bedah-budi irawan.pdf

Upload: alwi-qatsir-alya

Post on 13-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bedah

TRANSCRIPT

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    1/31

    PENGAMATAN FUNGSI ANOREKTAL PADA PENDERITA PENYAKIT

    HIRSCHSPRUNG PASCA OPERASI PULL-THROUGH

    BUDI IRWAN

    Bagian Ilmu Bedah

    Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1. Latar BelakangPenyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa

    aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan

    panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknyasebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus

    fungsional (Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997;Fonkalsrud,1997).Penyakit inipertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun

    patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang

    dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagiandistal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono, 1993; Fonkalsrud, 1997;

    Lister, 1996).

    Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainanHirschsprung ini telah pula diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill

    (1946) berupa prosedur rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupaprosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal ekstramukosa

    serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection.Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik

    komplikai dini berupa infeksi, dehisensi luka, abses pelvik dan kebocorananastomose, maupun komplikasi lanjut berupa obstipasi, inkontinensia danenterokolitis. Namun secara umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa

    ke-empat prosedur bedah definitif diatas memberikan komplikasi yang hampirsama, namun masing-masing prosedur memiliki keunggulan tersendiri

    dibanding dengan prosedur lainnya, tergantung keahlian dan pengalamanoperator yang mengerjakannya (Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997,

    Teitelbaum,1999).

    Namun hingga saat ini, belum ada satupun parameter atau sistempenilaian fungsi anorektal yang diterima secara universal guna mengevaluasi

    tingkat keberhasilan tindakan bedah definitif (Heikkinen dkk,1997). Padahalkeberhasilan mengembalikan fungsi anorektal tersebut ketingkat normal atau

    mendekati normal merupakan hakikat utama tujuan penatalaksanaan

    penyakit Hirschsprung. Menurut H.A.Heij, parameter terbaik untuk menilaifungsi anorektal adalah kemampuan untuk menahan defekasi sehinggadiperoleh tempat dan waktu yang tepat untuk defekasi (Heij dkk,1995).

    Kartono mengusulkan empat katagori gangguan fungsi spinkter (kecipirit,

    kontinensia kurang, inkontinensia dan obstipasi berulang) tanpa membuatskala sehingga tidak dapat dipakai untuk menilai derajat kerusakan fungsi

    anorektal tersebut(Kartono,1993). Ludman L, dkk (2002) mengusulkan 3parameter, yakni : frekwensi buang air besar, frekwensi kecipirit dan

    kekuatan otot spinkter ani(Ludman dkk,2002). Sedangkan sistem skoring

    2003 Digitized by USU digital library 1

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    2/31

    yang dibuat oleh Hekkinen,dkk (1997) yang memuat 7 kriteria dengan

    masing-masing kriteria memiliki skor antara 0 dan 2, merupakan sisitem

    skoring yang paling banyak diterima saat ini namun belum universaldipakai(Heikkinen dkk,1997; Engum dkk,1996; Hung,1996; Reding,1997;

    Swenson,2002) Sistem skoring menurut Hekkinen ini lah yang dipakai dalampenelitian ini.

    Sepanjang pengetahuan penulis, hingga saat ini belum pernahdilakukan penelitian fungsi anorektal penderita Hirschsprung pasca tindakan

    bedah definitif di kota Medan. Dalam penelitian ini, penulis bermaksud

    melakukan pengamatan fungsi anorektal pada penderita Hirschsprung yangtelah dilakukan tindakan bedah definitif pull-through di rumah sakit

    pendidikan dan rumah sakit tempat pendidikan di kota Medan denganmemakai sistem skoring Hekkinen.

    I.2. Perumusan Masalah

    Belum ada penelitian mengamati fungsi anorektal penderita penyakit

    Hirschsprung pasca tindakan bedah definitifpull-throughdi kota Medan.

    I.3. Tujuan PenelitianMengetahui sejauh mana keberhasilan tindakan bedah definitif pull-

    throughterhadap penderita penyakit Hirschsprung di rumah sakit pendidikankota Medan melalui pengamatan fungsi anorektal memakai sistem skoring

    Hekkinen.

    I.4. Kontribusi Penelitian

    Diharapkan dengan penelitian ini diperoleh data basefungsi anorektalpenderita penyakit Hirschsprung yang telah menjalani tindakan bedah

    definitif, menilai keberhasilan operasi pull-through prosedur modifikasiDuhamel dan menerapkan sistem skoring Hekkinen dalam mengevaluasi

    fungsi anorektal.

    BAB IITINJAUAN PUSTAKA

    II.1. Sejarah

    Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus

    yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupamegakolon (Fonkalsrud,1997; Swenson dkk,1990). Namun baru 2 abad

    kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaranklinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon

    kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orangpasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi

    kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah

    diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini,sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi

    (Swenson dkk,1990).11Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan

    perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya

    kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglionparasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu

    pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekadekemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa

    megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan peristaltik

    2003 Digitized by USU digital library 2

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    3/31

    usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion (Kartono,1993;

    Swenson,2002).

    Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelastentang defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit

    Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya menerangkan tentangpenyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak

    terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasipengangkatan segmen yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan.

    Laporan Swenson ini merupakan laporan pertama yang secara meyakinkan

    menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek ganglion dengangejala klinis yang terjadi (Swenson,1990; Klein dkk,1995; Storey dkk,1997).

    Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukanmerupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,

    melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat ketidakseimbanganautonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Keterangan

    inilah yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen

    aganglionik dengan preservasi spinkter ani (Swenson, 1990). Okamoto danUeda lebuh lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi akibat

    terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran cernaatas ke distal mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat tertentu

    yang tidak mencapai rektum (Kartono,1993; Tamate dkk,1994; Fujimotodkk,1996; Yamada,1999; Lee,2002).

    II.2. Anatomi AnorektalRektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan

    inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif

    mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimanabagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior (Yamada,1999;

    Shafik,2000). (Gambar 1)

    Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi

    sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi olehspinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isirektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling: atas, medial

    dan depan (Shafik,2000) . (Gambar 2 )

    2003 Digitized by USU digital library 3

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    4/31

    Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal

    Gambar 2. Spinkter ani eksternal laki-laki

    2003 Digitized by USU digital library 4

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    5/31

    Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan

    medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti

    oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior.Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis

    interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dandaerah anus (Yamada,2000; Shafik,2000). (Gambar 3.)

    Gambar 3. Pendarahan anorektal

    Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf

    simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabutsyaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.

    Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkanmuskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis

    mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak

    mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol olehn.splanknikus (parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi

    oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis)(Yamada,2000; Shafik,2000; Wexner dkk,2000; Neto dkk,2000). (Gambar 4)

    2003 Digitized by USU digital library 5

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    6/31

    Gambar 4. Innervasi daerah perineum (laki-laki)

    Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan

    longitudinal

    2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.

    Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3

    pleksus tersebut. (Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).(Gambar 5)

    2003 Digitized by USU digital library 6

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    7/31

    Gambar 5. Skema syaraf autonom intrinsik usus

    II.3. Fungsi Saluran Anal

    Pubo-rectal slingdan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawabatas penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat,

    akan menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambatgerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan

    kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve andsling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun

    gabungan, serta dapat mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang

    lain (Yamada,1999; Shafik,2000; Wexner,2000).Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.

    Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol padawakru dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat

    kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih

    proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid

    (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.

    Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflexatau rectal-anal inhibitoryreflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkterani interna secara involunter.

    Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secarainvolunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan

    relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.

    Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intraabdominal secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding

    perut, hingga defekasi dapat terjadi (Fonkalsrud,1997).

    2003 Digitized by USU digital library 7

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    8/31

    II.4. Epidemiologi

    Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi

    berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun

    akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto

    Mangunkusomo Jakarta (Kartono,1993).Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah

    laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor

    keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit

    Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukupsignifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya

    saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi sepertirefluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai

    1/3 kasus) (Swenson dkk,1990).

    II.5. Diagnosa

    II.5.a. Gambaran KlinisGambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan

    berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni

    pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)

    merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka

    94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatatangka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah

    lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakalamekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan

    ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini,yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia

    2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanyaberupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan

    manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telahdilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson

    dkk,1990). (Gambar 6)

    2003 Digitized by USU digital library 8

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    9/31

    Gambar 6. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat

    abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan menderita sekali.

    (ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah

    konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan

    peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur,maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbautidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam

    beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. (Gambar 7)

    2003 Digitized by USU digital library 9

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    10/31

    Gambar 7. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakandefinitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi.

    II.5.b. Pemeriksaan Radiologi

    Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting padapenyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran

    obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus

    halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalammenegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan

    dijumpai 3 tanda khas :1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

    panjangnya bervariasi;

    2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitanke arah daerah dilatasi;

    3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi(Kartono,1993).

    Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khaspenyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,

    yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces

    kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung

    2003 Digitized by USU digital library 10

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    11/31

    namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di

    daerah rektum dan sigmoid (Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson

    dkk,1990).

    Gambar 8. Terlihat gambar barium enema penderita

    Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,

    dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

    2003 Digitized by USU digital library 11

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    12/31

    II.5.c. Pemeriksaan patologi anatomi

    Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas

    absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak

    penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakintinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,

    suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis,dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin.

    Disamping memakai asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein

    S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanyasaja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang

    berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasiyang berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Cilley dkk,2001).

    Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologidengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan

    gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab

    memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukanjaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun 1969

    mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untukmendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat

    keberadaan pleksus Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metodebiopsi eksisi sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi pemeriksaan

    mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi hisap dilakukan

    pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsihisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai

    pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasusbiopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi

    (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).

    Gambar 9. Alat biopsi hisap Noblett

    2003 Digitized by USU digital library 12

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    13/31

    II.5.d. Manometri anorektal

    Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif

    mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkteranorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil

    pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alatini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan

    seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat sepertipoligraphatau komputer (Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000).

    Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit

    Hirschsprung adalah :1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;

    2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi padasegmen usus aganglionik;

    3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasispinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces.

    Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono,1993; Tamate,1994;

    Neto,2000).

    II.6 Tindakan Bedah.

    II.6.a Tindakan Bedah SementaraTindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung

    adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal palingdistal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan

    mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat

    dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada

    penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukananastomose (Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).

    Gambar 10. Tampak gambar skema dari manometri anorekatal,

    yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada

    penderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi spinkter ani.

    2003 Digitized by USU digital library 13

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    14/31

    II.6.b. Tindakan Bedah Definitif

    (i). Prosedur Swenson

    Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mulamemperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah

    definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukanadalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan

    meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalahmeninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi

    masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu

    Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukanspinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum

    bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior (Kartono,1993; Swensondkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002).

    Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar

    pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian

    bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luarsehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian

    kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yangaganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal

    pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagianposterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon

    proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2

    lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, ususdikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan

    reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup (Kartono,1993; Swensondkk,1990).

    (ii).Prosedur Duhamel

    Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untukmengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar

    prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah analmelalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dindingposterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal

    yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose endto sideFonkalsrud dkk,1997).

    Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranyasering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam

    puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu

    dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :1.Modifikasi Grob(1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah

    klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegahinkontinensia;

    2. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian

    stapleruntuk melakukan anastomose side tosideyang panjang;3. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan

    anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;4. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik

    transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakansecara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan

    memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; keduaklem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik

    beratkan pada fungsi hemostasis (Kartono,1993).

    2003 Digitized by USU digital library 14

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    15/31

    Gambar 11. Foto prosedur Duhamel modifikasi (searah jarum

    jam ). Tampak usus ganglionik diprolapskan melalui rektumposterior, keluar dari saluran anal. 10 14 hari kemudian,

    usus yang diprolapskan tadi dipotong dan di anastomose end

    to side dengan rektum, kemudian dilakukan pemotongan

    septum dengan klem Ikeda.

    (iii).Prosedur SoaveProsedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun

    1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun

    oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitifHirschsprung.

    Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa

    rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yangganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding

    dkk,1997; Swenson dkk,1990).

    (iv).Prosedur Rehbein

    Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimanadilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum

    pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,

    sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis(Swenson dkk,1990).

    II.7. KomplikasiSecara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit

    Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari

    setiap operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntaspenyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik

    fungsi spinkter ani dan kontinen (Swenson dkk,1990).

    2003 Digitized by USU digital library 15

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    16/31

    Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit

    pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita

    saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalamandokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca

    bedah.Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh

    ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidakadekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar

    anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang

    dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Menurut pengamatan Swensonsendiri, diperoleh angka 2,5 5 %, sedangkan apabila dikerjakan oleh ahli

    bedah lain dengan prosedur Swenson diperoleh angka yang lebih tinggi.1,3,11,14,15 Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7%

    dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakandengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu

    kasuspun mengalami kebocoran. Manifestasi klinis yang terjadi akibat

    kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, absesintraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-

    tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal(Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).

    Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkanoleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur

    bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasiprosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat

    prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat

    prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensiabdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan

    bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hinggaspinkterektomi posterior (Lister,1996; Teitelbaum dkk,1999; Swenson,2002).

    Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapatberakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat

    enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkanangka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk

    prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderitadengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan

    dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan washoutdengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang

    tepat. Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab / prosedur

    operasi yang telah dikerjakan. Prosedur Swenson biasanya disebabkanspinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan

    pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalahpemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan

    pemotongan ulang yang lebih panjang (Kartono,1993; Swenson dkk,1990;

    Cilley dkk,2001).Sedangkan fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok

    bahasan utama dari penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utamakeberhasilan operasi tarik terobos, disamping komplikasi utama yang

    disebutkan diatas. Namun hingga saat ini, belum ada suatu parameter atauskala yang diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling

    atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahuluuntuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal

    tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat

    2003 Digitized by USU digital library 16

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    17/31

    anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan

    sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah

    menentukan (Heikkinen dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swensonmemperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru

    lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkanangka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamel

    modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%.1,8,9

    Hal ini dapat dimengerti jikalau kita mencermati perbedaan prosedur operasi

    yang dipergunakan. Jika memakai prosedur Swenson asli (I), maka kita

    melakukan reseksi rektum 2 cm diatas anal verge, yang tentunya tidak samastruktur anatominya antara neonati dan anak yang sudah agak besar. Pada

    anak yang sudah agak besar, pemotongan 2 cm dari anal verge dapatmencederai spinkter ani interna sehingga inkontinensia dapat terjadi. Oleh

    sebab itu Swenson menganjurkan pemotongan rektum pada level yangberbeda: 2 cm di anterior dan 0,5-1 cm di posterior (Swenson II).1,11

    Disamping itu penyebab lain kecipirit pada prosedur Swenson disebabkan oleh

    stenosis sirkuler yang terjadi. Pemotongan rektum yang terlalu tinggimemang dapat menyelamatkan fungsi spinkter ani, namun menyebabkan

    obstipasi berulang. Hal ini terlihat pada prosedur Rehbein dimana reseksi dananastomose kolorektal dilakukan intraabdominal, memberikan hasil

    kontinensia yang sangat memuaskan namun tinggi angka obstipasi sehinggakurang disukai ahli bedah. Sedangkan prosedur Duhamel modifikasi

    merupakan prosedur yang paling logis dalam mengatasi masalahinkontinensia dan obstipasi. Pemotongan rektum 2 cm dari anal verge pada

    lingkaran posterior tidak akan mencederai spinkter ani interna, sedangkan

    mengatasi sisa kolon aganglionik yang terlalu panjang adalah denganmembelah septum sepanjang mungkin. Hal ini dapat menerangkan mengapa

    dengan prosedur Duhamel modifikasi, diperoleh angka stenosis, kecipirit danobstipasi kronik yang rendah (Kartono,1993; Fonkalsrud,1997; Reding

    dkk,1997; Swenson dkk,1990; Tamate dkk,1994; Swenson,2002).Namun kecipirit tidaklah sama dengan inkontinensia. Kartono

    mengusulkan pembagian inkontinensia atas: kecipirit, kontinensia kurang,inkontinensia dan obstipasi berulang. Kriteria tersebut bersifat subjektif danbersifat non skala sehingga sulit dipergunakan dalam menilai keberhasilan

    operasi tarik terobos. Sedangkan Hekkinen (1997) mengusulkan 7 parameterobjektif untuk menilai fungsi anorektal dengan masing-masing memiliki skor.

    (Tabel 1) Dikatakan normal apabila skor 14, kontinensia baik apabila skor 1013, kontinensia sedang jika skor antara 59, sedangkan inkontinensia apabila

    skor sama dengan atau kecil dari 4 (Heikkinen dkk,1997).

    2003 Digitized by USU digital library 17

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    18/31

    Tabel 1. Sistem Skoring Fungsi Anorektal Menurut Hekkinen2

    No. Yang Diamati Skor

    Frekensi buang air dalam 1 hari

    a. 1 2 kali 2

    b. 3 5 kali 1

    1.

    c. lebih dari 5 kali 0Bentuk (konsistensi) tinja

    a. Padat 2

    b. Lunak 1

    2.

    c. Cair 0

    Buang air besar tanpa disadari :

    a. Tidak pernah 2

    b. Selalu, jika sedang stres 1

    3.

    c. Selalu setiap waktu 0

    Perasaan ingin buang air besar (kebelet)

    a. Ada 2

    b. Terus menerus, meski feces sudah keluar 1

    4.

    c. Tidak pernah ada 0Lamanya kemampuan menahan perasaan

    ingin buang air besar sebelum mendapattempat (WC) yang diinginkan :

    a. Beberapa menit 2

    b. Beberapa detik 1

    5.

    c. Tidak mampu sama sekali 0

    Kemampuan mengenali/memisahkan

    bentuk tinja yang akan keluar (Apakah

    padat, cair atau gas ) :

    a. Mampu 2

    b. Mampu kalau sedang buang air besar saja 1

    6.

    c. Tidak mampu 0Pemakaian obat-obatan untuk

    memperlancar buang air besar :

    a. Tidak perlu 2

    b. Kadang-kadang 1

    7.

    c. Selalu 0

    BAB III

    METODOLOGI

    III.1 Rancangan Penelitian

    Penelitian ini bersifat cross sectional deskriptif analitik dengan menilaifungsi anorektal penderita penyakit Hirschsprung pasca tindakan definitif

    bedah prosedur modifikasi Duhamel memakai sistem skoring menurutHekkinen.

    III.2 Lokasi Penelitian

    Penelitian dilaksanakan pada sub-bagian bedah anak RSUP H.AdamMalik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan serta melakukan kunjungan rumah

    terhadap penderita yang berdomisili di daerah Medan sekitarnya.

    2003 Digitized by USU digital library 18

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    19/31

    III.3 Objek Penelitian

    III.3.a Populasi Target

    Semua anak berusia diantara 0 14 tahun yang menderita penyakitHirschsprung dan menjalani tindakan bedah pada rentang usia tersebut.

    III.3.b Populasi TerjangkauSemua anak penderita penyakit Hirschsprung yang telah menjalani

    tindakan bedah definitifpull-throughprosedur Duhamel modifikasi di RSUP H.Adam Malik dan RSUD Dr.Pirngadi Medan dalam kurun waktu tahun 1997

    2002 serta berdomisili di kota Medan dan sekitarnya.

    III.3.c Kriteria Inklusi :

    1. Semua penderita penyakit Hirschsprung yang telah menjalanitindakan bedah definitif pull through di RSUP H.Adam Malik dan

    RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan memakai prosedur Duhamel

    modifikasi.2. Berusia sekurang-kurangnya 2 tahun saat mengikuti penelitian dan

    telah menjalani operasi definitif sekurang-kurangnya 6 bulan.3. Berdomisili di kota Medan dan sekitarnya.

    III.3.d Kriteria Ekslusi :

    1. Pasien berusia lebih dari 14 tahun saat menjalani tindakan bedah

    definitifpull-through.2. Pasien menderita kelainan bedah lain.

    III.4. Waktu Penelitian

    Penelitian dilakukan selama 6 bulan

    III.5. Parameter Yang Diteliti

    1. Data Pasien meliputi : umur, jenis kelamin, berat lahir,

    pengeluaran mekonium pertama sekali.2. Data Penyakit : tanda dan gejala saat berobat, panjang segmen

    aganglionik, komplikasi dini dan lanjut pasca tindakan bedah

    definitif.3. Fungsi anorektal pasca tindakan bedah definitif menurut kriteria

    Hekkinen (terlampir), meliputi : Frekwensi defekasi, konsistensi

    feces, frekwensi defekasi tanpa disadari, perasaan ingin defekasi,lama kemampuan menahan perasaan ingin defekasi, kemampuan

    mengenali bentuk feces sebelum defekasi dan pemakaian obatpencahar untuk memperlancar defekasi.

    III.6. Pelaksanaan Penelitian

    Penelitian dilaksanakan dengan 2 cara :

    1. Pengumpulan data deskriptif pasien dari rekam medik RSUPH.Adam Malik dan RSUD Dr.Pirngadi Medan, sejak Januari

    1997 hingga Desember 2002.2. Melakukan kunjungan rumah untuk mengevalusi fungsi

    anorektal bagi penderita yang berdomisili di kota Medandan sekitarnya ( Lubuk Pakam, Binjai, Tj.Pura, P. Brandan ).

    2003 Digitized by USU digital library 19

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    20/31

    III.7. Analisa Data

    Data deskriptif disajikan secara tabular. Kesetaraan antara beberapa

    kelompok data duji dengan uji kuadrat Chi. Perbedaan dianggap bermaknasecara statistik apabila p < 0,05.

    BAB IVHASIL PENELITIAN

    IV.1. Karakteristik PasienSelama kurun waktu Januari 1997 sampai dengan Desember 2002,

    telah dilakukan tindakan bedah sementara berupa kolostomi pada 96 kasusdan tindakan bedah definitif sebanyak 67 kasus, yang berasal dari 6 propinsi

    (Sumatera utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi, dan bengkulu). Daripenderita penyakit Hirschsprung yang telah dikolostomi, didapati 79 orang

    (82,3%) pasien laki-laki dengan rentang usia antara 1 hari hingga 14 tahun.

    Sebagian terbesar diantaranya berusia dibawah 1 tahun (71,8%).Usia termuda saat operasi adalah 2 tahun 10 bulan dan usia tertua

    adalah 12 tahun 9 bulan. Usia saat ini yang dievaluasi berkisar dari 4 tahun 3bulan hingga 15 tahun 8 bulan. Sedangkan rata-rata lama pengamatan

    setelah operasi definitif adalah 2 tahun 3 bulan (Lampiran 3).

    Tabel 2.Distribusi usia dan jenis kelamin pasien penyakit Hirschsprung yang

    menjalani kolostomi. n = 96

    Umur Laki-laki Perempuan Jumlah %

    0 1 bulan 38 7 45 46,8

    1 12 bln 21 3 24 25,0

    1 5 thn 12 4 16 16,7

    6 9 thn 5 1 6 6,3

    10 14 thn 3 2 5 5,2

    Jumlah 79 17 96 100,0

    Tabel 3. Distribusi jenis kelamin dan usia saat menjalani tindakan bedahdefinitif dan berdomisili di kota Medan sekitarnya. n = 24

    Umur Laki-laki Perempuan Jumlah %

    2 6 thn 12 1 13 54,2

    7 12 thn 6 3 9 37,5

    > 13 thn 1 1 2 8,3

    Jumlah 19 5 24 100,0

    IV.2. Evakuasi Mekonium

    Dari semua penderita Hirschsprung yang telah dilakukan tindakan

    bedah, 39 orang diantaranya tidak tercatat data waktu pengeluaranmekonium pertama. Dari 57 penderita yang terdata, dijumpai hanya 7 %yang mekoniumnya keluar dalam 24 jam pertama, bahkan 35 kasus (61,4%)

    mekonium keluar sudah diatas 48 jam. Hanya sangat disayangkan, tidak

    ditemukan data mengenai apakah mekonium keluar spontan atau denganbantuan manual.

    2003 Digitized by USU digital library 20

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    21/31

    Tabel 4. Lamanya pengeluaran mekonium pertama . n = 57

    Pengeluaran mekonium Kasus %

    0 24 jam 4 7.0

    24 48 jam 18 31,6

    > 24 jam 35 61,4

    Jumlah 57 100,0

    IV.3 KomplikasiPenelusuran komplikasi pasca tindakan bedah definitif pada penderita

    Hirschsprung ini kami lakukan melalui 2 cara, yakni mencatat dari rekammedik untuk sebagian besar kasus, sedangkan dari kasus yang kami lakukan

    kunjungi melalui pengamatan langsung dan wawancara (24 kasus).Tabel 5memperlihatkan daftar komplikasi pasca tindakan definitif tersebut.

    Tabel 5. Komplikasi pasca tindakan bedah definitif. n = 67

    Komplikasi Kasus %

    Bocor anastomose 3 4,4

    Obstruksi usus 2 2,9

    Enterokolitis 5 7,5Kecipirit 3 4,4

    Meninggal 1 1,4

    Jumlah 14 20,9

    IV.4 Fungsi anorektal pasca tindakan bedah definitifPengamatan fungsi anorektal dalam penelitian ini memakai sistem

    skoring Hekkinen seperti yang telah diuraikan diatas (tabel 1). Pengamatandilakukan dengan mengamati langsung dan wawancara dengan penderita dan

    orang tua/ keluarga terdekat. Jumlah penderita yang berhasil dikunjungiadalah 24 orang, berdomisili di kota Medan, Belawan, Lubuk Pakam, Binjai,

    Tanjung Pura, dan Pangkalan Berandan. Tabel 6 memperilihatkan distribusi

    penderita di 6 kota sekitar kota medan.

    Tabel 6. Distribusi tempat tinggal Penderita Hirschsprung yang diamati fungsianorektalnya pasca tindakan bedah definitif

    No. Kota Laki-laki Perempuan Jumlah %

    1. Medan 11 2 13 54,2

    2. Belawan 2 - 2 8,3

    3. Lubuk Pakam 2 - 2 8,3

    4. Binjai 3 - 3 12,5

    5. Tanjung Pura 1 1 2 8,3

    6. Pkl. Berandan 2 - 2 8,3

    Jumlah 21 3 24 100,0

    Parameter pertama dari sistem skoring Heikkinen adalah mengenai frekwensi

    buang air besar (bab) dalam 1 hari. Frekwensi bab yang dianggap normal adalah 1 2 kali, meskipun beberapa penulis mengatakan antara 1 3 kali. Buang air besar

    yang dimaksud adalah melakukan proses defekasi pada tempat yang lazim( wc,sungai) sesuai kebiasaan normal lingkungan penderita. Tidak termasuk dalam

    kriteria ini misalnya adalah kecipirit atau buang angin disertai feces (kegagalanproses sampling reflex)

    2003 Digitized by USU digital library 21

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    22/31

    Tabel 7. Frekwensi buang air besar penderita Hirschsprung pasca tindakan

    bedah definitifpull-through.

    Frekwensi buang air besar

    sehari

    Skor Jumlah %

    1 2 kali 2 15 62,5

    3 5 kali 1 8 33,3

    > 5 kali 0 1 4,2

    Jumlah 24 100,0

    Parameter kedua adalah menilai konsistensi feces, berupa padat, lunak atau

    berbentuk cair saja. Konsistensi tinja yang dimaksud adalah konsistensi feces yangpaling sering dikeluarkan penderita sehari-harinya disaat penderita sehat. Jikalau

    sulit menilai konsistensi mana yang sebenarnya dimaksud penderita atauorangtuanya (misal : padat bercampur lunak),maka penulis memilih konsistensi yang

    paling dominan atau yang paling tinggi skornya. Tabel 8 memperlihatkan distribusikonsistensi tinja penderita Hirschsprung pasca tindakan definitif. Tercatat bahwatidak satupun penderita mengalami konsistensi fecesnya selalu cair.

    Tabel 8. Konsistensi tinja penderita Hirschsprung pasca tindakan bedah

    definitifpull-through.

    Konsistensi Tinja Skor Jumlah %

    Padat 2 14 58,3

    Lunak 1 10 41,7

    Cair 0 0 0

    Jumlah 24 100,0

    Kecipirit adalah parameter yang pertama sekali dipergunakan ahli bedah

    dalam mengevaluasi spinkter ani pasca bedah. Kecipirit adalah keluarnya babsedikit-sedikit, tanpa disadari oleh penderita atau tidak mampu ditahan sebelum

    mendapat tempat yang semestinya sehingga feces biasanya mengotori celana

    penderita. Dalam sistem skoring Heikkinen ini, kecipirit dibagi dalam 3 katagori yakni: tidak pernah sama sekali(skor 2), selalu jika sedang mengalami stress (skor 1)

    atau selalu sepanjang waktu(skor 0). Yang dimaksudkan dengan stress adalahkeadaan fisik maupun mental yang dapat mempengaruhi prilaku defekasi penderita.

    Beberapa faktor yang dapat penulis catat diantaranya: ketika mengikuti ulanganmata pelajaran disekolah atau disuruh guru ke depan kelas untuk mengerjakan

    sesuatu (2 kasus), dimarahi orang tua / guru(2 kasus), sedang sakit /demam (3

    kasus). Sedangkan yang paling banyak adalah ketika sedang menangis oleh karena

    sebab apapun (7 kasus). Frekwensi kecipirit bervariasi, tergantung besar ringannyastress yang dialami penderita. Umumnya dialami penderita rata-rata 1 2 kali dalamseminggu. Sedangkan kecipirit yang terjadi disaat penderita sedang sakit diarrhea

    tidak dimasukkan kedalam kriteria ini.

    2003 Digitized by USU digital library 22

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    23/31

    Tabel 9. Buang air besar tanpa disadari (kecipirit) penderita Hirschsprung

    pasca tindakan bedah definitifpull-through.

    Kecipirit Skor Jumlah %

    Tidak pernah 2 12 50,0

    Selalu, jika sedang stres 1 12 50,0

    Selalu setiap waktu 0 0 0Jumlah 24 100,0

    Perasaan ingin buang air besar adalah salah satu fungsi dari sampling reflexdimana kita mampu mengenali adanya isi rektum setelah propulsi massa feces ke

    rektum dalam jumlah yang signifikans. Namun dengan sampling reflex pula kitatidak perlu setiap saat melakukan defekasi, dimana terdapat refleks hambatan

    rektoanal sehingga defekasi hanya terjadi 1-2 kali sehari. Fungsi sampling reflexterdapat pada rektum sebagai reservoar feces. Kegagalan membuat rektum baru

    baik secara anatomis maupun fisiologis akan mengakibatkan kegagalan refleks ini

    dengan salah satu manifestasinya adalah tidak mengenal adanya rangsangan ingindefekasi (kebelet). Pada prosedur Duhamel modifikasi (Adang) ,membuat rektum

    baru adalah salah satu hal yang krusial yakni dengan memotong septum memakaiklem lurus atau klem Ikeda. Jika septum tidak terpotong sempurna atau rektum

    yang aganglionik tersisa cukup panjang, maka dapat menimbulkan stenosis,hilangnya sensasi rektum dan defekasi tanpa disadari (kecipirit). Tabel 10

    memperlihatkan distribusi sensasi rektum pada penderita penyakit Hirschsprung

    pascapull-through.

    Tabel 10. Perasaan ingin buang air besar (kebelet) pada penderitaHirschsprung pasca tindakan bedah definitifpull-throgh.

    Perasaan ingin defekasi Skor Jumlah %

    Ada 2 15 62,5

    Terus menerus 1 6 25,0

    Tidak pernah ada 0 3 12,5

    Jumlah 24 100,0

    Lamanya kemampuan menahan rangsangan ingin bab merupakan faktor

    utama dalam menentukan kontinensia sosial. Perdefinisi, inkontinensia adalah

    kegagalan menguasai sepenuhnya fungsi spinkter ani sehingga dapat melakukanproses defekasi pada waktu dan tempat yang diinginkan (diterima secara sosial).

    Dalam sistem skoring Heikkinen, kemampuan menahan bab ini dihitung dalamukuran waktu (menit, detik dan tidak mampu sama sekali). Tentu saja akan

    dijumpai kesulitan mengevaluasi hal ini pada anak pra-sekolah, terutama yang tidakkooperatif. Untuk itu dilakukan penilaian secara tidak langsung yakni menanyakan

    apakah setelah penderita menyatakan ingin bab, dapat terjadi defekasi pada tempat

    yang dimaksudkan. Jika selalu berhasil defekasi di tempat yang dimaksudkan, makadiberi skor 2. Jika kadang-kadang berhasil namun kadang tidak , maka penulis

    masukkan dalam skor 1. Sedangkan jika sama sekali tidak ada tenggat waktu antaramenyatakan keinginan bab dengan proses defekasi itu sendiri, penulis

    memasukkannya kedalam kriteria 3 (skor 0).

    2003 Digitized by USU digital library 23

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    24/31

    Tabel 11. Lamanya kemampuan menahan keinginan defekasi penderita

    Hirschsprung pasca tindakan bedah definitifpull-through.

    Lama menahan defekasi Skor Jumlah %

    Beberapa menit 2 13 54,1

    Beberapa detik 1 10 41,7

    Tidak mampu 0 1 4,2Jumlah 24 100,0

    Parameter keenam adalah bagian yang paling sulit dalam mengevaluasi

    fungsi anorektal penderita, khususnya pada rentang usia 2 4 tahun (9 kasus).Parameter ini adalah evaluasi terhadap sampling reflex dimana rektum selain

    mengenali juga mampu memisahkan isinya sehingga tidak saling campur,

    khususnya antara konsistensi padat dan cair dengan konsistensi gas (flatus). Skor 2berarti penderita mampu memisahkan feces yang padat, lunak maupun gas. Berarti

    penderita dapat flatus tanpa diiringi dengan keluarnya feces yang padat maupunyang cair. Jika penderita hanya mampu memisahkan gas dengan feces yang lebih

    padat pada saat defekasi saja, berarti skor 1. Penderita kelompok ini pada saat-saat

    tidak defekasi, jika flatus dapat diiringi dengan keluarnya sedikit feces, baik padatmaupun cair. Hal ini berbeda dengan kecipirit dimana kecipirit terjadi secara spontan

    tanpa disadari penderita sedangkan ketidakmampuan memisahkan flatus ini denganfeces terjadi secara sadar. Parameter kemampuan memisahkan tinja ini disajikan

    pada tabel 12.

    Tabel 12. Kemampuan mengenali bentuk tinja yang akan keluar

    Kemampuan mengenalikonsistensi tinja

    Skor Jumlah %

    Mampu 2 14 58,3

    Hanya saat defekasi 1 9 37,5

    Tidak mampu 0 1 4,2

    Jumlah 24 100,0

    Parameter terakhir dan barangkali parameter yang paling mudah dievaluasiadalah perlu tidaknya penderita memakai obat-obat pencahar, baik jenis yang

    peroral maupun suppositoria. Pemakaian obat-obat golongan ini menandakan adanya

    obstipasi pada penderita. Pada penderita yang menjalani prosedur Duhamelmodifikasi, obstipasi disebabkan oleh septum yang tidak terpotong sempurna atau

    segmen aganglionik rektum yang ditinggalkan terlampau panjang.Penatalaksanaannya adalah menuntaskan pemotongan septum dengan memakai

    klem lurus yang panjang atau klem Ikeda. Namun dari 7 penderita yang kami jumpaimasih memakai suppositoria untuk memperlancar proses defekasinya, tidak satupun

    yang berhasrat melanjutkan pengobatan untuk menuntaskan problema tersebut.Frekwensi pemakaian suppositoria ini bervariasi, antara 1 kali dalam seminggu

    hingga 1 kali dalam sebulan, seperti disajikan pada tabel 13.

    2003 Digitized by USU digital library 24

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    25/31

    Tabel 13. Pemakaian obat pencahar untuk memperlancar bab

    Pemakaian obatpencahar

    Skor Jumlah %

    Tidak perlu 2 17 70,8

    Kadang-kadang 1 7 29,2

    Selalu 0 0 0

    Jumlah 24 100,0

    Tabel 14 memperlihatkan kumulasi dari ketujuh parameter fungsi anorektalpenderita penyakit Hirschsprung yang dievaluasi.

    Tabel 14. Hubungan parameter fungsi anorektal dengan skor yang diperoleh.

    Fungsi anorektal

    Skor 2 Skor 1 Skor 0

    Parameter

    Jumlah % Jumlah % Jumlah %

    Frekwensi bab 15 62,5 8 33,3 1 4,2

    Konsistensi tinja 14 58,3 10 41,7 0 0

    Kecipirit 12 50,0 12 50,0 0 0

    Sensasi rektum 15 62,5 6 25,0 3 12,5Lama menahan bab 13 54,1 10 41,7 1 4,2

    Mengenali tinja 14 58,3 9 37,5 1 4,2

    Pemakaian pencahar 17 70,8 7 29,2 0 0

    x2= 11,886 df= 12 p = 0,4548

    Tabel 15 memperlihatkan distribusi frekwensi usia penderita saat ini

    dibandingkan dengan fungsi anorektalnya. Pengamatan dimulai pada usia diatas 2tahun, untuk menghindari bias dengan kemampuan fungsi anorektal pada usia

    dibawah 2 tahun yang masih dalam tahap belajar proses defekasi. Penderita palingmuda berusia 3 tahun 8 bulan sedangkan yang paling tua saat ini berusia 15 tahun

    11 bulan.

    Tabel 15. Hubungan usia penderita saat operasi dengan Fungsi anorektal

    Fungsi Anorektal Total

    Normal Baik Sedang

    Usia

    (tahun)

    Jlh % Jlh % Jlh % Jlh %

    8 0 0 1 4,2 4 16,7 5 20,8

    Jumlah 5 20,8 13 54,2 6 25,0 24 100,

    x2= 11,301 df= 4 p = 0,0234

    BAB VPEMBAHASAN

    V.1. Usia dan Jenis Kelamin

    Dari penelitian ini ditemukan 82,3% (79 kasus) dari 96 kasus yang

    dilakukan kolostomi adalah laki-laki, dengan ratio laki-laki dengan perempuanadalah 4,6 : 1. Hal ini sedikit berbeda dengan temuan Swenson yang

    memperoleh ratio 4:1, sedangkan Kartono mendapati angka 3:1. MenurutBodian dan Carter, penyakit Hirschprung bersifat resesif autosomal dan

    2003 Digitized by USU digital library 25

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    26/31

    diturunkan melalui kromosom sex (Kartono,1993; Swenson dkk,1990;

    Klein,1995; Fujimoto dkk,1996).

    Dalam penelitian ini, diagnosa penyakit Hirschsprung telah ditegakkansebelum usia 1 bulan pada sebanyak 45 penderita (46,8%), sedangkan

    sebelum berusia 1 tahun mencapai 71,8% (69 kasus). Hal ini tidak berbedajauh dengan hasil sejumlah penelitian Kleinhaus dkk mendapatkan angka

    60% untuk diagnosa sebelum usia 1 tahun, sedangkan Harrison dkk.menyebutkan 37% dari pasien Hisrchsprung yang diamatinya telah tegak

    diagnosanya dalam usia 1 bulan dan 63% dalam usia 6 bulan

    (Swenson,2002).

    V.2. Pengeluaran Mekonium PertamaPengeluaran mekonium pertama merupakan tanda khas dari penyakit

    Hirschsprung pada masa neonatal. Dalam penelitian ini diketahui lebih dari90% penderita Hirschsprung mengeluarkan mekonium pertamanya diatas 24

    jam, bahkan sebanyak 35 kasus (61,4%) diketahui mekonium pertama keluar

    setelah 48 jam. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Swensonyang mendapatkan 94% penderita penyakit Hirschsprung mengeluarkan

    mekonium diatas 24 jam. Sherry dan Kramer juga mendapati angka yangsama (Swenson,2002).

    Menurut Swenson, keterlambatan pengeluaran mekonium adalahsimptom kardinal dari suatu penyakit Hirschsprung. Manakala dijumpai

    neonati dengan gejala keterlambatan pengeluaran mekonium ini, maka harus

    dijajaki pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung.Jikalau tidak, maka bayi akan jatuh dalam obstipasi kronis, pemakaian

    suppositoria untuk mengeluarkan feces, dan akhirnya terjadi enterokolitis(Swenson dkk,1990; Swenson,2002).

    V.3. Komplikasi

    Dari tabel 7 terlihat sejumlah komplikasi yang dijumpai pasca tindakanbedah definitif pull-through, yakni kebocoran anastomose 3 kasus (4,4%),

    obstruksi usus 2 kasus (2,9%), enterokolitis 4 kasus (7,5%), kecipirit 3 kasus(4,4,%), dan kematian 1 kasus (1,4%).

    Kebocoran anastomose merupakan komplikasi yang paling serius

    pasca tindakan bedah definitif, yang dapat diikuti dengan terbentuknya absesdi rongga pelvik, peritonitis umum, sepsis dan kematian. Apabila anastomose

    dilakukan secara langsung, maka insidens terjadinya kebocoran tinggi. Jikalaudipakai anastomose tidak langsung, artinya anastomose ditunda 10 hingga 14

    hari kemudian, seperti pada prosedur Duhamel modifikasi Adang, maka

    dalam laporannya Kartono mendapatkan angka yang fantastik, yakni tanpasatupun kebocoran anastomose pada 65 pasiennya (Kartono,1993).

    Stenosis rekti merupakan masalah yang harus segera dikenali dandiatasi pada penderita penyakit Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif.

    Pada prosedur Duhamel modifikasi, stenosis disebabkan oleh pemotongan

    septum yang tidak tuntas atau tidak adekuat. Oleh sebab itu,penatalaksanaannya cukup berupa pemotongan ulang septum

    (Kartono,1993).

    Pada penelitian ini, dijumpai kejadian enterokolitis pasca tindakan

    bedah definitif hanya pada 4 kasus (7,5%), jauh lebih rendah dari angka yangdiperoleh Swenson (12,5%), Kleinhaus (10%) maupun Kartono sendiri

    (14,5%). Hal ini mungkin disebabkan oleh 2 hal : jumlah sampel penelitianyang relatif kecil, atau adanya under reportedmengingat sistem pencatatan

    rekam medik yang masih kurang baik (Fujimoto dkk,1996).

    2003 Digitized by USU digital library 26

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    27/31

    Menurut Swenson dan Bill, enterokolitis disebabkan oleh obstruksi

    usus mekanik yang parsial yang dapat terjadi baik sebelum maupun sesudah

    tindakan bedah. Oleh sebab itu, enterokolitis pasca tindakan bedah definitifdisebabkan oleh stenosis dan spasme dari spinkter ani, baik dengan memakai

    prosedur Swenson maupun Duhamel modifikasi dimana rektum yang tersisasebenarnya masih merupakan segmen yang aganglionik. Menurut Kartono ,

    prosedur Duhamel modifikasi memiliki keunggulan dibanding dengan prosedurSwenson, sebab apabila terjadi stenosis dapat dilakukan penuntasan

    pemotongan septum sedangkan spinkterektomi posterior tidak banyak

    mengurangi spasme spinkter ani. Hal ini dangan mudah menjelaskanmengapa kejadian enterokolitis pada prosedur Duhamel modifikasi lebih

    rendah dari prosedur Swenson (Kartono,1993; Heij dkk,1995; Swensondkk,1990).

    Kecipirit adalah salah satu bentuk manifestasi gangguan spinkter ani,yaitu keluarnya feces lewat anus yang tidak dapat dikendalikan oleh pasien

    yang terjadi sewaktu-waktu dan pada tempat yang tidak diinginkan penderita.

    Tentu saja beberapa faktor berperan pening dalam menilai kecipirit, yakniusia penderita, status mental, dan kurun waktu pasca tindakan bedah definitif

    (Ludman dkk,2002).

    Swenson melaporkan angka 2,1 % (10 kasus dari 483 pasien) untuk

    terjadinya kecipirit, sedangkan Kartono mendapatkan angka 17,7% untukprosedur Duhamel modifiaksi dan 16,9% untuk prosedur Swenson. Laporan

    ini hanya menemukan 4,4% insidens kecipirit melalui penelusuran rekammedik. Angka yang rendah ini mungkin disebabkan under reported kasus

    kecipirit, yang notabene merupakan komplikasi lanjut pasca tindakan bedah

    definitif (Kartono,1993).Seperti halnya dengan stenosis, kecipirit yang terjadi pasca prosedur

    Duhamel modifikasi disebabkan oleh sisa septum yang masih panjang,sehingga dengan menuntaskan pemotongan septum akan menyebabkan

    hilangnya kecipirit. Sedangkan kecipirit pasca prosedur Swenson disebabkanoleh spasme spinkter ani akibat striktur pada garis anastomose, yang

    meskipun dilakukan spinkterektomi posterior tidak juga banyak membantu.Satu-satunya metoda pull-through yang tidak menimbulkan gangguanspinkter ani adalah metode Rehbein. Hal ini dapat dimengerti sebab prosedur

    Rehbein tidak melakukan reseksi pada rektum ekstraperitoneal, melainkanjauh diataspelvic slingyakni di intraabdominal seperti layaknya deep anterior

    resection. Prosedur ini tentu saja menyisakan segmen aganglionik daerahrektum yang cukup panjang, sehingga kerap kali menimbulkan obstipasi

    berulang. Justru alasan inilah mengapa prosedur Rehbein kurang begitu

    disukai para ahli bedah (Swenson dkk,1990; Klein dkk,1995; Swenson,2002).Secara keseluruhan, komplikasi operasi pull-through dari berbagai

    penelitian yang telah dilakukan disajikan dalam tabel berikut.

    Tabel 16. Tabel komplikasi pull-through pada beberapa penelitian

    PenelitianNo. Komplikasi

    Swenson Kartono Grob-Martin RSHAM/RSPM

    1. Bocor anastomose 5,6 % 0 % 2,5 % 4,4 %

    2. Obstruksi 3,2 % 1,6 % 2,9 % 2,9 %

    3. Enterokolitis 12 % 14,5 % 1,9 % 7,5 %

    4. Kecipirit 8 % 17,7 % 5,2 % 4,4 %

    5. Kematian 2,5 % 3,2 % 0,5 % 1,4 %

    2003 Digitized by USU digital library 27

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    28/31

    V.4. Fungsi Anorektal (Heikkinen)

    Heikkinen dkk(1997) mengusulkan penilaian fungsi anorektal memakai

    sistem skoring yang terdiri atas 7 kriteria (tabel 1). Selain untukmendapatkan penilaian kuantitatif, sistem skoring ini juga untuk

    menyeragamkan penilaian terhadap fungsi anorektal dimana sebelumnyapenilaian berbeda-beda diantara para ahli bedah. Meskipun parameter yang

    disampaikan Heikkinen dkk bukanlah hal yang baru, namun menggabungkanparameter tersebut dan membuatnya sebagai suatu sistem skoring

    merupakan terobosan baru dalam menilai fungsi anorektal (Heikkinen

    dkk,1997).Skor 14 diartikan bahwa penderita tidak mendapat gangguan

    anorektal sama sekali, layaknya orang normal. Penderita dengan skor antara10 13 dikelompokkan sebagai kontinensia baik yakni diyakini penderita

    tidak memiliki gangguan sosial yang berarti, tidak memiliki keterbatasandalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari, baik dalam pekerjaan

    maupun berolah raga. Kontinensia sedang adalah penderita dengan skor

    antara 5 9 dimana penderita diyakini memiliki keterbatasan dalamkehidupan sosialnya terutama akibat adanya kecipirit, serta obstipasi yang

    berulang. Sedangkan skor 4 atau lebih kecil disebut inkontinensia total yangmenimbulkan gangguan sosial yang berat serta keterbatasan yang bermakna

    dalam pekerjaan serta selalu memerlukan koreksi bedah (Heikkinendkk,1997).

    Dari tabel 7 terlihat distribusi frekwensi buang air besar penderitapenyakit Hirschsprung pasca pull-through. Frekwensi buang air besar sangat

    terkait dengan gerakan propulsi isi kolon terutama rektum melalui refleks

    gastrokolika. Menurut penelitian Drossman dkk, dari pengamatan terhadap800 volunter dewasa yang normal tercatat bahwa gerakan propulsi rektum

    antara 1 hingga 3 kali per hari (Swenson,2002). Berdasarkan hanya dengankriteria ini, Sherman dkk melaporkan bahwa dari 260 penderita penyakit

    Hirschsprung yang dilakukan tindakan bedah prosedur Swenson didapati 94%dengan defekasi normal. Sedangkan apabila kriteria fungsional anorektalnya

    diperluas, maka diperoleh 67% hasil memuaskan, 27% masih memerlukanobat pencahar guna melunakkan fecesnya sedangkan 8% diantaranya masihmengalami konstipasi (Swenson,2002).

    Dari tabel 9 didapati bahwa 50% penderita tidak mengalami fecalsoiling (kecipirit), sedangkan separuhnya lagi mengalami kecipirit jikalau

    sedang stress fisik maupun non-fisik. Kartono (1993) dalam laporannyamenemukan angka kejadian kecipirit hanya 16,9% (11 kasus dari 65

    penderita). Perbedaan hasil yang mencolok ini penulis duga disebabkan oleh 3

    hal ,yakni : 1. Pada laporan Kartono dijumpai bahwa 87% kasus dioperasisaat penderita dibawah usia 3 tahun, sedangkan dalam laporan ini usia saat

    operasi dibawah 4 tahun hanya berjumlah 33,3%; 2. Kartono melakukanpenelitian prospektif dengan pengamatan komplikasi pasca bedah selama

    rawatan di rumah sakit, sedangkan dalam penelitian ini dilakukan

    pengamatan cross sectional dimana rentang waktu lamanya operasi berkisarantara 9 bulan 6 tahun 2 bulan ;3. Laporan angka kecipirit pada penelitian

    Kartono adalah setelah dilakukan koreksi bedah pasca tindakan bedahdefinitif yakni dengan menuntaskan atau memotong ulang septum yang

    tersisa, sedangkan dalam penelitian ini tidak tercatat satupun kasus yangdilakukan pemotongan ulang septum. Dengan akumulasi ketiga faktor diatas,

    dapat dipahami tingginya angka kejadian kecipirit pada penelitian ini.Dari lamanya kemampuan penderita menahan keinginan untuk

    defekasi, dalam penelitian ini dijumpai lebih 95% penderita mampu menahan

    2003 Digitized by USU digital library 28

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    29/31

    desakan defekasi meskipun hanya beberapa detik. Menurut Heij dkk,

    parameter ini adalah merupakan yang terbaik dalam menggambarkan derajat

    kontinensia penderita (Heij dkk,1995).Tabel 14 merupakan rangkuman dari ketujuh parameter yang

    dievaluasi. Dengan menggunakan uji chi kuadrat, diumpai p = 0,4548. Hal iniberarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari ketujuh elemen

    parameter tersebut dalam menggambarkan fungsi anorektal. Dengan katalain, masing-masing parameter berfungsi untuk mengontrol parameter

    lainnya sehingga tidak terlalu jauh perbedaannya. Hal ini sesuai dengan

    pengamatan oleh Heikkinen dkk (1997).Dari tabel 15 terlihat bahwa dijumpai perbedaan yang signifikans

    antara kelompok umur usia dibawah 4 tahun dengan usia saat operasi diatas8 tahun (p = 0,0234). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tua usia anak

    saat operasi maka semakin rendah skor fungsi anorektal yang diperolehdibanding jikalau operasi saat usia balita. Menurut Swenson usia yang ideal

    untuk tindakan bedah definitif adalah 9 12 bulan. Namun dalam kurun

    waktu 1 dekade terakhir ini telah banyak dilakukan tindakan bedah definitifpull-through pada bayi sebelum usia 3 bulan tanpa harus melakukan

    kolostomi terlebih dahulu (Corcassone dkk, 1996). Menurut laporanCorcassone dkk, dari 98 penderita penyakit Hirschprung yang dilakukan

    tindakan bedah definitif tanpa kolostomi pada usia sebelum 3 bulan, tidaksatupun dijumpai kebocoran anastomose. Prosedur Bedah yang dipergunakan

    adalah prosedur Swenson. Sedangkan follow up komplikasi pasca operasi

    masih terus berlangsung, dimana dalam laporan awal disebutkan bahwakomplikasi yang terjadi tidak berbeda bermakna dibanding dengan prosedur

    yang biasa dilakukan. Komplikasi dini berupa enterokolitis akibat stenosisjuga dianggap tidak berbeda bermakna dibanding dengan apabila dilakukan

    pada usia 1 tahun. Disamping itu fungsi anorektal diharapkan akanmemberikan hasil yang optimal, sebab operasi dilaksanakan pada saat

    penderita sedang belajar mengontrol kontinensianya (Swenson, 2002) .

    BAB VIKESIMPULAN

    1. Dari evaluasi penderita penyakit Hirschsprung yang menjalani tindakan bedah

    di RSUP H.Adam Malik dan RSUD Dr.Pirngadi Medan kurun waktu 1997 hingga

    2002 adalah sebagai berikut :a. Dari 96 kasus yang telah menjalani tindakan bedah sementara

    (kolostomi), perbandingan laki-laki (82,3%) dengan perempuanadalah 4,6:1; dan dijumpai keterlambatan pengeluaran mekonium

    pertama pada 93% kasus.b. Dari 67 kasus yang menjalani tindakan bedah definitif prosedur

    Duhamel modifikasi, dijumpai kebocoran anastomose pada 3 kasus

    (4,4%), obstruksi usus 2 kasus (2,9%), enterokolitis 4 kasus (7,5%),kecipirit 3 kasus (4,4%), dan kematian 1 kasus (1,4%).

    2. Dari pengamatan langsung terhadap 24 penderita penyakit Hirschsprung yangtelah menjalani tindakan bedah definitif diperoleh hasil :

    a. Fungsi anorektal dengan kriteria normal dijumpai pada 20,8% (5kasus), kontinensia baik 54,2% (13 kasus), kontinensia sedang

    didapati pada 6 kasus (25%), sedangkan kontinensia buruk(inkontinensia total) tidak dijumpai sama sekali.

    2003 Digitized by USU digital library 29

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    30/31

    b. Prosedur Duhamel modifikasi Adang memiliki keunggulan dalam hal :

    komplikasi (stenosis, enterokolitis, kecipirit dan kematian) lebih

    rendah, prosedur operasi lebih sederhana serta tidak dijumpai hasilinkontinensia total.

    3. Pemakaian sistem skoring fungsi anorektal menurut Heikkinen menggunakanparameter yang mudah dinilai dan dimengerti serta bersifat kuantitatif (skala)

    sehingga dapat dipergunakan secara luas guna menilai fungsi spinkter ani.4. Dijumpai hasil pasca operasi yang lebih baik pada kelompok usia dibawah 4

    tahun saat menjalani tindakan bedah definitf dibandingkan dengan kelompok

    usia diatasnya.

    BAB VII

    SARAN

    1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap penyakit Hirschsprung dalam

    jumlah kasus yang lebih besar , khususnya dalam hal :a. mendeteksi gejala dan tanda dini yang signifikans;

    b. mengevaluasi fungsi anorektal dalam kurun waktu yang lebih lamaserta usia penderita yang lebih dewasa ;

    c. menggunakan manometri anorektal dalam menegakkan diagnosa (yang meragukan ) serta evaluasi fungsi spinkter pasca tindakan bedah

    definitif.

    2. Mengusulkan agar prosedur operasi yang dikerjakan dalam penelitianini disebut sebagai prosedur Duhamel modifikasi Adang, sebagai penghargaan

    kepada Dr. Z K.Adang (FK UI) yang memperkenalkan prosedur ini sejak tahun1967.

    3. Memberikan informasi kepada masyarakat agar waspada apabila menjumpaibayi yang belum mengeluarkan mekonium pertama dalam 24 jam pertama

    kelahiran, untuk selanjutnya meminta pertolongan kepada petugas

    kesehatan.

    KEPUSTAKAAN

    Cilley RE, Statter MB, Hirschl RB,et al. Definitive treatment of Hirschsprungs disease

    in the newborn with a one stage procedure. Arch Dis Child 2001;84:212-7.

    Corcassone M, Guys JM, Lacombe M,et al. Management of Hirschsprungs disease:Currative surgery before 3 months of age. J Pediatr Surg 1996;30:1132-4.

    Engum SA, Petritets M, Rescorla FJ, et al. Familial Hirschsprungs disease: 20 casesin 12 kindreds. J Pediatr Surg 1996;26:1286-90.

    Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors.Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall

    intl.inc.;1997.p.2097-105.

    Fujimoto T, Hata J, Yokoyama S,et al. A Study of the extracelluler matrix protein asthe migration pathway of neural crest cells in the gut: Analysis in humanembryo with special reference to the pathogenesis of Hirschsprungs disease. J

    Pediatr Surg 1996;30:1120-6.

    Heij HA, Vries X, Bremer I,et al. Longterm anorectal function after Duhameloperation for Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg 1995;25:430-2.

    Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance aftersurgery for Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg 1997; 32: 1443-6.

    2003 Digitized by USU digital library 30

  • 5/23/2018 bedah-budi irawan.pdf

    31/31

    Hung WT. Treatment of Hirschsprungs disease with modified Duhamel-Grob-Martin

    operation. J Pediatr Surg 1996;25:849-52.

    Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamelmodifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.

    Klein MD, Phillipart. Hirschsprungs disease: Three decades experience at singleinstitusion. J Pediatr Surg1995;26:1291-4.

    Lee S. Hirschsprungs disease. Arch Dis Child 2002;86:317-26.Lister J. Complications of Paediatric Surgery. London: Bailliere Tindal; 1996. p.133-

    42.

    Ludman L, Spitz L, Truji H, et al. Hirschsprungs disease: Functional danpsychological follow up comparyng total colonic and rectosigmoid aganglionis.

    Arch Dis Child 2002; 86: 348-51.Milla PJ. Hirschsprungs disease. In: Rudholps pediatrics. 20th ed. Sanfransisco;

    Prentice Hall Intl. Inc.; 1996: 1115-7.Neto JA, Junior JA.Acquired megacolon. In: New trends in coloproctology. Rio de

    Jainero;Livraria:2000.p.329-33.

    Reding R, Goyet JV, Goseyye S,et al. Hirschsprungs disease: A 20 year experience. JPediatr Surg 1997;32:1221-5.

    Shafik A. Surgical anatomy of the anal canal.In: Neto JA,editor. New trends incoloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.3-18.

    Storey DW, Scobie WG. Impaired gastrointestinal mucosal defense in Hirschsprungsdisease: A clue to the pathogenesis of enterocolitis? J Pediatr Surg 1997;

    32:1462-4.Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger JG,editor.

    Swensons pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange; 1990.

    p.555-77.Swenson O.Hirschsprungs disease : A Review. J Pediatr 2002;109:914-918.

    Tamate S, Shiokawa C, Yamada C,et al. Manometric diagnosis of Hirschsprungsdisease in the neonatal period. J Pediatr Surg 1994;23:685-8.

    Teitelbaum DH, Caniano DA, Qualman SJ. The pathofisiology of Hirschsprungsassociated enterocolitis: Importance of histologic correlates. J Pediatr Surg

    1999;34:1671-7.Wexner SD, Jorge JM. Evaluation of functional studies on anorectal disease. In: New

    trends in coloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.23-38.

    Yamada T. Atlas of gastroenterology. 2nded.Tokyo;1999.

    2003 Digitized by USU digital library 31