batas usia pertanggungjawaban pidana anak...
TRANSCRIPT
BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM
(Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
BRINNA LISTIYANI
NIM : 1112045100003
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ABSTRAK
BRINNA LISTIYANI. NIM : 1112045100003. BATAS USIA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG
UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TINJAUAN HUKUM
ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel), Skripsi.
Konsentrasi Jinayah, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan jika telah ada seseorang
yang melakukan tindak pidana. Namun, seseorang bisa saja tidak dimintai
pertanggungjawaban apabila tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban
pidana misalnya anak dibawah umur. Dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP) pertanggungjawaban pidana anak ada di Pasal 45, 46 dan 47 yang
berisikan seorang anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun tidak
dimintai pertangungjawabannya. Undang-undang tentang pidana anak beraneka
ragam dalam menetapkan batas usia seseorang dikategorikan sebagai anak.
Dalam putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.sel seseorang yang
berusia 17 (tujuh belas) tahun masuk dalam Sidang Anak dan dijatuhi pidana
sesuai undang-undang pengadilan anak. Putusan hakim ini berbeda dengan aturan
pidana bagi anak dalam KUHP. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis
membandingkan beberapa undang-undang yang mengatur tentang pidana anak
dengan KUHP
Sedangkan menurut hukum Islam, seorang anak yang telah masuk usia
balligh ulama’ sepakat berusia 15 (lima belas) tahun sudah dimintai
pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dilakukannya dan dihukum atau
di sanksi sesuai dengan hukuman yang diberikan kepada orang dewasa.
Penulis menggunakan pendekatan normatif yang dilakukan dengan studi
pustaka (library research), yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak atau
elektronik yang berkaitang dengan batas usia pertanggungjawaban pidana anak.
Kata Kunci : Batas Usia Anak, Pertanngungjawaban Pidana Anak,
Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, MA
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang.
Skripsi ini berjudul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM
PIDANA (KUHP) MENURUT TUNJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis
Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel) disusun sebagai salah satu syarat
akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Bpk Prof. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bpk Dr. Asep Saefudin Djahar,M.A,Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bpk Dr. M. Nurul Irfan, M.A, Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan
v
Bpk Nur Rohim Yunus, LLM, Sekretaris Program Studi Hukum Pidana
Islam, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, sebagai dosen pembimbing yang rela meluangkan
waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan dan kritikan yang
konstruktif pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan
literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang
telah diberikan kepada Penulis selama masa pendidikan berlangsung.
7. Terimakasih Ayahanda Nono Sumedji dan Ibunda Rinawati, yang telah
mengajarkan bahasa cinta dan kasih sayang serta doa tulus beliau yang tak
henti-hentinya. Om Pahrudin Saputra dan Teh Nila Yanti yang telah
memberikan dukungan baik moral dan materi kepada Penulis. Adik
kandungku Najla Nurul Aini, yang rela membantu dan memberi motivasi
demi kelancaran Penelitian. Terimakasih kepada
8. Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi secara moral dan materi
agar penulis tetap semangat sehingga tugas akhir skripsi ini dapat
terselesaikan.
9. Terimakasih Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi agar
penulis segera menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
vi
10. Terimakasih teman-teman Hukum Pidana Islam dan Hukum Tata Negara
Angkatan 2012, kalian adalah saudara, sahabat dan keluarga yang telah
menjadi saksi perjuangan selama di bangku kuliah.
11. Terimakasih Organisasi Himpunan Ikatan Mahasiswa Tebuireng (HIKMAT)
dan Organisasi PMII Komfaksyahum, yang telah menjadi himpunan sebagai
wadah pengetahuan dan pengalaman dalam mencari jati diri.
12. Terimakasih teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini bersama-
sama, Arief Setiawan Onira, Imas Maesaroh, M. Faruq, M. Irfan Hilmy, Sevi
Syophia, Nidaul Hasanah, Deni Kurniawati, Afiq Zaki Lubis, Munawaroh
Halimah, Lativah Noor, Rizky Faray dan lainnya yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu. Terimakasih kalian telah memberikan bantuan agar
penulis menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk Penulis
mendapat balasan yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi
wacana keislman, kepada-Nya kita memohon Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin
YaRabbal’Alamin
Jakarta, 30 September 2015 M
28 Dzul-Hijjah 1437
(BRINNA LISTIYANI)
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ....................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... ii
SURAT PERNYATAAN .....................................................................................iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latarbelakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ............................................. 10
E. Metode Penelitian ...................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II :TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ......................... 15
A. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum
Islam .......................................................................................... 15
B. Alasan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ........................ 27
C. Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam .............................. 40
BAB III : BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK .. 50
A. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum
viii
Positif ........................................................................................ 50
B. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum
Islam .......................................................................................... 56
C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum.. 60
BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANALISIS PUTUSAN
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel TENTANG BATASAN USIA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK .............................. 64
A. Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ........ 64
B. Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ......................................... 67
C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel .......................................... 69
BAB V : PENUTUP ........................................................................................ 74
A. KESIMPULAN .......................................................................... 74
B. SARAN ....................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan ada aturan pidananya.1 Hukum
Pidana yang berupa aturan-aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan
untuk diberlakukan. Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan kalimat-
kalimat tertulis setelah diundangkan untuk diberlakukan di masyarakat, akan
menjadi efektif dan dirasa mencapai keadilan serta kepastian hukumnya apabila
penerapannya sesuai.2
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang berisi
ketentuan-ketentuan tentang ; 3
a. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan tertentu yang
disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana,
b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkan sanksi. Berisi tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana akan terjadi jika seseorang telah melakukan
tindak pidana.4 Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP harus memenuhi dua
1 Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012)
Cet. 3, hlm. 4 2 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2008) Cet.1, hlm.3 3 Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012)
Cet. 3, hlm. 9 4 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tana Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, 2006 ) Cet.2, hlm. 19
2
unsur yaitu kemampuan fisik dan moral (pasal 44 ayat 1 dan 2).5 Dengan
demikian, seseorang yang tidak memiliki kemampuan fisik dan kemampuan moral
ini tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Secara implisit yang dimaksud
dengan tidak adanya kemampuan fisik adalah seseorang yang kekuatan daya dan
kecerdasan akalnya terganggu atau tidak sempurna contohnya idiot, buta, tuli
sejak lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak adanya kemampuan moral
adalah sakit jiwa, gila dan epilepsi6.
Menurut Adami Chazawi norma dari perumusan perundang-undangan
pada Pasal 44 ini jelas ada 2 penyebab tidak dibebani pertanggungjawaban pidana
yaitu ;
a) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (idiot, buta, tuli sejak lahir) dan,
b) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit (sakit jiwa, gila dan eilepsi) .7
Kemampuan seseorang untuk membedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh untuk dilakukan ini menyebabkan ia dianggap wajib
mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang melanggar aturan dalam hukum
pidana.8 Kemampuan yang dapat membedakan baik dan benar adalah unsur
seseorang wajib mempertanggungjawakan perbuatannya. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47 seseorang yang belum
berumur enam belas tahun tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Dengan
5 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur,(Bandung : PT.Alumni, 2010)
Cet.1, hlm 46 6 Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena terjadinya
aktivitas yang berlbihan dari sekelompok sel neuron pada otak sehingga menyebabkan berbagai
reaksi pada tubuh manusia muai dari bengong sesaat, kesemutan, gangguan kesadaran, kejang-
kejang dan atau kontraksi otot. 7 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2008 ) Cet.1, hlm.20 8 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, 2006 ) Cet.2, hlm. 90
3
demikian, anak yang belum berusia enam belas tahun tidak dapat mintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.
Anak sebagai calon penerus generasi bangsa yang masih dalam masa
perkembangan fisik dan mental. Anak dengan segala pengertian dan definisinya
memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa. Namun, seringkali anak
justru dihadapkan dengan proses hukum yang berujung sampai hukuman
penjara.9
Menurut seorang Psikolog Vinaya S.Psi., Msi pengertian anak dalam
perspektif psikolog adalah individu yang berusia antara 3-11 tahun. Diatas usia 11
tahun individu dianggap sudah memasuki usia remaja.10
Pada tahap konkrit
operasional yaitu berumur 7-11 tahun anak yang sudah dapat membedakan suatu
peristiwa. Oleh sebab itu pada tahap ini sangatlah rawan jika pembentukan
perilaku anak tidak diperhatikan oleh orang tua atau pendidik. Dapat
menyebabkan terbentuknya perilaku yang menyimpang dan gejala kenakalan
anak. 11
Pengertian Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak Pasal 1 ayat 1 adalah “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.”
Anak yang dapat disidangkan kepengadilan menurut UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat 1 “ Batas umur anak nakal yang
9Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan
Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.3 10
Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan
Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.12 11
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006) hlm. 8
4
dapat diajukan ke sidang anak adalah 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
Sedangkan dalam Undang-undang yang terbaru UU No.11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat 3 “Anak yang Berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.”
Dengan demikian, dalam perundang-undangan ini penentuan batas usia
anak yang dapat diperkarakan ke persidangan anak itu tidak sama. Dengan adanya
perbedaan batas usia dari perundang-undangan ini di harapkan hakim
menjadikannya bahan pertimbangan penjatuhan pidananya. Penjatuhan pidana
dapat berdampak buruk bagi keadaan anak maka dari itu diharapkan penjatuhan
pidana ini sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak.12
Perundang-
undangan yang terbaru dimaksudkan agar penjatuhan pidana terhadap anak dapat
dipertimbangkan sesuai dengan usia anak dan bukan untuk menyiksa namun
untuk membimbing anak untuk tidak melakukannya lagi.
Dalam proses persidangan pun, seorang anak yang bermasalah dengan
hukum juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi. Dalam Konvensi Hak Anak
terdapat 4 (empat) prinsip umum yag menjadi dasar dan acuan bagi para pihak
khususnya Negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati dan
12
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004) Cet.2,
hlm.3
5
melindungi hak-hak anak, yaitu : 13
pertama,prinsip non-diskriminasi. Kedua,
prinsip kepentingan terbaik anak. Ketiga, prinsip atas keberlangsungan hidup dan
perkembangan. Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam menegakkan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan
hukum, proses peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan
penuntutan perkara harus mendahulukan perlindungan kepentingan anak.14
Oleh
karena itu proses peradilan anak bukanlah ditunjukkan pada penghukuman,
melainkan perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak yang
melakukan tindak pidana.
Islam mengampuni anak yang melakukan perbuatan maksiat (dilarang
agama) dan tidak meminta pertanggungjawabannya kecuali ia telah baligh. 15
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nur [24] : 59
Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin….”
Menurut ayat di atas seseorang telah di mintai pertanggungjawabannya
jika telah mencapai usia baligh. Seorang anak yang belum mencapai usia baligh
walaupun melakukan tindak pidana tidaklah dimintai pertanggungjawaban. Selain
anak kecil yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang
13
Restaria F Hutabarat, dkk, Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan Hukum :
Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana, (Jakarta : LBH Jakarta, 2012) hlm. 11-
12 14
Namdang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindunga Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) Cet.1, hlm. 101 15
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinai Fi Al-Islam diterjemahkan oleh Tim Salsilah,
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II, (Jakarta : PT. Kharisma, 2007) hlm 57
6
dilakukannya. Adapun seseorang yang sudah dewasa dan berakal tidak dimintai
mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu pertama,halangan alami seperti :
gila, dungu, ayan, lupa. Kedua, halangan tidak alami seperti : bodoh, mabuk dan
dipaksa. 16
Dalam Islam diatur tentang hak-hak anak serta kewajiban orang tua dalam
pendidikan anak usia dini dalam pembentukan karakter anak. Sebagaimana Allah
SWT berfirman dalam Q.S At-Tahrim [66] : 6
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Orang tua memiliki kewajiban dalam
memenuhi hak pendidikan anak dan melindungi anak dari hal-hal yang dilarang
oleh agama yang mana dapat menjerumuskan ke dalam neraka.
Seorang anak yang lahir dan menuju kedewasaan atau usia baligh
mengalami beberapa fase saat menuju usia dewasa. 17
Fase pertama, yaitu tamyiz
segala perbuatannya tidak dianggap sebagai tidakan hukum. Fase kedua, yaitu
fase murahiq dimana seorang anak berada di antara masa tamyiz dan baligh dan
jika melakukan pelanggaran maka di hukum dengan maksud mendidik. Fase yang
16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum
dkk.(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013) Cet.XVII, hlm.514 17
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum
dkk.(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013) Cet.XVII, hlm.510
7
ketiga , yaitu fase mencapai usia dewasa dan taklif (dibebani hukum). Seorang
anak yang telah baligh mulailah kewajiban melaksanakan semua hukum-hukum
yang berlaku atas orang dewasa inilah yang disebut mukallaf.18
Fase murahiq terjadi pada tujuh tahun sampai dengan usia baligh yaitu
lima belas tahun. Jika anak mencapai usia lima belas tahun, datang kepadanya
pengalaman yang lain dari yang lain.19
Salah satu tanda masuknya usia baligh
yaitu keluarnya mani bagi laki-laki (ihtilam) dan haid bagi wanita.
Sebenarnya tidak ada ketentuan usia yang sama saat seorang anak
mengalami ihtilam ataupun haid. Fuqaha berselisih pendapat tentang usia baligh.
Menurut Imam Auza’i, Imam Ahmad, Imam Syafi’I, Imam Abu Yusuf dan
Muhammad jika anak telah telah genap berusia 15 tahun, dia dianggap telah
baligh. Menurut para penganut Imam Malik punya tiga pendapat, pertama 17
tahun. Kedua, 18 tahun. Ketiga, 15 tahun. Menurut Imam Abu Hanifah punya dua
riwayat, pertama 17 tahun, kedua 18 tahun sedangkan anak perempuan
menurutnya 17 tahun. Sedangkan menurut Imam Abu Daud tidak ada batasan usia
bagi tercapainya baligh dan pedomannya hanyalah ihtilam.20
Dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Rendi Ardiansah, yang
masih berumur 17 tahun dimana terdakwa melakukan penganiayaan tehadap
korban bernama Dewi Nurani. Rendi Ardiansah mendapatkan tuntutan dari Jaksa
karena melanggar Pasal 351 (4) KUHP . Hakim menjatuhkan pidana terhadap
18
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh
Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 431 19
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh
Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 425-426 20
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh
Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 427
8
terdakwa mempertimbangkan keadaan memberatkan dan keadaan meringankan
dari terdakwa, salah satu keadaan yang meringankan karena terdakwa masih
dalam kategori anak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan terdakwa
Rendi Ardiansah dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar
Rp 2.000 (dua ribu rupiah).
Dalam kasus Rendi Ardiansah (17 tahun) Terdakwa mendapat keringanan
sanksi disebabkan terdakwa masih kategori anak. Padahal jika dalam hukum Islam
seseorang sudah dimintai pertanggungjawaban pidananya jika telah baligh atau
telah mencapai umur 15 tahun, jumhur berbeda pendapat.
Hukum positif dan Hukum Islam memiliki persamaan bahwa seseorang
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika telah memenuhi beberapa syarat
dan ketentuan salah satunya batas usia yang telah ditetapkan dari masing-masing
aturan baik menurut Hukum positif atau Hukum Islam.
Namun, permasalahan batas usia dalam pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan oleh anak di bawah umur menjadi perbincangan yang menarik untuk
dibahas mengingat terjadi ketidakseragaman antara hukum Positif sendiri dan
hukum Islam mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana. Maka penulis
tertarik untuk mencoba meneliti dan menuangkan permasalahan ini dalam skripsi
dengan judul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT
TINJAUAN HUKUM ISLAM (ANALISIS PUTUSAN
No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel)”
9
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Fokus penelitian yang akan penulis teliti ini adalah batas usia
pertanggungjawaban pidana anak, melakukan penelitian dengan peninjauan
menurut hukum Islam khususnya pada putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini yaitu:
a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam?
b. Berapa batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif
dan hukum Islam?
c. Bagamaina hukum Islam meninjau tentang batas usia pertanggungjawaban
pidana anak terhadap analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana anak menurut hukumpositif
dan hukum Islam.
b. Untuk mengetahui batasan usia pertanggungjawaban pidana anak menurut
hukum positif dan hukum Islam.
10
c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap analisa putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.
2. Manfaat Penelitian
a. Menambah pengetahuan bagi penulis dan masyarakat tentang
pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan hukum yang berlaku
di Indonesia.
b. Memberikan informasi serta menambah refrensi untuk penulis dan masyarakat
mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan
hukum yang berlaku di Indonesia.
c. Memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun
kajian terdahulu yang menjadi acuan antara lain :
1. Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-undang No.3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam,
Skripsi karya Ibnu Abbas Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penelitian ini membahas tentang batas
minimal usia yang cakap hukum dalam UU No 3 tahun 1997 tentang
pengadilan anak ditinjau menurut hukum Islam.
2. Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
11
Anak, Skripsi karya Maman Abdul Rahman Jurusan Perbandingan Mazhab
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. Penelitian ini membahas tentang
Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam dan UU
No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam kajian terdahulu diatas, para penulis tidak memfokuskan kajian
pada batas usia anak dalam pertanggungjawaban pidana, sebagaimana yang
penulis lakukan. Oleh karena itulah, perlu dilakukan kajian khusus yang
membahas tentang permasalahan tersebut.
E. METODE PENELITIAN
Adapun Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat
diuraikan penulis sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian bahan pustaka yang ada.21
Objek
penelitiannya antara lain norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas dan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam suatu perundang-undangan, lanasan filosofi,
sosiologis dan yuridis.22
2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan
dan pedekatan historis.
21
https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/ (di akses pada tanggal
20 November 2015 pukul 17.00) 22
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma
Jaya, 2007) h.28
12
3. Sumber Data
Sumber data pada umumnya adalah data sekunder, yang terdiri atas bahan
hukum dan bahan non-hukum.Bahan hukum mencakup bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.23
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang
membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan,
dan putusan hakim.24
Perundang-undangan yang yang berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang akan penulis bahas
yakni adalah UU No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, UU No 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23 Tahun 202
Tentang Perlindungan Anak, KUHP dan KUHAP, serta dalil-dalil yang
ada dalam Al-qur’an dan Hadist.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum menjelaskan
mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat
atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu
secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan
mengarah.Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari
penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang terkait dengan penelitian
ini.Seperti buku, skripsi, tesis, jurnal hukum dan lain-lain.
23
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma
Jaya, 2007) hlm.28 24
https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/ (di
akses pada tanggal 20 November 2015)
13
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara
library research (studi pustaka) dilakukan dengan cara menelaah buku-buku
yang berkaitan dengan penelitian judul skripsi ini. Baik berupa peraturan
perundang-undangan ataupun berupa buku-buku.
6. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang biasanya digunakan adalah metode kulitatif.Data
skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni menarik kesimpulan secara
deskriptif dan deduktif dan seluruh data yang didapatkan akan diklasifikasikan
dari bentuk yang bersifat umum sehingga mendapatkan gambaran kesimpulan
yang spesifik.
7. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna
untuk memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian ini yang berjudul :
“Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana Menurut Tinjauan Hukum Islam (Analisis Putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)”
14
Pada BAB I, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
(review) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada BAB II, Teori Pertanggungjawaban dalam Hukum Positif dan Hukum Islam
yang berisi tentang definisi pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dan
Islam, Alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban pidana
anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam.
Pada BAB III, Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak berisi tentang Batas
usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif, Batas usia
pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam Serta Perlindungan
Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum
Pada BAB IV, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Tentang Batas Usia Pertanggungjawaban
Pidana Anak berisi tentang Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel (Deksrisi
Kasus, Dakwaan, Amar Putusan), Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel dan Tinjaun Hukum Islam Terhadap Putusan
No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel
Pada BAB V, KESIMPULAN yang berisi tentang kesimpulan dari hasil
penelitian, serta member saran-saran sebagai evaluasi dari penelitian.
15
BAB II
TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu dengan
masyarakat atau Negara yang disebut hukum publik.1 Hukum Pidana dibagi
menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum
pidana juga di klasifikasikan lagi kepada siapa hukum pidana ini berlaku yang
disebut hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.2 Tujuan dari hukum
pidana dilaksanakan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang
ditunjukkan untuk kepentingan masyarakat.
Hukum Pidana materil adalah hukum yang berisi tentang norma dan
sanksinya dan bagaimana seseorang dapat dijatuhi pidana. Sedangkan hukum
pidana formil adalah tata cara pelaksanaan pidana bagi seseorang yang melakukan
tindak pidana bisa disebut dengan hukum acara pidana. 3
Hukum acara pidana ini
sebagai hukum yang menegakkan hukum pidana materil.
Yang dimaksud dengan hukum pidana umum adalah hukum pidana yang
diberlakukan kepada semua masyarakat tanpa terkecuali. Dan dalam
pelasksanaannya menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
1 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 24
2 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 52
3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 23
16
(KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus ini adalah
dibuat dan diberlakukan kepada hal atau orang tertentu. Dalam pelaksanaannya
pun juga mempunyai hukum acara khususnya sendiri dan berbeda dengan
KUHAP.4
Hukum pidana mengatur secara seluruh hukum publik untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam penerapannya haruslah berdasarkan
asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana salah satunya adalah Asas Legalitas
(Principle of Legality). Asas Legalitas dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat 1 “tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan”.
Dikutip oleh Mahrus Ali menurut Komariah Emong Sapardjaja dalam
Asas Legalitas ini terdapat empat prinsip dalam penerapannya yaitu :5
1. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa udang-undang
sebelumnya atau bisa disebut berlaku surut (mundur).
2. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa rumusan delik yang
jelas.
3. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa undnag-undang yang
tidak tertulis, hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah dengan undang-
4 Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika,
2008)
Cet.VIII, hlm.3 5 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 60
17
undang yang tertulis bukan dengan kebiasaan yang berkembang di
masyarakat.
4. Tidak diperbolehkannya menerapkan pertauran hukum pidana dengan sebuah
analogi.
Asas Legalitas memiliki dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi
instrumental.6 Dengan adanya kedua fungsi ini dimakdsudkan agar pemerintah
tidak menjatuhkan sanksi pidana terhadap masyarakat yang belum jelas dan tetap
Undang Undangnya walaupun telah melanggar dan melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak dibenarkan menurut masyarakat.
Perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan ini belum tentu bisa
dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Menurut Moeljatno perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan tersebut.7 Perbuatan
yang tidak benar yang dilakukan seseorang dapat dikenakan sanksi jika telah ada
hukum yang mengaturnya dan disebut sebagai perbuatan pidana.
Perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukuman (sanksi) perumusan
undang-undang dari perbuatan itu haruslah mengandung sifat melawan hukum.8
menurut Andi Zainal Abidin, bahwa salah satu unsur delik adalah sifat melawan
hukum yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu asal undang-
6 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 71
7 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 99
8 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 67
18
undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur
yang melawan hukum.9
Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan
hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil
adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur
dalam undang-undang yang tertulis.10
Sedangkan sifat melawan hukum materil
adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya
mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan
yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat.11
Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan
kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian,
pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah
memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud
atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (Asas Legalistas). Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum
9 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
144 10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm71 11
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika,
2008)
Cet.VIII, hlm.45
19
pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan
tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar (leer van het materiele feit). 12
Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum
yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak
semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum.13
Pertanggungjawaban
pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak
semua orang yang itu cakap hukum.
Pertanggungjawaban pidana menurut istilah asing biasa disebut
dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility. Menurut Pompee,
sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa
sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.14
Konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal
dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena
dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin
melakukan perbuatan tersebut.15
Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah
keadaan batin (psychis) pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang
dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang
12
Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993) Cet.V,
hlm.153 13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,(Yogyakarta : Liberty,
2003) Cet.I, hlm. 75 14
http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html ( di
akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50) 15
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
155-157
20
dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti
psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut
keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan
normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.16
Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu :
1. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.
2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa
adanya kesengajaan dan kealpaan.
3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan
pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.17
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan,
dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam
membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk sesuai dengan
kehendaknya.18
Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 (1)
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang
sempurnanya akal dan sakit ingatan.19
Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut
16
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2012) hlm. 114-115 17
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta :
RajaGrafindo Persada,) hlm. 116 18
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
171 19
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika,
2008)
Cet.VIII, hlm.52
21
W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit
ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit.
Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai
suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran.
Seperti contohnya idiot.20
Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy
dan penyakit jiwa yang lainnya.21
Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan.
Secara Yuridis formal (dalam KUHP) tidak ada satu pasal pun yang memberikan
batasan atau pengertian tentang kesengajaan.22
Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut
Memorie van Toelichting (Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana) kesengajaan
sama dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui).23
Yang dimaksud dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui)
adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten)
akan akibat dari perbuatan itu.24
Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori
kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak
20
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika,
2008) Cet.VIII, hlm. 53 21
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang -gila-
bisa-dipidana (diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52) 22
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 213 23
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
174 24
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika,
2008) Cet.VIII, hlm. 13
22
pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam
rumusan undang-undang.25
Sedangkan Teori membayangkan, teori ini
mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat
namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu
tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar.26
Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu : 27
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).
2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan (opzet bij noodzakelijkheids-
bewustzijn).
3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-
bewustzjin).
Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana
pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut.
Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang
akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai
suatu kemungkinan yang pasti.28
Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan
mengenai teori kealpaan (culpa), sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak
25
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 214 26
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika,
2008) Cet.VIII, hlm. 14 27
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta :
RajaGrafindo Persada,)
hlm. 121 28
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
175
23
adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak
diberikan dari doktrin.29
Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang
berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak
memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang
dilarang oleh hukum.30
Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan,
yaitu :
1. Pembuat dapat menduga.
2. Tidak adanya kehati-hatian.31
Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus
dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia
benar-benar melakukannya.32
Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu
pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya.
Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya.33
Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu
tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai
pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat
29
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 248 30
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
175 31
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta :
RajaGrafindo Persada,)
hlm. 125 32
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 251 33
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm.
176
24
menghapus kesalahannya.34
Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat
alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu :
1. Tidak mampu bertanggungjawab ( diatur dalam Pasal 44 KUHP)
2. Daya paksa ( diatur dalam Pasal 48 KUHP)
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam Pasal 49 (2) KUHP)
4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur
dalam Pasal 51 (2) KUHP).
Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh
Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana
atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban)35
Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani
kewajiban, yaitu :
1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat
memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Qur‟an dan as-
sunnah dengan langsung atau dengan perantara.
2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya.36
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam
Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang
34
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 267 35
Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.1 36
Abdul wahbah Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2002) h, 207-210
25
mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu
pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan
unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara
nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang
disebut Mukallaf.37
Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana (jarimah), pelaku bisa
saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut
sebagai percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) dan tindak pidana
yang sempurna (al-jarimah at-tammah).
Pelaku percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) diberikan
hukuman ta‟zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak
dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan
syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta‟zir ketentuan hukumnya
bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan.38
Pelaku tindak pidana sempurna (al-jarimah at-tammah) diberikan
hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi
maka perbuatannya sudah sempurna.39
Misalnya pelaku penganiayaan, jika
seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang
berlaku bagi penganiaya.
37
Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.22 38
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 20 39
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 23
26
Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah
ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah Syari‟
(Allah SWT dan Rasul-Nya).40
Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan
baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan
hukuman yaitu :
1. Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah
perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu
lagi.
2. Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas
dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan
hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan
kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan
hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan
bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan
rahmat kepada.41
Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan
perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus
bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam
ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu:
1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku.
40
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 19 41
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1997) Cet.II, hlm. 26
27
2. Si pelaku memiliki pilihan (tidak dipaksa).
3. Si pelaku memiliki pengetahuan (idrak).42
Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah
ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat
mempertanggungajawabkan perbuatanya. Faktor (sabab) dijadikan oleh oleh
Syar‟I sebagai tanda atas hasil/ efek (musabab) dari terjadinya suatu pelanggaran
(melawan hukum). Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya
jika tidak ada sabab namun ada musabab maka tidak dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya.43
Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah
perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau
meninggalakan perbuatan yang diperintahkan oleh syara‟. Jadi sebab
pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya
pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan
ikhtiar.44
Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki
tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu :
1. Disengaja (Al-„Amdu), yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat
melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat
42
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 66 43
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 74 44
http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html
(diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.00)
28
mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan
sengaja.45
2. Menyerupai Disengaja (Syibhul „Amdi), Pengertian syibhul „ambdi adalah
dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat
perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran
syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang
digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh maka
perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja.46
3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud
membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung
namun meleset mengenai manusia.
4. Yang dianggap tersalah, ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah.
Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan
itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak
langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud
melakukannya.47
B. ALASAN HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
45
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 77 46
http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html
(diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.15) 47
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 79
29
Dalam sub bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa terlaksananya
pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang
tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang
dapat menghapus kesalahannya.
Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar
denganalasan penghapusan kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.
Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf karena keduanya mempunyai
fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas
tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan
pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan
tindak pidana yang melawan hukum.48
Dalam hukum positif pertanggungjawaban pidana diatur dalam Buku
Kesatu Bab III Kitab Undang Undang Hukum Pidana mulai Pasal 44 sampai
dengan Pasal 51. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, pertanggungjawaban
pidana tidak dapat dijatuhkan kepada:
1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab.
2. Anak-anak yang belum berusia 16 tahun.
3. Daya Paksa
4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
5. Menjalankan perintah Undang undang.
48
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 181
30
6. Melaksanakan perintah jabatan.
Kategori yang tidak dapat dijatuhi pidana yang pertama adalah seseorang
yang tidak mampu bertanggungjawab. Dikutip oleh Adam Chazawi menurut M.v.t
( Perumusan Kitab Undnag Undang Hukum Pidana ) seseorang tidak mampu
bertanggungjawab harus memenuhi dua unsur yaitu:
1. Apabila si pelanggar tidak memiliki kebebasan antara memilih berbuat atau
tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan dalam Undang-
undang.
2. Apabila si pelanggar berada dalam satu keadaan yang mana ia tidak dapat
menyadari bahwa perbuatnnya dilarang menurut Undnag Undang.49
Seorang Anak yang masih belum mencapai usia 16 tahun adalah termasuk
seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana kategori kedua, dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47. Dalam penuntutan di muka
pengadilan, seorang hakim bisa mengadilinya dengan memerintahkan bahwa si
anak bersalah dan dikembalikan kepada orang tua atau wali tanpa menjatuhkan
hukuman kepadanya dan tidak dimintai pertanggungjawabannya dikarenakan usia
yang belum mencapai 16 tahun.50
Kategori seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana yang ketiga adalah
daya paksa. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) daya paksa
diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa “niet straafbaar is hijdie een feit
49
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002) hlm. 20 50
Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung : Refika
Aditama, 2003) hlm.102
31
begat waartoe hij door overmacht is gedrogen” yang artinya barang siapa yang
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. 51
Dikutip oleh
Mahrus ali, menurut Leden Marpaung daya paksa secara teoritis dibagi menjadi
dua macam yaitu:
a. Daya Paksa Mutlak (Vis Absoluta)
b. Daya Paksa Relatif (Vis Compulsiva)
Yang dimaksud dengan daya paksa mutlak adalah suatu keadaan yang
dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang,
sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain apa yang dipaksakan
kepadanya. Sedangkan daya paksa relatif adalah daya paksa yang dimaksudkan
dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa relatif ini suatu paksaan dan tekanan yang
sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam keadaan yang
serba salah, yaitu suatu keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang
sudah pasti melanggar hukum.52
Kategori yang keempat adalah Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(noodweer ekses) adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan
pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat
membebaskan pelakunya dari ancaman hukuman jika sifat pembelaan terseut
sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.53
51
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 181 52
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II,(Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002) hlm.30-31 53
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 182-183
32
Kategori yang kelima adalah melaksanakan perintah Undang-undang pada
Pasal 50 KUHP disebutkan “ barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan pidana
untuk melaksanakan peraturan undang-undang tidak dipidana.” Sebetulnya pasal
ini ditunjukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang. Karena perbuatan
yang yang menjadi wewenang berdasarkan Undang undang tidaklah mungkin
diancam pidana menurut Undang-undang yang lain. 54
Kategori yang keenam dan yang terakhir adalah ketentuan mengenai
perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 (2) KUHP yang berbunyi
"Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali
jika yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan
wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.” 55
Suatu perintah jabatan yag tidak sah,dengan demikian menghapuskan
dapat dipidananya seseorang. Perbuatan yang dilakukannya, tetap bersifat
melawan hukum hanya saja si pelaku tidak dipidana. Dan si pelaku harus
memenuhi dua syarat yaitu Pertama, ia menduga bahwa perintah tersebut adalah
sah yang diberikan oleh pejabat yang kompeten. Kedua, perintah masih dalam
ruang lingkup pekerjaan (wewenang si pelaku). 56
Dalam Islam, seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya
jika telah memenuhi tiga dasar yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya yaitu
54
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002) hlm.56 55
KUHP 56
I Made Widnyana, Asas Asas Hukum Pidana, ( Jakarta : Fikahati Aneska, 2010) hlm.
158
33
perbuatan haram yang dilakukan pelaku, pelaku memiliki pilihan (ikhtiar) dan
pelaku memiliki pengetahuan (idrak). Jika tidak memiliki tiga dasar ini, maka
seseorang yang melakukan suatu kejahatan tidak diwajibkan
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Adapun Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak wajib
dipertanggungjawabkan yaitu Sebab Pembenaran (asbab al-ibahah) atau sebab
dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Dan Sebab Pemaafan (asbab raf‟i al-
uqubah) atau sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku tersebut.57
Dasar dari penghapusan pidana yang pertama adalah sebab pembenaran.
Dengan adanya sebab pembenaran maka suatu perbuatan kehilangan sifat
melawan hukumnya, sehingga mejadi legal atau boleh dan pembuatnya tidak
dapat disebut pelaku tindak pidana.58
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa
sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu :
1. Pembelaan Yang Sah (Ad dafi‟ As Syar‟iyyu)
2. Pendidikan dan pengajaran (At ta‟dibu)
3. Pengobatan (At Tathbiibu)
4. Permainan olah raga (Al „aab Al Furusiyah)
5. Hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan anggota badan (Ihdar) seseorang
6. Hak-hak dan kewajiban penguasa
57
http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidana-islam.html
(diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 07.05) 58
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II,
hlm. 169
34
Pembelaan yang sah dibagi menjadi dua macam yaitu pembelaan khusus
dan pembelaan umum. Pembelaan khusus (Difa‟ Asy-Syar‟I al-Khass) dalam
hukum Islam maksudnya adalah kewajiban manusia menjaga dirinya atau orang
lain dan untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain. Pembelaan khusus
bersifat wajib bertujuan untuk menolak serangan.59
Allah SWT berfirman dalam
Q.S Al-Baqarah [2] : 194
Artinya : “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu.”
Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah
untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap
jiwa, kehormatan, dan harta benda.60
Sedangkan yang dimaksud dengan pembelaan umum (Difa‟ Asy-Syar‟I Al-
„Am). Pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam istilah Amar ma‟ruf nahi
munkar. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi munkar hanya
diwajibkan bagi orang yang mmpu melaksanakannya sedangkan yang lainnya
tidak wajib.61
Seperti Firman Allah SWT Q.S Ali Imran [3] : 104
59
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 138 60
http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html (diakses pada
tanggal 17 Mei 2016 pukul 11.03) 61
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 159
35
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar.”
Sebab pembenaran yang kedua adalah pendidikan, seorang ayah memiliki
hak untuk memberikan pendidikan terhadap anaknya yang maih kecil dan baligh.
Menurut mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali berbeda dengan mazhab Hanafi.
Mereka berpendapat bahwa pendidikan kepada anak kecil secara umum adalah
hak bukan kewajiban. Adapun mazhab Hanafi memandang pendidikan terhadap
anak kecil secara umum adalah wajib atau paling tidak, wajib apabila bertujuan
untuk mengajarinya.62
Tujuan menjatuhkan hukuman dalam mendidik anak
hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan
atau kepuasan hati. Karena itu, watak dan kondisi anak harus diperhatikan terlebih
dahulu sebelum menjatuhkan hukuman.
Sebab pembenaran yang ketiga adalah pengobatan, kerugian yang
disebabkan oleh dokter yang mempuni dan kredibel yang dilakukan tana adanya
kecerobohan tidak ditanggung sama sekali oleh dokter.63
para fuqaha sepakat
bahwa dokter tidak bertanggungjawab apabila pekerjaannya mengakibatkan hasil
yang membahayakan si pasien.
62
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 181 63
Walid bin Rasyid as-Sa‟idan, Syar‟iyyah fi al-Masa‟il ath-Thibbiyah di Terjemahkan
oleh Muhammad Syafii Maskur Fiqh Kedokteran, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007) hlm.123
36
Namun, jika ada orang yang berlaku selayaknya dokter tanpa memiiki
keilmuan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang di derita oleh pasien maka ia
wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi sesuatu terhadap
pasien. Rasulullah Saw bersabda.
شبو حذثب بس ب اشذ ع س ذ ب ع س يه نذ ثب: ق بل انش ان سهى اب ثب. ي ج اب ش ج ع ش ع ب ب ع ش ع أ ب ع ذ س ل ق بل : ق بل ج " و.ص لال س ن ى ت ط بب ي طب ي عه ى نك ق بم ر ف بي ض
Artinya : “Telah menceritakan Hisyam Bin Amar dan Rasyid Bin Sa‟id Al-Ramli
mereka berkata : telah menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan
Ibn Juraij dari Umar Bin Syu‟ab dari ayahnya dan kakeknya berkata : Rasulullah
Saw bersabda : Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak
mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” 64
Sebab pembenaran yang keempat adalah permainan kesatriaan, hukum
Islam memperbolehkan segala permaninan kesatriaan yang mencari keunggulan
kekuatan dan keahlian serta yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, baik pada
waktu damai ataupun perang. Seperti lomba lari, pacuan kuda, lomba berahu,
balap mobil, parasut, permainan anggar, tombak, pedang, memanah, menembak,
tinju, angkat besi dan lain-lain.65
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Anfal
[8]:60)
64
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan
Ibnu Majjah Juz I, No. 3466, hlm. 31 65
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 187
37
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
Sebab pembenaran yang kelima hapusnya jaminan keselamatan ialah
bolehnya mengambil tindakan terhadap jiwa seseorang atau anggota-anggota
badannya, dan oleh karena itu maka ia bisa dibunuh atau dianiaya. Tindakan
tersebut bisa diadakan apabila dasar-dasar adaya keselamatan jiwa atau anggota
badan telah hapus. Dasar-dasar tersebut adalah iman (Islam) dan jaminan
sementara atau seumur hidup.66
Jaminan keselamatan bagi seseorang menjadi
hapus apabila ia murtad dan bagi kafir ziimi menjadi hapus dengan berakhirnya
masa perjanjian yang telah diberikan kepada mereka atau karena mereka
melanggar (tidak menepati) ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut.
Sebab pembenaran yang keenam adalah Hak- hak penguasa menurut Islam
adalah hak untuk memerintah rakyatnya. Selain memerintah penguasa juga
memiliki kewajiban untuk taat terhadap hukum Allah. Penguasa tidak boleh
menyuruh kepada sesuatu yang menyalahi syara‟. Allah Swt berfirman dalam Q.S
An-Nisa [4] : 59)
66
http://gubukhukum.blogspot.co.id/2012/03/pidana-dalam-hukum-pidana-islam.html
(diakses pada tanggal 30 Agustus 2016 pukul 19.00)
38
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya).”
Dasar penghapusan pidana yang kedua adalah sebab pemaafan. Dengan
adanya sebab pemaafan, seseorang yang melakukan tindak pidana tetap melawan
hukum namun si pembuat atau pelakunya dimaafkan karena keadaan tertentu yang
ada pada diri pelaku.67
Menurut Abdul Qadir Audah adapun keadaan tertentu yang
dimaksud, yaitu :
1. Paksaan (Ikrah)
2. Mabuk.
3. Orang Gila.
4. Anak-anak.
Keadaan yang pertama adalah daya paksa, fuqaha berbeda pendapat
mengenai definisi paksaan. Paksaan adalah apabila suatu hukuman (ancaman)
dapat dilakukan oleh si pemaksa dengan segera dan cukup mempengaruhi orang
yang berakal pikiran sehat untuk mengerjakan apa yang dipaksa bahwa ancaman
tersebut akan benar-benar dilakukan apabila ia menolak apa yang dipaksakan
kepadanya. seperti Sabda Rasulullah Saw.68
ث ب ذ ح ذ ب ح ي ص ف انح ص نذ . ثب ان سهى ان ي بلبط ثب .ب ع بب ط بء ع ع ع اع ص األ
انب ع و إ لا .ص ع ض س ان أ ط انخ ت أي ع يب است كش ب ا عه
Artinya : “Telah menceritakan Muhammad Bin Mushaffa Al-Himshiyyu. Telah
menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan Al-auza‟iyyu dari‟Atho.
67
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II,
hlm. 169 68
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 221
39
Dari Ibnu Abbas r.a Bahwa sesungguhnya Nabi Saw Bersabda : Sesungguhnya
Allah mengangkat dari umatku keliru, lupa, dan sesutu yang dipaksa”69
Jika suatu kejahatan dilakukan dalam keadaan dipaksa tak akan ada
tuntutan hukuman jika terbukti benar bahwa ia melakukan kejahatan karena
dipaksa.70
Seseorang melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum namun
ada unsur paksaan saat melakukan perbuatan tersebut. Maka seseorang itu tidak
wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Keadaan yang kedua adalah mabuk, mabuk adalah perilaku sadar
seseorang atau sekelompok orang untuk meminum minuman beralkohol atau
mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan untuk mengurangi beban dan
tekanan hidupnya dan atau sekedar untuk mencari kesenangan semata, sehingga ia
dapat melakukan tindakan yang tidak terkontrol, seperti bicara ngawur, memukul,
menendang, hingga membunuh.71
Menurut Abdul Qadir Audah seseorang yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya sebab mabuk adalah seseorang yang
mabuk karena dipaksa dan keinginannya sendiri namun ia tidak tahu bahwa
minuman tersebut mengadung zat yang dapat memabukkan.72
Topo santoso juga
mengemukakan pendapat yang sama, jika seseorang mabuk hingga kesadarannya
hilang dan mabuk itu tidak disengaja misalnya karena di paksa, ditipu atau karena
69
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan
Ibnu Majjah Juz I, No. 2045, hlm. 10 70
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II,
hlm. 173 71
http://arief306al-mumtaz.blogspot.co.id/2013/05/mabuk-mabukan.html (diakses pada
tanggal 12 Mei 2016 pukul 16.04) 72
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 240
40
mengkonsumsi obat tertentu maka ia tidak wajib memepertanggungjawabkan
perbuatannya.73
Keadaan yang ketiga adalah orang gila, Secara umum dan luas gila
memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”. Definisi tersebut
merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mencakup gila (junun),
dungu (al-„ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan
idrak (kemampuan berfikir).74
Menurut Abdul Qadir Audah ada beberapa kategori
yang masuk keadaan gila, yaitu :
1. Gila yang terus menerus (Junun Mutbaq)
2. Gila yang berselang (Mutaqatti)
3. Gila sebagian
4. Dungu
5. Epilepsi dan Histeria
6. Terasuki pikiran keji
7. Kepribadian ganda
8. Lemah pikiran
9. Tuli dan Bisu
10. Gerakan dalam tidur
11. Peniduran hipnotis
12. Meluapnya sentimen
73
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II,
hlm. 173 74
http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html (diakses pada
tanngal 12 Mei 2016 pukul 18.00)
41
Keadaan-keadaan yang masuk dalam kategori gila dan melakukan
perbuatan tindak pidana membebaskan pelakunya dari hukuman karena tidak
adanya kekuatan berpikir (idrak) pada dirinya. Walaupun seseorang gila bukan
berarti memberikan pembolehan, melainkan mengahapuskan hukumannya dari si
pelaku. Dan ketetapan ini disepakati oleh para fuqaha.75
Keadaan kempat dan yang terakhir sebab pemaafan seseorang yang
melakukan tindak pidana adalah Anak-anak. Anak-anak dan orang gila adalah
golongan yang tidak dikenai pidana atas perbuatannya, karena keduanya bukan
termasuk orang yang mampu untuk bertanggungjawab.76
Kemampuan beertanggungjawab dalam hukum Islam memiliki salah satu
unsur yaitu kekuatan berpikir (idrak). Anak-anak yang tidak dimintai
pertanggungjawabannya karena masih lemahnya kekuatan berpikir dan belum
memasuki fase memiliki kekuatan berpikir. Seiring dengan perbedaan fase-fase
yang dilalui oleh manusia sejak lahir sampai waktu sempurna kekuatan berpikir
dan pilihan.77
Rasulullah Saw bersabda sebagai berikut.
بس ب ت . ثب ضذ ب أ ب ش ب كش ب ث ب حذثب أ ب ذ ح بنذ ب خذ اش . خ ذ اب ح ي ذ ب ح ي
ت ع ح . قبل : سه بد ب . ثب ح ذ ي ب ح انش د ثب عبذ األ س ى ع إبشا بد ع ح
سسل لا ص.و قبل: ت :أ بئش ع ث ال ث ت ع فع انق ه ى ع ح س ب انص ت بهغ ت ع انبئى ح ق ظ ست ق ع ت ف ح ج ان
Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Bin Abi Syaibah, telah
menceritakan pada kami Yazid Bin Harun. Telah menceritakan kepada kami
75
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 240 76
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2009) Cet. I, hlm. 87 77
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 255-256
42
Muhammad Ibnu Khallid Bin Khidash, Dan Muhammad Bin Yahya, Mereka
berkata : Telah menceritakan pada kami Abdurrahman Bin Muhdiyyi. Telah
menceritakan Hammad Bin Salamah, dari Hammad, Ibrahim, Aswad dan Aisyah.
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Pena diangkat dari tiga orang, dari
anak kecil hingga bermimpi (baligh), dari orang tidur hingga bangun, dan dari
orang gila hingga normal kembali.” 78
Anak-anak dan orang gila adalah golongan yang tidak dikenai pidana atas
perbuatannya, karena keduanya bukan termasuk orang yang mampu untuk
bertanggungjawab.79
Karena sebab inilah seorang anak yang masih dibawah umur
melakukan kejahatan tidak dimintai pertanggungjawaban pidana sebab dimaafkan
segala perbuatanya.
C. Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam
Pertanggungjawaban pidana anak dalam hukum positif terdapat dalam
beberapa undang-undang. Di dalam KUHP yang masih dijadikan rujukan
penegakan hukum di Indonesia, membahas tentang pertanggungjawaban pidana
anak hanya terdapat pada pasal 45, 46 dan 47.
Pasal 45
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat
menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan
78
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan
Ibnu Majjah Juz I, No. 2041 79
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2009) Cet. I, hlm. 85
43
supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika
perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-
pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan
540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah
menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
(1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya
menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain,
atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau
kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di
Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas
tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama
sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-
undang.
Pasal 47
(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap
tindak pidananya dikurangi sepertiga.
44
(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat
diterapkan.
Dalam KUHP , menurut Pasal 45 dan 46 seorang anak yang belum
mencapai usia 16 (enam belas) tahun tidak dijatuhi pidana apapun. Namun, jika
di pertintahkan oleh hakim untuk di serahkan kepada pemerintah dan diberikan
pendidikan serta pembinaan kepada seorang anak yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran selain dari pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 -
519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
bersalah dapat diperintahkan untuk dibina oleh pemerintah sampai berumur
delapan belas tahun.
Sedangkan dalam Pasal 47 (1) disebutkan bahwa penjatuhan pidana yang
diberikan terhadap anak dikurangi atau diperingan menjadi sepertiga dari
hukuman orang dewasa. Apabila si anak melakukan kejahatan yang mana
hukumannya berupa hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi orang dewasa
(jika melakukannya) maka anak dijatuhi pidana paling lama lima belas tahun.
Dikutip oleh Zainal Abidin Farid, menurut Jonkers dasar peringanan atau
pengurangan pidana yaitu :80
80
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm. 439
45
1. Percobaan melakukan kejahatan ( Pasal 53 KUHP) dan pembantuan (Pasal 56
KUHP)
2. Orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana (Pasal 45 KUHP)
Percobaan dan pembantuan pidana ini adalah suatu ketentuan atau aturan
umum yang (yang dibentuk oleh pembentukan Undang-undang) mengenai
penjatuhan pidana terhadap pembuat yang gagal dan orang yang membantu orang
lain melakukan kejahatan. Dimana mereka melakukan suatu tindakan namun tidak
sampai pada tujuannya.81
Syarat dari tejadi suatu tindak pidana berkurang karena
tujuan melakukan pidana itu tidak selesai. Maka dari itu diperingan hukuman bagi
seseorang yang mencoba dan membantu melakukan tindak pidana.
Dan adapun Undang-undang tentang hukum pidana anak selain di dalam
KUHP adalah :82
1. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
2. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak
3. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.
Pertimbangan secara yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai
keadilan dalam pemidanaan anak dibawah umur. Sebaiknya juga pertimbangan
non-yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.
Karena masalah tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh anak dibawah umur
81
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002) hlm. 105 82
Maman Abdul Rahman, Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana
Islam dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Skripsi,
2015, hlm. 36
46
tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada segi normatif namun juga harus
mempertimbangan faktor intern dan ekstern anak yang melatarbelakangi anak
melakukan kenakalan atau kejahatan.83
Dalam hukum Islam, ada salah satu sebab pemaafan pertanggungjawaban
pidana yatu kepada anak-anak. Karena menurut Syari‟at Islam
pertanggungjawaban pidana haruslah di dasari 3 (tiga) unsur, yaitu :
- Perbutan haram yang dilakukan
- Pelaku memiliki pengetahuan (Idrak)
- Pelaku memiliki pilihan (Ikhtiar)
Dengan demikian, seorang anak tidak dimintai pertanggungjawaban pidana
karena tidak memenuhi tiga unsur diatas.
Seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya jika sudah masuk pada
usia balligh karena telah memenuhi tiga unsur tersebut. Selain usia balligh
menurut Abdul Qadir Audah , unsur pertanggungjawaban anak juga didasarkan
pada fase perkembang berpikir. Adapun tiga fase perkembangan berpikir, yaitu :
1. Fase tidak adanya kemampuan berpikir, Fase ini dimulai sejak manusia
dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun.84
Tahap ini adalah tahap
dimana seorang anak mengeksplorasi dunianya, fase kritis dimana anak akan
sangat aktif bergerak dan memuaskan rasa penasarannya terhadap apa yang ia
83
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung : PT Alumni, 2010)
hlm. 93 84
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm 256
47
temui. Eksplorasi lingkungan pada fase ini sangatlah penting dalam melatih
akal anak dalam berfikir.85
2. Fase kemapuan berpikir lemah, Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia
tujuh tahun sampai dengan usia baligh. Di fase ini anak sudah mulai mampu
membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase
inilah kita sudah mulai mempertegas pendidikan pokok syariat.86 Dalam fase
ini anak yang telah melakukan suatu pidana tidak wajib bertanggungjawab
secara pidana, namun dikenai tanggungjawab ta‟dibi yaitu hukuman yang
bersifat mendidik.87
3. Fase kekuatan berpikir penuh, Pada tahap ini manusia sudah dianggap dewasa,
ia sudah terkena kewajiban untuk menjadi ‟abdullah (hamba allah) dan
khalifah (pemimpin) yang baik . Menurut at-Taftazani adalah fase ini dimana
seseorang telah dapat menjalankan hukum, baik yang perintah atau larangan.
Seluruh perilaku harus dipertanggungjwabkan sebagai pahala dan dosa.88
Dalam proses perkembangan berpikir anak, Orang tua memiliki peran
yang sangat penting. Dalam hal mendidik dan mengajarkan anak adalah
kewajiban kedua orang tua. Sebagaimana Allah SWT berfirman ( Q.S At-Tahrim :
66 : 6 )
85
http://www.kompasiana.com/navia/psikologi-perkembangan-islami-fase-
perkembangan-manusia-dalam-al-quran-sejak-dalam-rahim-hingga-hingga-pasca-
kematian_553a6a6f6ea834f21ada42ce (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 23.31) 86
http://robbinadani.blogspot.co.id/2015/05/makalah-perkembangan-anak-menurut.html
(diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 00.10) 87
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm 257 88
http://www.kompasiana.com/navia/psikologi-perkembangan-islami-fase-
perkembangan-manusia-dalam-al-quran-sejak-dalam-rahim-hingga-hingga-pasca-
kematian_553a6a6f6ea834f21ada42ce (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 00.35)
48
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Dikutip oleh Syaikh Jamal Abdurrahman, dimana Sahabat Ali
menafsirkkan ayat ini dengan kalimat “didiklah dan ajarilah mereka.” Mengajar,
mengarahkan dan mendidik anak adalah usaha mendapatkan surga. Mengabaikan
itu semua berarti neraka. Mendidik dan mengajar anak merupakan suatu
kewajiban bagi orang tua. Memperhatikan segala kebutuhan anak dalam tumbuh
kembangnya juga adalah kewajiban kedua orang tua.
Dikutip oleh Ibnu Abbas menurut Abdul Nashih Ulwan, kewajiban orang
tua dalam memberikan pendidikan terhadap anak ada lima, yaitu :89
1. Tanggungjawab pendidikan iman.
2. Tanggungjawab pendidikan akhlak.
3. Tanggungjawab pendidikan fisik.
4. Tanggungjawab pendidikan intelektual.
5. Tanggungjawab pendidikan psikis.
89
Ibnu Abbas, Batas Minimal Cakap Hukum dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam, (Jakarta : Skripsi, 2011) hlm. 21
49
Tanggungjawab orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap
anaknya sangatlah penting. Seorang anak akan taat dan mengamalkan ajaran
Islam dalam kehidupannya, jika kedua orang tuanya mendidiknya dan
mengajarinya berdasarkan ajaran Islam sejak dini. Lain halnya jika orang tua
mendidik dan mengajarkan hal buruk kepadanya maka anak akan tumbuh diluar
ajaran Islam. Rasulullah Saw bersabda
هرى عن أبي س ثنا ابن أبي ذئب عن الز ثنا آدم : حد حمن عن أبى هريرة حد لمة بن عبد الردانه قال النبي ص.م كل رضي هللا عنه قال : رانه و ا مولود يولد على الفطرة. فأبواه يهو ينص
سان و ا ه كمثل البهيمة تنتج البهيمة هل ترى فيها جدعاء يمج
Artinya : “Telah menceritakan pada kami Adam : telah menceritakan pada kami
Ibn Abi Dzi‟bi dari Zuhri, dari Abi Salamah Bin Abdurrahman, dari abu
Hurairah r.a berkata : Rasulullah Saw bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, maka tergantung kedua orang tuanya yang menjadikan dia orang
Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang
semurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga).”90
Dikutip oleh Syaikh Jamal Abdurrahman tentang nasihat Al-Ghazali
“Janganlah banyak mengarahkan anak dengan celaan karena si anak akan
menjadi terbiasa dengan celaan. Dengan celaan pula si anak akan bertambah
berani melakukan keburukan dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya
lagi.”91
Al-Ghazali berpesan kepada orang tua agar tidak mendidik anak dengan
cara mencelanya. Karena akan berdampak buruk kepada tumbuh kembang si anak
yang di biasakan mendapat celaan dan nantinya akan dengan mudah melakukan
keburukan lainnya selain perbuatan mencela. Seorang pendidik ataupun kedua
90
Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al- Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Juz
II, No. 2658 91
Syaikh Jamal Abdurrahman, Athfalul Muslimin Kaifa Rabahumun Nabiyyul Amin di
Terjemahkan oleh Anggota SPI Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi, (Solo : Aqwam,
2015) Cet.12 hlm.114
50
orang tua selain tidak boleh mecela anak juga tidak boleh mengajarkan kepada
anak untuk berbuat maksiat. Misalnya meminum minuman keras, berbuat
kejahatan, merokok, mencela, mencaci dan sampai melukai atau merugikan diri
sendiri dan orang lain.
Walaupun seorang anak yang melakukan perbuatan maksiat tersebut
belum baligh tidak dibebani hukum (taklif) tetapi orang tua tetap
bertanggungjawab agar tidak berdampak buruk jika dibiarkan dan dilakukan
berulang-ulang dan menjadi kebiasaan di masa yang akan datang.92
Sebagai orang
tua yang baik dalam mendidik anak, orang tua haruslah menjauhkan anak dari
kebiasaan berbuat maksiat. Jika tidak, maka orang tua yang bertanggungjawab
atas perbuatan maksiat yang dilakukan anaknya di akhirat kelak. Sebagaimana
Rasulullah Saw bersabda
بفع ض حذثب انهث ع يح ذ اب س ث حذثب يح عذ حذثب ن س ب ت ب ش حذثب ق ت ع اب ع
ق بل : أ ل ص.و ا انب ع عت س ل ع سئ ى ي هك ك اع ى س ك ه ه انب ط بف ك ع ش انلز ل ي
اع س اع م س ج انش عت س ل ع سئ ي ت ه ب ه ا ل ع سئ ي ى اع ت ع شأ ة س ان
ن ذ ب عهب ن ت ع سئ ي بذ ى انع اع س ذ بل س ي ل ع سئ اه ك : أ ل ف ي ى س ك ع
ى هك ك عت س ل ع سئ ي
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟id. Telah
menceritakan kepada kami Lais. Dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad Bin Rumhi. Telah menceritakan kepada kami Lais dari Nafi‟,dari
Ibnu Umar RA, dari Nabi Muhammad SAW beliau telah bersabda: Kalian
semuanya adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawaban terhadap
rakyatnya. pemimpin akan ditanya tentang rakyat yang dipimpinnya. Suami
pemimpin keluargnya dan akan di tanya tentang keluarga yang dipimpinnya. Istri
memelihara rumah suami dan anak-anaknya dan akan di tanya tentang hal yang
dipimpinnya. Seorang hamba (buruh) memelihara harta majikannya dan akan
92
Syaikh Jamal Abdurrahman, Athfalul Muslimin Kaifa Rabahumun Nabiyyul Amin di
Terjemahkan oleh Anggota SPI Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi, (Solo : Aqwam,
2015) Cet.12 hlm.100
51
ditanya tentang pemeliharaannya. Camkanlah bahwa kalian semua pemimpin dan
akan dituntut ( diminta pertanggungjawaban ) tentang hal yang dipimpinnya.”93
Dari hadist ini seorang suami (ayah) dan istri (ibu) akan dimintai
pertanggungjawabannya atas kepemimpinan (pemeliharaan, pendidikan) terhadap
anak yang di amanahkan kepada mereka dan jika si anak yang melakukan
perbuatan maksiat.
Jadi, peran orang tua sangatlah penting dalam pertanggungjawaban atas
perbuatan yang dilakukan oleh anaknya. Apabila orang tua mendidik anak dengan
cara membiasakan mencela si anak, ia akan terbiasa mencela dan melakukan hal-
hal yang lebih dari sekedar mencela dan berujung kepada kemaksiatan ataupun
kejahatan. Tapi apabila mendidik anak dengan cara yang dianjurkan oleh Islam
anak akan terbiasa untuk melakukan kebaikan dalam kehidupannya sehari-hari
hingga ia dewasa.
93
Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al- Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Bi
Syarah An-Nawawi Juz VI, No. 2658
50
BAB III
BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
A. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Positif
Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan, bahwa pertanggungjawaban
pidana anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya
terdapat pada Pasal 45, 46 dan 47. Pasal-pasal ini menyatakan bahwa seorang
anak yang belum mencapai usia enam belas tahun tidak dijatuhi hukuman apapun.
Apabila dijatuhi hukuman itu dikarenakan melanggar pasal-pasal tertentu namun,
hukumannya diperingan.
Undang-undang yang membahas tentang pidana anak selain KUHP yang
pertama adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang ini mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.1 Jadi
seseorang yang masih berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun itu dikategorikan
anak. Perbedaan undang-undang ini dengan KUHP yaitu pada perbedaan batas
usia.
Dalam KUHP seseorang yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun
itu dikategorikan anak. Sedangkan di Undang- Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, seseorang yang berusia kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dikategorikan anak.
1 M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum,(Jakarta : Sinar Grafika, 2013) hlm.10
51
Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak Pasal 59 junto Pasal 64 sebenarnya telah menegaskan dimana Pemerintah
dan Lembaga Negara lainnya wajib dan bertanggungjawab memberikan
perlindungan khusus melalui upaya : 2
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak
anak;
2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
3. Penyediaan saranadan prasarana khusus;
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum;
6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga; dan
7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
Undang-undang yang membahas tentang pidana anak selain KUHP yang
kedua adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
undang-undang ini dibentuk karena di Indonesia haruslah memiliki penanganan
khusus perkara pidana bagi anak.3 Penanganan perkara di Indonesia setelah
terbitnya undang-undang ini, menjadikan KUHP tidak dipergunakan lagi
menangani perkara pidana anak.
2 http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-anak-
bermasalah-dengan-hukum/ (diakses pada tanggal 1 Agustus 2016 pukul 19.20 WIB) 3 Gatot Suparmono, Hukum Acara Pengadilan Anak,(Jakarta : Djambatan, 2003) hlm. 17
52
Batas usia anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak. Jika
dalam KUHP seorang anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun tidak
dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan-aturan yang tercantum dalam KUHP dan
tidak memiliki batas minimal usia. Namun, disebutkan mengenai pengajuan ke
sidang anak dan batas minimal usia dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak adalah sebagai berikut :
Pasal 4 ayat 1
“batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
Pasal 4 ayat 2
“dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang
bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Menurut pasal 4 ayat 1 dan 2 seorang anak yang bermasalah dengan
hukum dapat diajukan ke sidang anak adalah anak yang berusia 8 sampai 18.
Namun, dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa seorang anak yang diajukan ke
persidangan anak sesudah melewati batas usia 18 tahun dan belum sampai pada
usia 21 tahun tetap diajukan ke sidang anak.
53
Namun, apabila seorang anak melakukan tindak pidana sebelum mencapai
batas minimal usia pertanggungjawaban pidana yaitu 8 (delapan) tahun. Maka ada
tiga kemungkinan yang akan diambil oleh hakim yaitu :4
Pasal 5
1. Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tesebut dapat
dilakukan pemeriksaan oleh penyidik
2. Apabila menurut hasil pemeriksaa, penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orangtua,
wali atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut
kepada orang tua, wali atu orangtua asuhnya.
3. Apabila menurut hasil pemeriksaa, penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina oleh orang tua, wali
atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada
departemen sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing
kemasyarakatan.
Sanki terhadap anak yang berperkara menurut UU No. 3 Tahun 1997
tentang pengadilan anak diatur dalam Pasal 23 yaitu pidana pokok dan pidana
tambahan.5 Pidana pokoknya yaitu : penjara, kurungan, denda dan pengawasan.
Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu atau
4Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,(Bandung : Refika Aditama, 2013)
hlm.25 5 Lihat UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak
54
membayar ganti rugi. Dengan demikian, menurut Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, seorang anak yang masih berusia 8 tahun sampai
21 tahun bisa diajukan ke Sidang Anak. Dan sanksi yang diberikan bisa berupa
pidana penjara, kurangan denda ataupun pengawasan. Namun, bagi anak yang
berusia dibawah 8 tahun dan melakukan tindak pidana diputuskan sesuai dengan
pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Undang-undang yang membahas tentang pidana anak selain KUHP yang
ketiga dan terbaru adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Menurut Pasal 1 ayat 3 “Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berusia 18
(delapan belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana.” Namun, dalam
penahanan terhadap seorang anak dilakukan apabila ia telah berusia 14 (empat
belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
7 (tujuh) tahun.6
Jadi UU SPPA dalam mendifinisikan anak berbeda dengan KUHP, UU
SPPA menggunakan batas usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas)
tahun yang menjadikan seseorang masuk dalam kategori anak. Dan menurut UU
SPPA anak yang bermasalah dengan hukum bisa dilakukan penahan terhadapnya
jika sudah berusia 14 (empat belas) tahun.
Undang-undang terbaru ini diharapkan menjadi undang-undang yang
mengedepankan keadilan bagi anak yang bermasalah dengan hukum. Oleh sebab
6 Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. (Bandung : PT Alumni,
2014) hlm. 3
55
itu, dalam perumusan undang-undang ini mengembangkan konsep Restorative
Justice7 yang diwujudkan melalui Diversi.
8
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Pasal 8 ayat 1 yang dimaksud dengan Diversi adalah “proses yang
dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua / walinya,
pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial professional dan berdasarkan
pendekatan restorative”
Proses diversi dimaksudkan agar dalam penyelesaian perkara anak di
lakukan melalui musyawarah, langkah ini dibuat untuk menghidarkan anak dari
tindakan hukum berikutnya. Namun, jika tidak berhasil dalam musyawarah maka
tindakan selanjutnya harus mengacu pada due process of law9. Sehingga hak asasi
anak tetap dilindungi walaupun ia bermasalah dengan hukum.10
Konsep diversi di Indonesia memang merupakan hal yang baru dan baru
kita kenal sejak adanya Undang-Undang No. 11 Tahun tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak diundangkan walupun sebenarnya istilah diversi di beberapa negara
sudah lama dikenal seperti konsep diversi sudah mulai dicetuskan oleh Presiden
Australia dan dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1960.11
Dan pertama kali di
terapkan oleh Negara Australia.
7 Restorative Justice atau Keadilan Restoratif adalah suatu proses dimana semuapihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana
menangani akibat di masa yang akan datang. 8Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,(Bandung : Refika Aditama, 2013)
hlm.133 9 Due Process of Law adalah penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan
hukum yang lainnya. 10
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,(Bandung : Refika Aditama, 2013)
hlm.135 11
http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/163-era-baru-sistem-peradilan-
pidana-anak (diakses pada tanggal 10 September 2016 pukul 11.10 WIB)
56
Sebagai perbandingan dapat dilihat batas usia pertanggungjawaban pidana
anak yang diatur dalam Negara-negara lainya, yaitu : 12
1. Negara Inggris, memiliki batas usia minimum 8 tahun.
2. Negara Australia, memiliki batas usia minimum 8 tahun.
3. Negara Swedia, memiliki batas usia minmum 15 tahun.
4. Negara Jepang memiliki batas usia sampai 20 tahun.
5. Negara Columbia memiliki batas usia sampai 18 tahun.
6. Negara Korea memiliki batas usia minimum 14 tahun.
B. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Islam
Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda, hukum Islam
telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia
yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum balligh. Sedang menurut
kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai
usia 15 tahun.13
Baligh secara bahasa berarti sampainya seorang anak pada usia
melaksanakan kewajiban agama. Sementara definisi fiqih untuk baligh itu sendiri
adalah berakhirnya masa kanak-kanak seseorang dan sampai pada usia dimana ia
telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan kewajiban dan konsisten untuk
melaksanakan hukum syariat.14
12
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) hlm 17 13
file:///C:/Users/User/Downloads/434-1062-1-SM.pdf (diakses padatanggal 20 Mei
2016 pukul 14.06) 14
http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-_Baligh
(diakses pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 16.30)
57
Seorang manusia tidak dikenakan kewajiban untuk melasanakan syariat
Islam (pembebanan hukum / taklif ) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum.15
Dikutip oleh Nasrun Haroen, para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa
perbuatan seseorang baru bisa dikenai pembebanan hukum (taklif) apabila orang
tersebut telah memenuhi dua syarat yaitu :
1. Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara’) yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Baik secara langsung maupun
melalui orang lain, seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk
memahami khitab syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu
pembebanan hukum (taklif). Kemampuan taklif ini haruslah sesuai dengan
perkembangan akal manusia, namun dikarenakan akal sulit diukur maka
indikasi yang paling konkrit adalah balighnya seseorang. Penentuan baligh itu
ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani
bagi pria. 16
Dalam syariat Islam telah ditetapkan mengenai tanda-tanda baligh
dan bila terbukti ada satu dari tanda-tanda itu sudah cukup menunjukkan orang
tersebut telah baligh. Sebagian dari tanda-tanda ini sama antara anak laki-laki
dan perempuan dan sebagian lainnya khusus ada pada anak perempuan.17
2. Seseorang harus cakap bertindak hukum (ahliyyah) maksudnya apabila
seorang belum atau tidak cakap bertindak hukum. Maka seluruh perbuatan
yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ahliyyah
adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan
15
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996) hlm 305 16
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996) hlm 306 17
http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-_Baligh
(diakses pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 17.08)
58
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh Syara’. Anak kecil
yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak dikenakan
tuntutan Syara’.18
Selain usia balligh menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban anak,
dalam Bab II sudah sedikit disinggung mengenai fase-fase perkembangan berpikir
yang terdiri dari tiga fase. Yaitu fase kemampuan berpikir tidak ada, fase
kemampuan berpikir lemah dan kemampuan berpikir penuh. Sama halnya dengan
mewajibkan seorang anak untuk melakukan shalat. Seperti hadist berikut ini :
لطباع حدثنا إبراىين بن سعد عن عبد الولك بن الربيع بن حدثنا هحود بن عيسى يعني ابن ا
الة اذا بلغ ر ه سبرة عن ابيو عن جده قال :قال رسل هللا ص.م : بي باالص سنين سبع ا الص
اذا بلغ عشر سنين علييأ ه ب ضر فا
Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Aysi, Ya’ni Bin
Thaba’. Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Bin Sa’di dari Abdul Malik Bin
Rabi’ Bi Sabrah, dari ayah dan kakeknya berkata : Rasulullah Saw bersabda :
Anak kecil diperintahkan untuk shalat berumur tujuh tahun dan dipukul jika
berumur sepuluh tahun lantaran meninggalkannya (shalat). 19
Fase yang pertama tidak adanya kemampuan berpikir. Bisa jadi, anak
berumur tujuh tahun telah menunjukkan kemampuan berpikirnya tapi ia belum
dianggap tamyiz karena yang dijadikan ukuran ialah kebanyakan orang bukan
perseorangan. يؤهر بيا صغير لسبع (Anak kecil diperintahkan untuk shalat ketika
berusia tujuh tahun) setelah usianya genap tujuh tahun, maka anak kecil itu
diperintahkan untuk mendirikan shalat dan melaksanakan kewajiban-kewajiban
lainnya selain shalat.20
18
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996) hlm 308 19
Abu Daud Sulaiman Ibn Al-Asy’Ast Syajtani, Sunan Abu Daud Juz I, No. 494 20
Muhammad Bin shalih Al-Utsaimin, Asy-syarh Al-Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni
diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah,(Jakarta : Darus Sunnah Press,2010) hlm. 51
59
Jadi jika seorang anak melakukan perbuatan jarimah saat usianya dibawah
tujuh tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman pidana atau sebagai
pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan pertanggungjawaban secara
perdata. Yang dibebankan atas harta milik pribadi yakni memberikan ganti rugi
kepada orang yang telah dirugikan. 21
Fase yang kedua kemampuan berpikir lemah, يضرب علييأ لعشر (dan
dipukul jika berumur sepuluh tahun) maksud dari penggalan hadist ini adalah
seorang yang yang sudah masuk usia sepuluh dan tidak melaksanakan shalat yang
telah di perintahkan Allah swt. Maka diperbolehkan memukulnya hanya sampai
dia melaksanakan shalat. Diperbolehkannya memukul si anak dengan tujuan
mendidik dan bukan menyiksanya.22
Sama dengangan halnya memukul anak saat ia tidak melakukan shalat.
Pada usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun ini seorang anak tidak
dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah yang dilakukan. Akan tetapi
ia bisa dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman
akan tetapi bukan sebagai hukuman pidana.23
Fase yang terakhir adalah kemampuan berpikir penuh. Pada masa ini
seorang anak sudah mencapai usia kecerdasan yang disebut sebagai mukallaf.
Allah swt berfirman (Q.S Al-Baqarah [2] : 286)
21
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993) hlm.
369 22
Muhammad Bin shalih Al-Utsaimin, Asy-syarh Al-Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni
diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah,(Jakarta : Darus Sunnah Press,2010) hlm. 52 23
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993) hlm.
370
60
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”
Setelah seseorang mencapai mukallaf (lima belas tahun), menurut
perbedaan pendapat dikalangan fuqaha masa ini seseorang dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya bagaimanpun
juga macamnya.24
Ijma’ ulama sepakat bahwa usia baligh itu pada usia lima belas tahun.
Namun, beberapa ulama’ berbeda pendapat mengenai usia baligh yang terjadi
pada laki-laki dan perempuan yang belum ada tanda-tanda bermimpi keluarnya
mani (ihtilam) dan haid, yaitu:25
1. Menurut Imam Malik ada tiga pendapat : pada usia tujuh belas tahun,
delapan belas tahun dan lima belas tahun.
2. Menurut Imam Abu Hanifah ada dua pendapat : pada usia delapan belas
tahun, dan tujuh belas tahun bagi seorang budak.
3. Sedangkan menurut Imam Abu Daud Azh-Zhahiri beserta para sahabatnya
berpendapat bahwa tidak ada batasan usia yang pasti mengenai batasan
usia baligh.
C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum
24
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993) hlm.
370 25
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatu Al-Maudud fii Ahkamil Maulud, diterjemahkan
Kado Menyambut si Buah Hati oleh Mahfud Hidayat, dkk., (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007)
hlm. 470-471
61
Dalam hukum positif terjadi perubahan Undang-undang yang bertujuan
untuk meningkatkan perlindungan dan menjunjung tinggi hak-hak anak yang
bermasalah dengan hukum. Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak
dikelompokkan menjadi 4 (empat kategori ) yaitu :26
1. Hak untuk kelangsungan hidup
2. Hak terhadap perlindungan
3. Hak untuk tumbuh kembang
4. Hak untuk berpartisipaasi.
Dalam pelaksanaan hak-hak anak ini,seharusnya diperhatikan beberapa hal
yang berkaitan dengan situasi, kondisi, fisik dan mental si anak yang bermasalah
dengan hukum, yaitu :27
1. Hak anak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah.
2. Hak anak mempunyai pendamping dari penasehat hukum.
3. Hakuntuk menyatakan pendapat.
4. Hak untuk mendapatkan pembinaan yang manusiawi sesuai dengan Pncasila
dan UUD’45 dan ide pemasyarakatan.
5. Hak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan,
menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.
Menurut Undang Undang terbaru Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, peradilan bagi anak haruslah berdasarkan 10 asas, yaitu :
5. Asas Perlindungan
6. Asas Keadilan
26
Penjabaran tentang Konvensi Hak-hak anak bisa dilihat di buku M.Nasir Djamil, Anak
Bukan Untuk Dihukum,(Jakarta : Sinar Grafika, 2013) hlm.14-16 27
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006) hlm 70
62
7. Asas Nondiskriminasi
8. Asas Kepentingan terbaik anak
9. Asas Penghargaan untuk anak
10. Asas Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
11. Asas Pembinaan dan pembimbingan anak
12. Asas Proporsional
13. Asas Perampasan dan pemidanaan upaya terakhir
14. Asas Penghindaran pembalasan.28
Perlindungan hukum bagi anak yang bermasalah dengan hukum mencakup
perlindungan tehadap kebebasan anak, perlindungan terhadap hak asasi anak dan
perlindungan hukum terhadap semua kepentingan yang berkaitan dengan dengan
kesejahteraan.29
Beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk
mendukung pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak adalah :
1. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2. Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3. Peraturan Pemerinah No 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
bagi Anak yang mempunyai masalah
4. Dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 36 Tahun 1990 tentang
pengesahan convention of the right (konvensi tentang hak-hak anak).30
Saat seorang anak disangka melakukan tindak pidana hingga diputuskan
oleh pengadilan maka seorang anak haruslah di damping oleh petugas sosial yang
28 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
29 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009) hlm 1
30 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009) hlm 4
63
membuat Case Study. Case Study adalah catatan yang terpenting dalam sidang
anak, petugas sosial yang bertugas mengumpulkan data-data si anak mendatangi
lingkungan (seperti : keluarga, tetangga, kerabat dan teman-temannya) si anak
untuk mendapatkan informasi bagaimana seluk beluk anak ini. 31
Case Study sangatalah berperan besar bagi perkembangan anak di
kemudian hari, karena dalam pemutusan perkara hakim harus melihat Case Study
si anak secara khusus (pribadi). Jika hakim tidak melihat Case Study dalam
memutuskan perkara maka hakim tidak pernah mempertimbangkan keadaan
sebenarnya si anak dalam kehidupan sehari-harinya hanya sebatas bertemu di
muka persidangan saja. Namun, bukan berarti hakim terikat dengan Case Study ini
hanya sebagai alat pertimbangan hakim dalam mengambil tindakan yang sebaik-
baiknya guna kepentingan anak.32
31
Wagiati Soetedjo, Melani. Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi).(Bandung : Refika
Aditama.2013). Cet. IV hlm 41 32
Wagiati Soetedjo, Melani. Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi).(Bandung : Refika
Aditama.2013). Cet. IV hlm 42
64
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANALISIS PUTUSAN
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel TENTANG BATASAN USIA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
A. PUTUSAN PENGADILAN No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel
Deskripsi Kasus
Pada hari Minggu tanggal 06 Januari 2013 sekira pukul 19.05 Wib
terdakwa (Rendi Ardiansah) sedang berada dirumah yang ia tempati di Jl. Kebalen
VII Kel. Kuningan Barat Kec. Mampang Prapatan Jakarta Barat. Dan mengetahui
korban (Dewi Nurani) memiliki handphone baru yang tidak ia ketahui.
Lalu ia datang dan tiba-tiba mendorong pintu kamar kos korban (Dewi
Nurani) kemudian mencari keberadaan handphone yang sebelumnya telah
disembunyikan oleh korban (Dewi Nurani), saat handphone tersebut ditemukan
oleh terdakwa (Rendi Ardiansah) ia berkata “OH BEGITU TERNYATA LO
DIAM-DIAM PUNYA HANDPHONE SENDIRI.... TERNYATA LO
SELINGKUH”. Namun, korban (Dewi Nurani) berusaha mengambil kembali
handphone miliknya Lalu terdakwa (Rendi Ardiansah) menendang kaki kiri dan
menggigit tangan kiri korban (Dewi Nurani).
Kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) mengancam korban (Dewi
Nurani)“GUE ABISIN LO NANTI GUE PANGGIL ABANG-ABANGAN GUE...
LO BELUM TAU SIAPA GUE”, kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah)
membawa handphone milik korban (Dewi Nurani) ke dalam kamarnya. Korban
(Dewi Nurani) kembali ke kamar terdakwa (Rendi Ardiansah) dan berusaha
65
mengambil handphone miliknya. Terdakwa (Rendia Ardiansah) tidak ingin
mengmbalikan handphone milik korban (Dewi Nurani) dan memukul korban pada
bagian lengan kanan sebanyak 3 (tiga) kali. Karena kesakitan korban (Dewi
Nurani) kembali masuk ke kamar kosnya.
Kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) datang kembali ke kamar kos
korban (Dewi Nurani) dengan membawa tas sambil meminta uang kepada korban
(Dewi Nurani) sebesar Rp. 3.000.000 - (tiga juta rupiah) untuk mengganti uang
yang telah dikeluarkannya selama berhubungan pacaran, tetapi karena korban
(Dewi Nurani) tidak memiliki uang sebanyak itu. Lalu korban (Dewi Nurani)
mengajak terdakwa (Rendi Ardiansah) untuk bertemu dengan saksi Maryani
(majikan tempat saksi bekerja) untuk meminjam uang.
Kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) dan korban (Dewi Nurani) turun
ke lantai bawah untuk berangkat ke tempat kerja saksi (Maryani). Saat berada di
lantai bawah terdakwa (Rendi Ardiansah) kembali memukul saksi sebanyak 2
(dua) kali ke arah bagian kepala dan mata sambil marah terdakwa (Rendi
Ardiansah) berkata “KENAPA LO PUNYA HANDPHONE SENDIRI?” dan
dijawab oleh korban (Dewi Nurani) “AKU CUMA INGIN PUNYA TEMAN
BANYAK...” lalu tangan korban (Dewi Nurani) ditarik oleh terdakwa (Rendi
Ardiansah) dan mulut korban (Dewi Nurani) ditutup menggunakan tangan
terdakwa (Rendi Ardiansah) karena korban (Dewi Nurani) berteriak dan
menangis kemudian terdakwa (Rendi Ardiansah) kembali memukul bagian
kepala korban (Dewi Nurani) .
66
Setelah berjalan selama 5 (lima) menit terdakwa (Rendi Ardiansah) dan
korban (Dewi Nurani) berjalan ke arah pangkalan bajaj lalu menaiki bajaj,
terdakwa (Rendi Ardiansah) berteriak-teriak di dalam bajaj mengatakan korban
(Dewi Nurani) memiliki hutang sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) dan
akan membawa korban (Dewi Nurani) ke kantor Polisi. Selama di dalam bajaj
terdakwa (Rendi Ardiansah) memukuli, menendang dan menginjak korban (Dewi
Nurani) hingga tersungkur ke lantai bajaj. Lalu terdakwa (Rendi Ardiansah)
membenturkan kepala saksi ke besi pegangan yang ada di dalam bajaj yang
dikendarai oleh saksi 2 (Kasno als Kastori).
Setiba di sebuah taman terdakwa (Rendi Ardiansah) meminta kepada saksi
2 (Kasno als Kastori) menghentikan bajaj yang dikemudian olehnya. Lalu
terdakwa turun dan menarik paksa korban (Dewi Nurani) untuk ikut turun
bersamanya. Saat berada di taman tersebut, korban meminta maaf dan memohon
ampun kepada terdakwa, namun terdakwa malah kembali memukul, menendang
dan menginjak korban (Dewi Nurani) dan berteriak meminta tolong kepada orang
lain yang melintas. Saat itu teriakan korban didengar seorang petugas keamanan
yang keluar dari sebuah rumah melerai keributan tersebut. Selang beberapa menit
datang petugas polisi yang kemudian membawa korban dan terdakwa ke kantor
Polisi guna proses lebih lanjut.1
Kasus ini menggunakan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sebagai acuan dalam proses peradilan pidana anak. Proses yang
pertama adalah penyidikan. Penyidikan dilakukan oleh Penyidik yang ditunjuk
1 Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel, h.3-5
67
langsung oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Dan penyidikan dilakukan
secara kekeluargaan dan merahasiakan proses penyidikan kepada pihak mana pun.
Hal ini diatur pada Pasal 42 UU Pengadilan Anak.
Selama proses penyidikan, penahanan terhadap anak dilakukan bertujuan
agar proses penyidikan berjalan lancar. Penahanan berlaku sesuai surat penahanan
adalah 20 (dua puluh) hari. Namun, jika masih dibutuhkan proses penyidikan
maka di perpanjang selama 10 (sepuluh) hari dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
penyidik harus menyelesaikan penyidikannya (Pasal 44). Pada kasus Rendi
Ardiansah, dalam surat penahanan pertama ia ditahan sejak tanggal 8 Januari 2013
sampai 27 Januari 2013. Lalu diperpanjang dari tanggal 28 Januari 2013 sampai 6
Februari 2013. Setelah itu perkara dilimpahkan kepada Penutut Umum.
Perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum, maka Penuntut Umum
berwenang melakukan penahanan bertujuan untuk kepentingan penuntutan.
Penahan selama penuntutan dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari. Namun, jika
penuntut membutuhkan perpanjangan penahanan maka paling lama perpanjangan
penuntutan adalah 15 (lima belas) hari (Pasal 46). Pada kasus ini, Penuntut Umum
menahan Rendi Ardiansah sesuai surat perintah penahanan sejak tanggal 5
Februari 2013 sampai 14 Februari 2013. Namun, karena penuntutan selasai
sebelum masa penahanan habis, maka perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
Adapun isi dari surat tuntutan dari penuntut umum No.Reg.Perkara: PDM-
92/JKTSL/Epp.2/02/2013 Tanggal 28 Februari 2013 yang pada pokoknya
68
menuntut agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa RENDI ARDIANSAH bersalah melakukan Tindak
Pidana “Penganiayaan dengan sengaja merusak kesehatan” sebagaimana
diatur dalam dakwaan Pasal 351 ayat (4) KUHP.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RENDI ARDIANSAH dengan pidana
penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa : NIHIL
4. Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua
ribu rupiah).2
Pelimpahan perkara dari penuntut umum ke Pengadilan dan perkara
diperiksa oleh Hakim. Hakim menngeluarkan surat perintah penahanan anak yang
diperiksa. Penahanan dilakukan selama 15 (lima belas) hari, jika diperpanjang
untuk kepentingan pemeriksaan maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
mengeluarkan surat perpanjangan penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari
(Pasal 47). Pada kasus Rendi Ardiansah pelimpahan perkara dari penuntut umum
dan Hakim mengeluarkan surat penahan untuk tanggal 8 Februari 2013 sampai 22
Februari 2013. Dan Hakim meminta perpanjangan penahanan, dan surat
perpanjangan penahanan di keluarkan oleh Ketua Pengadilan Jakarta Selatan
terhitung pada tanggal 23 Februari 2013 sampai 24 Maret 2013.
2 Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel, h.2-3
69
Selama proses peradilan dari penydikan samapai dilimpahkan perkara ke
Pengadilan Negeri, ada seorang petugas sosial yang membuat case study yang
bertujuan sebagai alat pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana. Namun,
Hakim pada kasus ini tidak sependapat dengan case study yang dibuat oleh
petugas sosial. Jadi, Hakim memutus perkara ini sebagai berikut :
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa RENDI ARDIANSAH bersalah melakukan Tindak
Pidana “Penganiayaan dengan sengaja merusak kesehatan” sebagaimana
diatur d alam dakwaan Pasal 351 ayat (4) KUHP.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RENDI ARDIANSAH dengan pidana
penjara selama 7 (tujuh) bulan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua
ribu rupiah).3
B. TINJAUAN HUKUM POSITIF TERHADAP PUTUSAN NO.
229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel
Pertimbangan Hakim dalam menetapkan hukuman terhadap Rendi Ardiansah
dalam amar putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel adalah sebagai berikut :
1. Hakim menyatakan bahwa Rendi Ardiansah melakukan tindak pidana yaitu
penganiayaan yang dengan sengaja merusak kesehatan. Pada poin ini hakim
3 Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel, h.15-16
70
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351 ayat
4 tentang penganiayaan yang dengan sengaja merusak kesehatan sebagai
dasar memutuskan perkara.
2. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Rendi Ardiansah dengan pidana penjara
selama 7 (tujuh) bulan. Pada poin ini hakim menggunakan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351 (1) yang berisikan tentang
penjatuhan pidana penganiayaan maksimal dua tahun delapan bulan dan Pasal
26 (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berisikan
penjatuhan pidana terhadap anak dibagi ½ (seper dua) dari hukuman maksimal
orang dewasa. Jadi maksimal pidana yang diterima oleh anak adalah 16 (enam
belas) bulan. Namun, ada asas bahwa hakim tidak diperbolehkan mengabulkan
melebihi dari tuntutan jaksa penuntut umum (ultra petitum partium) dalam
putusan ini tuntutan JPU selama 10 (sepuluh) bulan. Dengan demikian, hakim
menjatuhkan pidana kepada Rendi selama 7 (tujuh) bulan ini selain didasari
undang-undang diatas dan asas ultra petitum partium, hakim menjatuhkan
pidana didasari dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 28 (1) yang berisi hakim dalam memutuskan perkara haruslah melihat
nila-nilai keadilan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam penjatuhan
pidana terhadap terdakwa selama 7 (tujuh) bulan selain menggunakan nurani
hakim yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan fakta-
fakta dalam persidangan, putusan hakim ini juga tidak melanggar undang-
undang lainnya dan nilai-nilai keadilan di masyarakat.
71
3. Pada poin ini Hakim menjatuhkan pidana kepada Rendi selama 7 (tujuh) bulan
dan dikurangi masa penahanan yang telah dijalaninnya selama 3 (tiga) bulan
bulan sesuai dengan surat perintah penahanan. Dengan demikian, Rendi
menjalani sisa hukumannya selama 4 (empat) bulan.
4. Pada poin ini hakim menetapkan bahwa Rendi tetap berada dalam tahanan.
Dengan maksud memberi penekanan penjatuhan pidana sesuai dengan Pasal
197 KUHAP yang berisiskan hakim memerintahkan agar terdakwa ditahan/
tetap dalam tahanan/ dibebaskan.
5. Pada poin ini, hakim membebankan biaya perkara kepada Rendi sebesar Rp.
2.000, (dua ribu rupiah). Hal ini berdasarkan kepada Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 222 yang berisikan seseorang yang
dijatuhi pidana dibebankan biaya perkara.
Jadi, setelah penulis menganalisa ternyata hakim dalam memutuskan
perkara No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel. Hakim lebih cenderung
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam penetapan
batas usia terdakwa, hakim mempertimbangkan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Pada undang-undang ini seseorang yang masih
berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, ia dikategorikan sebagai anak. Dengan
demikian, walaupun Rendi berusia 17 (tujuh belas) tahun ia tetap dikategorikan
sebagai anak. Dan disidangkan di Sidang Anak sesuai dengan Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat 1. Dan dalam penjatuhan
pidana terhadap terdakwa hakim menggunakan Pasal 351 KUHP dan Pasal 28 (1)
UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan juga kewenangan kekuasaan
72
hakim dalam menjatuhkan pidana yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam memutuskan perkara anak ini hakim tidak menggunakan undang-
undang terbaru yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak didasari oleh Pasal 108 yang berisikan Undang-undang ini
diberlakukan setelah 2 (dua) tahun setelah diundangkan.
Hakim, haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun terdakwa secara fisik sudah terlihat kedewasaannya, namun di
Indonesia seseorang yang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya
haruslah dilihat usianya. Karena batas usia menjadi tolak ukur, bagaimana hakim
menjatuhkan pidana terhadap seseorang. Dalam kasus ini, Hakim melihat
terdakwa masih dalam kategori anak sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Jadi, sanksi yang dijatuhi kepada terdakwa dirasa sudah pantas
dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO.
229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel
1. Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hal pertanggungjawaban pidana menurut Islam seorang mukallaf
harus bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Mukallaf
wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya atas tiga dasar yaitu :
a. Perbuatan haram yang dilakukan.
b. Memiliki pilihan (tidak dipaksa).
c. Memiliki pengetahuan (idrak).
73
Jika ketiga unsur ini sudah terpenuhi maka seseorang yang melakukan
jarimah (tindak pidana) maka wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Namun, ada beberapa sebab yang yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak
wajib dipertanggungjawabkan yaitu sebab pembenaran (asbab al-ibahah) atau
sebab pemafaan (asbab raf‟I al-uqubah).
Menurut Abdul Qadir Audah sebab pembenaran dari suatu jarimah (tindak
pidana) ada enam macam yaitu :
a. Pembelaan Yang Sah (Ad dafi‟ As Syar‟iyyu)
b. Pendidikan dan pengajaran (At ta‟dibu)
c. Pengobatan (At Tathbiibu)
d. Hapusnya jaminan keselamatan (Ihdarul Ashkhas)
e. Permainan olah raga (Al „aab Al Furusiyah)
f. Menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang
berwajib (Huquq Al Hukam wa Waajibatuhum)
Sedangkan sebab pemaafan dari suatu jarimah (tindak pidana) ada empat macam,
yaitu :
a. Paksaan (Al Ikrah)
b. Mabuk (Assyukru)
c. Gila (Al Junun)
d. Dibawah umur (Shikhrus sinni).
Jadi, dalam Islam seseorang yang belum mencapai usia balligh tidak
dimintai pertanggungjawaban dikarenakan adanya sebab pemafaan terhadap anak
yang melakukan tindak pidana.
74
2. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana
Seorang yang dapat di bebani kewajiban mempertanggungjawabkan
perbuatannya disebut mukallaf. Dan adapun syarat-syarat sah seseorang menjadi
mukallaf yaitu Pertama, Orang itu telah mampu memahami khitab syari‟
(tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, Seseorang
harus cakap bertindak hukum (ahliyyah) maksudnya apabila seorang belum atau
tidak cakap bertindak hukum. Maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau
tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam Islam seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatnnya jika
sudah masuk usia baligh. Seseorang yang belum masuk masa baligh tidak wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya misalnya anak dibawah umur. Seperti
hadits Rasulullah Saw
حدثنا بكر بي أب شيبت. ثنا يزيد بي ىارى. د ابي خالد بي خداش حدثنا أب د بي هحو هحو
د اد عي إبراىين عي األس اد بي سلوت عي حو . ثنا حو حوي بي هيد يحي . قاال : ثنا عبدالر
بي ح رفع القلن عي ثالثت عي عائشت :أى رسل هللا ص.م قال: النائن حت بلغ ت ي عي الص ى حت يفيق عي يستيقظ الوجن
Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Bin Abi Syaibah, telah
menceritakan pada kami Yazid Bin Harun. Telah menceritakan kepada kami
Muhammad Ibnu Khallid Bin Khidash, Dan Muhammad Bin Yahya, Mereka
berkata : Telah menceritakan pada kami Abdurrahman Bin Muhdiyyi. Telah
menceritakan Hammad Bin Salamah, dari Hammad, Ibrahim, Aswad dan Aisyah.
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Pena diangkat dari tiga orang, dari
anak kecil hingga bermimpi (baligh), dari orang tidur hingga bangun, dan dari
orang gila hingga normal kembali.” 4
Berdasarkan hadist diatas seorang anak yang masih dibawah umur belum
wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sampai ia mengalami mimpi basah
4 Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan
Ibnu Majjah Juz I, No. 2041
75
(baligh). Selain usia balligh salah satu unsur pertanggungjawaban anak yaitu fase
perkembangan berfikir. Rasulullah Saw bersabda
حدثنا هحود بي عيس يعني ابي الطباع حدثنا إبراىين بي سعد عي عبد الولك بي الربيع بي
الة اذا بلغ سبع سنيي بي باالص سبرة عي ابيو عي جده قال :قال رسل هللا ص.م : هرا الص
اذا بلغ عشر سنيي فاضربه علييأ
Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Aysi, Ya‟ni Bin
Thaba‟. Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Bin Sa‟di dari Abdul Malik Bin
Rabi‟ Bi Sabrah, dari ayah dan kakeknya berkata : Rasulullah Saw bersabda :
Anak kecil diperintahkan untuk shalat berumur tujuh tahun dan dipukul jika
berumur sepuluh tahun lantaran meninggalkannya (shalat). 5
Hadits ini menujukkan bahwa seorang anak yang usianya sudah genap
berumur tujuh tahun walaupun belum adanya kekuatan kemampuan berpikir ini
sudah diperintahkan mendirikan shalat dan kewajiban lain-lainnya selain shalat.
Dan jika usia genap sepuluh tahun, diperintahkan untuk mendirikan shalat dan
mengabaikannya maka diperbolehkan memukulnya dengan tujuan mendidik
bukannya menyiksa.
Sama dengan halnya memukul anak saat ia tidak melakukan shalat. Pada
usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun, seorang anak tidak dikenakan
pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi hanya dijatuhi pengajaran. Pengajaran
ini meskipun bermaksud menghukum tetapi bukn berupa hukuman pidana. Ijma’
ulama sepakat bahwa usia baligh itu 15 (lima belas) tahun walaupun belum ada
tanda-tanda bermimpi keluarnya mani (ihtilam) dan haid,
Jadi dalam kasus Rendi Ardiansah yang berusia 17 (tujuh belas) tahun, ia
sudah dalam kategori balligh. Seharusnya Rendi yang melakukan jarimah secara
sempurna (jarimah at-tammah) menerima sanksi dari perbuatannya sendiri karena
5Abu Daud Sulaiman Ibn Al-Asy’Ast Syajtani, Sunan Abu Daud Juz I, No. 494
76
sudah masuk dalam kategori orang yang dapat dibebani hukum (taklif) Rendi yang
melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum akan dijatuhi sanksi sesuai
kadar karena melakukan perbuatan pidana dengan sempurna (jarimah at-tammah),
yang telah ditetapkan hukum Islam. Misalnya perbuatan merusak anggota tubuh
dibalas dengan anggota tubuh, apabila dimaafkan diganti dengan diyat atau denda.
74
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas , maka penulis mengambil kesimpulan bahwa :
1. Pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana diatur dalam Pasal 45, 46 dan 47. menurut Pasal 45, 46 dan 47 anak
yang usianya belum mencapai 16 (enam belas) tahun, tidak dijatuhi pidana
kecuali telah melanggar beberapa pasal yang diatur dalam Pasal 45. Dan jika
anak dijatuhi pidana maka sanksi yang diterimanya dikurangi sepertiga dari
sanksi orang dewasa.
Sedangkan menurut Hukum Islam anak wajib mempertanggungjawabkan
perbuatannya jika telah memasuki masa balligh. Seorang anak yang belum
memasuki masa balligh tidak diwajibkan mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Karena menurut Islam pertanggungjawaban pidana haruslah di
dasari 3 unsur, yaitu :
- Perbutan haram yang dilakukan
- Pelaku memiliki pengetahuan (Idrak)
- Pelaku memiliki pilihan (Ikhtiar)
jika ketiga dasar ini tidak ada maka tidak ada pertanggungjawaban pidana.
2. Batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif selain di
Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana terkandung juga dalam Undang
75
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-
Undangan No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Menurut pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pengadilan Anak seorang anak
yang bermasalah dengan hukum dapat diajukan ke sidang anak adalah anak
yang berusia 8 sampai 18. Namun, dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa
seorang anak yang diajukan ke persidangan anak sesudah melewati batas usia
18 tahun dan belum sampai pada usia 21 tahun tetap diajukan ke sidang anak.
Sedangkan menurut Undang-Undang sistem Peradilan seseorangbisa
dikatakan sebagai anak pada saat usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan
belas) tahun. Namun, dalam penahanan terhadap seorang anak dilakukan
apabila ia telah berusia 14 (empat belas) tahun dan diduga melakukan tindak
pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun.
Menurut hukum Islam pertanggungjawaban pidana yang dilakukan anak selain
didasarkan oleh batas usia baligh juga didasari kemampuan berpikir anak.
Seorang anak yang masih berusia dibawah 7 (tujuh) tahun saat melakukan
pelanggaran ia tidak dikenai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dan
apabila usia anak sudah 10 (sepuluh) tahun namun belum termasuk dalam
kategori mukallaf, jika ia melakukan pelanggaran (maksiat) anak tersebut
wajib memertanggungjawabkan perbuatannya dan dikenai sanksi yang
sifatnya hanya sebagai pengajaran bukan untuk menyiksa.
3. Tinjauan hukum Islam terhadap putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel
kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Rendi Ardiansah yang berusia 17
tahun ini, dalam penjatuhan sanksinya dikenakan sesuai dengan sanksi yang
76
diberlakukan kepada orang dewasa. Karena dalam hukum Islam ulama’
sepakat bahwa anak yang sudah berusia 15 tahun walupun belum
menunjukkan tanda-tanda baligh maka ia sudah dikatakan mukallaf dan wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum Islam.
Namun, dalam hukum positif usia 17 tahun dikategorikan masih dalam usia
anak-anak dan di sanksi sesuai dengan undang-undang pidana anak.
B. SARAN
Atas dasar kesimpulan yang ada di atas, maka penulis mengemukakan beberapa
saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Beberapa
diantaranya :
1. Dengan berkembangnya teknologi dan perubahan zaman, seseorang berlomba-
lomba untuk ikut trend agar tidak dibilang kampungan. Dampaknya pun
berimbas kepada tumbuh kembang anak usia dini. Banyak anak yang
melakukan pelanggaran dan tak sedikit pula yang melakukan kejahatan. Anak
saat ini tak segan untuk melakukan perbuatan yang jika dilakukan olehorang
dewasa termasuk dalam kategori kejahatan. Orang tua yang mana berfungsi
bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga sebagai pendidik bisa lebih
memperhatikan kebutuhan apa saja yang dapat membantu tumbuh kembang
anak.
2. Diharapkan bagi aparatur hukum bisa mempertimbangkan batasan usia
pertanggungjawaban pidana anak yang lebih baik dari saat ini. Karena anak
tidak jera dengan sanksi yang diberikan oleh putusan pengadilan. Sebaiknya
77
hukuman haruslah bersifat prentive agar tidak ada yang mengulangi
pelanggaran dan kejahatan tersebut.
3. Dalam hukum Islam batasan usia pertanggungjawaban pidana adalah usia
balligh,yaitu sekitar 15 tahun. Di usia ini seseorang sudah wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan yang sudah ada
dalam al-Qur;an dan Hadist. Alangkah baiknya aparatur hukum bisa
menjadikan hukum Islam sebagai landasan utama dalam pembentukan batasan
usia pertanggungjawaban pidana anak di Indonesia.
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Abdurrahman, Jamal. Athfalul Muslimin Kaifa Rabahumun Nabiyyul Amin di
Terjemahkan oleh Anggota SPI Islamic Parenting Pendidikan Anak
Metode Nabi. Solo : Aqwam. 2015
Al- Faruk, Assadulloh. Hukum Pidana Islam dalam Sistem Hukum Islam.Jakarta :
Ghalia Indonesia.2009
Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim. Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil Maulud diterjemahkan
oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi.Jakarta : Fikr. 2007
_______Tuhfatul-Maudud fii Ahkamil Maulud, diterjemahkan Kado Menyambut
si Buah Hati oleh Mahfud Hidayat, dkk., (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2007)
Al-Utsaimin, Muhammad Bin shalih. Asy-syarh Al-Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni
diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah. Jakarta : Darus Sunnah Press.
2010
Ali, Mahrus. Dasar Dasar Hukum Pidana.Jakarta : Sinar Grafika.2011
Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2007
Aqsa,Alghifarri, dkk. Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum.
Jakarta : LBH Jakarta. 2012
As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. Bahjah Qulub Al-Abrar. Beirut : Dar Kutub
Al-‘Ilmiyah, 1423 H
As-Sa’idan, Walid bin Rasyid. Syar’iyyah fi al-Masa’il ath-Thibbiyah di
Terjemahkan oleh Muhammad Syafii Maskur Fiqh Kedokteran.
Yogyakarta : Pustaka Fahima. 2007
Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri’ Al-Jinai fi Al-Islam diterjemahkan olehTim
Salsilah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II. Jakarta: PT Kharisma.
2007
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian II. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada. 2008
Djamil, M Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak). Jakarta : Sinar Garfika. 2013
79
Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika. 2007
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1993
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta : Perpustakaan Nasional. 1996
Hidayat, Bunadi. Pemidanaan Anak di Bawah Umur. Bandung : PT Alumni. 2010
Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tana Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana. 2006
Hutabarat, Restaria F, dkk. Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan
Hukum : Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana.
Jakarta : LBH Jakarta, 2012
Ibrahim, Abi Ishaq. Al-Muhadzab fi fiqh Al-Imam As-Syafi’i. Beirut : Darul Fikri,
633 H
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta :
RajaGrafindo Persada. 2012
Marpaung, Leden. Asas-Asas,Teori. Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar
Grafika. 2008
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta :
Liberty.2003
Moeljatno. Asas –Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1993
Mulyadi, Lilik. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Bandung : PT
Alumni, 2014
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.2012
Prodjodikoro, Wirjono. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika
Aditama. 2003
Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Atma Jaya. 2007
Rahman, Maman Abdul. Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum
Pidana Islam dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Skripsi, 2015
80
Sambas, Nandang. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen
Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya. Yogyakarta :
Graha Ilmu. 2013
Santoso, Topo. Mengagas Hukum Pidana Islam. Bandung: Asy Syamil. 2001
Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung : Refika Aditama. 2006
_________ Hukum Pidana Anak Edisi Revisi,Bandung : Refika Aditama, 2013
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan.
Malang : UMM Press. 2012
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika. 2004
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009)
Widnyana, Made. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta : Fikahati Aneska. 2010
Zahrah,Muhammad Abu. Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh Saefullah Ma’shum
dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013
Internet:
file:///C:/Users/User/Downloads/434-1062-1-SM.pdf
http://arief306al-mumtaz.blogspot.co.id/2013/05/mabuk-mabukan.html
http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html
http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html
http://gubukhukum.blogspot.co.id/2012/03/pidana-dalam-hukum-pidana-
islam.html
http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-
pidana.html
http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-
_Baligh
http://kompasiana.com/navia/psikologi-perkembangan-islami-fase perkembangan-
manusia-dalam-al-quran-sejak-dalam-rahim-hingga-hingga-pasca-
kematian_553a6a6f6ea834f21ada42ce
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang-
gila-bisa-dipidana
81
http://robbinadani.blogspot.co.id/2015/05/makalah-perkembangan-anak-
menurut.html
http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidana-
islam.html
http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-
anak-bermasalah-dengan-hukum/
https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/
https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/