bahan dkp3 siska sarji
DESCRIPTION
sskTRANSCRIPT
J. Tatalaksana(Dodi, Siska)Tidak ada obat untuk Guillain-Barre Syndrome. Pengobatan ditujukan untuk mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, dan mempercepat pemulihan.
Pada tahap awal dari penyakit, pengobatan yang disebut apheresis atau plasmapheresis
dapat diberikan. Perawatan ini melibatkan menghapus atau memblokir protein (antibodi) yang
menyerang sel-sel saraf. Pengobatan lain membantu mengurangi peradangan. Ketika gejala yang
parah terjadi, pengobatan di rumah sakit akan dibutuhkan. Pengobatan yang lainnya berfokus
untuk mencegah komplikasi:
Pengencer darah dapat digunakan untuk mencegah pembekuan darah.
Jika diafragma lemah, napas bantuan atau bahkan tabung pernapasan dan ventilator
mungkin diperlukan.
Nyeri diobati dengan obat nyeri atau obat-obatan lainnya.
Posisi tubuh yang tepat atau tabung makan dapat digunakan untuk mencegah tersedak
saat makan jika otot-otot yang digunakan untuk menelan yang lemah.
Terapi fisik membantu menjaga sendi dan otot yang sehat.
Dapus: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2005.
3. Jelaskanmengenaipoliomyelitis! (Dodi, Siska) Pendahuluan
Poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan predileksinya
merusak sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak (brain stem). Dengan akibat
kelumpuhan otot-otot dengan distribusi dan tingkat yang bervariasi serta bersifat permanen.
Pertama sekali ditemukan oleh Jacob Heine (1840) yaitu seorang ortopedik berkebangsaan
jerman, dimana ia mengidentifikasi berbagai gejala dan gambaran patologi dari penyakit ini.
Pada tahun 1890, Medin seorang dokter anak berkebangsaan Swedia mengemukakan berbagai
data epidemiologi penyakit poliomielitis. Atas jasa kedua sarjana ini, maka poliomielitis disebut
juga sebagai penyakit Heine-Medin.
Tahun 1908, Landsteineer dan Popper berhasil memindahkan penyakit ini pada kera melalui cara
inokulasi jaringan sum-sum tulang belakang penderita yang meninggal akibat poliomielitis.
Tahun 1949 Enders, Weller dan Robbins dapat menumbuhkan virus ini pada sel-sel yang bukan
berasal dari susunan saraf, sehingga memungkinkan ditelitinya patogenesis dan perkembangan
vaksin polio.
Tahun 1952, Bodian dan Horstmann mendapatkan bahwa viremia terjadi pada awal infeksi, yang
mana hal ini perlu untuk menerangkan fase sistemik penyaki dan bagaimana penyebaran virus
polio ke susunan saraf pusat.
Salk pada tahun 1953 melaporkan keberhasilan imunisasi dengan formalin-inactivated
poliovirus, dan lisensi vaksin ini diperoleh pada tahun 1955. Beberapa tahun kemudian Sabin,
Koprowski dan lain-lain mengembangkan vaksin live attenuated poliovirus dan mendapat lisensi
pada tahun 1962.
Etiologi
Virus poliomyelitis (virus RNA) tergolong dalam genus enterovirus dan famili picornaviridae,
mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Infeksi dapat
terjadi oleh satu atau lebih dari tipe virus tersebut. Epidemi yang luas dan ganas biasanya
disebabkan oleh virus tipe 1. Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunisasi
bersifat seumur hidup dan spesifik untuk satu tipe.
Epidemiologi
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia. Manusia merupakan satu-satunya reservoir penyakit
poliomyelitis. Dinegara yang mempunyai 4 musim, penyakit ini lebih sering terjadi pada musim
panas, sedangkan di negara tropis musim tidak berpengaruh. Penyebaran penyakit ini terutama
melalui cara fecal-oral walaupun penyebaran melalui saluran nafas juga dapat terjadi.
Sebelum thaun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadis, dimana epidemi yang pertama
sekali dilaporkan dari Scandinavia dan Eropa barat, kemudian Amerika serikat. Pada akhir tahun
1940-an dan awal tahun 1950-an epidemi poliomyelitis secara teratur ditemukan di Amerika
serikat dengan 15.000-21.000 kasus kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920, 90% kasus
terjadi pada anak <5 tahun, sedangkan diawal tahun 1950-an, kejadian tertinggi pada usia 5-
9tahun; bahkan belakangan ini lebih dari 1/3 kasus terjadi pada usia >15 tahun.
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis terjadi penurunan
jumlah kasus di negara maju. Di Amerika serikat angka kejadian turun dari 17,6 kasus
poliomielitis per 100.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 atau 10 kasus
per tahun.
Patogenesis
Bila tertelan virus yang virulen, maka akan terjadi multiplikasi di orofaring dan mukosa usus
(Plakat payer). Invasi sistemik terjadi melalui sistem limfatik dan kemudian darah.
Kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus, kemudian terjadi penyebaran termasuk ke susunan saraf
pusat. Penyebaran virus polio melalui saraf belum jelas diketahui. Penyakit yang ringan (“minor
illness”) terjadi pada saat viremia, yaitu kira-kira hari ketujuh, sedangkan major illness
ditemukan bila konsentrasi virus di susunan saraf pusat mencapai puncaknya yaitu pada hari ke-
12 sampai 14.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9-12 hari, tetapi kadang-kadang 3-35 hari. Gambaran
klinis yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai dengan yang paling
berat, yaitu:
1. Infeksi tanpa gejala (asymptomatic, silent, anapparent)
Kejadian infeksi yang asimptomatik ini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup tinggi
terutama di daerah-daerah yang standar hygienenya jelek. Pada suatu epidemi
diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
penyakit tersebut. Bayi baru lahir mula-mula telrindungi karena adanya natibodi maternal
yang kemudian akan menghilang setelah usia 6 bulan. Penyakit ini hanya diketahui
dengan menemukan virus di tinja atau meningginya titer antibodi.
2. Infeksi Abortif
Kejadiannya diperkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu epidemi. Tidak dijumai
gejala khas poliomyelitis. Timbul mendadak dan berlangsung 1-3 hari dengan gejala
“minor illness” seperti demam bisa sampai 39,5oC, malaise, nyeri kepala, sakit
tenggorok, anoreksia, filial, muntah, nyeri otot dan perut serta kadang-kadang diare.
Penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit virus lainnya, hanya dapat diduga bila
terjadi epidemi. Diagnosa pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan jaringan.
Diagnosa banding adalah influenzae atau infeksi tenggorokan lainnya.
3. Poliomyelitis non paralitik
Penyakit ini terjadi 1% dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan infeksi abortif
yang berlangsung 1-2 hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi kemudian naik
kembali (dromedary chart), disertai dengan gejala nyeri kepala, mual dan muntah lebih
berat, dan ditemukan kekakuan pada otot belakang leher, punggung dan tungkai, dengan
tanda Kernig dan Brudzinsky yang positif. Tanda-tanda lain adalah tripod yatu bila anak
berusaha duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk kedua lututnya ke atas,
sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang pada tempat tidur. Head drop yaitu bila
tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak, akan menyebabkan
kepala terjatuh kebelakang. Refleks tendon biasanya normal. Bila refleks tendon berubah
maka kemungkinan akan terjadi poliomyelitis paralitik. Diagnosis banding adalah
Meningitis serosa, meningismus.
4. Poliomyelitis paralitik
Gambaran klinis sama dengan poliomyelitis non paralitik disertai dengan kelemahan satu
atau beberapa kumpulan otot skelet atau kranial. Gejala ini bisa menghilang selama
beberapa hari dan kemudian timbul kembali disertai dengan kelumpuhan (paralitik) yaitu
berupa flaccid paralysis yang biasanya unilateral dan simetris. Yang paling sering terkena
adalah tungkai. Keadaan ini bisa disertai kelumpuhan vesika urinaria, atonia usus dan
kadang-kadang ileus paralitik. Pada keadaan yang berat dapat terjadi kelumpuhan otot
pernapasan.
Laboratorium
Virus polio dapat di isolasi dan dibiakkan dari bahan apusan tenggorok pada minggu pertama
penyakit, dan dari tinja sampai beberapa minggu. Berbeda dengan enterovirus lainnya, virus
polio jarang dapat di isolasi dari cairan serebrospinalis. Bila pemeriksaan isolasi virus tidak
mungkin dapat dilakukan, maka dipakai pemeriksaan serologi berupa tes netralisasi dengan
memakai serum pada fase akut dan konvalesen. Dikatakan positif bila ada kenaikan titer 4 kali
atau lebih. Tes netralisasi sangat spesifik dan bermanfaat untuk menegakkan diagnosa
poliomyelitis. Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan CF (Complement Fixation), tetapi
ditemukan reaksi silang di antara ketiga tipe virus ini.
Pemeriksaan likuor serebrospinalis akan menunjukkan pleositosis biasanya kurang dari
500/mm3, pada permulaan lebih banyak polimorfonukleus dari limfosit, tetapi kemudian segera
berubah menjadi limfosit yang lebih dominan. Sesudah 10-14 hari jumlah sel akan normal
kembali. Pada stadium awal kadar protein normal, kemudian pada minggu kedua dapat naik
sampai 100 mg%, dengan jumlah sel menurun sehingga disebut dissociation cytoalbuminique,
dan kembali mencapai normal dalam 4-6 minggu. Glukosa normal. Pada pemeriksaan darah tepi
dalam batas normal dan pada urin terlihat gambaran yang bervariasi dan bisa ditemukan
albuminuria yang ringan.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan spesifik terhadap poliomyelitis. Antibiotika, gamma globulin dan vitamin
tidak mempunyai efek. Penatalaksanaan adalah simptomatis dan suportif. Infeksi tanpa gejala:
istirahat.
- Infeksi Abortif: Istirahat sampai beberapa hari setelah temperatur normal. Kalau perlu dapat
diberikan analgetik, sedatif. Jangan melakukan aktivitas selama 2 minggu. 2 bulan kemudian
dilakukan pemeriksaan neuro-muskuloskeletal untuk mengetahui adanya kelainan.
- Infeksi Non paralitik: sama dengan tipe abortif pemberian analgetik sangat efektif bila
diberikan bersamaan dengan pembalut hangat selama 15-30 menit setiap 2-4 jam dan kadang-
kadang mandi air panas juga dapat membantu. Sebaiknya diberikan foot board, papan penahan
pada telapak kaki, yaitu agar kaki terletak pada sudut yang sesuai terhadap tungkai. Fisioterapi
dilakukan 3-4 hari setelah demam hilang. Fisioterapi bukan mencegah atrofi otot yang timbul
sebagai akibat denervasi sel kornu anterior, tetapi dapat mengurangi deformitas yang tejradi.
- Paralitik: harus dirawat di rumah sakit karena sewaktu-waktu dapat terjadi paralisis pernapasan,
dan untuk ini harus diberikan pernapasan mekanis. Bila rasa sakit telah hilang dapat dilakukan
fisioterapi pasif dengan menggerakkan kaki/tangan. Jika terjadi paralisis kandung kemih maka
diberikan stimulan parasimpatetik seperti bethanecol (Urecholine) 5-10 mg oral atau
2,5-5mg/SK.
Prognosis
Bergantung kepada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung pdaa bagian yang
terkena. Prognosis jelek pada bentuk bulbar, kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat
pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas. Data dari negara berkembang menunjukkan
bahwa 9% anak meninggal pada fase akut, 15% sembuh sempurna dan 75% mempunyai
deformitas yang permanen seperti kontraktur terutama sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi
yang kurang sempurna, sehingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan
secara ortopedik.
Pencegahan
Imunisasi aktif.
Dapus
Pasaribu S. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Sumatera Utara: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
USU; 2005. h. 1-5.
4. Jelaskanmengenaimiasteniagravis ! S, NMiastenia Gravis
Miastenia gravis adalah suatu penyakit auto imun didapat dengan transmisi saraf-otot
yang ditandai dengan kelemahan otot. Penyakit dapat timbul pada semua usia dan sedikit
lebih banyak menyerang perempuan daripada laki-laki. Namun, pada usia dewasa, laki-
laki lebih sering terkena. Bukti bahwa miastenia gravis adalah suatu penyakit imunologis
cukup banyak. Antibodi reseptor terhadap asetilkolin (AChR) pada serat otot rangka
dapat ditemukan pada hampir 90% pasien dan tampaknya berperan langsung dalam
patogenesis penyakit ini. Antibodi menyebabkan peningkatan internalisasi dan menekan
AChR atau secara langsung menghambat terikatnya molekul asetilkolin ke reseptornya.
Dengan penggunaan pewarna yang sesuai, dapat dibuktikan adanya imunoglobulin dan
berbagai komponen komplemen di taut neuromuskulus. Pengamatan lain yang
menunjang dasar imunologik dari miastenia gravis adalah keterkaitan penyakit ini dengan
penyakit auto imun lain, seperti lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, dan
sindrom sjogren. Kelainan timus juga sering ditemukan pada miastenia gravis. Sekitar
dua pertiga pasien mengalami hipoplasia timus, dan timoma terjadi pada 15% hingga
20% pasien. Peran relatif yang dimainkan oleh kelainan timus dan kelainan humoral
dalam patogenesis miastenia gravis masih belum sepenuhnya dipahami.
Gambaran klinis. Seperti yang diisyaratkan oleh nama miastenia, gambaran klinis utama
miastenia gravis adalah kelemahan otot. Penyakit ini biasanya muncul perlahan meskipun
dapat juga mendadak. Kelemahan otot biasanya mulai mencolok setelah kontraksi atau
stimulasi berulang sehingga lebih parah setelah pagi daripada pagi hari. Tempat kelainan
awal tersering adalah otot kelopak mata dan otot yang mengendalikan gerakan bola mata,
yang bermanifestasi sebagai menurunnya kelopak mata (ptosis) dengan penglihatan
ganda. Keterlibatan otot wajah lain dan leher sering menyebabkan pasien sulit
mengunyah makanan dan menahan kepala tegak. Pasien berbicara dengan suara hidung,
terutama pada percakapan yang panjang. Perjalanan penyakit miastenia gravis adalah
progresif lambat, dengan keterlibatan kelompok otot lain. Keterlibatan otot pernapasan
dapat menyebabkan kegagalan pernapasan pada kasus yang tidak diobati. Stimulasi listrik
berulang pada otot rangka menyebabkan penurunan progresi amplitudo potensial aksi
otot dan merupakan uji diagnostik yang penting. Derajat kelemahan otot sangat berbeda-
beda diantara pasien, dan tidak selalu berkaitan dengan titer antibodi anti AChR.
Dapus:
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi: Sistem Muskuloskeletal.
Edisi 7. Vol 2. Jakarta: RGC; 2007. h. 870-1.
10. Apaitu ALS? S, T, JINTRODUKSI
Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) disebut juga motor neuron disease (MND), Charcot
disease, Lou Gehrig disease. ALS adalah penyakit neurologis progresif yang dikarakterisasikan
oleh degenerasi UMN dan LMN (upper and lower motor neuron). ALS pertama kali diobservasi
oleh neurologist Jean- Martin Charcot pada tahun 1869, barulah pada tahun 1874, terminologi
ALS diperkenalkan. Penyakit ini menjadi populer setelah pemain baseball, Lou Gehrig,
didiagnosis menderita ALS pada tahun 1939. Sejumlah 90-95% kasus penyebabnya belum
diketahui.1
EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3 orang per 100.000 ribu. Di Eropa, insiden tahunan
adalah 2,16 per 100 ribu orang/ tahun. Di Indonesia, belum ada data pasti. Rasio pria:wanita
adalah 1,5:1, pada ALS familial rasio ini hampir sama. Sekitar 5-10% kasus ALS diwariskan.
Pada ALS tipe familial, usia terbanyak adalah 47–52 tahun. Pada ALS tipe sporadik, usia
terbanyak adalah 58–63 tahun.2,3
Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu 3-5 tahun setelah diagnosis. Hanya 1 dari 4
penderita ALS yang dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun setelah diagnosis. Sebagian besar
penderita ALS meninggal dunia karena gagal nafas (respiratory failure), rata-rata 3 tahun atau
sekitar 2-4 tahun setelah onset, beberapa penderita dapat bertahan hidup hingga satu dasawarsa
atau lebih.4
ETIOPATOGENESIS
Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat beragam hipotesis tentang etiologi yang masih
kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak atau tinggi glutamat, berpartisipasi di perang
Teluk.5,6
Faktor lingkungan intoksikasi timah dan merkuri juga diduga penyebab ALS. Asumsi ini
bermula dari tingginya insiden ALS di pulau Guam pada tahun 1945. Begitu pula kondisi
eksitotoksik asam-asam amino, terutama glutamat, sempat diduga kuat menyebabkan ALS.
Hipotesis ini memerlukan riset lanjutan, mengingat beberapa paparan lingkungan dapat
mengubah genetic programming melalui mekanisme epigenetik. 5-7
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada ALS terjadi degenerasi neuron motorik akibat
apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan disfungsi mitokondria. Disfungsi kemampuan sel-
sel saraf untuk mengendalikan stres oksidatif juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan
karena mutasi gen yang mengkode cytosolic antioxidant enzyme copper/zinc superoxide
dismutase (SOD1). 5,6 Neuroinfl amasi jelas berperan pada ALS. Sitokin proinfl amasi yang
meningkat pada neuron-neuron motorik berdegenerasi juga memicu infl amasi mikroglia. Pada
ALS sporadis, terjadi akumulasi proses neurodegeneratif yang kompleks.8
Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan, dibuktikan dengan adanya neuronal inclusions,
termasuk untai ubikuitin (ubiquitinated skeins) atau Lewy-like formations dan Bunina bodies.
Struktur ini dijumpai pada sebagian besar penderita ALS sporadik. Pada ALS familial, dijumpai
bentuk berbeda, yaitu hyaline conglomerate yang termasuk neurofi lamen dan tidak mengandung
ubiquitin.8Antigen neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh antibodi untuk ubiquitin telah
teridentifi kasi sebagai TDP-43 (protein yang dijumpai pada HIV). Mutasi pada gen TDP-43
(TARDBP) telah teridentifi kasi sebagai penyebab ALS tipe sporadik dan familial. Identifi kasi
TDP- 43 penting di dalam menegakkan diagnosis postmortem ALS.8
Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP mengimplikasikan TDP-43 sebagai mediator aktif
neurodegenerasi pada proteinopati TDP- 43, termasuk ALS.9 Hal lain yang menarik, terjadi
kehilangan selektif EAAT 2, astrocyte-selective glutamate transporter, di bagian motor cortex
dan spinal cord penderita yang meninggal dunia karena ALS.10 Riset molekuler berhasil
mengungkap 12 gen/lokus kausatif pada ALS familial, misalnya: (1) ALS1/21q22.1, (2)
ALS2/2q33-35, (3) ALS3/18q21, (4) ALS4/9q34, (5) ALS5/15q15-q22, (6) ALS6/16q15-q22,
(7) ALS7/20ptel, (8) ALS8/20q13.33, (9) ALS9/14q11, (10) ALS10/1q36, (11) ALS-FTD/9q21-
22, (12) ALS-FTD/9p13.2-21,3. Sedangkan untuk ALS sporadik, beberapa gen yang rentan,
misalnya: SOD1, HFE (human hemochromatosis protein), MAPT (microtubule-associated
protein tau), NEFH (neurofi lament, heavy polypeptide), PRPH (peripherin), DCT1 (divalent
cation transporter 1), PON 1-3 (paroxonase 1-3), Progranulin, ANG (angiogenin, ribonuclease,
RNase A family, 5), APEX, SMN1 (survival of motor neuron-1), SMN2, TDP-43, UNC13A.1
GAMBARAN KLINIS
Secara klinis, ALS dapat diketahui dari adanya gangguan LMN (lower motor neuron) berupa:
kelemahan, otot mengecil (wasting), kedutan (fasciculation) dan gangguan UMN (upper motor
neuron) berupa: refl eks tendon hiperaktif, tanda Hoff mann, tanda Babinski, atau klonus di
anggota gerak yang sama.8
ALS dimulai dengan fasikulasi, kelemahan ekstremitas, salah bicara (keseleo lidah). Pada
akhirnya, ALS mempengaruhi kemampuan untuk mengendalikan otot yang diperlukan untuk
bergerak, berbicara, makan, dan bernafas.11
Kondisi sistem saraf penderita (neurological status) dapat dinilai dengan kuesioner revised ALS
Functional Rating Scale (ALSFRS-r).19
Disfungsi kognitif dialami oleh 20–50% penderita ALS, dan 3–15% berkembang menjadi
dementia yang dikategorikan sebagai frontotemporal lobar degeneration (FTLD).12
Gejala ALS biasanya belum tampak hingga penderita berusia 50 tahun, namun bisa muncul
perlahan di usia muda. Penderita ALS biasanya kehilangan kekuatan dan koordinasi otot
sehingga sulit melakukan aktivitas harian, seperti: naik tangga, berdiri dari kursi, menelan, dsb.
Otot-otot menelan dan pernafasan adalah yang pertama kali diserang ALS. Makin memburuk,
makin banyak kelompok otot yang terkena. ALS tidak mempengaruhi panca indera (penglihatan,
penghidu, perasa/ pengecap, pendengaran, peraba). ALS jarangmenyerang fungsi kandung
kemih, organ perut, gerak mata, kemampuan berpikir. Gejala ALS antara lain: sulit bernafas,
sulit menelan, mudah merasa tercekik, mengeluarkan air liur, tersumbat, kram otot, kepala
lunglai (mudah terkulai) karena lemahnya otot leher, kontraksi otot (fasciculation), kelemahan
otot yang memburuk, umumnya pertama kali terkait dengan satu anggota tubuh seperti lengan
atau tangan; menjadi paralisis, sulit mengangkat, menaiki anak tangga, berjalan. Kesulitan
berbicara, seperti: pola bicara abnormal atau perlahan, perkataan menyatu/kacau (slurring of
words), perubahan suara, serak/parau (hoarseness). Berat badan turun.13-14
Potret klinis gangguan pernafasan pada penderita ALS terdiri dari beberapa tanda dan gejala
seperti: bernafas cepat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, pergerakan abdomen yang
berlawanan (paradox), erkurangnya gerakan dada, batuk encer atau melemah, berkeringat,
takikardi, penurunan berat badan, bingung (confusion), halusinasi, pusing atau sensasi berputar
(dizziness), papilloedema (jarang), pingsan (syncope), mulut kering. Gejala lain, seperti: sesak
nafas saat beraktivitas atau berbicara, orthopnoea, sering terbangun di malam hari, mengantuk
berlebihan dan lelah di siang hari, sulit membersihkan sekresi, nyeri kepala di pagi hari, nocturia,
depresi, selera makan berkurang bahkan hilang, konsentrasi dan/atau memori berkurang.15
KRITERIA DIAGNOSTIK16,17
Kriteria positif
Diagnosis ALS memerlukan adanya: (1) Tandatanda LMN (termasuk gambaran EMG di otot
yang tidak terpengaruh secara klinis). (2) Tanda-tanda UMN. (3) Perkembangan gejala dan tanda
klinis. Diagnosis ALS didukung oleh: (1) Fasikulasi pada satu bagian atau lebih. (2) Perubahan
neurogenik pada EMG. (3) Konduksi nervus sensoris dan motoris normal. (4) Ketiadaan
conduction block.
DIAGNOSIS EKSKLUSI
Pada ALS tidak dijumpai:
(1) Gangguan sensoris.
(2) Gangguan sphincter
(3) Gangguan visual.
(4) Gangguan otonom.
(5) Disfungsi ganglia basal.
(6) Demensia tipe Alzheimer.
Diagnosis ALS ditegakkan secara klinis yang memerlukan waktu beberapa bulan.
PENATALAKSANAAN
Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis glutamat) 50 mg dua kali sehari, dengan
pemantauan teratur. Pemberian 100 mg riluzole oral setiap hari setelah 18 bulan memperpanjang
harapan hidup penderita ALS sekitar tiga bulan. Efek samping riluzole adalah fatigue dan
asthenia. Hingga kini, belum ada terapi efektif untuk ALS.24-25
Berbagai obat yang sedang memasuki trial fase II/III: arimoclomol, ceftriaxone, edaravone, IGF-
1 polypeptide, minocycline, sodium phenylbutyrate, tamoxifen, thalidomide. Sedangkan obat
yang sedang dipertimbangkan dan direncanakan memasuki trial fase III: AEOL 10150, celastrol,
coenzyme Q10, copaxone, IGF-1 – viral delivery, memantine, NAALADase inhibitor,
nimesulide, ritonavir, hydroxyurea, scriptaid, talampanel, trehalose.18
Status nutrisi penderita ALS juga perlu dievaluasi, mengingat sering terjadi disfagia,
hipermetabolisme, serta beragam penyakit. Tatalaksana nutrisi termasuk diet, strategi menelan,
kemungkinan dipasang selang makanan langsung ke lambung (gastrostomy tube placement), dan
suplementasi berupavitamin dan mineral.26
Medikasi simtomatis untuk mengatasi spastisitas yang mengganggu aktivitas harian adalah
pemberian baclofen atau diazepam. Untuk mengatasi produksi saliva berlebihan (sialorrhea)
dapat diberi trihexyphenidyl atau amitriptyline. Bila refrakter, dapat diberi injeksi botulinum
toxin type B di kelenjar parotid dan submandibular, amitriptyline, atau antikolinergik. Terapi
radiasi dengan dosis 7–7,5 Gy bilateral efektif mengurangi produksi saliva, namun ada efek
samping, seperti: erythema, sore throat, dan mual. 27-30
Depresi diatasi dengan antidepresan, misalnya: amitriptyline atau golongan SSRI. Insomnia
diatasi dengan amitriptyline atau golongan hipnotik, seperti: zolpidem, diphenhydramine. Cemas
(anxiety) diatasi dengan bupropion atau diazepam 0,5 mg 2-3 kali sehari, atau lorazepam
sublingual.31
Pseudobulbar aff ect, menangis-tertawa berlebihan, atau gangguan ekspresi emosional involunter
dialami 20–50% penderita ALS, terutama pada kasus pseudobulbar palsy.32
Kombinasi 30 mg dextromethorphan dan 30 mg quinidine BID efektif mengatasi pseudobulbar
aff ect. Efek samping yang sering terjadi adalah dizziness, nausea, dan somnolen.33
Gunakan oksigen hanya pada kasus hipoksia simtomatis. Untuk mengatasi terminal restlessness
dan confusion karena hypercapnia, digunakan neuroleptik (chlorpromazine 12,5 mg setiap 4
hingga 12 jam p.o., i.v. atau p.r.). Untuk dyspnoea dan/atau nyeri refrakter, digunakan opioid
dosis tunggal atau dikombinasi dengan benzodiazepine jika disertai cemas. Titrasi dosis tidak
akan mengakibatkan depresi saluran pernapasan.34-35
Komplikasi pernafasan adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas penderita ALS.
Tatalaksana insufi siensi saluran pernapasan dengan ventilasi noninvasif meningkatkan kualitas
dan kelangsungan hidup penderita ALS.36
Terapi Recombinant human insulin-like growth factor (rhIGF-I) - protein manusia yang dimodifi
kasi secara genetik - diharapkan dapat meningkatkan dan memperkuat kelangsungan hidup
neuron motorik pada ALS. Diberikan setiap hari melalui injeksi subkutan.Terapi stem cell
menjanjikan, namun efektivitasnya masih memerlukan riset lanjutan.37,38
KOMPLIKASI
ALS dapat menyebabkan terjadi berbagai komplikasi, yaitu: aspirasi, penurunan kemampuan
perawatan diri, gagal paru-paru, berat badan menurun, pressure sores, dan pneumonia.52
DAFTAR PUSTAKA
1. Hardiman, Orla (February 2010) Amyotrophic Lateral Sclerosis. In: Encyclopedia of
Life Sciences (ELS). John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. DOI:
10.1002/9780470015902.a0000014.pub2
2. Ringholz GM, Appel SH, Bradshaw M, Cooke NA, Mosnik DM, Schulz PE. Prevalence
and patterns of cognitive impairment in sporadic ALS. Neurology 2005;65(4):586–590.
3. Haverkamp LJ, Appel V, Appel SH. Natural history of amyotrophic lateral sclerosis in a
database population. Validation of a scoring system and a model for survival prediction.
Brain. 1995;118:707–19.
4. Forsgren L, Almay BG, Holmgren G, Wall S. Epidemiology of motor neuron disease in
northern Sweden. Acta Neurol Scand. 1983;68:20–9.
5. Beal FM. Mitochondria take center stage in aging and neurodegeneration. Ann Neurol
2005;58:495–505.
6. Rosen DR, et al. Mutations in Cu/Zn superoxide dismutase gene are associated with
familial amyotrophic lateral sclerosis. Nature 1993;362:59–62.
7. Stefanska B, Karlic H, Varga F, Fabianowska-Majewska K, Haslberger AG. Epigenetic
mechanisms in anti-cancer actions of bioactive food components – the implications in
cancer prevention. British J Pharmacol 2012;167:279–297.
8. Rowland LP, Mitsumoto H, Przedborski S. Amyotrophic Lateral Sclerosis, Progressive
Muscular Atrophy, and Primary Lateral Sclerosis. In: Rowland LP, Pedley TA (Ed.)
Merritt’s Neurology, 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010. Chapter 128,
page 803-8.
9. Van Deerlin VM, Leverenz JB, Bekris LM, Bird TD, Yuan W, Elman LB, et al.
TARDBP mutations in amyotrophic lateral sclerosis with TDP-43 neuropathology: a
genetic and histopathological analysis. The Lancet Neurology. May 2008;7(5):409-416.
10. Squire L, Berg D, Bloom F, du Lac S, Ghosh A, Spitzer N. (Ed.) Fundamental
Neuroscience. 3rd Edition. Elsevier. 2008. page 284.
11. Jokelainen M. Amyotrophic lateral sclerosis in Finland. II: Clinical characteristics.
Acta Neurol Scand. 1977;56:194–204.
12. Abrahams S, Goldstein LH, Kew JJ, Brooks DJ, Lloyd CM, Frith CD, et al. Frontal
lobe dysfunction in amyotrophic lateral sclerosis. A PET study. Brain. 1996;119:2105–
20.13. Murray B, Mitsumoto H. Disorders of upper and lower motor neurons.In: Daroff
RB, Fenichel GM, Jankovic J, eds. Bradley’s Neurology in Clinical Practice. 6th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012:chapter 74.
14. Shaw PJ. Amyotrophic lateral sclerosis and other motor neuron diseases. In: Goldman
L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011:chapter
418.
15. Leigh PN, Abrahams S, Al-Chalabi A, Ampong MA, Goldstein LH, Johnson J, et al.,
King’s MND Care and Research Team. The management of motor neuron disease. J
Neurol Neurosurg Psychiatry.2003;70(Suppl 4):32–47.
16. Brooks BR, Miller RG, Swash M. El Escorial revisited: revised criteria for the diagnosis
of amyotrophic lateral sclerosis. Amyotroph Lateral Scler Other Motor Neuron Disord.
2000;1:293–9.
17. Miller RG, Rosenberg JA, Gelinas DF, Mitsumoto H, Newman D, Sufi t R. et al.
Practice parameter: the care of the patient with amyotrophic lateral sclerosis (an evidence-
based review): report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of
Neurology: ALS Practice Parameters Task Force. Neurology. 1999;52:1311–23.
18. Andersen PM, Borasio GD, Dengler R, Hardiman O, Kollewe K, Leigh PN, Pradat PF,
Silani V, Tomik B. EFNS task force on management of amyotrophic lateral sclerosis:
guidelines for diagnosing and clinical care of patients and relatives. An evidence-based
review with good practice points. European Journal of Neurology 2005;12:921–38.
19. Fialová L, Svarcová J, Bartos A, Ridzon P, Malbohan I, Keller O, Rusina R.
Cerebrospinal fl uid and serum antibodies against neurofi laments in patients with
amyotrophic lateral sclerosis. Eur J Neurol. 2010 Apr;17(4):562-6. Epub 2009 Nov 24.
20. Iłzecka J. Serum soluble OX40 in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Acta Clin
Croat. 2012 Mar;51(1):3-7.
21. Evangelista T, Carvalho M, Conceicao I, Pinto A, de Lurdes M, Luis ML. Motor
neuropathies mimicking amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. J Neurol Sci
1996;139(Suppl):95–8.
22. Traynor BJ, Codd MB, Corr B, Forde C, Frost E, Hardiman O. Amyotrophic lateral
sclerosis mimic syndromes. Arch Neurol 2000;57:109–13.
23. Belsh JM, Schiff man PL. The amyotrophic lateral sclerosis (ALS) patient perspective
on misdiagnosis and it repercussions. J Neurol Sci 1996;139(Suppl):110–6.
24. Bensimon G, Lacomblez L, Meininger V. A controlled trial of riluzole in amyotrophic
lateral sclerosis. ALS/Riluzole Study Group N Engl J Med 1994;330:585–91.
25. Lacomblez L, Bensimon G, Leigh PN, Guillet P, Meininger V. Dose-ranging study of
riluzole in amyotrophic lateral sclerosis: Amyotrophic Lateral Sclerosis/Riluzole Study
Group II. Lancet 1996;347:1425–31.
26. Braun MM, Osecheck M, Joyce NC. Nutrition assessment and management in
amyotrophic lateral sclerosis. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2012 Nov;23(4):751-71.
27. Andersen PM, Gronberg H, Franze L, Funegard U. External radiation of the parotid
glands signifi cantly reduces drooling in patients with motor neuron disease with bulbar
paresis. J Neurol Sci 2001;191:111–4.
28. Jackson CE, Gronseth G, Rosenfeld J, et al. Randomized double-blind study of
botulinum toxin type B for sialorrhea in ALS patients. Muscle Nerve 2008;39:137–43.
29. Levitsky G. Pharmacological therapy of sialorrhea in patients with motor neuron
disease. ZH Neurol Psikhiar Im SS Kovsakova 2005;105:19 –22.
30. Harriman M, Morrison M, Hay J, Revonta M, Eisen A, Lentle B. Use of radiotherapy
for control of sialorrhea in patients with amyotrophic lateral sclerosis. J Otolaryngol
2001;30:242–5.
31. Kurt A, Nijboer F, Matuz T, Kubler A. Depression and anxiety in individuals with
amyotrophic lateral sclerosis: epidemiology and management. CNS Drugs 2007;21:279–91.
32. McCullagh S, Moore M, Gawel M, Feinstein A. Pathological laughing and crying in
amyotrophic lateral sclerosis: an association with prefrontal cognitive dysfunction. J
Neurol Sci 1999;169:43–8.
33. Brooks BR, Thisted RA, Appel SH, et al. Treatment of pseudobulbar aff ect in ALS
with dextromethorphan/quinidine: a randomized trial. Neurology 2004;63:1364–70.
34. Sykes N, Thorns A. The use of opioids and sedatives at the end of life. Lancet Oncology.
2003;4:312–8.
35. Mitsumoto H, Bromberg M, Johnston W, Tandan R, Byock I, Lyon M, et al. Promoting
excellence in end-ofl ife care in ALS. Amyotroph Lateral Scler. 2005;6:145–54.
36. Gruis KL, Lechtzin N. Respiratory therapies for amyotrophic lateral sclerosis: A
primer. Muscle Nerve. 2012;46:313–31.
37. Beauverd M, Mitchell JD, Wokke JHJ, Borasio GD. Recombinant human insulin-like
growth factor I (rhIGF-I) for the treatment of amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron
disease. Cochrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 11. Art. No.: CD002064.
DOI: 10.1002/14651858.CD002064.pub3.
38. Silani V, Cova L, Corbo M, Ciammola A, Polli E. Stem-cell therapy for amyotrophic
lateral sclerosis. Lancet. 2004;364:200–2.
39. De Gruttola VG, Clax P, DeMets DL, et al. Considerations in the evaluation of
surrogate endpoints in clinical trials. Summary of a National Institutes of Health
workshop. Control Clin Trials 2001;22:485–502.
40. Tokuda T.Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis.Brain Nerve. 2012
May;64(5):515-23.
41. Turck CW (Ed.). Biomarkers for Psychiatric Disorders. Springer. 2008. Chapter 6,
page 130.
42. Sunderland T, Gur RE, Arnold SE. The use of biomarkers in the elderly: current and
future challenges. Biol Psychiatr 2005;58: 272–6.
43. Ludolph AC, Sperfeld AD. Preclinical trials: an update on translational research in
ALS. Neurodegener Dis 2005;2(34):215–9.
44. Riley CP, Adamec J: Discovery of new biomarkers of cancer using proteomics
technology. Current Cancer Therapy Reviews 2010:6.
45. Ekegren T, Hanrieder J, Bergquist J. Clinical perspectives of high-resolution mass
spectrometry-based proteomics in neuroscience: exemplifi ed in amyotrophic lateral
sclerosis biomarker discovery research. J Mass Spectrom. 2008 May;43(5):559-71.
46. Ryberg H, Bowser R. Protein biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev
Proteomics. 2008 Apr;5(2):249-62.
47. Bowser R, Cudkowicz M, Kaddurah-Daouk R. Biomarkers for amyotrophic lateral
sclerosis. Expert Rev Mol Diagn. 2006 May;6(3):387-98.
48. Steinacker P, Hendrich C, Sperfeld AD, Jesse S, von Arnim CAF, Lehnert S, et.al.
TDP-43 in Cerebrospinal Fluid of Patients With Frontotemporal Lobar Degeneration and
Amyotrophic Lateral Sclerosis. Arch Neurol 2008 November;65(11):1481–7.
49. Noto Y, Shibuya K, Sato Y, Kanai K, Misawa S, Sawai S, Mori M, Uchiyama T, Isose S,
Nasu S, Sekiguchi Y, Fujimaki Y, Kasai T, Tokuda T, Nakagawa M, Kuwabara S. Elevated
CSF TDP-43 levels in amyotrophic lateral sclerosis: specifi city, sensitivity, and a possible
prognostic value. Amyotroph Lateral Scler. 2011 Mar;12(2):140-3. Epub 2010 Dec 2.
50. Boylan KB, Glass JD, Crook JE, Yang C, Thomas CS, Desaro P, Johnston A,
Overstreet K, Kelly C, Polak M, Shaw G. Phosphorylated neurofi lament heavy subunit
(pNF-H) in peripheral blood and CSF as a potential prognostic biomarker in amyotrophic
lateral sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2012 Oct 31. [Epub ahead of print]
51. Tortelli R, Ruggieri M, Cortese R, D’Errico E, Capozzo R, Leo A, Mastrapasqua M,
Zoccolella S, Leante R, Livrea P, Logroscino G, Simone IL. Elevated cerebrospinal fl uid
neurofi lament light levels in patients with amyotrophic lateral sclerosis: a possible marker
of disease severity and progression. Eur J Neurol. 2012 Dec;19(12):1561-7.
52. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. Amyotrophic lateral sclerosis. Last reviewed: 26
August 2012. Last accessed: 3 January 2013. Cited from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/ PMH0001708
11. Apahubungan depresi, stress dengan masalah
neurotransmitter ? T, Y, SFaktor biologik
Terjadinya gangguan depresi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain faktor biologik,
genetik, faktor psikososial dan faktor lingkungan.2,3
Beberapa studi faktor biologik melaporkan adanya kelainan metabolit amin iogenik, misalnya 5
hydroxyl indol acetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA) dan 5-hydroxyl-4-hydroxyphenyl-
glycol (MHPG) dalam darah, urine, dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Dari
laporan data tersebut sangat konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan mood berkaitan dengan
disregulasi heterogen amin biogenik. Diantara amin biogenik tersebut norepinefrin dan serotonin
merupakan neurotransmitter yang paling terlibat pada patofisiologi gangguan mood. Tapi ada
juga hipotesis yang mengatakan bahwa dopamin terlibat pada gangguan tersebut. Selain amin
biogenik, terdapat teori yang mengatakan keterlibatan regulasi endokrin dan faktor-faktor
neurokimiawi lainnya misalnya asetil kolin, gama amino butyric acid (GABA), melatonin, glisin,
histamin, tiroid, hormon adrenal dan neuropeptide.2,3,4
Norepinefrin
Diduga bahwa sistem noradrenergik terlibat pada gangguan depresi. Hal ini berdasarkan studi
ilmu dasar yang mengkaitkan adanya down regulation reseptor beta adrenergik dengan respon
klinik terhadap antidepresan. Neuron noradrenergik mempunyai badan sel (cell body) sebagian
besar di batang otak yang disebut locus ceruleus. Fungsi utama locus ceruleus adalah
menentukan apakah perhatian bisa terfokus pada lingkungan eksternal dan memantau lingkungan
internal tubuh. Norepinefrin dan locus ceruleus diduga memberi input penting pada kontrol
sistem saraf pusat, misalnya fungsi kognisi. Mood, emosi, gerakan dan tekanan darah. Malfungsi
locus ceruleus diduga mendasari gangguan mood dan kognisi seperti depresi, cemas, gangguan
perhatian dan pemrosesan informasi. Sindroma defisiensi norepinefrin secara teoritis ditandai
dengan hendaya perhatian, gangguan konsentrasi, gangguan working memory, gangguan
pemrosesan informasi, retardasi psikomotor, kelelahan apatis dan penurunan libido. Gejala-
gejala tersebut sering menyertai depresi seperti juga menyertai gangguan perhatian, kognisi,
skizofrenia, dan sebagainya. Bukti lain menunjukkan bahwa pada depresi terjadi aktivasi
terhadap reseptor presinaptik beta 2 yang menyebabkan menurunnya pelepasan norepinefrin.
Peran epinefrin ini didukung dengan efektifnya, paling tidak untuk beberapa gejala obat yang
bekerja pada sistem norepinefrin misalnya venlafaxin.1,5
Serotonin
Dengan makin maraknya SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) untuk mengobati depresi,
serotonin menjadi satu neuro transmitter penting berkaitan dengan gangguan ini. Selain SSRI
dan serotonergik anti depresan efektif, data lain menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam
patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat mempresipitasi depresi dan pasien dengan
impulsivitas bunuh diri memiliki kadar metabolit serotonin rendah.1,2
Markas besar badan sel neuron serotonergik berada di batang otak pada area yang dinamakan
rafe nukleus. Dari rafe nukleus banyak terdapat proyeksi neuron ke bagian lain otak dan di luar
otak. Proyeksi ke korteks frontalis diduga penting dalam pengaturan mood. Proyeksi ke ganglia
basal berperan pada gerakan seperti obsesi dan kompulsi. Proyeksi ke daerah limbik terlibat pada
keadaan cemas dan panik. Proyeksi ke hipotalamus mengatur selera serta perilaku makan.
Neuron serotonergik di pusat tidur batang otak mengatur tidur terutama tidur stadium 3 dan 4
(slow wave sleep). Proyeksi serotonergik ke bawah ke medulla spinalis diduga bertanggung
jawab terhadap refleks spinalis bagian dari reseptor seksual seperti orgasme dan ejakkulasi.
Terdapat zona “pacuan” di batang otak yang dapat memediasi muntah. Juga terdapat reseptor
perifer di sistem gastrointestinal yang mengatur fungsi gastrointestinal misalnya gerakan usus.
Defisiensi serotonin mengakibatkan satu sindrom yang meliputi mood depresi, anxietas, panik,
fobia, obsesi kompulsi dan bulimia.1
Terdapat bukti bahwa neurotransmisi serotonin sebagian dipengaruhi atau dikontrol faktor
genetik. Tonus serotonin berfluktuasi. Dalam keadaan stress akut terjadi peningkatan serotonin
sementara, dalam keadaan stress kronik menyebabkan penurunan aktivitas serotonin dan
penyimpangan serotonin sehingga mempunyai efek kompensasi yang bermakna.1,5
Dopamin
Meskipun kebanyakan teori terjadinya depresi melibatkan serotonin dan norepinefrin, namun
dopamin juga diduga mempunyai peran pada gangguan ini. Data menunjukkan bahwa dopamin
menurun pada depresi sedangkan pada mania meningkat. Obat-obat yang menurunkan kadar
dopamin misalnya reserpin dan penyakit dengan penurunan dopamin, misalnya parkinson,
berkaitan dengan gejala depresi. Teori saat ini mengenai dopamin dan depresi mengatakan
bahwa lintasan dopamin mesolimbik mengalami disfungsi dan reseptor dopamin tipe D1
mengalami hipoaktif pada depresi. Penurunan aktivitas lintasan mesolimbik dan mesokorteks
pada depresi mengganggu fungsi kognitif, motorik dan hedonia.2,5
Faktor neurokimiawi lain
Walaupun belum merupakan suatu kesimpulan, neurotransmitter asam amino (terutama GABA)
dan peptida neuroaktif (terutama vasopressin dan opiat endogen) dikatakan berperan dalam
patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti berpendapat bahwa sistem second messenger
seperti adenilat siklase, phosphotidylinositol dan kalsium dapat terlibat secara kausal. Asam
amino glutamat dan glisin yang merupakan neurotransmitter eksitatori utama dalam susunan
saraf pusat terikat pada sisi yang berkaitan dengan N-methyl-D-aspartate (NMDA), dalam
keadaan berlebihan mempunyai efek toksik. Hipokampus memiliki banyak (konsentrasi tinggi)
reseptor NMDA, sehingga dalam keadaan dimana orang mengalami stress kronik akan terjadi
efek neurokognitif, karena dimediasi oleh hiperkortisolemia. Terdapat bukti juga, bahwa obat
yang bekerja antagonis terhadap NMDA reseptor memiliki efek anti depresan.2
Dapus:
1. Stahl SM. Essential Psychopharmacology-Neuroscientific Basic and Practical
Applications. 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press; 2002.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 9th Edition. New York: Lippincott Williams and Wilkins;
2003.
3. Loosen PT. Mood Disorder dalam Ebert MH, et al. Current Diagnosis and Treatment in
Psychiatry. New York: Mc Graw-Hill; 2000. p. 290-327.
4. Hyman SE. The Molecular Foundation of Psychiatry. 1st Edition. Washington: American
Psychiatric Press; 1993.
5. Thase ME. Mood Disorder: Neurobiology dalam Sadock BY and Sadock VA:
Comprehensive Textbook of Psychiatry. Vol. 1. 8th Edition. New York: Lippincott
Williams and Wilkins; 2005. p. 1594-603.