bandung dan art deco

Upload: hadi-yanuar-iswanto

Post on 14-Jul-2015

792 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP MATA KULIAH PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

BANDUNG DAN ARSITEKTUR ART-DECO

Disusun oleh

HADI YANUAR ISWANTO NIM. 1006590

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2011

Bandung dan Arsitektur Art-DecoOleh : Hadi Yanuar Iswanto

ABSTRAK Kota Bandung sangat beruntung karena masih memiliki salah satu kekayaan yang sangat berharga. Kota ini bukan hanya merupakan peninggalan masa keemasan penjajahan Belanda, dimana pernah dijadikan pusat Garnizun Hindia Belanda dan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) direncanakan sebagai pusat pemerintahan sipil. Walaupun rencana tersebut akhirnya terbengkalai, kota ini menjadi salah satu kota yang kaya dengan peninggalan sejarah dan seni budaya bangunan. Di kota ini terdapat aneka gaya bangunan seperti Belanda Kuno, Belanda Indische, Klasisisme yang berpadu dengan unsur-unsur lokal, neoklasisisme, dan Art Noeveau. Bandung Laboratorium Arsitektur Adalah buah dari usaha keras Bandung Heritage, penduduk Kota Bandung saat ini masih memiliki bangunan-bangunan kolonial yang masih berdiri, digunakan, dan cukup

terawat, seperti Gedung Sate, Gedung Pakuan, Gedung Merdeka, Bank Indonesia, Vila Isola (Bumi Siliwangi), Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Observatorium Boscha, Museum Geologi, Aula ITB, Museum Pos Indonesia, Hotel Savoy Homman, Hotel Preanger, Gereja Katedral St. Petrus, dan Gereja Bethel. Di sisi lain, masih ada sederet bangunan pusaka lain yang terancam musnah karena tidak terawat, seperti Toko Mebel Rotan LIDO, Jalan Asia Afrika 90; Toko Mebel Erisa (1930); Toko Padang, Jalan Asia Afrika 104,106,108,110; Vigano, Jalan Asia Afrika 188; Pertokoan Edward Cuypers (1910); Panca Niaga (1920), Jalan

Jenderal Gatot Subroto 1; Villa Tiga Warna, Jalan Sultan Agung 1 (1937), karya A.F. Aalbers; Pabrik Kina, Jalan Cicendo /Pajajaran 25 (Bandungsche Kuinnie Fabriek. Gneling Mejling A.W). 1910-1915; Ex Bank Pacific (1925), Jalan Tamblong 12,20, dan lain-lain.

Bangunan-bangunan kolonial di kota Bandung, seperti disebutkan di awal tulisan ini, umumnya memakai idiom dan langgam arsitektur yang populer disebut langgam Art-Deco. Karya arsitektur ini termasuk produk gerakan arsitektur modern awal, yang lahir di antara dua

Perang Dunia, yaitu antara tahun 1920 - 1939. Pada awalnya, gaya arsitektur ini disebut Modernistic atau Style Moderne. Kemudian, menurut Rahardjo (2004), baru pada tahun 1960an, Bevis Hllier, seorang sejarawan dan kritikus seni dari Inggris menggunakan istilah Art-Deco dengan resmi. Nama Art-Deco diilhami dari satu pameran Exposition Internationale des Arts Decoratifs Industriale et Modernes yang diadakan di Paris pada tahun 1925. Modernisme arsitektur Art-Deco, ditunjukkan dengan karakter bentuk geometrik murni dan kesederhanaan (simplicity), hanya saja lebih fokus pada berbagai variasi dekoratif dalam berbagai produk. Untuk merayakan hadirnya dunia komersial dan teknologi, Art-Deco acapkali memakai warna-warna cemerlang dan bentuk sederhana. Sesuai dengan klasifikasi yang ada, arsitektur langgam Art-Deco dibedakan menjadi empat, yaitu Floral Deco, Streamline Deco, Zigzag Deco, dan Neo-Classical Deco. Di Bandung, karya arsitektur langgam Art-Deco secara umum terdiri dari dua macam mainstream. Pertama, Art-Deco yang penuh dengan inovasi seni dekoratif, antara lain diwakili oleh Gereja Katedral St. Petrus (1922), Gereja Bethel (1925), Hotel Preanger (1929), Vila Isola (1932), yang dirancang oleh CP Wolff Schoemaker, serta yang memanfaatkan dekorasi floral. Jumlah bangunan seperti ini saat ini paling besar di Bandung. Kedua, Art-Deco streamline, antara lain Hotel Homann (1931), Bank Pembangunan Daerah, Villa Tiga Warna dan Vila Dago Thee (1931-1938) dirancang oleh A.F. Albers. Berkat kehadiran bangunan-bangunan tua bergaya arsitektur Art-Deco, pada tahun 2001 Bandung dianugerahi predikat penghargaan sebagai kota ke-9 dari 10 World Cities of Art-Deco karena memiliki koleksi gedung-gedung lama berlanggam Art-Deco. Sebagian Musnah Kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat terhadap eksistensi bangunan bersejarah, mengakibatkan bangunan-bangunan tersebut terancam musnah. Bahkan beberapa diantaranya telah diruntuhkan untuk diganti dengan bangunan baru yang sama sekali berbeda. Hampir seluruh gedung bioskop gaya Art-Deco yang sangat unik di Bandung telah musnah,

berubah menjadi ruko atau pusat perbelanjaan. Beberapa contoh yang telah hilang di antaranya adalah Bioskop Oriental yang telah dibongkar pada tahun 1960-an dan gedung Bioskop Elita yang telah dibongkar pada tahun 1970-an. Padahal, seluruh bioskop tadi menjadi saksi bisu dalam sejarah perfilman dunia. Selain itu pembongkaran tanpa izin yang dilakukan pengembang, seperti rumah keluarga Wiranata Kusuma dengan gaya Straightline Deco dan rumah milik Departemen Sosial di Jalan Ciumbuluit yang merupakan satu-satunya contoh Nautical-Deco (Art-Deco Kapal) sisa-sisa sejarah pembangunan kawasan Bandung Utara, mengindikasikan rendahnya pengetahuan budaya dan etika pengembang. Kesimpulan Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki banyak arsitektur berlanggam ArtDeco. Maka citra Bandung sebagai kota Art-Deco perlu dibanggakan dan dipertahankan semua pihak karena merupakan aset negara yang tidak terhingga harganya. Sehingga pemerintah harus memiliki payung hukum yang kuat untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil yang tidak peduli terhadap sejarah dan budaya. Serta perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat untuk menghargai bangunan bersejarah di Kota Bandung.

DAFTAR PUSTAKA Barliana, M. Syaom. 2007 . ArsitekturAtawa Kolonialisme Arsitektur ?. Disarikan dari Seminar di FPIPS-UPI Bandung Suhanda, Her. 2008. Jendela Bandung. Jakarta: Kompas Gramedia http//www.arsitekturindis.com http//www.bandungheritage.org http//www.wikipedia.org