenaga Kerja Wanita (TKW).

TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa, karena penghasilan (upah) yang mereka terima kemudian banyak yang dikirim ke tanah air untuk menghidupi keluarga mereka. Jumlah TKI setiap tahunnya terus meningkat.Secara nasional, jumlah TKI berdasarkan data dari BNP2TIKI.

Gambar 6

Data Jumlah TKI di Indonesia

NO TAHUN JUMLAH TKI 1 2011 586.802 2 2012 494.609 3 2013 512.168 4 2014 429.872 5 2015 (s.d 28

Februari) 47.957

Dari data nasional tersebut, mayoritas adalah pekerja perempuan yaitu mencapai 62%, sedangkan laki-laki sebanyak 38 %. Untuk status data TKI sendiri yang telah menikah jumlahnya mencapai 56%, untuk status belum menikah sebnayak 35% dan status cerai 9%. Dari data TKI tersebut, pada tahun 2015 Kabupaten Indramayu menduduki angka tertinggi dalam pengiriman TKI ke luar negeri.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim180

Indramayu, ada yang menilai bahwa ada dua factor utama penyebab tingginya perceraian di Indramayu, yaitu soal rendahnya pendidikan pasangan suami-istri atau salah satunya dan rendahnya ekonomi. Saat ini, sulit untuk dapat mengetahui berapa rata-rata pendidikan pasangan yang menikah. Meskipun data tersebut dilaporkan oleh masing-masing KUA ke kasi Urais di kantor kementerian agama kabupaten, namun ketika dijumlahkan ditemukan angka yang tidak valid. Menurut seorang staf di Kankemenag Kabupaten Indramayu, selama ini banyak KUA yang tidak menuliskan laporan secara detail dan benar, terkait pendidikan pasangan yang menikah. Laporan yang dikirim biasanya hanya menyangkut jumlah N (peristiwa nikah) saja yang ditulis secara benar, sedang data lainnya tidak ditulis secara cermat.Namun demikian berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Barat, untuk Kab. Indramayu rata-rata indeks pendidikannya terendah yaitu hanya 71,30 dari indeks rata-rata Jawa Barat sebesar 82,31.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Indramayu memang termasuk terendah ke dua di Jawa Barat. Demikian halnya dengan jumlah penduduk miskin yang juga terbanyak ke dua se-Jawa Barat. Persoalan pendidikan masyarakat Indramayu yang masih kategori rendah, nampaknya tidak jauh dengan persoalan ekonominya. Untuk itu, meski tidak ada angka yang bisa menyebutkan secara pasti namun bahwa pendidikan berhubungan dengan tingginya angak perceraian, namun sangat mungkin bahwa hal itu juga memiliki korelasi yang kuat. Sebab meski ini tidak mutlak, kualitas pendidikan seseorang sangat berhubungan dengan kemampuan dalam pencapaian atau keberhasilan ekonominya. Sementara dari

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 181

data yang ada, disebutkan bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena factor ekonomi.

Asumsi lainnya yang berkembang di Indramayu adalah bahwa banyak perkawinan di bawah umur (belum siap menikah) menjadi penyebab banyaknya perceraian. Tingkat kematangan seseorang sangat dibutuhkan dalam menghadapi problem-problem yang akan dihadapi dalam rumah tangga. Untuk itu kematangan usia perkawinan sangat penting dalam hubungan pernikahan. Berdasarkan data yang ada, jumlah perkawinan usia dini atau usia dibawah umur yang ada dalam UU Perkawinan, jumlahnya relatif tidak berkurang setiap tahunnya sehingga pasangan yang menikah dengan surat dispensasi pengadian agama relatif tidak banyak, meski tidak bisa dikatakan sedikit. Pada tahun 2014 misalnya, jumlah mencapai 429 kasus, sedangkan sebelumnya yaitu tahun 2013 ada 455 kasus. Dengan demikian jika berdasarkan data tahun 2014 dimana jumlah angka perkawinan mencapai 22.625 peristiwa, maka jumlah perkawinan dengan salah satu pasangan masih dibawah umur yaitu mencapai 2 %.

Beberapa informan memberikan kesaksian bahwa mereka yang menikah dibawah umur itu, umumnya terpaksa menikah karena ‘kecelakaan’. Biasanya perkawinan karena ‘kecelakaan’ yaitu perempuan telah hamil sebelum menikah adalah didasari niat yang tidak kuat untuk membina rumah tangga, melainkan hanya ‘menutup’ malu atau sekedar agar bayi yang dikandung punya bapak. Hal demikian biasanya, setelah bayi lahir, maka rumah tangganya tidak bisa dipertahankan. Tidak ada data yang secara pasti bisa menunjukkan bahwa,

Indramayu, ada yang menilai bahwa ada dua factor utama penyebab tingginya perceraian di Indramayu, yaitu soal rendahnya pendidikan pasangan suami-istri atau salah satunya dan rendahnya ekonomi. Saat ini, sulit untuk dapat mengetahui berapa rata-rata pendidikan pasangan yang menikah. Meskipun data tersebut dilaporkan oleh masing-masing KUA ke kasi Urais di kantor kementerian agama kabupaten, namun ketika dijumlahkan ditemukan angka yang tidak valid. Menurut seorang staf di Kankemenag Kabupaten Indramayu, selama ini banyak KUA yang tidak menuliskan laporan secara detail dan benar, terkait pendidikan pasangan yang menikah. Laporan yang dikirim biasanya hanya menyangkut jumlah N (peristiwa nikah) saja yang ditulis secara benar, sedang data lainnya tidak ditulis secara cermat.Namun demikian berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Barat, untuk Kab. Indramayu rata-rata indeks pendidikannya terendah yaitu hanya 71,30 dari indeks rata-rata Jawa Barat sebesar 82,31.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Indramayu memang termasuk terendah ke dua di Jawa Barat. Demikian halnya dengan jumlah penduduk miskin yang juga terbanyak ke dua se-Jawa Barat. Persoalan pendidikan masyarakat Indramayu yang masih kategori rendah, nampaknya tidak jauh dengan persoalan ekonominya. Untuk itu, meski tidak ada angka yang bisa menyebutkan secara pasti namun bahwa pendidikan berhubungan dengan tingginya angak perceraian, namun sangat mungkin bahwa hal itu juga memiliki korelasi yang kuat. Sebab meski ini tidak mutlak, kualitas pendidikan seseorang sangat berhubungan dengan kemampuan dalam pencapaian atau keberhasilan ekonominya. Sementara dari

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim182

untuk kasus di luar kawin karena ‘kecelakaan’, perkawinan dengan usia di bawah umur tersebut kemudian pernikahannya berakhir dengan perceraian, namun patut diduga dalam usia yang belum matang, akan sangat rentan bagi pasangan suami-istri untuk mampu membina rumah tangga, apalagi jika ekonomi juga menjadi faktor yang turut membebani.

Dari data dispensasi perkawinan yang ada, diketahui bahwa jumlah dispensasi nikah secara statistik fluktuatif, pada tahun 2010 jumlahnya adalah 169 orang, tahun 2011 jumlahnya 311 orang, tahun 2012 jumlahnya 350 orang, tahun 2013 jumlahnya 455 orang, dan tahun 2014 jumlahnya 249 orang. Dispensasi nikah adalah surat dispensasi yang dikeluarkan adalah pengadilan agama ketika masyarakat mengajukan permohonan untuk nikah namun terkendala karena usia perkawinan belum mencapai ketentuan atau masih dibawah umur. Berdasarkan ketentuan yang ada, bagi masyarakat yang usia perkawinan belum mencapai ketentuan atau masih dibawah umur maka tidak akan mendapatkan persetujuan penghulu (PPN) di KUA kecuali telah mendapatkan dispensasi nikah dari pengadilan agama.

2. Seputar Kasus Cerai Gugat di Kab. Indramayu

Dalam rangka melindungi hak-hak istri dari adanya unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam suatu pernikahan, terutama adanya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis, maka dalam perkawinan di indonesia khsusnya, dikenal adanya cerai yang diajukan oleh pisak istri ke pengadilan agama yang dikenal dengan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 183

istilah cerai gugat. Adapun cerai yang diajukan oleh pisak suami ke pengadilan agama dikenal dengan istilah cerai talak saja. Jika dilihat dari perspektif hukum Islam, hak talak pada dasarnya hanya dimiliki suami, sehingga hanya suami yang mengendalikan talak tersebut, seorang istri tidak memiliki hak untuk talak. Namun demikian dalam Islam juga dikenal adanya pembatalan (fasad) nikah oleh hakim di pengadilan karena hal-hal yang telah ditetapkan, dalam konteks itulah cerai gugat kemudian menjadi bagian dari hukum Islam, yaitu perceraian oleh putusan pengadilan bukan oleh suami.

Di Kabupaten Indramayu angka perceraian setiap tahun cenderung meningkat. Demikian halnya dengan angka cerai gugat, meskipun pada tahun 2014 jumlahnya lebih sedikit jika dibanding tahun 2013. Namun dari tahun 2010 sd 2013 datanya meningkat tajam, sehingga secara umum berdasarkan perbandingan data dari tahun 2010 sd. 2014, angka cerai gugat frekuensinya menunjukkan angka yang terus meningkat. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam tabel berikut.

Gambar 7 Data Cerai Talak dan Cerai Gugat di Indramayu

Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah

2010 1,047 4,067 5,114 2011 1,333 4,970 6,303 2012 1,714 5,670 7,384 2013 2,079 5,959 8,038 2014 2,220 5,847 8,067

untuk kasus di luar kawin karena ‘kecelakaan’, perkawinan dengan usia di bawah umur tersebut kemudian pernikahannya berakhir dengan perceraian, namun patut diduga dalam usia yang belum matang, akan sangat rentan bagi pasangan suami-istri untuk mampu membina rumah tangga, apalagi jika ekonomi juga menjadi faktor yang turut membebani.

Dari data dispensasi perkawinan yang ada, diketahui bahwa jumlah dispensasi nikah secara statistik fluktuatif, pada tahun 2010 jumlahnya adalah 169 orang, tahun 2011 jumlahnya 311 orang, tahun 2012 jumlahnya 350 orang, tahun 2013 jumlahnya 455 orang, dan tahun 2014 jumlahnya 249 orang. Dispensasi nikah adalah surat dispensasi yang dikeluarkan adalah pengadilan agama ketika masyarakat mengajukan permohonan untuk nikah namun terkendala karena usia perkawinan belum mencapai ketentuan atau masih dibawah umur. Berdasarkan ketentuan yang ada, bagi masyarakat yang usia perkawinan belum mencapai ketentuan atau masih dibawah umur maka tidak akan mendapatkan persetujuan penghulu (PPN) di KUA kecuali telah mendapatkan dispensasi nikah dari pengadilan agama.

2. Seputar Kasus Cerai Gugat di Kab. Indramayu

Dalam rangka melindungi hak-hak istri dari adanya unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam suatu pernikahan, terutama adanya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis, maka dalam perkawinan di indonesia khsusnya, dikenal adanya cerai yang diajukan oleh pisak istri ke pengadilan agama yang dikenal dengan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim184

3. Di Balik Keputusan Istri Melakukan Cerai Gugat

Dari hasil kajian terhadap tiga pasangan (suami-istri) di Indramayu, secara umum keputusan istri melakukan cerai gugat dilakukan dalam proses yang relatif panjang, diawali dengan perenungan oleh individu (istri sebagai pelaku), kemudian membicarakannya ke orang yang dipercayai dalam keluarga, kapada orang tua, dan kemudian pihak di luar keluarga yaitu untuk kasus di Indramayu adalah kepada lebe (modin).

Dari hasil kajian tersebut, keberanian istri melakukan gugat cerai didasar oleh banyak faktor yaitu, pertama, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Kedua, adanya pihak yang mendukung melakukan niat bercerai, biasanya dukungan (pembelaan) dari orang tua. Ketiga, adanya asumsi bahwa kesusahan/penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan akan lebih ringan dibanding meneruskan atau tetap dalam pernikahanpernikahan. Keempat, adanya pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai gugat.

Fenomena di atas, sejalan dengan teori pertukaran Homans yang melihat bahwa interaksi antar individu yang melakukan pertukaran terdapat suatu hukum dasar yaitu kepentingan (“imbalan dan keuntungan yang didapat oleh individu yang melakukan pertukaran”).Dalam teori pertukaran sosial antara perilaku

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 185

dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, pernikahan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Dalam kasus keberanian istri-istri (Ns, Am dan Cl) melakukan gugatan perceraian, maka keputusan itu diambil ketika istri melakukan perhitungan untung-rugi, keputusan diambi ketika istri menganggap tidak lagi ada keuntungan jika harus mempertahankan hubungan, bahkan setelah dirasa banyak pengorbanan, sementara imbalan yang diperoleh sangat minim sehingga akhirnya istri memutuskan tidak lagi mempertahankan pernikahanpernikahan.

Cerai gugat juga terpaksa diinisiasi oleh istri sebab dalam kasus di Indramayu biasanya suami “nambang dawa”, yaitu tidak mau menceraikan istri. Untuk lebih memahami persoalan dan dinamika yang mengiringi cerai gugat di Indramayu, berikut ini gambaran singkat latar

3. Di Balik Keputusan Istri Melakukan Cerai Gugat

Dari hasil kajian terhadap tiga pasangan (suami-istri) di Indramayu, secara umum keputusan istri melakukan cerai gugat dilakukan dalam proses yang relatif panjang, diawali dengan perenungan oleh individu (istri sebagai pelaku), kemudian membicarakannya ke orang yang dipercayai dalam keluarga, kapada orang tua, dan kemudian pihak di luar keluarga yaitu untuk kasus di Indramayu adalah kepada lebe (modin).

Dari hasil kajian tersebut, keberanian istri melakukan gugat cerai didasar oleh banyak faktor yaitu, pertama, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Kedua, adanya pihak yang mendukung melakukan niat bercerai, biasanya dukungan (pembelaan) dari orang tua. Ketiga, adanya asumsi bahwa kesusahan/penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan akan lebih ringan dibanding meneruskan atau tetap dalam pernikahanpernikahan. Keempat, adanya pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai gugat.

Fenomena di atas, sejalan dengan teori pertukaran Homans yang melihat bahwa interaksi antar individu yang melakukan pertukaran terdapat suatu hukum dasar yaitu kepentingan (“imbalan dan keuntungan yang didapat oleh individu yang melakukan pertukaran”).Dalam teori pertukaran sosial antara perilaku

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim186

belakang di balik keputusan istri yang akhirnya berani melakukan gugat cerai ke pengadilan agama. Kasus yang menjadi contoh adalah tiga pasangan keluarga yang semuanya berasal dari Kabupaten Indramayu yaitu, (a) pasangan Ns dan Mj, (b) pasangan Ami dan YH, dan (c), pasangan Cl dan Jd.

a. Pasangan Mj (Suami) dan Ns (Istri)

Ns (istri), pendidikan SLTP, umur 29 th, kini(setelah bercerai) ia tinggal di rumah orang tua yang berprofesi sebagai tukang beca di desa Pakandangan, sementara ibunya berjualan jagung rebus keliling. Saat menikah ia berstatus gadis. Nssebelum menikah pernah menjadi TKI di Abu Dhabi (1 th), Kuwait (2 th), dan Oman (4 th). Dari uang kerja di luar negeri,ia dan kakaknya berhasil merenovasi rumah orang tuanya. Ns adalah anak ke dua dari empat bersaudara.Kakak pertamanya perempuan, adiknya yang pertama laki-laki sudah bekerja, sedang yang bungsu perempuan masih sekolah SLTP.

Ns menikah dengan Mj (suami) berumur 36 th, pekerjaan Mj adalah petani, berasal dari keluarga cukup terpandang, dia anak seorang ulama di Kertasmaya. Saudara-saudara Mj semua lulus sarjana, termasuk adiknya lulusan pesantren Lirboyo. Mj berstatus duda dua kali. Saat menikah ia memiliki surat resmi bahwa statusnya adalah duda.

Sebelum berkenalan dan kemudian menikah, Mj pernah main ke desa Pekandangan. Ns dikenalkan oleh temannya dengan Mj pada November 2014. Keduanya merasa ada kecocokan. Dua minggu kemudian Mj melamar ditemani 4 orang keluarga. Saat lamaran Mj

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 187

menyerahkan uang Rp. 500 ribu dan uang pasrahan Rp. 3 juta, ditambah cincin dan anting. Pada waktu yang disepakati beberapa hari kemudian malangsungkan perkawinan pada Desember 2014. Pesta perkawinan dirayakan dengan mengundang saudara, teman dekat, dan tetangga. Saat menikah beberapa keluarga suami datang. Penghulu yang datang adalah Pak Mahmudin.

Dua hari setelah pernikahan, Ns dibawa oleh Mj ke rumah orang tuanya di Kertasmaya. Baru sehari setelah tinggal di rumah orang tua suami, Ns menerima banyak paggilan telepon (miss call) dan sms dari nomor yang tidak dikenal. Ia jua menerima BBM yang diketahui statusnya dari seorang perempuan. Isi sms dan BBM itu bernada marah dan sangat tidak sopan menyebut dengan nama-nama binatang. Pada intinya menyatakan bahwa Ns adalah perempuan yang sudah merebut suami orang. SMS dan BBM itu setelah ditelusuri berasal dari istri Mj yang sejak November pergi ke Luar Negeri menjadi TKI. Sebelum pergi ia melangsungkan perkawinan sirri (tidak dicatat) dengan Mj. Di luar negeri, ia menerima kabar dari temannya bahwa suaminya menikah dengan Ns sehingga dia berusaha meneror Ns yang dianggap telah mengambil suaminya.

Ns meminta Mj menjelaskan siapa perempuan tersebut. Pada awalnya ia mengatakan perempuan itu dari masa lalu dan jangan dihiraukan. Penjelasan itu dinilai Ns tidak masuk akal sebab nikah sirri dengan perempuan itu terjadi November 2014. Mj tidak mau berterus terang. Sejak itu, Ns minta kembali ke rumah orang tuanya dan menyatakan tidak mau meneruskan menikah. Ns hanya tinggal dua hari di Kertasmaya, ia diantar oleh Mj kembali

belakang di balik keputusan istri yang akhirnya berani melakukan gugat cerai ke pengadilan agama. Kasus yang menjadi contoh adalah tiga pasangan keluarga yang semuanya berasal dari Kabupaten Indramayu yaitu, (a) pasangan Ns dan Mj, (b) pasangan Ami dan YH, dan (c), pasangan Cl dan Jd.

a. Pasangan Mj (Suami) dan Ns (Istri)

Ns (istri), pendidikan SLTP, umur 29 th, kini(setelah bercerai) ia tinggal di rumah orang tua yang berprofesi sebagai tukang beca di desa Pakandangan, sementara ibunya berjualan jagung rebus keliling. Saat menikah ia berstatus gadis. Nssebelum menikah pernah menjadi TKI di Abu Dhabi (1 th), Kuwait (2 th), dan Oman (4 th). Dari uang kerja di luar negeri,ia dan kakaknya berhasil merenovasi rumah orang tuanya. Ns adalah anak ke dua dari empat bersaudara.Kakak pertamanya perempuan, adiknya yang pertama laki-laki sudah bekerja, sedang yang bungsu perempuan masih sekolah SLTP.

Ns menikah dengan Mj (suami) berumur 36 th, pekerjaan Mj adalah petani, berasal dari keluarga cukup terpandang, dia anak seorang ulama di Kertasmaya. Saudara-saudara Mj semua lulus sarjana, termasuk adiknya lulusan pesantren Lirboyo. Mj berstatus duda dua kali. Saat menikah ia memiliki surat resmi bahwa statusnya adalah duda.

Sebelum berkenalan dan kemudian menikah, Mj pernah main ke desa Pekandangan. Ns dikenalkan oleh temannya dengan Mj pada November 2014. Keduanya merasa ada kecocokan. Dua minggu kemudian Mj melamar ditemani 4 orang keluarga. Saat lamaran Mj

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim188

ke orang tuanya. Pihak istri sirri Mj terus menghubungi Ns, bahkan ia pernah meminta uang Rp. 7.000.000,- yang dikirim ke Mj dikembalikan. Ns menyatakan bahwa ia tidak pernah menerim uang itu dari Mj.

Mj terus membujuk Ns untuk mau meneruskan pernikahan (menerima dipoligami), dengan mengatakan punya tabungan di bank Rp. 100 juta, akan dibelikan motor seharga Rp. 16 juta. Di samping itu akan diberikan sawah dari orang tuanya. Ns tidak bergeming tetap menggugat cerai. Sejak diketahui bahwa Mj sudah beristri perselisihan antara keduanya terus menerus terjadi, Ns tidak mau meladeni Mj Jika Mj datang ia pergi ke rumah saudaranya. Nspun tidak mau diajak ke rumah Mj. Ns menceritakan masalah rumah tangganya ke kakak perempuannya.Oleh kakak perempuannya kemudian disampaikan ke keluarga termasuk ayah dan ibunya. Akhirnya ayah ibu Ns meminta Ns menjelaskan apa yang terjadi. Setelah mendengan apa yang dialami Ns, pihak orang tua dan keluaraga memahami persoalan yang terjadi, kemudian menyerahkan keputusan ke Ns. Ns bertekad untuk menggugat cerai, tidak mau meneruskan pernikahan sebab sudah dibohongi Mj, apalagi akan dijadikan istri kedua. Pada dasarnya orang tua sangat menyesali peristiwa buruk yang menimpa anaknya. Kedua orang tua Ns sebenarnya tidak mau ada perceraian, namun mendukung penuh keputusan anaknya, sebab sejak awal Mj tidak berterus terang, ia hanya mengaku duda.

Ns mendengar dari sepupunya yang pernah cerai gugat, bahwa untuk mengurus cerai gugat pengurusannya dilakukan di PA melalui lebe. Maka setelah mendapat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 189

dukungan keluarga ia menyampaikan maksudnya ke lebe (Pak Mulyani). Sudah menjadi ketentuan dalam penyelesaian perkara perceraian lebe kemudian menerima laporan dan memverifikasinya kepada kedua belah pihak. Di samping itu Lebe juga berusaha melakukan mediasi awal. Lebe Mulyani kemudian mendatangi Mj dan orang tuanya. Di depan Mijahid, Lebe Mulyani menjelaskan bahwa ia mewakili Ns untuk melakukan cerai gugat. Mulyani ingin mengetahui tanggapan dari Mj. Dihadapan Lebe, Mj menyatakan bahwa dia tidak ingin bercerai, ia ingin berpoligami, menurut Mj poligami adalah hak laki-laki dan itu dibolehkan oleh hukum agama. Setelah lama melakukan diskusi dengan Mj dan keluarganya, Lebe Mulyani melihat keinginan Hafidz dan Ns sangat kontradiktif, sehingga tidak mungkin bisa disatukan kembali, maka kemudian ia meneruskan pengurusan pendaftaran gugatan ke Pengadilan Agama. Kini setelah pengajuan cerai gugat ke Pengadilan Agama, Ami tinggal di rumah orang tuanya. Sehari-hari ia mengisi waktu dengan mengurusi pekerjaan rumah. Ia sudah mengajukan untuk menjadi TKI ke luar negeri.

b. Pasangan YH (Suami)dan Am (Istri)

Am (istri) saat ini berumur 28 tahun, ia kini (setelah bercerai) tinggal di rumah orang tuanya di desa Singaraja. Meski setelah pernikahannya dengan YH (suami) belum dikaruniai anak, namun dengan kesepakatan suami, ia mengangkat anak. Anak angkat tersebut masih keponakan (anak dari kakak Am).Sedangkan YH, umur 33 tahun, pendidikan STM, keluarga cukup mampu tinggal di perumahan (komplek), meski tidak ada bapak (sudah

ke orang tuanya. Pihak istri sirri Mj terus menghubungi Ns, bahkan ia pernah meminta uang Rp. 7.000.000,- yang dikirim ke Mj dikembalikan. Ns menyatakan bahwa ia tidak pernah menerim uang itu dari Mj.

Mj terus membujuk Ns untuk mau meneruskan pernikahan (menerima dipoligami), dengan mengatakan punya tabungan di bank Rp. 100 juta, akan dibelikan motor seharga Rp. 16 juta. Di samping itu akan diberikan sawah dari orang tuanya. Ns tidak bergeming tetap menggugat cerai. Sejak diketahui bahwa Mj sudah beristri perselisihan antara keduanya terus menerus terjadi, Ns tidak mau meladeni Mj Jika Mj datang ia pergi ke rumah saudaranya. Nspun tidak mau diajak ke rumah Mj. Ns menceritakan masalah rumah tangganya ke kakak perempuannya.Oleh kakak perempuannya kemudian disampaikan ke keluarga termasuk ayah dan ibunya. Akhirnya ayah ibu Ns meminta Ns menjelaskan apa yang terjadi. Setelah mendengan apa yang dialami Ns, pihak orang tua dan keluaraga memahami persoalan yang terjadi, kemudian menyerahkan keputusan ke Ns. Ns bertekad untuk menggugat cerai, tidak mau meneruskan pernikahan sebab sudah dibohongi Mj, apalagi akan dijadikan istri kedua. Pada dasarnya orang tua sangat menyesali peristiwa buruk yang menimpa anaknya. Kedua orang tua Ns sebenarnya tidak mau ada perceraian, namun mendukung penuh keputusan anaknya, sebab sejak awal Mj tidak berterus terang, ia hanya mengaku duda.

Ns mendengar dari sepupunya yang pernah cerai gugat, bahwa untuk mengurus cerai gugat pengurusannya dilakukan di PA melalui lebe. Maka setelah mendapat

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim190

meninggal) tapi ibunya punya usaha travel. YH sendiri memiliki mobil Elf dan dia sendiri yang menyupir.

Sebelum menikah, YH sering main ke rumah Am. Saat itu, ia masih sekolah di STM kelas 3. Keduanyapun kemudian ‘berpacaran’. Masa pacaran dijalani cukup lama sekitar 5 tahun. Sesuai kesepakatan berdua, pada saat yang telah ditentukan, YH-pun melamar Am ditemani ibunya.Setelah satu bulan, atas kesepakatan pihak keluarga, kemudian ditetapkan hari pernikahan. Perkawinan Am dan YH dilakukan di rumah YH yaitu Desa Singaraja. Perkawinan dirayakan cukup meriah dan mengundang kyai untuk ceramah agama.

Rumah tangga Am dan YH awalnya berjalan harmonis, tidak ada kendala soal ekonomi sebab YH menyupir sendiri mobil Elf-nya untuk trayek penumpang Indramayu- Cirebon, sehingga penghasilannya cukup lumayan, bahkania sendiri sering membawa penumpang dari biro travel milik ibunya ke berbagai kota. Sejak menikah hingga empat tahun pernikahan Am dan YH belum dikaruniai anak. Untuk ‘memancing’ anak, Am-pun mengadopsi anak dari kakaknya (ponakan) dan kini sudah danggap anak sendiri.

Pada tahun 2011, suami Am mulai jarang pulang, ketika ditanya alasannya, YH mengatakan bahwa ia banyak mengantar/membawa penumpang. Ternyata ketika YH mulai sering pergi dan lama tidak pulang, YH mempunyai pacar di Yogya, bahkan kemudian dijadikan istrinya. Suatu saat YH pulang ke Indramayu dan istri barunya tetap tinggal di Yogyakarta. Karena jarak yang jauh, saat YH ‘bergilir’ ke istri muda maka dia menetap lebih lama, jadi hanya sesekali saja pulang ke Indramayu.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 191

Jika di Indramayu hanya satu sampai dua minggu, sedang jika di Yogya bisa sampai sebulan bahkan dua bulan.

Suami Am semakin sering tidak pulang, ketika ditanya oleh Am, dia (YH) juga mengaku bahwa kini sudah beristri lagi, bahkan sudah punya anak. Am sangat terpukul, awalnya ia mencoba menahan diri, namun semakin lama dia tidak kuat menahan, apalagi istri muda YH jika YH sedang di Yogya sering memanas-manasi, bahwa suaminya lebih senang di Yogya, dan tidak mau pulang ke Indramayu sebab sudah tidak suka dengan Am. Kurang lebih tiga tahun, Am mencoba menahan diri (2011-2014). Kini (2014) rumah tangga Am mulai goyah, Am sudah tidak lagi mampu bersabar, padahal selama itu, menurut Am dia mencoba menunggu jika suatu saat suaminya akan sadar, kembali seperti dulu. YH sendiri sering mengatakan bahwa Am harus sabar, YH mengatakan,suatu saat ia akan insyaf. Am juga semakin kecewa dengan YH, jika telp atau sms saat berada di Yogya tidak dibalas. Akhirnya Am meminta pendapat dari orang tuanya, mereka mengatakan: “Kalo mau cerai, ya terserah kamu saja.”

Menanggapi keputusan Am yang sudah bulat untuk cerai, akhirnya orang tua menyarankan untuk proses gugatan cerai tersebut, Am diarahkan agar menemui Lebe yaitu Hafidz dan Am-pun menemuinya Setelah Lebe Hafidz menerima penjelasan Am, iapun mencoba mengklarifikasi peroalan itu dengan mendatangi keluarga YH. Saat itu,ia hanya berhasil menemui kakak dan ibunya. Kakak YH menyatakan, bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa, semua diserahkan kepada adiknya yang menjalani pernikahan. Ia mengatakan bahwa adiknya ketika

meninggal) tapi ibunya punya usaha travel. YH sendiri memiliki mobil Elf dan dia sendiri yang menyupir.

Sebelum menikah, YH sering main ke rumah Am. Saat itu, ia masih sekolah di STM kelas 3. Keduanyapun kemudian ‘berpacaran’. Masa pacaran dijalani cukup lama sekitar 5 tahun. Sesuai kesepakatan berdua, pada saat yang telah ditentukan, YH-pun melamar Am ditemani ibunya.Setelah satu bulan, atas kesepakatan pihak keluarga, kemudian ditetapkan hari pernikahan. Perkawinan Am dan YH dilakukan di rumah YH yaitu Desa Singaraja. Perkawinan dirayakan cukup meriah dan mengundang kyai untuk ceramah agama.

Rumah tangga Am dan YH awalnya berjalan harmonis, tidak ada kendala soal ekonomi sebab YH menyupir sendiri mobil Elf-nya untuk trayek penumpang Indramayu- Cirebon, sehingga penghasilannya cukup lumayan, bahkania sendiri sering membawa penumpang dari biro travel milik ibunya ke berbagai kota. Sejak menikah hingga empat tahun pernikahan Am dan YH belum dikaruniai anak. Untuk ‘memancing’ anak, Am-pun mengadopsi anak dari kakaknya (ponakan) dan kini sudah danggap anak sendiri.

Pada tahun 2011, suami Am mulai jarang pulang, ketika ditanya alasannya, YH mengatakan bahwa ia banyak mengantar/membawa penumpang. Ternyata ketika YH mulai sering pergi dan lama tidak pulang, YH mempunyai pacar di Yogya, bahkan kemudian dijadikan istrinya. Suatu saat YH pulang ke Indramayu dan istri barunya tetap tinggal di Yogyakarta. Karena jarak yang jauh, saat YH ‘bergilir’ ke istri muda maka dia menetap lebih lama, jadi hanya sesekali saja pulang ke Indramayu.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim192

dikonfirmasi, YHberkeras begitu (ingin poligami). Setelah mendengar penjelasan pihak keluarga YH, bahwa YH tidak berubah (tetap ingin poligami). Ketika Am juga menyampaikan (konfirmasi) ke YH, ia mengatakan tidak mau menceraikan, tapi jika Am yang mengajukan ia setuju dan akan mengganti biaya perceraian.Lebe Hafid akhirnya berani meneruskan gugatan cerai dari Amdan mengajukannya ke Pengadilan Agama (PA).

Setelah pengajuan cerai gugat dikabulkan oleh PA, Am tinggal di rumah orang tuanya. Sehari-hari ia merawat anak angkatnya. Untuk mendapat tambahan uang, Kini (2015), Am bekerja di Warnet sebagai tukang pembersih.Ia bekerja sejak pukul 04.30 sd pukul 06.00 (pagi). Untuk biaya hidup saat ini ia dan anak (angkat) nya masih menerima uang dari YH, uang itu langsung dikirim oleh YH ke Am di rumah orang tuanya. Am belum berniat untuk bersuami lagi, ia masih trauma, ia ingin kerja saja mencari uang buat diri sendiri dan anak angkatnya

c. Pasangan Jd (Suami) dan Cl (Istri)

Cl (istri), umurnya 16 tahun saat menikah dengan Jd (suami), pendidikannya tidak sampai lulus SD. Saat ini (2015) ia tinggal di rumah orang tuanya. Ayahnya bekerja sebagai supir.Ia menikah dengan Jd (suami), saat itu umur Jd 17 tahun saat menikah. Ia bekerja sebagai buruh bangunan.

Pada tahun 2004, Jd main ke kampung, dikenalkan teman, empat bulan kemudian dilamar, saat lamaran, bibi Jd datang mewakili pihak keluarga, tidak lama setelah dilamar, pada waktu yang telah ditentukan akhirnya kemudian keduanya menikah dengan acara yang relatif

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 193

sederhana, pesta perkawinan dilangsungkan di rumah orang tua Cl. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2004, dalam pesta itu pihak keluarga istri mengundang tetangga, keluarga dekat, dan teman-teman kedua pasangan.

Satu bulan setelah menikah, keduanya tinggal di rumah orang tuaCl. Setelah itu baru pindah ke rumah orang tua Jd di daerah Tegal Sembadra Kecamatan Balongan. Dalam waktu yang relatif lama, keduanya berhasil membangun rumah tangga yaitu selama tujuh tahun. Dalam kurun waktu tujuh tahun tersebut keduanya berhasil menjalani kehidupan rumah tangga hingga keduanya dikarunia dua anak. Beberapa tahun kemudian, mulai ada cekcok dalam rumah tangga, sebab penghasilan Jd tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Maklum pekerjaan Jd hanya buruh bangunan. Keadaan itu sebenarnya oleh Cl masih tidak dianggap terlalu mengganggu.Ia masih bisa menerima, namun bagaimanapun ekonomi berpengaruh pada kehidupan rumah tangga.

Cekcok makin meningkat di tahun 2013, sebab Jd suka bawa perempuan (pacar). Konflik semakin meningkat pada bulan Agustus 2013, Jd menyampaikan keinginan untuk menikah lagi, di depan matanya, Jd berani membawa perempuan. bahkan dengan terus terang ia mengatakan sudah tidak suka denganCl.

Pada tahun 2014, Jd semakin sering terlihat bersama perempuan lain (pacar). Ayah pernah melihat sendiri Jd membawa perempuan naik motor. Ia juga menerima laporan bahwa Jd sudah tinggal di kosan dengan seorang perempuan. Ia bersama ayahnya mendatangi kosan dan menemukan Jd dengan wanita lain. Saat itu juga orang tua

dikonfirmasi, YHberkeras begitu (ingin poligami). Setelah mendengar penjelasan pihak keluarga YH, bahwa YH tidak berubah (tetap ingin poligami). Ketika Am juga menyampaikan (konfirmasi) ke YH, ia mengatakan tidak mau menceraikan, tapi jika Am yang mengajukan ia setuju dan akan mengganti biaya perceraian.Lebe Hafid akhirnya berani meneruskan gugatan cerai dari Amdan mengajukannya ke Pengadilan Agama (PA).

Setelah pengajuan cerai gugat dikabulkan oleh PA, Am tinggal di rumah orang tuanya. Sehari-hari ia merawat anak angkatnya. Untuk mendapat tambahan uang, Kini (2015), Am bekerja di Warnet sebagai tukang pembersih.Ia bekerja sejak pukul 04.30 sd pukul 06.00 (pagi). Untuk biaya hidup saat ini ia dan anak (angkat) nya masih menerima uang dari YH, uang itu langsung dikirim oleh YH ke Am di rumah orang tuanya. Am belum berniat untuk bersuami lagi, ia masih trauma, ia ingin kerja saja mencari uang buat diri sendiri dan anak angkatnya

c. Pasangan Jd (Suami) dan Cl (Istri)

Cl (istri), umurnya 16 tahun saat menikah dengan Jd (suami), pendidikannya tidak sampai lulus SD. Saat ini (2015) ia tinggal di rumah orang tuanya. Ayahnya bekerja sebagai supir.Ia menikah dengan Jd (suami), saat itu umur Jd 17 tahun saat menikah. Ia bekerja sebagai buruh bangunan.

Pada tahun 2004, Jd main ke kampung, dikenalkan teman, empat bulan kemudian dilamar, saat lamaran, bibi Jd datang mewakili pihak keluarga, tidak lama setelah dilamar, pada waktu yang telah ditentukan akhirnya kemudian keduanya menikah dengan acara yang relatif

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim194

menanyakan kepada Jd, dan ia mengakuinya. Maka pihak orang tua, merasa kecewa dengan Jd dan mendukung Cl yang ingin bercerai karena Jd berselingkuh dengan wanita lain.

Ketika Cl menyampaikan niat ingin menggugat cerai.Jd mengatakan,“Kalo mau cerai ya udah kamu yang urus, nanti uangnya saya ganti.”Cl pun akhirnya mendatangi Lebe Hafid dan mneyampaikan keinginan menggugat cerai, semula keinginannya itu tidak direspon, namun setelah tiga kali, barulah keinginannya ditidak lanjuti oleh Lebe Hafid. Keinginan Cl itu ditindaklanjuti,setelah Lebe Hafidz merasa yakin dengan niat Cl.Ia kemudian mendatangi keluarga Jd dan menyampaikan maksud istrinya yang menggugat cerai. Pihak keluarga menyatakan sudah tidak bisa lagi menasehati Jd, mereka sudah menyerah, sebab anaknya bersikeras tidak mau merubah sikapnya.

Setelah bercerai dengan Jd, kini (2015) Cl bekerja serabutan kadang mencuci baju milik tetangga, atau pekerjaan lain. Meski sudah bercerai, Jd masih memberikan uang untuk kebutuhan anaknya. Saat ini kedua anaknya terpisah, anak pertama tinggal di orang tua Jd sedangkan yang kecil bersama Cl.

4. Dampak Cerai Gugat

Perceraian adalah peristiwa yang sangat tidak diharapkan oleh siapapun. Namun keputusan bercerai melalui cerai gugat, terpaksa dilakukan oleh istri kerena merasa tidak ada pilihan lain. Dari tiga kasus yang secara singkat telah diuraikan, nampak keputusan itu terpaksa

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 195

diambil karena pilihan tetap membina rumah tangga akan terasa lebih berat dan lebih terasa menyiksa batin. Setelah bercerai, secara ekonomi dampaknya tidak begitu terasa, sebab saat ini mereka bisa tinggal bersama orang tua, merekapun bisa bekerja walau hanya mendapatkan gaji/honor kecil karena kerja serabutan (tidak tetap).Namun bukan berarti tidak ada persoalan, meski dampak dari perceraian nampaknya telah lama difikirkan, soal psikologis merupakan persoalan paling serius yang dirasakan oleh pihak istri.Ada kekecewaan yang mendalam atas perilaku suami yang tidak menjaga kesetiaan dan menghargai komitmen dalam rumah tangga.

Sementara bagi anak-anak, usia anak Am dan Cl yang masih kecil (di bawah lima tahun) belum memahami apa yang terjadi dalam hubungan orang tuanya. Sehingga secara psikologis belum bisa dilihat (belum membekas). Namun ada sedikit kesulitan bagi Cl, sebab saat ini untuk anak ke dua diasuh oleh Cl sendiri, sedangkan anak pertamanya diasuh oleh mertuanya. Ketika ingin bertemu maka ia harus pergi ke mertuanya tersebut.

Untuk kehidupan ke depan, Ns berencana untuk kembali menjadi TKI di luar negeri, ia sudah mendaftarkan diri di salah satu agen tenaga kerja. Ami saat ini bekerja bekerja di Warnet sebagai tukang pembersih, ia juga masih mendapatkan uang dari mantan suaminya (YH), baik keperluan dirinya maupun anak angkatnya. Sementara Cl bekerja serabutan kadang dengan mencuci baju milik tetangga, atau pekerjaan lain. Mantan suami (Jd) juga masih memberikan uang untuk kebutuhan anaknya.Ketiganya (Ns, Am dan Cl) hingga

menanyakan kepada Jd, dan ia mengakuinya. Maka pihak orang tua, merasa kecewa dengan Jd dan mendukung Cl yang ingin bercerai karena Jd berselingkuh dengan wanita lain.

Ketika Cl menyampaikan niat ingin menggugat cerai.Jd mengatakan,“Kalo mau cerai ya udah kamu yang urus, nanti uangnya saya ganti.”Cl pun akhirnya mendatangi Lebe Hafid dan mneyampaikan keinginan menggugat cerai, semula keinginannya itu tidak direspon, namun setelah tiga kali, barulah keinginannya ditidak lanjuti oleh Lebe Hafid. Keinginan Cl itu ditindaklanjuti,setelah Lebe Hafidz merasa yakin dengan niat Cl.Ia kemudian mendatangi keluarga Jd dan menyampaikan maksud istrinya yang menggugat cerai. Pihak keluarga menyatakan sudah tidak bisa lagi menasehati Jd, mereka sudah menyerah, sebab anaknya bersikeras tidak mau merubah sikapnya.

Setelah bercerai dengan Jd, kini (2015) Cl bekerja serabutan kadang mencuci baju milik tetangga, atau pekerjaan lain. Meski sudah bercerai, Jd masih memberikan uang untuk kebutuhan anaknya. Saat ini kedua anaknya terpisah, anak pertama tinggal di orang tua Jd sedangkan yang kecil bersama Cl.

4. Dampak Cerai Gugat

Perceraian adalah peristiwa yang sangat tidak diharapkan oleh siapapun. Namun keputusan bercerai melalui cerai gugat, terpaksa dilakukan oleh istri kerena merasa tidak ada pilihan lain. Dari tiga kasus yang secara singkat telah diuraikan, nampak keputusan itu terpaksa

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim196

saat ini (2015) belum berniat untuk bersuami lagi, ia masih trauma, ia ingin kerja saja mencari uang buat diri sendiri dan anaknya.

5. Peran Struktur Sosial dalam Kasus Cerai Gugat

Salah satu struktur sosial yang biasanya berperan dalam pembinaan perkawinan perkawinan dan menjadi lembaga konsultasi perceraian adalah BP4.Kepengurusan BP4 ada di tingkat nasional, provinsi, kota/kabupaten, dan Kecamatan. Untuk di Kabupaten Indramayu keberadaan BP4 nampaknya belum dapat dikatakan eksis, saat ini kepengurusan BP4 hanya ada ‘papan nama’ di sejumlah KUA kecamatan yang ada di Indramayu. Bahkan untuk tingkat kabupaten kepengurusan BP4 belum terbentuk.

Saat ini struktur sosial yang dapat dikatakan berperan dalam mengurusi perceraian di Indramayu adalah lebe, yang keberadaannya lebih bersifat individu. Kedudukan lebe sendiri lebih mirip sebagai staf non PNS dan non honorer kelurahan atau desa. Setiap kelurahan/desa memiliki satu orang lebe. Meski statusnya tidak mendapat gaji/honor, peran lebe sangat signifikan di masyarakat. Sejumlah tugas dan fungsi melekat pada seorang lebe dalam melayani masyarakat, dari mulai pengurusan kematian, hari besar keagamaan, dan kegiatan keagamaan lainnya yang dilakukan di tingkat kelurahan/desa, namun status yang paling dikenal oleh masyarakat adalah di bidang membantu mengurus pendaftaran pernikahanpernikahan, dan menjadi mediator sekaligus mengurus gugatan perceraian di Pengadilan Agama.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 197

Dengan rutinitasnya mengurus pendaftaran perkawinan dan perceraian, stigma negatif kadang diberikan sejumlah masyarakat kepada lebe sebagai ‘calo’ atau ‘biro jasa’ dalam dua kasus tersebut. Stigma tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab status lebe adalah resmi sebagai anggota masyarakat yang diangkat oleh aparat kelurahan/desa. Di samping itu, keberadaan lebe yang notabene tokoh agama, sangat membantu masyarakat dalam mengurusi pendaftaran perkawinan perkawinan maupun perceraian yang keduanya merupakan persoalan yang dekat dengan wilayah keagamaan.

Dalam kasus perceraian di Indaramayu, masyarakat umumnya menggunakan jasa lebe. Fungsi lebe ternyata tidak hanya soal administrasi mengurus pendaftaran perceraian, namun juga menjadi mediator kedua belah pihak. Sebagai contoh dalam kasus perceraian antara Ns dan Mj yang disebabkan Mj (suami) berbohong dan mengaku status duda, padahal telah beristri dengan seorang wanita berstatus TKI di Arab Saudi. Pada awalnya kasus gugat cerai itu disampaikan oleh Ns kepada Lebe Mulyani, setelah ia menerima informasi itu Mulyanikemudian memverifikasinya kepada kedua belah pihak. Lebe Mulyani mendatangi Mj (suami Ns) dan orang tuanya. Di sini, Lebe Mulyani juga berusaha melakukan mediasi awal. Di depan Mj, Lebe Mulyani menjelaskan bahwa ia mewakili Ns untuk melakukan cerai gugat. Mulyani ingin mengetahui tanggapan dari Mj. Jika masih ada kemungkinan untuk diperbaiki hubungan keduanya (suami-istri) maka lebe berusaha untuk memperbaiki hubungan tersebut, namun jika tidak ada tanda untuk kembali membina rumah tangga, maka barulah ia meneruskannya ke pengadilan agama. Dalam

saat ini (2015) belum berniat untuk bersuami lagi, ia masih trauma, ia ingin kerja saja mencari uang buat diri sendiri dan anaknya.

5. Peran Struktur Sosial dalam Kasus Cerai Gugat

Salah satu struktur sosial yang biasanya berperan dalam pembinaan perkawinan perkawinan dan menjadi lembaga konsultasi perceraian adalah BP4.Kepengurusan BP4 ada di tingkat nasional, provinsi, kota/kabupaten, dan Kecamatan. Untuk di Kabupaten Indramayu keberadaan BP4 nampaknya belum dapat dikatakan eksis, saat ini kepengurusan BP4 hanya ada ‘papan nama’ di sejumlah KUA kecamatan yang ada di Indramayu. Bahkan untuk tingkat kabupaten kepengurusan BP4 belum terbentuk.

Saat ini struktur sosial yang dapat dikatakan berperan dalam mengurusi perceraian di Indramayu adalah lebe, yang keberadaannya lebih bersifat individu. Kedudukan lebe sendiri lebih mirip sebagai staf non PNS dan non honorer kelurahan atau desa. Setiap kelurahan/desa memiliki satu orang lebe. Meski statusnya tidak mendapat gaji/honor, peran lebe sangat signifikan di masyarakat. Sejumlah tugas dan fungsi melekat pada seorang lebe dalam melayani masyarakat, dari mulai pengurusan kematian, hari besar keagamaan, dan kegiatan keagamaan lainnya yang dilakukan di tingkat kelurahan/desa, namun status yang paling dikenal oleh masyarakat adalah di bidang membantu mengurus pendaftaran pernikahanpernikahan, dan menjadi mediator sekaligus mengurus gugatan perceraian di Pengadilan Agama.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim198

kasus Ns vs Mj, kedua belah pihak sulit dimediasi oleh Mulyani, sebab pihak Mj bersikeras bahwa ia ingin berpoligami, sementara Ns juga bersikeras menolak dipoligami.

Peran dan eksistensi lebe dalam mediasi perceraian sangat positif sehingga perlu diapresiasi. Pemerintah kiranya bisa meningkatkan optimalisasi peran tersebut dengan memberikan dukungan yang memadai, baik dari segi kapasitas maupun insentif lainnya. Selama ini belum pernah ada program kegiatan yang dilaksanakan pemerintah dalam peningkatan kapasitas lebe dalam memediasi kasus-kasus perceraian. Selama ini, lebe lebih banyak dilibatkan dalam mensosialisasikan peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Agama, seperti biaya nikah, tata cara pembayaran biaya nikah, dan lainnya.

Dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama (PA) Indramayu, sebenarnya ada proses yang disebut mediasi. Dalam tahapan mediasi, kedua belah pihak akan diundang dan oleh hakim yang ditetapkan pihak PA keduanya akan diupayakan untuk bisa berdamai atau tidak melakukan perceraian. Namun demikian, dalam banyak kasus perceraian dengan proses cerai gugat, jarang sekali pihak suami mau datang ke PA, dengan alasan jika pihak sumai datang, maka proses persidangannya akan lebih lama.Untuk itu berdasarkan informasi, selama ini untuk kasus cerai gugat jarang ada mediasi, sebab berdasarkan ketentuan yang ada di PA, proses mediasi dilakukan jika, kedua belah pihak (suami-istri) mau hadir memenuhi undangan pihak PA. Dengan demikian mediasi di PA sebenarnya kurang maksimal sebagai upaya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 199

mencegah/mengantisipasi kasus-kasus perceraian, khususnya cerai gugat. Supyan, Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu yang biasa melakukan mediasi mengatakan, “ Kalo kasus yang sudah masuk ke PA, biasanya sulit didamaikan, sebab kasusnya sudah parah, jadi sebaiknya ada mediasi sebelum ke PA.” Masih menurut Supyan, pihak PA biasanya akan mengabulkan permohonan cerai gugat, jika ditemukan dalam rumah tangganya telah terjadi pertengkaran yang terus menerus yang tidak bisa didamaikan meski telah melibatkan keluarga sebagai pendamai.

PENUTUP

Kesimpulan

Secara umum, berdasarkan data yang diperoleh dari PA Kab.Indramayu, faktor tertinggi yang menjadi penyebab tingginya perceraian di Indramayu adalah ekonomi.Berdasarkan data yang ada, disebutkan bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena faktor ekonomi. Namun demikian, dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang kadang ikut mengiringi penyebab perceraian karena ekonomi tersebut yaitu, adanya perselingkuhan dan poligami tidak sehat (tidak sesuai prosedur), rendahnya tingkat pendidikan pasangan, banyaknya istri yang menjadi TKI di luar negeri, serta adanya unsur usia pasangan yang belum siap, hal ini diindikasikan dengan adanya beberapa perkawinan perkawinan dibawah umur.

Jumlah cerai gugat di Indramayu termasuk tinggi, pada tahun 2014 berdasarkan data dari Pengadilan Agama

kasus Ns vs Mj, kedua belah pihak sulit dimediasi oleh Mulyani, sebab pihak Mj bersikeras bahwa ia ingin berpoligami, sementara Ns juga bersikeras menolak dipoligami.

Peran dan eksistensi lebe dalam mediasi perceraian sangat positif sehingga perlu diapresiasi. Pemerintah kiranya bisa meningkatkan optimalisasi peran tersebut dengan memberikan dukungan yang memadai, baik dari segi kapasitas maupun insentif lainnya. Selama ini belum pernah ada program kegiatan yang dilaksanakan pemerintah dalam peningkatan kapasitas lebe dalam memediasi kasus-kasus perceraian. Selama ini, lebe lebih banyak dilibatkan dalam mensosialisasikan peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Agama, seperti biaya nikah, tata cara pembayaran biaya nikah, dan lainnya.

Dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama (PA) Indramayu, sebenarnya ada proses yang disebut mediasi. Dalam tahapan mediasi, kedua belah pihak akan diundang dan oleh hakim yang ditetapkan pihak PA keduanya akan diupayakan untuk bisa berdamai atau tidak melakukan perceraian. Namun demikian, dalam banyak kasus perceraian dengan proses cerai gugat, jarang sekali pihak suami mau datang ke PA, dengan alasan jika pihak sumai datang, maka proses persidangannya akan lebih lama.Untuk itu berdasarkan informasi, selama ini untuk kasus cerai gugat jarang ada mediasi, sebab berdasarkan ketentuan yang ada di PA, proses mediasi dilakukan jika, kedua belah pihak (suami-istri) mau hadir memenuhi undangan pihak PA. Dengan demikian mediasi di PA sebenarnya kurang maksimal sebagai upaya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim200

Kabpaten Indramayu, untuk cerai gugat (cerai yang diajukan istri) 72%, sedangkan cerai talak (cerai yang diajukan suami) hanya 28%.Berdasarkan kajian terhadap tiga kasus cerai gugat di Kab. Indramayu, keberanian istri melakukan gugat cerai didasar oleh beberapa faktor yaitu, pertama, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Kedua, adanya pihak yang mendukung melakukan niat bercerai, biasanya dukungan (pembelaan) dari orang tua. Ketiga, adanya asumsi bahwa kesusahan/penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan akan lebih ringan dibanding meneruskan atau tetap dalam pernikahanpernikahan. Keempat, adanya pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai gugat.

Setelah bercerai, dampak perceraian paling berat dirasakan oleh istri. Dari tiga kasus yang secara singkat telah diuraikan, nampak keputusan itu terpaksa diambil karena pilihan tetap membina rumah tangga akan terasa lebih berat dan lebih terasa menyiksa batin. Meski dampak dari perceraian nampaknya telah lama difikirkan, itu bukan berarti tidak ada persoalan, khususnya dampak psikologis, dimana istri merasakan kekecewaan akibat perilaku suami yang menyakiti secara psikologis.Adapun secara ekonomi dampaknya tidak begitu terasa, sebab saat ini mereka bisa tinggal bersama orang tua, merekapun bisa bekerja walau hanya mendapatkan gaji/honor kecil karena kerja serabutan (tidak tetap).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 201

Secara kelembagaan, setidaknya ada empat lembaga yang terkait dengan soal pembinaan perkawinan dan perceraian, yaitu BP4, KUA, Meditor di PA, dan lebe. Saat ini lembaga yang dapat dikatakan berperan dalam mengurusi perceraian di Indramayu adalah hanya lebe, keberadaan lebe yang notabene tokoh agama, sangat membantu masyarakat dalam mengurusi pendaftaran perkawinan maupun perceraian yang keduanya merupakan persoalan yang dekat dengan wilayah keagamaan. Dalam kasus perceraian di Indaramayu, masyarakat umumnya menggunakan jasa lebe, sehingga lebe bisa dikatakan efektif dalam memediasi perceraian.

Adapun untuk BP4 di Indramayu, saat ini keberadaan BP4 nampaknya belum dapat dikatakan eksis. Kepengurusan BP4 hanya ada ‘papan nama’ di sejumlah KUA kecamatan yang ada di Indramayu. Bahkan untuk tingkat kabupaten kepengurusan BP4 belum terbentuk. Sementara KUA, sebagaimana telah diketahui bahwa setelah berlakunya UU No. 3 Th 2006, maka mediasi perceraian dilakukan oleh pengadilan agama yang berada di bawah MA, dimana proses mediasi tersebut dijembatani oleh seorang hakim yang ditunjuk pengadilan agama tersebut. Sejak saat itu Peran KUA terkait pernikahan, kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan praperkawinan atau kursus calon pengantin.

Untuk mediasi oleh hakim di PA, selama ini kasus cerai gugat jarang ada mediasi, sebab berdasarkan ketentuan yang ada di PA, proses mediasi dilakukan jika, kedua belah pihak (suami-istri) mau hadir memenuhi undangan pihak PA. Dengan demikian maka mediasi di PA menjadi kurang maksimal sebagai upaya mencegah/mengantisipasi kasus-

Kabpaten Indramayu, untuk cerai gugat (cerai yang diajukan istri) 72%, sedangkan cerai talak (cerai yang diajukan suami) hanya 28%.Berdasarkan kajian terhadap tiga kasus cerai gugat di Kab. Indramayu, keberanian istri melakukan gugat cerai didasar oleh beberapa faktor yaitu, pertama, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Kedua, adanya pihak yang mendukung melakukan niat bercerai, biasanya dukungan (pembelaan) dari orang tua. Ketiga, adanya asumsi bahwa kesusahan/penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan akan lebih ringan dibanding meneruskan atau tetap dalam pernikahanpernikahan. Keempat, adanya pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai gugat.

Setelah bercerai, dampak perceraian paling berat dirasakan oleh istri. Dari tiga kasus yang secara singkat telah diuraikan, nampak keputusan itu terpaksa diambil karena pilihan tetap membina rumah tangga akan terasa lebih berat dan lebih terasa menyiksa batin. Meski dampak dari perceraian nampaknya telah lama difikirkan, itu bukan berarti tidak ada persoalan, khususnya dampak psikologis, dimana istri merasakan kekecewaan akibat perilaku suami yang menyakiti secara psikologis.Adapun secara ekonomi dampaknya tidak begitu terasa, sebab saat ini mereka bisa tinggal bersama orang tua, merekapun bisa bekerja walau hanya mendapatkan gaji/honor kecil karena kerja serabutan (tidak tetap).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim202

kasus perceraian, khususnya perceraian yang melalui cerai gugat, sebab sudah menjadi modus, jika ingin proses di PA itu segera selesai, maka pihak tergugat jangan sampai hadir, sehingga hakim bisa langsung mengabulkan permohonan cerai gugat tersebut.

Rekomendasi

1. Berdasarkan data yang ada di PA Kab. Indramayu, bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena factor ekonomi. Untuk itu upaya menanggulangi tingginya angka perceraian itu harus dilakukan melalui upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di segala bidang, seperti optimalisasi potensi daerah bagi peningkatan APBD, intensifikasi dan divertifikasi sumberdaya alam, peningkatan SDM, memperbanyak lapangan kerja, peningkatan bidang ekonomi kretaif, dan usaha lainnya yang bersifat memajukan ekonomi masyarakat dan pembangunan. Sementara terkait factor-faktor lain yang mengiringinya seperti perselingkuhan, poligami tidak sesuai prosedur, maka reorientasi paradigma keagamaan tentang bolehnya poligami perlu dilakukan.

2. Meski dalam laporan PA Kab. Indramayu disebutkan bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena faktor ekonomi. Namun hasil kajian ini juga menemukan bahwa faktor tersebut tidak berdiri sendiri. Ada faktor lain yang mengiringi yaitu, kurangnya perhatian suami terhadap istri sehingga terjadi perselisihan (pertengkaran) yang terus menerus. Untuk itu kajian ini merekomendasikan perlunya peningkatan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 203

program pembinaan keluarga yang dilakukan secara priodik, hal ini bisa dilakukan oleh Kementerian Agama melalui KUA atau Pemerintah Daerah melalui BP4.

3. Saat ini kepengurusan BP4 di sejumlah KUA kecamatan yang ada di Indramayu hanya ‘papan nama’. Bahkan untuk tingkat kabupaten kepengurusan BP4 belum terbentuk. Maka penelitian ini merekomendasikan agar secara kelembagaan BP4 di Kabupaten Indramayu perlu direvitalisasi, baik ditingkat Kabupaten maupun Kecamatan. Agar lebih efektif, seyogyanya BP4 masuk dalam pembinaan oleh pemerintah daerah, termasuk pendanaan kegiatannya. Kepengurusan BP4 juga seyogyanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu, sehingga dapat memberikan legitimasi bagi BP4 untuk akses ke pemerintah daerah.

4. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa peran lebe dalam memediasi perceraian sangat positif sehingga perlu diapresiasi, pemerintah kiranya bisa meningkatkan optimalisasi peran tersebut dengan memberikan dukungan yang memadai, baik dari segi kapasitas maupun insentif lainnya. Selama ini belum pernah ada program kegiatan yang dilaksanakan pemerintah dalam peningkatan kapasitas lebe dalam memediasi kasus-kasus perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

Said, Fuad.1993. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husna

Ihromi, Tapi Omas (ed). 1995. Kajian Wanita dalam pembangunan.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

kasus perceraian, khususnya perceraian yang melalui cerai gugat, sebab sudah menjadi modus, jika ingin proses di PA itu segera selesai, maka pihak tergugat jangan sampai hadir, sehingga hakim bisa langsung mengabulkan permohonan cerai gugat tersebut.

Rekomendasi

1. Berdasarkan data yang ada di PA Kab. Indramayu, bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena factor ekonomi. Untuk itu upaya menanggulangi tingginya angka perceraian itu harus dilakukan melalui upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di segala bidang, seperti optimalisasi potensi daerah bagi peningkatan APBD, intensifikasi dan divertifikasi sumberdaya alam, peningkatan SDM, memperbanyak lapangan kerja, peningkatan bidang ekonomi kretaif, dan usaha lainnya yang bersifat memajukan ekonomi masyarakat dan pembangunan. Sementara terkait factor-faktor lain yang mengiringinya seperti perselingkuhan, poligami tidak sesuai prosedur, maka reorientasi paradigma keagamaan tentang bolehnya poligami perlu dilakukan.

2. Meski dalam laporan PA Kab. Indramayu disebutkan bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena faktor ekonomi. Namun hasil kajian ini juga menemukan bahwa faktor tersebut tidak berdiri sendiri. Ada faktor lain yang mengiringi yaitu, kurangnya perhatian suami terhadap istri sehingga terjadi perselisihan (pertengkaran) yang terus menerus. Untuk itu kajian ini merekomendasikan perlunya peningkatan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim204

Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural. Yogyakarta: LkiS.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan.Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke Enam. Jakarta: Kencana.

Wong, Aline K. 1976. Women in Modern Singapore. London. Kuala Lumpur: University Press.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 205

GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN

(STUDI TENTANG DOMINASI CERAI GUGAT DI KOTA PEKALONGAN)

Oleh : Nur Rofiah & Kustini

SEKILAS KOTA PEKALONGAN

Pekalongan merupakan kota kecil dengan jumlah penduduk 298.595 jiwa pada tahun 2014. Lonjakan angka cerai gugat tidak terjadi, namun sejak lama dominasi cerai gugat atas cerai talak terjadi di Kota Batik ini. Kawakibi, sekretaris Panitera Pengadilan Agama Kota Pekalongan tidak menyebutkan secara pasti sejak kapan hal ini terjadi, namun bisa memastikan bahwa ia telah menemukan fenomena ini sejak mulai berkarir di Pengadilan Agama selama delapan tahun terakhir (Kawakibi Wawancara, Senin 20 April 2015). Pernyataan ini didukung oleh data perceraian Pengadilan Agama Kota Pekalongan dalam kurun waktu 2010-2014 yang menunjukkan bahwa meskipun angka cerai talak dan cerai gugat sama-sama fluktuatif, namun angka cerai gugat selalu lebih tinggi daripada cerai talak.

Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural. Yogyakarta: LkiS.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan.Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke Enam. Jakarta: Kencana.

Wong, Aline K. 1976. Women in Modern Singapore. London. Kuala Lumpur: University Press.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim206

Tabel-1 Jumlah Cerai Talak dan Cerai Gugat di Kota Pekalongan Tahun 2010-2014

Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah Jumla

h Persenta

se Jumla

h Persentas

e 2010 96 29% 238 71% 334 2011 92 25% 269 75% 361 2012 133 31% 293 69% 426 2013 165 32% 353 68% 518 2014 143 30% 332 70% 475

Sumber: Kantor Pengadilan Agama Kota Pekalongan

Data di atas menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir ini angka perceraian secara umum selalu naik kecuali pada tahun 2014, angka cerai talak naik pada tahun 2012 dan 2013, dan angka cerai gugat selalu naik kecuali pada tahun 2014. Sementara itu, cerai gugat selalu lebih tinggi daripada cerai talak setiap tahunnya. Jumlah cerai gugat per tahunnya berkisar antara 142 hingga 189 atau sekitar 36% hingga 50% lebih tinggi daripada cerai talak.

Menurut Wahid Abidin, Wakil Ketua PA Kota Pekalongan, dominasi cerai gugat atas cerai talak masih terjadi hingga kini. Selama tahun 2015 sampai dengan bulan Maret, Pengadilan Agama Kota Pekalongan telah memutuskan 37 cerai talak dan 74 cerai gugat di mana jumlah cerai gugat dua kali lipat dari cerai talak. Namun sebetulnya lebih tingginya angka cerai gugat daripada cerai talak ini sudah cukup lama terjadi di mana-mana, tidak hanya di Kota Pekalongan (Wawancara, Kamis 16 April 2015). Statemen ini sejalan dengan data Badan Peradilan Agama tentang angka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 207

perceraian di tingkat nasional tahun 2010-2014 sebagai berikut.

Tabel-2 Jumlah Cerai Talak dan Cerai Gugat se-Indonesia

Tahun 2010 – 2014 Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah

Jumlah Persentase Jumlah Persentase 2010 81.535 32% 169.673 68% 251.208 2011 85.779 31% 191.013 69% 276.792 2012 91.800 30% 212.505 70% 304.305 2013 111.456 31% 250.360 69% 361.816 2014 113.830 30% 268.381 70% 382.211

Sumber: Badan Peradilan Agama MA, 2014

Data tersebut menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir angka perceraian, secara nasional terus meningkat setiap tahun dan angka cerai gugat selalu lebih tinggi daripada cerai talak. Jumlah kasus cerai gugat berkisar antara 88.138 hingga 154.551 atau 38% sampai 40% lebih tinggi daripada cerai talak.

Naiknya angka perceraian di satu sisi dan dominasi cerai gugat atas cerai talak yang terus terjadi perlu menjadi perhatian serius, terutama setelah terjadi perubahan kebijakan yang sangat signifikan terkait dengan lembaga yang menangani perceraian. Semula Kementerian Agama mempunyai wewenang yang menyeluruh terkait perkawinan, mulai dari pengesahan perkawinan masyarakat Muslim melalui Kantor Urusan Agama, pembinaan keluarga sakinah melalui Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian

Tabel-1 Jumlah Cerai Talak dan Cerai Gugat di Kota Pekalongan Tahun 2010-2014

Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah Jumla

h Persenta

se Jumla

h Persentas

e 2010 96 29% 238 71% 334 2011 92 25% 269 75% 361 2012 133 31% 293 69% 426 2013 165 32% 353 68% 518 2014 143 30% 332 70% 475

Sumber: Kantor Pengadilan Agama Kota Pekalongan

Data di atas menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir ini angka perceraian secara umum selalu naik kecuali pada tahun 2014, angka cerai talak naik pada tahun 2012 dan 2013, dan angka cerai gugat selalu naik kecuali pada tahun 2014. Sementara itu, cerai gugat selalu lebih tinggi daripada cerai talak setiap tahunnya. Jumlah cerai gugat per tahunnya berkisar antara 142 hingga 189 atau sekitar 36% hingga 50% lebih tinggi daripada cerai talak.

Menurut Wahid Abidin, Wakil Ketua PA Kota Pekalongan, dominasi cerai gugat atas cerai talak masih terjadi hingga kini. Selama tahun 2015 sampai dengan bulan Maret, Pengadilan Agama Kota Pekalongan telah memutuskan 37 cerai talak dan 74 cerai gugat di mana jumlah cerai gugat dua kali lipat dari cerai talak. Namun sebetulnya lebih tingginya angka cerai gugat daripada cerai talak ini sudah cukup lama terjadi di mana-mana, tidak hanya di Kota Pekalongan (Wawancara, Kamis 16 April 2015). Statemen ini sejalan dengan data Badan Peradilan Agama tentang angka

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim208

Perkawinan (BP4), hingga pengesahan perceraian melalui Pengadilan Agama. Namun sejak tahun 2004, Pengadilan Agama telah dipindahkan ke Mahkamah Agung RI dan sejak tahun 2009 BP4 tidak lagi berada di dalam struktur Kementerian Agama. Dengan demikian wewenang Kementerian Agama terkait perkawinan tinggal pengesahannya saja.

Penelitian tentang alasan, dampak, dan respon struktur sosial atas cerai gugat menjadi penting dalam upaya memperbaiki sistem perkawinan dan mengupayakan ketahanan keluarga demi ketahanan bangsa sehingga meminimalisir terjadinya perceraian. Hal ini disebabkan oleh posisi penting perkawinan sebagai awal terbentuknya sebuah keluarga yang merupakan unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat, landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang mempunyai jaringan interaksi inerpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (Puspitawati, 2012). Perkawinan juga penting untuk selalu dijaga keutuhannya karena lembaga perkawinan yang terwujud dalam kehidupan keluarga terkait dengan berbagai sistem dalam kehidupan masyarakat seperti sistem politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan, maupun hukum kenegaraan (Eshleman, 2003).

Sistem perkawinan dan keluarga perlu dibuat agar suami, isteri, dan anak-anak mempunyai pilihan untuk hidup dalam keluarga yang harmonis dan terhindar dari pilihan yang sama-sama pahit, yaitu bertahan dalam perkawinan dan keluarga yang tidak sehat atau bercerai dengan resiko yang berat. Untuk itulah dipandang penting melakukan penelitian terkait cerai gugat karena perkawinan yang berakhir melalui cerai gugat mengindikasikan ketidakharmonisan keluarga dan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 209

ketidaknyamanan salah satu atau beberapa anggota keluarga sehingga isteri memilih untuk bercerai.

GAMBARAN KASUS CERAI GUGAT DI PEKALONGAN

Penelitian ini telah mendalami tiga kasus cerai gugat dengan karakteristik yang sudah ditentukan dalam desain penelitian yaitu: (1) cerai gugat yang terjadi tiga tahun terakhir dari penelitian dilaksanakan; (2) usia perkawinan ketika bercerai tidak lebih dari lima tahun. Penelitian ini mengambil tiga kasus sebagai berikut yaitu Riri, Rara, dan Rere (semua nama samaran).

Kasus 1 Riri (31 tahun) menikah pertama kali dengan teman SMA Riko (nama samaran) ketika Riri berusia 24 tahun. Madu pernikahan hanya dirasakan Riri selama 3 bulan. Setelah itu suaminya menjadi pemarah, mengeluarkan kata-kata kasar, dan tidak bertanggung jawab. Tiga bulan setelah menikah Riri hamil, namun hal itu tidak mengubah perilaku suaminya untuk menjadi suami yang bertanggung jawab. Bahkan ia meninggalkan rumah tanpa kabar berita. Belakangan diketahui bahwa Riko terjerat kasus narkoba sehingga harus melarikan diri untuk menghindari kejaran polisi. Karena tidak ada kepastian keberadaan suami selama lebih dari 4 tahun, maka Riri mengajukan cerai gugat. Perceraian tidak membuat Riri kapok untuk berumah tangga. Dua tahun kemudian, temen perempuan Riri memperkenalkannya dengan seorang laki-laki bernama Dadi (nama samaran). Entah dorongan dari mana akhirnya Riri mau dinikahi Dadi meski hatinya masih ragu. Suami kedua pun punya kebiasaan yang tidak baik, seperti pembohong,

Perkawinan (BP4), hingga pengesahan perceraian melalui Pengadilan Agama. Namun sejak tahun 2004, Pengadilan Agama telah dipindahkan ke Mahkamah Agung RI dan sejak tahun 2009 BP4 tidak lagi berada di dalam struktur Kementerian Agama. Dengan demikian wewenang Kementerian Agama terkait perkawinan tinggal pengesahannya saja.

Penelitian tentang alasan, dampak, dan respon struktur sosial atas cerai gugat menjadi penting dalam upaya memperbaiki sistem perkawinan dan mengupayakan ketahanan keluarga demi ketahanan bangsa sehingga meminimalisir terjadinya perceraian. Hal ini disebabkan oleh posisi penting perkawinan sebagai awal terbentuknya sebuah keluarga yang merupakan unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat, landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang mempunyai jaringan interaksi inerpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (Puspitawati, 2012). Perkawinan juga penting untuk selalu dijaga keutuhannya karena lembaga perkawinan yang terwujud dalam kehidupan keluarga terkait dengan berbagai sistem dalam kehidupan masyarakat seperti sistem politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan, maupun hukum kenegaraan (Eshleman, 2003).

Sistem perkawinan dan keluarga perlu dibuat agar suami, isteri, dan anak-anak mempunyai pilihan untuk hidup dalam keluarga yang harmonis dan terhindar dari pilihan yang sama-sama pahit, yaitu bertahan dalam perkawinan dan keluarga yang tidak sehat atau bercerai dengan resiko yang berat. Untuk itulah dipandang penting melakukan penelitian terkait cerai gugat karena perkawinan yang berakhir melalui cerai gugat mengindikasikan ketidakharmonisan keluarga dan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim210

tidak punya pekerjaan, tetapi gaya hidup ingin terlihat mewah, dan kasar pada anak Riri. Akhirnya dengan berat hati Riri kembali mengajukan cerai gugat. Kini Riri tinggal bersama kedua orang tuanya dan anak semata wayang hasil perkawinan pertamanya. Meski berstatus janda yang sering kali mendapat sindiran masyarakat sekitar, Riri tetap tegar menjalani hidup, menjadi karyawan di sebuah rumah makan sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan membiayai anaknya.

Kasus 2 Rara. Setelah empat tahun putus sekolah ketika kelas IV SD, Rara dinikahkan dengan laki-laki anak kenalan ibunya. Ketika itu ayah sudah meninggal. Karena tidak saling kenal, maka selama sebulan perkawinan mereka saling diam dan Rara tidak tahan karenanya. Lalu ia mengajukan gugatan cerai yang disetujui suaminya. Kemudian ia menikah lagi. Kali ini dengan laki-laki yang dipacarinya selama sebulan. Setelah melahirkan anak pertama berusia tiga bulan, suami pergi ke Jakarta untuk mencari nafkah. Tidak ada kabar, tidak ada uang yang dikirimkan sejak kepergiannya hingga keluarga suami mengabarkan bahwa ia telah menikah lagi. Ketika anak berusia enam tahun ia secara resmi menggugat cerai suami keduanya. Kemudian ia menikah lagi dengan laki-laki yang dikenal tukang kawin. Waktu itu si lelaki sudah punya istri sah dan dua istri siri. Istri sah sempat melabraknya. Para tetangga pun sudah mengingatkannya. Namun karena si lelaki berjanji hanya akan memberikan cintanya kepada Rara dan tidak akan menikah atau pacaran lagi setelah menikah dengannya, Rara pun mau dinikahi apalagi ketika itu istri sah calon suaminya sudah meninggal. Tenryata suami keduanya ini tidak ramah pada anak Rara dari perkawinan pertama,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 211

tidak menafkahi, bahkan numpang hidup pada Rara yang kerjanya serabutan. Bahkan ia diketahui kembali punya pacar lagi berkali-kali dan puncaknya adalah ketika suami pamit merantau ke pula sebrang untuk bekerja yang ternyata untuk kawin lagi dengan perempuan yang berasal dari kota yang sama dengan Rara. Akhirnya Rara mantap untuk mengajukan gugatan cerai pada suami ketiganya.

Kasus 3 Rere. Ia adalah perempuan mandiri yang cukup punya posisi di sebuah toko batik ternama di Pekalongan. Ia hidup bersama beberapa kakaknya yang sudah berkeluarga di rumah orangtua yang sudah meninggal semua. Ia menikah dengan lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Setelah menikah barulah ia tahu bahwa suaminya pelit dan sangat pencemburu. Ia mencemburui teman-teman lelaki Rere, dan yang paling parah adalah ketika ia mencemburui kakak ipar Rere. Pada suatu hari, suami mengajak ke rumah orangtuanya. Karena waktu hampir magrib, Rere minta perginya setelah magrib. Suami menganggap Rere tidak mau diajak pergi padahal menurut Rere tidak demikian karena semua baju pun sudah dikemas. Suami marah dan mengeluarkan ucapan, “Kamu aku jatuhi talak satu”. Lalu pergi meninggalkan Rere. Mereka kemudian saling diam. Rere menunggu inisiatif suami untuk minta maaf karena menjatuhkan talak tanpa alasan yang kuat. Namun suaminya tidak juga datang hingga berbulan-bulan. Rere pun merasa perkawinannya tidak perlu dipertahankan dan ia pun menabung. Setelah cukup ia secara resmi menggugat cerai suami.

Berdasarkan tiga kasus tersebut dan diperkaya dengan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para

tidak punya pekerjaan, tetapi gaya hidup ingin terlihat mewah, dan kasar pada anak Riri. Akhirnya dengan berat hati Riri kembali mengajukan cerai gugat. Kini Riri tinggal bersama kedua orang tuanya dan anak semata wayang hasil perkawinan pertamanya. Meski berstatus janda yang sering kali mendapat sindiran masyarakat sekitar, Riri tetap tegar menjalani hidup, menjadi karyawan di sebuah rumah makan sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan membiayai anaknya.

Kasus 2 Rara. Setelah empat tahun putus sekolah ketika kelas IV SD, Rara dinikahkan dengan laki-laki anak kenalan ibunya. Ketika itu ayah sudah meninggal. Karena tidak saling kenal, maka selama sebulan perkawinan mereka saling diam dan Rara tidak tahan karenanya. Lalu ia mengajukan gugatan cerai yang disetujui suaminya. Kemudian ia menikah lagi. Kali ini dengan laki-laki yang dipacarinya selama sebulan. Setelah melahirkan anak pertama berusia tiga bulan, suami pergi ke Jakarta untuk mencari nafkah. Tidak ada kabar, tidak ada uang yang dikirimkan sejak kepergiannya hingga keluarga suami mengabarkan bahwa ia telah menikah lagi. Ketika anak berusia enam tahun ia secara resmi menggugat cerai suami keduanya. Kemudian ia menikah lagi dengan laki-laki yang dikenal tukang kawin. Waktu itu si lelaki sudah punya istri sah dan dua istri siri. Istri sah sempat melabraknya. Para tetangga pun sudah mengingatkannya. Namun karena si lelaki berjanji hanya akan memberikan cintanya kepada Rara dan tidak akan menikah atau pacaran lagi setelah menikah dengannya, Rara pun mau dinikahi apalagi ketika itu istri sah calon suaminya sudah meninggal. Tenryata suami keduanya ini tidak ramah pada anak Rara dari perkawinan pertama,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim212

narasumber pendukung, hasil diskusi kelompok terfokus, dan hasil studi dokumen-dokumen yang relevan, maka dapat dianalaisis tiga hal yang terkait dengan permasalahan penelitian yaitu alasan isteri cerai gugat, dampak, serta respon struktur sosial.

ALASAN ISTERI CERAI GUGAT

Pengadilan Agama mengategorikan penyebab perceraian menjadi 15 faktor sebagai berikut: poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomis, tidak tanggungjawab, kawin di bawah umur, kekejaman jasmani, kekejaman mental, dihukum, cacat biologis, politis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan, dan lain-lain. Ketageori ke-15 yaitu lain-lain menunjukkan adanya alasan perceraian yang masih banyak. Namun demikian, perceraian termasuk cerai gugat pada umumnya menjadi puncak akumulasi beragam persoalan yang muncul sehingga alasan perceraian yang sesungguhnya dapat diduga kuat terdiri lebih dari satu hal. Oleh karena itu, alasan perceraian yang tertulis dalam data Pengadilan Agama mesti dilihat sebagai alasan yang paling utama. Adapun data faktor penyebab terjadinya perceraian di Kota Pekalongan adalah sebagai berikut:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 213

Tabel-3 Faktor Penyebab Perceraian

di Pengadilan Agama Kota Pekalongan 2010-2014 Faktor Penyebab 2010 2011 2012 2013 2014

Poligami Tidak Sehat 2 2 0 0 0 Krisis Akhlak 11 12 3 7 21 Cemburu 5 6 2 13 11 Kawin Paksa 2 2 0 0 1 Ekonomi 67 71 80 99 106 Tidak ada tanggungjawab 148 161 187 160 154 Kawin di bawah umur 0 0 0 0 0 Kekejaman Jasmani 2 2 1 7 7 Penganiayaan/Kekejaman Mental

2 2 1 0 0

Dihukum 1 1 0 0 1 Cacat biologis 2 3 1 4 6 Politis 0 0 0 0 0 Gangguan pihak ketiga 30 33 12 44 48 Tidak ada keharmonisan 62 72 134 133 52 Lain-lain 0 0 1 3 2

Sumber: Pengadilan Agama Kota Pekalongan, 2014

Data di atas menunjukkan bahwa empat faktor penyebab perceraian yang paling dominan di setiap tahun adalah tidak ada tanggung jawab, ekonomi, tidak ada keharmonisan, dan gangguan pihak ketiga. Tidak ada tanggungjawab menjadi angka faktor penyebab perceraian yang tertinggi di setiap tahunnya :

narasumber pendukung, hasil diskusi kelompok terfokus, dan hasil studi dokumen-dokumen yang relevan, maka dapat dianalaisis tiga hal yang terkait dengan permasalahan penelitian yaitu alasan isteri cerai gugat, dampak, serta respon struktur sosial.

ALASAN ISTERI CERAI GUGAT

Pengadilan Agama mengategorikan penyebab perceraian menjadi 15 faktor sebagai berikut: poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomis, tidak tanggungjawab, kawin di bawah umur, kekejaman jasmani, kekejaman mental, dihukum, cacat biologis, politis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan, dan lain-lain. Ketageori ke-15 yaitu lain-lain menunjukkan adanya alasan perceraian yang masih banyak. Namun demikian, perceraian termasuk cerai gugat pada umumnya menjadi puncak akumulasi beragam persoalan yang muncul sehingga alasan perceraian yang sesungguhnya dapat diduga kuat terdiri lebih dari satu hal. Oleh karena itu, alasan perceraian yang tertulis dalam data Pengadilan Agama mesti dilihat sebagai alasan yang paling utama. Adapun data faktor penyebab terjadinya perceraian di Kota Pekalongan adalah sebagai berikut:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim214

Tabel-4 Dominasi Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Kota Pekalongan 2010-2014

Faktor Penyebab 2010 2011 2012 2013 2014 Tidak ada tanggungjawab

148 161 187 160 154

Ekonomi 67 71 80 99 106 Tidak ada keharmonisan

62 72 134 133 52

Gangguan pihak ketiga 30 33 12 44 48 Sumber: Pengadilan Agama Kota Pekalongan, 2015

Data di atas sejalan dengan pernyataan Mustaqoroh, Ketua PA Kota Pekalongan, bahwa faktor ekonomi mempunyai andil dalam gugat cerai masyarakat Kota Pekalongan, baik bagi kelas menengah ke bawah maupun kelas menengah ke atas.

Angka cerai gugat di Kota Pekalongan ini tinggi. Sebagian besar terjadi karena masalah ekonomi yaitu tidak ada tanggung jawab suami untuk memenuhi nafkah bagi keluarganya. Ada pula istri yang lebih kuat secara ekonomi namun karena suami tidak peduli, maka istri menggugat. Kasus lain terjadinya cerai gugat adalah krisis moral yakni perselingkuhan dan perzinahan yang banyak terjadi pada masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas. (Wawancara, 16 April 2015).

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa faktor ekonomi meskipun mempunyai andil besar sebagai pemicu cerai gugat, namun persoalan utamanya bukanlah faktor ekonomi itu sendiri melainkan tidak adanya tanggungjawab sebagai suami, baik ketika ekonomi keluarga kurang maupun cukup.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 215

Tidak adanya tanggungjawab suami sebagai alasan utama diperkuat oleh hasil wawancara dengan tiga narasumber utama dan hasil Kelompok Diskusi Terfokus dengan kader Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang terdiri dari perempuan yang telah atau sedang melakukan gugat cerai, dan perempuan yang melakukan pendampingan pada mereka. Dalam diskusi ini terungkap bahwa proses cerai gugat pada umumnya diawali dengan status gantung yang cukup lama, yakni tidak dicerai namun juga tidak diberi nafkah sama sekali selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Pada masa tersebut, perempuan sudah menjalani kehidupan seperti janda, yakni menafkahi diri sendiri dan anaknya tanpa dukungan materi maupun non materi dari suami.

Hasil penelitian ini menunjukkan hal-hal yang membuat seorang perempuan mantap untuk melakukan cerai gugat, sebagai berikut:

1. Istri dinikahkan dibawah umur dengan laki-laki yang tidak dikenalnya. Kemudian saling diam selama sebulan. Lalu suami menyetujui usulan istri untuk gugat cerai,

2. Suami merantau untuk bekerja ketika anak pertama berusia tiga bulan tetapi tidak memberi kabar, tidak mengirim uang, ternyata menikah lagi dan sampai sekarang anak berusia 10 tahun tidak pernah bertemu ayahnya,

3. Suami pamit ke pulau lain untuk bekerja, ternyata untuk menikah lagi dengan perempuan yang berasal dari kota yang sama dengan istri,

Tabel-4 Dominasi Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Kota Pekalongan 2010-2014

Faktor Penyebab 2010 2011 2012 2013 2014 Tidak ada tanggungjawab

148 161 187 160 154

Ekonomi 67 71 80 99 106 Tidak ada keharmonisan

62 72 134 133 52

Gangguan pihak ketiga 30 33 12 44 48 Sumber: Pengadilan Agama Kota Pekalongan, 2015

Data di atas sejalan dengan pernyataan Mustaqoroh, Ketua PA Kota Pekalongan, bahwa faktor ekonomi mempunyai andil dalam gugat cerai masyarakat Kota Pekalongan, baik bagi kelas menengah ke bawah maupun kelas menengah ke atas.

Angka cerai gugat di Kota Pekalongan ini tinggi. Sebagian besar terjadi karena masalah ekonomi yaitu tidak ada tanggung jawab suami untuk memenuhi nafkah bagi keluarganya. Ada pula istri yang lebih kuat secara ekonomi namun karena suami tidak peduli, maka istri menggugat. Kasus lain terjadinya cerai gugat adalah krisis moral yakni perselingkuhan dan perzinahan yang banyak terjadi pada masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas. (Wawancara, 16 April 2015).

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa faktor ekonomi meskipun mempunyai andil besar sebagai pemicu cerai gugat, namun persoalan utamanya bukanlah faktor ekonomi itu sendiri melainkan tidak adanya tanggungjawab sebagai suami, baik ketika ekonomi keluarga kurang maupun cukup.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim216

4. Suami tidak memberikan nafkah, bahkan dinafkahi padahal istri hanya kerja serabutan sehingga adanya suami malah memperberat beban hidup,

5. Suami tidak bisa bersikap baik pada anak bawaan istri,

6. Istri menyadari watak suami yang egois tetapi berharap perkawinan akan mengubah wataknya ternyata tidak,

7. Suami masih suka pulang malam dan main dengan teman-teman layaknya masih bujangan,

8. Suami tinggal beda kota untuk menghindari jeratan hukum, tidak memberikan perhatian, baik materi maupun non materi padahal istri sedang hamil. Ketika istri melahirkan tidak pulang, dan ketika di kemudian hari pulang pun tidak berusaha bertemu anaknya,

9. Suami tinggal di luar kota, istri menghadapi sendiri kesulitan mengatur waktu antara menjaga bayi dan bekerja demi menafkahi keluarga. Sementara keluarga mertua dan orangtua sama-sama tidak sanggup dititipi anak karena juga sibuk mencari nafkah,

10. Istri telah meragukan kejujuran suami bahkan nyaris membatalkan perkawinan tetapi undangan telah beredar dan setelah menikah banyak kebohongan suami yang terbukti,

11. Suami melakukan kekerasan fisik pada istri atau pada anak bawaan istri,

12. Suami mudah mengancam cerai pada istri karena kasus yang sepele,

13. Suami pergi begitu saja setelah mengagunkan sertifikat rumah mertua ke bank untuk usaha namun karena usaha

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 217

macet kemudian tidak mampu mencicil. Istri lalu menjadi TKW untuk melunasi hutang tersebut agar rumah tidak disita bank,

14. Suami tidak memahami pekerjaan istri yang mengharuskan banyak pergi, sementara suami juga tidak mampu menafkahi dengan semestinya,

15. Suami kerap memarahi istri di depan teman-teman kerjanya,

16. Tinggal bersama mertua dan tidak akur,

17. Suami menunjukkan rasa suka pada adik istri,

18. Suami menikah lagi dengan perempuan lain dan tinggal tidak jauh dari rumah istri,

19. Suami mementingkan kebutuhan sekunder daripada kebutuhan primer keluarga.

Alasan gugat cerai di atas pada umumnya terjadi lebih dari satu, berlangsung dalam bentuk yang beragam, dan dalam masa yang cukup lama hingga istri meyakini bahwa makna perkawinan sudah tidak ada atau dalam istilah salah seorang narasumber: duwe bojo karo ora nduwe bojo podo wae (punya suami dan tidak punya suami sama saja) (Wawancara; 18 April 2015).

DAMPAK CERAI GUGAT

Perempuan yang mengajukan cerai gugat pada umumnya telah menjalani kehidupan tanpa kehadiran figur suami yang cukup lama. Mungkin mereka secara fisik berada di dekatnya namun tidak mampu menjadi figur seorang suami. Lebih-lebih jika suami istri hidup berjauhan yang

4. Suami tidak memberikan nafkah, bahkan dinafkahi padahal istri hanya kerja serabutan sehingga adanya suami malah memperberat beban hidup,

5. Suami tidak bisa bersikap baik pada anak bawaan istri,

6. Istri menyadari watak suami yang egois tetapi berharap perkawinan akan mengubah wataknya ternyata tidak,

7. Suami masih suka pulang malam dan main dengan teman-teman layaknya masih bujangan,

8. Suami tinggal beda kota untuk menghindari jeratan hukum, tidak memberikan perhatian, baik materi maupun non materi padahal istri sedang hamil. Ketika istri melahirkan tidak pulang, dan ketika di kemudian hari pulang pun tidak berusaha bertemu anaknya,

9. Suami tinggal di luar kota, istri menghadapi sendiri kesulitan mengatur waktu antara menjaga bayi dan bekerja demi menafkahi keluarga. Sementara keluarga mertua dan orangtua sama-sama tidak sanggup dititipi anak karena juga sibuk mencari nafkah,

10. Istri telah meragukan kejujuran suami bahkan nyaris membatalkan perkawinan tetapi undangan telah beredar dan setelah menikah banyak kebohongan suami yang terbukti,

11. Suami melakukan kekerasan fisik pada istri atau pada anak bawaan istri,

12. Suami mudah mengancam cerai pada istri karena kasus yang sepele,

13. Suami pergi begitu saja setelah mengagunkan sertifikat rumah mertua ke bank untuk usaha namun karena usaha

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim218

disertai dengan pengabaian. Hal ini menjadi semakin parah ketika perempuan telah mempunyai anak sehingga figur ayah bagi anaknya juga tidak terpenuhi. Dalam kondisi seperti ini, perceraian yang sesungguhnya bukan hal baik menjadi pilihan terbaik di antara pilihan buruk yang ada, yakni bertahan dalam perkawinan yang telah kehilangan maknanya, ataukah mengajukan cerai gugat dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, cerai gugat di samping mempunyai dampak negatif, ia juga mempunyai dampak positif jika dibandingkan dengan kondisi buruk masa perkawinan, sebagaimana pengakuan salah satu narasumber:

Saya menguatkan diri untuk mengajukan perceraian. Ketika Hakim mengetok palu tanda perceraian itu diputuskan, saya juga sedih. Menjalani hidup sebagai status janda sesungguhnya lebih berat dibandingkan dengan digantung dalam perkawinan. Tapi saya berpikir perceraian akan lebih baik bagi masa depan saya. Ketika saya bilang ke suami (melalui telfon), bahwa saya mau mengajukan gugat cerai, dia hanya bilang “Terserah kowe. Sak karepmu”. Saya sudah cerai dua kali. Rasanya sekarang lebih lega. Hidup lebih membaik. Sebab walaupun selama ini menikah rasanya tidak sesuai dengan keinginan. Saya mencoba untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang istri tapi suami tidak ada perubahan. Saya sudah berusaha menjadi istri yang baik, tapi tidak ada imbalannya. Akhirnya saya memutuskan untuk bercerai kembali. (Wawancara, 18 April 2015).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 219

Dampak cerai gugat juga dirasakan oleh keluarga perempuan. Ibu salah seorang narasumber merasa bersalah karena telah ikut menyetujui anaknya melakukan gugat cerai:

Saya kadang berfikir apakah sikap saya pada anak saya ini bener. Di satu sisi saya kasihan anak saya diperlakukan tidak baik oleh suaminya sehingga saya mendorong dia untuk melakukan gugat cerai. Tapi setelah diputus cerai seperti sekarang saya berpikir terus apakah saya berdosa? (Wawancara, 19 April 2015)

Perempuan yang mengajukan cerai gugat sebagaimana diungkapkan di awal mempunyai dua pilihan yang sama-sama tidak ideal. Dampak positif muncul jika dibandingkan dengan perkawinan dan keluarga yang tidak sehat sebelum cerai gugat. Berikut adalah dampak positif cerai gugat :

1. Memperoleh status hukum yang jelas,

2. Terbebas dari harapan untuk dinafkahi oleh suami yang tidak peduli,

3. Terbebas dari kewajiban sebagai istri yang sulit dilakukan karena status gantung,

4. Terbebas dari cek-cok berkelanjutan dengan suami,

5. Terbebas dari rasa cemburu karena adanya orang ketiga,

6. Berkurang beban ekonomi karena tidak harus menafkahi suami semnetara menafkahi diri sendiri dan anak dari suami sebelumnya juga sudah berat,

7. Terbebas dari aneka kekerasan suami (fisik, psikologis, seksual, finansial, dan spiritual),

disertai dengan pengabaian. Hal ini menjadi semakin parah ketika perempuan telah mempunyai anak sehingga figur ayah bagi anaknya juga tidak terpenuhi. Dalam kondisi seperti ini, perceraian yang sesungguhnya bukan hal baik menjadi pilihan terbaik di antara pilihan buruk yang ada, yakni bertahan dalam perkawinan yang telah kehilangan maknanya, ataukah mengajukan cerai gugat dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, cerai gugat di samping mempunyai dampak negatif, ia juga mempunyai dampak positif jika dibandingkan dengan kondisi buruk masa perkawinan, sebagaimana pengakuan salah satu narasumber:

Saya menguatkan diri untuk mengajukan perceraian. Ketika Hakim mengetok palu tanda perceraian itu diputuskan, saya juga sedih. Menjalani hidup sebagai status janda sesungguhnya lebih berat dibandingkan dengan digantung dalam perkawinan. Tapi saya berpikir perceraian akan lebih baik bagi masa depan saya. Ketika saya bilang ke suami (melalui telfon), bahwa saya mau mengajukan gugat cerai, dia hanya bilang “Terserah kowe. Sak karepmu”. Saya sudah cerai dua kali. Rasanya sekarang lebih lega. Hidup lebih membaik. Sebab walaupun selama ini menikah rasanya tidak sesuai dengan keinginan. Saya mencoba untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang istri tapi suami tidak ada perubahan. Saya sudah berusaha menjadi istri yang baik, tapi tidak ada imbalannya. Akhirnya saya memutuskan untuk bercerai kembali. (Wawancara, 18 April 2015).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim220

8. Hubungan dengan keluarga besar istri membaik terutama mereka yang cerai gugat karena ada persoalan yang tersangkut dengan keluarga istri seperti suami yang mengganggu adik istri, dan suami yang menggadaikan sertifikat rumah orangtua istri lalu kabur,

9. Bisa memulai hidup baru dengan orang yang mungkin lebih baik,

10. Dapat fokus bekerja dan membesarkan anak dengan tenang walau tanpa ayahnya,

Di samping dampak positif, perempuan yang melayangkan cerai gugat juga mengalami dampak negatif, yakni jika dibandingkan dengan kehidupan perkawinan dan keluarga sehat yang tidak diperoleh perempuan sebelum cerai gugat, yaitu:

1. Menghadapi stigma janda sebagai perempuan yang tidak pandai menjadi istri, penggoda suami orang, kesepian, pilah-pilih, dll,

2. Lawan jenis lebih terbuka melancarkan godaan dan perhatian, baik yang bersifat serius maupun tidak,

3. Meskipun hubungan antara anak dan ayah tidak putus karena perkawinan, nafkah anak dalam cerai gugat semakin macet,

4. Memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan anaknya walau hanya dengan kerja serabutan,

5. Menjalankan peran sebagai ayah sekaligus ibu bagi anak-anak,

6. Sendiri mengurus segala keperluan sekolah anak,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 221

7. Anak jarang bertemu ayahnya bahkan ada yang tidak pernah bertemu ayahnya hingga usia 10 tahun,

8. Sikap suami yang tidak terima digugat cerai dan mengancam akan menabrak sampai mati siapa saja yang menikahinya,

Dampak negatif cerai gugat di atas pada umumnya telah dialami oleh istri yang melakukan gugat cerai setelah masa status gantung cukup lama sehingga perbedaan yang muncul hanyalah pada status hukum dan segala implikasinya.

RESPON STRUKTUR SOSIAL ATAS CERAI GUGAT

Di Kota Pekalongan terdapat empat stake holder yang berhubungan langsung dengan urusan perkawinan, yaitu Kantor Kementerian Agama melalui Kantor Urusan Agama (KUA) yang mengesahkan perkawinan, BP4 yang bertugas melestarikan perkawinan, Pengadilan Agama yang berwenang mengesahkan perceraian, dan tokoh masyarakat dan agama yang menjadi rujukan masyarakat ketika menghadapi masalah perkawinan.

Kantor Urusan Agama se-Kota Pekalongan yaitu KUA Pekalongan Barat, Timur, Selatan dan Utara hingga kini bersama-sama melaksanakan Kursus Calon Pengantin (Suscatin) setiap hari Selasa dari jam 08-30 sampai dengan jam 12.30 bertempat di Kantor BP4 yang diikuti oleh calon pengantin atau pasangan suami-istri yang baru menikah. Materi meliputi kebijakan yang terkait dengan perkawinan oleh Kantor Kementerian Agama, Fiqih Munakahat dan keluarga sakinah oleh KUA atau penyuluh struktural, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) oleh Dinas Kesehatan, dan materi tentang Keluarga Berencana. Suscatin bersifat anjuran

8. Hubungan dengan keluarga besar istri membaik terutama mereka yang cerai gugat karena ada persoalan yang tersangkut dengan keluarga istri seperti suami yang mengganggu adik istri, dan suami yang menggadaikan sertifikat rumah orangtua istri lalu kabur,

9. Bisa memulai hidup baru dengan orang yang mungkin lebih baik,

10. Dapat fokus bekerja dan membesarkan anak dengan tenang walau tanpa ayahnya,

Di samping dampak positif, perempuan yang melayangkan cerai gugat juga mengalami dampak negatif, yakni jika dibandingkan dengan kehidupan perkawinan dan keluarga sehat yang tidak diperoleh perempuan sebelum cerai gugat, yaitu:

1. Menghadapi stigma janda sebagai perempuan yang tidak pandai menjadi istri, penggoda suami orang, kesepian, pilah-pilih, dll,

2. Lawan jenis lebih terbuka melancarkan godaan dan perhatian, baik yang bersifat serius maupun tidak,

3. Meskipun hubungan antara anak dan ayah tidak putus karena perkawinan, nafkah anak dalam cerai gugat semakin macet,

4. Memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan anaknya walau hanya dengan kerja serabutan,

5. Menjalankan peran sebagai ayah sekaligus ibu bagi anak-anak,

6. Sendiri mengurus segala keperluan sekolah anak,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim222

dan biayanya pun masih sumbangan sukarelawan dari petugas KUA. Pengisi materi pun tidak diberi honor. Kursus ini, meskipun durasinya sangat minim tetap dipandang penting karena menjadi sarana pembekalan calon pengantin atau pengantin baru dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Suscatin di Kota Pekalongan seharusnya menjadi program BP4. Namun saat ini kursus digerakkan oleh KUA karena kondisi BP4 di Kota ini secara kelembagaan sedang vakum. Setelah berada di luar struktur Kementerian Agama, BP4 menjadi lembaga independen yang dikelola oleh PNS aktif, PNS purna tugas lintas instansi, maupun swasta. Hanya saja posisi ketua tidak boleh dijabat oleh PNS aktif. Kepengurusan BP4 Kota Pekalongan sebetulnya sudah terbentuk sejak Januari 2015, namun hingga kini (Juni 2015) SK kepengurusan belum juga turun. BP4 tidak bisa melakukan kegiatan apa pun tanpa ada landasan hukumnya. Seperti juga di berbagai wilayah lain, kondisi BP4 di Kota Pekalongan saat ini belum sepenuhnya menjalankan fungsi-fungsi strategis sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BP4 pasca Musyawarah Nasional ke 14 tahun 2009 (Khairunnida, 2013).

Pengadilan Agama, sebagaimana BP4, juga mengalami perubahan struktural sangat signifikan. Setelah pindah ke Mahkamah Agung, tugas dan wewenang peradilan agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 semakin banyak meliputi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara umat Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi Syariah. Perkara yang ditangani Pengadilan Agama semakin beragam, namun jumlah hakim Pengadilan Agama sangat terbatas. Di Kota Pekalongan,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 223

Pengadilan Agama hanya memiliki enam orang hakim, 1 orang Hakim Ketua dan 1 orang Hakim Wakil Ketua yang menangani 30 hingga 40 perkara setiap bulannya (Wawancara: Kamis 16 April 2015). Dalam proses penyelesaian perkara perceraian, PA mensyaratkan proses mediasi sebagai syarat sah putusan perceraian. Meskipun dibolehkan mediator non hakim yang bersertifikat, namun karena mediator seperti ini belum ada dan jika ada pun pihak yang berperkara harus membayar ekstra, maka proses mediasi hingga kini dilakukan oleh mediator hakim. Mediasi hanya boleh dilakukan pada pasangan yang telah mendaftarkan perkaranya. Jadi proses mediasi di satu sisi hanya dilakukan oleh hakim yang jumlahnya terbatas dengan perkara banyak dan pendekatannya pun hukum, di sisi lain pasangan suami istri yang telah mendaftarkan perceraiannya di Pengadilan Agama pun pada umumnya telah mempunyai keinginan bulat untuk cerai.

Peran BP4 yang sangat strategis dalam proses pelestarian perkawinan ini kemudian ditumpukan pada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Melalui pengajian dan majelis taklim, masyarakat kemudian memperoleh pengetahuan tentang bagaimana sebuah perkawinan itu mesti dijaga. Namun demikian, pengajian dan majelis taklim adalah forum belajar agama secara umum sehingga tidak selalu menyinggung persoalan perkawinan dan keluarga. Misalnya Pengajian Jam’iyahan Muslimat NU yang diasuh Ustadzah Faizah. Meskipun Jam’iyahan berlangsung tiga kali seminggu, yaitu setiap Kamis malam, Jum’at siang, dan Jum’at malam, namun menurut pengakuannya forum ini belum manjadi sarana pendidikan tentang perkawinan bagi masyarakat. Materi yang diberikan oleh Ustadz hanyalah seputar akhlak (Wawancara, Sabtu 18 April 2015).

dan biayanya pun masih sumbangan sukarelawan dari petugas KUA. Pengisi materi pun tidak diberi honor. Kursus ini, meskipun durasinya sangat minim tetap dipandang penting karena menjadi sarana pembekalan calon pengantin atau pengantin baru dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Suscatin di Kota Pekalongan seharusnya menjadi program BP4. Namun saat ini kursus digerakkan oleh KUA karena kondisi BP4 di Kota ini secara kelembagaan sedang vakum. Setelah berada di luar struktur Kementerian Agama, BP4 menjadi lembaga independen yang dikelola oleh PNS aktif, PNS purna tugas lintas instansi, maupun swasta. Hanya saja posisi ketua tidak boleh dijabat oleh PNS aktif. Kepengurusan BP4 Kota Pekalongan sebetulnya sudah terbentuk sejak Januari 2015, namun hingga kini (Juni 2015) SK kepengurusan belum juga turun. BP4 tidak bisa melakukan kegiatan apa pun tanpa ada landasan hukumnya. Seperti juga di berbagai wilayah lain, kondisi BP4 di Kota Pekalongan saat ini belum sepenuhnya menjalankan fungsi-fungsi strategis sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BP4 pasca Musyawarah Nasional ke 14 tahun 2009 (Khairunnida, 2013).

Pengadilan Agama, sebagaimana BP4, juga mengalami perubahan struktural sangat signifikan. Setelah pindah ke Mahkamah Agung, tugas dan wewenang peradilan agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 semakin banyak meliputi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara umat Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi Syariah. Perkara yang ditangani Pengadilan Agama semakin beragam, namun jumlah hakim Pengadilan Agama sangat terbatas. Di Kota Pekalongan,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim224

Masyarakat Kota Pekalongan memberikan kepercayaan pada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Para tokoh inilah yang dimintai nasehat ketika mengalami masalah perkawinan. Namun kendalanya adalah para tokoh ini juga masih punya pandangan agama yang kadang adil gender namun kadang juga bias gender. Misalnya opini salah satu tokoh agama berikut ini:

Salah satu hal yang prinsip dalam Islam adalah istri tidak boleh pergi tanpa izin suami. Kalau istri tetap pergi dan suami tidak suka (tidak mengizinkan) sehingga menceraikan, itu adalah hal yang wajar. Tetapi suami tidak harus (tidak wajib) izin ketika akan pergi, hanya memang sebaiknya memberi tahu kepada istri. Jika pun istri tidak setuju dan suami tetap pergi, bukanlah suatu dosa bagi suami (Wawancara dengan amil/lebe Kelurahan Kramat Sari, 21 April 2015).

ANALISIS

Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan tidak hanya mengandung komitmen antara suami dengan istri tetapi juga komitmen antara suami-istri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan dengan demikian, tidak hanya dipandang sebagai perjanjian sosial yang mengandung tanggungjawab kepada masyarakat dan negara melainkan juga perjanjian spiritual yang mengandung nilai-nilai agama atau ketuhanan. Meskipun berbeda dengan definisi perkawinan Fiqih klasik, namun cara pandang atas perkawinan yang mengaitkan dengan nilai-nilai ritual dan sakral agama dalam UU Perkawinan tersebut justru sejalan dengan istilah al-Qur’an yang menyebut perkawinan sebagai Mitsaqan Ghalizhan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 225

(perjanjian kokoh) (Anshor, 2012), sejalan dengan konsep sakinah, mawaddah wa rahmah dalam al-Qur’an (keluarga harmonis) yaitu sebuah keluarga yang seluruh anggota keluarga merasa tenang dan tentram, tidak ada kekerasan, kebutuhan, hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga terpenuhi dengan baik (Rofiah, 2012), dan juga sejalan dengan hadis yang mengaitkan relasi suami-istri dengan konsep ketaqwaan pada Allah (HR. Bukhari). Di Masyarakat beragama seperti Indonesia, norma agama sejatinya selalu mewarnai kehidupan perkawinan, dan selalu ada hubungan antara sistem keagamaan dengan sistem keluarga, sehingga apapun yang terjadi dalam kehidupan perkawinan merupakan implementasi atas pemahaman keagamaan terkait perkawinan dan keluarga (Eshleman, 2003).

Alasan utama istri melakukan cerai gugat adalah karena ia sudah meyakini bahwa makna perkawinan telah hilang. Jika dilihat dari teori pertukaran social, maka dalam relasi perkawinan itu istri tidak lagi merasa memperoleh kebahagiaan (reward), dan lebih banyak mengalami kesulitan atau penderitaan (social cost). Sakinah (ketenteraman) dalam istilah al-Qur’an dan kebahagiaan lahir batin dalam istilah UU Perkawinan sebagai tujuan perkawinan telah gagal dicapai. Tidak adanya tanggungjawab suami atau ayah menjadi sangat krusial karena masyarakat Muslim meyakini bahwa suami atau ayah dalam keluarga mempunyai peran sebagai penanggungjawab keluarga (Qawwam). Quraish Shihab menjelaskan bahwa Qa’im adalah istilah untuk orang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya, sedangkan Qawwam disematkan pada orang yang melaksanakan tugas tersebut sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang (Shihab, 2009). Laki-laki disebut Qawwam oleh an-Nisa/4:34 berarti bahwa mereka

Masyarakat Kota Pekalongan memberikan kepercayaan pada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Para tokoh inilah yang dimintai nasehat ketika mengalami masalah perkawinan. Namun kendalanya adalah para tokoh ini juga masih punya pandangan agama yang kadang adil gender namun kadang juga bias gender. Misalnya opini salah satu tokoh agama berikut ini:

Salah satu hal yang prinsip dalam Islam adalah istri tidak boleh pergi tanpa izin suami. Kalau istri tetap pergi dan suami tidak suka (tidak mengizinkan) sehingga menceraikan, itu adalah hal yang wajar. Tetapi suami tidak harus (tidak wajib) izin ketika akan pergi, hanya memang sebaiknya memberi tahu kepada istri. Jika pun istri tidak setuju dan suami tetap pergi, bukanlah suatu dosa bagi suami (Wawancara dengan amil/lebe Kelurahan Kramat Sari, 21 April 2015).

ANALISIS

Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan tidak hanya mengandung komitmen antara suami dengan istri tetapi juga komitmen antara suami-istri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan dengan demikian, tidak hanya dipandang sebagai perjanjian sosial yang mengandung tanggungjawab kepada masyarakat dan negara melainkan juga perjanjian spiritual yang mengandung nilai-nilai agama atau ketuhanan. Meskipun berbeda dengan definisi perkawinan Fiqih klasik, namun cara pandang atas perkawinan yang mengaitkan dengan nilai-nilai ritual dan sakral agama dalam UU Perkawinan tersebut justru sejalan dengan istilah al-Qur’an yang menyebut perkawinan sebagai Mitsaqan Ghalizhan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim226

adalah orang yang semestinya melaksanakan tugas sebagai penanngungjawab keluarga sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang.

Salah satu tugas utama atau apa yang paling diharapkan dari seorang suami adalah perlindungan atas istri dan pemenuhan kebutuhan hidup sebagaimana disebutkan pada an-Nisa/4:34 dan dikukuhkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 ayat 1. Tidak adanya pemberian nafkah lahir maupun batin terjadi terutama pada masa status gantung yang berlangsung cukup lama sebelum istri melakukan cerai gugat. Tidak adanya tanggungjawab yang menjadi faktor penyebab cerai gugat paling dominan di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa Qiwamah (kepemimpinan dalam keluarga) tidak berjalan semestinya dan menjadi alasan yang dibenarkan oleh UU Perkawinan maupun Fiqih sebagai alasan cerai gugat.

Menurut teori pertukaran social (exchange theory) setiap pasangan melihat kehidupan perkawinan dalam dua tahapan. Pertama, pasangan membandingkan keuntungan relatif dalam perkawinan. Jika salah satu atau keduanya merasa hanya sedikit mendapatkan keuntungan, maka kepuasan perkawinan pasangan akan menjadi rendah, sehingga hidup tanpa perkawinan menjadi salah satu pilihan. Dalam kondisi seperti ini perceraian dianggap sebagai alternatif. Pada tingkatan kedua, pasangan membandingkan kebahagiaan dan kesulitan ketika berelasi dalam perkawinan. Dalam tahapan tertentu ia merasa lebih menguntungkan jika hidup selain dalam pernikahan, misalnya menjadi lajang kembali melalui perceraian (Klein and White, 1996). Cerai Gugat yang dilakukan oleh para narasumber utama penelitian ini

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 227

mengindikasikan keyakinan mereka bahwa perkawinan tidak lagi memberikan manfaat.

Dalam perkawinan yang berakhir dengan cerai gugat, seorang istri di samping tidak memperoleh harapan yang ditumpukan pada suami melalui perkawinannya, mereka juga mengalami beberapa bentuk ketidakadilan gender, meliputi marginalisasi (proses pemiskinan bagi kaum perempuan), subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype dan diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1997). Misalnya seorang narasumber mempunyai suami yang tidak menafkahi, bahkan dinafkahi istri, tetapi kemudian kemudian selingkuh. Istri dalam hal ini mengalami marginalisasi dalam bentuk tidak dilibatkan atas keputusan suami untuk menikah lagi, subordinasi dalam bentuk perasaan sakit hatinya dianggap tidak penting, pelabelan negatif dalam bentuk dipandang tidak becus sebagai istri sehingga suami mencari istri lagi, kekerasan dalam bentuk kekerasan psikologis, dan beban ganda karena ia menjalani fungsi sebagai ibu sekaligus ayah.

Cerai gugat sebagaimana cerai talak menyebabkan banyak perempuan akhirnya berperan sebagai orangtua tunggal, padahal sejak kecil tidak disiapkan menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. Ketika diharuskan menjadi kepala keluarga dan perncari nafkah tunggal, perempuan menjadi rentan untuk mendapatkan pekerjaan dengan resiko tinggi, bahkan menjadi korban perdagangan perempuan. Di samping itu, cerai gugat juga menyebabkan anak tumbuh tanpa figur ayah sebagai teladan yang mengakibatkan anak mengalami kebingungan ketika tumbuh menjadi remaja.

adalah orang yang semestinya melaksanakan tugas sebagai penanngungjawab keluarga sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang.

Salah satu tugas utama atau apa yang paling diharapkan dari seorang suami adalah perlindungan atas istri dan pemenuhan kebutuhan hidup sebagaimana disebutkan pada an-Nisa/4:34 dan dikukuhkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 ayat 1. Tidak adanya pemberian nafkah lahir maupun batin terjadi terutama pada masa status gantung yang berlangsung cukup lama sebelum istri melakukan cerai gugat. Tidak adanya tanggungjawab yang menjadi faktor penyebab cerai gugat paling dominan di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa Qiwamah (kepemimpinan dalam keluarga) tidak berjalan semestinya dan menjadi alasan yang dibenarkan oleh UU Perkawinan maupun Fiqih sebagai alasan cerai gugat.

Menurut teori pertukaran social (exchange theory) setiap pasangan melihat kehidupan perkawinan dalam dua tahapan. Pertama, pasangan membandingkan keuntungan relatif dalam perkawinan. Jika salah satu atau keduanya merasa hanya sedikit mendapatkan keuntungan, maka kepuasan perkawinan pasangan akan menjadi rendah, sehingga hidup tanpa perkawinan menjadi salah satu pilihan. Dalam kondisi seperti ini perceraian dianggap sebagai alternatif. Pada tingkatan kedua, pasangan membandingkan kebahagiaan dan kesulitan ketika berelasi dalam perkawinan. Dalam tahapan tertentu ia merasa lebih menguntungkan jika hidup selain dalam pernikahan, misalnya menjadi lajang kembali melalui perceraian (Klein and White, 1996). Cerai Gugat yang dilakukan oleh para narasumber utama penelitian ini

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim228

Sayangnya, meskipun tidak adanya tanggungjawab menjadi faktor dominan penyebab cerai gugat di Kota Pekalongan, namun struktur sosial formal perkawinan di Kota ini seperti KUA, BP4, dan PA justru sedang berada dalam masa transisi yang hingga kini belum menemukan sistem kordinasi yang efektif. Sementara itu, tokoh agama dan masyarakat serta lembaga yang bisa menjadi stake holder perkawinan pun masih memerlukan dukungan agar bisa memanfaatkan forum-forum sosial sebagai sarana pendidikan tentang perkawinan dan keluarga yang sakinah bagi seluruh anggota keluarga, yakni suami, istri, dan anak-anak sesuai perkembangan zaman.

PENUTUP

Kesimpulan

Perceraian bukanlah pilihan yang menyenangkan, baik bagi istri maupun suami dan juga anak-anak. Namun setelah mengalami pergulatan batin yang cukup lama, serta mempertimbangkan banyak hal (reward dan cost), akhirnya perempuan “berani” untuk menggugat cerai. Sebab utama cerai gugat adalah hilangnya makna perkawinan bagi perempuan yang dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab laki-laki, baik sebagai suami maupun ayah. Pasangan (khususnya suami) tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya mempertahankan ikatan perkawinan.

Ada dampak positif maupun negatif dari pasca cerai gugat. Stigma sebagai “janda” dengan segala risikonya harus dialami perempuan. Ia juga harus berperan sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal. Namun pasca cerai gugat istri

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 229

memiliki kepastian tentang masa depannya, status hukum yang jelas, lebih siap untuk hidup mandiri karena tidak ada harapan dinafkahi suami, serta terbebas dari perselisihan yang selama ini terjadi ketika masih dalam ikatan perkawinan. Dengan demikian, perempuan bisa memulai hidup baru yang dirasaan lebih baik ketimbang hidup dalam perkawinan.

Struktur sosial formal perkawinan dalam hal ini KUA, BP4, dan Pengadilan Agama sedang berada dalam masa transisi, baik dalam hal status kelembagaan maupun penguatan SDM, sehingga tidak bisa berperan secara maksimal dalam mempersiapkan perkawinan atau mempertahankannya. Sedangkan struktur sosial non formal perkawinan dalam hal ini tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga sosial yang terkait dengan perkawinan belum sepenuhnya berperan maksimal sebagai sebagai sarana pendidikan untuk membangun dan menguatkan kembali makna perkawinan..

Rekomendasi

Beberapa upaya untuk mempertahankan makna perkawinan yang selaras dengan perkembangan zaman perlu dilakukan, baik pada masa pra perkawinan, selama perkawinan, maupun ketika perkawinan mulai diwarnai perselisihan, apalagi jika sudah di ujung tanduk. Konsep keluarga sebagai sebuah tim perlu menjiwai konsep perkawinan dan keluarga dengan kata kunci ketersalingan. Relasi suami istri dengan pola partnership lebih memungkinkan bertahan daripada pola atasan dan bawahan. Relasi partnership memungkinkan suami-istri dan orangtua-anak untuk bertukar peran secara fleksibel. Pola relasi atasan

Sayangnya, meskipun tidak adanya tanggungjawab menjadi faktor dominan penyebab cerai gugat di Kota Pekalongan, namun struktur sosial formal perkawinan di Kota ini seperti KUA, BP4, dan PA justru sedang berada dalam masa transisi yang hingga kini belum menemukan sistem kordinasi yang efektif. Sementara itu, tokoh agama dan masyarakat serta lembaga yang bisa menjadi stake holder perkawinan pun masih memerlukan dukungan agar bisa memanfaatkan forum-forum sosial sebagai sarana pendidikan tentang perkawinan dan keluarga yang sakinah bagi seluruh anggota keluarga, yakni suami, istri, dan anak-anak sesuai perkembangan zaman.

PENUTUP

Kesimpulan

Perceraian bukanlah pilihan yang menyenangkan, baik bagi istri maupun suami dan juga anak-anak. Namun setelah mengalami pergulatan batin yang cukup lama, serta mempertimbangkan banyak hal (reward dan cost), akhirnya perempuan “berani” untuk menggugat cerai. Sebab utama cerai gugat adalah hilangnya makna perkawinan bagi perempuan yang dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab laki-laki, baik sebagai suami maupun ayah. Pasangan (khususnya suami) tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya mempertahankan ikatan perkawinan.

Ada dampak positif maupun negatif dari pasca cerai gugat. Stigma sebagai “janda” dengan segala risikonya harus dialami perempuan. Ia juga harus berperan sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal. Namun pasca cerai gugat istri

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim230

dan bawahan menjadi sangat riskan ketika suami yang didudukkan sebagai atasan tidak mampu memenuhi kewajibannya namun tetap mempertahankan otoritasnya. Misalnya sudah tidak bekerja, dinafkahi oleh istri, tapi sukanya memberikan perintah.

Pola partnership dalam perkawinan dan keluarga bisa ditanamkan secara terus menerus oleh para tokoh agama dalam beragam pengajian dan secara terstruktur dapat disampaikan dalam Kursus Calon Pengantin. Kursus ini mempunyai nilai strategis karena diberikan tepat ketika pasangan akan atau baru memasuki gerbang rumah tangga sehingga perlu dirancang model, modul, dan modalnya. Meskipun suscatin masih berlangsung di Kota Pekalongan, namun karena tidak adanya dukungan modal yang memadai, maka kursus menjadi berjalan ala kadarnya tanpa pemikiran matang mengenai model dan modul yang dijadikan acuan.

Vakumnya lembaga BP4 semakin memperlebar kekosongan ruang intervensi selama masa perkawinan. Pasangan suami-istri ketika mengalami masalah dalam perkawinan yang tidak bisa diatasi sendiri, sebagai dialami oleh tiga narasumber utama penelitian ini, memerlukan penengah yang cukup berwibawa untuk mendudukkan kedua belah pihak dan mendengarkan masalah versi masing-masing untuk kemudian bersama-sama mengupayakan solusi. BP4 menjadi penting untuk dikuatkan karena menjadi lembaga yang paling relevan untuk mengemban misi pelestarian perkawinan. Pemerintah daerah sudah semestinya memandang naiknya angka perceraian dan dominasi cerai gugat sebagai masalah serius dan bersedia memperkuat BP4 melalui SK kepengurusan yang diterbitkannya. Dengan dukungan Pemda, BP4 dapat lebih leluasa bergerak dan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 231

menjalin kerjasama dengan berbagai pihak di daerah tersebut dalam upaya pelestarian perkawinan. BP4 dapat merumuskan model dan modul pendidikan perkawinan dengan pola partnership yang akan disuarakan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat, model dan modul kursus calon pengantin yang akan diberikan pada calon pengantin dan pengantin baru, dan juga model dan modul penasehatan dan mediasi perkawinan. Dengan dukungan pemerintah daerah, BP4 tidak hanya bisa mengupayakan model dan modul, tetapi juga modal.

Pasangan suami-istri yang sudah sampai ke PA pada umumnya adalah mereka yang sudah tidak mampu mengatasi masalah perkawinannya. Dalam kondisi seperti ini, maka proses mediasi menjadi sangat penting untuk dilakukan secara lebih intensif dengan pendekatan kekeluargaan yang lebih mungkin dilakukan oleh mediator non hakim. BP4 dapat membantu PA untuk memperbanyak mediator non hakim bersertifikat yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan mengingat terbatasnya jumlah hakim dan meluasnya wewenang PA setelah pindah ke MA. Dengan demikian dalam menangani kasus perceraian dapat dijalin kerjasama yang terpadu antara BP4, Pengadilan Agama, maupun masyarakat melalui proses mediasi non hakim sehingga bisa menggunakan pendekatan kekeluargaan dan masa mediasi yang berjalan efektif.

Kualitas perkawinan dan keluarga memberi dampak langsung pada kualitas masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karenanya, kedua hal ini harus menjadi perhatian semua pihak. Pemda dapat memainkan peran secara maksimal dengan memberikan layanan terpadu perkawinan dan keluarga yang melibatkan seluruh stake holder yang ada di

dan bawahan menjadi sangat riskan ketika suami yang didudukkan sebagai atasan tidak mampu memenuhi kewajibannya namun tetap mempertahankan otoritasnya. Misalnya sudah tidak bekerja, dinafkahi oleh istri, tapi sukanya memberikan perintah.

Pola partnership dalam perkawinan dan keluarga bisa ditanamkan secara terus menerus oleh para tokoh agama dalam beragam pengajian dan secara terstruktur dapat disampaikan dalam Kursus Calon Pengantin. Kursus ini mempunyai nilai strategis karena diberikan tepat ketika pasangan akan atau baru memasuki gerbang rumah tangga sehingga perlu dirancang model, modul, dan modalnya. Meskipun suscatin masih berlangsung di Kota Pekalongan, namun karena tidak adanya dukungan modal yang memadai, maka kursus menjadi berjalan ala kadarnya tanpa pemikiran matang mengenai model dan modul yang dijadikan acuan.

Vakumnya lembaga BP4 semakin memperlebar kekosongan ruang intervensi selama masa perkawinan. Pasangan suami-istri ketika mengalami masalah dalam perkawinan yang tidak bisa diatasi sendiri, sebagai dialami oleh tiga narasumber utama penelitian ini, memerlukan penengah yang cukup berwibawa untuk mendudukkan kedua belah pihak dan mendengarkan masalah versi masing-masing untuk kemudian bersama-sama mengupayakan solusi. BP4 menjadi penting untuk dikuatkan karena menjadi lembaga yang paling relevan untuk mengemban misi pelestarian perkawinan. Pemerintah daerah sudah semestinya memandang naiknya angka perceraian dan dominasi cerai gugat sebagai masalah serius dan bersedia memperkuat BP4 melalui SK kepengurusan yang diterbitkannya. Dengan dukungan Pemda, BP4 dapat lebih leluasa bergerak dan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim232

wilayah tersebut. Layanan perkawinan dan keluarga satu pintu ini dapat memberikan layanan informasi dan pendidikan pra perkawinan, layanan administrasi hingga resepsi perkawinan, layanan penasehatan dan mediasi selama masa perkawinan, sehingga pasangan suami istri yang menginjakkan kaki ke PA telah dipastikan sebagai pasangan yang memang sudah tidak bisa dipertahankan perkawinannya.

Daftar Pustaka

Anshor, Maria Ulfah. Kompilasi Hukum Islam yang Ramah terhadap Perempuan:. Dalam Jurnal Perempuan Nomor 73 Tahun 2012 “Perkawinan dan Keluarga”, April 2012, h. 19-30.

Al-Baghawi, Muhyi as-Sunnah Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud, Syarhus Sunnah, Damaskus dan Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983, j. 9, h. 159

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h.81

Ar-Ra’ini, Khutab, Mawahib al-Jalil, Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th, j. 2, h. 268.

Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu Beirut: Dar al Fikr, 2006, j. 9, h.7008.

Creswell. John W. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among Five Approaches, London: Sage Publications, 2007.

Eshleman, J. Ross. The family. 10th Edition. New York: Pearson Education Inc, 2003.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 233

Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 1997, h. 12-23.

Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005, h. 38

Ghandur, Ahmad, ath-Thalaq fi asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1967, h. 259.

Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, Cetakan ke-2, h. 207

Hasyim, Syafiq, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam Sebuah Dokumentasi, Bandung, 2001, h. 155.

Herien, Puspitawati, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, Bogor, 2012, PT IPB Press.

Hoerudin, Ahrum, Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama), Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999, h. 20

Kesindo Utama, Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Surabaya: Kesindo Utama, 2012, h. 235

Khairunnida, Daan Dini. Peran BP4 dalam Mewujudkan Kelurga Sakinah Hasil Penelitian di 6 Wilayah. Jakarta. Kerjasama Rahima, BP4, UNFPA, dan KPPPA. 2013.

wilayah tersebut. Layanan perkawinan dan keluarga satu pintu ini dapat memberikan layanan informasi dan pendidikan pra perkawinan, layanan administrasi hingga resepsi perkawinan, layanan penasehatan dan mediasi selama masa perkawinan, sehingga pasangan suami istri yang menginjakkan kaki ke PA telah dipastikan sebagai pasangan yang memang sudah tidak bisa dipertahankan perkawinannya.

Daftar Pustaka

Anshor, Maria Ulfah. Kompilasi Hukum Islam yang Ramah terhadap Perempuan:. Dalam Jurnal Perempuan Nomor 73 Tahun 2012 “Perkawinan dan Keluarga”, April 2012, h. 19-30.

Al-Baghawi, Muhyi as-Sunnah Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud, Syarhus Sunnah, Damaskus dan Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983, j. 9, h. 159

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h.81

Ar-Ra’ini, Khutab, Mawahib al-Jalil, Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th, j. 2, h. 268.

Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu Beirut: Dar al Fikr, 2006, j. 9, h.7008.

Creswell. John W. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among Five Approaches, London: Sage Publications, 2007.

Eshleman, J. Ross. The family. 10th Edition. New York: Pearson Education Inc, 2003.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim234

Klein, David M. White, James M. Family Theories An Introduction, California: SAGE Publications, 1996.

Kustini, Perceraian di kalangan buruh migran perempuan: Studi kasus di Desa Kadupura, Kecamatan Cibodas Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis pada Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor, 2002.

Kustini, Keluarga harmoni dalam perspektif berbagai komunitas agama. Jakarta. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, 2011.

Rofiah, Nur. et al. Modul Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu, Penyuluh dan Konselor BP4, Jakarta. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013.

Rofiah, Nur dan Kustini. Perkawinan di Bawah Umur: Potret Buram Anak Perempuan di Cianjur, Dalam Jurnal Harmoni Vol. 13 Nomor 1 Mei – Agustus 2014, h. 146 -158.

Tim Redaksi, Sidang Perceraian tanpa dihadiri pihak suami http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51dab90028cba/sidang-perceraian-tanpa-dihadiri-pihak-suami

Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah, Beirut: Dar- al Fikr, 1995, j. 3, h. 208.

Shihab, Muhammad Qurasih, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2009, j.2, h. 511.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 235

TREND CERAI GUGAT DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI KABUPATEN

BANYUWANGI

Oleh: Zaenal Abidin dan Selamet

PROFIL KABUPATEN BANYUWANGI

Masyarakat Banyuwangi

Sebagai satu daerah yang sedang berkembang secara pesat, Kabupaten Banyuwangi terus mengadakan berbagai terobosan untuk mengangkat berbagai potensi yang dimiliki, baik potensi alam maupun potensi sosial yang berskala lokal, regional, nasional, dan internasional. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi dan antusiasme masyarakat dalam merespon dan mengikuti setiap usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah, melalui berbagai gerakan seperti Toilet Bersih Jeding Rijig, Pagelaran Kesenian Tradisional Banyuwangi yang diadakan setiap malam Minggu yang bertempat di Alun-Alun Blambangan, Penyelenggaraan Banyuwangi Ethnic Carnival (BEC), sampai pada event internasional seperti Banyuwangi International Tour The Ijen yang merupakan lomba balap sepeda yang diselenggarakan pada bulan Mei 2015 dan diikuti oleh peserta tidak kurang dari 20 negara.

Keberhasilan yang dicapai oleh Kabupaten Banyuwangi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat ditandai dengan meningkatnya Sumber Daya Manusia (SDM), harapan

Klein, David M. White, James M. Family Theories An Introduction, California: SAGE Publications, 1996.

Kustini, Perceraian di kalangan buruh migran perempuan: Studi kasus di Desa Kadupura, Kecamatan Cibodas Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis pada Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor, 2002.

Kustini, Keluarga harmoni dalam perspektif berbagai komunitas agama. Jakarta. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, 2011.

Rofiah, Nur. et al. Modul Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu, Penyuluh dan Konselor BP4, Jakarta. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013.

Rofiah, Nur dan Kustini. Perkawinan di Bawah Umur: Potret Buram Anak Perempuan di Cianjur, Dalam Jurnal Harmoni Vol. 13 Nomor 1 Mei – Agustus 2014, h. 146 -158.

Tim Redaksi, Sidang Perceraian tanpa dihadiri pihak suami http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51dab90028cba/sidang-perceraian-tanpa-dihadiri-pihak-suami

Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah, Beirut: Dar- al Fikr, 1995, j. 3, h. 208.

Shihab, Muhammad Qurasih, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2009, j.2, h. 511.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim236

hidup, serta pendapatan dan daya beli masyarakat, tidak terlepas dari sosok kepala daerah Kabupaten Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, M.Si, yang baru berusia 42 tahun. Karena itu, dia dianggap oleh banyak kalangan masyarakat Banyuwangi sebagai sosok pemimpin yang sukses dalam melakukan berbagai inovasi untuk memberikan layanan publik dan menunjukkan kinerja positif dalam membangun Banyuwangi, melalui Rancangan Tema Besar Pembangunan Banyuwangi yang dicanangkan pada tahun 2010 yaitu mewujudkan Banyuwangi lebih baik melalui peningkatan produktifitas pertanian, pariwisata dan UMKM. Kemudian tema besar tersebut dijabarkan menjadi sembilan pokok prioritas pembangunan daerah yang terdiri atas pendidikan, kesehatan, pertanian, pariwisata, UMKM, infrastruktur, perlindungan sosial, lingkungan hidup, dan kinerja birokrasi. Sehingga dengan kemajuan yang sudah dicapai saat ini, Banyuwangi dapat disebut juga sebagai “Mesin Pertumbuhan Baru Jawa Timur”, ini terbukti dengan 22 penghargaan yang diterima oleh Pemkab Banyuwangi selama tahun 2014 baik yang berskala nasional maupun lokal.

Sejarah Singkat dan Kearifan Lokal

Merujuk data sejarah Blambangan, tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa bersejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 237

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap, dan terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut Blambangan kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda (Lekkerkerker, 1923).

Berdasarkan data sejarah, nama Banyuwangi tidak dapat dilepaskan dari masa kejayaan Blambangan,sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767). Karena, saat itu VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan (Ibid.1923 :1045).

Masyarakat Banyuwangi termasuk masyarakat yang dengan gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda. Tahun 1771-1772 terjadi sebuah peristiwa heroik yaitu perlawanan atau pemberontakan yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Blambangan terhadap penjajah Belanda yang disebut dengan perang “Puputan Bayu” yang dipimpin oleh Rempeg atau Pangeran Jagapati yang terjadi di Bayu (sekarang kecamatan Songgon) Banyuwangi. Peperangan ini diakui oleh Belanda sendiri sebagai peperangan yang paling menegangkan dan paling banyak memakan korban (De Dramatische verenieetiging het Compagniesleger) dari peperangan manapun yang dilakukan VOC di Indonesia (Ibid, 1923:1056). Peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Belanda dibantu oleh ribuan laskar lokal bentukan Belanda dari mataram dan Madura.

Pejuang-pejuang Bayu yang tertangkap diperintahkan oleh Henrich untuk dibunuh, kepalanya dipotong dan

hidup, serta pendapatan dan daya beli masyarakat, tidak terlepas dari sosok kepala daerah Kabupaten Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, M.Si, yang baru berusia 42 tahun. Karena itu, dia dianggap oleh banyak kalangan masyarakat Banyuwangi sebagai sosok pemimpin yang sukses dalam melakukan berbagai inovasi untuk memberikan layanan publik dan menunjukkan kinerja positif dalam membangun Banyuwangi, melalui Rancangan Tema Besar Pembangunan Banyuwangi yang dicanangkan pada tahun 2010 yaitu mewujudkan Banyuwangi lebih baik melalui peningkatan produktifitas pertanian, pariwisata dan UMKM. Kemudian tema besar tersebut dijabarkan menjadi sembilan pokok prioritas pembangunan daerah yang terdiri atas pendidikan, kesehatan, pertanian, pariwisata, UMKM, infrastruktur, perlindungan sosial, lingkungan hidup, dan kinerja birokrasi. Sehingga dengan kemajuan yang sudah dicapai saat ini, Banyuwangi dapat disebut juga sebagai “Mesin Pertumbuhan Baru Jawa Timur”, ini terbukti dengan 22 penghargaan yang diterima oleh Pemkab Banyuwangi selama tahun 2014 baik yang berskala nasional maupun lokal.

Sejarah Singkat dan Kearifan Lokal

Merujuk data sejarah Blambangan, tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa bersejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim238

digantungkan di pohon-pohon atau ditancapkan di tonggak-tonggak pagar di sepanjang jalan desa. Dan sebanyak 2.505 orang sisa pejuang Blambangan terdiri dari laki-laki dan perempuan yang ditawan dan dibawa ke Pangpang, atas perintah Schophoff tidak sedikit yang dihukum mati dengan menenggelamkannya dengan pemberat batu ke laut, disiksa, dirajam, dibuang ke Surabaya atau ke Batavia sebagai budak, dan lain-lain (Ibid. 1923: 1060). Pasca peristiwa tersebut diperkirakan dari jumlah populasi rakyat Blambangan yang saat itu berkisar 65.000 orang hanya menjadi sekitar 5000 orang saja. J.C. Bosch. seorang pejabat Pemerintahan Belanda pernah menulis dari Bondowoso pada tahun 1848,” … daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang satu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali … ” (Anderson, 1982: 75 – 76). Masyarakat Blambangan yang tersisa akhirnya terpencar di pinggir-pinggir hutan dengan membentuk kelompok-kelompok dan identitas masing-masing. Mareka inilah yang kemudian diberi nama Suku Using. Penamaan Using sendiri bermakna “tidak”, sebagai sebutan karena secara status sosial mereka tidak mendapatkan pengakuan dari Belanda dan keberadaan mereka terasing di daerah pedalaman dan gunung-gunung (Ali, 1997).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur, termasuk Blambangan diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC. VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya, namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan yang baru akan dikelola sewaktu-waktu kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat meminta bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 239

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di Bandar Kecil Banyuwangi (saat itu disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Peperangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 itu, VOC memang berusaha merebut seluruh Blambangan. Namun, VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian, jelas bahwa lahirnya sebuah tempat yang kemudian dikenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi saksi terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional. (http://banyuwangikab.go.id/profil/sejarah-singkat )

Fakta sejarah yang mengiringi keberadaan Banyuwangi adalah munculnya kesenian Gandrung, yaitu sejenis tarian rakyat yang diiringi musik tradisional dan lantunan syair-syair. Kesenian ini tampil keliling ke tiap-tiap desa sebagai bentuk dan pola komunikasi antar tokoh dan

digantungkan di pohon-pohon atau ditancapkan di tonggak-tonggak pagar di sepanjang jalan desa. Dan sebanyak 2.505 orang sisa pejuang Blambangan terdiri dari laki-laki dan perempuan yang ditawan dan dibawa ke Pangpang, atas perintah Schophoff tidak sedikit yang dihukum mati dengan menenggelamkannya dengan pemberat batu ke laut, disiksa, dirajam, dibuang ke Surabaya atau ke Batavia sebagai budak, dan lain-lain (Ibid. 1923: 1060). Pasca peristiwa tersebut diperkirakan dari jumlah populasi rakyat Blambangan yang saat itu berkisar 65.000 orang hanya menjadi sekitar 5000 orang saja. J.C. Bosch. seorang pejabat Pemerintahan Belanda pernah menulis dari Bondowoso pada tahun 1848,” … daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang satu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali … ” (Anderson, 1982: 75 – 76). Masyarakat Blambangan yang tersisa akhirnya terpencar di pinggir-pinggir hutan dengan membentuk kelompok-kelompok dan identitas masing-masing. Mareka inilah yang kemudian diberi nama Suku Using. Penamaan Using sendiri bermakna “tidak”, sebagai sebutan karena secara status sosial mereka tidak mendapatkan pengakuan dari Belanda dan keberadaan mereka terasing di daerah pedalaman dan gunung-gunung (Ali, 1997).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur, termasuk Blambangan diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC. VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya, namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan yang baru akan dikelola sewaktu-waktu kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat meminta bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim240

komunitas pejuang Blambangan yang terpencar di antara desa-desa tersebut. Fakta ini dapat dipelajari dari syair-syair Gandrung yang diciptakan berisi pendorong semangat dan menyiratkan pesan-pesan perlawanan dan nilai-nilai perjuangan dengan menggunakan simbol-simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi. Sehingga karena pola-pola tersebut muncul persepsi bahwa di antara masyarakat Using yang berbeda tempat tinggal terjadi ketidakseragaman dalam dialek percakapan mereka, jangankan berbeda desa bahkan berbeda gang saja logatnya bisa tidak seragam. Fakta lainnya adalah kalau dalam masyarakat Surabaya, kata-kata “asu..! celeng..!” adalah merupakan bentuk umpatan, akan tetapi dalam komunikasi masyarakat using kata-kata tersebut adalah merupakan kode untuk mengenali identitas satu sama lain. (Eko Budi Setianto. Wawancara. 22 April 2015)

Keadaan Geografi dan Demografi

Kabupaten Banyuwangi adalah satu wilayah Provinsi Jawa Timur yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, sehingga ia juga dijuluki dengan The Sunrise of Java. Secara geografis Kabupaten Banyuwangi memilik luas 5.782,5 km2 yang berbatasan dengan beberapa kabupaten lainnya, yaitu sebelah utara dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur dengan Selat Bali, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso. Letak geografis yang strategis inilah yang menjadi faktor keberuntungan bagi Kabupaten Banyuwangi, karena ia berada pada pertemuan jalur lintas utara dan lintas selatan yang merupakan pintu gerbang Pulau Jawa dari Pulau Bali dan sebaliknya. Karena letaknya yang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 241

sangat strategis, Kabupaten Banyuwangi banyak memberikan dampak positif bagi perkembangan masyarakatnya dari sektor ekonomi, tenaga kerja maupun pariwisata. Hal ini juga ditunjang dengan sarana dan prasarana pendukung yang cukup baik seperti infrastruktur jalan, perhotelan, tempat-tempat wisata, kawasan bisnis/industri, Pelabuhan Penyeberangan Ketapang dan Bandar Udara Blimbingsari.

Berikut adalah wilayah peta Kab. Banyuwangi yang tersaji dalam Gambar 1 di bawah ini:

Gambar: 1

Peta Wilayah Kabupaten Banyuwangi

Pada Gambar tersebut, dapat dilihat bahwa wilayah Kabupten Banyuwangi memiliki banyak potensi alam yang digambarkan dengan adanya dataran, pengunungan dan lautan.

komunitas pejuang Blambangan yang terpencar di antara desa-desa tersebut. Fakta ini dapat dipelajari dari syair-syair Gandrung yang diciptakan berisi pendorong semangat dan menyiratkan pesan-pesan perlawanan dan nilai-nilai perjuangan dengan menggunakan simbol-simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi. Sehingga karena pola-pola tersebut muncul persepsi bahwa di antara masyarakat Using yang berbeda tempat tinggal terjadi ketidakseragaman dalam dialek percakapan mereka, jangankan berbeda desa bahkan berbeda gang saja logatnya bisa tidak seragam. Fakta lainnya adalah kalau dalam masyarakat Surabaya, kata-kata “asu..! celeng..!” adalah merupakan bentuk umpatan, akan tetapi dalam komunikasi masyarakat using kata-kata tersebut adalah merupakan kode untuk mengenali identitas satu sama lain. (Eko Budi Setianto. Wawancara. 22 April 2015)

Keadaan Geografi dan Demografi

Kabupaten Banyuwangi adalah satu wilayah Provinsi Jawa Timur yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, sehingga ia juga dijuluki dengan The Sunrise of Java. Secara geografis Kabupaten Banyuwangi memilik luas 5.782,5 km2 yang berbatasan dengan beberapa kabupaten lainnya, yaitu sebelah utara dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur dengan Selat Bali, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso. Letak geografis yang strategis inilah yang menjadi faktor keberuntungan bagi Kabupaten Banyuwangi, karena ia berada pada pertemuan jalur lintas utara dan lintas selatan yang merupakan pintu gerbang Pulau Jawa dari Pulau Bali dan sebaliknya. Karena letaknya yang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim242

Secara administratif, Kabupaten Banyuwangi terdiri dari 24 kecamatan, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel : 1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah, Prosentase Luas

terhadap Luas Kabupaten, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Tahun 2011

No Nama Kecamatan

Luas Wilayah

(km2)

Prosentase thd. Luas

Kabupaten Jumlah

Penduduk Kepadatan Penduduk

(Jiwa/km2) 1 Pesanggaran 803 14 48.677 61 2 Siliragung 95 2 44.639 469 3 Bangorejo 137 2 59.787 435 4 Purwoharjo 200 4 65.338 326 5 Tegaldlimo 1.341 23 61.530 46 6 Muncar 146 3 129.641 888 7 Cluring 97 2 70.459 723 8 Gambiran 67 1 58.738 880 9 Tegalsari 65 1 46.408 711

10 Glenmore 422 7 69.862 166 11 Kalibaru 407 7 61.525 151 12 Genteng 82 1 83.582 1.015 13 Srono 101 2 87.703 870 14 Rogojampi 102 2 92.884 908 15 Kabat 107 2 67.515 628 16 Singojuruh 60 1 45.521 760 17 Sempu 175 3 71.678 410 18 Songgon 302 5 50.559 168 19 Glagah 77 1 34.167 445 20 Licin 169 3 28.029 166 21 Banyuwangi 30 1 106.600 3.538 22 Giri 21 0 28.667 1.345 23 Kalipuro 310 5 76.610 247 24 Wongsorejo 465 8 74.714 161

Jumlah/Total 2011 5.782.50 100 1.564.833 271 2010 5.782.50 100 1.556.078 269 2009 5.782.50 100 1.587.403 275

Sumber : Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2012, Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 243

Dari Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa Kec. Banyuwangi dan Kec. Giri sebagai ibu kota Kab. Banyuwangi merupakan kecamatan paling padat penduduknya. Kec. Tegaldlimo dan Kec. Pesanggaran merupakan daerah paling jarang penduduknya. Kec. Genteng dan Kec. Muncar termasuk padat penduduknya, yang secara ekonomi Kec. Genteng (sebagai wilayah pertanian dan perdagangan paling maju), dan Kec. Muncar merupakan wilayah pesisir, yang penduduknya sebagian besar sebagai nelayan, di mana Muncar terkenal sebagai peghasil ikan berskala nasional.

Pada akhir tahun 2014 tercatat jumlah penduduk Kab. Banyuwangi sebanyak 1.623.161 orang2 yang terdiri dari berbagai ragam suku, yaitu Suku Jawa, Madura, Bali, dan juga Suku Using, yang merupakan suku asli masyarakat Banyuwangi. Menurut keterangan beberapa informan, saat ini Suku Using berjumlah sekitar 20% dari populasi masyarakat Banyuwangi dan sebagian besar tinggal di beberapa kecamatan seperti kecamatan Licin, kecamatan Glagah, kecamatan Kalipuro, kecamatan Rogojampi, kecamatan Kabat dan kecamatan Gambiran. Sementara bahasa komunikasi yang digunakan sehari-hari yaitu Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Using. Untuk mengetahui jumlah penduduk menurut jenis kelamin tersaji dalam Tabel 2 sebagai berikut:

Secara administratif, Kabupaten Banyuwangi terdiri dari 24 kecamatan, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel : 1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah, Prosentase Luas

terhadap Luas Kabupaten, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Tahun 2011

No Nama Kecamatan

Luas Wilayah

(km2)

Prosentase thd. Luas

Kabupaten Jumlah

Penduduk Kepadatan Penduduk

(Jiwa/km2) 1 Pesanggaran 803 14 48.677 61 2 Siliragung 95 2 44.639 469 3 Bangorejo 137 2 59.787 435 4 Purwoharjo 200 4 65.338 326 5 Tegaldlimo 1.341 23 61.530 46 6 Muncar 146 3 129.641 888 7 Cluring 97 2 70.459 723 8 Gambiran 67 1 58.738 880 9 Tegalsari 65 1 46.408 711

10 Glenmore 422 7 69.862 166 11 Kalibaru 407 7 61.525 151 12 Genteng 82 1 83.582 1.015 13 Srono 101 2 87.703 870 14 Rogojampi 102 2 92.884 908 15 Kabat 107 2 67.515 628 16 Singojuruh 60 1 45.521 760 17 Sempu 175 3 71.678 410 18 Songgon 302 5 50.559 168 19 Glagah 77 1 34.167 445 20 Licin 169 3 28.029 166 21 Banyuwangi 30 1 106.600 3.538 22 Giri 21 0 28.667 1.345 23 Kalipuro 310 5 76.610 247 24 Wongsorejo 465 8 74.714 161

Jumlah/Total 2011 5.782.50 100 1.564.833 271 2010 5.782.50 100 1.556.078 269 2009 5.782.50 100 1.587.403 275

Sumber : Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2012, Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim244

Tabel 2: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Menurut Kecamatan dan

Jenis Kelamin Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Sex

Ratio 1 Pesanggaran 24.628 24.049 48.677 102 2 Siliragung 22.655 21.984 44.639 103 3 Bangorejo 30.063 29.724 59.787 101 4 Purwoharjo 32.632 32.706 65.338 100 5 Tegaldlimo 31.050 30.480 61.530 102 6 Muncar 65.437 64.204 129.641 102 7 Cluring 35.101 35.358 70.459 99 8 Gambiran 29.090 29.648 58.738 98 9 Tegalsari 23.259 23.149 46.408 100

10 Glenmore 34.233 35.629 69.862 96 11 Kalibaru 30.383 31.142 61.525 98 12 Genteng 41.705 41.877 83.582 100 13 Srono 43.732 43.971 87.703 99 14 Rogojampi 46.069 46.815 92.884 98 15 Kabat 33.450 34.065 67.515 98 16 Singojuruh 22.213 23.308 45.521 95 17 Sempu 35.683 35.995 71.678 99 18 Songgon 24.939 25.620 50.559 97 19 Glagah 16.701 17.466 34.167 96 20 Licin 13.892 14.137 28.029 98 21 Banyuwangi 52.328 54.272 106.600 96 22 Giri 14.613 14.054 28.667 104 23 Kalipuro 38.000 38.610 76.610 98 24 Wongsorejo 36.907 37.807 74.714 98

Jumlah 778.763 786.070 1.564.833 99 Sumber : Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2012, Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat diperoleh informasi bahwa angka sex ratio atau perbandingan antara penduduk perempuan dengan laki-laki adalah sebesar 99 %. Artinya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 245

rata-rata dari setiap 100 orang perempuan dapat dipasangkan dengan 99 orang laki-laki.

Kehidupan Umat Beragama

Berdasarkatan catatan data Kankemenag Kab. Banyuwangi, mayoritas masyarakat Banyuwangi menganut agama Islam, rincian penduduk Banyuwangi menurut agama tersaji pada Tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3: Jumlah Penduduk Banyuwangi Menurut Kecamatan dan Agama

Tahun 2014 No Kecamatan Islam Kristen Katolik Hindu Buddha 1 Pesanggaran 34,633 3,813 1,511 6,290 1,883 2 Siliragung 42,519 2,276 210 3,936 0 3 Bangorejo 63,168 738 738 4,540 138 4 Purwoharjo 59,574 985 1,655 4,109 257 5 Tegaldelimo 54,238 1,977 331 8,625 476 6 Muncar 119,896 1,126 1,477 3,445 238 7 Cluring 70,985 502 86 618 86 8 Gambiran 53,530 1,811 136 67 1,326 9 Tegalsari 46,416 370 195 2,574 0

10 Glenmore 69,986 1,238 379 530 46 11 Kalibaru 63,571 541 180 2 38 12 Genteng 86,631 1,280 490 402 913 13 Srono 90,230 217 341 643 232 14 Rogojampi 90,460 977 516 3,315 432 15 Kabat 67,137 52 0 13 5 16 Singojuruh 48,708 92 36 6 4 17 Sempu 75,830 422 385 62 491 18 Songgon 51,945 69 338 407 0 19 Glagah 33,690 398 327 106 20 20 Licin 31,421 2 32 2 1 21 Banyuwangi 100,643 2,717 1,689 951 770

Tabel 2: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Menurut Kecamatan dan

Jenis Kelamin Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Sex

Ratio 1 Pesanggaran 24.628 24.049 48.677 102 2 Siliragung 22.655 21.984 44.639 103 3 Bangorejo 30.063 29.724 59.787 101 4 Purwoharjo 32.632 32.706 65.338 100 5 Tegaldlimo 31.050 30.480 61.530 102 6 Muncar 65.437 64.204 129.641 102 7 Cluring 35.101 35.358 70.459 99 8 Gambiran 29.090 29.648 58.738 98 9 Tegalsari 23.259 23.149 46.408 100

10 Glenmore 34.233 35.629 69.862 96 11 Kalibaru 30.383 31.142 61.525 98 12 Genteng 41.705 41.877 83.582 100 13 Srono 43.732 43.971 87.703 99 14 Rogojampi 46.069 46.815 92.884 98 15 Kabat 33.450 34.065 67.515 98 16 Singojuruh 22.213 23.308 45.521 95 17 Sempu 35.683 35.995 71.678 99 18 Songgon 24.939 25.620 50.559 97 19 Glagah 16.701 17.466 34.167 96 20 Licin 13.892 14.137 28.029 98 21 Banyuwangi 52.328 54.272 106.600 96 22 Giri 14.613 14.054 28.667 104 23 Kalipuro 38.000 38.610 76.610 98 24 Wongsorejo 36.907 37.807 74.714 98

Jumlah 778.763 786.070 1.564.833 99 Sumber : Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2012, Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat diperoleh informasi bahwa angka sex ratio atau perbandingan antara penduduk perempuan dengan laki-laki adalah sebesar 99 %. Artinya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim246

22 Giri 29,184 386 201 216 150 23 Kalipuro 81,005 448 711 284 99 24 Wongsorejo 73,558 187 42 43 48

Jumlah 2014 1,538,958 22,624 12,006 41,186 7,653 Sumber : Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi Tahun 2014

Dengan begitu, jumlah pemeluk Islam merupakan penganut agama mayoritas, yaitu 1.538.958 orang, diikuti pemeluk agama Kristen, 22.624 orang, penganut Katolik 12.006 orang, penganut agama Hindu 41.186 orang, penganut agama Buddha 7.653 orang dan sisanya adalah merupakan penganut kepercayaan Khonghucu, Baha’i dan lain-lain.

Untuk menggambarkan persebaran jumlah rumah ibadat yang ada di masing-masing kecamatan di seluruh wilayah Banyuwangi dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4: Jumlah Tempat Ibadah Menurut Kecamatan Tahun 2014

No Kecamatan Masjid Mushalla Gereja

Pura Vihara Kristen Katholik

1 Pesanggaran 56 152 24 0 11 9 2 Siliragung 57 13 22 0 17 0 3 Bangorejo 74 211 19 0 13 0 4 Purwoharjo 74 45 18 9 17 1 5 Tegaldelimo 74 233 12 0 23 1 6 Muncar 83 334 8 0 9 0 7 Cluring 89 439 6 0 3 1 8 Gambiran 63 218 13 0 0 6 9 Tegalsari 62 13 4 0 12 0 10 Glenmore 103 135 8 0 6 0 11 Kalibaru 80 65 2 0 1 0 12 Genteng 85 120 15 4 3 0 13 Srono 107 420 2 0 2 1

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 247

14 Rogojampi 90 520 4 0 5 1 15 Kabat 70 288 0 0 0 0 16 Singojuruh 44 265 3 0 0 0 17 Sempu 104 329 16 0 2 0 18 Songgon 80 226 3 0 5 0 19 Glagah 29 68 0 0 0 0 20 Licin 49 251 0 0 0 0 21 Banyuwangi 65 170 19 2 1 1 22 Giri 27 155 0 0 0 0 23 Kalipuro 95 75 1 0 0 0 24 Wongsorejo 64 49 1 0 1 0

Jumlah 2014 1.724 4.794 201 15 131 21 Sumber : Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi Tahun 2014

Dari Tabel 4 diatas dilihat bahwa masjid tersebar di seluruh kecamatan dan rumah ibadat selain Islam hanya terdapat di beberapa kecamatan saja.

Tradisi Perkawinan Masyarakat Using

1. Tradisi Geredhoan: Ajang Untuk Mencari Jodoh

Salah satu tradisi dalam kehidupan masyarakat using Banyuwangi dalam memilih pasangan dikenal dengan “Tradisi Geredhoan”. Pada awal mulanya, tradisi Geredhoan banyak digelar di kantung-kantung pemukiman masyarakat using di pedalaman Banyuwangi, seperti Kecamatan Giri (Desa Boyolangu dan Penataban), Kecamatan Glagah (Desa Banjarsari, Glagah, Bakungan, Keniten, dan Mojopanggang), dan Singonjuruh. Tapi belakangan, tradisi ini hanya dilakukan setahun sekali di Desa Kabat, Dadapan, dan Rogojampi. Penyelenggaraannya bertepatan dengan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.

22 Giri 29,184 386 201 216 150 23 Kalipuro 81,005 448 711 284 99 24 Wongsorejo 73,558 187 42 43 48

Jumlah 2014 1,538,958 22,624 12,006 41,186 7,653 Sumber : Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi Tahun 2014

Dengan begitu, jumlah pemeluk Islam merupakan penganut agama mayoritas, yaitu 1.538.958 orang, diikuti pemeluk agama Kristen, 22.624 orang, penganut Katolik 12.006 orang, penganut agama Hindu 41.186 orang, penganut agama Buddha 7.653 orang dan sisanya adalah merupakan penganut kepercayaan Khonghucu, Baha’i dan lain-lain.

Untuk menggambarkan persebaran jumlah rumah ibadat yang ada di masing-masing kecamatan di seluruh wilayah Banyuwangi dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4: Jumlah Tempat Ibadah Menurut Kecamatan Tahun 2014

No Kecamatan Masjid Mushalla Gereja

Pura Vihara Kristen Katholik

1 Pesanggaran 56 152 24 0 11 9 2 Siliragung 57 13 22 0 17 0 3 Bangorejo 74 211 19 0 13 0 4 Purwoharjo 74 45 18 9 17 1 5 Tegaldelimo 74 233 12 0 23 1 6 Muncar 83 334 8 0 9 0 7 Cluring 89 439 6 0 3 1 8 Gambiran 63 218 13 0 0 6 9 Tegalsari 62 13 4 0 12 0 10 Glenmore 103 135 8 0 6 0 11 Kalibaru 80 65 2 0 1 0 12 Genteng 85 120 15 4 3 0 13 Srono 107 420 2 0 2 1

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim248

Di beberapa tempat, tradisi tersebut dilakukan secara teratur, bahkan ada panitia penyelenggaranya. Pada proses pelaksanaannya tradisi Geredhoan melibatkan seluruh masyarakat desa, terutama kalangan pemuda dan pemudi. Tiap keluarga diminta menyiapkan tepung, beras, gula, dan bahan lain untuk membuat kue dan tumpeng. Bahan tersebut ditaruh di rumah gedek (berdinding bambu) di dekat masjid. Bahkan para keluarga yang diminta menyiapkan keperluan acara biasanya mengundang sanak famili dari desa lain, sehingga banyak wajah-wajah baru, terutama para “Jebeng” (gadis) dari desa lain yang diajak ikut serta oleh para keluarganya. Sambil memasak, para gadis di dalam bilik itu mengikuti membaca shalawat dan ceramah agama.

Sementara itu para “Thulik” (jejaka) membuat peralatan dan hiasan upacara di luar rumah. Sembari bekerja mereka mengintip kesibukan para gadis lewat lubang gedek. Jika ada gadis yang ditaksir, mereka melanjutkannya dengan acara ngobrol, tetapi mereka tidak dapat berbicara face to face, karena dibatasi oleh dinding bambu. Makin malam biasanya dilanjutkan dengan komunikasi lebih serius, yaitu meminta kesediaan perempuan menerima cintanya. Apa tandanya? Apabila si jejaka memasukkan batang lidi janur lewat lubang gedek kemudian si gadis mematahkan ujung lidi, maka pertanda cintanya ditolak. Sebaliknya, bila lidi tersebut dibentuk bulatan kecil mirip daun waru berarti cintanya diterima. Kalau sudah demikian, dilanjutkan dengan sang jejaka menemui orang tua si gadis untuk melamar.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 249

2. Tradisi Kawin Colong: Kawin Lari ala Masyarakat Using

Tradisi “Kawin Colong” adalah tradisi perkawinan yang terjadi karena sang jejaka “nyolong” atau membawa kabur si gadis untuk diajak ke rumahnya. Perkawinan ini dilatarbelakangi karena pihak orang tua perempuan tidak menyetujui hubungan mereka atau menolak lamaran sang jejaka. Setelah “mencuri” gadis tersebut, pihak keluarga laki-laki mengutus seorang “Colok” untuk menjadi penengah.

Tradisi “Kawin Colong" memiliki implikasi sosial berupa ketegangan antara pihak keluarga gadis yang dicuri dengan pihak keluarga laki-laki yang mencuri. Ketegangan ini terjadi karena pihak-pihak tertentu merasa dirugikan, misalnya, orang tua gadis tersebut dan pihak keluarga laki-laki yang telah dijodohkan dengannya karena mereka merasa dipermalukan di depan umum. Ketegangan ini akan terus berlanjut hingga mereka berusia tua.

Tradisi Kawin Colong bagi masyarakat Using Banyuwangi bukan merupakan prilaku yang dianggap tercela, walaupun ada pihak-pihak yang merasa dirugikan tapi diyakini sebagai hukum adat. Bahkan tradisi ini dianggap sebagai jalan pintas atau alternatif bagi laki-laki yang sudah terlanjur mencintai seorang perempuan namun jalan menuju perkawinan mengalami hambatan. (Wagianto, 2013)

GAMBARAN CERAI GUGAT DI BANYUWANGI

Kementerian Agama sebagai penyelenggara tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang agama,

Di beberapa tempat, tradisi tersebut dilakukan secara teratur, bahkan ada panitia penyelenggaranya. Pada proses pelaksanaannya tradisi Geredhoan melibatkan seluruh masyarakat desa, terutama kalangan pemuda dan pemudi. Tiap keluarga diminta menyiapkan tepung, beras, gula, dan bahan lain untuk membuat kue dan tumpeng. Bahan tersebut ditaruh di rumah gedek (berdinding bambu) di dekat masjid. Bahkan para keluarga yang diminta menyiapkan keperluan acara biasanya mengundang sanak famili dari desa lain, sehingga banyak wajah-wajah baru, terutama para “Jebeng” (gadis) dari desa lain yang diajak ikut serta oleh para keluarganya. Sambil memasak, para gadis di dalam bilik itu mengikuti membaca shalawat dan ceramah agama.

Sementara itu para “Thulik” (jejaka) membuat peralatan dan hiasan upacara di luar rumah. Sembari bekerja mereka mengintip kesibukan para gadis lewat lubang gedek. Jika ada gadis yang ditaksir, mereka melanjutkannya dengan acara ngobrol, tetapi mereka tidak dapat berbicara face to face, karena dibatasi oleh dinding bambu. Makin malam biasanya dilanjutkan dengan komunikasi lebih serius, yaitu meminta kesediaan perempuan menerima cintanya. Apa tandanya? Apabila si jejaka memasukkan batang lidi janur lewat lubang gedek kemudian si gadis mematahkan ujung lidi, maka pertanda cintanya ditolak. Sebaliknya, bila lidi tersebut dibentuk bulatan kecil mirip daun waru berarti cintanya diterima. Kalau sudah demikian, dilanjutkan dengan sang jejaka menemui orang tua si gadis untuk melamar.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim250

yang salah satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan bagi umat Islam, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kedua Undang-Undang tersebut, maka Kementerian Agama menetapkan KUA sebagai pelaksananya. Sebagaimana tertera dalam PMA Nomor 517 Tahun 2001 jo PMA Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, bahwa KUA melaksanakan sebagian tugas Kementerian Agama Kabupaten bidang Urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan. Tugas dan Fungsi KUA secara khusus disebutkan dalam PMA Nomor 39 Tahun 2012 Bab I Pasal 2 yaitu:“dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud KUA di antaranya adalah menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk, serta pelayanan bimbingan keluarga sakinah”.

Peran dan fungsi KUA sangat penting bagi umat Islam, karena lembaga ini adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan. Dengan kata lain, lembaga ini bukan semata-mata bekerja untuk pemenuhan tuntutan birokrasi tetapi secara substansial bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan sebuah perkawinan. Dalam konteks seperti itu, seorang penghulu dituntut untuk betul-betul menguasai tugasnya. Ini hanya bisa dilakukan apabila yang bersangkutan mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan seorang penghulu, kemampuan birokrasi yang baik dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman (hukum Islam) secara baik pula.(Balitbang, 2007: VII)

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 251

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi dan KUA se-Kabupaten Banyuwangi sebagai agent, atau pelaksana yang memiliki kewenangan delegatif dari pusat dalam menjalankan tugas dan fungsi Kementerian Agama, salah satu tugasnya adalah terkait pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk, serta pelayanan bimbingan keluarga sakinah bagi masyarakat yang ada di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Data perkawinan yang tercatat di Kantor Kementerian Agama Kab. Banyuwangi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah:

Tabel 5: Banyaknya Angka Perkawinan Menurut Kecamatan

Tahun 2011 s.d 2014

No Kecamatan 2010 2011 2012 2013 2014 1 Pesanggaran 553 502 514 558 498 2 Siliragung 457 409 396 413 376 3 Bangorejo 585 579 532 629 609 4 Purwoharjo 542 574 528 611 606 5 Tegaldelimo 561 523 515 488 589 6 Muncar 1.292 1.130 1.180 1.266 1.249 7 Cluring 741 714 702 670 718 8 Gambiran 591 588 600 596 591 9 Tegalsari 465 471 460 537 447 10 Glenmore 677 703 730 679 676 11 Kalibaru 584 616 609 588 602 12 Genteng 889 814 837 876 842 13 Srono 936 816 909 856 816 14 Rogojampi 927 915 922 930 1,018 15 Kabat 763 742 823 767 726 16 Singojuruh 477 442 493 503 510

yang salah satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan bagi umat Islam, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kedua Undang-Undang tersebut, maka Kementerian Agama menetapkan KUA sebagai pelaksananya. Sebagaimana tertera dalam PMA Nomor 517 Tahun 2001 jo PMA Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, bahwa KUA melaksanakan sebagian tugas Kementerian Agama Kabupaten bidang Urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan. Tugas dan Fungsi KUA secara khusus disebutkan dalam PMA Nomor 39 Tahun 2012 Bab I Pasal 2 yaitu:“dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud KUA di antaranya adalah menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk, serta pelayanan bimbingan keluarga sakinah”.

Peran dan fungsi KUA sangat penting bagi umat Islam, karena lembaga ini adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan. Dengan kata lain, lembaga ini bukan semata-mata bekerja untuk pemenuhan tuntutan birokrasi tetapi secara substansial bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan sebuah perkawinan. Dalam konteks seperti itu, seorang penghulu dituntut untuk betul-betul menguasai tugasnya. Ini hanya bisa dilakukan apabila yang bersangkutan mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan seorang penghulu, kemampuan birokrasi yang baik dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman (hukum Islam) secara baik pula.(Balitbang, 2007: VII)

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim252

17 Sempu 857 805 826 846 773 18 Songgon 591 570 567 535 511 19 Glagah 320 344 323 388 349 20 Licin 272 277 278 302 303 21 Banyuwangi 1.130 1.074 1.099 1.074 1.028 22 Giri 278 245 246 264 264 23 Kalipuro 735 725 758 740 808 24 Wongsorejo 824 806 952 793 843

Jumlah 16.047 15.378 15.799 15.909 15.752

Sumber : Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa peristiwa nikah di Kabupaten Banyuwangi selama 5 tahun sejak 2011 s/d 2014 nampak fluktuatif. Dimana peristiwa nikah paling banyak terjadi di Kecamatan Muncar dan Kecamatan Banyuwangi, sementara yang paling kecil peristiwa nikahnya ada di Kecamatan Giri dan Kecamatan Licin.

Dalam upaya memberikan pelayanan pencatatan perkawinan sesuai dengan amanat UU, 22 KUA se-Kabupaten Banyuwangi telah memberikan pelayanan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 dengan menerapkan biaya Rp. 0,- untuk perkawinan yang dilakukan pada jam kerja di kantor KUA. Sedangkan bagi pasangan yang ingin melaksanakan pencatatan dan akad nikah di luar kantor KUA dikenakan biaya sebesar Rp. 600.000,- yang dibayarkan melalui bank-bank yang telah ditunjuk. Menurut keterangan Mustain Hakim, S.Ag, MHI. Kepala KUA Kota Banyuwangi, rata-rata ada 6 pasangan perhari yang melangsungkan perkawinan. Namun banyak pasangan yang meminta pernikahannya dilaksanakan pada hari Jum’at Pon atau Kamis Legi, sehingga proses perkawinan pada hari-hari tersebut cukup ramai, dibandingkan hari-hari lainnya. Fenomena itu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 253

terjadi hampir di seluruh wilayah Banyuwangi, mungkin hal itu terkait dengan keyakinan sebagian masyarakat setempat bahwa Jum’at Pon dan Kamis Legi merupakan hari baik untuk melangsungkan acara pernikahan. (Mustakim Hakim. Wawancara.17 April 2015)

Sebelum melaksanakan perkawinan biasanya calon pengantin datang ke kantor KUA mengurus pendaftaran dan menyerahkan berkas-berkas persyaratan pernikahan. Pada kesempatan tersebut umumnya calon pengantin langsung diberikan materi Kursus Calon Pengantin (Suscatin), sehingga praktis suscatin yang diterima hanya 1 kali pertemuan. Dalam pertemuan tersebut diberikan materi tentang pembentukan keluarga sakinah dan diberi buku saku, Buku Pintar Kesehatan Ibu dan Anak Bagi Calon Pengantin serta buku tambahan lainnya.

Berikut beberapa pengalaman:

1. Informan Pertama

Pasangan pertama yang menjadi key informan adalah (TN-32 tahun dan KS-36 tahun), menikah 12 April 2011 di KUA Kec. Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi. Perkawinan ini bagi TN merupakan perkawinan yang ke 2 setelah menjanda selama 4 tahun dan sudah mempunyai 1 anak perempuan. Ia berharap perkawinannya akan langgeng dan tidak mengalami kegagalan untuk yang kedua kalinya. Kondisi ini sudah diketahui oleh calon suami bahkan suaminya sudah menerima dan berjanji akan menyayangi anak tirinya.

Pasangan TN dan KS, yang masih lajang berpacaran selama 1 tahun. TN sudah memikirkan matang-matang sebelum memutuskan untuk menikah. Perkenalan dengan

17 Sempu 857 805 826 846 773 18 Songgon 591 570 567 535 511 19 Glagah 320 344 323 388 349 20 Licin 272 277 278 302 303 21 Banyuwangi 1.130 1.074 1.099 1.074 1.028 22 Giri 278 245 246 264 264 23 Kalipuro 735 725 758 740 808 24 Wongsorejo 824 806 952 793 843

Jumlah 16.047 15.378 15.799 15.909 15.752

Sumber : Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa peristiwa nikah di Kabupaten Banyuwangi selama 5 tahun sejak 2011 s/d 2014 nampak fluktuatif. Dimana peristiwa nikah paling banyak terjadi di Kecamatan Muncar dan Kecamatan Banyuwangi, sementara yang paling kecil peristiwa nikahnya ada di Kecamatan Giri dan Kecamatan Licin.

Dalam upaya memberikan pelayanan pencatatan perkawinan sesuai dengan amanat UU, 22 KUA se-Kabupaten Banyuwangi telah memberikan pelayanan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 dengan menerapkan biaya Rp. 0,- untuk perkawinan yang dilakukan pada jam kerja di kantor KUA. Sedangkan bagi pasangan yang ingin melaksanakan pencatatan dan akad nikah di luar kantor KUA dikenakan biaya sebesar Rp. 600.000,- yang dibayarkan melalui bank-bank yang telah ditunjuk. Menurut keterangan Mustain Hakim, S.Ag, MHI. Kepala KUA Kota Banyuwangi, rata-rata ada 6 pasangan perhari yang melangsungkan perkawinan. Namun banyak pasangan yang meminta pernikahannya dilaksanakan pada hari Jum’at Pon atau Kamis Legi, sehingga proses perkawinan pada hari-hari tersebut cukup ramai, dibandingkan hari-hari lainnya. Fenomena itu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim254

suaminya dimulai ketika ia mengikuti kegiatan gerak jalan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Pada saat berkenalan, KS adalah seorang pengagguran. Namun, ia mengaku pernah bekerja sebagai sopir di NTB. Dan ia sendiri sudah mengetahui kalau KS sebelum menikah mempunyai kebiasaan minum-minuman keras, tetapi KS berjanji bila sudah berkeluarga akan meninggalkan kebiasaaan buruknya tersebut.

TN memiliki pengalaman buruk dengan suami pertamanya. Ketika itu bekerja sebagai TKW di Singapura selama 2 tahun. Ketika pulang ke desa, ia mendapati suaminya menikah lagi dengan DMA sehingga ia memutuskan untuk bercerai dengan suami pertamanya. Kemudian ia berangkat lagi ke Taiwan selama 2,5 tahun. Saat itu, ia bekerja merawat orang jompo, tetapi karena yang dirawat meninggal dunia terpaksa harus pulang ke Indonesia.

Sebelum menikah yang kedua kalinya, TN sebenarnya ingin kembali bekerja di Taiwan karena ingin mewujudkan cita-citanya membangun rumah dari hasil keringatnya sendiri. Namun, niat ini tak terealisasi karena anak TN melarangnya bekerja di luar negeri. Sebelum memutuskan untuk menikah KS sudah sering berkunjung ke rumah orangtua TN, sehingga keluarga besar terutama ibu TN sudah mengenal KS dan bisa menerimanya sebagai calon menantunya. Setelah itu, mereka menikah. Pernikahan dilakukan di rumah keluarga TN di wilayah KUA Kec. Bangorejo. Saksi nikah atas nama mempelai perempuan adalah Pakde TN, karena ayah TN sudah menikah lagi dengan orang lain yang tidak diketahui di mana keberadaanya, sementara ibu TN juga sudah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 255

menikah lagi. Keluarga dan kerabat hadir saat akad nikah dan resepsi pernikahan baik dari keluarga istri maupun suami. Pesta pernikahan digelar dua kali, yakni di rumah TN pada saat akad nikah dan selametan serta pesta ngunduh mantu di rumah KS. Biaya pesta ditanggung oleh masing-masing pihak.

Berkat dorongan dan dukungan dari TN, akhirnya KS mau bekerja menjadi Tenaga Harian Lepas (THL)/tukang sapu di Pemkab Banyuwangi dengan gaji sebesar Rp. 500.000,-/bulan. TN sendiri juga pernah bekerja sebagai THL selama 1 tahun dan merangkap bekerja sebagai pelayan toko dengan gaji sebesar Rp. 500.000,-/bulan, sehingga jumlah gaji keluarga sebesar Rp. 1.500.000,-/bulan. Pengeluaran rumah tangga diambil dari gaji KS untuk mencicil kredit sepeda motor dan gaji TN untuk biaya makan dan sekolah anak.

Setelah menikah TN tinggal di rumah KS yang merupakan peninggalan dari keluarga mertua, bersama dengan adik perempuan TN. Sementara anak TN masih duduk di bangku Sekolah Dasar tinggal bersama neneknya di Kec. Bangorejo. Setelah anak TN lulus SD dan melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP (selama 2 tahun) mengikuti orangtuanya di Banyuwangi, sehingga tinggal serumah dengan ayah tirinya. Menurut TN, KS sudah berjanji akan menerima anak tirinya. Namun janji itu tak ditepati, KS justru tak memberikan perhatian terhadap anaknya ketika TN sedang bekerja di luar rumah. TN menganggap KS lebih sayang kepada keponakannya sendiri.

Mertua TN juga kurang menerima kehadiran anak tiri KS, meski hubungan TN dengan mertua dan 6 saudara

suaminya dimulai ketika ia mengikuti kegiatan gerak jalan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Pada saat berkenalan, KS adalah seorang pengagguran. Namun, ia mengaku pernah bekerja sebagai sopir di NTB. Dan ia sendiri sudah mengetahui kalau KS sebelum menikah mempunyai kebiasaan minum-minuman keras, tetapi KS berjanji bila sudah berkeluarga akan meninggalkan kebiasaaan buruknya tersebut.

TN memiliki pengalaman buruk dengan suami pertamanya. Ketika itu bekerja sebagai TKW di Singapura selama 2 tahun. Ketika pulang ke desa, ia mendapati suaminya menikah lagi dengan DMA sehingga ia memutuskan untuk bercerai dengan suami pertamanya. Kemudian ia berangkat lagi ke Taiwan selama 2,5 tahun. Saat itu, ia bekerja merawat orang jompo, tetapi karena yang dirawat meninggal dunia terpaksa harus pulang ke Indonesia.

Sebelum menikah yang kedua kalinya, TN sebenarnya ingin kembali bekerja di Taiwan karena ingin mewujudkan cita-citanya membangun rumah dari hasil keringatnya sendiri. Namun, niat ini tak terealisasi karena anak TN melarangnya bekerja di luar negeri. Sebelum memutuskan untuk menikah KS sudah sering berkunjung ke rumah orangtua TN, sehingga keluarga besar terutama ibu TN sudah mengenal KS dan bisa menerimanya sebagai calon menantunya. Setelah itu, mereka menikah. Pernikahan dilakukan di rumah keluarga TN di wilayah KUA Kec. Bangorejo. Saksi nikah atas nama mempelai perempuan adalah Pakde TN, karena ayah TN sudah menikah lagi dengan orang lain yang tidak diketahui di mana keberadaanya, sementara ibu TN juga sudah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim256

ipar cukup baik. Keputusan keluarga sering dibicarakan secara terbuka. Namun KS secara pribadi sifatnya agak tertutup dan tak bisa meredam emosi kala menghadapi situasi. Pada saat TN meminta cerai, malah ia mendapat perlakuan kasar. KS mencekik dan menjambak rambut TN. KS jarang mengantar anaknya ke sekolah walau hanya sebentar. . Selain itu,KS diketahuisering pulang larut malam dan suka mabuk-mabukan.

Masalah rumah tangganya kian meruncing. Dengan api emosi yang tak terbendung, KS dengan congkaknya menuduh TN berselingkuh. Tuduhan ini muncul lantaran TN pergi ke tempat temannya untuk menyelesaikan masalah hutang piutang. Namun bagi KS hal itu tak cukup kuat sebagai alasan pembenaran. TN menilai konflik keluarga yang terjadi dipicu oleh perselisihan dalam mengasuh anak tiri (VV) menjadi penyebabnya. karena masalah itu, mereka kerap berdiam diri, tak ada tegur sapa dalam beberapa hari. Situasi yang dirasakan ini berbeda sekali sebelum VV menyatu bersama KS dan TN. Bahkan ketika VV jatuh sakit, suaminya tak pernah menyentuh dan memberikan kasih sayang kepadanya. Kejadian ini terus berulang, sehingga VV meminta kepada TN untuk memilih KS atau VV. Akumulasi masalah yang dihadapi TN membuat TN berani mengajukan cerai gugat.

Proses perceraian di PA Banyuwangi membutuhkan waktu 3 bulan dengan proses sidang sembilan kali. Hal ini terjadi karena pihak tergugat (KS) selalu datang dalam persidangan dan merasa keberatan untuk diceraikan TN. Saat diminta pendapatnya oleh majelis hakim ibu TN menyarankan agar TN tidak melakukan cerai.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 257

TN meminta bantuan kepada saudaranya dalam mengurus proses perceraiannya. Sidang perkara TN dilakukan setiap hari Rabu dan selalu dihadiri oleh KS. Setiap kali sidang, hakim selalu meminta untuk mencabut gugatan perkaranya kepada TN. pada sidang ke tujuh KS menyerahkan keputusan kepada hakim kalau memang TN tetap menggugat cerai. Sebelumnya, mediasi pernah dilakukan oleh hakim selama 15 menit hanya menanyakan penyebab TN mengajukan gugatan cerai terhadap KS.

Janji KS sebelum menikah dengan TN untuk tidak mabuk lagi dan akan menjadi baik setelah menikah ternyata tidak dilakukan. Menurut TN pada waktu proses sidang cerai gugat diajukan KS masih sering mabuk. Demikian juga setelah ada putusan cerai dari PA tanggal 9 April 2015, dan setalah akte perceraian keluar KS datang ke tempat kos TN jam 12 malam juga dalam kondisi mabuk.

Perasaan TN setelah keluar putusan cerai dari PA menjadi tenang. Namun belum memikir untuk menikah lagi khawatir pengalaman pahit ini akan terulang. VV juga merasa senang, walau sekarang VV mengikuti ayahnya di Kalimantan. Sekarang melihat KS masih ada rasa kasihan, namun masih sering bertemu baik langsung maupun dengan HP. Sekarang KS masih sering melakukan SMS menanyakan kabarnya, apa sudah ada laki-laki yang mendekatinya. Demikian juga KS masih sering menelpon kalau tidak cepat diangkat, KS akan SMS dengan kata-kata yang kasar. TN sekarang bekerja sebagai karyawan Es Bumble dengan gaji Rp. 850.000,-/bulan ditambah dengan bonus penjualan. Seharusnya Kankemenag atau KUA

ipar cukup baik. Keputusan keluarga sering dibicarakan secara terbuka. Namun KS secara pribadi sifatnya agak tertutup dan tak bisa meredam emosi kala menghadapi situasi. Pada saat TN meminta cerai, malah ia mendapat perlakuan kasar. KS mencekik dan menjambak rambut TN. KS jarang mengantar anaknya ke sekolah walau hanya sebentar. . Selain itu,KS diketahuisering pulang larut malam dan suka mabuk-mabukan.

Masalah rumah tangganya kian meruncing. Dengan api emosi yang tak terbendung, KS dengan congkaknya menuduh TN berselingkuh. Tuduhan ini muncul lantaran TN pergi ke tempat temannya untuk menyelesaikan masalah hutang piutang. Namun bagi KS hal itu tak cukup kuat sebagai alasan pembenaran. TN menilai konflik keluarga yang terjadi dipicu oleh perselisihan dalam mengasuh anak tiri (VV) menjadi penyebabnya. karena masalah itu, mereka kerap berdiam diri, tak ada tegur sapa dalam beberapa hari. Situasi yang dirasakan ini berbeda sekali sebelum VV menyatu bersama KS dan TN. Bahkan ketika VV jatuh sakit, suaminya tak pernah menyentuh dan memberikan kasih sayang kepadanya. Kejadian ini terus berulang, sehingga VV meminta kepada TN untuk memilih KS atau VV. Akumulasi masalah yang dihadapi TN membuat TN berani mengajukan cerai gugat.

Proses perceraian di PA Banyuwangi membutuhkan waktu 3 bulan dengan proses sidang sembilan kali. Hal ini terjadi karena pihak tergugat (KS) selalu datang dalam persidangan dan merasa keberatan untuk diceraikan TN. Saat diminta pendapatnya oleh majelis hakim ibu TN menyarankan agar TN tidak melakukan cerai.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim258

memberikan penasihatan, namun tidak tahu dalam bentuk apa.

2. Informan Kedua

Pasangan kedua yang menjadi key informan adalah DF (37 tahun) dan AW (45 tahun) tinggal di Desa Boyolangu Kecamatan Giri. DF mengenal calon suami dari kakak sepupu yang tak lain istri kakak AW. DF menikah pada usia 17 tahun dan masih sekolah kelas XI0 SMA. Mulanya AW sudah sering ke rumah DF dan sudah kenal dengan seluruh keluarga. DF sempat berpikir untuk menunda lamaran AW dengan alasan melanjutkan sekolah sampai lulus SMA, akan tetapi AW mendesak dengan alasan terlalu lama. Demikian juga orang tua DF, tidak melarang DF untuk dinikahi AW, walau belum lulus SMA. Dengan terpaksa DF menerimanya walaupun secara mental merasa belum siap dan juga belum punya bekal yang cukup untuk menjalani hidup berumah tangga.

Hari yang ditunggu pun tiba. Mereka melaksanakan akad nikah pada 6 Oktober 1995. Seluruh keluarga kedua belah pihak turut hadir dalam prosesi tersebut. AW yang bekerja sebagai juru mudi kapal pengeboran lepas pantai PT. Pertamina selama 2 tahun tinggal di rumah orang tua DF di Banyuwangi dengan gaji Rp. 450.000 sebulan. AW juga pernah bekerja di Bali selama satu tahun. Pada tahun 1998 AW pindah kerja ke Surabaya dan tinggal di rumah mertua.

Selama tinggal di rumah mertua, DF merasa tak betah dan mengusulkan untuk tinggal di tempat lain, namun tidak disetujui oleh sang suami. DF akhirnya pulang ke Banyuwangi bersama dua anaknya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 259

Waktu terus berlalu, sikap suami mulai berubah. Sejak tahun 2009 AW lebih sering menghabiskan waktu bersama komunitasnya, Club Motor Yamaha Mio. Di rumah, DF hanya bercengkrama dengan kedua anaknya yang kini sudah berusia 17 tahun dan 11 tahun. Hubungan dengan keluarga mertua dan saudara ipar semua baik-baik dan tidak pernah ada konflik. Namun hubungan ini tak menular dalam rumah tangga DF dengan AW ini. DF menilai selalu diperhadapkan dengan masalah akibat perbuatan AW. Sejak saat itu DF sudah tidak memperoleh nafkah keluarga. AW malah lebih mementingkan komunitasnya daripada keluarga. Kondisi ini semakin buruk atas hadirnya perempuan idaman lain. Bahkan AW kerap menggunakan kekerasan terhadap DF saat keluarga dirundung masalah.

Sejak tahun 2011 AW tidak pernah datang ke Bayuwangi, dan tidak menafkahi keluarga. Setiap kali dihubungi via telepon atau SMS (Short Message Service), ia tidak memberikan keputusan yang jelas bahkan terkesan mengulur waktu untuk menyelesaikan masalah keluarga.

Pada bulan April 2014 DF mendaftar gugatan cerai ke Pengadilan Agama dan putusan perkaranya selesai pada Desember 2014. selama proses persidangan, adik DF dan sahabat orangtua DF menjadi saksinya. Untuk mengurus proses perceraiannya, DF pun harus mengeluarkan biaya tak sedikit. AW sempat berjanji akan menanggung semua biaya perkara namun hingga perkara selesai, janji itu tak pernah ditepati. Hanya saja tak lama setelah putusan keluar, AW menyerahkan uang sebesar 3.000.000 rupiah untuk anak-anaknya.

memberikan penasihatan, namun tidak tahu dalam bentuk apa.

2. Informan Kedua

Pasangan kedua yang menjadi key informan adalah DF (37 tahun) dan AW (45 tahun) tinggal di Desa Boyolangu Kecamatan Giri. DF mengenal calon suami dari kakak sepupu yang tak lain istri kakak AW. DF menikah pada usia 17 tahun dan masih sekolah kelas XI0 SMA. Mulanya AW sudah sering ke rumah DF dan sudah kenal dengan seluruh keluarga. DF sempat berpikir untuk menunda lamaran AW dengan alasan melanjutkan sekolah sampai lulus SMA, akan tetapi AW mendesak dengan alasan terlalu lama. Demikian juga orang tua DF, tidak melarang DF untuk dinikahi AW, walau belum lulus SMA. Dengan terpaksa DF menerimanya walaupun secara mental merasa belum siap dan juga belum punya bekal yang cukup untuk menjalani hidup berumah tangga.

Hari yang ditunggu pun tiba. Mereka melaksanakan akad nikah pada 6 Oktober 1995. Seluruh keluarga kedua belah pihak turut hadir dalam prosesi tersebut. AW yang bekerja sebagai juru mudi kapal pengeboran lepas pantai PT. Pertamina selama 2 tahun tinggal di rumah orang tua DF di Banyuwangi dengan gaji Rp. 450.000 sebulan. AW juga pernah bekerja di Bali selama satu tahun. Pada tahun 1998 AW pindah kerja ke Surabaya dan tinggal di rumah mertua.

Selama tinggal di rumah mertua, DF merasa tak betah dan mengusulkan untuk tinggal di tempat lain, namun tidak disetujui oleh sang suami. DF akhirnya pulang ke Banyuwangi bersama dua anaknya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim260

Setelah diputuskan cerai pada Desember 2014, ada hal lain yang ia rasakan. Ia merasa malu, tak hanya beban psikologis yang harus dihadapi namun juga sudah harus siap menjadi kepala keluarga dengan menanggung biaya hidup anak-anaknya. Selepas dari jeratan suami, tak ada lagi jalinan komunikasi antara TN dan AW. Meski demikian, hubungannya dengan anak-anak masih tetap terjalin walaupun kualitas kedekatannya tak seperti dulu.

DF masih ingat saat penghulu memberi pelayanan perkawinan di KUA d tentang nasihat perkawinan, namun setelah berumah tangga tergantung masing-masing pasangan suami istri. Hingga saat ini DF sulit melupakan perangai buruk suaminya yang kurang bertanggung jawab kepada keluarga dan telah mempermalukan dirinya dengan hadirnya wanita lain (WIL).

3. Informan Ketiga

Pasangan ketiga yang menjadi key informan adalah YM (36 th) dan HR (32 th) tinggal di Desa Boyolangu Kecamatan Giri. YM mengenal calon suami secara kebetulan. Perkenalan dengannya melalui teman HR yang tinggal tak jauh dari rumah YM. Keduanya mulai intens menjalin hubungan hingga akhirnya siap dilamar oleh HR. Kepada YM, HR mengaku bekerja sebagai sopir ekspedisi. Keduanya sudah sama-sama mengalami perceraian dengan pasangannya. Dan rumah tangga YM sudah bubar sejak 6 tahun lalu dan dikarunia satu anak. Suami yang gemar berjudi membuat hubungan keluarganya berantakan.

Mengetahui ada seorang laki-laki yang ingin mempersunting HR, keluarga dan kerabat langsung

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 261

mendukungnya untuk segera menikah. hanya tiga hari berkenalan, HR melamar YM. Seminggu kemudian pernikahan pun dilaksanakan. Awalnya YM merasa belum siap namun desakan budaya untuk tidak menampik jodoh lebih kuat. Pada waktu ijab kabul dilaksanakan di Kantor KUA Kec. Giri, YM diantar oleh kedua orang tua sebagai saksi, dan HR datang sendiri.

Mendambakan kehidupan bahagia namun berjujung nestapa. Begitulah hidup yang dialami YM bersama HR.. Perkawinan baru berjalan tiga bulan, HR yang dikenal baik kini sudah tak segan memukul YM hingga bengkak, hanya menu makanan yang kurang enak. Tindakan ini tidak hanya dilakukan baik di rumah ataupun di luar rumah. Kekerasan yang dilakukan HR telah membuatnya mendekam di sel tahanan selama 15 hari. Tak hanya memukul, HR kerap memaksa YM menjual ataupun menggadaikan barang-barang milik YM seperti motor, TV dan kompor gas. Sebab HR yang mengaku sebagai sopir hanyalah bertatus cadangan jadi tidak rutin sebagaimana pekerja tetap.

YM dikarunia anak Setelah tiga tahun usia pernikahannya. HR mencoba menghubungi temannya untuk mendapatkan pekerjaan. Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Di samping itu, kebutuhan keluarga terus mendesak, HR mulai buka jasa sewa motor dan gadai mobil. Usaha ini mengalami pasang surut hingga sampai pada penahanan HR dengan dugaan sebagai penadah. Hal ini tentu sangat menyedihkan bagi YM. Selama 8 bulan di penjara, banyak orang datang ke rumah YM untuk menagih utang suaminya yang jumlahnya mencapai 50 juta-an.

Setelah diputuskan cerai pada Desember 2014, ada hal lain yang ia rasakan. Ia merasa malu, tak hanya beban psikologis yang harus dihadapi namun juga sudah harus siap menjadi kepala keluarga dengan menanggung biaya hidup anak-anaknya. Selepas dari jeratan suami, tak ada lagi jalinan komunikasi antara TN dan AW. Meski demikian, hubungannya dengan anak-anak masih tetap terjalin walaupun kualitas kedekatannya tak seperti dulu.

DF masih ingat saat penghulu memberi pelayanan perkawinan di KUA d tentang nasihat perkawinan, namun setelah berumah tangga tergantung masing-masing pasangan suami istri. Hingga saat ini DF sulit melupakan perangai buruk suaminya yang kurang bertanggung jawab kepada keluarga dan telah mempermalukan dirinya dengan hadirnya wanita lain (WIL).

3. Informan Ketiga

Pasangan ketiga yang menjadi key informan adalah YM (36 th) dan HR (32 th) tinggal di Desa Boyolangu Kecamatan Giri. YM mengenal calon suami secara kebetulan. Perkenalan dengannya melalui teman HR yang tinggal tak jauh dari rumah YM. Keduanya mulai intens menjalin hubungan hingga akhirnya siap dilamar oleh HR. Kepada YM, HR mengaku bekerja sebagai sopir ekspedisi. Keduanya sudah sama-sama mengalami perceraian dengan pasangannya. Dan rumah tangga YM sudah bubar sejak 6 tahun lalu dan dikarunia satu anak. Suami yang gemar berjudi membuat hubungan keluarganya berantakan.

Mengetahui ada seorang laki-laki yang ingin mempersunting HR, keluarga dan kerabat langsung

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim262

Awalnya bisnis yang dijalankan mengalami kemajuan. Setiap hari hasil yang diperoleh dari bisnis ini lumayan besar. Hanya saja dibarengi dengan perilaku lain yang suka main perempuan. Sehingga ada dugaan memiliki wanita simpanan. Bebas dari penjara tak membuat tabiatnya berubah, sikapnya kasar dan temperamental. Pertengkaran yang berujung pemukulan pun sering dialami YM. Tak tahan diperlakukan seperti itu, YM akhirnya memutuskan untuk mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama pada 2 Januari 2013.

Sidang berjalan satu kali. Saat menunggu sidang berikutnya, YM dijebak oleh HR dan dibawa ke suatu tempat di daerah Bulusan. Di sana ia disekap dan disiksa selama 19 hari. Hal ini dilakukan agar YM mencabut gugatan cerai di Pengadilan Agama. Dan berkas perkara pun dicabut. Namun kemudian suami lantas kembali berurusan dengan polisi atas dakwaan sebagai penadah barang curian.

Tanggal 21 Desember 2013 YM kembali mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama. Alasannya karena tidak dinafkahi dan suami berselingkuh. Pelaksanaan sidang pertama dua minggu setelah berkas masuk, dua minggu kemudian dilanjutkan dengan sidang kedua dan pada sidang ketiga YM membawa saksi (teman dan kakak kandung). Pertanyaan hakim kepada saksi antara lain mengenai KDRT dan keberadaan HR yang di penjara di lembaga pemasyarakatan di Yogyakarta. Pada sidang terakhir putusan perkara gugat cerai YM dikabulkan oleh hakim.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 263

Dengan adanya putusan hakim, YK kini tak perlu lagi mengalami ketakutan dan kesedihan. Makah kini ia bahagia bersama anak-anaknya.

4. Informan Keempat

Pasangan keempat yang menjadi key informan adalah HEC (23 tahun) bersuamikan ES (28 tahun) menikah pada 24 Mei 2007, HEC sekarang tinggal rumah kakaknya di Jl. Belitung Gang II/4 Kec. Banyuwangi. HEC merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dua kakak laki-laki dan satu perempuan sudah berkeluarga, dan adiknya laki-laki belum menikah.

Awal perkenalan dengan ES pertama kali terjadi saat tetangga HEC datang ke rumah bersama ES. Dari perkenalan singkat tersebut, hubungan itu berlanjut ke jenjang yang lebih serius, yaitu melamar HEC sebab sang ibu lebih menyukai ES dan sudah mengenal keluarga ES.

Setelah ES dilamar, orangtua ES mulai ada pembicaraan untuk menikahkan secara siri karena masing-masing bisa tinggal di rumah orangtuanya, dan mereka berdua tidak pernah berhubungan badan, tidak pernah jalan bersama karena masih bertunangan. Nikah siri pun dilaksanakan. Namun baru berjalan selama kurang lebih 15 hari, pernikahan resmi dilakukan di KUA Cluring, HEC senang karena ada kepastian hukum. Resepsi perkawinannya diadakan di kediaman orangtua ES.

Perkawinan HEC dan ES terjadi karena dijodohkan oleh orangtua kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Perkenalan dengan ES baru berjalan selama satu bulan pada waktu HEC masih kelas X SMA. HEC jarang bergaul dengan laki-laki tidak banyak mengenal

Awalnya bisnis yang dijalankan mengalami kemajuan. Setiap hari hasil yang diperoleh dari bisnis ini lumayan besar. Hanya saja dibarengi dengan perilaku lain yang suka main perempuan. Sehingga ada dugaan memiliki wanita simpanan. Bebas dari penjara tak membuat tabiatnya berubah, sikapnya kasar dan temperamental. Pertengkaran yang berujung pemukulan pun sering dialami YM. Tak tahan diperlakukan seperti itu, YM akhirnya memutuskan untuk mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama pada 2 Januari 2013.

Sidang berjalan satu kali. Saat menunggu sidang berikutnya, YM dijebak oleh HR dan dibawa ke suatu tempat di daerah Bulusan. Di sana ia disekap dan disiksa selama 19 hari. Hal ini dilakukan agar YM mencabut gugatan cerai di Pengadilan Agama. Dan berkas perkara pun dicabut. Namun kemudian suami lantas kembali berurusan dengan polisi atas dakwaan sebagai penadah barang curian.

Tanggal 21 Desember 2013 YM kembali mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama. Alasannya karena tidak dinafkahi dan suami berselingkuh. Pelaksanaan sidang pertama dua minggu setelah berkas masuk, dua minggu kemudian dilanjutkan dengan sidang kedua dan pada sidang ketiga YM membawa saksi (teman dan kakak kandung). Pertanyaan hakim kepada saksi antara lain mengenai KDRT dan keberadaan HR yang di penjara di lembaga pemasyarakatan di Yogyakarta. Pada sidang terakhir putusan perkara gugat cerai YM dikabulkan oleh hakim.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim264

sifat laki-laki, termasuk kepada calon suami yang baru dikenal. Ibu HEC sudah setuju anaknya dinikahi meski baru kelas X SMA, mungkin karena HEC sendiri sudah ditinggalkan oleh ayahnya sejak ia umur lima tahun agar segera ada yang mendampingi hidup HEC. HEC sendiri tidak memahami persis alasan ibunya menjodohkannya, namun ada ungkapan dari pihak mertua bahwa anaknya tertarik untuk menikahi HEC dan ibunya mengiyakan keinginan dari keluarga calon suami. Karena HEC masih sekolah dan umurnya yang masih sangat muda, HEC belum siap untuk menikah, namun ibunya sangat memaksa, sehingga HEC tidak tak kuasa menolaknya.

Setelah menikahi HEC, ES belum mempunyai pekerjaan, semua kebutuhan keluarga HEC ditanggung orangtua ES. Mereka pun tinggal di rumah mertua. Orangtua ES yang beretnis Madura memiliki usaha ternak sapi. Sebulan kemudian ES bekerja di Minimarket SPBU.

Gajinya cukup untuk biaya hidup meski kebutuhan pangan masih menggantungkan diri pada mertua. Hubungan suami istri nampak biasa saja, walaupun suami sering pulang malam dan bahkan jarang ada di rumah. Alasannya ES mengikuti aktif mendalami ilmu agama sehingga tidak ada yang bisa mencegah aktivitasnya. Dari pernikahannya, ES dan HEC dikarunia seorang anak.

Sejak kehadiran anak pertama, ES mulai bersikap lain, tingkah lakunya semakin aneh bahkan mudah emosi serta memukul HEC. Tak hanya sekali HEC mengalami kekerasan dalam rumah tangga. ES pernah memukul kepala ES di depan anaknya. HEC berinisiatif melaporkan ES ke polisi namun kakak HEC menyarankan agar tidak melakukannya. Sejak 2011 ES sudah jarang berada di

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 265

rumah tanpa diketahui keberadaaanya. Hingga tahun 2013 dibuat perjanjian dia atas materai agar ES mau berubah.

Perkembangan teknologi dan media sosial (medsos) turut memperkeruh masalah rumah tangga HEC. Setelah suami bekerja selama 4 tahun, gaji untuk kebutuhan keluarga sudah cukup, namun suami memutuskan diri untuk mengundurkan diri, meskipun ada tawaran kerja di perusahaan lain, suami tidak menolak tawaran itu. Akhirnya ES bekerja membantu pekerjaan mertua. HEC pun ikut membantu menambah penghasilan keluarga dengan berjualan pakaian.

Dengan berusaha tetap sabar, HEC memberi alternatif supaya ES bekerja dengan kakak HEC, namun ES tidak mau dengan berbagai alasan. orangtua ES tergolong tradisional sehingga tak memahami masalah yang timbul dalam rumah tangga HEC bahkan yang berhubungan dengan media sosial sekalipun.

HEC terus sabar dan berupaya mempertahankan perkawinan dan menghindari perceraian. Sejak Awal dirinya berpesan kepada ES agar menjaga jalinan cinta kasih dalam keutuhan rumah tangga. namun yang terjadi justru biduk rumah tangganya semakin goyah karena sikap dan perlakuan ES terhadap HEC.

Gugatan yang diajukan HEC ke PA berdasarkan tiga masalah utama, pertama adanya praktik KDRT yang dialami. Kedua, suami tidak memberi nafkah untuk keluarga. Ketiga, adanya kelainan orientasi seksual. Namun, kategori terakhir ini oleh pihak PA diganti menjadi tidak menghormati istri (tidak ditulis perselingkuhan).

sifat laki-laki, termasuk kepada calon suami yang baru dikenal. Ibu HEC sudah setuju anaknya dinikahi meski baru kelas X SMA, mungkin karena HEC sendiri sudah ditinggalkan oleh ayahnya sejak ia umur lima tahun agar segera ada yang mendampingi hidup HEC. HEC sendiri tidak memahami persis alasan ibunya menjodohkannya, namun ada ungkapan dari pihak mertua bahwa anaknya tertarik untuk menikahi HEC dan ibunya mengiyakan keinginan dari keluarga calon suami. Karena HEC masih sekolah dan umurnya yang masih sangat muda, HEC belum siap untuk menikah, namun ibunya sangat memaksa, sehingga HEC tidak tak kuasa menolaknya.

Setelah menikahi HEC, ES belum mempunyai pekerjaan, semua kebutuhan keluarga HEC ditanggung orangtua ES. Mereka pun tinggal di rumah mertua. Orangtua ES yang beretnis Madura memiliki usaha ternak sapi. Sebulan kemudian ES bekerja di Minimarket SPBU.

Gajinya cukup untuk biaya hidup meski kebutuhan pangan masih menggantungkan diri pada mertua. Hubungan suami istri nampak biasa saja, walaupun suami sering pulang malam dan bahkan jarang ada di rumah. Alasannya ES mengikuti aktif mendalami ilmu agama sehingga tidak ada yang bisa mencegah aktivitasnya. Dari pernikahannya, ES dan HEC dikarunia seorang anak.

Sejak kehadiran anak pertama, ES mulai bersikap lain, tingkah lakunya semakin aneh bahkan mudah emosi serta memukul HEC. Tak hanya sekali HEC mengalami kekerasan dalam rumah tangga. ES pernah memukul kepala ES di depan anaknya. HEC berinisiatif melaporkan ES ke polisi namun kakak HEC menyarankan agar tidak melakukannya. Sejak 2011 ES sudah jarang berada di

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim266

HEC saat mengajukan cerai gugat dalam kondisi hamil 8 bulan, sekarang anak tersebut sudah berumur 9 bulan. Sidang gugat cerai HEC dilaksanakan sebanyak 4 kali, sidang pertama gagal dilakukan karena antrean yang panjang dan dalam kondisi hamil tua. dua minggu berikutnya HEC mulai mengikuti sidang perkara gugatannya, begitu juga sidang ketiga. Pada sidang ketiga HEC meminta kepada hakim untuk memasukkan hak pengasuhan anak yang kedua yang akan lahir satu bulan lagi. Pada sidang keempat mendengarkan keterangan saksi. HEC menghadirkan kakaknya sebagai saksi.

Sebelumnya HEC pernah berkonsultasi kepada ustad AS, sang guru spiritual ES, agar HEC tetap bersabar. Ujian yang dijalani oleh HEC, kata ustad AS, merupakan proses untuk mengangkat derajat HEC dan disarankan untuk tidak bercerai. Namun hubungan dengan ustadz AS menjadi kurang baik setelah mengetahui bahwa HEC mengambil keputusan untuk mengajukan cerai gugat. HEC juga pernah berkonsultasi kepada penghulu di KUA Kec. Kalipuro, namun HEC sudah tidak kuat menangung beban yang dialami dalam berumah tangga. HEC juga pernah berkonsultasi kepada modin, terkait prosedur gugat cerai.

Masalah memberi nafkah kepada anak tidak dimasukkan dalam perkara gugat, jawaban hakim akan ada tuntutan pada waktu sidang berlangsung akan tetapi tidak demikian saat sidang berlangsung. Menurut hakim tuntutan nafkah dari suami seharusnya dimasukkan sejak pendaftaran. Tuntutan yang dimasukkan adalah: cerai, hak asuh atas anak-anak dan mantan suami memberi nafkah kepada anak-anak. Karena suami tidak pernah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 267

datang pada waktu persidangan maka hakim tidak menyarankan untuk rujuk. Sedangkan kata cerai talak dari ES, menurut HEC sudah sering diucapkan.

Setelah putusan cerai dikabulkan, HEC menjadi tenang karena sudah bisa lepas dari tekanan kekuasaan suami. Namun ada hal yang mengecewakan bahwa hak nafkah anak-anak tidak dimasukkan dalam putusan. terkait hal ini HEC mengajak keluarga mertua bermusyawarah untuk ditanggung bersama meski sekedar untuk uang jajan. keluarga ES beberapa kali memberi uang sebesar Rp. 200.000,-. Kini ES sekarang sudah bekerja dengan gaji Rp. 1.200.000,- namun tidak ada sepeser pun yang diberikan untuk anak-anaknya.

Perceraian yang terjadi dalam sebuah keluarga, sebagaimana tergambar pada conotoh-contoh di atas, tidak terlepas dari aspek-aspek yang membentuk keluarga tersebut, baik sebelum membangun rumah tangga maupun rentang panjang masa setelah menyatakan ikrar untuk hidup dalam satu ikatan rumah tangga, dan konsekwensi dalam menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya masing-masing. Laksana bangunan, sebuah rumah tangga yang dibangun dengan konstruksi dan material yang kokoh tentu akan membuat rumah tersebut terasa aman dan nyaman bagi penghuninya, sebaliknya, rumah tangga yang dibangun dengan komitmen dan kesiapan yang tidak memadai akan rentan terhadap munculnya konflik keluarga, bahkan perkawinan justru menimbulkan prahara dan pengalaman pahit bagi pelakunya.

Cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri dalam mengakhiri sebuah ikatan perkawinan tentu tidak terlepas dari berbagai faktor, mengingat pemutusan ikatan hubungan

HEC saat mengajukan cerai gugat dalam kondisi hamil 8 bulan, sekarang anak tersebut sudah berumur 9 bulan. Sidang gugat cerai HEC dilaksanakan sebanyak 4 kali, sidang pertama gagal dilakukan karena antrean yang panjang dan dalam kondisi hamil tua. dua minggu berikutnya HEC mulai mengikuti sidang perkara gugatannya, begitu juga sidang ketiga. Pada sidang ketiga HEC meminta kepada hakim untuk memasukkan hak pengasuhan anak yang kedua yang akan lahir satu bulan lagi. Pada sidang keempat mendengarkan keterangan saksi. HEC menghadirkan kakaknya sebagai saksi.

Sebelumnya HEC pernah berkonsultasi kepada ustad AS, sang guru spiritual ES, agar HEC tetap bersabar. Ujian yang dijalani oleh HEC, kata ustad AS, merupakan proses untuk mengangkat derajat HEC dan disarankan untuk tidak bercerai. Namun hubungan dengan ustadz AS menjadi kurang baik setelah mengetahui bahwa HEC mengambil keputusan untuk mengajukan cerai gugat. HEC juga pernah berkonsultasi kepada penghulu di KUA Kec. Kalipuro, namun HEC sudah tidak kuat menangung beban yang dialami dalam berumah tangga. HEC juga pernah berkonsultasi kepada modin, terkait prosedur gugat cerai.

Masalah memberi nafkah kepada anak tidak dimasukkan dalam perkara gugat, jawaban hakim akan ada tuntutan pada waktu sidang berlangsung akan tetapi tidak demikian saat sidang berlangsung. Menurut hakim tuntutan nafkah dari suami seharusnya dimasukkan sejak pendaftaran. Tuntutan yang dimasukkan adalah: cerai, hak asuh atas anak-anak dan mantan suami memberi nafkah kepada anak-anak. Karena suami tidak pernah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim268

perkawinan dalam Islam adalah hak prerogatif suami. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya cerai gugat di Banyuwangi disebabkan oleh adanya ketidakharmonisan dalam keluarga, tidak adanya tanggung jawab suami dalam masalah ekonomi, praktik kekerasan dalam rumah tangga dan kehadiran orang ketiga bahkan perceraian karena faktor kelainan orientasi seksual.

Wilayah hukum Pengadilan Agama Kab. Banyuwangi meliputi seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi yang terdiri atas 24 Kecamatan dan 28 kelurahan, 189 desa. Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Banyuwangi Agus Purwanto, SH, mengatakan saat ini Pengadilan Agama Kab. Banyuwangi memilik 16 hakim termasuk ketua dan wakil ketua, dari 16 orang hakim tersebut terdapat 4 orang hakim perempuan, akan tetapi jumlah tersebut belum dianggap cukup, mengingat jumlah persidangan mencapai 150 kali perhari dan hanya dibagi dalam tiga ruang sidang, idealnya ditangani oleh 34 orang hakim. (Agus Purwanto.Wawancara.16 April 2015)

Angka perceraian di Banyuwangi sudah turun dengan menempati peringkat ketiga se-Jawa Timur setelah Kabupaten Malang dan Kota Surabaya, meskipun bila dilihat angkanya tingkat perceraian di Banyuwangi masih tetap naik. Ia menjelaskan, selama tahun 2014 terdapat 7.106 pasangan yang mendaftarkan perceraian. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2013, yaitu 6.930 pasangan. Sementara itu, yang mengajukan cerai gugat mencapai 4.576 orang dan cerai talak sebanyak 2.530 orang. Sedangkan pasangan yang mendaftarkan perceraian hingga Maret tahun 2015 ini mencapai 1.763 pasangan. Beberapa alasan perceraian, antara lain perkawinan tidak harmonis, suami tidak bertanggung jawab dan ekonomi. Sebagian besar perceraian

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 269

dialami oleh pasangan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Adapun usia perceraian terbanyak berasal dari usia produktif antara 20 sampai 40 tahun. Selain angka perceraian yang cukup tinggi, jumlah dispensasi perkawinan di bawah umur juga meningkat. Pada tahun 2014 ada 424 pasangan yang mengajukan dispensasi perkawinan di bawah umur. Usianya masih belasan, ada yang masih berusia 13 tahun. mayoritas disebabkan hamil di luar nikah.

Hal lain yang menjadi faktor utama penyebab terjadinya perceraian, dapat terlihat dalam tabel bawah:

Tabel 6 : Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian

Tahun 2011 s.d Maret 2015 No Faktor

Tahun 2011 2012 2013 2014 2015

1 Tidak ada keharmonisan 2.178 1.867 2.503 2.453 673 2 Tidak ada tanggung jawab 952 1.392 2.142 1.782 370 3 Ekonomi 1.085 1.697 977 1.479 476 4 Gangguan pihak ketiga 542 592 412 568 55 5 Cemburu 220 128 83 108 17 6 Krisis akhlak 100 73 181 142 26 7 Kekejaman Jasmani 66 65 51 140 6 8 Kawin paksa 31 22 4 18 0 9 Kekejaman mental 7 3 4 7 0

10 Cacat biologis 2 2 1 5 0 11 Dihukum 1 1 1 5 0 12 Poligami tidak sehat 0 0 9 3 0 13 Kawin dibawah umur 2 0 0 0 0 14 Politis 0 0 0 1 0 Jumlah 5.186 5.842 6.368 6.711 1.623

Sumber : Pengadilan Agama Kabupaten Banyuwangi

Dari tabel di atas tercatat sepanjang tahun 2011-2014 kasus perceraian di PA Banyuwangi cenderung meningkat.

perkawinan dalam Islam adalah hak prerogatif suami. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya cerai gugat di Banyuwangi disebabkan oleh adanya ketidakharmonisan dalam keluarga, tidak adanya tanggung jawab suami dalam masalah ekonomi, praktik kekerasan dalam rumah tangga dan kehadiran orang ketiga bahkan perceraian karena faktor kelainan orientasi seksual.

Wilayah hukum Pengadilan Agama Kab. Banyuwangi meliputi seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi yang terdiri atas 24 Kecamatan dan 28 kelurahan, 189 desa. Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Banyuwangi Agus Purwanto, SH, mengatakan saat ini Pengadilan Agama Kab. Banyuwangi memilik 16 hakim termasuk ketua dan wakil ketua, dari 16 orang hakim tersebut terdapat 4 orang hakim perempuan, akan tetapi jumlah tersebut belum dianggap cukup, mengingat jumlah persidangan mencapai 150 kali perhari dan hanya dibagi dalam tiga ruang sidang, idealnya ditangani oleh 34 orang hakim. (Agus Purwanto.Wawancara.16 April 2015)

Angka perceraian di Banyuwangi sudah turun dengan menempati peringkat ketiga se-Jawa Timur setelah Kabupaten Malang dan Kota Surabaya, meskipun bila dilihat angkanya tingkat perceraian di Banyuwangi masih tetap naik. Ia menjelaskan, selama tahun 2014 terdapat 7.106 pasangan yang mendaftarkan perceraian. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2013, yaitu 6.930 pasangan. Sementara itu, yang mengajukan cerai gugat mencapai 4.576 orang dan cerai talak sebanyak 2.530 orang. Sedangkan pasangan yang mendaftarkan perceraian hingga Maret tahun 2015 ini mencapai 1.763 pasangan. Beberapa alasan perceraian, antara lain perkawinan tidak harmonis, suami tidak bertanggung jawab dan ekonomi. Sebagian besar perceraian

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim270

Angka perceraian yang disebabkan pasangan tidak harmonis sebagai faktor penyebab paling tinggi. Sedangkan faktor perceraian yang paling sedikit adalah perceraian berlatar belakang politis dan perkawinan di bawah umur. Sementara itu, perbandingan jumlah putusan Pengadilan Agama Kabupaten Banyuwangi selama 5 tahun terakhir dalam kasus cerai talak dan cerai gugat dapat dilihat dari tabel di bawah:

Tabel 7: Jumlah Perkara Perceraian dan Prosentase

Cerai Gugat 2011 s.d Maret 2015 No Perkara

2011 2012 2013 2014 2015 Angka % Angka % Angka % Angka % Angka %

1 Cerai Talak

2.135 37% 2.327 35% 2.517 36% 2.657 36% 666 35%

2 Cerai Gugat

3.669 63% 4.243 65% 4.480 64% 4.754 64% 1.226 65%

Jumlah 5.804 6.570 6.997 7.411 1.892

Sumber : Pengadilan Agama Kabupaten Banyuwangi

Melihat tabel di atas dapat difahami bahwa sebagian besar angka perceraian yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi diajukan melalui cerai gugat dengan rata-rata 65% cerai gugat dan 35% cerai talak.

Pandangan Pihak-Pihak dalam Kasus Cerai Gugat.

1. Pandangan menurut pelaku.

Menurut TN pengertian perkawinan adalah ikatan rumah tangga selain sebagai ibadah, juga kedua belah pihak harus saling mengasihi, menerima watak, keadaan maupun latar belakang keluarga masing-masing dan juga menyatukan dua keluarga dari pihak suami istri. Tujuan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 271

perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman.

Ketika hal yang diidamkan dalam perkawinan tidak dapat terwujud walaupun telah melakukan usaha maksimal, maka menurutnya perceraian merupakan jalan keluar. Namun demikian, dalam banyak kasus pihak suami keberatan dengan keputusan yang ia ambil dan sempat terjadi pertengkaran hebat akibat karena masing-masinng bersikukuh dengan keputusannya sendiri-sendiri. Bahkan suami berusaha mempertahankan rumah tangga di pengadilan.

Namun dalam kasus perceraian ini terdapat fakta yang diakui oleh mantan suami TN yaitu A, bahwa komunikasi dengan mantan istrinya masih sering terjadi, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui telpon dan SMS. Diakui A, mantan istrinya masih mengucapkan kata-kata dan pesan-pesan SMS yang berisi kata-kata mesra kepadanya. Bahkan terkadang masih meminta bantuan kepadanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti membeli beras, bayar kontrakan dan lain-lain. Hal tersebut terkadang menumbuhkan kembali rasa saling membutuhkan di antara mereka, baik sikap perhatian, pemenuhan ekonomi bahkan kebutuhan seksual.

Sementara dalam pandangan HEC, perkawinan atas perjodohan orang tua, calon suami-istri harus saling kenal, mengetahui sifat masing-masing, karena pada waktu perkawinan saksi-saksi dan wali tidak tahu kalau salah satu calon ada keterpaksaan. Tidak cukup perkawinan itu hanya atas dasar rasa senang terhadap seseorang lalu kemudian bercerai. Hal yang sangat penting bagi orang tua untuk memberikan pemahaman tentang apa, kapan,

Angka perceraian yang disebabkan pasangan tidak harmonis sebagai faktor penyebab paling tinggi. Sedangkan faktor perceraian yang paling sedikit adalah perceraian berlatar belakang politis dan perkawinan di bawah umur. Sementara itu, perbandingan jumlah putusan Pengadilan Agama Kabupaten Banyuwangi selama 5 tahun terakhir dalam kasus cerai talak dan cerai gugat dapat dilihat dari tabel di bawah:

Tabel 7: Jumlah Perkara Perceraian dan Prosentase

Cerai Gugat 2011 s.d Maret 2015 No Perkara

2011 2012 2013 2014 2015 Angka % Angka % Angka % Angka % Angka %

1 Cerai Talak

2.135 37% 2.327 35% 2.517 36% 2.657 36% 666 35%

2 Cerai Gugat

3.669 63% 4.243 65% 4.480 64% 4.754 64% 1.226 65%

Jumlah 5.804 6.570 6.997 7.411 1.892

Sumber : Pengadilan Agama Kabupaten Banyuwangi

Melihat tabel di atas dapat difahami bahwa sebagian besar angka perceraian yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi diajukan melalui cerai gugat dengan rata-rata 65% cerai gugat dan 35% cerai talak.

Pandangan Pihak-Pihak dalam Kasus Cerai Gugat.

1. Pandangan menurut pelaku.

Menurut TN pengertian perkawinan adalah ikatan rumah tangga selain sebagai ibadah, juga kedua belah pihak harus saling mengasihi, menerima watak, keadaan maupun latar belakang keluarga masing-masing dan juga menyatukan dua keluarga dari pihak suami istri. Tujuan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim272

dengan siapa dan bagimana perkawinan direncanakan di mana perkawinan tidak hanya untuk 1-2 hari atau 2 bulan, tetapi perkawinan itu untuk seumur hidup. Perkawinan bukan untuk meraup materi, atau status/jabatan tertentu. Karena banyak orang tua yang rela di mana hak dan masa depan putra/putrinya hanya untuk mengejar status. Akhirnya yang menjadi korban adalah masa depan anak-anaknya. Jadi pemerintah harus mengambil peran atau tindakan pada orang tua yang memaksa anakn-anaknya menikah dini atau di bawah umur.

Saran untuk PA, pada waktu pendaftaran, penggugat banyak yang tidak tahu hak-haknya. Hakim bisa kecolongan kalau banyak saksi bayaran dengan alasan tidak cocok. Saksi bayaran banyak berkeliaran di Kantor Pengadilan Agama Kab. Banyuwangi. Dan juga harapan kepada pemerintah untuk dapat menekan angka perkawinan dini yang berujung perceraian. Untuk bisa memberikan bimbingan/konseling kepada para orang tua dalam hal mengawinkan putra putrinya.

2. Pandangan Menurut Sahabat Pelaku

Menurutnya keterangan DN selaku sahabat akrab DF, keputusan DF untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan AW didasari atas niat untuk menyenangkan hati orang tua saja karena perkawinan tersebut atas inisiatif keluarga DF. Tanpa mempertimbangkan usia DF yang masih dini dan baru duduk di kelas 2 SMA, ditambah dengan singkatnya masa perkenalan antara DF dan AW sehingga minim pengetahuan tentang latar belakang AW. Akhirnya perkawinan pun terjadi walaupun saat itu DF harus rela meninggalkan bangku sekolahnya. “AW dan DF itu terpaut

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 273

usianya cukup jauh, dan kalau bercanda AW itu suka kelewatan, walau ada istrinya dia suka nggodain cewek-cewek.”

Menurut DN perjalanan rumah tangga DF dan AW mulai terlihat ada masalah setelah rumah tangga mereka dikaruniai anak, ketika itu DF menceritakan kepadanya bahwa ada seorang wanita yang mengaku sudah punya anak dari suaminya. Faktor lain yang turut menjadi penyebab keretakan rumah tangga tersebut adalah kebiasaan AW yang hobi touring dengan teman-temannya di club sepeda motor Mio yang sering melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah di Indonesia dalam waktu yang cukup lama tanpa memperdulikan tanggung jawab ekonomi yang harus ia penuhi terhadap kelurganya sehingga untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, DF terpaksa harus berjualan kue kecil-kecilan di dekat rumahnya.

Menurut DN sebagai seorang sahabat, sikapnya hanya dapat memberikan saran, pertimbangan serta dukungan moril saja. Terkait cerai gugat yang diajukan oleh DF menurutnya itu adalah hal yang bisa dimengerti dan diterima, karena usaha untuk menjalankan perannya dalam rumah tangga sudah maksimal namun apa yang dialaminya selama bertahun-tahun tidak juga menunjukkan perbaikan dari suaminya. Hingga melalui pertimbangan dan kesabaran yang sangat panjang puncaknya DF harus mengajukan gugatan cerai dan gugatannya dikabulkan oleh Pengadilan Agama. DN meyakini cerai gugat dalam kasus rumah tangga DF dan AW adalah merupakan solusi terbaik, setidaknya bagi DF dan anak-anaknya, hal tersebut tampak dari perubahan fisik yang terlihat pada diri DF yang menurutnya lebih

dengan siapa dan bagimana perkawinan direncanakan di mana perkawinan tidak hanya untuk 1-2 hari atau 2 bulan, tetapi perkawinan itu untuk seumur hidup. Perkawinan bukan untuk meraup materi, atau status/jabatan tertentu. Karena banyak orang tua yang rela di mana hak dan masa depan putra/putrinya hanya untuk mengejar status. Akhirnya yang menjadi korban adalah masa depan anak-anaknya. Jadi pemerintah harus mengambil peran atau tindakan pada orang tua yang memaksa anakn-anaknya menikah dini atau di bawah umur.

Saran untuk PA, pada waktu pendaftaran, penggugat banyak yang tidak tahu hak-haknya. Hakim bisa kecolongan kalau banyak saksi bayaran dengan alasan tidak cocok. Saksi bayaran banyak berkeliaran di Kantor Pengadilan Agama Kab. Banyuwangi. Dan juga harapan kepada pemerintah untuk dapat menekan angka perkawinan dini yang berujung perceraian. Untuk bisa memberikan bimbingan/konseling kepada para orang tua dalam hal mengawinkan putra putrinya.

2. Pandangan Menurut Sahabat Pelaku

Menurutnya keterangan DN selaku sahabat akrab DF, keputusan DF untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan AW didasari atas niat untuk menyenangkan hati orang tua saja karena perkawinan tersebut atas inisiatif keluarga DF. Tanpa mempertimbangkan usia DF yang masih dini dan baru duduk di kelas 2 SMA, ditambah dengan singkatnya masa perkenalan antara DF dan AW sehingga minim pengetahuan tentang latar belakang AW. Akhirnya perkawinan pun terjadi walaupun saat itu DF harus rela meninggalkan bangku sekolahnya. “AW dan DF itu terpaut

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim274

gemuk dan segar, serta lebih fokus perhatiannya untuk membesarkan dan merawat kedua anaknya.

3. Pandangan menurut BP4.

Menurut keterangan narasumber Drs. H. Moh. Jali, M.Pd.I sebagai Ketua Bidang Konseling Penasihatan Perkawinan dan Keluarga, Susunan kepengurusan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kabupaten Banyuwangi priode 2013-2017 sudah terbentuk dengan Surat Keputusan BP4 Provinsi Jawa Timur No. 07/BP4/JTM/I/SK/2013 tanggal 3 Januari 2013, namun diakui bahwa sejauh ini keberadaan BP4 di Kab. Banyuwangi sendiri masih mengalami berbagai permasalahan dan kendala di antaranya lemahnya struktur kelembagaan, minimnya sosialisasi, kurangnya pendanaan, dan SDM yang kurang memadai sehingga kiprahnya tidak hanya stagnan bahkan mungkin lebih dari itu, menurutnya BP4 mengalami degradasi fungsi dan perannya.

Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perceraian dilaksanakan dan dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) membuat peran BP4 begitu sentral. Struktur BP4 yang berjenjang sampai ke desa terbukti mampu menekan perceraian yang tidak perlu. Beliau menambahkan, dahulu kalau masyarakat mengalami masalah biasanya mereka lapor kepada P3N (Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah) yang notabene sebagai BP4 Desa. BP4 desa merupakan tokoh agama lokal yang disegani. Dahulu P3N khususnya di Kab. Banyuwangi kebanyakan dirangkap oleh Modin.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 275

Kepercayaan masyarakat yang besar terhadap Modin tidak lepas dari posisinya yang merupakan kyai kampung yang secara sosiologis merupakan kepanjangan tangan dari Kyai karismatik di daerahnya. Modin itulah yang bertanggung jawab menangani semua peristiwa keagamaan, mulai dari pernikahan, kematian, kelahiran bayi, dan sebagainya. Oleh karena itu Modin secara kultural dianggap mempunyai otoritas dalam menyelesaikan sengketa-sengketa keagamaan di pedesaan, termasuk pertikaian rumah tangga, waris, dan lain-lain. Jika tidak bisa didamaikan ditingkat desa, Modin membawa masalah tersebut ke BP4 kecamatan yang bertempat di KUA setempat. Jika tidak bisa didamaikan, baru kemudian dibawa ke pengadilan Agama. Pengetahuan para Modin dan petugas BP4 tentang keluarga pasangan yang bertikai, optimalisasi kearifan lokal dan kewibawaan yang mereka miliki serta penanganan yang berjenjang tersebut mempersempit ruang gerak manipulasi dan penyalahgunaan perceraian. (Moh. Jali.Wawancara.23 April 2015)

4. Pandangan Menurut Lembaga Pemberdayaan Perempuan.

Menurut Hj. Fitrin Kuntartini, S.Sos, M.Si selaku Kabid Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan Perempuan Kab. Banyuwangi, Perceraian yang terjadi di wilayah Banyuwangi disebabkan adanya egoisme laki-laki (suami) maupun perempuan (istri) dan juga karena adanya perselingkuhan yang kebanyakan dilakukan oleh pihak suami. (Fitrin Kuntartini.Wawancara.15 April 2015)

gemuk dan segar, serta lebih fokus perhatiannya untuk membesarkan dan merawat kedua anaknya.

3. Pandangan menurut BP4.

Menurut keterangan narasumber Drs. H. Moh. Jali, M.Pd.I sebagai Ketua Bidang Konseling Penasihatan Perkawinan dan Keluarga, Susunan kepengurusan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kabupaten Banyuwangi priode 2013-2017 sudah terbentuk dengan Surat Keputusan BP4 Provinsi Jawa Timur No. 07/BP4/JTM/I/SK/2013 tanggal 3 Januari 2013, namun diakui bahwa sejauh ini keberadaan BP4 di Kab. Banyuwangi sendiri masih mengalami berbagai permasalahan dan kendala di antaranya lemahnya struktur kelembagaan, minimnya sosialisasi, kurangnya pendanaan, dan SDM yang kurang memadai sehingga kiprahnya tidak hanya stagnan bahkan mungkin lebih dari itu, menurutnya BP4 mengalami degradasi fungsi dan perannya.

Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perceraian dilaksanakan dan dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) membuat peran BP4 begitu sentral. Struktur BP4 yang berjenjang sampai ke desa terbukti mampu menekan perceraian yang tidak perlu. Beliau menambahkan, dahulu kalau masyarakat mengalami masalah biasanya mereka lapor kepada P3N (Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah) yang notabene sebagai BP4 Desa. BP4 desa merupakan tokoh agama lokal yang disegani. Dahulu P3N khususnya di Kab. Banyuwangi kebanyakan dirangkap oleh Modin.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim276

Munculnya berbagai macam media komunikasi, seperti SMS, Facebook, WhatsApp dan lain-lain yang sedang mewabah dan menjadi gaya hidup masyarakat sekarang juga diduga berdampak pada tingkat perceraian yang semakin tinggi dan menimbulkan penyakit sosial lainnya. Akibat perceraian yang terjadi tentunya yang menjadi korban adalah anak-anak karena perkawinan adalah kehendak Allah. Perselisihan yang meminta perlindungan disebabkan karena kebanyakan suami melakukan selingkuh.

Ia juga tidak setuju usia perkawinan perempuan di bawah 17 tahun di mana anak belum siap baik secara psikologis maupun sosiologis, minimnya pengetahuan gizi (apakah asupan gizi terpenuhi atau tidak), dan membahayakan tingkat kesehatan reproduksi (kalau dalam stress tinggi maka pada waktu melahirkan akan menjadi pendarahan, karena belum siap untuk melahirkan).

Sosialisasi KB pada usia pranikah penting dilaksanakan. Apa yang harus disiapkan oleh calon suami yang akan menjadi Kepala Keluarga. Dengan gaji yang kurang memadai bagaimana memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Jika kurang siap hal ini akan menjadi penyebab perceraian.

Cerai suami terhadap istri biasanya dilakukan karena suami selingkuh atau suami sudah mempunyai calon istri lain. Yang sulit dilakukan cerai talak bagi pasangan suami-istri adalah untuk PNS dan pembagian gono-gini, kalau tidak ada harta gono-gini lebih mudah prosesnya.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 277

Sebaliknya istri menggugat cerai suami biasanya terjadi karena istri mempunyai pria idaman lain. Posisi Badan Pemberdayaan perempuan harus berdiri di tengah-tengah, tidak boleh memihak ke pihak suami maupun istri dalam mendampingi masalah keluarga.

PENUTUP

Dari paparan diatas, ditemukan beberapa kesimpulan :

1. Bahwa struktur formal yang ada dalam masyarakat Banyuwangi belum berfungsi maksimal dalam mencegah terjadinya perceraian. Di samping lemahnya struktur formal, struktur non-formal seperti pranata sosial juga ternyata belum berfungsi maksimal seperti melemahnya ikatan kekerabaatan dalam keluarga besar yang menyebabkan menipisnya kepedulian keluarga satu sama lain.

2. Faktor lain yang mendorong terjadinya perceraian adalah koordinasi dan komunikasi antar instansi yang menangani perkawinan dan instansi yang menangani perceraian belum berjalan maksimal. Padahal membicarakan perceraian juga secara intersepsi membincangkan pernikahan. Meski fungsi KUA, BP4 dan PA, berdasarkan peraturan perundangan yang ada telah memiliki fungsi masing-masing, namun tetap dibutuhkan koordinasi dan komunikasi, untuk terwujudnya sinergitas dalam membina perkawinan dan mencegah meningkatnya angka perceraian.

Munculnya berbagai macam media komunikasi, seperti SMS, Facebook, WhatsApp dan lain-lain yang sedang mewabah dan menjadi gaya hidup masyarakat sekarang juga diduga berdampak pada tingkat perceraian yang semakin tinggi dan menimbulkan penyakit sosial lainnya. Akibat perceraian yang terjadi tentunya yang menjadi korban adalah anak-anak karena perkawinan adalah kehendak Allah. Perselisihan yang meminta perlindungan disebabkan karena kebanyakan suami melakukan selingkuh.

Ia juga tidak setuju usia perkawinan perempuan di bawah 17 tahun di mana anak belum siap baik secara psikologis maupun sosiologis, minimnya pengetahuan gizi (apakah asupan gizi terpenuhi atau tidak), dan membahayakan tingkat kesehatan reproduksi (kalau dalam stress tinggi maka pada waktu melahirkan akan menjadi pendarahan, karena belum siap untuk melahirkan).

Sosialisasi KB pada usia pranikah penting dilaksanakan. Apa yang harus disiapkan oleh calon suami yang akan menjadi Kepala Keluarga. Dengan gaji yang kurang memadai bagaimana memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Jika kurang siap hal ini akan menjadi penyebab perceraian.

Cerai suami terhadap istri biasanya dilakukan karena suami selingkuh atau suami sudah mempunyai calon istri lain. Yang sulit dilakukan cerai talak bagi pasangan suami-istri adalah untuk PNS dan pembagian gono-gini, kalau tidak ada harta gono-gini lebih mudah prosesnya.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim278

Penelitian ini memberikan rekomendasi:

1. Ditjen Bimas Islam agar melakukan evaluasi dan menyempurnakan Gerakan Keluarga Sakinah (GKS) dan mengoptimalkan Kursus Calon Pengantin (Suscatin) di KUA.

2. Ditjen Bimas Islam agar bersinergi dengan MA dan Instansi Pemerintah lainnya yang juga melakukan program pembinaan keluarga, dan melibatkan lembaga-lembaga adat untuk mencegah meningkatnya perceraian.

3. Ditjen Bimas Islam dan MA agar meninjau kembali keberadaan BP4 baik provinsi maupun kabupaten/kota dan merevitalisai BP4 agar lebih maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

4. Ditjen Bimas Islam dan Badan Litbang dan Diklat perlu bekerjasama untuk menyusun modul atau pedoman praktis pembinaan keluarga sakinah.

DAFTAR PUSTAKA

Cammack, M. dan T. Heaton. 2011. Kemajuan terbaru dalam Perceraian di Indonesia: Idealisme perkembangan dan Pengaruh Perubahan Politik. Makalah dalam Asian Journal of Social Science 39.

Ernaningsih, Wahyu dan Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 2009. Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang.

Ihromi, Tapi Omas (ed). 1995. Kajian Wanita dalam pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 279

Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural. Yogyakarta: LkiS.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan. Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Permatasari, Dewi. 2009. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pengambilan Keputusan Seorang Istri untuk Mengajukan Gugatan Cerai. Skripsi di Program Studi Psikologi Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke Enam. Jakarta: Kencana.

Said, Fuad. 1993. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Putaka Husna.

Wong, Aline K. 1976. Women in Modern Singapore. London. Kuala Lumpur: University Press.

Penelitian ini memberikan rekomendasi:

1. Ditjen Bimas Islam agar melakukan evaluasi dan menyempurnakan Gerakan Keluarga Sakinah (GKS) dan mengoptimalkan Kursus Calon Pengantin (Suscatin) di KUA.

2. Ditjen Bimas Islam agar bersinergi dengan MA dan Instansi Pemerintah lainnya yang juga melakukan program pembinaan keluarga, dan melibatkan lembaga-lembaga adat untuk mencegah meningkatnya perceraian.

3. Ditjen Bimas Islam dan MA agar meninjau kembali keberadaan BP4 baik provinsi maupun kabupaten/kota dan merevitalisai BP4 agar lebih maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

4. Ditjen Bimas Islam dan Badan Litbang dan Diklat perlu bekerjasama untuk menyusun modul atau pedoman praktis pembinaan keluarga sakinah.

DAFTAR PUSTAKA

Cammack, M. dan T. Heaton. 2011. Kemajuan terbaru dalam Perceraian di Indonesia: Idealisme perkembangan dan Pengaruh Perubahan Politik. Makalah dalam Asian Journal of Social Science 39.

Ernaningsih, Wahyu dan Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 2009. Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang.

Ihromi, Tapi Omas (ed). 1995. Kajian Wanita dalam pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim280

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 281

TREND CERAI GUGAT DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI KOTA AMBON

Oleh : I Nyoman Yoga Segara dan Dedi Djubaedi

PENDAHULUAN

Ambon yang menjadi lokus penelitian ini adalah negeri yang unik sekaligus tertangkap sebagai negeri yang sedang mencari identitas baru pasca konflik yang teramat mencekam. Ada ingatan kolektif yang membuat “manusia Ambon” diimajinasikan masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan, trauma, dan juga dendam. Semua kelakuan ini secara sadar merasuki ingatan masa kini banyak orang. Ekspresi dari ingatan kolektif dapat mewujud ke dalam banyak bentuk, termasuk terjadinya disorentasi hidup. Segala peristiwa dan kejadian di luar diri, secara sadar juga memengaruhi apa yang ada di dalam diri. Ada internalisasi sekaligus eksternalisasi terhadap peristiwa dan kejadian sejarah, bahkan masa lalu sekalipun.

Apakah tren cerai gugat juga sedang melanda Ambon seperti yang terjdi di banyak daerah di Indonesia? Ada kesan bahwa pertanyaan ini mengandung sejumlah keraguan, bahkan terdapat ketidakpercayaan bahwa apa yang terjadi di Banyuwangi, Indramayu, Gresik dan daerah lain di kawasan Indonesia Barat, juga terjadi di Ambon. Memang telah sejak lama, stereotype bahwa Ambon dan daerah Indonesia Timur lainnya tidak memiliki arus perubahan yang kencang, kecuali

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim282

beberapa konflik yang menderanya. Namun, data awal cerai gugat hampir serupa dengan daerah lainnya. Sebagai daerah yang, sekali lagi, secara generik karena kearifan-kearifan lokalnya yang kuat serta pilihan kolektivitasnya, Ambon dianggap memiliki mekanisme untuk mempertahankan kekeluargaan dan persaudaraan. Asumsi ini juga dilekatkan pada kemampuan mereka dalam mempertahankan perkawinan.

Untuk dapat memasuki lebih jauh tujuan penelitian ini, penting terlebih dahulu disampaikan gambaran data tentang perkawinan dan perceraian. Hal ini dilakukan agar ada perimbangan terhadap dua peristiwa penting dalam kehidupan seorang manusia. Mengingat perkawinan dicatat di KUA dan perceraian diputus melalui ketokan palu hakim di Pengadilan Agama, maka data diambil dari dua institusi yaitu Kementerian Agama dan Mahkamah Agung. dan dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang makin jelas. Data pada Kantor Kementerian Agama Kota Ambon menunjukkan angka perkawinan sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Perkawinan di Kota Ambon

No. Tahun Jumlah Perkawinan 1. 2010 1.425 2. 2011 1.484 3. 2012 1.561 4. 2013 1.574 5. 2014 1.493 6. s/d Maret 2015 413

Sumber: Kantor Kementerian Agama Kota Ambon Tahun 2015

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 283

Di bawah ini adalah data perceraian dan perkara lain yang tercatat di PA Ambon, dengan catatan bahwa data perceraian untuk tahun 2015 dimulai dari Januari hingga Maret 2015, sedangkan mediasi untuk tahun 2010 dimulai pada bulan Desember 2010.

Tabel 2: Keadaan Perkara pada Pengadilan Agama Ambon Tahun 2010-2015

No

Perkara Tahun

2010 2011 2012 2013 2014 2015 1. Perceraian 260 256 237 306 349 96 2. Cerai Gugat 153 165 151 192 226 68 3. Cerai Talak 107 91 86 116 123 28 4. Isbat Nikah

dengan tujuan cerai

12 9 7 9 7 0

5. Jumlah pasangan yang melakukan mediasi

8 81 61 83 94 0

6. Gugatan cerai yang berhasil dimediasi

0 3 3 4 5 0

Sumber: PA Ambon, 2015

Berdasarkan data di atas, tampak bahwa:

1. Angka perceraian pada 2010 sebesar 18,25% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 10,74% adalah cerai gugat, sisanya 7,51% cerai talak. Pada 2011 angka perceraian sebesar 17,25% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 11,12% adalah cerai gugat, sisanya 6,13% cerai talak.

beberapa konflik yang menderanya. Namun, data awal cerai gugat hampir serupa dengan daerah lainnya. Sebagai daerah yang, sekali lagi, secara generik karena kearifan-kearifan lokalnya yang kuat serta pilihan kolektivitasnya, Ambon dianggap memiliki mekanisme untuk mempertahankan kekeluargaan dan persaudaraan. Asumsi ini juga dilekatkan pada kemampuan mereka dalam mempertahankan perkawinan.

Untuk dapat memasuki lebih jauh tujuan penelitian ini, penting terlebih dahulu disampaikan gambaran data tentang perkawinan dan perceraian. Hal ini dilakukan agar ada perimbangan terhadap dua peristiwa penting dalam kehidupan seorang manusia. Mengingat perkawinan dicatat di KUA dan perceraian diputus melalui ketokan palu hakim di Pengadilan Agama, maka data diambil dari dua institusi yaitu Kementerian Agama dan Mahkamah Agung. dan dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang makin jelas. Data pada Kantor Kementerian Agama Kota Ambon menunjukkan angka perkawinan sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Perkawinan di Kota Ambon

No. Tahun Jumlah Perkawinan 1. 2010 1.425 2. 2011 1.484 3. 2012 1.561 4. 2013 1.574 5. 2014 1.493 6. s/d Maret 2015 413

Sumber: Kantor Kementerian Agama Kota Ambon Tahun 2015

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim284

2. Pada 2012 angka perceraian sebesar 15,18% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 9,67% adalah cerai gugat, sisanya 5,51% cerai talak. Pada 2013 angka perceraian sebesar 19,44% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 12,20% adalah cerai gugat, sisanya 7,37% cerai talak.

3. Pada 2014 angka perceraian sebesar 23,38% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 15,14% adalah cerai gugat, sisanya 8,24% cerai talak. Pada 2015 angka perceraian sebesar 23,24% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 16,46% adalah cerai gugat, sisanya 6,78% cerai talak.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dari data perkawinan dan perceraian dalam kurun waktu antara tahun 2010-2015 tercatat 7950 peristiwa nikah terdapat perceraian sebanyak 1504 (18,92%), sedangkan cerai gugat sebanyak 955 (12,01%) dan cerai talak sebesar 551 (6,93%). Untuk lebih lengkap dapat dilihat dalam rekapitulasi di bawah ini:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 285

Tabel 3: Perbandingan Perkawinan dan Perceraian

Kete-rangan

Tahun Jml Total

2010 2011 2012 2013 2014 2015

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 2010-2015 %

Peristiwa Nikah 1425 100 1484 100 1561 100 1574 100 1493 100 413 100 7950 100

Perceraian 260 18.25 256 17.25 237 15.18 306 19.44 349 23.38 96 23.24 1504 18.92

Cerai Gugat 153 10.74 165 11.12 151 9.67 192 12.20 226 15.14 68 16.46 955 12.01

Cerai Talak 107 7.51 91 6.13 86 5.51 116 7.37 123 8.24 28 6.78 551 6.93

Isbat Nikah dengan Tujuan

12 0.84 9 0.61 7 0.45 9 0.57 7 0.47 0 - 44 0.55

Jumlah Pasangan yang melakukan mediasi

8 0.56 81 5.46 61 3.91 83 5.27 94 6.30 0 - 327 4.11

Gugatan Cerai Yang Berhasil dimediasi

0 - 3 0.20 3 0.19 4 0.25 5 0.33 0 - 15 0.19

Sumber: diolah dari data Kankemenag Kota Ambon dan PA Ambon

Data yang cukup menarik adalah kecilnya gugatan cerai yang berhasil dimediasi. Gejala ini patut menjadi perhatian mengingat mediator itu tidak saja dilakukan di PA tetapi juga KUA. Menurut Bachtiar, Panitera Sekretaris di PA mengatakan bahwa “pasangan yang sudah memutuskan bercerai biasanya sangat susah untuk dimediasi lagi, selain sudah berketetapan hati untuk berpisah, juga karena sering terbawa emosi, tak jarang ada keributan-keributan kecil”. (Bachtiar Sekretaris Panitera, Wawancara, 15 April 2015).

2. Pada 2012 angka perceraian sebesar 15,18% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 9,67% adalah cerai gugat, sisanya 5,51% cerai talak. Pada 2013 angka perceraian sebesar 19,44% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 12,20% adalah cerai gugat, sisanya 7,37% cerai talak.

3. Pada 2014 angka perceraian sebesar 23,38% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 15,14% adalah cerai gugat, sisanya 8,24% cerai talak. Pada 2015 angka perceraian sebesar 23,24% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 16,46% adalah cerai gugat, sisanya 6,78% cerai talak.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dari data perkawinan dan perceraian dalam kurun waktu antara tahun 2010-2015 tercatat 7950 peristiwa nikah terdapat perceraian sebanyak 1504 (18,92%), sedangkan cerai gugat sebanyak 955 (12,01%) dan cerai talak sebesar 551 (6,93%). Untuk lebih lengkap dapat dilihat dalam rekapitulasi di bawah ini:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim286

Dalam amatan peneliti, ruang mediasi yang terletak bersebelahan dengan ruang administrasi dan ruang sidang. Ruang mediasi saat itu cukup sempit, terdiri dari empat sofa dan satu meja kecil di tengah. Untuk duduk, kita harus menundukkan kepala karena di atasnya adalah tangga menuju lantai dua. Tempatnya cukup sempit, bahkan orang bisa lalu lalang karena pintu depan bisa menjadi akses untuk menuju ruang tunggu atau ruang sidang. Pak Bachtiar mengakui bahwa insfrastruktur PA Ambon belum memadai dan sesuai standar yang ditetapkan, sehingga belum bisa produktif. Ia bahkan menunjuk PA Tual yang dianggap lebih representatif. Saat itu memang tidak ada pasangan yang hendak dimediasi karena saat peneliti mengikuti sidang, ternyata ditunda pada 28 April 2015 karena pihak termohon tidak hadir.

Pengamatan peneliti dan pendapat pak Bachtiar diamini oleh Samad Umarella, yang mengatakan secara psikologis pasangan yang bercerai tidak akan mau dimediasi. Selain sepakat dengan sebab penolakan untuk mediasi seperti diungkap pak Bachtiar, juga karena beban psikologis yang menghinggapi mereka ketika memasuki ruangan mediasi yang sempit, terstruktur kaku, informal dan karena menjadi pintu alternatif depan dan belakang, sepertinya akan menjadi tontonan banyak orang. “Malulah mereka. Mediasi pasti gagal dong!”, tegas Umarella meyakinkan (Focus Group Discussion, 18 April 2015).

Memaknai Ulang Data PA Ambon

Setelah melewati jalanan yang cukup berliku, beberapa di antaranya menanjak, gedung PA terlihat dari bawah karena

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 287

letaknya yang cukup tinggi. Tidak banyak waktu terbuang karena peneliti setelah mengisi buku tamu, langsung bertemu Bachtiar, Panitera Sekretaris.3 Ketua PA saat itu sedang ada acara di luar kantor. Kami diterima diruangan kerja Pansek. Meski diawal pertemuan terasa kaku, Bachtiar akhirnya bisa dikorek pernyataannya terkait cerai gugat.

Wawancara dengan Bachtiar terasa datar, cenderung normatif. Pertemuan kali pertama ini peneliti rasakan gagal, kecuali janjinya untuk memberikan rekapitulasi data tentang perceraian yang berlangsung sejak 2010-2015. Pada tanggal 18 April 2015 peneliti kembali mengunjugi PA. Seperti dijanjikan, Pansek memperikan rekapituliasi data, baik hardcopy maupun dalam bentuk compact disk (CD).

Peneliti berharap cemas faktor perceraian tidak sedatar yang disampaikan Pansek, namun lebih rinci seperti alasan yang dirasakan oleh penggugat. Benar saja, ternyata daftar faktor-faktor penyebab banyak yang peristilahannya tidak seperti yang dimaksud para informan. Bahkan ada yang tumpang tindih, misalnya Faktor Menyakiti Jasmani, selain berisi “Kekejaman Jasmani” juga “Kekejaman Mental”. “Cemburu” dimasukkan sebagai Faktor Moral. “Kawin

3 Studi awal sengaja langsung dilakukan ke PA Ambon dengan harapan

mendapat data kuantitatif. Kegiatan ini dilakukan sehari setelah menjejakkan kaki di negeri Ambon. Setelah melaporkan tugas penelitian di Kanwil Kemenag Propinsi Maluku, sekaligus menyerahkan beberapa dokumen administrasi. Hari itu, tanggal 13 April 2015, pagi pukul 09.00 wit masih terasa sepi karena semua pejabat di lingkungan Kanwil Kemenag mengikuti acara di Balai Diklat Keagamaan Ambon. Hanya ada beberapa pegawai yang lalu lalang sedang merapikan ruangan yang saat itu berserakan. Maklum saja karena luas kantor tidak cukup untuk menampung pegawai dan dokumen. Untuk ukuran kantor Kanwil, jelas sangat sempit. Tempat parkirpun hanya bisa diisi sekitar empat-enam mobil. Pegawai terpaksa parkir dikiri kanan jalan. Peneliti memutuskan segera meluncur ke PA Ambon.

Dalam amatan peneliti, ruang mediasi yang terletak bersebelahan dengan ruang administrasi dan ruang sidang. Ruang mediasi saat itu cukup sempit, terdiri dari empat sofa dan satu meja kecil di tengah. Untuk duduk, kita harus menundukkan kepala karena di atasnya adalah tangga menuju lantai dua. Tempatnya cukup sempit, bahkan orang bisa lalu lalang karena pintu depan bisa menjadi akses untuk menuju ruang tunggu atau ruang sidang. Pak Bachtiar mengakui bahwa insfrastruktur PA Ambon belum memadai dan sesuai standar yang ditetapkan, sehingga belum bisa produktif. Ia bahkan menunjuk PA Tual yang dianggap lebih representatif. Saat itu memang tidak ada pasangan yang hendak dimediasi karena saat peneliti mengikuti sidang, ternyata ditunda pada 28 April 2015 karena pihak termohon tidak hadir.

Pengamatan peneliti dan pendapat pak Bachtiar diamini oleh Samad Umarella, yang mengatakan secara psikologis pasangan yang bercerai tidak akan mau dimediasi. Selain sepakat dengan sebab penolakan untuk mediasi seperti diungkap pak Bachtiar, juga karena beban psikologis yang menghinggapi mereka ketika memasuki ruangan mediasi yang sempit, terstruktur kaku, informal dan karena menjadi pintu alternatif depan dan belakang, sepertinya akan menjadi tontonan banyak orang. “Malulah mereka. Mediasi pasti gagal dong!”, tegas Umarella meyakinkan (Focus Group Discussion, 18 April 2015).

Memaknai Ulang Data PA Ambon

Setelah melewati jalanan yang cukup berliku, beberapa di antaranya menanjak, gedung PA terlihat dari bawah karena

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim288

Paksa” dianggap sebagai Faktor Meninggalkan Kewajiban. Sedangkan “Dihukum” dan “Cacat Biologis” menjadi faktor tersendiri. Yang lebih membingungkan adalah “Tidak Ada Keharmonisan” dimasukkan sebagai Faktor Terus Menerus Berselisih. Selanjutnya lihat lebih lengkap Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4: Faktor-Faktor Penyebab Perceraian

No

Tahu

n

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN

Jum

alh

Moral Meninggalkan Kewajiban

Kawi

n Di

Baw

ah Um

ur

Menyakiti Jasmani

Dihu

kum

Caca

t Bio

logi

s

Terus Menerus Berselisih

Lain

-Lain

Polig

ami T

idak

Seha

t

Krisi

s Akh

lak

Cem

buru

Kawi

n Pa

ksa

Ekon

omi

Tida

k Ad

a Tan

ggun

g Ja

wab

Keke

jam

an Ja

sman

i

Keke

jam

an M

enta

l

Polit

is

Gang

guan

Pih

ak K

etig

a

Tida

k Ad

a Keh

arm

onisa

n

1 2010 4 13 12 2 9 50 - 12 - - 1 - 25 77 - 205 2 2011 1 22 8 - 10 51 - 11 3 - - - 35 62 - 203 3 2012 1 20 3 - 7 43 - 13 - - - - 32 52 - 171 4 2013 1 32 10 - 15 39 - 12 1 - - - 50 69 - 229 5 2014 - 37 3 - 12 48 - 10 3 - - - 46 104 - 263 6 2015 - 5 1 1 1 17 - 7 - - - - 9 39 - 80 Jumlah: 7 129 37 3 54 248 0 65 7 0 1 0 197 403 0 1151

Sumber: diolah dari data PA Ambon, 2015

Catatan: Khusus data tahun 2015 dimulai dari Januari s.d Maret 2015

Meski faktor Tidak Ada Keharmonis selalu menempati urutan teratas, tetap saja oleh para informan data ini dianggap bias. Mereka menolak istilah itu karena kekerasan mereka anggap sebagai penyebab paling tinggi cerai gugat. Namun sebagaimana yang telah dijelaskan, faktor ini perlu dimaknai ulang karena sebagian besar informan. “Kami ingin semuanya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 289

segera berakhir. Tak penting apa yang saya alami masuk kategori mana, karena saya sendiri tidak pernah tahu istilah hukum, yang jelas tidak ada keharmonisan saja”, kata NAF. Pendapat yang hampir sama juga dikatakan informan lain. Tidak ada keharmonisan menjadi istilah yang terlalu generik karena bagi mereka tidak harmonis adalah akumulasi dari seluruh masalah yang dihadapi. NS misalnya, ia yang lebih banyak merasa tidak harmonis karena perbedaan visi dan mendapat semacam “kekerasan simbolik” saat suaminya selalu bilang “kenapa kamu tidak bisa melayani orangtuaku dengan baik seperti kebanyakan orang-orang di Ambon”. (Wawancara dengan NS, 16 April 2015).

Ketika peneliti mencoba menanyakan hal ini, Bachtiar tidak bisa memberikan komentar karena data tersebut sudah menjadi keputusan mengikat. “Kami tentu tidak bisa mengubah item-item itu. Kami tidak memiliki kewenangan seperti itu”, ujar Bachtiar. Apa yang disampaikan Pansek PA Ambon ini tentu saja tidak bisa disalahkan. Namun peneliti mencoba untuk menelusuri apakah memang ada ketentuan seperti tertera dalam tabel 4 di atas.

Setelah cukup lama berselancar di google, peneliti hanya menemukan alasan-alasan perceraian sebagaimana tertuang jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Bab V Tatacara Perceraian, Pasal 19 yang menyatakan bahwa Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; (2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena

Paksa” dianggap sebagai Faktor Meninggalkan Kewajiban. Sedangkan “Dihukum” dan “Cacat Biologis” menjadi faktor tersendiri. Yang lebih membingungkan adalah “Tidak Ada Keharmonisan” dimasukkan sebagai Faktor Terus Menerus Berselisih. Selanjutnya lihat lebih lengkap Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4: Faktor-Faktor Penyebab Perceraian

No

Tahu

n

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN

Jum

alh

Moral Meninggalkan Kewajiban

Kawi

n Di

Baw

ah Um

ur

Menyakiti Jasmani

Dihu

kum

Caca

t Bio

logi

s

Terus Menerus Berselisih

Lain

-Lain

Polig

ami T

idak

Seha

t

Krisi

s Akh

lak

Cem

buru

Kawi

n Pa

ksa

Ekon

omi

Tida

k Ad

a Tan

ggun

g Ja

wab

Keke

jam

an Ja

sman

i

Keke

jam

an M

enta

l

Polit

is

Gang

guan

Pih

ak K

etig

a

Tida

k Ad

a Keh

arm

onisa

n

1 2010 4 13 12 2 9 50 - 12 - - 1 - 25 77 - 205 2 2011 1 22 8 - 10 51 - 11 3 - - - 35 62 - 203 3 2012 1 20 3 - 7 43 - 13 - - - - 32 52 - 171 4 2013 1 32 10 - 15 39 - 12 1 - - - 50 69 - 229 5 2014 - 37 3 - 12 48 - 10 3 - - - 46 104 - 263 6 2015 - 5 1 1 1 17 - 7 - - - - 9 39 - 80 Jumlah: 7 129 37 3 54 248 0 65 7 0 1 0 197 403 0 1151

Sumber: diolah dari data PA Ambon, 2015

Catatan: Khusus data tahun 2015 dimulai dari Januari s.d Maret 2015

Meski faktor Tidak Ada Keharmonis selalu menempati urutan teratas, tetap saja oleh para informan data ini dianggap bias. Mereka menolak istilah itu karena kekerasan mereka anggap sebagai penyebab paling tinggi cerai gugat. Namun sebagaimana yang telah dijelaskan, faktor ini perlu dimaknai ulang karena sebagian besar informan. “Kami ingin semuanya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim290

hal lain diluar kemampuannya; (3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; (5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; (6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dari uraian tersebut, tidak ada turunan pernyataan dari masing-masing alasan perceraian, sebagaimana dalam Tabel 4. Ada kemungkinan data itu hanyalah cara paling mudah untuk menyimpulkan sebuah perceraian. Yang menarik tentu saja bukan soal istilah, tetapi keyakinan untuk bercerai yang boleh jadi tidak dipahami oleh para perempuan, seperti keluh kesah AL yang mengatakan “Yang penting cerai dan lepas dulu dari kekejaman suami”.

Kesadaran ini mendapat legitimasi dari pendapat banyak ulama dalam Islam yang membolehkan seorang istri menggugat cerai, sebagaimana dikutip dari Ust. Abu Syauqie Al Mujaddid, yang menyatakan bahwa di antara perkara-perkara yang membolehkan sang istri untuk menggugat cerai tersebut adalah: Pertama, apabila suami dengan sengaja dan jelas dalam perbuatan dan tingkah lakunya telah membenci istrinya, namun suami tersebut sengaja tidak mau menceraikan istrinya; Kedua, perangai atau sikap seorang suami yang suka mendholimi istrinya, contohnya suami suka menghina istrinya, suka menganiaya, mencaci maki dengan perkataan yang kotor; Ketiga, seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya, seperti contoh seorang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 291

suami yang gemar berbuat dosa, suka minum bir (khomr), suka berjudi, suka berzina (selingkuh), suka meninggalkan shalat, dan seterusnya;

Keempat, seorang suami yang tidak melaksanakan hak ataupun kewajibannya terhadap sang istri. Seperti contoh sang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, tidak mau membelikan kebutuhan (primer) istrinya seperti pakaian, makan dll padahal sang suami mampu untuk membelikannya; Kelima, seorang suami yang tidak mampu menggauli istrinya dengan baik, seperti seorang suami yang cacat, tidak mampu memberikan nafkah batin (jimak), atau jika dia seorang yang berpoligami dia tidak adil terhadap istri-istrinya dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau, jarang, enggan untuk memenuhi hasrat seorang istri karena lebih suka kepada yang lainnya;

Keenam, hilangnya kabar tentang keberadaan sang sang suami, apakah sang suami sudah meninggal atau masih hidup, dan terputusnya kabar tersebut sudah berjalan selama beberapa tahun. Dalam salah satu riwayat dari Umar Radhiyallahu’anhu, kurang lebih 4 tahun.

Diriwayatkan dari Umar Ra bahwasanya telah datang seorang wanita kepadanya yang kehilangan kabar tentang keberadaan suaminya. Lantas Umar berkata: tunggulah selama empat tahun, dan wanita tersebut melakukannya. Kemudian datang lagi (setelah empat tahun). Umar berkata: tunggulah (masa idah) selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian wanita tersebut melakukannya. Dan saat datang kembali, Umar berkata: siapakah wali dari lelaki (suami) perempuan ini? kemudian mereka mendatangkan wali tersebut dan Umar berkata: “ceraikanlah dia”, lalu

hal lain diluar kemampuannya; (3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; (5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; (6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dari uraian tersebut, tidak ada turunan pernyataan dari masing-masing alasan perceraian, sebagaimana dalam Tabel 4. Ada kemungkinan data itu hanyalah cara paling mudah untuk menyimpulkan sebuah perceraian. Yang menarik tentu saja bukan soal istilah, tetapi keyakinan untuk bercerai yang boleh jadi tidak dipahami oleh para perempuan, seperti keluh kesah AL yang mengatakan “Yang penting cerai dan lepas dulu dari kekejaman suami”.

Kesadaran ini mendapat legitimasi dari pendapat banyak ulama dalam Islam yang membolehkan seorang istri menggugat cerai, sebagaimana dikutip dari Ust. Abu Syauqie Al Mujaddid, yang menyatakan bahwa di antara perkara-perkara yang membolehkan sang istri untuk menggugat cerai tersebut adalah: Pertama, apabila suami dengan sengaja dan jelas dalam perbuatan dan tingkah lakunya telah membenci istrinya, namun suami tersebut sengaja tidak mau menceraikan istrinya; Kedua, perangai atau sikap seorang suami yang suka mendholimi istrinya, contohnya suami suka menghina istrinya, suka menganiaya, mencaci maki dengan perkataan yang kotor; Ketiga, seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya, seperti contoh seorang

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim292

diceraikannya. Lantas Umar berkata kepada wanita tersebut: “Menikahlah (lagi) dengan laki-laki yang kamu kehendaki”.

Ketujuh, jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau suami yang buruk rupa. Dan sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik.

"Bahwasanya istri Tsaabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, suamiku Tsaabit bin Qois tidaklah aku mencela akhlaknya dan tidak pula agamanya, akan tetapi aku takut berbuat kekufuran dalam Islam". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu-pen)?". Maka ia berkata, "Iya". Rasulullah pun berkata kepada Tsaabit, "Terimalah kembali kebun tersebut dan ceraikanlah ia !" (HR Al-Bukhari no 5373). (http://www.solusiislam.com/2014/01/Inilah-sebab-dan-alasan-wanita-dibolehkan-minta-cerai.html diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 17:50).

Sebab Keruntuhan Mahligai: menelisik kepingan-kepingan puzzle perceraian

1. Ketika Perempuan Berani Menggugat: Representasi sebuah Keteguhan Hati

Untuk memahami tema ini, ada baiknya kembali membaca filsafat bahasa, atau sekurangnya teori semiotika, karena untuk mengetahui bangunan pikiran

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 293

dan perasaan perempuan, ekspresi melalui tanda, simbol dan wacana menjadi pintu masuk yang lapang. Wacana misalnya, dapat dipahami sebagai peristiwa bahasa yang selalu terkait dengan tempat dan waktu; memiliki subjek, yakni “siapa yang berbicara”; menunjuk pada sesuatu yang sedang dibicarakan, dan lokus bagi terjadinya proses komunikasi, pertukaran pesan-pesan dan peristiwa.4 Sedangkan mengapa simbol juga teramat penting untuk dipahami karena representasi adalah tindak menghadirkan sesuatu melalui sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol.5 Tanda, simbol, wacana dan representasi dapat ditemukan dalam ujaran-ujaran para informan.

“Daripada saya menderita seumur hidup, lebih baik bercerai”, begitu kata AL dengan mantap. Ia bahkan berani taruhan jika masih bersama suaminya, studi S1 tidak akan bisa diselesaikannya. Memang, saat bertemu dengannya, setiap kata yang menghambur keluar dari bibirnya penuh semangat kemenangan, padahal pernikahannya baru seumur jagung.(Wawancara dengan AL, 16 April 2015). “Mungkin kalau luka badan dapat saya sembuhkan, tapi jika batin terluka, seumur hidup tak akan dapat disembuhkan”, lanjut AL seraya menceritakan bahwa tiap jam dua malam selalu mendapat siksaan dipukul, dijambak dan ditampar. “Sepertinya dia mengalami gangguan mental”, kenangnya.6

4 Lihat selengkapnya Anang Santoso dalam Bahasa Perempuan (2009:18).

Untuk selanjutnya, buku ini banyak menginspirasi peneliti. Dalam bab-bab awal, penulis banyak menguraikan mengapa bahasa perempuan perlu dipelajari. Ia banyak melakukan diskusi teoritik dalam filsafat bahasa dan hermeutika, serta ideologi.

5 Ibid., 19 6 Menurut ibunya, GB (wawancara tanggal 18 April 2015), AL tiap malam

selalu mendapat siksaan berat. Kejadian ini yang biasanya mulai jam dua malam

diceraikannya. Lantas Umar berkata kepada wanita tersebut: “Menikahlah (lagi) dengan laki-laki yang kamu kehendaki”.

Ketujuh, jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau suami yang buruk rupa. Dan sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik.

"Bahwasanya istri Tsaabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, suamiku Tsaabit bin Qois tidaklah aku mencela akhlaknya dan tidak pula agamanya, akan tetapi aku takut berbuat kekufuran dalam Islam". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu-pen)?". Maka ia berkata, "Iya". Rasulullah pun berkata kepada Tsaabit, "Terimalah kembali kebun tersebut dan ceraikanlah ia !" (HR Al-Bukhari no 5373). (http://www.solusiislam.com/2014/01/Inilah-sebab-dan-alasan-wanita-dibolehkan-minta-cerai.html diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 17:50).

Sebab Keruntuhan Mahligai: menelisik kepingan-kepingan puzzle perceraian

1. Ketika Perempuan Berani Menggugat: Representasi sebuah Keteguhan Hati

Untuk memahami tema ini, ada baiknya kembali membaca filsafat bahasa, atau sekurangnya teori semiotika, karena untuk mengetahui bangunan pikiran

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim294

Kini, AL yang masih tercatat tenaga honorer sedang menatap masa depan untuk meneruskan karir sebagai PNS di sebuah perguruan tinggi agama Islam di Ambon.

Nasib kurang mujur juga dirasakan NAN, (Wawancara tanggal 16 April 2015) meski ia dan suami sempat mereguk masa-masa indah selama tiga tahun. Namun memasuki tahun ketiga, selama hampir delapan bulan malah merasakan neraka perkawinan. Ia tidak hanya mendapatkan siksaan jasmani dan mental, tetapi juga kenyataan pahit melihat dengan kepala suaminya berselingkuh. “Setelah sekitar lima sampai delapan bulan mendapatkan siksaan, saya memantapkan diri untuk bercerai. Saya melakukannya sendiri, bahkan orang tua sendiri tidak ikut mengurus perceraian saya”, lirih NA sembari mengatakan bahwa ini semua dilakukannya agar tidak membuka aib dan membiarkan dirinya menanggung sendiri akibat perceraiannya. Namun kesedihannya sedikit terobati ketika ia setelah bercerai pada 2009, mendapat beasiswa untuk studi S2 di Jawa.

NS, perempuan yang lahir dan besar di Bandung, mengaku siap berpisah karena khawatir hidupnya akan kacau berantakan. “Sepertinya sudah tidak ada visi dengan suami. Daripada hidup saya tidak karuan, lebih baik bercerai”, ucap perempuan berkacamata ini. (Wawancara dengan NS, tanggal 16 April 2015). Meski terdengar “Ambon” sesekali terselip logat Sunda yang masih kental. Perbedaan budaya yang sangat tajam, dianggap NS sebagai pemicu

sudah seperti ritual di keluarganya. Ia tidak tahan melihat anak yang dirawatnya sejak bayi merah itu mendapat perlakuan kasar. Sempat GB dan AL menerka-nerka apakah suami AL menggunakan guna-guna. GB juga menduga kalau suami AL hanya mengincar warisan karena suami AL masih keponakan GB.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 295

utama perceraian yang diambilnya pada 2011. Padahal menurutnya, kesamaan hobby sebagai pencinta alam tidak cukup untuk mempersatukan visi dalam rumah tangga.

Kisah pilu NF agak sedikit berbeda, sekaligus mengenaskan. Meski sebagai PNS, ia tetap masih mampu membagi waktu untuk mengais rejeki sehingga cukup mapan sebagai seorang istri. Ketika segala sesuatu telah berjalan dengan baik, prahara mulai menghampirinya. Sang suami yang saat itu belum bekerja justru seolah menjadi tumbal akan suksesnya. “Setelah berpikir matang dan merasa tidak ada perubahan dari perilaku suami, saya putuskan untuk bercerai”, katanya mantap. Ia telah cukup merasa siksaan batin karena selain berhasil menghidupi keluarga, malah keberhasilan itu disalah gunakan suami untuk berselingkuh. “2009 saya bercerai”, ujar NF yang ketika wawancara sempat hampir menangis (NF, Wawancara 15 April 2015).

Empat penggalan cerita haru para perempuan tersebut adalah suara tentang keberanian dan kesadaran dalam memutuskan cerai gugat di PA Ambon. Namun seperti diakui oleh semua informan, keputusan pahit untuk bercerai bukan tanpa alasan dan sebab, atau tiba-tiba jatuh dari langit. Menyelami cerita mereka, peneliti merasakan bahwa sebuah perceraian tidak pernah sesederhana bagi mereka yang berada di luar bingkai cerita itu. Kompleks dan dramatis. Tentu, pilihan cerai bukan sesungguhnya mereka kehendaki. Kadang ada penyesalan setelahnya. Klasik memang, tetapi mereka harus memilih.

Perempuan, ketika memilih sebuah keputusan maha penting dalam hidupnya, pastilah telah melewati

Kini, AL yang masih tercatat tenaga honorer sedang menatap masa depan untuk meneruskan karir sebagai PNS di sebuah perguruan tinggi agama Islam di Ambon.

Nasib kurang mujur juga dirasakan NAN, (Wawancara tanggal 16 April 2015) meski ia dan suami sempat mereguk masa-masa indah selama tiga tahun. Namun memasuki tahun ketiga, selama hampir delapan bulan malah merasakan neraka perkawinan. Ia tidak hanya mendapatkan siksaan jasmani dan mental, tetapi juga kenyataan pahit melihat dengan kepala suaminya berselingkuh. “Setelah sekitar lima sampai delapan bulan mendapatkan siksaan, saya memantapkan diri untuk bercerai. Saya melakukannya sendiri, bahkan orang tua sendiri tidak ikut mengurus perceraian saya”, lirih NA sembari mengatakan bahwa ini semua dilakukannya agar tidak membuka aib dan membiarkan dirinya menanggung sendiri akibat perceraiannya. Namun kesedihannya sedikit terobati ketika ia setelah bercerai pada 2009, mendapat beasiswa untuk studi S2 di Jawa.

NS, perempuan yang lahir dan besar di Bandung, mengaku siap berpisah karena khawatir hidupnya akan kacau berantakan. “Sepertinya sudah tidak ada visi dengan suami. Daripada hidup saya tidak karuan, lebih baik bercerai”, ucap perempuan berkacamata ini. (Wawancara dengan NS, tanggal 16 April 2015). Meski terdengar “Ambon” sesekali terselip logat Sunda yang masih kental. Perbedaan budaya yang sangat tajam, dianggap NS sebagai pemicu

sudah seperti ritual di keluarganya. Ia tidak tahan melihat anak yang dirawatnya sejak bayi merah itu mendapat perlakuan kasar. Sempat GB dan AL menerka-nerka apakah suami AL menggunakan guna-guna. GB juga menduga kalau suami AL hanya mengincar warisan karena suami AL masih keponakan GB.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim296

pendakian yang panjang. Ketika berani memilih bercerai apalagi menceraikan suami, itu adalah puncak tertinggi dari sebuah keteguhan, kekokohan dan ketetapan hati. Pilihan itu adalah representasi dari bulatnya sebuah tekad untuk membebaskan diri dari penderitaan.

2. Sudi Bercerai Karena Nilai Agama Sudah Diredupkan

Perkawinan, dalam semua pandangan agama adalah peristiwa yang suci. Begitupun dalam Islam. Hukum perkawinan adalah peristiwa yang tak terpisahkan antara akidah dan akhlak Islami. Dua hal ini menjadi dasar utama sebuah perkawinan yang diharapkan memiliki nilai transendental dan sakral dalam mencapai tujuan syari’at Islam. Norma ilahi ini mengatur hubungan manusia dengan kaidah ibadah, dengan sesamanya dan dengan alam. Salah satu komponen dari kaidah mu’amalah yang sekaligus mencakup kaidah ibadah adalah hukum yang berkenaan dengan al-ahwalus syakhshiyah, yang muatannya antara lain mengenai hukum munakahat atau perkawinan.7

Berbagai ketentuan dalam perkawinan menurut syari’at Islam mengikat setiap muslim, dan setiap muslim perlu menyadari bahwa di dalam perkawinan terkandung nilai-nilai ubudiyah yang dalam al-Qur’an disebut dengan mitsaaqan ghalidza, yaitu suatu ikatan janji yang kokoh. Artinya, nilai agama menjadi landasan utama sebuah perkawinan.8 Jika dikorelasikan dengan hukum negara, jelas pula dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana sebagian materinya adalah kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung

7 Lihat lebih lengkap H.M. Anshary MK (2010:10) 8 Ibid., hal 11.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 297

dalam al-Qur’an. Kandungan al-Qur’an ini dapat dibaca jelas dalam ketentuan yang menyatakan bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu perkawinan adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama.9

Sejalan dengan norma baik dalam agama maupun peraturan perundang-undangan, hampir semua informan menyatakan bahwa mereka berani menggugat karena suami mereka telah melanggar ajaran agama. Menurut NF, ketika suaminya belum berselingkuh, adalah laki-laki yang taat beribadah, rajin sholat dan imam yang baik bagi istri dan anak-anaknya. NF menceritakan bagaimana ia dengan ikhlas memberikan suaminya mobil untuk disewakan lalu disalahgunakan kepercayaan itu dengan melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain. “Sejak itu, ia berubah perangai. Ia menjadi semakin rapi dan selalu menggunakan parfum. Ia juga rajin menyetrika baju sendiri, biasanya tidak pernah seperti itu. Kalau di rumah juga sering salah tingkah dengan selalu memegang hp ke mana saja, bahkan ke kamar mandi. Yang lebih menjengkelkan adalah sering pulang malam hingga subuh, menelantarkan anak dan istri”, ujar NF sedikit pilu ketika mengenang kisah pahit awal perceraiannya.(NF, Wawancara tanggal 15 April 2015).

Suami meninggalkan kaidah agama dengan tidak lagi menjalankan kewajiban juga dialami oleh AL. Ia menganggap suami sudah tidak bisa dijadikan sandaran hidup apalagi teladan dalam agama. AL menceritakan bahkan di depan ibunya sendiri dipukul dan dijambak, di luar rumah bersama teman-temannya sering mabuk-mabukkan. Pendapat bahwa perempuan berani

9 Lihat selengkapnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal

2 Ayat (1).

pendakian yang panjang. Ketika berani memilih bercerai apalagi menceraikan suami, itu adalah puncak tertinggi dari sebuah keteguhan, kekokohan dan ketetapan hati. Pilihan itu adalah representasi dari bulatnya sebuah tekad untuk membebaskan diri dari penderitaan.

2. Sudi Bercerai Karena Nilai Agama Sudah Diredupkan

Perkawinan, dalam semua pandangan agama adalah peristiwa yang suci. Begitupun dalam Islam. Hukum perkawinan adalah peristiwa yang tak terpisahkan antara akidah dan akhlak Islami. Dua hal ini menjadi dasar utama sebuah perkawinan yang diharapkan memiliki nilai transendental dan sakral dalam mencapai tujuan syari’at Islam. Norma ilahi ini mengatur hubungan manusia dengan kaidah ibadah, dengan sesamanya dan dengan alam. Salah satu komponen dari kaidah mu’amalah yang sekaligus mencakup kaidah ibadah adalah hukum yang berkenaan dengan al-ahwalus syakhshiyah, yang muatannya antara lain mengenai hukum munakahat atau perkawinan.7

Berbagai ketentuan dalam perkawinan menurut syari’at Islam mengikat setiap muslim, dan setiap muslim perlu menyadari bahwa di dalam perkawinan terkandung nilai-nilai ubudiyah yang dalam al-Qur’an disebut dengan mitsaaqan ghalidza, yaitu suatu ikatan janji yang kokoh. Artinya, nilai agama menjadi landasan utama sebuah perkawinan.8 Jika dikorelasikan dengan hukum negara, jelas pula dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana sebagian materinya adalah kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung

7 Lihat lebih lengkap H.M. Anshary MK (2010:10) 8 Ibid., hal 11.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim298

meninggalkan suami dan menggugat cerai karena alasan norma agama telah hilang dalam perkawinan dapat dibaca dari suara NA. Ia merasa suaminya bisa saja dikembalikan ke jalan yang benar dari perseleingkuhannya, namun yang tidak ia maafkan adalah kekerasan fisik dan batin yang dialaminya. Bahkan di depan adiknya yang ketika itu main ke rumah, ia juga mendapatkan perlakuan kasar. “Sebagai seorang dosen, saya tidak bisa lagi menerima perlakuan ini”, tegas NA yang selama mendapat penyiksaan tidak pernah menceritakan kepada teman-teman kantornya, hanya mata sembab yang membuat Nur Tunny dapat mengerti masalah yang dihadapi sang sahabat (Nur Tunny. Wawancara tanggal 16 April 2015).

Husen Henan, Kepala KUA Kota Ambon ketika diminta memberikan pandangan terhadap fenomena ini, sangat yakin bahwa pemahaman para suami telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak bisa lagi mengendalikan emosi sehingga kebanyakan berujung pada kekerasan. Menurutnya, masalah ini tidak saja terjadi di kota Ambon tetapi juga di kampung-kampung. “Dalam hal ini, saya juga merasa gagal karena tidak mampu lagi memberikan pendasaran agama pada keluarga-keluarga terutama saat pencatatan perkawinan”, ujar Husen sembari mengatakan bahwa fungsi KUA sudah mulai berkurang karena sedikit saja ada masalah, mereka langsung pergi ke PA.10

3. Kekerasan sebagai Sumber Utama Ketidakharmonisan

Kekerasan tidak menjadi faktor tertinggi dari perceraian di Ambon (lihat kembali tabel 4). Namun

10 Setelah wawancara tanggal 18 April 2015 dalam FGD, peneliti sangat

intens berkomunikasi dengan Husen Henan, bahkan dalam setiap kesempatan bisa komunikasi dengan sms untuk meminta data tambahan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 299

sebagaimana diakui oleh informan dan orang-orang disekitarnya, kekerasan justru menjadi pemantik utama tidak ada keharmonisan atau penyebab perselisihan terus menerus. Oleh informan, kekerasan entah fisik maupun non fisik dianggap menyalahi syari’at Islam yang harusnya menjadi dasar perkawinan.

Bagi kalangan aktivis, fenomena ini dianggap tak lepas dari konflik berkepanjangan. Informan Abidin Wakano malah menyebutnya sebagai sumber penyebab disorientasi kehidupan manusia Ambon karena bagaimanapun di alam bawah sadar mereka masih menyisakan sejarah kelam konflik antarsaudara. Sementara Hilda lebih radikal lagi dengan selalu menyatakan bahwa perempuan berani menggugat karena mereka tidak pernah mengalami orgasme dalam hubungan intim karena disorientasi para lelaki Ambon. (FGD, 18 April 2016).

Satu hal yang menarik adalah bentuk kekerasan yang diterima informan awalnya adalah kekerasan-kekerasan fisik, seperti diakui dan dialami oleh AL. Meski ia mengatakan bahwa mungkin kekerasan fisik seperti luka dapat disembuhkan, tetapi yang paling menyiksanya adalah luka batin yang tidak akan bisa ia obati seumur hidup. AL sering dihina sebagai anak pungut yang dipelihara oleh mertuanya.11 Kekerasan berupa kata-kata yang tidak bisa diterima informan juga dialami oleh NS. Ia merasa sakit hati karena selalu dibanding-bandingkan

11 AL seperti diceritakan GB (wawancara tanggal 18 April 2015) adalah

anak yang ia rawat dari anak saudaranya sendiri. Keduanya menyatakan bahwa suami AL sebenarnya lebih mengincar harta warisan mengingat ia juga masih terhitung saudara.

meninggalkan suami dan menggugat cerai karena alasan norma agama telah hilang dalam perkawinan dapat dibaca dari suara NA. Ia merasa suaminya bisa saja dikembalikan ke jalan yang benar dari perseleingkuhannya, namun yang tidak ia maafkan adalah kekerasan fisik dan batin yang dialaminya. Bahkan di depan adiknya yang ketika itu main ke rumah, ia juga mendapatkan perlakuan kasar. “Sebagai seorang dosen, saya tidak bisa lagi menerima perlakuan ini”, tegas NA yang selama mendapat penyiksaan tidak pernah menceritakan kepada teman-teman kantornya, hanya mata sembab yang membuat Nur Tunny dapat mengerti masalah yang dihadapi sang sahabat (Nur Tunny. Wawancara tanggal 16 April 2015).

Husen Henan, Kepala KUA Kota Ambon ketika diminta memberikan pandangan terhadap fenomena ini, sangat yakin bahwa pemahaman para suami telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak bisa lagi mengendalikan emosi sehingga kebanyakan berujung pada kekerasan. Menurutnya, masalah ini tidak saja terjadi di kota Ambon tetapi juga di kampung-kampung. “Dalam hal ini, saya juga merasa gagal karena tidak mampu lagi memberikan pendasaran agama pada keluarga-keluarga terutama saat pencatatan perkawinan”, ujar Husen sembari mengatakan bahwa fungsi KUA sudah mulai berkurang karena sedikit saja ada masalah, mereka langsung pergi ke PA.10

3. Kekerasan sebagai Sumber Utama Ketidakharmonisan

Kekerasan tidak menjadi faktor tertinggi dari perceraian di Ambon (lihat kembali tabel 4). Namun

10 Setelah wawancara tanggal 18 April 2015 dalam FGD, peneliti sangat

intens berkomunikasi dengan Husen Henan, bahkan dalam setiap kesempatan bisa komunikasi dengan sms untuk meminta data tambahan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim300

dengan perempuan asli Ambon yang mampu melayani mertua dan suami sesuai adat yang berlaku.

“Masalah perbedaan budaya selalu menjadi sumber konflik utama di antara kami. Rasanya berat saya menerima perlakuan dianggap tidak bisa melayani mertua dan suami seperti perempuan asli Ambon lainnya”, keluh NS sembari heran karena hobby sebagai sesama pencinta alam tidak bisa mempersatukan visi mereka. Cerita mengenaskan malah diterima NAN. Ia yang memberikan suaminya pekerjaan malah mendapat perlakuan kasar dan penuh intimidasi setelah perselingkuhan suaminya terbongkar. Cerita NAN dibenarkan Nur Tunny, teman dekat NAN pernah selama empat bulan melihat wajah NAN memar-memar kebiruan dan mata selalu bengkak jika ke kantor. Pada akhirnya NAN bahkan tidak sanggup menerima kenyataan ini dan sempat “lari” ke rumah orang tuanya sebelum ia benar-benar menggunggat suami di PA Ambon.

Apa yang diterima para informan, lalu menganggapnya sebagai petaka yang disudahi dengan perceraian adalah puncak ketidaksiapan mereka menerima kekerasan baik berupa kekerasan fisik dengan tubuh sebagai objeknya maupun kekerasan yang menyerang jiwa. Pelbagai bentuk kekerasan ini selalu berada dalam ruang kekuasaan, mekanisme yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan mekanisme kekuasaan mencari ruang yang halus sampai tidak dirasakan secara sadar, dipatuhi dan diterima begitu saja. Oleh Pierre Bourdieu (1992 [1991]) kondisi ini dianggap sebagai kekerasan simbolik yang dimaknai sebagai kekerasan yang lembut dan tidak kasat mata. Artinya kekerasan simbolik adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang dibaliknya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 301

menyembunyikan praktik dominasi (Santoso, 2009:146, lihat pula Bourdieu, 2010 [1998]).

Kekerasan non fisik atau kekerasan simbolik dalam pandangan ahli kebudayaan dianggap jauh lebih menikam, misalnya melalui kata-kata yang dimainkan agar terdengar rasional dianggap sebagai metáfora. Hal ini oleh Rudyansjah (2009:24) dijelaskan sebagai satu kiasan di mana kata-kata, yang sebenarnya mengandung arti tertentu, lalu digunakan sedemikian rupa dengan cara memaksimalkan kemiripan dan analogi kata-kata yang sedang disandingkan pada kiasan tersebut, sehingga kalimat itu pada akhirnya bisa memiliki arti berbeda daripada arti harafiah kata-kata itu sebenarnya.

4. Karena Pendampingan Istimewa terhadap Perempuan Pasca Konflik

“Sekarang ini tiap Polres ada tempat pelayanan terhadap anak dan perempuan”, begitu Hilda Dj. Rolobessy memulai sesi tanya jawab saat FGD. Ia menceritakan bahwa fokus pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pasca konflik adalah memberikan perlindungan, pelayanan dan pendampingan kepada anak dan perempuan. Sejak itu, banyak bermunculan LSM yang menjadi pioneer bukan saja pendampingan dalam hal pemulihan mental tetapi juga bergerak ke aspek lain seperti penguatan ekonomi, pemberdayaan dan motivasi (Hilda, FGD 18 April 2015).

Pendampingan yang istimewa kepada anak dan perempuan juga diakui oleh Nuraini Lapiah. Ia yang juga seorang janda sering melakukan roadshow untuk memberdayakan perempuan, terutama melalui majelis

dengan perempuan asli Ambon yang mampu melayani mertua dan suami sesuai adat yang berlaku.

“Masalah perbedaan budaya selalu menjadi sumber konflik utama di antara kami. Rasanya berat saya menerima perlakuan dianggap tidak bisa melayani mertua dan suami seperti perempuan asli Ambon lainnya”, keluh NS sembari heran karena hobby sebagai sesama pencinta alam tidak bisa mempersatukan visi mereka. Cerita mengenaskan malah diterima NAN. Ia yang memberikan suaminya pekerjaan malah mendapat perlakuan kasar dan penuh intimidasi setelah perselingkuhan suaminya terbongkar. Cerita NAN dibenarkan Nur Tunny, teman dekat NAN pernah selama empat bulan melihat wajah NAN memar-memar kebiruan dan mata selalu bengkak jika ke kantor. Pada akhirnya NAN bahkan tidak sanggup menerima kenyataan ini dan sempat “lari” ke rumah orang tuanya sebelum ia benar-benar menggunggat suami di PA Ambon.

Apa yang diterima para informan, lalu menganggapnya sebagai petaka yang disudahi dengan perceraian adalah puncak ketidaksiapan mereka menerima kekerasan baik berupa kekerasan fisik dengan tubuh sebagai objeknya maupun kekerasan yang menyerang jiwa. Pelbagai bentuk kekerasan ini selalu berada dalam ruang kekuasaan, mekanisme yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan mekanisme kekuasaan mencari ruang yang halus sampai tidak dirasakan secara sadar, dipatuhi dan diterima begitu saja. Oleh Pierre Bourdieu (1992 [1991]) kondisi ini dianggap sebagai kekerasan simbolik yang dimaknai sebagai kekerasan yang lembut dan tidak kasat mata. Artinya kekerasan simbolik adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang dibaliknya

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim302

taklim. Bersama dengan aliansi perempuan kota Ambon, perempuan Makassar ini begitu gencar ikut dalam kampanye meningkatkan kesadaran perempuan dan memperjuangkan hak-haknya. “Tidak aneh kalau aliansi perempuan di sini berkembang pesat”, terangnya sekaligus juga ikut memberikan komentar kalau perceraiannya dulu disebabkan oleh suami yang berselingkuh (Nuraini Lapiah, Wawancara 20 April 2015).

Menurut Nuraini Lapiah, sejak pasca konflik ada LSM yang bergerak dibidang pemberdayaan perempuan. Yang terbesar adalah Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Maluku (LAPAN). LSM ini terdiri dari banyak aliansi perempuan. Ia sendiri adalah anggota Gerakan Konsolidasi Perempuan Muslim Maluku (GKPMM) yang bergerak dari satu pengajian ke pengajian, yang selain memberikan tauziah juga memutarkan video dan film-film inspiratif.12

NS dan NAN serta Nur Tunny yang juga seorang aktivis juga merasakan ada perubahan terutama karena perempuan mendapat perhatian khusus pemerintah. Banyak organisasi perempuan bermunculan, program dan kegiatan juga makin sering. Bagaimanapun atmosfer itu ikut dinikmati para informan, meskipun mereka tidak secara eksplisit mengatakan bahwa mereka berani menggugat cerai setelah mengikuti pendampingan dan kegiatan perempuan.

12 Nuraini Lapiah, diakhir pertemuan dengan peneliti memberi pesan yang

sangat menarik. Menurutnya, sumber perceraian dengan perselingkuhan justru terjadi ketika kondisi ekonomi sangat bagus, dan KDRT berlangsung di tengah kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tentu pendapat ini perlu direnungkan dan didiskusikan lebih dalam lagi.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 303

Selain para aktivis perempuan seperti Hilda dan Nuraini Lapiah serta informan NS, NAN dan Nur Tunny, informan lainnya, Jamilah, perempuan kelahiran Cirebon yang menikah di Ambon, juga mengatakan bahwa saat ini pemberdayaan perempuan lebih terasa bahkan dikampung-kampung. Hanya saja memang keberanian perempuan menggugat cerai lebih banyak dilakukan oleh perempuan berpendidikan atau pekerja di kota Ambon, padahal di kampung masalahnya juga sama namun mereka masih mau menahan diri. Penjelasan ini mengingatkan peneliti pada komentar Deni yang ketika di mobil dengan tegas mengatakan bahwa semua lelaki Ambon sama saja, baik di kota maupun di kampung, suka ongkang-ongkang dan kasar, cuma caranya saja yang beda.13

Pergerakan perempuan yang dimulai pasca konflik, bagaimanapun secara tidak disadari telah menggemakan ideologi perempuan yang dibangun melalui berbagai bahasa, simbol dan wacana. Meskipun istilah pengarustamaan gender telah lama populer, namun hal ini mendapatkan arenanya setelah begitu massif pemberdayaan terhadap perempuan. Pengarustamaan gender menjadi rujukan yang paling rasional untuk mengubah cara pandang masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki bahwa masalah gender adalah masalah bersama, bukan hanya menjadi milik perempuan.14

13 Deni, seorang Satpam IAIN Ambon, adalah perantauan Jawa, menikahi

perempuan Ambon. Ia berani mengatakan begitu karena telah lama tinggal di kampung Liang yang jauh dari kota.

14 Akibatnya, hampir setiap perbincangan tentang porsi gender melibatkan seberapa banyak kuota perempuan terwakili. Misalnya, partai politik harus mengakomodir 30% perempuan. Begitupun ketika ada isu tentang gender, maka

taklim. Bersama dengan aliansi perempuan kota Ambon, perempuan Makassar ini begitu gencar ikut dalam kampanye meningkatkan kesadaran perempuan dan memperjuangkan hak-haknya. “Tidak aneh kalau aliansi perempuan di sini berkembang pesat”, terangnya sekaligus juga ikut memberikan komentar kalau perceraiannya dulu disebabkan oleh suami yang berselingkuh (Nuraini Lapiah, Wawancara 20 April 2015).

Menurut Nuraini Lapiah, sejak pasca konflik ada LSM yang bergerak dibidang pemberdayaan perempuan. Yang terbesar adalah Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Maluku (LAPAN). LSM ini terdiri dari banyak aliansi perempuan. Ia sendiri adalah anggota Gerakan Konsolidasi Perempuan Muslim Maluku (GKPMM) yang bergerak dari satu pengajian ke pengajian, yang selain memberikan tauziah juga memutarkan video dan film-film inspiratif.12

NS dan NAN serta Nur Tunny yang juga seorang aktivis juga merasakan ada perubahan terutama karena perempuan mendapat perhatian khusus pemerintah. Banyak organisasi perempuan bermunculan, program dan kegiatan juga makin sering. Bagaimanapun atmosfer itu ikut dinikmati para informan, meskipun mereka tidak secara eksplisit mengatakan bahwa mereka berani menggugat cerai setelah mengikuti pendampingan dan kegiatan perempuan.

12 Nuraini Lapiah, diakhir pertemuan dengan peneliti memberi pesan yang

sangat menarik. Menurutnya, sumber perceraian dengan perselingkuhan justru terjadi ketika kondisi ekonomi sangat bagus, dan KDRT berlangsung di tengah kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tentu pendapat ini perlu direnungkan dan didiskusikan lebih dalam lagi.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim304

Isu lain yang juga begitu “sakti” adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang kadang tidak jelas siapa yang memulai sebagai sebab maupun akibat. Namun jika perempuan mengajukan gugatan atas alasan KDRT akan tergambar jelas bahwa pihak laki-lakilah yang melakukannya, meskipun bisa saja perempuan juga pernah dan bisa melakukan KDRT. Dua isu ini (pengarustamaan perempuan dan KDRT) menjadi proyek sosial bagi perempuan untuk tidak hanya menjadi gerakan sesaat yang sedang tren tetapi instrument perjuangan menuju kesetaraan dan persamaan.

Ontologi Perceraian: “Akibat yang Seolah Tertanggung Sendiri”

Perceraian adalah akibat dari keputusan bersama, entah melalui cerai talak (pihak laki-laki) maupun cerai gugat (pihak perempuan). Namun secara ontologis, akibat-akibat perceraian (harusnya) dirasakan oleh kedua belah pihak, terutama oleh dirinya sendiri (suami-istri), anak-anak, dan kedua pihak keluarga. Namun penelitian ini hanya akan mencoba mendengar suara perempuan dan keluarga terdekatnya, dan ini karena perempuan telah terpilih sebagai sudut pandang.

1. Berdiri di antara batas “Aku” dan “Kamu”

Keberanian cerai gugat para perempuan sebenarnya tidak lepas dari upaya mereka mencairkan identitas tidak setara, terutama dominasi atau kekuasaan yang dimiliki

segera terjadi kegaduhan wacana, yang terbaru tentang Putri Mahkota Keraton Yogyakarta, meskipun lagi-lagi, masalah ini sudah usang namun selalu dapat dikonstruksi ulang.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 305

laki-laki dalam hal kemampuan mereproduksi kekerasan baik fisik maupun non fisik. Keberanian menceraikan telah memperlihatkan bahwa dalam cangkang struktur yang dianggap mengekang, selalu terbuka ruang bagi mereka untuk melakukan perubahan internal dalam strukturnya sendiri. Bagaimanapun manusia tidak bisa ajeg secara terus menerus berada dalam kevakuman dan dibatasi oleh sekat yang memaksa kepatuhan mereka atas identitas yang telah diberikan secara turun menurun, termasuk struktur sosial.

Peneliti ingin memahami soal identitas ini dengan kembali memperlihatkan apa yang dilakukan AL, NAN dan NF yang berani memutuskan berpisah dengan cara cerai gugat. Kemampuan mereka memaknai ulang relasi suami-istri secara bersamaan juga terjadi diruang sosial yang lebih luas. Pergeseran, bahkan yang terjauh perubahan radikal seperti ini memperlihatkan bahwa identitas yang dibentuk dengan pemberian posisi sosial, dalam perjalanan waktu, dapat saja cair menjadi sesuatu yang dapat ditata ulang.

Perubahan perilaku, tindakan dan persepsi para perempuan juga memperlihatkan bahwa identitas itu tidak pernah bersifat final atau ajeg, terlebih sebagai proses yang langsung jadi (Hall, 1991). Identitas juga bukanlah sesuatu yang melulu bersifat private, karena di dalamnya selalu tersedia dialog terbuka antara satu individu dengan yang lain. Mengacu pada konstruksi identitas, maka dialog ini dapat disebut sebagai fabricated. Artinya inner self dapat ditemukan melalui partisipasi identitas sebagai bagian integral dari sebuah kolektivitas, di antaranya kesukubangsaan, etnik minoritas, kelas sosial, movement

Isu lain yang juga begitu “sakti” adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang kadang tidak jelas siapa yang memulai sebagai sebab maupun akibat. Namun jika perempuan mengajukan gugatan atas alasan KDRT akan tergambar jelas bahwa pihak laki-lakilah yang melakukannya, meskipun bisa saja perempuan juga pernah dan bisa melakukan KDRT. Dua isu ini (pengarustamaan perempuan dan KDRT) menjadi proyek sosial bagi perempuan untuk tidak hanya menjadi gerakan sesaat yang sedang tren tetapi instrument perjuangan menuju kesetaraan dan persamaan.

Ontologi Perceraian: “Akibat yang Seolah Tertanggung Sendiri”

Perceraian adalah akibat dari keputusan bersama, entah melalui cerai talak (pihak laki-laki) maupun cerai gugat (pihak perempuan). Namun secara ontologis, akibat-akibat perceraian (harusnya) dirasakan oleh kedua belah pihak, terutama oleh dirinya sendiri (suami-istri), anak-anak, dan kedua pihak keluarga. Namun penelitian ini hanya akan mencoba mendengar suara perempuan dan keluarga terdekatnya, dan ini karena perempuan telah terpilih sebagai sudut pandang.

1. Berdiri di antara batas “Aku” dan “Kamu”

Keberanian cerai gugat para perempuan sebenarnya tidak lepas dari upaya mereka mencairkan identitas tidak setara, terutama dominasi atau kekuasaan yang dimiliki

segera terjadi kegaduhan wacana, yang terbaru tentang Putri Mahkota Keraton Yogyakarta, meskipun lagi-lagi, masalah ini sudah usang namun selalu dapat dikonstruksi ulang.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim306

politik dan religi. Identitas akhirnya dapat dilihat sebagai dasar sebuah tindakan, suatu gagasan yang berkesinambungan, sarana untuk pencukupan diri, dan inner dialektika diri itu sendiri.

Berubahnya pemaknaan terhadap sebuah identitas, menjadi mungkin karena pemahaman individu atau kelompok terhadap kebudayaannya sendiri juga senantiasa mengalami perubahan. Karenanya, setiap generasi mempunyai cara untuk melihat dan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap identitas yang membaluti dirinya. Ini juga berarti, pemahaman seorang individu tentang identitasnya dan tentang masyarakatnya juga dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu (Goodenough, 2003).

Jika ditarik ke dalam penelitian ini, pemaknaan dan pencitraan baru terhadap diri, terutama sebagai perempuan dalam konteks kekinian menjadi strategi untuk mengubah identitas yang dalam situasi tertentu dapat dipertarungkan di ranah sosial. Memahami perubahan identitas yang dilakukan para perempuan kini, juga menjadi alat untuk membaca bahwa identitas juga bisa cair melewati batas-batas yang sering dijadikan alat untuk membedakan satu individu, masyarakat dan kebudayaan dengan yang lainnya.

Barth dan Horrowitz (dalam Glazer & Moynihan, 1975) mengatakan bahwa dikotomi etnik sering dapat dibedakan atas dua hal, yakni pertama, tanda atau gejala yang tampak, biasanya bersifat membedakan atau menentukan identitas seseorang dari pakaian, bahasa, nama, bentuk rumah, atau gaya hidup. Kedua, tanda atau gejala yang tidak tampak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 307

seperti nilai-nilai dasar, seperti standar moral untuk menilai perilaku seseorang.

Berdasarkan konsep di atas, perempuan Ambon juga memiliki posisi yang sangat kuat untuk langsung menggugat cerai di PA di mana jika mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 39 dan bunyi pasalini15 memuat tiga aspek hukum yang harus ditempuh untuk suatu proses perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat, yaitu:

a. Setiap perceraian hanya diakui apabila dilakukan di depan sidang pengadilan

b. Dalam proses persidangan hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan kedua belah pihak

c. Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, sebagaimana telah diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Regulasi yang mengatur perceraian di atas tampaknya menjadi ranah bagi perempuan untuk membuat distansi dengan struktur yang mengekangnya. Informan NAN misalnya. Ia menyatakan bahwa meskipun saat mengajukan cerai gugat ke PA, surat nikahnya disembunyikan suami, ia tak kalah akal dengan menduplikatnya. Awalnya memang tidak diterima PA, namun karena semua proses yang lain telah dilalui, akhirnya NAN dapat bebas dari kekerasan suaminya.

15 Lihat juga selengkapnya dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah

diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, juga PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur hal yang sama.

politik dan religi. Identitas akhirnya dapat dilihat sebagai dasar sebuah tindakan, suatu gagasan yang berkesinambungan, sarana untuk pencukupan diri, dan inner dialektika diri itu sendiri.

Berubahnya pemaknaan terhadap sebuah identitas, menjadi mungkin karena pemahaman individu atau kelompok terhadap kebudayaannya sendiri juga senantiasa mengalami perubahan. Karenanya, setiap generasi mempunyai cara untuk melihat dan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap identitas yang membaluti dirinya. Ini juga berarti, pemahaman seorang individu tentang identitasnya dan tentang masyarakatnya juga dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu (Goodenough, 2003).

Jika ditarik ke dalam penelitian ini, pemaknaan dan pencitraan baru terhadap diri, terutama sebagai perempuan dalam konteks kekinian menjadi strategi untuk mengubah identitas yang dalam situasi tertentu dapat dipertarungkan di ranah sosial. Memahami perubahan identitas yang dilakukan para perempuan kini, juga menjadi alat untuk membaca bahwa identitas juga bisa cair melewati batas-batas yang sering dijadikan alat untuk membedakan satu individu, masyarakat dan kebudayaan dengan yang lainnya.

Barth dan Horrowitz (dalam Glazer & Moynihan, 1975) mengatakan bahwa dikotomi etnik sering dapat dibedakan atas dua hal, yakni pertama, tanda atau gejala yang tampak, biasanya bersifat membedakan atau menentukan identitas seseorang dari pakaian, bahasa, nama, bentuk rumah, atau gaya hidup. Kedua, tanda atau gejala yang tidak tampak

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim308

Selain NAN, informan AL, NS dan NF juga menyatakan bahwa proses cerai gugatnya di PA tidak terlalu sulit. NAN dan AL yang awalnya mengajukan kekerasan sebagai penyebab perceraian, akhirnya tak mau berpanjang pikir, menerima saja putusan hakim yang memasukkan alasan gugatannya karena tidak harmonis lagi (lihat kembali Tabel 4). Kecuali AL, semua informan melakukan sendiri keputusan cerai gugatnya tanpa konsultasi dengan pihak keluarga, dan biasanya keluarga hanya akan mendukung apa yang diputuskan informan.

Wahab Putuhena, PNS Kankemenag Kota Ambon, cerai gugat oleh perempuan tampak begitu mudah karena selain perempuan dan pihak keluarga ingin instan saja menyelesaikan masalahnya, juga karena PP Nomor 9 Tahun 1975 (Wahab Putuhena, Wawancara 15 April 2015). Hal ini berbeda dengan cerai talak yang dikatakannya sedikit lebih rumit.16 Kemudahan untuk cerai gugat melalui regulasi oleh Nuraini Lapiah dianggap sebagai jalan lapang bagi perempuan untuk berpisah sekaligus dapat menghindari bentrok antarmarga. “Kekerasan yang dilakukan suami tidak bisa langsung diadukan ke polisi, karena di sini (Ambon, pen), polisi juga kadang segan untuk melakukan penindakan jika suami tersebut berasal dari marga-marga terpandang dan berpengaruh”, katanya memberikan alasan (Nuraini Lapiah, Wawancara 15 April 2015).

16 Lihat selengkapnya H.M. Anshary MK (2010:64-69) yang secara

panjang lebar membahas cerai talak dalam hukum Islam dan komparasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1074.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 309

2. “Aku yang Bahagia”

Sebuah perceraian tidak pernah disebut keputusan menyenangkan. NF bahkan meratapinya karena bertahun-tahun ia merasa bahagia dengan suami, sebelum palu hakim 2009 menyatakan sah gugatannya. NAN berusaha sekuat tenaga mengembalikan suaminya seperti dulu, bahkan nekat mendatangi suami yang saat itu berada di rumah orang tua perempuan selingkuhannya. NF juga butuh waktu lama dengan pergi ke Bandung untuk menenangkan diri. Mungkin AL terbilang cepat memutuskan cerai gugat setelah hanya tiga bulan menikah, tetapi itu dilakukannya tidak mudah. AL bahkan harus kabur ke Jakarta menemui saudaranya untuk menenangkan diri sekaligus sembunyi dari intimidasi suami.

Yang lebih penting dari semua keberanian itu adalah perasaan mereka yang bebas lepas dari beban maha berat yang dipikul. Menurut informan, hanya cerai menjadi cara untuk keluar dari penderitaan. Bahkan kata janda yang banyak ditakuti oleh para perempuan dianggap sebagai sebuah predikat yang semu dan berumur pendek. “Daripada tersiksa sumur hidup, menjanda lebih baik”, kata AL sedikit enteng. AL sendiri merasa masih muda dan jalan hidupnya panjang, sambil mengatakan bahwa orang-orang mungkin hanya akan mencibir statusnya hanya sebentar, setelah itu terbiasa lagi.

Lepas dari beban hidup yang menghimpit dimaknai sebagai kebebasan untuk memilih dan menikmati hidup. NAN setelah bercerai sudah mulai membuka hatinya,

Selain NAN, informan AL, NS dan NF juga menyatakan bahwa proses cerai gugatnya di PA tidak terlalu sulit. NAN dan AL yang awalnya mengajukan kekerasan sebagai penyebab perceraian, akhirnya tak mau berpanjang pikir, menerima saja putusan hakim yang memasukkan alasan gugatannya karena tidak harmonis lagi (lihat kembali Tabel 4). Kecuali AL, semua informan melakukan sendiri keputusan cerai gugatnya tanpa konsultasi dengan pihak keluarga, dan biasanya keluarga hanya akan mendukung apa yang diputuskan informan.

Wahab Putuhena, PNS Kankemenag Kota Ambon, cerai gugat oleh perempuan tampak begitu mudah karena selain perempuan dan pihak keluarga ingin instan saja menyelesaikan masalahnya, juga karena PP Nomor 9 Tahun 1975 (Wahab Putuhena, Wawancara 15 April 2015). Hal ini berbeda dengan cerai talak yang dikatakannya sedikit lebih rumit.16 Kemudahan untuk cerai gugat melalui regulasi oleh Nuraini Lapiah dianggap sebagai jalan lapang bagi perempuan untuk berpisah sekaligus dapat menghindari bentrok antarmarga. “Kekerasan yang dilakukan suami tidak bisa langsung diadukan ke polisi, karena di sini (Ambon, pen), polisi juga kadang segan untuk melakukan penindakan jika suami tersebut berasal dari marga-marga terpandang dan berpengaruh”, katanya memberikan alasan (Nuraini Lapiah, Wawancara 15 April 2015).

16 Lihat selengkapnya H.M. Anshary MK (2010:64-69) yang secara

panjang lebar membahas cerai talak dalam hukum Islam dan komparasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1074.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim310

signal yang juga dibenarkan Nur Tunny. NS malah telah menikah setelah tiga bercerai. Sedangkan NF masih terlihat malu-malu untuk mengungkapkan apakah akan melanjutkan hidup bersama laki-laki lain. Situasi ini tentu menjadi gambaran bahwa stigma negatif sebuah perceraian bukan neraka bagi perempuan Ambon. Mereka memiliki kesanggupan untuk menyimpan secara rapi setiap perih dan keriangan dalam hidup, seperti seorang ibu yang rela tidak makan hingga makanan terakhir di meja makan sebelum suami dan anak-anaknya makan.

Kesanggupan seperti ini sejak lama dianalogikan seperti alam yang siap menopang apa yang ada di atasnya. Ortner (1974:72) dalam Moore (1998:31-32) menyatakan bahwa wanita diidentifikasikan atau secara simbolis diasosiasikan dengan alam, maka merupakan hal yang ‘alami’ pula bahwa wanita, karena hubungannya yang dekat dengan ‘alam’, juga harus dikontrol dan dikuasai. Sementara laki-laki diasosiasikan seperti kebudayaan sehingga dianggap lebih superior dari alam. Kebudayaan (laki-laki) selalu lebih tinggi dari alam (wanita), karena beberapa hal, antara lain fisiologis wanita berkenaan dengan alat reproduksi dan peran sosial wanita yang dipandang lebih dekat dengan alam.

Sekali lagi, membahas tema di atas akan didiskusikan dengan teori batas-batas identitas antara perempuan dan laki-laki. Peri (dalam Haddock & Peter Sutch, 2003) menyatakan bahwa identitas sering dikonsepsikan sebagai bagian dari ourselves yang didefenisikan melalui keanggotaannya dalam suatu komunitas khusus. Variasi komunal dapat saling berkaitan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 311

dan melengkapi sentimen “our’ yang mendasari sebuah identitas. Oleh karena itu, identitas memiliki konsep yang sangat luas untuk menggambarkan sense dari individual tentang siapa dirinya (Dashefsky & Shapiro, 1975).

Dengan demikian, identitas dapat dikatakan sebagai pengakuan atas diri berdasarkan ciri-ciri yang melekat sehingga berdasarkan ciri-ciri tersebut ia dapat menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok tertentu. Identitas muncul dan ada di dalam interaksi sosial di mana dalam interaksi tersebut manusia membutuhkan suatu pengakuan diri atas keberadaannya. Pengakuan atas identitas diri seseorang juga sangat tergantung dari konteks interaksi yang melibatkan arena interaksi yang bersesuaian dengan corak interaksinya sehingga tidak jarang, seorang individu bisa mempunyai banyak identitas yang sifatnya multiple.

Lebih jauh, Comaroff & Comaroff (2009) mengajukan tiga alasan sebagai respon terhadap masalah etnik dan etnisitas yang sering terjadi akhir-akhir ini, salah satunya karena etnisitas telah mengalami banyak komodifikasi, di mana etnik tidak lagi dipandang hanya sebagai identitas dan kebudayaan, namun telah menjadi alat perjuangan oleh warga negara ketika berkonflik dengan negara dalam menuntut hak-hak legalnya. Perubahan situasi sosial, ekonomi dan politik seperti ini ikut memengaruhi perubahan atas konsepsi etnisitas. Apakah perempuan Ambon tiba pada perubahan seperti ini? Menarik untuk diteliti lebih lanjut.

signal yang juga dibenarkan Nur Tunny. NS malah telah menikah setelah tiga bercerai. Sedangkan NF masih terlihat malu-malu untuk mengungkapkan apakah akan melanjutkan hidup bersama laki-laki lain. Situasi ini tentu menjadi gambaran bahwa stigma negatif sebuah perceraian bukan neraka bagi perempuan Ambon. Mereka memiliki kesanggupan untuk menyimpan secara rapi setiap perih dan keriangan dalam hidup, seperti seorang ibu yang rela tidak makan hingga makanan terakhir di meja makan sebelum suami dan anak-anaknya makan.

Kesanggupan seperti ini sejak lama dianalogikan seperti alam yang siap menopang apa yang ada di atasnya. Ortner (1974:72) dalam Moore (1998:31-32) menyatakan bahwa wanita diidentifikasikan atau secara simbolis diasosiasikan dengan alam, maka merupakan hal yang ‘alami’ pula bahwa wanita, karena hubungannya yang dekat dengan ‘alam’, juga harus dikontrol dan dikuasai. Sementara laki-laki diasosiasikan seperti kebudayaan sehingga dianggap lebih superior dari alam. Kebudayaan (laki-laki) selalu lebih tinggi dari alam (wanita), karena beberapa hal, antara lain fisiologis wanita berkenaan dengan alat reproduksi dan peran sosial wanita yang dipandang lebih dekat dengan alam.

Sekali lagi, membahas tema di atas akan didiskusikan dengan teori batas-batas identitas antara perempuan dan laki-laki. Peri (dalam Haddock & Peter Sutch, 2003) menyatakan bahwa identitas sering dikonsepsikan sebagai bagian dari ourselves yang didefenisikan melalui keanggotaannya dalam suatu komunitas khusus. Variasi komunal dapat saling berkaitan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim312

Menyoal Struktur Sosial dalam Perkawinan dan Perceraian

1. Fungsi KUA yang “Tercuri”

Berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka sejak tahun 2006, PA resmi berpisah dengan Kementerian Agama dan menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung (MA). Tak pelak, perubahan ini mengatur soal perceraian yang sepenuhnya ditangai PA di bawah MA. Informan Bachtiar, Sekretaris Pansek PA Ambon merasa bahwa apa yang dilakukannya selama ini telah sesuai dengan tugas dan fungsinya (tusi) sebagai amanat dari peraturan dan perundang-undangan. Salah satu regulasi yang mengatur ini adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam…”

Adanya perubahan-perubahan tersebut juga berdampak tidak lagi ada sinkronisasi antara PA dan struktur Kementerian Agama, seperti KUA dalam menangani perceraian. Peran KUA terkait perkawinan kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan pra perkawinan atau kursus calon pengantin (Suscatin). Mediasi perceraian dilakukan oleh KUA dan Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) kini sudah tidak berlaku lagi.17

17 Padahal berdasarkan PMA Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban P2N

dan Tata Kerja PA, dalam Pasal 28 (3) disebutkan: “Pengadilan Agama setelah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 313

Setelah berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006, maka mediasi perceraian itu tetap dilakukan oleh PA namun berada di bawah MA, di mana proses mediasi tersebut dijembatani oleh seorang hakim yang ditunjuk PA tersebut. Namun demikian, berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi, BP4 tetap dilibatkan dalam proses mediasi pasangan yang mengajukan perceraian ke PA, meskipun tetap saja perannya tidak sebesar di masa lalu.

Dengan demikian, terhadap pasangan yang membangun perkawinan kini kewenangan Kementerian Agama hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk saja, serta melakukan bimbingan perkawinan yang biasanya dilakukan melalui Suscatin, dan tidak lagi berwenang memediasi sebagai upaya mengantisipasi perceraian. Bahkan kini Kementerian Agama telah mengeluarkan peraturan bahwa Suscatin bisa dilakukan oleh lembaga lain di luar Kementerian Agama yang sudah mendapat sertifikasi dari Kementerian Agama. Dengan kewenangan yang semakin terbatas tersebut, maka Kementerian Agama dituntut untuk dapat lebih maksimal dalam merancang dan menetapkan kebijakan terkait pembinaan perkawinan.

Perubahan yang signifikan ini dirasakan betul oleh para Kepala KUA Kota Ambon. Lukman Maba (KUA Kec. Nusaniwe) bersama Husen Henan (KUA Kec. T.A Baguala) dan Syarifudin Tunny (KUA Kec. Sirimau) ketika berdiskusi dengan peneliti sepakat bahwa tugas mereka

mendapatkan penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada BP4 setempat, agar kepada suami istri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

Menyoal Struktur Sosial dalam Perkawinan dan Perceraian

1. Fungsi KUA yang “Tercuri”

Berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka sejak tahun 2006, PA resmi berpisah dengan Kementerian Agama dan menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung (MA). Tak pelak, perubahan ini mengatur soal perceraian yang sepenuhnya ditangai PA di bawah MA. Informan Bachtiar, Sekretaris Pansek PA Ambon merasa bahwa apa yang dilakukannya selama ini telah sesuai dengan tugas dan fungsinya (tusi) sebagai amanat dari peraturan dan perundang-undangan. Salah satu regulasi yang mengatur ini adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam…”

Adanya perubahan-perubahan tersebut juga berdampak tidak lagi ada sinkronisasi antara PA dan struktur Kementerian Agama, seperti KUA dalam menangani perceraian. Peran KUA terkait perkawinan kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan pra perkawinan atau kursus calon pengantin (Suscatin). Mediasi perceraian dilakukan oleh KUA dan Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) kini sudah tidak berlaku lagi.17

17 Padahal berdasarkan PMA Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban P2N

dan Tata Kerja PA, dalam Pasal 28 (3) disebutkan: “Pengadilan Agama setelah

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim314

untuk melakukan pembimbingan dan pembinaan kepada para calon pengantin sudah mulai berkurang. Begitupun tugas-tugas mediasi jika ada masalah juga sudah berkurang. “Sebetulnya akar masalah ada pada pendasaran agama bagi pasangan keluarga. Pembinaan agama tidak banyak yang dilakukan karena suscatin juga sifatnya boleh ada boleh tidak. Dalam setahun paling ada 6 orang yang dimediasi, itupun tidak ada yang mau rujuk”, keluh Husen (Diskusi tanggal 18 April 2015 dengan tiga Kepala KUA dilakukan disela-sela mereka mengikuti Diklatpim IV di BDK Ambon).

Menurut para Kepala KUA, perubahan melalui regulasi tahun 2006 telah membuat banyak hal berubah. Tugas dan kewajiban Kepala KUA seolah “tercuri” dengan celah yang begitu mudah, misalnya mediasi tidak harus dilakukan di KUA tetapi di PA, sehingga sedikit saja ada masalah mereka biasanya langsung menuju PA. “Jadi permasalahan sekarang adalah masyarakat lebih memilih PA menyelesaikan masalah, sementara mediator di PA belum tentu memiliki pengetahuan agama. Sudah begitu, peran KUA tidak lagi sebesar dulu. Suscatin itu seperti kewajiban. Banyak petugas kami nganggur”, keluh Lukman Mabo menimpali Husen yang memang lebih banyak bicara. “Tapi mau apalagi, wong ini sudah keputusan pemerintah”, Lukman melanjutkan penjelasannya.

Para Kepala KUA mengaku prihatin, namun tidak bisa berbuat banyak. KUA sebagai struktur yang dibentuk pemerintah namun tidak bisa menjalin kerjasama dengan para agen yang menggunakan jasanya. Husen malah dengan tegas menyatakan bahwa faktor lemahnya agama telah membuat para laki-laki yang semestinya menjadi imam keluarga gampang melakukan kekerasan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 315

Mereka berharap selain struktur formal seperti KUA, para agen (masyarakat) juga mau menggunakan lembaga adat dan budaya sebagai media menyelesaikan masalah. “Tetapi saudara kawin juga sudah banyak ditinggalkan”, kata Husen yang menerangkan bahwa di Ambon ada istilah saudara kawin yang secara adat dijadikan tempat menyelesaikan masalah keluarga. Dalam konsep struktur-agen yang dikembangkan Anthony Giddens (1984:xxi) yang menyatakan bahwa struktur bukan hanya sesuatu yang bersifat kasat mata, akan tetapi boleh jadi bersifat virtual. Pranata sosial seperti saudara kawin juga bisa dimasukkan sebagai struktur.

Dalam hukum Islam, masalah perkawinan dan perceraian seperti di atas tampaknya sangat kompleks dan tidak sederhana. Para Kepala KUA sepakat bahwa akibat perkawinan, khususnya perceraian tidak boleh tidak harus melibatkan kebijakan pemerintah atau negara. KUA sebagai bagian dari perpanjangan tangan pemerintah harus dikembalikan sebagian tugasnya terutama dalam memediasi perceraian. “Di PA memang ada mediator tetapi apakah mereka memiliki pengetahuan yang kuat tentang agama?” tanya Husen agak tautologis karena pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban jika dikaitkan dengan situasi saat ini.

Padahal menurut Husen, dan juga diamini kedua rekannya yang lain, bahwa dalam Pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 Jo Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Selanjutnya di

untuk melakukan pembimbingan dan pembinaan kepada para calon pengantin sudah mulai berkurang. Begitupun tugas-tugas mediasi jika ada masalah juga sudah berkurang. “Sebetulnya akar masalah ada pada pendasaran agama bagi pasangan keluarga. Pembinaan agama tidak banyak yang dilakukan karena suscatin juga sifatnya boleh ada boleh tidak. Dalam setahun paling ada 6 orang yang dimediasi, itupun tidak ada yang mau rujuk”, keluh Husen (Diskusi tanggal 18 April 2015 dengan tiga Kepala KUA dilakukan disela-sela mereka mengikuti Diklatpim IV di BDK Ambon).

Menurut para Kepala KUA, perubahan melalui regulasi tahun 2006 telah membuat banyak hal berubah. Tugas dan kewajiban Kepala KUA seolah “tercuri” dengan celah yang begitu mudah, misalnya mediasi tidak harus dilakukan di KUA tetapi di PA, sehingga sedikit saja ada masalah mereka biasanya langsung menuju PA. “Jadi permasalahan sekarang adalah masyarakat lebih memilih PA menyelesaikan masalah, sementara mediator di PA belum tentu memiliki pengetahuan agama. Sudah begitu, peran KUA tidak lagi sebesar dulu. Suscatin itu seperti kewajiban. Banyak petugas kami nganggur”, keluh Lukman Mabo menimpali Husen yang memang lebih banyak bicara. “Tapi mau apalagi, wong ini sudah keputusan pemerintah”, Lukman melanjutkan penjelasannya.

Para Kepala KUA mengaku prihatin, namun tidak bisa berbuat banyak. KUA sebagai struktur yang dibentuk pemerintah namun tidak bisa menjalin kerjasama dengan para agen yang menggunakan jasanya. Husen malah dengan tegas menyatakan bahwa faktor lemahnya agama telah membuat para laki-laki yang semestinya menjadi imam keluarga gampang melakukan kekerasan.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim316

dalam angka 7 Penjelasan Umum UU Nomor 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa: “Undang-Undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya...”. Atas hal ini, Muhammad Amin Suma (2004) menyatakan bahwa secara implisit dan prinsipil, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebetulnya berusaha untuk mempersulit terjadinya perceraian.

2. Pranata Sosial dan Budaya: peretak sekaligus perekat perkawinan

Maluku adalah landscape yang dipenuhi ragam budaya dan terikat ke dalam apa yang disebut Siwalima, yakni pemersatu berbagai varian marga. Siwalima adalah akar budaya Maluku yang merupakan pandangan kosmologis yang bersifat monodualistik yang menjadi nilai inti pembentuk kepribadian dan karakteristik masyarakat Maluku. Siwalima akhirnya menjadi semacam pondasi bagi mereka untuk membangun kerukunan dan persaudaraan dengan menghargai perbedaan suku, agama dan golongan. Apapun yang membedakan mereka dianggap Orang Basudara (orang yang bersaudara) yang diaksentuasikan ke dalam filosofi “potong di kuku, rasa didaging” atau “ale rasa, beta rasa” (kamu rasa, saya juga rasa). Persaudaraan seperti ini bersifat proeksistensi karena sama-sama merasa memiliki dan punya tanggung jawab terhadap yang lain (Abidin Wakano, 2012: 6).

Siwalima diinternalisasikan ke dalam lima bentuk persaudaraan. Pertama, Pela. Kata ini berasal dari bahasa lokal dari kata “pelau” yang berarti saudara laki-laki.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 317

Secara terminologis, kata Pela diartikan sebagai ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dihubungkan di antara seluruh masyarakat pribumi dari dua negeri atau lebih ikatan tersebut. Ada dua jenis Pela, yaitu pela tuni atau pela darah dan pela tempat sirih. Keduanya merupakan pengakuan dan penerimaan antara sesama manusia meskipun berbeda agama dan negeri.

Kedua, Gandong. Kata ini berasal dari kata “kandung” yang menyiratkan persaudaraan berdasarkan garis keturunan atau geneologis. Meski tersebar diberbagai pulau, mereka sepakat untuk saling melindungi dan membantu dengan ungkapan darah satu darah semua, hidup satu hidup semua (darah kamu adalah juga darahku dan darah kita semua, hidup kamu adalah juga hidupku dan hidup kita semua). Bila Pela hanya menyiratkan persahabatan antara dua desa, maka Gandong cakupannya lebih luas, lebih dari dua desa.

Ketiga, Famili (marga), adalah hubungan kekerabatan berdasarkan kesamaan marga atau fam, dan ini menjadi tradisi bagi masyarakat Maluku yang menempatkan marga (lumah tau) sebagai keluarga inti. Satu marga sesungguhnya satuan keluarga inti. Marga yang sama bisa tersebar ke berbagai negeri baik dalam bentuk fam yang sama atau sedikit perubahan fonemik. Yang unik adalah meski satu marga dianut oleh dua agama berbeda, dahulu mereka dapat berbaur, misalnya, saling mengunjungi saat hari raya, baik Idul Fitri untuk Islam dan Natal untuk Nasrani.18

18 Disarikan dari Ibid, hal 6-12.

dalam angka 7 Penjelasan Umum UU Nomor 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa: “Undang-Undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya...”. Atas hal ini, Muhammad Amin Suma (2004) menyatakan bahwa secara implisit dan prinsipil, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebetulnya berusaha untuk mempersulit terjadinya perceraian.

2. Pranata Sosial dan Budaya: peretak sekaligus perekat perkawinan

Maluku adalah landscape yang dipenuhi ragam budaya dan terikat ke dalam apa yang disebut Siwalima, yakni pemersatu berbagai varian marga. Siwalima adalah akar budaya Maluku yang merupakan pandangan kosmologis yang bersifat monodualistik yang menjadi nilai inti pembentuk kepribadian dan karakteristik masyarakat Maluku. Siwalima akhirnya menjadi semacam pondasi bagi mereka untuk membangun kerukunan dan persaudaraan dengan menghargai perbedaan suku, agama dan golongan. Apapun yang membedakan mereka dianggap Orang Basudara (orang yang bersaudara) yang diaksentuasikan ke dalam filosofi “potong di kuku, rasa didaging” atau “ale rasa, beta rasa” (kamu rasa, saya juga rasa). Persaudaraan seperti ini bersifat proeksistensi karena sama-sama merasa memiliki dan punya tanggung jawab terhadap yang lain (Abidin Wakano, 2012: 6).

Siwalima diinternalisasikan ke dalam lima bentuk persaudaraan. Pertama, Pela. Kata ini berasal dari bahasa lokal dari kata “pelau” yang berarti saudara laki-laki.

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim318

Berdasarkan pranata sosial di atas, harusnya berpengaruh kuat ke dalam perkawinan, namun dalam hal tertentu, justru menjadi peretak. Informan Abidin Wakano menjelaskan bahwa pada dasarnya orang Ambon itu keluarga besar yang dilandasi nilai kolektivitas. Namun justru di dalam kolektivitas itu tersimpan bara yang sewaktu-waktu meledak. Tren cerai gugat atau perceraian menjadi tinggi di Ambon juga andil dari kondisi ini.

“Perceraian juga bisa karena pengaruh orang disekitar keluarga atau bahkan sanak saudara karena di sini juga terjadi kompetisi. Misalnya, jika istri saya mampu mengajak saudaranya di rumah atau memberikan pertolongan, maka saya juga harus melakukan hal yang sama. Jadi bisa saling kuat-kuatan untuk merangkul saudara masing-masing”, terang Abidin yang merasa beruntung mengawini perempuan suku Batak sehingga tidak perlu ada kontestasi antarkeluarga (Wakano. Wawancara 17 April 2015).

Apa yang disampaikan Wakano dan kondisi yang sedang berkembang di Ambon apat ditemukan dalam penjelasan Roger M. Keesing dalam Cultural Anthropology yang menyatakan bahwa untuk memahami perkawinan perlu melakukan berbagai komparasi, terlebih berkenaan dengan kesukuan. Menurutnya, secara karakteristik perkawinan itu bukan hanya semata hubungan antarindividu tetapi hubungan antarkelompok; perkawinan sering menimbulkan perpindahan atau peralihan berbagai hak-hak baik berpindah dari istri ke kelompok suami atau sebaliknya. Keesing selanjutnya membahas lebih jauh isu ini ke dalam tema perkawinan sebagai ajang kontrak dan transaksi (1992 [1981]:6-8). Dan fenomena yang terjadi di Ambon sebetulnya lumrah dan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 319

universal, tapi masalahnya dinamika internal negeri Ambon menjadi lebih menarik karena di dalamnya juga dikenal ikatan marga, meskipun dibeberapa kepulauan yang lain seperti pulau Buru terdapat kastanisasi.

Bagi ahli kebudayaan, kontestasi dalam keluarga menjadi cara mereka untuk menjadikan hidup sebagai ruang dialogis, sebagaimana Bakhtin (dalam Rudyansjah, 2009:42, 43) juga melihat bahwa keberadaan hidup sebagai proses dialog antara si pelaku dengan dirinya sendiri maupun dengan the other dalam arti luas yang mencakup tidak hanya orang lain, namun juga kebudayaan, sejarah dan lingkungan yang ada disekelilingnya. Bakhtin juga menyebut kemampuan pelaku merespons ke semua hal itu sebagai proses authoring atau answerability, dan proses ini tidak hanya memperlihatkan pelbagai struktur pemaknaan yang mau dirajut si pelaku dalam dialognya dengan dirinya sendiri, sejarah, kebudayaannya, serta pelaku lainnya di dalam kehidupannya, melainkan juga menampilkan pelbagai struktur kekuasaan yang beroperasi di dalam kehidupannya.

Dengan demikian, kontestasi dalam struktur sosial masyarakat Ambon bukan lagi sebuah panggung yang bersifat fisik semata, tetapi juga melampaui arena pertarungan antara spirit dan logos di mana keberlangsungan semua fakta tentang kisah masa lalu dapat terolah ke alam kesadaran, sekaligus dapat dimaknai hingga ke sifatnya yang batiniah. Kontestasi dalam relasi antarkeluarga besar adalah proses pengkonstitusian pelbagai konteks pemaknaan yang menyejarah yang dilangsungkan dalam sebuah permainan, dengan merayakan selera yang telah

Berdasarkan pranata sosial di atas, harusnya berpengaruh kuat ke dalam perkawinan, namun dalam hal tertentu, justru menjadi peretak. Informan Abidin Wakano menjelaskan bahwa pada dasarnya orang Ambon itu keluarga besar yang dilandasi nilai kolektivitas. Namun justru di dalam kolektivitas itu tersimpan bara yang sewaktu-waktu meledak. Tren cerai gugat atau perceraian menjadi tinggi di Ambon juga andil dari kondisi ini.

“Perceraian juga bisa karena pengaruh orang disekitar keluarga atau bahkan sanak saudara karena di sini juga terjadi kompetisi. Misalnya, jika istri saya mampu mengajak saudaranya di rumah atau memberikan pertolongan, maka saya juga harus melakukan hal yang sama. Jadi bisa saling kuat-kuatan untuk merangkul saudara masing-masing”, terang Abidin yang merasa beruntung mengawini perempuan suku Batak sehingga tidak perlu ada kontestasi antarkeluarga (Wakano. Wawancara 17 April 2015).

Apa yang disampaikan Wakano dan kondisi yang sedang berkembang di Ambon apat ditemukan dalam penjelasan Roger M. Keesing dalam Cultural Anthropology yang menyatakan bahwa untuk memahami perkawinan perlu melakukan berbagai komparasi, terlebih berkenaan dengan kesukuan. Menurutnya, secara karakteristik perkawinan itu bukan hanya semata hubungan antarindividu tetapi hubungan antarkelompok; perkawinan sering menimbulkan perpindahan atau peralihan berbagai hak-hak baik berpindah dari istri ke kelompok suami atau sebaliknya. Keesing selanjutnya membahas lebih jauh isu ini ke dalam tema perkawinan sebagai ajang kontrak dan transaksi (1992 [1981]:6-8). Dan fenomena yang terjadi di Ambon sebetulnya lumrah dan

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim320

ditentukan bersama. Ketegangan, keseriusan sekaligus kejenakaan yang muncul akhirnya adalah cara mereka untuk saling mengapresiasi usaha yang mereka perjuangkan.

Perkawinan sebagai arena untuk memainkan modal yang dimiliki oleh pasangan keluarga. Dengan modal itu pula mereka menjadikannya sebagai alat perjuangan. Karenanya, banyak pasangan merasa lebih aman kalau memiliki suami atau istri berbeda suku. Bagi mereka, semakin jauh suku pasangan semakin berkurang ketegangan dalam rumah tangga.

“Tiga Batu Tungku” dan “Saudara Kawin”: Kearifan Lokal Yang Mulai Terabaikan

Ambon sebagaimana telah disampaikan di atas adalah negeri dengan ragam budaya dan kearifan-kearifan lokal. Selain Siwalima, dalam tulisan Abidin Wakano dapat ditemukan bahwa sebetulnya masih banyak lagi kearifan lain, misalnya sistem pemerintahan lokal di Maluku pada tingkat negeri terbentuk dari sebuah proses yang dimulai dari struktur terkecil, yaitu keluarga. Kumpulan dari beberapa rumah tangga dalam satu keluarga membentuk satu Rumatau atau Lamatau. Artinya kesatuan kelompok geneologis yang lebih besar sesudah keluarga adalah Rumatau atau Lamatau (Wakano, 2012: 18 – 19).

Selain kearifan lokal tersebut, dalam FGD, Abidin Wakano malah menyampaikan bahwa sebetulnya masih ada lagi kearifan yang lain untuk mencegah perceraian di Ambon. Menurutnya tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan tokoh setidaknya dapat dimanfaatkan untuk menimba ilmu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 321

pengetahuan agama. Tiga batu tungku ini masih hidup, terutama di kampung-kampung, namun di kota juga masih ada. Dalam penjelasannya, Wakano mengatakan raja itu adalah pemimpin negeri yang dihormati dan disegani. Ia terpilih menjadi orang yang akan memimpin masyarakat. Imam adalah orang terpilih untuk menjadi tempat menanyakan semua hal yang dihadapi dalam hidup. Imam juga menjadi legitimasi agama dan adat yang dilakukan oleh tokoh agama dan adat.

“Sekarang ini tiga batu tungku tidak banyak dijadikan tempat untuk curhat. Mungkin media sosial sudah begitu kuat menjadi rujukan. Banyak TV menayangkan acara-acara rohani. Tiga Batu Tungku sepertinya sudah digantikan oleh media, sehingga tidak lagi menjadi sandaran”, jelas Wakano yang ketika itu diamini oleh Samad Umarella dan M. Syafin Soulisa. Pernyataan Wakano agak sejalan dengan Nuraini Lapiah yang mengatakan bahwa gaya hidup masyarakat Ambon sudah banyak berubah akibat perkembangan media dan teknologi, terutama handphone. Aktivis perempuan ini juga menduga bahwa media itu tidak memiliki filter lagi, seperti bebas merasuki hidup orang Ambon, apalagi pasca konflik semuanya menjadi serba bebas. “Ada semacam eforia kebebasan, apalagi juga bebas dari konflik”, tegas Nuraini Lapiah.

Masih dalam konteks untuk mencegah perceraian, ada kearifan lokal lainnya yang kini juga sudah mulai ditinggalkan, yaitu saudara kawin. “Andaikan mereka memanfaatkan saudara kawinnya, pasti perceraian tidak akan besar”, begitu informan Wahab Putuhena memberi kesan ketika peneliti menyodorkan tingginya angka perceraian. Cukup lama peneliti memahami apa yang dimaksud saudara kawin, sebuah istilah dalam bahasa Indonesia namun berakar

ditentukan bersama. Ketegangan, keseriusan sekaligus kejenakaan yang muncul akhirnya adalah cara mereka untuk saling mengapresiasi usaha yang mereka perjuangkan.

Perkawinan sebagai arena untuk memainkan modal yang dimiliki oleh pasangan keluarga. Dengan modal itu pula mereka menjadikannya sebagai alat perjuangan. Karenanya, banyak pasangan merasa lebih aman kalau memiliki suami atau istri berbeda suku. Bagi mereka, semakin jauh suku pasangan semakin berkurang ketegangan dalam rumah tangga.

“Tiga Batu Tungku” dan “Saudara Kawin”: Kearifan Lokal Yang Mulai Terabaikan

Ambon sebagaimana telah disampaikan di atas adalah negeri dengan ragam budaya dan kearifan-kearifan lokal. Selain Siwalima, dalam tulisan Abidin Wakano dapat ditemukan bahwa sebetulnya masih banyak lagi kearifan lain, misalnya sistem pemerintahan lokal di Maluku pada tingkat negeri terbentuk dari sebuah proses yang dimulai dari struktur terkecil, yaitu keluarga. Kumpulan dari beberapa rumah tangga dalam satu keluarga membentuk satu Rumatau atau Lamatau. Artinya kesatuan kelompok geneologis yang lebih besar sesudah keluarga adalah Rumatau atau Lamatau (Wakano, 2012: 18 – 19).

Selain kearifan lokal tersebut, dalam FGD, Abidin Wakano malah menyampaikan bahwa sebetulnya masih ada lagi kearifan yang lain untuk mencegah perceraian di Ambon. Menurutnya tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan tokoh setidaknya dapat dimanfaatkan untuk menimba ilmu

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim322

kuat budaya negeri Maluku. Dalam dugaan peneliti, istilah ini belum ada padanannya dalam daerah lain di Indonesia.

Menurut Wahab, saudara kawin hanya dianut di wilayah Maluku, dan sampai kini tetap hidup terutama di daerah pinggiran yang adat istiadatnya masih kuat. Makin ke tengah kota, pemanfaatan saudara kawin makin kecil. Wahab menceritakan bahwa ketika menikah, keluarga besar masing-masing pengantin akan melakukan kesepakatan adat untuk menunjuk salah seorang saudara laki-laki jauh dari pihak perempuan untuk dijadikan saudara kawin. Lebih lanjut, Wahab menjelaskan bahwa saudara kawin ini punya tugas penting untuk menjaga keutuhan keluarga, memberi nasehat baik diminta maupun tidak diminta. Secara adat, saudara kawin memiliki tugas untuk mencegah dan menyelesaikan masalah dan berbeda dengan BP4 atau seperti penghulu.

Semua informan kunci dalam penelitian ini juga tidak menjadikan saudara kawin untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. “Jangankan saudara kawin, orang tua sendiri tidak ikut campur tangan terlalu jauh”, terang NAN dan NF. Sementara AL mengatakan malah ibunya, GB yang meminta untuk segera menyelesaikan masalahnya. Orang terdekat NF, Fatimah mengaku tiba-tiba saja mendengar kalau NF sudah mendaftarkan cerai gugatnya, sedangkan Nur Tunny, teman dekat NAN juga kaget kalau NAN tanpa diskusi dengannya sudah mengajukan gugatan cerai. Tampaknya dari semua pernyataan informan, peran adat dan budaya tidak mendapat porsi yang besar. Bahkan pula, semua informan kunci juga tidak melakukan mediasi ke KUA.

Akhirnya dapat dipahami kegelisahan Husen dan Kepala KUA lainnya bahwa KUA sebagai struktur pemerintah saat ini merasa tidak berdaya. Yang membuat mereka menjadi

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 323

makin gelisah adalah perbedaan pandang terhadap lembaga mediasi yang dalam Pasal 5 Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi dinyatakan bahwa mediaator adalah mereka yang bersertifikasi. Padahal hakam diutamakan mediatornya adalah wakil keluarga kedua belah pihak. Jika hukum negara dan hukum Islam dapat berdampingan, maka dapat disimpulkan bahwa mediator itu sedapat mungkin mereka yang mengerti agama, dan hakam juga dapat dilakukan mulai dari wakil keluarga kedua belah pihak. Ini berarti tiga batu tungku dan saudara kawin dapat menjadi struktur sosial yang terlembagakan di Ambon untuk mencegah dan menyelesaikan masalah dalam perkawinan.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil dan analisis terhadap temuan penelitian di atas, ada tiga simpulan yang dapat disampaikan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian, yaitu Pertama, angka cerai gugat di Ambon berbanding lurus dengan laporan Badilag di mana dalam kurun waktu 2010-2015 tercatat 7950 peristiwa nikah dan terdapat perceraian sebanyak 1504 atau 18,92%. Dari perceraian yang terjadi, cerai gugat terjadi sebanyak 955 (12,01%) dan cerai talak sebesar 551 (6,93%). Dari cerai gugat tersebut, faktor penyebab paling besar adalah Tidak Ada Keharmonisan (12.39%), Tidak Ada Tanggung Jawab (7.495), Gangguan Pihak Ketiga (5.64%), dan Krisis Akhlak (3.61%). Namun berdasarkan fakta di lapangan, justru Kekerasan (baik jasmani maupun mental) menempati urutan pertama meskipun dalam bahasa hukum dikuantifikasi hanya 2.09%. Selain kekerasan, faktor lain yang menjadi penyebab

kuat budaya negeri Maluku. Dalam dugaan peneliti, istilah ini belum ada padanannya dalam daerah lain di Indonesia.

Menurut Wahab, saudara kawin hanya dianut di wilayah Maluku, dan sampai kini tetap hidup terutama di daerah pinggiran yang adat istiadatnya masih kuat. Makin ke tengah kota, pemanfaatan saudara kawin makin kecil. Wahab menceritakan bahwa ketika menikah, keluarga besar masing-masing pengantin akan melakukan kesepakatan adat untuk menunjuk salah seorang saudara laki-laki jauh dari pihak perempuan untuk dijadikan saudara kawin. Lebih lanjut, Wahab menjelaskan bahwa saudara kawin ini punya tugas penting untuk menjaga keutuhan keluarga, memberi nasehat baik diminta maupun tidak diminta. Secara adat, saudara kawin memiliki tugas untuk mencegah dan menyelesaikan masalah dan berbeda dengan BP4 atau seperti penghulu.

Semua informan kunci dalam penelitian ini juga tidak menjadikan saudara kawin untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. “Jangankan saudara kawin, orang tua sendiri tidak ikut campur tangan terlalu jauh”, terang NAN dan NF. Sementara AL mengatakan malah ibunya, GB yang meminta untuk segera menyelesaikan masalahnya. Orang terdekat NF, Fatimah mengaku tiba-tiba saja mendengar kalau NF sudah mendaftarkan cerai gugatnya, sedangkan Nur Tunny, teman dekat NAN juga kaget kalau NAN tanpa diskusi dengannya sudah mengajukan gugatan cerai. Tampaknya dari semua pernyataan informan, peran adat dan budaya tidak mendapat porsi yang besar. Bahkan pula, semua informan kunci juga tidak melakukan mediasi ke KUA.

Akhirnya dapat dipahami kegelisahan Husen dan Kepala KUA lainnya bahwa KUA sebagai struktur pemerintah saat ini merasa tidak berdaya. Yang membuat mereka menjadi

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim324

cerai gugat adalah ketika nilai agama tidak lagi menjadi pondasi perkawinan. Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah pendampingan khusus terhadap perempuan pasca konflik.

Kedua, akibat perceraian tidak terlalu signifikan baik terhadap pelaku maupun orang-orang disekitarnya, bahkan hanya dianggap sebagai bagian dari siklus kehidupan. Prinsip kolektivitas yang menjadi dasar utama dalam membangun hubungan kekerabatan masyarakat Ambon telah menjadikan siklus suka dan duka sebagai sesuatu yang harus dihadapi, bahkan dinikmati. Ketiga, struktur sosial, dalam hal ini lembaga pemerintah seperti PA dan KUA dalam merespon fenomena cerai gugat memiliki pandangan yang berbeda. PA menganggap tusi sudah sesuai dengan amanat peraturan dan perundang-undangan, sementara KUA memandangnya sebagai keterambilan tusi, terutama masalah pembinaan agama dan mediasi perceraian.

Simpulan keempat adalah tambahan baru dari penelitian ini, dan untuk melanjutkan respon struktur sosial terhadap perceraian, sebetulnya masih hidup pranata sosial yang lain untuk mencegah bahkan ke fungsi terjauhnyanya menyelesaikan perceraian. Pranata sosial itu adalah tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan tokoh. Pranata yang lain adalah saudara kawin. Namun keduanya saat ini tidak terlalu mendapat perhatian, bahkan seolah terabaikan.

Rekomendasi

Menindaklanjuti simpulan dari penelitian ini, ada tiga rekomendasi yang dapat diajukan, yakni kepada:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 325

1. Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI agar melakukan penguatan terhadap KUA, khususnya pelaksanaan Suscatin yang selama ini bersifat opsional.

2. Untuk dapat melakukan Suscatin yang efektif, maka diperlukan penguatan terhadap lembaga penyelenggaran Suscatin selain KUA seperti BP4 atau ormas keagamaan Islam lainnya yang memiliki program terkait pelestarian perkawinan dan keluarga.

3. Ditjen Bimas Islam bersama Kanwil Kementerian Agama melakukan kolaborasi untuk memberdayakan kearifan lokal Saudara Kawin dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah.

4. Ditjen Bimas Islam bersama Badilag dan pihak lain yang terkait untuk melakukan review terhadap peraturan dan perundang-undangan yang ada agar terdapat sinerginitas antara Kementerian Agama dan Mahkamah Agung

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Anshary, H.M. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia. Masalah-Masalah Krusial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barth, Fredrik. 1969. Ethnic Groups And Boundaries “The Social Organization of Culture Difference”. Little Brown and Company Boston.

Bourdieu, Pierre. 1992. Language & Symbolic Power. Translated by H. Raymond & M. Adamson. Oxford: Blackwell Publisher.

cerai gugat adalah ketika nilai agama tidak lagi menjadi pondasi perkawinan. Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah pendampingan khusus terhadap perempuan pasca konflik.

Kedua, akibat perceraian tidak terlalu signifikan baik terhadap pelaku maupun orang-orang disekitarnya, bahkan hanya dianggap sebagai bagian dari siklus kehidupan. Prinsip kolektivitas yang menjadi dasar utama dalam membangun hubungan kekerabatan masyarakat Ambon telah menjadikan siklus suka dan duka sebagai sesuatu yang harus dihadapi, bahkan dinikmati. Ketiga, struktur sosial, dalam hal ini lembaga pemerintah seperti PA dan KUA dalam merespon fenomena cerai gugat memiliki pandangan yang berbeda. PA menganggap tusi sudah sesuai dengan amanat peraturan dan perundang-undangan, sementara KUA memandangnya sebagai keterambilan tusi, terutama masalah pembinaan agama dan mediasi perceraian.

Simpulan keempat adalah tambahan baru dari penelitian ini, dan untuk melanjutkan respon struktur sosial terhadap perceraian, sebetulnya masih hidup pranata sosial yang lain untuk mencegah bahkan ke fungsi terjauhnyanya menyelesaikan perceraian. Pranata sosial itu adalah tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan tokoh. Pranata yang lain adalah saudara kawin. Namun keduanya saat ini tidak terlalu mendapat perhatian, bahkan seolah terabaikan.

Rekomendasi

Menindaklanjuti simpulan dari penelitian ini, ada tiga rekomendasi yang dapat diajukan, yakni kepada:

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim326

Bourdieu, Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Terjm. Stepanhus Aswar Herwinarko dari La Domination Masculine, 1998. Yogyakarta: Jalasutra.

Comaroff, John L & Jean Comaroff. 2009. Ethnicity. Inc. The University of Chicago Press.

Foucault, Michel. 1997. Seks & Kekuasaan, Sejarah Seksualitas. Terjm. Rahayu S. Hidayat dari Histoire de la Sexualite I: La Volonte de Savoir (1990). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. London, Hutchinson & CO Publisher LTD (The Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture [1973a]; Religion as a Cultural System in Interpretation of Cultures [1973b]; Person, Time and Conduct in Bali in Interpretation of Cultures [1973c]).

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Goodenough, Ward. H. 2003. “In Pursuit of Culture” dalam Annual Review of Anthropology 32 hal 1-32.

Glazer, Nathan & Daniel P. Moynihan (eds.) 1975. Ethnicity Theory and Experience. Harvard University Press Cambiridge, Massachusetts, and London, England.

Haddock, Bruce and Peter Sutch (eds.). 2003. Multiculturalism, Identity, and Right. Roudledge: London and New York Press.

Hall, Stuart. 1991. Culture, Globalization and The World-System: Contempory Conditions for The Representation of Identity. Edited by Anthony D. King. Houdmills,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 327

Basingstoke, Hampshire and London: MacMillan Education Ltd.

Kessing. Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Terjm. Samuel Gunawan dari Cultural Anthropology. A Contemporary Perspective. 1981. Jakarta: Erlangga.

Rudyansjah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan. Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. Jakarta: Rajawali Press.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Terjm. Misbah Zulfa Elizabeth dari The Ethnographic Interview, 1979. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suma, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ufi, Josef Antonius dan Hasbullah Assel (ed). 2012. Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku. Jakarta: Cahaya Pineleng.

Jurnal/Penelitian/Laporan:

Kurniawan, Muhammad Arif. 2010. Cerai Gugat terhadap Suami yang Melakukan Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Perkara Nomor 0019/PDT.G/2010/PA.YK. Tahun 2010). Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Muwahidah, Farhatul. 2010. Pandangan Hakim Terhadap Gugat Cerai Seorang Istri dalam Keadaan Hamil (Studi

Bourdieu, Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Terjm. Stepanhus Aswar Herwinarko dari La Domination Masculine, 1998. Yogyakarta: Jalasutra.

Comaroff, John L & Jean Comaroff. 2009. Ethnicity. Inc. The University of Chicago Press.

Foucault, Michel. 1997. Seks & Kekuasaan, Sejarah Seksualitas. Terjm. Rahayu S. Hidayat dari Histoire de la Sexualite I: La Volonte de Savoir (1990). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. London, Hutchinson & CO Publisher LTD (The Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture [1973a]; Religion as a Cultural System in Interpretation of Cultures [1973b]; Person, Time and Conduct in Bali in Interpretation of Cultures [1973c]).

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Goodenough, Ward. H. 2003. “In Pursuit of Culture” dalam Annual Review of Anthropology 32 hal 1-32.

Glazer, Nathan & Daniel P. Moynihan (eds.) 1975. Ethnicity Theory and Experience. Harvard University Press Cambiridge, Massachusetts, and London, England.

Haddock, Bruce and Peter Sutch (eds.). 2003. Multiculturalism, Identity, and Right. Roudledge: London and New York Press.

Hall, Stuart. 1991. Culture, Globalization and The World-System: Contempory Conditions for The Representation of Identity. Edited by Anthony D. King. Houdmills,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim328

Perkara Pengadilan Agama Malang No.789/Pdt.G/PA.Mlg). Laporan Penelitian. Fakultas Syariah, Jurusan Ahwal Syakhshiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Sasmita, Wina. 2009. Analisis Hukum Islam Tentang Cerai Gugat Hukum Adat Dayak Iban Di Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang. Thesis. IAIN Walisongo.

Laporan Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 2014.

Peraturan dan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Virtual:

http://www.solusiislam.com/2014/01/Inilah-sebab-dan-alasan-wanita-dibolehkan-minta-cerai.html diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 17:50

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 329

http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=06210047 diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 18:05

http://digilib.uin-suka.ac.id/5677/1/BAB%20I,V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 18:15

http://eprints.walisongo.ac.id/3636/ diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 18:35

Perkara Pengadilan Agama Malang No.789/Pdt.G/PA.Mlg). Laporan Penelitian. Fakultas Syariah, Jurusan Ahwal Syakhshiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Sasmita, Wina. 2009. Analisis Hukum Islam Tentang Cerai Gugat Hukum Adat Dayak Iban Di Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang. Thesis. IAIN Walisongo.

Laporan Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 2014.

Peraturan dan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Virtual:

http://www.solusiislam.com/2014/01/Inilah-sebab-dan-alasan-wanita-dibolehkan-minta-cerai.html diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 17:50

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim330

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 331

INDEKS

Aceh, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 42, 43, 47, 51, 52, 54, 55, 63, 64, 67, 68, 70, 71, 72, 73, 75

Adat, 68, 126, 328 Ambon, 281, 282, 283, 285,

286, 287, 288, 289, 294, 295, 298, 299, 300, 302, 303, 307, 308, 310, 311, 312, 313, 315, 318, 319, 320, 321, 323, 324

Badan Peradilan Agama, 1, 2, 3, 164, 206, 207, 328

Banyuwangi, 171, 235, 236, 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 249, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 258, 263, 268, 269, 270, 272, 274, 275, 277, 281

BP4, 4, 18, 32, 34, 67, 68, 69, 71, 81, 82, 83, 87, 89, 90, 91, 93, 126, 132, 162, 196, 201, 203, 208, 221, 222, 223, 228, 229, 230, 231, 233, 234, 274, 277, 278, 312, 313, 322, 325

Cemburu, 97, 176, 213, 269, 287, 288

Cerai gugat, 12, 66, 133, 185, 227, 267

Cilegon, 137, 138, 139, 140, 144, 145, 147, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 159, 161, 163, 164

Dampak perceraian, 160 Ditjen Bimas Islam, 278,

325 Faktor Penyebab, 30, 123,

156, 213, 214, 269, 288 Geredhoan, 247, 248 Gugatan, 9, 16, 71, 84, 85,

86, 112, 118, 122, 165, 265, 279, 283, 285

Hakim, 7, 18, 56, 73, 98, 155, 199, 218, 223, 252, 272, 327

Indramayu, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 190, 191, 196, 198, 199, 201, 202, 203, 281

Informan, 72, 253, 258, 260, 263, 299, 307, 312, 318

Islam, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 21, 23, 24, 25, 26, 31, 32, 38, 64, 69, 72, 90, 92, 115, 139, 140, 145, 150, 159, 163, 164, 165, 173, 183, 203,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim332

222, 224, 232, 233, 245, 246, 247, 250, 268, 279, 290, 292, 294, 296, 299, 308, 312, 315, 317, 323, 325, 327, 328

Istri, 8, 84, 119, 123, 140, 145, 150, 156, 177, 184, 186, 189, 192, 210, 215, 216, 217, 227, 279, 327

Kasus, 52, 95, 99, 114, 119, 159, 182, 186, 196, 209, 210, 211, 214, 270

KDRT, 17, 30, 97, 262, 265, 302, 304

Keluarga, 44, 60, 69, 81, 99, 103, 114, 119, 122, 129, 134, 141, 153, 157, 158, 164, 215, 221, 232, 233, 234, 255, 274, 276, 278, 327

KUA, 4, 18, 26, 28, 32, 34, 39, 41, 54, 68, 71, 73, 81, 82, 87, 88, 89, 90, 132, 159, 162, 163, 180, 182, 196, 201, 203, 221, 222, 228, 229, 250, 251, 252, 253, 254, 257, 260, 261, 263, 266, 274, 277, 278, 282, 285, 298, 312, 313, 314, 315, 322, 324, 325

Masyarakat, 37, 62, 71, 73, 130, 131, 161, 164, 204, 224, 225, 235, 237, 238, 247, 249, 279

Mediasi, 5, 33, 71, 223, 286, 312, 313, 323

Muslim, 84, 163, 207, 225, 302

Padang, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 91, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 114, 115, 116, 117, 120, 123, 124, 127, 130, 133, 150

Pekalongan, 205, 206, 211, 212, 213, 214, 221, 222, 224, 226, 228, 230

Pemerintah, 22, 70, 73, 76, 165, 198, 203, 230, 235, 242, 244, 252, 278, 289, 328

Pemerintah Daerah, 203 Penyebab Perceraian, 17,

71, 97, 156, 164, 176, 278 Perceraian, 1, 2, 8, 9, 10, 15,

28, 30, 35, 36, 37, 61, 70, 72, 96, 153, 156, 164, 165, 171, 172, 173, 194, 203, 209, 213, 214, 228, 234, 267, 269, 270, 275, 278, 279, 283, 285, 288, 289, 304, 312, 315, 318

Perempuan, 12, 37, 52, 54, 57, 58, 60, 62, 63, 66, 78, 90, 93, 114, 163, 215, 217,

Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim 333

219, 232, 234, 244, 275, 292, 293, 295, 301, 302

Perkara, 28, 33, 35, 36, 38, 42, 47, 222, 233, 270, 283, 327, 328

Perkawinan, 4, 9, 26, 27, 38, 39, 42, 47, 52, 64, 121, 159, 162, 172, 181, 190, 208, 224, 225, 226, 232, 233, 234, 247, 249, 250, 251, 253, 261, 263, 272, 274, 282, 285, 289, 296, 297, 312, 316, 320, 325, 328

Poligami, 97, 173, 176, 213, 269, 288

Rekomendasi, 68, 134, 162, 202, 229, 324

Respon, 62, 119, 131

Sidang, 9, 234, 257, 262, 266 Suami, 99, 140, 145, 156,

157, 186, 189, 191, 192, 209, 211, 215, 216, 217, 260, 297, 327

Talak, 3, 6, 7, 36, 183, 206, 207, 250, 270, 283, 285

Tren, 15, 62, 97, 318 Undang-undang

Perkawinan, 162 Wawancara, 72, 91, 93, 99,

101, 102, 103, 108, 154, 205, 206, 214, 217, 218, 219, 223, 224, 240, 253, 268, 275, 285, 287, 289, 293, 294, 295, 297, 298, 302, 308, 318

222, 224, 232, 233, 245, 246, 247, 250, 268, 279, 290, 292, 294, 296, 299, 308, 312, 315, 317, 323, 325, 327, 328

Istri, 8, 84, 119, 123, 140, 145, 150, 156, 177, 184, 186, 189, 192, 210, 215, 216, 217, 227, 279, 327

Kasus, 52, 95, 99, 114, 119, 159, 182, 186, 196, 209, 210, 211, 214, 270

KDRT, 17, 30, 97, 262, 265, 302, 304

Keluarga, 44, 60, 69, 81, 99, 103, 114, 119, 122, 129, 134, 141, 153, 157, 158, 164, 215, 221, 232, 233, 234, 255, 274, 276, 278, 327

KUA, 4, 18, 26, 28, 32, 34, 39, 41, 54, 68, 71, 73, 81, 82, 87, 88, 89, 90, 132, 159, 162, 163, 180, 182, 196, 201, 203, 221, 222, 228, 229, 250, 251, 252, 253, 254, 257, 260, 261, 263, 266, 274, 277, 278, 282, 285, 298, 312, 313, 314, 315, 322, 324, 325

Masyarakat, 37, 62, 71, 73, 130, 131, 161, 164, 204, 224, 225, 235, 237, 238, 247, 249, 279

Mediasi, 5, 33, 71, 223, 286, 312, 313, 323

Muslim, 84, 163, 207, 225, 302

Padang, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 91, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 114, 115, 116, 117, 120, 123, 124, 127, 130, 133, 150

Pekalongan, 205, 206, 211, 212, 213, 214, 221, 222, 224, 226, 228, 230

Pemerintah, 22, 70, 73, 76, 165, 198, 203, 230, 235, 242, 244, 252, 278, 289, 328

Pemerintah Daerah, 203 Penyebab Perceraian, 17,

71, 97, 156, 164, 176, 278 Perceraian, 1, 2, 8, 9, 10, 15,

28, 30, 35, 36, 37, 61, 70, 72, 96, 153, 156, 164, 165, 171, 172, 173, 194, 203, 209, 213, 214, 228, 234, 267, 269, 270, 275, 278, 279, 283, 285, 288, 289, 304, 312, 315, 318

Perempuan, 12, 37, 52, 54, 57, 58, 60, 62, 63, 66, 78, 90, 93, 114, 163, 215, 217,