bahan ajar (hand out -...
TRANSCRIPT
1
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 1
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
MATERI
ANTROPOLOGI EKOLOGI: MANUSIA DAN
LINGKUNGAN ALAM FISIK
Antropologi sebagai sebuah disiplin yang mempelajari manusia dengan
segala aspeknya, tidak luput perhatiannya terhadap masalah-masalah lingkungan
dimana manusia itu hidup. Adalah Julian H. Steward, seorang antropolog
Amerika aliran neo-evolusi yang menggagas munculnya spesialisasi antropologi
ekologi atau ekologi manusia ini. Antropologi ekologi atau ekologi manusia
(human ecology) merupakan sebuah spesialisasi antropologi yang termasuk ke
dalam kelompok antropologi budaya ini lahir di Amerika. Pusat perhatian
antropologi ekologi adalah kepada manusia sebagai bagian dari ekosistem dimana
manusia itu hidup, yang saling pengaruh mempengaruhi antara manusia dengan
lingkungannya, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Ekosistem yang
dimaksudkan di sini adalah sebagai unit adaptasi manusia meliputi organisme dan
lingkungan, biotik dan abiotik, yang merupakan satu ekosistem yang terdiri atas
lingkungan fisik berikut berbagai organisme yang hidup di dalamnya.
Mahasiswa dapat menjelaskan studi antropologi ekologi
2
Pada dasarnya seluruh masyarakat manusia itu sebagai fenomena biotik
seperti makhluk lainnya. Kemudian dengan menerapkan konsep ekologi secara
langsung dan menyeluruh maka perhatian kepada manusia sebagai bagian dari
lingkungan yang tidak bisa dipisahkan atau dilihat sepihak. Mazhab human
ecology ini dipelopori oleh Robert E. Park dalam American Journal of Sociology.
Geertz pernah menyatakan, analisis semacam ini merupakan penelitian ‘teori
lokasional’ daripada disebut ekologi, karena konsep-konsep biologis lebih
dipergunakan secara analogis daripada secara harfiah. Analisis ekologis berupaya
menentukan hubungan-hubungan yang lazim antara fisiologi yang ekstrim, yaitu
antara makhluk manusia sesuai dengan hakekat dirinya, dan intensitas proses
sosial-budaya.1
Hakekat manusia sebagai makhluk sosial budaya dipahami secara ekologis
sebagai salah satu lingkungan yang saling terkait. Oleh karena itu lingkungan
yang dipelajari terdiri atas tiga bagian, di antaranya lingkungan alam fisik,
lingkungan sosial budaya dan lingkungan binaan, berikut penjelasannya.
1. Lingkungan alam fisik, merupakan lingkungan yang merupakan satu
kesatuan ekosistem dengan berbagai macam organisme yang hidup
(biotik) dan abiotik di dalamnya. Lingkungan alam fisik merupakan
lingkungan alamiah yang tumbuh dengan sendirinya, paling utama
adalah lingkungan alam yang belum disentuh oleh manusia. Pada sisi
lain lingkungan alam fisik walaupun sudah kena sentuhan manusia,
tetapi peran manusia masih dianggap kecil sehingga tidak merubah
atau merusak ekosistem dan merupakan bagian dari ekosistem.
2. Lingkungan sosial budaya, merupakan lingkungan manusia di antara
sesamanya, yang terdiri dari rangkaian aturan dan sanksi yang
merupakan salah satu isi kebudayaan. Tujuannya adalah untuk
menciptakan keteraturan di dalam masyarakat atau lingkungan sosial
dan menciptakan keserasian dengan lingkungan alam fisik dimana
manusia itu hidup.
1 Poerwanto, 2000. Hal.63.
3
3. Lingkungan binaan, merupakan lingkungan alam fisik yang sudah
direkayasa manusia sesuai dengan kepentingan manusia. Taman
sebagai contoh, yang terdiri dari tanaman yang ditanam yang ditata
sesuai dengan keinginan manusia akan keindahan, tanaman yang ada
tidak dibiarkan tumbuh secara alamiah, tetapi direkayasa sesuai dengan
keinginan manusia. Dalam hal ini termasuk bangunan dan tata ruang
yang dibentuk oleh manusia sesuai dengan kepentingannya.
Lingkungan alam fisik yang ada sekarang, yang benar-benar alamiah
adalah alam fisik yang belum dimasuki manusia atau kena dampak dari
kepentingan manusia. Hutan sebagai contoh, banyak hutan yang sudah dilindungi
bukan berarti tidak kena pengaruh kepentingan manusia. Hutan alam Amazon,
diketahui sebagai satu-satunya dan sedikit wilayah hutan di dunia yang belum
dimasuki dan dilakukan pendataan oleh manusia. Wilayah perarian yang luas
seperti laut, danau, telaga, kolam, sungai sebagian besar sudah menjadi
lingkungan binaan, yang sudah terpengaruh karena kepentingan manusia. Wilayah
laut yang luas bisa saja masih menjadi lingkungan alam fisik yang belum kena
campur tangan manusia sepanjang wilayah laut tersebut tidak termasuk wilayah
lalu lintas kapal, sehingga tidak mendapat pengaruh dari polusi air karena sampah
atau bahan bakar kapal yang tertumpah. Lingkungan di dalam laut itu masih dapat
dikatakan sebagai lingkungan alam fisik alamiah.
Antropologi Ekologi
Dengan batasan lingkungan ke dalam tiga lingkungan tersebut, antropologi
ekologi/ ekologi manusia mempelajari apa? Apa perlunya studi antropologi
ekologi? Jawaban pertanyaan ini bisa dimulai dari apa yang dinyatakan oleh
Malinowski, “bahwa tugas seorang ahli antropologi adalah...to grasp the native’s
point of views, his relation to life, to realize his vision of his world...oleh
karenanya seorang ahli antropologi harus berupaya menemukan makna dari suatu
kebudayaan, yaitu melalui klasifikasi lokal yang dibuat oleh masyarakat dari suatu
4
kebudayaan.”2 Untuk memahami makna kebudayaan tersebut beberapa
pendekatan etnosains dipakai oleh antropolog. Di dalam antropologi ekologi
pendekatan etnosains paling tepat untuk mengetahui pemaknaan dan sistem
pengetahuan masyarakat. Dalam hal ini kebudayaan sebagai sistem pengetahuan
yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan
pengalamannya. Pengetahuan kebudayaan inilah yang mempengaruhi perilaku
manusia sebagai bagian dari masyarakat. Maka untuk memahami perilaku
seseorang dari suatu kebudayaan, seorang peneliti harus memahami sistem
berfikir mereka, secara etnosains dipandang dari sudut pandang subjek penelitian,
bukan dari sudut pandang peneliti.
Penggalian makna-makna dari sudut pandang subjek penelitian ini
terutama yang berhubungan lingkungan alam fisik, termasuk pemanfaatan atau
penggunaan alam fisik adalah berdasarkan kepada makna apa yang diberikan oleh
masyarakat terhadap lingkungan tersebut. Oleh karena itu antropologi ekologi
sangat concern dengan penggalian nilai-nilai sosial budaya yang terdapat di balik
perilaku manusia di dalam kelompoknya. Terutama apabila masyarakat tertentu
memiliki kebiasaan atau pola-pola perilaku yang bermanfaat untuk konservasi
lingkungan alam fisik, tidak hanya kepada tumbuhan tetapi juga terhadap binatang
atau biotik, baik yang disadari maupun yang tidak disadari oleh masyarakat
tersebut.
Adalah sangat arif apabila suatu masyarakat tertentu secara tradisional
telah melakukan aktivitas keseharian mereka yang ternyata memiliki dampak
konservasi terhadap lingkungan, yang di balik aktivitas tersebut memiliki nilai-
nilai atau makna yang dapat disebarkan kepada masyarakat lainnya. Penggalian
nilai-nilai sosial budaya atau pemaknaan inilah yang perlu dilakukan antropolog
di dalam melakukan penelitian antropologi ekologi.
Secara ilmiah penelitian yang dilakukan memang untuk menghasilkan
konsep, teori dan metode penelitian yang baru. Artinya penelitian yang dilakukan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, tetapi penggalian
nilai-nilai sosial budaya yang memiliki dampak konservasi atau perlindungan
2 Ibid. Hal.37
5
terhadap lingkungan dan apalagi jika dapat menyebarkannya ke masyarakat
lainnya, tentu saja akan meningkatkan konservasi terhadap lingkungan akan
tambah lebih baik. Inilah manfaat praktis dari sebuah penelitian, yang berada pada
sisi terapan dari sebuah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu penelitian antropologi
ekologi memiliki peluang untuk pengembangan ilmu secara ilmiah dan juga
memiliki manfaat aplikatif untuk perbaikan lingkungan.
6
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 2
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
MATERI
SEJARAH DAN RUANG LINGKUP STUDI
ANTROPOLOGI EKOLOGI
Umbi dari berbagai studi antropologi ekologi di masa kini sebenarnya
telah ditanam sejak tahun 1930-an oleh Julian H. Steward, ketika dia menerbitkan
esainya yang berjudul “The Economic and Social Primitive Bands” di tahun 1936.
Menurut Harris di dalam esai itulah pertama kali Steward membuat pernyataan
yang utuh mengenai “bagaimana interaksi antara kebudayaan dengan lingkungan
yang dianalisis dalam kerangka sebab-akibat (in casual terms), tanpa harus
terpeleset ke dalam partikularisme.” Posisi teoritis dan metodologis ini pada
dasarnya tidak banyak berubah ketika Steward menjelaskan secara eksplisit
hubungan antara lingkungan dengan kebudayaan ini di dalam bukunya Theory of
Cultural Change (1955). Dalam buku ini Steward menguraikan, mendefenisikan
serta mengembangkan apa yang dia sebut sebagai “ekologi budaya” (cultural
ecology). Perspektif ini, kata dia “differs from the relativistic and neo-evolutions
Mahasiswa dapat menjelaskan latar belakang dan ruang lingkup studi
antropologi ekologi
7
conceptions of cultural history, in that it introduces the local environment as the
extra cultural factor in the fruitless assumption that culture comes from culture.
Namun, lingkungan lokal itu sendiri bagi Steward bukanlah faktor yang sangat
menentukan. Menurut perspektif ekologi budaya unsur-unsur pokok adalah “pola-
pola perilaku (behavior patterns), yakni kerja (work) dan teknologi yang dipakai
di dalam proses pengolahan atau pemanfaatan lingkungan. Dengan demikian studi
ekologi budaya pertama-tama adalah mengenai “the process of work, its
organizations, its cycle and rhyoms and its situational modalities (Murphy). Titik
perhatiannya adalah pada analisis struktur sosial dan kebudayaan. Perhatian baru
diarahkan pada lingkungan bilamana lingkungan mempengaruhi atau menentukan
pola-pola tingkah laku atau organisasi kerja.3
Analisis struktur sosial dan kebudayaan ini dalam hubungan manusia
dengan lingkungannya. Konsep adaptasi menjadi penting dan menjadi tema utama
di dalam banyak penelitian antropologi ekologi. Adaptasi menjadi titik perhatian
karena hubungan manusia dengan lingkungan bisa dilihat dari dua sisi yang saling
bertolak belakang, apakah dari sisi manusia dengan kebudayaan atau struktur
sosial. Ini didasari oleh paradigma atau perspektif yang mendasari cara berfikir
dalam mempelajari hubungan manusia dengan lingkungannya. Paradigma atau
perspektif tersebut adalah determinisme dan posibilisme, berikut penjelasannya.
Determinisme, “muncul pada akhir abad 19 dan awal-awal abad 20 dari
penganut gagasan-gagasan Darwin, penalaran deduktif dan hubungan sebab akibat
linear yang sederhana. Pendekatan ini nampaknya juga menghasilkan cara untuk
mengolah dan menginterpretasi data mengenai keanekaragaman manusia yang
waktu itu semakin bertambah banyak dan membanjiri kalangan ilmiah Eropa.
Pendekatan ini berasumsi bahwa lingkungan fisik (alam) adalah pendorong utama
dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain perkembangan pola kehidupan suatu
masyarakat dalam bentuk kebudayaan dipandang sebagai pengaruh yang
dimunculkan oleh lingkungan alamnya. Pendekatan ini dalam bentuk paling murni
dan paling negatif dianut dan disebarluaskan oleh ahli geografi Huntington dan
3 Ahimsa-Putra, 1984.
8
Carlson, yang mencoba memperlihatkan bagaimana pengaruh dominan iklim dan
cuaca pada sejarah umat manusia.”4
Determinisme ini disebut juga dengan determinisme lingkungan, atau
kadang-kadang juga disebut environmentalism, yang sebenarnya sudah jauh
sebelum Darwin perspektif ini sudah ada, bahkan menjadi sebuah aliran
pemikiran. “Menurut Vayda dan Rappaport menyatakan bahwa tokoh-tokoh
klasik seperti Hippocrates, Plato, Polybius, Plotemy, Bodin, Montesqieu, Ratzel,
Huntington, Davis, Semple dan Mason adalah beberapa nama besar yang
dikaitkan sebagai pengikut aliran ini. Mereka percaya bahwa kemanusiaan dan
budaya ditentukan oleh bentuk-bentuk lingkungan alam, dan bahwa fenomena
kebudayaan dapat dijelaskan dan seharusnya diramalkan, sebagian besar, dengan
cara mengacukannya kepada lingkungan alam dimana kebudayaan itu hidup.”5
Dalam hal ini faktor geografis menjadi penentu dari kebudayaan manusia.
Menurut Semple, faktor geografi memberi efek mendasar dari kebudayaan
manusia. Huntington juga memegang prinsip yang sama, bahwa ras dan
lingkungan geografis menentukan kehidupan manusia. Menurutnya iklim ebagai
unsur paling mendasar dari lingkungan geografis menentukan baik kemunculan
maupun kehancuran peradaban, melalui impak langsungnya terhadap kesehatan
dan kegiatan manusia, dan melalui impak tidak langsung dalam bentuk makanan,
penyakit dan cara kehidupan.
Dengan paradigma ini kemunculan peradaban Hindus, peradaban lembah
sungai Nil, Mesopotamia, atau Lembah sungai Hwang Ho, menjadi contoh
ekstrim untuk menunjukkan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi
terbentuknya peradaban-peradaban kuno tersebut. Umumnya peradaban kuno
tersebut berada di lembah sungai besar yang memberi kesuburan dan memicu
kemajuan dan pertumbuhan penduduk.6
Di masa lalu, studi tentang kebudayaan selalu ditekankan akan adanya
keterkaiatan perilaku manusia dengan lingkungannya atau environmental
4 Arifin.1998.
5 Marzali, tanpa angka tahun.
6 Pernyataan-pernyataan seperti ini banyak dikritik karena tidak didukung oleh data-data yang
kuat, terutama oleh aliran Posibilisme.
9
determinism. Pendekatan tersebut yang juga dikenal dengan geographical
determinism atau ethnographical environmentalism, lebih mendasarkan pada
suatu pandangan bahwa kondisi suatu lingkungan amat berperan dalam
membentuk kebudayaan suatu sukubangsa, antara lain tampak pada pendapat dari
Elsworth Huntington yang percaya bahwa ada saling mempengaruhi antara
kondisi iklim dengan kebudayaan.7
Posibilisme, merupakan “reaksi terhadap determinisme yang mulai
membuat kaum antropologi ekologi mencoba menemukan solusi pendekatan baru
yang dalam mengkaji masalah hubungan manusia dengan lingkungan...
Posibilisme memandang bahwa walaupun lingkungan mungkin mempengaruhi
pola-pola kebudayaan dengan menghadirkan berbagai kendala, tetapi lingkungan
sendiri tidak bisa menciptakan fenomena-fenomena sosio-kultural.”8 “Lingkungan
alam tidaklah sederhana begitu saja memaksakan diri mereka terhadap manusia
dan perilakunya, tetapi memberi manusia dengan beberapa pilihan dan
kemungkinan. Jadi karena itu efek dari lingkungan alam lebih bersifat
“membatasi” daripada “menentukan,” dan pembatasan ini bervariasi antara satu
daerah dengan daerah lain dan antara satu masa dengan masa yang lain.
Kaum posibilism berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku di dalam
suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak, secara tak terduga
merupakan hasil adaptasi makhluk manusia itu sendiri. Suatu lingkungan tertentu
gtidak dapat dipandang sebagai sebab utama yang menyebabkan perbedaan suatu
kebudayaan, melainkan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi. Mereka
beranggapan bahwa pada dasarnya faktor geografis tidak dapat membentuk suatu
kebudayaan manusia, dan pembentukan suatu kebudayaan lebih merupakan suatu
gelaja yang sepenuhnya bersifat historis bahkan superorganis. Dengan kata lain,
keadaan alam lingkungan tidak sepenuhnya merangsang timbulnya suatu pola
kebudayaan tertentu.9
Para pengikut posibilisme menekankan pentingnya gagasan tentang
kesatuan teresterial (kesatuan kehidupan di permukaan bumi) dalam menjelaskan 7 Poerwanto, 2006:80.
8 Marzali, Ibid.
9 Poerwanto, 2006:81.
10
hubungan antara kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya. Bumi harus
dilihat sebagai “keseluruhan” yang terdiri atas bagian-bagian yang terkoordinasi,
dan manusia muncul sebagai salah satu agen yang paling berkuasa di dalam
merubah permukaan teresterial. Karena itu, kajian ekologis harus dimulai dengan
pengaruh manusia dan perilaku mereka atas lingkungan alamnya, bukan dengan
efek dari lingkungan alam terhadap budaya.”10
Penganut posibilisme
mengesankan bahwa kajian-kajian komparatif tentang kebudayaan yang berbeda
yang mendiami suatu lingkungan tertentu membuktikan bahwa pola-pola sosio-
kultural yang sama juga muncul pada keadaan lingkungan yang berbeda.11
Atau
sebaliknya, masyarakat yang menempati wilayah dengan pola-pola lingkungan
alam fisik yang relatif sama justru memiliki kondisi kebudayaan yang berbeda.
Sebagai contoh, Indonesia yang rata-rata memiliki iklim alam tropis di sekitar
daerah katulistiwa justru memiliki banyak sukubangsa dengan kebudayaan yang
berbeda-beda. Ini artinya kondisi lingkungan alam fisik tidak semata-mata
menjadi penentu kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan tersebut.
“Sebenarnya, orang-orang determinisme lingkungan tidaklah sama sekali
menafikan peranan faktor-faktor non-lingkungan. Huntington, misalnya,
meskipun menempatkan iklim sebagai faktor utama, namun dia mengakui adanya
saling pengaruh antara lingkungan biologis dan fisikal dengan faktor-faktor
kebudayaan. Sebaliknya, orang-orang posibilisme tidak seluruhnya menolak efek
dari lingkungan terhadap kehidupan manusia. Bagi mereka, manusia tidak dapat
membebaskan diri seluruhnya dari kondisi unsur-unsur alam, meskipun manusia
itu mampu mengembangkan piranti dan keterampilan teknis yang tinggi.”12
Oleh karena itu, Julian H. Steward mempelopori Cultural Ecology atau
ekologi budaya, mengambil posisi tengah antara aliran determinisme dan
posibilisme. Steward menolak argumen yang mengatakan bahwa budaya dibentuk
oleh lingkungan alam, namun dia juga tidak menempatkan faktor lingkungan pada
peranan yang pasif. Steward mendefenisikan lingkungan sebagai “the total web of
life wherein all plant and animal species interact with one another and with 10
Marzali, Ibid. 11
Arifin, Ibid. 12
Marzali, Ibid.
11
physical features in a particular unit of territory,” kemudian dia memisahkan
manusia dari budaya dalam hubungan mereka dengan lingkungan. Dalam
berhubungan dengan organisme lain, manusia tidaklah sekedar bertindak sebagai
salah satu organisme dalam pengertian fisikal, tetapi mereka juga
memperkenalkan faktor super organik dari budaya, yang dipengaruhi dan
mempengaruhi keseluruhan jaringan kehidupan. Sebagian dari unsur-unsur
budaya berasal dari hubungan anatara manusia dengan lingkungan, tetapi sebagian
unsur lain berasal dari proses historikal. Perbedaan ini penting dalam metode,
konsep, dan masalah kajian-kajian ekologis.
Tujuan umum ekologi budaya dari Julian Steward adalah “untuk
menjelaskan asal-usul, ciri-ciri dan pola-pola tertentu yang tampak di berbagai
daerah yang berlainan. Lebih khusus lagi, cabang antropologi ini berusaha untuk
menjelaskan apakah penyesuaian diri berbagai masyarakat manusia pada
lingkungannya memerlukan bentuk-bentuk perilaku tertentu ataukah penyesuaian
diri tersebut bersifat luwes, artinya masih memberikan ruang dan kemungkinan
pada berbagai pola perilaku lain yang mungkin diwujudkan. Steward yakin bahwa
tujuan ini dapat tercapai dengan mempelajari relasi antara kebudayaan dan
lingkungannya dalam kurun waktu tertentu. Ada tiga langkah dasar yang perlu
diikuti dalam studi ekologi budaya ini, yakni (1) melakukan analisis atas
hubungan antara lingkungan dan teknologi pemanfaatan dan produksi; (2)
melakukan analisis atas “pola-pola perilaku dalam eksploitasi suatu kawasan
tertentu yang menggunakan teknologi tertentu” dan (3) melakukan analisis pada
“tingkat pengaruh dari pola-pola perilaku dalam pemanfaatan lingkungan terhadap
aspek-aspek lain dari kebudayaan.13
Pusat perhatian dari kajian ekologi kultural menurut Steward adalah proses
adaptasi kultural terhadap lingkungan. Proses ini dipandang sebagai suatu bentuk
hubungan dialektik interplay. Satu hal hanya dapat dimengerti dalam konteks
hubungan saling ketergantungan dengan yang lain. Tidak ada yang given.
Lingkungan memainkan peranan yang kreatif dalam perilaku kebudayaan
manusia. Lingkungan dan budaya bukanlah dua ranah yang berbeda.
13
Ahimsa-Putra, 1994:4
12
Inti dari teori ekologi budaya dari Steward adalah lingkungan dan budaya
tidaklah bisa dilihat terpisah tetapi merupakan hasil campuran (mixed product)
yang berproses lewat dialektika. Dengan kalimat lain, proses-proses ekologi
memiliki hukum timbal balik. Budaya dan lingkungan bukanlah entitas yang
masing-masing berdiri sendiri atau bukanlah barang jadi yang bersifat statis.14
Namun demikian tingkat saling ketergantungan ini tidaklah sama pada
semua elemen kebudayaan. Elemen-elemen kebudayaan yang paling erat terkait
dengan lingkungan disebut Steward dengan “culture core,” yaitu elemen-elemen
yang berhubungan dengan kegiatan subsistens dan hubungan-hubungan ekonomi.
Sedangkan elemen-elemen lain dipandang sebagai produk dari proses historis.15
Culture core atau inti kebudayaan oleh Steward adalah pranata sistem mata
pencaharian hidup atau sistem ekonomi dan teknologi, dua unsur kebudayaan
yang paling penting dan menentukan perkembangan suatu masyarakat, termasuk
bagaimana adaptasi manusia dengan lingkungan dimana manusia itu hidup. Itulah
yang dimaksudkan Steward dengan elemen-elemen kegiatan subsistens dan
hubungan-hubungan ekonomi.
Jadi, antropologi ekologi mempelajari hubungan manusia dengan
kebudayaannya terhadap lingkungan, dalam hal ini sebuah ekosistem sebagai unit
analisis. Dalam kajian tersebut konsep adaptasi menjadi konsep sentral antara
manusia dengan kebudayaannya dengan lingkungan alam fisik dimana manusia
itu hidup. Secara sederhana hubungan antara manusia dengan lingkungannya
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
14
Susilo, 2008:47 15
Marzali, ibid.
Manusia dengan
Kebudayaannya
Lingkungan Alam Fisik
(Ekosistem)
13
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 3
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
Materi
1. hubungan manusia, lingkungan dan kebudayaan
2. Pengolongan unsur alam berdasarkan Kebudayaan
3. Manusia, Kebudayaan, dan lingkungan sebagai kesatuan
A.Materi
1.Manusia, lingkungan dan Kebudayaan
Manusia dengan lingkungan alam dan fisik dengan menggunakan kacamata
kebudayaannya sehingga mereka yang mempunyai kebudayaan yang berbeda,
akan melihat, meng-interpretasi dan merasakan lingkungan alam dan fisik tersebut
secara berbeda-beda .
Menjelaskan hubungan manusia dan kebudayaan, lingkungan dalam studi
antropologi ekologi dan menjelaskan Pengolongan unsur alam berdasarkan
Kebudayaan dan menjelaskan hubungan manusia, kebudayaan, dan
lingkungannya sebagai kesatuan sistem yang saling mempengaruhi
14
“Desa Dalam pandangan turis dan petani di desa” ada yang berbeda karena
mereka berbeda kebudayaan, artinya eorang turis dari kota Jakarta yang pergi
berlibur di sebuah villa di Cipanas, misalnya, akan melihat hamparan gunung
dengan hawanya yang sejuk dan suasananya yang tenang yang diselingi oleh
bunyi kokok ayam dan margasatwa lainnya ”Lingkungan alam desa dengan
sawahnya adalah tempat tentram serta bersahaja.” Sebaliknya lingkungan alam
bagi petani, sawah sebagai tempat bergantung bagi kelanjutan kehidupannya dan
keluarganya. Yang dipikirkan adalah bagaimana mengolah sawah dengan sebaik-
baiknya sehingga padinya dapat tumbuh dengan baik
Kompas, 31 Januari 1980 mengemukan perbedaan pandangan akan
lingkungan alam karena berbeda kebudayaan dimana penduduk Riau di hulu
sungai Rokan melihat hutan sebagai: (a) hutan biasa dan (b) hutan rimba
belantara. Hutan rimba belantara adalah hutan yang pohon-pohonan besar-besar
dan tinggi-tinggi, orang yang masuk ke dalam hutan tersebut tidak bisa keluar lagi
karena hutan tersebut dihuni oleh makhluk-makhluk halus.Sedangkan pengusaha
asing pemegang HPH, hutan rimba belantara ini adalah sumber rejeki yang
berlimpah-limpah besarnya dan patut dibabat untuk diambil kayu-kayunya.
2.Pengolongan unsur alam berdasarkan Kebudayaan
Kebudayaan bukan hanya menentukan bagaimana sesuatu lingkungan
alam dan fisik itu dilihat dan difahami, tetapi juga menjadi kerangka landasan
bagi manusia dalam menggolong-golongkan unsur-unsur yang ada didalamnya,
penggolongan tanah menjadi tanah pekarangan, tanah tegalan, dan tanah sawah
oleh orang Jawa berbeda pengetahuan dengan orang Dani, yang tinggal di
pegunungan Jaya Wijaya
3.Manusia, Kebudayaan, dan lingkungannya = kesatuan sistem saling
mempengaruhi
Sistem penggolongan ini juga akan berlaku dan saling berkaitan dengan
aspek-aspek yang ada dalam kebudayaan, yaitu: sistem ekonomi, sistem politik,
struktur sosial, sistem agama, bahasa dan komunikasi. Kapak besi dalam makna
15
suku Dani di Irian Jaya, bukan semata-mata mempunyai arti dalam hal
kegunaannya untuk sebagai alat senjata untuk menebang kayu tetapi juga sebagai
simbol status bagi yang mempunyainya.
Didalam masyarakat pedesaan di Indonesia dewasa ini, televisi bukan
hanya sebagai alat hiburan atau alat untuk dapat memperoleh informasi secara
audio-visual tetapi juga sebagai simbol status bagi pemiliknya
16
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 4
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
Materi
1. Adaptasi
2. Konsep Dasar Teori Adaptasi
3. Adaptasi Sebagai Strategi Bertahan Hidup Manusia
4. Adaptasi dan Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptif
5. Adaptasi Manusia, kebudayaan dan Lingkungan adalah Kearifan
Lingkungan
A.Materi
1.Manusia, adaptasi dan kebudayaan
Hubungan manusia dan lingkungan dipengaruhi oleh pola pola
kebudayaan yang dimiliki oleh manusia yang dijadikan pedoman baginya untuk
bertingkah laku dan bertindak. Dengan kebudayaan ini manusia beradaptasi
dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya, Forde juga
mengemukakan Hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya
dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia.” Dengan
menggunakan kebudayaan inilah manusia beradaptasi dengan lingkungannya, dan
Menjelaskan konsep penting dalam studi antropologi ekologi
Mengemukakan konsep-konsep penting dalam studi antropologi ekologi
17
dalam proses adaptasi ini manusia mendayagunakan lingkungannya untuk tetap
dapat melangsungkan kehidupannya (Tax 1953:243)
2.Adaptasi
Adaptasi adalah suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat das
ar tertentu untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya dalam lingkungan
tempatnya hidup. Dalam hidup ada syarat-syarat dasar alamiah-biologi (manusia
harus makan, minum, menjaga kestabilan temperature tubuhnya, menjaga tetap
berfungsinya organ-organ tubuh dalam hubungan yang harmonis dan secara
menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainnya); (2) Syarat-syarat kejiwaan
(manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan-perasaan takut,
keterkucilan, gelisah, dan berbagai masalah kejiwaan lainnya; (3) Syarat-syarat
dasar social (membutuhkan berhubungan dengan orang lain untuk dapat
melangsungkan keturunan, untuk tidak merasa terkucil, untuk dapat belajar
mengenai kebudayaannya, untuk mempertaruhkan diri dari serangan musuh dan
sebagainya).
Dalam usaha pemenuhan tiga macam syarat dasar yang harus dipenuhi
oleh manusia untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, manusia
menggunakan kebudayaan yang dipunyai sebagai kerangka sandarannya .
3.Konsep Dasar Teori Adaptasi
Konsep adaptasi berwal dari ranah biologi, dimana dua konsep penting
yaitu, pertama evolusi genetik yang berbicara tentang umpan balik dari adanya
interaksi makhluk dalam lingkungan. Kedua, konsep adaptasi biologi yang
berbicara tentang prilaku dari organisme dalam kehidupan . Asumsi dasar adaptasi
ini melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaiakan dirinya dengan
lingkungan sekitarnya . Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara
lain adalah (1) tahapan phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik
individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisik dari phenotype/ciri-ciri fisik, (3)
18
proses belajar, dan (4) modifikasi kultural. fokus perhatian adaptasi menurut Rot
Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budaya
4.Adaptasi Sebagai Strategi Bertahan Hidup Manusia
Adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia dalam
menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk
memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Adaptasi
seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses
modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh
reproduksi selektif dan memperluasnya. Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada
adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting lagi, pada bahaya/resiko yang mana
perubahan adalah adaptif. (Hardestry, 243)
Kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika telah
tercipta /dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan
habitatnya. Adaptasi ini merupakan daya tahan/kelangsungan hidup kelompkk,
reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini
bekerja sesuai dengan tugasnya.
lihat dari kubudayaan . Dalam antroplogi ketika berbicara tentang adaptasi, kita
memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan individual person.
Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak seccara langsung teramati, mereka
merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati. Lebih spesifik, kita
berbicara tentang instusi yang ada dalam masyarakat, jadi adaptasi dapatlah
disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240). Adaptasi
dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam
menghadapi perubahan.
5.Adaptasi dan Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptif
Hardesty (1977) mengemukakan bahwa: “Adaptation is the process
through which beneficial relationships are established and maintained between
19
an organism and its environment”. Sementara itu para ahli ekologi budaya
(cultural ecologists) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi
penyesuaian diri yang digunakan manudia selama hidupnya untuk merespon
terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial (Alland 1975, Harris 1968,
Moran 1982).
Kebudayaan merupakan ekspresi dari adaptasi manusia terhadap
lingkungan Contohnya dapat kita lihat: pada masyarakat nelayan, dimana sistem
mata pencaharian masyarakat nelayan akan mempengaruhi cara-cara dan
bagaimana masyarakat itu melakukan pembagian kerja baik di lingkungan
keluarga maupun di lingkungan masyarakat selain itu sistem mata pencaharian ini
akan mempengaruhi nilai dan norma serta pengetahuan yang ada di masyarakat
tersebut. Bila lingkungan baik alam maupun lingkungan sosial mengalami
perubahan maka kebudayaan juga mengalami perubahan dan kebudayaan
masyarkat akan mengalami proses adaptasi atas perubahan yang ada bila
lingkungan dan juga manusia berusaha merespon atas perubahan yang ada (moran
1082 )
Adaptasi populasi dalam ekosistem sangat berbeda satu sama lainnya,
setiap populasi menyesuaikan diri dengan lingkungan secara spesifik, sehingga
dapat dikatakan bahwa proses adaptasi bersifat dinamis, karena memeang
populasi manusia dan lingkungan cenderung berubah terus secepatnya
Penelitian Clifford Geertz tentang “ Agricultural Involution” adalah tokoh
yang berpengaruh dalam bidang kajian antropolgi ekologi, pendekatan yang ia
gunakan adalah pendekatan ekologi budaya
6.Adaptasi Manusia, kebudayaan dan Lingkungan adalah Kearifan
Lingkungan
Nilai sosial, norma adat, etika dan sistem kepercayaan, pola penataaan
ruang tradisional serta peralatan dan teknologi sederhana ramah lingkungan.
sumber daya sosial yang diwarisi turun temurun dalam realitanya, terbukti
efektif menjaga kearifan lingkungan serta menjamin kelestarian lingkungan sosial.
20
Cukup banyak, hasil penelitian yang menunjukan tentang kearifian tradisional
dalam pengelolaan lingkungan diantara Penelitian Agus Samori Fisip UNCEN
tahun 2001 tentang Peranan Tabu dan Sasi Dalam Aktifitas Kenelayanan Pada
Masyarakat Tablasupa di Depapre papua, dimana ada suatu realitas sosial
masyarakat nelayan yang ada kaitannya dengan pantangan-pantangan terhadap
pola pemanfaatan sumber daya laut Dimana dalam aktivitas kenelayanan mereka
selalu berpedoman pada aturan-aturan adat yang telah disepakati bersama. Aturan-
aturan adat tersebut dijadikan sebagai pedoman dan tata cara tertentu terhadap
lingkungan sosial saupun lingkungan alam. Dengan demikian segala perilaku
pola-pola adaptasi yang berhubungan dengan proses penangkapan ikan, distribusi,
dan konsumsi hasil tangkapan didasarkan pada norma-norma adat yang tercermin
di dalam mitos. Kenyataan ini memberikan identitas kepada pendukung dari
kebudayaan masyarakat pesisir pantai, dan merupakan nilai-nilai yang telah
diwariskan dan disosialisasikan dari leluhur mereka.
kerangka pemikiran diatas berkaitan dengan pemikiran Geertz tentang
kebudayaan, dimana manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya yang
menanggapi setiap proses kehidupannya dalam bentuk pola-pola tingkah laku
sesuai dengan kebudayaan yang dimilikinya. Sehingga dalam suatu proses
adaptasi, manusia selalu menggunakan kebudayaannya guna merespon
perubahan-perubahan yang terjadi. Selanjutnya menurut pemikirannya pula
bahwa, kebudayaan paling baik dilihat sebagai seperangkat mekanisme-
mekanisme kontrol atau rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, instruksi-
instruksi, (apa yang disebut sebagai "program" oleh ahli komputer), untuk
mengatur tingkah laku manusia (Geertz, 1981:55). Jadi dapat dikatakan bahwa
masyarakat nelayan tradisional di Desa Tablasupa terhadap aktivitas kenelayanan
sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan, instruksi-instruksi, dan resep-resep yang
terbungkus di dalam norma-norma adat mereka. Dengan demikian interaksi antara
mereka dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik tercipta suatu kehidupan
yang bermakna.
Atas dasar asumsi bahwa kesepakatan sosial pada masyarakat nelayan
Tablasupa diberlakukan sebagai suatu strategi adaptasi untuk menanggapi
21
lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Untuk itu, penekanan dalam kajian ini
adalah mengkaji bagaimana aspek lingkungan sosial diberlakukan sebagai norma-
norma adat oleh masyarakat bersangkutan untuk mempertahankan kehidupan
mereka di lingkungan laut yang selalu tidak menentu.Prinsip-prinsip pemanfaatan
sumber daya laut seperti proses produksi distribusi dan konsumsi masih bersifat
subsisten. Hal itu didorong pula oleh faktor penggunaan teknologi alat tangkap
yang masih sederhana.
Selain prinsip-prinsip tersebut, konsep konservasi tradisional sangat kuat
dalam memanfaatkan dan mengelola potensi sumber daya laut. Hal yang kongkrit
adalah, peran tabu dalam aktifitas kenelayanan sangat kuat, sehingga apabila tidak
ditaati maka aktifitas kenelayanan akan terganggu, misalnya tidak dapat hasil.
Selain itu, dalam rangka melindungi sumber daya laut dan demi keberlangsungan
hidup orang Tablasupa, kegiatan sasi (Tiayaitiki) merupakan suatu aktifitas yang
sampai saat ini masih dilakukan.
Hal yang sama juga terdapat pada pranata Sasi dimaluku dimana pranata
itu digunakan untuk melindungi kawasan perairan dan didukung oleh peran
kewang sebagai penegak sasi. tak kalah pentingnya adalah efektivitas tekhnologi
rotasi perladangan
Kajian proses adaptasi ini terkait erat dengan fenomena perubahan
ekologi juga dapat ditemukan di kawasan lokal di Perdesaan Bengkalis-Riau,
yang secara obyektif tidak bisa terlepas pengaruh lingkungan serta agama yang
merupakan keyakinannya. Disana ada kenyataan tentang perubahan ekologis
yang berlangsung secara terus menerus dan terjadi sepanjang waktu pada
lingkungan hidup manusia, sehingga proses-proses penyesuaian diri menjadi
penting untuk terus dilakukan manusia tersebut. Masyarakat lokal Bengkalis
memiliki kebudayaan yang khas, yang membedakan mereka dengan kebudayaan
masyarakat pendatang (etnis bangsa lainnya), diantaranya adalah pengaruh
Hinduisme dan animisme yang cukup lama dan panjang di dalam pranata sosial
religi serta daur ritual mereka seperti: bersemah ladang, perencisan lancang,
mati tanah, tepuk tepung tawar, buang tetemas dan tetelor dan lain sebagainya.
Dengan demikian, beragamanya masyarakat lokal di pedesaan Bengkalis-Riau
22
dipengaruhi oleh lingkungan fisik eksternal (Deterministik lingkungan) yang
menyerap nilai-nilai budaya yang bersumber dari berbagai kepercayaan dan
agama yang dianut masyarakat lokal Melayu Bengkalis sebelumnya. Bagaimana
proses adaptasi sosial keagamaan ini terjadi.
Hal yang sama juga terdapat pada pranata Sasi dimaluku dimana pranata
itu digunakan untuk melindungi kawasan perairan dan didukung oleh peran
kewang sebagai penegak sasi. tak kalah pentingnya adalah efektivitas tekhnologi
rotasi perladangan yang dikembangkan oleh masyarakat dayak di kalimantan
dalam memulihkan kesuburan tanah.
Pada hakikat Setiap kelompok etnik yang berbeda mempunyai cara yang
berbeda mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup. masing-masing suku
bangsa mempunyai cara tersendiri dalam mengatasi masalah lingkungan hidup ini
tak lepas dari perbedaan dalam hal penggunaan tanah, perbedaan iklim dan
tumbuh tumbuhan yang berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan
apabila kita membicarakan masalah budaya dan lingkungan hidup, kita juga harus
memperhatikan bagaimana budaya dan lingkungan hidup dipahami dalam konteks
masyarakat lokal. Kita dapat memakai konsep yang paling canggih untuk
menjelaskan artinya budaya dan menerapkan teknik yang paling mederen untuk
memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup. Akan tetapi, pendekatan
demikian, menurut pandangan masyarakat setempat, mempunyai arti lain,
misalnya merusak lingkungan hidup mereka akibat tidak diperhatikannya
kebiasaan mereka atau merendahkan nilai-nilai dan budaya lokal.
Dalam sebagian masyarakat tradisional, lingkungan hidup tidak terbatas
pada tanah atau tempat tinggal. Lingkungan hidup adalah kehidupan kita.
Lingkungan hidup merupakan tempat asalnya suatu klan, tempat garis keturunan
terletak dan terbentuk, tempat letaknya kuburan nenek moyang, tempat letaknya
tempat suci untuk sembahyang dan tempat kudus lainnya yang berhubungan
dengan kosmos masyarakat tradisional.
budaya dan lingkungan hidup adalah komponen hidup yang penting, dan
saling mendukung. Yang satu menentukan kelakuan yang satu, dan sebaliknya.
Budaya, dalam persepsi masyarakat berarti melestarikan “lingkungan”, dan
23
lingkungan tidak akan ada apabila budaya tidak juga dihormati. Dua-duanya
saling terkait dan merupakan kunci kelangsungan hidup manusia.
Selain yang digambarkan diatas, terdapat juga beberapa model Kearifan
Lingkungan diantaranya ,
1. Tombak Hamijon pada masyarakat Kabupaten Humbang Hasundutan,
Sumatera Utara. Struktur tanaman tombak hamijon menyerupai hutan
(agroforestry), terdiri atas beranekaragam jenis dan spesies tumbuhan.
Kemenyan, semak hidup bersama di sebuah lapangan yang sama.
Tajuknya berlapis, mulai dari bangunan yang tingginya belasan meter
hingga yang menjalar di permukaan tanah. Hewan-hewan seperti kera
banyak hidup di dalam tombak hamijon. Tidak terhitung banyaknya
binatang kecil, seperti, burung, kumbang (tapponak) dan pelbagai jenis
hewan hidup di hutan kemenyan.
2. Repong Dammar atau hutan damar, masyarakat Kruy di Lampung Barat
merupakan model pengelolaan lahan bekas ladang dalam bentuk wanatani
yang dikembangkan masyarakat Kruy di Lampung Utara, yaitu menanami
lahan bekas ladang dengan berbagai jenis tanaman, antara lain damar,
kopi, karet dan durian.
3. Hompongan (orang Rimbo-Jambi). Hompongan merupa-kan hutan belukar
melingkupi kawasan inti pemukiman orang Rimbo (di kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas, Jambi) yang sengaja dijaga keberadaannya
karena berfungsi sebagai benteng pertahanan dari gangguan pihak luar.
4. Tembawai (Dayak Iban-Kalimantan Barat). Tembawai merupakan hutan
rakyat yang dikembangkan masyarakat Dayak Iban di Kalbar, di dalamnya
terdapat tanaman produktif seperti durian.
5. Simpuk Munan/Lembo (Suku To Bentong-Sulawesi Selatan). Sebelum
mengenal pertanian padi sawah, Orang To Bentong mewariskan lahan bagi
keturunannya berupa kebun (koko)dan ladang yang ditingggalkan
(tattakeng). Koko adalah lahan perladangan yang diolah secara berpindah,
sedangkan tattakeng adalah lahan bekas perladangan yang sedang
diberakan.
24
6. Mapolis (Minahasa-Sulawesi Utara).Mapalus pada masyarakat Minahasa,
merupakan pranata tolong-menolong yang melandasi setiap kegiatan
sehari-hari orang Minahasa, baik dalam kegiatan pertanian yang
berhubungan dengan sekitar rumah tangga, maupun kegiatan berkaitan
dengan kepentingan umum.
7. Moposad dan Moduduran di Kabupaten Bolaang Mangadow, Sulawesi
Utara. Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong-menolong
untuk menjaga keserasian lingkungan sosial.
8. Pahomba di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Gugus hutan
yang disebut pahomba terlarang keras untuk dimasuki apalagi untuk
diambil hasil hutannya. Pada hakekatnya pepohonan di pahomba berfungsi
sebagai pohon induk yang dapat menyebarkan benih ke padang rumput
yang relatif luas. Karena itu, jika api tidak menghangusmatikan anakan
pepohonan itu, perluasan hutan secara alamiah dapat berlangsung.
Pepohonan di pahomba di sekitar sungai berfungsi sebagai filter terhadap
materi erosi sekaligus befungsi sebagai sempadan alamiah sungai agar air
sungai lestari.
9. Tri Hita Karana (Bali) adalah suatu konsep yang ada dalam kebudayaan
Hindu bali, berintikan keharmonisan hubungan antara manusia-Tuhan,
manusia-manusia, dan manusia-alam. Ketiga konsep ini merupakan
penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani. Ini berarti bahwa nilai
keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan
suatu kearifan pada masyarakat dan kebudayaan Bali.
10. Seren taun di Desa Sinaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Seren
taun memiliki banyak arti bagi masyarakat kasepuhan. Seren taun adalah
puncak prosesi pertanian yang bermakna hubungan manusia, alam dan
pencipta-Nya. Sekaligus perayaan adat pertanian kasepuhan sebagai
ungkapan rasa syukur setelah mengolah lahan pertanian dengan segala
hambatan dan perjuanggannya untuk mendapatkan hasil optimal. (Sumber:
Praminto Moehayat/Burung Indonesia 1999)
25
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 5, 6 & 7
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
MATERI
Teori dan Perkembangan Antropologi Ekologi
Teori merupakan abstraksi tertinggi dari realitas, dihasilkan dari penelitian
yang dilakukan di dalam setiap ilmu pengetahuan (science). Dikatakan abstraksi
tertinggi karena teori berupa pernyataan-pernyataan ringkas atau kesimpulan
paling pendek yang dihasilkan dari penelitian, yang merupakan penyederhaan dari
realitas. Teori menjadi tolak ukur di dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Antropologi ekologi sebagai salah satu spesialisasi di dalam antropologi yang
mengkaji hubungan manusia dengan lingkungan alam fisiknya di dalam
perkembangannya juga menghasilkan konsep-konsep, teori dan metodologi
penelitian baru di dalam memahami dan menjelaskan fenomena lingkungan alam
fisik dan masyarakat dengan kebudayaannya, seperti yang dihasilkan oleh Julian
H. Steward, Andrew Peter Vayda, Ward Goodenough dan ahli lainnya. Di dalam
analisis fenomena manusia dengan lingkungannya juga menggunakan teori-teori
Mahasiswa dapat menggunakan teori dalam hubungan manusia,
kebudayaan dan lingkungan dalam studi antropologi ekologi.
26
antropologi yang sudah ada sebelumnya menjadi pendekatan yang digunakan di
dalam menganalisis hubungan manusia dengan lingkungannya. Berikut ini
dijelaskan empat teori yang menjadi pendekatan di dalam antropologi ekologi,
yaitu pendekatan etnoekologi, pendekatan ekologi silang budaya (cross cultural
ecological approach), pendekatan ekosistemik kultural dan pendekatan
ekosistemik materialistik.
Pendekatan Etnoekologi
“Dalam antropologi pendekatan etnoekologi merupakan salah satu cabang
aliran Etnosains (Ethnoscience) yang dipelopori oleh ahli-ahli antropologi dengan
latar belakang linguistik yang kuat. Etnoekologi pertama kali diperkenalkan oleh
Harold C. Conklin dlam uraiannya mengenai sistem perladangan di kalangan
orang Subanun di pulau Mindanao, Filipina. Ide ini kemudian didukung oleh
Charles O. Frake, yang menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam
ekologi. Semenjak itu etnoekologi semakin dikenal dan dipraktekkan oleh para
ahli antropologi dalam berbagai penelitian mereka.”16
Etnoekologi merupakan pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
antropologi ekologi yang merupakan pengembangan teori etnosain ke dalam
antropologi ekologi. Penelitian etnoekologi sebagaimana etnosain adalah sangat
emik, menggali sistem pengetahuan masyarakat yang diteliti melalui bahasa
sehari-hari yang mereka pakai, karena makna-makna dari bahasa tersebut yang
mereka pahami secara kognitif di dalam sistem pengetahuan mereka.
Bahasa yang dipakai sehari-hari di dalam suatu masyarakat bisa saja sama
dengan masyarakat lainnya yang juga berasal dari sukubangsa yang sama, tetapi
pemaknaan dari istilah yang sama bisa saja berbeda. Pada orang Minangkabau
kata “kolam” memiliki makna yang berbeda antara orang Minang di kota Padang
dengan orang Minang di kota Payakumbuh atau Kabupaten 50 Kota. Di Padang
“kolam” berarti sebuah penampungan air yang bisa untuk berenang atau untuk
16
Ahimsa-Putra, 1997
27
memelihara ikan. Di Payakumbuh “kolam” bisa bermakna “gelap.” Inilah contoh
sederhana dari konsep bahasa lokal yang harus diketahui oleh peneliti.
“Penelitian etnoekologi pada dasarnya bertujuan melukiskan lingkungan
sebagaimana lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsinya
adalah bahwa “lingkungan efektif” (effective environment) yakni lingkungan yang
berpengaruh terhadap perilaku manusia, bersifat kultural. Artinya, lingkungan
tersebut merupakan lingkungan fisik yang telah diinterpretasi, ditafsirkan, lewat
perangkat pengetahuan dan sistem nilai tertentu. Karena itu, lingkungan efektif
sama dapat “dilihat” dan “dipahami” secara berbeda oleh masyarakat dengan latar
belakang kebudayaan yang berbeda. Lingkungan yang telah ditafsirkan ini, yang
disebut juga dengan “environment” atau “cognized environment,” merupakan
bagian dari suatu sistem budaya masyarakat. Environment dikodifikasi di dalam
bahasa, sehingga untuk memahaminya kita harus memberikan pada bahasa sehari-
hari dari masyarakat yang diteliti. Ungkapan “bahasa merupakan budaya”
memang tepat dalam konteks ini. Sistem pengetahuan suatu masyarakat mengenai
lingkungan tersebut terwujud di dalam bentuk berbagai klasifikasi, kategorisasi
dan taksonomi unsur-unsur lingkungan. Karena itu berbagai konsep dan istilah
yang menunjukkan klasifikasi mengenai lingkungan, pada dasarnya merupakan
pintu terbaik guna mencapai sistem pengetahuan mengenai lingkungan
tersebut.”17
Oleh karenanya untuk memahami lingkungan ini kita harus
mengungkapkan taksonomi-taksonomi, klasifikasi-klasifikasi yang ada di dalam
istilah-istilah lokal, sebab dalam taksonomi dan klasifikasi inilah terkandung
pernyataan-pernyataan dan ide-ide masyarakat yang kita teliti mengenai
lingkungannya. Klasifikasi tentang lingkungan ini berisi berbagai informasi yang
penting untuk mendapatkan etnoekologi masyarakat yang diteliti. Bilamana
berbagai macam taksonomi, klasifikasi serta makna referensialnya telah
dideskripsikan, langkah selanjutnya adalah menformulasikan aturan-aturan
perilaku terhadap lingkungan yang dianggap tepat oleh masyarakat yang kita
teliti. Dengan pendekatan etnoekologi ini diharapkan kita akan mampu menebak
17
Ibid.
28
perilaku orang dengan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan.
Relevansi informasi semacam ini bagi studi mengenai lingkungan terletak dalam
pendapat bahwa pandangan orang (people’s cognition) mengenai lingkungan
merupakan bagian dari mekanisme yang menghasilkan perilaku fisik yang nyata,
lewat mana orang secara langsung menciptakan perubahan dalam lingkungan fisik
mereka (Vayda dan Rappaport).18
Pendekatan Ekologi Silang Budaya
Silang budaya (cross cultural) merupakan konsep yang sudah ada sejak
awal perkembangan antropologi. Cross cultural yang dimaksudkan adalah
perbandingan atau komparasi yang dilakukan oleh para antropolog dalam rangka
menjelaskan banyak kebudayaan di dunia. Dalam rangka komparasi inilah juga
melahirkan metode komparatif yang khas di antropologi. Komparasi yang
dilakukan adalah untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara
banyak kebudayaan yang terdapat di dunia, dengan membanding-bandingkan
unsur kebudayaan atau pranata yang ada di dalam kebudayaan yang dibandingkan.
Komparasi ini dilakukan untuk melihat tingkat-tingkat perkembang kebudayaan di
dalam aliran evolusionis. Namun cross cultural terus dilakukan antropolog sesuai
dengan perkembangan teoritis. Perbandingan juga dilakukan antropolog di dalam
aliran fungsionalisme, strukturalisme dan interpretivisme simbolik oleh Geertz.
Perbandingan dilakukan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih baik dari
etnografi atau karya yang dihasilkan dan untuk tujuan praktis, untuk kepentingan
masyarakat yang diteliti.
Di dalam pendekatan antropologi ekologis silang budaya perbandingan
yang dilakukan dipengaruhi oleh ekologi budaya oleh Julian Steward. Sebagai
contoh yang diberikan oleh Ahimsa-Putra berupa hasil penelitian Netting pada
orang Kofyar di Nigeria tahun 1960-1962 dan penelitian Walter Goldsmith
mengenai kebudayaan dan ekologi di Afrika Timur. Penelitian Netting ditujukan
untuk melukiskan sistem pertanian orang Kofyar yang dianggapnya unik dan
18
Ahimsa- Putra, 1994.
29
sangat terintegrasi. Dia juga menganalisis saling hubungan antara sistem pertanian
mereka dan latar belakang sosial-budaya petaninya. Netting menyebut
pendekatannya bersifat “ekologi budaya,” sebab unit yang dipelajarinya adalah a
“culturally defined population of human beings” dan perhatiannya lebih diarahkan
pada aspek budaya proses adaptasi orang Kofyar daripada terhadap aspek
fisiknya...Orientasi teoritisnya adalah seperti apa yang ada pada Julian Steward,
yang mencakup pemisahan berbagai unsur lingkungan yang berkaitan dengan
proses adaptasi manusia dan eksloitasi yang dilakukan oleh manusia, dan
hubungan empirik ciri-ciri mata pencaharian ini dengan pola-pola kebudayaan
tertentu.19
Perbandingan silang-budaya yang dilakukan Netting adalah dengan
mamakai data dari suku Ibo.
Penelitian Walter Goldsmith melakukan perbandingan yang terkontrol
(controlled comparison) mengenai perbedaan dalam kebudayaan pada kelompok-
kelompok dari empat macam suku bangsa yang masing-masing mempunyai ciri:
satu sektor dicurahkan terutama pada aktivitas-aktivitas pengembalan dan sektor
lain dicurahkan pada kegiatan-kegiatan pertanian. Orientasi teoritis proyek ini
muncul dari usaha untuk menggabungkan teori struktural-fungsional dengan teori
evolusi. Teori evolusi, di mata Goldsmith, juga merupakan teori fungsional dalam
arti bahwa, “teori ini mengandung tesis fungsional yang paling dasar yaitu bahwa
(1) pranata-pranata (institutions) di dalam masyarakat merupakan mekanisme-
mekanisme interaksi sosial yang berfungsi untuk berlangsungnya kehidupan
masyarakat, dan (2) semua bagian di dalam sistem sosial harus merupakan suatu
keseluruhan yang terintegrasi, sehingga perubahan-perubahan di satu bagian
memerlukan penyesuaian-penyesuaian pada unsur-unsur yang lain.
Pada bagian lain dinyatakan bahwa seperti yang dinyatakan oleh Edgerton,
penyesuaian-penyesuaian ekonomi yang berlainan antar pengembala dan petani,
yang dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang berbeda, memang telah
menghasilkan nilai-nilai, sikap-sikap dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda
pula.20
Inilah bentuk penelitian ekologi silang bidaya (cross cultural) yang
19
Ibid. 20
Ibid.
30
melakukan perbandingan-perbandingan dilakukan untuk melihat perbedaan dan
persamaan di antara dua kebudayaan masyarakat yang sama sebagai pengembala
di lingkungan ekologi yang berbeda.
Pendekatan Ekosistemik: Kultural dan Materialistik
Aliran ketiga dalam antropologi ekologi adalah pendekatan ekosistem.
Kerangka ekosistem ini mendapatkan modelnya dari ilmu biologi dan ekologi
umum. Versi kultural dari pendekatan ini diwakili oleh studi Clifford Geertz
mengenai sistem pertanian dan perubahan ekologi di Indonesia. Geertz meminjam
konsep ekosistem dari ahli-ahli ekologi tumbuh-tumbuhan dan binatang, yang
menggunakan istilah ekosistem untuk menunjuk setiap sistem yang berfungsi dan
berinteraksi, yang terdiri dari satu atau lebih organisme dan lingkungan
efektifnya. Dengan menggunakan konsep ini Geertz dapat menempatkan aktivitas
manusia, transaksi-transaksi biologis dan proses-proses fisik dalam suatu sistem
analitik. Namun demikian, agar tidak terjebak dalam rangkaian relasi yang tidak
terhingga, Geertz mendefenisikan ekosistem sebagai suatu sistem dimana
variabel-variabel budaya, biologis dan fisik yang mudah dipilih memang betul-
betul saling berkaitan. Prosedur ini mirip dengan pembedaan antara “inti budaya”
dengan lingkungan yang relevan dalam ekologi budaya Julian Steward. Akan
tetapi meskipun Geertz bersandar pada model ekologi, dimana si ahli antropologi
menerapkan konsep-konsep ekologi pada masyarakat tersebut secara langsung dan
menyeluruh dan masyarakat manusia hanya dilihat sebagai suatu gejala bilogis
sejajar dengan gejala biotis lainnya. Di sinilah letak perbedaan pokok antara
analisis ekosistemik dari Clifford Geertz dengan pendekatan ekosistem dari
Vayda dan beberapa ahli antropologi lain yang oleh Orlove disebut aliran
Columbia-Michigan.21
Pendekatan ekosistemik kultural yang dipelopori oleh Geertz ini adalah
berdasarkan kepada hasil penelitian Geertz mengenai Involusi Pertanian di Jawa.
Karya Geertz ini juga ditunjang dengan pemanfaatan data-data sejarah yang
21
Ahimsa-Putra, 1994.
31
sangat kuat. Data-data sejarah tersebut berhubungan dengan kondisi masyarakat
yang dimulai dari zaman purba, zaman penjajahan dengan sistem tanam paksa
yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Kemudian munculnya sistem
perkebunan besar dan juga disinggung Geertz kondisi pada penjajahan Jepang
serta kondisi pada saat penelitian dan gambaran garis besar masa depan pertanian
di Jawa. Deskripsi ini menjelaskan mengenai proses perubahan ekologi khususnya
di Jawa, tentu saja dengan pendekatan ekosistemik kultural. “...Sesungguhnya
karya Geertz ini menjelaskan tentang sejarah sosial ekonomi Jawa, yang secara
mendalam menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihayati oleh Indonesia merdeka
untuk memulai lepas landas ke pertumbuhan ekonomi yang melanjut (sustained
economic growth), setelah mengalami tingkat kehidupan yang statis selama
penjajahan Belanda.”22
Perubahan yang panjang ini dilihat dari pertambahan penduduk yang cepat
di pulau Jawa, yang tidak seimbang dengan peningkatan produktivitas. Artinya
pertambahan penduduk ini tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan,
padahal produktivitas pertanian terus meningkat dengan adanya revolusi hijau.
Inilah yang dimaksudkan Geertz dengan involusi. Involusi ibarat perubahan
dengan.... “tidak adanya kemajuan yang hakiki. Jika pun ada gerak, misalnya
orang berjalan, berlari, atau menunjukkan gerakan lain di dalam lingkungan air,
tidak ada gerakan yang menghasilkan kemajuan; orang tetap berada di tempat
yang sama, misalnya di perairan, berenang di tempat menjaga diri tidak tenggelam
tanpa mencapai tujuan lain.”23
Lebih jelasnya seperti orang yang tidak pandai
berenang sedang berada di dalam air yang beriak dengan kedalaman setinggi
dagunya, sehingga bergerak hanya untuk tetap berada di tempat. Jika
dibandingkan dengan kata evolusi sebagai bentuk perubahan yang sangat lambat,
revolusi sebagai perubahan yang sangat cepat, involusi sebagai perubahan yang
pada hakikinya tidak berubah.
Involusi di bidang pertanian yang digambarkan Geertz secara ekosistemik
kultural dengan perubahan ekologis di daerah pedesaan Jawa dapat digambarkan
22
Higgins, 1963. “Prakata”dalam Geertz, 1975 Involusi Pertanian (Terj.) 23
Sajogyo, 1975. “Kata Pengantar,” dalam Geertz, 1975 Involusi Pertanian (Terj.)
32
dengan pola pertanian sawah dengan produksi yang meningkat akibat ditemukan
bibit unggul, adanya insektisida dan pestisida serta alat-alat pertanian yang
modern seperti traktor mini untuk membajak sehingga mempercepat pola kerja
dan produkti pertanian. Dengan demikian produksi pertanian atau panen dapat
dilakukan dua atau tiga kali setahun, yang sebelumnya hanya satu kali setahun.
Peningkatan produktivitas pertanian (padi) ternyata tidak meningkatkan
kesejahteraan penduduk. Seharusnya dengan dua atau tiga kali panen akan
meningkatkan surplus dan memberikan kesejahteraan bagi petani, tetapi petani
Jawa tetap dalam kondisi ekonomi yang sama dengan sebelum revolusi hijau.
Mengapa hal ini terjadi, jawaban yang diberikan Geertz karena faktor
kebudayaan, yaitu oleh petani pedesaan Jawa banyak anak banyak rezeki yang
lebih penting. Oleh karena itu dengan pertambahan penduduk yang cepat
mengakibatkan pertumbuhan produksi di bidang pertanian seperti tidak terjadi
peningkatan apa-apa, karena produksi yang tinggi juga sebatas pemenuhan
kebutuhan dasar untuk semua penduduk. Inilah yang terjadi dengan konsep
involusi pertanian di Jawa.
Ekosistemik Materialistik
Aliran keempat dalam antropologi ekologi, yaitu versi yang materialistik
dan analisis ekosistemik, adalah antropologi ekologi neo-fungsional (neo-
functional ecology).24
Aliran ini didasari oleh penelitian oleh Anthony Leads dan
Andrew P. Vayda tentang hubungan manusia dengan binatang, yaitu tentang
peranan babi dan ekonomi orang Melanesia. Kemudian dilaksanakan simposium
Role of Animals in Human Ecological Adjustments, dalam pertemuan tahunan
Asosiasi Antropolog Amerika Serikat yang ke 128 di Denver Colorado. Dalam hal
ini melihat pemanfaatan binatang tertentu dan melihat produk yanh dihasilkannya
bagi masyarakat tertentu, ciri-ciri binatang yang menjadi dasar pemanfaatan
tersebut dan efek dari pemanfaatan tersebut terhadap pola-pola dan organisasi
kebudayaan.
24
Ibid.
33
Hasil simposium ini dibukukan dengan judul Man, Culture and Animals,
yang oleh redaksi buku, Leads dan Vayda, menyatakan bahwa keteraturan-
keteraturan yang tampak dalam peranan yang dimainkan oleh binatang dalam
proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Kerangka teori yang digunakan
adalah penekanan yanng lebih besar pada perilaku fisik yang nyata, lewat mana
manusia secara langsung mempengaruhi dan mengubah lingkungannya.25
25
Ibid.
34
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 8
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
Materi
1. Pandangan antropologi ekologi baru
2. Issue yang berkembang dalam antropologi ekologi baru
3. Contoh penelitian antropologi ekologi baru
Materi 1
A.Antropologi Ekologi Baru
Perbedaan-perbedaan antara antropologi ekologi baru dan lama melibatkan
kebijakan dan orientasi nilai, aplikasi, unit analisis, skala dan metode. Studi-studi
dalam antropologi ekologi lama menyebutkan bawah penduduk pribumi
melakukan pekerjaan yang masuk akal memelihara sumberdaya mereka dan
memelihara ekosistem mereka; tapi studi-studi tersebut, yang mengandalkan pada
norma relativisme kultural secara umum bertujuan untuk menjadi nilai netral.
Sebaliknya, antropologi ekologi atau lingkungan baru mencampur teori dan
analisis dengan kesadaran politik dan persoalan keberpihakan. Sub-sub bidang
Menjelaskan pandangan antropologi ekologi baru.
Menjelaskan issue-issue dalam antropologi ekologi bari
Menjelaskan pendekatan dalam antropologi ekologi baru
Memberikan bentuk contah penelitian antropologi ekologi baru
Mengemukakan konsep-konsep penting dalam studi antropologi ekologi
35
baru muncul, seperti antropologi ekologi terapan dan ekologi politik ( Amri
Marzali 2012
Komersialisasi hutan
Komersialisasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang hak
pengusahaan hutan( PP.HPH) memiliki dampak negatif tersendiri bagi kehidupan
masyarakat desa yang ada di dalam hutan dan sekitar konsesi PP.HPH. Hal ini
sangat banyak terjadi di pulau Kalimantan.
Sejarah awal perusahaan pemegang hak penguasaan hutan dibuka pada
era Orde baru dengan masa puncak dengan terbentuknya Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia ( APHI) tercatata 467 perusahaan, tapi terakhir itu mengalami
penurunan 167 tanpa kejelasan berita.
Awal Hak Pengusahaan Hutan banyak dikuasai oleh pensiunan jenderal,
yayasan, konco dan kerabat Cendana namun mereka bukan orang-orang yang ahli
dalam pengelolaan hutan baik secara manajerial, tekhnologi,dan tak punya modal
yang cukup sehingga banyak diantara mereka mensub kontrak kepada perusahaan
kayu balak dari Korea, malaysia, ero-amerika, pilipina dan sub kontrak dalam
negeri. Sayangnya para perusaha kayu balak ini membabat hutan tanpa nurani atas
kelestarian hutan ,malah melakukan pencemaran budaya dengan melakukan
kawin kontrak antara karyawan dan buruh asing dengan perempuan pedalaman
hutan . Cara kerja para perusahaan Balak Kayu ini juga memmpengaruhi prilaku
masyarakat hutan yang juga ikut-ikutan dalam pola penebangan liar, masyarakat
hutan seperti mendapat uang melimpah yang juga mempengaruhi hidup mereka.
Hidup mereka yang sebelumnya sederhana berubah pola hidup yang sangat
mengangungkan uang, eksploitasi hutan, memiliki tekhnologi komunikasi seperti
TV , parabola.
Fase sejarah Penguasaan hutan, tahun 1990-an muncul program HPH Bina
Hutan ( era kementerian hutan di pimpin oleh Ir Djamaludin yaitu suatu program
pembinaan terhadap masyarakat desa di dalam hutan dan sekitar hutan,namun
program sulit diterapkan sebagaimana harapannya karena administrasi internal
dari kementerian itu sudah karatan dengan KKN.
Fase Reformasi 1998, permasalahan penguasaan hutan juga tidak dapat di
selesaikan , hanya lebih banyak keluarnya peraturan-peraturan tentang hutan yang
belum membumi. Ini era kepemimpinan Menteri Muslimin Nasution.
Ketika hutan telah di komersial, para ilmuwan ilmuwan sulit netral dalam
mempelajari peran manusia dalam mengatur pemanfaatan lingkungan ketika
36
komunitas lokal dan ekosistem semakin terancam oleh pihak eksternal. Para
ntropolog melihat suatu ancaman terhadap orang-orang yang mereka pelajari –
penebangan komersial, polusi lingkungan, dan pembebanan sistem manajemen
eksternal yang tidak memikirkan kepentingan ekosistem lokal yang sebenarnya
memiliki kearifan dalam pengelolaan lingkungan dan itu sudah berlangsung
dalam jangka waktu bertahun-tahun , Disinilah muncul pendekatan antropologi
ekologi, yang diawali penelitian Vayda di kalimantan yang memberi rekomendasi
untuk mengevaluasi kebijakan, antropologi lingkungan baru tidak hanya berusaha
memahami masalah lingkungan dan manusia namun jugs mncari solusi-solusi
dan menginformasikan secara kultural atas masalah lingkungan dan manusia
seperti kerusakan lingkungan, rasisme lingkungan Dalam hal ini pendekatan
antropologi ekologi baru berfokus pada unit-unit analisis baru – nasional dan
internasional, selain pada lokal dan regioal, karena level-level tersebut berbeda-
beda dan berhubungan dalam ruang dan waktu. Dengan memasuki sebuah dialog
dengan pemahaman sumberdaya alam dan lingkungan, pendekatan sistem terbatas
pada tahun 1960an. Metodologi-metodologi dalam antropologi baru harus tepat
dengan hubungan dan level kompleks yang menyusun dunia modern.
Jadi pendekatan antropologi ekologi fokusnya tidak lagi mengutamakan
pada ekosistem lokal. Pihak luar yang menerobos pada ekosistem lokal dan
regional menjadi pemain kunci dalam analisis; ketika kontak dengan agen-agen
dan agen-agen eksternal (misalnya imigran, pengungsi, pejuang, wisawatan,
pengembang) menjadi semakin umum para antropolog ekologi harus memberi
perhatian pada organisasi-organiasi dan kekuatan-kekuatan eksternal yang saat ini
mengklaim ekosistem regional dan lokal di seluruh dunia. Bahkan ditempat-
tempat jauh, bahkan bebeapa pihak level otoritas yang mengklaim hak pengunaan
dan pengaturan sumberdaya alam dan ekosistem lokal.seperti pihak eksekutif
maupun legialtis dalam sebuah negara.
37
B.Isu-isu untuk antropologi ekologi baru
Adanya pertumbuhan populasi, migrasi, ekspansi komersial dan insentif
nasional dan internasional telah merusak lingkungan, sistem-sistem etnoekologi
yang memiliki memiliki kearifan dalam konsevasi lingkungan yaag konservasi itu
telah terjaga selama bertahun-tahun
C.Kesadaran ekologi dan persepsi resiko lingkungan
Pendekatan antropologi ekologi baru dapat memberi peran dalam masalah
lingkungan dan manusia secara terapan . Mereka dapat menjadi agen atau
pendukung perencana dan agen kebijakan yang bertujuan untuk pelestarian atau
perbaikan lingkungan atau pembela bagi oprang-orang yang secara aktual atau
berpotensi beresiko melalui sejumlah gerakan dan paksaan, termasuk
developmentalisme dan environmentalisme. Selain itu memberi semangat akan
kesadaran ekologis dan melakukan aktivitas dalam berbagai kelompok untuk
menggabungkan antara kebijakan yang ada dengan model etnoekologi pribumi
yang memilik kearifan dalam pelestarian lingkungan.
E.Contoh penelitian Antropologi Ekologi Baru
“ Dampak Penguasaan Kawasan Halimun oleh Pemerintah dan Korporasi
Terhadap Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar “ olehRahmad
Efendi1, Dwi Rahma Safitri
2, Ita Nurmawati
3, Tuflicatul Ilmiyah
4 Dalam jurnal
Antropologi FISIP Unpad,
Ringkasan penelitian
Penelitian ini membahas tentang masalah yang dihadapi Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar ketika kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak.
Masalah tersebut membuat ruang gerak mereka jadi terbatas sehingga mengancam
keberlangsungan adat istiadat mereka. Penelitian ini menggunakan desain metode
penelitian kualitatif untuk menggali pemahaman masyarakat akan persoalan
38
tersebut. Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, terdapat tradisi berpindah
kampung beserta lahan garapan sebagai pengetahuan lokal mereka. Tradisi
berpindah merupakan mekanisme untuk mengatasi tekanan penduduk. Masalah
tekanan penduduk mesti diatasi untuk menjaga keberlangsungan tatanan adat
mereka. Akan tetapi kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak, seperti
pihak negara dan korporasi besar. Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
menjadi sulit untuk menjalankan mekanisme tersebut, karena lahan sudah
terbatas. Persoalan ini tentunya akan mempengaruhi sistem adat mereka, sehingga
akan mempengaruhi keberlangsungan hidup mereka nantinya.
Para pihak pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah dan korporasi,
tentunya perlu memikirkan baik-baik solusi yang tepat. Dimana pihak pemerintah
dan korporasi hendaknya mementingkan keberadaan dan keberlanjutan hidup
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptgelar. Selain itu upaya-upaya pembangunan
yang dilakukan pemerintah sebaiknya menghindarkan pola yang berpusat dari
kebijakan di atas. Karena hal tersebut tentunya akan memberikan pengaruh besar
terhadap pergesaran nilai dan pengetahuan local milik masyarakat kasepuhan.
Lebih tepat menawarkan pembangunan yang bersumber dari kebijakan dan
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Agar ke depannya sistem
pengetahuan mereka dapat tetap terjaga dan semakin berdaya guna sebagai fungsi
adaptasi dengan kondisi lingkungannya.
Kemudian tentunya akan lebih bijak untuk semua pihak yang
berkepentingan agar saling bekerjasama untuk menghasilkan kesepakatan.
Sehingga pengelolaan dan penjagaan yang dilakukan dapat menjamin
keberlanjutan fungsi kawasan ekosistem Halimun beserta keberlanjutan
Masyarakat Adat Kasepuhan yang ada di dalamnya.
39
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 10
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
Materi
- Tipe adaptasi masyarakat berburu dan meramu
- Tipe adaptasi masyarakat bercocok tanam
- Tipe adaptasi masyarakat pedesaan
Materi
William A. Haviland (1999) mengemukakan difinisi adaptasi mengacu
pada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh organisme pada
lingkungannya dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan pada organisme.
Adaptasi kerupakan proses penyesuaian dua arah, yaitu organisme dengan
lingkungannya. Adaptasi terjadi dsalam rangka mempertahankan hidup.
Manusia melakukan adaptasi melalui sarana kebudayaan dan sesuai
dengan sumber daya ada dalam lingkungannya. Keberhasilan beradaptasi akan
menjadikan manusia sebagai pribadi yang selaras dengan lingkungan budaya dan
sosialnya.( William A. Haviland (1999)
Koenjaraningrat 1994 mengutarakan ada beberapa tipe adaptasi sosial
budaya yaitu : tipe adaptasi sosial masyarakat berburu meramu, berladang tebang
bakar), nelayan, beternak, bertani dan irigasi serta tipe adaptasi sosial budaya
masyarakat perkotaan .
Menjelaskan beberapa tipe adaptasi manusia dan lingkungan
Mengemukakan konsep-konsep penting dalam studi antropologi ekologi
40
Dalam proses beradaptasi tersebut masyarakat dipengaruhi oleh
kepercayaan/ keyakinan, struktur /organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, pola
pemukiman, kesenian, bahasa dari masyarakat itu
Tipe Adaptasi Masyarakat Berburu-meramu.
Berburu dan meramu adalah tipe adaptasi manusia yang tertua (Wiliam
A, Haviland 1999). Masyarakat berburu umumnya juga melakukan pekerjaan
meramu yaitu mengumpulan berbagai jenis tanaman seperti umbi-umbian dan
tumbuhan akar yang dapat mereka makan sehari-hari, Juga mereka mencari ikan
di sungai, sehingga mereka disebut juga sebagai masyarakat pemgumpul bahan
makanan. Namun masyarakat berburu dan meramu ini lambat laun hilang sejak
abad ke 19 dan beralih pada bidang pertanian
Tipe Adapatasi masyarakat Bercocok Tanam
Verre Gordon Shilde dalam Pengantar Antropologi (1999) mengemukan
bahwa kemampuan manusia dalam bercocok tanam merupakan peristiwa utama
dalam perkembangan kebudayaan manusia, dikenal dengan istilah revolusi
kebudayaan. Pada masa bercocok tanam ,awalnya kehidupan manusia masih
berpindah-pindah, kemudian baru menetap, awalnya tidak mengunakan bajak,
setelah menetap mengunakan bajak
Tipe adaptasi masyarakat pedesaan
Bertani merupakan mata pencaharian tama sebagian besar masyarakat
pedesaan di Indonesia . Saat ini sistem bertani sudah mengalami perubahan,
dahulunya mengunakan kerbau untuk membajak sawah, meotong padi dengan
mengunakan ani-ani, menumbuk padi dengan lesung, sekarang semuanya
digantikan oleh tenaga mesin .
Dulu, manusia dengan lingkungan nya akan beradaptasi sesuai dengan
sumber daya alam yang mendukung sistem mata pencaharian mereka, maka alat
seperti lesung, bajak menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan petani.
41
Mereka memiliki tradisi yang kuat dan mereka menjunjung kebersamaan. Hidup
bahu-membahu dan bekerja sama mulai dari menanam, mengolah hingga
memanen. Masyarakat bertani dulu memiliki pola pemukiman menetap tidak
berpindah-pindah.
Masyarakat bertani, dahulunya beradaptasi dengan lingkungannya dengan
cara melihat kesediaan sumber daya alam seperti tanah subur, iklim dingin dan
ketersediaan sumber daya manusia yaitu keluarga luas sehingga menamam padi,
menumbuk padi, menjemur padi dapat dikerjakan secara bersama-sama.
Dan yang menarik, ketika petani melakukan penumbukan padi, alunan
gesekan alu dan lesung menjadi keseniaan tersendiri bagi masyarakat bertani. Dan
biasanya orang menumbuk padi dalam jumlah yang banyak apabila ada hajatan
sehingga aktivitas ini menjadi tradisi, misal Gojeg dalam masyarakat jawa yaitu
tradisi alunan alu dan lesung disaat acara unduh mantu’
Seiiring berjalan waktu, sistem pertanian bergeser dengan pengunaan
tekhnologi seperti huller dan ini diterma oleh masyarakat, pengunaan lesung,
bajak dan alu tidak menjadi aktivitas sehari-gari masyarakat petani, namun tradisi
kesenian menumbuk alu dan lesung yang di kenal gojeg didalam masyarakat jawa
masih saja berlangsung.
42
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 11
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
MATERI
METODE PROGRESSIVE CONTEXTUALIZATION DALAM
PENELITIAN ANTROPOLOGI EKOLOGI
Metode Progressive Contextualization (Progresif Kontektualisasi) –
selanjutnya disingkat dengan PC saja – merupakan metode penelitian yang
dikembangkan oleh Andrew Peter Vayda di dalam melaksanakan penelitian
antropologi ekologi atau ekologi manusia. PC merupakan respon dari Vayda
dalam melihat perkembangan metode-metode dalam hubungan manusia dengan
lingkungannya. Dalam hal ini Vayda memberikan perubahan mendasar terhadap
sudut pandang antropologis terhadap fenomena manusia dengan lingkungannya,
yaitu dalam hal cara pandangnya terhadap apa yang dimaksud dengan sistem
sebagai satuan wilayah kajian, yang tidak lagi melihat kepada batasan-batasan
desa atau kabupaten, kemudian juga dijelaskan apa yang dimaksud dengan
sistemik di dalam penelitian antropologi ekologi dengan menerapkan PC.
Mahasiswa dapat menggunakan metode Progressive Contextualization
dalam penelitian antropologi ekologi.
43
Sumbangan penting dari Vayda ini ditulis di dalam jurnal Human Ecology
Volume 11, nomor 3 tahun 1983, yang berisikan pendekatan dan prosedur
penelitian yang memungkinkan peneliti menggunakan banyak metode, sesuai
dengan judul tulisannya Progressive Contextualization: Methods for Research in
Human Ecology. Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk mengargumentasikan
secara luas penerimaan prosedur-prosedur tertentu yang bisa dilabeli dengan PC.
Artikel Vayda ini menjelaskan tentang langkah-langkah prosedural dari PC,
beberapa prinsip yang diacu dalam melakukan PC sebagai pedoman di dalam
penelitian, dan keuntungan di dalam menggunakan PC. Dengan menggunakan PC
di dalam penelitian antropologi ekologi beberapa keunggulan diperoleh peneliti.
Sebagaimana dinyatakan Vayda, PC konsisten dengan arah baru di dalam ekologi
ekologi manusia atau antropologi ekologi dan bidang kajian lain yang relevan.
Dalam menggunakannya kita bisa mulai dengan aksi-aksi atau interaksi-interaksi
secara individual dengan individu dengan barang-barang kebutuhan hidupnya –
yang berhubungan dengan lingkungan – dengan memperlihatkan konteks interaksi
yang cerdas dalam hubungan dengan kompleksnya permasalahan lingkungan dan
efeknya. Berikut ini dijelaskan langkah-langkah prosedural PC di antaranya;
Pertama, Fokus terhadap aktivitas dari orang, tempat, dan waktu yang
spesifik. Seperti yang dinyatakan Vayda, PC, starting, as note earlier, with
specific activities such as timber cutting, performed by specific people in specific
places at specific times, enable us to see and understand the activities and impacts
of such coalitions and did not require us to make any assumptions about their
permanence or stability.26
(PC, dimulai, sebagaimana catatan sebelumnya, dengan
kegiatan-kegiatan khusus seperti pemotongan kayu, yang dilakukan oleh orang-
orang tertentu di tempat-tempat tertentu dan pada waktu tertentu, memungkinkan
kita untuk melihat dan memahami kegiatan dan dampak dari gabungan tersebut
dan tidak mengharuskan kita untuk membuat asumsi tentang keberlanjutan atau
stabilitasnya). Kedua, dengan PC peneliti dapat menempatkan diri ke dalam
konteks aktor. Ini memperlihatkan bahwa penelitian ini benar-benar emik. Ketiga,
sistemik, sistemik bukan dalam penelitian antropologi klasik dalam melihat satuan
26
Vayda, 1983:269
44
unit atau satuan dari banyak pranata di dalam satu kebudayaan atau satuan
wilayah kajian , tetapi apa yang terjadi di suatu tempat bisa dipahami sebagai
suatu jalinan dari semua yang terjadi di dalam kegiatan-kegiatan yang dapat
diamati. Artinya peneliti mampu menjelaskan secara menyeluruh apa-apa saja
yang terjadi pada saat penelitian, dalam waktu, tempat, kejadian yang spesifik,
sehingga penjelasan menyeluruh dapat diambil. Keempat, dengan PC peneliti
dapat menghindarkan pandangan atau defenisi yang a priori pada batas-batas
ekosistem dari komunitas manusia yang dipelajari.
Penelitian yang dilakukan oleh Vayda pada kasus penebangan atau
penggundulan hutan di Kalimantan, oleh karena itu Vayda fokus terhadap
aktivitas secara langsung dan signifikan yang menyebabkan terjadinya
penebangan pohon. Untuk itu memahami rangkaian sebab akibat dari penebangan
pohon ini sangat diperlukan pemahaman sesuai konteksnya secara holistik dengan
mengajukan pertanyaan mendalam melalui 5 w + 1 h (what,when,who,why,
where, dan how).
Selanjutnya, prinsip yang diacu di dalam melakukan PC adalah prinsip
yang rasional, dalam hal ini peneliti harus mementingkan untuk memperhatikan
aktivitas atau interaksi, dengan menggunakan pengetahuan secara rasional dan
ketersediaan sumber daya yang ada. Pendekatan emik tetap dilakukan, peneliti
jangan menggunakan nilai-nilai berdasarkan ukuran peneliti, karena apa yang
dilakukan oleh aktor atau para pelaku adalah punya rasionalitasnya sendiri. Vayda
menyatakan ...one guide is a rationality principle whereby we assume that those
who are engaging in the activities or interactions of concerns to us are rationally
using their knowledge and available resources to achieve whatever their aims are
in the situatuions in which they find themselves.27
(satu pedoman prinsip yang
rasional dimana kita mengasumsikan bahwa siapa yang terlibat di dalam aktivitas
atau interaksi memusatkan perhatian kita bahwa aktivitas dan interaksi tersebut
adalah rasional menggunakan pengetahuan mereka dan ketersediaan sumber daya
untuk mencapai apapun tujuan mereka dalam situasi-situasi dimana mereka
menempatkan diri mereka). Jadi prinsip rasional ini penting di dalam memahami
27
Ibid.Hal.266.
45
aktivitas yang dilakukan dengan rasionalitas dari subjek sendiri terhadap apa yang
mereka lakukan.
Keuntungan dengan melakukan PC di dalam penelitian antropologi
ekologi seperti dijelaskan Vayda di antaranya peneliti dapat melakukan
eksperimen pemikiran dalam konteks aktor. Maksudnya peneliti dengan
keterlibatannya di dalam konteks aktor (observasi partisipasi) maka peneliti dapat
mengembangkan asumsi-asumsi baru berdasarkan temuan di lapangan. Dengan
demikian pada dasarnya penelitian yang dilakukan dapat dikembangkan menjadi
beberapa penelitian sesuai dengan kemampuan peneliti untuk mengembangkan
asumsi-asumsi baru. Dengan PC sesungguhnya peneliti dapat mengembangkan
pertanyaan penelitian sesuai dengan situasi di lapangan. Asumsi-asumsi baru yang
dibuat selama di lapangan memungkinkan peneliti melakukan penelitian secara
berkelanjutan dalam tema-tema penelitian yang baru. Inilah salah satu bentuk
progresif yang dihasilkan dengan menggunakan PC sebagaimana disarankan
Vayda. Oleh karena itu penelitian dengan metode-metode PC merupakan
penelitian-penelitian yang dapat memperpendek penggunaan waktu peneliti di
lapangan dalam satu tema atau asumsi tertentu. Peneliti dapat kebebasan untuk
menentukan lama atau tidak di lapangan, sepanjang dapat menjawab asumsi yang
dibangun sebelumnya. Jika penelitian ingin dilanjutkan maka asumsi baru harus
dikembangkan, sehingga penelitian dilakukan secara berkelanjutan/ progresif.
Jika pilihan penelitian oleh peneliti dilakukan lebih dengan pemanfaatan
waktu yang lebih pendek maka penelitian juga dapat mengurangi penggunaan
biaya. Di samping itu dengan PC peneliti dapat kebebasan di dalam melakukan
pengumpulan data melalui berbagai metode yang relevan serta peneliti dapat
mengetahui keseluruhan konteks yang semula hanya merupakan asumsi-asumsi
atau pertanyaan yang masih meragukan.
Dengan melakukan PC dengan asumsi-asumsi baru sesungguhnya peneliti
dapat melakukan penelitian berulang secara progressive. Itulah makanya disebut
dengan progressive contextualization, karena dengan melakukan saran-saran yang
diajukan Vayda pada dasarnya peneliti bisa melakukan penelitian berkelanjutan.
46
Ini dimungkinkan sepanjang peneliti mampu mengembangkan asumsi-asumsi
baru untuk selanjutnya dapat menjadi dasar dari penelitian selanjutnya.
Cara penelitian berkelanjutan atau progresif ini memperlihatkan bahwa PC
memiliki paradigma baru di dalam penelitian antropologi ekologi. Paradigma baru
yang dimaksudkan adalah dengan PC peneliti sudah dapat melakukan penelitian
dengan cara kerja prosesual di dalam penelitian antropologi, dimana penelitian
tidak berhenti pada satu tema tertentu, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi
di dalam masyarakat atau lingkungan dapat diperhatikan dengan penelitian yang
dipanjang atau penelitian diulang pada waktu yang berbeda. Penelitian prosesual
dengan sendirinya sudah membantah penelitian antropologi yang sinkronik,
karena dengan cara PC, prosesual, sesungguhnya penelitian itu sudah merupakan
penelitian berkelanjutan, yang di dalam konteks ilmu sejarah disebut dengan
istilah diakronis. Hal ini sejalan dengan aliran neo evolusi di dalam antropologi
oleh Julian H. Steward sebagai pelopor antropologi ekologi yang memperhatikan
perubahan kebudayaan secara berkelanjutan.
47
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 12
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
Materi
1. Modal sosial dengan pengelolaan lingkungan
2. Permasalahan lingkungan dalam masyarakat hutan
3. Permasalahan lingkungan dalam masyarakat nelayan
Materi
1.Modal Sosial Dalam Pengelolaan Lingkungan
Modal sosial oleh Piere Bordeau pada 1972 adalah sebuah konsep
kebersamaan yang lahir dari adanya kepekaan pemimpin yang ditindaklanjuti
dengan menggagas untuk membangun kesadaran masyarakat yang memiliki
saling keterkaitan sosial, sehingga terwujud rasa peduli dan tang-gung jawab
yang memiliki nilai jaringan sosial.
Modal sosial adalah rekonstruksi dari kerja sama antar manusia untuk
mencapai suatu tujuan yang mana bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah
memiliki modal sosial yang cukup banyak artinya Modal sosial merupakan milik
bangsa Indonesia secara turun-temurun dengan berbagai model, misalnya etos
gotong royong
Menjelaskan permasahan manusia dan lingkungan dalam realita kehidupan
sehari-hari dengan mengkaitkan dengan beberapa konsep dan pendekatan
antropologi ekologi
48
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan dapat dikatakan hampir
semua masyarakat yang mempunyai keragaman budaya tersebut, mempunyai
etos gotong royong. tersebut. Maluku yang merupakan daerah konflik
sebelumnya juga memiliki modal sosial berupa etos palagendong yang
mempersatukan dua agama dengan penganut yang besar
Cukup banyak pranata budaya di Indonesia yang sudah semenjak dahulu
berperan dengan sangat menyenangkan bagi penduduk pribumi dan berfaedah
bagi penduduk serta dapat digunakan sebagai bahan program pembangunan
dewasa ini dan perlu digaris bawahi, bahwa hukum tidak akan dapat mengawasi
suatu pranata baru dengan penuh wibawa kalau sikap mental manusianya belum
siap untuk menerima pranata baru itu (Koenjaraningrat, 1990,36)
Pada saat ini sedikit sekali usaha yang ditunjukkan untuk memperbaiki
kehidupan kaum miskin didasarkan pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki
terutama nilai budaya tradisional yang dianutnya secara turun temurun sehingga
akibatnya lebih sering program pembangunan yang bertujuan memperbaiki taraf
hidup kaum miskin malah memperkuat ketergantungan kaum miskin terhadap
pihak luar dam mematikan swadaya masyarakat. Ada anggapan bahwa
kebudayaan dan pola hidup tradisional merupakan penghalang besar bagi
pembangunan sosio-ekonomi itu merupakan suatu anggapan yang salah karena
kebudayaan tradisional itu justru erat dengan dan menunjang proses pembangunan
nasional, ekonomis, dan ekologis masyarakat, yang berarti kebudayaan tradisional
merupakan akses yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Karena itu pembangunan terutama pembangunan pedesaan, harus
di-dasarkan pada kebudayaan tradisional dan sumber daya masyarakat setempat.
Dan itu hanya mungkin kalau pihak perencanaan dan pelaksana pembangunan
memberi ke-sempatan bagi terwujudnya partisipasi masyarakat setempat dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keseluruhan proses pembangunan yang
diarahkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sudah waktunya partisipasi,
demokratisasi dan desentralisasi pembangunan diutamakan (Michael R. Dove,
Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Moder-nisasi). Contoh kasus
49
yang bisa kita lihat bahwa proses pembangunan Jepang untuk waktu yang lama
mempergunakan nilai budaya yang berorientasi vertikal ke arah atasan, untuk
menggerakkan masyarakat untuk mendisiplinkan rakyat dan juga untuk
memelihara loyalitas mutlak dalam jiwa rakyat Jepang terhadap pekerjaan dan
negara (Koenjaraningrat, 1990)
Berangkat dari pikiran di atas, kita juga menyadarii bahwa tidak semua
kebudayaan tradisional itu dapat di-fungsikan sebagai pengarah dan fasilatator
dalam pembangunan karena nilai tradisional yang bagaimana dapat digunakan
sebagai fasilitatif dalam pembangunan yaitu nilai tradisional yang mampu
berfungsi sebagai modal sosial masyarakat.
Modal sosial adalah suatu pengaturan sosial yang kolektif dimana orang
satu sama lainnya spontan mewujudkan kepentingan bersama. Lalu bagaimana
modal sosial masyarakat terwujud dan tetap bertahan, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi, antara lain :
adanya trust, kepercayaan masyarakat yaitu kehidupan yang, saling
percaya, saling kerja sama serta lepas dari atribut yang dimiliki di dalam
masyarakat itu sendiri.
adanya civil engagement yaitu masyarakat yang memiliki demokrasi
dimana masyarakat juga memiliki peran sebagai pihak pengambil
kebijaksanaan pembangunan dan keikutsertaan warga dalam kebijakan
publik.
Kemampuan berorganisasi yaitu kemampuan dalam menjalankan
mekanisme organisasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, control
dan evaluasi.
Untuk kasus di Indonesia, salah satunya dapat kita lihat pada tradisi
Lelong di kawasan Taman Nasional Kerinci, Kecamatan Sungai Pagu, Solok,
Sistem Subak di Bali dan ikan larangan di Sumatera barat
Jadi kebudayaan merupakan media yang efektif bagi pembangunan agar
berlangsung dengan sukses, Setidaknya ada tiga alasan sebagai berikut, pertama
50
unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang
menjadi program pembangunan, kedua unsur-unsur budaya secara simbolis
merupakan bentuk komunikasi yang dapat dimaknai penduduk setempat, dan
ketiga unsur-unsur budaya memiliki keberagaman fungsi (baik yang terwujud
maupun yang terpendam) yang sering menjadikannya sebagai sarana yang efektif
dan bermakna untuk melakukan perubahan dibandingkan dengan yang tampak
pada permukaan jika hanya dilihat dalam kaitannya dengan fungsinya yang
terwujud saja. Ketiga alasan ini akan menjadikan sebuah perubahan dapat
diterima atau dikreasikan sendiri oleh masyarakat itu sendiri
Unsur-unsur budaya mempunyai dasar yang luas, yang dijunjung tinggi
dan sudah digunakan oleh masyarakat ber-tahun-tahun lamanya selayaknya
digunakan sebagai media Untuk mendukung program pembangunan. Kebudayaan
dapat dilihat sebagai dasar bagi perubahan dan bukan sebagai penghambat
perubahan. Kebudayaan tidak hanya digunakan sebagai alat pembangunan,
melainkan juga pendukung pembangunan itu. Hubungan antara kebudayaan dan
pem-bangunan ini dapat diasumsikan : bahwa kebudayaan meru-pakan suatu unit
hidup dan untuk bisa bertahan terus. la diusahakan untuk dapat beradaptasi secara
fungsional ter-hadap kondisi dan situasi yang sedang berubah di sekitarnya.
B.Permasalahan Masyarakat Hutan dan lingkungan
Hak penguasaan hutan dibuka pada era orde baru dengan masa puncak
dengan terbentuknya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Hak Pengusahaan
Hutan banyak dikuasai oleh pensiunan jenderal, yayasan, konco dan kerabat
Cendana namun mereka bukan orang-orang yang tidak ahli dalam pengelolaan
hutan baik secara manajerial, tekhnologi,dan tak punya modal yang cukup
sehingga banyak diantara mereka mensub kontrak kepada perusahaan kayu balak
dari Korea, malaysia, ero-amerika, pilipina dan sub kontrak dalam negeri.
Sayangnya para perusaha kayu balak ini membabat hutan tanpa nurani atas
kelestarian hutan dan cara kerja para perusahaan Balak Kayu ini juga
51
mempengaruhi prilaku masyarakat hutan yang juga ikut-ikutan dalam pola
penebangan liar, masyarakat hutan seperti mendapat uang melimpah yang juga
mempengaruhi hidup mereka. Hidup mereka yang sebelumnya sederhana berubah
pola hidup yang sangat mengagungkan uang, eksploitasi hutan, memiliki
tekhnologi komunikasi seperti TV, parabola. Sebelumnya Mereka adalah
penduduk yang semi permanen, artinya pada saat tertentu akan berpindah-pindah
dari satu desa ke desa lainnya. Hidup dikelilingi oleh hutan belantara,umumnya
mereka orang yang telah lama terisolasi dari dunia luar dan baru terjadi perbauhan
akan pola hidup setelah dioperasikan PP HPH awal tahun 1970-an. Mereka
memiliki mata pencaharian berladang berpindah sekalian berburu, menangkap
ikan, dan mencari hasil hutan. struktur sosial mereka adaslah sistem kekerabatan
ambilineal (bebas pilih kerabat ibu atau bapak ). Satuan sosialnya keluarga batih
dan bersifat egalitarian.
Tahun 1990-an muncul program HPH Bina Hutan ( era kementerian hutan
di pimpin oleh Ir Djamaludin yaitu suatu program pembinaan terhadap
masyarakat desa di dalam hutan dan sekitar hutan, namun program sulit
diterapkan sebagaimana harapannya karena administrasi internal dari
kementerian itu sudah karatan dengan KKN.
Fase Reformasi 1998, permasalahan penguasaan hutan juga tidak dapat di
selesaikan, hanya lebih banyak keluarnya peraturan-peraturan tentang hutan yang
belum membumi. Hutan
c. Permasalahan Masyarakat Nelayan dan Lingkungan
Masyarakat nelayan daerah pesisir pantai dalam aktivitasnya memiliki
kecederungan untuk selalu berpedoman pada aturan adat yang telah disepakati
bersama. Aturan adat itu juga dijadikan pedoman dan tata cara dalam
berhubungan dengan lingkungan alam maupun lingkungan sosial sehingga segala
prilaku dan pola-pola adaptasi mereka dengan lingkungan seperti penangkapan
ikan,distribusi, dan konsumsi hasil tangkapan didasarkan pada norma adat yang
52
tercermin dalam mitos. Dan nilai diwariskan dan disosialisasikan oleh para
pendahulu
Clifford Gertz 1992 ;22 Manusia sebagai makhluk sosial dalam
menangapi kehidupan dan pola pola tingkah lakunya berdasarkan kebudayaan
yang dimilikinya. Sehingga dalam proses adaptasi , selalu mengunakan
kebudayaan guna merespon perubahan yang terjadi. Gertz juga mengatakan
kebudayaan memiliki seperangkat mekanisme kontrol berupa aturan atau intruksi
untuk mengatur tingkah laku manusia
Masyarakat nelayan tradisional di desa Tablasupa , dalam aktivitas
kenelayannya sangat dipengaruhi oleh aturan, intruksi dan resep-resep yang
terbungkus dalam norma adat mereka. Sehingga timbul keserasian hubungan
manusia dengan lingkungan fisik dan sosialnya ( Agusyanto 2012 )
Diversifikasi pekerjaan Nelayan
Kehidupan nelayan memiliki ketergantungan pada lingkungan. Hal
tersebut terutama terlihat pada nelayan tradisional, ketergantungan dengan alam
(musim) mengakibatkan mereka tidak bisa melaut sepanjang tahun. Hal tersebut
berakibat lebih jauh pada ketidakstabilan dan ketidakteraturan penghasilan
mereka.
Beberapa studi menunjukan kalangan masyarakat nelayan telah
berkembang berbagai strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup,
diantaranya adalah adanya pranata pranata tradisional sebagai tindakan kolektif
yang secara efektif dapat dipakai sebagai strategi untuk mengatasi kesulitan
hidup, seperti pembentukan kelompok simpan pinjam dan arisan. Aktivitas ini
sangat sederhana, fleksibel, dan adaptif terhadap kondisi sosial ekonomi, serta
sesuai dengan kondisi masyarakat nelayan, terutama yang kurang mampu.
Bekerja sebagai nelayan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
membuat nelayan melakukan diversifikasi pekerjaan, baik pekerjaan pekerjaan
yang masih terkait dengan kegiatan kenelayanan atau pencarian ikan di laut,
53
maupun kegiatan di luar sektor kenelayanan, seperti bertani, berkebun, penjual
jasa, tukang ojek. Jadi dapat dikatakan Diversifikasi pekerjaan bagi masyarakat
merupakan strategi untuk mempertahankan hidup.
Dalam melakukan diversifikasi pekerjaan ini, ragam dan peluang kerja
yang dimasuki oleh nelayan sangat tergantung pada sumber-sumber daya yang
tersedia di desa-desa nelayan. Setiap desa memiliki karakteristik sosial ekonomi
tersendiri, yang berbeda antara desa nelayan satu dengan lainnya.
Jadi dengan melakukan diversifikasi pekerjaan, bagi keluarga nelayan
memiliki makna yang sangat berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah
tangganya. Hal ini terkait dengan ketidakteraturan dan ketidakstabilan
penghasilan mereka dari hasil melaut. Untuk bahasa membuminya kita pakai
istilah menjadi nelayan plus.
Kearifan masyarakat Nelayan (Pastoralisme)
Masyarakat Nelayan memiliki pengetahuan lokal, pengetahuan lokal ini
merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun temurun
dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan pembelajaran
terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya. Maka untuk
pengembangan mereka lebih lanjut, perlu dibangun sinergitas antara pengetahuan
lokal masyarakat peternak yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya
setempat dan pengetahuan modern yang ada.
Studi yang dilakukan oleh Mashur et al (2004) menyangkut peranan adat
kelembagaan komunal dalam penggembalaan ternak melaporkan bahwa dalam
kelembagaan kandang komunal, suku atau adat termotivasi, memberi legitimasi,
dan menegakkan aturan atau norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh adalah
pendinginan sapi supaya sehat, aman, dan baik. Di kalangan masyarakat, cara ini
dikenal sebagai HAINIK, selain itu suku atau adat berperan penting dalam
54
pengambilan keputusan jika terjadi pelanggaran atau norma-norma yang berlaku.
Ini merupakan modal sosial tersendiri bagi nelayan tersebut.
Nelayan dan Rentenir
Rentenir atau tengkulak, istilah masyarakat pedesaan adalah seseorang
yang memberi pinjaman uang secara tidak resmi dengan bunga yang sangat tinngi,
jika tidak mampu membayar angsuran utang, biasanya dipermalukan atau
dilecehkan.
Nelayan Indonesia di pesisir pantai, beberapa kasus ditemukan banayak
terjerat hutang dengan rentenir, kehidupan mereka mengalami kesusahan dan
hidup miskin. Ini memang diawali, mata pencaharian mereka sebagai nelayan tak
menentu yang mengakibatkan beban perekonomi terus bertambah, selain itu
untuk melakukan diversifikasi pekerjaan mereka tidak memiliki peluang
sebagaimana ungkapan Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia cabang
medan bahwa nelayan di desa Rugemuk, kecamatan Pantai Labu kabupaten Deli
Serdang, Kecamatan Natal, kabupaten Mandailing, kabupaten Tapanuli Tengah,
kota Tanjung Bali dan sebagainya,Nelayan tradisional tersebut mengalami
kemiskinan akibat berhubungan dengan rentenir.
Memberi kesempatan menjadi anggota koperasi dan membentuk lembaga
koperasi bisa menjadi alteratif untuk menangani peminjaman uang kepada
rentenir
55
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 13
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
MATERI
SUNGAI DAN AIR CILIWUNG SEBUAH
KAJIAN ETNOEKOLOGI
Sungai dan Air Ciliwung Sebuah Kajian Etnoekologi, merupakan artikel
yang ditulis oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, Dosen Pasca Sarjana UGM
dalamPrisma 1, Januari 1997. Penelitiannya terhadap warga tepian Sungai
Ciliwung, terutama sekitar Kampung Melayu, dari sisi etnoekologi.
Permasalahan
Ketersedian air bersih merupakan masalah penting yang selalu dihadapi oleh
penduduk Jakarta. Pemerintah daerah Jakarta telah mengusahakan mensuplai air
bersih, yaitu dengan mengandalkan air sungai Ciliwung. Namun kualitas air
sungai terus merosot dari tahun ke tahun, untuk itu maka Pemda mengeluarkan
program Kali Bersih (PROKASIH) di Jakarta. Namun program ini masih belum
dapat berjalan dengan baik. Dari penelitian mengenai rendahnya partisipasi
masyarakat dari berbagai program pemerintah, diketahui salah satu penyebabnya
Mahasiswa dapat menerapkan ide, teori dan metode penelitian
antropologi ekologi.
56
adalah perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat. Tulisan Ahimsa
menjelaskan pandangan pemerintah dan masyarakat mengenai sungai Ciliwung,
dan air sungai Ciliwung.
Kajian Etnoekologi Sungai Ciliwung
Penelitian etnoekologi pada dasarnya bertujuan melukiskan lingkungan
sebagai mana lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat yang diteliti.
Asumsinya adalah bahwa “lingkungan efektif”, yakni lingkungan yang
berpengaruh terhadap perilaku manusia, mempunyai sifat kultural28
. Tulisan ini
mengungkap dan membandingkan dua sistem pengetahuan mengenai air dan
sungai Ciliwung serta menghubungkannya dengan perilaku pemanfaatan air dan
sungai.
Mary Douglas mengatakan bahwa defenisi tentang “bersih” dan “kotor”
bersifat relatif, artinya tergantung kepada konteks simbolik tertentu yaitu pada
kebudayaan masyarakat yang mendefenisikan.29
Dalam hal ini perilaku orang
memanfaatkan air sungai hanya dapat dipahami jika mengetahui defenisi mereka
mengenai air sungai Cliwung.
Etnoekologi Sungai Ciliwung
Pandangan pemerintah dan Pemanfaatan: sungai Ciliwung dapat
digunakan sebagai sumber utama air minum kota jakarta dan sebagai sumber air
pengelontor untuk daerah yang lebih rendah. Oleh karena itu kualitas air
Ciliwung perlu dijaga, kalau air tercemar maka memerlukan biaya penjernihan
yang tinggi dan pada gilirannya akan menambah beban ekonomi.
Pandangan masyarakat terhadap Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung merupakan karunia Tuhan, sehingga mereka bebas,
membuang sampah, mandi, mencuci di sungai. Kebersihan air sungai menurut
persepsi mereka ditentukan oleh musim. Ketika musim hujan, Ciliwung banjir, 28
Ahimsa Putra, Shri Heddy. 1997. Sungai dan Air Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi. Dalam Prisma Januari 1997. Jakarta: LP3ES. hal.54 29
Ahimsa Putra. Hal 55
57
maka air Ciliwung biasanya disebut “kotor”. Sungai memiliki fungsi
membersihkan segala macam kotoran yang dibuang kedalamnya. Dan lingkungan
sekita mereka tetap “bersih”. Ada empat pola perilaku yakni: (1) pola
menggelontor; (2) pola membersihkan; (3) pola merebus dan (4) pola bersuci.
Etnoekologi Air Ciliwung
Air Ciliwung dalam pandangan pemerintah
Air sungai Ciliwung sudar tercemar, kualitas air sudah tidak sesuai lagi
untuk sumber baku air minum. Pencemaran air dipahami menurut defenisi
ilmuwan, air dapat menganggu kehidupan sekitarnya. Air yang tercemar disebut
juga “air terkontaminasi”, “kotor”, atau “tidak sehat”. Kualitas air ditentukan
bertingkat berdasarkan sesuai dengan kadar “pencemaran”, air dapat
diklasifikasikan menjadi air yang tercemar: (1) ringan; (2) ringan-sedang; (3)
sedang-berat; (4) berat; (5) sangat berat.
Air Ciliwung dalam Pandangan Masyarakat
Masyarakat memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah. Mereka
memiliki sistem klasifikasi air sendiri yang mereka gunakan dalam proses
pemanfaatan berbagai macam jenis air dalam kehidupan sehari-hari. Klasifikasi
penting menurut mereka, bisa tidaknya air dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan. Dimensi masyarakat dalam mengklasifikasikan air yakni: (1)
sumber; (2) warna; (3) bau; (4) gerak; (5) tujuan; (6) cara memperoleh.
Dimensi sumber, masyarakat memgkategorikan atas: air sungai, air pompa,
air PAM, dan air hujan. Dimensi warna, masyarakat mengkategorikan atas, air
bening, air keruh, dan air kotor. “Air bening” jika masih tampak kehijauan dan
tidak terlalu coklat. Ketika air dimasukkan ke ember, dasar ember masih terlihat,
maka disebut bening. Air keruh, jika air banyak mengandung lumpur biasanya
ketika terjadi hujan dan banjir. Air kotor, jika air sungai berwarna hitam dan
banyak sampah.
Dimensi bau, dikategorikan atas air berbau dan tidak berbau. Air berbau
dikategorikan atas, berbau karat, berbau amis, berbau tanah. Dimensi gerak, atas
58
dasar gerak dikategorikan atas; banjir, air yang mengalir biasa dan air yang
“mampet”. Dimensi guna, dapat dikategorikan pandangan masyarakat atas; (1) air
yang dapat digunakan untuk segala keperluan, mulai dari mask, minum, mencuci
dan mandi. (2) air yang “baik” untuk mandi dan mencuci. (3) air yang baik untuk
mandi dan mencuci saja. (4) air yang tidak dapat digunakan.
59
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 14
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
MATERI
PEREMPUAN DI HUTAN MANGROVE
Artikel dengan judul “Perempuan dalam Keseharian Kawasan Mangrove”,
merupakan hasil penelitian di wilayah Teluk Bintuni. Artikel ini ditulis oleh
Sumijati A.S dan Almira Rianty.30
Wilayah Teluk Bintuni didiami oleh tujuh suku, yakni: wamesa, Irarotu,
Sebiar, Kuri, Sumuri, Moskona dan Soub. Suku-suku di atas mendiami
lingkungan yang berbeda, yakni di daerah pedalaman dan pesisir. Suku Soub dan
Moskona tinggal di daerah pedalaman, sedangkan 5 suku lainnya tinggal di tepi
laut atau sungai. Perbedaan tempat tinggal juga menimbulkan perbedaan mata
pencaharian. Tulisan ini mengungkapkan peran perempuan di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Tulisan ini juga mengungkapkan peran dan sikap
perempuan Teluk Bintuni dalam pengelolaan keanekaragaman hayati mangrove
sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya.
30
Sumijati, A.S & Almira Rianty. 2000. Perempuan dalam Keseharian Kawasan Mangrove, dalam P.M. Laksono dkk. Menjaga Alam Membela Masyarakat: Komunitas Lokal Pemanfaatan Mangrove di Teluk Bintuni. Yogyakarta: LAFADL Pustaka.
Mahasiswa dapat menerapkan ide, teori dan metode penelitian
antropologi ekologi.
60
Peranan perempuan dalam perekonomian keluarga
(a) Perempuan Pencari Karaka
Karaka adalah istilah lokal dari kepiting pada masyarakat Teluk Bintun.
Banyak dijumpai di hutan mangrove dikawasan tersebut. Menangkap
karaka merupakan mata pencaharian utama bagi perempuan suku
Wamesa, Irarutu dan beberapa suku lain. Aktivitas ini dianggap sebagai
pekerjaan perempuan. Pencarian karaka dilakukan berkelompok, terdiri
atas tiga atau lima orang dalam satu perahu. Aktivitas ini dapat
dipandang cukup berat karena adanya resiko binatang, pecahan kerang
atau akar pohon yang dapat membuat kaki mereka terluka di lumpur.
Kearifan lokal perempuan ini terhadap alam dapat terlihat atas
pengetahuan mereka kepada tanda-tanda alam berkaitan dengan perilaku
kepiting. Mereka punya pengetahuan waktu- waktu tertentu kepiting
dapat diperoleh banyak, pengetahuan kepiting jatan dan betina. Mereka
juga punya pengetahuan lokasi yang banyak hidup kepiting. Penghasilan
dari mencari kepiting dijual untuk ekonomi keluarga.
(b) Peranan perempuan dalam menokok sagu
Terdapat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam
meramu sagu. Laki-laki mempersiapkan penebangan, mengupas atau
membelah pohon serta menokok sagu, sedangkan perempuan meremas
dan menyaring sagu, serta mengemas sagu dalam noken. Pekerjaan
menokok sagu dilakukan setiap hari, selama satu atau dua minggu,
tergantung jauh dekatnya lokasi. Dengan demikian perempuan sejak
dahulunya sudah berkerja di luar rumah (sektor publik).
(c) Peranan perempuan dalam berburu
(d) Peranan perempuan dalam berkebun
Perempuan dalam Masyarakat
(1) Perempuan Bintuni dalam adat perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan antara keluarga pihak laki-laki dan pihak
keluarga perempuan. Keluarga pihak perempuan dalam masyarakat
Bintuni memiliki kekuasaan, dalam menemtukan jenis dan jumlah belis
61
(mas kawin), uang susu dan biaya pesta perkawinan. Seorang perempuan
yang akan menjadi istri sudah menjadi hak milik pihak keluarga laki-laki.
Istri seakan sudah menyadari bahwa dirinya sudah ditebus dengan biaya
yang cukup mahal sehingga ia harus membalasnya dengan sejumlah
kegiatan rumah tangga yang dinilai cukup berat bagi seorang perempuan.
(2) Adat kelahiran
Perbedaan peran laki-laki dan perempuan di rumah tangga semakin
diperkuat dengan adanya kepercayaan sekitar kelahiran. Darah perempuan
baik perempuan haid maupun melahirkan adalah kotor dan mengandung
uap panas sehingga dapat menganggu kesehatan terutama kesehatan laki-
laki. Suami atau laki-laki lain tidak boleh berada dekat dengan istri atau
perempuan yang akan melahirkan. Diyakini uap panas dari kandungan
perempuan dapat membuat mata rusak dan dada sakit. Bahkan perempuan
dari suku Soub harus melahirkan jauh dari rumah. Pada masuk agama
kristen, sudah berubah, perempuan melahirkan di rumah besar.
(3) Pola pengasuhan anak
Mengasuh anak merupakan tanggung jawab perempuan. Tanggungjawab
ini sering dikaitkan dengan kodrat perempuan. Namun terdapat perbedaan
pengasuhan anak laki-laki dan anak perempuan sejak masih bayi.
Setelah anak berusia tujuh tahun, di Teluk Bintuni, anak laki-laki menjadi
tanggung jawab bapaknya, sedangkan anak perempuan menjadi tanggung
jawab ibunya. Ketika si ibu pergi ke luar rumah untuk bekerja, biasanya
pengasuhan anak diserahkan kepada kakaknya. Ketika anak-anak sudah
berusia 5 sampai 7 tahun anak-anak mulai diajak untuk membantu
pekerjaan di luar rumah. Misalnya anak perempuan ikut ibunya untuk
mencari kepeting. Anak laki-laki ikut bapaknya untuk berburu.
(4) Penguburan
Peran perempuan Teluk Bintuni dalam masyarakat kurang menonjol
dibandingkan dengan perannya dalam keluarga. hal ini ditunjukkan belum adanya
perempuan yang menjadi pemimpin.
62
BAHAN AJAR (HAND OUT)
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekologi (3 sks)
Nomor Kode : SOA118
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Wirdanengsih, S.Sos., M.Si (4451)
Minggu ke : 15
Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):
MATERI
ETNOEKOLOGI: MANUSIA DI HUTAN RAKYAT
Pada pertemuan ini membahas artikel yang tulis oleh San Afri Awang,
Dhonawan Sepsiaji, dan Bariatul Himmah yang berjudul Etnoekologi Manusia di
Hutan rakyat,31
Tulisan ini merupakan gambaran manusia yang hidup di tengah
hutan rakyat dan bertetangga dengan hutan negara. Gambaran yang ada
merupakan deskripsi dari masyarakat yang tinggal di salah satu kawasan
Kabupaten Gunung Kidul.
Manusia sangat tergantung kepada lingkungannya. Masyarakat di desa
Kujang tinggal dekat dengan hutan bahkan lebih tepat disebut “manusia di dalam
hutan”. Masyarakat hidup dari usaha pertanian, peternakan dan mengambil hasil
hutan. Pemanfaat sumber daya alam dapat membawa sisi positif dan negatif.
Cara-cara pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat perlu
dikaji dengan harapan dapat memaksimalkan pengelolaan sumberdaya alam dan
31
Awang, San Afri dkk, 2002. Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat.Yogyakarta: Sinergi Press.
Mahasiswa dapat menerapkan ide, teori dan metode penelitian
antropologi ekologi.
63
menghindari perusakan hutan. Masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya
alam memiliki kearifan yang perlu dibina dan diarahkan supaya tidak merusak .
Penelitian dilakukan di dua dusun yaitu dusun kali Kujang dan Dusun Jati
Layang. Kedua daerah ini tidak dapat dikatakan subur. Pada umunya penduduk
kedua dusun bekerja sebagai petani.
Kehidupan manusia di hutan rakyat
Konsepsi masyarakat tentang hutan, masyarakat menyebut hutan rakyat
dengan alas, hutan negara disebut dengan bahon, dan kebun atau pekarangan
tanaman dekat rumah disebut dengan kebon. Kegiatan peternakan digunakan
sebagai cadangan ketika musim paceklik yang disebut dengan jagol. Hasil ternak
yaitu, ayam, kambing dan sapi. Dalam bertani masyarakat memiliki kalender
sendiri yang disebut dengan pranoto mongso. Sayangnya hanya orang tua-tua saja
yang masih mengerti pranoto mongso, yang muda-muda tidak lagi.
Kepemilikan lahan penduduk rata-rata yaitu ½ hektar. Beberapa kawasaan
hutan rakyat, tidak lagi dimiliki oleh masyaarkat, karena telah dijual kepada orang
luar. Pada tahun 1940-an masyarakat tidak mengenal konsep hutan negara, yang
ada yaitu hutan milik pemerintah Belanda, yang ditanami pohon jati. Setelah
Indonesia merdeka hutan pohon jati dikuasai oleh Pemerintah. Kayu-kayu jati
dalam hutan terkadang dicuri oleh masyarakat untuk kebutuhan ekonomi.
Terakhir pohon kayu jati di hutan negara, telah digantikan dengan hutan kayu
putih.
64
Rujukan
Agus Samori. 2001. “Peranan Tabu dan Sasi Dalam Aktifitas Kenelayanan Pada
Masyarakat Tablasupa di Depapre Papua, dalam Jurnal Antropologi
Papua, edisi 1.
Ahimsa Putra, H.S. 1994. “Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan
Perkembangan-nya”, dalam Masyarakat Indonesia, Tahun XX, No.4.
Jakarta: LIPI
--------------------. 1997. “Sungai dan Air Ciliung Sebuah Kajian Etnoekologi,”
dalam Prisma. Januari 1997.
Agusyanto 2012 , Jaringan sosial, UI Press. Jakarta
Arifin, Zainal. 1998. “Hubungan Manusia dan Lingkungan dalam Kajian
Antropologi Ekologi”, dalam Jurnal Antropologi. Padang: Lab.
Antropologi Univ. Andalas.
Awang, San Afri. 2002. Etnoekologi. Yogyakarta: Sinergi Press.
Benda-Beckmann, Franz von, dkk. (Editor). 2001. Sumber Daya Alam dan
Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Boedhisantoso, S. “Keterbatasan Lingkungan dan Keberingasan Sosial”, dalam
Antropologi Indonesia 13/59. hal. 20-32
Daeng, Hans J. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Dove, Michael R. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam
modernisasi. Yogyakarta:Yayasan Obor Indonesia
Cliford Geertz, 1981 Involusi Pertanian. (Terj. S. Supomo) Jakarta: Bharata
Aksara.
Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta:YIIS
Hardestry. 1977. “Ekonesia” dalam A Journal of Indonesian Human
Ecology.Vol.1, No. 1, , hal 1-22. Jakarta: Program Studi Antropologi,
Program Pascasarjana Univesitas Indonesia
Hatta, Meutia. 1989. “Penduduk dan Perubahan Lingkungan di Marunda Pulo.
Studi tentang Stress, Penanggulangan dan Adaptasi,” dalam Berita
Antropologi Thn. XIII no. 46. HaL.72-96.
Haviland, William A. 1985. Antropologi. Jakarta: Erlangga. Jilid 1 dan 2.
Iskandar, Johan. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Khususnya hal 109-130.
Koenjaraningrat. 1994. Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: PT.D
Jambatan.
Kompas, 31 Januari 1980
Laksono, PM dkk. 2000. Perempuan di Hutan Mangrove. Yogyakarta: PSAP –
UGM
-----------. 2000. Menjaga Alam Membela Masyarakat. Yogyakarta: PSAP-UGM,
Lafadl
Marzali, Amri. ....Ekologi Kultural dan Determinisme Lingkungan. Artikel...
Moran, Emilio F. 1982. Human adaptability An Introduction to Ecological
Anthropology. Boulder, Colorado: Westview Press, Inc.
65
Mundarjito dkk. 2009. Sistem Tekhnologi Dalm buku Sejarah Kebudayan
Indonesia jilid VII. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada.
Praminto Moehayat/Burung Indonesia 1999. Laporan Kearifan Lingkungan
Masyarakat, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kelautan Sumatera Barat
Poerwanto, Hari. 2005. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Purba, Jonny (Peny.). 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial.Jakarta: YOI.
Rahmad Efendi, dkk. Dalam jurnal Antropologi FISIP Unpad, “ Dampak
Penguasaan Kawasan Halimun oleh Pemerintah dan Korporasi Terhadap
Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar “ Antropologi FISIP
UNPAD
Soekotjo Abdullah, Oekan. 1997. “Pemahaman Adaptasi Masyarakat
Transmigrasi, Pendekatan Antropologi Ekologi,” dalam Prisma, 7 Juli-
Agustus 1997.
Soerjani, Mohamad dan Bahrin Samad. 1983. Manusia dalam Keserasian
Lingkungan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Univ. Indonesia
Suparlan, Parsudi. 1984. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Jakarta:Rajawali
Pers.
Vayda, Andrew Peter. 1983. “Progressive Contextualization: Methods for
Research in Human Ecology”, dalam Human Ecology. Department of
Human Ecology, Cook College, Rutgers Univ, New York. Vol. 11, No.3.
Mashur, A. Muzani., Y. G. Bulu. 2004. Kelembagaan Lahan Komunal di NTB :
Kasus Kabupaten Sumbawa. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan
Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.