bencana kekeringan
DESCRIPTION
Bahan Bencana KekeringanTRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilalui oleh garis khatulistiwa
serta terletak diantara dua benua dan dua samudra. Kondisi tersebut
menyebabkan negara kepulauan Indonesia memiliki variabilitas iklim yang
sangat tinggi baik berdasarkan waktu maupun tempat. Variabilitas yang tinggi
tersebut bias mengakibatkan bencana diantaranya adalah kekeringan yang
menimbulkan kerugian material dan non – material senilai triliunan rupiah serta
mengancam produksi tanaman pangan yang merupakan mata pencaharian
sebagian besarpenduduk Indonesia. Secara hakiki kekeringan tidak memiliki
definisi universal karena strandar tingkat kekeringan yang berbeda – beda dari
setiap bidang ilmu ( Dracup, 1991). Akan tetapi secara umum kekeringan adalah
periode masa kering yang lebih lama dari kondisi normal dan menyebabkan
ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air ( Nagarajan, 2009 ).
Kekeringan dapat dikualifikasikan berdasarkan karakteristik dan dampak yang
ditimbulkan. Terdapat empat kategori kekeringan, yaitu kekeringan meteorologis,
kekeringan pertanian, kekeringan hidrologi, dan kekeringan social-ekonomi
(Boken,2005 ; Nagarajan,2009 ; Wang etla, 2011). Kekeringan meteorologis
berkaitan dengan tingkat curah hujan dibawah normal dalam satu musim dimana
kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan
( Bappenas, 2003 ). Disisi lain, kekeringan hidrologi dan pertanian merupakan
manifestasi fisik dari kekeringan meteorologis ( Boken, 2005 ). Kekeringan
merupakan salah satu problem yang sangat serius di Indonesia. Penyebab
kekeringan adalah menurunya curah hujan pada periode yang lama yang
1 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
disebabkan oleh interaksi atsmosfer dan laut serta akibat ketidak teraturan suhu
permukaan laut yang terjadi di Indonesia dan sekitarnya, diantaranya adalah
fenomena El Nino, Positif IOD ( Indian Ocean Dipole ), dan siklus monsoon.
Menurut Irawan (2003), kekeringan di Indonesia biasanya berhubungan dengan
kejadian anomaly iklim seperti El Nino dan Positif IOD. Dari 43 kejadian
kekeringan di Indonesia antara tahun 1884 – 1998, hanya 6 kejadian kekeringan
yang tidak berhubungan dengan fenomena El Nino yang terjadi di samudera
pasifik. Menurut laporan Field et al. (2009), D’Arrigo and Smerdon (2008), dan
D’arrigo and Wilson (2008), kekeringan di Indonesia juga dipengaruhi oleh
positif IOD yang merupakan fenomena iklim regional di samudra hindia.
Kekeringan di Indonesia memiliki dampak seriun terhadap sector pertanian
seperti terbatasnya air irigasi, berkurangnya areal tanam, berkurangnya
produktifitas lahan, berkurangnya produksi tanaman, serta berkurangnya
pendapatan petani. Hasil analisis As – syakur et al.(2003) mengenai pola special
hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD mewujudkan bahwa kedua
fenomena tersebut mempengaruhi fluktuasi hujan selama musim monsun JJA
( Juni – Juli – Agustus ) dan SON ( September – Oktober – November ).
Sedangkan saat musim monsun DJF ( Desember – Januari – Februari ) dan MAM
( Maret – April – Mei ) pengaruh kedua fenomena tersebut tidak jelas khususnya
di wilayah Indonesia. Secara special temporal terlihat bahwa ada pergerakan
dinamis hubungan ENSO dan IOD dengan curah hujan di Indonesia dimana
permulaan pengaruh ENSO dan IOD terjadi pada massa JJA di wilayah barat
daya Indonesia dan berakhir pada masa DJF di wilayah timur laut Indonesia.
Kekeringan dapat menimbulkan dampak yang sangat luas, kempleks, dan juga
rentang waktu yang panjang setelah berakhirnya kekeringan. Dampak yang luas
2 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
dan berlangsung lama tersebut disebabkan karena air merupakan kebutuhan
pokok dan vital seluruh mahluk hidup yang tidak dapat digantikan dengan
sumberdaya lainnya. Untuk dapat mengintegrasikan seluruh stekholder yang ada
di Indonesia, perlu adanya suatu rencana aksi dalam bentuk pemilihan prioritas
kawasan yang memiliki ancaman kekeringan paling tinggi di Indonesia sehingga
program – program bisa dimunculkan dan rencana anggaran biaya juga dapat
diketahui sehingga memudahkan pengambilan keputusan dalam tingkat structural
yang jelas antar semua pihak. Adapun tujuan dari dokumen yang mengkaji
tentang resiko bencana kekeringan di Indonesia adalah :
1) Mengidentifikasikan wilayah yang memiliki resiko tinggi terhadap
bencana kekeringan di Indonesia dan menyusun pilihan tindakan yang
perlu mendapatkan perhaatian utama, berikut program kegiatan, focus
prioritas dan anggaran indikasi yang di perlukan; dan
2) Memberikan acuan kepada kementerian dan lembaga pemerintah, dan
seluruh pemangku kepentingan penanggulangan bencana di Indonesia
agar dapat melaksanakan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.
3 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Metode Penyusunan Makalah
Kajian ini menggunakan metode deskriptif – kualitatif yang menekankan
pada penggambaran dan pemahaman fenomena yang kompleks pada hubungan
antar factor yang berpengaruh terhadap bencana kekeringan. Data dan informasi
diperoleh dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan sebagian besar dari
materi Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013
dengan judul ‘Kajian Akademis Master Plan Resiko Bencana Kekeringan oleh
Sutarja, I.N., Norken,I.N., Dibia, I.N., Prama, I.K. dari pusat Studi Bencana,
Universitas Udayana, Jln. PB. Sudirman Denpasar, dan Berdasarkan studi
literatur sehingga dapat saling menutupi kelemahan dan melengkapi data atau
informasi yang dibutuhkan serta menangkap realitas masalah menjadi lebih
diandalkan. Studi literatur dilakukan untuk mengetahui kesimpulan dan aksi yang
telah dilakukan (Sitorus, 1989; Nazir, 1999 dalam maarif, 2011). Beberapa studi
literatur dilakukan guna mengkaji beberapa metode atau pengalaman di berbagai
daerah yang telah berhasil dilakukan dalam mengatasi kekeringan. Pengalaman
tersebut digunakan sebagai lesson learnt untuk diadopsi sebagai alternative dalam
kajian akademi master plan bencana kekeringan di Indonesia.
4 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekeringan
Air merupakan sumber utama penunjang kehidupan mahluk hidup di bumi,
air menjadi kebutuhan yang sangat mendasar dan tidak bias digantikan oleh
elemen lainnya. Dalam istilah ekonomi, air menjadi kebutuhan primer bagi
kehidupan semua makhluk di muka bumi. Air bisa disebut sebagai alat
pembersih, bukankah dari mulai mandi, mencuci pakaian, mencuci kendaraan,
mencuci perkakas dapur bercocok tanam dan lain sebagainya itu semua
menggunakan air?, tidak! Airlah yang menghilangkan rasa haus dalam diri kita,
bahkan kebutuhan air yang kurang dalam tubuh bisa mengakibatkan penyakit –
penyakit tertentu yang dapat membahayakan.
5 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Gambar 1. Seseorang yang mengangkut air dan kondisi tanah yang sangat kering
Selama ini kita cenderung lalai dalam memanfaatkan air secara bijaksana.
Kita seharusnya merasa prihatin karena di daerah-daerah tertentu masih ada
orang yang kekurangan air, dan menggunakan air yang ada yang jauh dari
kualitas (bersih) air yang dibutuhkan sebagai penunjang kehidupan; seperti
mandi, mencuci dan bahkan menggunakannya sebagai air minum. Sangat miris,
sementara di daerah-daerah tertentu ada pula orang yang kelebihan air –
kebanjiran, namun tentu saja tidak bisa kita sebut sebagai orang yang beruntung,
sebab kebanjiran tidak serta merta kebutuhan air bersih terpenuhi, bahkan sering
kita dengar orang-orang yang mendapatkan bencana kebanjiran justru sangat
kekurangan air bersih, dan hai ini bisa kita sebut sebagai kekeringan, marilah kita
coba pahami makna kekeringan secara filosofi, kekeringan menurut hemat saya
adalah ketidak tersedianya air bersih dan sehat dari kebutuhan minimum air yang
kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Jelas, orang-orang yang secara lahir
mendapati air berlimpah ruah, akan tetapi air bersih dan sehat yang mereka
butuhkan tidak terpenuhi, maka hal ini bisa dikatakan kekeringan, apalagi orang
yang benar-benar tidak mendapatkan air walaupun air yang tidak bersih secara
tegas kita menyebutnya sebagai gajala kekeringan.
Dari uraian diatas kita menyimpulkan bahwa kekeringan adalah hubungan
antara ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan minimum air, baik untuk
kebutuhan hidup seperti air minum, mandi, mencuci, kegiatan bercocok tanam,
kegiatan ekonomi dan lingkungan. Sebagai makhluk yang sangat membutuhkan
6 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
air, kita semestinya memikirkan jangka panjang, apakah kita akan mewariskan
kehancuran kepada anak-cucu kita kelak? Tentu hal tersebut tidak kita harapkan.
Dengan menggunakan air secara mestinya, tidak terlalu boros dan juga tidak
terlalu irit sudah merupakan cara sederhana kita menghindari hal-hal yang akan
menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Perbuatan kita sebagai makhluk yang
dititipkan oleh tuhan berupa bumi dengan segala isinya sangat berpengaruh
terhadap kelestarian bumi itu sendiri. Sehingga dalam hal ini kita tidak boleh
mengesampingkan hal-hal lain yang menjadi penunjang kelestarian lingkungan
selain dari factor air.
Bencana kekeringan di Indonesia, sangat sering terjadi dan tersebar
diseluruh negeri ini. Kejadian bencana kekeringan sangat merugikan bukan saja
fisik, ekonomi, namun juga merugikan secara social psykologis penduduk
terpapar yang tidak dapat dinilai secara finansial. Oleh karena hal tersebut, sangat
perlu dibuatkan master plan kawasan-kawasan yang berpotensi bencana
kekeringan, dalam bentuk pengelompokan wilayah prioritas. Prioritas wilayah
bencana kekeringan dibuat berdasarkan analisis matrik tingkat resiko dan
kecenderungan resiko. Sedangkan tingkat resiko diperoleh dari tingkat
keterpaparan dan tingkat kapasitas. Tingkat kapasitas diasumsikan sedang dengan
adanya lembaga BPBD disetiap provinsi dan peraturan pemerintah. Dari seluruh
provinsi yang ada di Indonesia diperoleh 10 provinsi yang prioritas untuk
ditanggulangi bencana kekeringannya secara berurutan sesuai dengan skala
prioritas yakni: Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Sumatra Utara, Nusa Tenggara
7 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Lampung, Jambi, dan Daerah Istimewa
Jogjakarta, seperti Tabel 1.
Pada daerah prioritas bancana setiap provinsi, dapat dilihat lebih
mengkhususkan pada wilayah kabupaten yang beresiko. Di Provinsi Jawa Barat
terdapat 26 kabupaten yang beresiko untuk mengalami bencana seperti
diantaranya: Kabupaten Indramayu, Cilegon, Bekasi, Karawang, Garut dan
beberapa kabupaten yang lainnya.
Tabel 1. Kelas Daerah Prioritas
No Provinsi Prioritas
1 Jawa Barat 3
2 Jawa Timur 3
3 Banten 3
4 Sumatra Utara 3
5 Nusa Tenggara Barat 3
6 Kalimantan Selatan 3
7 Aceh 3
8 Lampung 3
9 Jambi 3
10 D.I.Yogyakarta 3
11 DKI Jakarta 2
12 Jawa Tengah 2
13 Sumatra Selatan 2
14 Sulawesi Selatan 2
8 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
15 Kalimantan Timur 2
16 Kalimantan Barat 2
17 Sumatra Barat 2
18 Sulawesi Utara 2
19 Bali 2
20 Nusa Tenggara Timur 2
21 Riau 2
22 Bengkulu 2
23 Gorontalo 2
24 Kepulauan Riau 1
25 Kepulauan Bangka Belitung 1
26 Sulawesi Barat 1
27 Maluku Utara 1
28 Sulawesi Tenggara 1
29 Maluku 1
30 Sulawesi Tengah 1
31 Papua Barat 1
32 Kalimantan Tengah 1
33 Papua 1
Pada Provinsi Jawa Timur ada 27 kabupaten yang beresiko tinggi,
diantaranya : Bangkalan, Gresik, Situbondo, Banyuwangi, Pesuruan. Pada
provinsi Banten terdapat 5 kabupaten yang beresiko bencana diantaranya:
9 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Tanggerang, Serang, Cilegon, Pandeglang. Pada provinsi Sumatra utara terdapat
4 kabupaten diantaranya : Pematang Siantar, Binjai Dan Tanjung Balai. Pada
provinsi Nusa Tanggara Barat terdapat 4 kabupaten yang beresiko bencana
diantaranya: Lombok Timur, Mataram, Lombok Tengah, Lombok Barat. Provinsi
D.I.Yogyakarta, kabupaten yang beresiko adalah kota jogyakarta saja. Pada
provinsi Kalimantan Selatan terdapat pada Kabupaten Banjarmasin, pada
Provinsi Jambi ada pada kota Jambi. Pada Provinsi Lampung kabupaten yang
beresiko pada kota Bandar Lampung sedangkan di Provinsi Aceh ada pada
Kabupaten Banda Aceh dan Bereuen.
Luas wilayah ancaman dan jumlah jiwa terpapar setiap provinsi prioritas
yang dirangkum dari setiap kabupaten dari provinsi masing-masing dapat dilihat
pada Tabel 2 dibawah.
Provinsi yang menjadi prioritas utama ancaman bencana kekeringan
sebagian besar terdapat dipulau Jawa, diikuti di daerah Sumatra, Nusa Tenggara
Barat, dan Kalimantan Selatan. Penyebab utama dari prioritas bencana di
wilayah-wilayah tersebut akibat kepadatan penduduk yang lebih tinggi, yang
berdampak pada jumlah jiwa terpapar menjadi tinggi, disamping luas wilayah
ancaman bencana yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hasil
penetapan provinsi prioritas tersebut di atas sangat bijak bila didukung dengan
tingkat sensitivitas dan kemampuan adaptasi. Tingkat sensitifitas dan kapasitas
adaptasi sangat ditunjang dengan kondisi biofisik dan social ekonomi.
Permasalahan kekeringan merupakan kondisi dimana pada musim
kemarau terjadi kekurangan pasokan air yang lama, dan pada musim hujan
sebagian besar mengalir di permukaan dan terbuang ke laut. Kejadian seperti ini
10 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
apabila satu wilayah mengalami curah hujan di bawah normal secara
berkepanjangan disertai kurangnya caadangan air permukaan dan air tanah.
Adanya perubahan kondisi iklim maka siklus hidrologi akan berubah sehingga
akan terlihat terjadi kekeringan ataupun kelebihan air. Pengelolaan sumberdaya
air yang kurang baik dapat memperbesar masalah kekeringan termasuk juga
adanya perubahan penggunaan lahan. Kekeringan secara umum dapat terjadi
karena kondisi hidrometerorologi, kondisi geologis, kondisi geografis, kondisi
vegetasi dan penggunaan lahan, dan pengelolaan sumberdaya air. Berbagai
dampak permasalahan akibat kekeringan dapat terjadi diberbagai sector antara
lain : pertanian, rumah tangga, industry, perkotaan, perubahan kondisi ekologi
dan sebagainya.
Gambar 2. Dampak kekeringan pada sector pertanian.
Kekeringan yang terjadi berkepanjangan dapat memicu terjadinya
berbagai bencana, seperti ; kelaparan, wabah penyakit dan lain sebagainya,
11 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
apabila masyarakat dalam satu wilayah yang dilanda kekeringan telah kehilangan
sumber pedapatan akibat gangguan pada petani dan ekosistem yang
ditimbulkannya. Bencana kekeringan akan berdampak baik secara fisik maupun
non-fisik. Secara fisik permasalahan dan dampak yang ditimbulkan dari
kekeringan dapat berupa :
Kerusakan terhadap flora dan fauna, terjadinya erosi, penurunan kuantitas dan
kualitas air, pencemaran udara dan lain-lain. Sedangkan secara non-fisik akan
timbul berbagai permasalahan antara lain : permasalahan yang berkaitan dengan
aspek ekonomi, kesehatan, social budaya, gangguan kamtibmas dan
permasalahan yang berkaitan dengan polotik.
Tabel 2. Luas Ancaman dan Jiwa Terpapar Pada Daerah Prioritas Per
Provinsi
No Provinsi Luas Ancaman Jiwa Terpapar
1 Jawa Barat 375,557 16,460,475
2 Jawa Timur 180,932 7,864,055
3 Banten 79,537 3,531,517
4 Sumatera Utara 24,206 2,469,054
5 Nusa Tenggara Barat 22,419 599,040
6 D.I. Yogyakarta 3,217 502,907
7 Kalimantan Selatan 8,092 498,432
8 Jambi 4,694 271,196
9 Lampung 5,218 266,415
10 Aceh 5,719 148,820
12 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Penanggulangan bencana kekeringan di Indonesia adalah kompleks, hal
ini dapat terlihat dari luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
kompleksnya berbagai aspek yang berkaitan dengan factor penyebab serta upaya
memitigasi bencana kekeringan yang dihadapi. Berbagai tantangan dalam upaya
menanggulangi resiko bencana kekeringan di Indonesia dapat diuraikan sebagai
berikut : kondisi geografis, kondisi status lahan, kondisi geologi dan
geomorfologi, luas dan cakupan daerah kekeringan, jumlah penduduk terpapar,
kondisi social ekonomi dan budaya, distribusi curah hujan, regulasi,
kelembagaan, ketersediaan sumberdaya manusia, ketersediaan anggaran terbatas,
ketersediaan sarana prasarana yang belum memadai, mekanisme dan Standard
Operating Procedure pencegaan, penanggulangan dan pemulihan resiko
kekeringan, keterbatasan peraturan atau undang – undang tentang pengelolaan air
permukaan maupun air tanah.
Peluang untuk mengoptimalkan penggunaan potensi sumber daya yang
tersedia dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan resiko
kekeringan, berbagai peluang yang ada perlu dikelola secara optimal seperti :
identifikasi kekeringan dan penyebabnya berbeda di masing-masing tempat dan
daerah, pemulihan kekeringan sesuai dengan penyebabnya, penerapan dan
penegakan peraturan dan perundangan yang telah ada, pemanfaatan teknologi
informasi, penganggaran yang lebih rasional, pengoptimalan dan penguatan
kelembagaan yang telah ada, pemberdayaan masyarakat dan swasta, perencanaan
yang jelas dalam jangka panjang, menengah dan tahunan baik di pemerintahan
pusat, provinsi dan kabupaten, peningkatan sarana dan prasarana pendukung,
peningkatan sarana dan prasarana yang tepat guna sesuai dengan daerah yang
13 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
terlanda kekeringan, pemanfaatan kearifan local dalam pengelolaan sumber daya
air, untuk meminimalisir dampak kekeringan, volume air pada musim hujan
belum terkelola.
B. Klasifikasi Kekeringan
Kekeringan dapat menimbulkan akibat yang sangat kompleks, ketidak
tersediaan air, sudah barang tentu akan menjadi hambatan bagi segala aktifitas
yang dalam pelaksanaannya sangat bergantung pada air, contoh sederhana adalah
kegiatan bercocok tanam, mari kita cermati apa yang akan terjadi apabila terjadi
kekeringan dan tanah menjadi tidak subur atau bahkan mungkin mati, hal ini jelas
akan menghambat proses bercocok tanam atau bertani, kemudian kondisi tersebut
akan mengakibatkan kegagalan dalam panen, dan bisa kita simpulkan dengan
gagalnya hasil panen yang seharusnya menjadi penunjang penghasilan bagi
petani, ini akan mengakibatkan lesunya ekonomi si petani tersebut, belum lagi
pasokan pasar yang dibutuhkan oleh masyarakat berupa sayur mayor dan buah –
buahan akan menjadi tidak terpenuhi, imbasnya harga-harga barang hasil panen
bisa melambung tinggi karena kelangkaan barang hasil panen tersebut, dan ini
tentu berakibat pada kondisi kritis ekonomi – social masyarakat.
Kekeringan, jika ditinjau dari aspek, maka dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Kekeringan Alamiah
14 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Kekeringan alamiah bisa dikelompokan menjadi, sebagai berikut :
1. Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan
dibawah normal dalam satu musim. Kekeringan ini diakibatkan
berkurangnya kuantitas hujan yang terjadi dalam satu musim.
2. Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan ini merupakan turunan dari
kekeringan Meteorogis, tingkat curah hujan yang tidak normal dan
dibawah kondisi maksimal, mengakibatkan berkurangnya pasokan
air di permukaan dan atau di dalam tanah.
3. Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan
air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang
luas. Kekeringan ini merupakan turunan dari kekeringan
hidrologis, kandungan air di dalam tanah yang sangat minimum
mengakibatkan tanah menjadi tidak subur, dan hal jelas akan
mengakibatkan tanaman-tanaman yang ada menjadi tidak subur
karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan
untuk tumbuh kembang tanaman tersebut.
4. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana
pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat
kekeringan meteorology, hidrologi, dan pertanian. Kekeringan-
kekeringan yang telah disebutkan di atas, akan memberikan
dampak pada kekeringan social-ekonomi, karena segala kebutuhan
bersumber pada ketersediaan air, maka sudah menjadi hukum
15 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
alam apabila sumber utama itu tidak terpenuhi, maka segala hal
yang menjadi sumber sumber penunjang bagi kehidupan social
sudah pasti tidak juga akan terpenuhi.
b. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan yang disebabkan karena ketidak-patuhan pada aturan. Terjadi
karena :
1. Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat
ketidak-petuhan pengguna terhadap pola tanam atau pola penggunaan
air.
2. Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat
perbuatan manusia.
Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa dari data historis, kekeringan
di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO ( El-Nino Southern
Oscilation). Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim
hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola :
1. Akhir musim kemarau mundur dari normal
2. Awal masuk musim hujan mundur dari normal
3. Curah hujan musim kemarau turun tajam dibandingkan normal
4. Deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia
bagian timur.
16 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Kekeringan memberikan dampak negatif pada kesehatan manusia,
tumbuhan serta hewan. Kekeringan bisa menyebabkan pepohonan menjadi mati
dan tanah menjadi gundul dan tandus kemudian pada musim hujan menjadi
mudah tererosi dan banjir. Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan
bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati,
petani kehilangan mata pencarian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga
berdampak terjadinya urbanisasi. Kekeringan merupakan merupakan bencana
yang menimbulkan bencana-bencana baru selanjutnya, seperti kekurangan bahan
makanan penunjang makanan pokok seperti sayur-mayur yang gagal dipanen,
kekurangan air juga mengakibatkan hewan menjadi mati dan akhirnya kehidupan
manusia pun akan terancam oleh bencana kekeringan.
C. Gejala Terjadinya Kekeringan
Seperti halnya sebuah bencana, kekringan pun memiliki gejala-gejala
sebelum kekeringan itu terjadi, gejala-gejala tersebut terkait pada jenis
kekeringan itu sendiri, berikut ini gejala-gejala terjadinya kekeringan :
1. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan
dibawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan
Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya bencana
kekeringan. Kondisi hujan yang tidak stabil dan dibawah minimum
dalam satu musim merupakan gejala awal dari terjadinya bencana
kekeringan.
2. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan
air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan
elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan
17 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan akan
tetapi pasokan air tanah ( mata air ) dan air permukaan yang
cenderung berkurang kuantitasnya merupakan salah satu gejala
terjadinya bencana kekeringan.
3. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas
tanah ( kandungan air di dalam tanah ) sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu
pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering
dan mongering.
D. Penyebab Terjadinya Kekeringan dan Upaya Penanggulangannya
Letak geografis diantara dua benua dan dua samudra serta terletak di sekitar
garis katulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan
di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan
bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim
El-Nino Sourhern Oscillation (ENSO). ENSO menyebabkan terjadinya
kekeringan apabila kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Equator bagian tengah
hingga timur menghemat ( El-Nino ). Berdasarkan analisis iklim 30 tahun
terakhir menunjukan bahwa ada kecenderungan terbentuknya pola iklim baru
yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak terjadinya perubahan
iklim terhadap sektor pertanian adalah bergesernya awal musim kemarau yang
menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan.
Factor penyebab kekeringan adalah :
1. Adanya Penyimpangan Iklim
18 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Penyimpangan iklim, menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian
Indonesia bervariasi dari kondisi sangat tinggi ke rendah atau sebaliknya. Ini
semua menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Jumlah
uap air dan awan yang rendah akan berpengaruh terhadap curah hujan, apabila
curah hujan dan intensitas hujan rendah akan menyebabkan kekeringan.
2. Adanya Gangguan Keseimbangan Hidrologis
Kekeringan juga dipengaruhi oleh adanya gangguan hidrologis seperti :
terjadinya degradari Daerah Aliran Sungai ( DAS ) terutama bagian hulu
mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang
menyebabkan terganggunya sistem peresapan air tanah. Kerusakan hidrologis
daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi
sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam, rendahnya cadangan air
waduk yang disimpan pada musim penghujan akibat pendangkalan menyebabkan
cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga memicu terjadinya
kekeringan.
3. Kekeringan Agronomis
Kekeringan agronomis, terjadi sebagai akibat kebiasaan petani memaksakan
menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang tidak
mencukupi.
19 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Wilayah yang biasa mengalami kekeringan umunya terjadi di wilayah-
wilayah sebagai berikut :
1) Areal pertanian tadah hujan
2) Daerah irigasi golongan 3
3) Daerah gadu liar; dan
4) Daerah endemic kekeringan
Dampak terjadinya kekeringan antara lain :
1) Produksi tanaman turun/rendah/puso bahkan menyebabkan tanaman mati
sehingga merugikan petani;
2) Karena produksi rendah secara riil mengalami kerugian material maupun
finansial yang besar dan bila terjadi secara luas, akan mengancam
ketahanan pangan nasional;
3) Menyebabkan terganggunya hidrologis lingkungan yang berakibat
terjadinya kekurangan air pada musim kemarau.
Pengelolaan wilayah kekeringan secara umum dibagi menjadi tiga kategori
yaitu :
1) Wilayah yang sawahnya mengalami kekeringan pada lokasi yang
sama, daerah tersebut umunya terjadi dibagian hilir daerah irigasi,
daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai
20 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
( tidak terdapat waduk ) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat
sumber air alternatif ( air buangan, air tanah dangkal );
2) Wilayah yang areal sawahnya mengalami kekeringan lebih besar atau
sama dengan areal yang aman kekeringan, daerah tersebut bisa terjadi
dibagian tengah / hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber
irigasnya hanya mengandalkan debit sungai ( tidak terdapat waduk )
serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk iridasi;
dan
3) Wilayah dimana areal sawahnya mengalami rawan kekeringan lebih
kecil dari areal yang aman, daerah tersebut umumnya masih terdapat
sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang.
Kekeringan perlu dikelola dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut :
1) Terus meningkatkan luas sawah yang terkena kekeringan sehingga
berdampak pada penurunan produksi sampai gagal panen;
2) Terjadinya kekeringan pada tahun yang sama saat terjadinya anomali
iklim maupun kondisi iklim normal;
3) Periode ulang anomali iklim cenderung acak sehingga sulit untuk
dilakukan adaptasi;
4) Kekeringan berulang pada tahun yang sama dilokasi yang sama;
5) Dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah;
21 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
6) Kekeringan hanya dapat diturunkan besarnya dan tidak dapat
dihilangkan. Dengan pertimbangan tersebut sehingga diperlukan
pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.
BAB III
SOLUSI
A. Upaya – Upaya
Untuk mangatasi kekeringan dapat dilakukan dengan cara :
1) Gerakan masyarakat melalui penyuluhan;
2) Membangun / rehabilitasi / pemeliharaan jaringan irigasi;
3) Membangun / rehabilitasi / pemeliharaan konservasi lahan dan air;
4) Memberikan bantuan secara produksi ( benih dan pupuk, pompa
spesifikasi lokasi )
5) Mengembangkan budidaya hemat air dan input ( menggunakan metode
SRI/PTT ).
22 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Selanjutnya untuk mengatasi penyebab klimaatologis perlu malakukan;
1) Penyebaran informasi prakiraan iklim lebih akurat;
2) Membuat kalender tanam
3) Menerapkan dan memperhatikan peta rawan kekeringan yang dihasilkan
Badan Litbang Pertanian melalui data interpretasi.
B. Program Proiritas dan Rencana Aksi Strategi
Untuk menyikapi berbagai permasalahan, tantangan dan peluang
sebagaimana tersebut di atas, dibutuhkan strategi yang tepat sehingga kebijakan
dan program yang dilaksanakan menjadi lebih teratur dan terarah. Terdapat 7
( tujuh ) strategi penanggulangan bencana kekeringan, yaitu :
1) Penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan terkait bencana
kekeringan,
2) Optimalisasi tata guna lahan spesifik wilayah dan berbasis resiko
bencana,
3) Pemanfaatan teknologi terbaru yang efektif dan efisien untuk mengelola
segala sumber air,
4) Mengalokasikan anggaran yang lebih rasional untuk setiap tahapan
penyelenggaraan penanggulangan bencana mulai dari pencegahan,
mitigasi, kesiap-siapan, tanggap darurat hingga pemulihan,
5) Mengembangkan kapasitas dan taa kelola kelembagaan penanggulangan
bencana,
6) Pemanfaatan kearifan local dalam pengelolaan sumber daya air dan
23 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
7) Peningkatan partisipasi dunia usaha.
C. Strategi Mitigasi Upaya Pengurangan Bencana
1. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem pengiriman
data iklim dari daerah ke pusat pengolahan data.
2. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air
dengan memperhatikan historical right dan azas keadilan.
3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
4. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan / perbaikan jaringan
pengamatan iklim pada daaerah-daerah rawan kekeringan.
5. Pengembangan atau perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-
daerah rawan kekeringan.
6. Memberikan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang
melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan hutan
atau lahan.
D. Program Prioritas
a. Nasional
1) Untuk jangka panjang dilakukan kegiatan utama meliputi :
a) Pembangunan bangunan pengelola air, dan
b) Penataan lahan pada kawasan mulut akuifer.
2) Untuk jangka menengah dilakukan kegiatan utama meliputi :
a) Pengamana dan konservasi kawasan hulu dan DAS, dan
24 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
b) Perlindungan bagi petani melalui Asuransi Pertanian
3) Untuk jangka pendek dilakukan kegiatan utama meliputi :
a) Sinkronisasi regulasi penanggulangan bencana
b) Penegakan aturan tata ruang
c) Peringatan dini
d) Tanggap darurat, dan
e) Pemulihan.
b. Provinsi
1) Untuk jangka panjang dilakukan kegiatan utama yaitu Penataan lahan
pada kawasan mulut akuifer
2) Untuk jangka menengah dilakukan kegiatan utama meliputi :
a) Optimalisasi pemanfaatan air permukaan dan bawah tanah, dan
b) Penelitian tentang sumber dan cadangan air.
3) Untuk jangka pendek dilakukan kegiatan utama meliputi :
a) Sinkronisasi regulasi penanggulangan bencana
b) Penegakan aturan tata ruang
c) Peringatan dini
d) Tanggap darurat, dan
e) Pemulihan.
c. Kabupaten / kota
1) Untuk jangka panjang dilakukan kegiatan utama yaitu Penataan lahan
pada kawasan mulut akuifer
2) Untuk jangka menengah dilakukan kegiatan utama meliputi :
25 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
a) Optimalisasi pemanfaatan air permukaan dan bawah tanah,
dan
b) Penelitian tentang sumber dan cadangan air.
3) Untuk jangka pendek dilakukan kegiatan utama meliputi :
a) Sinkronisasi regulasi penanggulangan bencana
b) Penegakan aturan tata ruang
c) Peringatan dini
d) Tanggap darurat, dan
e) Pemulihan.
E. Moniroring dan Penilaian
Monitoring ( pemantauan ) dan penilaian ( evaluasi ) bertujuan untuk
menendalikan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan agar sesuai
dengan rencana yang telah disusun. Pengendalian pelaksanaan rencana
pembangunan dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran
pembangunan. Pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan mengacu pada
perangkat hukum berikut :
1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan,
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
26 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman dan / atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
6) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara
PPN/Kepala Bappenas No. Kep-102/Mk.2/2002 dan No. Kep.
292/M.Ppn/09/2002 tentang Sistem Pemantauan dan Pelaporan
Pelaksanaan Proyek Pembangunan.
7) Peraturan pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan bencana.
F. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan atau monitoring merupakan upaya sistematis yang bersifat
periodic atau terus menerus ( berkesinambungan ) untuk mengetahui sedini
mungkin apakah pelaksanaan Renas PB sesuai atau menyimpang dari rencana
semula dengan memanfaatkan sekumpulan indicator terpilih. Pemantauan atau
monitoring bermanfaan untuk mengenali masalah program yang sedang
dilaksanakan dengan sedini mungkin, sehingga dapat diambil tindakan korektif
27 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
secara cepat dan tepat. Pemantauan atau monitoring diharapkan dapat menjawab
dua pertanyaan penting yaitu :
1) Apakah program telah mencapai target yang diinginkan?
2) Apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang direncanakan?
Pemantauan dilakukan terhadap perkembangan realisasi penyerapan dana,
relisasi pencapaian target pengeluaran ( output ) dan kendala yang dihadapi.
Selain untuk menemukan dan menyelesaikan kendala yang dihadapi, kegiatan ini
juga berguna untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan Renas PB
serta mendorong tranpirasi dan akuntabilitas dalam pelaksanakan kegiatan-
kegiatan pengurangan resiko bencana.pelaksanaan pemantauan ( dan juga
evaluasi ) dilaksanakan dengan memperhatikan asa efisiensi, yakni derajat
hubungan antara barang/ jasa yang dihasilkan melalui suatu program/kegiatan
dan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan barang/jasa tersebut yang
diukur dengan biaya per unit keluaran (output); efektivitas, yakni tingkat
seberapa jauh program/kegiatan mencapai hasil dan manfaat yang diharapkan;
dan kemanfaatan, yaitu kondisi yang diharapkan akan dicapai bila keluaran
(output) dapat diselesaikan tepat waktu, tepat lokasi dan tepat sasaran serta
berfungsi dengan optimal. Selain ketiga asas tersebut, pelaksanaan pemantauan
sebaiknya juga menilai aspek konsistensi, koordinasi, konsultasi, kapasitas dan
keberlanjutan dari pelaksanaan suatu rencana program/kegiatan. Pemantauan
pelaksanaan Renas PB dilaksanakan oleh Pimpinan Kementerian/Lembaga sesuai
dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Kegiatan pemantauan juga dapat
melibatkan masyarakat, akademisi, LSM, dan kelompok professional.
28 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
Keterlibatan aktif unsur luar dapat diakomodasi dalam bentuk kelompok kerja
yang koordinasikan oleh pemerintah. Pemantauan dapat dilaksanakan antara lain
melalui kunjungan kerja ke program-program dan kegiatan pengurangan resiko
bencana, rapat kerja atau pertemuan dengan pelaksana kegiatan untuk
mengidentifikasi hambatan-hambatan dan kendala yang ditemui, dan pengecekan
laporan pelaksanaan kegiatan pengurangan resiko yang dikaji berdasarkan
rencana kerja yang tercantum dalam Renas PB. Laporan hasil pemantauan
disusun setiap enam bulan sekali (semester).
Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana mengamanatkan agar “Rencana
penanggulangan bencana.. ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau
sewaktu-waktu apabila terjadi bencana”. Evaluasi berkala ini bertujuan untuk
menilai hasil yang dicapai melalui pelaksanaan program dan kegiatan
pengurangan resiko bencana serta efektivitas dan efisiensi program dan kegiatan
tersebut. Selain dinilai berdasarkan efektifitas dan efisiensinya, kinerja program
pengurangan resiko bencana yang tercantum dalam Renas PB diukur juga
berdasarkan kemanfaatan serta keberlanjutannya.
Evaluasi pelaksanaan Renas PB dilaksanakan terhadap keluaran kegiatan
yang dapat berupa barang atau jasa dan terhadap hasil (outcome) program yang
dapat berupa dampak atau manfaat bagi masyarakat dan/atau pemerintah. Pada
hakikatnya evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi
masukan (input), keluaran (output) dan hasil (outcome) terhadap rencana dan
standar. Evaluasi dilakukan berdasarkan sumber daya yang digunakan serta
29 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
indicator dan sasaran kinerja keluaran untuk kegiatan dan/atau indicator dan
sasaran kinerja hasil untuk program. Kegiatan ini dilaksanakan secara sistematis,
menyeluruh, objektif dan transparan. Hasil evaluasi menjadi bahan bagi
penyusunan rencana program berikutnya.
Selain berguna untuk memperbaiki pengelolaan program di masa yang akan
datang, evaluasi juga menjamin adanya akuntabilitas dan membantu
meningkatkan efisiensi serta efektifitas pengalokasian sumber daya dan anggaran.
Disamping membandingkan antara target dan pencapaian indicator kinerja yang
telah ditetapkan dalam Renas PB, evaluasi juga dapat dilakukan dengan mengkaji
dampak yang ditimbulkan melalui pelaksanaan Renas PB. Kedua cara ini dapat
saling mendukung dalam memberikan informasi yang bermanfaat untuk
kepentingan perencanaan dan pengendalian pelaksanaan Renas PB. Seperti
pemantauan, evaluasi pelaksanaan Renas PB juga dilaksanakan oleh pimpinan
kementerian/lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
Evaluasi dapat melibatkan pihak luar, tetapi tetap di bawah koordinasi instansi
pemerintah terkait. Laporan hasil evaluasi disusun setiap satu tahun sekali.
Pelaporan
Pelaksanaan program dan kegiatan-kegiatan pengurangan resiko bencana
harus dilaporkan dalam sebuah lapuran tertulis. Laporan disusun setiap tahun dan
satu salinan dari laporan ini dikirim kepada BNPB untuk disatukan dengan
laporan tahunan tingkat nasional. Harapannya adalah agar semua laporan
mengenai penanggulangan bencana di Indonesia dapat terdokumentasi dengan
30 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
baik dan secara resmi dikeluarkan oleh BNPB. Pada akhir tahun kedua dan
keempat pelaksanaan Renas PB, BNPB akan mengkoordinasikan sebuah
peninjauan atau evaluasi tengah program yang melibatkan Kementerian/Lembaga
dan pihak terkait lainnya. Pada akhirnya tahun kelima akan diadakan sebuah
laporan akhir yang selain berisi laporan kegiatan dan pencapaiannya, juga berisi
kajian atas keberhasilan/kegagalan dari semua program dan kegiatan
pengurangan resiko yang telah dilaksanakan selama kurun waktu Renas PB.
Laporan juga akan berisi rekomendasi tindak lanjut bagi instansi/lembaga tertentu
jika diperlukan.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
a. Simpulan
Secara hakiki kekeringan tidak memiliki definisi universal karena standar
tingkat kekeringan yang berbeda-beda dari setiap bidang ilmu. Akan tetapi secara
umum kekeringan adalah periode masa kering yang lebih lama dari kondisi
normal dan menyebabkan ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air.
Bencana kekeringan di Indonesia, sangat sering terjadi dan tersebar di seluruh
negeri ini. Kejadian bencana kekeringan sangat merugikan bukan saja secara
31 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
fisik, ekonomi, namun juga merugikan secara social psykologis penduduk
terpapar yang tidak dapat dinilai secara finansial. Oleh karena hal tersebut, sangat
perlu dibuatkan master plan kawasan-kawasan yang berpotensi bencana
kekeringan, dalam bentuk pengelompokan wilayah prioritas. Prioritas bencana
kekeringan dibuat berdasarkan analisis matrik tingkat resiko dan kecenderungan
resiko. Sedangkan tingkat resiko diperoleh dari tingkat keterpaparan dan tingkat
kapasitas. Dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia diproleh 10 Propinsi yang
prioritas untuk ditanggulangi bencana kekeringannya secara berurutan sesuai
dengan sekala prioritas yakni : Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Lampung, Jambi, dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
b. Saran
Kajian prioritas resiko kekeringan setiap provinsi yang telah dilakukan hanya
berdasarkan factor klimatologi, sehinggga disarankan untuk mengkaji resiko
kekeringan juga diakibatkan factor lain seperti kemiringan lereng, keberadaan air
irigasi, air tanah dan lain sebagainya.
Referensi
-----Sutarja, I.N., Norken, I.N., Dibia, I.N., Prama, I.K. (2003) Kajian Akademis
Master Plan Resiko Bencana Kekeringan. Prosiding Seminar Nasional Riset
Kebencanaan, (Mataran, 8-10 Oktober 2013). Pusat Studi Bencana, Universitas
Udayana, Jln. PB. Sudirman Denpasar.
-----Bappenas (2003) Pedoman Teknis Kekeringan. Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional, Jakarta.
32 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
-----Bordi, I.,S. Frigio, P. Parenti, A. Speranza, and A. Sutera. (2001) The
Analysis Of The Standardized Precipication Index In The Mediterranean Area :
Large-scale Petterns. Annali Di Geofisica 44: 965 – 978.
-----As-syakur A.R., I.W.S. Adnyana, M.S. Mahendra, I.W. Arthana, I.N. Merit,
I.W. Kasa, N.W. Ekayanti, I.W. Nuarsa and I.N. Sunarta. (2013) Obsevations of
spatial relationships of rainfall response to ENSO and IOD over Indonesia using
remote sensing data. Internasional Journal of Climatology ( In review )
-----Delbanco SF, Parker ML, McIntosh M, Kannel S, Hoff T, Stewart FH.
(1998) Missed Opportunities : teenagers and Emergency Contraception.
Archives of Pediatricd and Adolescent Medicine 152 : 727 – 733
-----Dracup, J.A. (1991) Drought monitoring. Stochastic Hydrology and
Hydraulics 5: 261 – 266.
-----Field, R.D., G.R. van der Werf, and S.S.P. Shen, (2009) Human
Amplification of drought-induced biomass burning in Indonesia since 1960.
Nature Geosci., 2, 185-188, doi : 10.1038/NGEO443.
-----Ghulam, A., Z-L. Li, Q. Qin, and Q. Tong.(2007) Exploration of the spectral
spece based on vegetation index and albedo for surface drought estimation.
Journal of Applied Remote Sensing 1 : 1 – 12.
-----Boken, V.K. (2005) Agricultural Drought and Its Monitoring and
Prediction: Some Contepts. In Monitoring and Predicting Agricultural Drought :
A Global Study. Vijendra K. Boken, Arthur P. Cracknell, and Ronald L.
Heathcote ( ED ). :
Sponsored by the World Meteorological Organization. Oxford University Press,
New York-USA.
-----Henny, P.A., (2011) Kondisi dan Konsep Penanggulangan Bencana
Kekeringan di Jawa Tengah, Seminar Nasional Mitigasi dan Ketahanan Bencana
26 Juli 2011, UNISSULA Semarang ISBN 978-602-8420-85-3
-----Irawan, B. (2003) Multilevel impact assessment and coping strategies
against El Nino: case of food crops in Indonesia. CGPRT Centre Working Paper
33 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
No. 75, Regional Coordination Centre for Research and Development of Coarse
Grains, Pulses, Roots and Tuber Crops in the Humid Tropics of Asia and the
Pacific : United Nations, 105 pp.
-----Kogan, F.N. (1997) Global Drought Watch from Space. Bulletin of the
American Meteorological Society 78.621-636.
-----D’Arrigoa R, Wilson R. (2008) El Nino and Indian Ocean influences on
Indonesia drought : implication for forecasting rainfall and crop productivity.
Internasional Journal of Climatology 28 : 611-616.
-----McKee, T.B., N.J. Doesken, and J. Kleist. (1995) The relationship of drought
frequency and duration to time scale. Preprints, 8th Conference on Applied
Climattology, 17-22 January, Anaheim, CA, pp. 179-184. Eighth Conference on
Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California.
-----McKee, T.B., N.J. Doesken, and J. Kleist. ( 1995). Drought monitoring with
multiple time scales. Proceeding of the 9th conference of applied climatology,
American Meteorological Society. 233-236. 9th AMS Conference on Applied
Climatology, 15-20 January 1995, Dallas, Texas.
-----Mo, K.C. (2008) Model-Based Drought Indices over the united States.
Journal of Hydrometeorology 9, 1212-1230.
-----Nagarajan, R.(2009) Drought assessment. Springer, Drordrecht-Netherlands.
-----Syamsul M., (2011) Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Dalam Mengatasi
Resiko Bencana Kekeringan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 13(2), 65-73.
-----Wang, A., D. P. Lettenmaier, and J. Sheffield. (2011) Characteristics of
agriculture drought in china during 1950-2006. The 91th American
Meteorological Society Annual Meeting, 23-27 January 2011, Seattle,
Washington-USA.
-----Rahayu, Sri Puji MM/ [email protected] . Modul TOT Penyuluh
Pertanian dalam rangka Peningkatan Kesadaran Petani Terhadap Isu-isu
Perubahan iklim serta Mitigasi dan Adaptasinya. Kerjasama Badan Litbang
Pertanian dengan BMKG, 2011.
34 | B e n c a n a K e k e r i n g a n
-----Peta kekeringan secara lengkap dapat didownload pada website
http://pla.deptan.go.id/rbk/peta/index.html. Peta tersebut tersedia untuk wilayah
Jawa, Nusa Tenggara (NTB dan NTT), Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali,
Maluku dan Papua. Selain sumber di atas data dapat juga diperoleh melalui
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dengan alamat website
http://iklim.bmg.go.id/index.jsp.
35 | B e n c a n a K e k e r i n g a n