belajar dari anak-anak.doc

27
PERMAINAN SEBAGAI ALTERNATIP oleh sribagus Abstract: There are many teaching strategies used by foreign language teachers since learning is still a mystery, and games is one of them. The reason underpinning their trend to games is the researchers’ propaganda that children learn better than adults. The most intriguing way to condition children to speak is through playing with the games. Teachers of foreign language seem to be so hypnotized by the finding that they want to try it in their class (adults) regardless of the differences from children in so many aspects Teachers should be alert that games is neither the best nor the only choice. It is just an alternative. Key Words: the younger, games, mesterius, permainan, alternatip I. LATAR BELAKANG “Belajar di waktu kecil bagai melukis di atas batu. Belajar sesudah dewasa laksana mengukir di atas air”. Nilai pendidikan yang ada di dalam pepatah tersebut adalah bahwa periode emas untuk belajar adalah pada saat masih kanak- kanak. Dalam bahasa Inggris ada juga ungkapan yang memiliki kandungan makna yang sama seperti ungkapan di atas. Ungkapan dimaksud didasari hasil penelitian dalam kajian disiplin Psikolinguistik (e.g. second or foreign language acquisition) yang menyimpulkan “the younger the better ”. “It is commonly believed that children are better language learners in the sense that young children typically can gain mastery of a second language, whereas adults cannot” (Gass and Selinker, 1994). Artinya adalah seseorang belajar bahasa ke dua atau asing berhasil lebih baik atau lebih cepat mendekati (bahkan persis) bahasa yang sedang dipelajarinya dibandingkan orang belajar setelah dewasa. Salah satu alasannya adalah karena elastisitas organ di otak manusia/organ ucap di dalam mulut masih lentur, elastis dan belum banyak terpenuhi sesuatu pada masa kanak-kanak. Akan tetapi yang lebih menarik dan faktual yang tidak kalah berpengaruhnya terhadap laju dan

Upload: tutut-kurniawan

Post on 25-Dec-2015

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Belajar dari anak-anak.doc

PERMAINAN SEBAGAI ALTERNATIPoleh

sribagusAbstract: There are many teaching strategies used by foreign language teachers since learning is still a mystery, and games is one of them. The reason underpinning their trend to games is the researchers’ propaganda that children learn better than adults. The most intriguing way to condition children to speak is through playing with the games. Teachers of foreign language seem to be so hypnotized by the finding that they want to try it in their class (adults) regardless of the differences from children in so many aspects Teachers should be alert that games is neither the best nor the only choice. It is just an alternative.

Key Words: the younger, games, mesterius, permainan, alternatip

I. LATAR BELAKANG

“Belajar di waktu kecil bagai melukis di atas batu. Belajar sesudah dewasa laksana mengukir di atas air”. Nilai pendidikan yang ada di dalam pepatah tersebut adalah bahwa periode emas untuk belajar adalah pada saat masih kanak- kanak. Dalam bahasa Inggris ada juga ungkapan yang memiliki kandungan makna yang sama seperti ungkapan di atas. Ungkapan dimaksud didasari hasil penelitian dalam kajian disiplin Psikolinguistik (e.g. second or foreign language acquisition) yang menyimpulkan “the younger the better ”.

“It is commonly believed that children are better language learners in the sense that young children typically can gain mastery of a second language, whereas adults cannot” (Gass and Selinker, 1994).

Artinya adalah seseorang belajar bahasa ke dua atau asing berhasil lebih baik atau lebih cepat mendekati (bahkan persis) bahasa yang sedang dipelajarinya dibandingkan orang belajar setelah dewasa. Salah satu alasannya adalah karena elastisitas organ di otak manusia/organ ucap di dalam mulut masih lentur, elastis dan belum banyak terpenuhi sesuatu pada masa kanak-kanak. Akan tetapi yang lebih menarik dan faktual yang tidak kalah berpengaruhnya terhadap laju dan lambatnya pemerolehan kemampuan berbahasa adalah faktor keterlibatan anak secara emosional dan pisik dalam permainan.

Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa mereka mendengar dan menggunakan bahasa sambil bermain dengan teman sebayanya (peers). Dengan brmain, anak-anak secara psikologis terkondisi mentalnya ke puncak kegembiraan. Kondisi cerah ceria pada anak-anak tidak lepas dari ketertarikan pada permainan yang mereka sedang geluti. Ada yang bertanya, ada yang menjawab, ada yang penasaran dan iri, dan ada juga yang marah, protes dan bercanda. Dalam aktivitas bermain sambil mengungkapkan kebutuhan komonikasi (communicative need) tersebut mereka tidak pernah mogok merespon temannya hanya karena memikirkan pola bahasa. Yang terjadi hanya mereka berusaha saling memahami. Benar sekali seperti yang ditegaskan oleh Howartt dalam Brumfit (1984) bahwa belum pasti kita paham benar apa yang dikatakan orang lain – dalam bahasa yang lain – tetapi kita mengerti apa yang mereka maksudkan.

“We do not, strickly speaking, understand what people say, we understand what they mean”.

Page 2: Belajar dari anak-anak.doc

Lingkungan kecil dan terbatas dimana anak-anak bermain dengan teman sebayanya adalah miniatur dari lingkungan sosial yang lebih besar dimana masyarakat menggunakan bahasa. Anak-anak berhadapan dengan dunianya – dari lingkungan terkecil seperti halaman rumah sendiri, meningkat ke lingkungan tetangga terdekat, sampai akhirnya bergaul dengan anak-anak di lingkungan yang lebih jauh. Dengan kata lain, anak-anak berhadapan langsung dengan teman bermain/bergaul (exposure) dan saling kenal/menyatu dengan lainnya dari sisi kesenangan, karakter, tradisi, cara hidup, dan sebagainya (acculturation) sehingga menjadi teman akrab.

Konteks bermain seperti di atas adalah untuk anak-anak pra-sekolah. Sedangkan bermain dalam artikel ini berhubungan dengan anak-anak di sekolah sebagai siswa/mahasiswa. Dunia anak-anak pra-sekolah mungkin dapat diadopsi, kemudian dadaptasikan dengan dunia sekolah sebenarnya di masa remaja dan dewasa. Dengan demikian akan nyata terlihat kesamaan dan perbedaan sebagai dasar hipotesa atau argumentasi ke depan.

Menggunakan bahasa sambil bermain dalam suasana riang gembira adalah wujud nyata belajar secara alamiah, tidak terstruktur dan tidak disadari (acquisition). Sebaliknya – quasi akuisisi – diperoleh dengan cara yang hampir sama. Bedanya hanya terletak pada kuantitas kontaminasi program mainan dari pengajar. Dengan kata lain, permainan yang dilakukan siswa sudah dirancang oleh guru dalam alokasi waktu tertentu dan mayoritas aktivitas terjadi di dalam kelas (instructed learning).

Bila dicermati pembelajaran sekarang, maka para pengajar bahasa akan sepakat bahwa yang diterapkan di kelas adalah model ke dua. Ada yang mengklaim bahwa mereka menerapkan yang pertama, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya mereka masih dalam model ke dua (model yang terprogram rapi, dan sepenuhnya dalam kendali guru).

Terlepas dari pengakuan model mana yang diikuti, penulis hanya menganggap bahwa ada baiknya kita para pengajar menapak tilas ke masa kanak-kanak (belajar dalam bermain) sebagai acuan strategi belajar dan mengajar bahasa Inggris kepada mahasiswa atau orang dewasa. Akan tetapi dalam usaha menapak tilas ini, kita tidak boleh lepas kontrol dan tidak boleh sebagai orang kosong yang tidak berbekal alat banding. Kendali navigasi harus tetap berada di tangan kita sehingga tidak gampang tergeret dan tenggelam ke dalam pusaran arus dunia kanak-kanak secara total.

Kita coba menawarkan permainan sebagai salah satu strategi alternatip. Kita mencoba menggugah minat mahasiswa untuk terlibat lebih banyak dengan membangkitkan emosi mereka dalam suasana santai dan partisipatip. Sambil menguji ulang penemuan terdahulu yang menerapkan permainan sebagai strategi bombastis, kita berharap menemukan kebenaran sekaligus kelemahannya kalau diterapkan kepada pembelajar dewasa dengan bahasa ibu non-Inggris.

Keterlibatan emosi dengan trigger bermain dalam belajar ternyata tidak hanya diperlukan oleh anak-anak tetapi juga oleh orang dewasa. Namun jangan dilupakan bahwa itu adalah alternatip. Ada juga orang menempuh strategi belajar yang tidak persis sama dengan yang dilakukan oleh anak-anak tetapi berhasil dengan baik. Oleh sebab itu maka

Page 3: Belajar dari anak-anak.doc

tidak tertutup kemungkinan munculnya hipotesa baru atau pertanyaan sekitar “belajar”. Apa sebenarnya belajar itu dan bagaimana melakukannya. Ada yang berusaha keras tetapi tidak pernah bisa. Tetapi sebaliknya ada yang berhasil belajar tanpa kendala yang berarti dan secara biasa-biasa saja, atau paling tidak dengan cara primitip : learning by heart.

Tulisan ini mengedepankan sekitar wawasan tentang belajar itu sendiri yang dikaitkan dengan penomena keberhasilan dan kegagalan belajar, dan kontribusi strategi belajar dengan bermain. Bagian akhir dari tulisan ini adalah kesan yang masih tentatip yang antara lain menyinggung bagaimana sikap kita dalam memaknai segi positip dan kemungkinan kelemahan strategi permainan terutama untuk pembelajar dewasa.

II. PERMASALAHAN

Cara belajar yang berbeda-beda yang digagas para pakar banyak mencuat di tingkat seminar dan lokakarya atau dalam bentuk publikasi buku tidak dapat dianggap sebagai pembuktian kemajuan berpikir tetapi lebih tepat dikatakan sebagai bukti kongkrit keterbatasan manusia itu sendiri. Intinya adalah manusia (pembelajar) itu sangat massip dan variatip sehingga kuantitas metode atau strategi yang ditemukan manusia sebagai produsen tidak pernah cukup untuk semua manusia sebagai konsumen.

Pembelajar memiliki keunikan sendiri. Mereka tidak selalu sama dalam karakter. Usia mereka berbeda, latar belakang mereka bervariasi, dan inteligensi mereka tidak setara satu dengan lainnya. Hukum “generalisasi” tidak ampuh lagi sebagai senjata untuk mengahiri sebuah masalah. Di satu sisi, satu strategi mungkin sangat berhasil guna, tetapi dari sisi-sisi lainnya masih diragukan. Hal yang sama sangat mungkin terjadi dengan bermain sebagai salah satu alternatip strategi belajar/mengajar.

Harus diingat bahwa tidak semua anak/mahasiswa tertarik dengan permainan. Tidak semua materi ajar bisa digelar dengan bermain. Begitu juga, tidak semua guru menikmati atau menjiwai permainan. Jika faktanya memang pembelajar tidak senang dengan permainan maka bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi dalam proses belajar mengajar di kelas.

Jika demikian, perlu penelaahan ulang yang cermat dan terukur mengenai bermain dan belajar. Permainan macam apa yang cukup representatip untuk pengajaran tertentu. Bagaimana melakukannya, kepada siapa (anak-anak atau orang dewasa), dan di bagian mana – di awal pengajaran, di tengah proses belajar mengajar, atau sebagai hiburan menjelang pelajaran berakhir dan sebagainya, dan bila perlu dipatenkan (jika mampu) secara konvensional kriteria keberhasilan belajar dengan bermain. Dengan adanya wawasan tentang keduanya, maka minimal kita akan memiliki alasan tersendiri untuk menyikapi belajar dan bermain itu.

Page 4: Belajar dari anak-anak.doc

III. PEMBAHASAN

Untuk meminimalisir bias pendapat dan arah pemahaman antara penulis dan pembaca maka diperlukan kejelasan dari konsep belajar dan bermain yang dimaksud dalam tulisan ini.

III.1. Belajar

“Belajar” adalah suatu aktivitas fisik dan mental yang dilakukan secara sengaja dan sadar. Belajar dapat dilakukakn dengan bimbingan orang lain seperti belajar berjalan yang diajarkan oleh seorang ibu kepada anaknya, belajar menyanyi yang dipandu oleh seniman seni suara, seniman olah vokal dan sebagainya, atau belajar menari bagi calon penari yang dilatih oleh seniman tari yang memahami gerak tubuh, kerlingan mata yang seirama dengan alunan musik atau gamelan. Belajar seperti ini diistilahkan belajar terbimbing.

Bentuk lain dari belajar adalah belajar mandiri, tanpa guru atau pelatih, yang lazim dikenal dengan belajar otodidak. Biasanya belajar model ini lebih cenderung bersifat “asal coba” yang diperkaya dengan latihan. Terutama pada tahap-tahap awal tidak jarang lebih banyak kesalahan daripada keberhasilannya. Cara belajar ini disebut juga “trial and error” – salah sekali coba lagi, salah kedua kalinya coba lagi, hingga akhirnya menemui kesempurnaan.

Kedua model belajar di atas memiliki perbedaan dan kesamaan. Perbedaan utamanya adalah keterlibatan atau ketiadaan pihak kedua di samping pembelajar. Yang lainnya adalah bahwa model belajar yang kedua melibatkan penggunaan panduan/buku ajar. Persamaannya adalah keduanya bermuara pada tujuan yang sama yaitu “menjadi mampu” – mampu berbuat, mampu meniru, dan mampu menghasilkan sesuatu.

Lebih khusus lagi yang dimaksud dengan “belajar” dalam dunia pendidikan adalah sebuah aktivitas fisik yang melibatkan indra mata yang disertai keterlibatan mental (emosional) secara sengaja yang terjadi di lingkungan tertentu dalam rentang waktu yang tidak terbatas, yang berawal dari tidak pernah tahu kemudian berakhir dengan tahu.

Arsyad, A (2007) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses yang kompleks yang terjadi kepada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu belajar dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar menurut Arsyad adalah adanya perubahan tingkah laku pada diri orang itu yang mungkin disebabkan terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, ketrampilan, atau sikapnya. Wahyudi (2003) lebih mengetengahkan keterlibatan faktor tertentu dengan mengatakan bahwa pembelajaran merupakan proses kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikelompokkan ke dalam faktor internal meliputi usia siswa, kemampuan dan

Page 5: Belajar dari anak-anak.doc

motivasi diri dan bakat. Sedangkan faktor eksternal terdiri antara lain dari kemampuan mengajar guru, fasilits belajar, lingkungan di rumah, dan lingkungan belajar di sekolah.

Dari segi kekomplekan sesuatu yang mendukung terjadinya pembelajaran, Aqib Z. (2002) melihat pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawai, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Sebaliknya Slameto (2003) memiliki pandangan yang sama dengan Arsyad yang lebih dominan menyoroti adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil akhir aktivitas pengajaran. Slameto mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.

Begitu juga dengan Djamarah dan Zain (2006) yang mengatakan bahwa belajr adalah proses perubahan tingkah laku berkat pengalaman dan latihan. … Jadi hakekat belajar adalah perubahan.

Yang dapat kita tarik dari batasan belajar seperti di atas adalah adanya tujuan dan hasil akhir dari suatu proses kegiatan berupa perubahan pada diri pembelajar yang ditempuh dengan cara yang berbeda-beda (fasilitas) dan membutuhkan waktu tertentu.

Kegiatan belajar yang sudah menjadi ikon di tengah para siswa/mahasiswa adalah kewajiban belajar selama usia memungkinkan (long live education). Hanya kadar keterlibatan masing-masing individu dalam belajar yang berbeda sesuai tujuannya. Ada belajar dengan tujuan sesaat yang sering terkesan dipaksakan oleh kondisi seperti mau menepuh ujian masuk, ada juga belajar karena didorong kesenangan/kesadaran sendiri.

Jika kita harus menjastifikasi kedua model belajar ini maka yang lebih bermakna dan laten adalah belajar karena keinginan sendiri. Dalam dunia pendidikan dikenal sebagai belajar karena faktor motivasi dari dalam diri atau faktor intrinsik. Sebaliknya belajar sesaat karena faktor luar/ ekstrinsik tidak akan banyak memberikan andil terhadap kemampuan seseorang karena sifatnya tidak langgeng.

Apabila seseorang dengan faktor ekstrinsik sudah lulus ujian, misalnya, maka yang sudah dipelajari sesaat dan terpaksa akan segera menghilang dengan sendirinya karena perekatnya, yang dalam hal ini berupa minat, tidak ada sama sekali. Lebih parah lagi kalau tidak lulus, maka akan tinggal renungan masa lalu yang tidak akan pernah disesali. Selain itu tidak ada perubahan tingkah laku yang positip pada diri pembelajar.

Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan faktor luar diri di sini tidak sama dengan faktor lingkungan dimana lingkungan disepakati para pendidik sebagai faktor yang menempati posisi yang tidak jauh berbeda dengan pentingnya faktor dalam diri/intrinsik. Faktor luar yang penulis maksudkan adalah sebatas faktor yang memaksa pembelajar. Dengan kata lain pembelajar melakoni aktivitas belajarnya karena target tertentu yang

Page 6: Belajar dari anak-anak.doc

tidak dia inginkan tetapi harus dia lakukan karena peraturan dari luar. Itulah awal kegagalan.

Contoh nyatanya adalah siswa/mahasiswa yang gagal dalam studinya. Mestinya ada diagnosa dan penyembuhan untuk mereka yang menderita penyakit ekstrinsik. Dan yang bertugas untuk treatmen penyembuhan tersebut adalah guru di sekolah. Guru yang mengajar dan mereka yang belajar. Bagaimana menjembatani mereka yang tidak tertarik, yang terpaksa dan sebagainya adalah tugas guru agar siswanya mau sbelajar. Sedangkan bagaimana cara belajarnya kembali kepada sorotan tulisan ini.

3.1.1. Misteri Belajar

Yang menarik untuk direnung ulang dari contoh-contoh belajar di atas adalah adanya kesan terselubung bahwa belajar itu sendiri masih mesterius. Dikatakan menterius karena menimbulkan masalah. Penulis mencoba mengajak untuk mengingat contoh kasus yang selalu terjadi setiap akhir cawu atau semester. Contoh kasus dimaksud (mungkin saja) ada di sekolah yang tidak jauh dari tempat pembaca berdomisili.

Di sekolah tersebut tenaga pengajar sudah tersedia dalam jumlah yang memadai. Fasilitas belajar sudah memenuhi standar dari segi kuantitas dan kualitas, alokasi jam belajar ditata rapi serta disesuaikan dengan kondidsi pisik dan ketahanan emosi alami siswa dan sebagainya. Akan tetapi hasil belajar yang diharapkan masih belum menggembirakan semua pihak terutama para gurunya sendiri selaku tuan rumah.

Kasus yang sama terjadi di semua tingkat pendidikan dan tidak terkecuali di perguruan tinggi. Kegagalan yang tidak diharapkan tetap terjadi walaupun pembenahan pisik sekolah sudah dilakukan. Begitu juga dengan sumber daya manusia. Tenaga pengajar sudah disekolahkan sampai tinggi sekali sehingga tidak bisa melihat ke bawah lagi. Ternyata tingkat dan golongan pengajar tidak menjadi jaminan agar pembelajar tidak terjungkal dalam perjalanan studinya. Inilah kasus mesterius dan karena mesterius justru menjadi menarik.

Secara berkait, karena menarik maka penulis dan mungkin pembaca yang lain mencoba menemukan solulsi melalui cara pandang yang berbeda. Fokus perhatian adalah belajar itu sendiri. Akhirnya ada di antara kita yang mencoba membenahi dengan memperbanyak materi, ada yang mengkampanyekan jam mengajar pagi, tidak ketinggalan propaganda penggunaan media modern (walaupun pemakaiannya kadang-kadang sebagai topeng kemalasan guru, tampil glamour, dan obral mubazir: baca Sribagus, 2007) dan ada juga yang mencoba menyorot tajam cara mengajar. Penulis sendiri berada pada pihak yang terakhir yang meliputi apa yang diajarkan dan bagaimana mengajarnya. Hanya porsi inilah menurut hemat penulis yang lebih mengarah untuk mengungkap tabir mesteri belajar. Faktor yang lain hanya sebagai penunjang tercapainya tujuan pengajaran.

Page 7: Belajar dari anak-anak.doc

3. 2. Permainan (Games)

Konsep permainan/bermain dalam tulisan ini tidak sama dengan bermain bola di lapangan atau bermain petak umpet (seek and hide) anak-anak pada umumnya di luar jam sekolah. Juga tidak diartikan sebagai bermain yang diperagakan oleh para atlit. Permaianan yang dimaksudkan adalah permainan edukatip sebagai salah satu model belajar di kelas baik secara terbimbing maupun mandiri. Arah pemaknaan lebih kepada bermain yang melibatkan kecakapan berfikir, aktivitas motorik seperlunya seperti gerakan tubuh, penggunaan tangan untuk menulis, menunjuk atau menyentuh, kecerdasan intelektual, dan unsur sosial. Bukan pameran otot atau kekerasan.

Oleh karena bermain di sini adalah bermain dalam konteks belajar, maka tidak semua kegiatan di kelas identik dengan bermain sesuka hati. Bermain yang dimaksud adalah bermain yang direncanakan oleh pengajar di kelas yang bersangkutan yang digunakan sebagai salah satu strategi untuk membelajarkan siswa.

Seperti dikatakan sebelumnya bahwa tidak semua strategi dapat diandalkan untuk mencapai kesukseskan dalam semua proses belajar mengajar. Artinya adalah bahwa ada strategi mengajar yang sangat efektip untuk menggelar satu atau dua topik materi ajar tetapi strategi tersebut tidak dapat diandalkan untuk topik yang lain. Dengan kata lain tidak ada strategi atau metode yang relevan untuk semua mata ajar atau pokok bahasan. Dan dalam hal ini penulis sangat setuju dengan ketegasan yang disampaikan oleh Blair sebagai berikut:

“Looking back from the vantage point of the late 1980s we can see that all methods have their rationale and supporters. In short, all methods work. Yet not all methods work equally efficiently for all learners and for all teachers and for all situations and for all purposes. All methods have limitation” (Blair, in Murcia 1991).

3.2.1. Mengapa Bermain

Dengan bermain siswa akan merasa termotivasi untuk menjadi dirinya sendiri atau menjadi yang terbaik di kelasnya. Dengan bermain siswa bisa terlepas dari ancaman kejiwaan yang menekan dan menakutkan (anxiety). Yang didapatkan adalah kesenangan dan diharapkan setelah siswa diliputi rasa senang maka minat akan tumbuh subur menjadi motivasi yang kuat dari dalam dirinya (intrinsic motivation) sebagai modal utama untuk belajar. Dari fun menuju like: kudrat alamiah manusia akan berlaku dalam hal ini yaitu jika siswa sudah merasa senang dengan sesuatu (aktivitas belajar), maka dia pasti ingin memilikinya dan ingin tahu lebih banyak.

“Games adds interest to what students might not find very interesting. Sustaining interest can mean sustaining effort (Thiagarajan, 1999; Wright, Betteredge and Buckby, 2005). After all, learning a language involves long-term effort.

Seperti yang disinggung di atas bahwa strategi bermain bisa saja tidak digemari sehingga tidak diterapkan oleh pengajar dengan pertimbangan tertentu. Dan tidak ada paksaan untuk setiap pengajar bahasa untuk menerapkan strategi permaianan (games). Tetapi

Page 8: Belajar dari anak-anak.doc

sebagai pengajar ilmu sosial – ilmu yang tidak kaku dan selalu terbuka dengan pengecualian dan tidak seperti sains - kita harus dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi belajar dan tetap membuka diri untuk mencoba melihat apa yang dialami dan dikatakan orang lain mengenai permainan (game). Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari filosopi terpendam di balik strategi bermain.

3.2.2. Bermain dengan Bahasa

Kerja keras untuk menemukan sesuatu yang baru tidak pernah berakhir dan mungkin tidak akan pernah berhenti. Demikian pula dengan kinerja peneliti dan pengajar bahasa, terutama bahasa yang sedang dipelajari. Akan tetapi penulis sendiri sebenarnya tidak pernah percaya dengan hal-hal atau penemuan baru. “Baru” dalam ilmu sosial, terutama bidang bahasa adalah baru dalam arti discovery dan bukan invention. Artinya, apa yang diklaim oleh pakar bahasa sebagai penemuannya pada dasarnya sudah ada sebelumnya tetapi tidak sempat diungkapkan atau tidak menarik untuk diungkap. Sebagai contoh adalah metode atau pendekatan pengajaran yang samapai saat ini mungkin sudah mendekati 20 buah. Tetapi, seperti yang sering penulis ungkapkan dalam artikel sebelumnya, metode atau pendekatan baru itu adalah tambal sulam dari yang diterapkan sebelumnya. Yang membedakan hanya zaman dan labelnya.

Menurut hemat penulis, sebenarnya tidak ada revolusi dalam pengajaran bahasa dari tahun ke tahun. Yang ada hanya evolusi semata. Untuk menghindari kesan “pungut poles” yang terlalu kentara maka seorang oknum penemu, misalnya, bersembunyi di balik kata magis “inovasi”.

Dari tahun 1950an sudah lahir metode pengajaran bahasa asing. Melihat hasil metode yang belum memuaskan , muncul pencetus lain dengan notabene penemu baru. Era 80an misalnya, adalah era merebaknya tambal sulam. Metode yang satu memudar karena muncul metode lain dengan asesoris yang baru. Tidak lama berselang asesoris tersebut rontok dan kelihatan prototipenya. Penemu dan pakar metode lainnya saling menunggu giliran propaganda. Dan giliran masing-masingpun tiba. Hasilnya tidak berbeda dengan yang sebelumnya. Ibarat kendaraan, setelah asesorisnya lekang, kelihatan bahan dasarnya. Tidak ada yang memuaskan yang samapi mampu membuat gebrakan baru yang mengubah total model (terutama tujuan) pengajaran bahasa.

Dikatakan belum memuaskan karena kemampuan berbahasa pembelajar masih pada radius menyusun kalimat-kalimat lepas, menterjemah bahasa secara harpiah atau kata per kata, atau sekedar mampu merangkai kalimat menjadi wacana yang sedikit lebih banyak. Kemampuan seperti ini adalah kemampuan dari tolok ukur ekspresi diri yang gramatikal dan cepat (fast), bukan kelancaran (fluency). Jadi yang dihasilkan penemu – penemu tadi adalah pembelajar mampu berbicara atau menulis dengan kalimat yang gramatikal secara cepat.

Begitu seterusnya sampai pada suatu saat diklaim bahwa seseorang dikatakan mampu berbahasa bila dia tidak hanya menguasai kaedah bahasa tetapi mengungkapkannya secara proporsional dengan rambu-rambu siapa menggunakan bahasa kepada siapa kapan

Page 9: Belajar dari anak-anak.doc

dan di mana. Ditambah lagi dengan model bahasa apa yang digunakan melalui media apa. Dell Hymes, misalnya adalah tokoh yang sangat menekankan appropriatness (kecocokan) berdasarkan tampilan bahasa di tengah masyarakat.

“… the ability to manipulate the structure of the language correctly is only a part of what is involved in learning a language. There is a “something else” that needs to be learned and this “something else” involves the ability to be appropriate, to know the right thing to say at the right time. There are in Hymes’ (1970) words rules of use without which the rules of grammar would be useless. New Mark’s example: student who does not know how to ask for a light from a stranger (Johnson and Morrow, 1981, Mendelsohn, 1990).

Pernyataan Hyme di atas diperkaya lagi oleh Canale dan Swain yang memasukkan empat kompetensi yang merepresentasikan kemampuan berkomunikasi (communicative competence) seperti berikut:

“Building on Hymes’ theory Canale and Swain (1980) propose that communicative competence includes grammatical competence, discourse competence, sociolinguistic competence, and strategic competence which reflect the use of linguistic system and the functional aspects of communication respectively” (dalam Shumin in Richards and Renandya, 2002).

Penulis tidak bermaksud untuk sampai kepada tingkat idealisme yang begitu sempurna dalam pengajaran bahasa. Tulisan ini hanya menyinggung strategi bermain sebagai langkah pemula, sebagai replikasi dari pase-pase alamiah manusia mampu menggunakan bahasa yang dapat dicobakan untuk mengajar bahasa asing kepada pembelajar yang sudah tidak anak-anak lagi.

Di satu sisi penulis meyakini keunggulan strategi bermain. Tetapi di sisi lain strategi bermain tidak akan menghasilkan apa-apa. Keberhasilan sebuah strategi sangat bergantung pada faktor lain. Jangan sampai para pengajar terlalau cepat silau dengan keberhasilan yang dilakukan orang lain. Pengajar yang bijak tidak akan terlalu jauh tergeret arus kemashuran seseorang dengan strategi mengajarnya. Argumentasi untuk sebuah keberhasilan atau kegagalan seseorang/strategi harus terus dianalisis dan dievaluasi agar pengajar tidak kehilangan jati dirinya sebagai pemilik ilmu mengajar. Jangan sampai seorang pengajar menyuruh siswanya yang sakit perut minum tablet panadol gara-gara di kelas lainnya ada mahasiswa yang disembuhkan dengan panadol karena terserang flu.

Melirik kebenaran yang diajukan Hymes muncul pula quasi revolusi penemuan baru oleh tokoh-tokoh seperti Charles Curran, Moskowitz, Lozanov, James Asher, Terracy Terrell, Krashen dan pakar lainnya yang tidak mungkin penulis sebutkan semua. Semua tokoh pengajaran bahasa tersebut mementingkan keterlibatan siwa dalam belajar dan menekankan pentingnya ketersediaan input dan suasana kejiwaan yang damai pada diri siswa. Dan satu satunya strategi awal yang paling gampang untuk mencakup kriteria tersebut adalah dengan cara menggelar permainan (game).

Page 10: Belajar dari anak-anak.doc

Di satu sisi penulis memandang bahwa dengan permainan seseorang paling gampang dipikat untuk berbicara. Bagaimanapun mood seseorang, jika diajak bermain pasti akan mengeluarkan bahasa; entah itu ungkapan pernyataan, kekesalan, persetujuan, bertanya, mengajak, menjawab, minta maaf, memberi saran, minta tolong, dan sebagainya. Pengungkapan dimaksud dapat berbentuk ujaran dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Hanya ini yang dicari, dan diintip oleh pengajar bahasa. Yang lain dari tujuan agar siswa mau mengungkapkan dirinya, tidak dikatakan mengajar berkomunikasi, tetapi baru pada tarap mengajar bahasa.

Mengakali siswa dengan menggelar permainan adalah fitrah yang sudah ada sejak masa kanak-kanak. Anak-anak sangat senang bermain. Dan dalam bermain itulah mereka berbicara dengan tujuan yang bervariasi. Semakin menyenangkan permainan baginya semakin banyak mereka berbicara. Permainan yang mereka geluti adalah permainan yang sudah dimainkan teman sebaya sebelumnya. Mereka melihat, merasa tertarik, lalu muncul kemauan untuk mencoba atau menirunya.

Anak-anak seluruh dunia mengalami fitrah hidup yang sama – bermain. Mereka bermain dan berbahasa secara tidak sadar. Yang mereka ketahui dan rasakan adalah kepuasan. Pada saat bermain mereka tidak pernah memberikan protes pada temannya kalau ada yang salah menggunakan subyek, atau preposisi atau tidak begitu sempurna ucapannya. Ada yang lamban, ada yang tidak sempurna pengucapannya karena sumbing, misalnya, dan lain-lain. Intinya, mereka tidak pernah berpikir benar salahnya gramatika bahasa yang dipakainya. Mereka hanya merasakan kebermaknaan dan mampu saling mengerti.

Cara anak- anak memperoleh bahasa secara langsung sambil bermain itulah yang dipercayai sebagai satu-satunya cara yang paling jitu dan masuk akal. Tidak ada anak yang tidak melewati masa bermain. Dan tidak ada orang tua yang mengajarkan tata bahasa (L1) kepada anaknya. Analogi inilah yang diandalkan dalam pengajaran bahasa kedua atau asing kepada siswa non-native yang sudah dewasa. Diadopsi dan dicobakan kepada siswa dan mahasiswa yang belajar bahasa Inggris.

“… learners learn best through doing actively constructively their own knowledge rather than having it transmitted to them by the teacher. When applied to language teaching this suggests that most class time should be devoted to opportunities for learners to use the language” (Nunan, 2004)

Dengan belajar dari anak-anak (back to nature), para peneliti terjun lapangan - cross section atau longitudinal – dan sampai pada simpulan kebermanfaatan strategi bermain. Berikut adalah sebagian temuan yang diungkapkan oleh para pakar bahasa menyangkut permainan sebagai strategi belajar mengajar.

“The variety and intensity that games offer may lower anxiety (Richard-Amato, 1988 and encourage shyer learners to take part (Uberman, 1998), especially when games are played in small groups.

Page 11: Belajar dari anak-anak.doc

“Many games can be played in small groups, thereby providing a value for students to develop their skills in working with others, such as the skill of disagreeing politely and the skill of asking for help (Jacobs and Kline Liu, 1996).

“As many games can be played ouside of class, they provide a means for students to use the language outside of class time (Ellis, 2005).

Di sisi lain penulis menganggap bahwa kita perlu ekstra peka bagaimana kita menjastifikasi apa yang pernah dibuktikan orang lain (terutama orang barat) terhadap siswa atau mahasiswa yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. Penulis, secara teori, mendukung bahwa permainan itu merupakan strategi belajar yang berhasil baik. Akan tetapi di sisi lain, dengan pertimbangan subyek didik yang berbeda bahasa pertama dan usianya dengan subyek seperti dimaksud di atas, masih sedikit meragukannya. Penulis sepenuhnya percaya bahwa strategi bermain bisa unggul kalau dikatakan sebagai salah satu alternatip saja.

Kita ambil contoh kutipan di atas. Semuanya terlihat mengesankan karena menyodorkan segi positipnya dari strategi bermain. Pendapat boleh-boleh saja diajukan oleh siapa saja asalkan didasari alasan tersendiri – misalnya dari sudut pandang apa dan dengan cara pandang bagaimana. Yang ingin penulis tekankan adalah bahwa jangan sampai strategi bermain dianggap sebuah strategi yang bebas rintangan. Sebagai pengajar bahasa kita mesti lebih selektip agar tidak menelan mentah-mentah kapsul “permainan” untuk menyembuhkan penyakit bisu yang diderita siswa/mahasiswa kita.

Kutipan pertama di atas, misalnaya, melihat kemungkinan strategi bermain untuk membuat para siswa menjadi tenang dan membantu mereka yang pemalu dapat berpartisipasi. Menurut penulis, Richard-Amato terlalu menjeneralisir siswa. Perlu dipertimbangkan bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa banyak siswa yang justru untuk terlibat dalam aksi bermain itu mereka merasa malu. Mereka minder pada teman kelompoknya dan minder pada diri sendiri. Karakter pribadi manusia/siswa berbeda-beda. Dan satu hal penting yang harus diketahui pengajar bahasa adalah bahwa bermain dalam bahasa (bahasa yang masih baru ) tidak persis sama dengan bermain pada bidang ilmu yang lain yang tanpa harus menunjukkan kompetensi bahasa dan kompentensi komunikasi mereka.

Kita sama mengenal istilah “task-based” (sebuah model pembelajaran penugasan yang notabenenya permainan) untuk belajar berbahasa. Akan tetapi dalam kenyataannya strategi tersebut tidak serta merta menghasilkan pembelajar bahasa yang komunikatip. Kendalanya adalah tugas atau task yang diberikan oleh guru dapat dikerjakan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Disamping itu tugas dapat menimbulkan kebosanan, terlalu sulit, dan membutuhkan waktu relatip lama.

Selanjutnya, pendapat pertama dan ke dua sama-sama mengisyaratkan permainan dalam kelompok kecil. Mungkin saja pendapat mereka didasari asumsi semakin sedikit anggota kelompok semakin banyak kesempatan untuk mereka berpatisipasi menggunakan bahasa. Logis memang asumsi mereka, akan tetapi kelemahan selalu harus diantisipasi. Tidak

Page 12: Belajar dari anak-anak.doc

ada ketentuan secara konvensional berapa anggota kelompok yang paling menjamin keberhasilan belajar. Dan yang sering terjadi adalah ketidak-serasian anggota secara emosional, dan pertimbangan model permainan (ditentukan oleh guru) yang harus dimainkan. Sangat mungkin bahwa justru kebijakan pengaturan kelompok akan memicu ketegangan meningkat (high anxiety) yang akan berakibat kegagalan. Ini berbeda dengan pendapat ketiga yang tidak mengikat dan tidak terstruktur di ruang kelas. Tetapi masih belum berarti bahwa permainan adalah jaminan positip karena semuanya tergantung suka atau tidaknya siswa dengan bermain/permainan.

Dengan mengetengahkan kemungkinan kelemahan yang bisa menghambat permainan, tidak berarti penulis menolak secara total kegunaan bermain sebagai strategi belajar. Akan tetapi perlu pengelolaan serius dan tepat guna dengan target yang pasti. Bukan hanya sebagai permainan biasa dengan dalil memotivasi siswa untuk berbicara atau menulis. Dick Allright (1979) dalam Harmer (2001) menjelaskan pentingnya pengelolaan aktivitas secara benar agar mampu melibatkan semua siswa dalam bahasa sasaran sebagai berikut:

“… if the language teacher’s management activities are directed exclusively at involving the learners in solving communication problem in te target language, then language learning will take care of itself…”

Salah satu dari contoh pengelolaan yang penulis maksudkan menyangkut waktu penerapan dan pemilahan jenis permainan. Tidak mungkin kelas akan diisi dengan bermain mulai dari pembukaan sampai dengan akhir pertemuan karena bermain memang bukan tujuan akhir pembelajaran akan tetapi sebagai strategi untuk pengajaran. Richard-Amato (1988) mengakui pentingnya permainan untuk menurunkan ketegangan (anxiety). Akan tetapi dia tidak menjelaskan kapan berlakunya. Selanjutnya, jenis permainan untuk pemula tidak akan pernah menarik untuk mereka di tingkat lanjut.

Menurut penulis, permainan bisa diterapkan di awal pertemuan sebagai penyegaran untuk mengkondisikan siswa dalam kesiapan mental dan perasaan cerah ceria untuk menerima pelajaran. Di sinilah saringan kejiwaan (affective filter) diposisikan sebawah mungkin sehingga tidak ada anxiety yang memblokir kesiapan belajar. Namun demikian permainan jangan sampai terlalu lama sampai berlarut-larut. Dibutuhkan kepiawian guru untuk mengorganisir waktu sehingga tidak terjadi pemborosan dengan menggunakan waktu utama untuk proses belajar itu sendiri. Lima belas menit adalah waktu yang cukup untuk permainan di awal pertemuan yang dilanjutkan dengan kegiatan inti pengajaran 90 menit.

Selain di awal pertemuan, permainan bisa diakukan menjelang aktivitas pengajaran berakhir. Tetapi inipun tidak mutlak harus dilakukan. Permainan di akhir pelajaran dilakukan dengan tujuan pengembalian kondisi mental siswa yang sudah mulai mengendor selama proses belajar selama 90 menit. Menjelang pelajaran berakhir rasa penat, ngantuk, dan bosan sudah mulai merasuk. Pengembalian filter kejiwaan pada posisi netral dan tenang perlu dilakukan dengan permainan selam 10 atau 15 menit.

Page 13: Belajar dari anak-anak.doc

III.3.Klasifikasi dan Contoh Permainan3.3.1. Klasifikasi Permainan

Permainan sebagai strategi alternatip dalam pengajaran bahasa dapat dipilah menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah permainan linguistik. Sesuai namanya permainan model ini mengarahkan siswa pada ketepatan bentukan kata, perubahan kata, persamaan atau lawan kata, infleksi, dan sejenisnya.

Permainan ke dua adalah permainan komunikatip yang menekankan pertukaran komunikasi yang harus dilakukan minimal oleh dua orang siswa. Kesenjangan komunikasi harus ada di antara kedua pelaku permainan. Harus diketahui oleh pengajar bahwa tidak semua peragaan atau performansi dengan berpasangan dan tanya jawab dikategorikan ke dalam permainan komunikatip. Lebih jelasnya tentang pembedaan ini akan dibahas pada contoh-contoh permainan komunikatip. Di dalam memainkan permainan komunikatip ini, ketepatan tata bahasa tidak begitu dipertimbangkan. Yang dipentingkan adalah tercapainya komunikasi, atau yang penulis istilahkan realisasi dari fungsi bahasa.

3.3.2. Contoh Permainan Linguistik

Berikut adalah contoh-contoh permainan yang sering dilakukan oleh pengajar bahas Inggris. Dari contoh-contoh ini kita dapat memilah mana yang sesuai untuk level pemula dan mana yang cukup bermanfaat untuk level andvanced sepeti mahasiswa.

3.3.2.1. Permainan Tebak Terka (Guessing Games)

Dalam permainan ini seorang siswa sebagai sukarelawan disuruh memikirkan sesuatu berupa benda atau sebuah profesi. Sedangkan temannya yang lain bertugas menebak apa yang dipikirkan atau disiapkan dalam hati tadi. Permainan ini menuntut siswa untuk menggunakan pola bahasa bertanya dengan jawaban YES atau NO. Guru hanya berperan sebagai Controler. Peran-peran lainnya seperti yang digambarkan oleh Rebecca Oxford dalam Brown (2001) sebagai peran metaporik tidak digunakan atau sangat jarang muncul. Permainan ini tidak dapat dikategorikan sebagai cara mengakali siswa menuju aktip komunikatip terutama pada level advanced karena hanya menggelar permainan linguistik.

3.3.2.2. Mencocokkan (Matching). Permainan ini tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya bahwa kegiatan siswa terfokus pada permainan linguistik. Dinamakan “matching game” karena para siwa sudah memiliki pertanyaan yang sama yang diberikan oleh guru atau paling tidak dituliskan di papan tulis. Setiap siswa berpindah-pindah untuk menanyakan apa yang sudah ditentukan. Siswa yang diberikan pertanyaan cukup menjawab YES/NO. Yang bertanya hany mencatat nama yang menjawab sesuai tuntutan pertanyaan yang sudah ada. Tidak ada kelebihan yang sangat berarti dalam kegiatan seperti ini. Keceriaan memang ada karena tingkah siswa yang kadang-kadang lucu. Tetapi target pengajaran yang lebih

Page 14: Belajar dari anak-anak.doc

besar seperti komunikasi tidak tercapai. Hanya dengan tambahan improvisasi dari guru sebagai “motor atau motivator” kegiatan ini akan sedikit berniliai komunikatip.

3.3.3. Contoh Permainan Komunikatip

Permainan komunikatip sangat berbeda dengan permainan linguistik dimana di sini dibutuhkan jawaban berupa fakta jawaban yang datangnya dari dua pihak. Yang bertanya dapat berubah peran menjadi yang menjawab dalam hitungan detik, dan sebaliknya. Perhatian atau fokus kegiatan tidak pada bentuk bahasa tetapi pada pemberian informasi. Dan pertanyaan yang diajukan bisa bervariasi dari yang sederhana sampai yang kompleks.

3.3.3.1. Jigsaw

Permainan ini dilakukan secara kelompok atau berpasangan. Masing – masing anggota diberikan sebuah peta atau grid yang berbeda satu dengan yang lain. Biasanya untuk kelas pemula permainannya berkisar menanyakan/menetukan lokasi yang tepat dari sesuatu seperti gedung, benda-benda di ruang tamu dan sebagainya yang sudah tersedia dalam hand out. Untuk kelas intermediate, permainan sedikit lebih kompleks seperti menanyakan atau memberikan petunjuk bagaimana melakukan sesuatu. Misalnya apa yang harus dikakukan kalau seseorang mau ke suatu tempat atau rumah temannya (baca Brown, 2001)

3.3.3.2. Problem solving

Permainan ini lebih komplek dari Jigsaw dan sangat relevan untuk pembelajar tingkat lanjut (advanced). Guru memberikan sebuah permasalahan yang harus diselesaikan oleh siswa. Permasalahannya diciptakan sedemikian rupa sehingga menuntut kecerdasan kognitip lebih banyak. Contohnya sebuah suasana sulit seperti kejahatan, misteri, delema, dan sebagainya. Siswa diharuskan menemukan sebuah jalan keluar (decision making).

Dalam aktivitas ini setiap siswa dapat dipastikan memberikan pendapat. Masalah terselesaikan atau tidak kasus yang ditawarkan guru bukan tujuan akhir dari kegiatan atau permainan ini. Bisa saja permainan tidak terselesaikan dan tidak memiliki jawaban benar dari guru. Intinya adalah siswa telah memperagakan miniature dari penggunaan bahasa dalam kondisi dan wujud yang sebenarnya.

Simpulan dari kedua contoh ini adalah bahwa komunikasi yang sebenarnya adalah komunikasi yang didasari kebutuhan untuk mengetahui sesuatu dari lawan berbicara. Istilah penulis, “tidak semua pembicaraan adalah komunikasi”. Jika dua orang siswa secara bersama-sama melihat sesuatu dalam gambar yang sama, misalnya, kemudian mereka bertanya jawab mengenai gambar tersebut, aktivitas mereka tidak dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikatip. Yang mereka lakukan adalah language practice. Tidak ada kesenjangan komunikasi di antara mereka. Logikanya adalah bahwa kalau seseorang sudah tahu sesuatu maka tidak perlu dia pertanyakan. Kondisi terjadinya saling tukar

Page 15: Belajar dari anak-anak.doc

informasi antara penanya dan yang menjawab diistilahkan sebagai “Information Gap” (lebih detail baca Morrow, 1981).

3.4. Sikap Guru

Kasus bermain sebagai strategi belajar memberikan andil untuk mengantar pembelajar bahasa untuk mampu berkomunikasi dengan baik dan benar. Suasana kelas bisa menjadi hidup dengan aktivitas siswa dengan permainan. Itulah penemuan, itulah cerita, dan itulah hipotesa. Secara ilmiah, sebuah hasil penemuan akan tetap dipercaya dan dibuat acuan selama belum ada pembuktian yang menolaknya.

Akan tetapi sebaliknya, serapi apapun sebuah hipotesa jika ditemukan cacat sedikit maka akan sulit untuk dipertahankan lagi. Sangat disayangkan karena selama ini hipotesa atau teori orang dari ufuk barat, khususnya, selalu dianggap paling benar. Dan itu yang sedang terjadi di tengah-tengah pengajar bahasa Inggris dimana tidak ada keberanian untuk mengatakan “tidak” sebagai respon terhadap apa yang didengar dan dibaca.

“Games” dianggap sebagai sebuah solusi mutahir. Dan sangat disayangkan kalau pengajarnya sendiri sangat senang dengan permainan tanpa peduli kebutuhan atau respon pembelajar yang dihadapinya. Guru tidak boleh membusungkan dada menganggap keberhasilannya di kelas dengan menggunakan tolok ukur dirinya sebagai pengajar. Yang dikatakan kelas berhasil adalah kelas yang dibuktikan dengan respon positip siswa yang belajar secara menyeluruh. Kita, para pengajar, patut menganggukkan kepala pada apa yang dikatakan Cook (199) berikut ini.

“All successful teaching depends upon learning; there is no point in providing entertaining, lively, well constructed language lessons if students do not learn. The proof of the teaching is in the learning”.

Senada dengan yang dikatakan oleh Cook, Harmer (2001) mengingatkan bahwa performansi guru bukan ukuran keberhasilan pengajaran.

“… it is the students’ learning experiences and their responses to them which should be at the heart of a language course. The measure of a good lesson is the student activity taking place, not the performance of the teacher.

Permainan memang bermanfaat seperti alasan dan kondisi tertentu seperti yang penulis ulaskan di atas. Akan tetapi kondisi tertentu pula yang menyebabkan permainan menjadi tidak bermanfaat. Untuk mahasiswa, misalnya, sulit sekali sebenarnya untuk dipastikan tertarik dengan permainan. Mereka tidak akan tertarik untuk bermain tebak terka dan sejenisnya. Kalaupun harus disuruh bermain, maka mereka akan menikmatinya sebagai sebuah cara untuk kesenangan biasa. Bukan untuk tujuan belajar. Alasannya adalah mereka sudah dewasa dan pola pikirnya jauh berbeda dengan anak-anak yang perlu dipancing dengan bermain.

“People of different ages have different needs, competences, and cognitive skills; we may expect children of primary age to acquire much of a foreign language through play, for example, whereas for adults we can reasonably expect a greater use of abstract thought” (Harmer, 2001).

Page 16: Belajar dari anak-anak.doc

Jika ada di antara pengajar yang masih bersikukuh dengan menerapkan strategi bermain saja, maka sebenarnya dia tidak pernah melakukan tugasnya sebagai pengajar. Dia tidak mengajar pada saat di dalam kelas dan sesudah keluar kelas. Jangan dianggap setiap kali mengajar , mahasiswa dengan sendirinya belajar.

“… kegiatan mengajar guru barulah dapat dikategorikan sebagai kegiatan mengajar dalam arti yang sesungguhnya manakala menjadikan atau membuat murid belajar. Murid disebut belajar apabila murid mengalami sesuatu melalui berbagai kegiatan sebagai akibat dari kegiatan mengajar guru, dan dengan pengalamannya itu, selanjutnya menyebabkan terjadinya perubahan prilaku dalam diri murid” (Abimanyu, dkk., 2009).

Dari uraian di atas kiranya terjawab sudah misteri belajar – mengapa bisa berhasil dan mengapa masih ada kegagalan. Begitu juga dengan seluruh masalah terkait kegunaan strategi bermain dalam belajar dengan segala kelebihan dan kelemahannya.

IV. SIMPULAN

Terlalu banyak cara (strategi, pendekatan, atau metode) yang kita gunakan dalam mengajar bahasa Inggris untuk orang dewasa. Salah satunya adalah dengan mengandalkan permainan. Yang perlu diingat oleh kaum pengajar adalah bahwa tidak ada metode atau cara mengajar yang tidak berhasil. Akan tetapi berhasil tidaknya itu hendaklah kita lihat dari sisi pembelajar, bukan dari kemampuan kita menjalani mengajar dengan tegak, tangguh, dan percaya diri dan menghibur diri.

Menggunakan game di kelas tidak salah tetapi perlu diketahui bahwa game hanyalah sebuah alternatip, bukan satu-satunya pilihan untuk menarik perhatian dan minat pembelajar.

DAFTAR BACAAN

Abimanyu, Soli, dkk. 2009, Strategi Pembelajaran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

Aqib, Z., 2002, Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran, Surabaya, Insan Cendekiawan

Arsyad, A., 2007, Media Pembelajaran, Jakarta, Raja Grafinda Persada.

Blair, R.W., 1991, “Innovative approaches”. In Murcia, M (ed) Teaching English as a Second or Foreign Language, Boston, Heinle and Heinle Publishers

Brown, D., 2001, Teaching by Principles, San Francisco State University, Longman

Brumfit, C., 1984, Communicative Methodology in Language Teaching, Great Britain, Cambridge University Press.

Page 17: Belajar dari anak-anak.doc

Cook, V., 1991, Second Language Learning and Language Teaching, London, Chapman and Hall, Inc.

Djamarah dan Zain, 2006, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta.

Ellis, R., 2005, “Principles of instructed language learning”. In ASIAN EFL Journal, 7 (3), 9 – 24

Gass and Selinker, 1994, Second Language Acquisition, New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates Publishers

Harmer, J., 2001, The Practice of English Language Teaching, China, Longman

Jacob, G.M. and Kline Liu, 1996, “Integrating Language functions and collaborative skills in the second language classroom”. In TESL Reporter, 29, 21 – 33

Mendelsohn, D., 1990, “How to correct errors in the communicative talking class”. In PROJECT, vol.5, no.2, 1 january

Morrow, K., 1981, “Principles of communicative methodology”. In K. Johnson and K. Morrow (eds), Communication in the Classroom, Hongkong, Longman group Limited.

Nunan, David, 2004, Task- Based Language Teaching, Cambridge, Cambridge University Press

Richard-Amato, 1988, “Making it happen: Interaction in L2 classroom”. From Theory to Practice, New york, Longman

Shumin, Kang, 2002, “Factors to consider: Developing Adult EFL students’ speaking abilities”. In Richards and Renandya (eds), Methodology in Language Teaching, New York, Cambridge University Press.

Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Jakarta, Rineka Cipta.

Sribagus, 2007, “Esesnsi dan Peran Media dalam Pengajaran”, LISDAYA, no 4, th III, Mei - September

Thiagarajan, 1999, Teamwork and Teamplay: Games and activities for building and training teams, San Francisco, Jossey-Bass

Wahyudi, 2003, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengemnangan, Jakarta, Depdikbud.

Wright, et al , 2005, Games for Language Learning, New York, Cambridge University Press.

Page 18: Belajar dari anak-anak.doc