bab vi 2007etw-7
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU
Berdasarkan hasil analisis kebijakan perlindungan diketahui bahwa
konservasi spesies yang mendasari pengelolaan penyu hijau tidak dilaksanakan
secara konsisten. Kelemahan menejerial menyebabkan Pemerintah gagal
menghalangi eksploitasi penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dapat digambarkan
sebagai sistem kelembagaan sentralistik dengan kewenangan yang meluas di
seluruh Indonesia namun lemah dalam penanganan ancaman dan penegakan
hukum. Alternatif kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan dari sistem
kelembagaan desentralistik yang mampu menangani ancaman dan penegakan
hukum.
Alternatif perlindungan yang diusulkan menggunakan konsep yang berbeda
dengan perlindungan spesies yang selama ini dilaksanakan pemerintah.
Perlindungan diarahkan pada habitat penyu (konservasi in-situ) dengan
membentuk Kawasan Konservasi Laut (KKL). Perumusan alternatif kebijakan
perlindungan pada Kasus Kepulauan Derawan menghasilkan Rancangan KKL
Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan KKL Kepulauan Derawan.
Pemilihan Kepulauan Derawan sebagai model perlindungan habitat
didasarkan pertimbangan:
− Kepulauan Derawan terletak di antara Laut Sulu dan Pulau Sulawesi
merupakan lokasi penting yang menjadi perhatian internasional dalam
pengembangan proyek Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) oleh Negara
Malaysia, Indonesia dan Filipina.
− Kepulauan Derawan memiliki daerah peneluran penyu hijau tertinggi di
Indonesia;
− Kepulauan Derawan terdapat pemanenan telur penyu secara sistematis,
panangkapan induk di perairan laut dan pengrusakan habitat
− Kepulauan Derawan terdapat konflik kepentingan antara Pemerintah
Kabupaten Berau dengan Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam karena
kebijakan privatisasi pengunduhan telur penyu sebagai sumber PAD.
113
6.1 Pendekatan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan
Menurut Groves (2003) untuk menyelamatkan spesies yang menuju
kepunahan digunakan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati. Spesies
yang dimaksud menjadi target (species target), sedangkan komunitas biotis
dimana spesies itu berada dijadikan target konservasi (conservation target). Jika
pemikiran Groves diterapkan pada kasus Kepulauan Derawan, maka dengan
melindungi penyu hijau (species target) diperlukan kawasan konservasi cukup
luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem di dalamnya
(Gambar 61). Penyu berperan sebagai spesies payung (the umbrella species) bagi
upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem di Kepulauan Derawan.
Gambar 61. Penyu hijau sebagai species target bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di Kepulauan Derawan
6.2 Tujuan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan
Untuk menyelamatkan spesies penyu hijau dari kepunahan diperlukan
pembentukan KKL pada habitat penyu hijau. Wilayah Kepulauan Derawan yang
luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem di dalamnya.
dapat dibentuk Kawasan Konservasi Laut.
114
i) Pemulihan populasi penyu di alam
Ancaman manusia berupa pemanenan telur dan penangkapan induk
penyu terjadi pada daerah perairan dangkal dan pantai peneluran. Daerah ini
merupakan habitat penting karena penyu hijau sedang berada pada fase
reproduksi. Pada musim kawin, induk penyu berada di perairan laut dangkal
yang kaya akan nutrisi yakni pada ekosistem lamun dan terumbu karang,
selanjutnya induk penyu akan membuat sarang dan akhirnya menghasilkan
anakan penyu. Perlindungan habitat dengan membentuk Kawasan Konservasi
Laut akan mengamankan berlangsungnya fase reproduksi karena induk penyu
dapat menghasilkan individu baru sebagai stok penyu di alam.
ii) Mengurangi ancaman kepunahan
Kebiasaan penyu bermigrasi jauh ini menjadikan penyu hijau sebagai
sumberdaya open access dimana tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk
membatasi orang memanfaatkan sumberdaya. Eksploitasi penyu hijau secara
berlebihan pada situasi open access menyebabkan terjadi the tragedy of the
commons yang berujung pada kepunahan.
Pengalokasian habitat penyu hijau sebagai KKL telah menimbulkan
kepemilikan populasi penyu hijau. Pembentukan KKL telah mengubah situasi
open access menjadi sumberdaya yang ada kepemilikannya secara sah. Secara
teoritis telah dapat dilakukan pembatasan aksesibilitas nelayan/ masyarakat
lokal agar tidak mengeksploitasi penyu dan telur yang ada di dalam KKL.
6.3 Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan
6.3.1 Keterkaitan dengan perencanaan regional/ propinsi/ kabupaten
(i) Tingkat Regional
Kepulauan Derawan merupakan bagian dari wilayah pengembangan
program The Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) karena memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan sebagai habitat penting
penyu laut. Demikian halnya dengan pengembangan jaringan perlindungan
penyu Tri-National dimana wilayah Kepulauan Derawan berada di sebelah
Selatan hingga The Turtle Islands ASEAN Heritage site yang berada di
115
Pilipina dan Sabah hingga Palawan. Pada tingkat regional Kepulauan
Derawan menempati perioritas tinggi dalam upaya konservasi penyu.
(ii) Tingkat Propinsi
Menurut Tata Ruang Propinsi Kalimantan Timur, wilayah Kepulauan
Derawan dikelompokkan sebagai: Kawasan Suaka Alam dengan Suaka
Margasatwa di P. Semama dan P. Derawan dengan luas 2 hektar; Kawasan
Suaka Laut yang berada di gugusan karang P. Panjang, P. Derawan, P.
Semama, P. Kakaban, Karang Besar, P. Balikukup.
Kebijakan pembangunan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur
mengarah pada perluasan kawasan lindung ± 30% dari luas wilayah
propinsi. Dalam perencanaan Propinsi Kalimantan Timur di wilayah
Kepulauan Derawan ada peningkatan fungsi kawasan Suaka Margasatwa P.
Semama dan P. Derawan ditambahkan fungsi sebagai daerah perlindungan
plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa. Demikian halnya dengan
kawasan suaka laut ada penambahan wilayah yang berada di gugusan
karang Malulungan dan P. Maratua.
(iii) Tingkat Kabupaten
Wilayah Kepulauan Derawan dan perairan laut telah ditetapkan sebagai
Kawasan Perlindungan Laut (KPL) melalui Peraturan Bupati (Perbup)
No. 31 tahun 2005 oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau.
Gambar 62. Kawasan Perlindungan Laut Kepulauan Derawan
116
6.3.2 Keberadaan habitat penyu hijau dalam penentuan batas Kawasan Konservasi Laut (KKL)
Pada Gambar 8 diketahui bahwa Kepulauan Derawan memiliki nesting
area tertinggi di Indonesia yang menerangkan bahwa rata-rata 30 ekor penyu
hijau mendarat di P. Sangalaki untuk bertelur setiap malamnya. Ada dugaan
perjalanan migrasi penyu hijau mengikuti arus Termoklim Pasifik Utara dan
terbawa di Kepulauan Derawan.
Gambar 63. Peta bathimetry Kepulauan Derawan
Jika Gambar 63 diperhatikan, ketiga irisan melintang dari arah laut menuju
daratan Kalimantan memberi penjelasan bahwa Kepulauan Derawan
merupakan wilayah pendaratan yang ideal setelah mengarungi Lautan Pasifik.
Pulau Sangalaki merupakan pulau terdepan dalam menghadang arus Termoklim
Pasifik Utara sehingga paling banyak penyu hijau yang mendarat untuk bertelur.
Dari data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau diketahui sebaran tiga
ekosistem di Kepulauan Derawan. Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu
karang menunjukkan habitat feeding penyu hijau (Gambar 64). Adapun habitat
breeding diketahui dari laporan Mahardika (2004) tentang proporsi jumlah
penyu (Gambar 65) dan laporan Adnyana (2005) tentang proporsi jumlah telur
penyu yang terdapat di Kepulauan Derawan (Gambar 66).
117
Gambar 64. Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan sebagai indikasi dari habitat feeding (Sumber : Dinas Perikanan dan kelautan Kab. Berau)
Gambar 65. Proporsi jumlah penyu di delapan pulau sebagai indikasi
dari habitat breeding penyu hijau. (Mahardika, N. 2004)
118
Gambar 66. Proporsi jumlah telur di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau. (Adnyana, 2005)
Dengan menggunakan GIS (Geographic Information Systems) dilakukan teknik
overlay beberapa informasi tentang habitat feeding dan habitat breeding untuk
mengetahui batas Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kepulauan Derawan
(Gambar 67).
Batas Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan yang berada di P.
Rabu-Rabu, P. Panjang, P. Maratua, P. Balembangan, P. Sambit, P. Bilang-
Bilang, P. Mataha, dan P. Manimbora. Dengan asumsi bahwa keberadaan
ekosistem terumbu karang pada perairan dangkal < 50 meter dan ekosistem
lamun pada kedalaman < 10 meter, maka batas kawasan sejauh ± 100 meter dari
garis pantai dari setiap pulau ke arah laut.
119
Gam
bar6
7. P
eta
Kaw
asan
Kon
serv
asiL
autK
epul
auan
Der
awan
Gam
bar6
7. P
eta
Kaw
asan
Kon
serv
asiL
autK
epul
auan
Der
awan
120
6.3.3 Pendapat pakar sebagai bahan pembanding dalam penentuan prioritas konservasi di Kepulauan Derawan
Pada tanggal 22 Oktober 2003 telah menyelenggarakan workshop yang
membahas laporan tentang Perencanaan Konservasi Setempat (Site
Conservation Planning) di Kepulauan Derawan. Perencanaan Konservasi
Setempat yang dibahas merupakan hasil penggunaan metode perencanaan
Kerangka 5-S (Systems, Stresses, Sources, Strategies, Success) dari pendapat
pakar (The Nature Conservancy, 2003). Hal yang sama dengan yang dilakukan
oleh peneliti. Perbedaannya terletak pada proses diskusi dimana peneliti
melakukan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna
sumberdaya alam, sedang TNC melakukan diskusi dengan para pakar. Antara
pendapat pakar dan masyarakat lokal menghasilkan perbedaan yang mendasar
sejak identifikasi sumberdaya penting hingga penentuan perioritas konservasi
(Tabel 17 dan Tabel 18).
Tabel 17. Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari pendapat pakar.
Sumberdaya penting Tekanan terhadap sumberdaya (Stress)
1. Terumbu karang Kerusakan terumbu karang 2. Mangrove Kerusakan mangrove 3. Lamun Kerusakan lamun 4. Ekosistem danau air asin Perubahan ekosistem danau air asin 5. Beberapa lokasi pemijahan Kerusakan lokasi pemijahan 6. Ekosistem pantai Pae di
P. Maratua Kerusakan mangrove
7. Karang Muaras Kerusakan terumbu karang 8. Ikan karang Kerusakan ikan karang 9. Penyu Penurunan populasi penyu 10. Manta (ikan pari) Penurunan populasi manta 11. Cetacean (dugong) Penurunan populasi dugong 12. Hammerhead shark (hiu kepala
martil) Penurunan populasi hiu
13. Ikan Napoleon Penurunan populasi ikan napoleon 14. Coconut crab (kepiting kenari) Penurunan populasi kepiting kenari dan
ancaman kepunahan
121
Tabel 18. Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari hasil diskusi partisipatif.
Sumberdaya penting Tekanan terhadap sumberdaya (Stress)
1. Penyu Penurunan jumlah induk penyu yang bertelur 2. Terumbu karang Kerusakan terumbu karang 3. Kerapu Penurunan hasil tangkapan kerapu 4. Kima Penurunan hasil tangkapan kerang kima 5. Ikan Napoleon Penurunan hasil tangkapan napoleon 6. Tripang Lolak, Kima Penurunan tangkapan tripang 7. Udang Lobster Penurunan tangkapan lobster 8. Tengiri Penurunan hasil tangkapan tengiri 9. Kepiting kenari Berkurangnya kepiting kenari 10. Kakap merah Penurunan hasil tangkapan kakap merah 11. Kelapa Penurunan produktivitas kelapa 12. Air tawar Kekurangan air tawar di musim kemarau 13. Tongkol Peningkatan tangkapan ikan tongkol
Keduanya menghasilkan penentuan prioritas konservasi yang berbeda walaupun
wilayah perencanaan yang sama pada Gambar 68 dan Gambar 69.
Gambar 68. Peta prioritas konservasi di Kep. Derawan hasil penilaian pakar
(Sumber : TNC, 2003)
122
Gambar 69. Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan dari hasil diskusi secara partisipatif
6.4 Arahan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan
6.4.1 Status kawasan
Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan berada di perairan laut
dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten Berau. Rancangan KKL Kepulauan
Derawan seluas 660.211 hektar diusulkan sebagai re-design dari tumpang tindih
empat Kawasan Konservasi Laut yang telah ada sebelumnya, yaitu : Suaka
Margasatwa Pulau Sangalaki dan Taman Wisata Alam Pulau Semama yang
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 604/Kpts-
II/Um/8/1982; Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Kakaban yang
ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 70 tahun 2004; dan
Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau yang ditetapkan melalui Peraturan
Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 seluas 1,2 juta hektar (Gambar 70).
123
Gambar 70. Tumpang tindih Kawasan Konservasi Laut di Kep. Derawan
6.4.2 Rencana kegiatan pengelolaan
Prinsip dasar pengelolaan KKL Kepulauan Derawan adalah konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, melalui :
pemulihan sumberdaya, pengurangan ancaman dan merubah ancaman menjadi
peluang. Hasil diskusi secara partisipatif (Lampiran 5) diketahui bahwa ada 12
sumberdaya yang mengalami tekanan, yakni: kelapa, penyu, kerapu, lobster,
terumbu karang, tripang, ikan napoleon, kerang kima, tengiri, kepiting kenari,
kakap merah, persediaan air tawar. Kedua belas sumberdaya ini mengalami:
1. Penurunan produktivitas kelapa
2. Penurunan hasil tangkapan kerapu
3. Penurunan tangkapan lobster
4. Penurunan tangkapan tripang
5. Kerusakan terumbu karang
6. Penurunan jumlah induk penyu yang bertelur
7. Penurunan hasil tangkapan ikan napoleon
8. Penurunan hasil tangkapan kerang kima
124
9. Penurunan hasil tangkapan tengiri
10. Penurunan populasi kepiting kenari
11. Penurunan hasil tangkapan kakap merah
12. Kekurangan air tawar di musim kemarau
Dari hasil The Analytical Approach (Lampiran 6) diketahui bahwa ada
sembilan ancaman terhadap sumberdaya yang ada di Kepulauan Derawan,
antara lain:
1. Eksploitasi spesies-spesies langka dan dilindungi;
2. Penggunaan potasium, bom dan penambangan batu karang;
3. Tidak ada pengaturan eksploitasi jenis ekonomis tinggi;
4. Tidak ada pengawasan/ penegakan hukum;
5. Aktivitas ekspor ke Hongkong dan Taiwan;
6. Kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat;
7. Kegiatan bekarang dengan intensitas yang tinggi (siang-malam);
8. Invasi nelayan luar;
9. Pemukiman yang bertambah besar.
Strategi konservasi yang dihasilkan dari The Analytical Approach
(Lampiran 6) mengarahkan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Kepulauan Derawan. Pada Gambar 71 dapat dilihat apabila arahan rencana
kegiatan dialokasikan pada peta Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.
Secara garis besar rencana kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Kepulauan Derawan, antara lain:
1) Penataan batas kawasan
Penataan batas KKL dengan mendirikan patok pada pulau-pulau yang
menjadi batas kawasan, yakni : P. Rabu-Rabu, P. Panjang, P. Maratua, P.
Balembangan, P. Sambit, P. Bilang-Bilang, P. Mataha, dan P. Manimbora.
Dengan asumsi keberadaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun
berada di perairan dangkal < 50 meter hingga 100 meter dengan kedalaman
< 10 meter maka batas terluar kawasan ditentukan sejauh ± 100 meter dari
garis pantai ke arah laut.
126
2) Pengalokasian wilayah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan ada
perubahan apa pun oleh kegiatan manusia pada :
− Kr. Masimbung, Kr. Malalungan, Kr. Muaras dan Kr. Besar sebagai
habitat biota langka dan dilindungi : penyu laut, ikan napoleon, dan
kima.
− Pulau Kakaban sebagai habitat kepiting kenari.
− Pantai peneluran penyu di P. Derawan, P. Semama, P. Sangalaki,
P. Mataha, P. Balembangan, P. Bilang-Bilang, dan P. Sambit.
3) Pengembangan penangkaran, budidaya dan rumpon di perairan laut sekitar P.
Maratua. Kondisi lingkungan P. Maratua yang paling mendukung untuk
dikembangkan ketiganya karena berbentuk atol (seluas 690 km2) dan tidak
memiliki obyek wisata yang menarik. Pulau Maratua memiliki lima desa
(Bohe Silian, Payung-Payung, Bohe Bukut, Teluk Alulu dan Tanjung
Bahaba) dengan ± 2.000 jiwa penduduk sehingga mampu menyediakan
tenaga kerja.
− Penangkaran spesies langka untuk jenis penyu, ikan napoleon, kepiting
kenari dan kima.
− Budidaya ikan jenis ekonomis tinggi seperti kerapu, lobster, tripang,
kerang.
− Rumpon untuk jenis tongkol, tengiri dan kakap merah.
4) Rehabilitasi terumbu karang yang sebagian besar dengan kondisi rusak di Kr.
Masimbung, Kr. Malalungan, Kr. Muaras dan Kr. Besar. Rehabilitasi
menggunakan teknologi transplantasi yakni usaha pemulihan terumbu karang
melalui pencangkokan karang hidup pada karang mati serta membiarkan
tumbuh secara alami.
5) Meningkatkan daya tarik obyek wisata bahari yang telah ada di P. Derawan,
P. Semama, dan P. Sangalaki dengan menyediakan akomodasi bagi
wisatawan dan peningkatan sanitasi lingkungan.
6) Mengumumkan beberapa larangan dalam pemasangan papan pengumuman
dan dipublikasikan pada kesempatan diadakan pertemuan dengan
masyarakat/ nelayan. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan masyarakat antara
lain:
127
− Larangan eksploitasi spesies langka dan dilindungi seperti : dugong,
ikan napoleon, kima, kepiting kenari, lumba-lumba, penyu laut, hiu dan
paus.
− Larangan penggunaan potasium, bom dan penambangan batu karang.
− Larangan kegiatan bekarang dan penambangan batu karang.
7) Menghentikan ekspor ke Hongkong dan Taiwan karena menimbulkan
eksploitasi berlebihan jenis ekonomis tinggi seperti kerapu,napoleon, lobster,
tripang dan kima.
8) Menghalangi invasi nelayan luar yang berkaitan dengan penggunaan pukat
harimau, potasium dan penangkapan induk penyu.
9) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan konservasi sumberdaya alam agar
dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian sehingga masyarakat dapat
memanfaatkan sumberdaya laut secara lestari.
10) Bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat agar ditempatkan di
desa-desa untuk pendampingan masyarakat.
11) Mengatur lokasi pemukiman agar tidak berada di pinggir pantai, menanami
lahan kosong dengan tanaman setempat dan pengawetan air dengan
membangun resapan air.
6.4.3 Kelembagaan
Untuk menangani permasalahan eksploitasi sumberdaya laut secara
berlebihan dan pengrusakan (penggunaan dinamit dan potasium) seperti yang
diusulkan Berkes et al. (2001) dengan mengelola masyarakat (management
people). Melalui kontrol aksesibilitas masyarakat lokal/ nelayan terhadap
sumberdaya laut, penyusunan dan penerapan aturan/ peraturan akan
mengarahkan masyarakat agar mempertahankan sumberdaya tidak hancur dalam
jangka waktu yang panjang.
Menurut Berkes et al. (2001) untuk mengontrol aksesibilitas masyarakat
terhadap sumberdaya diperlukan alokasi hak kepemilikan atas sumberdaya dan
menentukan bentuk aturan penggunaan sumberdaya. Kedua hal tersebut akan
menentukan karakteristik pengelolaan. Ada tiga karakteristik pengelolaan yang
diusulkan, yakni :
128
− Pengelolaan oleh pemerintah, jika sumberdaya dialokasikan sebagai
kepemilikan negara (state property), maka diperlukan aturan ditetapkan
oleh pemerintah.
− Pengelolaan oleh individu jika sumberdaya dialokasikan sebagai
kepemilikan individual (private property), maka aturan akan mengikuti
mekanisme pasar.
− Pengelolaan oleh masyarakat jika sumberdaya dialokasikan sebagai
kepemilikan masyarakat (communal property), maka aturan ditetapkan oleh
masyarakat setempat.
6.4.3.1 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut oleh pemerintah
Untuk mengontrol sumberdaya yang berada di dalam Kawasan
Konservasi Laut, umumnya pihak pengelola akan menghadapi kesulitan
penentuan batas (delineate) wilayah pengelolaannya karena:
− Sumberdaya berada dalam masa cair yang senantiasa bergerak.
− Dampak dari aktivitas manusia berada di daratan akan dengan mudah
mengalir melewati batas kawasan.
− Masyarakat/nelayan lokal sulit mengenali batas kawasan karena samar-
samar adanya. Nelayan sulit membedakan apakah berada di dalam atau
di luar kawasan.
Seperti yang diusulkan Hardin untuk sumberdaya yang sulit ditetapkan
batas-batasnya agar dialokasikan sebagai kepemilikan negara (Smith, 1981).
Smith mencontohkan Marine Protected Area sebagai upaya perlindungan
spesies-spesies langka dan terancam kepunahan agar dialokasikan sebagai
sumberdaya pesisir dan laut dalam kepemilikan negara (state property).
Kepemilikan negara dan dikelola oleh pemerintah ternyata paling efektif
dalam pengawasan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya
dibandingkan dengan tipe kepemilikan lain, baik secara individu maupun
secara komunal yang hanya terdiri dari satu kelompok masyarakat
(Berkes et al. 2001).
Dalam penelitian ini KKL Kepulauan Derawan diusulkan dalam
pengelolaan oleh pemerintah dengan aturan/ peraturan yang ditetapkan oleh
129
pemerintah. Namun berkaitan dengan penentuan otoritas pengelolaan KKL
ada potensi konflik antar lembaga pemerintah (Departemen Kehutanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Berau) yang masing-masing memiliki landasan hukum yang sama kuat untuk
menetapkan dan mengelola Kawasan Konservasi Laut. Konflik antar lembaga
Pemerintah ini harus diselesaikan agar memperjelas kewenangan lembaga
pemerintah mana yang akan mengelola KKL Kep. Derawan.
1) Departemen Kehutanan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990
Pasal 2, 3 dan 4 UU No. 5 tahun 1990 memberi pengertian :
Pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban melaksanakan konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar terwujudnya kelestarian
sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat
lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Pasal 8 tentang: Konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: Perlindungan sistem
penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya dan Pemanfaatan secara lestari sumberdaya dan
ekosistemnya. Kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya telah menjadi kewenangan Direktorat Jenderal PHKA
Departemen Kehutanan. Lembaga ini menangani konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya baik di Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam
dan Suaka Margasatwa) maupun Kawasan Pelestarian Alam (Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Kawasan
Konservasi Laut yang telah dimiliki Direktorat Jenderal PHKA, antara lain:
1. TWAL Pulau Weh BKSDA NAD 2. TWAL Kepulauan Banyak BKSDA NAD 3. TWAL Pulau Pieh BKSDA SUMBAR 4. CAL Pulau Anak Krakatau BKSDA Lampung 5. TNL Kep. Seribu BTN Kep. Seribu 6. CAL Pulau Sangiang BKSDA JABAR I 7. CAL Sancang BKSDA JABAR II 8. CAL Pangandaran BKSDA JABAR II 9. TNL Kep. Karimunjawa BTN Kep. Karimunjawa 10. TWAL Pulau Moyo BKSDA NTB 11. TWAL Gili Meno, G. Air, G. Trawangan BKSDA NTB
130
12. TWAL Pulau Satonda BKSDA NTB 13. TWAL Teluk Kupang BKSDA NTT I 14. CAL Riung BKSDA NTT II 15. TWAL Teluk Maumere BKSDA NTT II 16. TWAL Tujuh Belas Pulau BKSDA NTT II 17. CAL Kep. Karimata BKSDA KALBAR 18. SML Pulau Semama BKSDA KALTIM 19. TWAL Pulau Sangalaki BKSDA KALTIM 20. TNL Bunaken BTN Bunaken 21. TWAL Kepulauan Kapoposang BKSDA SULSEL I 22. TNL Taka Bonerate BTN Taka Bonerate 23. TWAL Teluk Lasolo BKSDA SULTRA 24. TWAL Pulau Padamarang BKSDA SULTRA 25. CAL Kep. Aru Tenggara BKSDA Maluku 26. CAL Banda BKSDA Maluku 27. TWAL Pulau Pombo BKSDA Maluku 28. TWAL Taman Laut Banda BKSDA Maluku 29. TWAL Pulau Kassa BKSDA Maluku 30. TWAL Pulau Marsegu BKSDA Maluku 31. SML Kep. Raja Ampat BKSDA Papua II 32. SML Sabuda Tataruga BKSDA Papua II 33. TWAL Kep. Padaido BKSDA Papua II 34. TNL Teluk Cendrawasih BTN Teluk Cendrawasih
Di Kepulauan Derawan Direktorat Jenderal PHKA memiliki organisasi
Seksi Konservasi Sumberdaya Alam yang membawahi SML Pulau Semama
dan TWAL Pulau Sangalaki.
2) Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007
Dalam pasal 1 UU No. 31 tahun 2004 didefinisikan konservasi
sumberdaya ikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
sumberdaya ikan termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Pasal 5
ayat 1 menyebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia untuk penangkapan dan/ atau pembudidayaan ikan, meliputi:
perairan Indonesia; ZEEI; sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air
lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang
potensial di wilayah Republik Indonesia.
131
Undang-undang No. 31 tahun 2004 memberi pemahaman bahwa:
Perairan laut Kepulauan Derawan dan ZEEI merupakan wilayah
pengelolaan perikanan dalam kewenangan Pemerintah/ Departemen
Kelautan dan Perikanan baik untuk penangkapan ikan maupun
pembudidayaan ikan. Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan, Menteri DKP dapat menetapkan suaka perikanan, jenis
ikan dan kawasan perairan yang dilindungi, termasuk taman nasional laut
untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata dan/ atau
kelestarian sumberdaya ikan dan/ atau lingkungannya (Pasal 7 ayat 1 dan 5).
Implementasi UU No. 31 tahun 2004 akan sulit dilaksanakan karena
DKP tidak memiliki kawasan dan organisasi secara vertikal di seluruh
Indonesia. Dinas Perikanan dan Kelautan yang ada di daerah merupakan
organisasi dari Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten. Sementara
perairan laut yang menjadi wilayah pengelolaan DKP telah menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah baik di tingkat kabupaten dan provinsi
(Pasal 18 ayat 2 dan 4 UU No. 32 tahun 2004). Jika Menteri DKP akan
menetapkan dan mengelola suaka perikanan dan taman nasional laut akan
berbenturan dengan kewenangan Pemerintah Daerah.
Undang-undang No. 27 tahun 2007 menyebutkan bahwa Kawasan
Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) ditetapkan
oleh Peraturan Menteri (pasal 28). Pengelolaan Kawasan Konservasi yang
berada di dalam kewenangan Kabupaten dan Propinsi diintegrasikan dengan
kegiatan Pemerintah Daerah (Pasal 6). Penetapan UU No. 27 tahun 2007
diharapkan dapat mengatasi konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah.
3) Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004.
Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU No. 32 tahun 2004 memberi pemahaman
bahwa kewenangan Kabupaten Berau untuk mengelola sumberdaya di
wilayah laut paling jauh 4 mil dari garis pantai ke arah laut. Pengelolaan
sumberdaya di laut ini, melalui kegiatan: eksplorasi, eksploitasi, konservasi,
dan kekayaan laut. Wilayah laut yang dimiliki Kabupaten Berau berada di
132
sekitar Kepulauan Derawan. Kegiatan pengelolaan sumberdaya laut yang
menjadi kewenangan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau
berbeda dengan pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang telah
ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 merupakan
implementasi dari konservasi pada pasal 18 ayat 1 dan 2.
Jika memperhatikan Penjelasan UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan
bahwa pemerintah pusat yang memiliki kewenangan menetapkan kawasan
khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/
berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman
nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan teknologi tinggi
seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali,
pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi,
pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah
eksploitasi, konservasi, bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan
sumberdaya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan
spesifik.
Pasal 18 dan penjelasan UU No. 32 th 2004 menimbulkan kerancuan
kewenangan penetapan kawasan konservasi di Kepulauan Derawan oleh
Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat. Kerancuan kewenangan ini
menimbulkan konflik kepentingan di dalam penentuan lembaga pemerintah
yang mengelola KKL Kepulauan Derawan.
Permasalahan lainnya adalah kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten
Berau dalam mengelola wilayah laut yang bersifat mendua. Dalam hal
konservasi Pemerintah Daerah Kabupaten Berau telah membentuk KPL
melalui Peraturan Bupati No. 31 tahun 2005, di sisi lain Pemerintah Daerah
Kabupaten Berau melaksanakan privatisasi pengunduhan telur penyu oleh
Haji Saga di tiga pulau yang tidak berpenghuni (P. Bilang-Bilang,
P. Balembangan, P. Mataha, dan P. Sambit). Kasus Haji Saga merupakan
contoh ketidakjelasan konsep konservasi yang dianut Pemerintah Daerah
Kabupaten Berau.
133
6.4.3.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut secara kolaboratif
Pengelolaan KKL Kep. Derawan secara kolaboratif diusulkan sebagai
resolusi konflik. Pengelolaan secara kolaborasi adalah bentuk peralihan atau
berada di tengah-tengah atau jalan kompromistik antara pengelolaan di bawah
kontrol pemerintah dengan pengelolaan di bawah kendali masyarakat. Ada
reposisi peran pemerintah, pemerintah merubah perannya dari memegang
hirarki tertinggi dalam pengambilan keputusan menjadi peran sebagai
fasilitator, koordinator dan pendukung setiap kegiatan pengelolaan. Reposisi
peran pemerintah tersebut memerlukan perubahan kelembagaan dalam
birokrasi pemerintah. Keunggulan pengelolaan secara kolaborasi mampu
menampung banyak kepentingan dan pembagian tanggung jawab serta
kewenangan baik pemerintah, masyarakat maupun pengguna sumberdaya lain.
Jalinan kerjasama yang dimulai sejak bernegosiasi hingga menentukan
kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab.
Jika pengelolaan KKL Kepulauan Derawan dilaksanakan secara
kolaboratif diperlukan jalinan kemitraan dari berbagai stakeholder di tingkat
Kabupaten Berau, antara lain :
1. Kabupaten Berau dengan kepentingan :
− Memiliki otoritas pengelolaan wilayah laut sejauh 4 mil dari garis pantai
menuju laut lepas.
− Membangun Kawasan Konservasi Laut untuk melindungi penyu.
− Memberi perijinan eksploitasi telur penyu di P. Bilang-Bilang,
P. Mataha, P. Sambit, dan P. Balembangan.
2. Dinas Perikanan dan Kelautan dengan kepentingan :
− Mendukung pembentukan Kawasan Konservasi Laut.
− Mengatur kegiatan perikanan laut.
3. BAPPEDA dengan kepentingan merencanakan pembangunan daerah.
4. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan kepentingan mengurus bidang
kepariwisataan dan kebudayaan.
5. BAPEDALDA dengan kepentingan mengurus pengendalian dampak
lingkungan.
134
6. Dinas Kehutanan dengan kepentingan mengurus bidang kehutanan.
7. Kecamatan dengan kepentingan mengurus wilayah Kecamatan Derawan.
8. Balai KSDA Kalimantan Timur dengan kepentingan :
− Pelaksana kegiatan konservasi di Kabupaten Berau.
− Mengurus kegiatan pengelolaan SM Semama dan TWA Sangalaki.
9. Yayasan WWF-Indonesia dengan kepentingan mengembangkan konservasi
keanekaragaman hayati di ekoregion Sulu-Sulawesi.
10. The Nature Conservancy (TNC) perwakilan wilayah Kalimantan Timur
dengan kepentingan mengembangkan konservasi berbagai tipe habitat di
ekoregion Sulu-Sulawesi.
11. Conservation International (CI) perwakilan wilayah Kalimantan Timur
dengan kepentingan mengembangkan konservasi keanekaragaman hayati
dan keserasian kehidupan manusia.
12. Yayasan Mitra Pesisir Perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan
kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
13. The Turtle Foundation perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan
kepentingan melaksanakan konservasi penyu di P. Sangalaki.
14. Yayasan Bestari dengan kepentingan pengelolaan sumberdaya alam secara
lestari dan berbasis masyarakat.
15. Yayasan KALBU perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan
kepentingan melaksanakan pelestarian penyu.
16. Yayasan KEHATI perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan
kepentingan mengembangkan konservasi penyu di P. Sangalaki.
17. Pengusaha hotel dan biro perjalanan wisata Kabupaten Berau dengan
kepentingan memfasilitasi pengunjung wisata bahari.
18. Eksportir ikan dengan kepentingan perdagangan ikan nilai ekonomis tinggi
ke Hongkong dan Taiwan.
Namun demikian pengelolaan secara kolaborasi memerlukan waktu yang
panjang karena perlu interaksi yang intensif antara pemerintah dengan para
135
pihak lain sejak konsultasi dalam penjajagan awal, identifikasi masalah,
perencanaan, implementasi hingga evaluasi pengelolaan.
6.4.3.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut berbasis masyarakat
Pengelolaan kawasan konservasi yang dilaksanakan pemerintah memiliki
berbagai kelemahan yang berkaitan dengan kekurangan sarana-prasarana dan
sumberdaya manusia sehingga tidak mampu menghadapi fragmentasi kawasan
dan ancaman eksploitasi. Salah satu keberhasilan pengelolaan kawasan
konservasi ditentukan oleh dukungan masyarakat lokal. Kontribusi kawasan
terhadap kesejahteraan masyarakat dapat didistribusikan melalui pemeliharaan
keanekaragaman hayati. Pengalaman di beberapa negara berkembang dengan
melibatkan peran serta masyarakat dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan.
Masyarakat lokal merupakan kelompok stakeholder yang memiliki
kepentingan tinggi dan pengaruh yang lemah dalam pengambilan keputusan.
Kendala utama dalam melibatkan masyarakat lokal adalah tingkat pengetahuan
masyarakat yang rendah. Melalui konsultasi dan diskusi secara partisipatif pada
Perencanaan Konservasi Setempat (Lampiran 5) telah dapat mengakomodasi
kepentingan masyarakat dan sekaligus mengarahkan kegiatan konservasi
sumberdaya laut. Setiap desa yang ada di Kepulauan Derawan dapat
membentuk lembaga tingkat desa dan menentukan aturan mainnya serta
mengimplementasikan strategi konservasi pada Tabel 19 berikut ini.
136
Tabel 19. Strategi konservasi Desa Derawan, Payung-Payung, Balikukup di Kepulauan Derawan
DESA STRATEGI SYSTEM/ SOURCES PROGRAM KEGIATAN
Derawan Pemulihan system 1) Penyu Perlindungan penyu − Melarang nelayan luar menangkap induk penyu − Menghentikan pemanenan telur penyu − Mengembangkan budidaya penyu − Mengembangkan atraksi wisata penyu bertelur di
pantai 2) Kerapu, Kima,
Napoleon Menghentikan penangkapan Kerapu, Kima, Napoleon.
Pengembangan budidaya Kerapu, Kima, Napoleon.
3) Karang Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang
Pengurangansumber tekanan
1) Penangkapan ikan dengan bom dan potasium
Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang
2) Tidak ada pengawasan dan pengambilan sanksi
Melaksanakan pengawasan dan pemberian sanksi
− Melakukan pengawasan; − Memberi sanksi sosial bagi pelanggar peraturan
Kelembagaan Peningkatan peran sertamasyarakat
Pembentukan Lembaga Desa Pengelola sumberdaya alam
− Penyusunan pengurus lembaga − Penentuan peraturan/ aturan main − Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya
Payung-Payung
Pemulihan system 1) Penyu Melindungi penyu − Melarang nelayan luar menangkap induk penyu − Menghentikan pemanenan telur penyu − Mengembangkan penangkaran penyu
2) Terumbu karang Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang
3) Tripang, Lolak, Kima
Menghentikan pemungutan tripang, lolak dan kima
Pengembangan budidaya tripang, lolak dan kima
4) Kerapu, Napoleon, Lobster
Menghentikan penangkapan kerapu, napoleon dan lobster
Pengembangan budidaya kerapu, napoleon dan lobster
137
DESA STRATEGI SYSTEM/ SOURCES PROGRAM KEGIATAN
Pengurangansumber tekanan
1) Permintaan ekspor
Menghentikan ekspor kerapu dan napoleon
− Menghentikan penangkapan Kerapu dan Napoleon di alam
− Pengembangan budidaya kerapu dan Napoleon 2) Penangkapan ikan
dengan bom Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom
− Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang − Memberi sanksi sosial bagi pelanggarnya
3) Penangkapan ikan dengan potasium
Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang
Kelembagaan Peningkatan peran sertamasyarakat
Pembentukan Lembaga Desa Pengelola SDA
− Penyusunan pengurus lembaga − Penentuan peraturan/aturan main − Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya
Balikukup Pemulihan system 1) Terumbu karang Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang
2) Kerapu Menghentikan penangkapan kerapu,napoleon, lobster
Pengembangan budidaya kerapu.
3) Kerang, Kima Menghentikan pemungutan kerang dan kima
Pengembangan budidaya kerang dan kima.
Pengurangansumber tekanan
1) Penangkapan ikan dengan potasium, bom
Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan potasium dan bom − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang
2) Pukat harimau Melarang penggunaan pukat harimau Melarang kapal-kapal dari luarmenggunakan alat tangkap pukat harimau yang ada di pelabuhan
3) Bekarang Menghentikan aktivitas bekarang Mengawasi kegiatan di terumbu karang Kelembagaan Peningkatan peran serta
masyarakat Pembentukan Lembaga Desa
Pengelola SDA − Penyusunan pengurus lembaga − Penentuan peraturan/aturan main − Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya