belajar dari serat dewaruci: menemukan dan … · karno, kekasihku, sahabat-sahabat. orang-orang...
TRANSCRIPT
BELAJAR DARI SERAT DEWARUCI:
MENEMUKAN DAN MEMAKNAI GURU SEJATI
DALAM TERANG YESUS KRISTUS SANG GURU
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Monica Wahyuningsih
NIM: 051124035
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Allah Sumber Kehidupan, Asal dan Tujuan Segala Sesuatu
(Sangkan Paraning Dumadi)
Yesus Kristus Sang Guru Sejati, Perantara Pada Keselamatan
(Manunggaling Kawula Gusti)
Guru-guru sejatiku
(Bapak dan ibuku, Adik, keluarga bapak Agustinus Karno, Kekasih dan Sahabat)
v
MOTTO
Jika kita mencari Allah dalam segala hal, Kita akan mendadak terhenyak
menyadari Allah ternyata ada di samping kita
(St. Petrus Claver, SJ)
Aku adalah apa yang aku pikirkan
jadi jika aku berfikir BISA maka aku akan BISA
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Mei 2009
Penulis
Monica Wahyuningsih
vii
viii
ABSTRAK
Konstitusi GS membawa suatu visi baru terhadap dunia dan manusia. Terdapat sebuah penghargaan terhadap nilai-nilai yang terdapat di luar Gereja. dalam art 42 dijelaskan bahwa Gereja tidak terikat pada suatu budaya tertentu atau sistem politik, ekonomi, sosial manapun. Berdasarkan sifatnya yang universal, Gereja dapat menjadi tali pengikat antara berbagai masyarakat dan bangsa manusia, asal mereka percaya kepada Gereja. Dalam art 58 mengatakan bahwa Gereja telah memanfaatkan sumber-sumber kebudayaan untuk menyebarluaskan pewartaan Kristus kepada semua bangsa. Kekayaan budaya yang digali untuk pewartaan kabar gembira selain memberikan pengakuan otonomi budaya setempat juga membuka ruang untuk berdialog antar budaya dan nilai-nilai yang diwartakan oleh Gereja.
Skripsi ini menjadi usaha untuk memanfaatkan ruang dialog antar budaya yang dijelaskan dalam konstitusi GS. Skripsi ini mempertemukan budaya Jawa dengan kabar gembira yang dibawa oleh Yesus Kristus. Usaha tersebut ditempuh dengan merefleksikan dan menemukan makna Guru Sejati dalam serat Dewaruci yang merupakan kekayaan budaya Jawa. Serat Dewaruci mempunyai gambaran relasi guru dan murid serta ajaran-ajaran yang mengandung kedalaman refleksi dan makna.
Refleksi religius budaya Jawa dalam kisah Dewaruci akan dipertemukan dengan ajaran dan relasi guru dan murid dari Yesus Sang Guru. Yesus Sang Guru diperkenalkan dan diuraikan kisah-kisah hidupNya beserta ajaran-ajaranNya yang merupakan tokoh utama dalam pewartaan Injil. Ia disebut sebagai Guru Sejati.
Kedua kisah yang berbeda akar budaya ini dipertemukan dalam satu titik yaitu Guru Sejati yang membawa pada keselamatan sejati. Dalam serat Dewaruci, keselamatan disimbolkan dengan Tirtapawitra (air hidup) hanya akan dirasakan dan didapat oleh manusia yang mawas diri, mengenal dirinya sedalam-dalamnya dan semurni-murninya. Dengan mengenal diri, ia akan menjadi suci dan hal inilah yang menghantarkan pada Sang Ilahi. Sementara dalam ajaran Yesus, Ia juga mengajarkan pada murid-muridNya untuk mawas diri agar sampai pada keselamatan. Namun selain mawas diri, para murid harus bersatu dengan Yesus Kristus dengan meneladan cara hidup dan mengikuti ajaranNya. Kedua Guru dari dua kisah yang memiliki kekhasannya masing-masing mempunyai kesamaan ajaran tentang keselamatan dan kesatuan dengan Ilahi yang dimulai dengan mengenal diri semurni-murninya.
ix
ABSTRACT
The Constitution of Gaudium et Spes brings a new vision to the world and human beings. There is an appreciation for the values, which are precent outside of the church. The article of 24 of the document explains that the church is not bound to any certain cultural, political, economical, or social system. Based on her universal nature, the church could be are unifier for various nations and people, as long as they believe in her. In the article of 58, it says that the church had used sources of culture to spread the Gospel of Christ to all nations. The richness of the culture, beside of giving confession on the autonomy of the local culture, but also opens space for dialog of the culture and values spread by the Church.
This thesis becomes and effort to use the space for cultural dialog, which is explained in the constitution of Gaudium et Spes. This thesis brings the Javanese culture into the contact with the Gospel brought by Jesus Christ. This effort is done by reflecting and finding the meaning of true Teacher in the Serat Dewaruci as one of the Javanese culture. Serat Dewaruci has a picture of Teacher and student’s relationship and its teaching contains deep reflections and values.
Religious reflection on Javanese culture found in the story of Dewaruci will be brought into the contact with the Jesus’ teaching and teacher-student’s relationship. Jesus, the Teacher,is introduced and explained his life stories, His Teachings as well, who is a central figure in spreading the Gospel. He is called the True Teacher.
These two stories that have different cultural background are brought into the contact with a single point, the True Teacher who brings human beings to the true salvation. In the story of Serat Dewaruci, the salvatior is symbolized by Tirtapawitra (living water), which could be reached by people who are attention, and know their selves as deep and clear as they can. By knowing self, he or she will be holy and it will bring him or her to The Divine. While in Jesus’ teaching, He also thought his disciples to be attention so that they could reach the salvation. Beside of being attention, the discaples have to unite themselves with Jesus Christ by following Jesus’ lifestyle and teaching. The two unique teachers of these different stories have the same teaching on salvation and unity with The Divine, starting knowing self clearly.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah yang penuh kasih atas segala kasih karuniaNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul
“BELAJAR DARI SERAT DEWARUCI: MENEMUKAN DAN MEMAKNAI
GURU SEJATI DALAM TERANG YESUS KRISTUS SANG GURU” disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana SI pada Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Bersama rasa syukur itu, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Rm. Dr.J.Darminta, SJ yang telah menyisihkan sebagian besar waktu,
tenaga dan hati yang sangat berharga untuk membimbing penulis skripsi
ini.
2. Rm. Dr.CB.Putranta, SJ yang telah memberikan inspirasi penulisan skripsi
ini dan membimbing penulis selama belajar di kampus ini.
3. Bp.FX.Dapiyanta, SFK, MPd. yang telah berkenan membaca dan
memberikan masukan guna semakin menyempurnakan skripsi ini.
4. Rm. Albertus Mardi Santosa, SJ, rm. CB. Mulyatno, Pr, rm. Yohanes
Riyanto, Pr, sr. Inez, FCJ, keluarga Andreas Tumijan, keluarga Agustinus
Karno, kekasihku, sahabat-sahabat. Orang-orang yang sangat luar biasa
dan selalu memberikan dukungan dan cintanya sehingga penulis selalu
mampu merasakan kasih Kristus Sang Guru Sejati yang tidak pernah
berkesudahan.
xi
5. Teman-teman angkatan 2005 yang memberikan dukungan dengan caranya
masing-masing.
Penulis menyadari kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu, atas segala
masukna demi perbaikan karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih.
Akhirnya, semoga sebagai pewarta banyak katekis menyelenggarakan
pewartaan dengan menggunakan nilai-nilai budaya setempat dan tidak pernah
melupakan bahwa umat telah terbentuk oleh budaya masing-masing yang telah
lama dihidupi dan diyakini. Terpujilah Bapa dan Yesus Kristus Sang Guru Sejati
yang bersama dengan Roh Kudus hidup dalam hati semua orang beriman.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..…………….................. ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………..…...................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………...….. iv
MOTTO ………………………………………………...……………........ v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………….... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………...… vii
ABSTRAK ……………………………………………………………….. viii
ABSTRACT …………………………………………………………........ ix
KATA PENGANTAR …………………………………………………... x
DAFTAR ISI …………………………………………………..……....... xv
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………...… xvi
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………….................... 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………......... 6
C. Tujuan Penulisan .…………………………………………….. 7
D. Manfaat Penulisan ....……………………………………......... 7
E. Metode Penulisan …………………………...…………........... 8
F. Sistematika Penulisan ……………………………………....... 8
BAB II. POKOK-POKOK PENGERTIAN TENTANG GURU .......... 9
A. Makna, Pelayanan dan Syarat Menjadi Guru Dalam Sejarah.....................................................................................
9
1. Zaman Purba........................................................................ 9
xiii
2. Tradisi India......................................................................... 10
3. Tradisi Hindu........................................................................ 11
4. Tradisi Budha........................................................................ 12
5. Tradisi Islam.......................................................................... 13
6. Tradisi Jawa.......................................................................... 14
B. Tradisi Kristiani Timur Bapa Rohani: Seorang Guru Hidup..... 15
1. Asal mula Munculnya Bapa Rohani......................................... 15
2. Sikap Seorang Murid............................................................... 16
a. Sang Murid Sebagai Orang Yang Bertanya....................... 16
b. Menyatakan Pikiran-Pikirannya Dengan Terbuka............. 17
3. Karunia, Kemampuan, dan Sikap Bapa Rohani....................... 17
a. Pembedaan Roh Atau Wiweka........................................... 18
b. Kesabaran............................................................................. 18
c. Belaskasihan......................................................................... 19
d. Karunia Kata-kata Hikmat.................................................... 20
e. Teladan (Kesatuan Kata dan Karya)..................................... 20
f. Sabda Allah dan Kata-kata Bapa Rohani.............................. 20
g. Cinta Kasih........................................................................... 21
BAB III GURU SEJATI DALAM SERAT DEWARUCI....................... 22
A. Serat Dewaruci............................................................................... 22
1. Pengarang dan Latar Belakang Serat Dewaruci...................... 22
2. Isi Buku................................................................................. 24
3. Kisah Dewaruci........................................................................ 25
xiv
a. Bima Berguru Kepada Druna............................................... 25
b. Bima di Gunung Candramuka.............................................. 26
c. Bima Diutus Druna ke Dasar Samudera dan Bertarung
Dengan Naga Nemburnawa.................................................
27
d. Bima Bertemu Dengan Dewaruci........................................ 29
4. Tafsir Serat Dewaruci............................................................... 31
a. Bima Berguru Kepada Druna............................................... 33
b. Bima Bertarung Melawan Rukmamuka dan Rukmakala..... 34
c. Bima Pergi ke Telenging Samudera (Pusat Samudera)........ 35
d. Bima Diserang Naga Nemburnawa...................................... 36
e. Bima Mendapat Wejangan Dari Dewaruci........................... 37
B. Guru Sejati..................................................................................... 40
1. Tokoh Bima........................................................................... 40
2. Tokoh Druna.... ..................................................................... 42
3. Tokoh Dewaruci....................................................................... 43
C. Berguru Berarti Belajar “Ngelmu” dari Sang Guru....................... 45
D. Makna Keselamatan dan Usaha Mencapainya............................ 46
BAB IV YESUS GURU SEJATI........................................................... 50
A. Kuasa Yesus Sebagai Guru............................................................ 51
1.Yesus Mewujudkan Kebenaran Dalam DiriNya......................... 52
2.Hasrat Untuk Menolong.............................................................. 53
3.Yesus Yakin Akan Manfaat Dari PengajaranNya...................... 55
4. Paham Akan Firman Allah......................................................... 55
xv
5.Yesus Memahami Sifat Manusia................................................ 56
6.Cakap mengajar....................................................................... 57
B. Yesus Mengajar dengan Jelas dan Khas....................................... 58
C. Prinsip-Prinsip Dalam Mengajar................................................... 60
D Makna Keselamatan dan Usaha Mencapainya............................ 63
BAB V DIALOG ANTARA DUA GAMBARAN................................... 66
A. Ajaran Kedua Guru Dalam Memaknai Kematian, Keselamatan
dan Hidup Kekal............................................................
66
B. Persamaan..................................................................................... 70
1. Makna Keselamatan dan Manunggaling Kawula Gusti.......... 70
2. Menghantar Pada Keselamatan................................................ 73
3. Relasi Guru dan Murid............................................................ 76
4. Gambaran Pribadi-Pribadi Yang Sempurna............................. 79
C Titik Temu.................................................................................... 80
BAB VI. PENUTUP.................................................................................... 83
A. Kesimpulan .…………………………………………………....... 83
B. Saran .............................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 89
Lampiran Serat Dewaruci Karangan Yasadipura I
xvi
DAFTAR SINGKATAN
Art : Artikel
Gal : Galatia
GS : Gaudium et Spes
Kej : Kejadian
LG : Lumen Gentim
St : Santo
VCD : Video Compact Disk
Yoh : Yohanes
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perayaan Natal tahun 2005 di Gereja Santo Ignatius Danan, terdapat sebuah
drama yang terbungkus dengan nilai-nilai budaya Jawa dengan penampilannya
yang diwarnai dengan tari Jawa, dialog bahasa Jawa dan pakaian adat Jawa. Nilai
budaya yang digunakan tersebut dipersembahkan untuk menyambut Sang Pembawa
Damai dan membawa pada sebuah kesadaran tentang makna kehadiran Kristus di
tengah konteks budaya. Tokoh Buto dengan topeng yang menyeramkan dengan
bahasa tubuh gagah berani dan angkuh menjadi peran yang harus dipelajari. Tokoh
tersebut menggambarkan pribadi yang memandang dirinya paling kuat sehingga
apapun yang ia inginkan harus didapatkan walaupun hal tersebut telah menjadi
milik orang lain. Kehadiran bayi Kristus yang dibawa oleh ibu berpakaian Jawa
membawa Buto yang angkuh pada sebuah kesadaran akan dirinya dan
kehidupannya selama ini. Kehidupan yang penuh ambisi dan keangkuhan sehingga
tidak bisa melihat kehadiran Allah dalam diri orang lain sehingga apapun akan
dilakukan untuk mendapatkan apa yang diambisikannya, termasuk menghancurkan
semua orang yang menghalanginya.
Pengalaman tersebut membawa pada kesadaran bahwa Gereja perlu hadir di
tengah konteks budaya setempat. Kekayaan budaya setempat dijadikan sarana
untuk menghadirkan Kristus pada umat, sehingga iman umat semakin kuat. Pada
keyataannya, iman akan Kristus di hayati oleh orang-orang tertentu dalam budaya
2
tertentu, dalam pola pikir, dalam pengalaman tertentu pula. Refleksi iman yang
muncul dari pengalaman dan pengolahan secara nyata dalam budaya masing-
masing akan mendapatkan wajah iman tersendiri dan tidak hanya memutar kembali
refleksi iman yang telah ada. Katolik mempunyai arti universal begitu juga
kehadiran Kristuspun bersifat universal. Hal ini mempunyai arti bahwa Kristus
tidaklah datang untuk menyelamatkan bangsa Israel saja namun semua bangsa
adalah murid dan umat yang hendak diselamatkanNya.
Dalam sebuh diskusi muncullah gagasan bahwa refleksi iman perlu
dibarengi dengan dialog budaya. Dalam hal ini adalah budaya Jawa dengan budaya
Alkitab sehingga terjadi komunikasi iman, terjadi pewartaan, terjalin pertemuan.
Iman akan Kristus yang dilandaskan pada nilai-nilai budaya dalam hal ini adalah
budaya Jawa akan memberi sumbangan bagi berakarnya iman kristiani di bumi dan
tanah Jawa. Kita mencoba membiarkan dua budaya yaitu budaya Jawa dan budaya
Alkitab bertemu dan bertumbuh dalam dialog yang kritis dan jujur. Hal ini
dilandaskan pada keyakinan bahwa Allah berkarya dalam sejarah umat manusia
dan keyakinan bahwa Allah yang mewahyukan diri adalah Allah yang berkarya
dalam dunia, juga di kalangan orang-orang Jawa (LG art. 2; 13; 17, GS art. 53-62).
Umat akan sangat terbantu dan dihargai latarbelakang budayanya untuk
menerima Kristus sebagai penyelamat dan guru dalam mencari dan memaknai
hidup tanpa meninggalkan budaya yang telah membentuk kehidupannya dan yang
telah ia hidupi sebelum mengenal Kristus. Seperti halnya tokoh katekese Alexandre
De Rhodes yang sangat menghormati budaya orang Vietnam. Ia sangat hati-hati,
bijak dan rendah hati mengadopsi budaya dalam ketekesenya. De Rhodes tidak
3
membawa budaya Perancis atau Portugis untuk dipakaikan kepada umat di
Vietnam. Dalam pewartaannya, De Rhodes bukan hanya menyesuaikan diri tetapi
juga mencintai dan menghormati budaya setempat sejauh tidak bertentangan
dengan dengan nilai-nilai Injil dan ajaran Yesus Kristus. De Rhodes memakai nilai-
nilai budaya setempat yang positif dan meneguhkannya namun ia juga mengkritik
unsur-unsur yang bersifat takhayul dan bertentangan dengan ajaran Kristen. Ia
berusaha menamai budaya setempat dengan terminologi Kristen sehingga umat
bangga dengan iman dan budaya mereka sendiri.
Aspek yang penting dalam budaya Jawa adalah pemaknaan akan paham
keselamatan. Orang Jawa memandang kesatuan dengan yang Ilahi merupakan
tujuan sekaligus sarana keselamatan bagi manusia. Yang Ilahi digambarkan sebagai
sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan semua ciptaan). Keharmonisan relasi
manusia dengan yang Ilahi ditempatkan dalam suatu laku (proses perjalanan
kehidupan) (Yohanes Riyanto, 2007: 2).
Refleksi atas perjalanan manusia untuk bersatu dengan yang Ilahi ini akan
dilihat dari sisi penemuan dan pemaknaan akan Guru Sejati. Guru yang membawa
sang murid kepada keselamatan. Sebagai orang Kristiani, kita menyebut sebagai
pengikut atau murid Kristus. Kristus Sang Guru Sejati itulah yang akan membawa
manusia pada Bapa/Allah yang memiliki keselamatan dan damai sejati.
Pemahaman dan yang kita jalani saat ini adalah untuk bisa bersatu dengan yang
Ilahi, berarti harus menjadi pengikutNya. Dalam ajaran Kristiani, kita harus
memahami bahwa sang Ilahi atau Allahlah yang mempunyai inisiatif agar kita
mengikuti atau menjadi muridNya. Yesus Sang Putera diutus ke dunia untuk
4
memanggil manusia sehingga percaya, mengikutiNya dan mendapatkan
keselamatan.
Sebagai seorang Guru, Yesus sempurna dari segi Ilahi maupun insani. Ia
“datang sebagai guru yang diutus Allah” (Yoh 3:2). Yesus adalah Guru yang
memiliki kepribadian dengan selalu memberi teladan tidak hanya dengan kata-kata
karena perbuatan seseorang lebih berpengaruh dari pada perkataannya. Ia selalu
memperhatikan keperluan orang lain dan hasrat untuk menolong orang lain. Yesus
selalu melihat bahwa relasiNya dengan para murid menjadi sarana untuk membina
cita-cita, pandangan dan kelakuan murid-muridNya. Syarat lain untuk menjadi guru
adalah pemahaman akan firman Allah, sebab firman Allahlah yang akan menjadi
bahan pengajaran. Yesus sangat paham dengan sifat-sifat para muridNya “Ia tahu
apa yang ada di dalam hati manusia” (Yoh 2:25). Gelar Yesus sebagai guru
mempunyai maksud bahwa Yesus memilki otoritas llahi dan hal ini tepat. Sejak
semula pribadi Yesus telah ditonjolkan dalam Injil dengan tanda anggur dan Bait
Allah. Hal ini memberi gambaran bahwa Allah hadir di tengah-tegah umatNya.
Yang melihat Yesus berarti melihat Bapa. Yesus hanya mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan Bapa. Yang mendengar Yesus mendengar Allah, yang diajari Yesus
diajar Allah. Allah adalah sumber keselamatan hadir dalam diri Yesus. Maka tepat
jika Yesus disebut sebagi Guru.
Melihat Yesus sebagai Guru berarti kita perlu mengetahui bagaimana dan
seperti apa menjadi seorang muridNya. Perlu kita pahami bahwa murid-murid tidak
terbatas pada kedua belas murid tetapi kita, manusia yang percaya dan terus belajar
dariNya untuk mendapat keselamatan dan bersatu dengan Allah. Manusia dari masa
5
ke masa tidak berubah yaitu bercacat. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini,
kodrat manusia pada dasarnya tetap sama. Oleh karena itu kita harus terus mencari
Guru Sejati dan “berguru” kepadaNya.
Pencarian dan pemaknaan Guru Sejati nampak dalam Serat Dewaruci.
Kisah Dewaruci menggambarkan perjalanan Bima untuk mendapatkan
Tirtapawitra, air yang bukan air dalam pengertian harafiah. Bima adalah tokoh
utama dalam serat Dewaruci. Ia seorang ksatria dari keluarga Pandawa yang
mempunyai keyakinan kuat akan mendapatkan air suci (Tirtapawitra). Ia mendapat
petunjuk dari gurunya pendeta Druna untuk mendapatkan air suci tersebut.
Perjalanannya untuk mendapatkan Tirtapawitra sangat berat. Ia harus
meninggalkan keluarga Pandawa yang selalu berduka saat ditinggalkannya karena
begitu sayangnya keluarga Pandawa kepada Bima. Keluarga Pandawa tidak pernah
memberikan ijin kepada Bima untuk mencari Tirtapawitra karena guru Bima yaitu
pendeta Druna adalah musuh keluarga Pandawa. Ancaman kematian karena
banyaknya bahaya selalu berjalan bersama dengan Bima. Ia tidak mendengarkan
dan teguran dari keluarga Pandawa mengenai pandangan tentang rencana jahat guru
Druna. Bima menganggap pendapat dan tuntunan sang guru selalu benar. Ia selalu
menghormati dan menjalankan perintah guru tanpa mempunyai dugaan sedikitpun
bahwa perintah guru Druna tersebut akan membahayakannya. Inilah gambaran
dimana dari masa ke masa manusia memang tidak pernah bisa sempurna. Bima
sang kesatria gagah berani dan cerdas tidak bisa bersikap kritis akan perintah
gurunya. Dalam pencarian Tirtapawitra Bima bertemu dengan seorang dewa
”bajang” yang bernama Dewaruci. Dari dialah Bima mendapat pelajaran-pelajaran
6
yang bersifat keagamaan dan kefilsafatan. Bima merasa puas karena telah
mendapatkan cita-citanya, telah menemukan Tirtapawitra yang pada hakekatnya
adalah sesuatu ilmu gaib, ilmu keagamaan dan filsafat. Menyadari bahwa Druna
bukanlah Guru Sejati, Bima membayangkan Dewaruci sebagai orang yang telah
mencapai taraf hidup lahir batin yang tinggi sehingga Bima berguru kepadanya.
Maka Dewaruci digambarkan sebagai manusia yang telah mencapai taraf hidup
lahir batin yang amat tinggi.
Gambaran Guru Sejati dalam serat Dewaruci merupakan titik pijak
pembahasan pada keselamatan sejati. Penemuan dan pemaknaan akan Guru Sejati
dalam serat Dewaruci tetap harus dikomunikasikan dengan ajaran dalam Alkitab
dan ajaran Kristus sendiri sehingga penulis mengambil judul ”BELAJAR DARI
SERAT DEWARUCI: MENEMUKAN DAN MEMAKNAI GURU SEJATI
DALAM TERANG YESUS KRISTUS SANG GURU ”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, permasalahan yang
yang menjadi perhatian penulis adalah:
1. Sejauh mana serat Dewaruci menjadi gambaran untuk menemukan dan
memaknai Guru Sejati yang akan membawa pada keselamatan?
2. Nilai-nilai apa yang dapat diambil dari serat Dewaruci untuk memaknai dan
memahami Yesus sang Guru Sejati?
7
C. Tujuan Penulisan
1. Menjadi usaha untuk menggali dan melestarikan warisan budaya setempat yang
semakin langka. Simbol-simbol budaya yang kaya makna semakin tersingkir di
tengah arus globalisasi. Oleh karena itu penulis ingin mencoba melestarikan
warisan budaya yang mulai tersingkir tersebut.
2. Penggalian kekayaan budaya merupakan salah satu cara untuk mewartakan
Firman secara kontekstual. Pemahaman terhadap kebudayaan menjadi wahana
berdialog dengan umat dan menjadi sarana untuk memaknai hidup yang sedang
mencari Guru Sejati. Umat akan semakin bangga dengan iman dan budayanya.
3. Mendapatkan pengetahuan dan pemahaman baru akan penemuan dan
pemaknaan Guru Sejati bertolak dari budaya yang tertulis dalam serat
Dewaruci.
D. Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman lebih dalam akan Guru
Sejati bercermin dari perjalanan Bima yang dituntun oleh pendeta Druna dalam
mencari Tirtapawitra dan perjumpaannya dengan Dewaruci Sang Guru Sejati
dalam serat Dewaruci. Selain itu memberi gambaran kepada kaum muda akan nilai-
nilai warisan budaya yang tetap relevan untuk dikaji dan dipelajari. Mencoba untuk
memberi inspirasi kepada para katekis muda dan tua untuk tetap menggali nilai-
nilai budaya dan mengadopsinya dalam rangka pewartaan sejauh tidak bertentangan
dengan ajaran Kristus dan Injil.
8
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan
memanfaatkan studi pustaka untuk memperoleh gambaran Guru Sejati bertolak dari
serat Dewaruci dan terang Yesus Sang Guru Sejati.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis ingin memaparkan hal-hal
berikut:
Dalam Bab I yaitu bagian pendahuluan yang meliputi: Latar belakang
penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II penulis akan menguraikan pokok-pokok pengertian umum tentang
guru hidup dalam sejarah, proses berguru dan perkembangan makna guru.
Bab III memaparkan serat Dewaruci, dimulai dari sejarah serat Dewaruci,
memaparkan kisah dan menganalisisnya sehingga dapat menemukan makna guru,
nilai-nilai ajaran dan peran guru dalam perkembangan hidup pengikutnya.
Dalam Bab IV Memberi gambaran Yesus sebagai Guru Sejati berdasarkan
kisah-kisah dalam Kitab Suci yang bertolak dari ajaran-ajaranNya, kotbah,
perumpamaan dan kisah hidupNya sendiri
Bab V mencoba mempertemukan dua tokoh guru yang telah diuraikan pada
bab III dan IV, mendialogkan serat Dewaruci dengan kisah Yesus sebagai Guru
Sejati, menemukan perbedaan, kesamaan dan titik temunya.
Dan dalam Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
9
BAB II
POKOK-POKOK PENGERTIAN TENTANG GURU
A. Makna, Pelayanan Dan Syarat Menjadi Guru Dalam Sejarah
1. Zaman Purba
Peradaban belum berkembang, namun masyarakat telah mengenal guru
yang mengajarkan kehidupan. Ayah, ibu, kakek, nenek, tetangga dan orang yang
lebih dewasa adalah guru kehidupan bagi mereka. Orang-orang tersebut disebut
guru karena memiliki umur yang lebih tua dan dianggap mempunyai pengalaman
hidup lebih mendalam.
Makna guru masih sangat luas dan khas. Orang-orang yang ahli dalam
pandai besi dan dukun juga disebut sebagai guru. Mereka bukan orang-orang
istimewa namun mereka mempunyai panggilan atau sebutan khusus yaitu empu
(engku, teuku) artinya tuan (Banawiratma, 1977: 19).
Selain pandai besi dan dukun, terdapat petugas agama semacam imam yang
mengajar umat: Tomina (Toraja), Pamangku (Bali, disamping pedanda), Marapu
(Sumba), Dinati (bugis), Sikerei (Mentawai), Empu (Jawa Kuno). Mereka
memberikan petuah-petuah dan nasehat-nasehat kepada orang-orang. Empu dalam
hidup agama mengajarkan tentang kehidupan. Selain empu, ayah dan ibu menjadi
guru hidup pada masa ini karena tidak ada sesuatu apapun yang dirahasiakan dari
mereka. Mereka memberi pengajaran berdasar pengalaman dan pergulatan dalam
hidupnya. Sejauh ini memang belum terlihat adanya syarat khusus untuk menjadi
10
seorang guru. Guru pada masa itu hanyalah orang yang dewasa dari segi usia
(Mohamad Ali, 1961:221-224).
2. Tradisi India
Perubahan sosial dan struktur kehidupan telah membawa empu-empu masa
purba sebagai guru yang istimewa. Mereka bekerja dan mengabdi pada keluarga
besar keraton. Para empu mendapat pengajaran dari para Berahmana yang
didatangkan dari India. Para empu akan menjadi guru baru dengan keahlian baru:
berbahasa sansekerta, menulis tata negara India, kesenian membuat gedung-gedung
secara baru, arca-arca dan perhiasan menurut dasar-dasar baru. Empu-empu itupun
memiliki agama baru. Mereka digunakan oleh pihak keraton untuk
mengembangkan cita-cita dalam keluarga keraton: cita-cita berkuasa, dihormati,
bertuah, mewah (Banawiratma, 1977: 20).
Para empu merupakan gudang ilmu. Siapa saja yang ingin memiliki
kemampuan, kecakapan atau ilmu mereka harus berguru (maguru) kepada empu,
sang berahmana, sang guru. Namun seringkali mereka harus bersabar karna sang
guru hanya akan memberi jika ia berkehendak memberi. Pelajaran bergantung dari
kemurahan hati guru. Apabila guru tidak mengajar, maka murid hanya akan
menjadi pelayan di rumah sang guru. Cara belajar ini disebut sebagai sistem ”guru-
kula”, murid termasuk keluarga guru (Singgih Wibisono, 1996: 33).
Para ahli yang disebut sebagai berahmana atau guru memiliki ideologi
keraton dan cita-cita keraton tercantum dalam agama, segala sesuatu berasal dari
agama. Kepada para guru diberikan penghormatan dengan memberi gelar ajar,
11
haji (lain dengan ”haji” dalam bahasa arab; haji = aji = raja dalam bahasa kuno),
berahmana, puruhita, guru kepada mereka. Para guru tersebut seolah menjadi kunci
surga. Berguru berarti menghaji artinya mengabdi sambil belajar. Ajar, berahmana,
puruhita adalah orang-orang penting setelah raja. Kedudukannya yang istimewa
dalam struktur keraton memberikan julukan kepada mereka sebagai ”ayah raja”
karena menjadi penasehat raja (Harun Hadiwijono, 1971: 179).
3. Tradisi Hindu
Pada akhir abad ke-V muncullah dalam hinduisme suatu pemuka religius
yang istimewa yaitu guru. Guru dalam masyarakat Hindu dibedakan dari acharya
yang pada umumnya lebih menunjuk pada seorang pengajar tinggi dan ahli. Guru
sebagai pemuka religius memiliki otoritas religius. Guru merupakan hukum yang
hidup. Guru adalah Wisnu, guru adalah Siwa, guru adalah berahmana sendiri, tidak
ada dewa yang lebih tinggi dari pada guru (Shankara, 788-826). Demikianlah guru
diidentifikasikan dengan yang Ilahi hingga perkataan, pemikiran, dan ”tindak-
tanduk” guru menjadi sumber pembaharuan tanpa minta alasan. Guru mempunyai
kuasa yang begitu besar, dia sendirilah hukum yang hidup (Banawiratma, 1977:
21).
Guru adalah orang yang memberikan kelahiran baru dalam Brahmana yaitu
kelahiran dalam ilmu pengetahuan. Guru menjadi ”yang Ilahi menampak”, menjadi
pembebas yang hidup. Istilah tersebut menjadi latar belakang pemahaman bahwa
manusia bukanlah pribadi yang sempurna dan sejati. Oleh karena itu ia harus
dibawa mencapai kesejatiannya. Usaha tersebut akan sampai dengan bantuan guru
12
sebagai hukum yang hidup, pembebas yang hidup. Sebagai pembebas yang hidup,
guru menggantikan obyek ibadat yang transenden. Karena guru adalah hukum yang
hidup atau malah pembebas yang hidup maka dengan memusatkan perhatian
kepada guru, siswa mengguasai tubuh, suara, organ-organ inderawi maupun
jiwanya. Murid menggantungkan dirinya kepada guru (Banawiratma, 1977: 23)
4. Tradisi Budha
Guru adalah sang Budha sendiri. Guru dipandang sebagai orang yang sakti,
maha tahu, orang yang utama. Guru atau berahmana menjadi orang bertuah yang
amat besar kuasanya. Selain berahmana atau empu diluar keraton terdapat guru
yang disebut resi atau pertapa. Mereka meninggalkan hidup ramai, mengejar hidup
sempurna dan mati sempurna: kesempurnaan itu disebut wairagya. Wairagya dari
vi-raga berarti tanpa raga, tanpa hawa nafsu, merdeka batin, bebas dari hasrat
duniawi (Harun Hadiwijono, 1971: 15).
Mohamad Ali mengatakan bahwa guru pertapa adalah orang yang sama
sekali tidak boleh mementingkan diri sediri. Orang tidak boleh lagi mementingkan
hidup di duniawi. Ia hidup di dalam dunia ramai, tetapi ia seolah-olah sudah mati,
sebab ia tak boleh ikut serta dalam urusan dunia. Ia seperti orang mati. Wairagya
berarti juga bahwa orang tidak boleh mempunyai keinginan apa-apa. Ia tak ingin
dipuji, tak ingin menjadi kaya, tak ingin mendapat sesuatu. Bila ia mengerjakan
sesuatu pekerjaan ia tak ingin memetik hasil pekerjaannya itu. Ia berbuat karena itu
memang kewibawaannya. Wairagya ialah: selalu berkurban untuk semua makhluk
di seluruh dunia. Ketika dilahirkan manusia telanjang bulat, demikianlah ia
13
seterusnya: tak memiliki sesuatu apa! Tak menginginkan apapun juga. Acuh tak
acuh terhadap duka-sengsara dan bersikap acuh pula terhadap suka-bahagia. Ia mati
dalam hidup, hidup dalam maut! Tetapi ia hidup juga. Ia hanya mementingkan
Tuhan. Setiap detik jiwanya menuju kepadaNya. Bila mati sempurnalah ia.
Tentulah ia mendapat moksha atau kebahagiaan yang tidak terhingga. Bebas dari
kesengsaraan, terlepas dari penderitaan, itulah kesempurnaan. (Banawiratma, 1977:
24).
5. Tradisi Islam
Dalam tradisi Islam, Guru keraton dan guru pertapa memiliki kekhasannya
masing-masing. Jika kita telah melihat bahwa guru keraton, para empu atau guru
atau Berahmana menjadi milik dari keraton dan mengajar bagi orang-orang yang
berada di keraton beserta keluarga besarnya. Guru pertapa memiliki kekhasannya
sendiri yaitu lebih sebagai guru rakyat, pengaruhnya dalam kehidupan rakyat sangat
besar. Ia menjadi pusat kehidupan rakyat. Para wali masa itu merantau untuk
menjumpai guru-guru pertapa dan mengajak mereka untuk bertukar fikiran dan
pengetahuan (Woro Aryandini, 1996: 35).
Guru keraton telah menjadi pujangga biasa, hanya guru pertapalah yang
dipandang sakti dan bertuah. Kesaktian dan ilmu yang dimiliki telah menguasai
rakyat. Rakyat tunduk dan selalu mendengar dan mengikuti petuah sang guru.
Suluk Sech Samsi Tabarit mengatakan ”apakah arti buku-buku dan kitab-kitab?
Betapa banyak juga kitab-kitab yang dapat kau baca, tak ada gunanya. Carilah
seorang guru yang mulia! Ialah yang dapat membuka jalan kesempurnaan”. Guru
14
adalah jalan kesempurnaan. Dalam hal ini, guru mempunyai ajaran yang tidak
berhenti pada sebuah teori namun lebih praksis dalam kehidupan. Para guru akan
memberikan ajaran untuk kehidupan dan kesempurnaan dalam menjalani
kehidupan ini.
Guru pertapa dicari oleh para murid yang menginginkan kesempurnaan
hidup, ilmu rahasia yang membuka pintu surga; guru pertapa adalah pintu surga. Ia
disebut arif karena mengetahui segala sesuatu, lahir maupun batin. Ia arif bijaksana
karena rahasia alam terbuka baginya. Ia disebut sang ”mardikeng budi” yang bebas
dan merdeka jiwanya. Ia tak terikat pada penghidupan di dunia. Ia tidak tunduk dan
taat kepada punggawa maupun raja. Ialah wujud ilmu gaib yang dapat membawa ke
alam baka dengan sempurna. (Banawiratma, 1977: 26)
6. Tradisi Jawa
Dalam usaha manusia mencapai kesempurnaan hidup, guru merupakan
orang yang menyampaikan petunjuk jalan kehidupan. Guru menunjukkan apa yang
baik dan buruk, bagaimana orang harus mencapai kebaikan. Guru menerangi hati,
menunjukkan jalan kemuliaan. Karena keunggulan ”ilmunya” guru mempunyai
kuasa karismatis. Guru dihormati dan ditaati, sering disebut Bapa. Apa yang
dikatakan guru penuh kuasa. Tapa mempunyai peranan dalam kedudukan guru.
Dalam tradisi Jawa, dalang selaku pewarta lakon hidup manusia atau lebih luas
pergelaran wayang mempunyai fungsi yang serupa dengan fungsi guru
tersebut(Singgih Wibisono, 1996: 32).
15
Guru memberikan petunjuk sekaligus kritik, karena baik dan buruk ditunjuk
oleh guru. Tanpa dipungkiri kritik dapat menyentuh segi-segi kehidupan yang lebih
luas atau menjadi gerakan sosial kemasyarakatan. Terlihat bahwa guru mempunyai
peranan yang cukup pluriform sesuai situasi murid atau masyarakat (Banawiratma,
1977: 55).
B. Tradisi Kristiani Timur Bapa Rohani: Seorang Guru Hidup
1. Asal Mula Munculnya Bapa Rohani
Para rahib hidup bersama menurut semangat Injil dengan melaksanakan
cinta kasih persaudaraan dan menyediakan banyak waktu untuk berdoa dan bekerja.
Satu-satunya peraturan hidup bersama adalah cinta tanpa syarat dan tanpa batas
seperti Yesus Kristus yang memberikan diri yang diwujudkan dalam kurban di
salib.
Ke”bapa”an rohani sangat penting sepanjang abad. Nama atau sebutan
untuk para rabi, guru ataupun rahib bisa saja berubah namun inti dan tujuan pokok
keberadaannya tidaklah berubah. Bapa padang gurun mengatakan “Barang siapa
hidup dalam ketundukan terhadap seorang bapa rohani mendapat pahala lebih besar
dari pada orang yang hidup menyendiri di padang gurun” (Sugino, 1991: 411).
Bimbingan rohani merupakan suatu kebutuhan yang berakar dalam setiap
diri manusia sepanjang jaman yang ingin berkembang dalam hubungan dengan
Yang Rohani, Yang Ilahi, Allah (J. Darminta, 2006: 33). Sejak dulu orang-orang
dalam menghadapi berbagai macam kesulitan hidup pergi kepada orang-orang yang
dipandang sebagai orang bijaksana dan kompeten. Mereka pergi kepada para
16
“pembimbing rohani” untuk meminta nasehat. Para filsuf adalah pembimbing
rohani sebelum muncul kristianisme. Mereka menjadi tempat penasehat ahli dan
guru dalam hidup moral (Sugino, 1991: 412).
Lingkungan orang-orang Kristen timur tumbuh para bapa padang gurun atau
bapa rohani. Relasi mereka adalah hubungan antara murid dan guru: seorang guru
yang sudah sungguh berpengalaman hidup menurut jalan roh dan seorang murid
yang begitu ingin menimba ilmu dari pengalaman mereka. Santo Antonius Abbas
mengingatkan ”Ikatkanlah dirimu pada dengan seorang yang takut akan Allah dan,
dengan berada dekat dengannya, engkau akan belajar juga takut akan Allah,
Ikatkanlah perahumu pada perahu bapa-bapamu; mereka akan membimbingmu
kepada Yesus”. Hal itupun mengingatkan pada kitab Ulangan 32:7 ”Tanyakanlah
kepada ayahmu, maka ia akan memberitahukannya kepadamu, kepada para tua-
tuamu, maka mereka mengatakannya kepadamu”
2. Sikap Seorang Murid
Seorang murid yang datang kepada bapa rohani perlulah memiliki sikap-
sikap tertentu yang mengandaikan hubungan yang erat antara guru dan murid:
a. Sang Murid Sebagai Orang Yang Bertanya
Pertanyaan-pertanyaan berasal dari hati yang murni disampaikan dengan
keinginan untuk taat. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi simbol sikap hidup
Kristen: mengenai kemiskinan, ketaatan, matiraga, doa sunyi, percobaan, kasih,
pengampunan, pelayanan dan belaskasih. Pertanyaan yang diajukan menunjukkan
kepercayaan total terhadap bapa rohani yang dianggap sebagai ”jurubicara” Allah.
17
Ada kesadaran bapa rohani adalah orang yang menyatukan diri dengan Kristus.
Bapa Rohani menyampaikan kata-kata murni dan transparan. Hal itu menunjukkan
mutu kesatuannya dengan Kristus (Sugino, 1991: 413).
b. Menyatakan Pikiran-Pikirannya Dengan Terbuka
Murid tidak menyembunyikan apa-apa dari bapa rohani. Maksudnya supaya
ia mampu mengungkapkan pikiran-pikirannya, selain itu menghindari kompleks-
kompleks, luka-luka psikologis, penyimpangan-penyimpangan yang sulit
disembuhkan. Sebagai murid perlulah menanamkan kepercayaan tanpa syarat.
Sebagai murid harus merasa bahwa dirinya dicintai (J. Darminta, 2006: 43). Namun
tetap terdapat kekurangan bapa rohani sebagai sebuah kesadaran bahwa Allah
mengunakannya sebagai ”pengantara”. Ia berbicara atas dorongan Roh Kudus.
Kepercayaan murid sama dengan iman dan spiritualitas bapa rohani adalah Roh
Kudus yang berkarya di dalam dirinya (Sugino, 1991: 413).
3. Karunia, Kemampuan, dan Sikap Bapa Rohani
Dalam spiritualitas timur, menjadi bapa rohani adalah karunia yang
berdasarkan pilihan Allah dan anugerah. Menjadi bapa rohani tidak bergantung
pada umur, namun lebih pada kemampuan dan kualitas hidup rohaninya (Sugino,
1991: 414).
Kemampuan dan kualitas tersebut adalah:
18
a. Pembedaan Roh atau wiweka
Kemampuan agar bapa rohani mampu menangkap misteri Allah dan
rahasia-rahasia hati manusia. Pembedaan roh lebih untuk membedakan yang nyata
dan maya, penting dan tidak penting, berdaya guna dengan tanpa guna, yang benar
dan palsu, mementingkan diri sendiri atau menanggalkan kepentingan pribadi. Raga
manusia ada dua. Raga sering kali tidak sama dengan MANUSIA (jiwa).
Pembedaan roh merupakan ”batu sendi” dari setiap bimbingan. Hal itu
memungkinkan untuk menemukan pemecahan masalah sesuai situasi batin murid.
Pembedaan roh menjadi tanda kejernihan roh, rendah hati, melupakan diri sendiri,
menaruh perhatian besar untuk bersatu dengan Allah. Dengan mengikuti teladan
guru, sang murid mampu menjalankan pembedaan roh. Sebagai murid hendaknya
meletakkan pikiran-pikiran di samping sang guru. Murid adalah satu dengan
gurunya jika murid hanya memalingkan pikirannya ke dalam alam pikir sang guru
untuk mengetahui apakah ada kesesuaian. Manakala tidak ada kesesuaian berarti
hal itu salah dan ia harus segera merubahnya sebab pikiran sang guru itu sempurna
dan ia tahu segala-galanya (Alcyone, 1990: 35).
b. Kesabaran
Bapa rohani selalu meletakkan atau menempatkan diri pada situasi murid.
Hal ini dilakukan untuk semakin memahami pergulatan para murid (J. Darminta,
2006: 48). Ia masuk dalam hidup sang murid. Hal ini tidak menutup kemungkinan
bapa rohani mencobai muridnya. Namun pencobaan yang diberikan tetap lah untuk
memperlihatkan sikap tegas atau keras yang dibungkus ke dalam aura kesabaran.
19
Perhatian bapa rohani yang bertindak dan bersikap sabar sesuai dengan sikap Allah
yang mengutamakan keselamatan manusia (Sugino, 1991: 415).
Usaha untuk menempatkan diri pada kehidupan murid akan memampukan
guru untuk mendapatkan materi dan cara ajar yang sesuai dengan situasi murid.
Metode tersebut sungguh membutuhkan kesabaran dan kerendahan hati karena
harus mempelajari kehidupan orang lain yang status mereka hanyalah seorang
murid.
c. Belaskasihan
Sikap sabar dan tegas sang bapa rohani diresapi oleh belas kasihan dan
ditandai oleh harapan. Ia mempunyai pengertian mendalam mengenai keterbatasan-
keterbatasan, kelemahan-kelemahan dan kerapuhan manusiawi. Sikap belaskasihan
dinyatakan dalam kelemahlembutan (J. Darminta, 2006: 43). Hal ini mengundang
murid untuk mempunyai belas kasih terhadap semua orang. Mereka menyadari
bahwa belaskasihan merupakan jalan untuk bertemu dengan Allah (Sugino, 1991:
416).
Allah dapat dirasakan kehadiranNya dalam pribadi sesama manusia. Usaha
merasakan kehadiran Allah dimulai dengan menjalin relasi baik dengan sesama
manusia. Hal ini membutuhkan belas kasih yang sama terhadap Allah dan sesama.
Yesus mengungkapkan bahwa apa yang manusia perbuat untuk orang lain itu
diperbuat juga untukNya.
20
d. Karunia Kata-Kata Hikmat
Penyampaian kata-kata yang efektif dan berdaya guna didapat dari
kedalaman rohani dan intensitas persatuan dengan Kristus. Hal ini adalah karunia
untuk berkata-kata dengan hikmat (1 Kor 12:8). Kata-kata bapa rohani
menggerakkan para murid untuk semakin berkembang dalam cinta kasih, untuk
tidak bersikap malas. Kata-kata tersebut mempunyai daya untuk transformasi diri
sang murid dan ini berkat kedalaman hidup rohaninya dan persatuannya yang
begitu erat dengan Kristus (Sugino, 1991: 416).
e. Teladan (Kesatuan Kata dan Karya)
Hidup bapa rohani menjadi teladan hidup. Bapa rohani mendapat dan
mengalami kedamaian yang mendalam sehingga ia memberikan rasa damai yang
mendalam bagi murid-muridnya. Bapa rohani menyambut, meneguhkan dan
mendalami pengalaman para murid secara mendalam (Sugino, 1991: 417). Contoh
teladan selalu meyakinkan dari pada kata-kata. Kata-kata tanpa perbuatan adalah
kosong. Orang yang mengajar namun tidak melakukan apa-apa dalam hidupnya
seperti sumber mata air, ia memberi minum dan membersihkan semua tetapi ia
tidak mampu membersihkan diri sendiri.
f. Sabda Allah dan Kata-Kata Bapa Rohani
Ciri khas menjadi bapa rohani adalah kesatuannya yang sangat total dengan
sabda Allah. Sabda tersebut telah membentuk pikiran mereka. Bapa rohani adalah
manusia yang secara total menyatukan diri dengan Kristus (J. Darminta, 2006: 37).
21
Taat kepada bapa rohani sama dengan taat pada Allah karena bapa rohani
”mewakili” Allah. Seorang murid tidak akan salah dihadapan Allah jika ia percaya
kepada bapa rohani dan menyerahkan seluruh kehendak kepadanya (Sugino, 1991:
418).
g. Cinta Kasih
Cinta kasih mendorong murid pada kebebasan roh yang membuat mereka
dewasa, bertanggung jawab. Ia membimbing kepada kebebasan roh. Hubungan
bapa-murid ditandai oleh cinta kasih. Cinta kasih diungkapkan dalam seluruh
hidupnya dalam kelembutan, kehangatan, ketegasan yang berciri rohani dan
manusiawi. Seperti Kristus dalam hidup-Nya, cinta kasih mengandung persatuan
yang mendalam (Sugino, 1991: 418).
22
BAB III
GURU SEJATI DALAM SERAT DEWARUCI
A. Serat Dewaruci
1. Pengarang dan Latar Belakang serat Dewaruci
Cerita dan pentas yang berupa pewayangan, biasanya diambil dari kisah
Ramayana dan Mahabarata. Kedua cerita tersebut berasal dari India dan dibawa
masuk ke Indonesia bersama dengan agama Hindu. Seperti agama Hindu, kisah
Mahabarata maupun Ramayana telah mengalami proses penyesuaian dengan alam
pikir Jawa. Pada puncak asimilasi dan akulturasi agama Hindu tersebut terdapatlah
tulisan sebagai cerita Nawaruci, karya empu Syiwamurti tahun 1500-1619 A.D.
Cerita ditulis dalam bentuk prosa dimaksudkan sebagai skenario (lakon) untuk
pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Cerita Nawaruci ini diklasifikasikan
sebagai karya tulis bukan karya sa stra. Dalam Nawaruci, filsafat dan mistik yang
terkandung di dalamnya dipengaruhi oleh pandangan Hindu. Lebih tepatnya kisah
Nawaruci bercorak Hindu-Jawa (Sri Mulyono, 1978: 21).
Sementara itu ada yang menyebutkan cerita Dewaruci ditulis dalam bahasa
jawa kuno (Kawi), tertulis pada daun lontar dan digubah oleh Empu Wijayaka di
Kediri (Warsito S, 1972: 41). Serat Dewaruci termuat dalam berbagai kitab kuno,
dua di antaranya kini masih tersimpan di Perpustakaan Lembaga kebudayaan
Indonesia di Museum Jakarta. Gubahan ke dalam Bahasa Jawa modern dilakukan
oleh Yasadipura I dari Surakarta dan M. Ng. Kramaprawira dari Yogyakarta.
Gubahan yang lebih baru dengan judul Nawaruci dilakukan oleh K.P.A. Singasari
23
dari Surakarta tahun 1847. Serat Nawaruci juga muncul dalam versi Bali, tetapi
isinya agak lain dengan versi Jawa. Ada juga versi bahasa melayu dengan judul
Tawaruci. Dewaruci dalam versi Islam, tokoh Bima digantikan dengan Syeh Senan
sedangkan tokoh Dewaruci diganti Nabi Kilir (seorang nabi yang tidak pernah mati,
ia merupakan guru dari Nabi Musa). Sunan Bonang merupakan penulis dan
penggubah serat Dewaruci dalam versi Islam.
Serat Bimasuci sering disebut juga kisah Dewaruci karena pesan pokok
cerita merupakan wejangan Dewaruci kepada Bima. Bima yang mendapat
wejangan dalam guagarba Dewaruci. Serat Bimasuci oleh pujangga Surakarta,
Yasadipura I digubah dalam bentuk tembang Jawa dengan metrum macapat pada
tahun 1793 (atau 1720 tahun Jawa). Oleh karena itu, tulisan Yasadipura I
diklasifikasikan dalam karya sastra. Dalam karya tersebut, dimuat sengkala ”niring
sikara wiku tunggal” (1720), yang artinya: hilangnya segala kendala, orang suci
dapat menyatukan dirinya dengan sang khalik. Sengkala tersebut selain untuk
mengingat tahun selesainya penulisan karya sastra juga dimaksudkan untuk
mengetengahkan isi pokok ”Serat Bimasuci”.
Pada tahun 1803 (atau 1730 tahun jawa), pujangga Yasadipura I menulis
ulang ”Serat Bimasuci”, masih dalam bentuk puisi Jawa, hanya metrumnya diubah
menjadi metrum jawa Kuno (tembang gede). Sengkala yang dimuat di dalam
tulisan ulang ini tertulis ”meletiking dahana goraning rat” (1630), yang artinya:
meloncatnya api (jiwa, roh, sukma), menggegerkan (menakutkan, mencemaskan)
dunia (manusia). Pujangga Yasadipura I berpendapat bahwa orang takut
menghadapi ajal, sehingga Yasadipura I merasa perlu untuk memberi pegangan
24
kepada orang yang takut menghadapi kematiannya. Ajaran tentang mati atau ilmu
kematian dalam sastra Jawa klasik disebut sebagai ”kelepasan”, yang dalam bahasa
Indonesia diistilahkan ”ilmu pelepasan”. Maka ilmu pelepasan itu dimuat dalam
wejangan Dewaruci (Yohanes Riyanto, 2007: 23).
Pelacakan asal-usul cerita Dewaruci sebenarnya masih menyisakan
pertanyaan untuk diteliti dan dikaji lebih dalam. Masing-masing peneliti memiliki
analisa yang berbeda menyangkut asal-usul cerita Dewaruci. Dalam skripsi ini,
tidak akan dibahas mengenai sumber yang asli dari kisah ini. Pemaparan di atas
kiranya dapat menjadi bukti betapa terkenalnya kisah Dewaruci di kalangan
masyarakat jawa. Cerita Dewaruci diwariskan lewat tulisan tangan yang disalin dari
masa ke masa oleh pujangga Jawa. Selain itu serat Dewaruci menjadi bahan refleksi
sebagai bekal wawasan rohani dan spiritualitas (S.P. Adhikara, 1986: 1).
2. Isi Buku
Kisah Dewaruci yang disadur dan di Indonesiakan oleh cabang bagian
bahasa jawatan kebudayaan dan kementrian, pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan Yogyakarta pada tahun 1958, pada aslinya merupakan terjemahan dari
karangan kyai Ngabei Yasadipura I. Cerita Dewaruci berdasarkan tembang macapat
karya Yasadipura I dibagi menjadi 9 bagian yaitu
Bagian 1 : Bima diberi tugas oleh Druna untuk mencari Tirtapawitra
Bagian 2 : Bima berangkat ke hutan Tikbrasana
Bagian 3 : Bima tiba di gunung Candramuka
Bagian 4 : Bima kembali ke Ngastina
25
Bagian 5 : Bima minta diri pada keluarga Pandawa dan prabu Kresna
Bagian 6 : Bima melanjutkan perjalanan menuju ke samudera
Bagian 7 : Bima sampai di tepi samudera, terjun ke air dan berkelahi dengan
naga Nemburnawa
Bagian 8 : Keluarga Pandawa gelisah akan nasib Bima
Bagian 9 : Bima menerima wejangan ilmu kasunyatan dari Dewaruci (Cabang
Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan
Kebudayaan, 1958: 21-54).
3. Kisah Dewaruci
Ringkasan cerita Dewaruci karangan Kyai Ngabehi Yasadipura I telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan
Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan pada tahun
1958 dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
a. Bima Berguru Kepada Druna
Bima adalah murid yang sangat hormat dan patuh pada resi Druna. Atas
saran Druna gurunya, Bima memohon diri kepada saudara-saudara di Ngamarta
untuk mencari air kehidupan (Tirtapawitra). Druna memberitahukan bahwa
Tirtapawitra dapat menyucikan hidupnya. Para Pandawa membaca adanya niat
jahat dari keluarga Kurawa kepada Bima melalui pendeta Druna. Para Pandawa
tidak mengijinkan Bima pergi. Namun tekat Bima sangat kuat dan bulat, Bima
percaya kepada yang dikatakan gurunya dan iapun segera pergi mencari
Tirtapawitra. Bima pergi ke tempat yang telah ditunjukkan oleh sang guru yaitu
26
gunung Candramuka di hutan Tribasara di bawah gunung Gadamadana (Cabang
Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan
Kebudayaan, 1958: 21-25).
b. Bima di Gunung Candramuka
Setiba di tempat yang ditunjukkan sang guru, dengan gembira hati Bima
segera mencari Tirtapawitra yang digandrungi. Ia menuju gua, batu-batu besar
digulingkannya dan dibongkar, pohon-pohon dan kayu ditumbangkan, semak-
semak direbahkannya. Bima segera masuk ke dalam gua. Tiba-tiba dua raksasa
yang diam di dalam gua merasa terganggu. Mereka keluar dari pertapaan dengan
ganas dan bengis. Kedua raksasa itu bernama Rukmamuka dan Rukmakala. Mereka
hendak membunuh Bima yang mengganggu ketenangannya (Cabang Bagian
Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan
Kebudayaan, 1958: 26).
Pertarungan hebat antara Bima dengan Rukmamuka dan Rukmakalapun tak
terelakkan. Dengan kekuatannya, Bima menghancurkan dan mengalahkan kedua
raksasa itu. Namun demikian mayat kedua raksasa itu lenyap tidak berbekas karena
kedua raksasa itu merupakan jelmaan Dewa Endra dan Dewa Bayu yang karena
kesalahannya dikutuk menjadi raksasa (Cabang Bagian Bahasa Jawatan
Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 26).
Bima melanjutkan pencariannya namun Tirtapawitra tak kunjung
didapatnya. Dalam keletihannya tiba-tiba terdengar suara dari hutan yang
memanggil Bima. Suara itu adalah suara sang Dewa Indrabayu (Endrabayu) yang
27
hendak mengucapkan terimakasih atas bantuan Bima telah melepaskan kutukannya
dari sang Dewaraja yang telah menjadikannya raksasa. Selain itu Dewa Indrabayu
memberitahukan bahwa Tirtapawitra memang ada tetapi tidak ada di tempat itu.
Dewa Indrabayu menyarankan agar Bima kembali dan menanyakannya kembali
kepada pendeta Druna keberadaan Tirtapawitra sesungguhnya. Bimapun segera
meninggalkan hutan Tikbrasana menuju Ngastina untuk bertemu dengan pendeta
Druna (Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan
Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 28).
c. Bima Diutus Druna ke Dasar Samudera Dan Bertarung Dengan Naga
Nemburnawa
Bima kembali ke Ngastina dan segera menemui gurunya, pendeta Druna.
Melihat Bima kembali dengan selamat dan tidak menemukan luka sedikitpun
Druna mengatakan bahwa perjalanan Bima ke gunung Candramuka untuk mencari
air suci hanyalah usaha untuk mengetahui kesetiaan Bima kepada sang guru. Druna
segera mengatakan bahwa Tirtapawitra akan ditemukan di dasar samudera. Dengan
sigap, Bima segera pamit kepada keluarga Pandawa dan Kurawa untuk mencari
Tirtapawitra di dasar samudera. Keluarga Pandawa tetap tidak memberikan ijin
namun hal ini tidak mengurungkan niat Bima untuk menemukan air suci yang
menyegarkan jiwanya (Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian
Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 29-32).
Setibanya di pantai Bima melihat dahsyatnya gelombang pantai dan
derasnya gelombang samudera, Bima ragu. Bima teringat akan keluarga Pandawa
28
yang tidak membirinya ijin mencari Tirtapawitra karena melihat adanya niat jahat
keluarga Kurawa kepadanya melalui pendeta Druna. Tetapi jiwa kesatria Bima
mengalahkan keragu-raguan tersebut. Ia menceburkan diri ke air. Dengan aji
Jalasengara, Bima menguasai ombak samudera sehingga ia seperti berjalan di
daratan biasa (Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian
Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 36).
Dalam perjalanan selanjutnya Bima diserang oleh ular raksasa yang serta
merta melilit tubuhnya. Ular raksasa atau naga itu bernama Nemburnawa, ia
menyemburkan bisa ke muka Bima. Dengan kuku Pancanaka, Bima merobek dan
mengoyakkan tubuh naga tersebut. Naga Nemburnawapun tewas (Cabang Bagian
Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan
Kebudayaan, 1958: 38).
Kematian naga Nemburnawa membuat samudera menjadi terang. Dalam
kelelahan Bima memulai kembali perjalanannya ke pusat samudera. Melihat
kegigihan Bima, dewata diangkasa menaruh kasih dan bangga atas keberaniannya.
Dewata hendak membantu Bima yang melakukan perintah tidak jelas dari gurunya.
Tirtapawitra tersimpan tersembunyi, hanya orang-orang yang mendapat anugerah
dari dewata yang akan memperolehnya (Cabang Bagian Bahasa Jawatan
Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 38-39) .
d. Bima Bertemu Dengan Dewaruci
Setelah mengalahkan naga Nemburnawa, Bima merasakan udara yang segar
dan ketenangan kalbu. Tiba-tiba tidak tahu dari mana datangnya Bima melihat
29
seorang bocah kecil sedang mondar-mandir seperti bermain-main dan
menghampirinya. Bima merasa tidak asing dengan sosok yang hanya sebesar jari
kelingkingnya. Setelah sosok yang mirip bajang itu dapat menguraikan silsilah
Bima. Dewa kerdil itu juga menunjukkan kebodohan Bima yang melaksanakan
perintah sang guru tanpa petunjuk yang jelas. Bima segera bertanya siapakah
sebenarnya bocah kerdil itu. Nama dewa kerdil itu Dewaruci. Mendengar jawaban
dewa bajang itu, Bima memperbaiki sikapnya, segera ia mengakui kebodohannya
dan ia sadar sedang berhadapan dengan seorang dewa (Cabang Bagian Bahasa
Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958:
41).
Bima memohon wejangan-wejangan kepada Dewaruci. Untuk mendapatkan
wejangan-wejangan itu Bima diminta masuk ke dalam ”guagarba” (rahim yang
menjadi tempat kehidupan baru dimulai dan simbol penerimaan diri) Dewaruci
melalui lubang telinga kirinya. Mendengar perintah Dewaruci, Bima tertawa karena
ia melihat badannya yang sangat tinggi besar dan gagah, mustahil jika harus masuk
ke guagarba Dewaruci yang sangat kerdil. Menanggapi ketidakyakinan Bima,
Dewaruci mengatakan bahwa dunia tidak akan sesak apabila masuk ke dalam
guagarbanya. Mendengar titah Dewaruci, Bima segera mentaatinya. Di dalam
guagarba Dewaruci, Bima bingung tidak tahu arah utara-selatan, barat-timur, atas-
bawah, dan muka-belakang. Segera Bima melihat Dewaruci dihadapannya.
Dewaruci masuk ke dalam guagarbanya sendiri dan menemani Bima di dalam
kebingungan itu (Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian
Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 42-43).
30
Di dalam guagarba inilah Dewaruci memberikan wejangan-wejanganya.
Wejangan Dewaruci berisi pancaratna (lima permata), yaitu: pancamaya (lima
bayangan), Pancamaya adalah hati yang merupakan penunjuk jalan, pemuka badan
dan disebut muka sifat yang artinya hati yang membawa kepada sifat yang luhur,
sifat yang sejati; Caturwarna (empat warna), hitam, merah, kuning, dan putih yang
terdapat dalam kalbu manusia yang mewarnai tingkah laku dan peringai manusia.
Tiga warna pertama adalah bahaya-bahaya menuju dunia dengan segala isinya,
warna putih mempunyai sifat-sifat yang luhur; pramana (denyut nadi, yang
menjadikan hidupnya badan) ia menjaga hidupnya sukma (jiwa). Jika ia terlepas
dari manusia, maka tubuh tidak akan berdaya lagi, lemah lesu dan tak bertenaga
lagi. Ia berkuasa atas hidup manusia, karena ia membawa hidup manusia. Hal inilah
yang dinamakan ilmu pelepasan yaitu ilmu lepasnya sukma dari raga;
manunggaling kawula Gusti (persatuan yang sejati antara manusia dengan sang
khaliknya) segala warna yang menguraikan isi alam semesta yang tergambar dalam
dirinya hingga tidak ada perbedaan antara manusia sebagai dunia kecil
(mikrokosmos) dengan dunia besar (makrokosmos), timur dan barat, utara dan
selatan, atas dan bawah, semua mata angin tidak hanya terdapat di dunia yang besar
tapi juga terdapat di dunia yang kecil. Dewaruci berpesan kepada Bima agar tidak
menggunakan ilmu yang telah didapatnya sebagai pembicaraan tentang pandangan
hidupnya pribadi (Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian
Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 44-46).
Pedoman untuk orang yang ingin memiliki perilaku yang baik adalah mati
dalam hidup dan hidup dalam mati. Jika suasana pertengkaran dan menimbulkan
31
selisih paham mengalahlah untuk menyelesaikan masalah, berpasrah dan mati
dalam hidup. Hidup dalam mati mempunyai arti bahwa di dunia yang masih banyak
orang hidup ini hendaklah mampu mati mengalahkan hawa nafsu duniawi. Mati
dalam hidup artinya lebih pada kesediaan orang yang telah mematikan hawa
nafsunya dan ia tetap hidup di dunia orang hidup (Cabang Bagian Bahasa Jawatan
Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 48).
Setelah Dewaruci menyelesaikan wejangannya, ia menyuruh Bima untuk
kembali ke alamnya karena belum waktunya Bima menetap di tempat itu. Bima
yang telah suci karena wejangan-wejangan Dewaruci itu disebut sebagai Bimasuci.
Bima kini disebut sebagai satriya pinandita, seorang satriya yang sakti di medan
perang sekaligus seorang brahmana yang sudah wruh sangkan paraning dumadi
(Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran
Dan Kebudayaan, 1958: 48-54).
4. Tafsir Serat Dewaruci
Pada umumnya, kisah Dewaruci menceritakan perjalanan seorang anak
manusia bernama Bima yang mawas diri. Mawas diri adalah mengenang hidup
pribadi, sejak masih anak-anak sampai saat mawas diri. Seluruh pengalaman
hidupnya yang telah dijalani dan direkam dalam ketidaksadaran diulang kembali
seolah-olah melihat pertunjukan sandiwara dengan sutradara, penulis skenario,
peran utama, dan penontonnya adalah dirinya sendiri. Cerita yang dilakonkan
adalah seluruh kehidupannya sendiri. Perjalanan Bima untuk mendapatkan air suci,
diibaratkan seperti seorang yang ingin mendapatkan ilmu keagamaan. Untuk
32
mendapatkannya Bima haruslah berguru kepada orang yang lebih tahu. Atas saran
pendeta Druna, Bima membongkar gunung Candramuka. Hal ini memberi
gambaran untuk mendapatkan ilmu yang menyegarkan jiwa bukanlah pekerjaan
yang mudah, ia harus berhasil membongkar gunung untuk mendapatkan ilmu
tersebut. Demikianlah mawas diri bukanlah suatu laku hidup yang mudah
(S.P.Adhikara, 1986: 2).
Tujuan orang mawas diri adalah untuk memperbaiki kehidupan pribadi pada
waktu yang akan datang. Orang yang mawas diri haruslah jujur dalam menilai
perilakunya pada waktu yang telah lalu serta mengetahui cacat cela pribadi dan
batas-batas kemampuannya dalam menempuh kehidupan di alam raya ini. Orang
mawas diri adalah orang yang mengaku dosa atas dosanya kepada dirinya sendiri.
Di kalangan ahli tasawuf di Timur Tengah, mawas diri merupakan
pekerjaan yang sangat penting dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bagi mereka semboyan yang sering digunakan adalah ”Barang siapa ingin
mengenal Tuhan, ia harus mengenal diri pribadi terlebih dahulu” (S.P.Adhikara,
1986: 3).
Perjalanan Bima untuk mendapatkan Tirtapawitra merupakan gambaran
anak manusia yang melakukan perjalanan rohani untuk menemukan Guru Sejati.
Laku Bima untuk mendapatkan Tirtapawitra merupakan laku hidup rohani
(S.P.Adhikara, 1986: 2-4)
Tujuan akhir dari laku adalah sangkan paraning dumadi (kembalinya
manusia pada asal usul dan tujuan hidup). Dalam serat Dewaruci, pencapaian
tujuan tersebut digambarkan dalam laku Bima mencari Tirtapawitra. Untuk
33
mempermudah pemahaman tafsir serat Dewaruci, di bawah ini cerita dibagi dalam
lima bagian yaitu:
a. Bima berguru kepada Druna
b. Bima bertarung melawan Rukmamuka dan Rukmakala
c. Bima Pergi ke telenging samudera (pusat samudera)
d. Bima diserang naga Nemburnawa
e. Bima mendapat wejangan dari Dewaruci
Tafsir cerita Dewaruci di bawah ini berdasarkan pada yang telah dikonstruksikan
menjadi lima bagian tersebut dan penafsiran secara spesifik dengan melihat simbol-
simbol dalam serat Dewaruci yang menunjukkan usaha untuk mencapai
keselamatan dan pemaknaannya. Hal tersebut akan diuraikan secara seksama
sebagai berikut:
a. Bima Berguru Kepada Druna
Cerita Dewaruci mengandung nilai kefilsafatan serta keagamaan yang
dalam. Dewaruci menggambarkan perjalanan seorang kesatria bernama Bima. Ia
mempunyai kemauan keras mencari jalan sebaik-baiknya yang dapat membawa
manusia sampai kepada kebahagiaan yang kekal di surga. Dalam usahanya
memperoleh cita-citanya, ia menjumpai banyak rintangan atau kesukaran tetapi
berkat ketabahan hatinya yang disertai dengan kemauan yang tidak mengenal putus
asa, Bima mendapatkan apa yang menjadi impiannya (Cabang Bagian Bahasa
Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958:
7-8).
34
Setelah Bima mendapatkan titah dari Druna mengenai Tirtapawitra, ia
segera pergi. Belum begitu jelas apakah titah tersebut murni untuk mencelakai
Bima namun ia segera pergi ke hutan Tibasara, di kaki gunung Gadamadana
menuju gua Candramuka. Menurut kamus bahasa Jawa, nama hutan ”Tibasara”
berasal dari kata ”tibra” dan ”sara”. ”Tibra” berarti susah, sedih, prihatin, nesu
banget. ”Sara” artinya panah, blumbang, tlaga, pathi, galih, kukuh, sangsara.
Gunung ”Gadamadana” berasal dari kata ”gada” yang berarti bindhi, penthung
cendhak, dhampolan renthenganing kolang-kaling, tumpukan krambil sing
disunduki, arane jinising krambil sing ora duwe manggar. Sedangkan ”madana”
berarti sih, sengsem, kesenengan, katresnan. Nama gua ”Candramuka” berasal dari
kata ”candra” dan ”muka”. ”Candra” berarti pepindan, crita kaananing maujud
sarana pepindan, rembulan, perumpamaan. ”Muka” artinya rai, ngarep, hadap.
b. Bima Bertarung Melawan Rukmamuka dan Rukmakala
Sesampainya di tempat tujuan Bima tidak bertemu atau menemukan apa
yang dicari, ia malah diserang oleh dua raksasa yang bernama ”Rukmamuka” dan
”Rukmakala”. Pertarungan dimenangkan Bima namun mayat kedua raksasa
tersebut lenyap. Kedua raksasa tersebut merupakan jelmaan Dewa Endrabayu.
Tidak begitu jelas apakah dewa itu satu atau dua. Namun jika dua, dewa tersebut
adalah Dewa Endra dan Dewa Bayu (S.P.Adhikara, 1986: 8-9).
Menurut kamus bahasa Jawa nama ”Rukmamuka” dan ”Rukmakala”
mempunyai arti tersendiri. Nama tersebut berasal dari kata ”rukma”, ”muka”,
”kala”. ”Rukma” artinya rukmi, emas, hal-hal duniawi. ”Kala” artinya ala, jiret,
35
dienggo masangi manuk, araning kewan entup-entupan, wektu, mangsa, dhek, buta.
Raksasa menjadi lambang ketamakan, keserakahan. Dewa Indrabayu berasal dari
kata ”endra” dan ”bayu”. ”Endra” berarti ratu, luhur dan ”bayu” mempunyai arti
angin, urut, dalan, getih, jiwa, hidup. ”Dewa” melambangkan kebaikan, keluhuran,
kesucian. Perintah pendeta Druna yang dapat dilihat adalah bertapa melawan
pertarungan batin antara sifat baik dan buruk (S.P.Adhikara, 1986: 14). Pergulakan
di dalam hati Bima dapat digambarkan sebagai berikut:
”Wahai Bima apa yang kamu hadapi (muka) di hutan ini, adalah gambaran perumpamaan (candar) ketamaan (raksasa) dan keasyikan (madana) akan keduniawian (rukma) yang dihadapi (muka) seseorang, sehingga ia akhirnya menuju (sara) dan terjerat (jala) kesedihan (tibra). Oleh karena itu, binasakan (gada) keserakahan (raksasa) dalam diri itu”
c. Bima Pergi Ke Telenging Samudera (Pusat Samudera)
Perintah yang kedua adalah pergi ke pusat samudera. Hal ini agak masuk
akal karena yang dicari Bima adalah air. Bima menceburkan diri ke air setelah
mengilangkan rasa cemas dan ragu-ragu akan kedahsyatan samudera. Samudera
adalah lambang cermin. Orang dapat melihat dirinya sendiri karena bayangannya
terpantul oleh air yang jernih. Bayangan yang terpantul menjadi simbol orang yang
berefleksi, melihat diri sendiri dalan kedalaman batinnya. Segambaran jelas
sebelum Bima bertemu dengan sang Guru Sejati, ia sungguh ingin mengenali
dirinya serta cacat celanya.
Sebagai seorang murid, Bima menjalankan secara total titah dari sang guru.
Ia sungguh sempurna dalam ”ngelmu”, tidak ada keluhan lahir dan batin.
Dikisahkan bahwa Bima ke tengah samudera menggunakan ”aji jalasagara”
sehingga ia seperti berjalan di daratan. Jalasagara berasal dari kata ”jala” yang
36
berarti jaring dan ”sengara” berarti kendala atau rintangan. ”Jalasagara” mampu
menguasai gelombang samudera. Dalam cerita, seakan-akan ombak menjadi
rintangan karena menimbulkan keragu-raguan dalam diri Bima. Bima
menggunakan ”aji jalasagara” untuk sampai pada telenging samudera. ”Aji
Jalasagara” mampu menghilangkan semua kendala yang merintangi Bima
mengendalikan pikirannya ketika dia bertapa (S.P.Adhikara, 1986: 16-17).
d. Bima Diserang Naga Nemburnawa
Pertarungan Bima dengan naga ”Nemburnawa” dipandang dari sudut
anatomi manusia. Menurut S.P.Adhikara, manusia terdiri atas raga dan jiwa. Pada
raga manusia ada panca indera. Empat indera yang terdapat pada muka orang yaitu
mata, hidung, mulut dan telinga sedangkan indera yang kelima adalah seluruh
permukaan kulit.
Ketika Bima berkelahi dengan naga laut, seluruh tubuhnya dililit naga
sedangkan bisanya disemburkan ke mukanya. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
panca indera Bima “dimatikan” oleh naga tersebut. Memutuskan diri dari dunia luar
dikiaskan dengan ditusukkannya “Pancanaka” ke naga dan merobek-robek tubuh
naga tersebut.
e. Bima Mendapat Wejangan dari Dewaruci
Setelah Bima mampu mengendalikan pikirannya, mematikan
pancainderanya, dan memutuskan dari dunia luar, dia berada di alam kejiwaan atau
37
dapat dikatakan ia “beraga sukma”. Alam kejiwaan itu alam yang tidak disangga
ruang serta tidak mengemban waktu.
Di dalam kejiwaan itu Bima bingung sebab ia tidak tahu apakah tujuan
tapanya dan ia tidak tahu pula apa arti air suci itu. Bisa dikatakan kedatangan
Dewaruci tidak pernah diharapkan oleh Bima. Dewaruci sosok “bajang” yang mirip
dengannya namun aneh karena ia datang disaat Bima kebingungan dan berpasrah
memberikan dirinya dan menemukan Yang Ilahi sebagai anugerah (S.P. Adhikara,
1986: 18).
Adegan Bima masuk ke dalam “guagarba” Dewaruci, Bima digambarkan
sebagai “sarung keris” dan Dewaruci adalah “keris”. Keduanya menyatu seperti
seperti kesatuan manusia dengan khaliknya.
Dewaruci adalah air hidup yang dicari. Ia adalah bentuk kecil dari Bima.
Bima telah menemukan dirinya sendiri. Kesempurnaan hidup dapat ditemukan
dalam diri sendiri setelah berlaku tapa mengalahkan nafsu duniawi (Yohanes
Riyanto, 2007: 59-60).
Dari Dewaruci, Bima mendapatkan wejangan-wejangan. Yang pertama
adalah “pancamaya” yaitu lima bayangan yang digambarkan sebagai hati sanubari.
Ia menuntun pada keselamatan. Empat warna yang terlihat tersebut adalah hitam,
putih, merah dan kuning dan cahaya. Warna hitam, merah dan kuning adalah
penghalang bagi manusia yang hendak berbuat baik. Ketiganya adalah musuh bagi
para pertapa dan menjadi rintangan cipta karsa yang luhur yaitu untuk memperoleh
perpaduan tersebut dengan Yang Ilahi. Warna hitam mempunyai sifat mudah
marah. Segala sesuatu digusari. Warna hitam adalah hati yang selalu menghalang-
38
halangi maksud yang baik. Warna merah menutupi segala hati yang awas dan
waspada, ia pemarah dan cemburu. Warna kuning selalu merintangi angan-angan
dan tindakan yang menuju pada keselamatan. Hanya warna putihlah yang
mempunyai sifat-sifat luhur: tenang, suci, tidak banyak bicara tetapi banyak bekerja
(Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran
Dan Kebudayaan, 1958: 16-17).
Wejangan yang kedua adalah ”makrokosmos” dan ”mikrokosmos”. Setelah
keempat warna dan cahaya menghilang dari penglihatan Bima melihat nyala yang
memancarkan delapan warna. Dewaruci menerangkan mengenai ”mikrokosmos”
(dunia kecil) dan ”makrokosmos” (dunia besar). Yang dimaksud dunia besar adalah
alam semesta seisinya yang dapat ditanggapi oleh pancaindera manusia. Tanggapan
pancaindera ini disimpan dalam ketidaksadaran sebagai pancamaya. Dengan
demikian, isi alam semesta ini ada pada diri manusia walaupun hanya sebagai
bayangan. Isi alam digambarkan sebagai delapan warna yang berasal dari satu
nyala yaitu alam semesta. Delapan warna itu dapat diinterpretasikan sebagai
delapan laku utama atau ”Astabrata”. Dalam alam raya, delapan warna itu
menggambarkan matahari, bulan, bintang, bumi, laut, angin, air dan api. Sebagai
”mikrokosmos”, delapan warna itu menggambarkan delapan laku utama yaitu
matahari (melestarikan kehidupan), bulan (keindahan), bintang (keajegan), bumi
(kesabaran), laut (kemampuan menyandang suka dan duka serta menyelesaikan
masalah hidup), angin (ketelitian), air (kesucian) dan api (ketuntasan) (S.P.
Adhikara, 1986: 36).
39
Wejangan yang ketiga adalah ”pramana”. Bima melihat benda kecil sebesar
anak lebah, menyerupai anak-anakan terbuat dari gading yang memancarkan
cahaya menyilaukan. ”Pramana” berarti denyut jantung, jadi selama jantung masih
berdenyut, selama itu pula raga manusia masih hidup. Maka raga itu yang
menghidupi ”pramana”, sedangkan yang menghidupi ”pramana” itu disebut sukma
jati, yang merasakan adanya sifat-sifat keTuhanan Yang Maha Esa pada raga dan
jiwa manusia. Apabila raga manusia mati, ”pramana” turut mati, akan tetapi sukma
jati hidup terus dalam alam yang tidak disangga ruang dan tidak mengemban waktu
(S.P. Adhikara, 1986: 38).
Wejangan yang keempat adalah ilmu pelepasan. Bima telah menguasai
”pramana” setelah itu ia maminta untuk diajari ilmu pelepasan. Ilmu pelepasan
menjawab pertanyaan Bima mengenai hidup dan mati. Tentang mati, Dewaruci
mengatakan bahwa hidup itu tiada yang menghidupi, sebab semua ada sejak
makhluk berupa janin. Hidup itu tidak bersela waktu artinya hidup itu langgeng.
Yang mengalami kematian adalah raga dan raga yang telah mati kembali ke tanah
sesuai dengan pernyataan: dari debu kembali ke debu. Jiwa atau sukma yang
diemban raga, selama hayat dikandung badan, tidak mengalami kematian,
melainkan kembali kepada asalnya yaitu Yang menciptakan alam semesta. Kendala
mati yang sempurna adalah keduniawian. Dewaruci mengatakan agar manusia tidak
terikat dengan hal-hal duniawi. Dewaruci mengatakan kepada Bima supa
menyiapkan juga keperluan ajal tidak melulu keperluan duniawi.
Hidup dalam mati, mati dalam hidup merupakan wejangan Dewaruci yang
terakhir. Wejangan ini menyimpan kesimpulan dari semua wejangan. Hidup dalam
40
mati dan mati dalam hidup diartikan bahwa selama orang hidup kiranya mampu
melawan hawa nafsu dan memadamkannya dan dalam keadaan nafsu terpadamkan
manusia tetap hidup. Nafsu yang harus dipadamkan adalah nafsu untuk berbuat
tidak baik karena orang tidak dapat hidup tanpa nafsu. Yang tinggal dalam manusia
adalah nafsu untuk berbuat baik. Nafsu yang dipadamkan adalah nafsu yang
diwarnai hati hitam, merah dan kuning, dan yang dilestarikan adalah nafsu yang
diwarnai hati putih suci (S.P. Adhikara, 1986: 48).
B. Guru Sejati
1. Tokoh Bima
Tokoh penting dalam cerita Dewaruci adalah Bima. Bima memiliki cukup
banyak nama antara lain: Sena, Bratasena, Wrekudara, Senapati, Bayusuta,
Bayutanaya, Awirota, Angkusprana, Gandrawastratmaja, Ardanareswari. Nama dan
gelar yang dimilikinya dapat membantu dalam usaha mengenal pribadinya.
Dia diberi nama Bima atau Bima Sena. Artinya adalah manusia yang
memiliki tekad yang bulat dan keras hati, sebab gajah sena yang merobek
bungkusnya saat ia lahir telah menyatu dalam dirinya menjadi penunjang kekuatan
jasmaninya.
Bayusuta mempunyai arti putera Dewa Bayu. Dia dijuluki pula sebagai
Bratasena, artinya seorang kesatria yang sudah sampai pada taraf hidup jiwa
terdalam. Bima telah hidup sampai pada tingkatan mistik (orang yang rindu akan
asal usul kehidupan). Oleh karena itu dalam pewayangan, Bima mendapatkan
peranan khusus. Bima adalah tokoh pewayangan yang sempurna, lahir maupun
41
batin. Dialah satria pendeta (satriya pinandhita). Sebagai satria, dia tidak pernah
mengenal kata mundur dalam peperangan. Kata mundur adalah tabu baginya.
Gerak-geriknya tiba-tiba mampu menjadi ganas seperti saat ia bertarung dengan
kuku panjangnya (kuku pancanaka = lima kuku), ia akan merobek-robek lawannya.
Namun demikian ia adalah seorang kesatria yang mempunyai tingkatan jiwa
seorang pendeta, karena hanya dialah yang mampu bersatu dengan dirinya sendiri
(Yohanes Riyanto, 2007: 33-34).
Dalam serat Dewaruci, pembaca akan melihat bahwa ia adalah kesatria yang
sangat percaya dengan kekuatannya sendiri. Dalam mencari Tirtapawitra belum
pernah diceritakan ia pergi dengan menggunakan kendaraan, kereta, kapal, kuda,
gajah, kapal, perahu atau apapun namun ia berjalan kaki dan bahkan berlari
mengandalkan kekuatannya sendiri. Dalam peperangan melawan musuhpun ia
menggunakan kekuatannya.
Ia diberi nama Arya Bima. Artinya si keras hati, si bulat hati yang
mempunyai semangat. Jika ia mempunyai keinginan dan tujuan tertentu, hatinya
sekeras baja. Tidak ada satu tokohpun yang dapat mengendorkan, membelokkan
dan memupus keinginannya yang telah bulat. (S.P. Adhikara, 1984: 5)
Dia adalah putera kedua dari Pandu dan Kunti. Setelah melahirkan
Yudistira, Pandu menginginkan anak laki-laki yang bertubuh kuat dan berhati
teguh. Anak yang mampu menjaga ibu dan saudara-saudaranya. Suaranya
bergemuruh tetapi tidak merusak hati orang lain tetapi bila menggeram, singan dan
harimau akan takut. ”Dewa mana yang memiliki semua itu” pikir Kunti.
Teringatlah ia kepada Batara bayu, dewa penguasa angin dan guntur. Dengan
42
mantra sakti Druwarsa, ia mendatangkan dewa itu. Betara bayu memberikan
seorang anak laki-laki yang ajaib. Anak itu terbungkus seperti telur angsa.
Bertahun-tahun anak itu bergelundung ke sana kemari. Tiada seorang ahli
bedahpun dapat membedah bungkusnya, bahkan dewapun tidak. Betara Gurupun
menaruh iba. Dia mengirim puteranya yang berbentuk gajah bernama Sena. Dengan
kedua kakinya, gajah Sena menginjak bungkus sang bayi. Bungkus pecah namun
bayi marah. Dengan kekuatan yang ajaib, bayi itu membanting gajah hingga
musnah dan manunggal (bersatu) dengannya. Maka ia diberi nama Bima Sena, Dua
nama yang digabung menjadi satu (Herman Pratikta, 1978: 12-14).
2. Tokoh Druna
Resi Druna adalah guru Pandawa dan Kurawa, namun dalam situasi konflik
ia lebih memihak kepada Kurawa. Pribadi Druna lebih dipahami sebagai pribadi
yang memihak kepada kejahatan. Keluarga Pandawa membenci niat busuk Druna,
hal ini terungkap dalam dialog antara Bima dengan keluarga Pandawa. Mereka
membaca bahwa Druna hanya ingin menghabisi keluarga Pandawa dengan
membunuh Bima. Pribadi Druna pada serat Dewaruci adalah pribadi yang mendua.
Muncul sebuah pertanyaan apakah Druna memberikan jalan yang benar kepada
Bima atau sebaliknya, menjerumuskannya ke tempat yang berbahaya agar Bima
mati seperti apa yang diharapkan keluarga Kurawa.
Dalam pandangan Jawa, Druna sering diartikan sebagai ”angen-angen”
(akal, ratio), yang dalam hal ini lebih memihak kepada Kurawa (nafsu-nafsu jahat).
43
Bima memiliki watak bumi yakni kemurnian dan kejujuran (lugu dan lurus, apa
adanya dan bagaimana mestinya) (Warsito. S, 1972: 42).
Lain halnya bagi para dalang Jawa Tengah, Druna telah diolah menjadi
seorang guru yang berkualitas. Druna merupakan guru yang sudah “mungkur”
(sudah menyingkiri nafsu-nafsu jahat). Hal ini terlihat dalam tampilan wayang
Druna yang tangan kirinya diikat. Artinya “laku ngiwa” (tindakan yang melanggar
susila atau aturan) telah mampu dikendalikannya. Mata wayang Druna setengah
tertutup, hidungnya bengkok. Artinya semua inderanya sedah tidak berfungsi.
Semua indera yang sedah tidak berfungsi ini menyimbolkan bahwa ia telah
menyingkiri hal-hal yang berhubungan dengan nafsu inderawi, jiwanya telah
menyingkir dari hal-hal yang justru oleh kebanyakan orang dilihat indah dan
menyenangkan. (Sri Mulyono, 1978: 22-25).
3. Tokoh Dewaruci
Kata “Dewaruci” berasal dari kata “dewa” yang mempunyai arti ”Mahkluk
yang suci” dan “ruci” yang artinya “kotor”. Namun demikian Dewaruci bukan
berarti dewa yang kotor atau dewa kotor, melainkan dewa yang suci. Kesuciannya
dibandingkan dengan dewa-dewa lain, kesucian dewa lain masih kotor. Dengan
kata lain Dewaruci adalah dewa yang sangat suci. Ungkapan ini dapat diketemukan
dalam bahasa Jawa yang telah diterjemahkan menjadi tutur bahasanya pahit madu,
pikirannya tajam lutut “landhep dengkul”, duduknya tenang kincir “anteng kitiran”,
larinya lonjong peluru, dsb. Percakapan antara Bima Katik dan Bima Pertapa
menjadi awal dari banyaknya wejangan yang dierima oleh Bima Pertapa dari Bima
44
Katik. Dewaruci, sang Bima Katik merupakan dewa yang telah mencapai taraf
super ego. Ia menguraikan silsilah dari Bima Pertapa yang merupakan silsilah
hidupnya sendiri (S.P. Adhikara, 1986: 27-28).
Sumber lain mengatakan bahwa Dewaruci berasal dari kata “dewa” yang
berarti mahkluk suci dan “ruci” yang berarti sinar cahaya, indah, suka dan hasrat.
Dewaruci merupakan personifikasi dari cahaya suci (Sri Mulyono, 1978: 16).
Dewaruci bukanlah Tirtapawitra yang dicari oleh Bima. Sifat keilahian
Dewaruci muncul karena ia adalah mahkluk suci utusan yang Tunggal. Yang
tunggal sendiri tidak dapat digambarkan maupun dijelaskan dengan kata-kata (R.
Tanaya, 1979: 17).
Dewaruci serupa dengan Bima. Ia adalah simbolisasi dari jati diri Bima
sendiri. Tempatnya berada di dalam lubuk hati sanubari Bima (samudra menang
kalbu). Dewaruci ini sebagai pintu masuk bagi Bima untuk bertemu dengan Yang
sejati (Ki Manteb Sudarsono, VCD).
Dewaruci adalah gambaran pribadi Bima. Diri yang suci karena merupakan
bagian dari yang Ilahi. Dengan demikian melalui pintu inilah, manusia dapat
sampai kepada Yang Ilahi (Yohanes Riyanto, 2007: 57).
C. Berguru Berarti Belajar ”Ngelmu” dari Sang Guru
Bima mampu melihat keunggulan Drono maka ia tidak ragu berguru kepada
Druna. Dapat disimpulkan bahwa ciri khas dalam mendambakan kesempurnaan
hidup adalah dengan berguru.
45
Kata kawruh berkaitan dengan masalah epistemologi, yaitu mengenai
pengetahuan tentang sistem-sistem pengetahuan. Sistem epistemologi tersebut
biasanya mempunyai kaitan dengan ontologi (pengetahuan tentang struktur alam
semesta) maupun deontologi (pengetahuan mengenai kaidah-kaidah dan norma-
norma yang mengatur alam semesta). Kebudayaan Sansekerta mempunyai sistem
epistemologinya sendiri. Kata kawruh mungkin berasal dari bahasa Sansekerta.
Epistemologi Sansekerta tampaknya begitu mendasar dan berpengaruh luas
terhadap perkembangan epistemologi Jawa.
Ditinjau dari kata-kata, bahasa Jawa mempunyai banyak istilah tentang
mengetahui dan pengetahuan, seperti misalnya: weruh, ngerti, sumurup, miyat,
tampa, nampa, ngrasa, pana, kawruh, pengerten, panampa, pangrasa, ngelmu,
wikan, dhong, dunung. Semua itu menunjukkan betapa telah terjadi proses
observasi yang tekun dan cermat mengenai pengetahuan, sampai-sampai orang
dapat membentuk istilah-istilah yang masing-masing mempunyai nuansa tersendiri.
Kata kawruh dalam pola pikir Jawa mempunyai kaitan penting dengan soal
kasunyatan, sangkan paran, dan kasampurnan, yakni adanya pembedaan antara
kawruh lahir dan kawruh batin, ngelmu lahir dan ngelmu batin. Kawruh lahir
adalah pengetahuan yang objeknya adalah hal-hal lahir dan daya yang
dipergunakan juga adalah daya-daya lahir. Tergolong ke dalam kawruh lahir seperti
ini adalah pengetahuan mengenal alam, seperti misalnya hal tanem tuwuh,
pranatamangsa. Termasuk ke dalam kawruh lahir seperti ini adalah juga yang
disebut sebagai kanuragan (olah kekuatan fisik manusia). Kawruh batin adalah
adalah kawruh yang objeknya adalah hal-hal batin dan daya-daya yang digunakan
46
adalah juga daya-daya batin seperti kawruh mengenai hidup dan kehidupan, kawruh
kasukman, kawruh mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian mencari ilmu yang
dimaksud adalah mencari ajaran tentang kasunyatan, sangkan paran dan
kasampurnan, yang tergolong ke dalam kawruh batin dan merupakan bagian dari
kebudayaan Jawa yang tumbuh terutama pada jalur tradisi lisan. (AMW. Pranarka,
1987: 5-10)
D. Makna Keselamatan dan Usaha Untuk Mencapainya
Tirtapawitra merupakan tujuan akhir dari pencarian Bima. Namun demikian
pada akhir kisah, Dewaruci memberi gambaran tentang Tirtapawitra dengan
konsep tentang Yang Ilahi.
“Adapun yang kau maksud itu adalah sesuatu yang menguasai segala hidup. Ia tidak dapat kau lihat, kaena tak berwujud dan tak berwarna serta tak bertempat. Hanya orang yang waspada dapat mengerti di mana tempatnya, karena hanya menampakkan diri berupa alamat-alamat dan tanda-tanda, yang tak dapat di raba.”
Nampak bahwa Tirtapawitra yang dicari Bima merupakan bahasa simbolis
yang hendak mengungkapkan tentang Yang Ilahi. Ia sebagai Sang Sumber Hidup.
Yang Ilahi menguasai seluruh kehidupan, ia tidak dapat dilihat, tanpa rupa, tanpa
warna, tanpa wujud, tidak tampak, tanpa arah dan tanpa tempat, namun Ialah tujuan
yang dicari Bima. Hal ini memberi gambaran bahwa Tirtapawitra tidak diartikan
sebagai air secara harafiah. Ia menghubungkan sifat air sebagai unsur material yang
dibutuhkan kehidupan dengan sifat Yang Ilahi sebagai Sumber Kehidupan.
47
Yang Ilahi hanya terdapat pada manusia yang waspada. Ia ada di dalam diri
manusia, ada dalam segala ciptaan. Dalam serat Dewaruci Yang Ilahi nampak
dalam simbolisasi pribadi Dewaruci. Dewaruci digambarkan sebagai Bima kecil
merupakan simbol jati diri Bima. Masuknya Bima dalam guagarba Dewaruci untuk
menerima wejangan-wejangan diartikan Bima masuk dalam relung batinnya.
Digambarkan bahwa Bima bertemu dengan Yang Ilahi dalam guagarba Dewaruci,
berarti Yang Ilahi bersemayam dalam lubuk hati manusia sendiri yang paling
dalam. Hal ini memberi gambaran bahwa manusia adalah mahkluk paling mulia
karena Yang Ilahi sudi hadir dalam diri manusia. Jadi relasi dengan Yang Ilahi bagi
manusia sangatlah mungkin.
Relasi yang erat dengan Yang Ilahi adalah tujuan akhir dari mistik Jawa.
Terlihat pula puncak kisah Dewaruci adalah bersatunya Bima dengan Yang Ilahi.
Kemanunggalan adalah tujuan laku Bima tujuan dari laku Bima adalah menemukan
Tirtapawitra mengarah pada penemuan pengetahuan tentang Ilmu Sejati.
Pengetahuan dari Yang Ilahi yang hanya bisa diperoleh dengan manunggal dengan
Yang Ilahi.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan keselamatan dalam kisah Dewaruci
adalah kemanunggalan semua ciptaan dengan Yang Ilahi. Yang Ilahi digambarkan
sebagai asal dan tujuan sgala ciptaan (sangkan paraning dumadi). Keselamatan
hanya dapat dicapai jika ciptaan bersatu dengan Sang Pencipta. Orang yang selamat
adalah orang yang kembali dan bersatu dengan Sang Pencipta.
Karena Yang Ilahi adalah suci maka orang yang ingin bersatu denganNya
haruslah suci. Hidup yang lekat dengan keduniawian merupakan hambatan untuk
48
bersatu dengan Yang Ilahi. Dalam serat Dewaruci, Bima harus mampu
mengendalikan pikirannya dari ketamakan (raksasa) dan keasikan (madana),
keduniawian (rukma) yang dihadapi (muka) manusia, sehingga akhirnya menuju
(sara) dan terjerat (jala) kesedihan (tibra). Oleh karena itu, Bima harus mampu
membinasakan (gada) keserakahan (raksasa) dalam dirinya. Bima yang dililit Naga
Nemburnawa dan mukanya disembur dengan bisa berarti Bima mampu mematikan
pancainderanya dan memutuskan diri dari dunia luar untuk lepas dari keduniawian
dan masuk dalam kejiwaan untuk bersatu dengan Yang Ilahi. Dari gambaran
tersebut, kemanunggalan menuntut tindakan mati raga atau asketis agar manusia
terbebas dari kelekatan keduniawian. Sang Dewata melihat usaha Bima untuk
mendapatkan Tirtapawitra menaruh kasih padanya dengan mengutus Dewaruci
menemuinya untuk memberikan wejangan-wejangan tentang kehidupan. Hal ini
berarti selain usaha manusia dengan mawas diri terdapat campur tangan Sang
Dewata untuk mendapatkan keselamatan tersebut.
Persatuan dengan Sang Pencipta dicapai oleh manusia selama masih hidup
di dunia dengan laku ngelmu jati. Namun, Kemanunggalan sebagai tujuan akhir
hidup manusia hanya dapat dialami setelah kematian. Gambaran akan pelepasan
dalam Serat Dewaruci memperlihatkan adanya kehidupan setelah kematian. Orang
Jawa mengenal dan percaya akan adanya hidup kekal. Kematian bukanlah akhir
dari perjalanan hidup manusia. Bahkan diyakini bahwa hidup di dunia ini hanyalah
singgah sebentar untuk minum (mung mampir ngombe). Hal ini berarti hidup di
dunia tidaklah kekal. Hidup kekal akan dialami manusia hanya dengan bersatu
dengan Yang Ilahi.
49
Tirtapawitra yang dicari Bima adalah Yang Ilahi sendiri. Ia adalah Sang
Pencipta dan Sumber Hidup Sejati. Kisah Bima bersatu dengan Dewaruci berarti
Bima telah mencicipi kemanunggalan dengan Yang Ilahi, maka ia telah
memperoleh Tirtapawitra. Kesatuan penuh dengan Yang Ilahi akan dinikmati Bima
setelah kematian. Yang Ilahi inilah makna keselamatan dalam kisah Dewaruci.
50
BAB IV
YESUS GURU SEJATI
Dalam masyarakat Yahudi, Yesus dianggap sebagai seorang guru agama
dan kesusilaan. Ia disebut sebagai ”rabi”. Sebagai seorang rabi atau guru dalam
masyarakatnya, Yesus menerima Perjanjian Lama sebagai wahyu Ilahi. Ia
menunjukkan semua yang utama dalam Perjanjian Lama, sama seperti para rabi
pada masa itu. Ia menafsirkan Hukum Musa seperti mereka, tetapi ia juga
mengajukan kritik, sebuah perbuatan yang tidak pernah terpikirkan oleh para rabi
lain karena tidak berani (Adolf Hueken, 1976: 43).
Kata-kata Yesus penuh kuasa ”Belum pernah seorang manusia berkata
seperti itu!” (Yoh 7:46). Itu adalah jawaban orang yang hendak menangkap Yesus.
Ia berkata-kata atas kuasaNya yang bersifat pribadi bukan sekedar statusNya
sebagai Putera Allah ”barang siapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus
Aku”, kepribadian Yesus ditonjolkan untuk memberi gambaran akan kehadiran
Bapa dalam diriNya. Yang mengutus Yesus adalah Allah sendiri sehingga sebagai
Guru Ia memiliki keistimewaan-keistimewaan (Tom Jacobs, 2007: 35). Seperti
dalam percakapanNya dengan perempuan Samaria di sumur Yakub dalma Yoh 4:
1-42. Melalui percakapan ini, pembaca diajak untuk merenungkan nilai-nilai
kehidupan dengan sangat mendalam. Pergulatan pribadi untuk sampai kepada hidup
dengan pengenalan dan penyerahan diri kepada Yesus. Penyerahan kehidupan
kepada pemilik hidup berarti beriman. Dengan iman akan Yesus, orang
memperoleh keselamatan.
51
Kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria mengungkapkan
identitas Yesus sebagai Sumber Keselamatan. Pemaknaan akan Yesus sebagai
Sumber Keselamatan dijembatani dengan simbolisasi air. Air yang berasal dari
sumur Yakub sebagai air minum dalam arti harafiah menjadi titik pijak yang
mengantar pada paham akan identitas Yesus Sang Sumber Air Sejati. Pandangan
harafiah tentang fungsi air dalam hidup sehari-hari mendapat makna lebih dalam
ketika digunakan secara simbolis oleh Yesus untuk mengungkapkan identitasNya.
Untuk melihat keistimewaan Yesus sebagai Guru Sejati yang menghantarkan pada
keselamatan, penulis berpijak pada Percakapan Yesus dengan Perempuan Samaria
dalam Yohanes 4: 1-42.
A. Kuasa Yesus Sebagai Guru
Yesus benar-benar seorang guru yang sempurna. Ia sempurna dari segi Ilahi
dan insani. Yesus adalah tokoh yang sangat manusiawi: Ia duduk di pinggir sumur,
Ia letih, pergi ke sumur dan meminta air kepada orang yang belum dikenalNya
(Yoh 4: 6-7). Namun Ia juga sangat bijak dengan mengingatkan perempuan
Samaria mengenai hidupnya yang berada dalam perselingkuhan tanpa membuatnya
merasa dipermalukan atau dihukum (Yoh 4: 16-18). Namun Yesus juga
memperlihatkan diriNya sebagai tokoh yang bukan sekedar manusia. Pertanyaan
mengenai diriNya mendapat jawaban yang sama yakni Bapa. Dari mana Yesus
datang? Dari Bapa (Yoh 16: 28). Apa yang dikerjakanNya? Pekerjaan Bapa (Yoh 4:
34). Apa yang dikatakanNya? Berasal dari Bapa (12: 49). Jawaban-jawabanNya
mengarahkan pada inti rahasia Ilahi dalam diri Yesus. Ia adalah diriNya sendiri
yang sekaligus selalu berhubungan dengan BapaNya. Relasi Allah dengan Yesus
52
sangatlah erat. Memang Ia “datang sebagai guru yang diutus Allah” (Yoh 3: 2).
Kriteria menjadi seorang guru yang sempurna dalam unsur insani dan Ilahi telah
dimilikiNya. Ia dapat mengandaikan ajaran seperti sudah biasa didengar oleh
pendengarNya. Allah esa, Dialah Raja surga dan dunia, Yang Maha Baik dan Maha
Kuasa. Karena Ia Tuhan dan raja, hanya kepadaNyalah kita taat. Hal ini pula yang
menjadi dasar pengajaran Yesus. Ia memulai dengan menunjukkan keutamaan dari
Perjanjian Lama. Namun Ia mempunyai cara dan tujuan tersendiri dalam
pengajaranNya (J.M.Price, 1968: 5). Ada beberapa hal penting yang kiranya dapat
menjadi inspirasi dan masukan bagi semangat sebagai guru.
1. Yesus Mewujudkan Kebenaran Dalam DiriNya
Guru perlu memahami dan mengenali kepribadiannya sendiri. Hal ini
hendak menggarisbawahi bahwa menjadi guru perlulah memiliki kepribadian yang
baik. Sebuah teladan akan lebih bermanfaat dan bermakna dari pada seribu kata-
kata. Perbuatan atau kegiatan nyata lebih mudah dipahami dan berpengaruh
daripada perkataan. Guru hendaklah merasa bahwa dialah pelajaran yang terbaik.
Hidup dan kehidupan guru menjiwai pengajaran tentang kehidupan yang ia ajarkan
kepada muridnya. Kepribadian guru perlulah mencerminkan kebenaran dari
pengajarannya.
Yesus adalah penjelmaan dari kebenaran. Ia berkata
”Akulah.........kebenaran” (Yoh 14:6) apa yang diajarkanNya diwujudkanNya
dalam hidupNya. Ia tidak mengajarkan apa yang tidak diperbuatNya. Seorang guru
Alkitab mengatakan bahwa ”JiwaNya yang besar memberikan tempat secukup-
cukupnya bagi Roh Kudus untuk mengurapi Dia sepenuhnya. Apabila kita
53
memandang mataNya, maka tampaklah cahaya yang amat terang. Ia penuh
kebenaran, keagungan, kemurahan, semangat, kesabaran, keuletan dan penderitaan.
Percakapan dengan perempuan samaria menjadi sebuah pengajaran yang sungguh
hidup. Terlihat jelas perbedaan status sosial antara Yesus sebagai seorang rabi dan
perempuan Samaria yang memiliki kasus perselingkuhan ini. Diketahui bahwa
perempuan ini sedang dalam perselingkuhan dan dikucilkan dari pergaulan
sosialnya. Maka, cara pergaulan Yesus yang terbuka dapat dilihat sebagai sikap
Allah yang mau merangkul semua orang tanpa memandang status sosial yang
dikenakan masyarakat.
Orang-orang percaya kepadaNya karena pengajaranNya dipraktekan di
dalam kehidupanNya sendiri. Apa yang Ia ajarkan adalah kenyataan yang Ia alami
dalam hidupNya. Hal besar yang para murid dapatkan bukanlah doktrinnya namun
pengaruh hidupNya. Pengalaman terbesar adalah pengalaman kehidupan mereka
bersama Yesus. Yesus sungguh hadir sebagai guru melalui hidup dan diriNya
sendiri. Kita diundang untuk merelakan dan menyerahkan diri, dibentuk,
dipengaruhi oleh hidup dan pribadi Yesus. Dengan hidup bersama dan melihatNya,
kita diajak untuk mengalami hidup Yesus, lebih mengenal, menyerap dan memiliki
hidup seperti yang Ia ajarkan (J. Darminta, 1997: 44).
2. Hasrat Untuk Menolong
Guru perlu memperhatikan keperluan orang lain dan hasrat untuk menolong
orang. Kekurangan dalam memberikan perhatian terhadap orang lain tidak dapat
digantikan dengan keahlian yang lain. Kasih dan hasrat untuk melayani orang lain
54
dalam hal ini adalah para murid dapat mengurangi atau menutupi ketidakmampuan
dalam hal pengetahuan dan ketidaksempurnaan mengajar.
Sifat yang sangat nyata dalam diri Yesus adalah perhatianNya akan
kesejahteraan orang-orang lain. Ia lebih mementingkan orang dari pada hukum atau
organisasi. Yang menjadi fokus adalah manusia sebagai pribadi, yang mampu
beriman, percaya untuk membangun hidup (J. Darminta, 1996: 23). Dalam
masyarakat Yahudi waktu itu, kaum perempuan dipandang sebagai kelompok
masyarakat kelas dua. Kelas pertama adalah kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak
diperbolehkan memegang jabatan pemerintahan, tidak diikutsertakan dalam
kehidupan bermasyarakat dan orang lebih suka mereka tinggal di rumah. Dalam
kehidupan keagamaan, mereka dikelompokkan setara dengan budak kafir dan anak-
anak yang belum dewasa. Dalam perkawinan, hak-hak mereka terbatas. Mereka
dianggap sebagai penggoda sehingga laki-laki terlebih rabi tidak diperbolehkan
berbicara dengan seorang perempuan yang belum dikenalnya. Oleh karena itu
sangat wajar jika para murid keheranan melihat Yesus berbicara dengan seorang
perempuan yang belum dikenal di tempat umum (Yoh 4: 27). Lebih mengherankan
lagi bahwa perempuan tersebut adalah perempuan Samaria yang dicap ooleh
masyarakat setempat sebagai perempuan asusila. Yesus tidak hanya memperhatikan
orang namun lebih juga dengan kehidupan dan persoalan yang mereka hadapi.
3. Yesus Yakin Akan Manfaat Dari PengajaranNya
Yesus melihat bahwa mengajar menjadi sarana untuk membina cita-cita,
pandangan, dan kelakuan orang. Ia sering menyembuhkan orang, kadang-kadang
55
melakukan mukjizat-mukjizat, dan kerap kali berkotbah, tetapi yang utama adalah
mengajar. Ia menjadikan pengajaran sebagai alat untuk mengantarkan orang pada
penebusan dosa. Pengajaran Yesus memang mempunyai tujuan demi keselamatan
manusia (J.M.Price, 1968: 8). Perempuan Samaria yang terkucil dari masyarakat
sosial ini bertemu, berdialog dan mendengarkan ajaran Yesus Sang Mesias. Hal ini
berarti keselamatan ada dalam hidup perempuan Samaria ini. Ia yang sebelumnya
terasing dari kehidupan sosial, kini sangat dekat dengan masyarakat untuk
mewartakan kehadiran Mesias. Hidupnya menjadi kesaksian bagi orang-orang di
sekitarnya.
Di dalam keempat Injil, Yesus dikenal sebagi guru. Ia disebut sebagai guru,
rabi, tuan, yang semuanya itu mempunyai arti umum yang sama dengan pengakuan
Nikodemus: ”Rabi kami tahu Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah ” (Yoh
3:2). Yesus sangat mengutamakan pengajaranNya. Hal ini dapat dilihat dari
kegembiraan dan ketekunanNya pada waktu mengajar (Tom Jacobs, 2004: 33).
4. Paham Akan Firman Allah
Yesus sungguh paham akan Firman Allah. Ia mamakai Firman Allah untuk
menghadapi pencobaan-pencobaan iblis. Ia tidak hanya mengetahui Firman Allah
namun Iapun menggunakan Firman tersebut dalam situasi dan masalah pada masa
itu. Pemahaman dan pengertianNya akan Firman Allah adalah buah dari belajarNya
bukan semata-mata karena Dia Allah. Hubungan Yesus dan Allah yang
digambarkan sebagai Anak dan Bapa memang penuh misteri. ”Aku dan Bapa
56
adalah satu” (Yoh 10: 30). Ia mulai belajar sejak masih kanak-kanak dalam suatu
keluarga Yahudi. Suasana keagamaan dan pendidikan Yahudi mempengaruhiNya.
Yesus belajar dari rumah atau keluarga, rumah ibadat dan pergaulanNya
untuk memahami dan mengetahui Firman Allah. Kemahiran Yesus akan Firman
Allah dapat dilihat dari caraNya mengutip ayat-ayat secara langsung atau dari
ucapan-ucapanNya yang berhubungan dengan Taurat, kitab-kitab Yesaya, Yeremia,
Daniel, Yoel, Hosea, Mikha, Zhakaria, Maleakhi, dan kitab Mazmur (J.M.Price,
1968: 12).
5. Yesus Memahami Sifat Manusia
Seorang guru harus dan perlu mengenal sifat-sifat manusia. Kebenaran
Alkitab sulit untuk disampaikan apabila guru tidak mengenal sifat-sifat para murid.
Setiap orang yang bergaul dengan orang lain dalam pekerjaannya, maka ia perlu
mengenal rekan kerjanya dan orang yang menjadi relasinya. Yesus sebagai guru
mengenal kondisi hati dan batin manusia, sebagaimana Yesus mampu
mengungkapkan identitas perempuan Samaria padahal perempuan itu tahu bahwa
Yesus belum mengenal dia sebelumnya (Yoh 4: 18).
Yesus adalah seorang ahli yang mampu menyelami hati dan memahami
batin seseorang. Alkitab berkata ”Ia tahu apa yang ada dalam hati manusia” (Yoh
2:25) Ia mengenal pendengar-pendengarNya, mengetahui mereka itu baik atau
jahat, memperhatikan atau tidak, ramah atau tidak, tertarik atau tidak, mengerti atau
tidak, setuju atau menentang. PengetahuanNya mengenai sifat-sifat manusia
memungkinkan Dia memahami kemampuan, keperluan, pendirian dan maksud
57
murid-muridNya dan mendasarkan pengajaranNya atas hal-hal tersebut (J.M.Price,
1968: 15).
6. Cakap Mengajar
Ia sangat cakap dalam mengajar, Ia tidak mengemukakan suatu prinsip ilmu
jiwa, teori pendidikan, maupun ilmu mendidik namun demikian Ia menguasai
unsur-unsur yang penting dalam semua hal itu menggunakannya dengan sebaik-
baiknya. Ia menggunakan metode-metode secara leluasa dan efisien. Ia menghadapi
setiap situasi yang timbul pada waktu mengajar dengan kecakapan yang sempurna
(Rufus Pereira, 2002: 20-21).
Yesus sangat cakap dalam seni mengajar. Hal ini dapat dilihat dari
kenyataan bahwa Ia kerap kali menggunakan semua metode pengajaran yang
digunakan pada masa sekarang. Metode bertanya, berceramah, bercerita,
berdiskusi, dengan drama, alat peraga, proyek dan sebagainya. Susunan
pengajaranNya jika dipisah-pisah akan menemukan bagian pendahuluan, isi dan
penutup. Yesus mempunyai penyerahan diri secara total untuk orang lain, tekun,
dan setia, selain itu Ia memiliki pengetahuan akan metode-metode dan prosedur
pengajaran. Yesus mengajar dengan kuasaNya sendiri. Ia berbicara dengan penuh
keyakinan (J.M.Price, 1968: 18).
B. Yesus Mengajar Dengan Jelas dan Khas
Tujuan mengajar yang jelas dan khas menjadi sangat penting. Demikian
pula Yesus mengajar tidak hanya semata-mata karena Ia harus mengajar. Ia
58
mempunyai banyak rencana dalam pengajaranNya dan Ia berusaha untuk
mencapaiNya. Tujuan pengajaranNya tidak hanya untuk menyampaikan materi
“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup” (Yoh 10:10). Yesus melihat
kehidupan orang-orang dan memperbaharui yang tidak benar dalam masyarakat.
Sama seperti pelayanan penyembuhanNya, demikian pula pelayanan pengajaran
Yesus bersumber dari belas kasihanNya dan kuasa sabdanNya (Rufus Pereira,
2002: 21)
Seorang guru mengatakan “cita-cita merupakan katrol yang mengangkat
sifat asli manusia kepada tingkat yang lebih tinggi”. Manusia yang hidup dengan
cita-cita yang tinggi akan selalu mengusahakan tercapainya cita-cita itu. Ia tidak
akan melakukan hal-hal yang bertentangan atau menjauhkan dari tercapainya cita-
cita itu. Yesus dalam pengajaranNya berusaha membentuk cita-cita yang luhur.
Sifat dan diri Allah yang sempurna dijadikan Yesus sebagai gambaran akan cita-
cita yang harus dicapai para pengikutNya. Kesempurnaan Allah digambarkan
sebagai Bapa yang mengasihi, kesal dengan dosa manusia, bukan raja yang bengis
yang cuek (tidak peduli, acuh tak acuh) dengan penderitaan rakyat. Seperti dalam
perumpamaan mata uang yang hilang, domba yang hilang, anak yang hilang,
demikianlah kasih Allah kepada manusia. Seluruh pengajaran Yesus terpusat pada
pencapaian kesempurnaan hidup dalam Allah. Ia memperingatkan orang untuk
waspada pada rasa tamak, amarah dan tinggi hati. Hal ini akan menjauhkan dari
kesempurnaan hidup dan mendekati kebodohan. Semua amarah adalah tindakan
bodoh.
59
“Kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan
kamu” (Yoh 8:32). Hal itu dikatakan kepada orang-orang Yahudi yang percaya
kepadaNya, dan syaratnya adalah mereka harus taat kepada perkataanNya. Yesus
sebagai Guru tidak hanya mengajarkan kebenaran namun juga meneguhkan
keyakinan akan kebenaran itu. Selain pengetahuan dan tindakan nyata, Yesus
meyakini bahwa semangat perlu dibangkitkan dan pandangan hidup
diperkembangkan. Yang menjadi tuntutan dari murid adalah kemaua (J. Darminta,
1996: 30). Squires mengatakan “Ia menghadapi hidup dalam keseluruhannya,
bukan proses pemikiran murid-muridNya saja yang diperhatikan. Ia memelihara
kehidupan emosi dan kehidupan akal murid-muridNya juga”. Dalam pengajaran
haruslah memiliki kesadaran yang kuat tentang nilai-nilai kebenaran yang mereka
pelajari dan suatu tekat bulat untuk melaksanakannya.
Iapun berkata kepada Nikodemus yang terpelajar “Jika orang tidak
dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah” (Yoh 3: 3). Sebagai
Guru, Yesus mengajak dan mendorong para murid pada pertobatan kepada Allah.
Pertobatan itulah kelahiran, kebangkitan, hati baru, perubahan cara berpikir.
Pertobatan akan membentuk hal-hal yang baru “kamu menyembah apa yang tidak
kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari
bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa
penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan Kebenaran”
(Yoh 4: 22-23). Hal inilah yang mengubah dunia yang menyembah berhala beralih
kepada Bapa.
60
Kebahagiaan dan keteguhan kepribadian selalu dicari dan diusahakan Yesus
untuk ditanamkan dalam diri para murid. Pengajaran Yesus tidak pernah lepas dari
kehidupan pendengarNya. Orang-orang adalah tujuan pengajaran Yesus. Firman
Allah dan bahan-bahan lain adalah sarana atau alat untuk sampai pada tujuan.
Sasaran pengajaranNya adalah kehidupan bukan pada pengetahuan saja (J.
Darminta, 1996: 30-31).
Dalam mengajar, Yesus mengusahakan juga untuk membentuk para murid
menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Ia mencegah orang menyerah pada godaan
yang datang bertubi-tubi dengan hebatnya, menolong orang mengatasi nafsu yang
mencengkram dirinya, menyelamatkan pemungut cukai yang tinggi hati,
melepaskan wanitia tuna susila dari pengaruh-pengaruh yang mengusainya. Cita-
cita Yesus bagi para murid adalah kehidupan yang bebas dari dosa. Yesus
mengajarkan untuk berbuat lebih besar daripada apa yang tertulis pada undang-
undang dan kitab nabi-nabi (J.M.Price, 1968: 20).
C. Prinsip-Prinsip Dalam Mengajar
Jika dicermati sepintas, pengajaran Yesus seperti tidak terencana dengan
baik. Ia mengajar seperti sebuah kegiatan spontanitas tanpa filsafat tertentu yang
menjadi dasar. Namun hal tersebut salah. Pertama untuk melihat kesalahan
argumen tersebut adalah dengan melihat caraNya memilih dan mengutus kedua
belas murid. Orang-orang yang beruntung tersebut bukanlah orang-orang pandai
namun mereka mempunyai kecakapan yang tampak pada masa sekarang dan masa
yang akan datang. Misalnya keputusan Yesus memanggil Simon yang impulsif,
61
radikal dan tidak tetap namun Yesus melihat dan sungguh terbukti bahwa Simon
mampu menjadi orang yang berani dan tangguh. Simon pun mendapat nama Petrus
(batu).
Sebagaimana seorang pelukis melihat gambar yang akan dilukisNya di atas
kain kanfas dan seperti seorang pemahat membayangkan bentuk yang akan
dipahatkan pada batu, demikian pula Tuhan Yesus melihat dalam diri setiap
muridNya pribadi yang akan timbul dan perlu dibina secara optimis dan dengan
penuh kesabaran sehingga gambar itu dijadikanNya. Namun selalu ada harapan
bagi yang paling jahat dan lemah sekalipun (J.M.Price, 1968: 52)
Sepanjang Ia mengajar, Yesus menghabiskan sebagian besar hidupNya
bersama dengan pribadi-pribadi atau murid-muridNya. Yesus memperhatikan
keperluan dan pergulatan orang secara personal. Dengan memperhatikan secara
pribadi, Ia mendapat banyak kesempatan yang lebih baik untuk mengerti keperluan
mereka dan membimbingnya.
Ia mengajar secara wajar, tidak dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah
dirumuskan lebih dahulu atau pokok-pokok atau tradisi-tradisi bahkan dengan
Kitab Suci. Ia memulai pengajaranNya dari pengalaman hidup orang yang
mendengarNya. Ia menyampaikan ajaranNya sesuai dengan keadaan orang yang
ada dihadapanNya. Ia mengajar orang dari pengalaman hidup orang itu sendiri dan
mengantarnya ke tujuan yang dikehendakiNya. Dari Yoh 4:10 terlihat bagaimana
Yesus memberi pengajaran kepada wanita tuna susila di tepi sumur Yakub, Ia
memulai dengan “air” hal yang menarik bagi wanita itu kemudian diantarNya
62
kepada air hidup. Pengajaran yang sesuai dengan perhatian, keperluan, dan
menggunakan bahasa yang dikenal merupakan kebenaran dalam mengajar.
Yesus mengetahui bahwa masalah-masalah hidup timbul dari naluri-naluri
dasar seperti naluri menyelamatkan diri, berbiak, proyektif, dan sosial. Ia sendiri
mengalami pencobaan dalam hal-hal tersebut. Disadari bahwa dosa-dosa dalam
masyarakat timbal dari penyalahgunaan naluri. Sifat manusia adalah masalah pokok
yang dihadapi. Yesus selalu berfokus pada masalah ini karena tujuan
pengajaranNya adalah kesempurnaan hidup manusia. Dalam menghadapi masalah,
Yesus tidak berlama-lama membahas permasalahannya namun lebih cepat
menemukan kuasa dari menyikapi permasalahan tersebut (J. Darminta, 1996: 30-
31).
Yesus hadir di suatu bangsa yang penuh dengan peraturan. Melihat
kenyataan tersebut, Yesus tampil dan memberi pengajaran bahwa manusia
dilahirkan bukan untuk peraturan namun peraturan ditujukan untuk manusia. Ia
mengarahkan pada hati nurani masing-masing orang. Hal penting yang
menyebabkan orang mempunyai rasa tanggung jawab moral atau kepekaan
terhadap hal-hal yang benar dan salah. Ia banyak mengolah hati nurani dari pada
akal budi. Hal ini mendorong orang yang telah menerima pengajaranNya untuk
melakukan sesuatu. Hati nurani harus diterangi dan digerakkan. Sebaiknya jangan
kita memaksakan orang untuk melakukan sesuatu yang mereka tidak ingin lakukan,
tetapi lebih baik mendorong mereka melakukan apa yang mereka kehendaki (J.
Darminta, 1996: 33).
63
Yesus mengajarkan untuk melihat kepribadian orang lain dengan kacamata
positif. Seperti Ia memilih Simon dengan segala sifatnya. Yesus melihat dengan
kacamata positif bahwa dengan perhatianNya akan menjadikan Simon seorang
yang besar. Yesus menghidupkan iman orang dengan menunjukkan kepercayaan
kepadanya. Yohanes yang tidak mengenal kasihan menjadi murid yang dikasihi dan
iapun menjadi orang yang mengerti perasaan orang lain dan penuh dengan kasih
(Adolf Hueken, 1976: 52-57).
Sebagai seorang Guru, Yesus mendorong para muridNya untuk aktif. Saat
Yesus berkata dan bertindak, para murid diajakNya untuk aktif meresponnya.
Menghadapi pertanyaan yang diajukan para murid, Yesus tidak langsung
menjawabnya namun menganjurkan mereka menemukan sendiri jawabannya.
“Bagaimana pendapatmu?” itulah lontaran-lontaran sapan Yesus yang dapat kita
temui (J. Darminta, 1996: 33). Ia berkata “Barang siapa mau melakukan
kehendakNya, ia akan tahu” (Yoh 7:17). Dalam perumpamaan tentang talenta,
orang yang menggunakan kemampuannya akan mengembangkan kemampuan itu,
sedangkan orang yang tidak menggunakannya akan kehilangan apa yang telah
dimilikinya.
D. Makna Keselamatan dan Usaha Mencapainya
Bertolak dari percakapan Yesus dengan perempuan Samaria di sumur
Yakub, pengertian Air Hidup diartikan sebagai pribadi Yesus maupun pribadi Roh
Kudus. Dapat disimpulkan bahwa pengertian Air Hidup dipahami sebagai person
atau pribadi, baik Yesus maupun Roh Kudus. Jika Yesus disebut sebagai
64
Juruselamat (Yoh 4: 42), maka hidup kekal menunjuk pada pengharapan akan
keselamatan yang akan dibawa oleh Yesus. Berbicara mengenai hidup kekal berarti
berbicara mengenai pengharapan akan keselamatan Allah yang akan dibawa oleh
Yesus. Yesus diyakini sebagai pemenuhan janji keselamatan Allah (Yoh 1: 14).
Pengharapan akan keselamatan ini dikabarkan oleh Roh Allah sendiri dalam diri
setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
Paham keselamatan dikaitkan dengan pribadi Yesus sebagai Juruselamat
(Yoh 4: 42). Yesus sebagai pengantara keselamatan kepada Allah. Melalui Yesus,
orang dapat menjalin relasi yang utuh dengan Allah. Percaya kepada Yesus Sang
Juruselamat berarti orang mendapat keselamatan. Maka keselamatan dapat dihayati
secara dinamis sampai menjadi utuh dan lengkap dalam relasi dengan Allah melalui
Yesus. Keselamatan merupakan puncak kehidupan, hidup sepenuh-penuhnya.
Manusia perlu mengusahakan untuk bersatu dengan Yesus Sang
Juruselamat agar mendapatkan keselamatan. Hanya denganbersatu bersama Yesus,
manusia akan mendapatkan dan merasakan keselamatan. Kehadiran Air Hidup
merupakan tawaran keselamatan. Namun demikian perlu adanya usaha konkrit
manusia untuk mendapatkan keselamatan itu dengan bertobat terus menerus. Maka
meminum Air Hidup berarti percaya kepadaNya dan melakukan kehendak Allah
dalam perjuangan hidup sehari-hari. Inilah jalan untuk memperoleh keselamatan.
Dengan demikian, kita menjelaskan maksud Yesus ketika berbicara tentang
makanan kepada para muridNya, dengan bersabda: “MakananKu ialah melakukan
kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya” (Yoh 4: 34).
Perkataan “memakan” atau “meminum” berarti melakukan kehendak Allah seperti
65
yang telah dilakukan Yesus. Oleh karena itu, benar dikatakan Yesus dalam ayat 14
“orang yang meminum air yang akan Ia berikan, ia tidak akan haus lagi dan akan
menjadi mata air dalam dirinya yang memancar sampai kepada kehidupan kekal”.
Sabda Yesus itu dapat kita pahami dengan melakukan kehendak Allah.
66
BAB V
DIALOG ANTARA DUA GAMBARAN
KISAH DEWARUCI DAN YESUS SANG GURU SEJATI
Sesudah menguraikan dan menganalisis serat Dewaruci dan makna Guru
Sejati dalam terang Yesus Sang Guru, dalam bab ini akan dicoba untuk
merangkumnya. Pada kenyataannya disamping kesamaan yang ada antara uraian
dari kisah Dewaruci dan kisah Yesus Sang Guru Sejati, ada juga kekhasan antara
keduanya. Pemahaman Guru Sejati dalam kedua kisah berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing. Kekhasan-kekhasan
tersebut memperkaya pemahaman dan wawasan tentang Guru Sejati dari dua
budaya. Yang menarik dan menjadi benang merah dari kedua kisah adalah
keduanya memberi gambaran bahwa Guru Sejati mengantar pribadi murid dengan
kekuatan sendiri dan campur tangan Allah pada keselamatan. Peran Guru Sejati
inilah yang menghubungkan kekhasan kedua pandangan tersebut.
A. Perbedaan Ajaran Kedua Guru Dalam Memaknai Kematian, Keselamatan
Dan Hidup Kekal
Hidup kekal itu tidak lain “mengenal”, percaya, menyerahkan dan bersatu
dengan Bapa Yesus Kristus. Hidup kekal bukan sesuatu di masa yang akan datang
melainkan kini sudah diserap melalui iman kepercayaan kepada Yesus (Yoh 3: 26,
5: 24, 6: 40, 47: 20). Dengan demikian “dunia” yang dikasihi Allah (Yoh 3: 16, 12:
4) terpecah menjadi dua, yaitu dunia yang membenci Bapa, Yesus dan pengikutNya
karena tidak percaya dan mereka yang percaya dan mendapat hidup kekal. Hidup
67
Kehidupan yang dimaknai sebagai kehidupan yang akan datang dalam iman akan
Kristus, Yohanes membicarakannya sebagai kehidupan yang sudah ada sekarang
ini. Sekarang ini juga manusia telah mengalami keselamatan, hidup kekal tidak
perlu menanti kematian untuk mengenal hidup yang paling dalam (Dr. C. Groenen,
1995: 173).
Hal di atas diungkapkan Yesus dengan berkata “Barang siapa mencintai
nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya tetapi barang siapa tidak mencintai
nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup kekal” (Yoh 12: 25).
Orang beriman adalah orang yang menginsafi dirinya sebagai orang yang telah
mengalami peralihan dari keadaan sebagai pendosa yang bakal menemui
kehancuran menjadi keadaan seorang anak Allah yang sedang menuju kebahagiaan.
Ia sudah ditebus dari kedosaan yang mengurung dirinya. Ia kini terarah kepada
Allah, bukan lagi kepada dirinya sendiri, maka setiap tindakannya adalah tindakan
manusia yang terarah kepada Allah. Hal ini adalah wujud keselamatan yang telah
tiba padanya, sehingga keselamatan telah dirasakan manusia dalam hidupnya
(Agustinus Gianto, 1981: 343). Keselamatan yang diwartakan Yesus dalam hidup
dan ajarannya dapat diperoleh dengan bersatu bersama Bapa. Untuk dapat bersatu
dengan Bapa, manusia perlu bersatu dengan Yesus yang merupakan anak Allah
dalam rupa manusia. “Ia telah mengaruniakan anakNya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal”
(Yoh 3: 16). Manusia perlu mengikuti dan meneladan apa yang dikerjakan Yesus.
Iapun mengatakan “barang siapa percaya kepadaNya, ia tidak akan dihukum;
barang siapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak
68
percaya dala nama Anak Tunggal Allah” (Yoh3: 18). Untuk mendapatkan
keselamatan, manusia perlu mengikuti Yesus dan percaya kepadaNya. Hal ini
menuntut kesetiaan untuk menapaki jalan kehidupanNya, dengan mengenakan
keutamaan-keutaaan dan keprihatinanNya serta pilihan-pilihanNya. Keberadaan
dan kehadiran yesus untuk menyelamatkan manusia dari dosa adalah sebuah kasih
yang total dari Allah sehingga manusiapun dapat bersatu denganNya.
Keselamatan akan didapat dengan iman dan perjuangan, suatu usaha dan
perbuatan untuk selalu benar di hadapan Allah sama seperti yang telah Yesus
teladankan selama hidupNya. Keselamatan adalah kasih karunia Allah bukan
karena usaha manusia sendiri untuk memperolehnya. Usaha manusia memperoleh
keselamatan merupakan upaya manusia untuk selalu berlaku benar dan
menghindari dosa di hadapan Allah dan Allah sendirilah yang menghendaki
manusia untuk memperoleh keselamatan.
Dalam kisah Dewaruci, Tirtapawitra digambarkan sebagai air hidup yang
member kehidupan kekal bagi orang yang mendapatkannya.
“Hendaklah kamu pergi mencari air suci Tirtapawitra, yang akan menyucikan hidupmu. Apabila dapat, kamu akan menjadi bersih, tak bercacat dan akan menguasai hidup. Dengan itu kamu menjadi wasiat sempurna. Diseluruh dunia tidak ada mahkluk yang sepadan dengan kamu. Kamu dapat melindungi serta memberi kebahagiaan kepada orang tuamu, kebahagiaan yang terbesar dalam tribuana (ketiga dunia) dan kekal adanya” (Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, 1958: 24)
Air hidup dihubungkan dengan kesempurnaan dan hidup kekal. Orang yang
mendapatkan Tirtapawitra akan menjadi bersih dan mampu menguasai hidupnya.
Hal ini akan membuat orang sempurna sehingga ia mempunyai kehidupan kekal.
69
Kehidupan kekal dapat dialami orang setelah kematian atau kelepasan yang
sempurna. Kehidupan kekal berkaitan dengan ilmu pelepasan. Dalam serat
Dewaruci, alam semesta tidaklah diciptakan abadi, segala yang tercipta baik besar
maupun kecil, merangkak atau merayap akan mengalami kematian. Bumi bukan
tempat tinggal manusia selamanya. Bumi akan ditinggalkan setelah kematian.
Pandangan tentang hidup didasarkan pada pemaknaan Pramana yang menguasai
raga manusia. Pramana hidup karena dihidupi oleh Hyang Suksma. Jika manusia
mati, pramanapun mati. Tetapi suksma yang hilang dari raga tetap hidup. Dewaruci
menggambarkan bahwa hidup kekal sebagai kelepasan hidup yang manusiawi yang
tidak dipengaruhi oleh raga. Manusia harus lepas dari jeratan hawa nafsunya
sehingga ia dapat bersatu dengan Yang Ilahi. Jalan yang harus ditempuh manusia
adalah: mengenal diri sendiri, menyadari bahwa ia berasal dari Yang Ilahi,
menyadari hidup yang selalu diliputi hawa nafsu, bertobat dan merubah hidup. Dari
sana manusia akan bertemu dengan inti sari hidupnya dan bersatu dengan Yang
Ilahi.
Manusia ada dan hidup serta merasakan segalanya dengan segala
kelengkapannya yang ada, tetapi hidup manusia bukanlah dari kemampuan manusia
sendiri melainkan dari suber Yang Maha Menghidupkan yaitu Sang Ilahi. Bima
yang mawas diri disalurkan oleh Dewaruci yang sudah mencapai unio misica atau
manunggaling kawula Gusti dengan Khaliknya. Dengan mengenal dirinya, Bima
akan mengenal Khaliknya dan bersatu denganNya. Dewaruci dalam bentuk dewa
bajang menjadi simbol manusia yan masih murni hendak mengatakan bahwa usaha
Bima untuk mawas diri adalah jalan untuk mendapatkan dirinya yang semurni-
70
murninya karena dalam diri yang murni dan suci itulah ia dapat menemukan Yang
Ilahi.
Serat Dewaruci mengajarkan bahwa keselamatan manusia yang diperoleh
dengan manunggal dengan Yang Ilahi baru akan terlaksana setelah kematian.
Untuk dapat kembali ke asal dan tujuan hidupnya, maka kematian harus melalui
proses pelepasan dari yang duniawi dan ragawi. Ajaran tentang pelepasan dengan
kematian inderawi dalam Dewaruci memberi gambaran akan adanya hidup kekal
atau hidup yang sejati setelah kematian. Orang Jawa percaya akan adanya hidup
kekal. Hal itu akan dialami manusia setelah perjalanan di dunia berakhir. Orang
Jawa meyakini hidup di dunia seperti orang yang singgah untuk minum (mampir
ngombe). Itu berarti hidup di dunia tidak kekal. Keselamatan dan hidup kekal baru
akan dinikmati manusia setelah kematian datang dan tidak dirasakan selama alat
inderawi masih berfungsi.
B. Persamaan Antara Dua Gambaran Tokoh Sebagai Guru
1. Makna Keselamatan Dan Manunggaling kawula Gusti
Keselamatan yang diwartakan oleh Yesus tidak lepas dari latar belakang
hidupNya dan situasi masyarakat pada masa itu. Dalam Kitab Suci, keselamatan
juga digambarkan secara konkrit tidak hanya merupakan suatu ide yang abstrak
atau cita-cita yang semata-mata rohani. Latar belakang bangsa Israel yang miskin
dan putus asa dengan penjajahan Roma, mereka mengharapkan kehadiran Kerajaan
Allah sebagai turun tangannya Allah dalam penderitaan manusia. Yesus
mengajarkan kepada murid-muridNya untuk mendekati Allah sebagai Bapa dan
71
sesama sebagai saudara. “Kerajaan Allah ada diantara kamu” (Luk 17: 21).
Keselamatan berarti keharmonisan, yang mulai dalam hubungan keselamatan
adalah kehadiran Allah sebagai daya kekuatan antara manusia sebagaimana tampak
dalam mukjizat-mukjizat Yesus (Tom Jacobs, 2004: 5-6).
Dalam hidup sehari-hari terdapat pandangan iman bahwa perbuatan baik
mendekatkan orang pada keselamatan dan perbuatan jahat menjauhkan dari
keselamatan. Namun demikian surat Paulus kepada jemaat di Galatia mengatakan
dengan terang-terangan bahwa tak seorangpun menjadi lurus karena menjalankan
aturan Taurat, kecuali bila ia mempercayai Kristus (Gal 2: 16). Bila menjadi
“lurus” dimengerti sebagai “selamat” dan “menjalankan aturan Taurat” sebagai
“berbuat baik” maka keyakinan yang dibuat di atas tidak sejalan dengan ajaran
yang diwartakan Paulus. Ayat dalam Galatia tersebut menantang untuk
merenungkan kembali apa dan di mana peranan perbuatan baik dalam rangka
keselamatan. Paulus menjelaskan lebih lanjut bahwa perbuatan baik justru baru bisa
berperan bagi keselamatan seseorang asalkan orang sudah memperoleh
keselamatan. Perbuatan baik bukanlah sebab untuk mencapai keselamatan. Yang
menjadi sebab ialah belas kasihan serta kerahiman Tuhan sendiri (Agustinus
Gianto, 1981: 342-345).
Keselamatan adalah karya Allah sepenuhnya, karena yang menjadi intinya
ialah panggilan Allah kepada manusia untuk hidup bersama-samaNya. Dengan
demikian manusia akan menjadi manusia yang utuh, manusia yang sempurna
seperti yang dicita-citakan Allah sendiri sewaktu menciptakannya, yakni menurut
“gambar dan rupa” Allah sendiri (Kej 1: 26). Segala sesuatu yang dikerjakanNya
72
akan menjadi pekerjaan Allah sendiri. begitu pula Allah sendiri akan seutuhnya
tamnpak sebagai Allah yang didambakan manusia, “karena sekarang kita melihat
dalam cermin suatu gambaran yang samara-samar, tetapi nanti kita akan melihat
muka dengan muka” (1 Kor 13: 12). Kerajaan Allah yang kini bisa dialami
belumlah sepenuhnya mengungkapkan kebesaranNya secara utuh. Pewahyuan
secara penuh baru terjadi bila manusia juga mampu menerimaNya” (Agustinus
Gianto, 1981: 345).
Makna keselamatan selalu dihubungkan dengan adanya penderitaan
sehingga dengan mudah keselamatan diartikan sebagai pembebasan dari hukuman,
penderitaan dan mendapat hidup kekal, lepas dari kegelapan menuju hidup yang
penuh terang. Dengan iman akan Kristus, keselamatan akan diperoleh jika manusia
bersatu denganNya “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun
yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14: 6). Dasar iman
tentang keselamatan bersumber dari Allah melalui satu-satunya perantara yang
ditunjuk yaitu Yesus kristus. Tidak ada pribadi lain selain dia yang mampu
membawa manusia memperoleh keselamatan. Iman akan Kristus mampu membawa
manusia pada keselamatan dengan dibarengi dengan usaha konkrit manusia karena
Yesuspun berkata “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! sebab
Aku berkata kepadamu: Banyak orang yang akan berusaha untuk masuk, tetapi
tidak akan dapat” (Luk 13: 24).
Relasi yang erat manusia dengan yang transenden menjadi tujuan akhir dari
mistik Jawa. Puncak dari kisah Dewaruci adalah bersatunya Bima dengan
khaliknya. Kemanunggalan adalah tujuan dari laku Bima, maka tujuan dari laku
73
Bima mencari Tirtapawitra sebenarnya mengarah pada kawruh ngelmu sejati
(pengetahuan tentang ilmu yang sejati) yakni pengetahuan dari yang Ilahi sendiri
hanya diperoleh dengan manunggal dengan khaliknya. Pandangan keselamatan
dalam kisah dewaruci adalah Kemanunggalan semua yang tercipta dengan Yang
Ilahi. Yang Ilahi digambarkan sebagai sangkan paraning dumadi (asal mula dan
tujuan segala ciptaan). Keselamatan hanya dapat dicapai jika ciptaan bersatu
dengan Sang Pencipta. karena Yang Ilahi adalah suci maka orang yang ingin
bersatu denganNya haruslah suci. Hidup yang lekat dengan duniawi adalah
hambatan bersatu dengan Yang Ilahi. Maka Kemanunggalan menuntut manusia
lepas dari keduniawian (Yohanes Riyanto, 2007: 95-96).
Dengan mawas diri, Bima mampu mengenali dirinya dan mendengarkan
suara Yang Ilahi. Bima menemukan Yang Ilahi dalam dirinya yang murni karena
dalam hati nuraninya itulah Yang Ilahi mewahyukan diriNya. Dengan mengingat
pula sangkan paraning dumadi, manusia harus berusaha untuk dapat mengetahui
“siapa sebenarnya dirinya, dari mana asalnya dan kemana nanti akan pergi”. Mawas
diri adalah landasan pokok untuk mengenal hal-hal lain dan untuk pengebangan
diri.
2. Menghantar Pada Keselamatan
Pendeta Druna dan Dewa bajang yang disebut sebagai Dewaruci dalam laku
Bima untuk mendapatkan kesegaran jiwa menjadi tokoh yang sangat penting. Hal
ini terlepas dari niat Druna untuk mencelakakan Bima dengan berbagai titah yang
mengancam keselamatan Bima. Namun demikian laku inilah yang membawa Bima
74
untuk berelasi dengan Yang Ilahi. Keutuhan relasi dengan Allah dalam kehidupan
kekal baik dalam wejangan Dewaruci maupun ajaran Yesus menjadi hal yang
penting.
Bercermin dari kisah Dewaruci, orang Jawa merefleksikan hubungan
manusia dengan Yang Ilahi. Hubungan dengan Yang Ilahi itu didapat dengan usaha
dan perjumpaan Bima dengan Dewaruci menjadi simbol pembentukan manusia
sejati dengan mengenali dirinya sendiri. Bima yang mampu kembali mengenali
dirinya sendiri mampu membebaskan diri sendiri dari jerat kejasmanian dan
keduniawian sehingga mampu kembali kepada inti hidupnya, kembali kepada Yang
Ilahi, asal dan tujuan hidupnya (sangkan paraning dumadi). Inti hidup dalam serat
Dewaruci dirumuskan dengan manunggaling kawula Gusti, sang tujuan hidup.
Keselamatan dalam Yesus dikaitkan dengan pribadi Yesus sebagai
Juruselamat. Yesus adalah pengantara keselamatan kepada Allah. Melalui Yesus,
orang dapat berelasi utuh dengan Allah. Percaya dan mengikuti Yesus berarti orang
mendapatkan keselamatan. Keselamatan itu didapat jika orang mau berelasi dengan
Allah melalui Yesus. Keselamatan adalah puncak kehidupan, hidup sepenuhnya.
Pribadi Yesus sebagai Juruselamat memberi daya hidup yang kuat walaupun
sumber utama keselamatan adalah Allah sendiri. Orang yang percaya ambil bagian
dalam kehidupanNya. Inti hidup sesungguhnya adalah hubungan, relasi yang erat
dan mesra dengan Allah, maka mulai dirasakan bahwa hidup bukanlah terikat dan
terkurung pada keberadaan yang duniawi. Untuk mencapai relasi terdalam dengan
Allah, manusia harus berani lepas dari eksistensi keduniawian. Sebab pada
75
kenyataan eksistensi keduniawian tidak pernah berkembang, bahkan sangat
terhambat dan gagal karna adanya kematian.
Yesus mengajarkan Allah adalah sumber dan tujuan dari hidup, melalui
Dialah manusia sampai pada Yang Ilahi. Keselamatan yang sejati adalah ketika
manusia kembali pada yang Ilahi melalui Yesus Sang Juruselamat, sang air hidup.
“Barang siapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan minum”. Dalam Yoh 7: 37-52,
pengertian air hidup dikaitkan dpribadi Yesus, tokoh yang member air hidup. Air
tersebut akan menjadi mata air di dalam dirinya yang terus memancar sampai yang
kekal. Air hidup tersebut dihubungkan juga dengan daya kekuatan Yang Ilahi.
Yesus sebagai pemberi air hidup memiliki hubungan erat dengan sumber air hidup
sendiri.
Air hidup menurut Dewaruci adalah bahasa simbolis tentang Yang Ilahi
sebagai Sang Sumber Hidup. Tirtapawitra yang dicari Bima diwejangkan oleh
Dewaruci sebagai berikut:
“Adapun yang kau maksud itu adalah sesuatu yang menguasai segala hidup. Ia tidak dapat kau lihat, kaena tak berwujud dan tak berwarna serta tak bertempat. Hanya orang yang waspada dapat mengerti di mana tempatnya, karena hanya menampakkan diri berupa alamat-alamat dan tanda-tanda, yang tak dapat di raba.”
Dari wejangan itu dikatakan bahwa air hidup yang dicari Bima didefinisikan
sebagai Yang Ilahi sendiri. Dia berada dalam diri orang yang awas dan sadar
terhadap rahasia kehadiranNya. Dewaruci mengajarkan bahwa air hidup adalah
Yang Ilahi sendiri, yang menjadi sumber dan tujuan segala ciptaan.
Pemakaian simbol air untuk menggambarkan keselamatan dan sumber dari
sama-sama digunakan oleh kedua guru dalam mengajar. Dewaruci dan Yesus
76
menggunakan air hidup sebagai pewahyuan tentang Yang Ilahi. Pemaknaan air
hidup mengarah pada gabaran keIlahian yang membawa pada hidup kekal.
3. Relasi Guru Dan Murid
Dalam kisah Dewaruci diuraikan bagaimana Bima bertemu dengan dewa
bajang bernama Dewaruci yang mempunyai rupa sama dengan Bima. Dari
Dewaruci inilah Bima mendapatkan wejangan-wejangan perihal kehidupan. Untuk
mendapat wejangan dari Dewaruci, Bima harus masuk ke dalam guagarba (rahim)
Dewa Ruci. Di dalam guagarba itulah Bima melihat keluasan yang tidak bertepi
sehingga Bima bingung dan takut karena tidak tahu arah. Bima kembali
menemukan Dewaruci di hadapannya dan kelihatan bercahaya terang. Bima
melihat pancamaya dan catur warna yakni hitam, merah, kuning dan putih.
Hilangnya empat warna serta selesainya penjelasan mengenai artinya, Bima melihat
suatu nyala dengan delapan rupa. Bima kemudian melihat boneka gading yang
bersinar. Bima terus meminta wejangan seraya mengatakan bahwa tanpa wejangan
dari Dewaruci, Bima tidak mau keluar dari rahim Dewaruci. Dewaruci meneruskan
wejangannya mengenai bersatunya manusia dengan Gusti yang menjadi asal dan
tujuan dalam hidup.
Dari serat Dewaruci inilah yang penting adalah pengalaman hubungan
manusia dengan Allah yang diperoleh dalam konteks hubungan guru dengan murid.
Ketaatan Bima dalam berguru kepada pendeta Druna yang hendak menjerumuskan
itu berakhir dengan pengalaman yang luar biasa bertemu dengan Dewaruci. Pendeta
Druna telah menghantar Bima kepada Dewaruci Sang Guru Sejati. Sebagai seorang
77
murid, Bima mencari dengan tekun dan sungguh-sungguh, berusaha sekuat tenaga
untuk hidup sempurna. Bima merasa rendah saat berhadapan dengan Dewaruci
namun demikian ia menemukan dirinya sebagai mahkluk yang luhur, dia
mengalami kekosongan dan kegelapan sekaligus terus mendapat terang dan
kepenuhan.
Perjumpaan Bima dengan Dewaruci menjadi gambaran pengalaman
manusia bertemu dan menemukan dirinya sendiri. Pengalaman menemukan dirinya
sendiri itu sekaligus juga pengalaman bersatu dengan Gusti. Bersatu dengan Gusti
membawa manusia menemukan dirinya sendiri, menemukan kesempurnaan
hidupnya. Bersatunya Bima di dalam guagarba Dewaruci berarti bahwa Bima
memperoleh petunjuk kehidupan yang dicari dan ia menemukan, mengenal asal dan
tujuan hidupnya.
Dewaruci menegaskan bahwa Bima mempunyai tugas memerangi kejahatan
di dunia sehingga ia tidak diperkenankan tinggal dalam guagarba Dewaruci. Hal
ini merupakan perutusan untuk terus berjuang untuk orang lain dengan memerangi
nafsu kejahatan.
Dengan mengikuti ajaran Yesus manusia telah disatukan dengan Bapa.
Perbuatan atau karya Yesus adalah karya Allah sendiri sehingga jika manusia
meneladan Yesus, Allah sendiri yang menjadi sumber teladan. Dalam Yohanes 12-
20 digambarkan keteladanan Yesus untuk saling membasuh kaki. Jikalau Yesus
yang disebut sebagai Guru dan Gusti melakukannya maka muridpun harus
meneladanNya.
78
Kesetiaan untuk meneladan karya Yesus yang adalah karya Allah sendiri
membawa manusia bersatu dengan Allah Sang Keselamatan. Yesus mengajarkan
tentang kehidupan melalui hidupNya sendiri. Para murid mendapatkan pengajaran
dari kata-kata dan tindakan Sang Guru. Ia menunjukkan hal-hal yang dekat lalu
dikembangkan sampai pada kesimpulan.ia memulai pengajaran dari hal-hal yang
dapat dilihat dengan mata dan lukisan-lukisan yang khas. Dengan perkataan mulai
dari yang telah diketahui, dari yang konkrit ke yang abstrak. Dalam perumpamaan-
perumpamaan Yesus akan menjelaskan apa yang diucapkanNya kepada murid-
muridNya.
Yesus menyebut dirinya Juruselamat dan mengundang para murid untuk
bersatu denganNya sehingga manusia mendapatkan keselamatan Yang Ilahi. Yesus
berperan sebagai perantara untuk sampai pada keselamatan. Setelah para murid
mendapat pengajaranpun, ia dituntut untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Tokoh Bima
dalam serta Dewarucipun mendapat tugas untuk memerangi kejahatan duniawi.
Kehadiran dan kesatuan dalam Yesus menginspirasi para murid untuk
melihat dirinya dan belajar dari setiap sisi atau kepingan kehidupannya. Dalam
serat Dewaruci, hal ini digambarkan Bima yang mawas diri. Orang yang mampu
mawas diri mempunyai tujuan untuk memperbaiki kehidupan pribadi pada waktu
yang akan datang sehingga semakin mengenal dirinya. Sebagai murid Yesus,
manusia dituntut untuk mampu melakukan apa yang telah Yesus ajar dan
teladankan. Hal itulah yang menjadi kunci untuk bersatu dengan Yang Ilahi sumber
keselamatan.
79
4. Gambaran Pribadi-Pribadi Yang Sempurna
Baik Yesus maupun Dewaruci disebut sebagai Guru Sejati. Sebagai Guru
Sejati, Yesus merupakan utusan dari Allah sendiri. Ia sempurna dari unsur Ilahi dan
insani. Sebagai manusia, pelayananNya ditunjukkan secara total hingga di kayu
salib. PribadiNya sebagai anak Allah ditunjukkan dengan mukzizat dan
kebangkitanNya. Yesus adalah klebenaran itu sendiri. Ia mengajar bertolak dari apa
yang Ia lakukan dan kerjakan. Yesuspun mewujudkan secara nyata apa yang Ia
ajarkan. Yesus mengajarkan apa yang ada dalam diriNya, pengalaman hidup dan
kata-kataNya sendiri.
Dewaruci dalam laku Bima telah sampai pada taraf superego. Ia mampu
mengetahui segala sesuatu tentang Bima tanpa bertanya. Sebagai Guru Sejati,
Dewaruci memberi banyak wejangan sebagai bekal sebelum mengutus Bima
kembali ke dunianya. Dewaruci adalah simbolisasi dari jati diri Bima sendiri, asal
dan tujuan dari hidup Bima.
Kesatuan Bima dalam guagarba Dewaruci telah memberikan banyak ajaran
kepada Bima. Dewarucipun memberi wejangan dari apa yang ada di dalam dirinya
sendiri. Bima diajaknya untuk melihat kembali siapa dirinya dan menemukan Bima
yang sejati.
Perjumpaan Bima dengan Dewaruci membawa dirinya pada sebuah
kesadaran untuk terus belajar untuk hidup. Ia mendapati dirinya sebagai yang hina,
rendah dan bodoh. Kesadaran tersebut membuat Bima ingin dan meminta banyak
petunjuk dari Dewaruci untuk merubah hidupnya. Wejangan-wejangan dari
80
Dewaruci mampu membawa kesegaran dalam jiwa Bima sehingga ia mengetahui
siapa dirinya dan akan kemana ia akan melanjutkan hidupnya.
Yesuspun sebagai Guru Sejati mampu menginspirasi dan membawa para
murid pada kesadaran siapa dirinya. Kedekatan relasi Yesus dengan pribadi para
murid menjadi sebuah hubungan intim dengan para murid. Ia mengenal murid-
muridNya dan selalu mengajar bertolak dari kehidupan mereka sehingga ajaran
Yesus menjadi sesuatu yang relevan dengan dengan kehidupan para murid.
Kedekatan relasi ini pula yang mendorong para murid kepada pertobatan terus
menerus dengan semakin mengenali dirinya untuk menjadi lebih baik.
Kepribadian dan ajaran Yesus maupun Dewaruci memampukan para murid
untuk melihat diri sendiri. Kemampuan untuk mawas diri inipun mendorong untuk
terus menerus bertobat dan semakin mendekatkan diri pada Yang Ilahi yaitu asal
dan tujuan hidup.
C. Titik Temu
Mengkomunikasikan dua kisah dengan dua tokoh utama yang berperan
sebagai guru dalam budaya yang berbeda, sekilas nampak seperti berjalan di atas
dua rel yang tidak ada ujung pangkalnya. Namun demikian jika dicermati lebih
mendalam akan nampak gagasan-gagasan yang mempertemukan keduanya. Kedua
gambaran yang diambil adalah Kisah Dewaruci karangan Yasadipura I yang telah
digubah dan diterjemahkan oleh cabang bagian bahasa Jawatan Kebudayaan
Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Yogyakarta dengan gambaran
Yesus sebagai Guru Sejati. Kisah Dewaruci dilihat dari sudut proses Bima mencari
81
Tirtapawitra dengan berguru kepada orang-orang yang telah mencapai taraf hidup
lahir dan batin yang tinggi bagi gagasan religiositas budaya Jawa dan perjalanan
maupun pengajaran Yesus mewakili gagasan Kristiani. Kedua kisah ini diambil
dengan fokus pembahasan pada pemaknaan guru bertolak dari peranan dan ajaran
mereka. Keberadaan dan kehadiran Guru Sejati ini menjadi titik kesamaan yaitu
menghantar dan mengarahkan pada pemaknaan keselamatan.
Baik Dewaruci maupun Yesus sebagai pribadi yang mengikrarkan diri
sebagai guru berasal dari yang mempunyai hidup itu sendiri. Yesus dalam Yohanes
diperkenalkan sebagai tokoh yang bukan sekedar manusia tetapi Ia adalah sungguh-
sungguh manusia. Ia berasal dari Bapa. Yang Ia kerjakan adalah pekerjaan Bapa
dan perkataanNya adalah berasal dari bapa. Ia adalah diriNya sendiri yang
sekaligus berhubungan dengan Bapa. Yesus selalu berelasi dengan Allah. Dewaruci
merupakan gambaran jati diri Bima. Diri yang sejati ini suci karena dia merupakan
bagian dari Yang Ilahi sehingga manusia dapat berelasi denganNya. Melalui pintu
jati diri inilah orang masuk ke dalam pemahaman akan Yang Sejati.
Hidup manusia akan sempurna saat bersatu dengan Yang Ilahi. Namun
Penjelasan tersebut tidaklah mudah. Kedua guru yang menjadi fokus pembahasan
telah menghantar dan merelakan diriNya untuk menjadi perantara para murid untuk
bersatu dengan Yang Ilahi. Bersatu dengan Yang Ilahi bagi manusia merupakan
sebuah anugerah. Dari pihak murid juga diperlukan keaktifan untuk mencapinya.
Bima menjalani laku dengan mencari Tirtapawitra sebagai simbolisasi Yang Ilahi.
dalam lakunya, Bima harus memberikan dirinya secara total. Dia melepaskan
segala-galanya untuk memperoleh Tirtapawitra. Usaha Bima tampak sia-sia namun
82
Dewaruci datang dan memberikan petunjuk tentang makna Tirtapawitra yang
dicarinya. Bima menemukan air hidup di dasar batinnya berkat tuntunan Dewaruci
sehingga ia mencapai tahap manunggaling kawula Gusti. Sebagai umat Kristiani
yang mengikuti Kristus, manusia menjalani laku atau peziarahan untuk menemukan
dan bersatu dengan Allah dengan mengikuti apa yang Yesus ajarkan dan
teladankan. Hal ini bertolak bahwa Yesus berasal dari Allah sendiri, sang pemberi
hidup. Iman kepada Yesus akan menghantarkan umat beriman bersatu dengan Yang
Ilahi sebab Dialah jalan, kebenaran dan hidup.
Kedua guru menyatakan keselamatan telah didapat di dalam kesatuan
dengan Yang Ilahi tersebut. Inti dan refleksi dari kedua tokoh bertolak dari latar
belakang para murid yang merindukan keselamatan. Dengan mendengar dan
mengikuti ajaran sang guru, para murid menaruh kepercayaan penuh akan mampu
mendapatkan keselamatan. Tujuan pengajaran Yesus adalah supaya orang percaya
dan memperoleh hidup dalam nama Yesus, Dewaruci juga berpesan kepada Bima
agar apa yang sudah didapat diterapkan sebagai kebijaksanaan hidup. Kedua guru
tidak menghendaki para muridnya hanya sampai pada mengerti pengajarannya saja
tapi juga ada statu tindakan iman yang konkrit seperti orang Jawa meyakini bahwa
ngelmu iku kelakone kanthi laku.
83
BAB VI
PENUTUP
Pada bab ini penulis menyampaikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan
untuk mempertegas dan memberikan gambaran menyeluruh mengenai hasil belajar
dari bab sebelumnya. Penulis juga menyampaikan beberapa saran untuk membantu
para pembaca agar dapat memahami dan tertarik untuk memberi tanggapan
berkaitan dengan hasil belajar skripsi ini.
A. Kesimpulan
Wayang merupakan suatu alat yang baik untuk memberitakan Injil kepada
orang Jawa. Sebuah kesimpulan yang masih menyisakan pertanyaan jika dikaitkan
dengan fungsinya sebagai alat informasi atau doktrinasi. Namun secara umum
dapat dikatakan bahwa orang Jawa memandang lakon wayang sebagai potret atau
gambaran kehidupan manusia. Wayang kaya akan arti simbolis dari bentuk maupun
nama-nama yang dipakai dalam pertunjukannya. Hal ini dapat dipahami tiap-tiap
lakon berisikan pesan tertentu tentang hidup manusia. Kisah Dewaruci menjadi
suatu alat yang dapat dipakai oleh gereja untuk mewartakan Yesus sebagai Guru.
Pesan, simbol dan gambaran kisah Dewaruci memiliki banyak kesamaan dengan
ajaran Yesus tentang kehidupan dan keselamatan.
Cerita Dewaruci yang menjadi bagian dalam pewayangan membawa pesan
kemanusiaan yang khas. Hal itu tergambar dari simbol nama-nama, bentuk wayang
dan keseluruhan cerita. Bima seorang murid yang menaruh kepercayaan penuh
pada sang guru dengan memulai laku pencarian Tirtapawitra. Ia
84
selalu berpegang pada titah-titah gurunya. Bima dan sang guru selalu menjalin
kedekatan relasi sebagai guru dan murid. Titah dan wejangan yang disampaikan
sang guru mengarahkan Bima untuk sampai pada inti kehidupan yaitu keselamatan.
Keselamatan yang diajarkan Dewaruci mengarah pada suatu syarat yaitu
harus bersatu dengan Allah sendiri. Ajaran ini pula yang menjadi bahan pengajaran
Yesus kepada para muridNya. Manusia memulai lakunya dengan menjalankan dan
meng”amin”i ajaran Yesus sebagai jalan, kebenaran dan hidup. Ia menyatakan
bahwa melalui Dialah manusia akan bersatu dengan Allah yang disebutNya sebagai
Bapa. Bapa sendirilah yang mengutusNya ke dunia dan mengajar manusia. Kedua
guru dari dua kisah dan dua budaya yang berbeda tersebut telah membawa murid-
muridnya pada terang kehidupan dan melepaskan diri dari kegelapan dan
ketidakpahaman akan hidup.
Mengkomunikasikan dua ajaran dari dua tokoh dan budaya yang berbeda
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kedua tokoh memiliki
kekhasan dari cara mengajar, pembawaan dan isi pengajarannya. Menjadi guru
dengan segala makna saat ini yang terkait mulai dari pahlawan tanpa tanda jasa,
digugu lan ditiru, panutan, orang tua kedua dan sebagainya. Semua makna tersebut
adalah suatu penjelajahan dan perjalanan emosional, intelektual dan spiritual. Guru
yang dalam bahasa Sansekerta berarti seorang ahli, konselor, saga, sahabat,
pendamping, dan pemimpin spiritual bukan hanya seorang pengajar . guru sebagai
kata benda berarti tempat sakral ilmu pengetahuan dan sebagai kata sifat berarti
berbobot karena ilmu pengetahuan dan kearifan spiritual. Guru menggambarkan
85
suatu metafora peralihan dari kegelapan menjadi terang. Guru bermakna seseorang
yang membebaskan dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran.
Dewaruci dan Yesus, keduanya merupakan guru hidup. Mereka menjalin
relasi yang dekat dengan para muridNya. Yesus mengungkapkan jika manusia ingin
selamat, ia harus bersatu denganNya. Yesus menuntut para muridNya untuk
memiliki kedekatan relasi yang berarti bukan hanya secara fisik namun kata-kata,
karya dan kehidupan para murid bertolak dari ajaran-ajaran Yesus yang berasal dari
Bapa sendiri. Dewaruci bahkan digambarkan sebagai hati nurani Bima, sanga
murid. Ia memiliki bentuk, rupa yang sama dengan Biama. Bisa dikatakan
Dewaruci merupakan miniatur dari tokoh Bima. Dewaruci mengetahui segala hal
tentang Bima mulai dari silsilah keluarga, kehidupan dan tujuan lakunya. Hal ini
juga menggambarkan betapa dekatnya relasi antara guru dengan sang murid.
Dari uraian tersebut dapat diambil benang merah bahwa usaha mewartakan
kabar gembira berdasarkan ajaran Yesus pada umat perlulah memperhatikan
budaya setempat. Mengingat umat memiliki latar belakang budaya dan ajaran dari
sejarah yang telah mereka hidupi sebelum Injil masuk. Gereja dapat mengambil
maupun mengkomunikasikan ajaran-ajaran, tokoh-tokoh dan symbol-simbol yang
dimiliki umat lokal untuk mewartakan ajaran Yesus sejauh tidak menyimpang dari
warta gembira yang Yesus wartakan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tokoh
pewayangan Bima sangat cocok untuk mewartakan Yesus sebagai Guru Sejati bagi
umat Jawa. Ia adalah tokoh lokal di Jawa yang memiliki ajaran yang sama dengan
ajaran Yesus kepada umatNya. Dewaruci Guru Sejati orang Jawa dan Yesus adalah
Guru Sejati orang Jawa Katolik. Yesus sebagai guru menyentuh kehendak Bapa,
86
hati nurani yang memotivasi yang tidak hanya ada di hati nurani tetapi secara baru
melalui hidup Yesus.
B. Saran
Akhirnya berikut ini adalah saran-saran yang bisa diungkapkan kepada
pembaca dan siapa saja yang berkehendak untuk meneruskan belajar dari budaya
umat setempat dalam usaha pewartaan kabar gembira yang dibawa Yesus untuk
umat universal.
1. Dengan belajar dari budaya setempat, pewarta dapat mengetahui cara berfikir,
penggunaan dan pemaknaan bahasa, gambaran kehidupan dan pemaknaan akan
kehidupan dan laku peziarahan di dunia ini. Pemahaman akan guru hidup yang
bertolak dari tokoh setempatpun akan membantu umat untuk lebih cepat
menerima Yesus sebagai Guru Sejati dengan melihat kesamaan ajaran
Dewaruci dengan Yesus. Dewaruci sebagai tokoh lokal tetap mendapat tempat
dalam mewartakan Yesus. Seperti Yesus yang terus belajar dari umat yang
dihadapi, begitu juga pewarta iman jaman sekarang harus mampu menjadi guru
sejati yang mampu mengikuti hidup umat.
2. Hasil belajar menunjukkan bahwa ruang komunikasi yang telah diciptakan oleh
Gereja dalam dokumen GS mampu memberi ruang untuk mengangkat nilai-
nilai budaya setempat yang sejalan dengan ajaran Injil dalam berkatekese
maupun bentuk pewartaan yang lain.
3. Seperti yang tertulis dalam latar belakang bahwa inkulturasi telah membantu
umat paroki St. Ignatius Danan dalam memaknai kelahiran Yesus sebagai
87
pembawa terang dan menyingkirkan kegelapan dunia, kiranya dalam
berkatekese yang telah dan akan digeluti oleh para katekis mampu menggali
budaya setempat dalam karya katekesenya. Hal ini selain membantu dalam
pemahaman juga memberikan penghargaan dan usaha melestarikan budaya
setempat. Gereja hadir bersifat universal dan tidak membawa satu budaya saja.
4. Dari kesamaan akan makna keselamatan dalam ajaran dewaruci dan Yesus,
penulis dapat mengatakan bahwa kedekatan dan kesatuan relasi dengan Guru
Sejati dapat menjadi jalan untuk dapat bersatu dengan Allah sampai pada
manunggaling kawula Gusti. Selain inisiatif Allah yang mengasihi umat juga
perlu berusaha untuk sampai pada sumber keselamatan itu sendiri dengan
ngelmu pada Guru Sejati. Semakin kita mengenal diri sendirimanusia akan
semakin dekat dengan Allah karena hanya dalam keadaan suci dan murnilah
manusia dapat bersatu dengan Allah. manusia perlu selalu mawas diri.
5. Sebagai kaum muda yang dididik untuk menjadi pewarta iman (guru agama),
hendaknya tetap harus terus belajar untuk menemukan cara-cara yang tepat
untuk berkarya. Seperti Yesus dan Dewaruci yang begitu dekat dengan para
murid, begitu juga kita harus mampu mengenal dan memperhatikan
perkembangan iman maupun permasalahan yang sesama sedang alami.
Sehingga pewartaan yang kita bawa bukan menjadi sesuatu yang asing bagi
umat namun menjadi jalan menemukan hidupnya. Pewarta harus mempu
mengikuti perkembangan iman umat seperti Yesus dan Dewaruci yang sangat
memperhatikan muridnya.
88
DAFTAR PUSTAKA
Adhikara, S.P. (1984). Unio Mystica, Bima: Analisis Cerita Bimasuci: Jasadipoera
I. Bandung: ITB. (1986). Analisis “Serat Bima Suci”. Yogyakarta. Ali, Mohamad. (1961). Riwayat Guru. Bandung: Balai Pendidikan Guru. Aryandini, Woro. (1996). Citra Bima Sepanjang Masa. Jakarta. Banawiratma.JB. (1977). Yesus Sang Guru, Pertemuan Kejawen Dengan Injil.
Yogyakarta: Kanisius. Riyanto, Yohanes. (2007). Paham Air Hidup dan Makna Keselamatan:
Perjumpaan Antara Kisah Dewaruci dan Kisah Perempuan Samaria. Yogyakarta.
Hadiwijoyo, Harun. (1971). Agama Hindu dan Agama Budha. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.
Wibisono, Singgih. (1996). Bima. Jakarta Sugino. (1991). Bapa Rohani Dalam Tradisi Kristiani Timur. Jakarta Alcyone. (1990). Yesus Sang Guru. Bandung. Warsito, S. (1987). Tokoh Bima Dalam Masyarakat, Sastra Dan Budaya Jawa.
Yogyakarta. Pratikta, Herman. (1987). Bima Sena Satu-satunya Satria Yang Dapat Manunggal
Dengan Hidupnya. Gatra. Tanaya, R. (1979). Bima Suci. Jakarta. Pranaka, A.M.W. (1988). Kasunyatan, Sangkan Paran, Kasampurnan. Yogyakarta. Hueken, Adolf. (1976). Jesus Dari Nazaret. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Jakobs, Tom. SJ. (2004). Arti Keselamatan Sekarang. Yogyakarta. Price, J.M. (1968). Yesus Guru Agung. Bandung: Lembaga Literatur Baptis. Giyanto, Agustinus. (1981). Perbuatan Baik Dan Keselamatan. Yogyakarta. Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran
Dan Kebudayaan. (1958). Kitab Dewarutji Berisikan Tjeritera: Bima berguru Kepada Pendeta Drona, Tjeritera mengandung keagamaan dan Kefilsafatan. Yogyakarta: Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan.
Clark, Dennis. E. (1977). Kehidupan dan Ajaran YESUS SANG MESIAS. Surabaya: YAKIN (Yayasan Penerbitan Kristen Injil).
Darminta, J. SJ. (2006). Praksis Bimbingan Rohani. Yogyakarta: Kanisius. (1996). Yesus Mendidik Para Murid. Yogyakarta: Kanisius. (1996). Yesus, Mistikus, dan nabi. Yogyakarta: Kanisius. Fuellenta, John. Svd. (1999). Kerajaan Allah Pesan Inti Ajaran Yesus bagi Dunia
Modern. Ende: Nusa Indah. Julaman, Yohn. (1986). Mawas diri, Apa dan Bagaimana. Koesmo. FX. (1989). Bima – Sena: Penganut eksistensialisme Religius. Semarang:
Seri Pustaka Kuntara. Konferensi Wali Gereja Indonesia. (1996a). Iman Katolik: Buku Informasi dan
Referensi. Yogyakarta: Kanisius
89
Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II (R. Hardawiryana, Penerjemah). Jakarta: Obor (Dokumen asli diterbitkan tahun 1965)
Leks, Steafan. (1987). Percakapan Tentang Mengikuti Yesus (Berdasarkan Alkitab). Yogyakarta: Kanisius.
Mulyono, Sri. (1978). Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung.
(1978). Mistik Jawa dan Suluk Bimasuci. Murtiyasa Bambang. (1996). Berkenalan Dengan Tokoh Bima. Jakarta. Pereiro, Rufus. (2002). YESUS KRISTUS KINI Guru, penyelamat, Tuhan dan
Temanku. Jakarta: Obor. Poernomo, R.P. (1986). Mawas Diri dan Mengenal Diri Sendiri. Pujangga Surakarta. (1996). Serat Dewaruci, Kidung dari Bentuk Kakawin.
Semarang: Dahara Price. Sastraamidjojo, Seno. (1964). Renungan Tentang Pertundjukan Wayang Kulit.
Jakarta: Kinta Jakarta. Siswoharsojo. (1960). Serat Dewaruci – Bimapaksa (warangka manjing tjuriga,
tjuriga manjing warangka). Yogyakarta. VCD pertunjukan wayang kulit oleh Ki Manteb Sudarsono dalam lakon “Bimasuci”
90