bab vi konsep perencanaan dan...
TRANSCRIPT
114
BAB VI
KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
6.1. KONSEP MAKRO
Secara makro, konsep perencanaan dan perancangan Museum Tekstil
Indonesia ini merupakan sebuah alat untuk mendekatkan masyarakat Indonesia agar
mencintai dan menghargai warisan kebudayaan bangsa. Selain itu, dengan adanya
Museum Tekstil Indonesia yang bertaraf internasional, diharapkan mampu menarik
wisatawan asing untuk berkunjung serta mengenalkan warisan kebudayaan Indonesia
berupa tekstil tradisional Indonesia ke dunia global.
6.2. KONSEP MESO
Perencanaan dan perancangan bangunan Museum Tekstil Indonesia mengambil
sebuah tapak yang strategis dan ramai dikunjungi oleh para wisatawan, baik wisatawan
lokal maupun mancanegara. Tapak berada di dalam kompleks Taman Mini Indonesia
Indah yang merupakan sebuah taman rekreasi edukatif berbasis teknologi dan
kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, fungsi bangunan sebagai museum tekstil
merupakan fungsi bangunan yang cocok dibangun pada tapak untuk melengkapi fungsi
dan fasilitas dari Taman Mini Indonesia Indah sebagai sebuah taman yang
merepresentasikan kebudayaan Indonesia.
6.3. KONSEP MIKRO
Konsep mikro perencanaan dan perancangan museum ini merupakan
terjemahan dari konsep metafora architextiles ke dalam aspek arsitektural yang
dikhususkan pada bentukan massa, sistem struktur, fasad bangunan serta zonasi dan
sirkulasi. Tidak menutup kemungkinan, konsep ini juga akan dipakai pada konsep formal
lainnya. Bentukan massa, sistem struktur, fasad bangunan serta zonasi dan sirkulasi
menjadi fokus utama dalam desain yang merupakan sebuah transformasi dari metafora
terhadap sifat dan karakter tekstil sehingga memberikan efek visual menyerupai tekstil
terhadap pengguna bangunan.
115
6.3.1. Penjabaran Konsep Metafora Architextiles
Gambar 6.1 Penjabaran Umum Konsep Metafora Architextiles
Sumber : analisis penulis, 2014
Gambar 6.2 Penjabaran Khusus Konsep Metafora Architextiles
Sumber : analisis penulis, 2014
116
6.3.2. Konsep Organisasi Ruang
6.3.2.1. Zonasi
Pada konsep ini, ruangan – ruangan yang terdapat pada studi programatik
yang telah dihitung, mulai dikelompokkan menjadi beberapa blok.
Pengelompokan ruangan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan aktivitas
di dalamnya. Dalam kaitannya dengan metafora architextiles, zonasi
diibaratkan sebagai zona - zona yang dibentuk oleh perpotongan pada
benang yang saling menjalin. Hasil dari perpotongan benang ini adalah
beberapa zonasi yang diterapkan pada museum.
i. Zonasi Horizontal
Zonasi horizontal, dibedakan berdasarkan tingkat kebutuhan terhadap
privasi mulai dari publik, semi-publik dan privat (area servis). Zona
publik diletakkan pada area depan site karena zona ini diharapkan
dapat diakses dengan mudah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin
oleh pengunjung. Zona semi-publik diletakkan ditengah zona publik dan
privat sekalligus menjadi jembatan antar kedua zona tersebut.
Gambar 6.3 Pembagian Ruang Museum Tekstil Berdasarkan Tingkat Privasi Sumber : analisis penulis, 2014
117
Gambar 6.4 Skema Zonasi Horizontal Sumber : analisis penulis, 2014
ii. Zonasi Vertikal
Zonasi vertikal secara keseluruhan dibagi berdasarkan tingkat ruangan
yang paling sering dikunjungi oleh pengunjung museum. Terdapat tiga
kategori tingkatan ruangan berdasarkan tingkat kunjungan yaitu :
Tingkat Kunjungan Tinggi
Ruangan dengan tingkat kunjungan tinggi, diletakkan pada lantai
dasar bangungan sehingga ruangan – ruangan ini dapat diakses
dengan cepat dan mudah oleh pengunjung. Ruangan yang
termasuk kedalam zona ini adalah lobby, ticketing, ruang pameran,
ruang audiovisual, workshop, café dan toko souvenir.
Tingkat Kunjungan Sedang
Ruangan dengan tingkat kunjungan sedang diletakkan pada lantai
kedua. Ruangan yang termasuk dalam zona ini adalah
perpustakaan dan ruang diskusi. Tujuan lain dari peletakan kedua
ruang ini di lantai kedua adalah untuk mencegah kebisingan yang
timbul dari lantai dasar, karena syarat utama sebuah perpustakaan
dan ruang diskusi adalah terhindar dari kebisingan.
Tingkat Kunjungan Berkala
Ruangan dengan tingkat kunjungan berkala diletakkan pada lantai
teratas. Ruangan yang termasuk dalam zonasi ini adalah ruangan
peragaan busana.
118
Gambar 6.5 Skema Zonasi Vertikal Sumber : analisis penulis
6.3.2.2. Integrasi Ruang
Konsep integrasi pada museum ini didasarkan pada metafora benang yang
menjalin, mengintegrasi, menghubungkan dan mangikat zona – zona serta
ruang – ruang. Konsep ini selanjutnya diaplikasikan dalam bentuk integrasi
bangunan radial dengan pusatnya berupa area lobby dan informasi. Area
lobby dan informasi akan menjadi jembatan pengunjung untuk
mengeksplorasi ruangan – ruangan lainnya, sedangkan hubungan antar
ruang satu dengan yang lainnya menggunakan sistem linier.
119
Gambar 6.6 Hubungan Ruangan Lantai 1 Sumber : analisis penulis, 2014
Lantai satu merupakan zona ruangan dengan tingkat kunjungan pengunjung
yang tinggi. Pada lantai satu, hall dan lobby merupakan titik pusat segala
aktivitas dan kegiatan yang ada. Dari lobby, pengunjung akan mendapatkan
informasi mengenai fasilitas – fasilitas yang ingin didapatkan. Penjaga
museum akan mengarahkan pengunjung sesuai dengan keperluan dan
kebutuhan masing – masing pengunjung. Pengunjung yang ingin menikmati
pameran, dapat bergerak ke bagian ticketing lalu menunggu di ruang tunggu
selama mendapat pengarahan dari tour guide lalu bergerak menuju ruang
pameran dan berakhir di ruangan audiovisual. Selain alur diatas, dari lobby,
pengunjung dapat langsung bergerak menuju ruang konservasi dan ruang
transisi. Pada ruang transisi terdapat beberapa fasilitas penunjang seperti
musholla, café, toko souvenir dan workshop pembuatan tekstil. Ruang
transisi juga berfungsi sebagai area pemisah sekaligus penghubung antara
zona publik dengan zona semi-publik. Zona semi-publik merupakan zona
dimana kantor museum berada. Zona ini menjadi satu – satunya
penghubung dengan zona servis..
Gambar 6.7 Hubungan Ruangan Lantai 2 Sumber : analisis penulis, 2014
120
Lantai dua merupakan zona ruangan dengan tingkat kunjungan pengunjung
sedang. Pada lantai dua, terdapat perpustakaan dan area diskusi bagi para
pecinta dan kolektor tekstil Indonesia. Kedua ruangan ini bersifat terbuka
namun membutuhkan tingkat privasi yang lebih tinggi dari ruang – ruang
lainnya agar terhindar dari kebisingan sehingga kedua ruangan ini terletak di
lantai dua. Peran dan fungsi hall serta lobby pada lantai dua ini adalah
sebagai pusat informasi dan pengarah pengunjung. Pengunjung yang telah
mendapatkan informasi dari lobby, akan dibawa dengan sistem sirkulasi
vertikal berupa lift maupun tangga menuju lantai ini.
Gambar 6.8 Hubungan Ruangan Lantai 3 Sumber : analisis penulis, 2014
Lantai tiga merupakan zona ruangan dengan tingkat kunjungan pengunjung
rendah dan hanya dikunjungi secara berkala jika terdapat event – event
tertentu. Ruangan yang terdapat pada lantai ini adalah ruangan peragaan
busana dengan dilengkapi backstage. Peran dan fungsi hall serta lobby pada
lantai tiga ini adalah sebagai pusat informasi dan pengarah pengunjung.
Pengunung yang te telah mendapatkan informasi dari lobby, akan dibawa
dengan sistem sirkulasi vertikal berupa lift maupun tangga menuju lantai ini.
121
6.3.2.3. Hubungan Antar Ruang
Sebagai wadah informasi dan aktivitas kebudayaan berbasis teknologi,
konsep hubungan antar ruang dibuat agar ruang satu dengan yang lainnya
dapat saling berinteraksi. Konsep hubungan antar ruang ini didasarkan pada
metafora benang yang menjalin sehingga hubungan antar ruang satu dengan
yang lainnya seperti tumpang tindih namun tetap pada fungsi dan aktivitas
masing –masing ruangan. Dengan begini, pengunjung akan bergerak sesuai
dengan jalur yang telah diciptakan oleh ruang – ruang yang saling mengunci,
berdekatan dan berjauhan, sehingga secara tidak sadar pengunjung akan
terbawa oleh arus di dalamnya.
6.3.3. Konsep Tata Massa Ruang dan Bangunan
6.3.3.1. Konfigurasi Massa Bangunan
Konfigurasi massa bangunan museum didesain menjadi 2 massa yang
berbeda. Massa bangunan yang pertama merupakan massa bangunan
dengan fungsi dan zonasi untuk publik dan berada di muka site. Massa
bangunan yang kedua merupakan massa bangunan dengan fungsi dan
zonasi untuk semi – publik dan area privat yang berada di bagian belakang
site.
Gambar 6.9 Konfigruasi Massa Bangunan Sumber : analisis penulis, 2014
6.3.3.2. Massa Bangunan Terkait Metafora Architextiles
Pemilihan bentuk massa bangunan terkait dengan konsep metafora
architextiles adalah mengambil metafora sifat, karakter dan bentuk dari
lembaran tekstil yang ringan saat tertiup angin (flying textile). Bentukan dari
metafora tersebut merupakan cerminan dari sifat – sifat yang berhubungan
dengan kedinamisan dan fluiditas. Dengan bentukan massa yang seperti ini,
122
diharapkan pengunjung museum dapat merasakan metafora architextiles
melalui pengalaman visual.
Gambar 6.10 Massa Bangunan Dengan Metafora Architextiles Sumber : analisis penulis, 2014
6.3.3.3. Fasad
Secara keseluruhan, material yang akan banyak dipakai pada bangunan
adalah material modern seperti kaca dan beton. Banyaknya area yang
dilapisi kaca, akan membuat sinar matahari dengan bebas masuk kedalam
bangunan, akbiatnya akan menghambat proses aktivitas yang terdapat di
dalam bangunan. Oleh karena itu, untuk menghindari terhambatnya segala
aktivitas yang ada di dalam bangunan, perlu adanya sebuah sistem yang
mampu melakukan filtrasi terhadap cahaya matahari yang masuk. Double
facade merupakan solusi praktis yang dapat diaplikasikan kedalam
bangunan. Konsep fasad yang dipakai dalam bangunan ini adalah
menggunakan konsep metafora jaringan pada tekstil. Jaringan tekstil
merupakan sistem pembentuk struktur yang terbentuk dari kumpulan jalinan
benang. Bentuk jaringan tekstil lebih renggang dari pada struktur tekstil
secara keseluruhan, sehingga memungkinkan cahya yang dikehendaki untuk
masuk kedalam bangunan.
Gambar 6.11 Aplikasi Fasad Bangunan Sumber : analisis penulis, 2014
123
6.3.4. Konsep Sirkulasi
6.3.4.1. Pencapaian Bangunan
Site museum tekstil berada di dalam kompleks Taman Mini Indonesia Indah.
Letaknya di dekat danau dan berdekatan dengan Museum Keprajuritan,
Museum Pusaka dan Museum Serangga. Pengunjung dapat mencapai site
dengan mengakses jalan besar pada Taman Mini Indonesia Indah kemudian
berbelok ke arah danau menuju site bangunan. Perlu adanya sebuah point
of attraction yang dapat menarik dan mengumpulkan pengunjung. Untuk itu,
di bagian depan bangunan akan dibuat sebuah public space yang akan
mengarahkan pengunjung menuju entrance museum.
Gambar 6.12 Pencapaian Site Bangunan
Sumber : analisis penulis, 2014
Sedangkan impresi bangunan yang ingin ditimbulkan ketika pengunjung
datang pertama kali adalah tegas, kuat, formal dan jelas sehingga jenis
pencapaian yang digunakan berupa pencapaian langsung. Dengan
pencapaian langsung ini, pengunjung secara sadar maupun tidak sadar akan
mendapatkan impresi bentukan visual dari konsep metafora architextiles
yang diterapkan pada bangunan.
124
Gambar 6.13 Pencapaian Langsung Bangunan
Sumber : analisis penulis, 2014
6.3.4.2. Parkir
Tata parkir untuk Museum Tektstil Indonesia menggunakan lahan parkir yang
sudah ada di sekitar site yang merupakan lahan parkir eksisting gabungan
bagi Musem Serangga dan Museum Pusaka. Lahan parkir tersebut
merupakan lahan parkir untuk pengunjung. Untuk itu, perlu ditambahkan
sebuah lahan parkir bagi karyawan dan loading barang Musem Kain
Indonesia. Rencanannya lahan parkir karyawan dan loading barang tersebut
akan berada di sisi belakang musem dengan akses melalui jalan menuju
Musem Keprajuritan. Pembagian lahan parkir seperti ini selain dapat
memudahkan kegiatan servis museum, juga dapat menambah space lahan
parkir bagi pengunjung.
Gambar 6.14 Tata Parkir
Sumber : analisis penulis, 2014
125
6.3.4.3. Sirkulasi Luar Bangunan
Sirkulasi ruang luar dibedakan menjadi dua, yaitu sirkulasi kendaraan
(motorized) dan sirkulasi pedestrian (unmotorized). Bangunan Museum
Tekstil Indonesia memiliki dua entrance. Entrance utama dikhusukan untuk
pengunjung yang berjalan kaki sedangkan entrance yang kedua dikhususkan
sebagai jalur sirkulasi loading barang dan tempat parkir karyawan.
Gambar 6.15 Sirkulasi Ruang Luar
Sumber : analisis penulis, 2014
6.3.4.4. Sirkulasi Internal Bangunan
Dalam kaitannya dengan konsep metafora architextiles, sistem sirkulasi
ruang dalam bangunan didesain dinamis dan fleksibel memakai sistem
benang yang komposit. Sistem komposit ini merupakan sistem konfigurasi
sirkulasi horizontal yang menggabungkan sistem radial dan sistem linier.
Terdapat sebuah benang yang menjadi pusat, pengikat dan penghubung
benang – benang yang lain.
Sistem linier dipakai pada sirkulasi pada ruang – ruang yang memiliki pola
hubungan linier. Sistem sirkulasi linier yang banyak dipakai pada museum
adalah sistem sirkulasi linier tertutup dan sistem sirkulasi linier terbuka pada
satu sisi. Sistem linier terbuka pada satu sisi digunakan pada koridor yang
memberikan view kearah keluar, sedangkan sistem sirkulasi linier tertutup
lebih banyak dipakai pada zona ruang pameran. Sebagai pusat seluruh
sirkulasi dari bangunan museum, terdapat sistem sirkulasi radial yang
mengikat seluruh sirkulasi linier yang ada di bangunan. Sistem sirkulasi radial
ini terdapat pada area hall dan lobby.
126
Sistem sirkulasi vertikal pada bangunan memakai lift dan tangga. Lift dan
tangga diletakkan pada zona sistem sirkulasi radial sehingga sistem sirkulasi
vertikal memiliki hubungan dengan sirkulasi horizontal bangunan serta
mengikat antara satu dengan yang lainnya.
Gambar 6.16 Sirkulasi Internal
Sumber : analisis penulis, 2014
6.3.5. Konsep Lansekap
Konsep tata lansekap pada bangunan dibuat fleksibel, dinamis dan fluid yang
merupakan terjemahan dari metafora sifat dan karakter tekstil. Konsep tersebut akan
diterjemahkan melalui bentukan dan tata letak elemen keras dan elemen lunak pada
tata lansekap. Beberapa jenis elemen yang akan dimasukkan pada desain lansekap
antara lain sebagai berikut :
1. Vegetasi
Vegetasi yang akan diletakkan pada tata lansekap merupakan tanaman – tanaman
terpilih yang memiliki fungsi sebagai peneduh sekaligus sebagai pewarna alam bagi
tekstil. Perdu – perdu dengan ketinggian sedang akan diletakkan pada area tata
lansekap sepanjang pathway.
2. Air
Elemen air diletakkan pada tata lensekap yang berada di depan bangunan. Elemen
ini memberikan pencitraan ekstra dalam menimbulkan efek bayangan bangunan
pada malam hari dan siang hari sehingga tercipta kesan yang kuat dan dramatis
antara bangunan dengan lingkungannya.
3. Batu
Bebatuan merupakan elemen keras yang digunakan pada tata lansekap. Batu –
batuan digunakan sebagai penyeimbang antara elemen keras dan elemen lunak
sehingga tercipta sebuah komposisi estetis yang seimbang pada tata lansekap.
4. Furniture
127
Tata lansekap selain berfungsi sebagai area penghijauan sekaligus berfungsi
sebagai ruang terbuka untuk berkumpul, berinteraksi dan berdiskusi. Untuk itu,
diperlukan adanya furniture yang dapat mengakomodasi kegiatan tersebut berupa
bangku dan meja yang terdapat pada area duduk.
Tata lansekap pada bangunan museum tekstil dibagi menjadi dua, yaitu tata
lansekap yang berfungsi sebagai penunjang impresi pencapaian terhadap bangunan
dan tata lansekap yang berfungsi sebagai taman pewarna sekaligus tempat berkumpul
dan berinteraksi serta menjadi ruang transisi.
Gambar 6.17 Tata Lansekap Museum Tekstil Indonesia
Sumber : analisis penulis, 2014
6.3.6. Konsep Sistem Bangunan
6.3.6.1. Struktur Bangunan
Dalam kaitannya dengan konsep metafora architextiles, struktur bangunan
memberikan peranan yang sangat penting dalam menterjemahkan konsep
kedalam bentuk bangunan. Oleh karena itu, sistem struktur bangunan
memakai sistem struktur yang mampu mengakomodasi terjemahan sifat dan
karakter tekstil yaitu dinamis, fleksibel dan fluid. Sistem struktur yang mampu
mewujudkan bentuk bangunan seperti pada konsep adalah dengan
menggunakan advance structure system.
128
6.3.6.2. Pencahayaan
Sistem pencahayaan yang digunakan pada bangunan museum
menggunakan pencahayaan alami dan buatan. Penggunaan sistem
pencahayaan tersebut tergantung pada kebutuhan, fungsi dan suasana yang
ingin ditimbulkan pada sebuah ruangan.
1. Alami
Penchayaan alami pada bangunan dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Penchaayaan alami akan lebih banyak digunakan pada area publik
dengan orientasi view keluar bangunan. Hal ini dilakukan dengan cara
memperbanyak elemen bukaan dan permainan elemen transparan pada
kulit bangunan.
2. Buatan
Pencahayaan buatan diaplikasikan keseluruh ruangan pada bangunan,
baik eksterior maupun interior. Pencahayaan pada eksterior bangunan
difokuskan pada pencahayaan fasad bangunan dan tata lansekap. Hal ini
menjadi elemen penting dalam menciptakan kesan bangunan pada
malam hari. Pencahayaan pada eksterior bangunan difokuskan pada
area pameran. Penempatan sumber cahaya harus dipertimbangkan
sedemikian mungkin agar cahaya tidak langsung menyinari koleksi tekstil
yang ada sehingga tekstil tidak mudah rusak dan lapuk. Oleh karena itu,
pencahayaan pada area pameran dilakukan dengan sistem pencahayaan
indirect dengan mempertimbangkan jarak, warna, lux cahaya dan thermal
yang ditimbulkan oleh sumber cahya.
Gambar 6.18 Jarak Pemasangan Pencahyaan Buatan
Sumber : analisis penulis, 2014
129
6.3.6.3. Penghawaan
1. Penghawaan Alami
Sistem penghawaan alami pada bangunan menerapkan sistem
cross ventilation. Konsep ini diterapkan dengan cara memberikan bukaan
– bukaan pada ruang – ruang yang saling berhadapan. Ruang – ruang
yang menggunakan sistem ini antara lain adalah lobby, café, workshop,
musholla dan lavatory.
2. Air Conditioner
Sistem penghawaan buatan pada bangunan digunakan untuk
ruang – ruang yang membutuhkan pengkondisian khusus. Ruang – ruang
yang membutuhkan pengkondisian khusus pada museum tekstil antara
lain ruang koleksi, ruang pameran, ruang konservasi, gudang koleksi dan
ruangan audiovisual.