bayu skripsi (repaired)
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air merupakan sumberdaya yang mempunyai peran sangat penting dalam
menunjang perkembangan sosial dan ekonomi suatu wilayah. Berbagai aktivitas
manusia, seperti usaha pertanian, perikanan, rumah tangga dan industri, senantiasa
memerlukan dukungan sumberdaya air yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian
sebagai petani. Pertanian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat
tergantung pada ketersediaan air, sedangkan ketersediaan air dipengaruhi oleh iklim dan
faktor-faktor lingkungan seperti: keadaan topografi, sifat tanah, tinggi tempat, dan lain
sebagainya.
Iklim di Indonesia dipengaruhi oleh angin muson yang menyebabkan adanya
musim kemarau dan penghujan. Pada musim kemarau curah hujan yang turun sangat
sedikit sehingga ketersediaan air juga terbatas, sedang pada musim penghujan curah
hujan sangat tinggi sehingga ketersediaan air tercukupi atau bahkan melimpah. Pada
tahun-tahun tertentu sering dijumpai musim kemarau yang sangat panjang yang
menyebabkan ketersediaan air menjadi langka sehingga lahan-lahan pertanian menjadi
kering dan tanaman yang dibudidayakan menjadi mati (puso) ataupun hasil yang
diperoleh sangat rendah. Selain itu pada tahun-tahun tertentu juga dijumpai musim
hujan yang sangat panjang yang menyebabkan ketersediaan air melimpah sehingga
menyebabkan lahan pertanian menjadi terendam banjir yang mengakibatkan gagal
panen. Keberadaan sarana pengairan seperti saluran irigasi memang sangat membantu
dalam pengelolaan air, akan tetapi yang paling penting adalah ketersediaan air. Tanpa
air, saluran irigasi tidak akan ada fungsinya.
Kecamatan Sambi adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Boyolali yang
mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Sebagian besar dari mereka
menanam padi sebagai komoditas utamanya. Sebagian wilayah pertaniannya merupakan
daerah irigasi dan sebagian lainnya merupakan daerah tadah hujan. Sumber irigasi di
kecamatan ini berasal dari mata air Tlatar yang dan dari Waduk Cengklik. Sedangkan
daerah tadah hujan hanya akan mendapat air apabila musim penghujan saja dan pada
musim kemarau lahan tadah hujan tersebut dibiarkan bero begitu saja, kalaupun
1
ditanami, hanya dapat ditanami tanaman singkong saja. Sehingga kalau dilihat secara
sekilas kondisi perekonomian di daerah yang beririgasi sedikit lebih baik.
Irigasi menempati posisi yang sangat penting di banyak negara. Ia penting dalam
kaitannya dengan produksi pertanian dan pasokan bahan makanan, dengan pendapatan
penduduk desa, dengan investasi negara untuk pembangunan desa, dan sering dengan
pengeluaran negara yang terus menerus untuk sektor pertanian. Namun demikian,
ketidak-puasan terhadap keragaan proyek-proyek irigasi di negara-negara sedang
berkembang sangat meluas. Sementara proyek-proyek irigasi biasanya diharapkan
sebagai mesin pertumbuhan sektor pertanian, proyek-proyek ini secara khas mempunyai
keragaan dibawah potensi yang sebenarnya (Small dan Svedsen, 1995).
Irigasi sejak Pelita I telah dikembangkan seiring dengan program pemerintah
untuk mencapai swasembada pangan, terutama beras. Terjaminnya penyediaan air
irigasi memiliki arti penting dalam produksi padi karena bibit unggul, pupuk, pestisida
dan cara cocok tanam yang baik akan memberikan hasil tinggi jika irigasinya cukup
tersedia dan pemberian air dapat disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Disamping itu
juga bermanfaat dalam memperluas areal tanam, menambah jumlah tanaman per tahun
dan meningkatkan produktivitas lahan per hektar (Suparmoko, 1980).
Usaha pemerintah untuk mencapai tujuan dalam produksi beras dilakukan
dengan intensifikasi produksi padi dan tanaman pangan lain dengan menerapkan
teknologi baru dan pemanfaatan lahan potensial untuk meningkatkan produksi. Dalam
pencapaian tujuan tersebut, pemerintah telah melakukan investasi untuk pengembangan
dan rehabilitasi jaringan irgasi, pembinaan pegelolaan irigasi serta penyediaan sarana
produksi modern (Hamdani, 1993).
Kinerja pengelolaan air irigasi pada level usahatani sangat beragam dengan
alokasi air irigasi yang masih jauh dari optimal. Praktek-praktek pemberian air irigasi
untuk usahatani masih cenderung boros, sementara itu kehilangan air di saluran irigasi
masih sangat tinggi. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama realisasi areal
tanam dan realisasi areal panen khususnya pada mk (musim kering) I dan terlebih mk
(musim kering) II sangat rendah. Hal itu disebabkan jadwal dan pola tanam yang
disusun cenderung rutin, kurang memperhatikan dinamika iklim dimana dijumpai
tahun-tahun basah dan tahun-tahun kering. Kecenderungan seperti itu muncul karena
potensi sumberdaya air yang dapat dipergunakan diasumsikan kuantitas dan polanya
2
mantap. Akibatnya sering terjadi kegagalan panen akibat kekeringan atau sebaliknya
kebanjiran, yang pada gilirannya menyebabkan produksi yang diperoleh lebih rendah
dari potensialnya. Implikasi kebijakannya adalah pentingnya penyusunan jadwal dan
pola tanam pada berbagai kondisi yaitu tahun-tahun normal, Elnino (tahun kering), dan
Lanina (tahun basah), sesuai peramalan (Saptana,2000).
Dari hasil analisis masalah pengelolaan sumber daya air di Pulau Jawa, secara
umum dapat diambil kesimpulan bahwa kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan,
industri, dan pertanian mengalami peningkatan yang signifikan. Pertambahan penduduk
dan aktivitas perekonomian di satu sisi berdampak pada peningkatan kebutuhan
air,namun disisi lain juga berdampak pada perubahan tata guna lahan yang
mengakibatkan perubahan perilaku hidrologis. Adanya perubahan perilaku hidrologis
tersebut menyebabkan perubahan pola ketersediaan air. Kondisi ini semakin diperparah
oleh menurunnya daya dukung lingkungan akibat kerusakan lingkungan. Hal tersebut
juga meningkatkan potensi banjir yang akan mengancam keberlanjutan infrastruktur di
Pulau Jawa yang dibangun dengan investasi yang sangat besar. Pada tahun 2003, sekitar
77 persen kabupaten/kota di Pulau Jawa mengalami defisit air dan diperkirakan
meningkat menjadi 78,4 persen pada tahun 2025 (Anonim,2008).
B. Permasalahan
Kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dengan
ketersediaan air. Tanpa air, kegiatan pertanian tidak akan pernah dapat berjalan secara
optimal. Air dapat sampai ke lahan pertanian salah satu jalannya melalui saluran irigasi.
Air irigasi merupakan faktor produksi yang vital untuk mensukseskan kehidupan
tanaman, sehingga ketersediaannya secara kuntitas maupun kualitas sangat penting dan
menentukan keberhasilan pembangunan pertanian.
Menurut Asnawi (Varley, 1995) bahwa air irigasi tidak saja meningkatkan hasil
produksi per hektar secara langsung tetapi juga untuk memberikan respon tanaman
terhadap pupuk kimia. Varietas padi unggul akan lebih tinggi hasilnya jika diberi pupuk
kimia dengan dosis yang tepat, dan respon tanaman terhadap pupuk akan muncul jika
tersedia air irigasi.
Dari segi ekonomi, air (irigasi) merupakan salah satu faktor produksi penting
dalam usahatani padi sawah, disamping lahan, modal (benih, pupuk, dan pestisida),
3
tenaga kerja dan manajemen. Secara agronomis, benih padi varietas unggul sangat
responsif terhadap pemupukan, dengan syarat apabila tersedia air yang cukup. Hal ini
berarti, tersedianya air yang cukup akan mampu meningkatkan produktivitas padi
sawah. Peningkatan produktivitas terjadi apabila setiap satu satuan input variabel akan
menghasilkan output yang lebih tinggi. Secara teoritis, hal ini berarti akan terjadi
pergeseran fungsi produksi ke atas. Peningkatan produktivitas diharapkan akan mampu
meningkatkan pendapatan petani padi sawah, yang pada gilirannya akan mampu
meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya, serta masyarakat desa pada
umumnya.
Untuk sawah yang mempunyai sistem pengairan teknis masalah ketersediaan air
bukanlah menjadi masalah yang besar, tergantung bagaimana petani mengelola air yang
diterima saja, akan tetapi tidak semua lahan pertanian mendapatkan atau terjangkau
pasokan air irigasi untuk mengairi sawahnya, untuk lahan pertanian atau sawah tadah
hujan ketersediaan air hanya diperoleh dari curahan air hujan saja. Akibatnya untuk
petani pada sawah tadah hujan tidaklah leluasa mengolah atau menanami lahannya
sebagaimana yang terjadi pada sawah irigasi, sering terjadi apabila terjadi perubahan
iklim atau hujan tidak turun dalam jangka waktu yang lama sering terjadi kegagalan
panen, yang pada akhirnya menyebabkan produksi yang diperoleh lebih rendah dari
potensialnya. Berdasarkan uraian yang disampaikan diatas terdapat permasalahan yang
muncul antara lain sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaruh perbedaan ketersediaan air irigasi terhadap pola tanam yang
dilakukan petani?
2. Bagaimana pengaruh perbedaan ketersediaan air irigasi terhadap produktivitas dan
pendapatan petani?
3. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi produksi dan pendapatn petani?
C. Tujuan
1. Mengetahui perbedaan pola tanam akibat perbedaan ketersediaan air irigasi.
2. Mengetahui perbedaan produktivitas dan pendapatan petani akibat perbedaan
ketersediaan air irigasi.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan pendapatan petani.
4
D. Kegunaan
1. Bagi peneliti, sebagai pengembangan pola pikir dan syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana.
2. Bagi petani, sebagai bahan acuan untuk mengatasi masalah perbedaan ketersediaan
air irigasi dan pentingnya penyusunan pola tanam pada berbagai kondisi irigasi yaitu
irigasi teknis dan irigasi nonteknis / tadah hujan, agar tidak menimbulkan kerugian
produksi dan pendapatan di masa yang akan datang.
3. Bagi pihak lain, sebagai masukan atau referensi dalam mengembangkan penelitian
yang lebih lanjut.
5
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Irigasi dapat didefinisikan sebagai intervensi manusia untuk memodifikasi
distribusi, antar ruang dan waktu, air yang terdapat dalm saluran alamiah, parit, saluran
pembuangan atau akuifer dan untuk memanipulasi seluruh atau sebagian air ini untuk
produksi tanaman pertanian. Definisi ini menekankan pentingnya aksi manusia dalam
memodifikasi distribusi alamiah air. Ia juga membatasi jenis-jenis aksi yang dimaksud
pada pengambilan dan penggunaan air yang sudah terkumpulkan secara alamiah
sebelum dieksploitasi (Small dan Svedsen, 1995).
Irigasi disini dipahami sebagai semua upaya untuk memberi air untuk tanaman
secara buatan dan sistematis, dan juga untuk membuang kelebihan air (walaupun tulisan
yang membahas tentang drainase di Indonesia sedikit sekali dan hanya dua yang
dimasukkan dalam kajian ini). Definisi ini mencakup aspek-aspek fisik dan
kelembagaan irigasi dan drainase, yang juga secara implisit diikuti hampir semua tulisan
yang dicermati. Adalah penting untuk dicatat bahwa masalah utama disini adalah
pasokan air untuk tanaman, bukan orang. Isu keadilan tidak inheren dalam definisi
irigasi disini. Ia juga tidak menjadi aspek penting dalam pemahaman irigasi dalam
literatur irigasi di Indonesia. Walaupun demikian, review ini memasukkan sedikit
publikasi yang ada yang memahami irigasi dalam konteks kemasyarakatan, ekonomi
dan politik yang lebih luas (Schrevel, 1998).
Umumnya air irigasi berasal dari sungai yang dibendung seperti dam,
bendungan atau bentuk lain yang seperti itu, kemudian disalurkan ke sawah-sawah
melalaui jaringan irigasi gravitasi. Sistem irigasi gravitasi ini dapat dibedakan atas tiga
jenis sistem, yakni: sistem irigasi teknis, semi teknis dan irigasi sederhana
Sistem irigasi teknis terdiri dari suatu bendungan yang dilengkapi sepenuhnya
dengan alat ukur dan kontrol air irigasi yang akan disalurkan ke saluran primer,
kemudian ke saluran sekunder. Pembangunan dan pemeliharaan sistem itu bendung
sampai ke saluran tersier adalah tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum ( DPU ),
sedang pembangunan dan pemeliharaan saluran tersier sampai ke sawah-sawah petani
menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah setempat.
6
Sistem irigasi semi teknis juga mempunyai bendung dan alat kontrol, tetapi tidak
dilengkapi dengan alat ukur jumlah air yang disalurkan.hanya pembangunan bendung
yang menjadi tanggung jawab pemerintah (DPU), sedangkan pembangunan jaringan
lainnya menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah setempat.
Sistem irigasi bukan teknis yang sering disebut sebagai irigasi sederhana atau
sistem irigasi rakyat atau sistem irigasi tradisional, merupakan semua irigasi gravitasi
yang tidak masuk dalam kedua sistem terdahulu. Pembangunan dan pemeliharaan
irigasi ini sepenuhnya dibiayai oleh masyarakat dan pemerintah setempat berdasarkan
azas gotong royong (Asnawi dan Shand, 1995).
Dalam banyak kasus, keputusan-keputusan yang dibuat pihak-pihak yang bukan
petani pemakai air itu sendiri yang membuat tonggak-tonggak sejarah dalam evolusi
irigasi di Indonesia. Kemungkinan pengecualian adalah para petani yang pertama kali
mengairi tanaman secara buatan. Para petani ini mestinya hidup beberapa abad yang
lalu, mungkin di Jawa, pulau yang sekaran mempunyai lahan beririgasi terluas, atau
Bali, dimana irigasi telah mencapai tahap perkembangan yang tinggi. Kondisi alamiah
untuk irigasi, bagaimanapun bisa sangat baik di pulau Sumatera, Sulawesi dan banyak
pulau-pulau kecil lainnya. Perkembangan evolusi irigasi di Indonesia selanjutnya dapat
dibagi menjadi fase-fase berikut ini (Schrevel, 1998):
a. Era irigasi prakolonial (1832), diperkirakan 1.5 juta ha lahan pertanian telah diairi
dengan sistem-sistem irigasi masyarakat setempat.
b. Periode irigasi kolonial (1832-1942), yang dimulai ketika struktur beton pertama
dibangun oleh otoritas Belanda dan berakhir pada pendudukan Jepang. Areal seluas
antara 0.8 dan 1.2 juta hektar diairi dengan irigasi di bawah arahan pemerintah
kolonial Belanda.
c. Periode tanpa perkembangan dan kemunduran (1942-1965). Selama periode masa
pendudukan Jepang, revolusi dan orde lama ini hanya sedikit atau tidak ada ekspansi
irigasi dan sistem-sistem yang ada mengalami kerusakan.
d. Fase rehabilitasi, ekspansi dan pemeliharaan (1965-1987). Fase ini berlangsung pada
masa-masa awal orde baru. Areal yang diairi irigasi pemerintah meningkat dua kali
lipat menjadi 2.4 juta hektar, sementara perhatian terhadap operasi dan pemeliharaan
irigasi juga meningkat.
7
e. Periode kontemporer (sejak 1987) dimana ekspansi hampir terhenti dan isu-isu baru
seperti iuran irigasi mengemuka.
Berhasil tidaknya produksi beras tergantung pada beberapa faktor diantaranya
adalah faktor sosial, teknologi dan iklim. Iklim merupakan faktor yang sulit dikuasai,
faktor yang dapat dikuasai dan dikembangkan adalah faktor sosial dan teknologi
(Suparmoko, 1991). Sedangkan menurut Widodo (1986), faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat produksi padi dapat berupa lingkungan fisik, irigasi, tingkat
penggunaan input, teknik budidaya dan sosial ekonomi.
Tabel 2.1 Rata-rata Produksi Lahan Usahatani Padi tahun 1998/1999
Produktivitas lahan (kg/ha) Daerah irigasi Daerah non-irigasiRerata MT I 3033 2788Rerata MT II 2918 -
Dari tabel 2.1 dapat diketahui bahwa produktivitas musim tanam I di daerah irigasi
lebih besar daripada musim tanam I pada daerah non-irigasi. Data ini menunjukkan
bahwa produktivitas daerah irigasi lebih tinggi daripada non-irigasi karena pada daerah
non-irigasi petani hanya menanam padi satu kali setahun dengan padi lokal yang
berumur produksi 8 bulan sedangkan sisa waktunya bera sehingga produktivitasnya
lebih kecil (Mustaniroh, 2001).
Dampak sementara dari pembagunan jaringan irigasi adalah dapat memberikan
intensitas tanam padi bagi petani yang sebelumnya telah melakukan usahatani padi
sekali setahun dari 17 % untuk petani di daerah irigasi Selonjono sampai 100% untuk
petani di daerah irigasi Gempol. Disamping itu untuk petani yang sebelumnya telah
melakukan usahatani padi dua kali setahun di daerah Karang Ploso hanya memberikan
dampak peningkatan intensitas tanam padi sebesar 5% per tahun. Namun pembangunan
jaringan irigasi tersebut memberikan dampak yang nyata pada usahatani palawija dan
sayuran terutama ditunjukkan oleh peningkatan intensitas tanam per tahun di daerah
Simo (12%), Terong (48%), dan Selonjono (81%) ( Darwanto, 1999).
Sesuai dengan dampak pelaksanaan pembangunan jaringan irigasi terhadap pola
tanam dan intensitas penggunaan lahan seperti telah dijelaskan terdahulu maka
tampaknya proses pelaksanaan proyek ini rata-rata menyebabkan pula penurunan
produktivitas tanaman padi sekitar 25% dan cabai 30%. Produktivitas tanaman padi
menurun 5.7 ton per hektar pada periode sebelum proyek menjadi 5.2 ton per hektar
pada periode pelaksanaan proyek, sedangkan untuk cabai menurun dari 7.6 ton per
8
hektar menjadi 5.5 ton per hektar. Namun demikian, produktivitas tanaman palawija
(seperti jagung, kacang tanah dan kedelai) dan sayuran (kacang panjang dan bawang
merah) ternyata mengalami peningkatan relatif tinggi. Selain itu dapat diketahui pula
bahwa periode pelaksanaan pembangunan jaringan irigasi tersebut para petani
melakukan usahatani alternatif untuk substitusi pendapatan keluarga yaitu dengan
melakukan penanaman tebu, ketela rambat, ketela pohon, tembakau dan rumput
kolonjono (pakan ternak) (Darwanto,1999).
Penelitian Mustaniroh (2001) megemukakan bahwa dari hasil perhitungan
pendapatan usaha tani didapatkan bahwa antar musim tanam I di daerah irigasi dan non-
irigasi nilai t-hitungnya (159.30) lebih besar dari t-tabel (2.358) pada tingkat kesalahan
1%. Nilai ini menunjukkan bahwa t-hitungnya nyata pada tingkat kepercayaan 99%
berarti pendapatan usahatani pada daerah irigasi lebih tinggi dibandingkan daerah non-
irigasi, dengan kata lain hipotesis telah terbukti. Pendapatan usaha tani musim tanam I
dan II di daerah irigasi didapatkan t-hitung (44.88) lebih besar daripada t-tabel (2.358)
pada tingkat kesalahan 1%. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai t-hitungnya nyata pada
tingkat kepercayaan 99%, berarti pendapatan usahatani musim tanam I lebih tinggi
daripada musim tanam II di daerah irigasi.
B. Dasar Teori
1. Fungsi Produksi
Teori produksi sebagaimana teori perilaku konsumen merupakan teori pemilihan
atas berbagai alternatif. Dalam hal ini keputusan yang diambil oleh seorang produsen
dalam menentukan pilihan atas alternatif tersebut. Produsen mencoba memaksimumkan
produksi yang isa dicapai dengan suatu kendala ongkos tertentu agar dapat dihasilkan
keuntungan yang maksimal (Sardjonopermono,1985).
Yang dimaksud dengan fungsi produksi ialah hubungan teknis antara faktor
produksi dan barang produksi yang dihasilkan dalam proses produksi. Dalam bentuk
umumnya fungsi produksi ini menunjukkan bahwa jumlah barang produksi tergantung
pada jumlah faktor produksi yang dipergunakan. Jadi barang produksi merupakan
variabel tidak bebas dan faktor produksi merupakan variabel bebas. Sebagai misal dari
suatu fungsi produksi ialah jumlah barang yang dihasilkan merupakan fungsi luas lahan
dan tenaga kerja. Pada umumnya dianggap bahwa lahan merupakan faktor produsi tetap
9
dan tenaga kerja merupakan faktor produksi yang diubah-ubah atau variabel. Ini dapat
dituliskan sebagai berikut:
Q = f( K, L )
Q merupakan jumlah barang yang dihasilkan, T adalah modal, dan L adalah tenaga
kerja, sedangkan f merupakan hubungan fungsional antara jumlah barang yang
dihasilkan (Q), modal (K) dan tenaga kerja (L). Dalam bentuknya yang khusus fungsi
produksi dapat berbentuk linier ataupun tidak linier (Suparmoko,1990).
Fungsi produksi adalah suatu daftar yang memperlihatkan besarnya jumlah
barang dan jasa secara maksimum yang dapat dihasilkan oleh sejumlah masukan (input)
tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Yang diartikan dengan masukan disini adalah
semua ongkos ekonomi yang terdiri dari berbagai faktor produksi dan bahan baku yang
diperlukan. Secara umum funsi produksi ini dapat ditulis dalam bentuk:
Q = f (X1, X2, ..., Xn)
Q adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dari Xi, i = 1, 2, ..., n adalah macam
masukan yang digunakan untuk menghasilkan Q. Hubungan antara Q dan Xi dapat
berbentuk garis lurus (linear) dan dapat pula bukan garis lurus seperti geometris,
polinomial dan sebagainya
Bentuk fungsi produksi yang paling sederhana dan lazim dijumpai dalam teori
ekomoni hanyalah dengan membedakan seluruh masukan menjadi dua kelompok yaitu
kelompok K (kapital) dan kelompok L (tenaga kerja). Hubungan antara Q dengan K dan
L dianggap tidak berbentuk garis lurus. Fungsi produksi ini diberi nama fungsi produksi
Cobb-Douglas. Bentuk umumnya adalah:
Q = AKaLb
a dan b adalah pangsa K dan L masing-masing serta A menunjukkan skala dari
perusahaan yang bersangkutan. Cobb dan Douglas menganggap a+b=1 yang disebut
sebagai skala perubahan hasil tetap (constant return to scale)(Syahruddin, 1990).
Seorang produsen atau pengusaha dalam melakukan proses produksi untuk
mencapai tujuannya harus menentukan dua macam keputusan:
1. berapa output yang harus diproduksikan, dan
2. berapa dan dalam kombinasi bagaimana faktor-faktor produksi (input)
dipergunakan.
10
Untuk menyederhanakan pembahasan secara teoritis, dalam menentukan
keputusan tersebut digunakan dua asumsi dasar:
1. bahwa produsen atau pengusaha selalu berusaha mencapai keuntungan yang
maksimum, dan
2. bahwa produsen atau pengusaha beroperasi dalam pasar persaingan sempurna.
Dalam teori ekonomi, setiap proses produksi mempunyai landasan teknis yang
disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang
menunjukkan hubungan fisik atau teknis antara jumlah faktor-faktor produksi yang
dipergunakan dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu, tanpa
memperhatikan harga-harga, baik harga faktor-faktor produksi maupun harga produk.
Secara matematis fungsi produksi tersebut dapat dinyatakan:
Y = f (X1, X2, X3, ……….., Xn) ; dimana Y = tingkat produksi (output)
yang dihasilkan dan X1, X2, X3, ……, Xn adalah berbagai faktor produksi
(input) yang digunakan. Fungsi ini masih bersifat umum, hanya bisa menjelaskan
bahwa produk yang dihasilkan tergantung dari faktor-faktor produksi yang
dipergunakan, tetapi belum bisa memberikan penjelasan kuantitatif mengenai hubungan
antara produk dan faktor-faktor produksi tersebut. Untuk dapat memberikan penjelasan
kuantitatif, fungsi produksi tersebut harus dinyatakan dalam bentuknya yang spesifik,
seperti misalnya:
a. Y = a + bX ( fungsi linier)
b. Y = a + bX – cX2 ( fungsi kuadratis)
c. Y = AX1bX2cX3d atau Q = AX1b1X2
b2...Xnbn ( fungsi Cobb-Douglas), dan lain-lain.
Dalam teori ekonomi, sifat fungsi produksi diasumsikan tunduk pada suatu
hukum yang disebut : The Law of Diminishing Returns (Hukum Kenaikan Hasil
Berkurang). Hukum ini menyatakan bahwa apabila penggunaan satu macam input
ditambah sedang input-input yang lain tetap maka tambahan output yang dihasilkan
dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula naik, tetapi
kemudian seterusnya menurun jika input tersebut terus ditambahkan (Soejono, 2004).
2. Konsep Pendapatan Usahatani
11
Usahatani merupakan suatu kegiatan memproduksi produk pertanian yang
bertujuan untuk memperoleh pendapatan semaksimal mungkin. Pendapatan usahatani
diperoleh dari selisih biaya yang dikeluarkan oleh usahatani dengan penerumaan yang
diperoleh dari usaha tani. Analisis pendapatan usahatani menggambarkan keadaan
usahatani pada saat tertentu, dapat merupakan keadaan sekarang, masa lalu ataupun
perencanaan untuk masa yang akan datang. Analisis pendapatan usahatani dapat
digunakan oleh petani untuk mengukur keberhasilan usahataninya.
Pendapatan usahatani merupakan selisih antara nilai produksi dengan semua
biaya usahatani yang benar-benar dikeluarkan. Secara teknis, pendapatan bersih
usahatani dihitung dari pengurangan antara jumlah penerimaan dan biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi (Soeharjo,1973). Penerimaan usahatani disebut
sebagai pendapatan kotor dan selanjutnya dihiting dari jumlah produk dikalikan harga
per satuan atau dapat dirumuskan:
TR = Y.Py
Keterangan:
Tr : jumlah penerimaan
Y : produk
Py : harga produk per satuan
3. Konsep Biaya
Biaya produksi adalah semua pengeluaran perusahaan untuk memperoleh faktor-
faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi oleh
perusahaan tersebut. Untuk analisis biaya produksi perlu diperhatikan dua jangka waktu,
yaitu (1) jangka panjang, yaitu jangka waktu di mana semua faktor produksi dapat
mengalami perubahan dan (2) jangka pendek, yaitu jangka waktu dimana sebagian
faktor produksi dapat berubah dan sebagian lainnya tidak dapat berubah. Dalam bab ini
hanya dibahas biaya produksi jangka pendek.
Biaya produksi dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu (1) Biaya tetap
(fixed cost) dan (2) Biaya variabel (variable cost). Dalam analisis biaya produksi perlu
memperhatikan (1) Biaya produksi rata-rata : yang meliputi biaya produksi total rata-
rata, biaya produksi tetap rata-rata, dan biaya variabel rata-rata; dan (2) Biaya produksi
marjinal, yaitu tambahan biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk menambah satu
unit produksi.
12
Dari segi sifat biaya dalam hubungannya dengan tingkat output, biaya produksi
dapat dibagi ke dalam (Soejono, 2004):
(1) Biaya Total (Total Cost = TC). Biaya total adalah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan untuk menghasilkan produksi.
TC = TFC + TVC
Keterangan: TFC = total fixed cost; dan TVC = total variable cost.
(2) Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost = TFC). Biaya tetap total adalah keseluruhan
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang tidak dapat berubah
jumlahnya. Sebagai contoh : biaya pembelian mesin, membangun bangunan pabrik,
membangun prasarana jalan menuju pabrik, dan sebagainya.
(3) Biaya Variabel Total (Total Variable Cost = TVC). Biaya variabel total adalah
keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi variabel.
Contoh biaya variabel : upah tenaga kerja, biaya pembelian bahan baku, pembelian
bahan bakar mesin, dan sebagainya.
(4) Biaya Tetap Rata-Rata (Average Fixed Cost = AFC). Biaya tetap rata- rata adalah
biaya tetap total dibagi dengan jumlah produksi.
AFC =TFC
Q
Keterangan : Q = tingkat output
(5) Biaya Variabel Rata-Rata (Average Variable Cost = AVC). Biaya variabel rata-rata
adalah biaya variabel total dibagi dengan jumlah produksi.
AVC = TVC
Q
(6) Biaya Total Rata-Rata ( Average Total Cost = AC). Biaya total rata-rata adalah
biaya total dibagi dengan jumlah produksi.
AC = TCQ
atau AC = AFC + AVC.
(7) Biaya Marginal ( Marginal Cost =MC). Biaya marginal adalah tambahan biaya
produksi yang digunakan untuk menambah produksi satu unit.
MC = ∆ TC∆ Q
Keterangan : Δ TC = selisih / perubahan biaya total dan ΔQ = selisih / perubahan
tingkat input.
13
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biaya dan Pendapatan Usahatani
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan sangatlah
kompleks. Namun demikian, faktor tersebut dapat dibagi kedalam dua golongan sebagai
berikut (Suratiyah, 2006).
a. Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Dari gambar 4.1 terlihat bahwa faktor internal maupun faktor eksternal akan
bersama-sama emmpengruhi biaya dan pendapatan usahatani. Ditinjau dari segi umur,
semakin tua akan semakin berpengalaman sehingga semakin baik dalam mengelola
usahataninya. Namaun, disisi lain semakin tua semakin menurun kemampuan fisiknya
sehingga semakin memerlukan bantuan tenaga kerja, baik dalam keluarga maupun dari
luar keluarga. Pendidikan, terutama non-formal misalnya kursus kelompok tani,
penyuluhan, demplot, studi banding dan pertemuan selapanan akan membuka cakrawala
petani, menambah ketrampilan dan pengalaman petani dalam mengelola usahataninya.
Hal ini sangat diperlukan mengingat sebagian besar petani berpendidikan formal
rendah.
Jumlah tenaga kerja dalam keluarga akan berpengaruh langsung pada biaya.
Semakin banyak menggunakan yenaga kerja keluarga maka semakin sedikit biaya yang
dikeluarkan untuk mengupah tenaga kerja luar keluarga. Petani lahan sempit dengan
tenaga kerja keluarga yang tersedia, dapat menyelesaikan pekerjaan usahataninya tanpa
menggunakan tenaga kerja luar keluarga yang diupah. Dengan demikian, biaya per
usahatani menjadi rendah, namun jika lahan garapan lebih luas maka belum tentu tenaga
kerja keluarga mampu mengerjakan semuanya. Modal yang tersediaberhubungan
langsung dengan peran petani sebagai manajer dan juru tani dalam mengelola
usahataninya. Jenis komoditas yang akan diusahakan tergantung modal karena ada
komoditas yang padat modal sehingga memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk
mengusahakannya
Faktor eksternal dari segi faktor produksi (input) terbagi dalam dua hal, yaitu
ketersediaan dan harga. Lain halnya dengan faktor internal yang pada umumnya dapat
diatasi oleh petani. Faktor ketersediaan dan harga faktor produksi benar-benar tidak
dapat dikuasai oleh petani sebagai individu berapapun dana tersedia. Namun, jika faktor
produksi berupa pupuk tidak tersedia atau lagka di pasaran maka petani akan
mengurangi penggunaan faktor produksi. Demikian pula jika harga pupuk sangat tinggi
14
bahkan tidak terjangkau. Semuanya itu pasti berpengaruh pada biaya, produktivitas, dan
pendapatan usahatani.
Demikian pula dari segi produksi (output). Jika permintaan akan produksi tinggi
maka harga di tingkat petani tinggi pula sehingga dengan biya yang sama petani akan
memperoleh pendapatan yang tinggi pula. Sebaiknya, jika petani telah berhasil
meningkatkan produksi, tetapi harga turun maka pendapatan akan turun pula. Dari
Gambar 2.1 tersebut jelas bahwa secara bersama-sama faktor internal dengan faktor
eksternal akan berpengaruh pada biaya dan pendapatan usahatani.
Gambar 2.1 Faktor Internal dan Faktor Eksternal
b. Faktor Manajemen
Disamping faktor internal dan faktor eksternal maka manajemen juga sangat
mementukan. Dengan faktor internal tertentu maka petani harus dapat mengantisipasi
faktor ekternal yang selalu berubah-ubah dan tidak sepenuhnya dapat dikuasai. Petani
sebagai manajer harus dapat mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan
ekonomis sehingga diperoleh hasil yang memberikan pendapatan yang optimal. Petani
sebagai juru tani harus dapat melaksanakan usahataninya dengan sebaik-baiknya, yaitu
15
Faktor Internal
1. Umur petani2. Pendidikan, pengalaman,
pengetahuan dan keterampilan
3. Jumlah tenaga kerja keluarga
4. Modal
Biaya dan Pendapatan
Faktor Eksternal
1. Input:a. Ketersediaan b. Harga
2. Output:a. Permintaan b. harga
Usahatani
penggunaan faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien sehingga akan diperoleh
manfaat yang setinggi-tingginya.
Dalam pelaksanaannya sangat diperlukan berbagai informasi tentang kombinasi
faktor produksi dan informasi harga baik harga faktor produksi maupun produk. Dengan
bekal informasi tersebut petani dapat segera mengantisipasi perubahan yang ada agar
tidak salah pilih dan merugi.
5. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan, maka dapat disusun suatu
kerangka pemikiran bahwa pada dasarnya kegiatan pertanian sangat tergantung kepada
ketersediaan air terutama air irigasi yang diharapkan dapat memasok kebutuhan air
untuk pertanian sepanjang tahun secara terus-menerus. Ketersediaan air irigasi sangat
tergantung pada sumber air irigasi tersebut, pada umumnya air irigasi tersebut berasal
dari sungai yang bersumber dari danau atau waduk buatan yang memang sengaja dibuat
untuk kepentingan pertanian. Keberadaan air pada danau atau waduk buatan sangat
tergantung pada curah hujan yang turun. Pada saat curuh hujan sedang tinggi debit air
waduk atau danau sangat melimpah yang dapat mengakibatkan terjadinya banjir pada
daerah aliran sungai yang bersumber dari waduk atau danau tersebut. Akan tetapi saat
musim kemarau yang panjang dengan curah hujan yang sedikit sekali debit air waduk
atau danau tersebut dapat sangat sedikit atau bahkan kering yang berakibat terhentinya
pasokan air untuk irigasi. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kegiatan pertanian
yang mengandalkan kebutuhan airnya dari air irigasi yang berasal dari danau atau
waduk tersebut. Pengaruh tersebut akan terlihat pada tingkat keberhasilan usahatani
seperti intensitas tanam, pola tanam, produksi dan produktivitas yang selanjutnya akan
berpengaruh terhadap pendapatan petani yang diperoleh dari usahataninya.
16
Lahan tadah hujanLahan Irigasi
produktivitas
keuntungan
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Untuk dapat berproduksi, masing-masing lahan/sawah, yaitu sawah beririgasi
dan sawah tadah hujan, menggunakan berbagai input usahatani. Produksi pada masing-
masing lahan berupa padi dan non padi. Dari produksi yang dapat diperoleh nilai
pendapatan petani dengan cara menghitung selisih antara nilai produksi (total
penerimaan) dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan input produksi.
Produksi pada masing-masing lahan diduga dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah benih,
jumlah pupuk, jumlah pestisida, jumlah tenaga kerja, umur, tingkat pendidikan, dan
jumlah anggota keluarga. Sedangkan pendapatan petani diduga dipengaruhi oleh luas
lahan, harga benih, harga pupuk, harga pestisida, upah tenaga kerja, umur, pendidikan,
dan jumlah keluarga.
6. Hipotesis
17
Panggunaan input usaha tani
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Luas lahan Urea TSP Za Phonska Organik KCl Benih Pestisida Tenaga kerja Tingkat
pendidikan Umur Jumlah anggota
keluarga
Padiproduksi
Non padi
Padi pendapatan
Non padi
Profit= R-C
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, maka dalam penelitian ini
dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
a. Diduga bahwa produktivitas usahatani di daerah irigasi lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah tadah hujan.
b. Diduga bahwa pendapatan usahatani di daerah irigasi lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah tadah hujan.
c. Diduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah luas lahan,
jumlah tenaga kerja, jumlah benih, jumlah pupuk, jumlah pestisida, umur,
tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, serta irigasi dan musim tanam
sebagai variabel dummy.
d. Diduga faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah luas
lahan, upah tenaga kerja, harga benih, harga urea, harga TSP, harga Za,
harga Phonska, harga pupuk organik, harga KCl, harga pestisida, umur,
tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, serta musim tanam dan
irigasi sebagai variabel dummy.
III. METODE PENELITIAN
18
A. Metode Dasar
Pada penelitian dampak perbedaan pola ketersediaan air irigasi terhadap
produksi dan pendapatan petani di kecamatan Sambi kabupaten Boyolali pada dasarnya
digunakan metode dasar deskriptif analisis yaitu memusatkan diri pada pemecahan
masalah-masalah yang aktual yang ada pada masa sekarang. Data yang telah
dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisis (Surachmad,
1990).
B. Metode Pengambilan Sampel
1. Sampel Daerah
Pemilihan daerah penelitian dilakukan secara purposive sampling, yaitu
pemilihan sampel berdasarkan atas pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan
penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sambi, Boyolali dengan pertimbangan
bahwa kecamatan tersebut mayoritas lahannya adalah lahan pertanian yang terbagi
menjadi daerah irigasi dan daerah tadah hujan.
2. Sampel Petani
Populasi penelitian adalah petani yang menggarap lahan irigasi dan petani yang
menggarap lahan tadah hujan. Pengambilan responden dilakukan secara stratified
random sampling dengan strata irigasi. Jumlah sampel yang dipakai sebanyak 40 petani
lahan irigasi dan 40 petani lahan tadah hujan.
C. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Data primer, merupakan data hasil wawancara dengan petani, penyuluh lapangan,
dan petugas kantor irigasi.
2. Data sekunder, dicatat dari kantor BPS, Balai Penyuluhan pertanian, kecamatan dan
instansi terkait.
D. Metode Pengumpulan Data
19
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah :
1. Metode observasi yaitu pengumpulan data dengan penelitin langsung terhadap objek
penelitian.
2. Metode wawancara yaitu pengumpulan data primer berdasar informasi kuesioner
langsung dari petani.
3. Metode pencatatan data yaitu pengumpulan data sekunder dari instansi terkait
dengan penelitian ini yang diperlukan dalam analisis.
E. Asumsi dan Pembatasan Masalah
1. Penelitian ini dibatasi pada petani yang menggarap lahan irigasi dan yang
menggarap lahan tadah hujan pada periode atau rentang waktu yang sama yaitu pada
jangka waktu 1 tahun tanam.
2. Produksi dan pendapatan petani dalam penelitian ini hanya dibatasi pada komoditas
tanaman semusim yang ditanam pada masing-masing lahan beririgasi dan tadah
hujan.
3. Produksi dan pendapatan petani yang dihitung adalah pada saat kondisi normal yaitu
saat produksi bebas dari serangan hama yang hebat dan tidak sedang dilanda
bencana alam.
F. Definisi dan Pengukuran Variabel
Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah :
1. Lahan irigasi dan lahan tadah hujan atau kering pada tahun atau periode yang sama
(Ha).
2. Produksi yaitu produksi pertanian pada lahan irigasi dan lahan tadah hujan atau
kering pada tahun atau periode yang sama (Kg).
3. Pendapatan yaitu pendapatan dari sektor pertanian pada lahan irigasi dan lahan
tadah hujan atau kering pada tahun atau periode yang sama (Rp).
4. Intensitas tanam yaitu frekuensi penanaman selama setahun tanam lahan irigasi dan
lahan tadah hujan atau kering pada tahun atau periode yang sama (%).
5. Luas lahan usahatani yaitu luas lahan garapan yang diusahakan (ha).
6. Tenaga kerja yaitu jumlah tenaga kerja yang digunakan pada masing-masing tahun,
diukur dalam hari kerja setara pria (HKOP).
20
7. Jumlah pupuk yaitu sejumlah pupuk yang dipakai oleh petani pada masing-masing
tahun diukur dalam kg.
8. Benih yaitu sejumlah benih yang dipakai pada masing-masing tahun yang diukur
dalam kg.
9. Pestisida yaitu jumlah pestisida yang dipakai pada masing-masing tahun yang
diukur dalam lt, kg.
10. Harga output yaitu harga komodi pertanian yang ditanam, ditingkat petani dalam
Rp/kg.
11. Harga input yaitu harga pembelian pupuk, pastisida, benih dan tenaga kerja luar
keluarga pada masing masing tahun dalam Rp/kg, Rp/HKO
G. Metode Analisis
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan analisis sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbedaaan pola tanam pada masing-masing lahan digunakan
analisis tabel yaitu dengan membandingkan pola tanam pada lahan irigasi dan pada
lahan tadah hujan.
2. Untuk mengetahui perbedaaan produktivitas dan pendapatan petani pada masing-
masing lahan digunakan analisis tabel yaitu dengan membandingkan produktivitas
dan pendapatan petani pada lahan irigasi dan pada lahan tadah hujan atau kering.
Untuk kemudian dilakukan uji t, untuk mengetahui ada tidaknya beda nyata
produktivitas dan pendapatan petani.
3. Untuk faktor-faktor yang berpengaruh pada produksi dan pendapatan usaha tani,
dengan Cobb-Douglas yaitu output sebagai variabel dependen dan input sebagai
variabel independen.
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi, dengan model estimasi sebagai
berikut
LnY = LnA + ∑i=1
n
bi LnXi +∑i=1
n
di Di + µ
Keterangan :
Y = produksi
X1 = luas lahan
X2 = jumlah tenaga kerja
21
X3 = jumlah benih
X4 = jumlah urea
X5 = jumlah TSP
X6 = jumlah Za
X7 = jumlah phonska
X8 = jumlah pupuk organik
X9 = jumlah KCl
X10 = umur
X11 = tingkat pendidikan
X12 = jumlah keluarga
A = intersep
b = parameter yang akan diamati
µ = faktor kesalahan
D-mt = variabel dummy musim tanam
D-irigasi = variabel dummy irigasi
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani, dengan model estimasi
sebagai berikut.
LnY = LnA + ∑i=1
n
bi LnXi +∑i=1
n
di Di + µ
Keterangan :
Y = pendapatan petani yang dinormalkan dengan harga output
X1 = luas lahan
X2 = upah tenaga kerja yang dinormalkan dengan harga output
X3 = harga benih yang dinormalkan dengan harga output
X4 = harga urea yang dinormalkan dengan harga output
X5 = harga TSP yang dinormalkan dengan harga output
X6 = harga Za yang dinormalkan dengan harga output
X7 = harga phonska yang dinormalkan dengan harga output
X8 = harga pupuk organik yang dinormalkan dengan harga output
X9 = harga KCl yang dinormalkan dengan harga output
X10 = umur
X11 = tingkat pendidikan
22
X12 = jumlah keluarga
A = intersep
b = parameter yang akan diamati
µ = faktor kesalahan
D-mt = variabel dummy musim tanam
D-irigasi = variabel dummy irigasi
e = logaritma natural (e=2.718...)
H. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Untuk menguji hipotesis 1 yaitu produktivitas usahatani pada masing masing lahan,
digunakan uji perbedaan rata-rata.
Ho:Q (TI)≤Q (TH)
Ha:Q(TI)>Q(TH)
t hitung=
Q (TI )−Q(TH )
√S ² [ 1N 1
+ 1N 2
]
jika t hitung > t tabel berarti Ho ditolak, produktivitas pada lahan irigasi lebih
tinggi daripada lahan tadah hujan
jika t hitung ≤ t tabel berarti Ho diterima, produktivitas pada lahan irigasi lebih
kecil sama dengan lahan tadah hujan
Keterangan :
Q(TI) = produktivitas usahatani pada lahan irigasi
Q(TH) = produktivitas usahatani pada lahan tadah hujan
S² = varian gabungan parameter yang diestimasi
N1 = N2 = jumlah petani
t tabel =(n1+n2;α/2)
2. Untuk menguji hipotesis 2 yaitu pendapatan usahatani pada masing- masing tahun,
digunakan uji rata-rata dari pendapatan usahatani
Ho:R(TI)≤R (TH)
Ha:R(TI)>R(TH)
t hitung=
R (TI )−R(TH )
√S ² [ 1N 1
+ 1N 2
]
23
jika t hitung > t tabel berarti Ho ditolak, pendapatan pada lahan irigasi lebih
tinggi daripada lahan tadah hujan
jika t hitung ≤ t tabel berarti Ho diterima, pendapatan pada lahan irigasi lebih
kecil sama dengan lahan tadah hujan
Keterangan :
R(TI) = pendapatan usahatani pada lahan irigasi
R(TH) = pendapatan usahatani pada lahan tadah hujan
S² = varian gabungan parameter yang diestimasi
N1 = N2 = jumlah petani
t tabel =(n1+n2;α/2)
3. Untuk menguji hipotesis 3 dan 4 yaitu Untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap produksi dan pendapatan petani, digunakan metode OLS
dengan melihat nilai adjusted R2, F test, dan t test. Bila diketahui koefisien regresi
dari dummy variabel hasilnya beda nyata dan positif atau negatif maka ada pengaruh
ketesediaan air irigasi terhadap produksi dan pendapatan petani.
Adjusted R2 = 1 – (1 – R2)
n−1n−k−1
Keterangan:n = banyak data, jumlah data
k = jumlah variabel atau jumlah parameter
Semakin tinggi nilai adjusted R2 (semakin mendekati 1) menujukkan bahwa daya
menjelaskan variabel bebas terhadap variabel tidak bebas semakin besar.
Untuk menguji ada tidaknya pengaruh nyata antara semua variabel independen
secara bersama-sama terhadap variabel dependen digunakan uji F dengan hipotesis
H0 : koefisien regresi tidak signifikan (βi = 0)
H1 : koefisien regresi signifikan (βi ≠ 0)
Nilai F dapat dihitung dalam bentuk koefisien determinasi sebagai berikut:
F hitung =
R2/ ( k−1 )(1−R2 )/ (n−k )
Keterangan:
R2 = koefisien determinasi
24
n = jumlah sampel yang diambil
k = jumlah variabel yang diambil
F tabel = F{α /2 ; (k−1 ) , (n−k ) }
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut.
Ho ditolak jika F hitung > F tabel
Ho diterima jika F hitung < F tabel
Sedangkan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen dilakukan dengan menggunakan uji t-statistik.
Rumusan hipotesis :
H0 : koefisien regresi tidak signifikan (βi = 0)
H1 : koefisien regresi signifikan (βi ≠ 0)
t hitung =
biSbi
Keterangan :
bi = koefisien regresi
Sbi = standar eror regresi
t tabel = (α; (k-1) ( n-1))
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut.
Ho ditolak jika t hitung > t tabel
Ho diterima jika t hitung < t tabel
25
IV. KEADAAN UMUM DAERAH
A. Keadaan Umum Daerah
1. Letak Geografi dan Topografi
Kecamatan Sambi adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Boyolali. Sambi
berjarak 20 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Boyolali dan jarak Kecamatan
Sambi ke ibukota propinsi Jawa Tengah kurang lebih 70 km Secara keseluruhan
Kecamatan Sambi berada di dataran rendah. Batas-batas wilayah Kecamatan Sambi
adalah sebagai berikut :
Sebelah utara : Kecamatan Simo
Sebelah timur : Kecamatan Banyudono dan Teras
Sebelah selatan : Kecamatan Ngemplak dan Nogosari
Sebelah barat : Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang
Wilayah administrasi Kecamatan Sambi terdiri dari 16 desa. Enam belas desa di
Kecamatan Sambi yakni :
a. Desa Glintang
b. Desa Jatisari
c. Desa Canden
d. Desa Senting
e. Desa Tempursari
f. Desa Sambi
g. Desa Demangan
h. Desa Kepoh
i. Desa jagoan
j. Desa Babadan
k. Desa Tawengan
l. Desa Catur
m. Desa Ngaglik
n. Desa Trosobo
o. Desa Cermo
26
p. Desa Nglembu
Keadaan topografi Kecamatan Sambi merupakan dataran rendah dengan luas
3.456,951 ha dan terletak pada ketinggian antara 175-297 meter di atas permukaan laut.
Kondisi kemiringan tanah wilayah Kecamatan Sambi terbagi menjadi 3 (tiga) kondisi
daerah yang berbeda yaitu:
a. Darat sampai berombak : 81%
b. Berombak sampai bukit : 11%
c. Berbukit sampai bergunng :8%
Di wilayah Kecamatan Sambi juga terdapat sungai. Sungai tersebut adalah
Sungai Pepe yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar untuk keperluan irigasi dan
diambil bahan tambang yang terkandung di dalamnya. Bahan tambang berupa bahan
galian tipe C yang barupa pasir dan batu kali yang dimanfaatkan untuk bahan bangunan.
2. Keadaan Iklim
Iklim merupakan salah satu komponen alam yang sangat berpengaruh dalam
kehidupan makhluk hidup di bumi. Iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka
waktu yang cukup lama minimal 30 tahun yang sifatnya tetap. Sedangkan cuaca sendiri
adalah keadaan atau kelakuan atmosfer pada waktu dan tempat tertentu yang sifatnya
berubah-ubah setiap waktu atau dari waktu ke waktu
Iklim merupakan faktor produksi tanaman yang penting, tetapi sangat sulit
dikendalikan. Akibatnya resiko produksi tanaman yang ditimbulkan oleh iklim kadang-
kadang relatif tinggi. Untuk memperkecil resiko tersebut beberapa gatra (aspect) seperti
penyesuaian terhadap iklim, subsitusi unsur-unsur iklim, modifikasi iklim dan prakiraan
musim perlu dipahami. Pertanian maju di waktu yang akan datang harus melaksanakan
berbagai gatra tadi bersama-sama, karena kemungkinan tidak ada lagi lahan yang
iklimnya benar-benar sesuai untuk suatu tanaman (Wisnubroto, 1996). Prakiraan musim
ini dapat dengan pendekatan meteorologis maupun fenologis:
a. Pendekatan meteorologis. Dalam pendekatan ini keadaan musim yang akan datang
diperkirakan dengan menggunakan keadaan unsur-unsur cuaca/ iklim yang lain.
Misalnya di Indonesia yang sekarang dilakukan oleh Badan Meteorologi dan
Geofisika.
27
b. Pendekatan fenologis. Dalam pendekatan ini keadaan musim yang akan datang
diperkirakan dengan melihat gejala-gejala alam lain baik fisik maupun biologis,
misalnya pranata mangsa untuk suku Jawa.
Kecamatan Sambi memiliki Suhu maksimum 32 ºC dan suhu minimum sebesar
18 ºC. Menurut Smit dan Ferguson, tipe iklim di wilayah Kecamatan Sambi tipe C
dengan rata-rata curah hujan tahunan selama sepuluh tahun terakhir sebesar 2.003
mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 96 hari. Besarnya curah hujan selama 10 tahun
terakhir di Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali ditunjukkan dalam tabel 4.1
Tabel 4.1. Curah Hujan Tahunan di Kecamatan Sambi selama 10 tahun terakhirNo Tahun Curah hujan (mm/tahun) Hari Hujan1 1999 1950 852 2000 2461 963 2001 1769 994 2002 2648 1125 2003 2062 966 2004 1650 957 2005 2308 1138 2006 2065 1079 2007 1818 8510 2008 3064 117
Rata-rata 2003 94Sumber: Kecamatan Sambi dalam angka 2008
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa curah hujan dan jumlah hari hujan
selama 10 tahun terakhir (1997-2008) senantiasa mengalami perubahan tiap tahunnya.
Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 117, sedangkan yang
paling sedikit pada tahun 1999 dan 2007 yaitu 85 hari hujan. Curah hujan sangat
berfluktuasi dari tahun ke tahunnya, dengan rerata curah hujan tertinggi terjadi pada
tahun 2008 yaitu sebesar 3064 mm/tahun, dan rerata curah hujan terendah terjadi pada
tahun 2007 yaitu sebsesar 1818 mm/tahun.
3. Penggunaan Lahan
Luas Kecamatan Sambi adalah 4649,5 ha. Wilayah Kecamatan Sambi digunakan
untuk berbagai peruntukan lahan antara lain untuk: sawah, tegal/ladang, pemukiman,
lapangan, perkantoran pemerintah, dan fasilitas umum. Wilayah tersebut tersebar di 16
desa dan merupakan sumberdaya lahan yang sangat potensial untuk usaha pertanian,
28
perkebunan dan kehutanan. Macam penggunaan lahan dan luas penggunaannya di
Kecamatan Sambi dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Penggunaan lahan di Kecamatan Sambi tahun 2008
No
Desa Luas Lahan (Ha)
Sawah Tegal Pekaranga
n Lain-lain Jumlah
1 Glintang 137,4 39,0 67,0 13,1 256,52 Jatisari 154,3 22,6 102,1 5,7 284,73 Canden 178,1 27,2 111,3 9,1 325,74 Senting 120,9 35,9 73,9 8,9 239,65 Tempursari 129,1 8,0 88,2 2,1 227,46 Sambi 142,0 21,9 146,3 11,8 322,07 Demangan 145,0 21,3 103,2 12,1 281,68 Kepoh 130,4 8,1 139,7 16,2 294,49 Jagoan 134,3 35,8 135,3 6,9 312,310 Babadan 161,7 44,4 107,2 6,7 320,011 Tawengan 165,7 37,4 83,9 7,6 294,612 Catur 142,5 17,9 88,7 7,0 256,113 Ngaglik 142,5 78,0 89,2 19,1 328,814 Trosobo 117,0 66,5 105,5 14,9 303,915 Cermo 65,0 78,7 136,6 10,7 291,016 Nglembu 139,4 34,1 119,7 16,7 309,9
Jumlah 2205,3 576,8 1697,8 168,6 4648,5Persentase (%) 47,4 12,4 36,5 3,6 100,0
Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa lahan di Kecamatan Sambi paling
banyak digunakan untuk lahan sawah dengan persentase sebesar 47%, kemudian untuk
pekarangan 35%, untuk tegal 12,4% dan untuk lain-lain yang meliputi pemukiman,
lapangan, perkantoran pemerintah, dan fasilitas umum sebesar 3,6%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar wilayah Kecamatan Sambi merupakan daerah
pertanian. Sawah banyak digunakan untuk menanam tanaman pangan dan hortikultura,
baik sawah irigasi maupun sawah kering. Tegal atau kebun dan pekarangan banyak
dimanfaatkan untuk menanam buah-buahan dan tanaman perkebunan serta untuk
tanaman kayu.
29
4. Keadaan Pertanian
a. Tata Guna Lahan
Tata guna lahan merupakan usaha untuk menata pemanfaatan lahan pertanian
agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan sesuai dengan jenis lahannya. Di
Kecamatan Sambi lahan pertanian dibagi menjadi 2 bagian yaitu lahan pertanian sawah
dan tanah kering, seperti yang disajikan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Tata guna lahan pertanian di Kecamatan Sambi tahun 2008No Lahan pertanian Luas (ha) Persentase (%)1 Sawah 2205,2 47,42 Kering 2444,3 52,6
Total 4649,5 100,0Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa pemanfaatan lahan pertanian di
Kecamatan Sambi sebesar 47,4 % digunakan untuk sawah, dengan padi sebagai
komoditas utamanya. Sawah yang terdapat di Kecamatan Sambi meliputi sawah dengan
irigasi dan sawah tanpa irigasi atau sawah tadah hujan, sedangkan 52,6 % lainnya
merupakan lahan kering yang dimanfaatkan untuk pekarangan/bangunan,
tegalan/kebun, kolam dan sebagainya dengan komoditas tanaman seperti ketela pohon,
kelapa, kedelai kunyit, kencur dan lain sebagainya.
b. Produksi Komoditas Pertanian
Produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kecamatan Sambi secara
keseluruhan yang paling banyak adalah tanaman padi. Tanaman padi adalah komoditas
tanaman pangan utama yang dikembangkan di wilayah Kecamatan Sambi.
Tabel 4.4. Produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kecamatan Sambi tahun 2008No Komoditas Jumlah produksi (ton)1 Padi 22406,02 Jagung 723,03 Ketela Pohon 9127,05 Kacang Tanah 211,06 Kedelai 125,07 Sayur-sayuran 2,18 Buah-buahan 6,5
Sumber : Data Sekunder Monografi Kecamatan Sambi tahun 2008
30
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa komoditas pertanian di Kecamatan
Sambi terdiri atas beberapa komoditas tanaman pangan dan hortikultura. Tanaman
pangan padi merupakan yang paling dominan sehingga hasilnya mampu mencapai
22406 ton. Tegal/kebun juga dapat dimanfaatkan untuk menanam palawija sehingga
komoditas jagung dan ketela pohon memiliki hasil yang tinggi pula, akan tetapi jenis
komoditas tersebut bukanlah komoditas utama yang di usahakan oleh petani di
Kecamatan Sambi. Tanaman buah-buahan juga dibudidayakan akan tetapi jumlahnya
terbatas, produksi buah-buahan di kecamatan Sambi mencapai 6,5 ton yang jumlah itu
didominasi oleh buah pisang dan sawo yang mencapai 12,4 ton.
Selain komoditas pertanian, di wilayah Sambi juga terdapat budidaya tanaman
perkebunan. Tabel 4.5. menjelaskan mengenai keadaan perkebunan di Kecamatan
Sambi.
Tabel 4.5. Produksi tanaman perdagangan komoditas perkebunan di Kecamatan Sambi 2008
No Komoditas Jumlah Produksi
1 Kelapa 200500,0 (butir)2 Kencur 587,5 (ton)
Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Komoditas perkebunan utama dari Kecamatan Sambi adalah kelapa yang
mampu mencapai produksi 200500 butir. Pohon kelapa adalah tanaman yang mudah
tumbuh di wilayah tersebut, hampir setiap pekarangan atau kebun terdapat pohon
kelapa. Sedangkan untuk komoditas empon-emponan separti kencur juga banyak
dibudidayakan walaupun hanya dalam skala luasan yang sedikit (± 31,9 ha). Untuk
produksi tanaman kencur bisa mencapai 587,5 ton.
c. Peternakan
Peternakan adalah usaha memelihara atau mengembangkan ternak dengan tujuan
memperoleh manfaat. Peternakan di Kecamatan Sambi umunnya dilakukan petani
sebagai usaha sampingan selain dari hasil bertani. Peternakan umumnya dilakukan
dalam skala rumah tangga, yang hasilnya digunakan sebagai tambahan pemasukan bagi
petani. Ternak bagi petani mempunyai beberapa fungsi antara lain menghasilkan pupuk
kandang dari kotorannya dan bibit ternak itu sendiri serta sebagai tabungan keluarga
yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak. Data
31
kepemilikan ternak besar di Kecamatan Sambi tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 4.6
berikut.
Tabel 4.6. Data kepemilikan ternak besar di Kecamatan Sambi tahun 2008No Jenis Ternak Jumlah (ekor)
1 Sapi Potong 21852 Kerbau 1733 Kuda 154 Kambing 26077 Domba 625
Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa sapi potong dan kambing merupakan
jenis ternak yang paling banyak di budidayakan oleh warga yaitu masing-masing
mencapai 2185 dan 2067 ekor. Peternakan tersebut dilakukan dalam skala rumah
tangga. Kebanyakan dari hewan-hewan ternak tersebut dijadikan semacam aset yang
dapat sewaktu-waktu dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak
seperti untuk biaya pendidikan anaknya, berobat ke dokter dan sebagainya. Mereka
tidak memperhitungkan untung rugi dari peternakan tersebut.
Sedangkan untuk jenis ternak kecil, masyarakat di Kecamatan Sambi
menguasahakan berbagai jenis unggas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7. Data kepemilikan ternak kecil/unggas di Kecamatan Sambi tahun 2008
No Jenis Ternak Jumlah (ekor)1 Ayam Buras 407102 Ayam Ras Petelur 31833 Itik 41794 Burung Puyuh 11700
Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa jenis ternak kecil atau unggas yang
paling banyak di usahakan oleh warga adalah ayam buras yakni mencapai 40710 ekor.
Jenis ayam ini tidak di budidayakan dalam bentuk peternakan yang besar dan dimiliki
hampir oleh setiap warga, ayam ini diusahakan dalam skala rumah tangga yang hasilnya
dapat dijual sawaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan jenis ayam yang di
budidayakan dalam bentuk peternakan besar adalah jenis ayam ras petelur, namun
itupun jumlahnya sedikit saja dan hanya beberapa warga saja yang mengusahakannya.
32
Selain itu jenis burung puyuh juga diusahakan dalam bentuk peternakan besar dengan
hasil utamanya adalah telur puyuh.
5. Keadaan Penduduk
Penduduk adalah sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu
dalam jangka waktu minimal satu tahun. Secara umun pertumbuhan dan perkembangan
penduduk dipengaruhi oleh empat komponen, yaitu natalitas, mortalitas imigrasi dan
emigrasi. Studi atau ilmu yang mempelajari tentang kependudukan terutama struktur
dan perkembangannya adalah demografi. Demografi adalah suatu studi mengenai
jumlah, distribusi teritorial dan komposisi penduduk, perubahan-perubahan yang
bertalian dengannya serta komponen-komponen yang menyebabkan perubahan yang
bersangkutan yang dapat diidentifikasi sebagai natalitas, mortalitas, gerak penduduk
teritorial dan mobilitas sosial (perubahan status).
Struktur penduduk di suatu wilayah dapat digolongkan menurut umur dan jenis
kelamin, agama, tingkat pendidikan dan mata pencaharian.
a. Struktur Penduduk Menurut Golongan Umur
Komposisi atau jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin sangat
diperlukan untuk mengetahui rasio ketergantungan (Burden Depency Ratio/BDR) yang
merupakan perbandingan antara banyaknya penduduk tidak produktif dengan penduduk
produktif dalam persen (%). Mantra (1997) menyebutkan bahwa struktur penduduk
dipengaruhi oleh tiga variabel demografi yaitu kelahiran, kematian, dan migrasi. Ketiga
variabel ini saling mempengaruhi antar satu dengan yang lain, kalau salah satu variabel
berubah. Faktor sosial ekonomi di suatu negara akan mempengaruhi struktur umur
penduduk lewat ketiga variabel demografi tersebut. Berdasarkan umurnya struktur
penduduk dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
a. Umur 0 – 14 tahun dinamakan usia muda/usia belum produktif.
b. Umur 15 – 64 tahun dinamakan usia dewasa/usia kerja/usia produktif.
c. Umur 65 tahun keatas dinamakan usia tua/usia tak produktif/usia jompo
Pentingnya mengetahui struktur penduduk menurut umur adalah untuk dapat
menentukan produktivitas tenaga kerja. Struktur penduduk menurut jenis kelamin untuk
menentukan sex ratio serta perkiraan jumlah penduduk. Jika struktur penduduk dari
berbagai aspek dapat diketahui, maka diharapkan dapat dipakai sebagai landasan dalam
33
menentukan kebijakan yang akan diambil. Distribusi penduduk di Kecamatan Sambi
menurut usia dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8. Distribusi penduduk menurut umur di Kecamatan Sambi tahun 2008No Tingkatan Umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)1 0-4 3633 7,482 5-9 3979 8,193 10-14 4499 9,274 15-19 3733 7,695 20-24 3908 8,056 25-29 4001 8,247 30-34 4039 8,328 35-39 3284 6,769 40-44 3601 7,4210 45-49 3249 6,6911 50-54 2494 5,1312 55-59 2152 4,4313 60-64 2211 4,5514 >64 3747 7,72
Jumlah 48530 100,00Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.8, diketahui bahwa penduduk Sambi hampir merata untuk
setiap tingkatan umur, paling banyak pada tingkatan umur 10-14 tahun yang mencapai
9,27%, sedangkan yang paling sedikit adalah pada tingkatan umur 55-59 tahun yaitu
sebesar 4,43%. Berdasarkan tabel 4.7 dapat dihitung besarnya angka beban tanggungan
(Burden Depedency Ratio) yaitu dengan membandingkan banyaknya penduduk pada
usia produktif dengam penduduik pada usia non produktif. Penduduk usia produktif
terdapat pada tingkatan usia 15-64 tahun, sedangkan penduduk non produktif terdapat
pada tingkatan usia 0-14 tahun dan usia 65 tahun keatas.
BDR =
P (0 -14 tahun )+ P (> 65 tahun )P (15 -64 tahun)
x100 %
=
12111 + 374736272
x100 %
= 48,54%
Keterangan :BDR : Burden Dependency Ratio atau Rasio Beban Ketergantungan
34
P (0-14 tahun) : Jumlah penduduk usia 0-14 tahun, penduduk belum produktifP (15-64 tahun) : Jumlah penduduk usia 15-64 tahun, penduduk produktifP (>65 tahun) : Jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas, penduduk yang sudah
tidak produktif
Angka BDR Kecamatan Sambi sebesar 48,54%, hal itu menunjukkan bahwa
setiap 100 penduduk produktif harus menanggung sekitar 49 penduduk non produktif.
b. Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Struktur penduduk menurut jenis kelamin sangat penting digunakan untuk
menghitung sex ratio yaitu perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan
perempuan yang dinyatakan dalam persen. Menurut sumber Kecamatan Sambi dalm
angka tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Sambi
berjumlah 24087 jiwa sedangkan untuk penduduk perempuan berjumlah 24443 jiwa.
Adapun perhitungan sex ratio Kecamatan Sambi sebagai berikut.
SR =
Jumlah penduduk laki-lakiJumlah penduduk perempuan
×100 %
SR =
2408724443 x 100 %
= 98,54%
Berdasarkan perhitungan sex ratio Kecamatan Sambi pada tahun diperoleh hasil
sebesar 98,54%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada setiap 100 penduduk wanita di
Kecamatan Sambi terdapat sekitar 98 penduduk laki-laki. Dengan kata lain jumlah
penduduk perempuan lebih banyak daripada laki-laki sehingga penyediaan tenaga kerja
perempuan di Kecamatan Sambi lebih banyak dibandingkan penyediaan tenaga kerja
laki-laki.
c. Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
mengetahui perkembangan dan kemajuan suatu daerah. Apabila pada suatu daerah
tingkat pendidikannya sudah maju biasanya akan diikuti pula dengan kemajuan di
bidang lainnya yang pada akhirnya daerah tersebut akan lebih maju. Dengan pendidikan
maka pikiran akan lebih terbuka sehingga akan lebih mudah menyerap inovasi atau
teknologi baru yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai alat untuk memajukan
suatu daerah. Dengan pendidikan pula masyarakat dapat lebih cerdas dalam berfikir dan
35
bertindak sehingga sangat menentukan maju tidaknya suatu daerah. Hal ini berbeda
dengan masyarakat yang mempunyai pendidikan rendah. Dengan pendidikan yang
rendah maka masyarakat sulit untuk menerima inovasi-inovasi baru yang ada. Sehingga
perkembangan suatu daerah dapat terhambat. Distribusi penduduk umur lima tahun
keatas menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Sambi dapat dilihat pada tabel 4.9.
Tabel 4.9. Distribusi penduduk umur lima tahun keatas menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Sambi tahun 2008
No Tingkatan Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)1 Tidak / belum Tamat SD 15927 35,532 Tamat SD 12931 28,85
3 Tamat SLTP 7389 16,48
4 Tamat SLTA 7572 16,89
5 Akademi 449 1,01
6 Perguruan tinggi 579 1,02
Jumlah 44.819 100,00Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa penduduk Kecamatan Sambi usia
lima tahun keatas paling banyak tidak tamat atau belum tamat SD yaitu sebesar 35,53%,
kemudian diikuti penduduk dengan tamatan SD yaitu sebesar 28,85%. Sedangkan untuk
tamatan akademi dan perguruan tinggi jumlahnya sangat sedikit yaitu sekitar 1,01% dan
1,02% saja. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan
sudah bagus tetapi masih agak jauh untuk dapat dikatakan maju.
d. Struktur Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Struktur penduduk menurut mata pencahariannya bertujuan untuk dapat
memberikan gambaran keadaan perekonomian di wilayah tersebut karena berkaitan
dengan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang mempunyai mata pencaharian lebih
baik biasanya akan diikuti pula dengan kesejahteraan yang lebih baik pula dibandingkan
dengan masyarakat lain yang bermata pencaharian dibawahnya. Distribusi penduduk
usia sepuluh tahun keatas menurut lapangan pekerjaan utama di Kecamatan Sambi
dapat dilihat pada tabel 4.10.
36
Tabel 4.10. Distribusi penduduk usia sepuluh tahun keatas menurut lapangan pekerjaan utama di Kecamatan Sambi tahun 2008
No Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)1 Pertanian tanaman pangan 13227 32,322 Perikanan 10 0,203 Peternakan 307 0,754 Pertanian lainya 267 0,655 Industri pengolahan 3682 8,996 Perdagangan 1489 3,637 Jasa 1389 3,398 Angkutan 165 0,419 Lainnya 20382 49,81
Jumlah 40918 100,00Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa mata pencaharian sebagian besar
penduduk Kecamatan Sambi adalah petani. Hal ini disebabkan sebagian besar lahan di
Kecamatan Sambi merupakan sawah dan tegalan sehingga cocok untuk digunakan
sebagai lahan pertanian. Sedangkan penduduk yang bekerja di sektor industri
pengolahan jumlahnya relatif banyak yaitu sekitar 8,99%, sebagian besar dari mereka
bekerja sebagai buruh pabrik utamanya pabrik tekstil yang banyak terdapat di
Kabupaten Boyolali. Sebagian besar lainnya penduduk di Kecamatan Sambi bekerja
sebagai PNS, tentara, polisi, pensiunan dan lain sebagainya.
e. Struktur penduduk menurut agama
Agama adalah salah satu pegangan hidup manusia yang dapat memberikan
ketentraman batin bagi umatnya. Agama dan kepercayaan merupakan hak paling hakiki
dari setiap manusia yang kebebasanya diatur dalam UUD 1945. Agama merupakan
tuntutan hidup dunia dan akhirat bagi umatnya.
Tabel 4.11. Distribusi penduduk agama di Kecamatan Sambi tahun 2008No Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)1 Islam 47677 98,312 Kristen 464 0,953 Katholik 355 0,734 Hindu -5 Budha -
Jumlah 48496 100,00Sumber: Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
37
Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di
Kecamatan Sambi memeluk agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
bangunan masjid dan mushola yang ada hampir di setiap dukuh di wilayah Kecamatan
Sambi. Sedangkan sebagian kecil dari penduduk di Kecamatan Sambi memeluk agama
Kristen dan Katholik yaitu sebesar 0,95% dan0,73%.
6. Perkembangan Penduduk
Jumlah penduduk di suatu daerah umumnya berubah setiap tahunnya. Perubahan
penduduk dipengaruhi oleh adanya kelahiran, kematian, dan migrasi, sedangkan migrasi
terdiri dari imigrasi dan emigrasi. Perubahan penduduk biasanya dinyatakan sebagai
pertumbuhan atau perkembangan penduduk. Dalam perkembangan penduduk dikenal
beberapa istilah penting yaitu tingkat kelahiran kasar/Crude Birth Rate (CBR), tingkat
kematian kasar/Crude Death Rate (CDR), tingkat pertambahan penduduk alami/Natural
Population Increase (NPI), dan tingkat pertambahan penduduk yang
sebenarnya/Population Increase (PI).
Tabel 4.12. Jumlah Kelahiran, Kematian, Imigrasi, dan Emigrasi Penduduk Kecamatan Sambi tahun 2008.
No Keadaan Penduduk Jumlah (Jiwa)1 Kelahiran 3462 Kematian 2703 Imigrasi 894 Emigrasi 311
Sumber : Kecamatan Sambi dalam angka tahun 2008
Berdasarkan tabel 4.12 dapat diketahui bahwa perkembangan penduduk di
Kecamatan Sambi dipengaruhi oleh banyaknya kelahiran yaitu sebanyak 346 jiwa dan
emigrasi yaitu sebanyak 311 jiwa. Sedangkan kematian berjumlah 270 jiwa dan imigrasi
berjumlah 89 jiwa. Banyaknya jumlah penduduk yang pergi atau meninggalkan
Kecamatan Sambi mungkin banyak disebabkan karena alasan pekerjaan.
a. Tingkat Kelahiran
Tingkat kelahiran kasar/Crude Birth Rate (CBR) adalah banyaknya kelahiran
pada tahun tertentu tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun yang dapat dirumuskan
sebagai berikut.
38
CBR =
BPm × 100 %
Keterangan:CBR = tingkat kelahiran kasarB = jumlah kelahiran pada tahun tertentuPm = penduduk pada pertengahan tahun tertentu, yaitu jumlah penduduk awal tahun
ditambah penduduk akhir tahun dibagi dua
CBR =
34648603
× 100 % = 0,71%
Nilai CBR sebesar 0,71% ini menunjukkan bahwa dalam setiap 100 penduduk
tedapat 0,71 kelahiran. Hal ini berarti tingkat kelahiran di Kecamatan Sambi tergolong
rendah. Hal ini kemungkinan besar disebabkan keberhasilan program Keluarga
Berencana (KB), dan sudah tersedianya bedan desa di setiap desa di wilayah Sambi
b. Tingkat Kematian
Tingkat kematian kasar/Crude Death Rate (CDR) adalah banyaknya kematian
pada tahun tertentu tiap 1000 penduduk pada pertengahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
CRD =
DPm X 100 %
Keterangan:CRD = tingkat kematian kasarD = jumlah kematian pada tahun tertentuPm = penduduk pada pertengahan tahun tertentu, yaitu jumlah penduduk awal tahun ditambah penduduk akhir tahun dibagi dua.
CDR =
27048603
x 100 % = 0,55%
Nilai CDR sebesar 0,55% menunjukkan bahwa dalam setiap 100 penduduk
terdapat 0,55 kematian. Ini berarti bahwa tingkat kematian di Kecamatan Sambi
tergolong rendah. Hal ini dimungkinkan karena tingkat pemenuhan gizi dan kesehjatan
berjalan semakin baik.
39
c. Tingkat Pertambahan Penduduk
Tingkat pertambahan penduduk dibagi dua yaitu:
1) Tingkat pertambahan penduduk alami (Natural Population Increase) merupakan
pertambahan penduduk yang hanya disebabkan oleh kelahiran dan kematian saja,
yang dirumuskan sebagai berikut:
NPI =
B−DPm
x100 %
Keterangan:NPI = pertambahan penduduk alamiB = jumlah kelahiran pada tahun tertentuD = jumlah kematian pada tahun tertentuPm = jumlah penduduk pada pertengahan tahun tertentu
NPI =
3 46−27048603
x100 % = 0,15%
Berdasarkan perhitungan di atas, tingkat Pertumbuhan penduduk secara alami dalam
100 penduduk adalah 1 jiwa.
2) Tingkat Pertambahan Penduduk Yang Sebenarnya atau Population Increase (PI)
Tingkat pertumbuhan penduduk yang sebenarnya dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
PI = NPI +
I −EPm
x 100 %
Keterangan:PI = pertambahan penduduk yang sebenarnyaNPI = pertambahan penduduk alamiI = jumlah kelahiran pada tahun tertentuE = jumlah kematian pada tahun tertentuPm = jumlah penduduk pada pertengahan tahun tertentu
PI = 0,15% +
89−31148603
x100 % = 0,15% - 0,45% = - 0,30%
Berdasarkan hasil perhitungan PI, diperoleh nilai pertumbuhan penduduk yang
sebenarnya atau Populatin Increase (PI) sebesar -0,30 %, artinya Pertumbuhan
penduduk yang sebenarnya dalam 100 penduduk adalah berkurang 1 jiwa. Berarti
40
jumlah penduduk di Kecamatan Sambi pada tahun 2008 turun dibandingkan dengan
tahun 2007.
B. Kondisi pengairan/irigasi
1. Tata guna lahanSebagian besar wilayah Kecamatan Sambi adalah daerah pertanian dengan lahan
sawah sebesar 47,3% dari luas wilayah keseluruhan. Wilayah Kecamatan Sambi
merupakan sumberdaya lahan yang potensial bagi usaha pertanian. sawah yang ada di
wilayah Kecamatan Sambi terbagi atas sawah dengan irigasi teknis, setengah teknis,
sederhana dan tadah hujan.
Tabel 4.13 Distribusi lahan sawah menurut kondisi irigasi di Kecamatan Sambi tahun 2008
No Jenis irigasi Luas lahan(Ha) Persentase(%)1 Teknis 401,16 18,19
2 Setengah teknis 356,95 16,19
3 Sederhana 363,01 16,46
4 Tadah hujan 1084,05 49,15
Jumlah 2205,18 100,00Sumber: Kecamatan Sambi dalam angka 2008
Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui bahwa perbandingan antara lahan sawah
beririgasi dengan tadah hujan hampir berimbang. Lahan beririgasi di Kecamatan Sambi
sebesar 50,31% sedangkan lahan tadah hujan sebesar 49,69%. Dari keseluruhan lahan
sawah tersebut komoditas utama yang diusahakan oleh petani setempat adalah tanaman
padi.
2. Sumber air irigasi
Sumber air untuk irigasi di wilayah Kecamatan Sambi sebagian besar berasal
dari mata air yang kemudian dialirkan melalui sungai-sungai yang ada di wilayah
kecamatan sambi. Air yang berasal dari sungai-sungai tersebut dibuatkan semacam
bendungan atau dam yang berfungsi untuk menahan air agar dapat dialirkan kedalam
saluran-saluran irigasi yang sudah dibuat. Di wilayah Kecamatan Sambi terdapat kurang
lebih sebelas (11) bendungan yang dipakai untuk irigasi, antara lain.
a. Bendung Wonotoro
41
Air dari bendung ini berasal dari Sungai Butak, lokasi bendung ini berada di
Dusun Kidul Desa Kradenan Kecamatan Kaliwungu. Luas lahan pertanian yang
mendapat aliran air dari bendung ini sebesar 331 ha. Bendung ini digunakan untuk
mengairi sawah yang berada di Desa Catur, Tawengan, Glintang, Jatisari, Sambi, dan
Tempursari.
b. Bendung Sirau
Aliran air bendung ini berasal dari Sungai Kali Kotes yang berada di sebelah
selatan Desa Glintang. Aliran dari bendung ini mampu mengailiri lahan seluas 60 ha.
Bendung ini digunakan untuk mengairi sawah yang berada di Desa Glintang dan Desa
Krasak Kecamatan Teras.
c. Bendung Butul
Aliran air bendung ini berasal dari Sungai Kali Kotes yang berada di sebelah
selatan Desa Glintang. Aliran dari bendung ini mampu mengailiri lahan seluas 64 ha.
Bendung ini digunakan untuk mengairi sawah yang berada di Desa Glintang dan Desa
Jatisari.
d. Bendung Kedung Tanon
Aliran air bendung ini berasal dari limpahan air yang berasal dari sawah-sawah
yang berada disekitarnya. Bendungan ini terdapat di Desa Tawengan. Aliran dari
bendung ini mampu mengailiri lahan seluas kurang lebih 70 ha. Bendung ini digunakan
untuk mengairi sawah yang berada di Desa Jatisari.
e. Bendung Si Mojo
Bendung ini berada di desa Gumuk Ngembes. Aliran dari bendung ini mampu
mengailiri lahan seluas kurang lebih 35 ha. Bendung ini digunakan untuk mengairi
sawah yang berada di Desa Catur bagian Utara.
f. Bendung Jugrug
Bendung ini berada di Desa Tawengan . Aliran dari bendung ini mampu
mengailiri lahan seluas kurang lebih 64 ha. Bendung ini digunakan untuk mengairi
sawah yang berada di Desa Tawengan dan Desa Sambi.
g. Bendung Watu Leter
42
Bendung ini berada di Desa Jatisari. Aliran dari bendung ini mampu mengailiri
lahan seluas 66 ha. Bendung ini digunakan untuk mengairi sawah yang berada di Desa
Jatisari, Canden dan Senting. Selain itu aliran dari bendung ini juga digunakan sebagai
suplisi atau pengisi air untuk waduk Cengklik.
h. Bendung Pilang
Aliran air bendung ini berasal dari Sungai Cemara yang berada wilayah
Kecamatan Kaliwungu. Aliran dari bendung ini mampu mengailiri lahan seluas 63 ha.
Bendung ini digunakan untuk mengairi sawah yang berada di Desa Nglembu dan Desa
Pelem Kecamatan Simo.
i. Bendung Garat
Aliran air bendung ini berasal dari Sungai Cemara yang berada wilayah
Kecamatan Kaliwungu. Bendung ini digunakan untuk mengairi sawah yang berada di
Desa Cermo dan Desa Nglembu.
j. Bendung Sikandar
Bendung ini terletak di Desa Jatisari. Aliran dari bendung ini mampu mengailiri
lahan seluas 10 ha. Bendung ini digunakan untuk mengairi sawah yang berada di Desa
Jatisari dan Desa Sambi.
k. Bendung Kedung Gentong
Bendung ini terletak di Desa Sambi. Aliran dari bendung ini mampu mengailiri
lahan seluas 10 ha. Bendung ini digunakan untuk mengairi sawah yang berada di Desa
Sambi.
43
V. PROFIL PETANI SAMPEL
Analisis sosial ekonomi petani digunakan untuk mengetahui keadaan petani
dalam hal ekonomi dan sosialnya. Aspek-aspek yang dapat ditinjau dalam analisis sosial
ekonomi petani ini adalah pendapatan petani, biaya usahatani, pengeluaran petani,
keadaan usahatani, kehidupan sosial petani, dsb, pada masing-masing sawah beririgasi
dan sawah tadah hujan.
A. Keadaan Petani
1. Identitas Responden
Jenis kelamin merupakan hal yang penting dalam suatu pekerjaan. Jenis kelamin
adalah salah satu tolok ukur produktivitas suatu pekerjaan. Perempuan dianggap
memiliki produktivitas lebih rendah dari laki-laki, walaupun pada kenyataannya hal ini
belum tentu terjadi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, distribusi petani sawah
berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Distribusi petani sawah berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Sambi Bulan September 2009
NoJenis
KelaminSawah irigasi Sawah tadah hujan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 Laki-laki 39 97,50 40 100,00
2 Perempuan 1 2,50 - -
Total 40 100,00 40 100,00Sumber : Analisis data primer petani sawah di Kecamatan Sambi bulan September 2009
Di sektor pertanian, peranan perempuan biasanya lebih kecil daripada laki-laki.
Perempuan biasanya hanya membantu meringankan pekerjaan kepala keluarga petani
seperti pada saat panen atau menyiangi tanaman. Hal ini memang sering dikaitkan
dengan kemampuan perempuan yang lebih terbatas dan beratnya pekerjaan sebagai
petani. Alasan lainnya adalah perempuan hanya cocok bagi pekerjaan yang feminim
atau pekerjaan yang berkaitan dengan nalurinya sebagai ibu rumah tangga.
44
Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani sawah di Kecamatan
Sambi berjenis kelamin laki-laki. Untuk daerah irigasi, jumlah petani lelaki adalah
97,50% sedangkan jumlah petani perempuan hanya 2,50%. Untuk daerah non irigasi
atau tadah hujan, jumlah petani laki-laki adalah 100% dan tidak ada petani
perempuannya. Hal ini disebabkan beratnya pengelolaan pertanian di daerah tadah
hujan dibandingkan dengan daerah irigasi sehingga pekerjaan tersebut lebih cocok
dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan yang menjadi petani biasanya terjadi apabila
suami (petani laki-laki) sudah tidak mampu lagi bertani ataupun sudah meninggal.
Petani perempuan biasanya hanya membantu pengelolaan pertanian dalam hal yang
ringan, seperti membantu menanam, menyiangi ataupun panen, sedangkan pekerjaan
berat seperti mencangkul dilakukan oleh petani laki-laki.
Identitas petani sawah yang meliputi umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok
dan lain-lainnya perlu diketahui karena hal tersebut berhubungan dengan kinerja petani.
Identitas petani sawah di Kecamatan Sambi berdasarkan umur, pendidikan dan
pekerjaan pokok dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Distribusi petani sawah berdasarkan umur, pendidikan terakhir, dan pekerjaan pokok di Kecamatan Sambi bulan September 2009
No Keterangan Sawah irigasi
Sawah tadah hujan
1 Umur :Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
< 24 tahun - - - -24 – 46 tahun 7 17,50 9 22,50> 46 tahun 33 82,50 31 77,50
Total 40 100,00 40 100,00
2 Pendidikan :PerguruanTinggi 2 5,00
4 10,00
SLTA 18 45,00 9 22,50SLTP 4 10,00 8 20,00SD 13 32,50 18 45,00Tidak Sekolah 3 7,50 1 2,50
Total 40 100,00 40 100,00
3
Pekerjaan Pokok :
Petani 35 87,50 27 67,50Pedagang 1 2,50 1 2,50PNS - - 3 7,50
45
Perangkat desa 4 10,00 9 22,50
Total 40 100,00 40 100,00Sumber : Analisis data primer petani sawah di Kecamatan Sambi bulan September 2009
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa mayoritas petani di lahan beririgasi
memiliki usia diatas 46 tahun yaitu sebesar 82,50% hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan pertanian banyak dilakukan oleh petani yang sudah berusia lanjut. Untuk
petani yang berumur 24-45 tahun hanya berkisar 17,5% , sedangkan petani yang berusia
24 tahun kebawah tidak ada. Sedangkan untuk daerah tadah hujan sejumlah 77,5%
adalah petani yang berusia diatas 46 tahun. Untuk petani yang berumur 24-45 tahun
hanya berkisar 22,5%, sedangkan petani yang berusia 24 tahun kebawah tidak ada. Hal
ini menunjukkan bahwa minat anak muda saat ini sangat rendah atau bahkan tidak
berminat sama sekali terhadap pertanian, pertanian cenderung mereka artikan sebagai
pekerjaan yang berat dengan hasil yang rendah. Dengan demikian kegiatan pertanian
banyak dilakuakan oleh petani yang sudah tua dan mendekati masa tidak produktif atau
bahkan yang sudah tidak produktif lagi (usia 64 tahun keatas). Sehingga kemampuan
untuk menerima dan menyerap inovasi dan teknologi baru di bidang pertanian kurang
maksimal, dan mereka cenderung melaksanakan usaha tani seperti apa yang diwariskan
oleh tetua mereka terdahulu.
Apabila dilihat dari pendidikan formal dari petani maka dapat diketahui bahwa
untuk daerah beririgasi sejumlah besar merupakan tamatan SD dan SMA yaitu sebesar
32,5% dan 45% dan hanya 5% saja petani yang menamatkan pendidikan sampai jenjang
perguruan tinggi. Dengan demikian petani di daerah irigasi memiliki tingkat pendidikan
yang cukup tinggi sehingga dapat mempermudah menerima inovasi dan teknologi baru
di bidang pertanian. Sedangkan pada daerah tadah hujan sebagian besar petani
merupakan tamatan SD yaitu sebesar 45%. Sedangkan lainnya secara merata merupakan
tamatan SMP, SMA, perguruan tinggi dan sebagian kecil tidak pernah sekolah yaitu
sebesar 2,5%. Sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat pendidikan petani di daerah
non irigasi masih lebih rendah dibandingkan daerah irigasi sehingga kemampuan untuk
menyerap teknologi baru masih kurang.
Berdasarkan pekerjaan pokok, petani di daerah irigasi dan tadah hujan
bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebesar 87,5% dan 67,5%. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan bertani merupakan matapencaharian utama bagi
46
penduduk di daerah tersebut. Mereka menggantungkan hidup dari hasil bertani, jadi
apabila hasil pertanian mereka jelek maka pendapatan mereka akan menurun. Namun
ada pula yang menempatkan pertanian sebagai pekerjaan sampingan walaupun
jumlahnya sedikit yaitu untuk daerah irigasi 2,5% merupakan pedagang, 10%
merupakan perangkat desa, untuk daerah non irigasi 2,5% sebagai pedagang, 7,2%
sebagai PNS dan 22,5% adalah perangkat desa.
2. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden
Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya orang yang berada dalam rumah
tangga petani yang biaya hidupnya sepenuhnya ditanggung oleh kepala keluarga yaitu
petani. Berdasarkan perhitungan analisis data primer Kecamatan Sambi Bulan
September 2009 diperoleh hasil bahwa untuk daerah sawah beririgasi petani memiliki
rata-rata 3 orang anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan kepala keluarga,
sedangkan untuk daerah sawah tadah hujan petani memiliki rata-rata jumlah anggota
keluarga sebanyak 3 orang. Jumlah tanggungan keluarga petani dikategorikan menjadi
tiga yaitu petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sedikit yaitu sebanyak (1-
2) orang, petani yang memilki jumlah tanggungan keluarga sedang yaitu sebanyak (3-4)
orang, dan petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga banyak yaitu sebanyak ≥
5 orang. Distribusi petani berdasar jumlah tanggungan keluarga di Kecamatan Sambi
dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Distribusi Petani Sawah Berdasar Jumlah Tanggungan Keluarga di Kecamatan Sambi bulan September 2009
No Kategori Jumlah Tanggungan Keluarga
(orang)
Daerah irigasi Daerah tadah hujanJumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 Sedikit (1-2) 21 52.50 18 45,002 Sedang (3-4) 18 45.00 19 47,503 Banyak (≥ 5) 1 2.50 3 7,50
Total 40 100 40 100,00Sumber: Analisis data primer Sambi bulan September 2009
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui petani di Kecamatan Sambi mayoritas
memiliki jumlah tanggungan keluarga 1 sampai 4 orang. Dengan banyaknya jumlah
anggota keluarga yang menjadi tanggungan akan memberikan motivasi sendiri bagi
petani untuk lebih bekerja keras lagi dalam bertani, selain itu banyaknya tanggungan
atau anggota keluarga dapat pula digunakan untuk memperingan pekerjaan dalam
47
bertani yaitu petani akan memperoleh tambahan tenaga kerja yang berasal dari dalam
keluarga sehingga dapat menekan biaya untuk tenaga kerja.
3. Identitas Tanggungan Keluarga Responden
Anggota keluarga petani meliputi istri/suami, anak-anak, menantu, cucu, dan
lainnya yang masih menjadi tanggungan kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumah
dengan petani. Banyaknya tanggungan keluarga dapat menjadi beban dan motivasi bagi
petani dalam mengusahakan pertaniannya.
Tabel 5.4. Distribusi Jumlah Anggota Keluarga Petani Sawah Berdasarkan Umur di Kecamatan Sambi bulan September 2009
No UmurDaerah irigasi Daerah tadah hujan
Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%)1 < 15 25 26,04 32 29,092 15-64 65 67,70 68 61,813 >64 6 6,25 10 9,09
Total 96 100,00 110 100,00Sumber : Analisis data primer di Kecamatan Sambi bulan September 2009
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa jumlah tanggungan keluarga petani
yang terbesar berada pada kelompok usia 15-64 tahun. Hal ini berarti tanggungan
keluarga petani banyak berada pada usia produktif. Tanggungan keluarga yang paling
banyak adalah anak, istri lalu orang tua atau keluarga. Dengan banyaknya tanggungan
keluarga pada usia produktif maka bisa dimanfaatkan oleh petani untuk membantu
kegiatan usaha taninya. Berdasarkan informasi dari responden petani, anggota keluarga
yang biasanya membantu dalam bertani adalah istri. Anak biasanya enggan di ajak
untuk bertani dan kebanyakan anak dari responden petani masih berada pada bangku
sekolah, jadi mereka enggan untuk ikut membantu bertani.
4. Luas Usahatani
Lahan yang digunakan dalam usahatani disini adalah lahan sawah. Luas sawah
pada masing-masing daerah irigasi dan tadah hujan yang diusahakan oleh petani
Kecamatan Sambi dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5. Rerata Luas Kepemilikan Sawah di Kecamatan Sambi bulan September 2009No Jenis sawah Luas lahan (Ha)
48
1 Irigasi 0,462 Tadah hujan 0,32
Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa petani yang berada pada daerah
irigasi memiliki rata-rata kepemilikan sawah seluas 0,46 ha. Sedangkan pada daerah
tadah hujan, petani memiliki rata-rata kepemilikan sawah seluas 0,33 ha. Luas lahan
sangat berpengaruh pada hasil pertanian yang diusahakan. Pada umumnya semakin luas
kepemilikan lahan, maka semakin banyak pula hasil pertaniannya.
B. Ketersediaan Air untuk Usaha Tani
1. Ketersediaan Air tiap Musim Tanam
Air adalah salah satu faktor penting yang harus ada dalam pertanian, terutama
pertanian sawah. Sawah dapat ditanami dan berproduksi dengan baik jika ketersediaan
airnya cukup. Produk utama dari sawah adalah tanaman padi, yang hampir seluruh masa
hidupnya membutuhkan air yang cukup. Dengan ketersediaan air yang cukup maka
pada daerah irigasi dapat ditanami sepanjang tahun. Sebagai perbandingan pada sawah
tadah hujan hanya dapat ditanami maksimal hanya dua kali setahun. Hal ini disebabkan
air hanya cukup tersedia pada musim penghujan saja. Untuk selebihnya air tidak
tersedia sehingga pada sawah tadah hujan umumnya tidak ditanami atau bero pada
musim kemarau. Sehingga pada musim kemarau tersebut sawah tidak dapat berproduksi
dan tidak dapat memberikan penghasilan bagi petaninya.
Didaerah Kecamatan Sambi mempunyai perbandingan yang hampir seimbang
antara luas sawah dengan lahan keringnya. Untuk lahan sawah, terdiri dari sawah irigasi
dan sawah tadah hujan dengan luasan yang cukup berimbang yaitu 51% berbanding
49% (Kecamtan Sambi dalam angka, 2009). Sawah irigasi dapat berproduksi tiga kali
setahun atau lima kali dalam dua tahun. Sedangkan sawah tadah hujan hanya dapat
berproduksi atau ditanami dua kali saja yaitu musim tanam I dan II, pada saat musim
penghujan saja. Sehingga dapat dikatakan ketersediaan air adalah salah satu faktor
peting dapat berjalannya kegiatan pertanian baik pada sawah irigasi maupun pada sawah
tadah hujan. Ketersediaan air untuk tiap musim tanam menurut persepsi responden
petani di Kecamatan Sambi dapat dilihan pada tabel 5.6.
49
Tabel 5.6. Distribusi Persepsi Responden Petani Terhadap Ketersediaan Air Tiap Musim Tanam di Kecamatan Sambi 2009
No KeteranganSawah irigasi Sawah tadah hujan
kurang cukup lebih kurang cukup lebih1 MT I 1 4 35 1 29 102 MT II - 12 28 5 31 43 MT III 17 23 - 40 - -
Total 1 33 86 46 60 14Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa untuk daerah irigasi pada MT I
responden petani yang mengatakan ketersediaan air kurang sebanyak 1 orang, cukup 4
orang dan lebih sebanyak 35 orang. Petani yang mengatakan kurang adalah petani yang
letah sawahnya jauh dari saluran irigasi utama, untuk mendapatkan air maka petani
tersebut harus mengalirkan air melewati sawah-sawah petani lain yang kadang-kadang
jumlah air saat sampai di sawahnya berkurang. Selain itu penyaluran air irigasi sudah
mempunyai jadwal sendiri-sendiri tiap petaknya. Pada MT II sebanyak 12 orang
mengatakan ketersediaan air cukup dan 28 orang mengatakan ketersediaan air lebih,
sedangkan yang menjawab kurang tidak ada. Petani yang mengatakan ketersediaan
airnya lebih karena petani tersebut sawahnya berada dekat dengan saluran utama irigasi
ataupun letak sawahnya dibawah saluran irigasi. Sehingga pada saat air irigasi mengalir
deras biasanya saat hujan, sawah milik petani menjadi tergenang sehingga petani perlu
membuang air dari sawahnya. Pada MT III sebanyak 17 petani menjawab ketersediaan
air kurang dan 23 orang lainnya menjawab bahwa ketersediaan air cukup, sedangkan
yang menjawab lebih tidak ada. Pada MT III ini ketersediaan air pada saluran irigasi
agak berkurang karena telah memasuki musim kemarau. Petani yang menjawab
ketersediaan air kurang adalah petani yang letak sawahnya jauh dari saluran primer
irigasi. Biasanya air irigasi jumlahnya sangat sedikit dan kadang tidak mencukupi untuk
tanaman padi. Oleh karena itu apabila air tidak cukup untuk tanaman padi, petani lebih
memilih tanaman lain seperti bawang merah yang tidak terlalu membutuhkan air yang
banyak.
50
Untuk daerah tadah hujan, pada MT I seorang responden menjawab
ketersediaan air kurang, 29 orang mengatakan cukup dan sisanya 10 orang menjawab
lebih. Petani yang menjawab kurang adalah petani yang tanaman yang diusahakannya
kekurangan air pada saat awal tanam atau pada saat tanaman mulai berbuah sehingga
menyebabkan hasil panen kurang maksimal dan diperlukan penanaman ulang agar dapat
panen seperti petani yang lainnya. Pada MT II sebanyak 5 orang menjawab bahwa
ketersediaan air kurang, 31 orang menjawab ketersediaan air cukup dan sisanya 4 orang
menjawab ketersediaan air lebih. Pada MT II ini petani yang menanam padi mereka
sangat mengharapkan air hujan cukup sampai panen, mereka berjudi dengan cuaca.
Apabila cuaca mendukung, mereka dapat panen padi sedangkan apabila cuaca kurang
mendukung atau musim kemarau datang lebih awal panenan mereka kurang maksimal,
kadang ada yang puso. Pada MT III musim kemarau telah tiba pada kondisi ini
ketersediaan air sangat langka hampir semua sawah dibiarkan tidak ditanami, dan semua
petani menjawab bahwa ketersediaan air pada musim ini kurang atau tidak tersedia.
Akan tetapi ada pula petani yang menanami lahannya dengan kacang hijau, tanaman ini
relatif tahan kekeringan dan membutuhkan cukup air pada awal pertumbuhannya saja.
Petani yang menanam tanaman ini melakukan penanaman segera setelah panen MT II,
saat air masih tersedia. Apabila pada akhir MT II air sudah tidak tersedia atau hujan
tidak turun lagi maka lahannya akan dibiarkan bero.
2. Bulan-bulan Kecukupan Air
Indonesia adalah negara yang memiliki dua musim yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Secara umum musim hujan berlangsung antara bulan April-Oktober
dan musim kemarau berlangsung September-Maret. Musim sangat menentukan
pertanian di Indonesia. Musim akan sangat terasa terutama oleh petani pada sawah
tadah hujan yang kebutuhan airnya tergantung dari air hujan yang turun. Hujan yang
turun kadang tidak teratur, ada kalanya hujan turun terus-menerus tetapi kadang hujan
tidak turun selama berhari-hari walaupun saat itu musim hujan. Turunnya hujan yang
tidak menentu juga berpengaruh pada hasil pertanian. Pada sawah tadah hujan, pada
awal tanam dan pertengahan musim tanam tanaman padi sangat memerlukan air, apabila
pada saat itu air hujan tidak turun maka pertumbuhan tanaman akan terganggu sehingga
hasil panen kurang maksimal. Apabila hujan turun terus-menerus pada saat panen maka
akan sangat berpengaruh terhadap hasil panennya. Kualitas panenan akan berkurang dan
51
kadang menyebabkan padi yang akan panen rubuh dan bulir padinya terendam air.
Berdasarkan wawancara dengan petani di Kecamatan Sambi diperoleh hasil bahwa
petani pada lahan irigasi merasa ketersediaan air kurang mulai bulan Agustus sampai
bulan November, ketersediaan air cukup pada bulan April sampai Juli dan ketersediaan
air dirasa berlebih pada bulan Desember sampai Maret. Sedangkan petani pada lahan
tadah hujan merasa kekurangan air mulai bulan Juni sampai November dan terkadang
sampai bulan Desember ketersediaan air masih dirasa kurang. Ketersediaan air dirasa
cukup pada bulan Maret sampai Mei, dan ketersediaan air dirasa lebih mulai bulan
Desember sampai Februari.
3. Tingkat Kepuasan Petani Terhadap Ketersediaan Air
Petani, khusunya petani sawah sangat bergantung pada ketersediaan air.
Terkadang karena masalah air untuk mengairi sawahnya dapat menimbulkan konflik
antar petani. Tentu saja kepuasan masing-masing petani berbeda terhadap ketersediaan
air pada sawahnya. Tingat kepuasan petani terhadap ketersediaan air di Kecamatan
Sambi dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Distribusi Tingkat Kepuasan Petani Terhadap Ketersediaan Air di Kecamatan Sambi 2009.
No Keterangan Sawah irigasi Sawah tadah hujan1 Puas 9 -2 Cukup 21 -3 Tidak puas 10 40
Total 40 40Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa petani pada sawah irigasi 9 orang
mengatakan bahwa mereka puas terhadap keadaan air di sawahnya, mereka puas karena
air tersedia terus sepanjang tahun. Air dapat tersedia sepanjang tahun karena secara
umum letak sawah mereka dekat dengan saluran air, jadi mereka akan lebih mudah dan
lebih banyak menerima air dibandingkan sawah yang letaknya jauh dari saluran air.
Sebanyak 21 petani mengatakan bahwa mereka cukup puas dengan ketersediaan air
untuk sawahnya, mereka mengatakan cukup karena pada saat musim kemarau sawah
mereka cukup teraliri air sehingga panen mereka dapat maksimal. Sedangkan sebanyak
10 petani menjawab tidak puas terhadap ketersediaan air, ketidakpuasan tersebut
biasanya terjadi pada saat musim kemarau dimana air irigasi yang sampai pada sawah
52
mereka jumlahnya kurang mencukupi. Hal tersebut terjadi karena pada umumnya sawah
mereka terletak jauh dari saluran air sehingga ketika air sampai pada sawah mereka
jumlahnya sedikit. Pada kondisi inilah rawan terjadi konflik antar petani, dimana saling
serobot air dapat terjadi.
Sedangkan pada sawah tadah hujan semua atau sebanyak 40 petani menjawab
tidak puas. Hal ini disebabkan air hanya tersedia pada musim hujan saja dan pada saat
musim kemarau air tidak ada, sehingga mereka hanya dapat bercocok tani sebanyak dua
kali saja dalam satu tahun. Terkadang pada musim penghujan saja mereka tidak puas
dengan ketersediaan air, karena hujan turun tidak menentu, kadang sampai berminggu-
minggu tidak turun hujan.
53
VI. POLA TANAM
Pola tanam adalah pergiliran tanam jenis tanaman atau komoditi pertanian yang
ditanam yang dilakukan dalam satu tahun, sedangkan intensitas tanam adalah
banyaknya pergiliran tanaman pada suatu lahan. Pola tanam yang digunakan oleh
masing-masing petani sangat beragam. Pola taman yang tepat sangat menentukan hasil
panen yang akan diperoleh petani. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola tanam
yang dilakukan oleh petani adalah ketersediaan air. Ketersediaan air memberikan
dampak yang besar terhadap pertanian, dengan ketersediaan air yang cukup tersedia
sepanjang tahun maka seorang petani dapat mengusahakan pertaniannya dengan
intensitas tanam yang lebih banyak.
A. Pola Tanam Pada Sawah Irigasi
Secara umum pola tanam pada daerah irigasi adalah padi-padi-padi atau padi-
padi-palawija, dalam satu tahun petani pada lahan irigasi dapat menanam sampai tiga
kali atau sebanyak lima kali selama dua tahun. Hal ini dapat dilakukan karena air
tersedia sepanjang tahun. Air adalah kunci utama agar tanaman padi dapat hidup dengan
baik. Pada sawah irigasi tanam dilakukan secara terus menerus tanpa jeda waktu yang
panjang.
Tabel 6.1. Pola Tanam Tanaman Semusim dan Rerata Luas Tanam Petani pada Sawah Irigasi di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Keterangan Komoditas Luas tanam (m2)1 MT I
(November-Februari)Padi 4669,51
2 MT II Padi 4669,51(Maret-Juni)
3 MT III Padi 4443,90(Juli-Oktober) Bawang merah 152,44
Kacang tanah 75,00Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 6.1 diketahui bahwa Pola tanam yang dilakukan petani selama
satu tahun pada sawah irigasi di Kecamatan Sambi antara lain:
54
1. Padi-Padi-Padi.
2. Padi-Padi-Palawija.
Pola tanam padi-padi-padi dilakukan hampir seluruh petani pada sawah irigasi di
Kecamatan Sambi. Pola tanam padi-padi-padi dipakai oleh petani yang ketersediaan air
pada sawahnya cukup tersedia sepanjang tahun. Dalam satu tahun mereka menanami
sawahnya dengan tanaman padi sebanyak tiga kali atau sebanyak lima kali selama dua
tahun. Para petani biasanya manggunakan jenis padi unggul seperti IR-64, Membramo
ataupun Pandan Wangi. Mereka memilih jenis padi yang umurnya pendek, sehingga
dalam satu tahun memungkinkan untuk ditanami padi sebanyak tiga kali. Jangka waktu
tanam sampai tanaman dapat dipanen adalah sekitar empat bulan.
Tanam MT I biasanya dimulai pada bulan November untuk kemudian dapat
dipanen pada bulan Februari, MT II mulai tanam bulan Maret dan MT III mulai tanam
bulan Juli. Umumnya tanam dilakukan secara serentak atau bersamaan, hal ini
dilakuakan agar panen dapat dilakukan secara serentak sehingga dapat mengurangi
resiko serangan hama burung yang bisa mengakibatkan habisnya bulir padi saat mulai
menguning. Selain itu apabila tanam tidak dilakukan secara serentak maka tanaman padi
akan lebih mudah terkena serangan hama penyakit seperti wereng dan walang sangit.
Dengan tanam serentak maka siklus hama seperti wereng dan walang sangit dapat
diputus untuk sementara waktu. Pada pola tanam padi-padi-padi lahan tidak dibiarkan
untuk istirahat, jadi setelah panen usai petani segera mengolah tanahnya kembali agar
dapat ditanami lagi pada musim berikutnya. Mereka sudah mempersiapkan tempat
pembibitan terlebih dahulu dengan cara memanen lebih awal sebagian kecil padi
mereka, atau mereka membeli benih yang berasal dari daerah lain.
Pola tanam padi-padi-palawija biasanya dilakukan oleh petani sawah irigasi
yang pada MT III atau musim kemarau suplai air pada lahan mereka tidak mencukupi
bila ditanami dengan tanaman padi, jadi mereka beralih pada tanaman yang kebutuhan
airnya tidak terlalu banyak yaitu tanaman palawija. Pada saat MT I dan MT II
ketersediaan air masih melimpah karena saluran irigasi mengalir deras sebagai akibat
musim penghujan sehingga air irigasi cukup untuk memenuhi semua lahan petani
walaupun sawah petani terletak jauh dari saluran irigasi, tidak jarang pada musim ini
petani malah membuang air dari sawahnya karena merasa kelebihan, oleh karena itu
pada musim tersebut petani cenderung menanam padi.
55
Memasuki MT III ketersediaan air pada sumber irigasi mulai berkurang
sehingga petani yang letak sawahnya jauh dari saluran irigasi akan mengalami
kekurangan air sehingga tidak memungkinkan untuk mereka menanam padi. Sehingga
pada MT III tersebut petani lebih memilih menanam palawija, kalaupun ada petani yang
nekat menanam padi mereka harus mengeluarkan biaya tambahan yaitu biaya untuk
menyedot air dari saluran irigasi menggunakan pompa air. Jenis palawija yang ditanam
petani di Kecamatan Sambi salah satunya adalah tanaman bawang merah. Jenis tanaman
ini tidak terlalu membutuhkan air yang banyak, karena jika terlalu banyak air maka
tanaman ini akan busuk. Bawang merah adalah tanaman yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi oleh sebab itu banyak petani yang mengusahakannya, akan tetapi
untuk mengusahakan jenis tanaman ini diperlukan modal yang cukup tinggi.
B. Pola Tanam Pada Sawah Tadah Hujan (Non Irigasi)
Tabel 6.2. Pola Tanam Tanaman Semusim dan Rerata Luas Tanam Petani pada Sawah Tadah Hujan di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Keterangan Komoditas Luas tanam (m2)
1 MT I(November-Februari)
Padi 2838,45Jagung 537,50
Kedelai 15,00
2 MT II Padi 2786,00(Maret-Juni) Jagung 208,74
Kedelai 93,75Kacang tanah 46,25Kacang hijau 100,00
3 MT III Kacang hujau 187,50(Juli-Oktober)
Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 6.2 dapat diketahui bahwa pola tanam yang dipergunakan
petani pada sawah tadah hujan di Kecamatan Sambi dalam satu tahun adalah sebagai
berikut.
1. Padi-Padi
2. Padi-Palawija
3. Palawija-Padi
4. Padi-Padi-Palawija (kacang hijau)
56
Pola tanam padi-padi dipakai oleh sebagian besar petani pada sawah tadah
hujan. Pola tanam ini mungkin dilakukan pada jenis sawah yang mempunyai kualitas
yang baik dan apabila air hujan yang turun mencukupi sampai MT I dan MT II
berakhir. Pada pola tanam seperti ini bisanya padi yang ditanam adalah jenis padi yang
mempunyai umur pendek, padi yang biasa ditanam oleh petani antara lain jenis padi
Unggul, IR-64 dan Ciherang. Jenis padi tersebut bisa dipanen dalam jangka waktu 3-4
bulan. Pada MT I padi ditanam dengan cara Gogo Rancah yaitu benih padi langsung
ditanam ke lahan sawah tanpa melalui proses pembibitan, padi yang ditanam dengan
cara ini relatif tahan terhadap kekeringan, penanaman dengan cara ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan air pada awal tanam. Selain itu
penanaman dengan cara Gogo Rancah dimaksudkan untuk menghemat waktu karena
tidak memerlukan pembibitan terlebih dahulu, agar tanam MT II dapat segera dimulai
dengan harapan air hujan yang turun dapat mencukupi padi MT II.
Untuk padi pada MT II ditanam dengan cara yang biasa dilakukan yaitu dimulai
terlebih dahulu dengan pembibitan bukan dengan cara Gogo Rancah. Apabila air hujan
dapat mencukupi sampai panen maka hasil yang diperoleh akan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan MT I, akan tetapi bila air hujan tidak mencukupi maka hasilnya
akan lebih rendah atau bahkan tanaman padi akan mengalami puso atau gagal panen.
Memasuki MT III atau musim kemarau, sawah tadah hujan tidak dapat ditanami karena
pada lahan tersebut tidak ada air sama sekali, sehingga sawah dibiarkan bero.
Pada pola tanam padi-palawija, pada MT I, tanaman padi ditanam layaknya padi
sawah, yaitu dimulai dengan olah tanah yang matang dan pembibitan terlebih dahulu.
Padi sawah mempunyai waktu yang lebih lama dari pembibitan sampai panen bila
dibandingkan dengan penanaman dengan gogo rancah. Pada MT II petani tidak berani
untuk menanam padi lagi karena takut ketersediaan air tidak mencukupi. Petani lebih
memilih tanaman palawija yang tidak terlalu memburuhkan air dalam jumlah yang
banyak, walaupun nilai ekonomisnya lebih rendah dibandingkan dengan tanaman padi.
Tanaman palawija yang ditanam adalah kacang tanah, kedelai, jagung dan kacang
hijau. Jenis tanaman tersebut tidak terlalu membutuhkan air yang banyak, sehingga pada
MT II petani tetap bisa panen walaupun bukan panen tanaman padi. Pada MT III sawah
dibiarkan tidak ditanami atau sawah dibiarkan bero.
57
Pada pola tanam palawija, MT I petani lebih memilih menanam palawija.
Tanaman palawija yang biasa ditanam adalah tanaman jagung. Palawija memiliki umur
yang relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan tanaman padi. Sehingga setelah
palawija dipanen, sawah dapat segera ditanami padi. Cara demikian dipakai agar padi
yang ditanam pada MT II dapat lebih awal ditanam untuk mengatisipasi kurangnya air
seiring dengan musim kemarau yang datang. Petani berharap dengan lebih awal mereka
memanam padi pada MT II maka air hujan akan mencukupi tanaman sampai padi dapat
dipanen. Sedangkan pada MT III atau musim kemarau lahan sawah dibiarkan bero.
Pada pola tanam padi-padi-palawija biasanya dilakukan oleh petani apabila
setelah panen padi MT II, air hujan masih turun walaupun jumlahnya sangat sedikit.
Pada MT I padi ditanam secara gogo rancah, jenis padi yang ditanam adalah jenis padi
unggul yang mempunyai umur yang pendek sehingga dapat dipanen dalam jangka
waktu 3-4 bulan. Pada MT II padi ditanam seperti biasa tidak ditanam secara gogo
rancah. Pada musim tersebut jenis tanaman padi yang ditanam dalah jenis padi yang
juga berumur pendek, sehingga sesudah panen apabila air hujan masih tersedia, lahan
dapat segera ditanami dengan palawija. Jenis palawija yang ditanam adalah palawija
yang tahan kering dan hanya membutuhkan air pada awal pertumbuhannya saja. Salah
satu tanaman yang cocok adalah tanaman kacang hijau. Jenis tanaman tersebut sangat
tahan terhadap kekeringan dan tidak terlalu rumit budidayanya. Tanaman ini hanya
perlu pupuk kandang dan pupuk buah saja selama pertumbuhannya, sehingga biaya
saprodi yang dikeluarkan juga sedikit.
58
VII. PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN
PETANI
A. Produktivitas Tanaman
Produksi tanaman adalah hasil yang mampu diberikan suatu tanaman ketika
tanaman tersebut dipanen hasilnya. Produksi tanaman sangatlah beragam, produksi
tanaman pada lahan sawah sangat dipengaruhi oleh kualitas lahan itu sendiri,
ketersediaan air, penggunaan saprodi pertanian, serangan hama penyakit, pemeliharaan
dan sebagainya. Sedangkan produktivitas adalah jumlah produksi tanaman tiap luas
lahan yang diusahakan, biasanya dihitung tiap hektar.
1. Penggunaan Faktor Produksi Pertanian
Selain ketersediaan air untuk pertanian, penggunaam faktor produksi pertanian
yaitu tenaga kerja, pupuk, benih dan pestisida akan sangat mementukan produksi
tanaman. Dengan pupuk yang berimbang, penggunaan bibit unggul dan pemakaian
pestisida yang tidak berlebihan serta ditunjang ketersediaan air yang cukup maka
produksi pertanian dapat meningkat.
Tabel 7.1. Rerata Penggunaan Faktor Produksi Usahatani per Hektar pada Sawah Irigasi dan Tadah Hujan di Kecamatan Sambi Tahun 2009.
No
Faktor produksi
Irigasi Tadah hujanMT I MT II MT III MT I MT II MT II
1 Benih (Kg) 57 57 68 86 86 0,82 Pupuk (Kg) 782 786.5 900,5 779 845 -3 Pestisida (Lt) 2.84 2.84 2.81 1,78 1.56 -4 TKDK (HKO) 18 14 17 66 43 25 TKLK (HKO) 96 96 96 110 87 2
Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 7.1 dapat diketahui bahwa untuk kebutuhan benih per musim
tanam, untuk daerah irigasi memerlukan bibit yang lebih sedikit jika dibandingkan pada
daerah tadah hujan. Hal ini disebabkan pada lahan tadah hujan penanaman bibit
59
khususnya padi dilakukan lebih rapat sehingga memerlukan benih yang lebih banyak.
Oleh petani hal ini dimaksudkan agar produksi tanaman menjadi lebih banyak.
Untuk kebutuhan pupuk permusim tanam pada sawah irigasi dan non irigasi
jumlahnya hampir berimbang. Pada daerah tadah hujan penggunaan pupuk pada MT II
lebih banyak dibandingkan MT I, hal ini dapat terjadi karena pada MT I padi ditanam
dengan cara gogo rancah sedang pada MT II padi ditanam dengan cara biasa. Untuk
daerah irigasi penggunaan pupuk pada MT III paling banyak, karena pada musim III
petani lebih berani dalam memupuk agar tanaman lebih subur tanpa takut tanaman akan
rubuh akibat hujan.
Untuk penggunaan pestisida, petani melihat terlebih dahulu kondisi tanaman,
apabila tidak terjadi serangan berat maka petani jarang menggunakan pestisida. Apabila
dilihat dari jumlah pestisida yang dipakai, petani pada lahan irigasi lebih banyak
memakai pestisida dibandingkan pada sawah tadah hujan, karena pada sawah irigasi
serangan hama penyakit lebih tinggi dibandingkan pada sawah tadah hujan sebagai
akibat penanaman terus-menerus pada lahan tanpa ada jeda waktu untuk
mengistirahatkan lahan.
Dari penggunaan tenaga kerja, pada sawah tadah hujan cenderung memerlukan
tenaga kerja yang lebih banyak jika dibandingkan pada sawah tadah hujan, karena pada
sawah tadah hujan pengolahan lahannya lebih sulit karena ketersediaan air yang kurang.
Pada sawah tadah hujan penggunaan tenagakerja dalam keluarga lebih banyak
dibandingkan pada sawah irigasi. Hal ini dimaksudkan agar biaya yang dikeluarkan
untuk membayar tenaga kerja luar keluarga dapat ditekan sehingga tidak mengurangi
pendapatan petani.
2. Produktivitas Tanaman
Rerata produktivitas sawah untuk tanaman semusim pada lahan irigasi dan tadah
hujan per musim tanam di Kecamatan Sambi dapat dilihat pada tabel 7.2.
Tabel 7.2. Rerata Produksi dan Produktivitas Sawah Untuk Tanaman padi pada Lahan Irigasi dan Tadah Hujan per Musim Tanam Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Keterangan Sawah irigasi Sawah tadah hujan
t-hitungProduksi (kg)
Produktivitas/ha (kg)
Produksi (kg)
Produktivitas/ha (kg)
1 MT I 2310,23 5056,63 1129,71 3085,06 2,79159*2 MT II 2488,15 5419,07 1072,06 2982,14 4,65188*3 MT III 2974,37 5998,76 - - 19,84489*
60
4 Setahun 7772,76 16474,46 2201,77 6067,20 10,36983*Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009Keterangan : * = signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
Berdasarkan tabel 7.2 dapat diketahui bahwa produktivitas tanaman semusim
khususnya tanaman padi pada daerah atau sawah irigasi lebih tinggi jika dibandingkan
dengan produktivitas pada sawah tadah hujan. Apabila dibandingkan produktivitas tiap
musim tanamnya, maka dapat diketahui bahwa produktivitas pada sawah irigasi lebih
tinggi dari sawah tadah hujan, untuk jumlahnya hampir dua kali lipatnya, dan apabila
produktivitas dibandingkan secara keseluruhan maka dapat diketahui bahwa
produktivitas pada sawah irigasi jauh lebih tinggi dibandingkan sawah tadah hujan,
sebab intensitas tanam pada sawah irigasi lebih tinggi dari sawah tadah hujan.
Disamping faktor penggunaan saprodi pertanian seperti pupuk, pestisida dan lain-lain,
ketersediaan air sangatlah berpengaruh pada produksi tanaman semusim khususnya
padi.
Berdasarkan hasil uji dua rerata antara produktivitas tanaman padi pada lahan
irigasi dan tadah hujan pada MT I di Kecamatan Sambi dapat diperoleh hasil bahwa
produksi pada lahan irigasi lebih tinggi daripada lahan tadah hujan pada tingkat
kepercayaan 99%. Hal ini disebabkan pupuk dan saprodi lainnya memberikan respon
yang maksimal terhadap tanaman padi pada sawah irigasi sehingga tanaman padi akan
memberikan hasil yang maksimal pula. Selain itu kualitas lahan pada sawah irigasi yang
lebih tinggi dibandingkan sawah tadah hujan karena sawah pada lahan irigasi senantiasa
teraliri air sepanjang tahun. Ketersediaan air pada MT I juga memberikan peranan
terhadap produksi padi, jika pada sawah irigasi air senantiasa tersedia sepanjang umur
padi, maka hal ini berbeda dengan yang terjadi pada sawah tadah hujan, hujan yang
turun kadang tidak menentu sehingga ketersediaan air kurang terjamin.
Berdasarkan uji dua rerata produktivitas padi MT II pada sawah irigasi dan tadah
hujan diperoleh hasil bahwa produktivitas padi pada sawah irigasi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan sawah tadah hujan pada tingkat kepercayaan 99%. Produksi padi
pada lahan tadah hujan pada MT II akan mengalami peningkatan jika air hujan
mencukupi sampai panen, tetapi jika air hujan tidak mencukupi maka produksinya akan
menurun sehingga rata-rata produksinya menurun. Jadi produksi padi MT II selain
61
tergantung pada penggunaan saprodi, produksi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air,
terutama air hujan yang turun.
Berdasarkan uji dua rerata produktivitas padi MT III pada lahan irigasi dan tadah
hujan diperoleh hasil bahwa produksi padi MT III pada sawah irigasi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan sawah tadah hujan pada tingkat kepercayaan 99%. Pada MT III
ini produksi padi pada lahan irigasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan MT I dan MT
II, hal tersebut dapat terjadi karena pada MT III penggunaan saprodi seperti pupuk dapat
dilakukan secara maksimal tanpa takut tanaman akan rubuh akibat hujan. Penanaman
padi pada MT III ini sering disebut dengan istilah gadu oleh petani, karena hasilnya
paling banyak dan harga jualnya paling tinggi dibandingkan musim tanam sebelumnya.
Sedangkan pada lahan tadah hujan, sawah tidak dapat berproduksi karena pada MT III
ini lahan tidak dapat ditanami dengan padi dan lahan dibiarkan bero, sebagai akibat
tidak tersedianya air hujan. Kalaupun masih memungkinkan untuk ditanamai maka
tanaman yang cocok adalah tanaman yang tahan dengan kekeringan seperti tanaman
kacang hijau.
Berdasarkan hasil uji dua rerata produktivitas padi selama setahun antara sawah
irigasi dengan sawah tadah hujan diperoleh hasil bahwa t hitung lebih besar
dibandingkan t tabel, maka Ho ditolak, dengan demikian selama satu tahun, produksi
pada lahan irigasi lebih tinggi daripada lahan tadah hujan pada tingkat kepercayaan
99%. Intensitas tanam sagat berpengaruh disini, pada lahan irigasi tanaman padi dapat
berproduksi sebanyak tiga kali sedangkan pada lahan tadah hujan tanaman padi hanya
dapat berproduksi sebanyak dua kali. Selain itu pada MT III lahan irigasi dapat
berproduksi paling banyak dibandingkan MT I dan MT II, sedangkan pada lahan tadah
hujan pada MT III lahan tidak dapat berproduksi. Hal tersebut yang menyebabkan
produksi khususnya padi dalam satu tahun pada lahan irigasi lebih tinggi dari lahan
tadah hujan.
B. Pendapatan Petani
Pendapatan petani banyak dipengaruhi oleh nilai produksinya dan biaya-biaya
yang dikeluarkan selama mengusahakan tanaman pertaniannya,semakin tinggi nilai
produksi dan semakin kecil biaya yang harus dikeluarkan untuk mengusahakan tanaman
maka semakin tinggi hasil atau pendapatan petani yang akan diterima, demikian juga
sebaliknya.
62
1. Nilai Produksi Tanaman Semusim
Besarnya nilai produksi suatu komoditas pertanian tergantung pada banyaknya
produksi dan harga jual komoditas pertanian tersebut, semakin banyak dan semakin
tinggi harga jual komoditas pertanian tersebut maka semakin tinggi pula nilai
produksinya. Besarnya nilai produksi tergantung pada besarnya harga tiap satuannya
(Kg). Rerata Nilai Produksi Sawah Untuk Tanaman Semusim pada Lahan Beririgasi dan
Tadah Hujan per Musim Tanam di Kecamatan Sambi Tahun 2009 dapat dilihat pada
tabel 7.3.
Tabel 7.3. Rerata Nilai Produksi Sawah Untuk Tanaman Semusim pada Lahan Beririgasi dan Tadah Hujan per Musim Tanam di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Keterangan Sawah irigasi Sawah tadah hujan
Jenis Komoditas Nilai Produksi (Rp)
Jenis Komoditas
Nilai Produksi (Rp)
1 MT I Padi 9.510.300 Padi 6.742.500Jagung 773.700Kedelai 103.125
2 MT II Padi 11.453.800 Padi 6.819.250Jagung 155.000Kedelai 216.000Kacang tanah 92.050Kacang hijau 83.300
3 MT III Padi 14.992.650 - -Bawang merah 1.488.800Kacang tanah 166.600
4 Setahun 37.612.150 15.029.925Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 7.3 dapat diketahui bahwa nilai produksi pada sawah
beririgasi selama satu tahun sebesar Rp 37.612.150, sedangkan pada sawah tadah hujan
sebesar Rp 15.029.925. Nilai produksi sawah irigasi dalam satu tahun jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan sawah tadah hujan, hal ini disebabkan sawah tadah hujan
selama satu tahun hanya dapat ditanami sebanyak dua kali saja yaitu pada musim tanam
I dan II saja. Selain itu produktivitas lahan pada sawah irigasi jauh lebih tinggi bila
dibandingkan dengan sawah tadah hujan sebagai akibat tersedianya air sepanjang tahun,
sehingga respon dari saprodi yang digunakan terhadap tanaman akan lebih terlihat.
2. Biaya Produksi Usaha Tani
63
Biaya produksi usaha tani tanaman semusim meliputi biaya tenaga kerja, biaya
saprodi pertanian (bibit, pupuk, pestisida), biaya penyusutan dan biaya lain-lain. Biaya
tenaga kerja meliputi biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan biaya tenaga kerja
luar keluarga (TKLK), akan tetapi biaya tenaga kerja yang dihitung hanya biaya tenaga
kerja luar keluarga saja karena menganut konsep farming farm. Biaya saprodi meliputi
biaya penggunaan bibit, pupuk, dan pestisida. Biaya penyusutan adalah biaya yang
dikeluarkan akibat penyusutan dari alat-alat pertanian yang digunakan. Sedangkan biaya
lain-lain meliputi biaya pajak tanah, sewa, iuran air, selamatan dan sebagainya.
a. Biaya Tenaga Kerja
Biaya tenaga kerja terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan
tanaga kerja luar keluarga (TKLK). Penggunaan tenaga kerja dan biaya tenaga kerja di
Kecamatan Sambi dapat dilihat pada tabel 7.4.
Tabel 7.4. Rerata penggunaan Tenaga Kerja dan Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga per Hektar pada sawah irigasi di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Musim tanam Sawah irigasiTKDK TKLK TK Ternak TK Mesin Biaya (Rp)
1 MT I 18 96 - 2 2.549.3002 MT II 14 96 - 2 2.559.0003 MT III 17 99 - 2 2.737.000
Total Setahun 49 291 - 6 7.845.300Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 7.4 dapat diketahui bahwa pada sawah irigasi, penggunaan
tenaga kerja dalam keluarga dalam satu tahun tiap hektarnya sebanyak 49 orang, untuk
tenaga kerja luar keluarga sebanyak 291 orang dan untuk mengolah sawahnya
digunakan traktor sebanyak 6 hari kerja. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
kebutuhan tenaga kerja selain tenaga kerja dalam keluarga sebanyak Rp 7.845.300.
Tabel 7.5. Rerata penggunaan Tenaga Kerja dan Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga per Hektar pada sawah tadah hujan di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Musim tanam Sawah tadah hujanTKDK TKLK TK Ternak TK Mesin Biaya (Rp)
1 MT I 66 110 2 2 3.085.6002 MT II 43 87 2 2 3.033.3003 MT III - - - - -
Total Setahun 109 197 4 4 6.140.900Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
64
Berdasarkan tabel 7.5 dapat diketahui bahwa pada sawah tadah hujan
penggunaan tenaga kerja dalam keluarga sebanyak 96 orang, tenaga kerja luar keluarga
sebanyak 172 orang tenaga ternak sebanyak 4, dan tenaga mesin sebanyak 3. Besarnya
biaya untuk kebutuhan tenaga kerja sebesar Rp 6.140.900. Pada lahan tadah hujan,
penggunaan tenaga kerja dalam keluarga sangat dioptimalkan, petani beralasan apabila
mereka terlalu banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga maka dapat mengurangi
pendapatan dari usahataninya.
Apabila dibandingkan dengan sawah irigasi, besarnya biaya yang digunakan
untuk kebutuhan tenaga kerja akan lebih sedikit jumlahnya. Hal itu di sebabkan pada
sawah irigasi petani dapat bercocok tanam hingga tiga kali sedangkan pada sawah tadah
hujan hanya dua kali saja. Selain itu pada sawah tadah hujan penggunaan tenaga kerja
dalam keluarga sangat dimaksimalkan dan penggunaan tenaga kerja luar keluarga
sangat diminimalkan dengan tujuan agar pendapatan yang nantinya diterima oleh petani
tidak berkurang terlalu banyak sebagai akibat untuk membayar biaya tenaga kerja. Akan
tetapi kalau dilihan curahan tenaga kerja per musim tanam kebutuhan tanaga kerja pada
sawah tadah hujan lebih tinggi, karena pengolahan lahan lebih berat sebagai akibat
tanah yang diolah sebelumnya adalah tanah kering akibat tidak ada hujan. Selain itu
kebutuhan tenaga kerja untuk pemeliharaan tanaman sangat tinggi terutama pada saat
penyiangan, karena gulma yang tumbuh pada sawah tadah hujan sangat banyak dan
untuk mencabut atau memberantas lebih sulit dibandingkan pada sawah irigasi.
b. Biaya Sarana Produksi Pertanian
Biaya saprodi adalah biaya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
tanaman pertanian agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi maksimal. Biaya
saprodi meliputi biaya untuk kebutuhan benih, pupuk dan pestisida. Biaya saprodi
paling banyak dikeluarkan untuk memnuhi kebutuhan pupuk, jenis pupuk yang biasa
digunakan adalah Urea, TSP, ZA, Phonska, Organik dan KCl, walaupun ada pula yang
memakai pupuk selain yang disebutkan diatas misalnya pupuk cair dan pupuk pelangi.
Rerata penggunaan saprodi beserta jumlah biaya yang dikeluarkan untuk saprodi dapat
dilihat dalam tabel 7.6.
Tabel 7.6. Rerata Penggunaan Saprodi dan Biaya Saprodi per Hektar pada Sawah Irigasi di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Musim Sawah irigasi
65
tanamBibit (Kg) Biaya (Rp) Pupuk (Rp) Pestisida (Rp)
1 MT I 57 316.800 1.058.500 239.6002 MT II 57 318.500 1.051.800 239.6003 MT III 68 630.000 1.170.800 241.500
Total Setahun 182 1.265.300 3.281.100 720.700Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 7.6 dapat diketahui bahwa total biaya saprodi yang
dikeluarkan petani sawah irigasi di Kecamatan Sambi adalah sebesar Rp 5.267.100
dengan perincian sebesar Rp 1.265.300 untuk kebutuhan bibit, Rp 3.281.100 untuk
kebutuhan pupuk dan Rp 720.700 untuk kebutuhan pestisida. Bila dilihat kebutuhan
pupuk tiap musimnya dapat diketahui bahwa kebutuhan pupuk paling banyak yaitu pada
musim tanam III, hal ini disebabkan karena hujan tidak turun pada musim ini sehingga
petani lebih berani dalam memupuk agar tanamannya dapat tumbuh lebih subur tanpa
takut tanaman akan rubuh karena terkena air hujan.
Tabel 7.7. Rerata Penggunaan Saprodi dan Biaya Saprodi per Hektar pada Sawah Tadah Hujan di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Musim tanam Sawah tadah hujanBibit (Kg) Biaya (Rp) Pupuk (Rp) Pestisida (Rp)
1 MT I 88 338.600 1.087.800 156.5002 MT II 88 338.600 965.500 125.7003 MT III - - 0 -
Total Setahun 176 681.700 2.053.300 282.650Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 7.7 dapat diketahui bahwa total pengeluaran petani tadah
hujan untul pengadaan saprodi sebesar Rp 3.017.650. Dengan rincian Rp 681.700 untuk
bibit, Rp 2.053.300 untuk pupuk dan Rp 282.650 untuk pestisida. Bila dibandingkan
dengan sawah irigasi jumlah biaya saprodi sawah tadah hujan jauh lebih kecil
jumlahnya, hal tersebut terjadi karena pada sawah tadah hujan hanya ditanami sebanyak
2 kali saja sehingga kebutuhan saprodinya hanya untuk dua kali musim tanam saja.
Berdasarkan tabel 7.6 dan tabel 7.7 dapat diketahui bahwa kebutuhan bibit pada
sawah irigasi lebih tinggi dibandingkan dengan sawah tadah hujan. Hal ini disebabkan
pada daerah tadah hujan tanaman khususnya padi ditanam lebih rapat dengan harapan
hasilnya nanti juga akan lebih banyak sehingga kebutuhan akan bibit pun lebih banyak.
Akan tetapi bila dilihat dari besarnya biaya untuk kebutuhan bibit, pada sawah irigasi
66
sedikit lebih tinggi dibandingkan sawah tadah hujan. Hal ini disebabkan pada sawah
irigasi menggunakan bibit unggul yang disediakan pemerintah yang harganya cukup
mahal, sedangkan petani di daerah tadah hujan cenderung menggunakan bibit biasa dari
hasil panen mereka sendiri.
c. Biaya Penyusutan
Biaya penyusutan adalah biaya yang terjadi karena penggunaan alat dalam hal
ini alat pertanian, dan alat itu mempunyai jangka waktu pakai, sehingga suatu saat perlu
biaya untuk membeli alat serupa. Pada darah irigasi rerata besarnya biaya penyusutan
yang harus dikeluarkan oleh petani setiap tahunnya yaitu sebesar Rp 49.500, sedangkan
pada daerah tadah hujan yaitu sebesar Rp 41.150. Besarnya biaya penyusutan yang
harus dikeluarkan oleh petani tergantung pada banyak dan harga alat-alat pertanian yang
dimiliki.
d. Biaya Lain-lain
Biaya lain-lain adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani selain untuk keperluan
tenaga kerja dan saprodi. Biaya ini meliputi biaya pajak, iuran air, selamatan dan
sebagainya. Untuk daerah irigasi rerata pengeluaran petani untuk biaya pajak sebesar Rp
231.900. Untuk biaya iuran air sebesar Rp 50.000. Untuk lain-lain sebesar Rp 312.000.
Sedangkan pada daerah tadah hujan petani rata-rata mengeluarkan biaya untuk pajak
sebesar Rp 176.500 dan untuk lain-lain sebesar Rp 39.000. Petani di daerah tadah hujan
tidak mengeluarkan biaya untuk iuran air karena pada daerah tersebut tidak terdapat
saluran air atau jaringan irigasi. Petani di Kecamatan Sambi tidak mengeluarkan biaya
untuk selamatan karena budaya tersebut sudah ditinggalkan seiring dengan
perkembangan jaman. Dilihat dari besarnya jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh
petani dapat diketahui bahwa petani di daerah irigasi mengeluarkan biaya pajak yang
lebih tinggi dari pada daerah tadah hujan, sebab kelas tanah pada daerah irigasi lebih
tinggi sehingga berdampak pula pajak yang harus dikeluarkan juga lebih tinggi.
3. Pendapatan Usaha Tani Tanaman Semusim Pada Lahan Sawah
Pendapatan usaha tani pada lahan sawah adalah selisih antara nilai produksi
dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam mengusahakan pertaniannya pada
67
lahan sawah. Besarnya pendapatan yang diperoleh sangat tergantung pada besarnya
nilai produksi dan total biaya produksinya. Rerata pendapatan usaha tani tanaman
semusim pada sawah irigasi di Kecamatan Sambi dapat dilihat pada tabel 7.8.
Sedangkan rerata pendapatan usaha tani tanaman semusim pada sawah tadah hujan
dapat dilihat pada tabel 7.9.
Tabel 7.8. Pendapatan Rata-rata Usaha Tani Tanaman Semusim per Hektar pada Sawah Irigasi Keluarga Petani di Kecamatan Sambi 2009
No Keterangan MT I MT II MT III Total setahun 1 Nilai Produksi
(A)9.510.300 11.453.800
16.648.050
37.612.150
2 Biayaa. Tenaga Kerja 2.549.300 2.559.000 2.737.000 7.845.300b. Saprodi 1.614.900 1.609.900 2.042.300 5.267.100c. Penyusutan 16.500 16.500 16.500 49.500d. Lain-lain 198.000 198.000 198.000 594.000
3 TOTAL Biaya (B)
4.378.700 4.383.400 4.933.800 13.775.900
4Pendapatan (A-B) 5.131.600 7.070.400
11.654.250
23.856.250
Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Tabel 7.9. Pendapatan Rata-rata Usaha Tani Tanaman Semusim per Hektar pada Sawah Tadah Hujan Keluarga Petani di Kecamatan Sambi 2009
No Keterangan MT I MT II MT III Total setahun1 Nilai Produksi
(A)7.619.325 7.365.600 -
15.029.9252 Biaya -
a. Tenaga Kerja 3.085.600 3.033.300 6.140.900b. Saprodi 1.582.900 1.429.800 3.017.650c. Penyusutan 13.700 13.700 41.100e. Lain-lain 71.850 71.850 215.550
3 TOTAL Biaya (B)
4.754.050 4.548.650 -9.415.200
4 Pendapatan (A-B) 2.865.275 2.816.950 - 5.682.225Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009
Berdasarkan tabel 7.8 dan tabel 7.9 dapat diketahui bahwa pendapatan petani
dari lahan sawah irigasi selama satu tahun adalah sebesar Rp 23.856.350. Jumlah ini
jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan petani dari sawah tadah hujan
yang jumlahnya hanya sebesar Rp 5.682.225. Hal ini disebabkan karena produktivitas
pada sawah irigasi jumlahnya bisa dua kali lipat jika dibandingkan sawah irigasi sebagai
68
akibat tercukupinya kebutuhan air sepanjang tahun dan kualitas tanah yang mendukung.
Selain itu jumlah musim tanam (intensitas tanam) yang dapat diusahakan tiap tahunnya
juga berbeda, pada sawah tadah hujan dalam satu tahun bisa menanam sampai tiga kali,
sedang pada sawah tadah hujan hanya dua kali saja.
C. Uji Dua Rerata Pendapatan Usaha Tani
Untuk membuktikan hipotesis pendapatan usahatani pada sawah irigasi lebih
besar dari sawah tadah hujan maka selain menggunakan analisis tabel, juga digunakan
pengujian statistik dengan uji-t. Uji ini bertujuan untuk membuktikan apakah usahatani
pada sawah irigasi dan tadah hujan ada beda nyata, yang berarti usaha tani pada sawah
irigasi lebih baik dibandingkan sawah tadah hujan. Jika tidak ada beda nyata berarti
usahatani pada sawah irigasi sama dengan sawah tadah hujan.
Tabel 7.10. Rerata pendapatan Usaha Tani Tanaman Semusim per Hektar pada Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Keluarga Petani di Kecamatan Sambi 2009
No Keterangan Sawah irigasi Sawah tadah hujan
t-hitungPendapatan (Rp)
Pendapatan/ha (Rp)
Pendapatan (Rp)
Pendapatan/ha (Rp)
1 MT I 2.223.940 5.131.600 618.538 2.865.275 4,612859*2 MT II 3.042.113 7.070.400 706.690 2.816.950 6,164111*3 MT III 4.531.092 11.654.250 - - 13,411311*4 Setahun 9.797.145 23.856.250 1.325.228 5.682.225 9,400524*
Sumber : Analisis Data Primer Kecamatan Sambi September 2009Keterangan : * = signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
Berdasarkan hasil uji dua rerata pada tabel 7.10 diperoleh hasil bahwa t hitung
lebih besar jika dibandingkan dengan t tabel, dengan demikian Ho ditolak, maka
pendapatan petani MT I pada sawah irigasi lebih besar daripada daerah tadah hujan
pada tingkat signifikasi 1%. Pada MT II, t hitung (6.164) lebih besar dari t tabel (2.428),
berarti Ho ditolak, dengan demikian pendapatan petani MT II pada sawah irigasi lebih
tinggi daripada sawah tadah hujan pada tingkat signifkasi 1%. Pada musim tanam ini
harga jual komoditas khususnya padi lebih tinggi dibandingkan MT I.
Pada MT III, berdasarkan hasil uji dua rerata diketahui bahwa t hitung (13.411)
lebih besar dari t tabel (2.428), berarti Ho ditolak, maka pendapatan petani MT III pada
sawah irigasi lebih tinggi daripada sawah tadah hujan. Penerimaan petani pada MT III
paling tinggi dibandingkan musim-musim sebelumnya. Hal ini disebabkan produksi dan
harga jual padi lebih tinggi dibandingkan musim sebelumnya. Tingginya harga jual
69
disebabkan panen padi hanya dapat dilakukan pada lahan irigasi saja. Sedangkan pada
lahan tadah hujan, sawah tidak dapat ditanami tanaman padi, pada kondisi ini sawah
dibiarkan bero.
Berdasarkan tabel 7.10 dapat diketahui bahwa t hitung (9.400) lebih besar dari t
tabel (2.428), berarti Ho ditolak, maka pendapatan petani dalam satu tahun pada sawah
irigasi lebih tinggi daripada sawah tadah hujan pada tingkat kepercayaan 99%. Hal ini
jelas terjadi karena intensitas tanam pada sawah irigasi lebih tinggi dibandingkan sawah
tadah hujan, pada sawah irigasi dalam satu tahun dapat berproduksi sebanyak tiga kali
sedangkan pada sawah tadah hujan dalam satu tahun hanya dapat berproduksi sebanyak
dua kali saja. Selain itu pada sawah irigasi, produksi khususnya padi pada musim tanam
III jumlahnya paling banyak dan nilai jualnya paling tinggi dibandingkan musim tanam
I dan II, sedangkan pada sawah tadah hujan, sawah tidak dapat berproduksi dan
dibiarkan bero sehingga tidak memberikan penghasilan bagi petani. Penggunaan tenaga
kerja pada lahan tadah hujan tiap musimnya juga lebih tinggi dibandingkan pada lahan
irigasi, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani. Tingginya biaya yang harus
dikeluarkan petani pada lahan tadah hujan disebabkan lebih sulitnya dalam pengolahan
tanah dan pemeliharaan tanaman khususnya pada saat penyiangan pada komoditas
tanaman yang diusahakan.
70
VIII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN PENDAPATAN
USAHATANI
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam produksi dan
pendapatan usahatani khususnya usahtani padi dapat dilihat dari hasil analisis fungsi
produktivitas dan analisis fungsi pendapatan usahatani. Analisis regresi terhadap
produksi dan pendapatan tersebut dilakuakan dengan program SPSS.
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Padi.
Dalam analisis fungsi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
usahatani padi ini, produksi/produktivitas padi sebagai variabel dependen. Sedangkan
yang bertindak sebagai variabel independen antara lain: luas lahan, jumlah tenaga kerja,
jumlah benih, jumlah pupuk, jumlah pestisida, umur, tingkat pendidikan, jumlah
anggota keluarga, dengan musim tanam dan irigasi sebagai variabel dummy.
Analisis fungsi produksi terbagi dalam 3 model yang masing-masing akan
dibandingkan. Model I adalah fungsi produksi pada sawah irigasi dengan dummy
musim tanam. Model II adalah fungsi produksi pada sawah tadah hujan dengan dummy
musim tanam. Model III adalah fungsi produksi gabungan antara sawah irigasi dengan
sawah tadah hujan dengan dummy irigasi dan dummy musim tanam. Analisis regresi
Model III digunakan untuk mengetahui pengaruh ketersediaan air irigasi terhadap
produksi padi yaitu pada sawah irigasi dengan sawah tadah hujan.
71
Tabel 8.1. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Variabel bebas Koefisien regresiModel I Model II Model III
1 Luas lahan 0,775* 0,835* 0,793*(9,033) (6,494) (13,269)
2 Jumlah tenaga kerja 0,093ns 0,002ns 0,069**(1,229) (1,011) (2,122)
3 Jumlah benih 0,199* 0,003ns 0,167*(3,775) (0,766) (3,313)
4 Jumlah urea -0,035** -0,001ns -0,027ns(-2,330) (-0,806) (-2,143)
5 Jumlah TSP -0,018** -0,002ns -0,026*(-2,109) (-1,564) (-3,271)
6 Jumlah Za -0,027* 0,003ns -0,015**(-3,617) (1,385) (-2,138)
7 Jumlah Phonska 0,018** 0,001ns 0,008ns(2,034) (0,694) (1,232)
8 Jumlah pupuk organik -0,006ns -0,001ns -0,011ns(-0,285) (-0,315) (-0,657)
9 Jumlah KCl 0,006ns 0,001ns 0,002ns(0,630) (0,440) (0,285)
10 Jumlah pestisida 0,025ns -0,095ns 0,025ns(0,678) (-1,489) (0,964)
11 Umur -0,406* -0,005ns -0,309**(-2,856) (-0,943) (-2,281)
12 Tingkat pendidikan 0,056** 0,010ns 0,053**(2,463) (0,784) (2,211)
13 Jumlah anggota keluarga -0,261* -0,016ns -0,151*(-3,954) (-0,357) (-2,753)
14 Dummy musim tanam I dan II -0,081ns 0,076ns -0,308ns(-1,362) (0,871) (-0,950)
Dummy musim tanam II dan III
-0,176* - -
(-2,823) - -
72
15 Dummy irigasi - - 0,413*- - (6,735)
16 Konstanta 2,138* 0,454ns 1,252***(2,743) (0,456) (1,759)
17 Adjusted R2 0,900 0,605 0,84718 F sig 73,633 8,661* 68,572*
Sumber: Analisis Data Primer Kecamatan Sambi 2009
Keterangan: * : signifikan pada tingkat kepercayaan 99% ** : signifikan pada tingkat kepercayaan 95%*** : signifikan pada tingkat kepercayaan 90%ns : tidak signifikanAngka dalam kurung = nilai t hitung
Berdasarkan tabel 8.1 diketahui bahwa persamaan fungsi produksi padi di
Kecamatan Sambi tahun 2009 adalah sebagai berikut.
1. Model I:
LnY = 2,138 + 0,775 LnX1 + 0,093 LnX2 + 1,19 LnX3 – 0,035 LnX4 – 0,018 LnX5 –
0,27 LnX6 +0,018 LnX7 - 0,006 Ln X8 + 0,006 LnX9 + 0,025 LnX10 – 0,406
LnX11 + 0,056 LnX12 – 0,261 LnX13 – 0,081 D-mt1 – 0,176 D-mt2 + μ
2. Model II:
LnY = 0,454 + 0,835 LnX1 + 0,002 LnX2 + 0,003 LnX3 – 0,001 LnX4 – 0,002 LnX5
+ 0,003 LnX6 + 0,001 LnX7 – 0,001 LnX8 + 0,001 LnX9 – 0,095 LnX10 –
0,005 LnX11 + 0,010 LnX12 – 0,016 LnX13 + 0,76 D-mt + μ
3. Model III :
LnY = 1,252 + 0,793 LnX1 + 0,069 LnX2 + 0,167 LnX3 – 0,027 LnX4 – 0,026 LnX5
– 0,015 LnX6 + 0,008 LnX7 - 0,011 LnX8 + 0,002 LnX9 + 0,025 LnX10 –
0,309 LnX11 + 0,053 LnX12 – 0,151 LnX13 – 0,308 D-mt + 0,413 D-irig + μ
Berdasarkan hasil analisis regresi pada ketiga model, diperoleh nilai adjusted R2
sebesar 0,605 – 0,900, dengan demikian model regresi tersebut dapat dengan baik
memprediksi nilai aktualnya, dengan kata lain 60,5% - 90,0% variabel dependen
(produksi) mampu dijelaskan oleh variabel independennya (luas lahan, jumlah
tenagakerja, jumlah pupuk, jumlah benih, jumlah pestisida, umur, tingkat pendidikan,
jumlah kelurga dan dummy) sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain diluar
model.
Untuk F test diperoleh F hitung masing-masing model I, II, dan III sebesar
73,633; 8,661 dan 68,572 dengan tingkat signifikasi masing-masing sebesar 0,000,
73
karena probabilitasnya jauh lebih kecil dari 0,01, maka Ho ditolak. Dengan demikian
variabel independen (luas lahan, jumlah tenaga kerja, jumlah pupuk, jumlah benih,
jumlah pestisida, umur, tingkat pendidikan, jumlah kelurga dan dummy) secara
bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi, sehingga model
tersebut dapat digunakan untuk memprediksi produksi padi pada tingkat kepercayaan
99%.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen terhadap
variabel dependen maka digunakan uji t, dengan hipotesis Ho ditolak jika t hitung > t
tabel, dan Ho diterima jika t hitung < t tabel.
1. Luas Lahan
Berdasarkan hasil analisis regresi pada Model I, II, dan III diketahui bahwa nilai
sig variabel luas lahan adalah 0,000; 0,000 dan 0,000 sehingga probabilitasnya jauh
dibawah 0,01, maka Ho ditolak. Dengan demikian luas lahan berpengaruh secara
signifikan terhadap produksi padi pada tingkat kepercayaan 99%. Kofisien luas lahan
dari ketiga model tersebut adalah bernilai positif (0,775; 0,835 dan 0,793), berarti setiap
terjadi penambahan luas lahan sebanyak 10 % maka akan berakibat pada kenaikan
produksi padi sebesar 7,75 %; 8,35 %, dan 7,93 %.
2. Jumlah Tenaga Kerja
Nilai sig variabel tenaga kerja pada model III adalah 0,036 probabilitasnya jauh
dibawah 0,05, maka Ho ditolak. Dengan demikian jumlah tenaga kerja berpengaruh
secara signifikan terhadap produksi padi pada tingkat kepercayaan 95%. Koefisien
tenaga kerja sebesar 0,069, berarti apabila terjadi kenaikan jumlah tenaga kerja
sebanyak 10% akan mengakibatkan terjadinya kenaikan produksi padi sebanyak 0,69%.
Sedangkan variabel tenaga kerja pada Model I dan II tidak signifikan berpengaruh
terhadap produksi padi karena probabilitasnya jauh diatas 0,1.
3. Jumlah Benih
Nilai sig variabel jumlah benih pada Model I dan Model III adalah 0,000 dan
0,001, sehingga probabilitasnya dibawah 0,01, maka Ho ditolak. Dengan demikian
jumlah benih berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi pada tingkat
kepercayaan 99%. Karena koefisien regresinya bernilai positif (0,199 dan 0,167) maka
setiap terjadi kenaikan jumlah benih sebesar 10 % maka produksi padi akan naik 1.99%
dan 1,67%. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan penambahan jumlah benih maka
74
jumlah tanaman yang dapat ditanam akan lebih banyak sehingga produksinya juga
banyak. Untuk Model II, nilai sig variabel jumlah benih probabilitasnya diatas 0,1
sehingga jumlah benih tidak berpengaruh secara signifikan pada Model II
4. Jumlah Urea
Nilai sig varibel jumlah urea pada model I sebesar 0,022, sehingga
probabilitasnya dibawah 0,05 maka Ho ditolak. Dengan demikian jumlah urea
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi pada tingkat kepercayaan 95%.
Pada model II dan III probabilitasnya jauh diatas 0,1, sehingga Ho diterima. Dengan
demikian jumlah pupuk urea yang diberikan pada tanaman padi tidak memberika
pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi. Hal tersebut diduga disebabkan
Karena tanah atau lahan sudah jenuh dengan penggunaan pupuk kimia terutama urea.,
seperti diketahui bahwa urea adalah jenis pupuk yang paling banyak digunakan petani
pada usahtani.
5. Jumlah TSP
Nilai sig variabel jumlah TSP pada Model I dan III adalah 0,038 dan 0,001,
sehingga probabilitasnya dibawah 0,05 dan 0,01, maka Ho ditolak. Dengan demikian
jumlah TSP berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi pada tingkat
kepercayaan 95% dan 99%. Karena koefisien regresinya bernilai negatif maka setiap
penambahan jumlah TSP dapat menurunkan produksi padi. Hal tersebut diduga karena
lahan sawah sudah terlalu jenuh terhadap pemakaian pupuk kimia, sehingga kalau
pemupukan dengan TSP ditambah akan berakibat menurunnya produksi padi.
Sedangkan nilai sig jumlah TSP pada Model II, probabilitasnya jauh diatas 0,1 maka
pada kedua model tersebut jumlah TSP tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi
padi.
6. Jumlah ZA
Nilai sig variabel jumlah ZA pada Model I dan Model III masing-masing sebesar
0,000 dan 0,034, sehingga probabilitasnya jauh dibawah 0,01 dan 0,05, maka Ho
ditolak. Dengan demikan jumlah ZA berpengaruh terhadap produksi pada pada tingkat
kepercayaan 99% dan 95%. Karena koefisien regresinya bernilai negatif maka setiap
terjadi penambahan penggunaan pupuk Za dapat berakibat menurunnya produksi padi,
Sebab tanah sudah jenuh terhadap pupuk kimia yang semakin lama dapat menurunkan
kualitas tanah.
75
7. Jumlah Phonska
Nilai sig variabel jumlah Phonska pada Model I sebesar 0,045, sehingga
probabilitasnya jauh dibawah 0,05, maka Ho ditolak. Dengan demikan jumlah Phonska
berpengaruh terhadap produksi pada pada tingkat kepercayaan 95%. Karena koefisien
regresinya bernilai positif maka dengan penambahan pupuk phonska maka produksi
padi akan naik. Sedangkan pada Model II dan III jumlah phonska tidak berpengaruh
signifikan terhadap produksi padi. Diduga hal tersebut terjadi karena pupuk phonska
akan memberikan respon yang baik hanya pada lahan yang memiliki ketersediaan air
yang cukup sepanjang musim tanam.
8. Jumlah Pupuk Organik
Nilai sig pada variabel pupuk organik pada ketiga model, probabilitasnya jauh
diatas 0,1 sehingga Ho diterima. Dengan demikian penggunaan pupuk organik tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi. Hal tersebut diduga karena tanah
sudah terbiasa dengan penggunaan pupuk kimia, sehingga pengaruh pupuk organik
belum terlihat dan perlu waktu yang cukup lama untuk mengurangi ketergantungan
terhadap pupuk kimia.
9. Jumlah KCl
Nilai sig pada variabel pupuk KCl pada ketiga model, probabilitasnya jauh
diatas 0,1 sehingga Ho diterima. Dengan demikian penggunaan pupuk KCltidak
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi. Hal ini diduga karena pupuk KCl
tidak cocok untuk tanaman padi.
10. Jumlah Pestisida
Nilai sig pada variabel pestisida pada ketiga model, probabilitasnya jauh diatas
0,1 sehingga Ho diterima. Dengan demikian penggunaan pestisida tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap produksi padi.
11. Umur
Nilai sig variabel umur pada Model regresi I dan III adalah 0,005 dan 0,024,
sehingga probabilitasnya dibawah 0,01 dan 0,05, maka Ho ditolak. Sehingga umur
berpengaruh signifikan terhadap produksi padi pada tingkat kepercayaan 99% dan 95%.
Karena koefisien regresinya bernilai negatif maka semakin tinggi usia petani akan
mengakibatkan produksi padi menurun. Dengan bertambahnya umur maka akan
76
membuat produktivitas petani semakin menurun karena kemampuan fisik dan
psikologis yang terus turun seiring dengan bertambahnya usia.
12. Tingkat Pendidikan
Nilai sig variabel tingkat pendidikan pada Model I dan Model III masing-masing
sebesar 0,016 dan 0,028, sehingga probabilitasnya jauh dibawah 0,05, maka Ho ditolak.
Dengan demikan tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap produksi
pada pada tingkat kepercayaan 95%. Karena koefisien regresinya bernilai positif maka
dengan semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka produksi padi akan naik.
Dengan semakin tingginya pendidikan petani maka wawasan petani akan semakin luas
dan semakin mudah bagi petani untuk menerima inovasi dan teknologi baru yang pada
akhirnya dapat meningkatkan produksi pertaniannya.
13. Jumlah Anggota Keluarga
Nilai sig variabel jumlah anggota keluarga pada Model I dan Model III masing-
masing sebesar 0,000 dan 0,007, sehingga probabilitasnya jauh dibawah 0,01, maka Ho
ditolak. Dengan demikan jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap produksi pada
pada tingkat kepercayaan 99%. Karena koefisien regresi dari variabel jumlah anggota
keluarga bernilai negatif maka bertambahnya jumlah anggota keluarga petani dapat
mengakibatkan menurunnya produksi petani. Diduga dengan bertambahnya jumlah
anggota keluarga maka waktu yang digunakan petani untuk bertani akan berkurang
karena terlalu sibuk atau waktunya akan tersita untuk mengurusi anggota keluarganya.
14. Variabel Dummy Musim Tanam
Nilai sig variabel dummy musim tanam antara MT II dan III pada Model I
adalah 0,007 sehingga probabilitasnya dibawah 0,01. Dengan demikian antara musim
tanam II dan III berpengaruh signifikan terhadap produksi padi pada tingkat
kepercayaan 99%. Karena koefisien regresinya bernilai negatif maka produksi padi pada
Musim Tanam III (sebagai kontrol) lebih tinggi dibandingkan produksi pada Musim
Tanam II.
15. Variabel Dummy Irigasi
Nilai sig variabel dummy irigasi pada Model III adalah 0,000, sehingga
probabilitasnya jauh dibawah 0,01. Dengan demikian keberadaan sarana irigasi
berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Karena koefisien regresinya bernilai
77
positif maka produksi padi pada sawah beririgasi (sebagai kontrol) lebih tinggi
dibandingkan dengan sawah tadah hujan.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani
Dalam analisis fungsi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
petani, pendapatan petani sebagai variabel dependen. Sedangkan yang bertindak sebagai
variabel independen antara lain: luas lahan, upah tenaga kerja, harga benih, harga urea,
harga TSP, harga Za, harga Phonska, harga pupuk organik, harga KCl, harga pestisida,
umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dengan musim tanam dan irigasi
sebagai variabel dummy.
Analisis fungsi pendapatan terbagi dalam 3 model yang masing-masing akan
dibandingkan. Model I adalah fungsi pendapatan pada sawah irigasi dengan dummy
musim tanam. Model II adalah fungsi pendapatan pada sawah tadah hujan dengan
dummy musim tanam. Model III adalah fungsi pendapatan gabungan antara sawah
irigasi dengan sawah tadah hujan dengan dummy irigasi dan dummy musim tanam.
Analisis regresi Model III digunakan untuk mengetahui pengaruh ketersediaan air
irigasi terhadap pendapatan petani yaitu pada sawah irigasi dengan sawah tadah hujan.
78
Tabel 8.2. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Fungsi Pendapatan Petani di Kecamatan Sambi Tahun 2009
No Variabel bebas Koefisien regresiModel I Model II Model III
1 Luas lahan 1,752* 0,170 1,202*(5,061) (0,232) (3,835)
2 Upah tenaga kerja -0,262** -2,591 -0,157(-2,046) (-1,503) (-0,916)
3 Harga benih -0,810 1,887** 0,301(-1,635) (2,091) (0,715)
4 Harga urea -0,044 -0,453 -0,437***(-0,159) (-1,059) (-1,8174)
5 Harga TSP -0,143 0,104 -0,109(-1,446) (0,389) (-0,961)
6 Harga Za -0,039 0,029 0,044(-0,395) (0,075) (0,359)
7 Harga phonska -0,081 -0,296 -0,309*(-0,813) (-1,428) (-3,196)
8 Harga organik -0,008 0,298 0,245***(-0,054) (0,952) (1,676)
9 Harga KCl 0,113 0,357 0,077(0,394) (0,791) (0,325)
10 harga pestisida 0,170 0,302*** 0,175***(1,526) (1,698) (1,816)
11 Umur -1,256 1,657 -1,012(-1,247) (0,583) (-0,921)
12 Tingkat pendidikan 0,072 -0,176 -0,036(0,634) (-0,330) (-0,259)
13 Jumlah anggota keluarga 0,045 2,397** 0,318(0,105) (2,080) (0,759)
14 Dummy musim tanam I dan II 0,116 0,142 -0,093(0,239) (0,172) (-0,193)
15 Dummy musim tanam II dan III -0,660 - -(-1,536) - -
16 Dummy irigasi - - 2,229*
79
- - (4,764)17 Konstanta -1,793 1,133 -0,984
(-0,308) (0,088) (-0,168)18 Adjusted R2 0,231 0,110 0,22319 F hitung 3,619* 1,699*** 4,872*
Sumber: Analisis Data Primer Kecamatan Sambi 2009
Keterangan: * : signifikan pada tingkat kepercayaan 99% ** : signifikan pada tingkat kepercayaan 95%*** : signifikan pada tingkat kepercayaan 90%ns : tidak signifikanAngka dalam kurung = nilai t hitung
Berdasarkan tabel 8.2 diketahui bahwa persamaan fungsi produksi padi di
Kecamatan Sambi tahun 2009 adalah sebagai berikut.
1. Model I:
LnY = –1,793 + 1,752 LnX1 – 0,262 LnX2 – 0,810 LnX3 – 0,044 LnX4 – 0,143 LnX5
– 0,039 LnX6 – 0,081 LnX7 - 0,008 Ln X8 + 0,113 LnX9 + 0,170 LnX10 –
1,256 LnX11 + 0,072 LnX12 + 0,045 LnX13 + 0,116 D-mt1 – 0,660 D-mt2 + μ
2. Model II:
LnY = 1,133 + 0,170 LnX1 – 2,591 LnX2 + 1,887 LnX3 – 0,453 LnX4 + 0,104 LnX5
+ 0,029 LnX6 - 0,296 LnX7 + 0,298 LnX8 + 0,357 LnX9 + 0,302 LnX10 +
1,657 LnX11 – 0,176 LnX12 + 2,397 LnX13 + 0,000 D-mt + μ
3. Model III :
LnY = –0,984 + 1,202 LnX1 – 0,157 LnX2 + 0,301 LnX3 – 0,437 LnX4 – 0,109
LnX5 + 0,044 LnX6 – 0,309 LnX7 + 0,245 LnX8 + 0,077 LnX9 + 0,175
LnX10 – 1,012 LnX11 – 0,036 LnX12 + 0,318 LnX13 – 0,093 D-mt +
2,448 D-irig + μ
Berdasarkan hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
petani pada Model I, Model II, dan Model III. Diperoleh nilai adjusted R2 antara 0,1103
sampai 0,2311, arinya 11,03% sampai 23,11% variabel dependen yaitu pendapatan
petani mampu dijelaskan oleh variabel luas lahan, upah tenaga kerja, harga benih, harga
Urea, harga TSP, harga ZA, harga Phonska, harga pupuk organik, harga KCl, umur,
pendidikan, jumlah keluarga serta variabel dummy musim tanam dan irigasi. Sedangkan
sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model.
80
Nilai F hitung pada model regresi I, II, III tersebut adalah 3,619; 1,699 dan
4,872 dengan signifikasi masing-masing 0,000; 0,077 dan 0,000, karena nilai
probabilitasnya dibawah 0,01; 0,1 dan 0,01. Dengan demikian variabel independen (luas
lahan, upah tenaga kerja, harga benih, harga Urea, harga TSP, harga ZA, harga Phonska,
harga pupuk organik, harga KCl, umur, pendidikan, jumlah keluarga serta variabel
dummy musim tanam dan irigasi) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependen pendapatan petani pada tingkat kepercayaan 99% dan 90%. Sehingga
model regresi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi pendapatan petani.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen terhadap
variabel dependen maka digunakan uji t, dengan hipotesis Ho ditolak jika t hitung > t
tabel, dan Ho diterima jika t hitung < t tabel.
1. Luas Lahan
Berdasarkan hasil analisis regresi pada Model I dan III diketahui bahwa nilai sig
variabel luas lahan adalah 0,000 dan 0,000 sehingga probabilitasnya jauh dibawah 0,01,
maka Ho ditolak. Dengan demikian luas lahan berpengaruh secara signifikan terhadap
pendapatan petani pada tingkat kepercayaan 99%. Sedangkan pada Model II nilai sig
variabel luas lahan sebesar 0,816 sehingga probabilitasnya jauh diatas 0,1, maka Ho
diterima. Dengan demikian pada model II luas lahan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap pendapatan petani. Kofisien luas lahan dari model I dan III tersebut
adalah bernilai positif (1,7522 dan 1,2027), berarti setiap terjadi penambahan luas lahan
sebanyak 1% maka akan berakibat pada kenaikan pendapatan petani sebanyak 1,75%
dan 1,20%. Dengan bertambahnya luas lahan maka, luas tanam akan bertambah dan
berakibat produksi akan naik, pada akhirnya pendapatan petani juga akan naik.
2. Upah Tenaga Kerja
Nilai sig variabel upah tenaga kerja pada Model I adalah 0,043 sehingga
probabilitasnya jauh dibawah 0,05, maka Ho ditolak. Dengan demikian upah tenaga
kerja berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani pada sawah beririgasi
pada tingkat kepercayaan 95%. Karena koefisien regresi bernilai negatif maka naiknya
upah tenaga kerja akan menyebabkan turunnya pendapatan petani. Dengan naiknya
upah tenaga kerja maka biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja
menjadi bertambah sehingga akan mengurangi pendapatan yang diterima oleh petani.
3. Harga Benih
81
Nilai sig variabel jumlah benih pada Model II sebesar 0,040 sehingga
probabilitasnya dibawah 0,5 maka Ho ditolak. Dengan demikian harga benih
berpengaruh signifikan terhadap produksi padi pada tingkat kepercayaan 95%. Karena
nilai koefisien regresi bernilai positif maka semakin mahal harga benih akan
berpengaruh pada kenaikan pendapatan petani pada lahan tadah hujan. Diduga petani
pada lahan tadah hujan cenderung memakai benih dari hasil sendiri yang harganya lebih
murah, sehingga apabila menggunakan benih unggul dari dinas pertanian yang harganya
lebih mahal dimungkinkan hasil produksinya akan lebih dan pendapatan petani akan
ikut naik.
4. Harga Urea
Nilai sig variabel harga urea pada Model III adalah 0,070 sehingga
probabilitasnya dibawah 0,1, maka Ho ditolak. Dengan demikian harga urea
berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani pada tingkat kepercayaan
90%. Koefisien regresi dari veriabel harga urea bernilai negatif sehingga setiap terjadi
kenaikan harga pupuk urea maka pendapatan petani akan turun. Diduga pupuk urea
adalah pupuk yang paling sering dan paling banyak dipakai oleh petani sehingga setiap
terjadi kenaikan harganya maka biaya pupuk akan naik sehingga pendapatan petani akn
turun.
5. HargaTSP
Nilai sig variabel harga TSP pada ketiga model probabilitasnya diatas 0,1, maka
Ho diterima. Dengan demikian harga TSP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pendapatan petani pada tingkat berbagai kepercayaan. Namun, apabila dilihat dari nilai
koefisien regresi dari variabel harga TSP sebenarnya bernilai negatif yaitu jika harga
TSP naik maka akan menyebabkan pendapatan petani akan turun.
6. Harga ZA
Nilai sig variabel harga ZA pada ketiga model probabilitasnya diatas 0,1, maka
Ho diterima. Dengan demikian harga ZA tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pendapatan petani pada tingkat berbagai kepercayaan. Namun, apabila dilihat dari nilai
koefisien regresi dari variabel harga ZA sebenarnya bernilai negatif yaitu jika harga ZA
naik maka akan menyebabkan pendapatan petani akan turun.
82
7. Harga Phonska
Nilai sig variabel harga Phonska pada model III sebesar 0,001 sehingga
probabilitasnya jauh dibawah 0,01, maka Ho ditolak. Dengan demikan harga Phonska
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi pada pada tingkat kepercayaan 99%.
Karena koefisien regresinya bernilai negatif maka dengan kenaikan harga pupuk
Phonska akan menyebabkan penurunan pendapatan petani. Diduga petani banyak
menggunakan jenis pupuk Phonska sehingga pada saat terjadi kenaikan harga Phonska
akan membuat pendapatan petani turun.
8. Harga Pupuk Organik
Nilai sig variabel harga pupuk organik pada model III sebesar 0,095 sehingga
probabilitasnya jauh dibawah 0,1, maka Ho ditolak. Dengan demikan harga pupuk
organik berpengaruh secara signifikan terhadap produksi pada pada tingkat kepercayaan
99%. Karena koefisien regresinya bernilai positif maka dengan kenaikan harga pupuk
organik akan menyebabkan kenaikan pendapatan petani. Diduga dengan penggunaan
pupuk organik maka produksi pertanian akan naik sehingga pendapatan petani ikut naik.
9. Harga KCl
Nilai sig variabel harga pupuk KCl pada ketiga model probabilitasnya diatas 0,1,
maka Ho diterima. Dengan demikian harga pupuk KCl tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap pendapatan petani pada tingkat berbagai kepercayaan.
10. Harga Pestisida
Nilai sig variabel harga pestisida pada Model II dan III sebesar 0,094 dan 0,070,
sehingga probabilitasnya jauh dibawah 0,1, maka Ho ditolak. Dengan demikan harga
pestisida berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani pada tingkat
kepercayaan 90% Karena koefisien regresinya bernilai positif maka dengan kenaikan
harga pestisida maka pendapatan petani akan naik. Diduga dengan kenaikan harga
pestisida, petani enggan untuk membeli pestisida, petani akan benar-benar membeli
pestisida apabila ada serangan hama penyakit yang berat terhadap komoditas
pertaniannya.
11. Umur
Nilai sig variabel umur pada ketiga model probabilitasnya diatas 0,1, maka Ho
diterima. Dengan demikian harga pupuk KCl tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pendapatan petani pada tingkat berbagai kepercayaan. Akan tetapi apabila
83
dilihat dari koefisien regresinya yang bernilai negatif maka semakin tinggi umur
seseorang maka pendapatan akan semakin turun.
12. Tingkat Pendidikan
Nilai sig variabel tingkat pendidikan pada Model I, Model II Model III
probabilitasnya jauh diatas 0,1, maka Ho diterima. Dengan demikan tingkat pendidikan
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani pada berbagai tingkat
kepercayaan.
13. Jumlah Anggota Keluarga
Nilai sig variabel jumlah anggota keluarga pada model II adalah 0,041 sehingga
probabilitasnya dibawah 0,05, maka Ho ditolak. Dengan demikian jumlah anggota
keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani pada tingkat
berbagai kepercayaan 95%. Karena koefisien regresinya bernilai positif maka semakin
banyak jumlah anggota keluarga maka pendapatan akan ikut naik. Diduga dengan
semakin banyaknya anggota keluarga maka penggunaan tenaga kerja luar keluarga
dapat dikurangi sehingga pendapatan ikut naik.
14. Variabel Dummy Musim Tanam
Nilai sig variabel dummy musim tanam pada ketiga model probabilitasnya diatas
0,1, maka Ho diterima. Dengan demikian perbedaan musim tanam tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap pendapatan petani pada tingkat berbagai kepercayaan.
15. Variabel Dummy Irigasi
Nilai sig variabel dummy irigasi pada Model III adalah 0,000, sehingga
probabilitasnya jauh dibawah 0,01. Dengan demikian keberadaan sarana irigasi
berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani. Karena koefisien regresinya
bernilai positif maka pendapatan petani pada sawah beririgasi (sebagai kontrol) lebih
tinggi dibandingkan dengan sawah tadah hujan. Hal tersebut terjadi karena pada sawah
irigasi meniliki intensitas tanam yang lebih tinggi dibandingkan pada sawah tadah
hujan. Pada sawah irigasi , sawah dapat ditanami sebanyak tiga kali dalam satu tahun,
sedangkan pada daerah tadah hujan hanya mampu ditanami sebanyak dua kali saja.
84
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasis analisis dan pembahasan maka yang dapat disimpulkan dari
hasil penelitian ini adalah :
1. Pola tanam yang digunakan oleh petani pada sawah irigasi di Kecamatan Sambi
adalah sebagai berikut.
a. Padi-Padi-Padi
b. Padi-Padi-Palawija
2. Pola tanam yang digunakan oleh petani pada sawah tadah hujan di Kecamatan
sambi adalah sebagai barikut.
a. Padi-Padi
b. Padi-Palawija
c. Palawija-Padi
d. Padi-Padi-Palawija
3. Produktivitas sawah irigasi di Kecamatan Sambi lebih tinggi dibandingkan
sawah tadah hujan khususnya untuk tanaman padi.
4. Produktivitas pada sawah irigasi untuk tanaman padi adalah sebagai berikut.
a. MT I = 5056,63 kg/ha
b. MT II = 5419,07 kg/ha
c. MT III = 5998,76 kg/ha
5. Produktivitas pada sawah irigasi untuk tanaman padi adalah sebagai berikut.
a. MT I = 3085,06 kg/ha
b. MT II = 2982,14 kg/ha
6. Pendapatan petani di Kecamatan Sambi dari lahan sawah pada sawah irigasi
lebih tinggi dibandingkan pada sawah tadah hujan.
7. Rerata pendapatan petani pada sawah irigasi adalah sebagai berikut.
85
a. MT I = Rp 5.131.600
b. MT II = Rp 7.070.400
c. MT III = Rp 11.654.250
8. Rerata pendapatan petani pada sawah tadah hujan adalah sebagai berikut.
a. MT I = Rp 2.865.275
b. MT II = Rp 2.816.950
c. MT III = -
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tanaman padi adalah luas lahan,
jumlah tenaga kerja, jumlah benih, jumlah TSP, jumlah ZA, umur, tingkat
pendidikan petani, jumlah anggota keluarga petani, musim tanam dan
ketersediaan air irigasi.
10. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah luas lahan, harga
urea, harga pupuk Phonska, harga pupuk organik, harga pestisida dan
ketersediaan air irigasi.
B. Saran
1. Mengingat produksi dan pendapatan petani pada daerah tadah hujan lebih rendah
dibandingkan pada daerah irigasi maka, peningkatan pengetahuan tentang
pertanian sebaiknya lebih intensif dilakukan kepada petani pada lahan tadah
hujan, misalnya melalui pertemuan rutin kelompok tani atau penyuluhan dari
petugas penyuluh pertanian dari instansi pertanian setempat agar produksi dan
penghasilan petani dari sektor pertanian dapat maksimal.
2. Perlunya dibuat bangunan penampung air hujan atau pengadaan sumber air baru
pada lahan tadah hujan, untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan air pada
awal Musim Tanam I dan akhir Musim Tanam II.
3. Peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan dengan cara ekstensifikasi
(perluasan lahan), akan tetapi apabila lahan yang tersedia terbatas, peningkatan
produksi dapat dilakukan dengan intensifikasi yaitu memaksimalkan
86
penggunaan saprodi dan luas lahan yang ada agar hasil pertanian dapat
maksimal.
4. Perlunya disusun kalender tanam dari dinas pemerintahan terkait atau kelompok
tani setempat agar produksi tanaman dapat teratur dan memberikan hasil yang
maksimal bagi petani.
87