bab v hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di cilintang, dan di sana...

38
67 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Latar Historis Perubahan Penguasaan Ruang Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). 56 Babakan sejarah penguasaan ruang kawasan TNUK, langsung maupun tidak memiliki pengaruh signifikan bagi mekanisme pengelolaan kawasan konservasi dan bagaimana persepsi dan pengelolaan masyarakat di pinggiran kawasan hutan. Secara kronologis periodesasi tersebut dapat dipaparkan dalam beberapa tahapan historis. Periode awal era penguasaan Kolonial Belanda. Upaya perlindungan kawasan pertama kali ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 83 tahun 1919 tanggal 11 Juli 1919 dengan memberikan status perlindungan sebagai Suaka Alam pada Kawasan Krakatau. Kemudian pada tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature, semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan dimasukkan juga sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 60 tanggal 16 November 1921. Selanjutnya, pada tahun 1937, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (Staatblaad Van Netherlands CH-Indie) No. 17 tanggal 24 Juni 1937, status Cagar Alam diubah menjadi Suaka Margasatwa dengan tambahan wilayah Pulau Peucang dan Handeuleum –sehingga menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan. Dari sejarah pemukiman masyarakat di sekitar kawasan dapat disebutkan bahwa sejak periode awal kekuasaan Belanda ini kawasan Ujung Kulon telah dihuni oleh warga 6 desa (Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti dan Kertajaya) di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. 56 Data ini diolah dari berbagai sumber, selain dari Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon, Laporan Advokasi Hukum PBHI, LSM Pendamping warga (Sajogyo Institute, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, LATIN) juga hasil wawancara penulis dengan petugas TNUK dan warga di desa Ujungjaya, pada periode tahun 2008, dan 2010.

Upload: trinhhanh

Post on 08-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

67�

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Latar Historis Perubahan Penguasaan Ruang Kawasan Konservasi

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).56

Babakan sejarah penguasaan ruang kawasan TNUK, langsung maupun

tidak memiliki pengaruh signifikan bagi mekanisme pengelolaan kawasan

konservasi dan bagaimana persepsi dan pengelolaan masyarakat di pinggiran

kawasan hutan. Secara kronologis periodesasi tersebut dapat dipaparkan dalam

beberapa tahapan historis.

Periode awal era penguasaan Kolonial Belanda. Upaya perlindungan

kawasan pertama kali ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui

Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 83 tahun 1919 tanggal 11 Juli 1919

dengan memberikan status perlindungan sebagai Suaka Alam pada Kawasan

Krakatau. Kemudian pada tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari

perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature,

semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan dimasukkan juga sebagai Cagar

Alam Ujung Kulon-Panaitan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblaad

Van Netherlands CH-Indie No. 60 tanggal 16 November 1921. Selanjutnya, pada

tahun 1937, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (Staatblaad Van

Netherlands CH-Indie) No. 17 tanggal 24 Juni 1937, status Cagar Alam diubah

menjadi Suaka Margasatwa dengan tambahan wilayah Pulau Peucang dan

Handeuleum –sehingga menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan.

Dari sejarah pemukiman masyarakat di sekitar kawasan dapat disebutkan

bahwa sejak periode awal kekuasaan Belanda ini kawasan Ujung Kulon telah

dihuni oleh warga 6 desa (Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal

Jaya, Kerta Mukti dan Kertajaya) di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten.

������������������������������������������������������������56Data ini diolah dari berbagai sumber, selain dari Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon, Laporan Advokasi Hukum PBHI, LSM Pendamping warga (Sajogyo Institute, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, LATIN) juga hasil wawancara penulis dengan petugas TNUK dan warga di desa Ujungjaya, pada periode tahun 2008, dan 2010.

Page 2: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

68��

Keenam desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Cigorondong pada

tahun 1977. Keberadaan masyarakat Desa Ujung Jaya yang terdiri dari 5

kampung: Cikawung Sabrang, Legon Pakis, Cikawung Girang, Sempur, Taman

Jaya Girang. Mayoritas dari penduduknya bermata-pencaharian petani telah

berlangsung turun temurun dengan mengandalkan penghidupannya dari mengolah

lahan pertanian (sawah dan kebun). Dari penuturan masyarakat, Kampung

Cikawung Girang, Legon Pakis, Cikawung Sabrang merupakan hadiah (upah

kerja) dari Pemerintah Kolonial Belanda setelah masyarakat melaksanakan kerja

pembuatan Lapangan Banteng dan jalan.

Secara administratif, Desa Ujung Jaya merupakan hasil dari pemekaran

Desa Taman Jaya pada tahun 1982. terdiri dari 3.641 jiwa dengan 869 kepala

keluarga, luas desa mencapai 900 Ha, termasuk tanah yang diserobot oleh TNUK.

Ujung Kulon diakui memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna. Atas dasar

itu kemudian pada tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh

Pemerintah Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan Melalui SK.

Pemerintah Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921. Pada tahun 1932,

diadakan pengukuran tanah oleh Belanda di Ujung Kulon yang dibuktikan melalui

Peta Tanah Milik (PTM) tahun 1935. Kepada warga yang menempati lahan di

Desa Ujung Jaya pada saat itu diberikan surat kepemilikan tanah berbentuk Girik

(cap singa) bagi masyarakat. Pada tahun 1937, Status Cagar Alam Ujung Kulon-

Panaitan diubah menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan oleh

Pemerintah Kolonial Belanda melalui Keputusan No. 17 Juni 1937. Tahun 1958,

oleh Kantor Tjabang Pendaftaran Tanah Milik Serang dikeluarkan Surat Tanda

Pendaftaran Tanah Milik Indonesia yang dibuktikan melalui sertifikat cap Garuda.

Periode kedua, era Suaka Alam dan Cagar`Alam berlangsung sejak tahun

1965 hingga 1984. Pada periode ini masyarakat telah mendapatkan Bukti Surat

Pembayaran Pajak Hasil Bumi dari aktivitas pengolahan lahan pertanian dari

Kantor Padjak Tjabang Serang. Pada tahun yang sama, status Kawasan berubah

kembali menjadi Kawasan Suaka Alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No.

48/UM/1958 tertanggal 17 April 1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut

selebar 500 Meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon,

dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Peucang, Pulau

Page 3: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

69�

Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (Pulau Boboko, Pulau Pamanggan).

Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian No. 16/KPTS/UM/3/1967 tanggal 16

Maret 1967, kawasan Cagar Alam Ujung Kulon diperluas dengan memasukkan

Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar. Perluasan areal tersebut juga

membuat pemukiman warga sejumlah desa menjadi bagian dari Kecamatan

Sumur. Tahun 1979, area kawasan Cagar Alam Ujung Kulon kembali diperluas.

SK. Menteri Pertanian No. 39/KPTS/UM/1979 tanggal 11 Januari 1979

memasukkan lahan seluas 9.498 hektar di Gunung Honje sebelah Utara yang

didiami penduduk yang terbagi beberapa desa di kecamatan Cimanggu kedalam

kawasan Cagar Alam.

Periode ketiga era Taman Nasional, sejak 1984 hingga sekarang. Sejak

tahun 1984, Cagar Alam Ujung Kulon yang tadinya dikelola oleh Kehutanan

(biasa disebut masyarakat sebagai Bohir) berubah dengan dibentuknya Taman

Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No.

96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas

39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas

17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita

seluas 95 Ha. Pada Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No.

284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Pada tahun yang sama Komisi

Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site

dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409.

Sejak penetapan batas TNUK mulai berlaku, yang mengklaim wilayah

pemukiman beberapa lahan garapan sawah dan kebun campuran warga mulai

meningkat eskalasi ketegangan antara masyarakat di sekitar batas kawasan dengan

BTNUK. Pengukuhan wilayah taman nasional menjadikan sejumlah desa di

Kecamatan Cimanggu dan Sumur masuk pada wilayah kawasan Taman Nasional

Ujung Kulon. Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal

perkebunan/sawah milik masyarakat yang merupakan kawasan pemukiman yang

berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman nasional menjadi

pemukiman yang mula-mula akan direlokasi. Perubahan tapal batas taman

nasional membuat perubahan pula pada penempatan Pos Jaga Suaka. Yang

Page 4: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

70��

awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara

bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah ikut dipindahkan. Menurut

masyarakat Legon Pakis, seharusnya batas wilayah antara TNUK dengan lahan

masyarakat berada di sebelah timur: Cipakis, sebelah barat: Cilintang dan sebelah

selatan: Cihujan. Masyarakat Legon Pakis sejak itu dipaksa pindah ke Kampung

Pamatang Laja.

Namun masyarakat tidak bersedia pindah, karena objek relokasi sangat

jauh dari tempat asal, tidak terdapat areal pertanian/sawah untuk penghidupan

masyarakat dan tanah tidak dapat ditanami. Sejak saat itu, masyarakat yang

berdiam di wilayah yang diklaim sebagai kawasan taman nasional mengalami

intimidasi, kekerasan dari petugas Taman Nasional. Pengadaan listrik secara

swadaya tidak diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang tanaman kayu untuk

kebutuhan sehari-hari, pekerjaan mengolah lahan juga terganggu, lahan pertanian,

saung dan kebun warga dirusak. Masyarakat dituduh melakukan perambahan

hutan dan ditangkap.

Kampung Legon Pakis, dari 155 KK, jumlah penduduknya menyusut

menjadi 85 KK akibat masyarakat dilarang menebang pohon yang ditanamnya,

dilarang membangun rumah (jumlah rumah dilarang bertambah), sekolah

madrasah swadaya masyarakat ditutup, dan bahkan perbaikan masjid yang telah

berdiri sejak tahun 1950an harus melalui perundingan yang alot. Tahun 1984 saat

program relokasi warga, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim berkunjung ke

Legon Pakis. Emil Salim menjanjikan kepada warga untuk tidak langsung

menjalankan relokasi sebelum adanya jaminan hidup yang memadai bagi warga

(rumah, tanah pertanian, sekolah dsb). Emil Salim menjanjikan akan melindungi

warga sebelum jaminan relokasi dipenuhi. Namun, hingga saat ini janji Emil

Salim belum terwujud, sementara pembatasan hak dan akses masyarakat atas

sumberdaya hutan di TNUK, semakin meningkat.

Kebijakan penetapan batas baru pengelolaan TNUK, tahun 1984 dan

diperbarui pada tahun 1992, telah menciptakan sumbu konflik yang berlarut,

antara pihak negara yang diwakili oleh pengelola Taman Nasional atau Balai

Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) dengan masyarakat yang telah hidup

sangat lama di sekitar hutan TNUK. Simpul konflik yang terjadi bukan hanya

Page 5: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

71�

pada persoalan ketidakpastian sistem penguasaan pada pembagian batas wilayah

mana yang menjadi milik TNUK dan mana yang menjadi milik warga, tetapi juga

terkait dengan peruntukan lahan TNUK yang terbagi dalam zonasi-zonasi, yang

meliputi wilayah pemukiman, lahan dan kebun warga setempat. Yang pada

gilirannya berakibat pada ketidakjelasan pada hak atas tanah dan sistem

pengelolaan sumberdaya hutan yang tidak tepat.

Perubahan rejim pengelola TNUK juga memiliki arti penting bagi

terciptanya situasi-situasi yang mendorong proses sengketa agraria di TNUK yang

masih terus berlangsung. Seiring terjadinya perubahan rejim pengelola kawasan

TNUK, terjadi pula perubahan terhadap hak-hak agraria masyarakat setempat

dalam mengakses sumberdaya hutan di TNUK. Jika sejarah penetapan TNUK ini

ditelusuri, akan ditemukan bahwa proses penetapan kawasan yang kini menjadi

TNUK, selain kerap tidak ‘partisipatif’ (tidak melibatkan suara warga yang

tinggal di sekitar kawasan hutan) --kawasan konservasi ini tidaklah berlangsung

sekali jadi, tetapi bertahap. Sebagian wilayahnya sejak masa Kolonial ditetapkan

sebagai kawasan Suaka Alam dan Cagar Alam sebelum kemudian ditetapkan

menjadi kawasan Konservasi. Namun ada sebagian wilayahnya yang status

awalnya adalah kawasan hutan produksi, baru jauh belakang waktu kemudian

ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam, dan terakhir baru ditetapkan sebagai

kawasan konservasi Taman Nasional. Perubahan ini dapat dilihat pada gambar

berikut; (Gambar 5)57

Gambar 5. Perubahan Status Kawasan dan Rejim Penguasaan di TNUK ������������������������������������������������������������57 Tabel dikutip dari, Soeryo Adi Wibowo dkk, Isu Pemukiman....Op.Cit., hlm. 23.

Page 6: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

72��

Rejim konservasi TNUK dengan segenap peraturan legal formal yang

dimiliki (sebagaimana diuraikan di atas), telah sukses menempatkan satuan

species flora dan fauna di dalam TNUK jauh lebih bermartabat daripada manusia-

manusia yang hidup di sekitarnya. Pembatasan akses, teror hingga program

relokasi (baca: pengusiran paksa) telah beberapa kali diprogramkan untuk

menjauhan atau memisahkan masyarakat dari ekosistem hutan Ujung Kulon.

Akibatnya, masyarakat di sekitar TNUK (khususnya di tiga kampung; Legon

pakis, Cikaung Sabrang dan Ciakung Girang, ketiganya berada di desa Ujung

Jaya) terbatasi jalur akses pemenuhan kebutuhan dasarnya. Baik infrastruktur; air,

jalan, kesehatan, pendidikan, sanitasi dan pemukiman yang layak.

Di sisi lain, belum selesainya pemetaan zonasi dan batas wilayah

peruntukan berakibat pula pada ketidaknyamanan dan ketakutan warga saat

menggarap lahan sawah, kebun yang sebagaian besar telah ada sebelum Taman

Nasional di tetapkan. Dengan demikian, sengketa agraria yang terjadi di TNUK

telah menyumbangkan proses pemiskinan masyarakat di sekitar kawasan,

khususnya yang terkait dengan akses ruang hidup, akses pengetahuan dan sumber

keuangan, yang oleh Friedman (1992) disebut sebagai faktor-faktor yang ikut

menentukan pemiskinan masyarakat.58

Jika sumber agraria yang dikuasai secara tidak adil itu adalah kawasan

sumberdaya alam di dalam Taman Nasional, maka ketimpangan agraria yang

terjadi akan dialami oleh masyarakat di dusun dan desa di sekitar kawasan. Saat

konflik agraria terjadi akibat incompabilities yang belum teratasi sampai ke akar

masalahnya, maka yang merasakan dampak kemiskinannya pertama kali adalah

masyarakat lemah yang tak punya kuasa di sekitar TNUK. Gejala semacam inilah

yang menjadi gambaran umum pengelolaan sumberdaya alam di di dunia ketiga.

Peluso (2006) menggarisbawahi bahwa kebanyakan sistem pengelolan hutan di

Dunia Ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan

pedesaan di sekitarnya. Beberapa sistem negara bahkan memperparah

������������������������������������������������������������58 Friedman menyebut delapan faktor akses yang menentukan pemiskinan masyarakat yaitu; akses informasi yang tepat, pengetahuan dan ketrampilan, ruang hidup, jaringan sosial, surplus waktu, sumberdaya keuangan, organisasi sosial, instrumen kerja dan livelihood. Friedmann, John, Empeworment; The Politics of Alternative Development, Cambridge MA & Oxford UK: Blackwell, 1992.

Page 7: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

73�

kemerosotan hutan karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang

tinggal di pinggiran hutan59.

Begitulah gambaran umum yang juga terjadi pada masyarakat di beberapa

dusun pinggiran kawasan TNUK. Sejak konflik agraria meletus secara terbuka

tahun 2006--kesinambungan dari konflik-konflik kecil, individual, dan diam-diam

yang telah terjadi sejak penetapan kawasan TNUK--, masyarakat di sekitar TNUK

hidup dalam keterbatasan-keterbatasan akses ruang hidupnya. Dapat dikatakan

letupan konflik tersebut hanyalah puncak gunung es yang kelihatan dari hamparan

persoalan yang lebih luas yang tidak kelihatan60. Kasus-kasus sengketa kecil

masih banyak terjadi di lapangan, baik antar pribadi warga dengan Petugas

BTNUK, maupun kelompok masyarakat di sekitar kawasan yang tersimpan

mengendap dalam batin dan menjadi catatan pribadi-pribadi yang menunggu

akumulasi dan momentum untuk keluar; berontak di balik berbagai dimensi

kemiskinan yang dialami warga.61 Tentu saja lintasan sengketa agraria di atas

hanyalah sebagian kecil saja dari potret episode panjang kompleksitas sengketa

agraria di sekitar kawasan TNUK yang masih terus berlangsung dan ikut

menyumbangkan proses kemiskinan warga di sekitarnya hingga kini.

5.2 Dinamika Konflik dalam Politik Penataan dan Penguasaan Ruang di

Kawasan Konservasi TNUK

Persoalan utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang ikut

meningkatkan eskalasi sengketa agraria di sekitar kawasan Taman Nasional

adalah benturan klaim atas identitas sumber-sumber agraria yang dimiliki

masyarakat dan batas wilayah kelola BTNUK beserta sistem tenurial dan

paradigma pengelolaan sumberdaya kawasan hutan yang masih mengabaikan

������������������������������������������������������������59 Nancy Lee Peluso, “Hutan Kaya…Op.Cit., hlm.8.60 Penulis berkesempatan tinggal bersama (live in) selama tiga minggu lebih di beberapa dusun (Legon Pakis, Cikawung Girang dan Cikawung Sebrang) dan di sekitar kawasan TNUK dalam rangka “Riset Mandiri dan Pendampingan Konflik Agraria”Masyarakat sekitar Taman Nasional, di prakasai oleh lembaga Sajogyo Institute (SAINS) Bogor dan atas undangan tokoh masyarakat di Legon Pakis, Juni-Juli 2007. Melakukan revisiting beberapa kali dan masih berlanjut hingga sekarang dalam upaya advokasi dan mengawal proses mediasi konflik warga berbasis Zonasi Khusus untuk dinegosiasikan dengan pihak BTNUK. (Sejak November 2009, hingga sekarang). 61Untuk memahami lebih jauh multidimensinya kemiskinan ini, dapat menelusuri buah pikir Prof. Sajogyo dalam buku Mukhtar Sarman (Ed), “Dimensi Kemiskinan; Agenda Pemikiran Sajogyo”,Pusat P3R-YAE, 1998.

Page 8: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

74��

kesejahteraan manusia pinggiran hutan. Menurut Afiff (2005), masalah tenurial

mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim

penguasaan atas sumberdaya tertentu.

Hal ini terjadi karena kebijakan dan aturan hukum yang dikeluarkan

negara beserta birokrasi (dan ‘wakil-wakil’nya) dalam menetapkan hak atas

sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau

bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang

telah turun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan

legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto.

Legitimasi secara de jure mendasarkan pada kepemilikan formal menurut aturan

hukum yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah. Sedangkan legitimasi

secara de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau

pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku berdasarkan hukum

atau aturan yang dipraktikkan masyarakat selama ini, misalnya berdasarkan

praktik-praktik adat setempat.

Persoalan peminggiran masyarakat kampung dan desa di pinggiran

kawasan TNUK selaras dengan lensa pandang ini. Historisitas keberadaan

masyarakat Legon Pakis di kawasan pinggiran hutan Ujung Kulon dengan

wilayah pemukiman, sawah dan kebun campuran mereka yang telah hidup secara

turun menurun sejak zaman kolonial Belanda hingga kini, hanya dilihat sebagai

ancaman masalah bagi kelestarian ekologi hutan. Sehingga sewaktu-waktu dapat

dihilangkan atas nama konservasi dan aturan legal kehutanan lainnya. Tanah

mereka dianggap wilayah hutan negara, sehingga jika sewaktu-waktu Negara

memintanya kembali, maka mereka tidak boleh menolaknya dan harus

menyerahkan kembali. Begitulah seharusnya menjadi warga Negara yang baik. 62.

Atas nama “kewajiban warga Negara” masyarakat Legon Pakis dijauhkan dari

“Hak Warga Negaranya” untuk hidup layak dan terpenuhi hak-hak dasarnya yang

dijamin secara konstitusional.

������������������������������������������������������������62 Argumen seperti ini sering menjadi jurus pamungkas Petugas BTNUK ketika menghadapi tuntutan masyarakat pinggiran hutan atas hak hidup mereka atas kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran yangmereka garap selama ini. Hasil wawancara dan diskusi diskusi dengan masyarakat dan petugas BTNUK, akhir 2010.

Page 9: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

75�

Akar dari persoalan lainnya adalah pada bagaimana konsep konservasi

kawasan hutan hendak difahami dan letakkan dalam pengelolaan ekosistem hutan.

Merujuk pandangan Escobar (1998) bahwa wacana konservasi bukanlah wacana

netral dan muncul dari ruang hampa. Membincangkan persoalan konservasi tak

bisa dilepaskan dari aspek yang melekat di dalamnya yakni aspek kekuasaan,

produksi dan makna, baik ditingkat global maupun lokal (Brosius, 1997). Bagi

sekelompok orang, konservasi adalah daftar jenis satwa atau tumbuhan langka.

Bagi aktor lain, konservasi adalah upaya menjamin sumber ekonomi dan devisa

negara. Sementara, aktor lain mengartikulasikan sebagai cara untuk memperbaiki

kehidupan ekonomi. Artikulasi yang berbeda-beda menunjukkan bahwa

konservasi adalah ruang terciptanya relasi sosial. Hubungan sosial ini memuat

kepentingan berbeda dari pihak yang terlibat. Kepentingan yang berbeda memberi

peluang bagi pihak-pihak itu menggunakan kekuasaannya (power).

Dalam pandangan yang lebih kritis, wacana konservasi sering menuai

kritik sebagai bias kepentingan negara maju, kepentingan kelas tertentu, dan dapat

digunakan untuk memarjinalkan rakyat pedesaan (Blaike, 1985; Escobar, 1996; Li

2002). Konservasi bisa menjadi alat hegemoni baru, dimana berbagai aktivis,

donor, wakil pemerintah bisa bersepakat bersama (Li, 2001).

Namun, platform konservasi belum tentu disetujui masyarakat yang hidup

langsung dengan keragaman hayati. Dalam pemahaman semacam ini maka

membincangkan persoalan konservasi sumberdaya alam tidak bisa dipisahkan dari

relasi sosial, kekuasaan dan dinamika ditingkat lokal berlangsung. Di sisi lain,

ketimpangan struktur agraria menjadi penyumbang lain dari merebaknya konflik.

Sejarah penguasaan kawasan konservasi di TNUK telah menunjukkan bahwa atas

nama pemeliharaan dan pelestarian Badak Jawa, perluasan batas kelola dilakukan

sepihak mengambil paksa wilayah life space masyarakat pinggiran kawasan

hutan.

Sejak kawasan hutan Cagar Alam Ujung Kulon ditetapan sebagai kawasan

Taman Nasional Ujung Kulon, pada tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992

dengan luas kawasan total 122.956 Ha, telah menelan seluruh area kawasan

kampung Legon Pakis --salah satu kampung di pinggiran hutan dengan luas 261,

6 ha, terdiri dari kawasan pemukiman (di huni 99 KK), pekarangan rumah,

Page 10: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

76��

pertanian/lahan sawah dan kebun campuran, masuk menjadi wilayah konservasi

TNUK, termasuk beberapa kampung lainnya yaitu kampung Cikaung Sabrang dan

Cikaung Girang, kedua kampung ini berada di desa yang sama yaitu desa Ujung

Jaya—meski kedua kampung terakhir hanya sebahagian saja wilayahnya yang

terkena klaim batas baru penetapan kawasan TNUK--63.

Proses evolutif eksklusi masyarakat atas nama konservasi di kawasan

TNUK langsung maupun tidak telah berdampak besar pada akses masyarakat

terhadap wilayah hutan. Sebab, dengan penetapan suatu wilayah menjadi kawasan

konservasi, maka sesuai ketentuan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (beserta peraturan pelaksanaannya)

berlakulah sejumlah larangan kegiatan di dalam kawasan taman nasional sebagai

berikut;

Tabel 9. Larangan Perbuatan atau Kegiatan di dalam Zona Kawasan

Taman Nasional.64

������������������������������������������������������������63 Untuk kawasan hutan Ujung Kulon, mulai ditetapkan sebagai Taman Nasional, dari status sebelumnya sebagai kawasan Cagar alam, sejak tahun 1984 dan perluasan wilayahnya di tetapkan pada 1992. Evolusi kebijakan dan perubahan tata kelolan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini bisa dilihat lebih jauh dalam Adi Wibowo, Isu Pemukiman...Op. Cit., hlm. 23. 64 Ibid, hlm. 13

Page 11: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

77  

Tabel di atas menjelaskan bahwa Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak

Pakai yang diberlakukan untuk kawasan konservasi sangat terbatas sifatnya.

Kedua Hak tersebut dikonstruksikan dengan maksud untuk melindungi integritas

ekosistem konservasi. Namun pembatasan akses ini berikut larangan perbuatan

sebagaimana tertera dalam tabel tersebut, telah merubah struktur dan relasi agraria

masyarakat sekitar hutan. Perubahan ini membawa akibat besar pada kehidupan

masyarakat di sekitar hutan yang turun temurun antar generasi telah membangun

hubungan yang intim, harmoni dan ‘integratif’ dengan ekosistem hutan.65

Meski jauh sebelum penetapan kawasan TNUK, proses pembatasan akses

dan kontrol masyarakat Legon Pakis sudah terjadi66, namun tidak seketat dan

sekuat ketika Cagar Alam Ujung Kulon berubah menjadi kawasan Taman

Nasional tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992, termasuk di dalamnya bentuk-

bentuk koersi, kekerasan, intimidasi dan teror (fisik dan psikis) oleh polisi hutan

dan Pam Swakarsa bentukan dari BTNUK. Klaim pengambilalihan dan perluasan

kawasan konservasi ini berbenturan langsung dengan klaim masyarakat atas ruang

wilayah yang telah dihuni dan menghidupi mereka jauh sebelum kawasan TNUK

ditetapkan.67

                                                            65 Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh BOHER (Badan Perhutani milik Belanda), lahan yang kemudian menjadi kampung tersebut adalah bentuk hadiah pemerintah Belanda kepada warga karena telah membantu proyek kehutanan Belanda di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus (Setelah dikuasai RI). Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra) diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda; . Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS (termasuk Penulis), 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Naisional Indonesia, SAINS Press, 2009. 66 Di antaranya, larangan membuat rumah permanen, infrastruktur jalan, MCK, tempat ibadah, menebang pohon di pekarangan sendiri, terror dan pembabatan tanaman warga dan larangan lainnya terkait dengan budidaya hutan dll. Hasil wawancara dengan warga, 2008. 67 Sejarah pemukiman warga, disebutkan telah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh Badan Perhutani milik Belanda, sebagai hadiah atas bantuan warga terhadap usaha pengelolaan hutan, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus (Setelah dikuasai RI). Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra) diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak

Page 12: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

78  

Kondisi semcam ini mejadi sumbu ketegangan dan konflik agraria

dilahirkan yang masih terjadi hingga kini. Persoalan agraria adalah persoalan

politik. Siapa yang menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai

sarana-sarana kehidupan, maka ia menguasai manusia!68 (Cristodoulou, 1990, M.

Tauchid, 2009, Wiradi, 2009) yang membutuhkan tindakan mendasar secara

politik, yakni perombakan ketimpangan struktur agraria. Tanpa memahami dasar

masalah ini, maka penyelesaian masalah-masalah sengketa agraria akan terjebak

menjadi parsial, teknis administratif, dan formalistik69. Tak mengherankan jika

persoalan kembali muncul secara fluktuatif timbul tenggelam menunggu

momenum, seringkali membawa serta masalah turunan yang tak kalah rumit,

seperti pengangguran dan kemiskinan.

Kondisi sengketa agraria dan proses kemiskinan adalah satu bandul

kausalitas yang berkelindan; saling terkait erat satu dengan lainnya. Menurut A.K

Ghose (1983: 3), sebagaiamana dikutip Wiradi (2009), masalah pertanahan atau

agraria secara umum) adalah masalah kekuasaan, masalah kesejahteraan ekonomi,

dan masalah herarki sosial. Mengungkap persoalan masalah agraria tidak bisa

dilepaskan dari masalah turunan yang ditimbulkannya, yakni sengketa agraria,

kemiskinan, dan pengangguran.

                                                                                                                                                                   yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda; . Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS (termasuk Penulis), 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Naisional Indonesia, SAINS Press, 2009. 68 Lihat Wiradi, Seluk Beluk ......Op.Cit., hlm. 1. 69 BTNUK pernah mencoba menyelesaikan konflik dan memadamkan tuntutan pengakuan life space warga Legon Pakis dengan cara memindahkan masyarakat (transmigrasi lokal/relokasi), misalnya pemindahan warga Legon Pakis pada tahun 1979 ke Kampung Pematanglaja, Desa Karangbolong, Kecamatan Cigeulis. Tetapi pada tahun 1983 mereka kembali ke Legon Pakis lagi karena lahan dan fasilitas yang diberikan tidak seperti yang dijanjikan, sehingga tidak layak untuk hidup dari pertanian sebagaimana dilakukan di Legon Pakis. (Hasil wawancara dengan waraga Legon pakis, akhir 2007). Menurut data yang diperoleh di lapangan, proses relokasi hanya dilakukan pada belasan keluarga dari Legon Pakis, khususnya para warga yang merupakan pendatang baru, berasal dari luar Banten. Sementara penduduk yang telah lama tinggal di Legon Pakis tetap bertahan di kampung. Sebagaian besar kelompok keluarga yang relokasi tidak kerasan tinggal di tempat baru, selain lahan nya tidak sesubur di Legon Pakis, fasilitas infrastruktur yang dijanjikan pemerintah tak kunjung datang. Namun, mereka meresa malu untuk kembali ke Legon Pakis. Meskipun ketika masa panen tiba, mereka tetap bersilaturrahmi, sebagian menjadi buruh panen ke Legon Pakis. Dalam proses Relokasi ini, warga yang pindah tidak lagi memiliki lahan di tempat semula. Ketika mereka tidak tahan dan kembali ke daerahnya sendiri, lahan di tempat relokasi yang ditinggalkan statusnya hanya dibiarkan saja. (hasil wawancara dengan warga dan aparat desa di Legon Pakis, tahun 2009)

Page 13: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

79  

Pada dasarnya sengketa agraria adalah suatu situasi proses dari interaksi

antara dua atau lebih individu atu kelompok dalam memperebutkan objek yang

sama demi kepentingannya. Dalam konteks agraria objek yang diperebutkan

adalah tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air,

tanaman, tambang dan udara yang berada di tanah yang bersangkutan. Mengacu

pada batasan definisi di atas, pada dasarnya semua jenis konflik agraria timbul

sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber

agraria, khususnya empat bentuk kesenjangan utama yaitu, kesenjangan dalam

penguasaan, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta hukum dan kebijakan yang

saling bertentangan (Wiradi, 2009). Namun, faktor pemicunya bisa beragam, di

antaranya, pembangunan yang tidak seimbang, kelemahan sistem hukum,

dampak industrialisasi, hak atas tanah yang tidak jelas, kesenjangan ekonomi

antar daerah, penguasaan kekuatan ekonomi oleh suatu kelompok etnis tertentu

dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tepat70.

Proses politik tata ruang TNUK dengan beragam kebijakan dan aturan

pembatasan akses dan kontrol masyarakat pinggiran atas ruang hidup (live space)

masyarakat pinggiran hutan atas kekayaan sumberdaya sekitar hutan yang berjalan

terus menerus berimplikasi pada penyuburan proses kemiskinan yang bersifat

relasional. Dalam pandangan relasional, maka kemiskinan dilihat bukan pertama-

tama sebagai kondisi melainkan konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi, maka ia

merupakan efek dari relasi-relasi sosial, yang tidak terbatas dalam pengertian

koneksi atau jaringan semata, melainkan dalam pengertian hubungan-hubungan

kekuasaan yang timpang (Mosse 2007).

Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan dapat terjadi berulang

dan terwariskan. Kenyataan kemiskinan relasional akibat dari penciptaan politik

tata kuasa ruang di kawasan konservasi Taman Nasional berkontribusi pada

penciptaan ketimpangan struktur agraria yang menjadi embrio dari bentuk-bentuk

persoalan sengketa agraria. Masih banyaknya, anak-anak yang kurang gizi di

masyarakat akibat akses kesehatan yang minim, tingkat pendidikan yang rendah

akibat akses pendidikan yang kurang, sarana air bersih, listrik, rumah yang tidak

layak serta akses sumber-sumber matapencaharian yang masih tidak stabil akibat

                                                            70 Wiradi, Seluk Beluk… hlm. 194-195.

Page 14: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

80  

identitas lahan yang belum diakui menjadi realitas faktual yang ditemukan dalam

keseharain masayarakat di Legon Pakis. Sifat evolutif petani dan daya adaptasi

masyarakat petani pinggiran kawasan memungkinkan mereka tetap mampu

survival, dalam kondisi secara ekonomi. Namun ketika kemerosotan ekononomi

yang bersifat mengejutkan dan drastis serta tindakan kekerasan yang bersifat

massif yang dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat di Legon Pakis telah

menjadi pemicu perlawanan mereka atas penguasa TNUK. Perubahan tata batas

kelola TNUK yang memakan 100% wilayah life space mereka, teror, kekerasan

dan ketidakamanan yang semakin intens menjadi sumber bara perlawanan

masyarakat Legon Pakis. Yang berpuncak pada amok massa oktober 2007.

Sejak peristiwa kelabu oktober 2007, hubungan disharmoni warga

pinggiran hutan khususnya di kawasan Legon Pakis) dengan Balai Taman

Nasional Ujung Kulon (BTNUK) semakin tajam. Konflik tersebut telah

menciptakan teror baru, ketakutan dan ketidakamanan warga, baik dalam

kehidupan sehari-hari dalam aktivitas bersawah dan berkebun maupun dalam

aktivitas keseharian lainnya. Sehingga disadari atau tidak juga berpengaruh pada

terhambatnya akses kebutuhan dasar mereka; dalam beragam dimensinya. Kondisi

ketidaknyamanan dan ketidakamanan warga Legon Pakis semakin parah karena

ketiadan kelembagaan dan organisasi sosial yang menopang dan mampu manjadi

disementasi sosial sekaligus wadah untuk ikatan bersama secara kolektif “ke

dalam” (antar warga) di satu sisi, dan organisasi/ kelembagaan sosial sebagai

wadah dan pusat “ideologisasi”, pubikasi, kampanye perlawanan dan perjuangan

mereka ‘keluar’. Sampai hari ini realitas konflik dalam skala yang lebih kecil;

penangkapan paksa dan penahanan warga dengan dugaan ‘illegal logging’ dan

perambahan hutan masih berulang.71

                                                            71 Pada 10 April 2009, tiga orang dari Ujung Jaya ditangkap oleh aparat Kepolisian Sektor Sumur-Pandeglang, Banten, Desa Ujung Jaya, Sumur-Pandeglang. Penangkapan tersebut atas tuduhan warga menebang kayu di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), padahal menurut warga, kayu yang ditebang berasal dari lahan garapan milik warga yang telah dikelolanya secara turun-temurun. Hal yang sama juga terjadi pada Agustus 2009, 5 orang warga kampung Ujung Jaya ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan. Lebih jauh lihat, laporan Advokasi Hukum Konflik TNUK, IHCS dan KOMNAS HAM Jakarta, 2009. Pada akhir 2009, 3 orang warga Legon Pakis di panggil dan diinterogasi Polsek Cibaliung dengan dugaan menggarap lahan yang sudah ditinggalkan. Januari-Februari 2011, pembabatan tanaman warga terjadi untuk kepentingan pemagaran proyek dari Yayasan Badak Indonesia (YABI), beserta bentuk-bentuk pemaksaan, teror dan intimidasi guna mencari persetujuan warga untuk proyek ini, termasuk pada jaringan LSM/NGO yang mendampingi warga. Hasil kunjungan lapang penulis, Februari 2011.

Page 15: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

81�

Bisa difahami jika masyarakat Legon Pakis terus melakukan perlawanan

untuk menuntut pengakuan hak hidup mereka di pinggiran kawasan TNUK.

Selaian klaim sosio-historis mereka yang tinggal jauh lebih lama daripada

penetapan TNUK, secara ekonomi sumber mata pencaharian mereka yang

mengandalkan hidup dari pertanian sawah dan kebun campuran semakin hari

semakin membaik dan mampu menjamin subsistensi mereka. Sebagaimana

diuraikan dalam Bab sebelumnya.72.

Kini, tantangan dan ancaman terbaru bagi kehidupan masyarakat di Legon

Pakis adalah poyek bernama Javan Rhino Sanctuary (JRS) adalah gagasan dan

upaya sekelompok konservasionis untuk melestarikan species badak jawa

(Rhinoceros Sondaicus) yang hingga kini hanya berjumlah 28 – 64 individu di

dunia; tidak lebih dari 8 individu di Vietnam1 dan 28 – 56 individu di Indonesia.73

Badak Vietnam hidup di Cagar Alam Cat Loc, berdekatan dengan Taman

Nasional Cat Tien, sedangkan di Indonesia, badak jawa hidup di Taman Nasional

Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang, Banten. Menurut Kepala Balai

TNUK, lokasi penangkaran badak Jawa dipusatkan di area 3.000 hektare dari luas

habitat populasi badak Jawa di TNUK sekitar 38 ribu hektare.

Lokasi penangkaran tersebut berada di kawasan Gungung Honje bagian

Selatan, yakni dengan cara dilakukan pemagaran beraliran listrik setinggi 2 meter

sepanjang 24 kilo meter. Tujuan ekowisata Badak Jawa ini akan menjadi awalan

bagi pembangunan sarana infrastruktur lainnya di sekitar Banten, seperti Bandar

Udara dan tambahan pelabuhan laut bagi wisatawan yang akan ke TNUK.

Sebagimana diungkapkan oleh Gubernur Banten, dalam acara peresmian

penangkaran badak Jawa (Rhinocerus Sondaicus) di Pulau Peucang di Kawasan

TNUK, 22 Juni 2010. Dengan adanya daerah tujuan objek wisata tersebut, juga

akan memberikan dampak manfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar

kawasan untuk mendorong perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan. Selain

������������������������������������������������������������72 Lihat Bab IV, Kondisi Sosial Ekonomi DusunLegon Pakis, Tabel hasil sensus Sajogyo Institute, 2007. 73 Sensus berbasis pengamatan jejak mendata 40-60 individu Badak Banten di TNUK, akan tetapi pengamatan dengan kamera dan video secara sistematis hanya bisa mengidentifikasi 28 individu Badak Banten (WWF Indonesia, unplished data).

Page 16: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

82��

itu juga, objek tersebut akan mendukung pengembangan objek wisata lainnya di

Provinsi Banten di antaranya Tanjung Lesung dan Pantai Anyer.74

Argumen “eko-wisata” demi kesejahteraan dan peningkatan ekonomi

masyarakat ini pada praktiknya, ternyata mengabaikan hak hidup dan sumber

mata pencaharian utama masyarakat pinggiran kawasan hutan yang menjadi

korban utama rencana pemagaran yang memakan sebagian lahan garapan sawah,

kebun campuran dan menghilangkan akses masyarakat atas sumberdaya hutan75.

Selain pengabaian hak hidup dan kesejahteraan masyarakat pinggiran kawasan

hutan, secara konsep konservasi proyek ini masih menjadi polemik di kalangan

rimbawan. Pertanyaan kritis yang diajukan adalah apakah program JRS ini

menjadi langkah maju ataukah justru langkah mundur bagi konservasi?. Apakah

proyek ini tindakan Konservasi ataukah Pidana Konservasi? 76 Rencana proyek

JRS ini telah menjadi simpul konflik baru bukan hanya masyarakat pinggiran

hutan dengan pihak BTNUK, tetapi sudah melibatkan multipihak dari

“pendukung” masing-masing yang berkonflik.

Berikut gambar rencana pemagaran JRSCA dan rencana Pengelolaan Zona

Khusus ebagai tawaran penyelesaian konflik, yang tertabrak rencana proyek

kurang lebih, 110 ha terdiri dari awah dan kebun campuran warga.

������������������������������������������������������������74 Acara peresmian ini juga di dihadiri dan di tanda-tangani oleh Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan. Metrotvnews.com, Serang, 22 Juni 2010. 75 Dari hasil Kajian Tim SAINS, JKPP dan Latin di lapangan dengan melakukan pemetaan partisipatif dan FGD (Forum Groups Discussion) , tidak kurang 110 ha, lahan warga di Legon Pakis Terkena rencana proyek JRS ini. (Laporan Tim Kajian, 2010). Selain memakan ratusan hektar sawah masyarakat Legon Pakis, penebangan dan pengrusakan kebun campuran milik masyarakat Legon Pakis banyak yang ditebang untuk rencana pemagaran JRS. 76 Tulisan kritis tentang persoalan ini bisa dilihat dalam Timmer Manurung dan Retno Styaningrum, Analisis Hukum Proyek Javan Rhino Sanctuary (JRS): Tindakan Konservasi atau Pidana Konservasi?. (2011) Selain menyoroti argumen konservasi dan ekologi proyek JRS, tulisan ini juga mempertakan secara kritis legalitas hukum yang banyak dilanggar oleh proyek ini. (Makalah belum diterbitkan).

Page 17: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

83�

Gambar 6. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS/ JRSCA (Tim Era, 2010)

Keterangan:

1.�Garis warna “merahtua”�menunjukkangaris batas PetaZona Khusus(Warga)

2.�Garis warna “ungumuda”�menunjukkanjalur pemagaran JRCA.

3.�Luasan Zona Khusus(warga)�yang�terkenarencana pemagaranseluas :�110�ha��(dari261,�611�ha)

Gambar 7. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS/ JRSCA yang menabrak wilayah Zona Khusus yang ditawarkan masyarakat Legon Pakis (JKPP, SAINS, LATIN, 2010)

Page 18: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

84��

5.3 Kontestasi antar Aktor dan Kepentingan dalam Kawasan TNUK

Untuk memotret kontestasi beragam aktor dan kepentingan yang terlibat

dalam pengelolaan di wilayah konservasi Ujung Kulon setidaknya dapat ditelusuri

dari dua babak momentum penting yang terjadi, yakni; Pertama, momen

penetapan kawasan hutan Ujung Kulon menjadi Taman Nasional tahun 1984 dan

diperbaharuhi tahun 1992 dan turunan masalah yang mengikutinya. Kedua,

masuknya program Pemagaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia (YABI) atau

yang popular dengan Javan Rhino Sunctuary (JRS) tahun 2010 dengan segenap

persoalan yang mengikutinya hingga sekarang. Di kedua momen ini nampak

bagaimana beragam pihak yang berkepentingan dengan wilayah kawasan

konservasi Ujung Kulon saling mempertarungkan kepentingan masing-masing.

Sebagian besar turunan masalah yang ditimbulkan dari kedua momen ini menjadi

tonggak penting bagi perubahan tata kelola dan kebijakan penataan ruang di

kawasan TNUK hingga sekarang.

Babak pertama yang menjadi simpul dari kontestasi adalah momen

penetapan hutan lindung Ujung Kulon menjadi Taman Nasional pada tahun 1984

dan perbaharui tahun 1992. Penetapan ini di dasarkan oleh SK Menteri Kehutanan

No. 96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon

seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan

seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata

Carita seluas 95 Ha. Pada Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan

menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan

No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Dan pada tahun yang sama

Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World

Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409.

Di satu sisi penetapan kawasan ini membawa kekuatan legal tersendiri

yang berujung pada peningkatan kekuatan pengelola kawasan TNUK untuk

menguasai wilayah tenurial yang lebih luas dan otoritas yang lebih tinggi. Selain

itu cakupan wilayah yang dimiliki juga semakin luas. Termasuk di dalamnya

kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran warga di beberapa kampung di

desa Ujung Jaya, dan dusun Legon Pakis sejak saat itu 100 % seluruh kawasan

pemukiman, sawah dan kebun campurannya masuk dalam kawasan TNUK.

Page 19: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

85�

Selain perubahan tata zonasi baru, penetapan ini juga diikuti perubahan tata batas

wilayah kawasan TNUK. Batas lama yang sebelumnya disepakati bersama warga

berbatasan langsung dengan sungai Cihujan dan Cilintang berubah lebih lebar

hingga kurang lebih 10 km ke arah selatan menuju desa Ujung Jaya. Perubahan

zonasi dan tapal batas ini menjadi simpul utama persoalan yang muncul antara

kelompok masyarakat sekitar dan di dalam kawasan TNUK. Tak terkecuali

masyarakat di dusun Legon Pakis yang kini separoh wilayahnya dianggap masuk

di wilayah zona inti dan sebagian adalah zona penyangga.

Ketidakpuasan dan ketidakterimaan warga masyarakat di Legon Pakis

khususnya dan dusun-dusun di sekitar batas bari kawasan TNUK, misalnya

kampung Cikaung Sabrang, Ciakung Girang dan sebagian kecil Tanjung Lame,

pada awalnya tidak muncul menjadi perlawanan terbuka. Kuatnya para pengaman

hutan hasil kolaborasi Pam Swakarsa, Ranger dan Polisi Hutan yang dibentuk

oleh BTNUK dan sebagian besar adalah anggota masyarakat juga, dan sebagian

tetap tinggal membaur dengan masyarakat lokal menjadi faktor penting mengapa

masyarakat tidak melakukan perlawanan terbuka. Model-model perlawanan

diam-diam atau terselubung menjadi pilihan bagi masyarakat untuk meluapkan

ketiadakterimaan atas perubahan kebijakan zonasi dan kebijakan tapal batas baru.

Mulai dari ketidak patuhan diam-diam atas aturan konservasi yang telah

ditetapkan, mencuri kayu di zona inti, memburu beberapa jenis burung untuk

dijual, menangkap penyu dan kepiting secara diam-diam, mematikan tunas pohon

di sekitar pemukiman, dan menggosipkan keburukan-keburukan BTNUK.

Perang mulut dan bentrok fisik ringan antar pribadi kerap terjadi antara

warga dengan petugas BTNUK di lapangan. Namun, saat itu kebanyakan para

petugas masih bersenjata parang. Sehingga masyarakat yang juga terbiasa

membawa parang untuk kepentingan keseharian mereka dalam bekerja di ladang

sawah dan hutan tidak takut untuk berhadap-hadapan secara fisik. Namun tidak

lama kemudian, setelah penetapan tahun 1984 terdapat kebijakan untuk

memberikan senjata api sebagai perangkat utama bagi para petugas hutan,

khususnya Ranger dan Polisi Hutan.

Persoalan senjata api yang dimiliki para petugas BTNUK ini menjadi

tonggak penting bagi meningkatnya resistensi masyarakat atas BTNUK dan

Page 20: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

86��

sebaliknya meningkat pula represi petugas BTNUK terhadap warga. Kondisi

ketegangan ini semakin hari semakin meningkat. Beberapa masalah pribadi yang

sudah ada sebelumnya dan belum sempat terselesaikan kadang menemukan

momentum kembali untuk dipertarungkan. ‘Kegagahan’ petugas dengan senjata

api-nya juga memantik respon yang negatif dari warga. Sebab para petugas juga

berubah perilaku semakin menekan dan menteror tidak langsung kepada warga

dengan mempertontonkan senjata api tersebut dalam banyak kesempatan.

Puncak dari akumulasi bara dalam sekam antar warga dan petugas meletus

ketika salah seorang warga bernama Komar dari dusun Cikaung tertembak senjata

api dadanya oleh salah seorang petugas BTNUK bernama Untung. Yang

kemudian disusul amok massa dari beberapa desa sekitar kawasan TNUK di

sekitar desa Ujung Jaya (sebagaimana diceriakan pada Bab sebelumnya). Bisa

dikatakan pada babak ini, pertarungan yang terjadi melibatkan aktor-aktor yang

diwakili oleh kelompok warga dan petugas BTNUK yang banyak dilapangan.

Pada tahap ini belum ada intervensi dari pihak luar (NGO/LSM, aktivis

mahasiswa, dll) secara intens. Kalaupun masuk tokoh-tokoh tertentu yang

berperan lebih karena kedekatan hubungan pribadi dengan para warga. Seperti

Haji A yang banyak membantu secara finansial dan advokasional hukum bagi

para warga yang ditahan dan diproses hukum karena dituding provokator dalam

peristiwa amok massa bulan oktober tahun 2007 itu. Pertarungan yang terjadi

lebih bersifat horizontal dan lebih banyak individual. Dengan model perlawanan

terselubung.

Namun sejak peristiwa tewasnya warga tersebut, masyarakat mulai

bergerak secara kolektif meski masih belum memiliki kelembagaan formal dan

belum melakukan perlawanan terbuka, kecuali amok massa tersebut. Hal ini

dilatari beberapa hal; 1) ketiadaan akar budaya lokal yang dapat dijadikan

pemersatu secara historis dan budaya bagi masyarakat di sekitar Ujung Jaya,

sehingga dapat memanggil perasaan senasib dan sependeritaan dengan lebih utuh.

2) ketiadaan ketokohan atau pemimpin yang bisa dianut dan dihormati bersama

oleh semua warga di beberapa desa. Jikapun ada, tokoh tersebut hanya berlaku

dan mengikat hanya pada satu dusun atau desa saja, dan tidak berlaku pada desa

dan dusun lainnya. 3) ancaman represifitas petugas dan jaringan keamanan

Page 21: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

87�

BTNUK yang semakin meningkat, bergandengan dengan petugas Kepolisian

sebagai ujung tombaknya. 4) belum adanya kelembagaan sosial yang menjadi

sandaran bersama untuk melawan, seperti serikat tani, paguyuban warga, dll.

Akibatnya pasca penembakan dan amok massa, justru masyarakat semakin

traumatik dan terancam akibat tindakan represif aparat keamanan yang merasa

memiliki legitimasi melakukan tidakan keamanan pada warga. Perasaan traumatik

berhadapan dengan pihak Kepolisian dan di dalam penjara masih terekam kuat

hingga sekarang bagi sebagian warga, lebih-lebih yang terlibat. Sehingga mereka

tidak ingin berurusan lagi dengan pihak kepolisian dalam bentuk apapun,kecuali

terpaksa.

Namun demikian, momentum konflik terbuka ini juga menjadi tonggak

penting masuknya pihak luar ke dusun Legon Pakis dan Desa Ujung Jaya.

Beberapa aktivis mahasiswa dan LSM/NGO baik yang mendengar dari berita

mass media muapun yang di undang warga sendiri umumnya mulai masuk setelah

peristiwa oktober kelabu ini terjadi. Setelah itu, mulailah babak baru masyarakat

mengenal pergerakan dan perlawanan dengan tahapan-tahapan secara sistematis

dan membangun jaringan luar. Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ikut

membuka jaringan untuk advokasi konflik ini hingga ke Jakarta, baik melalui aksi

ke Parlemen, Kementrian Kehutanan, KONTRAS hingga ke KOMNAS HAM.

Sejak itulah warga mulai memahami sedikit demi sedikit pentingan berjejaring

dan akses informasi.

Pada tahap yang tidak lama, beberapa LSM yang diundang untuk ikut

membantu warga untuk penyelesaian konflik ini mulai masuk. Sajogyo Institute

(SAINS) yang bekantor di Bogor yang pada tahun 2006 telah melakukan riset

tentang pemukiman di wilayah TNUK, dundang datang untuk membantu advokasi

konflik dengan bekerja bersama aktifis FPPI. Pembagian tugas yang disepakati

adalah pihak FPPI untuk meneruskan advokasi hukum dan pihak SAINS

mempertebal argumentasi sosial-ekonomi-agraria berbasis riset untuk negosiasi

dan menuntut pengakuan hak dasar masyarakat atas sumber agraria yang telah

dimilikinya.

Selang satu tahun dari peristiwa oktober kelabu 2007. Untuk sebuah

advokasi, penguatan masyarakat dan penyelesaian konflik agraria Jaringan Kerja

Page 22: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

88��

Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan LATIN yang juga berpusat di Bogor ikut serta

bergabung dalam pendampingan masyarakat di desa Ujung Jaya, dan lebih khusus

di dusun Legon pakis. Pendampingan masyarakat untuk penyelesaian konflik

kemudian mengembang pada upaya mencari titik temu dan win-win solution

selaras dengan keinginan warga menyudahi kondisi ketegangan, ketidakamanan,

keresahan dan teror terus menerus atas kehidupan keseharian mereka dengan

beragam cara. Yang kesemuanya berlandasakan pada atauran legal penetapan

batas baru TNUK dan pengaturan zonasi baru atas kawasan yang telah menajdi

TNUK.

Pelarangan dan pengurangan akses masyarakat atas sumberdaya hutan

semakin dikikis, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat atas sumber

pangan, tempat tinggal, air bersih, kesehatan, pendidikan, tempat ibadah,

penerangan, jalan dst, yang selalu dihambat atas nama kekuatiran mengganggu

kawasan konservasi. Singkatnya atas nama demi konservasi Taman Nasional,

masyarakat sekitar dan di dalam kawasan TNUK, termasuk di dalamnya

masyarakat dusun Legon Pakis secara sistematis dijauhkan dan hendak dipisahkan

dari kawasan TNUK. Usaha relokasi pun pernah dilakukan sekitar tahun 1987.

Namun akhirnya gagal akibat tidak tersedianya sumber kehidupan sebagaimana

pernah dirasakan di tempat sebelumnya.

Kekerasan, teror, pembatasan akses, peminggiran dan proses pemiskinan

struktural masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan atas nama konservasi

inilah yang menjadi dasar argumen beberapa lembaga dan aktivis yang akhirnya

ikut mengawal dan membantu warga hingga peran-peran intermediary role

dengan beragam pihak di sekitar BTNUK. Gagasan Zona Khusus yang disusun

dan disepakati bersama warga secara partisipatif menjadi ujung bagi proses

negosiasi untuk penyelesaian konflik menuju kolaborasi pengelolaan kawasan

konservasi yang menguntungkan kedua belah pihak dengan memperhatikan aspek

sosial, ekonomi dan ekologi. Ditengah usaha negosiasi multi pihak, gagasan ini

berbenturan dengan proyek besar YABI untuk membuat eko-wisata badak dengan

pembangunan pagar berlistrik yang popular dengan nama JRS atau JRSCA.

Page 23: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

89�

Babak kedua adalah masuknya program Pemagaran Badak atau dikenal

dengan JRS dan belakangan berubah menjadi JRSCA77. Atas nama “langkah

konservasi” Kementrian Kehutanan (Kemhut) beserta jajaran lembaga di bawah

koordinasinya dan Yayasan Badak Indonesia (YABI) mendukung proyek Javan

Rhino Sanctuary (JRS) di TNUK (Kompas, 21/07). Dalam dokumen Analisis

Risiko Lingkungan (ERA) Rencana Pembangunan JRS/JRSCA (November 2010)

dipaparkan, pemagaran berlistrik akan dilakukan di sisi timur (20 kilometer/km)

dan sisi barat (2 km). Pemagaran di kedua sisi menempatkan JRS di tengah

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan luasan 3.000-4.000 hektar,

dibatasi laut di sisi utara dan selatan. Dengan dana sebasar 6 milyar berasal dari

beberapa lembaga konservasi Badak internasional, proyek ini telah dijalankan

sejak 20 Juni 2011, dengan cara membelah dan membuldozer kawasan Taman

Nasional sepanjang 5 kilometer dengan lebar 30 meter.

Siaran pers Koalisi Penyelamatan Konservasi Ujung Kulon yang menolak

rencana pemagaran ini menyebutkan bahwa pembangunan JRSCA yang dilakukan

dengan membuka hutan akan mengakibatkan Taman Nasional Ujung Kulon

terbelah dan terfragmentasi. Akibatnya, kondisi ekologis rusak dan berpotensi

memicu pembalakan liar. Pro-kontrapun muncul. Benarkah ini semata-mata demi

alasan konservasi? Atau demi kepentingan lain yang tersembunyi dibalik proyek

konservasi?

Proyek JRS resmi ditandatangani Menteri Kehuatanan Zulkifli Hasan,

Gubernur Banten Ratu Atut, dan kepala TNUK Agus Priambudi pada 21 Juni

2011. Proyek ini telah disosialisasikan dalam banyak kesempatan sebagai tiang

pancang eko-wisata unggulan di Ujung Kulon dengan ikon Badak Jawa. Karena

itu proyek ini sejak awal sudah dilengkapi dengan agenda pembangunan

‘infrastruktur’ pendukunganya. Seperti rencana pembangunan Bandara, Pelabuhan

Wisata, jalan raya dan perbaikan infrastruktur lainnya. Singkatnya, proyek JRS

adalah bagian dari domain kepentingan pembangunan pertumbuhan ekonomi

daerah Kabupaten Pandegalang dan Provinsi Banten. Klaim pembangunan dengan

watak pertumbuhan ekonomi melalui proyek JRS merupakan pengejawantahan

model kebijakan yang mengandalkan model ekonomi “ujung pipa” (end pipe ������������������������������������������������������������77 Penjelasan tentang babak kedua ini diolah ulang dari tulisan Eko Cahyono, Dilema Konservasi Ujung Kulon, dimula dalam koran Kontan, tanggal 1 Agustus 2011.

Page 24: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

90��

policies). Atas dasar proyek besar konservasi Badak Jawa dan masuknya invenstor

ekonomi diharapkan akan otomatis meningkatkan pendapatan daerah yang pada

gilirannya dapat meningkatkan pendapatan ekonomi rakyat. Artinya, kesuksesan

proyek JRS diyakini para pendukungnya dapat menciptakan peluang kerja yang

lebih besar yang nantinya dapat meningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di

sekiar kawasan proyek dan masyarakat Pandeglang secara umum. Sebab eko-

wisata merupakan daya tarik ekonomis yang dianggap terbukti ampuh

mendatangkan inverstor dan injeksi ekonomi ke daerah.

Namun, praktiknya sebagaimana juga banyak terjadi di dalam proyek

pembangunanisme di negara dunia ketiga lainnya, asumsi kesejahteraan dengan

mengandalkan ‘tetesan dari ujung pipa’ ini ternyata hanya menguntungkan

segelintir atau kelompok elit yang berada di “pangkal pipa”, dan kerap

menciptaan korban dan penderitaan bagi kelompok masyarakat di ujung pipa.

Elite pemilik kuasa (politik-ekonomi) selalu memiliki power yang lebih besar di

bandingkan masyarakat untuk menentukan kepada dan ke arah mana aliran modal

yang dialirkan melalui pipa tersebut? Sekaligus mampu menciptakan beragam

hambatan-hambatan ‘rasional’ agar aliran tersebut tidak/tetap berada di sekitar

pangkal pipa. Atau kalaupun bisa mengalir, disusunlah strategi agar tetap dalam

kendali jaringan kelompok mereka sendiri.

Inilah barangkali penjelasan sederhana dari “kartel ekonomi” yang pernah

‘dipopulerkan’ mantan menteri keuangan Sri Mulyani sebelum akhirnya ‘dialih

tugaskan’. Beragam bentuk kebijakan dan program ekonomi pemerintah pusat dan

daerah, sejak Orde baru hingga era Reformasi ini disusun dan dilaksanakan dalam

warisan watak demi kesejahteraan yang diasumsikan bisa turun dari atas (lapisan

elit ekonomi) kepada masyarakat umum. Maka, ada koherensi yang jelas antara

proyek JRS dengan klaim untuk kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan

konservasi TNUK dengan watak paradikmatik ekonomi yang dijalankan, yakni

sama-sama percaya kesejahteraan melalui model ujung pipa.

Di masa Orde Baru kartel ekonomi ini berpusat di kekuasaan birokrasi

yang lambat laun membentuk oligarki ekonomi pengendali penuh kekuasaan

negara. Bahkan ada periode kelompok oligarki ekonomi ini mengambil alih dan

menundukkan birokrasi negara. Jika dalam era Orde Baru kekuatan yang di susun

Page 25: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

91�

panjang sejak awal-awal naiknya kekuatan Orde Baru, berpusat pada kekuasaan di

sekitar Soeharto dan Cendana, maka pasca era reformasi dan desentralisasi

kekuatan ini menyebar dan membangun oligarki, bahkan lebih kuat di daerah.

(Vedi Hadiz, 2009).

Semangat Reformasi hanya mampu membuka kran politik dan demokrasi

dengan cara pelengseran Soeharto secara politik. Akan tetapi sebenarnya pemilik

kekuatan ekonomi politik Orba tidak serta merta ikut runtuh, tetapi mampu

merestorasi kekuatannya dan menyebar di dearah-daerah. Dalam makna ini, maka

bisa difahami jika banyak persoalan di daerah saat ini selalu berpusat pada

perebutan sumberdaya alam dan aset-aset ekonomi lainnya, yang dulunya sempat

disandera elit penguasa Orba di Jakarta. Proyek-proyek pembangunan di daerah

hari ini tidak bisa dilepaskan dari jejaring kekuatan ekonomi politik yang terwarisi

dari masa-masa Orba. Aset daerah berupa laut, tambang, mineral, emas, hutan dan

seterusnya menjadi arena pertarungan kepentingan di daerah yangtak lagi terlalu

tunduk pada kekuatan pusat.

Proyek JRS yang merupakan perkawinan kepentingan pusat (Kementrian

Kehuatanan) dan Pemerintah Daerah yang dikemas dalam agenda konservasi

Badak Jawa dan Eko-Wisata (eco-tourism) telah menarik 6 milyar modal ke

daerah. Satu pintu ekonomi yang dapat membuka pintu modal ekonomi lainnya.

Dana Corporate Social Responsibility dari Asia Pulp Paper (APP) kelompok

Sinar Mas Groups yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat juga

dimasukkan menjadi “salah satu pendukung” program JRS di Ujung Kulon.

Namun, undangan masuknya modal ekonomi dari luar ini tidak pernah

mempertimbangkan “potensi” ekonomi yang sudah ada dan berjalan dalam

masyarakat secara turun temurun.

Masyarakat di kampung-kampung sekitar TNUK telah lama hidup dalam

kehidupan agraris mereka jauh sebelum Taman Nasonal disahkan tahun 1984.

Menurut satu kajian sosial-ekonomi tahun 2007, ditunjukkan aset yang berputar

dari pertanian dan kebun campuran warga di salah satu kampung desa Ujung Jaya

bisa mencapai 1,2 milyar/tahun (Sajogyo Instutute, 2007). Sumber ekonomi

berbasis pertanian agraris dan kebun campuran ini adalah sumber utama

gantungan hidup masyarakat di sekitar kawasan TNUK. Atas nama konservasi

Page 26: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

92  

Badak Jawa berwatak ekonomi ‘ujung pipa’ kurang lebih 110 ha kawasan tersebut

akan terampas proyek JRS/JRSCA. Klaim sepihak pemerintah atas kawasan

pemukiman dan garapan warga sebagai “tanah negara” menjadikan masyarakat

tak punya daya dan terlucuti hak-hak kewarganegarannnya. Momen ini menjadi

potret pertarungan dan kontestasi beragam pihak beserta aneka kepentingan, baik

dari kalangan pemerintah daerah,

Hingga kini persoalan JRS/JRSCA ini masih menjadi pro kontra banyak

kalangan dan mengundang semakin banyak aktor dan kepentingan baru yang

terlibat, baik lokal maupun nasional. Perdebatan wacana yang dimunculkan

berkisar setidaknya pada tiga wlayah; argumen hukum, argumen ekologis-

konservasionis, dan argumen sosial-ekonomi. Masing-masing kelompok baik pro

maupun kontra memiliki pendukung hingga ke basis masyarakat. Mendekati

PILKADA Banten, kasus ini menjadi lebih hangat dan terbuka masuk pada

agenda politik masing-masing kandidat yang bertarung. Pada perkembangannya

secara garis besar pertarungan wacana mengarah pada perpaduan ideologi

pengelolaan kawasan korservasi berwatak konservasionis-developmentalistik

menjadi mengental di satu sisi yang diusung BTNUK, Pemerintah Daerah, YABI,

JRF dan para pendukungnya berhadapan dengan gerakan eko-populis yang

diusung kalangan LSM/NGO pendamping masyarakat, aktivis mahasiswa dan

jaringannya di sisi lain.

5.4 Aksi Petani; Bentuk dan Strategi Perlawanan

Meskipun ketegangan, teror dan konflik terus dialami masyarakat Legon

Pakis, berangsur-angsur warga berinisiatif untuk melakukan tindakan bersama

guna memperjuangkan nasib dan hak atas kawasan live space mereka di kawasan

TNUK yang hendak terampas paksa, khususnya program JRS/JRSCA yang di

dukung oleh Yayasan Badak Indonesia (YABI), BTNUK, Kementrian Kehutanan

dan Pemerintah Daerah. Sejak konflik terbuka 2007, masyarakat Legon Pakis

berjuang dengan beragam bentuk dan strategi perlawanan yang berbeda-beda,

tergantung pada kondisi internal dan ekternal para lembaga pendamping serta

kondisi semangat dan ketebalan kesolidan dan persatuan warga. Setidaknya

terdapat tiga periode bentuk aksi perlawanan masyarakat Petani Legon Pakis yang

Page 27: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

93�

di dukung oleh sebagian warga disekitarnya dalam memperjuangkan hak dan

nasib mereka selama ini sebagai masyarakat yang berada di dalam dan pinggiran

kawasan hutan konservasi TNUK, yakni aksi perlawanan diam-diam/terselubung,

aksi perlawanan konfrontataif dan aksi perlawanan yang negosiatif/kolaboratif.

Pertama, periode perlawanan terselubung/diam-diam. Aksi perlawanaan

pada periode ini dilakukan lebih banyak sendiri-sendiri atau bersifat individual.

Kalaupun berkelompok bukanlah disebabkan karena ikatan ideologi dan strategi

yang sistemik tertentu tetapi lebih banyak karena kesepakatan yangbersifat

sementara. Aksi diam-diam ini lebih banyak dilakukan masyarakat petani Legon

Pakis jauh sebelum hutan Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional pada

tahun 1984, hingga akhir Orde Baru. Pada saat itu, para petugas TNUK masih

bersenjata parang, belum senjata api. Sehingga tingkat “wibawa” dan

kegalakannya tidak seperti ketika bersenjata api pasca penetapan kawasan hutan

Ujung Kulon menjadi Taman nasional. Banyak ditemukan dari cerita warga yang

tinggal di dalam dan pinggiran kawasan bahwa sebagian besar pernah bahkan

sering secra personal sering bertengkar mulut, bahkan beberapa kali kotak fisik

dengan petugas, meski tidak sampai adakorban jiwa, dan jarang terekspose keluar.

Pertengkaran biasanya menyangkut larangan batasan garapan, pengambilan

sumberdaya non-hutan (madu, rotan), kadang juga pertengkaran akibat

pengambilan binatang tertentu seperti burung, kepiting, ikan, penyu dan lain-lain

di laut sekitar kawasan TNUK, dan juga pengambilan dan penebangan kayu

(untuk kepentingan sendiri, tidak komersil). Konflik-konflik kecil semacam itu

dianggap warga untuk menunjukkan eksistensi dan hak mereka sebagai

masyarakat yang hidup bertahun-tahun di sekitar/dalam hutan. meskipun mereka

tidak tahu-menahu persisnya hak-hak legal normatifnya.

Selain itu, aksi perlawan atas pelarangan dan tekanan dari beragam aturan

normatif TNUK yang harus mereka taati sehari-hari mereka ekpresikan dengan

mbalelo (ketidak patuhan) secara diam-diam atas aturan yang telah ditetapkan.

Misalnya, membangun pondasi rumah dan bangunan rumah secara semi

permanen, membangun tempat ibadah permanen, memasukkan penerangan

dengan listrik dari dusun/desa sebelah, memperbaiki jalan utama, membangun

sumur permanen dan sejenisnya. Hal-hal tersebut adalah sesuatu yang selam ini

Page 28: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

94��

menjadi larangan. Dengan larangan tersebut otoritas TNUK mengharapka agar

masyarakat lambat laun akan pindah dan gampang direlokasi dari wilayah tersebut

sewaktu-waktu. Dalam hal lain, masyarakat juga punya strategi sendiri untuk

menolak program penanaman bibit tanaman di pekaranga sekitar rumah dan lahan

garapan mereka, yang dipersepsi sebagai upaya terselubng untuk mempersempit

ruanghidup mereka. Cara yang dipakai adalah memelihara ternak ayam dan

kambing dan di biarkan untuk memakan bibit tanaman muda yang diberikan pihak

TNUK, atau kadang memotong akar tanaman agar lambat laun menjadi mati da

banyak lagi bentuk sejenisnya untuk menggagalkan secara diam-diam program

dan agenda pihak otoritas TNUK.

Dalam kehidupan sehari-hari ketidaksetujuan mereka atas aturan-aturan

pelarangan akses atas sumberdaya hutan mereka ekspresikan dengan cara

menggosip miring pribadi-pribadi kelakukan para petugas TNUK, dan

membincangkannya dalam guyonan dan obrolan sehar-hari. Dalam beberapa

kasus, masyarakat kadang bersikap diam atau acuh tak acuh atas kedatangan

petugas di dusun mereka, atau bahkan lebih baik menghindari atau tidak

menjumpainya. Termasuk ketidakpatuhan diam-diam dalam kegiatan dan aktifitas

yang ditetapkan baik mingguan atau bulanan oleh TNUK. Ketidak hadiran

masyarakat dalam beragam kegiatan tersebut adalah bagian dari sikap mbalelo

atas kebijakan TNUK.

Pada periode ini,bentuk perlawanan diam-diam atau terselubung ini

dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor; 1) belum adanya pendamping dari

luar masyarakat baik aktivis gerakan mahasiswa, maupuan LSM/NGO lokal

maupun nasioal yang masuk ke dusun mereka. 2) lokasi pemukinan masyaraat

masih terpencar dan isolative dari dunia luar mereka, termasuk dengan desa

tetangga. 3) adanya hubungan yang masih cukup harmonis dengan otoritas TNUK

waktu itu. Pada saat itu masih banyak petugas TNUK yang dekat dan dihormati

masyarakat karena mau mendengar dan mengayomi kebutuhan masyarakat.

Sehingga dianggap belum perlu untuk perlawanan langsung. 3) belum adanya

kelembagaan sosial kolektif sebagai media perlawanan. Aksi perlawanan lebih

bersifat individual atau paling besar adalah satu keluarga. 5) tekanan dan

ancaman yang diterima masyarakat dianggap belum mengancam batas subsistensi

Page 29: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

95�

mereka.78 Dengan kondisi dan situasi sebagimana diuraikan di atas, maka pada

periode ini masyarakat lebih banyak memilih aksi perlawanan diam-diam atau

terselubung daripada terbuka atau konfrontatif. Apa yang diungkapkan oleh salah

seorang tokoh warga Legon pakis berikut barangkai dapat mewakili sikap

masyarakat terhadap pertugas TNUK:

“…kami ini orang kecil mas, tidak tahu apa-apa soal hukum dan aturan di hutan ini. Tapi kami tahu bahwa kami harus tetap bisa hidup disini. Khan kami juga orang Indonesia? Dan wilayah ini khan masih wilayah Indonesia? Tapi kami takut kalau melawan langsung. Banyak teman kami warga di Legon dan Cikaung, dipenjara polisi dua hari dua malam, hanya karena potong kayu untuk perbaiki rumah. Padahal kayu yang dipotong itu ada di pekarangannya sendiri. Makanya, kami disini ya diam-diam saja kalau ndak suka sama aturan dan petugas dari balai. Yang penting mereka tidak tahu saja, dan kami tetap diperbolehkan tinggal disini..(Kang JR)

Kedua, periode perlawanan konfrontatif. Periode perlawanan langsung ini

muncul setelah masuknya pendamping dari organisasi mahasiswa berideologi kiri

yang memiliki afiliasi gerakan secara nasional, dari wilayah Pandeglang. Yang

dimulai sejak pasca konflik terbuka tahun 2007. Bentuk konfrontasi yang

dilakukan adalah dengan cara gerakan aksi massa atau demonstrasi, kampanye

politik di beberapa organisasai lingkungan dan HAM serta pengaduan hukum di

tingkat nasional pernah dilakukan pada saat awal pasca konflik 2006. Dalam

periode ini suara perlawanan masyarakat dalam bentuk tekanan dan penolakan

dilakukaan dengan tekanan langsung dengan mendatangi lembaga-lembaga

pemerintah pendukung BTNUK, hingga ke kementrian kehutanan dan meminta

dukungan kepada KOMNAS HAM dan lembaga perbantuan hukum lainnya. Pada

periode ini konsolidasi dan mobilisasi massa berlangung intensif.

Namun, karena di internal masyarakat masih belum terbangun solidaritas

komunal yang kuat, dan intensitas para pendamping yang juga makin berkurang

selepas upaya keras untuk penyelesaian hukum, aksi-aksi konfrontasi dianggap

sudah selesai. Selain itu, masyarakat juga sudah mersa lelah terkuras tenaga,

pikiran dan waktu mereka untuk aksi-aksi konfrontasi. Maka, setelah kasus

hukum penangkapan warga diselesaiakan aksi perlawanan masyarakat petani

������������������������������������������������������������78� Hasil wawancara dan Focus Discussion Group (FGD) dengan sesepuh Legon Pakis dan sekitarnya, 2009, dan akhir 2010.�

Page 30: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

96��

Legon pakis kembali mengalami masa surut. Sementara persoalan konflik

keseharian tetap berlangsung.

Ketiga, periode perlawanan negosiatif/kolaboratif. Pada kurun waktu

2008-2010, masyarakat kembali bergairah untuk mencari penyelesaian konflik

yang lebih menyeluruh, terkait dengan tuntutan pengakuan kawasan pemukiman,

garapan dan akses hak-hak dasar mereka yang masih terkatung-katung. Dengan

cara mengundang dan belajar bersama dengan para aktivis lingkungan, hukum,

lembaga riset dan LSM lainnya untuk mencari bentuk dan model resolusi konflik

dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan yang lebih kolaboratif, partisipatif dan

lebih adil bagi keberlangsungan hidup mereka sekarang dan akan datang sekaligus

mampu membangun hubungan harmonis kembali dengan BTNUK yang sempat

retak. Usaha-usaha aksi kolektif warga ini masih berlangsung hingga kini, salah

satunya adalah usulan pengelolaan hutan konservasi partisipatif dengan

memanfaatkan konsep Zona Khusus yang merujuk pada aturan Permenhut 2006.79

Dalam periode ini, dilakukan beberapa tahap dan proses fasilitasi;

pertama; sosialisasi dan diskusi terkait materi Zona Khusus, sampai mana relevan

dan diterima sebagai jalan penyelesaian yang mampu win-win solution. Hasil

kajian atas persepsi dan fasilitas Tim Pendamping atas konsep Zona Khusus,

dapat dipetakan lima keinginan masyarakat; 1) Zonasi Khusus diharapakan dapat

menjawab tuntutan kejelasan batas garapan lahan sawah dan kebun yang telah

mereka garap selama ini, dengan harapan untuk dapat diakses dan dimanfaatkan

hasilnya seluas-luasnya dan dapat turun menurut pada keturunan mereka. Selain

itu, hasil garapan mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan

kebutuhan kayu untuk perbaikan tempat tinggal dari hasil tanam mereka sendiri.

2) Zonasi Khusus diharapkan dapat menjawab kebutuhan rasa aman menggarap

lahan. Sesuatu yang tidak mereka miliki selama ini. Dengan adanya zonasi khusus

yang dianggap memiliki ‘payung hukum’ akan dapat menyelesaiakan kondisi

tidak aman mereka dalam mengerjakan dan menggarap lahan mereka. Ketiga,

������������������������������������������������������������79 Zona Khusus adalah salah dari beberapa Zonasi (Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, Zona Religi dll) untuk mengatur kawasan di Taman Nasional seluruh Indonesia. Secara normatif Zona Khusus berisi tentang pengakuan terhadap keberadaan kehidupan masyarakat beserta sarana dan prasarana penghidupannya sebelum Taman Nasioanl ditetapkan, sarana-prasarana tersebut antara lain infrastruktur jalan, listrik dan telekomunikasi. Lebih jauh lihat, Permenhut No. P. 26/Menhut/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.

Page 31: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

97�

zonasi khusus diharapakan dapat menjawab kejelasan wilayah zonasi-zonasi dan

batas wilayah BTNUK dan batas milik warga. Sesuatu yang masih belum

disepakati bersama antar warga dan BTNUK. Warga Legon Pakis hingga

sekarang masih meyakini batas lama (Cihujan dan Cilintang) sebagai batas

wilayah hutan Titipan yang boleh mereka manfaatkan. Dan tidak akan mengusik

hutan tutupan di luar sungai Cihujan dan Cilintang. Suatu keyakinan yang telah

diturunkan oleh leluhur mereka sejak menetap di sekitar hutan Ujung Kulon.

Namun kini, batas baru TNUK telah masuk ke wilayah yang menjadi

lahan garap warga. Dengan tawaran penyelesaian zonasi khusus ini diharapakan

dapat duduk bersama lagi guna membangun kesepakatan untuk mencari jalan

terbaik bagi kejelasan batas BTNUK dan mana batas sawah, kebun, hutan inti dan

pemukiman yang boleh ditinggali warga. 4) Zonasi Khusus diharapakan dapat

menjawab kebutuhan warga guna meningkatkan kesejahteraan hidup dan

peningkatan ekonomi mereka. Dengan kejelasan batas yang (nantinya) dapat

disepakati, warga memiliki gagasan bahwa 50 meter dari batas kesepakatan akan

diatandai dengan tanaman buah-buahan dan yang menghasilkan, seperti pete,

jengkol dll yang akan diambil untuk menambah kebutuhan sehari-hari warga Lego

Pakis secara kolektif. Sebab, warga sudah punya konsep untuk mengelola lahan

50 meter tersebut sebagai hutan desa yang dikelola bersama dan untuk kebutuhan

lumbung kampung, mungkin juga desa, dan akan digunakan bersama sesuai

kesepakatan bersama.

Pada gilirannya nanti masyakakat diharapkan dapat menyusun sendiri

mekanisme pengelolaan hutan rakyat tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka

sendiri. 5) Zonasi Khusus diharapakan dapat menjawab kebutuhan mereka untuk

menemukan mekanisme membangun kesepakatan bersama sesama warga

sekampung untuk membangun ruang dialogis yang setara, adil dan saling

menguntungkan dengan pihak BTNUK yang selama ini kerap kandas di tengah

jalan. Dengan kesepakatan yang kuat dan adil diharapkan selain dapat menyudahi

konflik yang berkepenjangan juga dapat kembali membangun hubungan harmonis

antara warga dan BTNUK yang pernah mereka rasakan pada periode akhir ‘90-an

dan awal 2000-an, dan mulai rusak sejak dua periode sebelum sekarang. Suatu

Page 32: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

98��

hubungan dialogis dan saling mendukung yang sangat masyarakat Legon Pakis

harapkan, juga pihak BTNUK sekarang.

Kedua, tahap pelatihan secara partisipatif berupa metode pemetaan

partisipatif, sekaligus praktik dilapangan. Tahap ini merupakan tonggak

membangun kesadaran spasial masyarakat atas sumberdaya yang mereka miliki

selama ini. Ketiga, belajar bersama materi-materi negosiasi guna rencana

perundingan yang akan menjadi arena mempertarungkan gagasan Zona Khusus.

Untuk tujuan ini maka dibentuk Tim Sepuluh oleh masyarakat sendiri yang berisi

wakil-wakil dari warga yang nantinya mampu membawa suara masyarakat dalam

perundingan. Melalui mekanisme inilah tahap awal penguatan argumenasi

masyarakat untuk penyelesaian konflik secara kolaboratif diretas.80

Pilihan masyarakat Legon Pakis untuk menggunakan tawaran konsep Zona

Khusus di dasarkan pada keinginan yang kuat untuk segera menyelesaikan dengan

tuntas konflik mereka dengan BTNUK yang selama ini telah menguras energi,

pikiran dan batin warga Legon Pakis. Selama pasca konflik terbuka tahun 2007,

masyarakat Legon Pakis terus-menerus menjadi kuatir, tidak tenang, terteror

dalam beragam aktifitas mereka sehari-hari. Masyarakat merindukan kehidupan

yang lebih tenang dan tentunya mampu mewujudkan bersama Hutan Lestari

Rakyat Sejahtera sebagaimana slogan BTNUK.

Dinamika bentuk dan aksi perlawanan petani di Legon Pakis atas

kekuasaan BTNUK, jika dilihat dari gaya sengketa (conflict style) menurut

Isenhart dan Spangle (2000) sebagaimana dirujuk Pasya dan Sirait (2010)

Nampak mengalami pergeseran dari bentuk saling menghindar, kompromis dan

akhirnya lebih bercorak kolaboratif.81 Periode awal usaha-usaha menyelesaikan

konflik sejak November kelabu 2007, lebih bercorak saling menghindar. Sebab,

pasca kekerasan fisik para pihak yang bersengketa tidak ingin terjadi konflik

������������������������������������������������������������80 Disarikan dari Laporan Pendampingan Sosial-Ekonomi dan Pemetaan Partisipatif untuk Penyelesaian Konflik Masyarakat di Ujung Kulon. Dilaksanakan oleh Tim Pendampingyang terdiri dari Sajogyo Institute (SAINS), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Latin, 2009. 81 Terdapat empat gaya sengketa (conflict style); (1) saling menghindar, (2) akomodatif, (3) kompromis, (4) kompetitif, (5) kolaboratif. Gaya sengketa ini memiliki efektifitas nya sendiri-sendiri dalam penyelesaian konflik di dasarkan pada bagaimana kekuatan-kekuatan pihak yangbersengketa. Lebih jauh lihat, Gamal Pasya dan Martua T. Sirait, Analisis Gaya Sengketa (AGATA); Panduan Ringkas untuk membantu memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam, (Bogor; Shamdana Institute, 2011), hlm. 11-12.

Page 33: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

99�

kembali. Ketidak selesaian akar masalah konflik menjadi dasar utama masing-

masing pihak untuk tidak mau membuat komitmen yang mengikat. Dalam situasi

yang masih saling menyimpan dendam diam-diam, curiga, antipati dan jauh dari

rasa saling percaya dan kerumitan-kerumitan hubungan anatar pihak, hampir tidak

mungkin penyelesaian dilakukan dengan jalan kesepakatan damai. Jika pun

dipaksakan akan mudah retak kembali.

Setelah waktu berjalan cukup lama, dan masing-masing pihak yang

berkonflik yakni, masyarakat Legon pakis semakin menyadari pentingnya

membangun hubungan kembali dengan BTNUK, dan pihak BTNUK juga

semakin meyakini pentingnya keseimbangan hubungan dengan masyarakat sekitar

kawasan, mulai muncul keinginan untuk menawarkan gagasan kompromi mencari

jalan tengah demi kebaikan bersama. Mulailah disusun usaha pertemuan multi

pihak guna mencari kepentingan dan kesepemahaman dari masiang-masing.

Masyarakat tetap menuntut bahwa perlu ada pengakuan wilayah pemukiman dan

lahan garapan mereka berupa sawah dan kebun campuran, sementara BTNUK

memeinta agar masyarakat terintegrasi dalam aturan kawasan konservasi yang

sudah ada. Sebab kawasan mereka seluruhnya berada di wilayah konservasi.

Terhitung dua kali usaha untuk menemukan ruang kompromi ini. Namun, karena

belum adanya itikad dan konsep yang melandasi bagi kompromi masing-masing

kepentingan dan tidak adanya jembatan bagi kedua pihak yang berkonflik. Tahap

kompromi ini masih menemuai jalan buntu, dan masing-masing baru saling

memahami kepentingan masing-masing. Sehingga meskipun sudah saling

memberi demi kepentingan kompromi, namun sebenaranya belum ditemukan

kepuasan bagi masing-masing pihak.

Pada periode ketiga, yakni periode negosiatif atau kolaboratif masyarakat

yang terus menginginkan bentuk penyelesaian win-win solution dengan cara

belajar bersama dengan Tim Pendamping (LSM/NGO), mencoba strategi untuk

melakukan negosiasi melalui perundingan multi pihak. Keberadaan Tim Sepuluh

dan Tim Pendamping menambah rasa percaya diri masyarakat Legon Pakis untuk

penyelesaian masalah secara terpadu. Maka disusunlah kerangka argumen dan

konsep pengelolaan kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran berdimensi

sosial, ekonomi dan ekologis dalam batas kawasan hasil pemetaan partisipatif

Page 34: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

100��

berlandaskan Zona Khusus. Konsep ini ditawarkan kepada BTNUK dengan

difasilitasi oleh Tim Pendamping yang melakukan ‘diplomasi bolak-balik’.

Setelah konsep tata kelola dan guna kawasan dalam Zona Khusus terbentuk maka

tawaran perundingan dilakukan. Meski gagal dalam dua kali rencana, namun

akhirnya dapat terwujud, dalam sebuah pertemuan besar melibatkan multi pihak

yang berkepentingan dalam pengelolaan kawasan TNUK.82

Pilihan jalan negosiasi dengan dasar konsep legal Zona Khusus ini

merupakan tawaran “jalan tengah” bagi penyelesaian konflik warga dan BTNUK,

sebab lintasan sejarah perlawanan warga sebelumnya lebih banyak mengandalkan

aksi-aksi massa dan strategi “hitam-putih” atau “menang-kalah”, ternyata

menemui jalan buntu, karena berbenturan langsung dengan politik kekuasaan

BTNUK yang masyarakat tidak siap menerima akibat baliknya, yaitu beragam

bentuk-bentuk tekanan, pembatasan dan teror yang lebih meningkat oleh petugas

lapang BTNUK. Selaras dengan apa yang diungkapkan Peluso (2006), bahwa

paksaan dan tekanan (koersi) bukanlah sesuatu yang selesai dan berdiri sendiri

melainkan bagian dari proses yang terus berlangsung, ketika satu pihak berupaya

menguasai sumberdaya yang diklaim oleh pihak lain. Tentu saja proses menuju

penyelesaian kolaboratif ini bukanlah kesimpulan tunggal, tetapi lebih

dikarenakan pilihan strategis bagi kondisi yang memungkinkan masyarakat saat

ini memilih jalan tersebut. Bisa jadi dalam kondisi lain, masyarakat akan

mengubah strategi perlawanannya sesuai dengan kondisi dan tantangan

zamannya83.

������������������������������������������������������������82 Pertemuan dengan tema dan Proyek JRS/JRSCA terdiri dari; Tim 10 (wakil masayarakat), Tim Pendamping Warga (LSM/NGO), BTNUK, MUSPIDA, YABI, WWF, Aparat Keamanan, dan beberapa LSM yang terkait dengan lingkungan hidup dan konservasi Meski hasil pertemuan tersebut belum memenuhi keinginan masyarakat Legon Pakis, dan lebih menguntungkan pihak TNUK dan YABI. Namun, melihat kondisi internal masyarakat dan pertimbangan-pertimbangan jangka panjang dari akibat balik dari pertenmuan tersebut, kesepakatan multipihak tetap diterima oleh masyarakat Legon Pakis. Meskipun para Tim Pendamping merasa kesepakatan tersebut dirasa belum adil dan lebih memihak kepentingan proyek JRS dan konservasi Badak Jawa ketimbang niat untuk keseimbangan konservasi dan kesejahteraan masyarakat pinggiran kawasan hutan. (Hasil wawancara dengan Tim Sepuluh dan pengamatan langsung penulis dalam pertemuan di Hotel Kharisma Labuan, tanggal 21-22 Maret 2011)

83 Terima kasih mendalam pada Prof. Tania Li atas masukan dan kritiknya untuk tidak gampang percaya pada kemudahan-kemudahan memberi label, kategori dan “penunggalan” pilihan strategis perlawanan (masyarakat petani) yang tidak mempertimbangkan aspek dinamis, spasial ruang dan waktu beserta rasionalisasi resiko, untung rugi dari sebuah perlawanan masyarakat petani.

Page 35: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

101�

Usaha ke arah upaya resolusi konflik dan negosiasi multi pihak masih

terus dilakukan oleh warga dengan didampingi dan dijembatani oleh beberapa

Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO dengan tetap mengusung gagasan

pengelolaan kolaboratif dengan konsep Zona Khusus. Di tengah usaha negosiasi

yang belum terwujud, muncul tantangan baru berupa kolaborasi Proyek

Penangkaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia (YABI) yang di danai oleh

Internasional Rhino Foundation (IRF), dan telah di tandatangai oleh Menteri

Kehutanan, Gubernur Banten dan TNUK pada Juni 2009 lalu84. Proyek yang

ditargetkan berjalan tahun 2011-2015 ini ingin mengembangkan eko-wisata

Badak Jawa sebagai ikonnya. Ironisnya, proyek besar yang praktiknya --telah

dimulai awal tahun 2011 lalu-- berupa “pemagaran” wilayah kawasan TNUK di

sebelah selatan Gunung Honje seluas 3000 ha, ini justru mengklaim dan

menabrak ratusan lahan sawah dan kebun campuran yang telah bertahun-tahun

menjadi sandaran ruang hidup warga di pinggiran hutan. Dan kawasan yang

paling terbesar yang akan terkena proyek ini adalah kampung Legon Pakis dan

sebagian kecil di wilayah kampung Cikaung Girang.

Benturan kepentingan aksi-reaksi pihak-pihak yang lebih beragam meletup

kembali, dengan kontestan yang lebih beragam, antara warga pinggiran hutan

(Legon Pakis) dan LSM/NGO pendamping warga dengan BTNUK, YABI,

PEMDA-Provinsi-Kabupaten, serta Otoritas Kehutanan yang terkait. Pertarungan

dan kontestasi antar aktor dan kepentingan yang berlangsung didukung oleh

jaring-jaring aktor di lapangan, orang-perorang, kelembagaan, komunitas,

pemerintahan/birokrasi, yang melibatkan beragam situasi-situasi politik-sosial-

ekonomi di tingkat global-nasional-lokal beserta kompleksitas strategi, ideologi,

paradigma di masing-masing kepentingan dan aktor yang bertarung. Singkatnya

proyek JRS/JRSCA menjadi salah satu arena besar --dari turunan arena-arena lain

yang lebih kecil-- dari beragam kepentingan dan aktor bertemu dan bertarung di

gelanggang alami yang berupa kawasan hutan konservasi TNUK.

������������������������������������������������������������84 http://alamendah.wordpress.com/2010/06/22/penangkaran-badak-jawa-di-gunung-honje/, dan lihat juga http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/06/22/21168/Penangkaran-Badak-Jawa-Objek-Wisata-Baru-TN-Ujung-Kulon/, diunduh tanggal 5 Februari 2011.

Page 36: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

102��

Di atas semua kontestasi pertarungan kepentingan dan aktor yang akan dan

sedang berlangsung, masyarakat Legon Pakis telah menyepakati perlunya peluang

dan jalan penyelesaian alternatif dalam tindakan kolektif mereka dengan

mendasarkan pada kepentingan keselamatan, keamanan dan masa depan

kehidupan mereka beserta aset-aset dan basis subsistensi ekonomi mereka di

kawasan sekitar TNUK. Sehingga pilihan strategi yang ditempuh cenderung

menghindari konfrontasi langsung dengan pihak lain yang bertentangan, dan

mempertimbangkan efek balik resiko yang sekecil-kecilnya –belajar dari beberapa

kejadian dan peristiwa sebelumnya--.Di sisi lain rejim BTNUK memiliki gaya

koersi dan represifitas yang mendasarkan pada kemampuan konsolidasi kekuatan

milisi sipil “Jawara” Banten (dengan istilah Pam Swakarsa) yang dikendalikan

melalui perekrutan untuk petugas keamanan, dan sebagian dipelihara dengan baik

oleh beberapa senior BTNUK sebagai kekuatan penekan “vertikal” dan

“horizontal”.

Kondisi semacam ini lebih jauh akan memperlihatkan situasi sosial lokal

yang khas, baik tindakan kolektif warga pinggiran hutan maupun reaksi dari

BTNUK. Pada titik inilah strategi kolaboratif dalam pengelolaan kawasan

konservasi di kawasan TNUK diinginkan oleh masyarakat. Meski terdapat hal-hal

yang spesifik terjadi di TNUK, namun pada irisan tertentu konflik dan cara

penyelesaian yang muncul bisa jadi memiliki irisan yang sama dengan fenomena

umum yang juga terjadi dalam konteks pertarungan kepentingan yang berujung

konflik agraria di kawasan Taman Nasional Indonesia. Di satu sisi, tawaran

pengelolaan Zona Khusus memiliki peluang untuk membuka dialog ke arah

kolaborasi yang menguntungkan kedua belah pihak masyarakat sekitar/dalam

kawasan dan BTNUK.

Namun karena belum adanya kesetaraan pengetahuan dan kekuatan antara

keduanya gagasan ini masih belum sampai pada kesetaraan. Sehingga dalam

momen tertentu, sebagaimana pertemuan di Hotel Kharisma, tahun 2010,

masyarakat dipaksa harus menurut dan mengalah pada kepentingan pihak

BTNUK dan YABI untuk pemagaran Badak dan merelakan 110 ha lahan kebun

campuran mereka masuk kawasan lagi. Dengan demikian proses menuju

pengelolaan kolaboratif mesti memenuhi prasyarat kesetaraan (politik,

Page 37: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

103�

pengetahuan, tujuan), dialogis dan terbuka untuk saling dikritisi, sehingga dalam

prosesnya ada take and give secara seimbang. Dengan kata lain kolaborasi mesti

berorientasi problem-solving, mutual benefit. Mensyaratkan mutual-trust, open

sharing of information, dan kreatifitas. Yang terjadi baru pada tahap akamodasi,

sebab masih ada salah satu yang memiliki kekuasaan (power) lebih kuat dibanding

lainnya. (Pasya dan Sirait, 2010).

Dengan demikian, sulit diharapkan jika masih tahap akomodatif semacam

itu mampu menghasilkan penyelesaian konflik yang konperhensif dan bisa

diterima kedua belah pihak. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk

pengulangan negosiasi dan membangun kembali ke arah idealisasi kolaborasi

pengelolaan kawasan konservasi, selama prasyarat-prasyarat di atas dapat

dipenuhi. Pada titik inilah aksi kolektif warga mesti mampu meningkatkan

kemampuan dan ketrampilan pada upaya negosiasi dan dialog yang setara

sekaligus mampu berjejaring lebih luas tidak hanya mampu sebagai preasure

groups.

Secara umum pasang surut aksi dan perlawanan petani di Legon Pakis

khususnya dan masyarakat sekitar dan dalam kawasan TNUK dalam periode

waktu bentuk aksi dan faktor pendukungnya dapat disingkat dalam tabel berikut;

Tabel 10. Bentuk, Periode, Faktor Pendukung/Pembentuk dan Aksi/Tindakan

Perlawanan Petani

NO

Bentuk Perlawanan

Petani Periode Perlawanan Faktor Pendukung dan

PembentukAksi/ Tindakan

Perlawanan

1. Diam-diam/Terselubung

Sebelum Penetapan Kawasan TN (Era Kolonial-Akhir Orde Baru)

� Banyak terjadi di sepanjang era Kolonial sampai dengan masa akhir orde baru. Selain banyak lokasi desa yang cukup terisolasi dari dunia luar, juga menyebabkan belum masuknya kelompok LSM/NGO dan Aktivis pendamping lainnya ke desa-desa sekitar dan dalam kawasan TNUK

1. Ketiadaan intervensi dari luar

2. Lokasi-lokasi desa yang masih isolatif

3. Masih tersedianya akses dan harmonisasi hubungan antara masyarakat dan BTNUK yang masih bisa saling dinegosiasikan

4. Belum adanya kelembagaan sosial untuk media kolektif perlawanan.

5. Tekanan dan ancaman yang diterima masyarakat dianggap belum mengancam

1. Ketidakpatuhan atas aturan dan peraturan yang berlaku (seperti; tetap membangun rumah semi permanen, buat tempat ibadah, buat jalan, saluran listrik, dll)

2. Ketidaksingkronan antara yang dikatakan dan yang diperbuat

3. Gosip miring dan pemberian julukan miring bagi petugas BTNUK.

4. Mematikan tanaman di pekarangan rumah secara diam-diam

Page 38: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah

104��

batas subsistensi mereka.

(memelihara ternak).

2. Konfrontatif/Terbuka

Awal Penetapan Kawasan TN- Puncak Konflik (sejak 1984, 1992-2007)

� Perlawanan bersifat konfrontatif mulai terjadi sejak ada pergeseran batas TNUK memakan sebagain dan seluruh dusun termasuk di dalamnya kebun dan sawah. Hingga terjadi korban penembakan warga oktober 2006.

1. Semakin terhambatnya akses dan kontrol akibat penetapan kawasan TN dan pergeseran batas

2. Mulai masuknya aktivis mahasiswa dan LSM (Advokasi Hukum dan Riset Partisipatoris)

3. Mulai munculnya kesadaran kolektif dalam kelembagaan sosial

4. Semakin represifnya tindakan penanganan BTNUK terhadap aktifitas masyarakat sekitar dan dalam kawasan

1. Melakukan aksi massa bersama Aktivis Mahasiswa di tinggkat lokal dan nasional

2. Kampanye (dan mengundang) ke beberapa lembaga LSM/NGO (Hukum dan Lingkungan) Lokal-Nasional

3. Audiensi dengan pemerintah daerah dan Pusat yang terkait

4. Pembentukan SerikatTani

5. Pendidikan Advokasi dan Perlawanan

3. Kolaboratif-Negosiatif

Pasca Penetapan (Pasca Konflik Terbuka 2007- 2010)

� Fase ini dilakukan sejak ‘perlawanan konfrontatif’ dianggap kontraproduktif,menguras banyak energy, dana dan efek balik yang merugikan keseharian warga

1. Masuknya kelomppok LSM/NGO yang mampu bermain dan memiliki kemampuan diplomasi dua belah pihak (Masyarakat dan BTNUK).

2. Terbitnya Permenhut no 5 2006 tentang pengaturan kembali Zonasi dalam kawasan TN. Lebih khusus menggunakan peluang Zona Khusus bagi pengakuan pemukiman dan sarana pendukungnya.

3. Terbukanya kesempatan politik yang lebih besar (akibat pergantian Kepala Balai TNUK)

4. Kesadaran untuk membangun hubungan harmoni kembalai dengan BTNUK demi kepentingan jangka panjang.

1. Pelatihan Pemetaan Partisipatif (untukmemetakankembali wilayah masyarakat untuk kepentingan Zona Khusus)

2. Pembentukan Tim 10 sebagai negosiator perundingan dan pelatihan negosiasi

3. Penyusunan konsep tawaran Zona Khusus sebgai win-win solution

4. Mengundang untuk forum perundingan dan negosiasi multi pihak

5. Memperluas dukungan multi pihak (LSM/NGO, Aktivis Lingkungan, Pemda, dll) untuk negosiasi menemukan ‘jalan tengah; penyelesaian konflik.

��