bab.ii kerangka teoritik · ... hukum administrasi dan good governance, universitas trisakti,...

46
41 BAB.II KERANGKA TEORITIK 2.1. Teori Kewenangan Dalam Black Law Dictionary, yang dimaksud dengan kewenangan (authority) adalah “a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to theirs orders lawfully issued in scope of their public duties.” 1 Prajudi Atmosudirdjo, membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid), kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal” yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif atau kekuasaan eksekutif/administratif. Kewenangan ini merupakan kekuasaan terhadap golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu alat tertentu saja. 2 Lebih lanjut dinyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik, sedangkan hak adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindak hukum perdata atau hukum pribadi (hukum perdata). Memperhatikan kutipan di atas nampak bahwa wewenang dalam konsep hukum publik merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata Negara maupun hukum administrasi. “Dalam hukum tata Negara, wewenang (bevogdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi wewenang dalam 1 Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, USA, 1990.h.133 2 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Galia Indonesia, Jakarta, 1984. h. 29

Upload: phungminh

Post on 03-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

41

BAB.II

KERANGKA TEORITIK

2.1. Teori Kewenangan

Dalam Black Law Dictionary, yang dimaksud dengan kewenangan

(authority) adalah “a right to command or to act; the right and power of public

officers to require obedience to theirs orders lawfully issued in scope of their

public duties.”1 Prajudi Atmosudirdjo, membedakan antara kewenangan

(authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid), kewenangan

adalah apa yang disebut “kekuasaan formal” yaitu kekuasaan yang berasal dari

kekuasaan legislatif atau kekuasaan eksekutif/administratif. Kewenangan ini

merupakan kekuasaan terhadap golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan

terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu, sedangkan wewenang hanya

mengenai sesuatu alat tertentu saja.2 Lebih lanjut dinyatakan bahwa wewenang

adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik, sedangkan

hak adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindak hukum perdata atau hukum

pribadi (hukum perdata).

Memperhatikan kutipan di atas nampak bahwa wewenang dalam konsep

hukum publik merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata Negara maupun

hukum administrasi. “Dalam hukum tata Negara, wewenang (bevogdheid)

dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi wewenang dalam

1 Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, USA, 1990.h.133 2 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Galia Indonesia, Jakarta, 1984. h.

29

42

konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.3 Lebih lanjut

Philipus M Hadjon4 menjelaskan bahwa sebagai konsep hukum publik,

wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu:

a. pengaruh;

b. dasar hukum;

c. komformitas hukum.

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan

untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa

wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya, artinya kewenangan

tidak dapat diciptakan sendiri, melainkan diberi berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang ada. Komponen konformitas hukum, mengandung

makna adanya standard wewenang, yaitu standard umum (semua jenis

wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Mengingat bahwa kerjasama antar pemerintah daerah dilakukan oleh

orang yang memangku jabatan, maka kewenangan merupakan syarat utama

untuk dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah. Ten Berge

menyatakan bahwa hanya ada dua cara, dengan apa suatu organ dapat

memperoleh kewenangan, yaitu dengan atribusi dan delegasi. Atribusi berkaitan

dengan pengakuan hak atas suatu kewenangan baru, sedangkan delegasi

berkaitan dengan penyerahan dari suatu kewenangan yang sudah ada.5 Dalam

ketentuan De Algemene Wet Bestuursrecht6 terjemahan Soetopo, yang dimaksud

dengan pemberian delegasi: “pelimpahan kewenangan untuk mengambil

3 Henc van Maarseveen, dalam Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, sept –

des 1997. h. 1. 4 Ibid. 5 Ten Berge, op.cit. h.6. 6 Terjemahan pasal 1A.1.2.1 dari AWB

43

keputusan-keputusan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain yang

melaksanakan kewenangan ini atas tanggung jawab sendiri.” Hal tersebut sejalan

dengan pemikiran Soewoto Mulyo Soedarmo menyatakan bahwa;

“Kewenangan dapat diperoleh melalui pengakuan kekuasaan (attributie), ataupun

pelimpahan kekuasaan (overdracht).”7 Pelimpahan kekuasaan dapat dibedakan

menjadi dua macam yaitu pemberian kuasa (mandaatsverlening) dan

pendelegasian (delegatie). Sedangkan Philipus M Hadjon menyatakan bahwa

“kewenangan dapat diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan

mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan

Negara oleh undang-undang dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah

kewenangan yang berasal dari pelimpahan.8 Kewenangan delegasi merupakan

pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan oleh suatu

organ pemerintahan kepada pihak lain yang melaksanakan kewenangan ini atas

tanggungjawab sendiri. Sedangkan mandat merupakan kewenangan yang

diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada orang lain untuk atas namanya

mengambil keputusan-keputusan. 9 Dalam hal kewenangan tersebut diperoleh

secara delegasi dipersyaratkan bahwa:

a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan;

7 Soewoto Mulyo Soedarmo, Otonomi Daerah, Suatu Kajian Historik, Teoritik, dan Yuridik

Pelimpahan Kekuasaan, Yuridika, sept – des 1990, h. 275. 8 Philipus M Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan

pemerintahan yang bersih, Pidato peresmian jabatan Guru Besar Unair, 10 Okt 1994. H. 9 Pasal 1A.1.2.1 dan 1a.1.1.1 Undang-Undang Umum Hukum Pemerintahan

(algemeine wet bestuur) terjemahan M Soetopo, S.H. Bahan Penataran Hukum Administrasi, kerjasama Hukum Indonesia Belanda tahun 1993.

44

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan

untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan herarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang

tersebut;

e. Peraturan kebijakan (beleidsregels) artinya delegans memberikan

intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Memperhatikan bahwa delegasi merupakan salah satu sumber untuk

memperoleh wewenang selain mandat yang merupakan pelimpahan wewenang,

kiranya perlu memahami perbedaan antar delegasi dengan mandat sebagai

kewenangan untuk melakukan tindak pemerintahan. Perbedaan tersebut dapat

dipaparkan sebagai berikut:10

10 Philipus M Hadjon, dalam Philipus M Hadjon.et.al, Hukum Administrasi dan Good

Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010. h. 21.

45

Tabel 1: Perbedaan Kewenangan Delegasi Dan Kewenangan Mandat

Mandat

Delegasi

a. prosedur pelimpahan

Dalam hubungan rutin atasan bawahan : hal biasa kecuali dilarang secara tegas

Dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain: dengan peraturan per UU –an

b. tanggung jawab dan tanggung gugat

tetap pada pemberi mandat

Tanggung jawab dan danggung gugat beralih kepada delegataris

c.kemungkinan sipemberi menggunakan wewenang itu lagi

Setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu

Tdk dpt menggunakan wewenangnya lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus

d. Tata Naskas Dinas a.n, u.b, a.p Tanpa a.n. dll (langsung

Kewenangan dalam melakukan kerjasama antar pemerintah daerah

dinyatakan dalam suatu jabatan yang merupakan lingkungan pekerjaan yang

tetap. Dalam melakukan kewenangan Negara tersebut dibatasi oleh “tempat

(onbevoegdheid ratione loci), materi (onbevoegdheid ratione materiae), waktu

(onbevoegdheid ratione temporis)”.11

Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu bentuk kerjasama

yang dilakukan oleh pemerintah daerah dimana kebijakan publik sebagai obyek

yang diperjanjikan12 dalam kerjasama antar pemerintah daerah. Mengingat

11 Philipus M Hadjon. Et al, Pengantar Hukum Adminisatrasi Indonesia, Gajahmada

University Press, Jogjakarta, 1994, h.327. 12 H.M. Laica Marzuki, Op. Cit h. 150 menjelaskan bahwa Perjanjian kebijakan atau

beliedsovereenkomst pada hakekatnya merupakan perbuatan yang menjadikan kebijakan public selaku obyek perjanjian. Oleh karena kebijakan yang diperjanjikan adalah kebijakan tata usaha Negara (oreheidsbelied) maka salah satu pihak yang mengadakan perjanjian itu adalah tidak lain

46

kebijakan publik sebagai obyek perjanjian, maka berdasarkan ketentuan Pasal

1340 Burgelijk Wetboek13 dengan sendirinya kerjasama tersebut juga mengikat

masyarakat pada masing-masing daerah yang terikat kerja sama tersebut,

mengingat bahwa Kepala Daerah melakukan kerja sama tersebut untuk dan atas

nama daerah yang didalamnya terdapat masyarakat sebagai pihak yang terikat

dalam kerjasama antar pemerintah daerah. Terikatnya masyarakat dalam

pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah, tentunya juga membawa

konsekwensi apakah masyarakat mempunyai hak gugat bila merasa

kepentingannya dirugikan akibat dari kerja sama tersebut.

Tindakan Pemerintah yang berdasarkan pada hukum perdata banyak

ditemukan dalam kegiatan pemerintahan dalam melakukan hubungan hukum

dengan subyek hukum perdata dalam bentuk perjanjian, namun banyak hal

bentuk perjanjian ini sering menimbulkan kekaburan yang disebabkan

menonjolnya aspek kekuasaan dalam menentukan kesepakatan, pada sisi lain

perjanjian yang didasarkan pada hukum publik dirumuskan dalam bentuk

keputusan bersama. Untuk melakukan perjanjian ini tentunya para pihak tetap

memperhatikan asas-asas dalam hukum perjanjian. Lebih lanjut Yohanes Sogar

Simamora menyatakan14:

Dalam kajian tentang kontrak oleh pemerintah pada umumnya dipahami bahwa jenis kontrak ini merupakan species dari kontrak perdata. Oleh sebab itu pada dasarnya prinsip dan norma hukum dalam hukum kontrak berlaku bagi kontrak pemerintah. Tetapi karena adanya faktor kepentingan

dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang secara administratie-frechtelijk memiliki kewenangan untuk menggunakan kebijakan public yang diperjanjikan.

13 Terjemahan R. Subekti, Pasal 1340 berbunyi “suatu perjanjian hanya berlaku mengikat

untuk kedua belah pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317

14 Yohanes Sogar Simamora, Hukum perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Pemerintah, LaksBang Pressindo, 2009. H. 17.

47

umum dan terlibatnya anggaran Negara membuat kontrak pemerintah tunduk pada batasan-batasan tertentu baik yang terdapat dalam konstitusi maupun undang-undang. Dalam beberapa hal prinsip umum dalam hukum kontrak tidak berlaku bagi kontrak pemerintah atas alasan perlindungan kepentingan umum.

“Sebagai konsekwensi pemanfaatan instrument perdata oleh pemerintah,

khususnya kontrak, dalam pengelolaan urusan pemerintahan yang lazim disebut

sebagai kontraktualisasi (Contractualization), terjadi percampuran antara elemen

perdata dan publik dalam hubungan kontraktual yang dibentuk”.15 Implikasi dari

percampuran elemen perdata dan publik tidak saja mengenai keabsahan dalam

pembentukan kontrak, melainkan juga meliputi aspek pelaksanaan maupun

penegakkan hukum.

Memperhatikan teori kewenangan tersebut diatas, kewenangan

pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah

lainnya selalu didasarkan pada kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah

baik secara atribusi maupun delegasi. Sesuai dengan teori kewenangan, bahwa

dalam kewenangan harus dapat ditunjuk dasar hukum yang melandasi

pemerintah daerah berwenang melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah

lainnya. Kewenangan untuk melakukan kerjasama antar pemerintah daerah dapat

ditemukan dalam undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Untuk itu kiranya perlu ditelusuri peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah silih berganti undang-

undang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Silih berganti

undang-undang tersebut juga berpengaruh pada sistem pembagian kewenangan

15 Ibid. h. 53.

48

secara vertikal, yang melahirkan daerah otonom. Hal tersebut dapat juga

dipengaruhi oleh rumusan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum

dilakukan amandemen yang tidak secara tegas mengatur sistem pembagian

kewenangan secara vertikal. Sistem pembagian kewenangan secara vertikal ini

sangat berbeda dengan rumusan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 setelah dilakukan amandemen yang secara jelas

pembagian kewenangan secara vertikal menggunakan sistem otonomi seluas-

luasnya.16 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan : “Indonesia adalah negara

kesatuan yang berbentuk republik”. Bentuk negara kesatuan memberi

konsekwensi bahwa di seluruh negara hanya ada satu pemerintahan yang sah,

hanya ada satu hukum nasional yang berlaku di seluruh Negara. Walaupun

demikian penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan pasal 18

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak bersifat

sentralistik, melainkan dengan pemencaran kewenangan secara vertikal yang

melahirkan pemerintahan daerah. ”Sentralisasi dan desentralisasi menurut Hans

Kelsen17 merupakan bentuk dari organisasi negara. Lebih lanjut Kelsen juga

menjelaskan bahwa sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua tipe tatanan

hukum. Perbedaan antara negara yang sentralistis dengan negara yang

desentralisasi mesti merupakan suatu perbedaan di dalam tatanan hukumnya.”

Beranjak dari ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik

16 Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

menyatakan “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

17 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan dari Hans

kelsen General Theori of Law and State (New York, Russel and Russel, 1971), cet I, Nusamedia, 2006, bandung, h. 240.

49

Indonesia Tahun 1945 tersebut, nampak bahwa Negara Indonesia sebagai Negara

Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

dengan memberi kesempatan dan kekuasaan kepada daerah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam Negara kesatuan pembagian

kewenangan secara vertikal merupakan pembagian kewenangan pemerintahan,

antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pembagian wewenang

pemerintahan tersebut dapat dilakukan dengan cara atribusi maupun delegasi.

Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara yang menganut prinsip

pemencaran kewenangan secara vertical, dikenal istilah desentralisasi, yakni

membagi kewenangan kepada pemerintah bawahan dalam bentuk penyerahan

kewenangan. Prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang

menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraan kewenangan.

Desentralisasi diartikan “penyerahan atau pengakuan hak atas

kewenangan untuk mengurus rumah tangga daerah sendiri, dalam hal ini daerah

diberi kesempatan untuk melakukan suatu kebijakan sendiri. Pengakuan tersebut

merupakan suatu bentuk partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan yang

merupakan ciri dari Negara demokrasi.”18 “Desentralisasi adalah pendelegasian

wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang

– orang pada level bawah pada suatu organisasi.”19 Ten Berge mengartikan

desentralisasi sebagai suatu penyerahan atau pengakuan hak (mengenai keadaan

yang telah dinyatakan) atas kewenangan untuk pengaturan dan pemerintahan

dari badan-badan hukum publik yang rendahan atau organ-organ, dalam hal

18 Maurice Duverger, dalam Kuntjoro Purbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi,

cet 3. PT Eresco, Bandung, 1978.h.1 19 Armin, Otonomi, Sentralisasi & Desentralisasi, 9 Desember 2007, http//

zalfaasatria.blogspot.com /2007/12 otonomisentyralisasi.html

50

mana ini diberi kesempatan untuk melakukan suatu kebijaksanaan sendiiri.”20 Hal

tersebut sejalan dengan pendapat Rene Seerden dan Frits stroink yang

menyatakan bahwa “In a decentralized State, some power is delegated to public

authorities or agencies that have legal personality themselves and are not

hierahchically subordinated to the central authority. Thy are self-governing”.21

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 “desentralisasi merupakan

penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara

kesatuan Republik Indonesia”. Desentralisasi kewenangan yang melahirkan

daerah otonom sering dijumbuhkan dengan otonomi daerah yang sebenarnya

mempunyai tempat masing-masing. Istilah otonomi lebih cenderung pada political

aspect (aspek politik – kekuasaan Negara), sedangkan desentralisasi lebih

cenderung pada administratif aspect (aspek administrasi Negara). Namun jika

dilihat dari konteks pembagian kewenangan dalam prateknya, kedua istilah

tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya

jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pertanyaan

seberapa wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah

diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah, demikian sebaliknya.”22

Pembagian kewenangan secara vertikal yang melahirkan daerah otonom

tersebut tentunya tidak lepas sebagai sarana untuk mempermudah atau

20 Ten Berge, bahan Penataran Hukum Administrasi, Kerjasama Hukum Indonesia-

Belanda, 1999, h.16. 21 Rene serrden and Frits Stroink, Administrative law Of The Eurupean Union, its

member State and the United States, Intersentria Uitgevers Antwerpen Groningen, 2002. h. 15 22 Ryaas Rasyid, perspektif Otonomi Luas, dalam Otonomi atau Federalisme

dampaknya terhadap Perekonomian, Suara Harapan, Jakarta, 2000, h. 78.

51

mempercepat terwujudnya kesejahteraan. Menurut Sandy pembentukan daerah

otonom bertujuan23:

1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk koordinasi pada tingkat lokal;

2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari konstribusi kegiatan mereka itu;

3. Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis;

4. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government)

5. Pembinaan kesatuan nasional.

Sedangkan Dann Suganda berpendapat bahwa pembentukan daerah otonom juga

didasarkan adanya kemungkinan24:

a. Pemanfaatan sebesar-besarnya potensi daerah sendiri; b. Untuk terpuaskan masyarakat di daerah-daerah karena aspirasi dan

kehendaknya terpenuhi; c. Masyarakat setempat lebih banyak ikut serta didalam memikirkan

masalah-masalah pemerintahan, jadi lebih cocok dengan susunan pemerintahan yang demokratis;

d. Pembangunan di daerah-daerah akan lebih pesat, karena tiap-tiap daerah akan berusaha untuk menciptakan kebanggaannya sendiri.

Memperhatikan pendapat diatas jelas nampak bahwa otonomi daerah sangat

berkaitan dengan demokrasi, kesejahteraan rakyat, efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia pembagian kekuasaan yang melahirkan daerah otonom didasarkan

pertimbangan-pertimbangan antara lain:25

1. Tututan Negara Hukum.

23 Sandy, dalam Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar Administrasi Pembangunan,

LP3ES, Jakarta, 1987.h.82 24 Daan Suganda, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia dan Pemerintahan

Daerah, Sinar Baru, Bandung, h. 69 - 70 25 Bagir Manan, Pemerintahan Daerah, bahan Penataran Hukum Administrasi,

kerjasama Indonesia-Belanda, 1989, h. 1 - 3

52

Republik Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat), dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan dan pemencaran kekuasaan (scheiding en speiding van machten). Pembagian dan pemencaran tersebut sebagai upaya mencegah bertumpuknya kekuasaan pada satu pusat pemerintahan yang akan memberatkan beban pekerjaan yang harus dijalankan. Dengan pemencaran pusat akan diringankan dalam menjalankan pekerjaan. Tidak pula kalah penting, pemencaran mempunyai fungsi "cheks and balances”

2. Tututan Negara Kesejahteraan Negara kesejahteraan adalah Negara hukum yang memusatkan perhatian pada upaya mewujudkan kesejahteraan orang banyak. Undang-Undang dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 meletakkan Negara atau pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan pada orang banyak.

3. Tututan Demokrasi Demokrasi menghendaki partisipasi. Daerah otonom yang disertai badan perwakilan merupakan wadah kesempatan rakyat berpartisipasi

4. Tututan Kebhinekaan Rakyat Indonesia, baik sosial, ekonomi maupun budaya adalah masyarakat pluralistik yang mempunyai sifat dan kebutuhan yang berbeda-beda. Untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan keamanan tidak mungkin “memaksakan” keseragaman (uniformitas). Setiap keseragaman dapat menimbulkan gangguan terhadap rasa keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Daerah otonom merupakan sarana mewadahi perbedaan tersebut sesuai dengan prinsip “bhineka tunggal ika”.

Memperhatikan pendapat Bagir Manan tersebut, nampak jelas bahwa

desentralisasi kewenangan sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan

Negara sebagaimana dituangkan dalam alenia empat Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Kemudian dari

pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia

itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam

53

suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan

Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut, desentralisasi

kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan

peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan

kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;

bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu

ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan

pemerintahan dan antar pemerintahan. daerah, potensi dan keanekaragaman

daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan

kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak

dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan Negara.26

26 Dasar menimbang huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

54

Dalam pembagian kewenangan secara vertical terdapat beberapa sistem

pembagian, menurut Josef Riwu Kaho27 desentralisasi yang melahirkan otonomi

daerah dapat didasarkan pada:

1. Sistem Residu (Teori Sisa)

Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan tugas-tugas yang

menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi

urusan rumah tangga daerah.

2. Sistem Materiil

Desentralisasi yang didasarkan pada sistem materiil ini kewenangan

Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu secara limitative atau

terinci, selain yang telah ditetapkan tersebut, maka selebihnya

menjadi kewenangan pemerintah pusat.

3. Sistem Formal

Sistem otonomi formal ini kewenangan yang termasuk dalam

urusan rumah tangga daerah tidak secara a priori ditetapkan dalam

undang-undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus sesuatu

yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup

urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, atau

pemerintah daerah yang lebih tinggi.

4. Sistem Otonomi Riil

Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan

kepada daerah didasarkan pada factor yang nyata atau riil, sesuai

27 Yosep Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,

Rajawali Pres, Jakarta. 1991, 15 - 18

55

dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun

pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang

terjadi

Sistem otonomi pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau

sistem pokok, yaitu faham atau sistem otonomi materiil dan faham atau sistem

otonomi formal.28 Oleh Sujamto 29 kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian

rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah

tangga formil (formeele huishoudingsbegrip)

Koesoemahatmadja30 menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang

terkenal yaitu :

a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau

Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),

b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian

Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)

c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian

Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)

Pada ajaran rumah tangga meteriil bahwa dalam hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas,

dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperinci dengan tegas

dalam Undang–Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah

tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu

28 http//orang Buton.wordpress.com 29Ibid 30 Koesoemahamadja, dalam http//orang Buton.wordpress.com, Ibid

56

dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam

perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada

ditangan pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas

pemerintah pusat dam pemerintah daerah.

Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat

perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat

dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat

pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula

sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan

rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena

materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan

bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri

daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat.

Dari berbagai sistem pembagian kewenangan tersebut Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 18 ayat (5) Pemerintah

Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pembagian

kewenangan antar susunan pemerintahan yang didasarkan pada otonomi seluas-

luasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32

tahun 2004, pembagian kewenangan antar susunan pemerintahan didasarkan

kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi31 dengan memperhatikan

31 Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “criteria

eksternalitas” adalah penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas,

besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan. Yang dimaksud dengan “criteria akuntabilitas” adalah penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas , besaran, dan jangkauan dampak

57

keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Atas dasar kriteria tersebut

pembagian kewenangan berdasarkan otonomi seluas – luasnya tidak didasarkan

pada pembagian bidang kewenangan, melainkan pembagian didasarkan pada

urusan pada masing-masing bidang. Hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang berbunyi:

(1). Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

(2). Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi,kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.

(3). Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

(4). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Pembagian urusan antara pemerintah, pemerintahan provinsi, dan pemerintahan

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tersebut di atas,

berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota

yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintah. Yang dimaksud “criteria efisiensi” adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.

58

2.2. Tindak Pemerintahan

Kerjasama antar pemerintah daerah baik yang dituangkan dalam bentuk

keputusan bersama maupun perjanjian merupakan suatu produk hukum dalam

penyelenggaraan kewenangan daerah. Hal tersebut mengingat bahwa naskah

kerjasama antar pemerintah daerah baik yang dituangkan dalam bentuk

keputusan bersama atau perjanjian sebagai penampilan atau manifestasi dari

suatu asas yang melandasinya”.32 Dalam pembentukan produk hukum tersebut

satu hal yang tidak boleh ditinggalkan yaitu adanya kewenangan dari organ yang

melakukan kerjasama antar pemerintah daerah. Kewenangan tersebut lahir dari

kekuasaan sebagai penyelenggara Negara, hal tersebut mengingat bahwa

“Negara merupakan sebuah tatanan hukum, dimana unsur-unsur Negara yang

mencakup wilayah dan rakyat merupakan bidang validitas teritorial dan personal

serta tatanan hukum tersebut. Kekuasaan Negara adalah validitas dan efektifitas

dari tatanan hukum, sedangkan ketiga kekuasaan atau fungsi Negara adalah

tahapan-tahapan yang berbeda dari pembentukan tatanan hukum tersebut”.33

Dalam Negara yang menganut pemencaran kekuasaan secara vertical dan

melahirkan daerah otonom, maka dalam desentralisasi juga terdapat

desentralisasi kekuasaan hukum untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan,

ketertiban, dan demokrasi. Pemikiran otonomi daerah ada jauh sebelum

Indonesia merdeka. Hal tersebut antara lain dapat dibaca dari pemikiran

Semaun dan Muhammad Hatta.34

32 Perhatikan, Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta, Rafika Aditama, Bandung, 2007. h. 66 33 Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Teori Umum Tentang Hukum Dan

Negara), Terjemahan Raisul Muttaqien, cet 1 Nusamedia, 2006. h. 430 34 Bagir Manan, Menyongsong Otonomi Daerah, Fakultas Hukum UII Yogyakarta, h.

175 menjelaskan bahwasanya : Adanya satuan pemerintahan daerah yang otonom bagi Negara

59

Menurut Mohammad Hatta, pembentukan pemerintahan daerah,

merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat (demokrasi):

“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya

tidak hanya ada pada pucuk pimpinan negeri, melainkan juga pada setiap tempat

di kota, di desa dan di daerah”.35 Kedaulatan rakyat mengandung berbagai

dimensi yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan

lingkungan masyarakat. Namun demikian demokrasi akan atau semestinya

mengandung atau menunjukkan beberapa esensi yang tidak dapat ditawar yaitu

kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) baik dalam dimensi politik,

ekonomi, sosial maupun budaya. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa

“yang disebut otonomi daerah adalah suatu perpaduan langsung dari ide-ide

desentralisasi dengan ide-ide demokrasi”.36 Sedangkan Robert Rienow

menyebutkan bahwa “Handling their local affairs is regarded as good training for

people charged with the central of democracy. It is more than training, it the

very essence of the popular sistem”.37. Memperhatikan pemikiran-pemikiran

tersebut, nampak jelas bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dipandang

sebagai esensi dari demokrasi, sedangkan esensi dari demokrasi yaitu adanya

pengakuan terhadap hak asasi manusia dan persamaan (equality). Pengakuan

terhadap hak asasi manusia dan persamaan diwujudkan bentuk pelayanan yang

Indonesia merdeka telah tercermin dalam berbagai pandangan jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Semaun tahun1926 telah menulis bahwa pemerintahan Negara modern akan tersusun dari (a) pemerintah dan parlemen; (b) pemerintah provinsi dan dewan provinsi; (3) pemerintah kota dan dewan kota. Demikian pula Mohammad Hatta dalam tulisan (brosur) Kearah Indonesia Merdeka (1932) telah menyebutkan “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap golongan, kecil atau besar, mendapat otonomi, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum”

35 Ibid 36 Hans Kelsen, op.cit. h. 445 37 Dalam Bagir Manan, op.cit. h. 177

60

sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutan

yang berbeda-beda. Dengan demikian, pemerintahan daerah sebagai sarana

melaksanakan paham kedaulatan rakyat memikul beban menyelenggarakan

kesejahteraan rakyat disamping menjalankan pemerintahan secara demokratis.

Dalam upaya menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pelalyanan publik dan

pemerintahan secara demokratis, pemerintahaan daerah dapat melakukan

kerjasama antar pemerintah daerah yang merupakan bagian dari tindak

pemerintahan (bestuurshandelingen).

Tindak pemerintahan (bestuurshandelingen) adalah tindakan atau

perbuatan yang dilakukan oleh administrasi Negara dalam melaksanakan tugas

pemerintahan.38 Kontjoro Purbopranoto menyatakan bahwa tindak

pemerintahan adalah “segala tindakan dan kewenangan alat-alat pemerintahan

untuk menjalankan tugas/tujuan dengan menggunakan wewenang

khusus/tertentu.”39 Romeyn sebagaimana dikutip oleh Kontjoro

Purbopranoto menyatakan bahwa “tindak pangreh (bestuurshandeling) adalah

tiap-tiap tindakan/perbuatan dari pada satu alat perlengkapan pemerintahan

(bestuursorgaan), juga diluar lapangan hukum Tata Pemerintahan, misalnya

keamanan, peradilan dan lain-lain, yang bermaksud untuk menimbulkan akibat

hukum dibidang hukum administrasi”40 . Sejalan dengan pemikiran tersebut

Philipus M Hadjon menyatakan bahwa “tindak pemerintahan

(bestuurshandeling) adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh

38 Philipus M Hadjon, Pengertian- Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan,

Jumali, Surabaya, 1985. h. 1 39 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara, cet. 2 Alumni Bandung, 1978. H. 42 40 Ibid.

61

administrasi Negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.41 Lebih lanjut

Kuntjoro Purbapranoto membedakan bentuk tindak pemerintahan tersebut

digolongkan kedalam:42

a. tindak pemerintahan yang berdasar hukum (rechtshandeling);

b. tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (feitelijke hadeling)

Tindak pemerintahan yang berdasar hukum lebih penting, sedangkan

tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta tidak relevan, tidak mempunyai

hubungan langsung dengan kewenangan. Kuntjoro Purbopranoto

selanjutnya membagi tindakan hukum kedalam tindakan pemerintahan yang

berdasar hukum perdata dan tindak pemerintahan yang berdasar hukum publik.

Tindakan hukum publik dibagi lagi kedalam tindakan hukum publik yang bersifat

sepihak (eenzijdig publiekrechtelijke handelingen), dan tindakan hukum publik

bersifat berbagai pihak (meerzijdig publiekrechtelijke handelingen).

Philipus M Hadjon membedakan tindak pemerintahan tersebut

kedalam tindakan nyata dan tindakan hukum (feitelijke handelingen en

rechtshadelingen).43 Tindakan nyata merupakan tindakan yang diarahkan untuk

tidak melahirkan suatu akibat hukum, namun tindakan nyata tersebut dapat juga

akan melahirkan akibat hukum. Bila lahir akibat hukum, maka akibat hukum

tersebut merupakan suatu yang tidak dikehendaki. Tindakan hukum

(rechtshadelingen) merupakan suatu tindakan yang diarahkan untuk melahirkan

suatu akibat hukum. Tindakan hukum ini selanjutnya dibedakan dalam tindakan

hukum perdata dan tindakan hukum publik. Tindakan hukum perdata merupakan

suatu tindakan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum perdata

41 Philipus M Hadjon, Op.cit, h.1 42 Kuntjoro Purbopranoto Op.cit.h.44 43 Ibid. h. 2-3

62

ataupun tindakan-tindakan yang didasarkan atas suatu kesepakatan. Sedangkan

tindakan hukum publik merupakan tindakan yang didasarkan pada hukum

administrasi maupun hukum tata Negara.

Tindakan hukum publik selanjutnya dibedakan atas tindakan hukum publik

berbagai pihak (meerzijdig), dan tindakan hukum sepihak (eenzijdig). Tindakan

hukum publik berbagai pihak merupakan tindakan yang dilakukan oleh dua pihak

yang didasarkan pada hukum publik dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan. Tindakan hukum publik berbagai pihak ini merupakan

kesepakatan (perjanjian) para pihak yang didasarkan pada hukum publik

(publiekrechtelijke overeenkomst). Sedangkan tindakan hukum publik yang

sepihak merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah secara sepihak

tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lain yang dikenai tindakan tersebut.

Tindakan hukum publik sepihak selanjutnya dibedakan dalam tindakan hukum

publik sepihak yang bersifat umum dan tindakan hukum publik sepihak yang

bersifat individual. Tindakan yang bersifat umum ditujukan kepada setiap orang,

dan tindakan ini berkarakter sebagai peraturan, sedangkan tindakan yang

bersifat individual, merupakan tindakan yang ditujukan kepada seseorang atau

beberapa orang tertentu dengan identitas yang jelas. Tindakan ini dalam

khasanah hukum administrasi disebut sebagai keputusan tata usaha Negara.

Atas dasar uraian tersebut lebih lanjut Philipus M Hadjon. et. al44 menjelaskan

tindak pemerintahan tersebut dalam skema sebagai berikut:

44 Philipus M Hadjon. Et.al. Op. Cit. h. 319

63

Bagan 2 : Tindak Pemerintahan Menurut Philipus M Hadjon

Demikian halnya dengan pendapat dari van Wijk & Konijnenbelt

sebagaimana dikutif oleh Sudarsono yang membedakan tindak pemerintahan

tersebut kedalam feitelijkehandelingen, dan rechtstelijkhandelingen. Lebih lanjut

pendapat van Wijk tersebut dijabarkan dalam bagan sebagai berikut:45

45 Sudarsono, Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di

Peradilan Tata Usaha Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Brawijaya,

Malang . 2008. H. 14. Bandingkan dengan Indroharto yang juga mengutip pendapat van Wijk & Konijnenbelt sebagaimana dalam Usaha Memahami Undang-Undang tentang peradilan Tata Usaha Negara, cet 2, CV Muliasari, 1991. h 84.

Tindak Pemerintahan (bestuurshandelingen)

Tindakan Materiil (Feitelijkhandelingen

Tindakan Hukum (Rechtshandelingen)

Tindakan Hukum Privat Tindakan Hukum Publik

Berbagai pihak sepihak

umum individual

Abstrak konkrit

64

Bagan 3 : Tindak Pemerintahan Menurut Sudarsono

Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah tersebut oleh Sudikno

Mertokusumo menyebutnya dengan perbuatan hukum yang diartikan bahwa

“perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang

sengaja dikehendaki oleh subyek hukum. Pada dasarnya perbuatan hukum ini

ditentukan juga oleh hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan

OVERHEIDSBESLUITEN

Feitelijkehandelingen Rechtshandelingen

Internerechteshandelingen Externerechtshandelingen

Pivaatrechtelijk Externerechtshandelingen

Publiekrechtelijk Externerechtshandelingen

Meerzijdige Publiekrechtelijk externer

Eenrzijdige besluiten Publiekrechtelijk externer

Alegemene Individuele

(algemene) abstracte

(algemene)

concrete

(individuale)

concrete

(individuale)

abstracte

65

pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat

hukum”.46 Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo47 membedakan perbuatan hukum

tersebut menjadi perbuatan hukum sepihak dan perbuatan hukum ganda.

Perbuatan hukum sepihak hanya memerlukan kehendak dan pernyataan

kehendak untuk menimbulkan akibat hukum dari satu subyek hukum saja. Dalam

perbuatan hukum sepihak yang murni tidak perlu ada pihak yang menerima

kehendak dan pernyataan kehendak itu secara langsung, sedangkan perbuatan

hukum ganda merupakan perbuatan hukum yang memerlukan kehendak

sekurang-kurangnya dua subyek hukum yang ditujukan kepada akibat hukum

yang sama. Selain perbuatan hukum, Sudikno Mertokusumo, juga

menyatakan masih ada perbuatan hukum lainnya yang oleh hukum dihubungkan

dengan akibat hukum, tidak peduli apakah terjadinya akibat hukum itu

dikehendaki atau tidak oleh yang bersangkutan. Bedanya dengan perbuatan

hukum ialah bahwa perbuatan lainnya ini tidak ada kehendak dan pernyataan

kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yang timbul sama

sekali tidak tergantung pada kehendak si pelaku.48

Dari uraian tersebut selanjutnya Sudikno Mertokusumo, menyusunnya

dalam sebuah bagan sebagai berikut:

46 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, cet. Kedua, Liberty,

Yogyakarta, 1999.h.51. 47 Ibid. 48 Ibid.

66

Bagan 4: Peristiwa Hukum

Paulus Efendie Lotulung49 sifat tindakan hukum publik atau perdata

tersebut dijelaskan bahwa hukum publik merupakan kaidah-kaidah yang bersifat

dan bertujuan melindungi kepentingan umum serta mempertahankan

kepentingan umum tersebut, sedangkan hukum perdata merupakan kaidah-

kaidah hukum yang bersifat dan bertujuan melindungi kepentingan perseorangan

(individu) serta mempertahankan kepentingan perseorangan tersebut.

Perbuatan hukum menurut hukum publik adalah perbuatan-perbuatan

yang didasarkan atas wewenang khusus atau istimewa yang diberikan oleh

hukum publik, dan oleh karenanya hanya dapat dilakukan atas wewenang-

49 Paulus Efendie Lotulung, Perbuatan-Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik,

dalam Pejabat Sebagai Calon Tergugat Bahan Penataran Peradilan Tata Usaha Negara, Buku 1 , CV. Sri Rahayu, h. 137.

Peristiwa Hukum Bukan Peristiwa Hukum Tanpa akibat hukum

Perbuatan Subyek Hukum Bukan Perbuatan Subyek Hukum

Perbuatan Hukum Perbuatan hukum lainnya

Sepihak Ganda

Abstrak konkrit

Peristiwa

67

wewenang tersebut sehingga tidak setiap orang dapat melakukannya. Sebaliknya

perbuatan-perbuatan menurut hukum perdata adalah perbuatan yang secara

umum dapat dilakukan oleh setiap orang yang menjadi subyek hukum atas dasar

ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum perdata (hukum perdata).

Kerjasama antar pemerintah daerah baik yang dituangkan dalam

keputusan bersama atau dalam perjanjian merupakan tindakan pemerintah yang

didasarkan atas hukum yang dilakukan antar pemerintah daerah, sehingga teori

tentang tindak pemerintahan ini akan digunakan sebagai pisau analisa dalam

kaitannya dengan bentuk hukum kerjasama antar pemerintah daerah. Untuk itu

kiranya perlu diperhatikan, sebagai suatu produk hukum keputusan bersama

ataupun perjanjian haruslah memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi

agar produk hukum tersebut sah dan mempunyai kekuatan mengikat. Syarat-

syarat tersebut yaitu sebagai berikut:50

1. Syarat-Syarat materiil

a. alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang

(berhak);

b. dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak

boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de

wilsvorming)

c. keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam

peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga

memperhatikan prosedur membuat keputusan bilamana prosedur

itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig)

50 Kuntjoro Purbopranoto, Op.cit. h. 48

68

d. isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan

yang hendak dicapai (doelmatig).

2. Syarat-syarat formil

a. syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan

dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya

keputusan harus dipenuhi.

b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan.

c. Syarat-syarat, berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu.

d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang

menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu, dan

tidak boleh dilupakan.

2.3. Teori Perjanjian.

2.3.1. Perjanjian

Wirjono Prodjodikoro menyatakan istilah “verbintenissen” dari

Burgerlijk Wetboek dapat diterjemahkan “perikatan-perikatan”. Dalam sistem BW

perikatan-perikatan ini dibagi menjadi dua golongan (pasal 1233 BW), yaitu

a. Perikatan-perikatan yang bersumber pada persetujuan (everenkomst)

b. Perikatan-perikatan yang bersumber pada undang-undang (wet).51

Demikian halnya pendapat yang dikemukakan oleh Achmad Miru dan

Sakka Pati52 menjelaskan bahwa terdapat dua sumber lahirnya perikatan yaitu :

a. perjanjian; dan

b. undang-undang.

51 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, cet. IX, CV Mandar Maju,

Bandung, 2011.h. 3. 52 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233

Sampai 1456 BW, cet III, Rajawali pers, Jakarta, 2011. H. 4

69

Perjanjian sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya,

dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis. Dari dua

pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perikatan dapat lahir karena adanya

persetujuan yang melahirkan perjanjian dan kemudian perjanjian tersebut

menimbulkan perikatan antara para pihak. Lebih lanjut Mariam Darus

Badrulzaman menyatakan bahwa “perikatan adalah hubungan yang terjadi di

antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan,

dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi

prestasi itu.”53 Perikatan tersebut dapat lahir dari suatu perjanjian, kartini Muljadi

dan Gunawan Widjaja mengartikan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.”54 Dari pengertian tersebut lebih lanjut Kartini Muljadi

dan Gunawan Widjaja mengungkapkan bahwa suatu perjanjian adalah:

1 Suatu perbuatan;

2 Antara sekurang-kurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua

orang);

3 Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak

yang berjanji tersebut.55

Wirjono Prodjodikoro, mengartikan perjanjian “sebagai suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk

tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan

53 Mariam Darus Badrulzaman, KUH perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, cet III, Alumni, Bandung 2011, h. 1 54 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 5,

Rajawali Pres, Jakarta, h. 7. 55 Ibid

70

janji itu.”56 Mariam Darus Badrulzaman dalam memberi pengertian tentang

perjanjian mendasarkan pada pasal 1313 Burgerlijk Wetboek, yang menyatakan

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”57 Rumusan tersebut

tidak lengkap dan sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan

persetujuan sepihak saja. Setiawan58 mengungkapkan bahwa : sangat luas

karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan

sukarela dan perbuatan melawan hukum. Selanjutnya Setiawan memberikan

perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu:

1) Perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum

2) menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal

1313.59

Atas dasar pengertian tersebut, lebih lanjut Mariam Darus

Badrulzaman membedakan jenis – jenis perjanjian tersebut adalah sebagai

berikut:

1 Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

2 perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari

pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara

kedua prestasi itu ada hubungannhya menurut hukum.

56

Wirjono Prodjodikoro, Op.cit. h. 4 57

Mariam Darus Badrulzaman, KUH perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, Op.Cit., h. 89 58 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum perikatan, cet.IV, Binacipta, Bandung, 1977, h. 49 59 Op.cit

71

3 Perjanjian Khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemd) Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi

nama oleh pembentuk undang-undang. Di luar perjanjian khusus tumbuh

perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam

KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Salah satu contoh dari

perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan

perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan

diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang

menimbulkan perikatan).

5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah

pihak telah tercapai persesuaian kehendak kehendak untuk mengadakan

perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian nini sudah mempunyai

kekuatan mengikat (ps 1338 KUH Perdata). Namun demikian di dalam

KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah

terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang (ps 1694

KUH perdata), pinjam pakai (ps 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang

terakhir ini dinamakan perjanjian riil.

6. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya

a) perjanjian leberatoir : yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) ps 1438 KUH perdata;

b) perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst): yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka;

c) perjanjian untung-untungan; misalnya perjanjian asuransi, ps 1774 KUH Perdata

d) perjanjian publik; yaitu perjanjian yang sebagaian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.60

60 Ibid, h. 90 - 93

72

2.3.2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Persetujuan yang melahirkan perjanjian merupakan perbuatan hukum

bersegi dua atau jamak, di mana untuk itu diperlukan kata sepakat para pihak.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, untuk sahnya

persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:

1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2 Cakap untuk membuat perjanjian;

3 Suatu hal tertentu;

4 Suatu sebab atau causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektip, karena kedua

syarat tersebut mengenai subyek perjanjian, sedangkan kedua syarat lainya

disebut sebagai syarat obyektip, karena mengenai obyek dari perjanjian.

ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang

mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju mengenai hal hal

yang pokok dari perjanjian yang di adakan itu. Apa yang di kehendaki oleh pihak

yang satu juga dikehendaki pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang

sama secara timbal balik, Sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang

disetujuai (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan

kehendak ini terdapat beberapa ajaran, yaitu:

1 Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan. Misalnya dengan menulis surat.

73

2 Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

3 Terori pengetahuan (vernemingtheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawaran diterima.

4 Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.61

ad.2. kecakapan untuk membuat perjanjian

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai

wewenang untuk membuat perjanjian atau ngadakan hubungan hukum. Pada

asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap

menurut hukum. Dalam perjanjian pemerintahan kecakapan untuk melakukan

tindakan hukum ini diukur dari ada atau tidaknya wewenang seorang pejabat

untuk melakukan tindakan hukum. Kewenangan pejabat tersebut dapat diperoleh

baik melalui atribusi, delegasi, dan kewenangan tersebut harus dapat ditunjuk

dasar hukumnya. Bila perjanjian pemerintahan dibuat oleh pejabat yang tidak

berwenang, baik tidak berwenang karena substasi, tidak berwenang karena

tempat maupun tidak karena waktu.

ad.3. suatu hal tertentu

Pengertian suatu hal tertentu adalah obyek dari perjanjian yang menjadi

kewajiban dari para pihak dalam arti prestasi. Prestasi itu harus tertentu atau

dapat ditentukan, sedangkan untuk dapat mengatakan tertentu dan dapat

ditentukan harus ada jenis dari presatsi itu sendiri yang selanjutnya dapat

ditentukan berapa jumlahnya. Tertentu di sini harus obyek yang dalam perdagangan

karena benda diluar perdagangan tidak dapat dijadikan obyek dari perjanjian.

61 Ibid

74

Walaupun demikian dalam perjanjian pemerintahan, apa yang diperjanjikan dapat

berupa kebijakan tidak secara langsung berkenaan dengan harta kekayaan.

4. Suatu sebab atau causa yang halal

Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang

mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab

yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan

tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa

sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi

hukum. Dalam perjanjian pemerintahan suatu dinyatakan tidak hal, bukan hanya

bertentangan dengan undang-undang maupun kesusilaan, namun juga

bertentangan dengan norma pemerintahan, yaitu peraturan perundang-undangan

maupun asas-sas umum pemerintahan yang baik.

2.3.3. Asas-Asas Berkontrak

Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu kesepakatan antar

pemerintahan daerah baik yang dituangkan dalam bentuk keputusan bersama

ataupun perjanjian baik perdata maupun publik merupakan suatu aturan hukum,

dimana tidak semua persoalan hukum dapat dipecahkan dengan aturan hukum.

Hal tersebut tidak lepas dari persoalan figur hukum, melainkan dapat juga

diselesaikan dengan menggunakan asas-asas hukum. Bruggink menjelaskan

bahwa “asas hukum sebagai meta kaidah berkenaan dengan kaidah hukum dalam

bentuk kaidah perilaku.”62 Asas hukum mengemban fungsi ganda: yaitu sebagai

62 Ibid. h. 120

75

fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem

hukum positif.63 Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “asas hukum bukan

merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau

merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan dibilang

sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan

hakim”.64 Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa kedudukan asas hukum

dalam semua siatem hukum yang didalamnya mengatur sistem norma hukum

mempunyai peranan penting. “Asas hukum merupakan landasan atau pondasi

yang menopang kokohnya suatu norma hukum”.65 Memperhatikan pendapat di

atas nampak bahwa asas hukum merupakan hal yang sangat penting dalam

pembentukan hukum, khususnya berkenaan dengan kerjasama antar pemerintah

daerah. Beberapa ahli memberikan pengertian tentang asas hukum sebagai

berikut:

a Bellefroid,66 sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo

menyatakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang

dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak

berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum

umum merupakan kristalisasi (pengendapan) hukum positif dalam

suatu masyarakat.

63 Ibid. h. 132 64 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (sebuah pengantar), Liberty, Yogyakarta,

2001, h. 5 – 6. 65 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas-Asas Proporsional Dalam Kontrak

Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta, 2008, 19 66 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Op.cit, h.34

76

b Van Eikema Home67, menjelaskan bahwa asas bukan norma

hukum yang konkrit, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau

petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau

petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam

pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas

hukum

c Paul Scholten Asas hukum merupakan “pikiran-pikiran dasar,

yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-

masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan

putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-

ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang

sebagai penjabarannya.”68

Mengingat bahwa kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu

kesepakatan, maka asas-asas dimaksud tidak dapat dilepaskan dengan asas-asas

dalam berkontrak yaitu:

a. asas kebebasan berkontrak;

b. asas daya mengikatnya kontrak;

c. asas bahwa perjanjian hanya menciptakan perikatan di antara

pihak yang berkontrak.69

Yohanes Sogar Simamora tidak menggunakan istilah asas, melainkan

menggunakan istilah prinsip hukum, dan menyamakan asas dengan prinsip. Hal

tersebut sebagaimana dinyatakan bahwa “prinsip hukum atau asas hukum

67 Loc. Cit 68 Paul Scholten, dalam J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Op.cit h. 119 69 J. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (terjemahan Djasadin Saragih). H.

83.

77

merupakan salah satu obyek terpenting dalam kajian ilmu hukum. Pembahasan

tentang prinsip hukum lazimnya disandingkan dengan aturan hukum atau kaidah

hukum untuk memperoleh gambaran yang jelas menyangkut perbedaannya.” 70

Lebih lajut Yohanes Sogar Simamora mengutip pendapat Dworklin yang

menyatakan :

Rule and principles are standards but they differ in nature. Rule oprete in

all-or-nothing fashion. Either a case falls under a rule or it does not. There

is no third way. A rule either determines an issue or it bas nothing to say

on the issue ….. A principle does not dictate an answer as does a rule. A

principles merely follows a direction, it merely gives a reason.71

Selain itu juga dikemukakan bahwa “disamping itu prinsip hukum

merupakan dasar dari aturan hukum. Paton menyatakan bahwa aturan hukum

yang terbentuk memperoleh dasarnya dari prinsip hukum.”72 Lebih lanjut

Yohanes Sogar Simamora menyatakan bahwa “prinsip hukum tidak saja

sebagai dasar dalam memecahkan persoaloan hukum tetapi juga sebagai bahan

dalam pembentukan hukum.”73 Lebih lanjut dinyatakan bahwa prinsip-prinsip

berkontrak meliputi:

a. prinsip kebebasan berkontrak;

b. prinsip itikad baik;

c. prinsip transparansi;

d. prinsip proporsionalitas74

Saya sependapat Yohanes Sogar Simamora yang menyamakan antara

asas dengan prinsip, hal tersebut mengingat bahwa pengertian asas dengan

70

Yohanes Sogar Simamora, op.cit. h. 28 71

Ibid 72 G.W. Paton, ibid.

73 ibid. h. 29. 74 Ibid, h. 38 - 51

78

prinsip menurut kamus besar bahasa Indonesia terdapat kesamaan yaitu asas

sebagai dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat)75,

sedangkan prinsip diartikan sebagai dasar (kebenaran yang menjadi pokok dasar

berpikir, bertindak).76 Beranjak dari kamus besar bahasa Indonesia tersebut

terdapat kesamaan bahwa baik asas maupun prinsip diartikan dasar atau

tumpuan berpikir atau berpendapat dalam menganalisis kerjasama antar

pemerintah daerah. Hal tersebut tentunya berbeda dengan apa yang dimaksud

dengan “legal maxim” yang diartikan “commonly formulate a legal policy or ideal

that judges are supposed to consider in deciding ceses. Maxim do not normally

have the dogmatic authority of statutes and are usually not considered to be law

expcept to the extent of their application in adjudicated cases.”77

Mengingat bahwa kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu

kesepakatan, terhadap kesepakatan pemerintahan ini terdapat penyimpangan

terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi kontrak pada umumnya. Aturan

yang berlaku dalam hal ini banyak bersumber pada jurisprudensi dan doktrin yang

telah mengembangkan perangkat hukum yang membedakan kontrak administrasi

dengan kontrak perdata baik yang menyangkut formasi kontrak maupun aspek

pelaksanaan dan akibat hukumnya. Dalam kontrak administrasi diatur dalam

ketentuan yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga publik.78 Selain asas dalam

hukum kontrak, kerjasama antar pemerintah daerah tentunya juga bertumpu

pada asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana

75 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet

kedua , Balai Pustaka, 1989, h. 52 76

Ibid. h. 701 77 http://www.britannica.com/EBchecked/topic/334867/legal-maxim 78 Op.Cit h. 89

79

dinyatakan dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004

dinyatakan bahwa:

a. Asas kepastian hukum;

Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas

dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan

perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan Penyelenggara Negara.

b. Asas tertib penyelenggaraan Negara;

Yang dimaksud dengan “Asas Tertib Penyelenggaraan Negara”

adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan

keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggaraan Negara.

c. Asas kepentingan umum;

Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah asas

yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang

aspiratif, akomodatif, dan selektif.

d. Asas keterbukaan;

Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang

membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh

informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara.

e. Asas proporsionalitas;

80

Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang

mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban

Penyelenggara Negara.

f. Asas profesionalitas;

Yang dimaksud “Asas Profesionalitas” adalah asas yang

mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

g. Asas akuntabilitas;

Yang dimaksud “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan

bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara

Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat

atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

h. Asas efisiensi; dan asas efektifitas.

Asas efisiensi; dan asas efektifitas, menyangkut tentang

pencapaian tujuan dari kebijakan yang ditetapkan, yaitu untuk

mewujudkan pemerintahan berdaya guna dan berhasil guna,

khususnya berkenaan dengan prosedur.

Mengingat penuangan kerjasama antar pemerintah daerah dalam bentuk

keputusan bersama maupun perjanjian merupakan suatu hukum yang harus

dipatuhi oleh pemerintahan daerah yang melakukan kerjasama, maka

pembentukan hukum tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dengan asas-asas

pembentukan peraturan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor

12 tahun 2011 Pasal 5 yang menyatakan:

81

a. Kejelasan tujuan;

Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan wajib memiliki tujuan yang jelas yang hendak

dicapai. Disamping itu pada hakekatnya suatu peraturan dimaksudkan untuk

mengatur dan oleh karenanya penting diperhatikan mengenai aspek-aspek

yang menjadi wilayah pengaturan baik dari aspek pelaksana peraturan, pihak

yang diatur, jenis dan sifat perbuatan yang akan ditertibkan, pengawasan,

dan pendanaan, serta sanksi baik sanksi pidana maupun administratif. Asas

kejelasan tujuan ini juga menuntut adanya upaya antisipatif dari pembentuk

peraturan perundang-undangan terhadap adanya perbuatan, keadaan atau

peristiwa yang tidak diinginkan yang berpotensi timbul dikemudian hari. Selain

itu juga berfungsi membentuk suatu masyarakat agar sesuai dengan tujuan

yang diinginkan pembentuk peraturan perundang-undangan sehingga

peraturan semacam ini akan bertahan dalam waktu yang lama. Peraturan

tidak seharusnya bersifat reaktif sebab selain perkembangan masyarakat yang

dinamis menuntut adanya peraturan yang fleksibel, juga mengingat proses

pembuatan peraturan yang membutuhkan waktu relatif lama, biaya yang

mahal, dan dampak di luar perkiraan atau kehendak yang mungkin terjadi.

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat.

Yang dimaksud dengan “Kelembagaan atau Organ Pembentuk yang Tepat”

adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh

lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang. Akibat dari tidak dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan

oleh lembaga/pejabat yang berwenang adalah dapat dibatalkan atau batal

82

demi hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan dengan berbagai

jenisnya akan sangat tergantung kepada pihak dan kewenangan pihak yang

membuatnya. Sebagai contoh pembentukan undang-undang atau peraturan

daerah tidak dapat mengabaikan kewenangan Pemerintah atau Pemerintah

Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atau

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menteri atau Gubernur tidak

berwenang secara sepihak membentuk undang-undang. Dalam asas ini

dituntut pula kejelasan prosedur dan syarat pembentukan peraturan

perundang-undangan sehingga tidak berakibat batal demi hukum atau dapat

dibatalkan

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan.

Yang dimaksud dengan ”Kesesuaian antara Jenis dan Materi Muatan” adalah

bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-

benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan

perundang-undangan. Suatu peraturan yang menjadi dasar atau ”payung”

bagi keberadaan peraturan yang lain tentu akan memuat hal-hal yang hanya

bersifat pokok atau prinsip dan akan menduduki hierarki yang lebih tinggi

daripada peraturan yang ”dipayunginya”. Jenis peraturan dengan materi

muatan tertentu akan mengatur hal-hal yang dibatasi oleh daerah, waktu,

masyarakat. Masing-masing jenis peraturan memiliki fungsinya sendiri-sendiri,

seperti undang-undang yang fungsinya antara lain mengatur lebih lanjut hal-

hal yang tegas-tegas ”diminta” oleh ketentuan UUD, juga yang tidak secara

83

tegas ”diminta” namun mengatur lebih lanjut hukum dasar tersebut. Suatu

jenis peraturan dapat memuat materi yang sifatnya terbatas dan berlaku

hanya untuk segolongan masyarakat tertentu saja, misalnya peraturan

berjenis undang-undang kepegawaian hanya berlaku bagi komunitas pegawai

saja, tidak bagi tenaga kerja secara keseluruhan. Demikian juga misalnya

dengan jenis peraturan berupa surat edaran yang hanya mengikat ke dalam

institusi pembuatnya tanpa ada kewenangan mengatur pihak-pihak di luar

institusi yang bersangkutan.

d. Dapat dilaksanakan.

Yang dimaksud dengan ”Dapat Dilaksanakan” adalah bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan

efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik

secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Tidak diharapkan sama sekali

adanya peraturan perundang-undangan yang setelah diberlakukan tidak dapat

dilaksanakan. Hal ini dapat terjadi karena pembuat peraturan perundang-

undangan tersebut hanya ”duduk di belakang meja” dan tidak mencermati

masalah yang sebenarnya terjadi di masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Faktor lain adalah tidak adanya pihak yang melaksanakan dan

mengawasi berlakunya peraturan, tidak adanya sosialisasi ataupun dana untuk

membiayainya. Secara filosofis, Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa

Indonesia memuat nilai-nilai, pandangan hidup, dan cita-cita bangsa dan oleh

karenanya telah sesuai dengan nilai-nilai, pandangan hidup, dan cita-cita yang

hidup dalam masyarakat sehingga pemberlakuan suatu peraturan perundang-

undangan tidak akan menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya karena telah

84

sesuai dengan filosofi yang dianutnya. Secara sosiologis, dalam proses

pembuatan peraturan perundang-undangan telah melibatkan aspirasi

masyarakat yang hendak diatur dan karenanya sesuai dengan keyakinan

umum dan kesadaran hukum masyarakat sehingga akan ditaati oleh

masyarakat dan tidak hanya menjadi huruf-huruf mati. Secara yuridis,

landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan

pembuatan peraturan perundang-undangan sehingga tampak kewenangan

pembuatnya. Selain itu juga dalam landasan yuridis juga ditetapkan proses

dan prosedur pembuatannya dan merupakan dasar keberadaan atau

pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.

Yang dimaksud dengan ”Kedayagunaan dan Kehasilgunaan” adalah bahwa

setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan masyarakat dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak ada artinya apabila suatu

peraturan hanya dibuat untuk memenuhi kehendak pihak penguasa atau

pesanan pihak tertentu yang ingin agar suatu peraturan yang dibuat hanya

akan menguntungkan pihak tertentu tersebut. Hal ini tidak saja mengabaikan

kebutuhan masyarakat akan adanya suatu perlindungan hukum namun akan

merugikan kepentingan masyarakat. Asas ini menghendaki suatu peraturan

dalam masyarakat yang berlaku pada saat yang tepat dan mampu

menyelesaikan masalah yang timbul.

85

f. Kejelasan rumusan.

Yang dimaksud dengan ”Kejelasan Rumusan” adalah bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan

peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga

tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Interpretasi yang beragam yang timbul dari pemahaman atas peraturan yang

sama sedapat mungkin dihindari karena akan berakibat kekacauan sehingga

tujuan dibuatnya peraturan tersebut tidak akan tercapai sehingga dibutuhkan

rumusan yang tidak ambigu dan sedapat mungkin monointerpretasi.

Kejelasan rumusan juga menuntut adanya kejelasan norma hukum baik

berupa kewajiban, larangan, ijin, dan dispensasi. Rumusan yang terlalu sempit

akan sangat kaku dan biasanya tidak bertahan lama, sedangkan rumusan

yang terlalu umum akan menimbulkan bias dalam pelaksanaannya meskipun

akan bertahan relatif lebih lama.

g. Keterbukaan.

Yang dimaksud dengan ”Keterbukaan” adalah bahwa dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,

persiapan, penyusunan, dan pembentukan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang

seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan

peraturan perundang-undangan. Hal ini akan mempermudah pemahaman

masyarakat terhadap suatu peraturan meskipun sosialisasi peraturan belum

dilakukan dan akan memperkecil potensi penolakan masyarakat terhadap

86

keberlakuan suatu peraturan. Penting bahwa peraturan yang dibuat untuk

suatu masyarakat akan berdaya guna dan berhasil guna apabila terdapat

aspirasi dan partisipasi aktif masyarakat sejak saat perancangannya.