bahan ajar/diktatkimia.unnes.ac.id/kasmui/kuantum/book/2. ba_kimia_kuantum_2019.pdf · hanya...

220
1 BAHAN AJAR/DIKTAT KIMIA KUANTUM KODE 15P01797 2 SKS PRODI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG TAHUN 2019

Upload: others

Post on 27-Oct-2019

30 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

BAHAN AJAR/DIKTAT

KIMIA KUANTUM KODE 15P01797

2 SKS

PRODI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG TAHUN 2019

2

VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini ......... tanggal ..... bulan ................... tahun ......... Bahan Ajar Mata Kuliah Kimia

Kuantum Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi Pendidikan Kimia

Semarang, 26 Agustus 2019 Ketua Jurusan/ Ketua Prodi ...... Tim Pengampu

Dr. Nanik Wijayati, M.Si Drs. Kasmui, M.Si

NIP NIP. 131931625

3

BAB I

PERSAMAAN SCHRODINGER

1.1 Mengapa Mempelajari Mekanika Kuantum

Pada akhir abad 17, Isaac Newton mengembangkan mekanika yang membicarakan

hukum gerak bagi obyek makroskopik. Pada awal abad 20, para fisikawan menjumpai beberapa

fenomena fisik seperti radiasi benda hitam, efek foto listrik dan efek Compton yang tidak dapat

dijelaskan secara klasik dengan teori gelombang elektromagnit dan baru dapat diatasi setelah

Einstein menerapkan teori kuantum Planck. Pada saat yang hampir bersamaan juga dijumpai

gerak mikrospik yang tidak dapat dideskripsi secara benar oleh mekanika Newton. Sifat-sifat

gerak mikroskopik dideskripsi oleh himpunan hukum-hukum yang disebut mekanika kuantum.

Salah satu bidang ilmu kimia adalah Kuantum Kimia yang merupakan aplikasi mekanika

kuantum terhadap problem-problem kimia. Pengaruh kimia kuantum ini begitu terasa pada

hampir semua cabang kimia. Para ahli kimia fisik menggunakan kimia kuantum untuk

melakukan kalkulasi dalam termodinamika gas (disebut mekanika statistik, misal pada

perhitungan entropi dan kapasitas kalor), untuk menginterpretasi spektra molekul, yang

memungkinkan orang buat melakukan penafsiran eksperimental terhadap sifat molekul (seperti

panjang ikatan, sudut ikatan, momen dipole dan lain-lain), untuk melakukan perhitungan

terhadap keadaan transisi pada reaksi kimia sehingga orang dapat mengekstimasi tetapan laju

reaksi, untuk memahami gaya antar molekul, untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan

dengan ikatan pada padatan.

Para ahli kimia organik menggunakan kimia kuantum untuk mengestimasi stabilitas

relatif molekul, untuk kalkulasi sifat-sifat yang berhubungan dengan intermediate reaksi, untuk

menginvestigasi mekanisme reaksi, untuk memprediksi aromatisitas suatu senyawa dan untuk

analisis spektra NMR.

Para ahli kimia analitik menggunakan kimia kuantum untuk metode spektroskopi secara

luas. Frekuensi dan intensitas garis spektrum hanya dapat dipahami dan diinterpretasi melalui

mekanika kuantum.

Para ahli kimia anorganik menggunakan pendekatan kuantum mekanik untuk menyusun

teori medan ligan dalam rangka memprediksi sifat-sifat ion kompleks logam transisi.

4

Meskipun masih dengan kendala yang sangat banyak para ahli biokimia mulai menggunakan

pendekatan mekanika kuantum ini buat melakukan studi terhadap molekul biokimia, ikatan

enzim-substrat (enzyme substrate binding) dan solvasi terhadap molekul biologi.

Dalam rangka menguasai kimia kuantum yang begitu luas dan pentingnya bagi para

kimiawan itulah maka kita mau tidak mau harus mempelajari mekanika Kuantum.

1.2 Sejarah Mekanika Kuantum

Perkembangan mekanika kuantum diawali ketika Planck melakukan studi terhadap sifat-

sifat cahaya yang berasal dari sebuah padatan yang dipanaskan. Pada 1801, Thomas Young

menyatakan bahwa cahaya mempunyai sifat gelombang dan hal ini dibuktikan dengan adanya

sifat difraksi dan interferensi manakala cahaya dilewatkan pada dua buah lubang kecil yang

berdekatan.

Sekitar 1860, James Clerk Maxwell mengembangkan 4 buah persamaan (disebut persamaan

Maxwell) yang menggabungkan hukum-hukum kelistrikan dan kemagnetan. Persamaan

Maxwell memprediksi bahwa muatan listrik yang diakselerasi akan meradiasi energi dalam

bentuk gelombang elektromagnetik yang terdiri atas oscilasi selang-seling antara medan listrik

dengan medan magnet. Prediksi Maxwell terhadap laju gelombang elektromagnetik tersebut

sama dengan laju cahaya yang diperoleh secara eksperimen. Atas dasar ini Maxwell

menyimpulkan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik.

Pada 1888, Heinrich Hertz mendeteksi adanya gelombang radio apabila muatan listrik

diakselerasi melalui bunga api, sebagaimana diprediksi oleh persamaan Makwell. Hal ini lebih

membuat yakin para fisikawan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik.

Semua gelombang elektromagnetik melintas dengan laju c = 2,998 . 108 m/s dalam

ruang vakum. Hubungan antara laju (c), frekuensi () dan panjang gelombang () dinyatakan

oleh persamaan:

. = c (1-1)

Pada akhir 1800-an fisikawan mengukur intensitas cahaya yang diemisi oleh benda

hitam yang dipanaskan pada temperatur tertentu. Benda hitam adalah obyek yang mengabsorpsi

seluruh cahaya yang jatuh padanya. Jika para fisikawan menggunakan mekanika statistik dan

model gelombang elektromagnetik untuk memprediksi kurva intenlitas-dan-frekuensi bagi

emisi radiasi benda hitam, maka mereka memperoleh hasil yang sepenuhnya tidak sesuai

dengan kurva eksperimental, khususnya pada porsi frekuensi tinggi.

5

Pada 1900, Max Planck mengembangkan teori yang memberikan kesesuaian yang luar

biasa dengan kurva eksperimental radiasi benda hitam. Planck berasumsi bahwa atom-atom

dalam benda hitam tersebut dapat mengemisi energi cahaya dalam jumlah tertentu yaitu h,

dengan h adalah tetapan Planck = 6,63 . 1034 J.s sedang adalah frekuensi. Nilai h ini

memberikan kurva yang sangat sesuai dengan kurva radiasi benda hitam hasil eksperimen.

Hasil kerja Planck ini menengarai dimulainya mekanika kuantum.

Hipotesis Planck yang menyatakan bahwa hanya kuantitas tertentu saja yang dapat

diemisi oleh energi cahaya (jadi emisi energinya bersifat terkuantisasi atau diskrit) merupakan

pernyataan yang kontradiktif secara langsung pendapat para fisikawan sebelumnya. Menurut

pendapat klasik, energi gelombang cahaya ditentukan oleh amplitudonya. Karena amplitudo

dapat mempunyai sembarang harga dari nol ke atas maka energi (begitu menurut pendapat

klasik) harus dapat mempunyai sembarang harga yang kontinum dari nol ke atas. Tetapi,

kenyataan menunjukkan bahwa energi terkuantisasi seperti yang dinyatakan oleh Planck-lah

yang sesuai dengan kurva radiasi benda hitam.

Aplikasi kedua dari sifat energi terkuantisasi adalah pada efek foto listrik. Dalam kasus

efek foto listrik, cahaya yang dijatuhkan pada permukaan logam, menghasilkan emisi elektron.

Menurut pendapat klasik, energi gelombang adalah sebanding dengan intensitasnya dan tidak

berhubungan dengan frekuensinya, sehingga gambaran gelombang elektromagnetik seperti ini

menuntun orang untuk memperkirakan bahwa energi kinetik elektron meningkat sesuai dengan

peningkatan intensitas cahaya tidak peduli dengan frekuensinya. Ini berarti bahwa cahaya

dengan frekuensi berapapun seharusnya dapat menghasilkan foto listrik. Tetapi kenyataannya

hanya cahaya dengan frekuensi tertentu saja yang dapat menghasilkan foto listrik.

Pada 1905, Albert Einstein menunjukkan bahwa fenomena foto listrik itu dapat

dijelaskan melalui pemahaman bahwa cahaya merupakan sesuatu yang mirip materi (dan

disebut foton) yang masing-masing foton mempunyai energi:

Efoton = h . (1-2)

Ketika elektron logam mengabsorpsi foton, sebagian energi foton digunakan untuk melawan

gaya yang mengikat elektron dan sisanya, jika ada, akan muncul sebagai energi kinetik. Efek

foto listrik tidak akan terjadi manakala energi foton tidak cukup untuk melawan gaya yang

mengikat elektron.

Konservasi energinya adalah:

6

h . = + Ekinetik

dengan adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk melepaskan elektron (biasa disebut

fungsi kerja) sedang Ekinetik adalah energi kinetik maksimum yang diterima oleh elektron yang

teremisi. Melalui fenomena foto listrik maka diyakini bahwa cahaya mempunyai sifat partikel

selain sifat gelombang seperti ditunjukkan oleh eksperimen difraksi dan interferensi.

Sekarang marilah kita membicarakan struktur materi.

Pada akhir abad 19, percobaan tabung lucutan muatan listrik radioaktivitas natural

menunjukkan bahwa atom-atom dan molekul merupakan partikel yang bermuatan. Elektron

mempunyai muatan negatif. Proton, mempunyai muatan positif, sebesar muatan elektron tetapi

berlawanan tanda sedang massanya 1836 kali massa elektron. Penyusun atom yang ketiga

adalah netron (diketemukan 1932), tidak bermuatan dan sedikit lebih berat dibandingkan

proton.

Berawal pada 1909, Rutherford, Geiger dan Marsden melakukan serangkaian percobaan

yang sangat terkenal yaitu hamburan partikel alfa. Kesimpulan eksperimen ini adalah bahwa

sebagian besar dari volume atom adalah ruang kosong (karena sebagian besar alfa tidak

mengalami pembelokan arah), sedang seluruh massa terpusat pada inti yang bermuatan positif..

Kesimpulan kedua diambil karena ada beberapa alfa yang arahnya membelok. Pembelokan

arah alfa diduga disebabkan oleh tolakan inti. Karena alfa bermuatan positif, maka tolakan

hanya terjadi jika inti juga bermuatan positif.

Jari-jari atom 1013 sampai 1012 cm, intinya terdiri atas sejumlah netron dan Z proton.

Z selanjutnya disebut nomor atom. Di luar inti atom terdapat Z elektron. Muatan-muatan

partikel berinteraksi sesuai dengan hukum Coulomb. Sifat kimia atom-atom dan molekul

ditentukan oleh struktur elektronnya.

Pada tahun 1911, Rutherford mengajukan model planet bagi atom. Tetapi kesulitan

muncul sehubungan dengan model ini. Menurut teori elektromagnetik klasik, partikel yang

bergerak melengkung dengan kecepatan konstan pasti memperoleh akselerasi dari waktu ke

waktu, karena arah vektor kecepatannya berubah terus menerus. Padahal jika partikel bermuatan

mengalami akselerasi maka ia akan meradiasi energi berupa gelombang elektromagnetik,

sehingga elektron sepanjang lintasannya akan kehilangan energi sehingga bentuk lintasannya

seharusnya adalah spiral dan pada akhirnya elektron akan jatuh ke dalam inti.

7

Salah satu kemungkinan untuk mengatasi kesulitan in, diajukan oleh Niels Bohr, ketika

ia menggunakan konsep energi terkuantisasi pada atom hidrogen. Bohr berasumsi bahwa energi

elektron atom hidrogen terkuantisasi, dan elektron bergerak hanya pada satu lintasan tertentu

yang diijinkan. Jika elektron berpindah dari satu orbit ke orbit yang lain maka akan terjadi emisi

atau absorsi foton menurut relasi:

Etinggi Erendah = h (1-3)

dengan Etinggi dan Erendah adalah tingkat energi.

Kesulitan mendasar yang muncul dalam model atom Bohr, adalah ketika ia

menggunakan mekanika Newton untuk mendeskripsi gerak elektron dalam atom. Fakta spektra

menunjukkan bahwa energi atom bersifat diskrit artinya hanya harga tertentu saja yang

diijinkan, padahal mekanika Newton mengijinkan rentang energi secara kontinum. Pemaksaan

aplikasi mekanika Newton merupakan kelemahan utama model Bohr.

Keadaan terkuantisasi terjadi pada gerak gelombang, misalnya frekuensi nada dasar dan

overton pada senar gitar. Oleh karena itu, De Broglie pada tahun 1923 mengajukan hipotesis

bahwa gerak elektron adalah gerak gelombang dengan panjang gelombang yang dinyatakan

dengan:

= h

m v =

p

h (1-4)

dengan p adalah momentum linear, m massa dan v kecepatan elektron. De Broglie

mengemukanan (1-4) melalui alasan dan analogi dengan foton. Menurut teori relativitas

Einstein, energi semua partikel (termasuk foton) dapat dinyatakan dengan E = m . c2 dengan

kecepatan cahaya. Untuk foton, E = h = h c/Penggabungan keduanya menghasilkan =

h/mc = h/p. Persamaan (1-4) adalah analogi dari yang dikenakan pada gerak elektron.

Pada tahun 1927, Davisson dan Germer secara eksperimen melakukan konfirmasi

terhadap hipotesis De Broglie melalui percobaan difraksi elektron. Pada 1932, Stern, melakukan

hal yang sama, kemudian melakukan verivikasi bahwa efek gelombang pada elektron adalah

sesuatu yang tidak mustahil, dan hal ini merupakan konsekuensi dari beberapa hukum gerak

bagi partikel mikroskopik.

Jadi, elektron dalam satu peristiwa menyerupai partikel dan pada peristiwa yang lain

menyerupai gelombang. Dengan demikian kita dihadapkan dengan munculnya kontradiksi yang

disebut “dualitas gelombang-partikel” pada materi (dan cahaya). Bagaimana mungkin, elektron

8

dapat berlaku sebagai partikel (yang bersifat terlokalisir) sekaligus juga berlaku sebagai

gelombang (yang bersifat takterlokalisir) ? Jawabnya adalah bahwa elektron adalah bukan

partikel dan bukan pula gelombang tetapi sesuatu yang lain. Pengilustrasian secara akurat

terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan konsep fisika klasik tentang gelombang atau

partikel adalah sangat tidak mungkin. Konsep fisika klasik telah dikembangkan atas dasar

pengalaman dalam dunia makroskopis dan tidak ditujukan bagi dunia mikroskopis.

Meskipun foton dan elektron keduanya menunjukkan gejala dualitas, namun keduanya

tetap bukan merupakan sesuatu yang sejenis. Foton senantiasa bergerak dengan kecepatan c dan

massa diam nol, sedang elektron bergerak dengan v < c dan massa diamnya tidak nol. Foton

harus selalu ditangani secara relativistik sedang elektron yang berkecepatan rendah boleh

ditangani secara non relativistik.

1.3 Prinsip Ketidakpastian

Sekarang akan kita bahas efek yang ditimbulkan oleh dualitas gelombang-partikel terhadap

pengukuran secara simultan posisi dalam koordinat x dengan px (komponen x momentum

linear) dari sebuah partikel mikroskopik. Untuk itu ikuti uraian berikut:

Berkas partikel dengan momentum p, melintas searah sumbu y melalui celah sempit. Di

belakang celah tersebut dipasang plat fotografi.

p

p

A

w B

E

y D

Plat Foto

x

9

Keterangan:

A = ujung atas celah B = Pertengahan celah E = ujung bawah celah

D = difraksi minimum I bagian atas

Gambar 1.1: Difraksi elektron melalui celah

Partikel yang melalui celah yang lebarnya w mempunyai ketidakpastian w pada arah

koordinat x nya pada saat melintas melalui celah tersebut. Jika ketidakpastian arah x ini secara

umum disebut x, maka x = w.

Karena partikel mikroskopik mempunyai sifat gelombang, maka mereka didifraksi oleh

celah dan menghasilkan pola difraksi yang ditangkap oleh plat foto di balik celah. Ketinggian

grafik pada suatu titik di layar foto pada gambar 1-1, diukur berdasarkan banyaknya partikel

yang mencapai titik itu. Pola difraksi menunjukkan bahwa ketika partikel didifraksi oleh celah,

arah geraknya berubah sehingga partikel yang berubah arah itu momentumnya ditransfer ke

arah x. Arah momentum komponen x dinyatakan sebagai proyeksi vektor momentum pada arah

x. Partikel yang arahnya membelok ke atas (arah x positif) dengan sudut sebesar , mempunyai

px = p sin . Partikel yang arahnya membelok ke bawah (arah x negatif) dengan sudut sebesar

, mempunyai px = p sin . Karena semua partikel mengalami pembelokan dengan rentang

antara sampai dengan adalah sudut untuk minimum pertama dalam pola difraksi, maka

kita akan mengambil separuh sebaran nilai momentum di pusat puncak difraksi sebagai ukuran

ketidakpastian px, jadi px = p sin . Dengan demikian, pada, yaitu tempat dilakukannya

pengukuran,

x . px = p w sin 1-5

Besarnya sudut dapat diketahui lewat pengukuran. Untuk minimum yang pertama,

besarnya sudut diperoleh melalui pengukuran terhadap sudut yang dibentuk oleh lintasan

partikel yang membelok ke minimum pertama bagian atas dengan lintasan partikel yang tidak

mengalami pembelokan. Pada kondisi minimum pertama, perbedaan jarak tempuh partikel yang

mengalami pembelokan dengan yang tidak mengalami pembelokan adalah 1/2

Untuk melakukan kalkulasi terhadap difraksi minimum pertama perhatikan gambar 1-2.

Titik A adalah ujung atas celah, titik D adalah titik minimum difraksi pertama, E adalah ujung

bawah celah, titik B adalah pertengahan celah., titik C adalah titik yang diletakkan sedemikian

rupa sehingga jarak AD = CD dan BC merupakan selisih jarak BD dengan AD. Mengingat jarak

D

10

antara celah dengan plat foto relatif jauh tak terhingga dibandingkan dengan lebar celah, maka

garis AD dan BD relatif hampir paralel. Akibatnya titik C dan B hampir berimpit dan sudut

ACB praktis merupakan sudut lurus dan besarnya sudut BAC = sehingga panjang garis BC =

1/2w sin BC adalah selisih panjang lintasan partikel yang melalui pertengahan celah dan yang

melalui titik atas celah yang menuju ke titik minimum difraksi pertama D. Karena difraksi dapat

berlangsung, maka ini hanya mungkin jika selisih panjang lintasan itu yaitu BC = 1/2 , jadi w

sin = dan persamaan (1-5) boleh ditulis x.px = pKarena = h/p maka x . px = h.

Karena ketidakpastian tidak dapat didefinisikan secara persis maka penggunaan tanda =

dipandang kurang tepat dan diganti tanda , dan ketidakpastian itu ditulis:

x . px h (1-6)

Dalam pasal (5.1) akan kita bahas definisi statitikal terhadap ketidakpastian untuk

menggantikan (1-6).

Gambar 1.2: Kalkulasi difraksi minimum pertama

Meskipun yang telah kita tunjukkan untuk memperoleh (1-6) hanya dirancang untuk sebuah

eksperimen saja, namun validitasnya adalah general. Untuk materi yang memiliki dualitas

gelombang partikel, adalah tidak mungkin melakukan pengukuran secara simultan terhadap

posisi dan momentumnya. Artinya jika kita menentukan presisi yang sangat tinggi untuk posisi

maka ini akan berakibat berkurangnya akurasi penentuan momentum (Dalam gambar 1.1, sin

= /w, jadi makin kecil lebar celah, makin melebar pola difraksi). Fenomena ini disebut Prinsip

Ketidakpastian yang dikemukakan oleh Werner Heissenberg pada tahun 1927.

1.4 Persamaan Schrodinger Bergantung Waktu

A

B C

E

½ W

D

11

Mekanika klasik atau mekanika Newton sangat sukses dalam mendeskripsi gerak makroskopis,

tetapi gagal dalam mendeskripsi gerak mikroskopis. Gerak mikroskopis membutuhkan

mekanika khusus yang disebut mekanika kuantum. Karena gerak partikel mikroskopis adalah

gerak gelombang (menurut de Broglie) maka salah satu metode membangun mekanika kuantum

adalah dengan pendekatan gelombang, oleh karena itu maka mekanika kuantum juga disebut

mekanika gelombang.

Perbedaan mendasar antara mekanika klasik dengan mekanika kuantum adalah bahwa

dalam mekanika kuantum state ( posisi, kecepatan, momentum dan gaya yang bekerja) suatu

partikel pada saat tertentu dapat ditentukan secara eksak dengan menggunakan hukum Newton.

Sedang pada mekanika kuantum, karena adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran

momentum partikel, maka state suatu partikel tidak dapat ditentukan dengan pasti tetapi orang

hanya dapat menentukan kebolehjadian suatu partikel menempati state tertentu.

Dalam mekanika kuantum state suatu sistem dapat diperoleh manakala fungsi

gelombang partikel diketahui. Untuk mengetahui fungsi gelombang orang harus mempunyai

persamaan gelombang partikel mikroskopis. Karena persamaan gelombang ini diperoleh oleh

Schrodinger, maka persamaannya disebut persamaan Schrodinger.

Persamaan Schrodinger merupakan jantungnya mekanika kuantum, karena melalui

persamaan Schrodinger inilah fungsi gelombang dapat diperoleh. Untuk itu kita perlu

mengetahui apakah persamaan Schrodinger itu dan bagaimana persamaan Schrodinger itu

diperoleh?

Persamaan Schrodinger adalah persamaan yang menyatakan hubungan antara turunan

pertama fungsi gelombang terhadap waktu dengan turunan kedua fungsi tersebut

terhadap koordinat.

Dari definisi itu dapat disimpulkan fungsi gelombang merupakan fungsi koordinat dan

waktu. Agar pembahasannya tidak terlalu rumit maka kita akan mulai dengan membahas

bagaimana persamaan Schrodinger untuk gelombang sebuah partikel satu dimensi. Untuk

mendapatkan persamaannya Schrodinger menggunakan fungsi gelombang fisik yang telah

dikenal, misal fungsi rambatan gelombang harmonik satu dimensi, yaitu:

F(x , t) = A . e i ( kx t ) (1-7)

dengan:

12

k = 2 / dan = 2 ; = panjang gelombang ; = frekuensi gelombang

Turunan pertama terhadap t:

∂F(x,t) /∂t = i A . e i ( kx t ) = i F(x,t) (1-8)

Turunan kedua terhadap x:

∂2 F(x,t) / ∂x2 = k2 .A . e i ( kx t ) = k2 F(x,t) (1-9)

Jadi:

t

txF

),( =

2k

i

2

2

x

)t,x(F

(1-10)

Sampai saat ini kita masih berada di daerah fisika klasik. Sekarang kita akan masuk ke daerah

kuantum yaitu dengan menggunakan hubungan E = h jadi = E / h jadi:

= 2 = 2 E / h =

E (1-11)

Kita juga memanfaatkan dualisme de Broglie yaitu p = h / sehingga:

k = 2 / = 2 p / h =

p (1-12)

Subtitusi (1-11) dan (1-12) ke dalam (1-10) menghasilkan:

t

txF

),( = i

2p

E

2

2 ),(

x

txF

(1-13)

Karena sudah masuk ke daerah kuantum, maka notasi fungsi gelombangnya diganti (x,t)

sehingga (1-13) ditulis:

t

tx

),( = i

2p

E

2

2 ),(

x

tx

(1-14)

E adalah jumlah energi kinetik T dan energi potensial V, jadi:

t

tx

),( = i

2p

VT

2

2 ),(

x

tx

(1-15)

atau:

t

tx

),( = i

2p

T

2

2 ),(

x

tx

+ i

2p

V

2

2 ),(

x

tx

(1-16)

Jika T diganti p2/ 2m , maka: diperoleh:

13

t

tx

),( = i

m2

1

2

2 ),(

x

tx

+ i

2p

V

2

2 ),(

x

tx

(1-17)

atau:

it

tx

),( =

m2

2

2

2 ),(

x

tx

22

p

V

2

2 ),(

x

tx

(1-18)

Sebenarnya (1-18) tersebut sudah merupakan persamaan Schrodinger, tetapi yang lebih lazim

2

2 ),(

x

tx

di suku kedua ruas kanan diganti dengan k2 (x,t) yaitu analog dengan (1-9)

sehingga (1-18) boleh ditulis:

it

tx

),( =

m2

2

2

2 ),(

x

tx

22

p

V k2 (x,t) (1-19)

dan karena k = p / , maka (1-19) juga boleh ditulis:

it

tx

),( =

m2

2

2

2 ),(

x

tx

V (x,t) (1-20a)

Persamaan (1-20a) itu adalah persamaan gelombang Schrodinger bergantung waktu untuk

sebuah partikel dalam satu dimensi . Kadang-kadang beberapa buku menulis (1-20a) dalam

bentuk:

i

t

tx

),( =

m2

2

2

2 ),(

x

tx

V (x,t) (1-20b)

Apakah makna fisik Ruas Kiri Persamaan Schrodinger ?

Kita telah tahu bahwa sesuai dengan (1-8) maka:

t

tx

),( = i (x,t)

Jadi:

i

t

tx

),( = (x,t)

padahal = 2 jadi:

i

t

tx

),( = h (x,t)

Karena h = E, maka:

14

i

t

tx

),( = E (x,t) (1-21)

atau:

i

)t,x(

1

t

tx

),( = E (1-22)

Bagaimana makna fisik Ruas Kanan ?

Kita telah tahu bahwa makna fisik ruas kiri persamaan adalah E (x,t). Jadi ruas kananpun = E

(x,t)

Jadi:

m2

2

2

2 ),(

x

tx

V (x,t) = E (x,t) (1-23)

dengan demikian maka:

m2

2

2

2

x

V = E (1-24)

Dalam mekanika kuantum maka m2

2

2

2

x

V juga disebut operator energi. Jadi dikenal dua

macam operator energi yaitu i

t

dan

m2

2

2

2

x

V. Pada perkembangan berikutnya nanti

operator energi yang lebih populer adalah m2

2

2

2

x

V yang juga dikenal dengan nama

operator Hamilton atau H . Jadi:

H =

m2

2

2

2

x

V (1-25a)

atau:

E =

m2

2

2

2

x

V (1-25b)

15

Setelah kita tahu bahwa m2

2

2

2

x

V adalah operator untuk E padahal kita juga tahu bahwa

E = T + V maka sudah dapat dipastikan bahwa m2

1

2

2

x

adalah operator untuk T atau

operator energi kinetik. Jadi:

T =

m2

2

2

2

x

(1-26)

Tentang Fungsi Gelombang

Kata state suatu sistem mengacu pada kecepatan posisi partikel pada saat tertentu serta gaya

yang bekerja pada partikel tersebut. Dalam mekanika klasik, tepatnya menurut hukum Newton,

massa tepat state sistem dapat diprediksi secara eksak apabila state sistem saat ini diketahui.

Dalam mekanika kuantum, state sistem direpresentasikan oleh fungsi gelombang yang

merupakan fungsi koordinat dan waktu. Informasi masa depan suatu sistem dalam mekanika

kuantum dapat dikalkulasi dengan menggunakan persamaan Schrodinger, hanya saja karena

adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran posisi dan momentum, maka prediksi secara

eksak seperti yang terjadi pada mekanika klasik tidak dapat diberikan oleh fungsi gelombang.

Fungsi gelombang memuat semua informasi yang dapat kita ketahui mengenai sistem

yang didiskripsinya. Informasi apakah yang diberikan oleh mengenai hasil pengukuran

koordinat x partikel? tidak dapat memberikan informasi posisi secara tepat seperti yang

dilakukan oleh mekanika klasik. Jawaban yang benar terhadap pertanyaan tersebut diberikan

oleh Max Born beberapa saat setelah Schrodinger menemukan persamaan Schrodinger. Born

membuat postulat bahwa:

dxtx2

),( (1-27

merupakan peluang pada waktu t untuk menemukan partikel sepanjang sumbu x yang terletak

antara x dengan x + dx. Fungsi ( , )x t2

adalah fungsi kerapatan peluang (probability density)

untuk mendapatkan partikel di sembarang tempat sepanjang sumbu x. Sebagai contoh,

dianggap bahwa pada sembarang waktu tertentu t0 sebuah partikel didiskripsi oleh fungsi

gelombang a ebx

.

2

dengan a dan b adalah tetapan real. Jika kita mengukur posisi partikel pada

16

saat t0 , kita dapat memperoleh sembarang harga x sebab nilai rapat peluangnya yaitu

a ebx2 2

2

tidak nol, berapapun harga x-nya. Nilai x = 0 adalah lebih baik dibandingkan nilai x

yang lain karena di titik asal (x = 0), harga 2 mencapai maksimum.

Untuk membuat hubungan yang tepat antara 2 dengan hasil pengukuran

eksperimental, kita harus mengambil sejumlah sistem identik yang tidak saling berinteraksi,

masing-masing berada dalam keadaan yang sama. Kemudian kita dapat mengukur posisi

dalam masing-masing sistem. Jika kita mempunyai n sistem dan membuat n pengukuran, dan

jika dnx adalah banyaknya pengukuran yang dimana kita menjumpai partikel terletak antara x

dan x + dx, maka dnx/n adalah peluang mendapatkan partikel pada posisi antara x dan x + dx.

Jadi:

dn

nx =

2 dx

dan grafik (1/n)dnx /dx versus x adalah kerapatan peluang 2 .

Kuantum mekanik pada dasarnya dilandasi oleh sifat statistikal. Dengan memahami

keadaan sistem pada saat tertentu, kita tidak dapat memprediksi hasil pengukuran posisi secara

pasti. Kita hanya dapat memprediksi kemungkinan dari berbagai hasil yang mungkin. Teori

Bohr yang menyatakan bahwa elektron beredar pada lintasan yang berjarak pasti dari inti,

merupakan pernyataan yang tidak dapat diterima oleh mekanika kuantum.

1.5 Persamaan Schrodinger Tak Bergantung (Bebas) Waktu

Persamaan Schrodinger bergantung waktu (1-20a) tampak sangat menyeramkan.

Untungnya, dalam aplikasi mekanika kuantum dalam kimia, ternyata tidak perlu kita

berhadapan dengan persamaan tersebut dan sebagai gantinya kita cukup menggunakan

persamaan Schrodinger bebas waktu, yang untuk sebuah partikel dalam sistem satu dimensi,

persamaannya adalah:

0 )()V(E 2m

+ d

(x)22

)(2

xdx

x

(1-28)

Persamaan (1-28) dapat diturunkan dari persamaan (1-20a) melalui langkah-langkah sebagai

berikut:

Perlu diketahui bahwa ( x , t ) adalah gabungan dari x dan t dan dinyatakan:

17

( x , t ) = x . t (1-29)

Jika (1-29) dimasukkan ke dalam (1-20a) diperoleh:

txtxtx

xmti

t)(x,2

22V +

2 =

(1-30)

Jika kita batasi bahwa fungsi energi potensial hanya merupakan fungsi x saja dan bebas waktu,

maka (1-30) ditulis:

txtxtx

xmti

(x)2

22

V + 2

=

atau:

tx(x)2x

2

t

2t

x V + dx

d

m2 =

dt

d

i

(1-31)

Jika (1-31) dibagi x setelah itu hasilnya dibagi t maka diperoleh:

(x)2

x2

x

2t

tV +

dx

d1

m2 =

dt

d1

i

(1-32)

Jika ruas kiri (1-32) dibandingkan dengan (1-22) maka ruas kiri (1-32) itu adalah E, jadi (1-32)

dapat ditulis:

E = V + 1

2 (x)2

22

dx

d

mx

x

atau

xx(x)2x

22E = V +

dx

d

m2

atau: 0 )x()V(E 2m

+ dx

d(x)22

)x(2

Persamaan diatas adalah persamaan (1-28) yang kita turunkan.

Selanjutnya untuk mengetahui penyelesaian t kita ikuti langkah berikut:

Seperti ruas kanan, ruas kiri (1-32) = E, maka:

= dt

d1

i t

t

E atau

E i=

1

tt

d dt

yang jika diintegralkan:

c + iEt

ln t

jadi:

/iEtCt e.e = A. e

iEt /

18

Konstanta A pada t dapat dilimpahkan pada x pada perkalian (1-29) sehingga:

t = eiEt /

(1-33)

Jika (1-33) dimasukkan kedalam (1-29) maka kita peroleh bentuk fungsi gelombang sebuah

partikel dalam sistem satu dimensi yaitu:

( x , t ) = eiEt /

. x (1-34)

Tampak bahwa fungsi gelombang partikel merupakan fungsi komplek, padahal kerapatan

peluang adalah 2

),( tx . Untuk fungsi komplek harga kuadrat absolutnya adalah hasil kali

fungsi itu dengan fungsi konjugatnya.

( , )x t2

= ( , )

*

x t. ( , )x t (1-35)

( , )

*

x tadalah fungsi konjugat dari ( , )x t yaitu ( , )x t yang i nya diganti i.

1.6 Probabilitas

Telah kita bicarakan bahwa kerapatan peluang = ( , )x t2

= ( , )

*

x t. ( , )x t sedang

peluang mendapatkan partikel pada segmen sepanjang dx yaitu dari x sampai x + dx adalah

( , )x t2

dx = *),( tx

. ( , )x t dx, maka untuk menentukan peluang untuk rentang tertentu misal

dari a sampai b, adalah menjumlahkan peluang dari segmen ke segmen sepanjang antara a dan

b. Penjumlahan seperti itu pada dasarnya adalah pengintegralan.

Jadi:

P( a < x < b ) = ( , )x t

b

a

dx2

= ( , )

*

x t

a

b

. ),( tx . dx (1-36)

Jika interval dari a sampai b tersebut dimulai dari ~ sampai + ~ maka peluang dijumpai

partikel pada interval tersebut pasti = 1 artinya kita pasti menjumpai partikel jika kita

mencarinya mulai dari posisi ~ sampai + ~. Jadi kita boleh menulis:

P( ~ < x < +~ ) = dx2

)t,x(

~

~

=

~

~

*)t,x(

. ( , )x t . dx = 1 (1-37)

Fungsi gelombang partikel yang memenuhi persamaan (1-37) disebut fungsi gelombang

ternormalisasi.

19

Soal-soal Bab 1

1. Hitunglah panjang gelombang de Broglie dari sebuah elektron yang melintas dengan

kecepatan 1/137 kali kecepatan cahaya. (dengan kecepatan tersebut, pendekatan relativistik

boleh diabaikan).

2. Fungsi kerja Na adalah 2,28 eV. Tentukan:

a. energi kinetik maksimum dari fotoelektron yang diemisi oleh Na , jika proses fotolistrik

tersebut menggunakan cahaya ultra violet yang panjang gelombangnya 200 nm.

b. berapa panjang gelombang cahaya maksimal yang masih dapat menghasilkan fotolistrik

terhadap Na ?

3. Ketika J.J Thomson melakukan investigasi terhadap elektron melalui eksperimen tabung

sinar katoda, ia melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan

pendekatan mekanika klasik.

a. Jika elektron diakselerasi dengan energi kinetik 1000 eV, dan melalui celah yang lebarnya

0,1 cm, berapakah besarnya sudut difraksi dalam gambar 1.1

b. Berapa lebar celah yang diperlukan agar elektron dengan energi kinetik 1000 eV

menghasilkan = 1o ?

4. Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:

= / xm b- tb i- 2

e e a .

a dan b adalah konstanta dan m adalah massa patikel. Dengan menggunakan persamaan

Schrodinger bergantung waktu, tentukan fungsi energi potensial bagi sistem tersebut.

Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:

x = b x 2 xce . Tentukan energi partikel tersebut jika diketahui:

Fungsi energi potensial = V = m/xc2 222

b = konstanta ; c = 2 nm2 ; m = 1,00 . 1030 kg

6. Pada saat tertentu, sebuah partikel dalam sistem satu dimensi, dideskripsi oleh

= (2 / b3 )1/2x.ex/ b . dengan b = 3 nm. Jika pada saat itu diadakan pengukuran

terhadap x , maka:

(a) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0,9 dan 0,9001 nm (anggaplah

bahwa dx amat kecil dibandingkan dengan 0,9 nm)

20

(b) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0 dan 2 nm.

(c) Untuk x bernilai berapakah, probabilitas akan minimum ? (tidak perlu dijawab secara

kalkulus)

(d) Buktikan bahwa ternormalisasi.

No. 7 sampai dengan selesai adalah tentang bilangan kompleks

7. Plot-lah bilangan kompleks berikut :

(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z = 3 i (d) z = 4

8. Nyatakan bilangan kompleks berikut kedalam bentuk z = r ei :

(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z = 3 i (d) z = 4

9. Nyatakan bilangan komplek berikut dalam bentuk z = x + y i dan buat plotnya:

(a) z = 4 e 3 i (b) z = 3 i /4

10. Tentukan komplek konjugasi dari bilangan kompleks berikut:

(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z = 3 i (d) z = 4

(e) z = 4 e 3 i (e) z = 3 i /4

11. Buktikan bahwa

(a) 1/ i = i (b) e i = cos + i sin (c) sin = (e i e i ) / 2 i

12. Di antara bilangan-bilangan berikut, mana yang bilangan komplek:

(a) 3 + i4 (b) 5 + 3 i2 (c) i3 (d) 10 + 4 i5

21

Jawab:

1. Gelombang de Broglie :

p = h

p = m . v

Dengan memasukkan harga m dan v elektron, p dapat dihitung. Jika p sudah diketahui,

dapat dihitung.

2. Dalam fotolistrik berlaku

a. E foton = h . = h . c = + Ekinetik

dengan memasukkan harga dan dan fungsi kerja maka enegi kinetik dapat dihitung

b. Untuk menghirung ambang gunakan: h . c >

3. a. Untuk menghiutng sudut difraksi kita gunakan relasi:

p = p sin

p dihitung dari relasi : p . x = h dengan x = lebar celah

p dihitung dari energi kinetik elektron, ingat : Ek = p2 / 2m

b. solusinya merupakan kebalikan dari a. Kita telah tahu harga p, selanjutnya kita cari harga

p melalui p = p sin Selanjutnya x dapat dihitung.

4. Persamaan Schrodinger bergantung waktu adalah:

= + V(x,t)

i t m x

x t x tx t

( , ) ( , )( , )

2 2

22

(4-6)

Kita selesaikan dulu ruas kiri:

/ xm b - tb i-)t,x( 2

e e a ti

= ti

e dt

d

i e a tb i-/ xm b - 2 e

i b . i . e a tb i-/ xm b - 2

e . e a b tb i-/ xm b - 2 b

Dengan demikian persamaan (4-6) menjadi:

22

b ( x, t) )t,x(t)(x,2

)t,x(22

V + xm2

=

Selanjutnya kita selesaikan suku pertama ruas kanan:

m2

xm2

2

2

)t,x(22

/ xm b - tb i-

2

2 2

e e a x

/bmx2

2 tb i -

2 2

e dx

d e a .

m2

/bmx tb i -2 2

e dx

d .

dx

d e a .

m2

/bmx tb i -2 2

e 2bmx

- . dx

d e a .

m2

/bmx tb i -2 2

e . x dx

d e a

2bm .

m2

/bmx2 /bmx tb i -

2 22

e xm 2b

e e a 2bm

. m2

2 /bmx tb i -

2x

m 2b 1 e e a

2bm .

m2

2

xm 2b

1 2bm

. m2

22

xm 2b

1 . b 2

Sekarang persamaan Schrodinger menjadi:

b ( x, t) xm 2b

1 . b 2

( x, t) )t,x(t)(x,V +

atau:

b ( x, t) xm 2b

1 . b 2

( x, t) )t,x(t)(x,V +

atau:

b xm 2b

1 . b 2

t)(x,V +

23

Jadi fungsi energi potensialnya adalah:

t)(x,V = b xm 2b

1 . b 2

= b b + 22 xmb2

= 22 xmb2

5. Berbeda dengan soal no. 4 yang fungsi gelombangnya merupakan fungsi x dan t, maka

pada soal no. 5 ini fungsi gelombangnya hanya merupakan fungsi x, sehingga untuk

menyelesaikannnya kita gunakan persamaan Schrodinger tak bergantung waktu (Persamaan

5-1)

d +

2m (E V

2

(x)

( )) ( )

x

dxx

2 20

(5-1)

Jika V kita masukkan akan kita peroleh:

2m

+ dx

d

22

)x(2

(E m/xc2 222 ) ( x )

= 0

Kita selesaikan suku pertama ruas kiri:

dx

d

2

)x(2

dx

d.

dx

d

2 xce dx

d.

dx

d

2 xce dx

d

2 xce 2 xce

dx

d

2 xce 2 xce

2 xce

2 xce

2 xce

2 xce

Dengan demikian persamaan Schrodinger menjadi:

( 2m

2 m/xc2 222

atau:

2m

2 m/xc2 222

24

2m

2 m/xc2 222 m/xc2 222

m2

2

Jadi:

m

2

m

2

m

2

m

2

m

2

m

2

25

BAB II

PARTIKEL DALAM BOX

2.1 Pengantar

Elektron dalam atom dan molekul dapat dibayangkan (meski tidak persis benar) mirip

dengan partikel yang berada dalam box. Dalam kasus ini daerah di dalam box tempat partikel

tersebut bergerak, berpotensial nol, sedang daerah diluar box berpotensial tertentu atau tak

terhingga, jadi box dibayangkan sebagai ruangan dengan dindingnya adalah energi potensial..

Pada perkuliahan Fisika Modern sebelum ini, kita sudah membahas secara elementer mengenai

gerak partikel dalam box ini, sekarang kita akan membahasnya lagi secara lebih mendalam

karena banyak aspek filosofis yang belum kita bahas pada perkuliahan tersebut. Selain itu pada

bab ini kita juga akan membahas, bagaimana fungsi gelombang partikel yang berada di luar

box, dan bagaimana pula fungsi gelombang partikel bebas. Meskipun partikel dalam box yang

kita bicarakan ini sangat tidak realistik tetapi ternyata sebagai pola berfikir, ia banyak memberi

sumbangan untuk memahami fenomena-fenomena yang selama ini belum terjangkau nalar.

Pada uraian mengenai penurunan fungsi gelombang, kita akan membuat penyelesaian

persamaan Schrodinger. Karena persamaan tersebut adalah persamaan differensial orde dua

maka ada baiknya kita pelajari lagi bagian terpenting dari persamaan orde dua yaitu:

Bentuk umum persamaan orde dua adalah:

aY" + b Y' + cY = 0 atau:

a 0= Y c + dx

d b +

2

2

YYdx

d (2-1)

yang boleh ditulis: aD2Y + bDy + cY = 0 atau:

(aD2 + bD + c)y = 0 (2-2)

dan

aD2 + bD + c = 0 disebut persamaan karakteristik (2-3)

Penyelesaian umum persamaan differensial orde dua (2-1) tersebut

adalah:

26

Y = A . e + B . eD x D x1 2

A dan B adalah sembarang konstanta, sedang D1 dan D2 adalah akar-

akar persamaan karakteristik (2-3)

Contoh:

Tentukan bentuk umum penyelesaian 2Y" + 3Y' + 4Y = 0

Jawab:

Persamaan karakteristiknya : 2D2 + 3D + 4 = 0, akar-akarnya:

D1 . 2 =

4

21 3 = 3/4 + 5 1/4 i

Jadi Penyelesaiannya adalah:

Y = A . xe i /5 / 4

14

3 + B .

xe i /5 / 41

43

Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa mekanika kuantum melibatkan tidak hanya bilangan

real tetapi juga bilangan komplek, jadi sifat-sifat bilangan komplek harus diingat kembali.

2.2 Partikel Dalam Box Satu Dimensi

Kita akan memperhatikan sebuah partikel yang bergerak dalam box satu dimensi. Yang

dimaksud dengan box satu dimensi adalah penggal garis yang panjangnya a yang terletak pada

sumbu x. Sepanjang sumbu x itu fungsi energi potensialnya tak terhingga kecuali pada

penggalan sepanjang a yang potensialnya 0. Jadi jika partikel berada di dalam box, maka energi

potensialnya adalah nol sedang jika berada di luar box, energi potensialnya tak terhingga.

Vx

I II III

x = 0 x = a

27

Gambar 2.1: Fungsi energi Potensial Partikel dalam Box satu Dimensi

Dari gb.2.1 tampak bahwa sumbu x terbagi atas tiga area, yaitu area I ( x < 0), area II (0< x <a)

dan area III ( x >a). Tugas kita adalah menentukan fungsi gelombang partikelnya dan

menentukan energi partikel pada masing-masing daerah tersebut. Untuk ini kita harus

menyelesaikan persamaan Schrodinger bebas waktu atau persamaan (5-1 Bab I)

0 )()V(E 2m

+ d

(x)22

)(2

xdx

x

(2-4)

Jika partikel berada di luar box (daerah I dan III) , Vx = , sehingga (EV) = dan

persamaan (2-4) dapat ditulis:

x2x

2

dx

d

(2-5)

Jadi:

x = 1

d

dx

x2

2

atau x = 0 (2-6)

Kesimpulan: Jika berada di luar box, partikel tidak bergerak gelombang.

Bagaimanakah jika partikel berada dalam box yaitu daerah II ?

Jika berada dalam box, V = 0 sehingga (2-4) dapat ditulis:

d

dx

mExx

2

2 2

2 + = 0

(2-7)

Persamaan (2-7) di atas adalah persamaan differensial orde dua yang persamaan

karakteristiknya adalah:

D2 + 2

2

mE

= 0

Sehingga akar-akar nya adalah:

D1.2 = + 2

2

mE

= + i (2 mE)1/2/

Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger satu dimensi:

= A. ei mE x( ) /

/2

1 2 + B . e

i mE x ( ) //

21 2

(2-8)

28

Agar bentuknya sederhana (2 mE)1/2 x / ditulis sehingga (2-8) ditulis:

(x) = A. e i i (2-9)

Menurut persamaan Euler : ei = cos + i sin dan i = cos i sin sehingga (2-9) dapat

ditulis:

(x) = A( cos + i sin ) + B. (cos i sin

= A cos + A i sin + B. cos i sin

= A cos + B. cos A i sin i sin

= (A + B) cos (A i i ) sin

(x) = P cos Q sin (2-10)

dengan P dan Q adalah tetapan sembarang yang baru. Dengan mengembalikan harga maka (2-

10) dapat ditulis:

(x) = P cos {(2 mE)1/2 x / } + Q sin (2 mE)1/2 x / } (2-11)

Untuk menentukan P dan Q kita gunakan kondisi khusus tertentu. Kita postulatkan bahwa

adalah kontinum, artinya tidak ada lompatan nilai jika x kontinum. Ini berarti diluar box,

nyambung dengan di dalam box ketika melalui dinding box (pada x = 0 atau x = a).

Padahal diluar box = 0 dimanapun termasuk di dinding box, jadi di dalam boxpun harus

bernilai nol ketika melalui dinding. Jadi, di dinding box ketika x = 0, maka pada (2-11)

adalah nol, jadi:

(x) = P cos {(2 mE)1/2 .0 / } + Q sin{(2 mE)1/2 .0 / }= 0

Jadi:

(x) = P cos 0 + Q sin 0 = 0

P + 0 = 0 jadi P = 0

Kalau P = 0, maka Q tidak mungkin 0 karena sin 0 sudah pasti 0 dan (2-11) menjadi:

(x) = Q sin (2 mE)1/2 x / (2-12)

Untuk menentukan harga P, kita gunakan x = a. Pada kondisi ini juga harus = 0. Jadi:

Q sin (2 mE)1/2 a / = 0

Karena Q pasti tidak nol, maka:

sin (2 mE)1/2 a / = 0 sehingga

(2 mE)1/2 a / = + n (2-13)

Jika kedua ruas dikuadratkan, maka:

29

2mE a2 / 2 = n22

Dari sini kita peroleh:

E = 2

222

a m2n

=

2

22

a m8

hn n = 1, 2, .... (2-14)

Mengapa harga n tidak dimulai dari nol ? Jika n = 0 diijinkan berarti pada keadaan itu E = 0. E

= 0 tidak mungkin, karena dengan demikian hanya terjadi jika partikel tidak bergerak. Untuk

partikel yang bergerak E = 0 tidak diijinkan, jadi n = 0 juga tidak diijinkan.

Jika E pada (2-14) kita masukkan pada (2-12), kita peroleh:

= Q sin

a

nx (2-15)

Untuk memperoleh Q, kita gunakan sifat fungsi ternormalisasi, yaitu bahwa fungsi normal,

harga total peluangnya = 1, jadi:

P( 0 < x < a ) = 2

0

l

dx = 1, jadi:

Q2 dx x a

nsin

a

0

2

= 1

Jadi:

Q = 2/1

a

2

Dengan demikian fungsi gelombang partikel dalam box satu dimensi diperoleh, yaitu:

(x) = 2/1

a

2

sin

a

nx (2-16)

Grafik Fungsi tersebut adalah:

n = 1 n = 2 n = 3

30

Gambar 2.2. Grafik fungsi gelombang Partikel Dalam Box Satu Dimensi

Gambar 2.3. Grafik 2 Partikel Dalam Box

2.3 Partikel Bebas Satu Dimensi

Sekarang kita akan membahas, bagaimana energi partikel bebas. Yang dimaksud dengan

partikel bebas adalah partikel yang tidak mendapat gaya sama sekali. Karena gaya adalah

turunan energi potensial terhadap koordinat x, berarti energi potensial pada partikel tersebut

bukan fungsi x tetapi hanya konstanta saja artinya berapapun harga x energi potensial partikel

tidak berubah. Besarnya energi potensial untuk partikel bebas disebut zero level energi yang

dengan bebas dapat kita tentukan. Seandainya kita pilih energi potensial V = 0, (Awas zero

level energi belum tentu nol joule) maka persamaan (1-28 Bab I) menjadi:

+ 2m

E = 02

d

dx

xx

2

2

Persamaan di atas sama dengan persamaan (2-7), jadi penyelesaiannya:

(x) = A. ei mE x( ) /

/2

1 2 + B . e

i mE x ( ) //

21 2

(2-17)

Selanjutnya kondisi batas yang bagaimana yang dapat kita gunakan untuk menentukan energi?

Harus kita ketahui, bahwa harus mempunyai harga tertentu (tidak tak terhingga) berapapun

harga x yang kita pilih, atau bahwa untuk < x < harga adalah terhingga. Atas dasar

hal ini, maka energi partikel bebas paling kecil adalah nol dan tidak mungkin berharga negatif

sebab jika E negatif maka :

i mE( )/

21 2

= i m E( )/

21 2

= i m E1 21 2

( )/

= ( )/

21 2

m E

akibatnya suku pertama persamaan (2-17) di atas akan menjadi jika pada x = . Hal ini

melanggar ketentuan bahwa berapapun harga x yang kita pilih, harga harus tidak tak

terhingga. Jadi untuk partikel bebas:

E 0 (2-18)

n = 1 n = 2 n = 3

31

Berbeda dengan partikel tak bebas yang energinya terkuantiasi (= diskrit = hanya mempunyai

harga tertentu saja), maka partikel bebas dapat mempunyai sembarang harga (kontinum) asal

tidak negatif.

Hal penting lain adalah bahwa fungsi gelombang partikel bebas tidak dapat

dinormalisasikan karena * dx

tidak mungkin = 1, padahal syarat ternormalisasi adalah

* dx

= 1.

2.4 Partikel Dalam box satu Dimensi (Lanjutan)

Pada pasal 2.2 bab ini kita membicarakan partikel dalam box satu dimensi berenergi

potensial nol yang dibatasi oleh dinding energi potensial yang besarnya . Yang akan kita

bicarakan sekarang adalah partikel dalam box satu dimensi berenergi potensial nol yang dibatasi

oleh dinding energi potensial yang besarnya tertentu yaitu V0. yang dikenal dengan istilah

partikel dalam box (kotak) rektangular satu dimensi atau one dimension rectangular well.

Perhatikan gambar 2.4. Energi potensial partikel adalah V = V0 untuk x < 0 (daerah I); V

= 0 untuk 0 < x <a (daerah II) dan V = V0 untuk x >a (daerah III).

Persamaan Schrodinger untuk daerah I dan III adalah:

0 )x()V(E 2m

+ dx

)x(d022

2

sehingga penyelesaiannya adalah:

(x) = A.

em V E x2 0

1 2( ) /

/ + B .

e

m V E x 2 01 2

( ) //

Sekedar membedakan antara penyelesaian I dan penyelesaian III maka untuk penyelesaian I kita

tulis:

(x) = C.

em V E x2 0

1 2( ) /

/ + D .

e

m V E x 2 01 2

( ) //

(2-19)

sedang penyelesaian III, kita tulis:

(x) = F.

em V E x2 0

1 2( ) /

/ + G .

e

m E V x 2 01 2

( ) //

(2-20)

Vx

I II III

x = 0 x = a

(a) (b)

(c)

32

Gambar 2.4: (a) Energi Potensial Untuk partikel dalam one dimension rectangular

well (b) Fungsi gelombang keadaan dasar (ground state) pada potensial

tersebut (c) Fungsi gelombang keadaan eksitasi pertama (first excited

state) pada

potensial tersebut

Bagaimana penyelesaian untuk daerah II ? . Karena V= 0 untuk daerah II maka penyelesaian

persamaan Schrodingernya adalah sama persis dengan yang sudah kita bicarakan pada pasal

2.2. Jadi persamaan (2-11) juga merupakan bentuk umum penyelesaian untuk daerah II. Jadi

untuk daerah II:

(x) = P cos {(2 mE)1/2 x / } + Q sin (2 mE)1/2 x / } (2-21)

Penuntasan (2-19) dan (2-20), sangat ditentukan oleh besar E dibandingkan V0 .

Penuntasan untuk E < V0 sangat berbeda dengan penuntasan untuk E > V0 (Inilah bedanya

dengan mekanika klasik. Secara klasik, E selalu lebih besar dari pada V sebab E = V + T

dengan T = energi kinetik yang selalu positif).

Bagaimana jika E < Vo ?

Untuk E < V0 maka (V0E)1/2 adalah bilangan real, positif. Dengan demikian nilai

daerah I akan jika x = . Padahal harus terhingga untuk sembarang harga x. Untuk

menghindari hal ini maka D harus nol. Jika D = 0, maka untuk x = harga = 0 dan ini

diijinkan. Analog dengan itu, pada Y daerah III, F juga harus nol, sehingga persamaan (2-19)

dan (2-20) berturut-turut menjadi:

(x)= C.

em V E x2 0

1 2( ) /

/ (2-21)

(x) = G .

em E V x 2 0

1 2( ) /

/ (2-22)

33

Untuk memperoleh harga C, maka kita terapkan kondisi batas, bahwa di x = 0, nilai daerah I

= daerah II, sedang untuk mencari F kita terapkan bahwa di x =a, nilai daerah II = dengan

daerah III. Jadi:

I = II ( x = 0) (2-23)

II = III (x =a) (2-24)

Ada 4 konstanta yang harus ditentukan yaitu C untuk I, G untuk III serta P dan Q untuk II.

Jadi hanya dengan (2-23) dan (2-24)saja, tidak mungkin kita menentukan 4 tetapan. Untuk itu

kita gunakan:

dI/dx = dII/dx ( x = 0) (2-25)

dII/dx = dIII/dx (x =a) (2-26)

Dari (2-23) kita peroleh C = P. Dari (2-25) kita peroleh Q = V E

EP0

1 2

/

. . Dari (2-24) kita

peroleh G yang dinyatakan dalam P. Selanjutnya P dihitung dengan normalisasi. Jika P, Q, C

dan G sudah diperoleh maka untuk masing-masing daerah dapat ditentukan dan baik di dalam

kotak maupun di luar kotak harga 0. Itu artinya betapapun kecilnya ada kemungkinan

menjumpai partikel di luar kotak jika dinding kotak berpotensial tidak tak terhingga.

Bagaimana Jika E > V0

Untuk membahas ini marilah kita tulis kembali (2-19) dan (2-20):

(x) = C.

em V E x2 0

1 2( ) /

/ + D .

e

m V E x 2 01 2

( ) //

(2-19)

(x) = F.

em V E x2 0

1 2( ) /

/ + G .

e

m E V x 2 01 2

( ) //

(2-20)

Jika E > V0 maka (V0E) negatif sehingga (V0E)1/2 imajiner, akibatnya:

2 01 2

m V E/ = i 2 0

1 2m V E

/

(x) = C.

ei m V E x2 0

1 2( ) /

/

+ D .

ei m V E x 2 0

1 2( ) /

/

(2-27)

(x) = F.

ei m V E x2 0

1 2( ) /

/

+ G .

ei m V E x 2 0

1 2( ) /

/

(2-28)

Ternyata bentuk persamaan (2-27) dan (2-28) ini identik dengan persamaan (2-17) yaitu fungsi

gelombang partikel bebas. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk energi potensial V0 yang

terhingga dan E > V0 ternyata partikel dalam keadaan bebas dan kondisi ini disebut unbound

state. Dengan logika sebaliknya maka untuk E < V0 kondisinya disebut bound state.

34

Studi yang detail menunjukkan bahwa banyaknya bound state energi level dinyatakan

dengan persamaan:

N

h

.mV8 2/1o a

dengan m adalah massa partikel, Vo adalah energi potensial a adalah panjang box dan h adalah

tetapan Planck

2.5 Efek Terobosan (Tunnel Effect)

Untuk partikel dalam rectangular well (pasal 2.4), gambar 2-5 dan persamaan untuk I dan

III yaitu persamaan (2-21) dan (2-22) menunjukkan bahwa pada kondisi bound state (yaitu

jika energi partikel lebih kecil dari pada energi potensialnya yaitu V0 yang tidak tak terhingga)

peluang mendapatkan partikel di daerah I dan III adalah tidak nol. Sifat seperti ini ditolak oleh

logika klasik karena kondisi E < V ini sangat mustahil mengingat menurut logika klasik E = T +

V dengan T adalah energi kinetik yang selalu positif.

Sekarang, marilah kita perhatikan partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan

tinggi dan ketebalan dinding tertentu. (Gambar 2.5). Secara klasik, partikel tidak mungkin dapat

menerobos dinding box manakala energi partikel itu tidak melebihi energi potensial dinding

yang besarnya V0 itu. Namun mekanika kuantum menunjukkan bahwa ada peluang yang

besarnya tertentu bagi sebuah partikel yang eneginya < V0 yang dijumpai berada di luar box.

Pengertian terobosan (tunelling) merupakan penetrasi partikel terhadap daerah yang

secara klasik merupakan daerah terlarang (forbidden region), atau lewatnya partikel melalui

penghalang energi potensial yang besarnya lebih dari energinya. Karena tunneling adalah efek

mekanika kuantum, maka kejadiannya adalah pada partikel-partikel kecil. Makin kecil massa

partikel, makin mudah ia melakukan terobosan. Terobosan elektron adalah yang paling besar

kemungkinannya. Terobosan hidrogen lebih mungkin dari pada atom-atom lain.

Emisi partikel dari inti radioaktif merupakan efek tunneling yang dimiliki oleh partikel

alfa menembus potensial penghalang yang ditimbulkan oleh gaya akibat interaksi antar partikel

inti. Mengapa molekul NH3 berbentuk piramid dan tidak planar sedang BF3 berbentuk planar

dapat dijelaskan melalui pemahaman terhadap efek ini. Ada sejumlah energi potensial yang

menghalangi konversi dari bentuk planar ke piramidal. Atom H nya amoniak (karena massanya

kecil dapat menembus potensial penghalang itu sehingga H tidak berada sebidang dengan N

35

sementara itu atom F yang ukurannya besar tidak mampu menembus potensial penghalang.

Efek terobosan elektron memberi sumbangan yang signifikan untuk menjelaskan terjadinya

reaksi oksidasi reduksi pada proses elektroda. Efek ini juga memberikan sumbangan pada

penentuan laju reaksi kimia yang melibatkan hidrogen. (R.P.Bell, 1990)

Gambar 2.5: Energi Potensial partikel dalam box satu dimensi

dengan ketinggian dan ketebalan tertentu.

Mikroskop jenis tertentu (disebut The scanning tunneling microscope yang ditemukan

pada 1981) memanfaatkan sifat terobosan elektron melalui ruang antara kumparan kawat logam

dengan permukaan padatan yang dapat menghantarkan arus listrik untuk menghasilkan image

atau gambaran masing-masing atom pada permukaan logam.

Soal-Soal Bab 2

1. Selesaikan Persamaan y'' + y' 2y = 0 dengan kondisi batas untuk x = 0, y = 0 dan untuk x =

0, y' = 1

2. Sebuah obyek makroskopik massanya 1 gram melintas dengan kecepatan 1 cm/s dalam kotak

satu dimensi yang panjangnya 1 cm. Tentukan bilangan kuantum n.

3. Elektron dalam atom atau molekul dapat secara ekstrim dipandang sebagai partikel dalam

box satu dimensi yang panjang boxnya mempunyai order ukuran atom atau molekul.

a) Untuk elektron yang berada dalam box yang panjangnya 1 Ao hitunglah selisih dua energi

level terendah

b) Hitunglah panjang gelombang foton yang setara dengan transisi kedua level energi

tersebut.

4. Ketika sebuah partikel yang massanya 9,1 x 1028 gram berada dalam box satu dimensi

mengalami transisi dari n = 5 ke n = 2, ia mengemisi foton dengan frekuensi 6,0 x 1014 s1.

Tentukan panjang box.

V0

x

36

5. Ketika sebuah elektron yang berada pada energi level tertentu mengalami transisi ke level

dasar dalam sebuah box satu dimensi yang panjangnya 2 Ao , ia mengemisi foton yang

panjang gelombangnya 8,79 x 109 m. Tentukan dari energi level ke berapa elektron tersebut

berasal ?

6. Elektron pi dalam molekul terkonjugasi, misal 1, 3 butadiena, dapat dipandang sebagai

elektron yang bergerak dalam kotak satu dimensi yang panjang sama dengan panjang

molekulnya. Dengan menggunakan aturan Pauli yang mengijinkan satu energi level dihuni

oleh sepasang elektron yang spinnya berlawanan, tentukan panjang gelombang foton yang

diserap jika elektron pi yang berada pada energi level tertinggi berpindah ke energi level

terendah yang kosong. (Panjang molekul = 10 Angstroom)

7. Tulis fungsi gelombang partikel bebas satu dimensi bergantung waktu.

8. Buatlah sket untuk n = 3, 4 dan 5

9. Sebuah elektron yang berada pada box satu dimensi dengan energi potensial 15 eV. Jika

panjang box 2 Angstroom, berapakah banyaknya bound state yang diijinkan ?

10. Jawablah betul atau salah pernyataan-pernyataan berikut:

a) Partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan energi level dasar (Ground State

Energy Level, mempunyai bilangan kuantum n = 0

b) Fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah diskontinus pada titik

tertentu.

c) Turunan pertama dari fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah

diskontinus pada titik tertentu.

d) Probabilitas maksimum setiap partikel dalam box selalu terletak di pertengahan

panjangnya box.

e) Untuk partikel dalam box dengan n = 2, probabilitas pada posisi kuarter kiri =

probabilitas di kuarter kanan.

BAB III

OPERATOR

3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya

37

Sekarang kita akan mempelajari mekanika kuantum dalam tampilan yang lebih umum

dari pada sebelumnya. Kita mulai dengan memperhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi

bebas waktu yaitu:

2

22m dxx E x

d + V

2

(x) ( ) ( ) (3-1)

Suku-suku yang berada di dalam kurung tersebut adalah operator.

Operator adalah lambang matematika, yang memberi isyarat untuk mengubah suatu

fungsi menjadi fungsi lain sesuai dengan operator yang dioperasikan. Contoh D

adalah

operator diferensial yang tugasnya menurunkan suatu fungsi terhadap variabel/koordinat x. Kita

menggunakan tanda sirkumpleks untuk menandai suatu operator. Pengoperasian D

terhadap

f(x) adalah D

f(x) = f ' (x). Sebagai contoh D

( 2x2 + 5x + 6) = 4x + 5. Jika dijumpai 3

, ini

adalah operator yang melipat tigakan suatu fungsi sehingga 3

(x2 + 5 e2x) = 3x2 + 15 e2x . Selain

itu masih ada operator-operator lain seperti operator akar, logaritma, operator trigonometri dan

lain-lain yang tugasnya mengubah suatu fungsi menjadi fungsi lain, Secara umum jika operatot

A

mengubah f (x) menjadi fungsi g (x), maka kita tulis A

f (x) = g (x).

Jumlah dan selisih dua buah operator A

dan B

didefinisikan oleh persamaan berikut:

)()()(

)()()(

xfBxfAxfBA

xfBxfAxfBA

(3-2)

Perkalian dua buah operator A

dan B

didefinisikan oleh persamaan berikut:

A

. B

f (x) = A

[ B

f (x) ] (3-3)

Dengan merujuk pada (3-3) berarti, yang beroperasi lebih terhadap fungsi adalah operator yang

paling kanan baru kemudian operator yang kiri. Sudah barang tentu jika kita jumpai penulisan:

B

. A

f(x) maka yang dioperasikan dulu harus A

baru kemudian B

. Yang perlu dipertanyakan

adalah samakah A

B

f(x) dengan B

A

f(x). Pada umumnya A

. B

B

. A

. Tetapi untuk

kasus-kasus khusus, dapat saja terjadi A

. B

= B

. A

. Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut:

38

Contoh 1:

Diketahui A

= d/dx ; B

= 3

sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A

. B

= B

. A

jika dioperasikan pada f (x)

Jawab:

A

. B

f (x) = d/dx . 3

( x2 + 5) = d/dx . [ 3

( x2 + 5) ] = d/dx ( 3x2 + 15) = 6 x

B

. A

= 3

. d/dx ( x2 + 5) = 3

. [d/dx ( x2 + 5) ] = 3

( 2x) = 6 x

Tampak dari perhitungan tersebut A

. B

= B

. A

atau A

. B

B

. A

= 0

Contoh 2:

Diketahui A

= d/dx ; B

= 2x

sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A

. B

= B

. A

jika dioperasikan pada f (x)

Jawab:

A

. B

f (x) = d/dx . 2x

( x2 + 5) = d/dx . [ 2x

( x2 + 5) ] = d/dx (x4 + 5x2 ) = 4x3 + 10 x

B

. A

= 2x

. d/dx ( x2 + 5) = 2x

. [d/dx ( x2 + 5) ] = 2x

( 2x) = 2x3

Tampak dari perhitungan tersebut A

. B

B

. A

atau A

. B

B

. A

0

Commutator, Commute dan Non Commute

Jika kita mempunyai dua operator misal A

dan B

maka A

. B

B A

disebut commutator

A

dan B

dan ditulis B,

A . Jadi

B,

A = A

. B

B

. A

(3-4)

Dua buah commutator disebut commute jika B,

A = 0 dan disebut non commute jika

B,

A 0.

Contoh 3:

Diketahui 3 buah operator yaitu operator A

= d/dx (supaya praktis d/dx ditulis D) ; operatot

B

= x dan operator C

= 3

. Tentukan:

a. Commutekah operator A

dan B

b. Commutekah operator A

dan C

39

Jawab:

Untuk mengetahui commute tidaknya pasangan operator maka harus dicari dulu commutator

pasangan tersebut. Untuk soal (a) harus ditentukan dulu commutator B,

A . Untuk ini B,

A

dioperasikan terhadap sembarang fungsi gelombang misal fungsi F.

a. B,

A F = ABBA

.. F

= A

. B

F B

. A

F = D. x F x . DF

= F + x DF x DF = F

Jadi B,

A = 1 A

dan B

non commute.

b. C,

A F = ACCA

.. F

= A

. C

F C

. A

F = D . 3 F 3 D F

=3 DF 3 D F = 0 pasangan A

DAN C

commute

Contoh 4:

Tentukan harga kuadrat dari ( d/dx + x ).

Jawab:

Untuk menentukan ( d/dx + x )2 maka kita operasikan operator tersebut pada sembarang fungsi

F, dan supaya praktis d/dx ditulis D.

( D + x )2 F = ( D + x ) ( D + x ) F = ( D + x ) ( D F + x F )

= D2F + D x F + x D F + x2 F

= D2F + F Dx + x DF + x DF + x2

= D2F + F + 2 x DF + x2 F

= ( D2 + 2 x D + x2 + 1 ) F

Jadi: ( D + x )2 = ( D2 + 2 x D + x2 + 1 )

Catatan:

Dari contoh di atas tampak bahwa kuadrat jumlah operator tidak sama dengan kuadrat jumlah

pada operasi aljabar.

40

3.2 Fungsi Eigen dan Nilai Eigen

Jika operator A

mengubah fungsi f(x) menjadi fungsi baru yang merupakan kelipatan k

kali fungsi asalnya sehingga terdapat hubungan:

A

f(x) = k .f(x) (3-5)

dengan k adalah konstanta, maka f(x) disebut fungsi eigen dari operator A sedang k disebut

nilai eigen.

Contoh 5 :

Diketahui operator d/dx dan dua buah fungsi yaitu F(x) = sin 3x dan fungsi G(x) = A e3x.

Tentukan fungsi yang mana yang eigen terhadap operator d/dx ?

Jawab:

Kita selidiki dulu:

d/dx F(x) = d/dx (sin 3 x ) = 3 cos 3x

F(x) bukan fungsi eigen dari d/dx sebab fungsi hasilnya yaitu 3 cos 3 x tidak merupakan

kelipatan fungsi asalnya yaitu sin 3x.

Selanjutnya kita selidiki operasi d/dx terhadap G(x):

d/dx G(x) = d/dx (A e3 x ) = 3 A e3 x = 3 G(x)

Karena hasil operasi merupakan kelipatan fungsi asalnya, maka G(x) merupakan fungsi eigen

terhadap operator d/dx dengan nilai eigen = 3.

Contoh 6:

Diketahui bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator A

dengan nilai eigen = c. Buktikan

bahwa fungsi cF(x) juga eigen terhadap operator A

dengan nilai eigen yang sama.

Jawab :

Dari pernyataan bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator A

dengan nilai eigen = c maka

dapat ditulis:

A F(x) = c F(x)

Selanjutnya kita selidiki A cF(x):

A

c F(x) = c A

F(x) = c . c F(x) terbukti

41

3.3 Operator Mekanika kuantum

Beberapa jenis operator mekanika kuantum telah kita kenal di bab I, antara lain operator

Hamilton atau operator energi yaitu H

dan operator energi kinetik yaitu T

. Menurut

persamaan (1-25) dan (1-26) bab I:

H

= 2

22

dx

d

m2

+ V

T

= 2

22

dx

d

m2

Secara lehih umum d2/dx2 biasa ditulis 2 sehingga :

H

= 22

m2

+ V (3-6)

T

= 22

m2

(3-7)

Bagaimana ekspresi operator energi potensial dalam mekanika kuantum ? Ekspresi energi

potensial dalam mekanika kuantum tidak berbeda dengan ekspresinya dalam mekanika klasik,

karena energi potensial hanya merupakan fungsi koordinat dan sama sekali tidak berhubungan

dengan harga momentum, sehingga energi potensial tidak dipengaruhi oleh prinsip

ketidakpastian Heissenberg. Hanya besaran-besaran yang dipengaruhi oleh prinsip

ketidakpastian saja yang membutuhkan operator mekanika kuantum.

Selain dua jenis operator mekanika kuantum yang sudah kita kenal tersebut kita akan

membahas operator momentum linear satu dimensi yaitu px . Dalam mekanika klasik kita tahu

bahwa px = m vx dengan m adalah massa partikel dan vx kecepatan dalam arah x. Hubungan

antara energi kinetik T dengan px dalam mekanika klasik adalah:

T = m2

p2x atau:

px = mT2 (3-8)

Jika kita masukkan T

pada (3-7) menggantikan T pada (3-8) maka kita peroleh operator

momentum linear satu dimensi yaitu:

42

xp

= i dx

d (3-9)

Analog dengan (3-9) maka:

yp

= i dy

d (3-10)

zp

= i dz

d (3-11)

Untuk Apakah Operator-operator Kuantum itu ?

Dalam bab I telah kita bahas bahwa fungsi gelombang dapat memberikan informasi

mengenai gerak partikel yang diwakilinya. Bagaimana cara mendapatkannya ? Jika kita ingin

mendapatkan informasi mengenai momentum, maka kita operasikan operator momentum

terhadap ,. Jika ternyata merupakan fungsi eigen bagi operator momentum, maka nilai

eigennya adalah momentum yang kita cari. Jika kita butuh harga energi kinetik, maka kita

operasikan operator energi kinetik terhadap . Jika ternyata merupakan fungsi eigen

terhadap operator energi kinetik maka nilai eigennya adalah energi kinetik yang kita cari.

Masalahnya adalah, bagaimana jika tidak merupakan fungsi eigen bagi operator tertentu ?

Untuk ini maka informasi mengenai suatu besaran, dapat dicari dengan menghitung harga rata-

ratanya. Dipostulatkan bahwa jika Operator xp

adalah operator yang berhubungan dengan

besaran b, maka rata-rata harga b dinyatakan oleh:

< b > = d *space all

B

(3-11)

dengan * adalah konjugate dari . Untuk fungsi real * = sedang untuk fungsi kompleks,

* adalah yang i-nya diganti i.

Contoh 1: Dengan menggunakan fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi,

tentukan:

a) harga px

b) harga rata-rata 2xp

c) harga energi kinetik partikel

43

3.4 Persamaan Schrodinger 3 Dimensi Untuk Banyak Partikel

Telah kita kenal bahwa Persamaan Schrodinger Bebas Waktu 3 dimensi untuk sebuah partikel

adalah:

22

m2

+ V = E (3-12)

22

m2

+ V disebut operator Hamilton H , jadi:

H

= 22

m2

+ V (3-13)

dengan 2 adalah operator Laplace, yang dalam koordinat rektangular adalah:

2 = 2

2

+

2

2

y

+

2

2

(3-14)

sedang dalam koordinat polar adalah:

2 = 2r

1

r

r2

r

+

sinr

12

sin

+

sinr

122 2

2

(3-15)

Suku pertama ruas kanan persamaan Hamilton (3-14) disebut operator energi kinetik, yaitu:

T

= 22

m2

(3-16)

Persamaan Schrodinger yang kita bahas sampai saat ini adalah manakala sistemnya

terdiri atas sebuah partikel. Sekarang kita akan membahas sistem yang terdiri atas n partikel.

Kita misalkan partikel ke i mempunyai massa im dan koordinat iii z , y , x dengan i = 1, 2, 3, .

. . . n. Energi kinetik sistem adalah total dari energi kinetik masing-masing partikel, jadi:

T

= 21

1

2

m2

22

2

2

m2

23

3

2

m2

. . . . . 2

nn

2

m2

(3-17)

atau:

T

=

n

1i

2i

i

2

m2

(3-18)

Selanjutnya kita amati fungsi energi potensialnya. Kita tahu untuk 1 buah partikel 1 dimensi, energi potensialnya hanya ditentukan oleh koordinat x, jadi: V = V(x)

44

Untuk 1 partikel dalam 3 dimensi, energi potensial ditentukan oleh masing-masing sebuah

koordinat x, y dan z, jadi:

V = V ( x, y, z)

Jika sistem terdiri atas n partikel dalam 3 dimensi, maka energi potensialnya tentu ditentukan

oleh 3n koordinat, yaitu:

V = V( x1, y1, z1 , x2 , y2 , z2 . . . . . . xn , yn zn ) (3-19)

Dengan demikian operator Hamilton untuk n partikel dalam 3 dimensi adalah:

H =

n

1i

2i

i

2

m2

+ V (x1 . . . . zn ) (3-20)

Selanjutnya persamaan Schrodinger untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi adalah:

)z . . . . . . (x V m2

n1

n

1i

2i

i

2

= E (3-21)

dengan adalah fungsi gelombang bebas waktu n partikel dalam 3 dimensi, jadi:

= (x1 . . . . . . . . . . . . . . . zn ) (3-22)

Sebagai contoh, untuk dua partikel yang koordinatnya (x1, y1 , z1 ) dan (x2 , y2 ,z2) sehingga

jaraknya adalah { (x1 – x2 )2 + (y1 – y2 )2 + (z1 – z2 )2 }1/2, maka energi potensialnya (berbanding

terbalik dengan jaraknya) adalah V =

2/1221

221

21 zzyy2xx

c

, jadi persamaan

Schrodinger bebas waktunya adalah:

22

2

22

2

22

2

2

2

21

2

21

2

21

2

1

2

zyx

m2

zyx

m2

2/12

212

212

1 zzyy2xx

c = E (3-23)

= (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 )

Selanjutnya bagaimana ekspresi terhadap probabilitas kerapatannya ? Dipostulatkan oleh Bohr,

untuk sistem 1 partikel dalam 1 dimensi, probabilitasnya adalah:

45

dx)t,x(2

(3-24)

Untuk sistem 1 partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah:

dzdy dx)t,z,y,x(2

(3-25)

Untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah:

n21112

n2111 dz . . . . . . . dx dz dy dx)t, z . . . . . x,z,y,x( (3-26)

Sedang kondisi normalisasinya adalah:

n21112

n2111 dz . . . . . . . dx dz dy dx)t, z . . . . . x,z,y,x(....... = 1 (3-27)

Dalam mekanika kuantum, (3-26) biasa ditulis:

d2 (3-28)

Sedang (3-27) biasa ditulis:

d2 = 1 (3-29)

Catatan:

Penulisan fungsi gelombang dengan psi kapital , berarti fungsi koordinat dan waktu,

sedang jika ditulis dengan psi huruf kecil atau , berarti fungsi gelombangnya hanya fungsi

koordinat saja dan tidak bergantung waktu.

Hubungan antara dan adalah:

= /iEte (3-30)

Fungsi gelombang disebut fungsi stasioner, jika:

= (3-31)

3. 5 Partikel Dalam Kotak 3 Dimensi

Fungsi Gelombang Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi

Dalam bab II kita telah menurunkan fungsi gelombang sebuah partikel dalam satu

dimensi yang panjang kotaknya a dengan energi potensial dalam kotak = 0, yaitu:

46

(x) = xa

n sin

a

21/2

dengan (x) adalah fungsi gelombang untuk arah x. Analog dengan ini maka untuk arah y dan

arah z yang panjang kotaknya berturut-turut adalah b dan c, fungsi gelombangnya adalah:

(y) = yb

n sin

b

21/2

(z) = zc

n sin

c

21/2

Sekarang dengan mudah kita dapat membuat fungsi gelombangnya dalam tiga dimensi, yaitu:

` (x , y , z) = zc

n siny

b

n sinx

a

n sin

abc

82/1

(3-32)

dengan n = 0, 1, 2 ....... dan seterusnya. Karena n untuk arah masing-masing tidak harus sama,

maka persamaan (3-32) sebaiknya ditulis:

` (x , y , z) = zc

n siny

b

n sinx

a

n sin

abc

8 zyz2/1

(3-33)

Jika kotaknya berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka persamaan (3-33) dapat ditulis:

` (x , y , z) = za

n siny

a

n sinx

a

n sin

a

2 zyz2/3

(3-34)

Energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi dan Pengertian Degeneracy

Untuk menentukan energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi maka yang perlu kita lakukan

adalah memasukkan (x , y , z) ke dalam persamaan Schrodinger bebas waktu. Dengan

memasukkan V = 0 akan kita peroleh:

E =

2

2z

2

2y

2

2x

2

c

n

b

n

a

n

m8

h (3-35)

Jika kotak berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka, persamaan (3-35) boleh ditulis:

E = 2z

2y

2x2

2nnn

ma8

h (3-36)

47

Terdapat kebiasaan orang menyatakan nx , ny dan nz sebagai indek untuk mengetahui state

dari fungsi gelombang yang bersangkutan. Sebagai contoh:

Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk

kubus)

111 dengan energi E = 2

2

ma8

h .3

Jika nx = 2 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk

kubus)

211 dengan energi E = 2

2

ma8

h . 6

Jika nx = 1 ; ny = 2 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk

kubus)

121 dengan energi E = 2

2

ma8

h . 6

Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 2, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk

kubus)

112 dengan energi E = 2

2

ma8

h . 6

dan seterusnya sehingga kita dapat membuat tabel energi sebagai berikut:

Fungsi Gelombang

Energi Fungsi Gelombang Energi

111 222

211 6 Eo 123

121 6 Eo 132 14 Eo

112 213 14 Eo

221 9 Eo 231 14 Eo

122 9 Eo 14 Eo

212 9 Eo 14 Eo

113 dan seterusnya

311 11 Eo

131 11 Eo

48

Catatan:

Dalam rangka kepraktisan maka dalam membuat tabel tersebut yang dimaksud dengan

Eo adalah h2/8ma2

Dari tabel di atas tampak bahwa ada fungsi-fungsi gelombang berbeda yang energinya

sama. Contoh yang energi levelnya 6 Eo ada 3 fungsi yaitu 112 , dan211 . Energi level 9

Eo dan 11 Eo juga dimiliki oleh 3 fungsi gelombang, sedang energi level 14 E0 terdiri atas 6

fungsi gelombang. Beberapa fungsi gelombang berbeda tetapi energinya sama disebut

degenerate. Sedang banyaknya fungsi gelombang untuk energi level tertentu disebut tingkat

degenerasi. Jadi tingkat degenerasi untuk energi level 6 Eo adalah 3 dan disebut three fold

degeneracy. Jika tingkat degenerasinya = 6 seperti pada energi level 14 Eo maka ia disebut six

fold degeneracy.

3.6 Kombinasi linear Fungsi-Fungsi Degeneracy dan Himpunan Linearly Independent

Marilah kita bahas, teorema yang berhubungan dengan fungsi-fungsi dari n fold

degenarate energy level. Teoremanya adalah sebagai berikut:

Jika terdapat n buah fungsi gelombang yang saling independen yaitu 1, 2 . . . . . . . . .n

yang mempunyai energi yang sama yaitu misal W. sehingga berlaku:

H1 = W 1

; H2 = W 2

; . . . . . . Hn = W n

(3-37)

maka sembarang kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut juga mempunyai energi

level W.

Teorema di atas akan kita buktikan. Jika kita mempunyai n buah fungsi gelombang yaitu 1, 2

. . . . . . . . .n dan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut kita sebut , maka hubungan

antara

dengan 1, 2 . . . . . . . . .n adalah:

= c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn (3-38)

49

Kita harus membuktikan bahwa energi level juga W yang dalam bahasa mekanika kuantum

kita harus membuktikan bahwa H = W .

Bukti:

H

= H

(c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )

= H

c11 + H

c22 + . . . . . . . . . H

cnn

= c1 H1 + c2 H

2 + . . . . . . . . . cn H

n

= c1 W1 + c2 W2 + . . . . . . . . . cn Wn

= W (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )

= W (terbukti)

Sebagai contoh, fungsi gelombang stasioner 112 , 121 dan 211 untuk partikel dalam kotak

berbentuk kubus adalah degenerate dengan energi level 6E0 dengan demikian maka kombinasi

linearnya yaitu c1112 + c2121 + c3 211 juga mempunyai energi yang sama yaitu 6Eo. Karena

c1 , c2 dan c3 adalah sembarang bilangan konstan, maka kita dapat membuat kombinasi linear

yang tak terhingga banyaknya, yang berasal dari ketiga fungsi gelombang tersebut. Meskipun

kita dapat membuat kombinasi linear yang tak terhingga banyaknya namun secara aktual kita

hanya tertarik pada kombinasi fungsi eigen yang linearly independent. Suatu himpunan n fungsi

f1, f2 . . . . fn adalah linearly independent jika c1. f1 + c2 f2 . . . . . + cn fn = 0 hanya dapat

dipenuhi manakala c1 = c2 = . . . . cn = 0. Dengan perkataan lain himpunan fungsi akan linearly

independent jika tidak ada salah satu fungsipun dari himpunan tersebut yang merupakan

kombinasi linear dari fungsi yang lain.

Contoh: Suatu himpunan fungsi terdiri atas f1 = 3x ; f2 = 5x2x dan f3 = x2 adalah bukan

linearly independent karena c1 f1 + c2 f2 + c3 f3 = 0 dapat dipenuhi oleh c1 = 1/3; c2 = 1 dan

c3 = 5. Padahal disebut linearly independen jika c1 = c2 = c3 = 0.

3.7 Persyaratan-persyaratan fungsi gelombang dalam Mekanika Kuantum

Fungsi gelombang pada dasarnya adalah fungsi matematik, tetapi harus diingat bahwa

tidak semua fungsi matematik adalah fungsi gelombang. Salah satu syarat yang harus dipenuhi

50

oleh fungsi gelombang adalah kontinus. Berikut ini akan kita bahas persyaratan-persyaratan

yang lain.

Bagi partikel yang berada dalam bound system, maka * d adalah probabilitas, yang

untuk mengevaluasinya kita harus mengintegralkan. Oleh karena itu harga * d harus

eksis (dapat dihitung). Jika integral tersebut eksis, maka dikatakan bahwa adalah

quadratically integrable, dan ini merupakan syarat yang kedua bagi fungsi gelombang partikel

dalam bound system. Dengan logika terbalik, maka dapat dinyatakan fungsi gelombang yang

tidak quadratically integrable adalah fungsi gelombang untuk partikel dalam unbound system

atau pada partikel bebas.

Kita telah tahu bahwa * adalah probabilitas kerapatan partikel, karenanya ia harus

bernilai tunggal (singled valued). Akan sangat membingungkan jika diperoleh dua harga

berbeda dalam perhitungan probabilitas menjumpai partikel pada titik tertentu. Karena *

harus bernilai tunggal, maka sebagai syarat ketiga fungsi harus bernilai tinggal.

Sebagai tambahan, biasanya juga disyaratkan bahwa selain harus kontinus, turunan-

turunannya juga harus kontinus.

Fungsi gelombang yang memenuhi persyaratan ini disebut well behaved. Jadi suatu

fungsi disebut well behaved jika (1) kurvanya dan kurva turunannya kontinus, (2) bersifat

quadratically integrable dan (3) bernilai tunggal.

51

Soal-Soal Bab 3:

1. Jika g = A f, tentukanlah g jika:

a) A = d/dx dan f = cos (x2 + 1) b) A = 5 dan f = sin x

c) A = ( )2 dan f = sin x d) A = exp dan f = ln x

e) A = d2 / dx2 dan f = ln 3x

2. Nyatakanlah entitas berikut, termasuk fungsi atau operator ?

a) A f(x) b) BA f(x) c) A

B d) f(x) A e) [ A , B] f) f(x) A

B g(x)

3) Jika D = d/dx buktikan bahwa ( D + x ) (

D x ) = D2 x2 1

4) a. Buktikan bahwa untuk sembarang operator berlaku ( A + B)2 = (

B + A )2.

b. Kapan ( A + B)2 = A

2 + 2 AB + B

2 ?

5) Apakah artinya, jika sebuah operator berpangkat nol ?

6) Buktikanlah commutator identitas [ A , B ] = [

B , A ]

7) Tentukanlah:

a) [ sin z , d/dz ] b) [d2/dx2 , ax2 + bx + c ] c) [d/dx , d2/dx2 ]

8. Manakah di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi-eigen dari d2/dx2 ?

a) ex b) x2 c) sin x d) 3 cos x e) sin x + cos x

Tentukan nilai eigennya, jika fungsinya adalah fungsi eigen.

9. Tentukan operator momentum untuk besaran fisik berikut:

a) 3xp b) x py y px c) (x py y px)2

10. Evaluasilah commutator berikut:

a) [ x , xp ] b) [ x , 2xp ] c) ) [ x , yp ] d) ) [ x , H ] dengan H adalah

operator Hamilton; e) ) [ x

y

z , 2

xp ]

52

11. Sebuah elektron berada dalam kotak tiga dimensi dengan a = 1 nm , b = 2 nm dan c = 5 nm.

Tentukan berapa probabilitasnya agar pada pengukuran posisinya akan dijumpai elektron

pada batas-batas 0 < x < 0,4 nm ; 1,5 nm < y < 2 nm dan 0 < z < 5 nm ?

12. Apakah fungsi gelombang partikel dalam kotak tiga dimensi, merupakan fungsi eigen

terhadap operator-operator berikut:

a) xp b) 2xp c) 2

zp d) x

13. Jika tak ternormalisasi, dan A adalah suatu bilangan konstan yang membuat A menjadi

ternormalisasi, maka tentukan A dinyatakan dalam . (Catatan: A disebut faktor normalisasi)

14. Dalam mekanika kuantum istilah state tidak sama dengan istilah energi level. Untuk partikel

dalam kotak berbentuk kubus tentukan ada berapa state dan ada berapa energi level yang

terletak pada rentang E < 15 h2/8ma2 ?

15. Jika h2/8ma2 disebut Eo, tentukan berapa tingkat degeneracy dari energi level:

a. 3 Eo b) 12 Eo c) 27 Eo ?

16. Mana di antara himpunan berikut yang merupakan himpunan fungsi independen secara

linear (Linearly independent function?

a) x ; x2 ; x6 b) 8, x , x2 , 3x21 ; c) sin x , cos x d) sin x , cos x , eix

===000====

BAB IV

OSILATOR HARMONIS

4.1 Osilator Harmonis Satu Dimensi

Dalam pasal ini akan kita bahas osilator harmonis yang merupakan model yang sangat

penting untuk memahami vibrasi molekul. Pembahasan secara klasik akan diulas lebih dulu

sebelum membahasnya secara kuantum.

4.1.1 Tinjauan Secara Mekanika Klasik

Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya

sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. Gaya itu adalah:

F(x) = k x (4-1)

53

dengan k adalah tetapan gaya dan F(x) adalah gaya berarah x yang bekerja pada partikel. Jika (4-

1) dikorelasikan dengan Hukum Newton kedua, F = m a, maka:

md x

dt

2

2= k x atau m

d x

dt

2

2+ k x = 0 atau

d

dtk m x

2

/ = 0 (4-2)

Persamaan (4-2) adalah persamaan diferensial orde kedua, yang persamaan karakteristiknya

adalah: D2 + k/m = 0 sehingga akar-akarnya adalah D1..2 = + i (k/m)1/2

Jadi penyelesaian (4-2)

x = A1. ek m t( / )

/1 2

+ A2 . ei k m t ( / )

/1 2

= A1{ cos (k/m)1/2t + i sin(k/m)1/2t}+A2{ cos (k/m)1/2t isin(k/m)1/2t }

= (A1+A2){ cos (k/m)1/2t }+ i(A1 A2) sin(k/m)1/2t }

= (A'){ cos (k/m)1/2t }+ A" sin(k/m)1/2t } (4-3)

Untuk t = 0, maka pasti x = 0, jadi:

0 = A' cos 0 + A" sin 0

Suku kedua ruas kanan kana pasti 0 karena sin 0 = 0, sehingga A" pasti tidak nol. Karena suku

kedua nol, maka suku pertama harus 0. Karena cos 0 adalah 1, maka A' harus 0, sehingga (4-3)

ditulis:

x = A" sin (k/m)1/2 t

Karena A' sudah tidak ada, maka tanda " pada A" boleh tidak ditulis, hingga:

x = A sin (k/m)1/2 t (4-4)

Karena periode fungsi sinus adalah 2, maka akan mudah penerapannya nanti, jika

(k/m)1/2 dinyatakan dalam kelipatan 2= kelipatan periode = n . 2). :

(k/m)1/2 = n . 2 jadi: n = (1/2)(k/m)1/2

n tersebut adalah banyaknya periode jadi = banyaknya osilasi persatuan waktu, yang dalam

bahasa fisik disebut frekuensi dan lazimnya tidak diberi notasi n tetapi . Jadi:

(k/m)1/2 = (4-5)

Dengan demikian (4-4) ditulis

x = A sin 2t (4-6)

Selain dapat digunakan untuk menentukan x, (4-1) juga dapat digunakan untuk menentukan

energi potensial. Kita tahu bahwa hubungan antara gaya dengan energi potensial menurut

persamaan (4-5 bab I) adalah:

54

dV

dx = F(x)

= (k x ) = k x

jadi dV = k x dx

V = 1/2 k x2 (4-7)

Dengan menggunakan (4-5), maka k = 4m, energi potensial V dapat ditulis:

V = 22 2 m x2 (4-8)

Selanjutnya bagaimanakah energi kinetik T ? T = 1/2 mv2 dengan v = dx/dt, jadi:

T = 1/2 m (dx/dt)2

Dengan menggunakan x pada (4-6) kita peroleh:

T = 1/2 m (A 2 cos 2t)2 = 2 m22 A2cos2 2t (4-9)

Penentuan E (energi total osilator harmonis, diperoleh dengan menjumlah T dan V, jadi:

E = T + V = 1/2 m A2 cos2 2t + 1/2 k x2

= 12 m22 A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t

= 1/2 k A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t

= 1/2 k A2( cos2 2t + sin2 2t)

Jadi:

E = 1/2 kA2 = 2 m A2 (4-10)

4.1.2 Osilator Harmonis Dalam Tinjauan Mekanika Kuantum

Persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu untuk osilator harmonis adalah seperti

persamaan (5-1 Bab I) tetapi V dimasukkan 1/2 kx2 (Ingat, bahwa V tidak bergantung pada

momentum angular p. Semua besaran fisik yang tidak bergantung pada p, operator kuantumnya

sama dengan nilainya dalam mekanika klasik). Jadi:

0 )x()xm2(E 2m

+ dx

d

22

)x(2

(4-11)

atau:

0 )x()xm4(2mE + dx

d 2222

)x(2

(4-12)

Agar penulisannya praktis 2m/ diganti sehingga (4-12) menjadi:

55

0 )x()x(2mE + dx

d 222

)x(2

(4-13)

atau:

0 )x()x(2mE + (x)'' 22 (4-14)

Untuk yang mendekati tak terhingga maka 2mE 2 boleh diabaikan sehingga (x) =

2x e merupakan penyelesaian dari (1.2-3). Berapapun harga , tetapi yang jelas (x) pasti

mengandung faktor 2x e , dan dengan demikian kita boleh memisalkan penyelesaian (1.2-3)

adalah:

(x) = 2x e . f(x) (4-15)

Jadi:

''(x) = 2x e (f '' 2 x f ' f + 2 x2 f) (4-16)

Jika (4-16) dan (4-15) dimasukkan ke dalam (4-13) maka akan diperoleh:

f '' 2 x f ' + (2mE 2 ) f = 0 (4-17)

Persamaan differensial orde dua di atas (4-17) tidak dapat diselesaikan secara konvensional

karena koefisien f ' masih mengandung x. Untuk itu penyelesaiannya menggunakan metode

deret.

Untuk itu kita misalkan:

f = c0 + c1 x + c2 x2 . . . . . cn xn =

0n

nn xc (4-18)

jadi:

f ' = 0 + c1 + c2 x1 . . . . . ncn xn1 =

0n

1nn xc n (4-19)

dan:

f '' = c2 + . . n (n1) xn2 =

2n

2nn xc)1n(n =

0n

n2n xc)1n)(2n( (4-20)

Substitusi (4-18) , (4-19) dan (4-20) ke dalam (1.2-6) menghasilkan:

56

0n

n2n xc)1n)(2n( 2 x

0n

1nn xc n + (2mE 2 )

0n

nn xc = 0

atau:

0n

n2n xc)1n)(2n( 2

1n

nn xc n + (2mE 2 )

0n

nn xc = 0

atau:

0n2nc)2n)(1n( 2 n cn + (2mE 2 ) cn nx = 0

Karena xn tidak mungkin nol, maka koefisiennya pasti nol, jadi

2nc)2n)(1n( 2 n cn + (2mE 2 ) cn = 0

Sehingga diperoleh:

2nc = 2)(n )1n(

mE2n2 2

nc (4-21)

Dengan persamaan (4-21), yang disebut relasi recursi, kita dapat menghitung c3 , c5 . . . . dan

seterusnya, jika kita tahu c1. Kita juga dapat menghitung c2 , c4 , . . . . dan seterusnya, jika c0

diketahui. Jika kita set c1 = 0, maka c3, c5 . . . dan seterusnya pasti nol, sehingga fungsi

gelombang osilator harmonis menjadi:

(x) = 2/x 2e . f(x) = 2/x 2

e

. . . 4, 2, ,0n

nn x c

= 2/x 2e

0p

p2p2 x c (4-22)

Jika c0 dibuat nol maka c2 , c4 , c6 . . . . dan seterusnya semua nol sehingga diperoleh

penyelesaian lain:

(x) = 2/x 2e

. . . 5 , 3 , 1n

nn x c = 2/x 2

e

0p

1p21p2 x c (4-23)

Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger bebas waktu untuk osilator harmonis satu

dimensi adalah kombinasi linear dari (4-22) dan (4-23) yaitu:

(x) = A 2/x 2e

0p

p2p2 x c + B 2/x 2

e

0p

1p21p2 x c (4-24)

57

dengan A dan B adalah tetapan sembarang.

Dengan memperhatikan (4-24) maka terlihat bahwa akan cenderung tak terhingga jika

x tak terhingga dan ini tidak diijinkan. Salah satu syarat fungsi matematik dapat diterima

sebagai fungsi gelombang adalah mempunyai harga yang tertentu, berapapun harga x nya.

Untuk memenuhi syarat ini, maka deret (4-24) harus berhenti pada suku tertentu, misal suku ke

v. Jika deret berhenti di suku v, ini berarti koefisien cv harus nol. Dengan menggunakan (4-21)

dan indek n diganti v maka (4-21) boleh ditulis:

2vc = 2)(n )1n(

mE2v2 2

vc

Jika cv harus nol maka 2vc juga harus nol, sehingga:

2)(n )1n(

mE2v2 2

vc = 0 atau: + 2 v 2 m E 2 = 0, jadi::

E = 1) v2(m2

2

(4-25)

Dengan menggunakan harga = 2m/ , maka diperoleh:

E = ( v + ½ ) h (4-26)

yang sering ditulis:

Ev = ( v + ½ ) h v = 0, 1, 2, 3 . . . . (4-27)

dengan Ev adalah energi level osilator harmonis, v = bilangan kuantum vibrasi, h tetapan Planck

dan adalah frekuensi vibrasi.

Ada perbedaan antara bilangan kuantum partikel dalam box dengan bilangan kuantum

vibrasi. Bilangan kuantum vibrasi mengijinkan harga nol, sedang bilangan kuantum partikel

dalam box tidak mengijinkan harga nol.

Energi ground state pada gerak vibrasi (osilator) adalah harga E untuk v = 0, yaitu Eo = ½ h

dan ini disebut zero point energy (Awas harga zero point energi tidak nol tetapi ½ h). Zero

point energi ini adalah energi masing-masing osilator harmonis yang merupakan bagian dari

sekelompok osilator harmonis, pada temperatur nol absolut.

Substitusi (4-27) ke dalam (4-21) menghasilkan relasi recursi yang baru, yaitu:

2nc =

nc2n 1n

vn2

(4-28)

58

4.2 Fungsi Genap dan fungsi Ganjil

Sebelum membahas fungsi gelombang osilator harmonis secara lebih detail ada baiknya

kita mengingat kembali pengertian fungsi genap dan fungsi ganjil. Jika f(x) mengikuti bentuk:

f (x) = f (x) (4-29)

maka f(x) adalah fungsi genap dari x. Jadi x2 dan 2 xbe keduanya adalah fungsi genap karena

(x)2x)( be =

2 xbe . Grafik fungsi genap adalah simetris terhadap sumbu x. Selanjutnya

untuk fungsi genap berlaku:

a

a

dx (x) f = a

0

dx (x) f2 (4-30)

Jika g(x) mengikuti:

g(x) = g(x)

maka g(x) adalah fungsi ganjil dari x. Contoh fungsi ganjil misalnya adalah x , 1/x , x2 xe . Grafik

fungsi ganjil dicerminkan oleh sumbu y kemudian dicerminkan lagi oleh sumbu x. Untuk fungsi ganjil

berlaku:

a

a

dx (x) g = 0 (4-31)

Hasil kali dua buah fungsi genap atau dua buah fungsi ganjil adalah fungsi genap, sedang hasil

kali fungsi genap dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil.

4.3 Fungsi Gelombang Osilator Harmonis

Menentukan Fungsi Gelombang Dengan Relasi Recursi

Marilah kita lihat kembali persamaan (4-23) dan (4.24)

(x) = 2/x 2e

0p

p2p2 x c (4-23)

(x) = 2/x 2e

0p

1p21p2 x c (4-24)

59

Kedua fungsi itu adalah fungsi gelombang osilator harmonis genap dan ganjil. Persamaan (4-

23) dan (4-24) berturut- turut dapat ditulis:

(x) = 2/x 2e (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-32)

(x) = 2/x 2e (c1x + c3 x3 + c5 x5 . . . . . . . .) (4-33)

Akan berhenti sampai dimana deret tersebut, ternyata ditentukan oleh bilangan kuantum v.

Jika v = 0, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c0, sehingga fungsi gelombang

osilatornya adalah:

= 2/x 2e . c0 atau 0 = c0

2/x 2e

Jika v = 1, berarti fungsi ganjil dan berhenti sampai suku c1x, sehingga fungsi gelombang

osilatornya adalah:

= 2/x 2e . c1x atau 1 = c1 x

2/x 2e

Jika v = 2, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c2x2 , sehingga fungsi gelombang

osilatornya adalah:

= 2/x 2e . ( c0 + c2x2

) atau 2 = c0 2/x 2

e + c2x2 2/x 2e

begitu seterusnya.

Selanjutnya kita akan memperhatikan 0 yang juga disebut fungsi ground state. Telah

kita tahu bahwa:

0 = c0 2/x 2

e (4-34)

Harga c0 dapat diperoleh melalui normalisasi, yaitu:

dx2o = 1 atau: (4-35)

1 =

dx e c2 x2

o =

0

x2o dx e c 2

2

Dengan menggunakan teknik error function, kita peroleh:

c0 = ( / )1/4 (4-36)

Sehingga fungsi gelombang ground state untuk osilator harmonis adalah:

0 = ( / )1/4 2/x 2e (4-37)

60

Fungsi gelombang (3-5) di atas juga disebut fungsi Gauss (Gaussian Function) yang grafiknya

dapat dilihat pada gambar (4-1a)/

Selanjutnya dengan cara yang sama, kita dapat akan membahas 1, yaitu:

1 = c1 x 2/x 2

e (4-38)

Dengan cara yang sama dengan cara menentukan c0, kita peroleh:

c1 = (4 3 / )1/ 4 (4-39)

sehingga diperoleh 1 yaitu:

1 = (4 3 / )1/4x 2/x 2

e (4-40)

Setelah harga c0 dan c1 diketahui maka kita dapat menghitung c2, c3, c4 dan seterusnya dengan

menggunakan (1.2-15). Dengan demikian kita dapat dengan mudah menentukan 2 , 3 , 4

dan seterusnya.Misal kita akan menentukan 2 . Pertama kita gunakan bentuk umum genap,

yaitu:

(x) = 2/x 2e (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-33)

Untuk 2 deret dihentikan pada suku x2, jadi:

(a) v = 0 (b) v = 1

x

x

x

61

(c) v = 2 (d) v = 3

Gambar 4-1: Fungsi Gelombang Osilator Harmonis

2 = 2/x 2e (c0x + c2 x2 ) atau 2 = (c0x + c2 x2 ) 2/x 2

e

Dengan menggunakan (1.2-15), maka c2 dapat dihitung, yaitu:

cn+2 = nc

2n 1n

v)-(n 2

dengan memasukkan memasukkan n = 0 dan vs = 2, maka:

c2 = 0c

20 )10(

2-0 2

= 2 c0

Jadi:

2 = (c0 2c0 x2 ) 2/x 2e = c0 (1 2 x2 ) 2/x 2

e

Harga c0 dicari dengan normalisasi (Tidak menggunakan c0 pada persamaan (4-36)), dan

diperoleh:

2 = ( (2 x2 1) 2/x 2e

Menentukan Fungsi Gelombang Osilator Harmonis Dengan Polinomial Hermite

Ada cara lain untuk menentukan yaitu dengan memanfaatkan polinomial Hermit. Perlu diingat

bahwa sebagian dari faktor 2/x 2e pada fungsi gelombang osilator harmonis polinomial

Hermite yang sudah kita kenal di matematika. Hubungan antara fungsi gelombang osilator

harmonis dengan polinomial Hermite adalah:

)x(v = 2/1v ! v. 2 4/1

2x

2e

. vH

Dengan vH adalah polinomial Hermite, yaitu:

62

vH = v 1 22 z

j

jz e

dz

d e dengan:

z = x 2/1

Dengan cara ini, fungsi gelombang lebih mudah dapat diturunkan.

Tentang Harga x yang Mungkin Dalam Osilator Harmonis

Jika kita melihat solusi mekanika kuantum untuk osilator harmonis, maka tampak bahwa

berapapun harga x harga dapat diperoleh, artinya bahwa peluang keberadaan partikel ada di

sembarang harga x mulai dari x = sampai x = + . Padahal dalam mekanika klasik

partikel hanya dibatasi berada pada daerah yang energi potensialnya tidak melebihi energi

partikel (yaitu antara a sampai + a pada gambar 4-2), sebab dalam mekanika klasik energi

kinetik negatif tidak dikenal.

Ini berarti bahwa secara tinjauan kuantum partikel dapat berada di daerah terlarangnya

mekanika klasik, atau dalam mekanika kuantum bisa saja terjadi energi potensial V > E atau

dapat saja terjadi energi kinetik bernilai negatif. Kasus V > E ini sudah pernah kita bahas pada

bab II.

Gambar 4-2: Daerah yang diijinkan ( x < a) dan daerah terlarang ( x > a) untuk osilator

harmonis mekanika klasik

-a a

E

x

V

V

63

Gambar 4-3: Energi Potensial untuk vibrasi molekul (Kurva garis tak terputus-putus) dan untuk osilator harmonis (kurva titik-titik)

4.4 Vibrasi Molekul Diatomik

Osilator Harmonis yang telah kita bicarakan, sangat baik untuk dijadikan pendekatan

dalam memahami vibrasi molekul. Sudah barang tentu harus diadakan beberapa modifikasi.

Karena dalam molekul diatomis terdapat dua partikel dengan massa masing-masing m1 dan m2

maka m dalam persamaan Schrodinger diganti atau massa tereduksi dengan =

m1m2/(m1+m2).

Kita memperkirakan bahwa harga energi level vibrasi Evib sangat mendekati harga

energi level osilator harmonis yang sudah kita kenal, yaitu:

Evib (v + ½ ) h e v = 0, 1, 2, 3, . . . . . (4-41)

e = 2/1

k

2

1

; =

21

21

m m

m . m

; k =

eR R2

2

dR

Ud

(4-42)

e disebut frekuensi vibrasi (harmonis) ekuilibrium. Aproksimasi di atas sangat bagus untuk

energi level yang rendah. Untuk energi level yang tinggi, energi potensial vibrasi semakin

menyimpang dibandingkan dengan energi potensial osilator harmonis (Gambar 4-3).

Aproksimasi yang lebih akurat dalam rangka mengantisipasi penyimpangan dari keharmonisan

adalah:

Evib = (v + ½ ) h e (v + ½ )2 h e xe (4-43)

e xe disebut tetapan ketidakharmonisan yang untuk hampir semua kasus harganya positif.

64

Dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu, kita dapat

menentukan bahwa transisi vibrasi yang paling mungkin jika molekul diatomik diekspose ke

dalam radiasi elektromagnet adalah v berubah dengan + 1; selanjutnya agar dapat terjadi

absorpsi dan emisi dari elektromagnet (foton) maka vibrasi harus mengubah momen dipole

molekul. Oleh karena itu, maka molekul-molekul diatomik (H2 , N2 dan lain-lain yang sejenis)

tidak mungkin dapat mengalami transisi hanya dengan mengemisi atau mengabsorpsi radiasi

(Artinya transisi hanya dapat terjadi melalui tumbukan intermolekuler)

Jika terjadi transisi dari energi level tinggi E2 ke energi level rendah E1 maka akan

diemisi foton yang relasinya dinyatakan dengan:

Efoton = E2 E1 (4-44)

Karena Efoton = h maka:

foton = (E2 – E1) / h (4-45)

Jika kita menggunakan aproksimasi (4-41) maka:

foton = (E2 – E1) / h(v2 + ½ ) h e (v1 + ½ ) h e }/ h = (v2 – v1 ) e

Karena perubahan v yang paling mungkin adalah 1, maka:

foton =

Jika aproksimasi energi kita gunakan yang lebih akurat yaitu aproksimasi (4-43) maka akan

diperoleh:

foton = e 2 e xe ( v1 + 1) (4-47)

dengan v1 adalah bilangan kuantum vibrasi yang rendah dan j = 1.

Populasi relatif dari dua buah energi level molekul dinyatakan oleh distribusi Boltzmann (dapat

dilihat pada sembarang literatur Kimia fisik) yaitu:

Tk / )E (E

2

1

2

1 21e g

g

N

N (4-48)

N1 adalah banyaknya molekul yang berada pada energi level E1 , N2 adalah banyaknya molekul

yang berada pada energi level E2 , g1 dan g2 adalah degenerasi masing-masing molekul. Jika

molekulnya non degenerate, maka g = 1.

Dalam unit SI, satuan untuk frekuensi adalah hertz (Hz) dengan definisi 1 Hz = 1s1.

Pada absorpsi infra merah, orang sering menggunakan istilah bilangan gelombang yaitu

banyaknya gelombang persatuan panjang, yang didefinisikan:

= 1/ = / c (4-49)

65

dengan adalah panjang gelombang dalam vakum, dan c adalah laju cahaya adalah frekuensi

foton.

Contoh:

Gelombang infra merah terkuat dari molekul 12C16O terjadi pada = 2143 cm1 . Tentukan

tetapan gaya untuk molekul tersebut ?

Jawab:

Yang ditanyakan adalah k = 4 2 2e

Infra merah terkuat terjadi pada hubungan v = 0 1. Ini berarti transisi pada level rendah,

sehingga kita boleh menggunakan (4-46) untuk menghitung e , tidak usah dengan (4-47).

e = .

Menurut (4-49), = . c jadi:

e = . c

= ( 2142 cm1 ) (2,9979 . 1010 cm . s1)

= 6,424 . 1013 s1 .

Selanjutnya kita hitung = OC

OC

m.m

m.m

mC = massa 1 atom C = 12 amu

= 12 x 1,661 x 1027 kg = 19,932 . 1027 kg

= 1,9932 . 1026 kg

mO = 15,9949 amu

= 15,9949 x 1,661 . 1027 kg

= 26.5675 . 1027 kg

= 2,65675 . 1026 kg

jadi:

= (1,9932 .1026 kg x 2,65675 .1026 kg )/(1,9932 .1026 kg + 2,65675 .1026 kg

= (5,29543 . 1052 kg2 ) / ( 4,64995 . 1026)

= 1,1388143959 . 1026 kg

k = 4 2 2e

= 4 2 (6,424 . 1013 s1 )2 1,1388143959 . 1026 kg

66

= 1854 kg. s2

= 1854 N/m

Soal-soal Bab 4

1. Mana di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi genap ? Mana yang

merupakan fungsi ganjil ?

a) sin x ; b) cos x ; c) tan x ; d) xe ; e) 2 2 x ; f) ( 3 + x ) ( 3 x )

2. Buktikan bahwa (a) hasil kali fungsi genap dengan fungsi genap adalah fungsi genap (b)

hasil kali fungsi ganjil dengan fungsi ganjil adalah fungsi genap (c) hasil kali fungsi genap

dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil

3. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 2:

a ) dengan relasi recursi

b) dengan polinomial Hermite

4. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 4:

a ) dengan relasi recursi

b) dengan polinomial Hermite

5. Sebutkan perbedaan-perbedaan antara fungsi gelombang satu dimensi untuk partikel dalam

box dan untuk partikel dalam osilator harmonis.

6 Untuk fungsi gelombang osilator harmonis dengan v = 1, tentukan harga x yang paling

mungkin.

7. Dengan analogi bahwa untuk sistem satu dimensi nilai eigen energinya adalah E = ( v + ½ )

h, bagaimanakah energi levelnya jika sistemnya 3 dimensi ?. Dalam sistem 3 dimensi

tersebut, tentukan derajad degenerasi mulai energi level terendah sampai ke empat ?

8. Jika Hj adalah polinomial Hermite, tentukan H0 ; H1 ; H2 ; H3 dan H4 !

9. Untuk osilator harmonis dengan bilangan kuantum v, berapakah rentang x yang diijinkan

oleh mekanika klasik ?

67

10. (a) Spektrum absorpsi infra merah dari 1H35Cl mempunyai berkas terkuat pada 8,65 x 1013

Hz. Hitunglah tetapan gaya dari ikatan molekul tersebut.

(b) Tentukan zero point energi vibrasi untuk 1H35Cl

(c) Prediksilah frekuensi infra merah terkuat untuk molekul 2H35Cl

Massa isotop 1H = 1,00783 amu 2H= 2,01410 amu 35Cl = 34,968853 amu

1 amu = 1,661 . 1024 gram

11. (a) Buktikan persamaan (4-47) dari (4-43)

(b) Turunkan persamaan sejenis untuk transisi dari v = 0 v2

12. (a) Transisi v = 0 1 untuk LiH terjadi pada 1359 cm1 . Hitunglah ratio populasi v = 0

terhadap v = 1, pada temperatur 200o C

(b) lakukan persis seperti (a) tetapi untuk molekul ICl yang transisi terkuatnya terjadi pada

381 cm1.

BAB V

MOMENTUM ANGULAR

5.1 Pengukuran Simultan Beberapa Properti

Pada bab ini kita akan membahas momentum angular dan pada bab berikutnya nanti kita akan

menunjukkan bahwa dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah

konstan. Sebelum membahas momentum angular, kita akan bahas lebih dulu, pengukuran secara

simultan beberapa properti dan untuk itu, kita harus mengetahui kriteria yang dapat kita gunakan untuk

menentukan properti apa saja dari suatu sistem yang nilainya dapat ditentukan secara simultan. Perlu

diingat bahwa dalam mekanika kuantum ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya tidak

dapat secara simultan sebagai contoh posisi dan momentum merupakan dua properti pengukurannya

tidak dapat secara simultan. Sementara itu ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya dapat

secara simultan, karena masing-masing mempunyai hasil pengukuran yang pasti.

Dalam bab III telah kita bahas bahwa jika fungsi adalah fungsi eigen dari operator A

dengan

nilai eigen a, maka a adalah nilai properti A. Sebagai contoh jika adalah fungsi eigen dari operator

energi kinetik T

dengan nilai eigen t, maka t adalah nilai dari energi kinetik T. Selanjutnya jika

68

secara simultan merupakan fungsi eigen dari dua buah operator yaitu A

dan B

dengan nilai eigen a dan

b sehingga dapat kita tulis A = a dan B

= b, maka kita dapat secara simultan mengetahui

secara pasti nilai properti A dan B, yaitu a dan b. Kapankah terjadi kemungkinan bahwa menjadi

fungsi eigen dari dua buah operator berbeda ? Fungsi akan secara simultan merupakan fungsi eigen

dari dua buah operator A

dan B

jika kedua operator tersebut adalah pasangan operator yang commute

atau jika [ A

, B

] = 0 (Akan dibuktikan di Bab 7). Dengan logika terbalik dapat dinyatakan bahwa, jika

dua buah operator A

dan B

adalah commute atau jika [ A

, B

] = 0, maka dapat menjadi fungsi

eigen bagi A

maupun B

.

Ingat kembali bahwa commutator A

dan B

adalah [ A

, B

] = A

B B

A

. Berikut ini

diberikan beberapa commutator identitas yang sangat membantu dalam mengevaluasi commutator.

[ A

, B

] = = [ B

, A

] (5-1)

[ A

, A n

] = 0 (5-2)

[k A

, B

] = [ A

, k B

] = k[ A

, B ] (5-3)

[ A

, A

+ C

] = [ A

, B

] + [ A

, C

] ;

[ A

+ B

, C

] = [ A

, C

] + [ B

, C

] (5-4)

[ A

, B

C

] = [ A

, B

] C

+ B

[ A

, C

] ;

[ A

B

, C

] = [ A

, C

] B

+ A

[ B

, C

] (5-5)

Contoh:

Buktikanlah bahwa x dam px tidak dapat diukur secara simultan.

Bukti:

Untuk membuktikan kita harus menguji bahwa [ x , xp

] 0

[ x , xp

] = [ x xp

xp

x ]

Jika dioperasikan pada sembarang fungsi :

[ x , xp

] = [ x xp

xp

x ]

= x xp

xp

x

Karena xp

= i x

, maka:

69

[ x , xp

] = x ( i x

) ( i

x

)x

i ( x x

x

x )

i { x x

(

x

x + x

x

) }

i { x x

( + x

x

) }

i { x x

x

x

}

i { x x

x

x

}

i { }

i

Jadi:

[ x , xp

] = i

Karena [ x , xp

] tidak = 0, maka tidak mungkin merupakan fungsi eigen simultan terhadap x dan xp

sehingga pengukuran x dan px harus secara simultan dan mengikuti prinsip ketidakpastian.

5.2 Momentum Angular Sistem Partikel Tunggal

Momentum Angular Dalam Mekanika Klasik

Jika sebuah partikel bermassa m melintas dan kita tinjau partikel itu dalam sistem koordinat

Cartessius dengan r adalah vektor dari titik acuan ke posisi partikel pada saat itu, maka hubungan antara

vektor r dengan komponen-komponennya adalah:

r = x i + y j + z k (5-6)

dengan x, y dan z adalah koordinat partikel sedang i, j, k adalah unit vektor berarah x, y dan x. Jika

vektor momentum linear adalah p maka hubungan antara vektor p dengan komponen-komponennya

adalah:

p = px i + py j + pz k (5-7)

dengan px = m vx ; py = m vy dan pz = m vz

Menurut mekanika klasik, vektor momentum angular L didefinisikan sebagai :

70

L = r x p = pppzyx

zyx

kji

= yz p.zp.y i xz zpxp j + xy ypxp k (5-8)

Karena hubungan antara vektor L dan komponen-komponennya adalah:

L = Lx i + Ly j + Lz k (5-9)

Maka kita peroleh:

yzx p.zp.yL

zxy p.xp.zL (5-10)

xyz p.yp.xL

Hubungan antara harga L dengan Lx , ly dan Lz adalah:

L2 = 2z

2y

2x LLL (5-11)

Operator Momentum Angular

Operator momentum angular diperoleh dari persamaan klasik (5-11) dan (2-10) setelah mengganti px , py

dan pz dengan operator xp

, yp

dan zp

yaitu:

xp

= x

i

yp

= y

i

(5-12)

zp

= z

i

sehingga:

xL

= i

yz

zy

yL

= i

zx

xz (5-13)

zL

= i

xy

yx

71

Selanjutnya kita tahu bahwa besarnya harga skalar L adalah:

L2 = 2z

2y

2x L L L

Jadi operator 2L

= 2xL

+ 2yL

+ 2zL

(5-14)

Commutator antara Momentum Angular dengan Komponen-komponennya

Selanjutnya karena pasangan commutator sangat penting untuk mengetahui apakah dua buah properti

dapat diukur secara simultan atau tidak, maka sekarang kita akan melihat bagaimana harga pasangan-

pasangan commutator antar komponen momentum angular, yaitu [ xL

, yL

] ; [ xL

, zL

] ; [ yL

, zL

]

dan juga pasangan commutator antara operator momentum angular 2L

dengan komponen-komponennya

yaitu commutator [ 2L

, xL

] ; [ 2L

, yL

] dan [ 2L

, zL

].

Pertama kita akan mengevaluasi commutator [ xL

, yL

]. Kita tahu bahwa:

[ xL

, yL

] = xL

yL

yL

xL

Jika dioperasikan pada sembarang fungsi F maka:

[ xL

, yL

] F = xL

yL

F yL

xL

F

= 2 {

yz

zy

zx

xz F

zx

xz

yz

zy F}

= 2 {

yz

zy

F

zxF

xz

zx

xz

F

yzF

zy }

F

yz

zxF

zxyF

yxzF

zxzyF

zyzxF

xyzF

zyxF

xz

zy

2

222

2222

2

22

F

yz

zxF

zxzyF

zyzxF

xz

zy

222

yzz

y

FxF

zxzyF

zyzx

xz

Fz

x

Fy

22222

F

yzxz

y

FxF

zxzyF

zyzxF

xx

Fyz

x

Fy

22222

y

Fx

x

Fy2 = F

yx

xy2

= i

zL F

72

Jadi:

[ xL

, yL

] = i zL

(5-15)

Analog dengan cara diatas maka diperoleh (Buktikan):

[ Ly , Lz ] = i xL

(5-16)

[ Lz ,

xL ] = i Ly (5-17)

Dari (2-11) tampak bahwa pasangan commutator antar komponen momentum angular adalah non

commute. Sekarang akan kita selidiki pasangan commutator antara operator momentum angular dengan

komponen-komponennya yaitu: [ 2L

, xL

] ; [ 2L

, yL

] dan [ 2L

, zL

]. Pertama akan kita selidiki dulu:

[ 2L

, xL

] dengan memanfaatkan sifat commutator identitas pada awal bab ini.

Karena: 2L

= 2

xL +

2

yL +

2

zL maka:

[ 2L

, xL

] = [2

xL +

2

yL +

2

zL , xL

]

= [2

xL , xL

] + [

2

yL , xL

] + [

2

zL , xL

]

Menurut sifat (5-2), [ 2L

, xL

] = 0, jadi:

[ 2L

, xL

] = [ 2L

, xL

] + [ 2L

, xL

]

atau:

[ 2L

, xL

] = [ yL

yL

, xL

] + [ zL

zL

, xL

]

Dengan menggunakan sifat (5-5) yaitu [ A

B

,C

] = [ A

, C

] B

+ A

[ B

, C

], maka:

[ 2L

, xL

] = [ yL

, xL

] yL

+ yL

[ yL

, xL

] + [ zL

, xL

] zL

+ zL

[ zL

, xL

]

= i zL

yL

i yL

zL

+ i yL

zL

+ i zL

yL

= 0

Jadi:

[ 2L

, xL

] = 0 (5-18)

Analog dengan cara di atas maka diperoleh:

[ 2L

, yL

] = 0 (5-19)

73

[ 2L

, zL

] = 0 (5-20)

Dari persamaan (5-18) sampai dengan (5-20) tampak bahwa operator momentum angular 2L

dan salah

satu komponen-komponen bersifat commute, jadi antara 2L

dengan salah satu xL

atau yL

atau

zL

mempunyai fungsi eigen yang sama.

Operator Momentum Angular dalam Koordinat Spherik

Persamaan (5-13) dan (5-14) itu adalah operator untuk menghitung Lx , Ly dan Lz dengan

menggunakan koordinat Cartessius. Mengingat momentum angular terjadi pada partikel yang bergerak

melengkung, maka penggunaan operator kuantum angular dalam koordinat bola, ternyata lebih

menguntungkan, oleh karena itu, kita perlu mengetahui, bagaimana pernyataan operator tersebut dalam

koordinat bola. Buku ini tidak akan membahas bagaimana penurunan operator tersebut dalam koordinat

bola, tetapi bagi yang ingin mengetahui penurunannya dianjurkan untuk membaca literatur mekanika

kuantum. Adapun dalam koordinat bola (Hanna, 1969: 137):

xL

= i

coscotsin

yL

= i

sincotcos (5-14)

zL

= i

Telah kita ketahui, bahwa hubungan antara suatu vektor dengan komponen-komponennya adalah

kuadrat vektor = jumlah kuadrat komponen-komponennya, jadi:

2z

2y

2x

2 LLLL

Dengan demikian diperoleh:

2L

=

2

2

22

sin

1sin

sin

1 (5-18)

atau:

2L

=

2

2

22

22

sin

1otc (5-19)

Fungsi Eigen Dan Nilai Eigen Momentum Angular Orbital Partikel Tunggal

74

Sekarang kita akan menurunkan fungsi eigen dari operator 2L

dan zL

. Dengan memperhatikan

bahwa operator tersebut melibatkan dan , maka fungsi tersebut kita sebut fungsi (,) yang

merupakan fungsi dan fungsi dalam relasi:

(,) = f() . f() (5-20)

Jika agar praktis f() ditulis T dan fungsi f() ditulis , maka:

(,) = T . (5-21)

Jika b adalah nilai eigen untuk zL

dan c adalah nilai eigen untuk 2L

, maka persamaan eigennya dapat

ditulis:

zL

= b (5-22)

2L

= c (5-23)

Kita selesaikan dulu (5-22). Dengan menggunakan operator zL

dan fungsi ditulis T. maka (5-22)

dapat ditulis:

i

T. = b T.atau: i T

d

d = b T.atau:

T

d

d = (b/ i ) T.atau:

d

d =

ib.atau:

1d

ib d atau: ln =

ib C atau:

= C /ibe = Ce /ibe = A /ibe (5-24)

dengan A adalah tetapan sembarang.

Apakah setiap (5-24) dapat menjadi fungsi eigen ? Jawabnya tidak. Karena tidak semua

bentuk (5-24) adalah bernilai tunggal (singled valued). Agar (5-24) singled valued maka jika ditambah

2 harga tidak berubah. Jadi (5-24) adalah fungsi eigen jika:

A /ibe = A /)2(ibe = A /ibe /2ibe sehingga:

/2ibe = 1 (5-25)

/2ibe adalah cos 2b/ + i sin 2b/ . Jadi:

cos 2b/ + i sin 2b/ = 1 (5-26)

Untuk memenuhi (5-26) maka :

75

2b/ harus = 2 m dengan m = 0, 1, 2, 3 . . . . . sehingga:

b = m m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . (5-27)

Karena b adalah nilai eigen dari operator zL

maka harga Lz pasti = b, atau:

Lz = m m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . . (5-28)

Jika harga b dimasukkan ke dalam (5-24) maka fungsi eigen diperoleh, yaitu:

= A ei m (5-29)

Dengan normalisasi, harga A diperoleh, yaitu A = 2/1

2

1

sehingga:

= 2/1

2

1

ei m (5-30)

dengan m adalah bilangan kuantum magnetik.

Sekarang kita akan menyelesaikan persamaan (5-23) yaitu 2L

= c yang dapat ditulis:

2

2

22

22

sin

1otc = c atau:

2

2

22

22

sin

1otc = c atau:

2

2

22

22

sin

1otc

2/1

2

1

ei m = c

2/1

2

1

ei m atau:

Tc

sin

m

d

dTcot

d

Td22

2

2

2

(Buktikan !) (5-31)

Untuk menyelesaikan (5-31) kita lakukan dengan melakukan manipulasi matematika, pertama diadakan

perubahan variabel bebas, dengan cara mensubstitusi:

cos = x (5-32)

Jika cos = x maka:

sin = (1 x2)1/2 (5-33)

i cot = x / (1 x2)1/2

76

Akibat perubahan variabel ini, maka terjadi transformasi fungsi T yang semula fungsi menjadi fungsi

x. Kita misalkan fungsi baru sebagai akibat transformasi itu adalah G(x) Jadi:

T = G(x) (5-34)

sehingga, dengan aturan berantai yaitu:

d

dT

d

dx.

dx

dG=

d

cosd.

dx

dG = sin

dx

dG= (1 x2)1/2

dx

dG (5-35)

Untuk mengevaluasi 2

2

d

Td

kita gunakan operator aljabar:

d

d = (1 x2)1/2

dx

d Jadi:

2

2

d

Td

= (1 x2)1/2

dx

d[(1 x2)1/2

dx

dG]

= (1 x2)1/2 dx

d[ (1 x2)1/2

dx

dG]

= (1 x2)1/2 {dx

d (1 x2)1/2 .

dx

dG + (1 x2)1/2

2

2

dx

Gd ]

= (1 x2)1/2 { (1/2) (1 x2)1/2 (2x). dx

dG + (1 x2)1/2

2

2

dx

Gd ]

= (1 x2)1/2 { (1/2) (1 x2)1/2 (2x). dx

dG + (1 x2)1/2

2

2

dx

Gd ]

= (1 x2)1/2 { x) (1 x2)1/2. dx

dG + (1 x2)1/2

2

2

dx

Gd ]

= x dx

dG + (1 x2)

2

2

dx

Gd Jadi:

2

2

d

Td

= (1 x2)

2

2

dx

Gd x

dx

dG (5-36)

Dengan menggunakan (5-32) s/d (5-36), maka (5-31) dapat ditulis:

(1 x2) 2

2

dx

Gd x

dx

dG+

2

2

2 x1

mc

G = 0 (5-37)

dengan x adalah 1 < x < +1 (Mengapa ?)

77

atau:

(1 x2) G'' x G'+

2

2

2 x1

mc

G = 0 (5-38)

Agar penyelesaiannya tidak rumit ketika kita melakukan penyelesaian dengan menggunakan metode

deret penyelesaian, maka kita nyata G kedalam fungsi x yang lain yaitu H(x) dengan relasi:

G = 2 / m 2x1 H (5-39)

Dari (5-39) kita cari G' dan G'' untuk disubstitusikan ke (5-38) dan setelah dibagi dengan 2 / m 2x1 ,

maka (5-38) menjadi:

(1 x2 ) H'' 2 1 m x H' + [ c 2 1 m m H = 0 (5-40)

Sekarang akan kita selesaikan (5-40) dengan metode deret, yaitu dengan memisalkan:

H =

0 j

jjxa (5-41)

Turunannya adalah:

H' =

0 j

1jjxa . j (5-42)

H'' =

2 j

2jjxa . j . )1j( =

0 j

j2j xa . 2j . )1j( (5-43)

Substitusi (5-41) s/d (5-43) ke dalam (5-40) menghasilkan::

j

0 jj

2222j xa m m c/ j m 2jja . 2)(j . )1j(

= 0

Karena x j pasti tidak nol maka koefisiennya yang nol jadi:

a m m c/ j m 2jja . 2)(j . )1j( j222

2j

= 0

dan diperoleh:

2ja =

j

2

a 1j 2j

c/ 1 m j m j

(5-44)

Sebagaimana dalam osilator harmonis, bentuk umum penyelesaian (5-40) adalah kombinasi linear dari

fungsi berpangkat genap (yang koefisiennya ditentukan oleh harga a0) dan fungsi berpangkat ganjil

78

(yang koefisiennya ditentukan oleh harga a1). Kedua fungsi penyelesaian ini tampak merupakan fungsi

berbentuk deret pangkat sampai tak terhingga, sehingga tidak merupakan well behaved eigenfunctions.

Namun seperti halnya yang sudah kita kenal pada osilator harmonis, kita dapat membuat salah satu deret

penyelesaian itu berhenti pada suku berpangkat tertentu, yaitu dengan membuat koefisien pada suku

tersebut berharga nol. Jika kita misalkan deret penyelesaian berhenti pada suku berpangkat k, artinya

jika kita mengganti j dengan k, maka koefisiennya suku itu, yang dapat dihitung dari (5-38) menjadi

berharga nol, sehingga kita akan memperoleh:

c = 2 m k 1 m k (5-45)

dan karena k adalah j, sedang j berharga 0, 1, 2, . . . ., maka k juga berharga 0, 1, 2, . . . .. Selanjutnya

karena m juga berharga 0, 1, 2, . . . . maka m k juga berharga 0, 1, 2, 3 . . .

yang untuk selanjutnya m k disebut bilangan kuantum azymuth atau bilangan kuantum angular

translasi dan diberi notasi jadi:

= m k (5-46)

dan dengan demikian maka (5-45) menjadi:

c = 2 ( +1) (5-47)

Karena menurut (5-23), c adalah nilai eigen dari operator momentum 2

L , maka dapat disimpulkan

bahwa harga skalar L2 adalah:

L2 = 2 ( +1) (5-48)

atau:

L = 1 (5-49)

Marilah kita amati lagi persamaan (5-46). Hal penting yang diperhatikan dari persamaan (5-45)

itu adalah bahwa harga m tidak melebihi , sebab jika m melebihi maka k akan negatif. Padahal

harus diingat bahwa k adalah j sedang j adalah pangkat x dari deret penyelesaian persamaan diferensial

orde dua, dengan harga paling kecil nol. Karena j paling kecil nol, maka k paling kecil nol. Kalau k

paling kecil nol, maka m paling besar = atau kita biasa menulis:

m < (5-50)

atau:

m = 0 , + 1, +2, +3, . . . . . . . . . . + (5-51)

79

Penurunan Fungsi

Menurut (5-34) fungsi nya adalah : T = G(x) dengan G = 2 / m 2x1 H (menurut 2-31)

sehingga:

T = 2 / m 2x1 H (5-52)

Karena x adalah cos , maka:

T = m

)(sin H (5-53)

Menurut (5-41), H =

0 j

jjxa , sehingga:

T = m

)(sin

0 j

jjxa (5-54)

Karena fungsi dikehendaki hanya sampai suku k dengan k = m , maka (5-54) dapat ditulis:

T = m

)(sin .

m

0 j

jjxa

(5-55)

Karena penyelesaian

0 j

jjxa pada dasarnya adalah salah satu kemungkinan genap, atau ganjil, maka

(5-55) dapat dipecah bentuknya menjadi:

T = m

)(sin .

m

. . 4 2, 0, j

jjxa

jika m genap (5-56) T =

m )(sin .

m

. . . . 3, 1, j

jjxa

jika m ganjil (5-57)

Jika x kita kembalikan ke asalnya yaitu cos , maka:

T = m

)(sin .

m

. . . . 4 2, 0, j

jj cosa

jika m genap (5-58)

T = m

)(sin .

m

. . . . 3, 1, j

jj cosa

jika m ganjil (5-59)

80

Koefisien a, mengikuti (5-44), yang setelah harga nilai eigen c, dimasukkan menjadi:

2ja =

ja 1j 2j

)1( 1) m j( )m j(

(5-60)

Setelah T diperoleh, maka (,) juga diperoleh, yaitu:

2/1

2

1

ei m

(5-61)

dengan T adalah salah satu dari (2-49). Karena (,) ditentukan oleh dan m, maka fungsi eigen

momentum angular juga sering ditulis )m,( , sehingga:

)m,( = 2/1

2

1

ei m

(5-62)

Contoh:

Sebuah partikel yang diperikan oleh bilangan kuantum = 3 dan m = 1, tentukan:

a) Komponen momentum Lz

b) Momentum angular L

c) Fungsi gelombang eigennya

Jawab:

a) Lz = m =

b) L = )1( = 6

c) karena = 3 dan m = 1, maka m = 2, jadi fungsi genap, dan untuk menentukan fungsi T kita

gunakan (5-58):

T = m

)(sin .

2

2. 0, j

jj cosa

= sin ( a0 + a2 cos2 )

a2 kita cari dari relasi:

2ja =

ja 1j 2j

)1( 1) m j( )m j(

2ja =

ja 1j 2j

)1( 1) m j( )m j(

81

a2 = 1)(0 )20(

1)3(31)1(0 )10(

a0 = a0

Jadi:

:T = sin ( a0 a0 cos2 ) = a0 sin (1 5cos2) = a0 sin (5cos21)

Harga a0 dicari dengan normalisasi:

0

* d T T = 1

d = r2 dr sin d d

Karena T hanya fungsi , maka :

0

* d sin T T = 1 atau:

0

* d sin T T = 1 atau:

0

22220 d sin )1(5cos sin a = 1

0

243 d )1cos10(25cos sin = 1/a02

25

0

34 d sincos 10

0

32 d sin cos +

0

3 d sin = 1/a02

25 (12/105) 10 (4/15) +4/3 = 1/a02

160/105 = 1/a02

a0 = +160

105= +

640

420 = + 42

8

1

Kita pilih a0 = 428

1, supaya fungsi T

Jadi:

T = 428

1 sin (5cos2)

Karena T sudah diperoleh maka orbital momentum angularnya adalah:

82

)m,( = 2/1

2

1

ei m

)1 , 3( = 428

1

2/1

2

1

sin (5cos2) ei

Cara lain menentukan fungsi T (fungsi )

Persamaan (5-38) sangat dikenal dalam matematika, dan disebut Persamaan Legendre terasosiasi, Yang

penyelesaiannya adalah:

m

P=

! . 2

1

(1 - cos

2)

m /2

m

m

)(cosd

d

(cos

2 - 1) (5-63)

Penyelesaian (5-62) di atas disebut Polinomial Legendre terasosiasi, m

P . Setelah m

P diperoleh,

fungsi tetha T diperoleh dengan cara sebagai berikut:

2/1

! m+ . 2

! m-1+2

mP (5-64)

Jika T sudah diperoleh maka ( ,m) segera diketahui.

Contoh: Sekarang kita akan mencoba menghitung 3,1) tetapi menggunakan Polinomial Legendre.

Jawab:

Kita hitung dulu m

P :

m

P =

! . 2

1

(1 - cos

2)

m /2

m

m

)(cosd

d

(cos

2 - 1)

= ! 3 .2

13

(1 - cos2) 2/1

4

4

)(cosd

d

(cos

2 - 1)3

= 48

1 sin

4

4

)(cosd

d

(cos

2 - 1)3

Kita selesaikan dulu 4

4

)(cosd

d

(cos

2 - 1)3

dan supaya tampak sederhana cos kita ganti x sehingga:

4

4

)(cosd

d

(cos

2 - 1)3

= 4

4

dx

d(x

2 1)3

83

= 4

4

dx

d(x6 3x4 + 3x2 1)

= 3

3

dx

d(6x5 12x3 + 6x)

= 2

2

dx

d(30x4 36x2 + 6)

=

dx

d(120x3 72x)

= (360x2 72) = (360 cos2 72) = 72 (5 cos2 1)

Jadi:

m

P = 48

1 sin

4

4

)(cosd

d

(cos

2 - 1)3

= 48

1 sin { 72 (5 cos2 1) }

= 2

3 sin (5 cos2 1)

Setelah itu, T dapat ditentukan:

2/1

! m+ . 2

! m-1+2

mP

2/1

! 4 . 2

! 2 7

2

3 sin (5 cos2 1)

2/1

48

14

2

3 sin (5 cos2 1)

428

1 sin (5 cos2 1)

Akhirnya ( 3, 1) diperoleh, yaitu:

)m,( = 2/1

2

1

ei m

( 3, 1) = 428

1

2/1

2

1

sin (5cos2) ei

84

Soal-soal Bab 5

1. Buktikan commutator identitas berikut:

(a) [ A

, B

] = = [ B

, A

] (5-1)

(b) [ A

, A n

] = 0 (5-2)

(c) [k A

, B

] = [ A

, k B

] = k[ A

, B

] (5-3)

(d) [ A

, B

+ C

] = [ A

, B

] + [ A

, C

] ;

[ A

+ B

, C

] = [ A

, C

] + [ B

, C

] (5-4)

(e) [ A

, B C

] = [ A

, B

]C

+ B

[ A

, C

] ;

[ A

B

, C

] = [ A

, C

] B

+ A

[ B

, C

] (5-5)

2. Buktikan [ xp

xp

, H

] = i

x

V

3. Buktikan [ x , xp

] = i

4. Dengan menggunakan [ x , xp

] = i dan commutator identitas, tentukan [ x , 2xp

]

5. Diketahui vektor A mempunyai komponen (3, 2, 6) dan vektor B komponennya (1,4, 4) .

Tentukan (a) harga skalar A dan B; (b) A + B ; (c) A B; (d) A . B (e) A x B;

(f) sudut antara A dan B.

6. Buktikan bahwa:

Jika f dan g masing-masing adalah fungsi koordinat, buktikan bahwa:

2 f . g = g 2 f + 2 f . g + f 2 g

7. Jika f = 2x2 5 xyz + z2 1, maka tentukan (a) gradien f ; (b) 2 f

8. Buktikan bahwa cross vektor L

x L

= i L

9. Tentukan [ 2L

, yL

]

10 . Tentukan koordinat polar dari titik-titik yang koordinat rektangularnya adalah:

(a) ( 1, 2, 0 ) ; (b) ( 1, 0, 3 ) ; (c) ( 3, 1, 2 ) ; (d) ( 1, 1, 1 )

85

Tentukan koordinat rektangular dari titik-titik yang koordinat polarnya adalah:

(a) ( 1, 2

, ) ; (b) ( 2,

4

; 0 )

12. Tentukan kemungkinan-kemungkinan sudut antara L dengan z, jika = 2.

13. (a) Jika kita mengukur Lz dari sebuah partikel yang bilangan kuantum momentum angularnya adalah

= 2, ada berapakah kemungkinan hasilnya ?

(b) Jika kita mengukur Lz dari sebuah partikel yang momentum angularnya adalah 12 , ada

berapakah kemungkinan hasilnya ?

14. Pada saat tertentu, sebuah partikel mempunyai fungsi = N . 2r ae 12 (,

(a) Tentukan berapa momentum angular L nya ? (b) berapa Lz nya ?

(c) Berapa sudut antara L dengan sumbu z ?

15. Fungsi orbital momentum angular sebuah partikel adalah:

= A sin2 cos i 2e

(a) Tentukan berapa momentum angular L nya ?

(b) berapa Lz nya ?

(c) Berapa sudut antara L dengan sumbu z ?

16. Jika = 3 dan m = 3, tentukan fungsi gelombang orbital momentum angularnya .

===000===

BAB VI

ATOM HIDROGEN

6.1 Persamaan Schrodinger Untuk Kasus Gaya Pusat

Kasus elektron dalam atom hidrogen adalah kasus gaya pusat yang bersifat sphericcaly

symetric. Oleh karena itu sebelum membahas Hidrogen, kita akan membahas kasus gaya pusat

ini secara lebih umum. Yang dimaksud dengan kasus gaya pusat adalah kasus-kasus yang

melibatkan partikel yang energi potensialnya hanya merupakan fungsi jarak, artinya energi

potensial hanya ditentukan oleh jarak partikel itu dari titik pusat peredaran, atau V = V( r) .Kita

tahu bahwa persamaan Schrodinger bebas waktu adalah:

H = E (6-1)

dengan H adalah:

86

H

= T

+V

= ( m2/2 ) 2 + V( r) (6-2)

Karena sifatnya yang spherically symetric, maka kita gunakan 2 dalam koordinat spherik,

yaitu:

2 = 2

2

2222

2 sinr

1 sin

sinr

1

rr

rr

1

(6-3)

atau :

2 =

2

2

22

2 sin

1 sin

sin

1

rr

rr

1 (6-4)

Dari Bab 5 kita tahu bahwa :

2L

=

2

2

22

sin

1sin

sin

1

Sehingga:

2

2

2sin

1sin

sin

1 = 2L

/ 2

Jadi (6-3) boleh ditulis:

2 =

2

22

2

1

L

rr

rr =

22

22

2

1

r

L

rr

rr (6-5)

Substitusi (6-5) ke dalam operator Hamilton diperoleh:

H

= m2

2

22

22

2

1

r

L

rr

rr + V( r) (6-6)

H

= 2

22

2

2

2

1

2 rm

L

rr

rrm

+ V( r) (6-7)

Persamaan Schrodinger untuk kasus gaya pusat diperoleh, yaitu dengan mensubstitusi

(6-7) ke dalam (6-1), jadi :

r

rrr

1

m22

2

2

+ 2

2

2

rm

L

+ V( r) = E (6-8)

87

Telah kita ketahui dari Bab 5, bahwa nilai eigen terhadap operator 2 L

adalah (+1) 2

sehingga persamaan eigennya dapat ditulis:

2L

(+ 1) 2 (6-9)

dan (6-8) dapat ditulis:

r

rrr

1

m22

2

2

+

2r m2

2 1 + V( r) = E (6-10)

Sekilas, tampaknya persamaan (6-9) hanya melibatkan satu variabel yaitu r, tetapi harus diingat

bahwa (+ 1) 2 adalah nilai eigen dari operator 2L

padahal seperti kita tahu, operator 2L

melibatkan variabel dan . Jadi sebenarnya persamaan (6-9) melibatkan tiga macam variabel,

yaitu r, dan , sehingga yang merupakan penyelesaian (6-9) harus (r,,) yang merupakan

gabungan dari ( r) , () dan (). Selanjutnya ( r) kita tulis R sedang menurut bab 5, ()

ditulis T dan () ditulis sehingga:

= R T (6-11)

Subtitusi (6-10) ke dalam (6-9) menghasilkan:

r

T R r

rr

1

m22

2

2

+ 2

2

2

)1(

rm

R T + V( r) R T = E R T (6-12)

atau:

1

T 2

22

2

r

Rr

rrm

+

2

2

2

)1(

rm

R T + V( r) R T = E R T

Jika dibagi dengan R T , hasilnya:

r

R r

rr

1

R

1

m22

2

2

+ 2

2

2

)1(

rm

+ V( r) = E (6-13)

atau:

r

R r

rr

1

m22

2

2

+ 2

2

2

)1(

rm

R + V( r) R = E R (6-14)

Perlu diketahui bahwa r

r

rr

1 22

=

rr

2

r2

2

sehingga (6-14) boleh ditulis:

88

R

r

2

2 2

22

rrm

+

2

2

2

)1(

rm

R + V( r) R = E R atau

r

2

2 2

22

r

R

r

R

m

+

2

2

2

)1(

rm

R + V( r) R = E R atau:

' r

2 ''

2

2

RR

m

+

2

2

2

)1(

rm

R + V(( r) R = E R (6-15)

Perlu ditegaskan bahwa bagi sembarang problem dengan fungsi energi potensial yang

spherically symetric V( r) , maka fungsi gelombangnya adalah = R T yang memenuhi

persamaan (6-15), dengan R = fungsi radial, T fungsi dan adalah fungsi . Fungsi T dan

fungsi sudah kita turunkan di bab 5.

Persamaan (6-15) adalah persamaan Schrodinger sebagai fungsi radial, untuk sembarang

problem yang melibatkan fungsi energi potensial yang spherically symetric V(r) .

6.2 Gerak Rotasi ( Rigid Rotor Dua Partikel )

Meskipun sebenarnya kita sudah dapat melanjutkan pembahasan dalam rangka

menyelesaikan persamaan Schrodinger untuk atom Hidrogen namun lebih dulu kita akan

menyelesaikan problema yang lebih sederhana yaitu rigid rotor dua partikel yaitu problema

tentang sistem dua partikel yang berada pada jarak yang tetap, dan dihubungkan oleh sebuah

batang kaku tanpa massa yang panjangnya d. Dalam kasus ini, karena jarak kedua partikel

tetap, maka gerak internal dalam bentuk vibrasi pasti tidak mungkin, sehingga satu-satunya

gerak internal adalah gerak rotasi. Seluruh energi dalam rotor adalah energi kinetik, jadi:

V = 0 (6-16)

sehingga operator Hamilton untuk gerak rotasinya adalah:

H

= 22

2

(6-17)

89

Dalam persamaan (6-17) di atas kita gunakan sebagai pengganti m, karena sistemnya terdiri

atas dua partikel, sehingga massa yang digunakan adalah massa tereduksi yang didefinisikan:

= 21

21

m m

m . m

(6-18)

dengan m1 dan m2 adalah massa masing-masing partikel. Operator 2 adalah operator 2

koordinat spherik seperti pada persamaan (6-5) yaitu:

2 =

22

2^L2

2 r

rr

rr

1

tetapi karena dalam rigid rotor, jari-jarinya konstan, maka turunan terhadap jari-jari = 0

2 =22

2^L

r

(6-19)

karena jarak antar partikel adalah d, maka: 2 =22

2

r

L sehingga operator Hamiltonnya

menjadi:

H =

2d 2

1

2^L (6-20)

2^L adalah operator momentum angular untuk gerak translasi yang melengkung, sedang yang

kita bicarakan adalah gerak translasi. Untuk membedakannya, maka 2^

L diganti 2^

J yaitu

operator momentum angular rotasi. Sehingga (6-20) ditulis:

H =

2d 2

1

2^J

Demikian persamaan Schrodinger untuk rigid rotor dua partikel:

2d 2

1

2^J = E (6-21)

Telah kita ketahui bahwa nilai eigen untuk terhadap 2^

L adalah ( + 1) 2 , jadi seharusnya

nilai eigen 2^

J adalah j ( j + 1) 2 , sehingga 2^

J = j (j + 1) 2 dan (6-21) ditulis:

90

2d 2

1

j (j + 1) 2 = E (6-22)

sehingga:

E =

2

2

d 2

1 j j

(6-23)

Selanjutnya d2 ditulis I sehingga (6-23) ditulis:

E =

I 2

1 j j 2 J = 0, 1, 2, . . . . . . . (6-24)

dengan I = momen Inertia, yang didefinisikan:

I = d2 (6-25)

Perbandingan antara L dan J

L adalah momentum angular translasi, harganya 1( dengan adalah bilangan

kuantum momentum angular translasi. J adalah momentum angular rotasi, harganya )1j(j

dengan j adalah bilangan kuantum momentum angular rotasi. L mempunyai komponen Lz =

m , maka J juga mempunyai komponen yang disebut Jz = m . Jika pada gerak translasi m

harganya mulai , (+1) . . . . . . + , maka m pada gerak rotasi mempunyai harga mulai

dari j , j+1, . . . . sampai dengan +j.

Apakah Energi rotasi mengalami degenerate ?

Kita tahu bahwa energi level rotasi hanya ditentukan oleh j. Jadi jika j = 2 misalnya

maka energinya I

3 2. Untuk j = 2, maka ada 5 harga m, yaitu 2 , 1, 0, 1, 2. Kita telah tahu

dari bab 5 bahwa fungsi eigen untuk operator momentum angular ditentukan oleh dan m.

Sudah barang tentu untuk gerak rotasi, fungsi eigennya ditentukan oleh j dan m. Karena untuk j

= 2 ada 5 harga m, itu artinya untuk j = 2, ada lima macam fungsi gelombang yaitu: -22

; -12 ;

91

02

; 12

dan 22

, yang kelima-limanya mempunyai energi yang sama yaitu I

3 2. Karena ada

5 fungsi gelombang berbeda yang energinya sama, maka dikatakan bahwa untuk j = 2, energi

level rotasi mengalami 5th fold degenerate.

6. 3 Gerak Rotasi Molekul Diatomik

Energi level rotasi molekul diatomik dapat diaproksimasi dengan menggunakan energi

level rigid rotor dua partikel (6-24). Telah diketahui bahwa ketika molekul diatomik

mengabsorpsi atau mengemisi energi, ternyata transisi rotasi murni yang mungkin adalah:

j = + 1 (6-26)

Perlu ditambahkan bahwa momen dipole molekul harus tidak nol untuk dapat menghasilkan

spektrum rotasi murni. Transisi rotasi disebut transisi murni jika hanya bilangan kuantum rotasi

saja yang berubah. Jika terjadi transisi rotasi dari E2 ke E1 maka E nya yaitu E2 E1 berubah

menjadi foton atau h, Jadi:

h = I2

)1j(j

I2

)1j(j 211

222

= I 8

h)1j(j )1j(j

2

21122

(6-27)

Jadi:

= I 8

h)1j(j )1j(j

21122

(6-28)

Jika dianggap j = 1, maka j2 = j1 + 1 sehingga. Jika j1 ditulis j saja, maka j2 = j + 1, jadi:

= I 8

h)1j( j )2j( ) 1j (

2

= 2 ( j + 1) B (6-29)

B = h / (82I) dan j = level yang rendah = 0, 1, 2, 3, . . . . . .

B disebut tetapan rotasi molekul.

Pengukuran terhadap frekuensi absorpsi rotasi, memungkinkan kita menghitung B. Dari B, kita

dapat menghitung momen inertia I, untuk selanjutnya jarak ikatan molekul d, dapat ditentukan.

92

Contoh:

Garis spektrum frekuensi terendah pad absorpsi rotasi murni molekul 12C32S terjadi pada 48991

MHz. Tentukan jarak ikatan.

Jawab:

Frekuensi terendah, berarti transisi dari j = 0 1, sehingga:

= 2 B jadi B = / 2

B = h / (82I) I = h / ( 8 2 B) = h / (4 2 )

I = d2 d2 = I / = h / (42 )

d = 24

h

= 21

21

mm

m.m

=

97207,3112

)97207,31(12

x 1,661 . 1024 gram = 1,44885 . 1023 gram

= 1,44885 . 1026kg

d = )kg10 x (1,44885 )s 48991((4,14) 4

s J10 x 62608,6

261-2

34

= 1,5377 x 1010 m = 1,5377 A

6.4 Atom Hidrogen

Atom hidrogen terdiri atas sebuah proton dan sebuah elektron. Jika e menyatakan

muatan sebuah proton ( e = + 1,6 x 1019 C ) maka muatan elektron adalah e. Kita akan

berasumsi bahwa elektron dan proton adalah titik massa yang interaksinya mengikuti hukum

Coulomb. Dalam membahas tentang atom atau molekul , kita biasanya akan memandangnya

sebagai sistem terisolasi, dengan mengabaikan interaksi antar atom dan antar molekul.

Pembahasan kita tentang Hidrogen ini akan kita buat lebih umum, yaitu tidak saja untuk atom

hidrogen, tetapi juga untuk atom yang mirip Hidrogen (Hidrogen liked atom) yaitu misal ion

He+ ; ion Li2+ dan lain-lain.

Pertama kita akan membicarakan gaya yang bekerja dalam sistem ini, yaitu gaya Coulomb:

F = 2

2

o r

Ze

4

1

(6-30)

93

yang merupakan gaya pusat. Hubungan antara energi potensial V dengan F yang bekerja adalah:

F = dV/dr (6-31)

dengan demikian maka:

dV/dr = 2

2

o r

Ze

4

1

, jadi:

V = r

Ze

4

1 2

o (6-32)

Supaya penulisannya ringkas (¼o)1/2e diganti e', sehingga (6-32) menjadi:

V = r

' Ze 2 (6-33)

Jika kita misalkan gerak internal dalam sistem itu diwakili oleh fungsi dengan adalah:

= R (6-34)

maka sebagai representasi dari kasus gaya pusat, harus mengikuti persamaan:

'R r

2 ''R

m2

2

+

2r m2

2

1 R + V(( r) R = E R (6-15)

Dengan memasukkan harga V = r

' Ze 2, dan m diganti (mengapa ?) maka (6-15) menjadi:

'R r

2 ''R

m2

2

+

2r 2

2

1

R

r

' Ze 2

R = E R

'R r

2 ''R

m2

2

+

2r 2

2

1

R

r

' Ze 2

R E R = 0

'R r

2 ''R

2

2

2r 2

2

1

R

2

2

r

' Ze 2

R 2

2

E R = 0

'R r

2 ''R

2r

1

R 2

2

r

' Ze 2

R 2

2

E R = 0

atau:

Jika 22 ' e / diganti a maka:

94

'R r

2 ''R

2r

1

R r a

Ze2

R 2 e' a

E 2 R = 0

atau

'R r

2 ''R

r a

Ze2

2 e' a

E 2

2r

1

R = 0 (6-35)

Persamaan (6-35) adalah persamaan Schrodinger untuk atom hidrogen dinyatakan dalam satu

variabel yaitu radial. Jika (6-35) diselesaikan, maka R diperoleh. Padahal T dan sudah kita

ketahui dari bab 5. Jadi Jika R diperoleh maka untuk atom mirip hidrogen yang merupakan

penggabungan (hasil kali) R T juga diperoleh.

Solusi Persamaan Radial

Untuk memperoleh R, sebenarnya kita dapat langsung menyelesaikan (6-35) dengan

menggunakan metode deret. Tetapi relasi recursi yang diperoleh akan terlalu rumit. Agar relasi

recursi yang diperoleh bentuknya sederhana maka kita akan melakukan beberapa langkah awal

yaitu dengan memasukkan r yang sangat besar. Jika r = , maka (6-35) menjadi:

R '' 2 e' a

E 2R = 0 (6-36)

dan penyelesaian-penyelesaiannya adalah:

r e' a / 2E i 2e (6-37).

Sekarang pembahasan akan kita fokuskan jika E positif. Untuk E positif, maka bilangan dalam

akar akan negatif, sehingga muncullah i sebagai faktornya r :

R r e' a / 2Ei 2e E > 0 (6-38)

atau, jika harga a dikembalikan ke asalnya maka:

R r / ) E 2( i e

E > 0 (6-39)

Simbol pada (4-9) menunjukkan bahwa R tersebut adalah R yang hanya berlaku untuk r yang

sangat besar, dan merupakan fungsi asymtotik terhadap R yang sesungguhnya.

Bentuk persamaan (6-39) tersebut mengingatkan kita kepada persamaan (6-26) pada bab III

mengenai partikel bebas. Ini berarti untuk r sangat besar dan E > 0 maka elektron atom

95

hidrogen berada dalam keadaan partikel bebas, atau dengan perkataan lain hidrogen dalam

keadaan ion positif.

Persamaan (4-9) belum memberikan faktor radial yang lengkap bagi fungsi radial

dengan E positif. Studi lebih lanjut mengenai hal ini (baca literatur Quantum Mechanics of One

and Two Electron Atoms , 1957 karangan Bethe dan Salpeter halaman 21-24) menunjukkan

bahwa fungsi radial dengan E positif harganya tertentu (terhingga) untuk sembarang harga r

berapapun harga E positifnya. Ini berarti, bahwa sebagai partikel bebas sembarang harga E

nonnegatif diijinkan atau untuk partikel bebas, energinya kontinum nonnegatif atau tidak energi

level bagi partikel bebas.

Karena kita mendapat energi positif yang kontinum, maka eigen fungsi yang bersangkutan

disebut continuum eigenfunctions. Sebagaimana lazimnya fungsi partikel bebas, maka fungsi

eigen kontinuumpun tak ternormalisasi.

Sekarang kita akan membahas bound state atom Hidrogen yaitu jika E < 0. Jika E

negatif maka bilangan di bawah tanda akar dalam (6-37) adalah positif. Karena berapapun harga

r, fungsi harus bernilai terhingga, maka kita pilih tanda minus untuk persamaan (6-37) tersebut

sehingga:

R r e' a / 2E 2e E < 0 (6-40)

Persamaan (6-40) menunjukkan bahwa R disitu adalah fungsi asymtotik bagi R yang

sesungguhnya. Karena (6-40) adalah asymtotik terhadap R sesungguhnya maka R

sesungguhnya pasti mengandung (6-40). Kita boleh memisalkan R dalam bentuk apapun asal

mengandung (6-40). Misal R sesungguhnya adalah:

R = K r e' a / 2E 2e (6-41)

dengan K adalah fungsi r atau K(r). [ Hati-hati dengan e dan e' pada (6-30). Ingat bahwa e disitu

adalah bilangan basis logaritma natural, tidak ada hubungannya dengan muatan proton sedang e'

ada hubungannya dengan muatan proton ].

Jika 2e' a / E2 dengan C, maka (6-41) menjadi:

R = K r C e (6-42)

96

dengan

C = 2e' a / E2 (6-43)

Penggunaan R dalam (6-43) dijamin tidak hanya berlaku untuk r sangat besar, tetapi untuk

sembarang harga r asal E negatif.

Proses selanjutnya, R pada (6-42), turunan pertamanya ( R') dan turunan keduanya (R'')

dimasukkan pada (6-35), maka (6-35) akan menjadi:

` r2 K '' + ( 2r Cr2 ) K ' + [ ( 2 Z a1 2 Cr ) (+1) ] R = 0 (6-44)

Sekarang, kita dapat memasukkan deret pangkat berbentuk:

K =

0k

kk r .c (6-45)

ke dalam (6-44). Jika kita benar-benar melakukannya, maka akan kita lihat bahwa beberapa

koefisien pada suku-suku yang awal dari deret penyelesaian itu adalah nol. Jika kita misalkan

koefisien pertama yang tidak nol adalah koefisien suku ke s atau cs , maka (6-45) boleh ditulis:

K =

sk

kk r .c ck 0 (6-46)

Jika k s diganti j maka: k = s diganti j = 0 dan k diganti j + s, sehingga (6-46) menjadi:

K =

0j

sjsj r .c =

0j

jsj

s r .cr cj+s 0 (6-47)

Selanjutnya cj+s diganti bj sehingga:

K =

0j

jj

s r .br bi 0 (6-48)

(Meskipun kita telah melakukan berkali-kali substitusi, tetapi substituennya adalah substituen

sembarang, jadi tidak mengubah prosedur standar penyelesaian persamaan diferensial dengan

metode deret). Dalam (6-47) s adalah bilangan bulat, yang nilai ditentukan pada saat

menyelesaikan persamaan diferensial. Selanjutnya kita buat fungsi radial baru yaitu M yang

harganya adalah K / rs Jadi:

K = sr M bi 0 (6-49)

97

M =

0j

jr .bj bi 0 (6-50)

Kita cari K' dan K'' dari (6-49) dan bersama (6-49) kita masukkan ke dalam (6-44), kita peroleh:

r2M'' + [(2s + 2 ) r 2C r2 ] M' + [ s2 + s + ( 2 Z a1 2 C 2 C s ) r (+1)] M = 0

(6-51)

Untuk mendapatkan harga s kita tempuh langkah-langkah sebagai berikut:

Masukkan r = 0 ke dalam (6-50) sehingga :

[ s2 + s (+1)] = 0 (6-52)

dan diperoleh:

s = dan s = 1 (6-53)

Dari dua harga s ini, mana yang akan dipergunakan ? Untuk itu ikuti uraian berikut:

Dari (6-42) , (6-49) dan (6-50) kita peroleh:

R = r Ce rs

0j

jj r b atau: (6-54)

R = r Ce rs M (6-55)

Ingat bahwa r Ce = 1 Cr + (Cr)2/ 2 ! . . . . . maka untuk r yang kecil, r Ce = 1, sementara

itu

0j

jj r b = b0 + b1 r + b2 r2 . . . . sehingga untuk r yang kecil,

0j

jj r b = b0, akibatnya untuk

r yang kecil, (4-24) menjadi:

R = b0 rs (6-56)

Untuk s = maka R = b0 r sedang untuk s = 1 , maka R = 1

o

r

b

yang akan menjadi tak

terhingga untuk r = 0. Padahal yang begitu tidak boleh. Jadi s = 1 dibuang, dan s =

dipergunakan. Dengan s = , persamaan (6-51) akan menjadi:

r2M'' + [(2 + 2 ) r 2C r2 ] M' + [ 2 + + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) r (+1)] M = 0

r2M'' + [(2 + 2 ) r 2C r2 ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) r M = 0

r2M'' + [(2 + 2 ) 2C r ] r M' + ( 2 Z 1 2 C 2 C ) r M = 0

jadi:

98

rM'' + [(2 + 2 ) 2C r ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) M = 0 (6-57)

Sementara itu dengan s = Persamaan (6-55) menjadi:

R = r Ce r M (6-58)

dengan M adalah dinyatakan pada (6-50) yaitu:

M =

0j

jj r .b (6-59)

M' =

0j

1 jj r b . j =

1j

1 jj r b . j =

0k

k1k r b . 1)k( =

0j

j1j r b . 1)j(

M'' =

0j

2 jj r b . j )1j( =

1j

2 jj r b . j )1j( =

0k

1k1k r b . 1)k( )k( =

=

0j

1j1j r b . 1)j( )j(

Jika M, M' dan M'' disubstitusikan ke dalam (6-57), kita peroleh:

0j

jj1j1j r b j C 2 C2C2

a

Z2b1j 12b1jj = 0

Jadi:

jj1j1j b C 2 C2C2

a

Z2b1j 12b1jj = 0

dan diperoleh relasi recursi:

bj + 1 = j

1b

1j 121jj

Z2j C. 2 C2C2

(6-60)

Sekarang kita harus menguji sifat deret tak terhingga (6-50) untuk r yang besar. Karena untuk r

yang besar sifat deret ditentukan oleh suku-suku yang besar, maka kita akan menguji rasio

antara

bj + 1/ bj untuk j yang besar. Untuk j yang besar:

bj + 1/ bj = j

2C

j

j C 2

2 untuk j besar (6-60)

99

Marilah sekarang kita perhatikan seandainya kita mempunyai bentuk Cr2e . Jika bentuk Cr2e

ini kita nyatakan dalam bentuk deret pangkat, maka:

Cr2e = 1 + (2Cr) + ! 2

r)C2( 22 . . . . . +

! j

r)C2( jj +

! ) 1 j (

r)C2( 1j1j

. . . (6-61)

Rasio koefisien r dari sebuah suku dengan suku sebelumnya dari (6-61) tersebut adalah:

! ) 1j (

)C2( 1j

/

! j

)C2( j =

! ) 1j (

)C2( 1j

.

j)C2(

! j =

1j

C2

=

1j

C2

untuk j besar

yang ternyata sama dengan (6-60) untuk j besar. Hal ini mendorong kita untuk menyimpulkan

bahwa untuk j yang besar (6-50) sifatnya mirip Cr2e , sehingga kita boleh menuliskan:

M ~ Cr2e (6-62)

atau:

0j

jj r b ~ Cr2e (6-63)

dan selanjutnya maka (4-24) dapat ditulis:

R ~ r Ce rs

Cr2e atau

R ~ rs

Cre

Karena uraian kita ini tadi berangkat dari s = , maka:

R ~ r Cre (6-64)

Namun perlu diperhatikan bahwa (6-64) akan menjadi tak terhingga jika r tak terhingga dan ini

tidak boleh karena tidak quadratically integrable. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini

adalah (seperti yang sudah kita kenal pada osilator harmonis) menghentikan deret (6-50) pada

suku tertentu, misal suku ke k. Ini berarti relasi recursi ( 4- 27) harus menjadi nol jika j = k,

jadi:

j

1b

1k 1k21kk

Za2k C. 2 C2C2

= 0 atau:

2C + 2C + 2 C k 2 Z a-1 = 0 atau

2C (1 + + k ) 2 Z a-1 k = 0 , 1 , 2 , . . . . (6-65)

100

karena dan k adalah bilangan bulat maka ( 1 + + k ) pasti adalah bilangan bulat yang baru

yang untuk selanjutnya disebut bilangan kuantum utama = n, jadi:

n = ( 1 + + k) (6-66)

Dari (6-65) maka hubungan antara (bilangan kuantum momentum angular ) dengan n

(bilangan kuantum utama adalah:

= n 1 k atau:

< n 1 (6-67)

Catatan:

Dalam pembahasan mengenai hidrogen ini mucul bilangan kuantum utama n. Pada

pembahasan mengenai momentum angular, kita telah mengenal dua bilangan kuantum

yaitu dan m. Karena momentum angular berlaku untuk semua gerak melengkung, dan

gerak elektron dalam atom adalah gerak melengkung maka dam m juga berlaku pada

gerak elektron dalam atom. Jadi sampai sejauh ini kita mengenal 3 macam bilangan

kuantum adalah atom yaitu n, dan m.

Energi Level

Jika kita masukkan (6-66) ke dalam (6-65) maka diperoleh:

C n = Z a1 (6-68)

Jika harga a = 22 ' e / dan C = 2e' a / E2 dimasukkan kembali, maka diperoleh:

E = 22

22

n 2

'eZ

atau: (6-69)

E = 2

2

2

2

n

Z

2

'e

atau: (6-70)

jika harga e' = (4o)-1/2 e dimasukkan kembali maka:

E = o4

1

2

2

2

2

n

Z

2

e

(6-71)

Untuk atom hidrogen:

E = o4

1

22

2

n

1

2

e

(6-72)

101

dengan =elektromproton

elektromproton

m m

m .m

= 0,9994557 melektron =9,1044318 . 10kg;

e =muatan proton=1,602177x1019 C ; Z = nomor atom dan 0 = permitivitas dalam vakum =

8,8541878 x 1012 C / N.m2

6.5 Fungsi Gelombang Atom Hidrogen

Fungsi Radial R

Dengan memanfaatkan (4-35) maka relasi recursi (6-60) menjadi:

bj + 1 = a n

Z2

jb )22j( 1j

n1j

(6-73)

Pada pembahasan penurunan (6-66) dinyatakan bahwa polinomial M = 0j

jjrb akan dihentikan

pada saat j = k, sehingga polinomialnya (dikenal dengan Polinomial Laguerre) menjadi:

M =

k

0j

jjrb (6-66

+)

Karena menurut (6-66), n = ( 1 + + k) maka k = n 1, sehingga (6-66+) menjadi:

M =

1n

0j

jjrb

(6-74)

Fungsi radialnya dinyatakan oleh (4-24 c) yaitu: R = r Ce rM. jadi

R = r Ce r

1n

0j

jjrb

atau: (6-75)

jika harga C dimasukkan maka diperoleh :

R = r r

a n

Z

e

1n

0j

jjrb

atau: (6-76)

R adalah salah bagian saja dari fungsi gelombanh Hidrogen. Perlu diketahui bahwa elektron

dalam atom hidrogen bergerak spherik, artinya pasti terjadi momentum angular. Oleh karena itu

selain fungsi radial, fungsi gelombang hidrogen pasti juga terdiri atas fungsi eigen momentum

angular yang sudah diturunkan pada bab V. Secara keseluruhan fungsi gelombang atom mirip

hidrogen adalah::

102

= R . T . (6-77)

dengan T dan dapat dilihat pada bab V tentang momentum angular.

Jika kita perhatikan persamaan (5-30) bab V, tampak bahwa ditentukan oleh bilangan

kuantum m. Dari (5-64) bab V, tampak bahwa T ditentukan oleh dan m, dan jika kita amati

persamaan (5-4) bab ini, maka tampak bahwa R ditentukan oleh n dan maka dapat

disimpulkan bahwa ditentukan oleh tiga macam bilangan kuantum yaitu n , dan m, sehingga

(6-77) biasa ditulis:

(n , , m ) = R( n, ) . T( , m) . (m) (6-78)

Contoh

Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen dengan n = 3, = 1 dan m = 1.

Jawab:

Menentukan fungsi

Dengan menggunakan persamaan (5-30) bab V:

= 2/1

2

1

ei m

2/1

2

1

ei (6-79)

Menentukan T

Dengan menggunakan (5-64) bab V:

2/1

! m+ . 2

! m-1+2

mP

Kita hitung dulu m

P :dengan menggunakan (5-63) bab V:

m

P = ! . 2

1

(1 - cos 2 )

m /2m

m

)(cosd

d

(cos 2 - 1)

= ! 1 .2

11

(1 - cos 2 ) 2/1 2

2

)(cosd

d

(cos 2 - 1)1

= 2

1 (1 - cos 2 ) 2/1

2

2

)(cosd

d

(cos 2 - 1)1

103

Kita selesaikan dulu 2

2

)(cosd

d

(cos 2 - 1) dan supaya tampak sederhana cos kita ganti x

sehingga:

2

2

)(cosd

d

(cos 2 - 1)

= 2

2

dx

d(x 2 1)

= dx

d 2x = 2

Jadi:

m

P = 2

1 (1 - cos 2 ) 2/1 . 2 = sin

Setelah itu, T dapat ditentukan:

2/1

! m+ . 2

! m-1+2

mP

=

2/1

! 2 . 2

! 1 3

sin

2/1

4

3

sin (6-80)

Menentukan Fungsi Radial:

Dengan menggunakan (6-76) bab ini:

R = r r

a n

Z

e

1n

0j

jjrb

= r . r

a 3

1

e

1

0j

jjrb

= r . r

a 3

1

e

( bo + b1 r ) (6-81)

Koefisien b1 ditentukan dengan relasi recursi (6-73) bab ini:

bj + 1 = a n

Z2

jb )22j( 1j

n1j

jadi:

b1 = a 3

2ob

2) 2 (0 )10(

3110

=

a 6

1 ob

104

Harga b1 dimasukkan ke dalam (6-81):

R = r . r

a 3

1

e

( bo a 6

1 ob r ) = bo { r . (1

a 6

1 r )

r a 3

1

e

}

bo dicari dengan normalisasi:

0

* d RR = 1

0

2 d R =

0

22 dr r R = 2ob e r)

a 6

1(1r

0

2

a 3

1

r2 dr = 1

r e r) a 6

1(1r

0

2a 3

222

= 1/ 2ob

r e )r a 6

1 r

a 3

1(r

0

2a 3

24

2232

= 1/ 2ob

e )r a 6

1 r

a 3

1(r

0

a 3

26

2254

= 1/ 2ob

r der a 6

1 r der

a 3

1r der

0

a 3

26

220

a 3

25

0

a 3

24

= 1/ 2ob

4 !.5

2

a 3

a 3

1 ( 5 ! )

6

2

a 3

+

22 a 6

1 ( 6 ! )

7

2

a 3

= 1/ 2

ob

4. 3. 2. 35 . 25 a5 5. 4. 2. 36 26 a5 + 5 .4. 37 27 a5 = 1/ 2ob

36. 22 a5 5. 36 23 a5 + 5. 37 25 a5 = 1/ 2ob

4

36 a5

8

3 .5 6 a5 +

32

3 .5 7 a5 = 1/ 2

ob

16

3 .8 6 a5

32

3 .5 .4 6 a5 +

32

3 . 5 7 a5 = 1/ 2

ob

105

( 8 4 . 5 + 5 . 3) 32

36 a5 = 1/ 2

ob

3 32

36 a5 = 1/ 2

ob 2ob =

56 a.3 . 3

32 bo =

2/1

56 a.3 .3

32

=

2/1

56 a.3 .6

64

bo = 2/1

2 a.6

1

a 27

8

=

627

8 .

aa

1

2

Jadi:

R = bo { r . (1a 6

1 r )

r a 3

1

e

}

R = 627

8 .

aa

1

2 { r . (1

a 6

1 r )

r a 3

1

e

}

Akhirnya diperoleh yaitu:

(3, 1, 1) = R T = . . . . . . . . . . (masukkan)

Degenerasi

Apakah energi level atom hidrogen mengalami degenerate ? Untuk menjawab ini marilah kita

lihat persamaan (6-72). Dari persamaan tersebut tampak bahwa energi level atom hidrogen

hanya ditentukan oleh n, padahal fungsi gelombangnya ditentukan oleh 3 macam bilangan

kuantum, ini berarti dapat saja terjadi bahwa fungsi gelombang yang n sama mempunyai dan

m berbeda kecuali untuk n = 1. Sebab untuk n = 1, hanya ada satu kemungkinan harga dan m

yaitu = 0 dan m = 0, sehingga untuk n = 1 hanya adalah satu macam fungsi gelombang yaitu

(1, 0, 0 ) . Tetapi bagaimana untuk n = 2

Untuk lebih jelasnya kita buat tabel n, dan m serta fungsi gelombangnya.

Bil. Kuantum Utama n

Bil Kuant. Angular

Bil. Kuan. Magnetik m

Fungsi Gelombang

1 0 0 ( 1, 0, 0 )

106

2 0 0 ( 2, 0, 0 )

1 1 ( 2, 1, )

( 2, 1, 0 )

( 2, 1, 1 )

3 0 ( 3, 0, 0 )

1 ( 3, 1, )

( 3, 1, 0 )

( 3, 1, 1 )

2 ( 3, 2, )

( 3, 2, )

( 3, 2, 0 )

( 3, 2, 1 )

( 3, 2, 2 )

Dst

Dari tabel di atas tampak bahwa untuk n > 2, maka diperoleh n2 fungsi gelombang berbeda. Jadi

untuk n – 2 ada 4 fungsi gelombang yang berbeda yaitu ( 3, 1, ) , ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) dan ( 3, 2,

) . Karena n nya sama, maka ke empat fungsi gelombang tersebut mempunyai energi level

yang sama. Dengan demikian maka untuk n = 2 energi level atom hidrogen mengalami

degenerasi dengan derajat degenerate = 4.

Dengan penjelasan yang sama maka dapat kita ketahui bahwa ada 9 fungsi gelombang

yang energinya sama untuk n = 3 yaitu: ( 3, 0, 0 ) , ( 3, 1, )

, ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) , ( 3, 2, ) , ( 3,

2, ) ,

( 3, 2, 0 ) , ( 3, 2, 1 ) , dan ( 3, 2, 2 ).

6.6 Bilangan Kuantum Magnetik Spin

Sejauh ini, kita telah menurunkan 3 macam bilangan kuantum, yaitu bilangan kuantum

utama n, Bilangan kuantum momentum angular translasi dan bilangan kuantum orbital

momentum angular m. Bilangan kuantum utama menentukan energi dengan relasi:

107

E = o4

1

22

2

n

1

2

e

Bilangan kuantum utama juga berkorelasi dengan kulit lintas, yang hubungannya dapat dilihat

dari tabel berikut:

n 1 2 3 4 5 6 7

Kulit K L M N O P Q

Bilangan kuantum utama ini muncul ketika menentukan fungsi Radial

Bilangan kuantum momentum angular, menentukan momentum angular dengan relasi:

L = )1(

Bilangan kuantum ini juga menentukan bentuk lintasan. Bilangan muncul ketika kita

hendak menentukan fungsi . Dalam bahasa spektrum, bilangan berhubungan dengan nama-

nama orbital.

0 1 2 3 4 dst

Orbital s p d f g h

Bilangan kuantum yang ketiga adalah bilangan kuantum orbital momentum angular yang juga disebut bilangan kuantum magnetik translasi m. Bilangan ini merupakan penentu Lz yaitu proyeksi momentum angular L pada sumbu z. Hubungan antara Lz dan m adalah: Lz = m

Bilangan m ini juga dipandang sebagai penentu orientasi (arah) translasi elektron, karena jika

kita mengetahui m kita dapat mengetahui Lz. Jika kita mengetahui Lz, maka arah momentum

angular dapat diketahui, karena:

Lz = L cos

dengan adalah sudut arah L terhadap sumbu z. Jika arah L diketahui, maka dengan kaidah

tangan kanan, arah translasi elektron dapat diketahui.

Apakah dengan 3 macam bilangan kuantum sudah cukup ? Jika mengacu kepada

fenomena makroskopis, maka dapat diketahui bahwa kedudukan planet dalam tata surya

ditentukan oleh 4 macam tetapan, yaitu tetapan energi, tetapan momentum angular, tetapan

komponen momentum angular dan tetapan rotasi. Dua buah planet tidak pernah bertabrakan

karena tidak ada dua planet yang keempat tetapannya sama. Jika fenomena mikroskopik

108

dipandang sebagai miniatur dari fenomena makroskopik maka atom masih membutuhkan satu

tetapan lagi yang berasal dari gerak rotasi elektron. Kita tahu translasi elektron dalam atom

adalah lintasan sperik, oleh karena itu mempunyai momentum angular L. Karena gerak rotasi

juga bersifat spherik maka gerak rotasi juga harus mempunyai momentum angular yang disebut

momentum angular rotasi, notasinya S. Jika L ditentukan oleh dalam relasi L = )1(

Maka S ditentukan oleh s (bilangan kuantum angular spin) dalam relasi S = )1s(s . Kita

tahu bahwa L mempunyai komponen yang disebut Lz, maka S harus mempunyai komponen

yang disebut Sz. Jika Lz ditentukan m dalam relasi Lz = m maka penentu Sz adalah ms dalam

relasi:

Sz = ms

Kita tahu banyaknya harga m adalah 2+1 mulai dari , (+1) . . . . . .+ . Jika begitu

banyaknya harga ms harus 2s + 1 yaitu dari s sampai + s. Kita juga tahu bahwa m adalah

penentu arah translasi, maka ms pasti penentu arah rotasi. Karena hanya ada 2 macam arah

rotasi, maka tentu hanya ada dua macam harga ms. Padahal banyaknya harga ms = 2s + 1, jadi{

2s + 1 = 2 s = ½

Karena harga ms adalah s dan + s maka harga ms = + ½

Dan harga momentum angular rotasi S adalah:

S = )1s(s = 4/3 = 32

Selanjutnya ms = + ½ itulah yang dijadikan sebagai bilangan kuantum ke empat.

6.7 Pengaruh Momentum Angular Translasi Terhadap Energi (Efek Zeeman)

Telah kita ketahui bahwa energi hanya ditentukan oleh bilangan kuantum utama n. Hal

itu benar, manakala atom tidak berada di bawah pengaruh medan magnet eksternal. Tetapi jika

ada medan magnet eksternal maka momentum angular akan mengubah besarnya energi. Berapa

besar perubahan energi yang ditimbulkan oleh momentum angular jika atom berada dalam

medan magnet eksternal yang kuat medannya B, itulah yang akan kita bahas sekarang.

Jika elektron dalam atom bermassa m dan bermuatan e, membentuk lintasan spherik, maka

selain momentum angular L, juga terjadi momen magnet yang arahnya berlawanan dengan

109

arah L. Sedang arah L adalah arah ibu jari tangan kanan jika arah lintasan partikel (elektron)

ditunjukkan oleh keempat jari yang digenggamkan. Hubungan antara dan L adalah:

= m 2

e L (6-82)

tanda negatif tersebut menunjukkan bahwa arah L dab berlawanan. Menurut tinjauan

mekanika kuantum besarnya L = )1( , jadi :

= m 2

e)1( (6-83)

Jika sebuah atom dengan momen magnet berada dalam medan magnet eksternal yang kuat

medannya B, maka perubahan energi yang dialami atom itu adalah:

Em = . B = . B cos (6-84)

dengan adalah sudut antara dan B.

Substitusi (6-82) ke dalam (6-84) menghasilkan:

Em = m 2

eB . L cos (6-85)

L cos adalah Lz jadi:

Em = m 2

eB . Lz (6-86)

Kita juga tahu bahwa Lz = m jadi:

Em = m m 2

e B (6-87)

( m yang cetak miring adalah bilangan kuantum magnetik sedang m yang cetak tegak adalah

massa partikel/elektron).

Kuantitas m 2

e biasa ditulis , sehingga (6-87) juga boleh ditulis:

Em = m B (6-88)

= Bohr Magneton = 9,27402 . 1024 J/T

Dari Persamaan (6-88) itu tampak bahwa bilangan kuantum magnetik akan menentukan

perubahan energi orbital, manakala atom (hidrogen) berada di bawah pengaruh medan magnet

kecuali orbital-orbital yang m-nya nol.

110

Perubahan energi orbital itu dapat digambarkan sebagai berikut:

m B m B 3 mB 2 2 1 1 1 Em 0 0 0 0 1 1 1 Orbital s Orbital p Orbital d Orbital f

Gambar 6.1 : Splitting Energi orbital s, p , d dan f

Dari gambar (6-82) tersebut tampak bahwa selain orbital s, semua orbital mengalami

perubahan energi. Orbital p pecah menjadi 3 sub level magnetik, orbital d menjadi 5 dan orbital

f menjadi 7 sub level magnetik. Banyaknya sub level dalam sebuah orbital disebut komponen

Zeeman. Jadi komponen Zeeman orbital s, p, d dan f adalah 1, 3, 5 dan 7. Secara umum dapat

dinyatakan bahwa banyaknya komponen Zeeman adalah 2 +1.

===000===

Soal-soal Bab 6

1. Frekuensi absorpsi terkecil untuk molekul 12C16O adalah 115271 MHz. Hitunglah:

a) Jarak ikatan 12C16O

b) Prediksilah dua frekuensi serapan terkecil berikutnya

c) prediksilah frekuensi serapan terendah bagi 13C16O

2. Hitunglah panjang gelombang garis spektra yang muncul dari transisi n = 6 3 pada atom

hidrogen. Ulangi hal yang sama untuk He.

3. Hitunglah Tingkat energi dasar hidrogen dalam satuan eV.

4. Positron adalah partikel dengan massa sama dengan massa elektron tetapi bermuatan +e.

Tentukan berapa eV tingkat energi dasar atom positronium (atom ini terdiri atas 1 positron

dan 1 elektron.

5. Untuk atom mirip hidrogen dalam keadaan dasar, tentukan < r >

111

6. Tentukan < r > untuk 2p0 dari atom mirip hidrogen .

7. Tentukan < r2 > untuk 2p1 dari atom mirip hidrogen .

8. Tulislah fungsi radial 2s dan 2p untuk atom mirip hidrogen. Tulis pula fungsi gelombangnya.

9. Harga untuk orbital d = 2. Berapakah harga untuk orbital t ?

Catatan :Nama orbital adalah s, p, d, f. Setelah itu alphabetik, dengan j tidak dipergunakan.

10. Untuk atom hidrogen dalam keadaan ground state, tentukan probabilitas mendapatkan

elektron pada jarak lebih dari 2a ?

11. Tentukan, berapakah jari-jari ruang 1s atom hidrogen menggunakan batas probabilitas 90 %

?

12. (a) Tentukan < T > untuk atom hidrogen keadaan dasar. (b) Dengan < T > itu, tentukan

kecepatan elektron.

13. Tentukan populasi ratio gas atom hidrogen antara n = 2 dan n = 1 pada suhu:

(a) 25o C (b) 1000 K (c) 10 000 K

14. Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen 3,2,1

15. Fungsi gelombang atom hidrogen didefinisikan sebagai:

= A r2 er / 3a sin2 e2 i

a) tentukan A

b) Tentukan n

c) Tentukan

d) Tentukan L

e) Tentukan Lz

===000===

BAB VII

TEOREMA MEKANIKA KUANTUM

7.1 Pengantar

Persamaan Schrodinger untuk atom yang hanya mepunyai satu elektron dapat kita

selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan

juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron

dengan elektron lain. Untuk itu kita butuhkan metode lain untuk menyelesaikan persamaan

112

Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita

bicarakan pada Bab VIII dan Bab IX, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat

memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita

terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini

adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum.

Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan dipergunakan.

Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara dua buah fungsi

yaitu fm dan fn biasanya ditulis:

n* A ffm

d = n A ffm

= n A ffm

= nm A

(7-1)

Notasi (7-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di atas

juga sering ditulis:

n* A ffm

d = Am n (7-2)

Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis:

nm ff * d = nm f f = nm f f = m n (7-3)

Karena ** ff nm = nm ff * d, maka:

m n * = m n (7-4)

dan dalam kasus khusus yaitu fm = fn maka (7-4) dapat ditulis : m m * = m m .

Hal-hal lain yang perlu diingat adalah:

1) nm ff * d = 1 jika fm = fn dan fungsinya disebut ternormalisasi. (7-5)

nm ff * d = 0 jika fm fn dan fungsinya disebut ortogonal (7-6)

Catatan:

nm ff * d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta) yang harganya = 0 jika fm fn dan

berharga 1 jika fm = fn

2) Jika : A = a dengan a bilangan konstan, maka disebut fungsi eigen sedang a disebut

nilai eigen atau: jika adalah fungsi eigen terhadap operator A

, maka berlaku hubungan:

d

113

A = a dengan a adalah nilai eigen. (7-7)

7.2 Operator Hermit

Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat kembali pengertian operator linear

dan pengertian nilai rata-rata. Operator linear adalah operator yang mewakili besaran fisik,

misal operator energi, operator energi kinetik, operator momentum angular dan lain-lain.

Selanjutnya telah kita ketahui pula bahwa jika A

adalah operator linear yang mewakili besaran

fisik A, maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:

A = * A

d (7-8)

dengan adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai rata-rata selalu merupakan bilangan real,

maka:

A = A *

atau:

*A

d= *

A

d (7-9)

Persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi yang mewakili keadaan tertentu suatu

sistem atau persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi berkelakuan baik (well behaved

function). Operator linear yang memenuhi persamaan (7-9) itulah yang disebut operator Hermit.

Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai operator yang mengikuti persamaan:

gAf* d =

*) A( fg

d (7-10)

untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat secara khusus bahwa pada ruas kiri

persamaan (7-10), operator A

bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan, operator bekerja

pada fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu jika f = g maka bentuk (7-10) akan tereduksi menjadi

bentuk (7-9).

Teorema yang berhubungan dengan Operator Hermit

Ada beberapa teorema penting sehubungan dengan operator Hermit, yaitu:

Teorema 1: Nilai eigen untuk operator Hermit pasti merupakan bilangan real.

114

Teorema 2: Dua buah function 1 dan 2 berhubungan dengan operator Hermit A

dan baik 1

maupun 2 adalah fungsi eigen terhadap operator A

dengan nilai eigen yang

berbeda, maka 1 dan 2 adalah ortogonal. Jika kedua fungsi tersebut

mempunyai nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak ortogonal), maka

selalu ada cara agar dijadikan ortogonal.

Pembuktian Teorema I:

Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan teorema I yaitu bahwa operator

yang dipergunakan adalah operator Hermit jadi harus mengikuti (7-9) dan ada pernyataan eigen

value, ini berarti bahwa fungsi yang dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (7-7)

berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah , dan karena A

adalah operator hermit,

maka menurut (7-9):

*A

d = *

A

d

atau:

*A

d = ** A

d (7-11)

Menurut (7-7) :

A

= a dengan a adalah nilai eigen untuk

** A

= a* dengan a* adalah nilai eigen untuk

sehingga (7-11) dapat ditulis:

a * d = a* d

*

Menurut (7-5) nilai * d = d

* = 1, jadi:

a = a*

Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real.

Pembuktian Teorema II:

Karena 1 dan 2 adalah fungsi eigen terhadap operator misal operator A

, maka berlaku:

A1 = a1 1 dan A

2 = a2 2 (7-12)

115

Karena A

adalah operator Hermit terhadap 1 dan 2 maka menurut (7-10) berlaku:

2*1 A

d = *

12 A

d

atau:

2*1 A

d = *1

*2 A

d (7-13)

Substitusikan (7-12) ke dalam (7-13), menghasilkan:

a2 1 2* d = a1

* 2 1

* d

Menurut teorema I, harga a* = a, jadi:

a2 1 2* d = a1 2 1

* d (7-14)

Menurut (7-4), 1 2* d = 2 1

* d , jadi persamaan (7-14) boleh ditulis:

a2 1 2* d = a1 1 2

* d

atau:

a2 1 2* d a1 1 2

* d = 0

atau:

(a2 a1 ) 1 2* d = 0 (7-15)

Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (7-15) tersebut (a2a1) tidak mungkin nol, sehingga:

1 2* d = 0 (7-16)

Karena 1 2* d = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.

Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen mempunyai nilai eigen berbeda terhadap

operator tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang menjadi pertanyaan sekarang

adalah, mungkinkah dua buah fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama

? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi eigen

yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua fungsi eigen yang degenerate

atau yang nilai eigen-nya sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Dengan demikian,

116

maka kita hanya boleh mengatakan bahwa dua fungsi eigen yang berhubungan dengan operator

Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu tidak degenerate.

Apakah Degenerate itu ?

Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih fungsi eigen yang independen

mempunyai nilai eigen sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk lebih memahami

masalah degenerate ini, marilah kita ingat kembali fungsi gelombang partikel dalam kotak yang

telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel dalam kotak 3 dimensi dinyatakan sebagai:

= x y z dengan :

x = 2 2

1 2

Lx

n

Lxx

/

sin

x ; y = 2 21 2

Ly

n

Ly

y

/

sin

y dan y = 2 21 2

Ly

n

Ly

y

/

sin

y

jadi:

= 8 2

1 2

Lx Ly Lz

n

Lxx

. .sin

/

x sin

2n

Ly

y y sin

2n

Ly

y y (7-17)

Jika operator Hermit, misal operator Hamilton dikenakan pada fungsi gelombang tersebut maka

nilai eigennya adalah energi yang besarnya:

E = Ex + Ey + Ez

dengan :

Ex = h n

mL

x

x

2 2

28

; Ey = h n

mL

y

y

2 2

28

dan Ez = h n

mL

z

z

2 2

28

(7-18)

sehingga:

E = h

m

n

L

n

L

n

L

x

x

y

y

z

z

2 2

2

2

2

2

28 + +

Jika kotaknya kubus dengan rusuk L:

E = h

m

n

L

x y z2 2 2 2

28

+ n + n

(7-19)

117

Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (7-19) harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 =

h

m L

2

28

6

meskipun eigen function-nya 1-1-2 1-2-1 2-1-1. Keadaan seperti itulah contoh

kasus degenerate. Untuk kasus degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad

degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu 1-

1-2; 1-2-1 dan 2-1-1. Sudah barang masih tak terhingga banyak kasus degenerate untuk fungsi

gelombang partikel dalam kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1 dan 3-1-1 dan

masih banyak lagi.

Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu ialah, bahwa jika fungsi-fungsi eigen

yang degenerate itu dikombinasi linearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen yang baru.

Contoh:

Jika fungsi adalah kombinasi linear dari 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan dalam

bentuk:

= c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1 (7-20)

Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka pasti merupakan fungsi eigen yang

nilai eigennya sama dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya.

Yang harus diingat adalah bahwa jika adalah kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1

sehingga dapat ditulis:

= c1 1-1-2 + c2 1-3-1 (7-21)

maka bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan c2 1-3-1 pasti tidak sama.

Relasi (7-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen penyusunnya degenerate sedang (7-21)

bukan degenerasi.

Jika kepada kita ditanyakan berapa energi pada (7-20) maka jawabnya adalah E =

h

m L

2

28

6

.

Ortogonalisasi

118

Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang degenerate, jadi nilai eigennya sama

maka menurut teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Pertanyaannya adalah dapatkah

kita membuatnya menjadi ortogonal ? Jawabnya adalah, dapat.

Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus degenerasi (yang fungsi-fungsinya

tidak ortogonal), dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita mempunyai operator

Hermit A

dan dua buah fungsi eigen independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang mempunyai

nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:

A

f = s f ; A

G = s G

Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti tidak ortogonal. Agar diperoleh dua

fungsi baru yang ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut:

Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang merupakan kombinasi linear f dan G

sehingga membentuk misalnya:

g1 = f dan g2 = G + c f dengan c adalah konstanta.

Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2 ortogonal. Agar ortogonal harus dipenuhi

syarat:

2*1 gg d = 0 atau:

) c + ( * f Gf d= 0 atau :

Gf * d + ff * c d = 0 atau :

Gf * d + c ff * d = 0 atau :

Jadi agar g1 dan g2 ortogonal, maka harga c harus:

c =

*

*

ff

Gf

Sekarang kita telah mempunyai dua fungsi ortogonal yaitu g1 dan g2 yaitu:

g1 = f dan g2 = G + c f dengan c =

*

*

ff

Gf

Prosedur yang telah kita tempuh ini disebut Ortogonalisasi Schmidt.

d

d

d

d

119

7.3 Ekspansi Sembarang Fungsi Menjadi Kombinasi Linear Fungsi Eigen

Setelah kita membicarakan ortogonalitas fungsi eigen dari operator Hermit, sekarang

akan kita bicarakan sifat penting lain dari fungsi tersebut; sifat ini mengijinkan kita untuk

mengubah bentuk sembarang fungsi F(x) menjadi kombinasi linear fungsi - fungsi eigen. Jika

kombinasi linear fungsi eigen itu adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih singkat

kita tulis saja dengan bentuk an n1

~ , maka ekspansi fungsi yang dimaksud adalah:

F(x) = an n1

~ (7-22)

dengan :

an = n xall x

*( ) F dx (7-23)

Bagaimana mendapat (7-23) di atas ? Marilah kita ikuti langkah-langkah berikut:

Kedua ruas (7-22) kita kalikan dengan m* sehingga diperoleh:

m* F(x) = an n m *

~

1 (7-24)

Jika kedua ruas (7-24) diintegralkan maka diperoleh:

m* F(x) dx = an n m *

~

1

dx (7-25)

Telah kita ketahui bahwa :

m* dxn = m n (7-26)

sehingga (7-25) dapat ditulis:

m* F(x) dx = an . m n

1

~

(7-27)

Ruas kanan (7-27) adalah:

an . m n

1

~

= a1. m 1 + a2 m 2 + ....a m m m + a m +1 m (m+1) +...

120

= a1. + a2 + ....a m + a m +1 . +...

= am

Sehingga (7-27) dapat ditulis:

m* F(x) dx = am atau am = m

* F(x) dx (7-28)

Jika indek m pada (7-28) diganti n maka persamaan (7-23) yang dicari diperoleh yaitu:

an = n xall x

*( ) F dx

Contoh:

Diketahui: F(x) = x untuk 0 < x < a/2

F(x) = 1 x untuk a/2 < x < a

Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel dalam kotak satu dimensi yang panjang

kotaknya = a.

Jawab:

Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi dengan panjang kotak = a adalah:

n = 2

1 2

a

n

a

/

sin

x (7-29)

Jadi bentuk ekspansinya menurut (7-22):

F(x) = an n1

~ =

21 2

1a

an

/ ~

sin n

a x

(7-30)

Menurut (7-23) :

an = n xall x

*( ) F dx

= 2

1 2

a

n

ax F x

/

( )sin

dx

= 2

1 2

a

n

ax F x

/

( )sin

dx

= 2

1 2

0

2

ax .

a

/ /

sinn

ax dx

+

21

1 2

2a

a

a

/

/

( ) x . sinn

ax dx

121

= 2

2

3 2

2 2

a

n

n/

sin

(7-31)

Jadi:

a1 = 2

3 2

2

a/

; a2 = 0 ; a3 =

2

3

3 2

2 2

a/

; a4 = 0 ; a5 =

2

5

3 2

2 2

a/

; a6 = 0 dan

seterusnya.

Kita masukkan (7-31) ke dalam (7-30), maka:

F(x) = 2

1 2

1a

an

/ ~

sin n

a x

= 2

3

3

5

51 2 3 2

2

3 2

2 2

3 2

2 2ax x x

/ ' ' '

2a

sin a

2a

sin a

2a

sin a

. . . .

= 2 3 5

1 2 3 2

2ax x x

/ '2a

1

1 sin

a

1

3 sin

a

1

5 sin

a . . . .

2 2 2

= 4 3 5

2

ax x x

1

1 sin

a

1

3 sin

a

1

5 sin

a . . . .

2 2 2

Pengertian Complete Set

Pada contoh ekspansi fungsi diatas, fungsi F(x) dapat diekspansi ke dalam bentuk kombinasi

linear fungsi gelombang partikel dalam kotak n dan dalam hal ini himpunan fungsi disebut

himpunan lengkap atau Complete Set. Apakah semua n dapat digunakan untuk mengekspansi

fungsi F, jawabnya ternyata tidak, hanya himpunan fungsi yang merupakan himpunan lengkap

saja yang dapat digunakan untuk mengekspansi fungsi F. Selanjutnya mengenai himpunan

lengkap, dibuat definisi sebagai berikut:

Himpunan fungsi dapat disebut sebagai Himpunan Lengkap jika himpunan fungsi tersebut dapat digunakan untuk mengekspansi sembarang fungsi F menjadi kombinasi linear dengan mengikuti

persamaan F(x) = an n1

~ dengan an adalah tetapan sembarang.

Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan himpunan lengkap adalah himpunan fungsi

gelombang elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari. Meskipun kita tahu bahwa

122

fungsi gelombang elektron atom hidrogen yaitu (n, l, m ) adalah fungsi r,,, namun jika

seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,) maka fungsi tersebut tidak dapat

diekspansi menjadi kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa hidrogen hanya

berhubungan dengan energi diskrit saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu ketika

elektron dalam proses lepas dari sistem atom menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n atom

Hidrogen bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin kita mengekspansi

F(r,,) menjadi himpunan linear (n, l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru disebut himpunan

fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi gelombang yang berkorelasi dengan energi

kontinum yang biasanya ditulis (E, l, m). Jika fungsi gelombang hidrogen sudah dinyatakan

secara lengkap seperti itu maka fungsi F(r,,) dapat diekspan, yaitu menjadi kombinasi linear

fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum.

Teorema 3:

Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi eigen dari operator A

dan jika fungsi F

juga fungsi eigen dari operator A

dengan nilai eigen k (jadi A

F = k F) sedang F diekspansi

dalam bentuk F = i

iiga , maka gi yang ai nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga.

Jadi ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-fungsi eigen yang mempunyai nilai

eigen yang sama dengan nilai eigen F.

Selanjutnya sebagai rangkuman dari sub-bab 7.2 dan 7.3 dapat dinyatakan bahwa

Fungsi-fungsi eigen dari operator Hermite, membentuk himpunan lengkap ortonormal dan nilai

eigennya adalah real.

7.4 Eigen Fungsi Dari Operator Commute

Jika fungsi secara simultan adalah fungsi eigen dari dua buah operator A

dan

B

dengan nilai eigen aj dan bj, maka pengukuran properti A menghasilkan aj dan pengukuran B

menghasilkan bj. Jadi kedua properti A dan B mempunyai nilai definit jika merupakan fungsi

eigen baik terhadap A

maupun B

.

123

Pada bab V sub bab 5.1 kita telah menyatakan bahwa suatu fungsi adalah eigen terhadap

A

dan B

jika kedua operator tersebut commute atau:

A = ai dan B

= bi Jika : (7-32)

[ A

, B

] = 0 (7-33)

Sekarang pernyataan pada bab V tersebut akan kita buktikan. Yang harus kita buktikan adalah:

[ A

, B

] = 0

Kita tahu:

[ A

, B

] = A

B

B

A

(7-34)

Jika dioperasikan pada i :

[ A

, B

]i = A

Bi B

Ai

= A

( Bi ) B

( Ai )

= A

bi B

ai i

= bi A ai B

i

= bi ai ai bi i

[ A

, B

] = bi ai ai bi = 0 (terbukti) (7-35)

Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4 yang bunyinya

Teorema 4: Jika Operator linear A

dan B

mempunyai himpunan fungsi eigen yang sama

maka A

dan B

adalah commute.

Perlu diingat A

dan B

yang dimaksud oleh teorema 4 hanya A

dan B

yang masing-

masing merupakan operator linear. Jika A

dan B

bukan operator linear maka keduanya bisa

tidak commute meskipun seandainya keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai

contoh (,) yang kita bahas di bab V, adalah fungsi eigen dari operator xL

dan operator yL

tetapi kedua operator tersebut non commute.

Teorema 5 : Jika operator Hermite A

dan B

adalah commute, maka kita dapat memilih

himpunan lengkap fungsi eigen untuk kedua operator itu.

Pembuktiannya adalah sebagai berikut:

124

Anggap saja fungsi gi adalah fungsi eigen dari operator A

dengan nilai eigen ai maka

kita dapat menulis:

A

gi = ai gi (7-36)

Jika operator B

dioperasikan pada kedua ruas (7-36) di atas, maka:

B

( A

gi ) = B

(ai gi ) (7-37)

Karena A

dan B

commute dan karena B

linear maka:

A

( B

gi) = ai ( B

gi) (7-38)

Persamaan (7-38) di atas menyatakan bahwa fungsi B

gi adalah fungsi eigen terhadap operator

A

dengan nilai eigen ai, persis sama dengan fungsi gi yang juga fungsi eigen terhadap operator

A

dengan nilai eigen ai . Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa nilai eigen dari

operator A

tersebut non degenerate, hingga untuk sembarang harga nilai eigen ai yang

diberikan berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang linearly independent. Jika ini

benar, maka kedua fungsi eigen gi dan B

gi yang mempunyai nilai eigen sama yaitu a i harus

linearly dependent, yaitu, fungsi yang satu harus merupakan kelipatan sederhana dari yang lain,

B

gi = ki gi (7-39)

dengan ki adalah konstan. Persamaan (7-39) itu menyatakan bahwa fungsi gi merupakan

fungsi eigen dari operator B

sebagaimana yang hendak kita buktikan.

Jadi, jika A

dan B

commute dan fungsi gi adalah fungsi eigen terhadap A

maka gi

juga merupakan fungsi eigen dari B

(Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari Teorema 4)

Teorema 6: Jika gi dan gj adalah fungsi eigen dari operator Hermite A

dengan nilai eigen

berbeda (misal A

gi = a i gi dan A

gj = a jgj dengan ai aj), dan jika B

adalah

operator linear yang commute terhadap A

, maka:

< gj Bgi > = 0 atau

rsj Bg ig

d = 0 (7-40)

dengan s-r adalah seluruh ruang. Pembuktiannya adalah sebagai berikut:

125

Karena A

dan B

commute, maka fungsi eigen terhadap A

adalah juga fungsi eigen

terhadap B

, meski dengan nilai eigen berbeda. Jadi gi juga fungsi eigen terhadap B

, yang jika

nilai eigennya dimisalkan ki maka:

B

gi = ki gi (7-41)

dengan demikian (7-40) boleh ditulis:

rs

iij g k g d = rs

iji g gk = ik . 0 = 0 (terbukti)

7.5 Paritas

Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal dalam mekanika klasik, contohnya

adalah operator paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam osilator harmonis, kita

mengenal adanya fungsi genap dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini dikaitkan dengan

operator paritas.

Operator paritas,

dapat dilihat dari efeknya apabila ia bekerja pada sembarang fungsi.

Operator ini akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius, sehingga kita boleh

mendefinisikan:

f ( x, y, z ) = f (x, y, z)

Contohnya:

( x2 2 x. e2y + 3 z3 ) = { (x)2 2 (-x). e2y + 3 (z)3 }

= x2 + 2 x e2y 3z3

Jika seandainya gi adalah fungsi eigen dari operator paritas dengan nilai eigen ai maka

kita dapat menulis:

gi = a i gi (7-42)

Sifat paling penting dari operator ini adalah kuadratnya:

2

f ( x, y, z ) =

f ( x, y, z ) =

f (x, y, z) = f ( x, y, z )

Karena f nya fungsi sembarang maka 2

adalah operator satuan (unit Operator), jadi:

2

= 1

(7-43)

126

Sekarang, bagaimana jika kita gunakan 2

untuk (7-42) ? Hasilnya adalah:

2

gi =

gi =

ai gi = a i

gi = 2ia gi (7-44)

Karena

adalah unit operator, maka (7-44) menjadi:

gi = 2i

a gi (7-45)

atau:

ai = + 1 (7-46)

Karena ai adalah nilai eigen untuk 2

, maka nilai eigen untuk 2

adalah 1 dan 1. Perlu

dicatat bahwa hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya merupakan operator

satuan.

Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita lihat kembali persamaan (7-42)

gi = a i gi

Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di atas dapat ditulis:

gi = + 1 gi (7-47)

Jika gi adalah g(x, y, z), maka:

g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) atau (7-48)

g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) (7-49)

Jika nilai eigennya +1, maka:

g (x, y, z) = g(x, y, z ) (7-50)

jadi g fungsi genap. Jika nilai eigen = 1, maka:

g (x , y, z) = g( x , y, z ) (7-51)

jadi g adalah fungsi ganjil.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:

fungsi eigen dari operator paritas adalah semua

fungsi well behaved yang mungkin baik genap

maupun ganjil.

127

Bagaimana jika Operator Paritas Commute dengan operator Hamilton ?

Manakala operator paritas commute dengan operator Hamilton maka semua fungsi yang

eigen terhadap operator Hamilton pasti eigen juga dengan operator paritas. Kita ambil saja

himpunan fungsi i adalah fungsi eigen terhadap operator H

. Kemudian, jika operator paritas

dan Hamilton commute, kita boleh menulis:

[

, H

] = 0 (7-52)

dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen bagi operator paritas tidak peduli

fungsi tersebut ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal,

[ H

,

] = [ ( V xm2 2

22

),

] = [

xm2 2

22

,

] + [ V,

]

= m2

2[

x2

2

,

] + [ V,

] (7-53)

Harga [ x2

2

,

] adalah 0, ini dengan mudah dapat dibuktikan sebagai berikut:

[ x2

2

,

] F(x) = x2

2

F(x)

x2

2

F(x)

= x2

2

F(x)

x

x

F(x)

= x2

2

F(x)

x2

2

F(x) = 0

Dengan demikian (7-53) dapat ditulis:

[ H

,

] = [ V,

] (7-54)

Sekarang kita evaluasi ruas kanan (7-54):

[ V(x),

] F(x) = V(x)

F(x)

V(x)F(x)

= V(x) F(x) V(x)F(x) (7-55)

Nilai (7-55) ditentukan oleh fungsi energi potensial. Jika fungsi energi potensial adalah fungsi

genap, maka V(x) = V(x), maka (7-55) menjadi:

[ V(x),

] = 0 sehingga (7-54) menjadi:

128

[ H

,

] = 0 (7-56)

Ini berarti:

Teorema 7: Jika fungsi V adalah fungsi genap, maka H

dan

adalah commute, sehingga kita

dapat memilih sembarang fungsi gelombang stasioner baik genap maupun ganjil sebagai

fungsi eigen dari kedua operator tersebut.

Fungsi genap atau ganjil yang merupakan fungsi eigen bagi kedua operator Hamilton dan

paritas itu disebut fungsi definit paritas.

Jika semua energi levelnya adalah non degenerate ( umumnya memang benar untuk

sistem partikel tunggal) berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang berhubungan

dengan masing-masing energi level. Jadi untuk kasus non degenerate, maka fungsi gelombang

stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap adalah definit paritas. Sebagai contoh

fungsi gelombang osilator harmonis adalah definit paritas karena fungsi energi potensialnya ½

kx2 (fungsi energi potensial genap).

Jika energi level degenerate, itu berarti tidak cuma satu fungsi gelombang independen

yang memiliki energi nilai eigen tersebut. Dengan demikian kita mempunyai banyak sekali

pilihan fungsi gelombang sebagai akibat dari kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu.

7.6 Pengukuran Dan Keadaan Superposisi

Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menghitung probabilitas

dari berbagai kemungkinan hasil pengukuran. Sebagai contoh, jika kita mempunyai fungsi

(x,t) maka probabilitas hasil pengukuran posisi partikel pada saat t berada antara x dan x + dx

dinyatakan oleh (x,t)2 dx

Sekarang kita akan memperhatikan pengukuran properti secara umum, misal besaran A.

Untuk ini yang dipertanyakan adalah bagaimana menggunakan untuk menghitung

probabilitas masing-masing hasil pengukuran A yang mungkin. Kita akan mengupas informasi

apa saja yang dikandung oleh yang merupakan jantungnya mekanika kuantum. Subyek

pembahasan kita adalah sistem n partikel dan menggunakan q sebagai simbol dari koordinat 3n.

Telah kita postulatkan bahwa hanya nilai eigen ai dari operator  lah yang merupakan

kemungkinan hasil pengukuran besaran A.

129

Dengan menggunakan gi sebagai fungsi eigen dari Â, maka kita boleh menulis:

 gi( q) = ai gi( q) (7-57)

Telah kita postulatkan pada sub bab 7.3 bahwa fungsi eigen dari sembarang operator Hermite

yang mewakili besaran fisik teramati, membentuk himpunan lengkap. Karena gi adalah

himpunan lengkap kita dapat mengekspansi fungsi dalam suatu deret yang suku-sukunya

adalah gi jadi:

(q,t) = i

qii gc )( (7-58a)

Agar dapat menggambarkan bahwa adalah fungsi waktu, maka koefisien ci harus merupakan

fungsi waktu sehingga (7-58a) lebih baik ditulis:

(q,t) = i

qiti gc )()( (7-58b)

Karena 2 adalah rapat peluang (probability density) maka:

∫* d = 1 (7-59)

Substitusi (7-58a) ke dalam (7-59) menghasilkan:

i i

itiiti gcgc )(**

)( d = i j

jtjiti gcgc )(**

)( d = 1 (7-60)

Karena pengintegralan hanya terhadap koordinat, maka:

j i

titj cc )(*

)( )q(i*jgg d = 1 (7-61)

Jika i = j, maka:

i i

)t(i*

)t(i cc = 1 atau:

2

iic = 1 (7-62)

Kita akan menguji signifikansi (7-62) secara singkat:

Ingat bahwa jika fungsi ternormalisasi, maka nilai rata besaran A adalah:

< A > = ∫ * Â d

Dengan menggunakan (7-58), maka:

< A > = j i

jtj gc **)( Â )q(i)t(i gc d =

j i)t(i

*)t(j cc ij gAg *

d

130

atau:

< A > = j i

)t(i*

)t(j cc ij gag i* d

j i)t(i

*)t(j cc ai ij gg * d

< A > = 2

iic ai (7-63)

Bagaimana menginterpretasi (7-63) ? Perlu diketahui, bahwa nilai eigen suatu operator adalah

kemungkinan dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita melakukan pengukuran terhadap

besaran yang diwakili oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran terhadap besaran

A, kita akan memperoleh salah satu harga a i. Kemudian marilah kita ingat kembali teori

mengenai rata-rata yang kita pelajari dalam matematika. Jika kita mempunyai n buah data X

dengan rincian X1 sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-rata X adalah :

< X > = n

.Xn...........Xn Xn ii 2211 = 1

1 Xn

n + 2

2 Xn

n..... i

i Xn

n

= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi Jadi:

< X > = i

ii X P (7-64)

Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka

rata-rata A adalah:

< A > = i

ii a P (7-65)

dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai a i pada pengukuran besaran A. Jika hanya ada

sebuah fungsi eigen independen untuk setiap nilai eigen (non degenerate) maka banyaknya

eigen fungsi sama dengan banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan membandingkan (7-65)

terhadap (7-63) maka dapat dipastikan bahwa

ci2 = Pi (7-66)

yaitu probabilitas memperoleh harga a i ketika dilakukan pengukuran terhadap besaran A.

Teorema 8: Jika a i adalah nilai eigen non degenerate dari operator  dan gi adalah fungsi

eigen ternormalisasi ( Â gi = a i gi ) maka, manakala besaran A diukur dalam

sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada waktu diadakan pengukuran

131

adalah , probabilitas mendapatkan hasil a i adalah ci2, dengan ci adalah

koefisien gi pada ekspansi = i ci gi . Jika nilai eigen ai degenerate, probabilitas

mendapatkan ai pada saat A diukur adalah jumlah dari ci2 fungsi-fungsi eigen

yang nilai eigennya a i.

Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi secara tepat ?. Kita dapat

melakukan itu jika semua koefisien pada ekspansi = i c i gi adalah nol kecuali satu koefisien

saja yaitu misalnya ck. Untuk kasus ini maka (7-66) menjadi ck2 = Pk = 1. Artinya peluang

untuk mendapatkan nilai eigen seharga ak = 1, artinya, nilai eigennya pasti ak.

Kemudian, untuk selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret = i c i gi sebagai

ekspresi bentuk umum fungsi yang merupakan superposisi dari fungsi eigen gi dari operator

Â. Masing-masing fungsi eigen gi berhubungan dengan nilai eigen ai milik besaran A.

Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci sehingga pada akhirnya kita dapat

menghitung ci2 ? Caranya kita kalikan = i ci gi dengan g*j kemudian integralkan ke

seluruh ruang, sehingga diperoleh:

∫ g*j d = ∫g*

j i c i gi d = i c i∫g*j gi .d c ii ∫g*

j gid

Jika ortonormal:

∫g*j d = ci

atau:

c i = ∫ . g*j d g*

j (7-67)

Kuantitas g*j> disebut amplitudo probabilitas. Selanjutnya probabilitas mendapatkan nilai

eigen non degenerate ai pada pengukuran A adalah [lihat (7-66)]:

Pi = ci2 = ∫ . g*

j d g*

j (7-68)

Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana ditentukan oleh fungsi maka kita dapat

menggunakan (7-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil

pengukuran besaran A.

Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada

saat pengukuran adalah , maka probabilitas dari pengamatan nilai eigen aj dari

132

operator  adalah <gj, dengan gj adalah fungsi eigen ternormalisasi yang

mempunyai nilai eigen aj .

Integral <gj∫g*jd akan mempunyai nilai absolut substansial jika fungsi

ternormalisasi gj dan berada pada daerah yang saling berdekatan dan dengan demikian

harganya di daerah tertentu dalam ruangan hampir sama. Jika tidak demikian maka bisa terjadi

gj terlalu besar sedang terlalu kecil (atau sebaliknya) sehingga hasil kali gj.selalu terlalu

kecil. Akibatnya absolut kuadratnya juga terlalu kecil sehingga probabilitas untuk mendapatkan

nilai eigen a i juga sangat kecil.

Contoh: Dilakukan pengukuran terhadap Lz elektron atom hidrogen yang fungsinya pada saat

diadakan pengukuran adalah fungsi 2px. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang

mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran.

Jawab: a) 2px adalah kombinasi linear dari 2p(+1) dan 2p(1). Jadi harga Lz yang mungkin

adalah dan karena Lz adalah m .

b) Untuk menentukan probabilitas masing-masing, kita ekspansi 2px atas fungsi-fungsi

penyusunnya:

2px = 21/2 2p(+1) + 21/2 2p(1). Persamaan diatas adalah bentuk ekspansi 2px atas

2p(+1) dan 2p(1) dengan koefisien c1 = c2 = 21/2. Menurut teorema 8, probabilitasnya

adalah:

P1 = 21/22 = ½ = P2

P1 adalah probabilitas mendapatkan Lz = sedang P2 adalah probabilitas mendapatkan

Lz =

Contoh: Akan dilakukan pengukuran terhadap energi (E) bagi partikel dalam box yang

panjangnya a dan pada saat pengukuran dilakukan partikel berada pada keadaan non

stasioner = 301/2a5/2x (ax) untuk 0 < x < a. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang

mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran

Jawab: Untuk partikel dalam box:

133

E = n2h2 /(8ma2)dengan n = 1, 2, 3,..... dan non degenerate (karena 1 dimensi) sedang

fungsi eigennya adalah n = (2/a)1/2 sin (n/a) x. Untuk menghitung probabilitasnya maka kita

ekspansi saat itu atas n, jadi:

= n cn n

Menurut (7-67)

c i = ∫ . g*j d

jadi:

cn = ∫ . n d= 301/2a5/2 (2/a)1/2 ∫ x (ax)}sin (n/a) x dx

= 33

2/1

n

240

[ 1 (1)n ] (Buktikan) (7-69)

Pn = cn2 = 66n

240

[ 1 (1)n ]2.

Catatan: Jika anda akan membuktikan (7-69) yang perlu dicatat adalah bahwa cos n = (1)n

7.7 Postulat-Postulat Mekanika Kuantum

Sepanjang perjalanan kita dalam mempelajari mekanika kuantum, kita telah mengenal

postulat-postulat mekanika kuantum. Sekarang ini, kita akan merangkumnya:

Postulat I. Keadaan (state) sistem dideskripsi oleh fungsi yang merupakan fungsi

koordinat dan waktu. Fungsi ini disebut fungsi keadaan atau fungsi

gelombang yang memuat semua informasi mengenai sistem. Selanjutnya juga

dipostulatkan bahwa harus bernilai tunggal, continous, ternormalisasi dan

quadratically integrable.

Postulat II. Setiap besaran fisik teramati, berhubungan dengan operator Hermite linear.

Untuk menurunkan operator ini, tulislah ekspresinya secara mekanika klasik

dalam koordinat Cartessius, dan hubungkanlah dengan komponen momentum

linearnya, kemudian gantilah setiap koordinat x dengan x dan setiap

komponen px dengan x

i

134

Postulat III. Nilai yang mungkin, yang dapat diperoleh dari besaran fisik A hanyalah

nilai eigen ai dalam persamaan  gi = ai gi dengan  adalah operator yang

berhubungan besaran fisik A dan gi adalah fungsi eigen yang well behaved.

Postulat IV. Jika  adalah operator Hermite linear yang mewakili besaran fisik teramati

tertentu, maka fungsi gi dari operator  membentuk himpunan lengkap.

Catatan:

Postulat IV di atas lebih bersifat sebagai postulat matematik artinya kurang bersifat

postulat fisik, karena tidak ada pembuktian matematik sama sekali terhadap postulat ini. Karena

tidak ada pembuktian matematik terhadap kelengkapan himpunan, maka kita harus berasumsi

terhadap kelengkapannya. Postulat IV mengijinkan kita untuk mengekspansi fungsi gelombang

untuk sembarang keadaan sebagai superposisi dari fungsi-fungsi eigen ortonormal dari

sembarang operator mekanika kuantum. Ekspansinya adalah dalam bentuk:

= i c i gi (7-70)

Postulat V. Jika (q,t) adalah fungsi ternormalisasi yang mewakili suatu sistem pada

saat t, maka nilai rata-rata besaran fisik A pada saat t, adalah:

< A > = ∫* d (7-71)

Postulat VI. Keadaan bergantung waktu dalam sistem mekanika kuantum dinyatakan

dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu:

ti

= H (7-72)

dengan H

adalah operator Hamilton (Energi) sistem itu

7.8 Pengukuran dan Interpretasi Mekanika Kuantum

Dalam mekanika kuantum perubahan suatu sistem terjadi melalui dua macam cara.

Yang pertama perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu (reversibel).

135

Perubahan jenis ini ditunjukkan oleh persamaan Schrodinger bergantung waktu (7-72). Cara

kedua adalah perubahan yang terjadi secara spontan (irreversibel), diskontinyu (tidak terus

menerus) dan probabilitas kejadiannya sangat fluktuatif dan ditentukan oleh sistem itu sendiri.

Jenis perubahan spontan ini tidak dapat diprediksi secara pasti karena hasil pengukurannya juga

tidak dapat diprediksi secara pasti; hanya probabilitas kejadiannya saja yang dapat diprediksi.

Perubahan spontan dalam disebabkan oleh pengukuran yang disebut reduksi fungsi

gelombang. Pengukuran terhadap besaran A yang menghasilkan ak berakibat mengubah fungsi

menjadi gk yaitu fungsi eigen operator  yang nilai eigennya ak. Untuk lebih jelasnya adalah

sebagai berikut: Misal kita melakukan dua kali pengukuran terhadap Lz elektron dalam atom

hidrogen. Pada pengukuran pertama dihasilkan Lz = 2 . Pada saat ini fungsi gelombangnya

tentu fungsi gelombang dengan m = 2, sehingga secara umum fungsi gelombangnya adalah ( n,

, 2) dengan > 2 dan n > +1. Selanjutnya misal pada pengukuran kedua diperoleh Lz = .

Pada pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal dari fungsi gelombang hidrogen

yang m = 1, sehingga fungsi gelombangnya adalah (n, ,1) dengan > 1 dan n > +1. Jadi

tampak adanya perubahan fungsi gelombang secara mendadak akibat adalah pengulangan

pengukuran. Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang.

Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian mengenai pengukuran adalah bahwa

dalam mekanika kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat kontroversial.

Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi dalam kaitannya dengan reduksi pada saat terjadi

pengukuran sungguh sesuatu yang sangat-sangat tidak jelas. Ada fisikawan yang berpendapat

reduksi merupakan postulat tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain

menyatakan bahwa reduksi merupakan teorema yang diturunkan dari postulat lain. Para ahli

saling berbeda pendapat mengenai reduksi ini (L.E Balentine, 2004). Balentine mendukung

interpretasi ansemble statistika pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh Einstein, yang

menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak mendeskripsi keadaan sistem tunggal (sebagaimana

dalam interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi statistikal terhadap sekelompok sistem

(dalam jumlah besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini maka silang pendapat mengenai

reduksi fungsi gelombang tidak terjadi.

136

"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk mendapatkan teori mekanika kuantum

yang berhubungan dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang belum ada

penyelesaiannya. Adanya perbedaan pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran kuantum...

dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya ketaksepahaman dalam meng-interpretasi

mekanika kuantum secara global " (M. Jammer, 2003)

Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah membuat para fisikawan bingung,

termasuk di antaranya Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai mereka

menyatakan bahwa mekanika kuantum belum memberikan deskripsi yang memuaskan bagi

realitas fisik. Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum, secara sederhana dapat

dipandang sebagai refleksi dari hukum deterministik yang beroperasi pada level sub mekanika

kuantum dan yang melibatkan variabel tersembunyi (hidden variables). Sebuah analogi bagi

kasus ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak Brown partikel debu di udara.

Partikel-partikel bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga posisi dan geraknya

tidak dapat ditentukan secara pasti oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis pula, gerak

elektron dapat ditentukan oleh variabel tersembunyi yang ada dalam level sub mekanika

kuantum. Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi Copenhagen) yang dikembangkan

oleh Heissenberg dan Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan menyatakan bahwa

hukum mekanika kuantum memberikan deskripsi lengkap bagi realitas fisik.

Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam eksperimen tertentu yang

melibatkan dua partikel yang terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah yang sama

dalam ruangan, orang harus membuat beberapa kemungkinan teori variabel tersembunyi untuk

memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh mekanika kuantum. Dalam teori

lokal, dua partikel yang sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa eksperimen

sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan hal ini memperkuat keyakinan mekanika

kuantum untuk melawan teori variabel tersembunyi lokal.

Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan kawan-kawan menunjukkan bahwa

hasil eksperimen ini beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah tidak kompatibel

dengan pandangan dunia mengenai realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut obyektivitas)

adalah doktrin yang menyatakan bahwa realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat definitnya

137

adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang kita amati. Sedang lokalitas adalah ke-

instan-an aksi pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh terhadap yang lain

ketika sistem itu harus melintas dengan kecepatan yang tidak melebihi kecepatan cahaya.

Teori kuantum memprediksi dan eksperimen mengkorfirmasi bahwa manakala

pengukuran dilakukan pada dua partikel yang pada mulanya berinteraksi dan kemudian

dipisahkan oleh jarak yang tak terbatas maka hasil pengukuran terhadap partikel yang satu

dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga dipengaruhi oleh sifat kedua partikel

yang diukur. Hal ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum adalah magic (D.

Greenberger, 2004).

Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika kuantum tidak arguabel, trtapi

ternyata interpretasi konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang hangat dan menarik

bagi para ahli, bahkan sampai saat ini.

7.9 Matrik dan Mekanika Kuantum

Aljabar Matrik merupakan peralatan yang sangat penting dalam kalkulasi mekanika

kuantum modern. Matrik juga menjadi salah satu cara dalam memformulasikan beberapa teori

mekanika kuantum. Sub bab ini akan mereview ingatan kita tentang matrik dan hubungannya

dengan mekanika kuantum.

Matrik adalah penataan bilangan-bilangan dalam baris dan kolom. Bilangan-bilangan

yang menyusun matrik disebut elemen matrik. Seandainya matrik A terdiri atas m baris dan n

kolom, dan seandainya aij ( i = 1, 2, 3,...... m sedang j = 1, 2, 3,.....n) adalah pernyataan untuk

elemen baris i kolom j, maka:

A =

mv

n2

n1

2m

22

12

1m

21

11

a.....aa

.....

.....

.....

.....

a.....aa

a.....aa

A disebut matrik m x n. Jangan bingung antara matrik dengan determinan, Matrik tidak harus

bujur sangkar dan tidak sama dengan sebuah bilangan tunggal. Jika sebuah matrik hanya terdiri

atas sebuah baris saja, maka matrik itu disebut matrik baris atau matrik vektor. Sedang jika

sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah kolom saja, maka matrik itu disebut matrik kolom.

138

Dua buah matrik A dan B adalah sama jika jumlah baris dan kolomnya sama serta

elemen-elemen yang seletak nilainya sama.

Dua buah matrik dapat dijumlahkan jika kedua matrik itu berdimensi sama.

Penjumlahan dilakukan dengan menggabungkan elemen yang seletak. Jika matrik C = A + B

maka elemen cij = aij+bij dengan i = 1, 2, 3.... m dan j = 1, 2, 3,.... n atau:

Jika C = A + B maka cij = aij + bij (7-73)

Jika sebuah matrik dikalikan dengan sebuah bilangan k yang konstan maka dihasilkan matrik

baru yang elemen-elemen adalah k kali elemen matrik semula, jadi:

C = kA maka cij = kaij (7-74)

Jika Am x n sedang Bn x p, maka perkalian matrik C = A x B adalah matrik berdimensi m

x p

Sebagai contoh:

A =

12/1 4

3 0 1 B =

10 6 2

35 0

82 1

Jika C = A x B, maka dimensi matrik C adalah 2 x 3, yaitu:

C =

34

25

23

2

116

0

1

Perkalian antar matrik bersifat non commutatif, artinya AB dan BA tidak harus sama. bahkan

untuk contoh kita di atas BA tak terdefinisi.

Matrik yang jumlah baris dan kolomnya sama disebut matrik square atau matrik bujur

sangkar. Matrik bujur sangkar disebut matrik diagonal jika selain elemen diagonal utama, nilai

elemen lain adalah nol. Dan matrik diagonal yang elemen diagonal utamanya 1, disebut matrik

satuan. Contoh matrik satuan orde 3:

100

010

001

Hubungan matrik dengan Mekanika kuantum

139

Pada sub bab 7.1, kita telah menjumpai bentuk ∫fi* Â fj d yang juga boleh ditulis <

fi*Âfj>. Bentuk integral tersebut dalam bahasa matrik adalah elemen ij dari matrik A, oleh

karena itu ia juga boleh ditulis Aij. Jadi jika kita mempunyai matrik A berikut:

A =

.....

.....

.....

.....

.....

.....AA

. . . . .

. . . . .AA

22

12

21

11

maka elemen-elemen:

A11 = < f1*Â f 1> ; A12 = < f1

*Âf2>

A21 = < f2*Â f 1> ; A22 = < f2

*Â f 2> dan seterusnya

Matrik tersebut di atas disebut matrik representatif dari operator linear  dengan basis {f i}.

Karena pada umumnya { fi } terdiri atas fungsi-fungsi yang banyaknya tak terhingga maka

matrik order A adalah tak terhingga.

Jika C

= Â + G

maka integral sebagai elemen matrik C adalah:

Cij = < fi*C

f j> = < fi

*Â + G fj> = ∫ fi

* (Â+G

) fj d

∫ fi* Â fj d∫ fi

* G

fj dij + Gij (7-75)

Jadi:

Jika C

= Â + G

maka Cij = Aij + Gij (7-76)

Dengan menggunakan logika dari (7-73) maka Cij = Aij + Gij pasti berasal dari penjumlahan

matrik C = A + B, sehingga:

Jika C

= Â + G

maka C = A + G (7-77)

dengan C, A dan G adalah matrik representatif dari operator linear C

, Â dan G

.

Hal yang sama, yaitu :

jika C

= k maka Cij = k Aij (7-78)

Selanjutnya jika: Â = C

G

maka:

Aij = ∫ fi* Â fj d∫ fi

* C

G

fj d (7-79)

Fungsi G

fj dapat diekspansi ke dalam suku-suku himpunan fungsi ortonormal {fk} menurut

persamaan :

140

G

fj = k ck fk dengan ck = ∫ fk G

fj d jadi:

G

fj = k∫ fk G

fj d. fk = k fkG fj> fk = k Gkj fk (7-80)

dan Aij menjadi:

` Aij =∫ fi* C

G

fj d∫ fi* Ck Gkj fk dk ∫ fi

* C

fk d Gkj

= k Cij Gij (7-81)

Jadi:

Jika  = C

G maka Aij = k Cij Gij (7-82)

Persamaan Aij = k Cij Gij adalah aturan perkalian matrik A = C. G, jadi:

Jika  = C

G maka A = C. G (7-83)

Selanjutnya kombinasi (7-79) dengan (7-82) menghasilkan aturan penjumlahan yang sangat

bermanfaat, yaitu:

k Cij Gij = ∫ fi* C

G

fj datau:

k < fi*C

fj> < fi

*G fj> = < fi

*C

G fj> (7-84)

Selanjutnya berangkat dari Aij = < fi*Â fj> kita dapat memperoleh:

Aij = < fi*Â fj> = Aij = ∫ fi

* Â fj d

Jika nilai eigen dari fj terhadap  adalah aj maka:

Aij = ∫ fi* aj fj d aj ∫ fi

* fj d aj < fi* fj> (7-85)

Satu hal yang sangat mendasar dari hubungan antara matrik dengan operator mekanika

kuantum adalah jika kita memahami matrik representatif A berarti kita juga mengenal

operator Â

7. 10 Fungsi Eigen Untuk Operator Posisi

Kita telah menurunkan fungsi eigen untuk operator momentum linear dan momentum

angular. Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana fungsi eigen untuk operator posisi ?

Operator posisi ditulis x

yang operasinya adalah x kali atau

x

= x.

141

Jika fungsi eigen posisi kita misalkan g(x) dan nilai eigennya a, maka:

x

g(x) = a g(x) atau:

x g(x) = a g(x) atau (7-86)

(x a) g(x) = 0 (7-87)

Dari (7-87) dapat disimpulkan bahwa :

untuk x = a g(x) 0 (7-88)

untuk x a g(x) = 0 (7-89)

Kesimpulan di atas membawa kita kepada pemikiran mengenai sifat g(x), yaitu bahwa

seandainya fungsi state = g(x), dan jika dilakukan pengukuran terhadap x, maka kemungkinan

hasilnya adalah a, dan itu hanya benar jika probabilitas nya 2 adalah nol untuk x a agar

memenuhi (7-89).

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai fungsi g(x), akan diperkenalkan fungsi

Heaviside step H(x) yang definisinya (gambar 7-1)

Gambar 7.1: Fungsi Heaviside step

Dari gambar itu tampak bahwa:

H(x) = 1 untuk x > 0

H(x) = ½ untuk x = 0 (7-90)

H(x) = 0 untuk x < 0

Selanjutnya akan diperkenalkan fungsi Delta Dirac (x) yang merupakan turunan dari fungsi

Heaviside step.

(x) = d H(x) / dx (7-91)

Dari (7-90) dan (7-91) diperoleh:

1/2

1

H(x)

x

142

(x) = 0 untuk x 0 (7-92)

Karena pada x = 0 terjadi lompatan mendadak pada harga H(x), maka turunan tak terhingga,

jadi:

(x) = ~ untuk x = 0 (7-93)

Sekarang kita perhatikan (7-90). Jika x diganti x a, maka (7-90) akan menjadi lebih umum,

yaitu dalam bentuk:

H(x a) = 1 untuk (x – a) > 0

H(x a) = ½ untuk (x - a) = 0 (7-94)

H(x a) = 0 untuk (x – a )< 0

atau:

H(x a) = 1 untuk x > a

H(x a) = ½ untuk x = a (7-95)

H(x a) = 0 untuk x < a

Dengan demikian maka:

(xa) = 0 untuk x a ; (xa) = ~ untuk x = a (7-96)

Sekarang perhatikan integral berikut:

~

~f(x) (x-a) dx

Evaluasi terhadap integral tersebut menggunakan metode parsial ∫U dV = UV ∫V dU dengan

U = f(x) sedang dV = (x-a) dx sehingga dU = f '(x) dx dan mengacu (7-91), maka V = H(xa)

Jadi:

~

~f(x) (x-a) dx =

~

~a)-(x)( H

xf

~

~H(xa) f '(x) dx

~

~f(x) (x-a) dx = f (~)

~

~H(xa) f '(x) dx (7-97)

Karena H(x-a) hilang kalau x < a maka (7-97) menjadi:

~

~f(x) (x-a) dx = f (~)

~

a

H(xa) f '(x) dx (7-97)

143

Suku ~

a

H(xa) f '(x) dx pada (7-97) adalah ∫V dU jadi (7-97) menjadi:

~

~f(x) (x-a) dx = f(a) (7-98)

Jika kita bandingkan (7-98) dengan persamaan j Cj ij = Ci kita dapat melihat bahwa peran

fungsi delta Dirac dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam jumlah atau

sigma.

Jadi dapat dipastikan:

~

~(x-a) dx = 1 (7-99)

Sifat (7-96) dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (7-88) dan (7-89), dari fungsi eigen posisi

g(x). Dengan demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi eigen posisi adalah:

g(x) = (x-a) (7-100)

144

Soal-soal Bab 7

1. Apakah <fmÂfn> sama dengan <fmÂfn> ?

2. Apakah suatu operator Hermite dapat ditunjukkan oleh persamaan <mn> = <nm>* ?

3. Diketahui operator  dan G

adalah Hermitian dan c adalah bilangan konstan real.

a) buktikan bahwa c adalah Hermitian

b) Buktikan

bahwa Â+ G

adalah Hermitian

4. Dengan menggunakan fi = A sin nx dan fj = A' sin mx, buktikan bahwa operator d2/dx2 adalah

operator Hermitian.

5. Mana di antara operator-operator berikut yang dapat menjadi operator mekanika kuantum?

a) ( )1/2 b) d/dx c) d2/dx2 d) i(d/dx)

6. Tentukan nilai integral-integral dari sistem atom hidrogen berikut:

a) < 2 Âb) < 3Gc) < 3C

 adalah operator Lz, G

adalah operator momentum angular L2 dan C

adalah operator

Hamilton.

7. Jika F(x) = x (a – x ) untuk 0 < x < adalah fungsi gelombang partikel dalam box dan

n = (2/a)1/2sin(n/a) x adalah himpunan lengkap fungsi gelombang dalam box, tentukan:

a) ekspansi F(x) = n an n

b) E1, E2 dan E3

145

c) probabilitas mendapatkan E1, E2 dan E3

8. Jika

adalah operator paritas, tentukan N

jika n bilangan ganjil positif ? Bagaimana pula

jika n genap positif ? (Note: Terapkan

pada sembarang f(x, y, z)

9. Diketahui

adalah operator paritas dan i(x) adalah fungsi gelombang osilator harmonik

ternormalisasi. Didefinisikan bahwa elemen matrik ij adalah:

ij =

i*i ψψ

d

buktikan bahwa elemen matrik ij = 0 untuk i j dan ij = + 1

10. Jika  adalah operator linear dimana Ân = 1. Tentukan nilai eigen dari Â.

11. Buktikan bahwa operator paritas adalah linear. Buktikan pula bahwa operator paritas adalah

hermitian. (Pembuktian cukup dalam satu dimensi)

12. Karena operator

adalah Hermitian, maka dua fungsi eigen terhadap

yang mempunyai

nilai eigen berbeda pasti ortogonal. Buktikan !

13. Dengan menggunakan operator L2, sebuah fungsi gelombang mempunyai nilai eigen 6 .

Jika diadakan pengukuran terhadap Lz, tentukan harga-harga yang mungkin dan

probabilitasnya masing-masing.

14. Tentukan:

a)

~

~(x) dx b)

1

~(x) dx c)

1

1

(x) dx

15. ) Tentukan:

a)

~

~f(x)(x-5) dx Jika f(x) = x2 b)

~

0

f(x)(x-6) dx jika f(x) = ½ x2 + 5

16. Untuk matrik:

A =

3

1

0

2 B =

4

1

4

1

Tentukan:

146

a) AB b) BA c) A + B d) 3A e) A + 4B

===000===

bab viii

METODE VARIASI

8.1 Teorema Variasi

Problem sentral kimia kuantum sebenarnya adalah menentukan energi suatu sistem yang

pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara menyelesaikan persamaan Schrodinger. Untuk

sistem sederhana seperti partikel dalam box, gerak harmonis satu dimensi atau sistem atom

hidrogen penyelesaian persamaan Schrodinger telah pernah kita lakukan dan tidak

membutuhkan kalkulasi yang terlalu rumit. Namun untuk sistem yang terdiri atas banyak

partikel seperti pada atom berelektron banyak atau pada molekul penyelesaian persamaan

Schrodinger untuk sistem tersebut tidak sederhana atau bahkan merupakan sesuatu yang

mustahil. Untuk itu pada bab ini kita akan mempelajari salah satu metode aproksimasi

(pendekatan) yaitu metode variasi. Metode variasi ini didasari oleh teorema sebagai berikut:

Telah kita ketahui bahwa jika operator Hamilton H

adalah operator penentu energi

terendah E1 maka untuk sistem yang fungsi gelombangnya , berlaku:

1* EdH

dan untuk sembarang fungsi gelombang ternormalisasi yang berkelakuan baik dan kondisi

boundarynya sesuai dengan kondisi boundary maka berlakulah:

1* EdH

ternormalisasi (8-1)

dengan adalah fungsi gelombang partikel yang susungguhnya sedang adalah fungsi

gelombang aproksimasi atau fungsi variasi.

=====================================================

Pembuktian teorema (8-1):

Untuk membuktikan teorema tersebut, marilah kita perhatikan uraian berikut ini. Telah kita

ketahui bahwa suatu fungsi dapat diekspansi menjadi suatu kombinasi linear yang suku-

147

sukunya merupakan fungsi eigen. Untuk ini kita misalkan diekspansi ke dalam fungsi eigen

k sehingga:

= a k kk

(8-2)

dan karena adalah fungsi eigen maka padanya berlaku:

kkk EH

(8-3)

Substitusi (8-2) ke dalam ruas kiri (8-1) membuat ruas kiri ini menjadi:

dH * dHa j

kkk a

jj

**

Dengan menggunakan persamaan eigen (8-3), maka ruas kiri (8-1) menjadi::

dH * dEa jj

kkk a

jj

**

karena aj ; ak dan Ek adalah bukan fungsi, maka mereka dapat dikeluarkan dari tanda integral,

sehingga:

dH * da jk

k jk

*jj

* Ea = akjk

* a E j j kj

Perlu diingat bahwa kj berharga 1, jika k = j dan 0 jika k j sehingga ruas kiri (8-1) menjadi:

dH * ak

k

* a E k k ( kita juga boleh menyatakan: dH * a j

j

* a E j j

karena a a ak k k*

2 maka:

dH * a E k k

2

k (8-4)

Mengingat E1 adalah tingkat energi terendah, maka Ek pasta > E1 sehingga:

dH * a E k k

2

k > a E k 1

2

k atau:

dH * > E1 a k

2

k (8-5)

Karena adalah ternormalisasi maka * d 1 , dan jika ekspansi (8-2) dimasukkan ke

dalam kondisi normalisasi ini maka:

148

1 = *

d a dkjk

kj

* *

a j = akjk

* a j kj = ak2

k (8-6)

Jika ak2

k = 1, dimasukkan pada (8-5) maka diperoleh:

* ^

H d > E1 ternormalisasi (8-7)

Dengan demikian (8-1) terbukti.

========================================================

Teorema dengan pernyataan seperti pada persamaan (8-1) adalah jika ternormalisasi.

Bagaimana jika tidak ternormalisasi ?. Fungsi yang tak ternormalisasi akan menjadi

ternormalisasi, jika dikalikan dengan suatu bilangan yaitu A yang disebut faktor normalisasi,

sehingga (8-1) menjadi:

1*2 EdHA

(8-8)

Harga A dapat dihitung dari sifat fungsi ternormalisasi yaitu : 1 *2 dA jadi (8-2) dapat

ditulis:

1*

*

E

d

dH

(8-9)

Keberhasilan penggunaan metode variasi ini ditentukan oleh kemampuan memformulasi

berdasarkan data boundary condition.

Fungsi disebut fungsi variasi dan integral (8-1) atau integral (8-9) disebut integral

variasional. Untuk dapat memperoleh aproksimasi yang bagus terhadap energi ground state E1

kita harus mencoba beberapa fungsi variasi yang memberikan hasil terendah tetapi tidak lebih

rendah dari E1 yang sesungguhnya (yaitu E1 yang diperoleh melalui eksperimen). Salah satu

cara untuk mengetahui bahwa fungsi variasi yang kita pergunakan adalah salah, adalah jika

fungsi variasi itu menghasilkan integral variasional yang lebih rendah dari E1, manakala harga

E1 sesungguhnya dari sistem itu telah diketahui.

149

Marilah kita ambil 1 sebagai fungsi gelombang ground state yang sesungguhnya.

Dengan demikian:

111 E H

(8-10)

Jika secara kebetulan, kita dapat membuat fungsi variasi yang sama dengan 1, maka dengan

menggunakan (8-10) ke dalam (8-1) kita akan melihat bahwa integral variasional tepat sama

dengan E1. Jadi fungsi gelombang ground state menghasilkan integral variasional terendah

untuk suatu sistem.

Dalam praktek, orang sering memasukkan beberapa parameter ke dalam fungsi variasi

dalam rangka memperoleh integral variasional yang semakin mendekati energi ground state

yang sesungguhnya.

Contoh:

Turunkan fungsi variasi jika fungsi eksaknya merupakan fungsi partikel dalam kotak satu

dimensi yang panjangnya l, dengan kondisi batas berharga 0 jika x = 0 dan x = l .

Aproksimasilah E1.

Jawab:

Fungsi harus mempunyai sifat-sifat tersebut. Bentuk paling sederhana untuk yang

memenuhi sifat-sifat tersebut adalah:

= x ( l x ) untuk 0 < x < l (8-11)

Karena tidak ada pernyataan bahwa ternormalisasi, maka kita tidak menggunakan (8-1) tetapi

(8-9) dengan operator Hamilton H

= ( 22/ m) d2/dx2 (Ingat energi potensial partikel dalam

kotak satu dimensi adalah 0 untuk di dalam kotak).

Pembilang ruas kiri (8-9) adalah:

d *H

=

2

2mx x

d

dxx x( ) ( )l l

l

2

20

dx=

2

2m( ) ( )l l

l

x x xd

dxx2

2

2

2

0

dx

= m

l

6

32 (8-12)

Penyebut ruas kiri (8-9) :

150

* d = x x2 2

0

( )ll

dx = 30

5l.

Jika disubstitusikan pada (8-9) diperoleh:

ml

h22

2

4

5

> E1 (8-13

8.2 Fungsi Variasi Linear (Metode LCAO : Linear Combination Atomic Orbital)

Salah satu jenis fungsi variasi yang banyak aplikasinya dalam studi mengenai atom dan

molekul adalah fungsi variasi linear. Fungsi variasi linear adalah kombinasi linear dari fungsi-

fungsi f1 , f2 . . . . . fn yang saling independent :

= c1 f1 + c2 f2 + . . . . . . cn fn = a fj jj

n

1

(8-14)

dengan adalah fungsi variasi dan koefisien cj adalah parameter yang akan ditentukan. Fungsi

fj harus memenuhi kondisi boundary sistem. Kita akan membuat batasan sendiri yaitu bahwa

adalah fungsi real, sehingga cj dan fj semuanya juga harus real.

Sekarang kita akan gunakan teorema variasi persamaan (8-9). Harga:

d * =

n

kkk

n

jjj fcfc

11

* d =

d 1

*

1kjk

n

j

n

j ffck

c (8-15)

Supaya praktis integral overlap f f dj k* ditulis Sjk sehingga:

d * = c

k

c Sj

n

j

n

k jk

11

(8-16)

Perlu diingat bahwa untuk fungsi real berarti Sjk = dff kj .

Selanjutnya pembilang (8-9) menjadi:

dH * =

n

kkk

n

jjj fcHfc

11

d = c

k

cj

n

j

n

k

11 d kj fHf

Selanjutnya agar praktis d kj fHf

ditulis Hjk sehingga:

151

dH * = c

k

cj

n

j

n

k

11

Hjk (8-17)

Jika ruas kiri persamaan (8-9) kita sebut W (jadi W > 1) maka:

W =

*

*

d

dH

=

c c H

c c S

j k jkk

n

j

n

j k jkk

n

j

n

(8-18)

W c c Sj k jkk

n

j

n

= c c Hj k jkk

n

j

n

(8-19)

Selanjutnya W disebut integral variasional yang pada dasarnya adalah fungsi n buah variabel

bebas c1 , c2 , . . . . . . cn jadi:

W = W( c1 , c2 , . . . . cn )

Sekarang kita harus meminimalkan W agar W sedekat mungkin dengan E1. Kondisi yang

dibutuhkan untuk memperoleh W minimal terhadap variabel tertentu adalah turunan parsial

pertamanya terhadap variabel tertentu tersebut harus nol.

ic

W

= 0 c = 1, 2, 3 . . . . . . . . n (8-20)

Selanjutnya (8-19) didiferensialparsialkan terhadap ci untuk mendapatkan n buah persamaan:

c c Sj k jkk

n

j

n

.

W

ci

+ W .ic

c c Sj k jk

k

n

j

n

= ic

c c Hj k jk

k

n

j

n

i = 1, 2, 3 . . . . n (8-21)

Suku pertama ruas kiri (8-21) hilang karena ∂W/∂ci = 0, jadi:

W . ic

c c Sj k jk

k

n

j

n

= ic

c c Hj k jk

k

n

j

n

i = 1, 2, 3 . . . . n (8-22)

Karena ci adalah variabel-variabel bebas satu terhadap yang lain maka:

i

j

c

c

0 jika i j

= 1 jika i = j sehingga kalau begitu

i

j

c

c

= ij

Selanjutnya marilah kita evaluasi ic

c c Sj k jk

k

n

j

n

.

152

ic

c c Sj k jk

k

n

j

n

=

n

j

n

kjkkj

i

Sccc

=

n

j

n

k i

jjkk

c

cSc +

n

j

n

k i

kjkj

c

cSc

= c Sk jk ijk

n

j

n

+ c Sj jk ikk

n

j

n

(8-23)

Jika suku pertama ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k tidak

dikembangkan) maka ketika j = i harga ij = 1 sedang untuk harga i yang lain ij = 0 sehingga:

c Sk jk ijk

n

j

n

= c Sk ikk

n

(8-24)

Analog dengan itu jika suku kedua ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n

(k tidak dikembangkan) maka ketika j = i harga ik = 1 sedang untuk harga i yang lain ik = 0

sehingga:

c Sj jk ikk

n

j

n

= c Sj jij

n

(8-25)

Dengan memasukkan (8-24) dan (8-25) ke dalam (8-23) maka (8-23) menjadi:

ic

c c Sj k jk

k

n

j

n

= c Sk ikk

n

+ c Sj jij

n

(8-26)

Pada hakekatnya c Sk ikk

n

= c Sj jij

n

karena baik j maupun k mulai 1 sampai dengan n.

Dengan demikian maka (8-26) dapat ditulis:

ic

c c Sj k jk

k

n

j

n

= 2 c Sk ikk

n

(8-27)

Jika Sjk diganti Hjk maka:

ic

c c Hj k jk

k

n

j

n

= 2 c Hk ikk

n

(8-28)

Substitusi (8-27) dan (8-28) ke dalam (8-22) menghasilkan:

153

2W c Sk ikk

n

= 2 c Hk ikk

n

atau:

c Hk ikk

n

W c Sk ikk

n

= 0

atau:

( )H S Wik ik kk

n

c = 0 (8-29)

Persamaan (8-29) tersebut adalah himpunan yang terdiri atas n buah persamaan simultan, linear,

homogen dinyatakan dalam n buah variabel tak diketahui yaitu c1 , c2 . . . . . cn. Untuk n = 2,

persamaan (8-29) adalah:

(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 = 0

(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 = 0

Secara umum, untuk n fungsi, persamaan (8-29) menjadi:

(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 . . . . . .+ (H1n – S1nW)cn = 0

(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 . . . . . + (H2n – S2nW)cn = 0 (8-30)

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(Hn1 – Sn1W)c1 + (Hn2 – Sn2W)c2 . . . . . + (Hnn – SnnW)cn = 0

Penyelesaian (8-30) harus non trivial, artinya c1 sampai dengan cn ≠ 0, untuk itu determinan

koefisiennya harus nol, jadi det.(Hij SijW) = 0 atau:

.

WSH

....................

WSHWSH

...................

....................

...................

...................

WSH

....................

WSHWSH

WSH....................

WSHWSH

nnnn

n2n2

n1n1

1n1n

2121

1212

1n1n

2121

1111

= 0 (8-31)

Untuk n = 2, maka (8-31) menjadi:

0 WSH WSH

WSH WSH

22222121

12121111

(8-32)

154

Penyelesaian determinan (8-31) akan menghasilkan sebuah persamaan aljabar berderajat n

dalam W yang tidak diketahui. Persamaan itu mempunyai n akar yaitu W1 sampai Wn yang jika

ditata mulai yang nilainya terendah, urutannya adalah:

W1 < W2 < W3 <. . . . < Wn (8-33)

Jika kita menandai state sistem sesuai dengan urutan kenaikan energinya, maka kita peroleh:

E1 < E2 < . . . . . . < En < En+1 < . . . . . (8-34)

Kita tahu dari (8-9) bahwa:

E1 <

*

*

d

dH

Karena

*

^*

d

dH disebut W, pada W terdiri atas W1 , W2 . dst, maka kita dapat menuliskan:

E1 < W1 ; E2 < W2 ; . . . . . . . En < Wn (8-35)

dengan E1 adalah energi terendah sesungguhnya dari state (1), E2 adalah energi terendah

sesungguhnya dari state (2) dan seterusnya.

Dari uraian di atas maka kita tahu bahwa dengan metode variasi linear kita dapat

memperkirakan E1 sampai En dengan menggunakan W1 sampai dengan Wn. Apa bedanya

dengan teorema variasi pada pasal 8-1 ? Teorema variasi hanya dapat memperkirakan E1 saja.

Untuk mendapatkan aproksimasi energi yang akurat, maka kombinasi linear yang dibuat

tentu jangan hanya tiga atau empat suku saja, tetapi dapat ratusan, ribuan atau bahkan jutaan

suku kombinasi linear. Untuk itu, dukungan komputer sangat esensial untuk melakukan

kalkulasi numeriknya. Cara paling efisien untuk menyelesaikan (8-31) (yang biasa disebut

persamaan sekular) adalah dengan metode matrik.

Untuk memperoleh aproksimasi terhadap fungsi gelombang ground state-nya, kita

gunakan W1 untuk disubstitusikan pada (8-30), sehingga kita dapat memperoleh c1(1) ; c2

(1) ; c3(1)

; . . . . cn(1) . Superskrip (1) digunakan untuk menandai bahwa koefisien c1 sampai dengan cn

tersebut berhubungan dengan W1. Setelah harga c diperoleh maka kita masukkan ke dalam

fungsi aproksimasi:

155

1 = k

1

1 f

n

kkc (8-36)

Penggunaan W yang lebih tinggi (W2 , W3 dst) akan menghasilkan aproksimasi fungsi

gelombang tereksitasinya yaitu 2 3 dan seterusnya.

Contoh :

Gunakan fungsi x (a – x) untuk 0 < x < a, untuk menyusun fungsi variasi linear untuk partikel

dalam box satu dimensi. Tentukan pula energi dan fungsi gelombang state pertama sampai state

ke empat.

Jawab:

=

n

kkc

1

fk

Kita gunakan f1 = x ( a x) . Karena kita harus ingin mengaproksimasi sampai dengan n = 4

maka kita harus memilih f1 sampai dengan f4 yang harga memenuhi 0 < x < a . Tak terhingga

banyaknya f1 sampai dengan f4 yang dapat kita buat maka kita harus memilih yang peng-

integralnya sederhana. Untuk f2 kita pilih x2 (a – x)2 . Karena telah kita pilih fungsi genap untuk

f1 dan f2 maka kita harus memilih fungsi ganjil untuk f3 dan f4 agar pada pengintegralan banyak

yang hilang. kita ambil untuk f3 adalah x ( a – x ) ( ½ a – x ) dan f4 nya adalah x2( a – x )2( ½ a –

x ), jadi:

f1 = x ( a x) ;

f2 = x2 (a – x)2 ;

f3 = x ( a – x ) ( ½ a – x ) ;

f4 = x2( a – x )2( ½ a – x )

Karena f1 dan f2 genap sedang f3 dan f4 ganjil, maka:

S13 = S31 = 0 ; S14 = S41 = 0 ; S23 = S32 = 0 ; S24 = S42 = 0 (8-38)

H13 = H31 = 0 ; H14 = H41 = 0 ; H23 = H32 = 0 ; H24 = H42 = 0 (8-39)

Persamaan sekularnya adalah:

WSHWSHWSHWSH

WSHWSHWSHWSH

WSHWSHWSHWSH

WSHWSHWSHWSH

4444

3434

2424

1414

4343

3333

2323

1313

4242

3232

2222

1212

4141

3131

2121

1111

= 0

(8-37)

156

atau:

WSHWSH

00

WSHWSH

00

00

WSHWSH

00

WSHWSH

4444

3434

4343

33332222

1212

2121

1111

= 0 (8-40)

atau:

WSHWSH

WSHWSH

2222

1212

2121

1111

x WSHWSH

WSHWSH

4444

3434

4343

3333

= 0 (8-40a)

Jadi:

WSHWSH

WSHWSH

2222

1212

2121

1111

= 0 dan (8-41)

WSHWSH

WSHWSH

4444

3434

4343

3333

= 0 (8-42)

Untuk mengevaluasi W dari (8-41) dan (8-42) kita tentukan dulu masing-masing harga H dan S:

H11 = < f1 Hf1 > =

a

0

x(a – x)

m2

2

2

2

dx

d [x(a – x)] dx =

m6

a 22

S11 = < f1f1 > = a

0

[x(a – x)]2 dx = 30

a5

analog dengan itu kita peroleh:

H12 = H21 = a

0

x(a – x)

m2

2

2

2

dx

d [x2(a – x)2] dx = 2 a5/30m

H22 = 2 a7/105m ; H33 = 2 a5/40m ; H34 = H43 = 2 a7/280m

S12 = S21 = a7/140 ; S22 = a9/630 ; S33 = a7/840 ; S44 = a11/27720

S34 = S43 = a9/5040

Selanjutnya (8-41) menjadi:

W630

a

m105

a

W140

a

m30

a

W140

a

m30

a

W30

a

m6

a

972

752

752

532

= 0 (8-43)

Baris pertama dikalikan dengan 420m/a3 , baris kedua dikalikan dengan 1260m/a5 , maka (8-43)

menjadi:

157

Wa m2a12

Wa m3a14 Wa m 942

Wa m 1470 422

422

22

22

= 0 (8-44)

Jadi:

m2a4 W2 56 ma2 2 W + 252 4 = 0

sehingga (8-41) menghasilkan 2 harga W yaitu:

W = 0,1250018 2 /ma2 dan 1,293495 2 /ma2

Dengan cara yang sama, (8-42) juga menghasilkan 2 macam harga W yaitu:

W = 0,5002930 2 /ma2 dan W = 2,5393425 2 /ma2

Jika memperhatikan urutan harga W yang diperoleh, maka (8-41) menghasilkan W1 dan W3 jadi

(8-41) pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 1 dan 3, sementara itu juga dapat

kita lihat bahwa (8-41) berhubungan dengan f1 dan f2, jadi 1 dan 3 pasti merupakan

kombinasi linear dari f1 dan f2 dan kita boleh menyatakannya dengan:

1 = 11

c f1 + 12

c f 2 3 = 31

c f 1 + 32

c f 2 (8-45)

Sementara itu, harga W yang diperoleh dari (8-42) adalah urutan ke 2 dan ke empat jadi (8-42)

menghasilkan W2 dan W4 yang pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 2 dan 4.

Tampak pula bahwa (8-42) berhubungan dengan f3 dan f4, jadi 2 dan 4 pasti merupakan

kombinasi linear dari f3 dan f4 dan kita boleh menyatakannya dengan:

2 = 23c f 3 + 2

4c f 4 4 = 4

3c f3 + 44

c f 4 (8-46)

Catatan:

1) indek koefisien c menunjukkan fungsi f yang bersangkutan sedang superscripnya

menunjukkan energi W nya.

2) fungsi 1 adalah fungsi variasi yang berenergi W1 dan seterusnya.

Selanjutnya kita akan mengaproksimasi harga koefisien c dalam rangka menentukan fungsi

variasi. Persamaan sekular (8-41) yang berkorelasi dengan f1 dan f2 berasal dari kombinasi

persamaan:

0 cWSH0 cWSH

cWSHcWSH

22222

21212

12121

11111

(8-47)

Karena (8-47) berasal dari (8-41) maka harga W yang berhubungan adalah W1 dan W3 .

158

Untuk W = W1 maka: (8-47) menjadi:

0 H

0 H

H

H

1212222

1211212

1112121

1111111

cWS

cWS

cWS

cWS (8-48)

Untuk W = W3 maka: (8-47) menjadi:

0 H

0 H

H

H

3232222

3231212

3132121

3131111

cWS

cWS

cWS

cWS (8-49)

Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka 11c ,

12c dapat diperoleh

dari (8-48) dan dari (8-49) kita dapat memperoleh harga 31

c dan 32

c sehingga

1 = 11

c f1 + 12

c f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)

3 = 31

c f1 + 32

c f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)

Harga c untuk 2 dan 4 diperoleh dengan cara yang sama tetapi bertolak dari (8-42).

Persamaan sekular (8-42) yang berkorelasi dengan f3 dan f4 berasal dari kombinasi persamaan:

0 cWSH0 4cWSH

cWS24HcWSH

44444

3434

343

33333

(8-50)

Karena (8-50) berasal dari (8-42) maka harga W yang berhubungan adalah W2 dan W4 .

Untuk W = W2 maka: (8-50) menjadi:

0 cWSH

0 cWSH

cWS24H

cWSH

2424444

2423434

23243

2323333

(8-51)

Untuk W = W4 maka: (8-50) menjadi:

0 cWSH

0 cWSH

c4WS24H

cWSH

4444444

4443434

4343

4343333

(8-52)

Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka 23c , 2

4c dapat diperoleh

dari (8-51) dan dari (8-52) kita dapat memperoleh harga 43

c dan 43

c sehingga

2 = 23

c f3 + 24

c f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)

159

3 = 43

c f4 + 43

c f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)

8.3 Matrik, Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Matrik diperkenalkan oleh ahli hukum dan matematisi Arthur Cayley untuk mencari

jalan pintas dalam menangani kombinasi fungsi linear dan transformasi linear dari sebuah

himpunan variabel menjadi himpunan yang lain.

Anggap saja kita mempunyai n buah persamaan linear dengan n buah variabel, yaitu:

a11x1 + a12x2 . . . . . . . . . . a1nxn = b1

a21x1 + a22x2 . . . . . . . . . . a2nxn = b2

a31x1 + a32x2 . . . . . . . . . . a3nxn = b3 (8-53)

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

an1x1 + an2x2 . . . . . . . . . . annxn = bn

Dalam bahasa matrik himpunan (8-53) tersebut dapat ditulis:

n

3

2

1

n

3

2

1

nn

n3

n2

n1

2n

32

22

12

1n

31

21

11

b.......bbb

x.......xxx

a.......aaa

.......

.......

.......

.......

.......

a.......aaa

a.......aaa

(8-54)

A x= b (8-55)

dengan A adalah matrik koefisien sedang x dan b adalah matrik kolom. Kesamaan antara (8-53)

dan (8-54) dapat dengan mudah dibuktikan melalui perkalian matrik A dengan x. Matrik A

merupakan matrik bujur sangkar, sehingga determinannya dapat ditentukan, Jika det.A 0

maka A disebut nonsingular. Jika A1 adalah invers dari A, maka antara keduanya berlaku

hubungan:

AA1 = A1A = 1 (8-56)

Jika matrik A nonsingular, maka seandainya (8-55) dikalikan dengan A1 diperoleh A1 (Ax) =

A1b. Karena perkalian matrik bersifat asosiatif, maka A1 (Ax) = (A1A) x = x sehingga:

x = A1b (8-57)

Persamaan (8-57) merupakan solusi dari himpunan (8-53)

160

Metode variasi linear merupakan metode yang hampir selalu dipergunakan untuk memperoleh

aproksimasi fungsi gelombang molekul dan matrik menawarkan cara yang paling efisien untuk

mencari penyelesaian terhadap persamaan-persamaan dalam metode variasi.

Jika fungsi f1 , f2 . . . . fn dalam fungsi variasi linear =

n

1k

ck fk adalah ortonormal,

maka S1j = ij =

j i jika 1j i jika 0

sehingga persamaan (8-30) dapat ditulis:

H11c1 + H12c2 . . . . . . + H1ncn = Wc1

H21c1 + H22c2 . . . . . . + H2ncn = Wc2

H31c1 + H32c2 . . . . . . + H3ncn = Wc3 (8-58)

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Hn1c1 + Hn2c2 . . . . . . + Hnncn = Wcn

dan dalam bahasa matrik (3-6) dapat ditulis:

n

3

2

1

n

3

2

1

nn

n3

n2

n1

2n

32

22

12

1n

31

21

11

c.......ccc

W

c.......ccc

H.......HHH

.......

.......

.......

.......

.......

H.......HHH

H.......HHH

(8-59)

B c = Wc (8-60)

dengan H adalah matrik bujur sangkar yang elemen matriknya Hij = < fiĤfj > dan c adalah

vektor kolom dari koefisien c1 , c2 , . . .cn. Dalam (8-60) H adalah matrik yang diketahui, c dan

W belum diketahui dan akan dicari penyelesaiannya.

Jika kita mempunyai relasi:

A c = c (8-61)

dengan A adalah matrik bujur sangkar dan c adalah vektor kolom yang paling tidak ada satu

elemennya yang tidak nol, dan adalah skalar, maka c disebut vektor eigen dari matrik A dan L

disebut nilai eigen dari matrik A.

Komparasi antara (8-60) dan (8-61) menunjukkan bahwa sebenarnya penyelesaian

problema variasi linear dengan Sij = ij adalah problema penentuan nilai eigen dan vektor eigen

dari matrik H yang nilai eigennya adalah W dan vektor eigennya adalah c.

161

Catatan: Jika c adalah vektor eigen dari matrik A, maka jelas bahwa k c pasti juga vektor eigen dari A (sudah tentu jika k konstan). Jika k dipilih sedemikian rupa sehingga:

n

1i

2ic = 1 (8-62)

maka vektor kolom c disebut ternormalisasi. Dua buah vektor kolom b dab c yang masing-masing mempunyai n elemen disebut ortogonal jika :

n

1ii

*i cb = 0 (8-63)

Sekarang marilah kita perhatikan persamaan eigen (8-60) yang mempunyai n nilai eigen yaitu

W1, W2 . . . . Wn dan mempunyai n vektor eigen yaitu c1 , c2 . . . . . . cn sedemikian rupa

sehingga:

Hc( i ) = Wic( i ) i = 1, 2, 3, . . . . . . n (8-64)

dengan c( i ) adalah vektor kolom matrik H yang elemen-elemennya adalah i1

c , i2

c . . . . inc .

Selanjutnya marilah kita buat matrik C yang elemen-elemennya adalah vektor eigen matrik H,

dan kita buat matrik W yang merupakan matrik diagonal yang elemen diagonalnya nilai eigen

matrik H. Jadi:

C =

nn

n

n

nn c

c

c

c

c

c

c

c

c

. . . . .

........

. . . . .

........

.........

. . . . .

. . . . .

2

1

2

22

21

1

12

11

W =

n

21

W. . . . .

00

. . . . .

. . . . .

. . . . .

. . . . .

0. . . . .

W0

0. . . . .

0W

(8-65)

Ternyata Himpunan persamaan nilai eigen (8-64) dapat ditulis:

HC = CW (8-66)

Jika masing-masing ruas (8-66) kita kalikan C1 maka diperoleh:

C1HC = W (8-67)

Beberapa Istilah Matrik:

1. Matrik Simetrik

162

Matrik bujur sangkar B adalah Matrik Simetrik jika elemen bij = bji. Contoh:

B =

0

i355

3i-5

3i2

527

2. Matrik Hermitian

Matrik bujur sangkar D adalah matrik Hermitian jika elemen d ij = d*ij . Contoh:

D =

0i35

5

3i-53i2i

5i2

7

3. Matrik ortogonal

Matrik ortogonal adalah matrik yang transposenya = inversnya

4. Unitary Matrix

Matrik yang inversnya sama dengan konjugate transposenya atau U1 = U†

Orang dapat membuktikan bahwa dua vektor eigen dari matrik Hermitian H yang

berhubungan dengan nilai eigen yang berbeda adalah ortogonal (Levine, 1998) Untuk vektor

eigen dari H yang nilai eigennya sama, orang dapat membuat kombinasi linear di antara mereka

untuk mendapatkan vektor eigen yang ortogonal bagi H. Lebih lanjut, vektor eigen yang tak

ternormalisasi dapat dikalikan dengan suatu bilangan konstan agar menjadi vektor eigen

ternormalisasi. Dengan demikian, vektor eigen dari matrik Hermitian dapat dipilih dan

dijadikan ortonormal. Jika vektor eigen yang dipilih adalah ortonormal, maka vektor eigen

matrik C dalam (8-65) unitary matrix, sehingga C1 = C†, sehingga (8-67) menjadi:

C† HC = W jika Ĥ Hermitian (8-68)

Dengan C† adalah transpose dari konjugate-nya C.

Jika Ĥ real dan simetrik maka berlaku hubungan:

C HC = W jika Ĥ real dan simetrik (8-69)

Berikut ini adalah beberapa istilah dan notasi matrik:

Nama Matrik Notasi Cara mendapatkannya

Transpose A A Mengubah semua baris matrik a menjadi kolom

kompleks konjugasi dari A A* Mengganti semua elemen matrik

163

A dengan kompleks konjugasinya

Konjugasi transpose atau Konjugasi Hermit

A�

(A dagger)

(A*) ; Dicari konjugasi A, lalu di transpose.

Adjoint A atau adjugasi A ^

adj A atau A

Semua elemen A diganti dengan kofaktornya kemudian ditranspose

Inversi A A1 Bagilah semua elemen dari adj. A

dengan det.A

Contoh:

Tentukan nilai eigen dari matrik Hermitian:

0

2

i 2-

3

iA .

Jawab: Persamaan karakteristik jika nilai eigennya dimisalkan menurut (8-61) adalah :

det ( aij - ij ) = 0. Jadi:

i 2 i 2-3 = 0

2 4 = 0 1 = 4 dan 2 = 1

Untuk 1 = 4, himpunan persamaan simultan (8-58) H dan W berturut-turut diganti dengan A

dan adalah:

(3 1))1(

1c + 2 i)1(

2c = 0

2i)1(

1c 1)1(

2c = 0

atau:

)1(

1c + 2 i)1(

2c = 0

2i)1(

1c )1(

2c = 0

sehingga:

)1(

1c = 2 i)1(

2c

Normalisasinya menghasilkan:

164

1 = 2)1(

1 c + 2)1(

2 c = 42)1(

2 c + 2)1(

2 c = 52)1(

2 c

2)1(

2 c = 5

1 ;

)1(2c = 5/1 ; 51/

)1(2 c

)1(

1c = 2 i)1(

2c = 5/2

Dengan cara yang sama untuk 2 = 1, diperoleh:

)2(

1c = 5/i ; 52/ )2(

2 c

Matrik vektor eigen ternormalisasinnya adalah:

51/

5 /2i )1(c ;

52/

5 /i )2(c

Soal Bab 8

1. Gunakan fungsi variasi = ecr untuk atom hidrogen; pilihlah parameter c untuk

meminimalkan integral variasi dan hitunglah % error integral variasional terhadap energi

ground state hidrogen yang sesungguhnya .

2. Jika fungsi variasi ternormalisasi = x2/13/3 untuk 0 x diaplikasikan pada sister

partikel dalam box, kita akan mendapatkan bahwa integral variasionalnya sama dengan nol,

dan ini berarti lebih kecil dari pada energi ground state yang sesungguhnya. Bagaimana

dengan hal ini ?

3. Untuk partikel dalam box tiga dimensi yang sisi-sisinya a, b dan c, tulislah fungsi variasi

yang merupakan perluasan dari fungsi satu dimensi = x x yang digunakan pada sub

bab 8.1. Gunakan integral (8-12) dan persamaan yang menyertainya untuk mengevaluasi

integral variasional pada kasus tiga dimensi. Tentukan % error-nya.

4. (a) Diketahui sebuah sistem partikel tunggal satu dimensi dengan energi potensial:

V = b untuk ¼ x ¾ dan V = 0 untuk 0 x ¼ dan ¾ x .

dan di luar itu V = (b konstan). Gunakan fungsi variasi 1 = x/sin/2 2/1 untuk

x0 untuk meng-estimasi energi ground state untuk b = 22 / m dan bandingkan

165

hasilnya dengan energi ground state yang sesungguhnya yaitu E = 5,750345 22 / m .

Untuk menghemat waktu dalam mengevaluasi integral, perlu diingat bahwa <1 H

1> =

<1 T

1> + <1 V 1> , dan jelaskan mengapa <1 T

1> persis sama dengan energi

ground state partikel dalam box yaitu 22 8/ mh .

(b) Untuk sistem dan kasus yang sama gunakan fungsi variasi = x x .

5. Sebuah partikel berada dalam box sperik yang radiusnya b, energi potensialnya V = 0 dan

untuk 0 r b dan V = untuk r > b. Gunakan fungsi variasi = b r untuk 0 r b

dan = 0 untuk r > b untuk mengestimasi energi ground statenya dan bandingkan dengan

nilai yang sesungguhnya yaitu 22 8/ mbh .

6. Sebuah osilator satu dimensi mempunyai V = cx2 dengan c konstan. Rancanglah fungsi

variasi dengan sebuah parameter untuk sistem itu, dan tentukan nilai optimum untuk

parameter itu untuk meminimalkan integral variasional, dan estimasilah energi ground state.

7. Untuk partikel dalam box yang panjangnya , gunakan fungsi variasi = kk xx untuk

0 r . Kita akan membutuhkan integral berikut:

)2(

1)(t )1( 1ts1

0

ts

sdxxx ts

dimana fungsi gamma mengikuti relasi (z + 1) = z(z). Adanya fungsi gamma tersebut,

tidak perlu membuat anda risau, karena fungsi gamma tersebut akan hilang sendiri.

(a) Buktikan bahwa integral variasionalnya adalah 12/4/ 222 kkkm

(b) Tentukan nilai optimum dari k dan tentukan pula % error terhadap energi ground state

untuk nilai k ini.

8. Gunakan fungsi variasi = )/(1 22 xa pada osilator harmonik satu dimensi. Pilihlah harga

a untuk meminimalkan integral variasional dan tentukan % errornya. Beberapa bentuk

integral yang dibutuhkan adalah:

03222 4a

1

dx

ax

;

05322 16a

3

1 dx

ax

166

0222

2

4a

dx

ax

x ;

05422

2

4a

dx

ax

x

9. Pada tahun 1971, melalui sebuah karya ilmiah dipublikasikan bahwa aplikasi fungsi variasi

ternormalisasi N. o22 cr/a / oabre untuk atom hidrogen dengan meminimalkan parameter b

dan c menghasilkan energi 0,7 % di atas energi ground state yang sesungguhnya. Tanpa

melakukan kalkulasi apapun berikan penjelasan bahwa pernyataan itu pasti salah.

10. Untuk atom hidrogen ground state, gunakan fungsi variasi Gauss = 22 / oacre . Tentukan

nilai optimum c dan % error energinya.

11. Dengan metode Gauss, selesaikan kombinasi persamaan linear berikut:

X1 X2 + 4 X3 + 2 X4 = 16

X1 X3 + 4 X4 =

X1 + X2 + X3 X4 = 8

4 X1 + 6 X2 + 2 X3 + X4 = 3

12. Tentukan A* , A dan A� dari:

A

241

212

037

i

ii

13. a) Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari:

1

2

2

2 A

b) Apakah matrik A real dan simetrik ?

c) Apakah matrik A Hermitian ?

d) apakah matrik vektor eigen C ortogonal

e) buktikan bahwa C1AC adalah matrik diagonal yang elemennya nilai eigen.

14. Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari matrik

167

A

242

050

201

===000===

BAB IX

METODE PERTURBASI

9.1 Pengantar

Sekarang kita akan membahas metode aproksimasi penting kedua dalam mekanika

kuantum setelah metode variasi yaitu metode perturbasi atau metode gangguan atau metode

Simpangan. Jika seandainya kita mempunyai sistem dengan Hamiltonian bebas waktu Ĥ dan

kita tidak mungkin menyelesaikan secara eksak persamaan Schrodinger:

Ĥn = En n (9-1)

untuk mendapatkan fungsi dan nilai eigennya, dan jika Ĥ hanya berbeda sedikit dengan operator

Hamilton Ĥ0 dari suatu sistem yang persamaan Schrodinger-nya yaitu:

Ĥ0 n(0) = E n

(0) n(0) (9-3)

yang dapat diselesaikan dengan pasti, maka sistem dengan Ĥ disebut sistem terperturbasi

sedang sistem dengan Ĥ0 disebut sistem takterperturbasi.

Sebagai contoh sistem perturbasi adalah sistem osilator takharmonis yang Ĥ nya adalah::

Ĥ = m2

2

2

2

dx

d + ½ k x2 + c x3 + d x4 (9-3)

Hamiltonian (9-3) tersebut tidak berbeda jauh dengan Hamiltonian dari sistem osilator

harmonis:

Ĥ0 = m2

2

2

2

dx

d + ½ k x2 (9-4)

168

Jika tetapan c dan d pada (9-3) itu kecil, maka diperkirakan bahwa fungsi dan nilai eigen dari

osilator takharmonis tidak terlalu jauh dengan yang harmonis. Jika perbedaan antara Ĥ dan Ĥ0

kita sebut Ĥ' . Perbedaan Hamiltonian ini kita sebut perturbasi. Jadi Perturbasi kita definisikan

dengan:

Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 (9-5a)

jadi:

Ĥ = Ĥ0 + Ĥ' (9-5b)

(Awas tanda ' tidak berhubungan dengan differensial). Untuk contoh osilator takharmonis

dengan Hamiltonian (9-3), perturbasinya dikaitkan dengan osilator harmonis adalah:

Ĥ' = c x3 + d x4 (9-6)

Yang menjadi tugas kita adalah menyatakan fungsi dan nilai eigen dari sistem yang

terperturbasi (yang tidak diketahui) dinyatakan dalam fungsi dan nilai eigen sistem yang

takterperturbasi (yang dapat diketahui). Dalam menangani kasus ini, kita akan membayangkan

bahwa perturbasi berlangsung secara gradual, artinya perubahan dari takterperturbasi menjadi

terperturbasi berlangsung secara continous atau berangsur-angsur (tidak mendadak/spontan).

Secara matematika, hal seperti ini berarti memasukkan parameter kedalam Hamiltonian dalam

bentuk relasi sebagai berikut:

Ĥ = Ĥ0 + Ĥ' (9-7)

Jika = nol, maka kita mempunyai sistem takterperturbasi. Seiring dengan meningkatnya ,

maka perturbasi akan tumbuh semakin besar, dan jika = 1, maka dikatakan perturbasi aktif

secara penuh (fully turned on).

9.2 Teori Perturbasi Nondegenerate

Teori perturbasi untuk energi degenerate dan nondegenerate adalah berbeda. Sekarang

kita akan membahas yang nondegenerate lebih dulu. Jika n(0) adalah fungsi gelombang dari

sebuah partikel takterperturbasi nondegenerate dengan energi En(0), dan jika n adalah fungsi

169

gelombang terperturbasi menjadi n(0) , maka untuk sistem terperturbasi, persamaan

Schrodinger-nya adalah:

Ĥn = (Ĥ0 + Ĥ') n = En n (9-8)

Karena Hamiltonian (9-8) tersebut bergantung pada parameter , maka n dan En merupakan

fungsi . Jadi:

n = n(q) dan En = En()

dengan q adalah koordinat sistem. Sekarang n dan En akan kita ekspansi sebagai deret Taylor

dalam (artinya deret pangkat ).

n =

0k

k

0-k

nk

!k

d

d

= 0-n

+

0

n

d

d+

! 2d

d 2

02n

2

(9-9)

En =

0k

k

0-kn

k

!k

d

Ed

= 0-n E

+

0

n

d

E d+

! 2d

Ed 2

02n

2

(9-10)

Selanjutnya agar penulisannya ringkas, !k

k

0-

k

nk

d

dditulis n

(k) dan

!k

k

0-

kn

k

d

Edditulis En

(k) jadi:

Sehingga untuk k = 0, maka:

n(0) =

! 0d

d 0

00n

0

= 0-n

. (9-11a)

En(0) =

! 0d

Ed 0

00n

0

= 0-n E

(9-11b)

170

dan k = 1, 2, 3 . . . . .

n(k) =

!k

1

d

d

0k

nk

k = 1, 2 . . . . (9-12a)

En(k) =

!k

1

d

Ed

0kn

k

k = 1, 2, . . . (9-12b)

sehingga (9-9) dan (9-10) dapat ditulis:

n = n(0) + n

(1) + 2n(2) + 3 n

(3) + . . . .kn(4) + . . . . (9-13)

En = En(0) + En

(1) + 2En(2) + 3En

(3) + . . . . + kEn(k) + . . . . (9-14)

n(k) dan En

(k) disebut koreksi order k terhadap fungsi gelombang dan energi. Kita akan

mengasumsikan bahwa deret (9-13) dan (9-14) adalah konvergen untuk = 1 dan kita berharap

bahwa untuk perturbasi (simpangan) yang kecil, suku-suku awal deret akan memberikan

aproksimasi yang bagus bagi fungsi gelombang dan energi yang sesungguhnya.

Kita ambil n(0) ternormalisasi, jadi < n

(0) n(0)> = 1. Tanpa harus menganggap bahwa

n ternormalisasi, kita mensyaratkan agar:

< n(0) n> = 1

Jika n tidak mengikuti < n(0)n> = 1, maka hasil kali n dengan konstanta 1/<n

(0)n>

akan menghasilkan fungsi gelombang terperturbasi yang jauh dari properti seharusnya.

Kondisi < n(0) n> = 1 ini disebut normalisasi intermediate. Perlu dicatat bahwa hasil

kali n dengan konstanta tidak akan mengubah harga energi dalam persamaan Schrodinger :

Ĥn = Enn sehingga penerapan normalisasi intermediate tidak berpengaruh terhadap hasil

koreksi energi.

Substitusi (9-13) ke dalam normalisasi intermediate < n(0) n> = 1 menghasilkan:

1 = < n(0) n

(0) > + < n(0)n

(1) > + 2< n(0) n

(2) > + . . . . .

Karena < n(0) n

(0) > pasti = 1, maka < n(0)n

(1) > + 2< n(0) n

(2) > + . . . . .= 0. Karena

pasti tidak nol, maka:

< n(0)n

(1) > = < n(0) n

(2) > = 0 dst (9-15)

171

Dari (9-15) itu tampak bahwa koreksi pada fungsi gelombang n(k) adalah ortogonal terhadap

n(0) jika normalisasi intermediate dipergunakan.

Substitusi (9-13) dan (9-14) ke dalam (9-8) menghasilkan:

(Ĥ0 + Ĥ' ) (n(0) + n

(1) + 2n(2) + 3 n

(3) + . . .)

= (En(0) + En

(1) + 2En(2) + 3En

(3) + . . .) (n(0) + n

(1) + 2n(2) + 3 n

(3) + . . .)

Suku-suku yang pangkat nya sama dikumpulkan, hingga menjadi:

Ĥ0 n( 0) + ( Ĥ'n

(0) + Ĥ0n(1) ) + 2 ( Ĥ'n

(2) + Ĥ0n(1) ). . .

= En(0)n

(0) + (En(1)n

(0)+ En(0)n

(1) + 2 (En

(2)n(0) + En

(1)n(1) + En

(0)n(2)

) . . .

(9-16)

Sekarang (dengan asumsi konvergen) maka suku-suku yang berderajat sama dari kedua

ruas persamaan (9-16) bernilai sama untuk sembarang harga . Dari suku 0 diperoleh:

Ĥ0 n( 0)= En

(0)n( 0) (9-17)

Dari suku diperoleh:

( Ĥ'n(0) + Ĥ0n

(1) ) = (En(1)n

(0)+ En(0)n

(1) atau:

Ĥ0n(1) En

(0)n(1) = En

(1)n( 0) Ĥ'n

(0) (9-18)

Koreksi Energi Order Pertama

Untuk mendapatkan harga En(1) , kita kalikan (9-18) dengan m

(0)* kemudian

diintegralkan ke seluruh ruang, sehingga menjadi:

m(0)Ĥ0n

(1) > En(0) <m

(0)n(1)> = En

(1)<m(0)n

( 0)> <m(0)Ĥ'n

(0)>

(9-19)

Operator Ĥ(0) adalah Hermitian, sehingga suku pertama ruas kiri (9-19) adalah::

m(0)Ĥ0n

(1) > = n(1)Ĥ0m

(0)>* = n(1)Ĥ0m

(0)>*

= n(1)Em

(0)* m(0)>* = Em

(0)m(0) n

(1) > (9-20)

Substitusi (9-20) ke dalam (9-19) menghasilkan:

Em(0)n

(1)m(0)> En

(0) <m(0)n

(1)> = En(1)<m

(0)n( 0)> <m

(0)Ĥ'n(0) >

172

atau:

Em(0) En

(0) ) <m(0)n

(1)> = En(1)<m

(0)n( 0)> <m

(0)Ĥ'n(0) >

(9-21)

Jika m = n, maka ruas kiri (9-21) menjadi nol sedang <m(0)n

( 0)> = <n(0)n

( 0)> =

<m(0)m

( 0)> = 1, jadi:

0 = En(1) <n

(0)Ĥ'n(0) > atau:

En(1) <n

(0)Ĥ'n(1) > = ∫n

(0)* Ĥ'n(0) d H'nn (9-22)*b

Kesimpulan:

Koreksi order pertama terhadap energi diperoleh dengan merata-rata perturbasi Ĥ’

dengan mengacu pada fungsi takterperturbasi yang bersangkutan.

Jika koreksi terhadap energi sudah diperoleh maka energi sistem terperturbasi En adalah:

En = En(0) + En

(1) (9-23)

dengan En = energi sistem terperturbasi (yang diaproksimasi) ; En(0) = energi sistem tak

terperturbasi dan En(1) = koreksi energi order pertama.

Contoh:

Untuk osilator tak harmonis yang hamiltoniannya adalah Ĥ= 22

22kx

2

1

dx

d

m2

+ px3+

qx4, tentukan (a) koreksi order pertama untuk energi ground state, dan (b) tentukan energi

ground state untuk osilator tak harmonis tersebut.

Jawab:

a) Untuk osilator harmonis, energi ground state adalah E0 = ½ h . Koreksi order pertama untuk

energi ground sate yang ditanyakan adalah E0(1). Menurut (9-22):

En(1) =∫n

(0)* Ĥ'n(0) d jadi:

E0(1) =

~

~ 0

(0)* Ĥ'0(0) dx

173

dengan :

0(0)= fungsi gelombang tak terperturbasi (osilator harmonis) ground state =

(/)1/42 x)2/(e

Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 = ( 22

22kx

2

1

dx

d

m2

+ px3+ qx4) – ( 2

2

22kx

2

1

dx

d

m2

) = px3+ qx4

jadi:

E0(1) =

~

~ (/)1/4

2 x)2/(e ( px3+ qx4 ) (/)1/4 2 x)2/(e dx atau

E0(1) =

~

~ ( px3+ qx4 ) (/)1/2

2 xe dx = (/)1/2

~

~ ( px3+ qx4 )

2 xe dx

= (/)1/2

~

~ px3

2 xe dx + (/)1/2

~

~ qx4

2 xe dx

~

~ px3

2 xe dx adalah integral fungsi ganjil dengan batas ~ s/d +~ = 0. jadi:

E0(1) = 0 + (/)1/2

~

~ qx4

2 xe dx

= 2q ~

0

x4 2 xe dx =

2 4

q3

Koreksi Fungsi Gelombang Order Pertama

Untuk m n, persamaan (9-21) menjadi:

( )()( on

om EE ) <m

(0)n(1)> = <m

(0) 'H

n(0) > m n (9-24)

Untuk memperoleh n(1), kita mengekspansinya ke dalam suku-suku yang terdiri atas himpunan

fungsi eigen tak terperturbasi m(0) dari operator hermitian oH

:

n(1) =

m

omnma , dengan 1

nom nma (9-25)

Dengan menggunakan 1n

om nma , persamaan (9-24) menjadi:

174

( )()( on

om EE ) nma = o

no

m H '

m n

atau:

nma = )()(

'

om

on

on

om

EE

H

=)()(

'o

mo

n

mn

EE

H

(9-26)

Koefisien nma pada ekspansi (9-25) dinyatakan dalam bentuk (9-26), kecuali untuk nna , yaitu

koefisien dari om . Dari persamaan kedua pada (9-25), dapat dinyatakan bahwa

)1()( no

nnna . Ingat bahwa pemilihan normalisasi intermediate untuk n , membuat

)1()( no

n = 0 [persamaan (9-15)]. Karena itu, )1()( no

nnna = 0, sehingga (9-25) dan

(9-26) memberikan koreksi order pertama terhadap fungsi:

nm

omo

mo

n

on

om

nEE

H)(

)()(

)1( '

(9-27)

Arti lambang nm

adalah kita menjumlah semua state tak terperturbasi kecuali state n.

Dengan menggunakan harga = 1 dalam (9-13) dan menggunakan koreksi fungsi

gelombang order pertama, kita mempunyai sebuah aproksimasi terhadap fungsi gelombang

perturbasi yaitu:

nm

omo

mo

n

on

omo

nnEE

H)(

)()()(

'

(9-28)

Secara ringkas dapat ditulis koreksi untuk orde pertama:

En = En(0) + H'nn = En

(0) + En(1)

nm

omo

mo

n

mnonn

EE

H )(

)()(

')( = )(o

nn )1(n

Contoh aplikasi Teori Perturbasi

Jika Hamilton Perturbasi Ĥ' adalah

Ĥ' = 1Va

x dan n =

a

xn

a

sin

22/1

,

175

Dimana V1 adalah ketinggian potensial pada x = a. Koreksi orde pertama pada energi level ke-n

persamaan (9-22)*b adalah

En(1) =

nn

a

Vx 1

= dxa

xn

ax

a

xn

aa

V a

sin

2sin

2

0

2/12/11

= 212

a

V dx

a

xnx

a

.sin.0

2

= 12

1V

Tampak untuk perturbasi orde pertama menaikkan energi semua level sebesar 12

1V

Jadi En = En(0) + H'nn = En

(0) + En(1) = En

(0) + 12

1V

Koreksi orde pertama fungsi gelombang diberikan oleh persamaan (9-26) dan untuk problem ini

amk=

00

012

sinsin2

km

a

EE

dxa

xm

a

xkxV

a

Denominatornya = 12222

2

2

8Ekmkm

ma

h

Untuk mengevaluasi integral kita gunakan relasi trigonometrik

coscos2

1sinsin

Kita substitusikan ke H'km

H'km =

012

coscos1

dyymkymkyV

= 12

1V

)(

0

)(

0 22cos

1cos

1 mkmkydyy

mkzdzz

mk

=

2212

221

mkmkV

== (k-m, k+m ganjil)

=

2212

112

mkmkV

176

H'km = 0 == (k-m, k+m genap)

Misal m adalah keadaan energi terendah 1 . Aplikasinya adalah

H'21 = 121

221218.0

9

16

1

1

3

12V

VV

H'31 = 0

H'41 = 121

22120144.0

225

32

3

1

5

12V

VV

H'51 = 0, dan seterusnya.

Perhatikan integral H'21 = -0,18V1, sedangkan denominatornya adalah

11220

201 3)21( EEEE

11220

401 15)41( EEEE

Sehingga

a12 =

1

1

1

1 06,03

18,0

E

V

E

V

a12 = a15 =…..= 0

a14 =

1

1

1

1 0096,015

0144,0

E

V

E

V

Sehingga

1 = 04

1

102

1

101 0096.006,0

E

V

E

V

Koreksi Energi Order Kedua

Jika koefisien 2 pada (9-16) disamakan, kita akan memperoleh:

'H )1(

n + oH )2(

n = )2(nE )(o

n + )1(nE )1(

n + )(onE )2(

n

atau:

oH )2(

n )(onE )2(

n = )2(nE )(o

n + )1(nE )1(

n 'H )1(

n (9-29)

Perkaliannya dengan *)(om , dilanjutkan dengan integrasi seluruh ruang, menghasilkan:

177

)2()( noo

m H

)(onE )2()( n

om

= )2(nE )()( o

no

m + )1(nE )1()( n

om ' )( Ho

m

)1(

n (9-30)

Integral )2()( noo

m H

dalam persamaan tersebut persis sama dengan integral dalam (9-20),

tetapi )1(n diganti dengan )2(

n . Penggantian )1(n oleh )2(

n , membuat persamaan (10-20)

menjadi:

)2()( noo

m H

= )(omE )2()( n

on (9-31)

Penggunaan (9-31) disertai dengan ortonormalitas fungsi tak terperturbasi pada (9-30)

menghasilkan:

)(omE )2()( n

on )(o

nE )2()( no

m

= )2(nE )()( o

no

m + )1(nE )1()( n

om ' )( Ho

m

)1(

n

atau:

( )(omE )(o

nE ) )2()( no

m

= )2(nE mn + )1(

nE )1()( no

m ' )( Hom

)1(

n (9-32)

Untuk m = n, ruas kiri (9-32) menjadi nol, dan kita memperoleh:

0 = )2(nE ' )( Ho

n

)1(

n

atau:

)2(nE = ' )( Ho

n

)1(

n (9-33)

Jika kita mengamati persamaan (9-33), maka tampaknya untuk dapat mengkalkulasi koreksi

order kedua untuk energi, kita harus sudah mempunyai koreksi order pertama untuk fungsi

gelombang. Namun fakta menunjukkan bahwa pemahaman akan )1(n sudah cukup pula untuk

menentukan )3(nE . Sehingga secara lebih umum dapat dinyatakan, bahwa jika kita sudah

mempunyai koreksi ke-k untuk fungsi gelombang, maka kita sudah dapat menentukan koreksi

ke (2k + 1) untuk energi (Bates, 1961).

178

Substitusi (9-27) untuk )1(n ke dalam (10-33) menghasilkan:

)2(nE = ' )( Ho

n

nm

omo

mo

n

on

om

EE

H)(

)()(

'

Karena

nmo

mo

n

on

om

EE

H

)()(

'

adalah ma dan nilainya konstan, tentu saja dapat dikeluarkan dari

tanda integral, sehingga :

(o)m

)(

)()(

)2( ' '

HEE

HE

nm

ono

mo

n

on

om

n

(9-34)

Karena H

bersifat hermitian, maka:

(o)n

)( ' Hom

(o)

m)( ' Ho

n

= (o)

n)( ' Ho

m

= 2(o)

n)( ' Ho

m

sehingga (9-34) menjadi:

nmo

mo

n

on

om

nEE

HE

)()(

2

)2( '

= nm

om

on

m

EE

H

)()(

2'n

(9-35)

yang merupakan pernyataan )2(nE yang diinginkan, yang dinyatakan dalam terminologi fungsi

gelombang dan energi.

Aplikasi )2(nE ke dalam (9-14) dengan = 1 adalah aproksimasi state energi perturbasi,

yaitu:

nm

nno

nn HHEE2'

n m'

)( (9-35)

yang integralnya meliputi fungsi gelombang tak terperturbasi yang ternormalisasi.

Formula untuk koreksi energi order yang lebih tinggi tidak dibahas dalam buku ini,

tetapi yang berminat dapat mempelajarinya dari Bates, 1961 halaman 181-185. Bentuk

perturbasi yang kita bahas dalam sub bab ini disebut teori perturbasi RayleighSchrodinger.

179

Diskusi. Persamaan (9-28) menunjukkan bahwa efek perturbasi pada fungsi gelombang )(on

diinfiltrasi oleh konstribusi dari state lain yaitu )(om , nm . Dengan adanya faktor

)/(1 )()( om

on EE , konstribusi terbesar terhadap fungsi gelombang terperturbasi datang dari state

energi terdekat dengan state n.

Untuk mengevaluasi koreksi order pertama untuk energi, kita cukup hanya dengan

mengevaluasi 'nn H , sedang untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua, kita harus

mengevaluasi elemen matrik 'H

antara state ke-n dan seluruh state m yang lain, dan kemudian

malakukan penjumlahan sebagaimana (9-35). Dalam banyak kasus, adalah sangat tidak

mungkin untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua secara eksak. Apalagi untuk order

ketiga atau yang lebih tinggi, tentu akan jauh lebih sukar, meski dengan bantuan komputer

sekalipun.

Penjumlahan dalam (9-28) dan (9-36) adalah jumlah meliputi state-state yang berbeda.

Jika beberapa level energi adalah degenerate, maka kita harus menjumlahkan semua fungsi

gelombang yang saling independen sehubungan dengan level degenerate tersebut.

Alasan mengapa kita melakukan penjumlahan sebagaimana (9-28) dan (9-36) adalah

karena kita memerlukan himpunan lengkap fungsi-fungsi untuk melakukan ekspansi (9-25) dan

oleh karena itu kita harus melibatkan semua fungsi gelombang linear independen dalam

penjumlahan. Jika problem tak terperturbasi melibatkan fungsi gelombang kontinum (misal

kasus atom hidrogen), maka kita juga harus menyertakan integrasi terhadap fungsi kontinum

itu. Jika )(o menyatakan fungsi gelombang kontinum tak terperturbasi dengan energi )(oE ,

maka (9-27) dan (9-35) menjadi:

nm

omo

mo

n

on

om

nEE

H)(

)()(

)1( '

+

)((o)

)()(

'n o

oon

E dEEE

H

)2(nE =

nmo

mo

n

m

EE

H

)()(

2'n

+

)(

)()(

'n o

oon

E dEEE

H

180

dengan (o)n

)((o)n ' HH o

E

. Integral pada persamaan-persamaan tersebut adalah meliputi

rentang state energi kontinum (misal dari nol sampai tak terhingga pada atom hidrogen).

Keberadaan state kontinum dalam problem tak terperturbasi membuat evaluasi terhadap )2(nE

menjadi lebih rumit lagi.

Aplikasi koreksi orde kedua

Jika fungsi )0(k dan )0(

m adalah real, integral H'km dan H'mk adalah sama. Ekspresi koreksi energi

untuk orde kedua adalah

)2(mE =

k km

mk

EE

H00

2

Dengan menggunakan harga elemen matriks yang didapat di atas kita dapat memperoleh koreksi E1 orde kedua

)2(1E =

1

21

1

21

15

)0144,0(

3

)180,0(

E

V

E

V

= 1

21

1

21 0000139,00109,0

E

V

E

V

-0,01091

21

E

V

Energi E1 adalah koreksi orde kedua, sehingga

E1 = E10 + 0,500V1 – 0,0109

1

21

E

V

Metode Variasi-Perturbasi

Metode variasi-perturbasi memungkinkan kita melakukan estimasi dengan hasil lebih

akurat terhadap )2(nE dan teori koreksi energi perturbasi order lebih tinggi untuk sistem ground

state. Metode ini dilandasi oleh pertidaksamaan:

u E (o)goHu

+ (o)

g(1)g E ' Hu

+ uH E ' (1)

g(o)g

)2(

gE (9-37)

dengan u adalah sembarang fungsi yang memenuhi syarat dan memenuhi kondisi boundary

sedang label g merujuk pada ground state. Pembuktian (9-37) dapat dilihat pada Hameka (1981)

sun bab 7-9. Dengan mengambil u sebagai fungsi variasi dengan parameter yang meminimalkan

181

ruas kiri (9-37), kita dapat mengestimasi )2(gE . Fungsi u dapat menjadi estimator terhadap )1(

g

yaitu fungsi gelombang ground state koreksi order kesatu dan dengan demikian, selanjutnya u

dapat digunakan untuk mengestimasi )3(gE yaitu energi ground state koreksi order ketiga.

Integral variasional yang sama dapat digunakan untuk memperoleh koreksi fungsi gelombang

dan energi order yang lebih tinggi.

9.3 Metode Perturbasi untuk Atom Helium Ground State

Atom helium terdiri atas sebuah inti bermuatan +2e dan dua buah elektron. Kita anggap

bahwa inti atom berada dalam keadaan diam pada posisi (0,0,0) dalam sistem koordinat.

Koordinat elektron 1 dan 2 berturut-turut adalah (x1, y1, z1) dan (x2, y2, z2); lihat gambar 9.1.

Jika kita mengambil muatan inti +Ze sebagai pengganti +2e, maka pembahasan kita

tidak hanya untuk atom helium, tetapi untuk semua partikel (atom atau ion) yang mirip helium

yaitu atom atau ion yang elektronnya dua seperti H, Li

, Be

2+, dan lain-lain. Operator

Hamiltoniannya adalah:

H

= 21

2

2

em

22

2

2

em

1

2'

r

Ze

2

2'

r

Ze

2 1

2'

r

e (9-38)

dengan em adalah massa elektron, r1 adalah jarak dari inti sampai elektron 1, r2 adalah jarak

dari inti sampai elektron 2 dan r1 2 adalah jarak antara elektron 1 terhadap elektron 2. Dua suku

yang pertama adalah operator untuk energi kinetik elektron; suku ketiga dan keempat adalah

energi potensial antara elektron dengan inti atom sedang suku terakhir adalah energi potensial

akibat repulsi antar elektron. Energi potensial suatu sistem yang terdiri atas partikel-partikel

yang saling berinteraksi tidak dapat ditulis sebagai jumlah dari energi potensial partikel

individual; energi potensial merupakan sifat sistem sebagai sebuah kesatuan.

e

e

+2e

r1r2

r1 2(x1 , y1, z1)

(x2 , y2, z2)

Gambar 9.1 Jarak antar partikel dalam atom helium

182

Persamaan Schrodinger untuk sistem mirip helium ini melibatkan enam variabel bebas.

Dalam koordinat spherik polar,

= 2 22 1 11 , , , , , rr (9-39)

Operator 21 adalah operator 2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r1, 1, 1) ; operator 2

2

adalah operator 2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r2, 2, 2); variabel r12 adalah:

r12 = [(x1 x2)2 + (y1 y2)2 + (z1 z2)2]½ , dan melalui transformasi dari koordinat

Cartesius ke dalam koordinat spherik polar, kita dapat menyatakan r12 dalam terminologi

koordinat (9-39), yaitu:

r12 = [(r1 sincos1 r1 sincos2)2 + (r1 sinsin1 r1 sinsin2)2

+ (r1cos1 r1cos2)2]½ ,

Karena adanya suku 1 / r12, akibatnya persamaan Schrodinger tidak dapat diselesaikan melalui

teknik pemisahan variabel, sehingga harus menggunakan metode aproksimasi. Untuk

menggunakan metode perturbasi, kita harus memisahkan H

menjadi dua bagian, yaitu oH

dan

'H

. oH

adalah Hamiltonian untuk problem yang dapat diselesaikan secara eksak. Biasanya

pemisahannya adalah sebagai berikut:

oH

= 21

2

2

em

22

2

2

em

1

2'

r

Ze

2

2'

r

Ze (9-40)

'H

= 2 1

2'

r

e (9-41)

Tampak bahwa (9-40) merupakan jumlah dari dua buah Hamiltonian mirip hidrogen, jadi:

oH

= oo HH 21

(9-42)

oH1

= 2

1

2

2

em

1

2'

r

Ze ; oH 2

= 2

2

2

2

em

2

2'

r

Ze (9-43)

183

Sistem helium disebut tak terperturbasi adalah jika kedua elektron dalam atom helium tersebut

tidak ada gaya sama sekali. Meskipun realita fisik seperti itu tidak pernah kita jumpai, namun

kita tetap menggunakannya semata-mata untuk jembatan dalam menuju kalkulasi final.

Karena Hamiltonian tak terperturbasi (9-42) adalah jumlah Hamiltonian untuk dua

partikel, maka dapat diperkirakan bahwa fungsi gelombang tak terperturbasinya merupakan

hasil kali fungsi tak terperturbasi dari masing-masing partikel. Sehingga dapat kita tulis:

)(o =

)(

2 ,2 ,2 ,1 ,1 ,1

o

rr = 1 11 , ,1 rF . 2 22 , ,2 rF (9-44)

dan energi tak terperturbasinya adalah:

)(oE = E1 + E2 (9-45)

Persamaan Schrodinger untuk masing-masing partikel adalah:

1111 F E F oH

dan 2222 F E F oH

(9-46)

Karena oH1

dan oH 2

adalah Hamiltonian untuk atom mirip hidrogen, tentu saja fungsi dan nilai

eigen (9-46) adalah fungsi dan nilai eigen untuk atom mirip hidrogen. Dari bab VI dapat kita

ketahui bahwa:

oa

e

n

ZE

2

'2

21

2

1 ; oa

e

n

ZE

2

'2

22

2

2 ; (9-47)

. . . . . . . . , 3 2, 1, 1n. . . . . . . . , 3 2, 1, 2n

2

'11 2

22

21

2)(

o

o

a

e

nnZE (9-48)

dengan oa adalah radius Bohr. Persamaan (9-48) merupakan energi order nol dari kedua

elektron yang terikat oleh inti atom.

Untuk level terendah, nilai 11 n , 12 n , dan fungsi eigen order nol-nya (lihat bab VI)

adalah:

2 1

2

2/1

2/1

2/1

2/1

)(

1

1.

1 ra

Z

o

ra

Z

o

o

s

oo ea

Ze

a

Z

(9-49)

Energi ground state tak terperturbasinya adalah:

o

o

s a

eZE

2

')2(

22)(

1 2 (9-50)

184

Kuantitas ½ e’2/ao adalah energi ground state untuk hidrogen yang nilainya sudah kita ketahui

yaitu 13,606 eV. Jadi untuk helium dengan Z = 2, adalah:

8,108)(

1 2 o

sE eV (9-51)

Bagaimana energi order nol ini dibandingkan dengan energi ground state helium yang

sesungguhnya? Berdasarkan eksperimen, energi ionisasi pertama helium adalah 24,6 eV. Energi

ionisasi kedua atom helium, berarti ionisasi terhadap ion He+. Karena ion He+ adalah partikel

mirip hidrogen, maka energi ionisasinya secara teoritik dengan mudah dapat dihitung, yaitu 22

(13,606 eV) = 54,4 eV. Jika kita anggap energi order nol adalah energi ionisasi total helium

[anggapan ini adalah implisit dalam (9-38)], maka energi ground state atom helium adalah

(26,6 + 54,4) eV = 79,0 eV. Jadi energi order nol mempunyai error 38%. Kesalahan ini

cukup besar, karena nilai terminologi perturbasi e’2/r12 tidak cukup kecil untuk diabaikan.

Langkah berikutnya adalah mengevaluasi koreksi perturbasi order pertama. Level

ground state tak terperturbasi adalah level yang non degenerate. Koreksi energi order pertama

adalah:

(o)oE 'H )()1(

)1(E =

2

0

2

0 0 0 2 1 0 0

2

2

62

26 1' 2 1

re

a

ez ra

Zr

a

Z

o

oo

x 2122112221

21 sin sin dddddrrdrr (9-52)

Evaluasi integral (9-52) dapat saja tidak usah diperhatikan dan kita bisa langsung melihat (9-55)

sebagai hasil evaluasi (9-52), tetapi bagi yang ingin mengikuti proses evaluasi integral (9-52),

langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

Yang pertama kali harus dilakukan adalah meng-ekspansi 1/r12 menjadi bentuk berikut

(Eyring, dkk., 1944):

2 1

1

r =

022111

),(*,(12

4

m

mm

r

r

(9-53)

Lambang r artinya lebih kecil dari pada r1 dan r2 sedang r lebih besar dari pada r1 dan r2.

Substitusi (9-53) ke dalam (9-52) menghasilkan:

185

)1(E =

2

0

2

0 0 0 022111

0 0

2

2

62

26

),(*),(12

4' 2 1

m

mmr

a

Zr

a

Z

o r

re

a

eZoo

x 2122112221

21 sin sin dddddrrdrr

)1(E =

2

0

2

0 0 0

221110 0

2

2

062

26

),(*),(12

14' 2 1 mm

ra

Zr

a

Z

mo r

re

a

eZoo

x 2122112221

21 sin sin dddddrrdrr (9-53a)

Selanjutnya (9-53a) dikalikan dengan *)( oo

oo dan kemudian dibagi *)( o

ooo = ¼, jadi

nilai (9-53a) tidak berubah, kemudian diadakan penataan ulang sehingga hasilnya adalah:

)1(E =

2

0

2

0 0 0 0

2

0

2

06

26 2 1

12

1'16 ra

Zr

a

Z

mo

oo eea

eZ

x 221111111,(*),( ).,(*),( mo

ooo

m

r

r

)

x 2122112221

21 sin sin dddddrrdrr (9-53a)

Persamaan (9-53a) ditata ulang, menjadi:

)1(E = 12

1'16

0 0

21

2

1

2

22

21

06

26 2 1

drdre

r

rerr

a

eZ ra

Zr

a

Z

mo

oo

x 111

2

0 0

1111 sin ).,(*),(

ddoo

m )

x 222

2

0 0

2222 sin ),(*),(

ddmoo ) (9-53b)

Selanjutnya, dengan ortonormalitas,

Integral fungsi harmonik sperik 111

2

0 0

1111 sin ).,(*),(

ddoo

m akan bernilai

1 untuk 0 m dan akan nol untuk harga dan m yang lain. Hal yang sama juga terjadi

186

pada integral fungsi sperik harmonik yang lain sehingga hanya untuk orbital dengan nilai

0 m , persamaan (9-53b) menjadi:

)1(E =

0 0

21

2

2

22

216

26 2 1 1'16drdre

rerr

a

eZ ra

Zr

a

Z

o

oo (9-53c)

Persamaan (9-53c) juga dapat ditulis sebagai berikut:

)1(E =

0 0

21

2

22

2

216

26 2 1

1'16

drdrerr

era

eZ ra

Zr

a

Z

o

oo (9-53d)

Jika integrasi akan dilakukan terhadap r1 lebih dulu, maka (9-53d) ditulis:

)1(E =

0

2

0

1

2

21

2

226

26

1'16 1 2

drdrr

erera

eZ ra

Zr

a

Z

o

oo (9-53e)

atau:

)1(E =

0

2

2

226

26 2 '16drIer

a

eZ ra

Z

o

o (9-53e)

dengan I =

0

1

2

21

11

drr

err

a

Z

o . Untuk mengevaluasi I, rentang integrasi dipecah menjadi dua

yaitu antara 0 sampai r2 dan antara r2 sampai , sehingga I dapat ditulis:

2

0

1

2

21

11 r r

a

Z

drr

er o +

2

1

1

2

21

1

r

ra

Z

drr

er o

Bagaimana dengan r

1? Untuk rentang 0 sampai r2, maka r> (baca: r besar) adalah r2 sedang

pada rentang r2 sampai tak terhingga, r> adalah r1, jadi I dapat ditulis:

2

0

12

2

21

11 r r

a

Z

drr

er o +

2

1

11

2

21

1

r

ra

Z

drr

er o

= 2

0

1

2

2

21

1 r r

a

Z

drer

ro +

2

1

1

2

1 r

ra

Z

drer o

187

Subtitusi I ke dalam (9-53d) menghasilkan:

)1(E =

0

21

2

10

1

2

2

21

2

226

26

2

1 1 2

'16 2

drdrerdrer

rer

a

eZ

r

ra

Zr ra

Zr

a

Z

o

ooo

atau:

)1(E =

0

2

0

1

2

21

2

26

26 2

'16 1 2

drdrerera

eZr r

a

Zr

a

Z

o

oo

+

0

2

r

1

ra

Z2

1

ra

Z2

226

o

26drdrerer

a

eZ16

2

oo ' 1 2

(9-54)

kita sederhanakan bentuknya menjadi:

)1(E =

0

21

2

26

26 2 '16drIer

a

eZ ra

Z

o

o

+

0

22

ra

Z2

226

o

26drIer

a

eZ16o

2 '

(9-54a)

dengan

2

0

1

2

211

1 r r

a

Z

drerI o dan

2

1

1

2

12

r

ra

Z

drerI o

Dengan menggunakan:

dxex bx2 =

32

2bx

b

2

b

x2

b

xe , diperoleh:

2

0

1

2

211

1 r r

a

Z

drerI o =

321

21

2

2

2

2

2

2

1

ooo

ra

Z

a

Z

a

Z

r

a

Z

re o

=

2

1o

r

0

3

3o

2

2o1o

21

ra

Z2

Z4

a

Z2

ar

Z2

are

=

3

3

3

3

2

22

22

2

4422

2

Z

a

Z

a

Z

ar

Z

are oooo

ra

Z

o

188

=

3

32

3

32

22

22

22

4422

222

Z

ae

Z

aer

Z

aer

Z

a or

a

Z

or

a

Z

or

a

Z

o ooo

Dengan menggunakan dxxebx = 1bxb

1e

2bx , diperoleh:

2

1

1

2

12 r

ra

Z

drerI o =

1ra

Z2

Z4

ae 1

o2

2o

ra

Z21

o

=

2

1o

r

2

2o

1o

ra

Z2

Z4

ar

Z2

ae =

2

2o

2o

ra

Z2

Z4

ar

Z2

ae0

2o

=

2

2o

2o

ra

Z2

Z4

ar

Z2

ae

2o =

2

o2

o

ra

Z2

2

2o

ra

Z2

2o e

Z4

aer

Z2

a

Selanjutnya I1 dan I2 dimasukkan ke dalam (9-54a):

)1(E =

0

23

32

3

32

22

22

22

2

26

26

4422

'16 2222

drZ

ae

Z

aer

Z

aer

Z

aer

a

eZ or

a

Z

or

a

Z

or

a

Z

or

a

Z

o

oooo

+

0

2

ra

Z2

2

2o

ra

Z2

2o

ra

Z2

226

o

26dre

Z4

aer

Z2

aer

a

eZ16 2o

2oo

2 '

=

0

2

2

23

34

23

32

222

24

326

26 2222

4422

'16drer

Z

aer

Z

aer

Z

aer

Z

a

a

eZ ra

Z

or

a

Z

or

a

Z

or

a

Z

o

o

oooo

+

0

2

ra

Z2

222

2o

ra

Z4

32

o6o

26drer

Z4

aer

Z2

a

a

eZ16 2o

2o

'

)1(E =

2

3

32

3

33

2

24

6

26

2.

4444!2

24!3

2

'16

Z

a

Z

a

Z

a

Z

a

Z

a

Z

a

Z

a

Z

a

a

eZ oooooooo

o

+

3

2

24

6

26

4 !2

44!3

2

'16

Z

a

Z

a

Z

a

Z

a

a

eZ oooo

o

189

)1(E =

5

4

5

6

5

6

5

86

26

2

1

2

1

2

1.3

2

1'16

Z

a

Z

a

Z

a

Z

a

a

eZ oooo

o

+

5

7

5

86

26

2

1.3.

2

1'16

Z

a

Z

a

a

eZ oo

o

)1(E =

7466

5

6

26

2

1

2

1

2

1

2

1'16

Z

a

a

eZ o

o

=

7777

5

6

26

2

1

2

8

2

2

2

2'16

Z

a

a

eZ o

o

=

7

5

6

26

2

5'16

Z

a

a

eZ o

o

Jadi:

)1(E =

oa

eZ 2'

8

5 (9-55)

Jika diaplikasikan pada helium, Z = 2, persamaan (9-55) menjadi:

)1(E =

oa

e 2'

8

10 =

oa

e

2

'

4

10 2

= eV 606,13.4

10= 34,0 eV

Jadi aproksimasi untuk helium ground dengan memperhitungkan sampai dengan koreksi order

pertama adalah:

)1()( EE o = 108,8 eV + 34,0 eV = 74,8 eV (9-56)

Dengan koreksi seperti itu, kesalahannya terhadap energi ground state yang sesungguhnya

adalah 5,3 %.

Kita telah berhasil menghitung koreksi order pertama untuk gelombang. Untuk

menghitung koreksi energi kedua dibutuhkan koreksi order pertama untuk fungsi gelombang,

yang dapat diperoleh melalui evaluasi terhadap elemen matrik dari 1/r12 mulai dari ground state

tak terperturbasi sampai dengan seluruh state tereksitasi termasuk state kontinum dan

melakukan penjumlahan serta integrasi. Tidak seorangpun yang telah berhasil menggambarkan

bagaimana mengevaluasi secara langsung semua konstribusi untuk 2E . Perlu dicatat bahwa

190

efek )1( ( koreksi fungsi order pertama), bercampur dengan fungsi gelombang dari konfigurasi

lain, selain 1s2; hal ini kita sebut konfigurasi interaksi. Memang, kontribusi terbesar yang

berpengaruh terhadap fungsi gelombang helium yang sesungguhnya, berasal dari konfigurasi

1s2, yang merupakan fungsi gelombang order nol tak terperturbasi.

)2(E untuk helium ground state telah dievaluasi dengan metode variasi-perturbasi

[persamaan (9-37)]. Untuk memperoleh aproksimasi dengan koreksi yang sangat akurat, Scherr

dan Knight (1963) menggunakan fungsi variasi yang terdiri atas 100 suku untuk memperoleh

koreksi (sampai order keenam) fungsi gelombang. Fungsi ini kemudian dipergunakan untuk

menghitung koreksi energi sampai order ke 13. Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan

oleh J. Midtal (1965), besarnya koreksi energi order kedua )2(E = 4,3 eV sedang order ketiga

)3(E = +0,1 eV . Sampai dengan koreksi order ketiga, aproksimasi energi ground state untuk

helium adalah:

E = )3()2()1()( EEEE o

= 108,8 eV + 34,0 eV 4,3 eV + 0,1 eV = 79,0 eV

yang sesuai dengan nilai eksperimen yaitu 79,0 eV.

9.4 Metode Variasi Untuk Helium Ground State

Sebelum ini, telah kita nyatakan bahwa Hamiltonian untuk helium adalah 'HHH o dan

fungsi eigen untuk oH

adalah )(o sebagaimana dinyatakan dalam persamaan (9-49). Apakah

yang terjadi seandainya kita menggunakan fungsi gelombang ground state perturbasi order nol

)(og sebagai fungsi variasi dalam integral variasional?. Jika itu yang dilakukan, maka integral

variasional H

= H

menjadi:

H

= (o)g

o(o)g 'HH

= 'HH (o)

g(o)g

o(o)g

= 'HH (o)g

(o)g

(o)g

o(o)g

= )1()(

go

g EE (9-57)

191

Jadi dengan menggunakan )(og sebagai fungsi variasi dihasilkan energi yang sama dengan

yang dihasilkan oleh perturbasi sampai dengan order pertama.

Sekarang akan kita bahas fungsi variasi untuk atom helium ground state. Jika kita

menggunakan )(og sebagaimana (9-49), hasil yang diperoleh adalah sama dengan hasil

perturbasi order pertama yaitu 74,8 eV. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, marilah kita

masukkan sebuah parameter ke dalam (9-49). Kita akan mencoba menggunakan fungsi:

2 1

.1

3 ra

ra

o

oo eea

(9-58)

Persamaan (9-58) tersebut diadopsi dari (9-49) yang nomor atom Z diganti parameter

variasional (baca: zeta). Parameter mempunyai interpretasi fisik yang sederhana. Karena

sebuah elektron cenderung menghalangi yang lain dari inti atom, akibatnya muatan inti efektif

yang diterima oleh masing-masing elektron lebih kecil dari pada muatan penuh inti yaitu +Z.

Jika sebuah elektron, terhalang secara penuh dari inti, maka kita nyatakan bahwa muatan inti

efektif adalah Z1; karena kedua elektron dalam helium ground state berada pada orbital yang

sama, akibatnya maka tidak mungkin masing-masing saling menghalangi secara penuh, jadi

diperkirakan nilai berkisar antara Z1 sampai Z.

Sekarang kita akan mengevaluasi integral variasional. Untuk melancarkan hal ini, kita

tulis kembali Hamiltonian (9-39) dalam bentuk:

H

= 12

2

2

2

1

2

2

222

2

1

221

2 e'e'e'e'

2

e'

2 rrZ

rZ

rmrm ee

(9-59)

Masuknya parameter ke dalam (9-39) hingga membentuk (9-59) tidak mengubah nilai

Hamiltonian (9-39), artinya (9-59) adalah sama dengan (9-39). Suku-suku yang berada dalam

kurung kurawal adalah jumlah dari Hamiltonian mirip hidrogen untuk inti yang bermuatan ;

sementara itu, persamaan (9-58) adalah hasil kali dua fungsi 1s mirip hidrogen dengan muatan

inti .. Oleh karena itu, jika suku dalam kurung itu beroperasi pada , berarti kita mempunyai

sebuah persamaan eigen dan nilai eigen-nya adalah jumlah energi 1s mirip hidrogen dengan

muatan inti . Jadi:

192

2

222

2

1

221

2 e'

2

e'

2 rmrm ee

=

2

oa

e 2' (9-60)

Dengan menggunakan (9-59) dan (9-60), kita memperoleh:

d * H

= d *'22

oa

e +

d

r

*'')(

1

22

oa

eeZ

+

d r

*'')(

2

22

oa

eeZ +

d

r

*'

12

2e (9-61)

Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti

bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:

ƒ1 = 1

2/3

2/1

1 ra

o

oea

; ƒ2 =

2 2/3

2/1

1 ra

o

oea

(9-62)

dengan catatan = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam

persamaan (9-61)

d *

d r

*

1

= 1r

d1 d2 =

1

r d1 . d2 =

1

r d1 .

=

0

2

0

1

0

1112

11

2/3

2/1

2/3

2/1

sin

1.

1 1 1

dddrr

r

ea

ea

ra

o

ra

o

oo

=

0

2

0

1

0

111

2

1

3

sin1 1

dddrer

a

ra

o

o

=

2cos

2

101

23

o

o

a

a

=

22

2

123

o

o

a

a =

oa

Dengan cara yang sama diperoleh:

ƒ18ƒ1 ƒ2

8ƒ2 d1 d2 = 1

ƒ18ƒ1 ƒ2

8ƒ2 ƒ18ƒ1

ƒ28ƒ2

ƒ18ƒ1

193

d r

*

2

= oa

Akhirnya kita harus mengevaluasi

d r

*'

12

2e . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z

diganti , sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu:

d r

*'

12

2e =

oa

e 2'

8

5 (9-63)

Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:

d * H

= oa

eZ

22 '

8

52

(9-64)

Sebagai pengujian, jika kita menggunakan = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-

64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).

Sekarang kita mencari nilai parameter agar integral variasional bernilai minimal.

oa

eH

2'

8

5 2Z2 d *

= 0

= Z 5/16 (9-65)

Sebagai antisipasi, muatan inti efektif terletak antara Z dan Z1. Dengan menggunakan (9-65)

dan (9-64), kita peroleh:

d * H

= oa

eZZ

22 '

256

25

8

5

=

oa

eZ

22'

16

5

(9-66)

Dengan meletakkan Z = 2, kita memperoleh aproksimasi untuk energi helium ground state yaitu

(27/16)2e’2/ao = (729/128)e’2/2ao = 77,49 eV. Dibandingkan dengan nilai yang

sesungguhnya yaitu 79,0 eV , kesalahannya adalah 1,9 %. Jadi, dengan memasukkan

parameter , kesalahan yang semula 5,3% turun menjadi tinggal 1,9 %.

Bagaimana kita memperbaiki hasil integral variasional ? Kita dapat mencoba fungsi

yang mempunyai bentuk umum (9-58), yaitu perkalian dua fungsi, yaitu fungsi elektron 1 dan

fungsi elektron 2.

= u(1). u(2) (9-67)

194

Namun, kita dapat menggunakan berbagai bentuk u dalam (9-67) sebagai ganti dari bentuk

eksponensial tunggal sebagaimana digunakan pada (9-58). Prosedur sistematik untuk

memperoleh fungsi u yang menghasilkan nilai integral variasional terkecil akan dibahas di bab

XI. Prosedur itu menunjukkan bahwa pilihan terbaik untuk u dalam (9-67) menghasilkan

integral variasional 77,9 eV, yang masih mempunyai kesalahan 1,4 %. Hal ini menimbulkan

pertanyaan, mengapa (9-67) tidak dapat menghasilkan integral variasional yang tepat sama

dengan 79,0 eV ?. Jawabnya adalah, ketika kita menulis fungsi (9-67), dalam bentuk perkalian

dua fungsi terpisah untuk masing-masing elektron, kita telah membuat sebuah aproksimasi.

Perlu dicatat, bahwa terminologi Hamiltonian 122 /' re dalam persamaan Schrodinger untuk

helium merupakan kuantitas yang bersifat sebagai satu kesatuan dan tidak separabel. Untuk

dapat mencapai energi ground state yang sesungguhnya, kita membutuhkan fungsi yang tidak

sesederhana (9-67).

Model atom Bohr yang memberikan penjelasan mengenai energi secara tepat dan

memuaskan untuk atom hidrogen, ternyata gagal ketika diterapkan untuk helium. Kemudian,

pada hari-hari awal lahirnya mekanika kuantum, ada teori baru yang memberikan perlakuan

yang akurat untuk helium. Teori baru tentang helium ini diprakarsai oleh Hylleraas pada tahun

1928-1930. Dia menggunakan fungsi variasi yang memperhitungkan jarak antar elektron r12

secara eksplisit. Hal ini memungkinkan orang untuk membicarakan berapa besar efek yang

diberikan oleh sebuah elektron dalam pergerakannya, terhadap elektron yang lain. Fungsi yang

dipergunakan oleh Hylleraas adalah:

=

12 1.2 1

rbeeNr

ar

a oo

(9-68)

N adalah tetapan normalisasi, dan b adalah parameter variasional. Karena:

2/1221

221

22112 zzyyxxr (9-69)

akibatnya fungsi (9-68) bersifat tidak sesederhana bentuk perkalian fungsi (9-67). Minimalisasi

terhadap integral variasional terhadap masing-masing parameter, menghasilkan parameter =

1,849 dan b = 0,364/ao dan energi ground state 78,7 eV, yang artinya, kesalahannya 0,3 eV

195

atau 0,38 %. Dengan menggunakan fungsi yang lebih rumit (terdiri atas 6 suku dan

mengandung r12), Hylleraas berhasil memperoleh energi ground state helium dengan kesalahan

hanya 0,013 %.

Pekerjaan Hylleraas, dikembangkan oleh para ahli lain. Dengan menggunakan fungsi

variasi yang terdiri atas 1078 suku, Pakeris memperoleh energi ground state helium

2,903724375 )/'( 2oae . Dengan mempergunakan fungsi yang lebih disempurnakan, Schwartz

memperbaiki hasil kerja Pakeris, dan memperoleh energi ground state helium

2,903724375 )/'( 2oae . Hasil ini hanya berbeda dalam rentang 10

9)/'( 2

oae terhadap energi

ground state helium non relativistik yang sesungguhnya (Levine, 1998)

Kalkulasi variasional terhadap litium ground state menggunakan fungsi 60 suku dan

mengandung r12 , r23 dan r13 menghasilkan energi ground state )/'( 2oae . Bandingkan

dengan energi litium ground state yang sesungguhnya, 7,47807 )/'( 2oae . Kalkulasi

variasional dengan fungsi yang mengandung rij menjadi sangat rumit untuk atom berelektron

banyak karena akan melibatkan suku yang sangat banyak serta integral yang sangat rumit.

9.6 Teori Perturbasi untuk Level Energi Degenerate

Sekarang kita akan membahas level energi yang derajad degenerasinya adalah d. Tentu

saja kita mempunyai d fungsi gelombang tak terperturbasi yang linear independen. Kita akan

memberi label 1, 2, 3, . . .d untuk state dari level-level degenerate itu. Persamaan Schrodinger

tan terperturbasinya adalah:

)()()( on

on

on

o EH

(9-70)

dengan

)()(3

)(2

)(1 ...... o

dooo EEEE (9-71)

d * H

= d *'22

oa

e +

d

r

*'')(

1

22

oa

eeZ

+

d r

*'')(

2

22

oa

eeZ +

d

r

*'

12

2e (9-61)

196

Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti

bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:

ƒ1 = 1

2/3

2/1

1 ra

o

oea

; ƒ2 =

2 2/3

2/1

1 ra

o

oea

(9-62)

dengan catatan = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam

persamaan (9-61)

d *

d r

*

1

= 1r

d1 d2 =

1

r d1 . d2 =

1

r d1 .

=

0

2

0

1

0

1112

11

2/3

2/1

2/3

2/1

sin

1.

1 1 1

dddrr

r

ea

ea

ra

o

ra

o

oo

=

0

2

0

1

0

111

2

1

3

sin1 1

dddrer

a

ra

o

o

=

2cos

2

101

23

o

o

a

a

=

22

2

123

o

o

a

a =

oa

Dengan cara yang sama diperoleh:

d r

*

2

= oa

Akhirnya kita harus mengevaluasi

d r

*'

12

2e . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z

diganti , sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu:

d r

*'

12

2e =

oa

e 2'

8

5 (9-63)

Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:

ƒ18ƒ1 ƒ2

8ƒ2 d1 d2 = 1

ƒ18ƒ1 ƒ2

8ƒ2 ƒ18ƒ1

ƒ28ƒ2

ƒ18ƒ1

197

d * H

= oa

eZ

22 '

8

52

(9-64)

Sebagai pengujian, jika kita menggunakan = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-

64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).

Sekarang kita mencari nilai parameter agar integral variasional bernilai minimal.

Problem perturbasinya adalah:

nnn EH

(9-72)

'HHH o (9-73)

Apabila semakin mendekati nol, nilai eigen pada (9-72) semakin mendekati nilai eigen

(9-70); jadi kita mempunyai )(0lim o

nn EE . Ini juga berarti bahwa untuk mendekati 0,

fungsi eigen persamaan (9-72) mendekati fungsi eigen (9-70). Apakah ini berarti bahwa

0lim )(o

nn ? Jawabnya adalah, tidak harus demikian. Jika )(onE non degenerate, fungsi

)(on ternormalisasi yang berasal dari oH

dengan nilai eigen )(o

nE merupakan fungsi yang unik,

dan kita boleh yakin bahwa )(0lim o

nn EE . Namun, jika nilai eigennya berlevel d-fold

degenerate, maka solusi untuk persamaan (9-70) adalah kombinasi linear berikut:

)()(22

)(11 . . . . o

ddoo ccc (9-74)

dengan nilai eigen (9-71). Himpunan secara linear, fungsi ternormalisasi:

)()(2

)(1 . . . o

doo

yang kita gunakan sebagai fungsi eigen untuk state yang terdegenerate adalah fungsi yang tidak

unik karena akan ada d macam fungsi yang nilai eigennya sama. . Dengan menggunakan (9-74)

kita dapat menyusun himpunan-himpunan fungsi ternormalisasi berderajat degenerate d yang

banyaknya tak terhingga. Sebagai contoh, untuk state 2p atom hidrogen yang bersifat 3-fold

degenerate, kita dapat menggunakan fungsi 2p1, 2p0 dan 2p+1, atau fungsi 2px , 2py dan 2pz atau

himpunan 3 fungsi independen yang lain untuk disusun menjadi kombinasi linear. Untuk eigen

terperturbasi yang mengalami d-fold degenerate, dapat dinyatakan bahwa seandainya

mendekati nol, kombinasi linear yang dihasilkan adalah:

198

d

i

oiin c

1

)(

0lim

dn 1

Tugas kita yang pertama adalah menentukan fungsi gelombang order nol (9-75) untuk

perturbasi 'H

. Jika fungsi yang akan kita tentukan itu kita beri nama )(on , maka:

d

i

oii

on c

1

)()( dn 1 (9-76)

Masing-masing fungsi )(on dalam (9-76) mempunyai koefisien yang berbeda. Himpunan

fungsi order nol yang benar bergantung pada bentuk perturbasi 'H

.

Perlakuan terhadap level d-fold degenerate berlangsung sebagaimana perlakuan pada

non degenerate (sub bab 9.2), tentu saja kita gunakan )(on sebagai ganti untuk )(o

n .

Sebagaimana (9-13) dan (9-14), kita telah mempunyai:

n = d(0) + n

(1) + 2n(2) + 3 n

(3) + . . n = 1, 2, ...d (9-77)

En = Ed(0) + En

(1) + 2En(2) + 3En

(3) + . . . n = 1, 2, ...d (9-78)

dimana pada perlakuan ini (9-71) juga digunakan. Substitusi (9-77) dan (9-78) ke dalam

persamaan Schrodinger nnn EH

, menghasilkan:

)'( HH o n

(0) + n(1) + 2n

(2) + 3 n(3) + . .)

= (Ed(0) + En

(1) + 2En(2) + 3En

(3) + . . .)n(0) + n

(1) + 2n(2) + 3 n

(3) + . .)

Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 0 pada persamaan tersebut, menghasilkan

)()( od

on

o EH )0(

n . Dengan teorema pada bab 3 sub bab 3.6, masing-masing kombinasi linear

)0(n (n = 1,2 . . . d) adalah fungsi eigen dari oH

dengan nilai eigen )(o

nE , dan persamaan

tersebut tidak memberikan informasi baru.

Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 1 menghasilkan:

)()1()1()()()1( ' onnn

od

onn

o EEHH

)()()1()1()()1( ' on

onnn

odn

o HEEH

, n = 1,2, . . .d (9-79)

199

Selanjutnya (9-79) dikalikan dengan *)(om dan dintegralkan seluruh ruang dengan m adalah

salah satu state yang berada dalam level d-degenerate tak terperturbasi, jadi m terletak antara 1

dan d atau dm 1 .

)()()1(*)()1()()1(*)( ' on

onn

omn

odn

oom HEEH

Jika tanda * tidak ditulis dan diadakan penataan , diperoleh:

)()()()()1()1()()()1()( ' on

om

on

omnn

om

odn

oom HEEH

, dm 1

(9-80)

Dari persamaan (9-20) kita mempunyai )1()()()1()( no

mo

mnoo

m EH

= 0. Dari (9-

71) kita )()( od

om EE untuk dm 1 , jadi )1()()()1()( n

om

odn

oom EH

juga = 0,

sehingga (9-80) menjadi:

0 ' )()()1()()( on

omn

on

om EH

, dm 1 (9-80a)

Substitusi kombinasi linear (9-76) ke dalam (9-80a) menghasilkan:

0 ' 1

)()()1(

1

)()(

d

i

oii

omn

d

i

oii

om cEcH

atau:

0 ' )()(

1

)1()()(

1

oi

om

d

iin

oi

om

d

ii cEHc

(9-81)

Fungsi gelombang order nol )(oi (i – 1, 2, . . d) untuk level degenerate selalu dapat dipilih

yang ortonormal, sehingga berlaku:

mj)()( o

io

m (9-82)

untuk rentang m dan i antara 1 dan d. Jika (9-82) dimasukkan ke dalam (9-81) kita peroleh:

0c ' i1

mj)1(

1

)()(

d

in

d

i

oi

om EH

, m = 1, 2, . . .d (9-83)

200

Persamaan (9-83) ini merupakan himpunan d persamaan homogen linear dari d koefisien yang

tak diketahui. Jika agar tampak sederhana, )()( ' oi

om H

ditulis '

miH

, maka persamaan (9-

83) dapat dijabarkan menjadi:

0 )( . . . . . . H

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

84)-(9 0 H . . . . . . )(

0 H . . . . . . )(

)1('112

'd21

'1

'2d2

)1('111

'22

'1d2

'121

)1('11

dnd

dn

dn

cEHccH

ccEHcH

ccHcEH

Agar himpunan persamaan linear (9-84) memiliki solusi trivial, determinan koefisien himpunan

tersebut harus nol, jadi:

det mj)1()()( ' n

oi

om EH

= 0 (9-85)

86)-(9 0

)( . . . . . . H

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

H . . . . . . )(

H . . . . . . )(

)1(''d2

'1

'2d

)1('22

'21

'1d

'12

)1('11

nddd

n

n

EHH

EHH

HEH

Persamaan (9-86) disebut persamaan sekular, yang merupakan persamaan aljabar berderajat d

dinyatakan dalam )1(nE . Tentu saja persamaan ini mempunyai akar sebanyak d, yaitu

)1()1(2

)1(1 , . . . ,, dEEE , yang merupakan koreksi order pertama untuk level d-degenerate tak

terperturbasi.

Jika akar-akarnya semuanya berbeda, maka koreksi perturbasi order pertama memecah level d-

fold degenerate tak terperturbasi menjadi sebanyak d level energi perturbasi yang saling

berbeda yaitu:

)1(1

)( EE od ; )2(

1)( EE o

d ; . . . . . . )1()(d

od EE

Jika ada beberapa akar yang sama maka pemecahannya tidak lengkap menjadi sebanyak d level

perturbasi. Namun, untuk pembahasan kali ini, kita akan mengasumsikan bahwa akar-akar (9-

86) saling berbeda.

201

Setelah mendapatkan d macam nilai koreksi energi order pertama, kita akan kembali ke

(9-84) untuk mendapatkan nilai ci yang belum diketahui, yang merupakan penentu fungsi

gelombang order yang sesungguhnya. Untuk menentukan fungsi gelombang order nol :

)()(22

)(11

)( . . . . odd

ooon ccc (9-87)

yang energinya adalah akar )1(nE , kita harus menyelesaikan (9-84) untuk c2, c3, . . . cd

dinyatakan dalam c1 dan kemudian c1 dihitung melalui normalisasi. Penggunaan (9-87) ke

dalam 1 (o)n

)( on menghasilkan:

d

k 1

21 1 c (9-88)

Untuk setiap akar )1(nE , (n = 1, 2, . . ., d), kita mempunyai himpunan-himpunan koefisien c1

yang berbeda yang akan memberikan fungsi gelombang order nol sesungguhnya yang berbeda

juga. Dalam sub bab berikutnya akan ditunjukkan bahwa:

)1(nE = )()( ' o

no

n H

, n = 1, 2, . . ., d (9-89)

yang sama dengan formula untuk non degenerate (9-22), tetapi tentu saja hanya fungsi yang

dipergunakan.

Dengan prosedur yang sama dengan kasus degenerate itu, sekarang kita dapat

menghitung koreksi order pertama untuk fungsi gelombang order nol serta dengan demikian

juga dapat menghitung koreksi energi order kedua.

Sebagai contoh, akan kita lihat efek perturbasi 'H

terhadap level energi degenerate terendah

dari partikel dalam box tiga dimensi. Kita telah tahu bahwa tiga state terendahnya adalah

dan , )(2,1,1

)(1,2,1

)(1,1,2

ooo . Fungsi-fungsi tersebut ortonormal, dan persamaan sekular (9-86)

adalah:

0

' .' '

' ' '

' ' '

)1()(112

)(112

)(121

)(112

)(211

)(112

)(112

)(121

)1()(111

)(121

)(211

)(121

)(112

)(211

)(121

)(211

)1()(211

)(211

noooooo

oon

oooo

oooon

oo

EHHH

HEHH

HHEH

202

Penyelesaian persamaan tersebut menghasilkan koreksi energi order pertama:

11E ; 1

2E ; 13E (9-90)

Jadi melalui koreksi order pertama, level degenerate tripel tak terperturbasi, pecah menjadi tiga

level, yaitu:

11

22 )8/6( Emah ; 12

22 )8/6( Emah ; 13

22 )8/6( Emah

Dengan menggunakan akar-akar (9-90) kita akan memperoleh himpunan-himpunan persamaan

simultan (9-84). Jika masing-masing himpunan ini diselesaikan, akan kita peroleh tiga

himpunan koefisien yang membedakan ketiga fungsi gelombang order nolnya.

9.6 Penyederhanaan Persamaan Sekular

Penyelesaian persamaan sekular (9-86) akan lebih mudah jika elemen-elemen determinan selain elemen diagonal bernilai nol. Dalam sebagian besar kasus, elemen-elemen di luar elemen diagonal adalah nol, sehingga (9-86) dapat ditulis:

91)-(9 0

)( . . . . . . 0 0

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

0 . . . . . . )( 0

0 . . . . . . 0 )(

)1('

)1('22

)1('11

ndd

n

n

EH

EH

EH

1'1'22

1'11 . . . . . . . . nddnn EHEHEH = 0

'11

11 HE ;

'22

12 HE ; . . . . . . ;

'1ddd HE (9-92)

Sekarang kita akan menentukan fungsi gelombang order pertama. Kita akan mengasumsikan

bahwa akar-akar (9-92) masing-masing berbeda satu terhadap yang lain. Untuk akar '11

1 HEn ,

persamaan (9-84) menjadi: 0 = 0

'11

'22 HH

c2 = 0 . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

'11

' HH dd cd = 0

Karena kita mengasumsikan bahwa semua akar-akarnya berbeda, tentu saja nilai '11

'22 HH , . .,

'11

' HH dd , tidak mungkin nol. Dengan demikian,

c2 = 0, c3 = 0 , . . . . . cd = 0

203

Kondisi normalisasi pada (9-88) menghasilkan c1 = 1. Jadi fungsi gelombang order nol yang

sesungguhnya berdasarkan koreksi energi perturbasi order pertama '11H adalah [(persamaan 9-76)]:

0

10

1

Dengan cara yang sama, untuk akar '22H , diperoleh:

0

20

2

Dengan menggunakan akar-akarnya yang tersisa, dan dengan cara yang sama pula, diperoleh:

0

30

3 ,

. . . ., 0

d0 d

Jadi, jika determinan sekular berbentuk determinan diagonal, maka fungsi 01 ,

02 , . . .

0d yang

kita asumsikan merupakan fungsi gelombang terperturbasi order nol yang sesungguhnya. Kebalikan dari pernyataan di atas, juga benar. Jika fungsi-fungsi yang kita asumsikan ternyata adalah fungsi perturbasi

yang benar, maka determinan sekularnya merupakan determinan diagonal. Dari 0

10

1 , kita

koefisien pada ekspansi

d

iiic

1

001 adalah c1 = 1, dan c2 = c3 = . . . = cd = 0, jadi untuk n = 1,

himpunan persamaan simultan (9-84) menjadi:

001

'11 EH , 0'

21 H , .. . . . . . 0'1 dH

Aplikasi hal yang sama untuk fungsi 0n yang lain, membawa kita pada kesimpulan bahwa 0' miH

untuk mi . Dengan demikian, penggunaan fungsi order nol akan membuat determinan sekular menjadi determinan diagonal. Perlu diingat juga bahwa koreksi energi order pertama dapat diperoleh dengan cara menghitung rata-rata dengan menggunakan fungsi gelombang order nol, jadi:

00'1 ' nnnnn HHE

(9-93)

Pada umumnya, jika determinan sekular tidak berbentuk determinan diagonal, maka bentuknya adalah determinan blok. Sebagai contoh:

94)-(9 0

)( 0 0

. )( 0 0 .

0 0 )(

0 0 )(

)1(''43

'34

)1('31

)1('22

'21

'12

)1('11

ndd

n

n

n

EHH

HEH

EHH

HEH

Determinan sekular (9-94) mempunyai bentuk yang sama dengan persamaan sekular variasi linear (8-40) dengan Sij = ij. Dengan cara yang sama dengan yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dua dari fungsi variasi adalah kombinasi linear dari f1 dan f2 dua yang lain adalah kombinasi linear dari f3 dan f4 [Persamaan (8-45) dan (8-46)], kita dapat menunjukkan bahwa dua fungsi gelombang order nol adalah

kombinasi linear dari 01 dan

02 sedang dua yang lain adalah kombinasi linear dari

03 dan

04 :

0

220

110

1 cc ,

204

0

2'0

1'1

02 2

cc

0

440

330

3 cc ,

0

4'4

03

'3

04 cc

dimana tanda absen digunakan untuk menunjukkan koefisien yang berbeda. Jika determinan sekular dari teori perturbasi degenerate adalah dalam bentuk determinan blok, maka persamaan sekular akan pecah menjadi dua atau lebih persamaan sekular yang lebih kecil, dan himpunan persamaan simultan (9-84) untuk koefisien ci pecah menjadi dua atau lebih himpunan persamaan simultan yang lebih kecil. Selanjutnya, bagaimana kita dapat memilih fungsi-fungsi gelombang order nol yang benar yang dengan

itu kita dapat melakukan simplifikasi terhadap persamaan sekularnya ?. Jika ada operator A

yang

kommute baik terhadap oH

maupun 'H

, maka kita dapat memilih fungsi tak terperturbasi yang

merupakan fungsi eigen dari operator A

. Karena A

yang kommute terhadap oH

maupun 'H

, dengan

demikian fungsi eigen pilihan kita itu akan membuat integral 'ijH bernilai nol jika

0i dan

0j

mempunyai nilai eigen berbeda terhadap A

(lihat teorema 6 bab 7). Jadi, jika nilai eigen A

untuk 00

20

1 , . . . . . . ,, d semuanya berbeda, maka determinan sekularnya akan berbentuk determinan

diagonal, dan kita akan memperoleh fungsi gelombang order nolnya. Jika beberapa nilai eigennya ada yang sama, maka yang kita peroleh adalah determinan blok. Pada umumnya, fungsi order nol merupakan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tak terperturbasi yang mempunyai nilai eigen sama terhadap operator

A

. 9.7 Perturbasi Pada Helium Tereksitasi Kita telah membahas teori perturbasi untuk helium ground state. Sekarang kita akan membahas helium tereksitasi yang terendah. Energi tak terperturbasinya dapat dihitung dengan menggunakan (9-48). Tingkat eksitasi tak terperturbasi yang terendah mempunyai n1 = 1 dan n2 = 2 atau n1 = 2 dan n2 = 1, dan substitusinya pada (9-48) menghasilkan:

oa

eZE

220 '

8

5

=

oa

e

2

'2

8

20 2

= 5(13,606 eV) = 68,03 eV

(9-95) Ingat, bahwa level n = 2 untuk hidrogen adalah 4-fold degenerate karena untuk hidrogen 2s dan 2p mempunyai energi yang sama. Jadi level energi tak terperturbasi tereksitasi pertama adalah 8-fold degenerate; fungsi gelombang tak terperturbasinya adalah:

)2(2)1(101 ss

)2(2)1(105 yps

(9-96)

205

)1(2)2(102 ss

)1(2)2(106 yps

)2(2)1(103 xps

)2(2)1(107 zps

)1(2)2(104 xps

)1(2)2(108 zps

dengan 1s(1)2s(2) adalah perkalian antara fungsi hidrogen 1s untuk elektron pertama dengan fungsi

hidrogen 2s untuk elektron kedua. Sebagai contoh, bentuk eksplisit dari fungsi 08 adalah:

oo aZr

o

aZr

o

ea

Zer

a

Z /2/3

2/112/

1

2/5

2/1

08

211

.cos.24

1

Kita lebih memilih bentuk real untuk fungsi 2p dari pada bentuk kompleksnya. Karena level tak terperturbasinya adalah degenerate, kita harus menyelesaikan persamaan sekularnya.

Persamaan sekular (9-86) mengasumsikan bahwa fungsi 01 ,

02 , .......

08 adalah ortonormal.

Kondisi ini ternyata dipenuhi. Sebagai contoh:

d0

1*0

1 = 21 d d )2(2)1(1*)2(2*)1(1 ssss

=

22

12 2s(2) )1(1 dds = 1 . 1 = 1

d

02

*01 = 21 d d )1(2)2(1*)2(2*)1(1 ssss

=

21 )2(2)2(1 )1(2)1(1 dssdss = 0 . 0 = 0

Karena adalah 8 fungsi tak terperturbasi, jadi determinan sekularnya pasti mempunyai 82 = 64 elemen.

Operator 'H

adalah Hermitian, dan *''jiij HH

. Juga, karena 'H

dan

01 . . . . .

08 semuanya

real, kita mempunyai '*'jiij HH

, jadi ''

jiij HH

. Determinan sekular bersifat simetrik terhadap

diagonal utama. Hal ini membuat pekerjaan mengevaluasi integral menjadi terpotong sekitar separuhnya. Dengan menggunakan konsiderasi paritas, kita dapat menunjukkan bahwa sebagian besar integral bernilai nol.

Pertama, marilah kita lihat '13H

:

206

'13H =

22211112

2

)2(2)1(1'

)2(2)1(1 dzdydxdzdydxpsr

ess x

Fungsi s hidrogen hanya bergantung pada r = (x2 + y

2 + z

2)½ dan oleh karena itu merupakan fungsi

genap. Fungsi 2px(2) adalah fungsi ganjil terhadap x2, dan r12 dinyatakan oleh (9-69). Jika kita

menginversi ke enam koordinat, r12 tidak berubah: r12 = [(x1 +

x2)2 + (y1 + y2)

2 + (z1 + z2)

2 ] = r12

Kemudian, jika keenam koordinat pada '13H

diinversi, nilainya berubah menjadi minus nilai semula.

Jadi '13H

tersebut merupakan integral fungsi ganjil, sehingga kita boleh menyimpulkan bahwa '13H

= 0.

Dengan alasan yang sama kita peroleh '14H

= '15H

= '16H

= '17H

= '18H

= 0 dan

'23H

= '

24H

= '25H

= '

26H

= '27H

= '

28H

= 0. Sekarang kita akan mengevaluasi '35H

:

'35H

=

22211112

2

)2(2)1(1'

)2(2)1(1 dzdydxdzdydxpsr

eps yx

Perhatikan pengaruh perubahan x1 x2 dan x2 x2. Transformasi ini tidak mengubah harga r12. Fungsi 1s(1) dan 2py(2) tidak terpengaruh oleh perubahan ini, namun 2px(2) menjadi negatif terhadap

nilai semula. Dengan demikian secara keseluruhan nilai '35H

menjadi negatif terhadap transformasi ini,

dan dapat disimpulkan pula bahwa '35H

= 0. Dengan cara yang sama diperoleh '

36H

= '37H

= '

38H

= 0

dan '45H

= '

46H

= '47H

= '

48H

= 0. Dengan melakukan transformasi y1 y1 dan y2 y2 dapat

ditunjukkan bahwa '57H

= '

58H

= '67H

= '

68H

= 0. Dengan demikian persamaan sekularnya adalah:

00

b00

00b

00b

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

b00

b00

00

00b

88'78

'7877

66'56

'5655

44'34

'3433

22'12

'1211

bH

H

H

H

H

H

bH

H

= 0 (9-97a)

1' EHb iiii

i = 1, 2, ....., 8

Determinan sekularnya berbentuk determinan blok, dan hasilnya adalah perkalian empat buah

determinan yang masing-masing adalah determinan order dua. Dapat kita simpulkan bahwa

fungsi gelombang order nolnya mempunyai bentuk sebagai berikut:

207

022

011

01 cc , 0

220

110

2 cc

044

033

03 cc , 0

440

330

4 cc

066

055

05 cc , 0

660

550

6 cc

088

077

07 cc , 0

880

770

8 cc

dimana koefisien c berhubungan dengan akar pertama sedang c

berhubungan dengan akar

kedua.

Determinan yang pertama dari (9-97a) adalah:

1'

22'12

'12

1'11

EHH

HEH

= 0 (9-98)

Kita mempunyai:

2112

2'11 .dz . . . . . . . . dx )2(2)1(1

')2(2)1(1........... ss

r

essH

atau:

2112

222'

11 d d '

)2(2)1(1 r

essH

2112

222'

22 d d '

)1(2)2(1 r

essH

Variabel integrasinya merupakan variabel yang dapat diberi sembarang simbol. Marilah kita

sekarang melakukan pe-label-an ulang terhadap variabel dalam '22H

dengan ketentuan sebagai

berikut: Kita adakan pertukaran x1 dan x2, pertukaran y1 dan y2 serta pertukaran z1 dan z2.

Pelabelan ulang ini tidak mengubah nilai r12, jadi:

'1112

12

222'

22 d d '

)2(2)1(1 Hr

essH

(9-99)

Argumentasi yang sama menunjukkan bahwa '33H

= '

44H

, '55H

= '

66H

dan '77H

= '

88H

.

Selanjutnya '11H

diberi simbol ssJ 21 :

(9-97b)

208

2112

222

21'11 d d

')2(2)1(1

r

essJH ss

(9-100)

Bentuk (9-100) merupakan contoh integral Coulomb. Nama ini muncul karena adanya fakta

bahwa ssJ 21 sama dengan energi elektrostatik yang muncul dari repulsi antara elektron pertama

yaitu yang fungsi densitas probabilitasnya [1s]2 dengan elektron kedua. yang fungsi densitas

probabilitasnya [2s]2. Selanjutnya '12H

diberi simbol ssK 21 :

2112

2

21'12 d d )2(1)1(2

')2(2)1(1 ss

r

essKH ss

(9-101)

Ini disebut integral pertukaran karena fungsi yang letaknya sebelah menyebelah dengan e’2/r12

berbeda satu dengan yang lain hanya lantaran pertukaran elektron satu dengan dua. Definisi

umum untuk integral Coulomb ijJ dan integral pertukaran ijK adalah:

21'

2112

2

jijiij ffr

effj ; 21

'21

12

2

ijjiij ffr

effK (9-102)

Integrasinya dilakukan untuk seluruh rentang koordinat spasial dari elektron 1 dan 2 dan fi dan

fj adalah orbital spasial.

Substitusi (9-99) sampai (9-101) ke dalam (9-98) menghasilkan:

1

2121

211

21

EJK

KEJ

ssss

ssss

= 0 (9-103)

221

2121 ssss KEJ

ssss KEJ 21

121

ssss KJE 2121

1

`` ssss KJE 2121

11 ;

ssss KJE 21211

2 (9-104)

Sekarang kita dapat menghitung koefisien dari fungsi gelombang order nol yang berhubungan

dengan dua harga 1E tersebut.. Untuk ini kita gunakan (9-84). Jika hanya ada dua harga 1E ,

maka hanya ada dua harga koefisien c, sehingga (9-84) menjadi:

2'121

11

'11 cHcEH = 0

209

21

2'221

'21 cEHcH = 0

atau:

2211212121 )( cKcKjJ ssssssss = 0

2212121121 cKJJcK ssssssSS = 0

atau:

221121 cKcK ssss = 0

221121 cKcK ssSS = 0

Kedua persamaan tersebut sama, yaitu:

2121 ccK ss = 0

Karena ssK 21 pasti tidak nol, maka c1 + c2 = 0 atau c1 = c2. Dari normalisasi:

01

01 = 1, diperoleh:

022

011

022

011 cccc = 1

atau:

021

011

021

011 cccc = 1

02

02

21

01

02

21

02

01

21

01

01

21 cccc = 1

2

12

1 cc = 1 2

1c = ½ = 21, jadi:

2/11 2c

Substitusi c1 ke dalam (9-97b) menghasilkan dua fungsi order nol yaitu:

)2(1)1(2)2(2)1(12)(2 2/102

01

2/101 ssss (9-105)

)2(1)1(2)2(2)1(12)(2 2/102

01

2/102 ssss (9-106)

Tiga determinan yang lain dari (9-97a) adalah:

210

00

b00

00b

00b

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

b00

b00

00

00b

88'78

'7877

66'56

'5655

44'34

'3433

22'12

'1211

bH

H

H

H

H

H

bH

H

1'

33'34

'34

1'33

EHH

HEH

= 0 (9-107)

1'

55'56

'56

1'55

EHH

HEH

= 0 (9-108)

1'

77'78

'78

1'77

EHH

HEH

= 0 (9-109)

Perhatikan '33H dan '

55H :

'33H =

2112

2

............. )2(2)1(1'

)2(2)1(1......... dzdxpsr

eps xx

'55H =

2112

2

............. )2(2)1(1'

)2(2)1(1......... dzdxpsr

eps yy

Kedua integral tersebut adalah sama, hanya )2(2 xp diganti )2(2 yp , dan kedua orbital ini

sepenuhnya sama dan hanya berbeda orientasinya dalam ruangan. Selanjutnya, juga dapat

digunakan lasan yang sama untuk menyatakan bahwa '77H juga sama dengan '

33H dan '55H .

Ketiga integral ini disebut integral Coulomb psJ 21 . Jadi:

'33H = '

55H = '77H = psJ 21 = 21

12

2

)2(2)1(1'

)2(2)1(1 ddpsr

eps zz

Selanjutnya perhatikan '34H , '

56H dan '78H :

211

'34H =

2112

2

............. )1(2)2(1'

)2(2)1(1......... dzdxpsr

eps xx

'55H =

2112

2

............. )1(2)2(1'

)2(2)1(1......... dzdxpsr

eps yy

'78H =

2112

2

............. )2(2)1(1'

)2(2)1(1......... dzdxpsr

eps zz

Ketiga integral tersebut adalah sama dan ketiganya disebut integral pertukaran psK 21 . Jadi:

'34H = '

56H = '78H = psJ 21 = 21

12

2

)1(2)2(1'

)2(2)1(1 ddpsr

eps zz

Dengan demikian ketiga determinan (9-107) sampai (9-109) adalah identik dan mempunyai

bentuk:

1

2121

211

21

EJK

KEJ

psps

psps

= 0

Determinan ini mirip dengan (9-103), dan dengan analogi terhadap (9-104) (9-106), kita

memperoleh:

psps KJEEE 2121

17

15

13 (9-110)

psps KJEEE 2121

18

16

14 (9-111)

)1(2)2(1)2(2)1(12 2/103 xx psps

)1(2)2(1)2(2)1(12 2/104 xx psps

)1(2)2(1)2(2)1(12 2/105 yy psps

)1(2)2(1)2(2)1(12 2/106 yy psps

)1(2)2(1)2(2)1(12 2/107 zz psps

)1(2)2(1)2(2)1(12 2/108 zz psps

(9-112)

212

Ternyata bahwa repulsi e’2/r12 telah mengubah dugaan kita terhadap degenerasi. Semula diduga

bahwa energi level he tereksitasi adalah 8-fold denegerate.. Ternyata 8-ford hipotetis ini pecah

menjadi 2 buah level non degenerate 1s2s dan 2 buah level yang masing-masing 3-fold

degenerate yang berhubungan dengan konfigurasi 1s2p.

Untuk mengevaluasi integral Coulomb dan integral pertukaran dalam 1E pada

persamaan (9-104) dan (9-110) kita dapat menggunakan ekspansi 1/r12 sebagaimana telah kita

lakukan pada (9-53), dan hasilnya adalah (buktikan !):

o

ssa

ZeJ

2

21'

81

17 = 11,42 eV

ops

a

ZeJ

2

21'

243

59

= 13,21 eV

o

ssa

ZeK

2

21'

729

16 = 1,19 eV

o

psa

ZeK

2

21'

6561

112 = 0,93 eV

dengan menggunakan Z = 2. Ingat bahwa 0E = 68,08 eV. Jadi ada empat level energi

koreksi order pertama, yaitu (gambar 9.2):

eVKJEEE ssss 8,57212101

10

eVKJEEE ssss 4,55212101

20

eVKJEEE psps 7,53212101

30

eVKJEEE psps 9,53212101

40

(9-113)

Jp

Js

1s2p

1s2s

53,9 eV

55,4 eV

55,7 eV

57,8 eV

Kp

Ks

213

Gambar 9.2 : Level tereksitasi pertama dari atom helium

Koreksi energi order pertama menunjukkan bahwa level bawah dari 1s2p ternyata lebih rendah dari level atas pada konfigurasi 1s2s. Studi terhadap spektrum atom helium menunjukkan bahwa kenyataannya tidak seperti itu. Kesalahan ini akan terhapus jika dilakukan koreksi energi perturbasi dengan order yang lebih tinggi.

9.8 Perbandingan antara Metode Variasi dengan Perturbasi

Penggunaan metode variasi hanya terbatas untuk level ground state dari sebuah atom atau molekul yang merupakan state dari sebagian besar unsur atau senyawa kimia sedang metode perturbasi dapat diterapkan untuk seluruh state dalam atom dan molekul. Meskipun metode perturbasi, secara teoritik dapat digunakan untuk melakukan kalkulasi terhadap seluruh state, namun kenyataannya, adalah sangat rumit untuk melakukan kalkulasi penjumlahan terhadap state diskrit yang banyaknya tak terhingga dan kalkulasi integral untuk mengevaluasi koreksi order kedua atau yang lebih tinggi.

Dengan metode perturbasi, kita dapat mengkalkulasi energi dengan hasil yang sangat

akurat (sampai dengan koreksi order 2k+1) dengan menggunakan fungsi gelombang order k.

Sementara itu, meskipun metode variasi tidak dapat menghasilkan kalkulasi secara sangat

akurat, tetapi metode ini dapat digunakan untuk menghitung energi dengan fungsi gelombang

yang tidak harus akurat.

Meskipun hampir semua kalkulasi terhadap fungsi gelombang molekul telah dilakukan

orang dengan menggunakan metode variasi, namun ada baiknya dilakukan kembali kalkulasi

yang sama tetapi dengan metode perturbasi.

9.9 Teori Perturbasi Bergantung Waktu

Dalam spektroskopi, kita selalu bekerja dengan sistem dalam state stasioner, mengekspose-nya

menjadi radiasi elektromagnet (cahaya), dan kemudian melakukan pengamatan setelah sistem

mengalami transisi menjadi sistem stasioner yang baru. Radiasinya menghasilkan energi

214

potensial bergantung waktu pada operator Hamiltonian, jadi kita harus menggunakan persamaan

Schrodinger bergantung waktu. Metode pendekatan yang lazim dipergunakan dalam kasus ini

disebut teori perturbasi bergantung waktu.

Perhatikan sebuah sistem (atom atau molekul) dan kita misalkan sistem itu mempunyai

Hamiltonian bebas waktu oH

(dalam keadaan tidak ada radiasi maupun perturbasi bergantung

waktu yang lain) dan mempunyai perturbasi bergantung waktu 'H

. Persamaan Schrodinger

bebas waktu untuk problem tak terperturbasi adalah:

ok

ok

ok

o EH

(9-114)

dengan okE adalah energi stasioner dan o

k adalah fungsi gelombang. Selanjutnya, persamaan

Schrodinger bergantung waktu (dalam keadaan ada radiasi) adalah:

'HH

tio

(9-115)

dengan adalah fungsi gelombang bergantung pada koordinat spasial, koordinat spin (diberi

simbol q) dan bergantung waktu, jadi = (q,t).

Pada mulanya, kita anggap bahwa )(' tH

tidak ada (dianggap dalam keadaan tak

terperturbasi). Dengan demikian persamaan Schrodingernya (tak terperturbasi) adalah:

oH

ti

(9-116)

Kemungkinan bahwa sistem ini stasioner, diberikan oleh ok

tiEok

oke

/ , dengan o

k adalah

fungsi eigen dari oH

[persamaan (9-114)]. Tiap-tiap ok merupakan solusi dari (9-116).

Selanjutnya, kombinasi linear:

k

okk

o c =

k

ok

tiEk

okec

/ (9-117)

adalah solusi dari persamaan Schrodinger (9-116) . Tetapan kc adalah sebuah tetapan bebas

waktu.

Fungsi ok membentuk himpunan lengkap (karena mereka merupakan fungsi eigen dari

operator Hermitian oH

), sedemikian rupa sehingga setiap solusi (9-116) dapat dinyatakan

215

dalam bentuk (9-117). Dengan demikian (9-117) adalah solusi umum bagi persamaan

Schrodinger bergantung waktu (9-116), dan oH

bersifat bebas waktu.

Sekarang kita anggap bahwa )(' tH

sadah ada. Dalam keadaan ini, (9-117) tidak lagi

merupakan solusi persamaan Schrodinger bergantung waktu. Namun, karena fungsi tak

terperturbasi ok membentuk himpunan lengkap, akibatnya fungsi yang sesungguhnya dapat

berada di sembarang waktu yang diekspansi sebagai kombinasi linear dari fungsi ok menurut

relasi k

okk

o b . Karena H

bergantung waktu, tentu saja akan berubah terhadap waktu

dan ekspansi koefisien kb juga berubah terhadap waktu. Oleh karena itu:

=

k

ok

tiEk

oketb

/ (9-118)

Dalam kondisi limit )(' tH

0, ekspansi (9-118) akan tereduksi menjadi (9-117).

Substitusi (9-118) ke dalam persamaan Schrodinger bergantung waktu (9-115) dan

penggunaan (9-114) menghasilkan:

ok

tiE

k

koke

dt

db

i /

+ ok

tiE

kk

ok

okebE

/

= ok

ok

tiE

kk Eeb

ok

/

+ o

ktiE

kk Heb

ok '

/

ok

tiE

k

koke

dt

db

i /

= ok

tiE

kk Heb

ok '

/

Selanjutnya kita kalikan dengan *om dan diintegrasi ke seluruh koordinat spasial dan

spin. Dengan menggunakan sifat ortonomalitas dari fungsi gelombang tak terperturbasi, kita

peroleh:

ok

om

tiE

k

koke

dt

db

i

/ = o

kom

tiE

kk Heb

ok '

/

Karena faktor ok

om , semua suku pada ekspansi ruas kiri menjadi nol kecuali satu yaitu

jika m = k , sehingga:

216

/tiEk

oke

dt

db

i

= o

kom

tiE

kk Heb

ok '

/

Karena k = m, maka ruas kiri dapat ditulis /tiEkome

dt

db

i

, sehingga::

/tiEkome

dt

db

i

= ok

om

tiE

kk Heb

ok '

/

atau:

dt

dbk =

i

ok

om

tEEi

kk Heb

ok

om '

/ (9-119)

Marilah kita menganggap bahwa perturbasi )(' tH

diaplikasikan pada t = 0 dan bahwa sebelum

perturbasi diaplikasikan sistem berada dalam keadaan stasioner pada keadaan n dengan energi

.onE Oleh karena itu, fungsi pada t = 0 adalah o

ntiEo

ne / , dan pada t = 0 nilai dari

koefisien ekspansi pada (9-118) adalah )0(nb = 1 dan )0(kb = 0 untuk nk . Jadi:

knkb )0( (9-120)

Untuk memfasilitasi solusi (9-119), kita akan mengasumsikan bahwa perturbasi 'H

adalah kecil

dan hanya bekerja dalam waktu yang singkat. Dalam kondisi seperti itu, perubahan nilai

koefisien kb dari nilai asal pada saat perturbasi diaplikasikan adalah sangat kecil. Sebagai

aproksimasi, kita dapat mengganti koefisien ekspansi pada ruas kanan (9-119) dengan nilai

asalnya (9-120), sehingga:

dt

dbk =

i o

nom

tEEi Heon

om '/

Selanjutnya perturbasi 'H

diaplikasikan dari t = 0 sampai t = t’. Integrasi dari t = 0

sampai t = t’, dan dengan menggunakan (9-120) diperoleh:

'

0

/ ')'(t

on

om

tEEimnm dtHe

itb

on

om

(9-121)

Penggunaan hasil aproksimasi (9-121) untuk koefisien ekspansi dalam (9-118) memberikan

aproksimasi yang dikehendaki terhadap fungsi keadaan pada t = t’ pada kasus yang perturbasi

bergantung waktunya ( 'H

) diaplikasikan pada t = 0 untuk sistem dalam keadaan stasioner n.

217

Untuk t setelah t’, aksi perturbasi telah berhenti, dan 'H

= 0. Dengan demikian

persamaan (9-119) memberikan 0/ dtdbm untuk t > t’. Oleh karena itu, untuk t setelah

pencahayaan terhadap perturbasi, fungsi adalah [persamaan (9-118)]:

=

m

om

tiEm

ometb / ' untuk 'tt (9-122)

dengan 'tbm koefisien sebagaimana dinyatakan oleh (9-121). Dalam (9-122), adalah

superposisi dari om yaitu fungsi eigen operator oH

. Telah kita bahas dalam bab 7, bahwa

pengukuran energi sistem pada t setelah t’ akan menghasilkan sebuah nilai eigen omE yaitu nilai

eigen dari operator oH

, dan probabilitas memperoleh omE adalah sama dengan kuadrat dari

nilai koefisien ekspansi atau 2 ' tbm .

Perturbasi bergantung waktu mengubah fungsi dari on

tiEone / menjadi superposisi (9-

122). Kemudian, pengukuran energi mengubah menjadi salah satu energi fungsi eigen

om

tiEome / . Hasil bersihnya adalah transisi dari keadaan stasioner n menjadi keadaan stasioner

m, dengan probabilitas terjadinya transisi adalah 2 ' tbm .

Soal-Soal

1. Untuk osilator tak harmonik dengan Hamiltonian (9-3), evaluasilah )1(E untuk keadaan

tereksitasi pertama.

218

2. Sebuah partikel dalam sistem box satu dimensi mempunyai fungsi energi potensial sebagai

berikut:

V = b untuk ¼ l < x < ¾ l , V = 0 untuk 0 < x < ¼ l dan x > ¾ l

dan di luar itu V = tak terhingga, dengan b = 22 / ml . Perlakukan sistem sebagai partikel

terperturbasi dalam box.

(a) Tentukan koreksi energi order pertama untuk seluruh state stasioner dengan bilangan

kuantum n.

(b) Untuk ground state dan tereksitasi pertama, bandingkan )1()0( EE dengan energi yang

sesungguhnya yaitu 5,750345 22 / ml dan 20,23604 22 / ml .

3. Untuk partikel terperturbasi dalam box sebagaimana tersebut pada soal (2) di atas, tentukan

koreksi order pertama untuk fungsi gelombang yang stasioner pada keadaan dengan

bilangan kuantum n

4. Ketika Hylleraas memulai kalkulasinya pada helium, saat itu belum diketahui apakah ion

hidrida terisolasi (ion H

) merupakan entitas yang stabil atau tidak. Kalkulasilah energi

ground state ion H

, diprediksi dengan fungsi trial (9-58). Bandingkan hasilnya dengan

energi ground state atom hidrogen, yaitu 13,6 eV, dan tunjukkan bahwa fungsi variasi

sederhana ini mengindikasikan bahwa H

tidak stabil. (Dengan fungsi variasi yang lebih

kompleks, dihasilkan energi ground state H

adalah 14,35 eV).

5. Ada lebih dari satu cara untuk memisahkan Hamiltonian H

menjadi bagian tak terpertubasi

oH

dan bagian perturbasi 'H

. Selain yang dapat kita lihat pada (9-40) dan (9-41),

pemisahan Hamiltonian untuk atom helium adalah sebagai berikut:

oH

= 2

2

1

222

221

2 '

16

5'

16

5

22 r

eZ

r

eZ

mm ee

219

'H

= 12

2

2

2

1

2 e'

'

16

5'

16

5

rr

e

r

e

Bagaimana fungsi gelombang tak terperturbasinya ? Kalkulasilah )0(E dan )1(E untuk

ground state. (Lihat sub bab 9.4)

6. Sebagian besar (tetapi tidak semua) pengaruh gerak inti atom helium dapat dikoreksi dengan

cara mengganti em dengan massa tereduksi dalam menyatakan energi. Tentukan, energi

helium merupakan pangkat berapa dari em ? [Lihat persamaan (9-66)].

7. Kalkulasilah < 1r > untuk fungsi trial helium (9-58).

8. Tunjukkan bahwa persamaan sekular (9-85) dapat ditulis sebagai:

det )( ' )1()0()()(

nnmio

io

m EEH

= 0

220

DAFTAR PUSTAKA

Balentine, L.E., Am. J. Phys., 55, 785, 2004

Bates, D.R., Quantum Theory, Academic Press, New York, 1961

Bell, R.P., Tunnel Effect in Chemistry , Chapmann & Hall, London, 1990

Berry. R.S. J. Chem. Educ., 43, 283, (1966)

Bunge, C. F. , Phys. Rev. A.,14, 2003

Cohen, I., and Bustard, T., J. Chem. Educ., 43, 187, (1966).

De Witt B.S dan Graham, R.N. , Am.J.Phys., 39, 724 , (1971)

d'Espagnat, Conceptual Foundations of Quantum Mechanics, Wiley, New York (1974).

Eyring, H., Walter, J., Kimball, G.E., Quantum Chemistry, Wiley, New York, 1944

Greenberger, D. , Physics Today (dimuat dalam majalah N.D. Mermin, April 2004

Hameka, H.F., Quantum Mechanics, Wiley, New York, 1981

Jammer, M., The Philosophy of Quantum Mechanics, Wiley, New York, 2003

Kauzmann, W., Quantum Chemistry, New York, 1997 hal 703-713

Kush, P., Physics Today, ND Mermin, 1966

Levine, Ira N, Molecular Spectroscopy Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1998

Levine, Ira N, Quantum Chemistry, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1991

Lowdin, P.O., Adv. Chem. Phys., 2, 207, (1959) . ; halaman 260-261

Midtal, J., Modern Physics, Academic Press, New York, 1965

Moore, C.E. , Ionization Potentials and Ionization Limits, NSRDS-NBS 34, National Bereau of Standards, 1970

Scherr, C.W., dan Knight, R.E., Revolution Modern Physics, 35, 436, 1963

Slater, J. C., Quantum Theory of Matter, edisi 2, Mc-Graw Hill, 1998

Zukav, G.,; An Overview of the New Physics, Morrow, New York (2001)