bab vi 2007etw-7

26
Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU Berdasarkan hasil analisis kebijakan perlindungan diketahui bahwa konservasi spesies yang mendasari pengelolaan penyu hijau tidak dilaksanakan secara konsisten. Kelemahan menejerial menyebabkan Pemerintah gagal menghalangi eksploitasi penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dapat digambarkan sebagai sistem kelembagaan sentralistik dengan kewenangan yang meluas di seluruh Indonesia namun lemah dalam penanganan ancaman dan penegakan hukum. Alternatif kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan dari sistem kelembagaan desentralistik yang mampu menangani ancaman dan penegakan hukum. Alternatif perlindungan yang diusulkan menggunakan konsep yang berbeda dengan perlindungan spesies yang selama ini dilaksanakan pemerintah. Perlindungan diarahkan pada habitat penyu (konservasi in-situ) dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut (KKL). Perumusan alternatif kebijakan perlindungan pada Kasus Kepulauan Derawan menghasilkan Rancangan KKL Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan KKL Kepulauan Derawan. Pemilihan Kepulauan Derawan sebagai model perlindungan habitat didasarkan pertimbangan: Kepulauan Derawan terletak di antara Laut Sulu dan Pulau Sulawesi merupakan lokasi penting yang menjadi perhatian internasional dalam pengembangan proyek Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) oleh Negara Malaysia, Indonesia dan Filipina. Kepulauan Derawan memiliki daerah peneluran penyu hijau tertinggi di Indonesia; Kepulauan Derawan terdapat pemanenan telur penyu secara sistematis, panangkapan induk di perairan laut dan pengrusakan habitat Kepulauan Derawan terdapat konflik kepentingan antara Pemerintah Kabupaten Berau dengan Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam karena kebijakan privatisasi pengunduhan telur penyu sebagai sumber PAD.

Upload: ca-cynk-yu

Post on 20-Oct-2015

49 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU

Berdasarkan hasil analisis kebijakan perlindungan diketahui bahwa

konservasi spesies yang mendasari pengelolaan penyu hijau tidak dilaksanakan

secara konsisten. Kelemahan menejerial menyebabkan Pemerintah gagal

menghalangi eksploitasi penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dapat digambarkan

sebagai sistem kelembagaan sentralistik dengan kewenangan yang meluas di

seluruh Indonesia namun lemah dalam penanganan ancaman dan penegakan

hukum. Alternatif kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan dari sistem

kelembagaan desentralistik yang mampu menangani ancaman dan penegakan

hukum.

Alternatif perlindungan yang diusulkan menggunakan konsep yang berbeda

dengan perlindungan spesies yang selama ini dilaksanakan pemerintah.

Perlindungan diarahkan pada habitat penyu (konservasi in-situ) dengan

membentuk Kawasan Konservasi Laut (KKL). Perumusan alternatif kebijakan

perlindungan pada Kasus Kepulauan Derawan menghasilkan Rancangan KKL

Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan KKL Kepulauan Derawan.

Pemilihan Kepulauan Derawan sebagai model perlindungan habitat

didasarkan pertimbangan:

− Kepulauan Derawan terletak di antara Laut Sulu dan Pulau Sulawesi

merupakan lokasi penting yang menjadi perhatian internasional dalam

pengembangan proyek Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) oleh Negara

Malaysia, Indonesia dan Filipina.

− Kepulauan Derawan memiliki daerah peneluran penyu hijau tertinggi di

Indonesia;

− Kepulauan Derawan terdapat pemanenan telur penyu secara sistematis,

panangkapan induk di perairan laut dan pengrusakan habitat

− Kepulauan Derawan terdapat konflik kepentingan antara Pemerintah

Kabupaten Berau dengan Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam karena

kebijakan privatisasi pengunduhan telur penyu sebagai sumber PAD.

113

6.1 Pendekatan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan

Menurut Groves (2003) untuk menyelamatkan spesies yang menuju

kepunahan digunakan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati. Spesies

yang dimaksud menjadi target (species target), sedangkan komunitas biotis

dimana spesies itu berada dijadikan target konservasi (conservation target). Jika

pemikiran Groves diterapkan pada kasus Kepulauan Derawan, maka dengan

melindungi penyu hijau (species target) diperlukan kawasan konservasi cukup

luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem di dalamnya

(Gambar 61). Penyu berperan sebagai spesies payung (the umbrella species) bagi

upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem di Kepulauan Derawan.

Gambar 61. Penyu hijau sebagai species target bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di Kepulauan Derawan

6.2 Tujuan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan

Untuk menyelamatkan spesies penyu hijau dari kepunahan diperlukan

pembentukan KKL pada habitat penyu hijau. Wilayah Kepulauan Derawan yang

luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem di dalamnya.

dapat dibentuk Kawasan Konservasi Laut.

114

i) Pemulihan populasi penyu di alam

Ancaman manusia berupa pemanenan telur dan penangkapan induk

penyu terjadi pada daerah perairan dangkal dan pantai peneluran. Daerah ini

merupakan habitat penting karena penyu hijau sedang berada pada fase

reproduksi. Pada musim kawin, induk penyu berada di perairan laut dangkal

yang kaya akan nutrisi yakni pada ekosistem lamun dan terumbu karang,

selanjutnya induk penyu akan membuat sarang dan akhirnya menghasilkan

anakan penyu. Perlindungan habitat dengan membentuk Kawasan Konservasi

Laut akan mengamankan berlangsungnya fase reproduksi karena induk penyu

dapat menghasilkan individu baru sebagai stok penyu di alam.

ii) Mengurangi ancaman kepunahan

Kebiasaan penyu bermigrasi jauh ini menjadikan penyu hijau sebagai

sumberdaya open access dimana tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk

membatasi orang memanfaatkan sumberdaya. Eksploitasi penyu hijau secara

berlebihan pada situasi open access menyebabkan terjadi the tragedy of the

commons yang berujung pada kepunahan.

Pengalokasian habitat penyu hijau sebagai KKL telah menimbulkan

kepemilikan populasi penyu hijau. Pembentukan KKL telah mengubah situasi

open access menjadi sumberdaya yang ada kepemilikannya secara sah. Secara

teoritis telah dapat dilakukan pembatasan aksesibilitas nelayan/ masyarakat

lokal agar tidak mengeksploitasi penyu dan telur yang ada di dalam KKL.

6.3 Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan

6.3.1 Keterkaitan dengan perencanaan regional/ propinsi/ kabupaten

(i) Tingkat Regional

Kepulauan Derawan merupakan bagian dari wilayah pengembangan

program The Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) karena memiliki

keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan sebagai habitat penting

penyu laut. Demikian halnya dengan pengembangan jaringan perlindungan

penyu Tri-National dimana wilayah Kepulauan Derawan berada di sebelah

Selatan hingga The Turtle Islands ASEAN Heritage site yang berada di

115

Pilipina dan Sabah hingga Palawan. Pada tingkat regional Kepulauan

Derawan menempati perioritas tinggi dalam upaya konservasi penyu.

(ii) Tingkat Propinsi

Menurut Tata Ruang Propinsi Kalimantan Timur, wilayah Kepulauan

Derawan dikelompokkan sebagai: Kawasan Suaka Alam dengan Suaka

Margasatwa di P. Semama dan P. Derawan dengan luas 2 hektar; Kawasan

Suaka Laut yang berada di gugusan karang P. Panjang, P. Derawan, P.

Semama, P. Kakaban, Karang Besar, P. Balikukup.

Kebijakan pembangunan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur

mengarah pada perluasan kawasan lindung ± 30% dari luas wilayah

propinsi. Dalam perencanaan Propinsi Kalimantan Timur di wilayah

Kepulauan Derawan ada peningkatan fungsi kawasan Suaka Margasatwa P.

Semama dan P. Derawan ditambahkan fungsi sebagai daerah perlindungan

plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa. Demikian halnya dengan

kawasan suaka laut ada penambahan wilayah yang berada di gugusan

karang Malulungan dan P. Maratua.

(iii) Tingkat Kabupaten

Wilayah Kepulauan Derawan dan perairan laut telah ditetapkan sebagai

Kawasan Perlindungan Laut (KPL) melalui Peraturan Bupati (Perbup)

No. 31 tahun 2005 oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau.

Gambar 62. Kawasan Perlindungan Laut Kepulauan Derawan

116

6.3.2 Keberadaan habitat penyu hijau dalam penentuan batas Kawasan Konservasi Laut (KKL)

Pada Gambar 8 diketahui bahwa Kepulauan Derawan memiliki nesting

area tertinggi di Indonesia yang menerangkan bahwa rata-rata 30 ekor penyu

hijau mendarat di P. Sangalaki untuk bertelur setiap malamnya. Ada dugaan

perjalanan migrasi penyu hijau mengikuti arus Termoklim Pasifik Utara dan

terbawa di Kepulauan Derawan.

Gambar 63. Peta bathimetry Kepulauan Derawan

Jika Gambar 63 diperhatikan, ketiga irisan melintang dari arah laut menuju

daratan Kalimantan memberi penjelasan bahwa Kepulauan Derawan

merupakan wilayah pendaratan yang ideal setelah mengarungi Lautan Pasifik.

Pulau Sangalaki merupakan pulau terdepan dalam menghadang arus Termoklim

Pasifik Utara sehingga paling banyak penyu hijau yang mendarat untuk bertelur.

Dari data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau diketahui sebaran tiga

ekosistem di Kepulauan Derawan. Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu

karang menunjukkan habitat feeding penyu hijau (Gambar 64). Adapun habitat

breeding diketahui dari laporan Mahardika (2004) tentang proporsi jumlah

penyu (Gambar 65) dan laporan Adnyana (2005) tentang proporsi jumlah telur

penyu yang terdapat di Kepulauan Derawan (Gambar 66).

117

Gambar 64. Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan sebagai indikasi dari habitat feeding (Sumber : Dinas Perikanan dan kelautan Kab. Berau)

Gambar 65. Proporsi jumlah penyu di delapan pulau sebagai indikasi

dari habitat breeding penyu hijau. (Mahardika, N. 2004)

118

Gambar 66. Proporsi jumlah telur di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau. (Adnyana, 2005)

Dengan menggunakan GIS (Geographic Information Systems) dilakukan teknik

overlay beberapa informasi tentang habitat feeding dan habitat breeding untuk

mengetahui batas Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kepulauan Derawan

(Gambar 67).

Batas Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan yang berada di P.

Rabu-Rabu, P. Panjang, P. Maratua, P. Balembangan, P. Sambit, P. Bilang-

Bilang, P. Mataha, dan P. Manimbora. Dengan asumsi bahwa keberadaan

ekosistem terumbu karang pada perairan dangkal < 50 meter dan ekosistem

lamun pada kedalaman < 10 meter, maka batas kawasan sejauh ± 100 meter dari

garis pantai dari setiap pulau ke arah laut.

119

Gam

bar6

7. P

eta

Kaw

asan

Kon

serv

asiL

autK

epul

auan

Der

awan

Gam

bar6

7. P

eta

Kaw

asan

Kon

serv

asiL

autK

epul

auan

Der

awan

120

6.3.3 Pendapat pakar sebagai bahan pembanding dalam penentuan prioritas konservasi di Kepulauan Derawan

Pada tanggal 22 Oktober 2003 telah menyelenggarakan workshop yang

membahas laporan tentang Perencanaan Konservasi Setempat (Site

Conservation Planning) di Kepulauan Derawan. Perencanaan Konservasi

Setempat yang dibahas merupakan hasil penggunaan metode perencanaan

Kerangka 5-S (Systems, Stresses, Sources, Strategies, Success) dari pendapat

pakar (The Nature Conservancy, 2003). Hal yang sama dengan yang dilakukan

oleh peneliti. Perbedaannya terletak pada proses diskusi dimana peneliti

melakukan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna

sumberdaya alam, sedang TNC melakukan diskusi dengan para pakar. Antara

pendapat pakar dan masyarakat lokal menghasilkan perbedaan yang mendasar

sejak identifikasi sumberdaya penting hingga penentuan perioritas konservasi

(Tabel 17 dan Tabel 18).

Tabel 17. Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari pendapat pakar.

Sumberdaya penting Tekanan terhadap sumberdaya (Stress)

1. Terumbu karang Kerusakan terumbu karang 2. Mangrove Kerusakan mangrove 3. Lamun Kerusakan lamun 4. Ekosistem danau air asin Perubahan ekosistem danau air asin 5. Beberapa lokasi pemijahan Kerusakan lokasi pemijahan 6. Ekosistem pantai Pae di

P. Maratua Kerusakan mangrove

7. Karang Muaras Kerusakan terumbu karang 8. Ikan karang Kerusakan ikan karang 9. Penyu Penurunan populasi penyu 10. Manta (ikan pari) Penurunan populasi manta 11. Cetacean (dugong) Penurunan populasi dugong 12. Hammerhead shark (hiu kepala

martil) Penurunan populasi hiu

13. Ikan Napoleon Penurunan populasi ikan napoleon 14. Coconut crab (kepiting kenari) Penurunan populasi kepiting kenari dan

ancaman kepunahan

121

Tabel 18. Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari hasil diskusi partisipatif.

Sumberdaya penting Tekanan terhadap sumberdaya (Stress)

1. Penyu Penurunan jumlah induk penyu yang bertelur 2. Terumbu karang Kerusakan terumbu karang 3. Kerapu Penurunan hasil tangkapan kerapu 4. Kima Penurunan hasil tangkapan kerang kima 5. Ikan Napoleon Penurunan hasil tangkapan napoleon 6. Tripang Lolak, Kima Penurunan tangkapan tripang 7. Udang Lobster Penurunan tangkapan lobster 8. Tengiri Penurunan hasil tangkapan tengiri 9. Kepiting kenari Berkurangnya kepiting kenari 10. Kakap merah Penurunan hasil tangkapan kakap merah 11. Kelapa Penurunan produktivitas kelapa 12. Air tawar Kekurangan air tawar di musim kemarau 13. Tongkol Peningkatan tangkapan ikan tongkol

Keduanya menghasilkan penentuan prioritas konservasi yang berbeda walaupun

wilayah perencanaan yang sama pada Gambar 68 dan Gambar 69.

Gambar 68. Peta prioritas konservasi di Kep. Derawan hasil penilaian pakar

(Sumber : TNC, 2003)

122

Gambar 69. Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan dari hasil diskusi secara partisipatif

6.4 Arahan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan

6.4.1 Status kawasan

Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan berada di perairan laut

dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten Berau. Rancangan KKL Kepulauan

Derawan seluas 660.211 hektar diusulkan sebagai re-design dari tumpang tindih

empat Kawasan Konservasi Laut yang telah ada sebelumnya, yaitu : Suaka

Margasatwa Pulau Sangalaki dan Taman Wisata Alam Pulau Semama yang

ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 604/Kpts-

II/Um/8/1982; Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Kakaban yang

ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 70 tahun 2004; dan

Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau yang ditetapkan melalui Peraturan

Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 seluas 1,2 juta hektar (Gambar 70).

123

Gambar 70. Tumpang tindih Kawasan Konservasi Laut di Kep. Derawan

6.4.2 Rencana kegiatan pengelolaan

Prinsip dasar pengelolaan KKL Kepulauan Derawan adalah konservasi

keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, melalui :

pemulihan sumberdaya, pengurangan ancaman dan merubah ancaman menjadi

peluang. Hasil diskusi secara partisipatif (Lampiran 5) diketahui bahwa ada 12

sumberdaya yang mengalami tekanan, yakni: kelapa, penyu, kerapu, lobster,

terumbu karang, tripang, ikan napoleon, kerang kima, tengiri, kepiting kenari,

kakap merah, persediaan air tawar. Kedua belas sumberdaya ini mengalami:

1. Penurunan produktivitas kelapa

2. Penurunan hasil tangkapan kerapu

3. Penurunan tangkapan lobster

4. Penurunan tangkapan tripang

5. Kerusakan terumbu karang

6. Penurunan jumlah induk penyu yang bertelur

7. Penurunan hasil tangkapan ikan napoleon

8. Penurunan hasil tangkapan kerang kima

124

9. Penurunan hasil tangkapan tengiri

10. Penurunan populasi kepiting kenari

11. Penurunan hasil tangkapan kakap merah

12. Kekurangan air tawar di musim kemarau

Dari hasil The Analytical Approach (Lampiran 6) diketahui bahwa ada

sembilan ancaman terhadap sumberdaya yang ada di Kepulauan Derawan,

antara lain:

1. Eksploitasi spesies-spesies langka dan dilindungi;

2. Penggunaan potasium, bom dan penambangan batu karang;

3. Tidak ada pengaturan eksploitasi jenis ekonomis tinggi;

4. Tidak ada pengawasan/ penegakan hukum;

5. Aktivitas ekspor ke Hongkong dan Taiwan;

6. Kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat;

7. Kegiatan bekarang dengan intensitas yang tinggi (siang-malam);

8. Invasi nelayan luar;

9. Pemukiman yang bertambah besar.

Strategi konservasi yang dihasilkan dari The Analytical Approach

(Lampiran 6) mengarahkan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Laut

Kepulauan Derawan. Pada Gambar 71 dapat dilihat apabila arahan rencana

kegiatan dialokasikan pada peta Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

Secara garis besar rencana kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut

Kepulauan Derawan, antara lain:

1) Penataan batas kawasan

Penataan batas KKL dengan mendirikan patok pada pulau-pulau yang

menjadi batas kawasan, yakni : P. Rabu-Rabu, P. Panjang, P. Maratua, P.

Balembangan, P. Sambit, P. Bilang-Bilang, P. Mataha, dan P. Manimbora.

Dengan asumsi keberadaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun

berada di perairan dangkal < 50 meter hingga 100 meter dengan kedalaman

< 10 meter maka batas terluar kawasan ditentukan sejauh ± 100 meter dari

garis pantai ke arah laut.

125

126

2) Pengalokasian wilayah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan ada

perubahan apa pun oleh kegiatan manusia pada :

− Kr. Masimbung, Kr. Malalungan, Kr. Muaras dan Kr. Besar sebagai

habitat biota langka dan dilindungi : penyu laut, ikan napoleon, dan

kima.

− Pulau Kakaban sebagai habitat kepiting kenari.

− Pantai peneluran penyu di P. Derawan, P. Semama, P. Sangalaki,

P. Mataha, P. Balembangan, P. Bilang-Bilang, dan P. Sambit.

3) Pengembangan penangkaran, budidaya dan rumpon di perairan laut sekitar P.

Maratua. Kondisi lingkungan P. Maratua yang paling mendukung untuk

dikembangkan ketiganya karena berbentuk atol (seluas 690 km2) dan tidak

memiliki obyek wisata yang menarik. Pulau Maratua memiliki lima desa

(Bohe Silian, Payung-Payung, Bohe Bukut, Teluk Alulu dan Tanjung

Bahaba) dengan ± 2.000 jiwa penduduk sehingga mampu menyediakan

tenaga kerja.

− Penangkaran spesies langka untuk jenis penyu, ikan napoleon, kepiting

kenari dan kima.

− Budidaya ikan jenis ekonomis tinggi seperti kerapu, lobster, tripang,

kerang.

− Rumpon untuk jenis tongkol, tengiri dan kakap merah.

4) Rehabilitasi terumbu karang yang sebagian besar dengan kondisi rusak di Kr.

Masimbung, Kr. Malalungan, Kr. Muaras dan Kr. Besar. Rehabilitasi

menggunakan teknologi transplantasi yakni usaha pemulihan terumbu karang

melalui pencangkokan karang hidup pada karang mati serta membiarkan

tumbuh secara alami.

5) Meningkatkan daya tarik obyek wisata bahari yang telah ada di P. Derawan,

P. Semama, dan P. Sangalaki dengan menyediakan akomodasi bagi

wisatawan dan peningkatan sanitasi lingkungan.

6) Mengumumkan beberapa larangan dalam pemasangan papan pengumuman

dan dipublikasikan pada kesempatan diadakan pertemuan dengan

masyarakat/ nelayan. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan masyarakat antara

lain:

127

− Larangan eksploitasi spesies langka dan dilindungi seperti : dugong,

ikan napoleon, kima, kepiting kenari, lumba-lumba, penyu laut, hiu dan

paus.

− Larangan penggunaan potasium, bom dan penambangan batu karang.

− Larangan kegiatan bekarang dan penambangan batu karang.

7) Menghentikan ekspor ke Hongkong dan Taiwan karena menimbulkan

eksploitasi berlebihan jenis ekonomis tinggi seperti kerapu,napoleon, lobster,

tripang dan kima.

8) Menghalangi invasi nelayan luar yang berkaitan dengan penggunaan pukat

harimau, potasium dan penangkapan induk penyu.

9) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan konservasi sumberdaya alam agar

dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian sehingga masyarakat dapat

memanfaatkan sumberdaya laut secara lestari.

10) Bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat agar ditempatkan di

desa-desa untuk pendampingan masyarakat.

11) Mengatur lokasi pemukiman agar tidak berada di pinggir pantai, menanami

lahan kosong dengan tanaman setempat dan pengawetan air dengan

membangun resapan air.

6.4.3 Kelembagaan

Untuk menangani permasalahan eksploitasi sumberdaya laut secara

berlebihan dan pengrusakan (penggunaan dinamit dan potasium) seperti yang

diusulkan Berkes et al. (2001) dengan mengelola masyarakat (management

people). Melalui kontrol aksesibilitas masyarakat lokal/ nelayan terhadap

sumberdaya laut, penyusunan dan penerapan aturan/ peraturan akan

mengarahkan masyarakat agar mempertahankan sumberdaya tidak hancur dalam

jangka waktu yang panjang.

Menurut Berkes et al. (2001) untuk mengontrol aksesibilitas masyarakat

terhadap sumberdaya diperlukan alokasi hak kepemilikan atas sumberdaya dan

menentukan bentuk aturan penggunaan sumberdaya. Kedua hal tersebut akan

menentukan karakteristik pengelolaan. Ada tiga karakteristik pengelolaan yang

diusulkan, yakni :

128

− Pengelolaan oleh pemerintah, jika sumberdaya dialokasikan sebagai

kepemilikan negara (state property), maka diperlukan aturan ditetapkan

oleh pemerintah.

− Pengelolaan oleh individu jika sumberdaya dialokasikan sebagai

kepemilikan individual (private property), maka aturan akan mengikuti

mekanisme pasar.

− Pengelolaan oleh masyarakat jika sumberdaya dialokasikan sebagai

kepemilikan masyarakat (communal property), maka aturan ditetapkan oleh

masyarakat setempat.

6.4.3.1 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut oleh pemerintah

Untuk mengontrol sumberdaya yang berada di dalam Kawasan

Konservasi Laut, umumnya pihak pengelola akan menghadapi kesulitan

penentuan batas (delineate) wilayah pengelolaannya karena:

− Sumberdaya berada dalam masa cair yang senantiasa bergerak.

− Dampak dari aktivitas manusia berada di daratan akan dengan mudah

mengalir melewati batas kawasan.

− Masyarakat/nelayan lokal sulit mengenali batas kawasan karena samar-

samar adanya. Nelayan sulit membedakan apakah berada di dalam atau

di luar kawasan.

Seperti yang diusulkan Hardin untuk sumberdaya yang sulit ditetapkan

batas-batasnya agar dialokasikan sebagai kepemilikan negara (Smith, 1981).

Smith mencontohkan Marine Protected Area sebagai upaya perlindungan

spesies-spesies langka dan terancam kepunahan agar dialokasikan sebagai

sumberdaya pesisir dan laut dalam kepemilikan negara (state property).

Kepemilikan negara dan dikelola oleh pemerintah ternyata paling efektif

dalam pengawasan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya

dibandingkan dengan tipe kepemilikan lain, baik secara individu maupun

secara komunal yang hanya terdiri dari satu kelompok masyarakat

(Berkes et al. 2001).

Dalam penelitian ini KKL Kepulauan Derawan diusulkan dalam

pengelolaan oleh pemerintah dengan aturan/ peraturan yang ditetapkan oleh

129

pemerintah. Namun berkaitan dengan penentuan otoritas pengelolaan KKL

ada potensi konflik antar lembaga pemerintah (Departemen Kehutanan,

Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten

Berau) yang masing-masing memiliki landasan hukum yang sama kuat untuk

menetapkan dan mengelola Kawasan Konservasi Laut. Konflik antar lembaga

Pemerintah ini harus diselesaikan agar memperjelas kewenangan lembaga

pemerintah mana yang akan mengelola KKL Kep. Derawan.

1) Departemen Kehutanan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990

Pasal 2, 3 dan 4 UU No. 5 tahun 1990 memberi pengertian :

Pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban melaksanakan konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar terwujudnya kelestarian

sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat

lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu

kehidupan manusia. Pasal 8 tentang: Konservasi sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: Perlindungan sistem

penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman hayati dan

ekosistemnya dan Pemanfaatan secara lestari sumberdaya dan

ekosistemnya. Kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya telah menjadi kewenangan Direktorat Jenderal PHKA

Departemen Kehutanan. Lembaga ini menangani konservasi sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya baik di Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam

dan Suaka Margasatwa) maupun Kawasan Pelestarian Alam (Taman

Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Kawasan

Konservasi Laut yang telah dimiliki Direktorat Jenderal PHKA, antara lain:

1. TWAL Pulau Weh BKSDA NAD 2. TWAL Kepulauan Banyak BKSDA NAD 3. TWAL Pulau Pieh BKSDA SUMBAR 4. CAL Pulau Anak Krakatau BKSDA Lampung 5. TNL Kep. Seribu BTN Kep. Seribu 6. CAL Pulau Sangiang BKSDA JABAR I 7. CAL Sancang BKSDA JABAR II 8. CAL Pangandaran BKSDA JABAR II 9. TNL Kep. Karimunjawa BTN Kep. Karimunjawa 10. TWAL Pulau Moyo BKSDA NTB 11. TWAL Gili Meno, G. Air, G. Trawangan BKSDA NTB

130

12. TWAL Pulau Satonda BKSDA NTB 13. TWAL Teluk Kupang BKSDA NTT I 14. CAL Riung BKSDA NTT II 15. TWAL Teluk Maumere BKSDA NTT II 16. TWAL Tujuh Belas Pulau BKSDA NTT II 17. CAL Kep. Karimata BKSDA KALBAR 18. SML Pulau Semama BKSDA KALTIM 19. TWAL Pulau Sangalaki BKSDA KALTIM 20. TNL Bunaken BTN Bunaken 21. TWAL Kepulauan Kapoposang BKSDA SULSEL I 22. TNL Taka Bonerate BTN Taka Bonerate 23. TWAL Teluk Lasolo BKSDA SULTRA 24. TWAL Pulau Padamarang BKSDA SULTRA 25. CAL Kep. Aru Tenggara BKSDA Maluku 26. CAL Banda BKSDA Maluku 27. TWAL Pulau Pombo BKSDA Maluku 28. TWAL Taman Laut Banda BKSDA Maluku 29. TWAL Pulau Kassa BKSDA Maluku 30. TWAL Pulau Marsegu BKSDA Maluku 31. SML Kep. Raja Ampat BKSDA Papua II 32. SML Sabuda Tataruga BKSDA Papua II 33. TWAL Kep. Padaido BKSDA Papua II 34. TNL Teluk Cendrawasih BTN Teluk Cendrawasih

Di Kepulauan Derawan Direktorat Jenderal PHKA memiliki organisasi

Seksi Konservasi Sumberdaya Alam yang membawahi SML Pulau Semama

dan TWAL Pulau Sangalaki.

2) Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007

Dalam pasal 1 UU No. 31 tahun 2004 didefinisikan konservasi

sumberdaya ikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan

sumberdaya ikan termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin

keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Pasal 5

ayat 1 menyebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia untuk penangkapan dan/ atau pembudidayaan ikan, meliputi:

perairan Indonesia; ZEEI; sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air

lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang

potensial di wilayah Republik Indonesia.

131

Undang-undang No. 31 tahun 2004 memberi pemahaman bahwa:

Perairan laut Kepulauan Derawan dan ZEEI merupakan wilayah

pengelolaan perikanan dalam kewenangan Pemerintah/ Departemen

Kelautan dan Perikanan baik untuk penangkapan ikan maupun

pembudidayaan ikan. Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan

sumberdaya ikan, Menteri DKP dapat menetapkan suaka perikanan, jenis

ikan dan kawasan perairan yang dilindungi, termasuk taman nasional laut

untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata dan/ atau

kelestarian sumberdaya ikan dan/ atau lingkungannya (Pasal 7 ayat 1 dan 5).

Implementasi UU No. 31 tahun 2004 akan sulit dilaksanakan karena

DKP tidak memiliki kawasan dan organisasi secara vertikal di seluruh

Indonesia. Dinas Perikanan dan Kelautan yang ada di daerah merupakan

organisasi dari Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten. Sementara

perairan laut yang menjadi wilayah pengelolaan DKP telah menjadi

kewenangan Pemerintah Daerah baik di tingkat kabupaten dan provinsi

(Pasal 18 ayat 2 dan 4 UU No. 32 tahun 2004). Jika Menteri DKP akan

menetapkan dan mengelola suaka perikanan dan taman nasional laut akan

berbenturan dengan kewenangan Pemerintah Daerah.

Undang-undang No. 27 tahun 2007 menyebutkan bahwa Kawasan

Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) ditetapkan

oleh Peraturan Menteri (pasal 28). Pengelolaan Kawasan Konservasi yang

berada di dalam kewenangan Kabupaten dan Propinsi diintegrasikan dengan

kegiatan Pemerintah Daerah (Pasal 6). Penetapan UU No. 27 tahun 2007

diharapkan dapat mengatasi konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat

dengan Pemerintah Daerah.

3) Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004.

Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU No. 32 tahun 2004 memberi pemahaman

bahwa kewenangan Kabupaten Berau untuk mengelola sumberdaya di

wilayah laut paling jauh 4 mil dari garis pantai ke arah laut. Pengelolaan

sumberdaya di laut ini, melalui kegiatan: eksplorasi, eksploitasi, konservasi,

dan kekayaan laut. Wilayah laut yang dimiliki Kabupaten Berau berada di

132

sekitar Kepulauan Derawan. Kegiatan pengelolaan sumberdaya laut yang

menjadi kewenangan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau

berbeda dengan pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang telah

ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 merupakan

implementasi dari konservasi pada pasal 18 ayat 1 dan 2.

Jika memperhatikan Penjelasan UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan

bahwa pemerintah pusat yang memiliki kewenangan menetapkan kawasan

khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi

pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/

berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman

nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan teknologi tinggi

seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali,

pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi,

pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah

eksploitasi, konservasi, bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan

sumberdaya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan

spesifik.

Pasal 18 dan penjelasan UU No. 32 th 2004 menimbulkan kerancuan

kewenangan penetapan kawasan konservasi di Kepulauan Derawan oleh

Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat. Kerancuan kewenangan ini

menimbulkan konflik kepentingan di dalam penentuan lembaga pemerintah

yang mengelola KKL Kepulauan Derawan.

Permasalahan lainnya adalah kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten

Berau dalam mengelola wilayah laut yang bersifat mendua. Dalam hal

konservasi Pemerintah Daerah Kabupaten Berau telah membentuk KPL

melalui Peraturan Bupati No. 31 tahun 2005, di sisi lain Pemerintah Daerah

Kabupaten Berau melaksanakan privatisasi pengunduhan telur penyu oleh

Haji Saga di tiga pulau yang tidak berpenghuni (P. Bilang-Bilang,

P. Balembangan, P. Mataha, dan P. Sambit). Kasus Haji Saga merupakan

contoh ketidakjelasan konsep konservasi yang dianut Pemerintah Daerah

Kabupaten Berau.

133

6.4.3.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut secara kolaboratif

Pengelolaan KKL Kep. Derawan secara kolaboratif diusulkan sebagai

resolusi konflik. Pengelolaan secara kolaborasi adalah bentuk peralihan atau

berada di tengah-tengah atau jalan kompromistik antara pengelolaan di bawah

kontrol pemerintah dengan pengelolaan di bawah kendali masyarakat. Ada

reposisi peran pemerintah, pemerintah merubah perannya dari memegang

hirarki tertinggi dalam pengambilan keputusan menjadi peran sebagai

fasilitator, koordinator dan pendukung setiap kegiatan pengelolaan. Reposisi

peran pemerintah tersebut memerlukan perubahan kelembagaan dalam

birokrasi pemerintah. Keunggulan pengelolaan secara kolaborasi mampu

menampung banyak kepentingan dan pembagian tanggung jawab serta

kewenangan baik pemerintah, masyarakat maupun pengguna sumberdaya lain.

Jalinan kerjasama yang dimulai sejak bernegosiasi hingga menentukan

kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab.

Jika pengelolaan KKL Kepulauan Derawan dilaksanakan secara

kolaboratif diperlukan jalinan kemitraan dari berbagai stakeholder di tingkat

Kabupaten Berau, antara lain :

1. Kabupaten Berau dengan kepentingan :

− Memiliki otoritas pengelolaan wilayah laut sejauh 4 mil dari garis pantai

menuju laut lepas.

− Membangun Kawasan Konservasi Laut untuk melindungi penyu.

− Memberi perijinan eksploitasi telur penyu di P. Bilang-Bilang,

P. Mataha, P. Sambit, dan P. Balembangan.

2. Dinas Perikanan dan Kelautan dengan kepentingan :

− Mendukung pembentukan Kawasan Konservasi Laut.

− Mengatur kegiatan perikanan laut.

3. BAPPEDA dengan kepentingan merencanakan pembangunan daerah.

4. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan kepentingan mengurus bidang

kepariwisataan dan kebudayaan.

5. BAPEDALDA dengan kepentingan mengurus pengendalian dampak

lingkungan.

134

6. Dinas Kehutanan dengan kepentingan mengurus bidang kehutanan.

7. Kecamatan dengan kepentingan mengurus wilayah Kecamatan Derawan.

8. Balai KSDA Kalimantan Timur dengan kepentingan :

− Pelaksana kegiatan konservasi di Kabupaten Berau.

− Mengurus kegiatan pengelolaan SM Semama dan TWA Sangalaki.

9. Yayasan WWF-Indonesia dengan kepentingan mengembangkan konservasi

keanekaragaman hayati di ekoregion Sulu-Sulawesi.

10. The Nature Conservancy (TNC) perwakilan wilayah Kalimantan Timur

dengan kepentingan mengembangkan konservasi berbagai tipe habitat di

ekoregion Sulu-Sulawesi.

11. Conservation International (CI) perwakilan wilayah Kalimantan Timur

dengan kepentingan mengembangkan konservasi keanekaragaman hayati

dan keserasian kehidupan manusia.

12. Yayasan Mitra Pesisir Perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan

kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

13. The Turtle Foundation perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan

kepentingan melaksanakan konservasi penyu di P. Sangalaki.

14. Yayasan Bestari dengan kepentingan pengelolaan sumberdaya alam secara

lestari dan berbasis masyarakat.

15. Yayasan KALBU perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan

kepentingan melaksanakan pelestarian penyu.

16. Yayasan KEHATI perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan

kepentingan mengembangkan konservasi penyu di P. Sangalaki.

17. Pengusaha hotel dan biro perjalanan wisata Kabupaten Berau dengan

kepentingan memfasilitasi pengunjung wisata bahari.

18. Eksportir ikan dengan kepentingan perdagangan ikan nilai ekonomis tinggi

ke Hongkong dan Taiwan.

Namun demikian pengelolaan secara kolaborasi memerlukan waktu yang

panjang karena perlu interaksi yang intensif antara pemerintah dengan para

135

pihak lain sejak konsultasi dalam penjajagan awal, identifikasi masalah,

perencanaan, implementasi hingga evaluasi pengelolaan.

6.4.3.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut berbasis masyarakat

Pengelolaan kawasan konservasi yang dilaksanakan pemerintah memiliki

berbagai kelemahan yang berkaitan dengan kekurangan sarana-prasarana dan

sumberdaya manusia sehingga tidak mampu menghadapi fragmentasi kawasan

dan ancaman eksploitasi. Salah satu keberhasilan pengelolaan kawasan

konservasi ditentukan oleh dukungan masyarakat lokal. Kontribusi kawasan

terhadap kesejahteraan masyarakat dapat didistribusikan melalui pemeliharaan

keanekaragaman hayati. Pengalaman di beberapa negara berkembang dengan

melibatkan peran serta masyarakat dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan.

Masyarakat lokal merupakan kelompok stakeholder yang memiliki

kepentingan tinggi dan pengaruh yang lemah dalam pengambilan keputusan.

Kendala utama dalam melibatkan masyarakat lokal adalah tingkat pengetahuan

masyarakat yang rendah. Melalui konsultasi dan diskusi secara partisipatif pada

Perencanaan Konservasi Setempat (Lampiran 5) telah dapat mengakomodasi

kepentingan masyarakat dan sekaligus mengarahkan kegiatan konservasi

sumberdaya laut. Setiap desa yang ada di Kepulauan Derawan dapat

membentuk lembaga tingkat desa dan menentukan aturan mainnya serta

mengimplementasikan strategi konservasi pada Tabel 19 berikut ini.

136

Tabel 19. Strategi konservasi Desa Derawan, Payung-Payung, Balikukup di Kepulauan Derawan

DESA STRATEGI SYSTEM/ SOURCES PROGRAM KEGIATAN

Derawan Pemulihan system 1) Penyu Perlindungan penyu − Melarang nelayan luar menangkap induk penyu − Menghentikan pemanenan telur penyu − Mengembangkan budidaya penyu − Mengembangkan atraksi wisata penyu bertelur di

pantai 2) Kerapu, Kima,

Napoleon Menghentikan penangkapan Kerapu, Kima, Napoleon.

Pengembangan budidaya Kerapu, Kima, Napoleon.

3) Karang Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang

Pengurangansumber tekanan

1) Penangkapan ikan dengan bom dan potasium

Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang

2) Tidak ada pengawasan dan pengambilan sanksi

Melaksanakan pengawasan dan pemberian sanksi

− Melakukan pengawasan; − Memberi sanksi sosial bagi pelanggar peraturan

Kelembagaan Peningkatan peran sertamasyarakat

Pembentukan Lembaga Desa Pengelola sumberdaya alam

− Penyusunan pengurus lembaga − Penentuan peraturan/ aturan main − Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya

Payung-Payung

Pemulihan system 1) Penyu Melindungi penyu − Melarang nelayan luar menangkap induk penyu − Menghentikan pemanenan telur penyu − Mengembangkan penangkaran penyu

2) Terumbu karang Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang

3) Tripang, Lolak, Kima

Menghentikan pemungutan tripang, lolak dan kima

Pengembangan budidaya tripang, lolak dan kima

4) Kerapu, Napoleon, Lobster

Menghentikan penangkapan kerapu, napoleon dan lobster

Pengembangan budidaya kerapu, napoleon dan lobster

137

DESA STRATEGI SYSTEM/ SOURCES PROGRAM KEGIATAN

Pengurangansumber tekanan

1) Permintaan ekspor

Menghentikan ekspor kerapu dan napoleon

− Menghentikan penangkapan Kerapu dan Napoleon di alam

− Pengembangan budidaya kerapu dan Napoleon 2) Penangkapan ikan

dengan bom Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom

− Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang − Memberi sanksi sosial bagi pelanggarnya

3) Penangkapan ikan dengan potasium

Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang

Kelembagaan Peningkatan peran sertamasyarakat

Pembentukan Lembaga Desa Pengelola SDA

− Penyusunan pengurus lembaga − Penentuan peraturan/aturan main − Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya

Balikukup Pemulihan system 1) Terumbu karang Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan bom dan potasium − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang

2) Kerapu Menghentikan penangkapan kerapu,napoleon, lobster

Pengembangan budidaya kerapu.

3) Kerang, Kima Menghentikan pemungutan kerang dan kima

Pengembangan budidaya kerang dan kima.

Pengurangansumber tekanan

1) Penangkapan ikan dengan potasium, bom

Melindungi terumbu karang − Melarang penggunaan potasium dan bom − Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang

2) Pukat harimau Melarang penggunaan pukat harimau Melarang kapal-kapal dari luarmenggunakan alat tangkap pukat harimau yang ada di pelabuhan

3) Bekarang Menghentikan aktivitas bekarang Mengawasi kegiatan di terumbu karang Kelembagaan Peningkatan peran serta

masyarakat Pembentukan Lembaga Desa

Pengelola SDA − Penyusunan pengurus lembaga − Penentuan peraturan/aturan main − Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya