bab v bentuk fisik kota magelang periode …...116 gambar 5.1 permukiman pada periode kerajaan...
TRANSCRIPT
115
BAB V
BENTUK FISIK KOTA MAGELANG
Bab kelima ini menjelaskan bentuk fisik kota yang dieksplorasi berdasar
perkembangan ruang yang sama pada setting Kota Magelang.
5.1 Periode Kerajaan dengan Beberapa Embrio Perkembangan Kota
Periode ini menceritakan tentang desa-desa yang menjadi cikal bakal
berkembangnya Kota Magelang dan sekitarnya pada periode Kerajaan Mataram
Kuno, Demak dan Mataram Baru.
5.1.1 Desa-desa sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Mataram Kuno
5.1.1.1 Pembentukan desa-desa pada periode Kerajaan Mataram Kuno
Prasasti Tuk Mas, Mantyasih dan Poh merupakan beberapa desa yang
berkembang pada periode Kerajaan Mataram Kuno. Mengacu pada Prasasti
Mantyasih dan Poh yang terletak di tepi Timur Sungai Progo, terdapat beberapa
nama yang bisa dikaitkan dengan Kota Magelang, antara lain yaitu :
a. Mantyasih ………………………… Meteseh
b. Poh ……………………………….. Dumpoh
c. Galang/Glam ……………………... Magelang
d. Glanggang ………………………... Gelangan
e. Kerajaan ………………………….. Meteseh Krajan
f. Kejayaan (kemenangan)………….. Meteseh Jayengan
g. Wuatan …………………………... Botton
h. Susundara ……………………….. Gunung Sindoro
i. Sunwing ……………………………… Gunung Sumbing
j. Kuning Kagunturan (Desa Kuning dan Desa Guntur di sebelah Barat
Sungai Progo) dan Gilikan (Pelikan, Plikon), di Kabupaten Magelang.
116
Gambar 5.1 Permukiman pada Periode Kerajaan Mataram Kuno
(sumber : modifikasi Utami, 2010)
Gelangan
Meteseh Jayengan
Meteseh Krajan
Dumpoh
Posisi Prasasti Tuk Mas,
Mantyasih dan Poh
Lokasi desa yang disebutkan di Prasasti Mantyasih dan Poh
Prasasti Tuk Mas
Prasasti Tuk Poh
Prasasti Tuk Mantyasih
Kota Magelang dengan Karesidenan
Kedu tahun 1871
117
Tuk Mas berada di tepi Sungai Elo, Desa Poh dan Desa Mantyasih berada
di sepanjang sungai Progo telah berkembang seiring dengan penggunaan Sungai
Elo dan Sungai Progo sebagai sungai yang disucikan. Poh dan Mantyasih yang
letaknya berdekatan dan berada di sepanjang Sungai Progo dijadikan acuan dalam
mempertimbangkan keberadaan wanua (desa) pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Apalagi hal ini juga didukung oleh daerah-daerah di Kabupaten Magelang namun
berbatasan langsung dengan Kota Magelang dan Sungai Progo, yang terkait erat
dengan kegiatan pada periode tersebut dan dapat dilihat keberadaannya saat ini.
Desa Kuning Kagunturan, saat ini adalah Desa Kuning dan Desa Guntur
(Darmosoetopo, 1998) merupakan salah satu desa di dekat Mantyasih dan Poh.
Munculnya kata jayengan (kejayaan) dan krajan (kerajaan) dipercaya masyarakat
juga sebagai bagian dari kerajaan (wawancara masyarakat, 2009).
Casparis (1950 : 158) menjelaskan tentang kemungkinan Desa Mantyasih
sebagai salah satu pusat kegiatan yang ada pada masa Mataram Kuno. Seperti
yang terlihat pada Gambar 5.2 yang memperlihatkan desa yang berkembang.
“…..Het centrum is thans zonder moeite te bepalen. De desa Kedu
komt iets ten zuiden van de stichting (Mantyasih) te liggen. Indien,
zoals bleek, de eerste met de nog bestaande desa Kedu te identificeren
is, komt men voor Mantyasih op een punt, dat met alle gegevens in
overeenstemming is. Men cocludeert, dat de oorkonde uit de Kedu uit
deze onmiddellijke omgeving afkomstig is…… “(Casparis, 1950 : 158)
“… Pusatnya dapat ditentukan tanpa kesulitan. Desa Kedu berada
sedikit di sebelah Selatan Mantyasih. Jika desa pertama itu dapat
diidentifikasi sebagai desa Kedu yang masih ada sampai sekarang,
maka sebelum Mantyasih, kita akan sampai pada satu titik, bahwa
semua data itu sesuai. Disimpulkan bahwa piagam Kedu berasal dari
tempat ini… “ (Casparis, 1950 : 158)
Sementara itu juga disebutkan tentang wanua Mantyasih yang dikelilingi
oleh 24 wanua yang ada (Casparis, 1950 : 156) :
Het eerste punt kan bij benadering worden bepaald, daar de in te
wijden gronden van Balitung’s oorkonde onder meer wouden op de
Sumbing en Sendara omvat. In verband daarmee is te veronderstellen,
dat het centrum der stichting gezocht moet worden in de omgeving van
de belangrijke weg, die, tussen beide genoemde Bergen doorlopend,
het noorden van de Kedu met het Dieng-plateau verbindt. Met behulp
118
van de desanamen, kan het betreffende punt nauwkeuriger bepaald
worden op de volgende wijze. Het blijkt, dat in de opsomming der 24
desa’s acht opeenvolgende namen voorkomen, die men niet in de
inscriptie uit 842 terugvindt (Casparis, 1950 : 156).
Titik pertama dapat ditentukan dengan pendekatan itu, tanah- tanah
yang disebut dalam piagam Balitung antara lain meliputi hutan- hutan
di Sumbing dan Sendara. Sehubungan dengan itu dapat diduga bahwa
pusatnya harus dicari di kawasan jalan penting, yang berada di antara
kedua gunung tersebut, yang menghubungkan sebelah Utara Kedu
dengan dataran tinggi Dieng. Dengan bantuan nama- nama desa, maka
titik dimaksud dapat ditetapkan dengan cara berikut. Ternyata dalam
penyebutan ke 24 desa, delapan nama yang disebut berturut- turut,
tidak dapat ditemukan kembali dalam prasasti 842 (Casparis, 1950 :
156)
Casparis telah menyebut Mantyasih sebagai centruum dan sebagai
belangrijk punt, dengan analogi sebagai pusat dan berada di antara wanua-wanua,
dan sebagai pengontrol wanua-wanua lainnya (Casparis, 1950). Jika analogi
tersebut benar, maka bisa dikatakan bahwa daerah Mantyasih sebagai salah satu
pusat kegiatan yang berkembang karena lokasinya di tepi sungai dan
keberadaannya mempengaruhi kegiatan masyarakat pada saat itu.
Gambar 5.2 Lokasi skematis desa-desa Kedu Kuno pada masa pemerintahan
Balitung
(sumber : digambar ulang dari Casparis, 1950: 74)
119
Gambaran kondisi ruang yang berkembang juga diceritakan oleh Casparis
(1950: 74) dengan menuliskan beberapa catatan terkait kesuburan tanah dengan
sawah yang terbagi dalam beberapa pembagian wilayah kepemimpinan, seperti
beberapa tulisan yang terdapat di prasasti Kahulunnan, diantaranya :
“… n winihnya hamat punah sawah ning winkas winihnya hamat 5
punah sawah ning …. Huma karua winihnya hamat …. Kinon cri
kahulunnan … “ (Casparis, 1950: 74)
“ … (i bhumi) sambhara sawah kanayakan winihnya hamat 8 punah
sawah ning winkas winihnya hama punah sawah ning wadya humma
karua winihnya hamat kinon cri kahulunan….”
Wanua-wanua yang diidentikkan dengan lahan pertanian menggambarkan
setidaknya pada masa itu masyarakat bergerak di bidang pertanian. Penjelasan ini
didukung dengan adanya prasasti Karang Tengah yang menjelaskan tentang
pembagian sawah dalam kepemilikan tanah sawah yang digarap (Casparis 1950).
Selain itu juga diperlihatkan dalam pahatan-pahatan yang ada pada relief-relief di
candi Borobudur yang merupakan gambaran masa lalu masyarakatnya.
Beberapa catatan di prasasti yang menyebutkan adanya lahan yang digarap
(sawah) pada periode Kerajaan Mataram Kuno antara lain adalah :
a. Rmmodaya mahasambhu.umingsor I rakaryan mapatihi
hino.halu.sirikan.wka.halaran.tiruan.palarhyang.manghuri.wadih
ati.makudur.kumonnakan nikanang wanua I mantyasih winih ni
sawahnya satu. Muang a- (Dharmmodaya Mahasambu,
menurunkan perintah kepada Rakaryan Mahapatih di Hino, Halu,
Sirikan, Wka, Halaran, Tiruan, Palarhyang, Manghuri, Wadihati,
Makudur, memerintahkan kepada desa (wanua) Mantyasih,
benihnya di sawahnya satu (akan menerima sawah yang sama))
(Mantyasih sisi depan A2)
b. “… n winihnya hamat punah sawah ning winkas winihnya hamat
5 punah sawah ning …. Huma karua winihnya hamat …. Kinon
cri kahulunnan … “ (Casparis, 1950)
c. “ … (i bhumi) sambhara sawah kanayakan winihnya hamat 8
punah sawah ning winkas winihnya hama punah sawah ning
wadya humma karua winihnya hamat kinon cri
kahulunan….”(Casparis, 1950)
120
Selain itu juga terdapat beberapa sumber lain yaitu :
a. Clifford Geerts dalam Boedihartono dkk (2009) menjelaskan bahwa sistem
padi sawah yang integral mulai berkembang di Jawa tengah pada abad 8.
Daerah pertanian mula-mula muncul di sekitar dataran segi empat yang
dikelilingi oleh Gunung Sumbing, Sindoro, Merapi dan Merbabu, juga di
daerah sekitar Sungai Progo, Magelang.
b. Boedihartono (2009) menjelaskan desa atau wanua merupakan komunitas
pertanian yang disatukan oleh penguasa seorang rama. Penyatuan tersebut
dijadikan kelompok yang lebih besar dengan adanya rakai, misalnya Rakai
Pikatan, rakai Watukara dan sebagainya
c. Lombard 3 (2008) menjelaskan bahwa wanua-wanua bergabung menjadi
watak yang terkait dengan keberadaan tanah sawah.
d. Lombard 3 (2008) menjelaskan bahwa Prasasti Ngabean menyebutkan
ladang kering (tgal I Kwak) di daerah Kwak (dekat Magelang) yang diberi
tanda batas untuk dijadikan sawah (sinusuk gawayan sawah)
e. Lombard 3 (2008) menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya raka
mematoki sejumlah kebun (lmah kbuan-kbuan) dengan persetujuan rama
atau kepala desa yang bersangkutan lalu menambahkan lamwit persawahan
(muang sawah I Taji salamwit)
f. Darmosoetopo (1998) menjelaskan sebuah desa melingkupi tempat tinggal
penduduk, sawah dan tegalannya, kebun, padang rumput dan sungainya
bahkan rawa, hutan dan gunung. Mengingat pentingnya air untuk pertanian
maka antara desa dan desa lainnya mengambil batas sungai, baik sungai
besar dan sungai kecil. Untuk melancarkan hubungan darat antara satu
desa dengan desa lainnya diperlukan jembatan.
Prasasti Karangtengah (sang mantyasih), OJO VI (wanua mantyasih), Kedu
A2 (wanua I mantyasih), Kedu A4 dan A9 (patih mantyasih) dan Gandasuli
(nakaya mantyasih) menjelaskan keberadaan Mantyasih yang dipimpin oleh Tuan
Mantyasih merupakan daerah yang sangat penting (Casparis, 1950).
121
Sementara itu juga disebutkan tentang masyarakat Kedu selain sebagai
masyarakat dalam bidang pertanian juga sebagai penjaga bangunan-bangunan suci
serta menjaga keamanan daerah sekitar yang khususnya berada di sepanjang
Sungai Progo (Darmosoetopo, 1988). Mata pencaharian yang berkembang di
masyarakat pada periode Kerajaan Mataram Kuno dapat dilihat dari Prasasti
Mantyasih yang telah dibahas dalam Darmosoetopo (1988) :
No Tulisan dalam prasasti Arti dalam bahasa Indonesia
A : 4 .... paknanya pagantyagantyana
ikanang patih mantyasih sanak
lawasnya tlung tahun sowang ....
perintah raja supaya (kelima) patih mantaysih
bergantian (menguasai tanah sima) setiap orang
tiga tahun lamanya....
A : 5-7 .... sambandha yan inanugrahan
sangka yan makwaih buatthaji
iniwonya i cri maharaja kala
warangan haji lain sangke kapujan
bhatara...ing pratiwarsa. mung
sangka yang antaralika katakutan
ikanang wanua i kuning. sinara
bharanta ikanang patih rumaksa i
kanang hawan....
alasan (kelima orang patih) dianugrahi sebab
banyak pengabdian yang diberikan kepada cri
maharaja saat kawin. selain karena mereka
mengadakan pemujaan pada bharata....setiap
tahun dan mereka telah dapat mengamankan desa
kuning. tugas menjaga jalan dibebankan kepada
mereka.
A : 6- 7 ... muan sahka yan antaralika
katakutan ikanan ih kunin.
sinarabharanta ikanan patih rumaksa
ikanan hawan....
... dan karena desa kuning selalu ketakutan
(karena kerusuhan) kilma patih (dari mantyasih)
diberi tugas menjaga jalan (di desa kuning)
A : 7-9 .... kunang parnnahanya tan katamana
de sang pangkur. tawan. tirip. muang
saprakraning mangilala drawya haji
kring. padamapuy.tapahaji.aor
haji.ratji.makalangkang.mangrumbai.
mapadahi.manghuri.limus galuh.
Sambal aranakan. kdi. widu,
mangidung,hulun haji ityaiwamadi tan
haha deya tumama iriya...
adapun ketentuannya tidak dimasuki oleh
pangkur, tawan, tirip, dan semuantya yang
tergolong mangilala drawya haji(terdiri )kring,
padamapuy (pemadam kebakaan), tapahaji, air
haji, rataji, makalangkang (penjemur hasil
panen), mangrumbai, mapadahi (pemukul
kendang), manghuri, limus galuh, sambal,
paranakan, kdi(wanita "wadat"), wid u (penari),
mangindung (penyangi), hulun haji (budak raja)
dan sebagainya tidak diperkenankan memasuki
tanah sima.
B:20-21 ....nahan cihnan yan mapageh ikanang
wanua i mantyasih muang i kuning
kagunturan inanugrahakna ri kanang
patih mantyasih sia kepatihan
demikian telah teguh desa di mantaysih, di
kuning dan di kagunturan telah dianugrahkan
kepada patih mantyasih (menjadi) sima kepatihan
A : 4 ;
B:20-21
.... paknanya pagantyagantyana
ikanang patih mantyasih sanak
lawasnya tlung tahun sowang .... yan
ana ngwang umulahulah ikaing sima
pinaduluranwadwa rakyan sinusu
kudur...
perintah raja supaya (kelima) patih mantaysih
bergantian (menguasai tanah sima) setiap orang
tiga tahun lamanya.... jika ada orang mengganggu
sima pinaduluran ini....
B : 2 .....saprakarani saji sang makudur ing
mandala inmas pinda pasamasnya su
2 ma ku 4 ...
segala jenis sajian untuk san makudur di tempat
upacara diganti dengan uang emas, besarnya 2 su
4 ku uang emas.
B : 3-4 .... i sampuning manadah mangdiri
sang makudur lumkas manapata
mamantingaken hantrini....
setelah selesai makan berdirilah sang makundur
segera mengucapkan mantera dan membanting
telur.
122
Sementara Prasasti Poh menyebutkan beberapa pekerjaan yaitu :
No Arti dalam prasasti Arti dalam bahasa Indonesia
II.B
13 ………….. mapadahi matuwung si pati
rama ni turawus ana
………. Tukang penabuh kendang (padahi)
dan penabuh tuwung (bernama) si pati
ayahnya turawus penduduk (desa)
14 k wanua I rapoh winaih wdihan yu 1
mas ma 1 ku 1 muwah mapadahi syuha
rama ni wakul anakwanua I hinangan
watak luwakan winaih mas ku 2
maregang si wicar rama ni wisama
anakwanu
rapoh diberi kain wdihan 1 yugala emas 1
masa dan 1 kupang dan tukang penabuh
kendang (bernama) syuha ayahnya wakul
penduduk(desa) hinangan wilayah luwakan
diberi emas 2 kupang, penabuh regang
bernama si wicar ayahnya wisama
15 a I hijo watak luwakan winaih wdihan
yu 1 mas ma 1 //matapukan 2 si mala
anakwanua I tira watak mdang kapua
winaih mas ma 1
penduduk hijo wilayah luwakan diberi kain
1 yugala dan emas 1 masa //penari topeng
ada dua (bernama) si mala penduduk sawyan
wilayah kiniwang dan si parasi penduduk
tira wilayang mdang semuanya diberi emas
1 masa
16 ing sowangsowang mabanol jurunya 2
si lugudung anakwanua I lunglang
watak tnep winaih wdihan yu 1 mas ma
6 kinabaihannya
masing-masing. Pelawak jurunya ada dua
bernama si lugudang penduduk rasuk
wilayah luwakan dan si kulika penduduk
lunglang wilayah tnep semuanya siberi kain
1 yugala dan emas 6 masa.
17 ruang juru //……….. untuk dua juru//……………..
Masyarakat Kedu selain sebagai petani juga sebagai penjaga bangunan-
bangunan suci dan menjaga keamanan daerah sekitar yang khususnya berada di
sepanjang Sungai Progo Darmosoetopo (1998). Walaupun jika mengacu pada
keruangan yang terbentuk dengan adanya fungsi tersebut masih sangat sulit
dilakukan karena terbatasnya data yang diperoleh.
5.1.1.2 Indianisasi pada pembentukan desa-desa Kerajaan Mataram Kuno
Pengaruh indianisasi22
terlihat dalam pembentukan daerah-daerah di sekitar
lembah Magelang. Adanya penguasa alam dengan konsep makro kosmos menjadi
satu pertimbangan utama dalam pengembangan daerah-daerah, baik daerah sebagai
tempat tinggal dewa, tempat untuk memuja dewa serta tempat tinggal masyarakat
sebagai bagian dari kehidupan yang dibentuk oleh dewa yang diyakininya.
22
Indianisasi disebutkan dalam Lombard, 2008 sebagai bagian dari istilah yang dibentuk oleh orang
Inggris, Pengaruh India sebagai mutasi pertama dengan mengkaitkan Jawa dengan kemaharajaan
Hindia
123
Masyarakat mengkaitkan berbagai elemen yang ada di bumi sebagai bagian
dari kehidupan dewa. Gunung, sungai serta bukit menjadi elemen-elemen alam
yang dijadikan bagian dalam pengembangan lembah Magelang. Gunung-gunung
sebagai tempat dewa karena letaknya yang tinggi dan adanya kegiatan vulkanologi
yang dipercayai mempunyai kekuatan, lereng gunung sebagai tempat-tempat
ibadah, sungai dipercaya akan memberikan kemakmuran bagi masyarakat.
Raja Balitung, sebagai penguasa, banyak mengembangkan daerah-daerah di
sekitar Magelang dan di Magelang serta mengangkat beberapa daerah di sepanjang
sungai Progo sebagai daerah bebas pajak dengan status tanah perdikan dan tanah
sima (Darmosoetopo, 1998; Haryono, 1988). Salah satu daerah yang berkembang
sebagai daerah perdikan yang dipengaruhi Raja Balitung adalah penunjukkan
daerah Mantyasih sebagai daerah perdikan (Prasasti Mantyasih 907 M).
“perintah raja supaya (kelima) patih Mantyasih bergantian
(menguasai tanah sima) setiap orang tiga tahun lamanya.....” dan
“.... alasan (kelima orang patih) dianugrahi sebab banyak
pengabdian yang diberikan kepada cri maharaja saat kawin...”
(Mantyasih, 907 dalam Darmoesoetopo, 1998 : 299).
5.1.2 Periode Kehancuran Kerajaan Mataram Kuno
Tidak ada yang bisa digambarkan pada periode ini, selain kondisi wilayah
Kerajaan Mataram Kuno khususnya yang berada di Dataran Kedu berubah sebagai
hutan belantara.
Adanya bencana yang dipercaya sebagai salah satu penyebab keruntuhan
Kerajaan Mataram Kuno mengakibatkan terjadinya perpindahan kekuasaan
kerajaan. Namun di satu sisi, salah satu alasan yang menyebabkan terjadinya
pemindahan kekuasaan kerajaan adalah adanya penguasa baru yang sudah mulai
mengembangkan daerah Timur sebagai daerah kekuasaan yang dianggap lebih
mempunyai kehidupan dibandingkan dengan daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Adanya pemilihan daerah baru yang dilakukan oleh penguasa yang baru juga
dimungkinkan sebagai salah satu penyebab hilangnya peradapan di daerah awal
yaitu lembah Magelang yang banyak dikelilingi oleh gunung yang aktif.
124
5.1.3 Lembah Magelang sebagai bagian dari Kerajaan Demak
Tidak dijelaskan secara detil posisi daerah yang saat ini masuk dalam
wilayah administrasi Kota Magelang sebagai bagian dari Kerajaan Demak. Kedu
dengan kesuburannya berfungsi sebagai gudang beras untuk mendukung
kebutuhan kerajaan. Walaupun tidak dijelaskan secara rinci tentang desa-desa
yang berkembang sebagai gudang beras, namun mengacu pada Scrieke, 1984,
bahwa pada abad keempat belas, diperkirakan kondisi dataran Kedu tidak terlalu
jauh berbeda dengan kondisi pada abad-abad berikutnya, yaitu sebagai hutan,
perkebunan dan pertanian.
5.1.4 Magelang sebagai gudang beras dan kebondalem Kerajaan
5.1.4.1 Sejarah Perkembangan Kademangan Magelang sebagai Kebondalem.
Wilayah Kota Magelang pada periode Kerajaan Mataram Baru sebagai
bagian dari Kasultanan Surakarta sebagai Kebondalem. Ini dibuktikan dengan
adanya artefak23
yang sampai saat ini masih ada dengan kekhasan nama hasil
kebun sepanjang Kampung Potrobangsan sampai Kampung Bayeman. Kebun-
kebun tersebut antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo),
kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon) dan kebun bayem (Bayeman).
Hasil-hasil perkebunan setiap bulan diserahkan oleh Demang ke Solo.
Pusat kegiatan berkembang tidak mengikuti perkembangan sebelumnya,
namun justru mengembangkan daerah baru yaitu di kawasan yang datar. Hal ini
menunjukkan posisi pusat kegiatan sudah menuju ke aspek fungsional. Menarik
dalam periode ini, Kademangan Magelang yang dipimpin oleh seorang Demang
sudah merupakan suatu kota kecil kerajaan. Hal ini ditandai adanya beberapa
elemen kota kerajaan yaitu adanya ruang terbuka sebagai alun-alun kota, langgar
sebagai tempat beribadah masyarakat Islam dan rumah demang (Lissa, 1935;
Danoesoegondo, 1936; Veen 1965). Langgar sebagai tempat ibadah dibangun di
perkampungan di dekat rumah Demang dan dekat ruang terbuka.
23
Beberapa nama yang sampai saat ini masih bisa ditemukan, namun dengan kondisi yang berbeda.
Misalnya daerah Bayeman, saat ini tidak banyak ditemukan sayur bayam, begitu juga dengan
daerah-daerah yang lain. Kemungkinan daerah-daerah ini hilang fungsinya seiring dengan
perkembangan kota Magelang yang semakin pesat dalam bidang perekonomian
125
Gambar 5.3 Kondisi elemen pada periode Kademangan Magelang
(sumber : analisa, 2012)
kebon dalem
kebun pala
kebun bayem
kebun jambu
Pada periode ini, di Kademangan Magelang
terdapat beberapa kebun tanaman/sayuran dan
daerah yang menjadi pusat kegiatan yang
dikenal dengan kebundalem dan desa
Magelang.
Rumah Demang
kemungkinan
berorientasi
pada gunung
dan kebun
Kota Magelang dengan Karesidenan Kedu, 1871
Posisi Kebondalem
di Kota Magelang
diapit dua sungai
Kebondalem dengan beberapa kebun di dalamnya
126
5.1.4.2 Peranan Sunan dan Demang sebagai penguasa dalam perkembangan
elemen Kademangan Magelang sebagai Kebondalem.
Pada periode ini, kerajaan mempunyai peran yang cukup dominan dalam
pengembangan daerah-daerah di lembah Kota Magelang. Sunan sebagai penguasa
yang lebih tinggi dari pada demang, menjadikan lembah Magelang sebagai daerah
peristirahatan. Tanah yang subur, pemandangan yang indah dan didukung
lokasinya yang strategis dijadikan salah satu alasan pemilihan lembah Magelang
sebagai daerah peristirahatan. Perkebunan banyak terdapat di sepanjang jalur
lembah Magelang, dengan pemusatan kegiatan berada di daerah yang relatif paling
datar dibanding dengan wilayah lainnya, yaitu berada di pusat kota saat ini.
5.1.5 Kesimpulan perkembangan yang terbentuk sebagai embrio kota
Beberapa titik yang bisa dijadikan acuan dalam melihat perkembangan
kota, antara lain Prasasti Tuk Mas, Prasasti Poh dan Prasasti Mantyasih yang
bercerita lembah yang dikelilingi tujuh gunung dan diapit dua sungai suci. Embrio
tersebut seiring dengan adanya perpindahan kekuasaan ke Jawa Timur dan pada
saat kembali lagi, dengan keyakinan pada ruang yang berbeda, bergeser ke arah
lembah yang dianggap menguntungkan. Pergeseran terjadi dari pertimbangan
ruang suci, bergeser menjadi ruang fungsional yaitu kesuburan.
Gambar 5.4 Perpindahan Pusat Kegiatan pada Periode Kerajaan Mataram Kuno
(Meteseh - 2) dan Mataram Baru (Desa Magelang - 3)
1 Tuk Mas 2
Meteseh 3 Desa Magelang
127
5.2 Bentuk Fisik Kota Magelang Periode Kolonial (Tahun 1810 – 1945)
5.2.1 Distrik Magelang sebagai ibu kota kadipaten
5.2.1.1 Perkembangan Bentuk Distrik Magelang sebagai ibu kota kadipaten
Beberapa tulisan menjelaskan kedatangan Inggris pada tahun 1810 dengan diawali
tiga elemen dasar kota dan pengangkatan adipati sebagai penguasa lokal.
“In 1810 was het plaatsje door de Engelschen uitverkoren tot
hoofdplaats van het gelijknamige regentschap. De eerste regent was
Mas Angabei Danoekromo. In 1813 werd deze regent ook door het
Hollandsche gouvernement benoemd, onder den naam en titel van
Raden Toemenggoeng Danoeningrat, die na zijn dood in 1825 werd
verheven tot Raden Adipati Ario Danoeningrat I. het was deze regent,
die 1810 de grondslagen voor Magelang legde door aanleg van den
aloon-aloon en den boue van een regentswoning en een moskee. De
kaboepaten stond op de plaats waar nu de Protestantsche kerk staat en
ressorteerde onder de dessa Magelang “ (Pemerintah Kota Magelang,
1936; 13)
“ Men kan wel zeggen, dat Magelang – zooals wij dat nu kennen – zijn
ontwikkeling van dessa tot stadje begon, dadelijk na het Engelsche
tusschenbestuur, n.l in 1817, toen de Hollanders Kedoe verhieven tot
zelfstandige residentie Pekalongan toegevoegd geweest) en wel bij
besluit van de Commissarissen – General van 14 Maart 1817 no 24”
(Pemerintah Kota Magelang, 1936)
“...doch het vroeger in 1811 en 1812 verkregen gedeelte stond onder
Pekalongan tot 14 Maart 1816, toen beide deelen gescheicen
werden..” (Aa, 1851)
“Pada tahun 1810 tempat ini dipilih Inggris menjadi ibukota kabupaten
dengan nama yang sama. Bupati pertama adalah Mas Angabei
Danoekromo. Pada tahun 1813 bupati ini juga diangkat oleh
gubernemen Belanda, dengan nama dan pangkat Raden Toemenggoeng
Danoeningrat, yang setelah kematiannya pada tahun 1825 dinaikkan
pangkatnya menjadi Raden Adipati Ario Danoeningrat I. Bupati inilah
yang pada tahun 1810 meletakkan pondasi Magelang dengan
pembuatan alun- alun dan pembangunan rumah bupati dan masjid.
Kabupaten berdiri di tempat yang sekarang menjadi gereja Protestan
dan berada di bawah wewenang desa Magelang “ (Pemerintah Kota
Magelang, 1936)
“Dapat dikatakan, bahwa Magelang- sebagaimana yang saat ini kita
kenal- memulai perkembangannya dari desa ke kota, segera setelah
128
masa pemerintahan Inggris, yaitu pada tahun 1817, ketika Belanda
mengangkat Kedu menjadi sebuah keresidenan mandiri (yang
ditambahkan ke Pekalongan) dan dilakukan dengan keputusan
Komisaris Jenderal no. 24 tanggal 14 Maret 1817.” (Pemerintah Kota
Magelang, 1936)
“…namun wilayah yang diperoleh pada tahun 1811 dan 1812 berada di
bawah wewenang Pekalongan sampai tanggal 14 Maret 1816, ketika
kedua wilayah itu dipisahkan.” (AJ van der Aa, 1851)
Tulisan Ir.R.C.A.F.J.Nessel van Lissa seorang Burgemester Magelang di
majalah “Magelang Vooruit” sebuah majalah yang terbit di Magelang tahun 1936
(Lissa, 1935) menjelaskan pembangunan tiga elemen dasar kota Magelang yang
dibangun oleh Inggris pada tahun 1810 di desa Magelang yang awalnya merupakan
kebundalem (Kussendracht,1840; Aa,1850; Buddingh, 1859; Lissa, 1936,
Danoesoegondo, 1936; Pemerintah Magelang, 1936; Veen, 1965).
“…….daerah ini dulu merupakan pusat daerah Kedu yang sudah
lama, yang hanya meliputi daerah Kabupaten Magelang dan
Kabupaten Temanggung dan dikelilingi oleh gunung-gunung, yaitu
Menoreh, Sumbing, Merapi, Sindoro, Prahu, Ungaran, Telomoyo dan
Merbabu …. “
“….tahun 1810 tempat ini dipilih oleh Inggris untuk dijadikan ibu
kota pemerintahan semacam kabupaten. Bupati pertamanya adalah
Mas Angabei Danoekromo. Pada tahun 1813 bupati ini ditetapkan
lagi oleh pemerintahan Belanda dengan nama dan gelar Raden
Tumenggung Danoeningrat yang setelah wafat pada tahun 1825
ditingkatkan pangkatnya menjadi Raden Adipati Ario Danuningrat I.
Bupati ini yang pada tahun 1810 merintis membuat alun-alun, rumah
kediaman bupati dan sebuah masjid. Kabupaten didirikan di tempat
yang sekarang untuk Gereja dan masuk kawasan desa
Magelang. Dahulunya desa ini dinamakan “kebondalem” yang
artinya kebun milik raja, kebun milik Sunan yang ditanami kopi,
sayur-sayuran dan buah-buahan. Semenjak itu rumah-rumah pejabat
di Magelang semakin bertambah. Pemerintahan sementara Inggris
membangun rumah kediaman residen walaupun masih dari
bambu……
Daerah Kedu yang telah diambil oleh Inggris setelah menyerahnya
Sultan Sepuh kepada Raffles 20 Juni 1812 dikembalikan kepada
Belanda. Untuk menerima kembali koloni-koloni di Indonesia ,
dikirimkan 3 orang sebagai komisaris Jenderal. Belanda melanjutkan
merintis Kota Magelang. Magelang sebagai pusat pemerintahan
129
karisidenan pada masa pemerintahan Inggris, pada tahun 1817
Belanda mendirikan tangsi walaupun masih terbuat dari bambu dan
hanya memuat 18 orang sampai 20 orang. Pada tahun itu juga
pemerintahan Belanda meningkatkan Kedu menjadi daerah
karisidenan yang berdiri sendiri dengan SK Komisaris Jenderal
tanggal 14 Maret 1817 no 24. dan sebagai hadiah pada tahun 1818
Magelang dipilih sebagai ibu kota karisidenan. Sebagai ibu kota
karisienan dan sebagai kota militer, maka sudah selayaknya kalau
Magelang lalu banyak terdapat bangunan-bangunan kediaman para
pejabat, yang antara lain rumah tempat kediaman para pejabat,
rumah tempat kediaman residen, rumah kediaman Bupati Menoreh,
rumah dokter ahli bedah, rumah mantri cacar. Di dalam catatan
peninggalan yang masih tersimpan tahun 1829 di sini terdapat
banyak rumah-rumah dari bambu dan dari papan untuk tempat
tinggal orang Eropa dan Cina, dan ada pula satu dua rumah
setengah batu dan beberapa runah batu, yaitu rumah residen , rumah
kontrolir hasil bumi dan rumah-rumah perwira militer (Terjemahan
dari Nessel, 1935).
Gambar 5.5. Lokasi Alun-Alun (1), Masjid (3), Kadipaten (2)
(sumber : gambar ulang dari analisa Utami mengacu Lissa, 1935, 2001)
Dibawah kekuasaan Inggris, daerah Kedu dijadikan wilayah administrasi
Karesidenan Kedu yang untuk sementara diperintah oleh Residen Yogyakarta John
Crawfurd, pembantu Raffles yang ahli masalah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta
(Suroyo, 2000). Seperti periode sebelumnya, tanah yang subur dan strategis
menjadi alasan utama bagi Inggris menguasai Kota Magelang. Inggris selama
beberapa tahun berkuasa di Kabupaten Magelang melakukan pembangunan
1
2
3
4
130
permukiman yang berada di lokasi yang strategis serta membangun dan
memperbaiki jalan raya dari Bojong sampai Pingit atas perintah Crawfurd ke Tan
Jin Sing seorang kapiten Cina Kedu. Cina sebagai pendatang yang melihat potensi
Kota Magelang juga membuka permukiman (Suroyo, 2000).
Terlihat pada Gambar 5.6, lahan masih didominasi oleh daerah pertanian
dan perkebunan. Sementara pada Gambar 5.7 tangsi militer dibangun di bagian
Barat dengan mempertimbangkan kondisi alam yang terbentuk dari pemandangan
alamnya. Sawah yang terbentang luas dijadikan pemikiran bagi orang Inggris
untuk menjadikan masyarakat lokal sebagai petani dan penggarap perkebunan.
Gambar 5.6 Tiga Elemen Dasar Mataram Baru dan Kolonial Inggris
(Sumber : Utami, 2012)
5.2.1.2 Pengaruh Inggris dalam pembentukan Kademangan Magelang
menjadi Distrik Magelang
Inggris datang dan berkuasa di Kademangan Magelang setelah
memenangkan perjanjian dengan pemerintah lokal. Pemerintah lokal diwajibkan
memberikan daerah kekuasaannya kepada Inggris dengan salah satunya wajib
memberikan daerah-daerah gudang berasnya, termasuk daerah lembah Magelang
sebagai gudang beras Kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram Baru
(sebelum 1810) Kolonial Inggris
(1810 – 1813)
Kademangan
langgar Alun-alun
Kadipaten
masjid
Alun-alun
Permukiman masy lokal
Permukiman Org Inggris
Permukiman masy lokal
Permukiman Org Cina
Permukiman Org Cina
131
Gambar 5.7. Posisi Pembangunan Elemen Kota tahun 1810 di Distrik Magelang
(sumber : Analisa 2001 mengacu pada Utami, 2001)
Pembangunan kembali elemen dasar
kota di lokasi yang relative datar
Tangsi militer dibangunadengan
mempertimbangkan alam gunung di
sebelah Barat kota
Kebun Sayur
dan makanan
kebondalem
Kadipaten
Tangsi Inggris
Masjid + permukiman
Kadipaten
Alun-alun
Alun-alun dibangun pada
lokasi datar yang berada
di jalur strategis
Kota Magelang dengan Karesidenan Kedu, 1871
Posisi Kebondalem,
Kadipaten dan kebun
sayur di Magelang
Posisi Tiga Elemen Dasar Kota Magelang
tahun 1810
132
5.2.2 Distrik Magelang dan Kotapraja Magelang dalam pemerintahan
kolonial Belanda (1813 – 1942)
5.2.2.1 Distrik Magelang sebagai Ibu Kota Kabupaten Magelang (1813-1819).
5.2.2.1.1 Perkembangan Bentuk Fisik Distrik Magelang tahun 1813-
1819. Tanggal 13 Agustus 1814 Konvensi London menyatakan semua wilayah
yang pernah dikuasai oleh Belanda harus dikembalikan oleh pihak Inggris (Raffles,
2008). Tahun 1816 Kedu resmi diserahkan kepada pemerintah Belanda melalui
residen Belanda AMT de Salis yang sekaligus merangkap sebagai residen
Pekalongan dan dan pada tahun 1817 menjadi karesidenen tersendiri (Suroyo,
2000). Tepatnya tanggal 14 maret 1817 no 24 dibentuk Karesidenan Kedu dan
pada tahun 1818 Kabupaten Magelang ditunjuk sebagai ibu kotanya (Saat itu
Karesidenan Kedu terdiri Kabupaten Magelang dan Kabupaten Menoreh). Salah
satu alasan penunjukkan Kabupaten Magelang sebagai ibu kota Karesidenan Kedu
adalah letak Kota Magelang yang berada di pusat jalan raya menuju ke Yogya
(Pemerintah Magelang, 1936).
Pada tahun 1819, JC Schultze memugar tangsi Inggris dan membangun
kompleks karesidenan (Nessel, 1935; Danoesogondo, 1936; Pemerintah Magelang,
1936) yang mempertimbangkan keindahan alam (Kussendracht, 1840; Aa, 1851;
Budding, 1859).
Gambar 5.8 Kompleks Karesidenan yang dibangun di eks-tangsi Inggris
Kolonial Inggris
(1810 – 1812)
Kolonial Belanda I
(1813 – 1819)
Alun-alun Alun-alun Masjid Masjid
Kadipaten Kadipaten Karesidenann
Tangsi Inggris
133
Untuk memenuhi kebutuhan pemakaman, pemerintah Belanda membuat
pemakaman yang terbagi dalam tiga bagian, yang pada bukunya Sjouke (1935)
dijelaskan adanya makam orang Eropa, makam orang Cina dan makam orang
pribumi. Makam orang Eropa letaknya di sebelah Selatan tepatnya di dekat
lembah Tidar sekitar tahun 1818 yang saat ini menjadi pasar burung di belakang
jalan Ikhlas24
. Letak makam (kerkhof) di bukit dekat dengan Bukit Tidar dengan
dilengkapi gerbang yang sangat dominan di dekat selokan kota memperlihatkan
pada periode ini masyarakat Belanda sudah mulai memikirkan aspek estetika pada
bangunan, walaupun hanya sekedar gerbang.
Berikut ulasan Sjouke (1935) tentang makam di Magelang :
De door de Stadsgemeente Magelang beheerde Europeesche
Begraafplaats is gelegen aan den Groote weg zuid, aan den voet
van den Tidar heuvel. Zij is verdeeld in twee hoofdafdelingen
(Hoofdafdeeling 1 en ook II welke hoofdafdeelingen wederom elk
in vier afdeelingen zijn verdeeld (Afdeelingen 1,2,3 en 4, ook wel
klassen genoemd). De hoofdafdeeling I is uitsluitend bestemd voor
het opnemen van lijken van Europeanen….. (Tempat Pemakaman
Eropa dikelola oleh pemerintah Kota Magelang terletak di jalan
raya selatan, di kaki Bukit Tidar. Tempat pemakaman ini dibagi
dalam dua bagian utama (bagian utama I dan II yang masing-
masing dibagi lagi dalam empat bagian, bagian 1,2,3 dan 4, juga
disebut juga sebagai kelas-kelas. Bagian utama I dikhususkan
untuk pemakaman orang-orang eropa…..)
Gambar 5.9. Gerbang menuju kompleks makam Belanda di Magelang Tahun 1900
dan 2012
(foto: Koleksi KITLV, Leiden, Belanda dan Utami, 2012)
24
Sampai saat ini keberadaan Kerkhof atau pemakaman Belanda masih bisa dilihat jejaknya dengan
adanya gapura yang dikenal dengan gapura Kerkhof.
134
Gambar 5.10. Perkembangan fisik kawasan Magelang tahun 1813 - 1819
(sumber : analisis 2011)
Lahan perkebunan
Pusat Kota
Kompleks
Makam Belanda
Posisi Alun-alun,
Kadipaten dan Masjid
Posisi Elemen dasar
Kota Magelang
Kota Magelang dengan
Karesidenan Kedu, 1871
135
5.2.2.1.2 Pengaruh pemerintah Belanda dalam pengembangan Distrik
Magelang sebagai Ibu Kota Kabupaten Magelang (1813-1819). Belanda segera
melakukan pemilihan ulang adipati yang sama seperti yang dipilih oleh
pemerintah Inggris dan segera melakukan pembangunan di Distrik Magelang
(Nessel, 1935; Danoesoegondo, 1936; Pemerintah Magelang, 1936) pada tahun
1813. Seiring dengan pemilihan dan pengangkatan kembali adipati, pemerintah
Belanda juga tetap mengontrol pemerintahan dengan meletakkan kontroler di
Distrik Magelang. Keberadaan orang-orang yang tinggal di Kota Magelang
dengan beberapa penguasa menyebabkan perkembangan kota sangat pesat.
Pemerintah kolonial Belanda pada periode ini mempunyai peranan sangat
besar dalam membentuk Kota Magelang yang berpusat di kawasan alun-alun dan
memanfaatkan jarak terdekat dengan alun-alun. Ini terlihat pada beberapa
bangunan yang mengikuti pembangunan tiga elemen awal kota, alun-alun, masjid
dan kadipaten yang terletak di tanah yang relatif datar. Peran pemerintah Belanda
kemungkinan lebih besar dibandingkan peran penguasa lokal yaitu Bupati. Hal ini
terlihat pada pembangunan tiga elemen awal kota dengan membongkar bangunan
yang sudah ada, salah satunya yaitu pembangunan masjid di tempat langgar yang
sudah ada sebelumnya. Pemerintah Belanda menguasai distrik untuk
mempertahankan lokasi yang strategis untuk memantau pergerakan,
mempertahankan fungsi Magelang sebagai gudang makanan serta mempersiapkan
Magelang sebagai kota pemerintahan dan pusat kegiatan.
5.2.2.2 Distrik Magelang Sebagai Ibu Kota Kabupaten Magelang dan
Karesidenan Kedu (1820-1905).
5.2.2.2.1. Perkembangan Distrik Magelang dalam membentuk kota
militer, kota perkebunan dan kota peristirahatan. Kota Magelang yang sejuk
dan strategis berkembang sangat pesat. Seiring dengan bertambahnya jumlah
orang Eropa, maka dibangunlah tempat ibadah yaitu gereja Kristen.
136
Gambar 5.11. Elemen kolonial masuk ke dalam kawasan kadipaten
(sumber : analisis 2011( Utami, 2001). Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Beberapa fungsi baru masuk dan menggantikan fungsi
bangunan lama sebagai kompleks kadipaten
Perubahan bentuk
bangunan di dalam
kompleks kadipaten
137
Kondisi ini juga didukung pada saat terjadi perubahan fungsi bangunan di
kompleks kadipaten. Pada awalnya semua bangunan yang berada di kompleks
kadipaten merupakan bangunan tradisional Jawa, Joglo, dengan dilengkapi
pendopo bupati. Rumah bupati, pendopo dan beberapa bangunan pendukung
dibangun di dalam kompleks kadipaten dengan bentuk tradisional Joglo. Namun
setelah masuknya Belanda dan semakin kuat kedudukannya, gereja Kristen
dibangun dengan bentuk kolonial dengan membongkar salah satu bangunan yang
ada di kompleks kadipaten. Gereja dibangun dengan bentuk bangunan kolonial
tropis menunjukkan adaptasi iklim (lihat Gambar 5.11). Gereja dibangun pada
tahun 1826 sebagai salah satu usaha kolonial Belanda untuk memasukkan
kekuasaan dalam penguasaan lokal (Utami, 200125
).
Sementara seiring dengan banyaknya pergerakan lokal dan Kota Magelang
dianggap strategis bagi pemerintahan Belanda pada tahun 1828 di Magelang
dibangun sebuah kompleks tentara Belanda yang letaknya di sebelah Utara alun –
alun. Tanggal 13 Maret 1828 Jendral de Kock memindahkan markas besar tentara
dari Solo ke Kota Magelang (Stuers, 1847) dengan alasan letak yang strategis
sebagai daerah pertahanan dan berkembang sebagai generator fasilitas berikutnya.
Belanda membangun sebuah kompleks militer yang terdiri dari perumahan tentara
yang dilengkapi fasilitas pendukung militer (Utami, 2001) yang terletak di sebelah
Timur Laut Alun-Alun. Kompleks militer ini dibangun untuk mewadahi kegiatan
militer baik itu tentaranya maupun pejabat militernya (Aa, 1850).
Perkembangan kebijakan tanam paksa di Kedu tahun 1831, membawa
perubahan bagi daerah di Karesidenan Kedu, khususnya transportasi kopi ke
pelabuhan Semarang. Perubahan ini antara lain berpengaruh pada perkembangan
jalur perhubungan di Kedu. Banyak jalur perhubungan (jalan) yang dibangun saat
itu. Hal ini disebabkan karena pada saat itu Kabupaten Magelang dan Kabupaten
Temanggung dijadikan daerah perkebunan. Untuk mendukung jalur transportasi
dilakukan tanam paksa tahun 1833 – 1857 atas perintah residen saat itu. Salah
satunya membuat ruas jalan dan jembatan di Kabupaten Magelang. Tahun 1845
25
Terdapat upaya memasukkan elemen kolonial yaitu gereja Kristen dan Katholik di dalam elemen
tradisional yaitu kompleks kadipaten (Utami, 2001)
138
tanggal 17 Februari diceritakan tentang surat dari bupati Magelang Danuningrat
kepada Residen Kedu De Bousquet tentang rencana pembuatan jalan di Kedu
tersebut (Suroyo, 2000). Tercatat beberapa jalan raya yang sudah dibangun pada
tahun 1850 (Bleekker, 1850; Aa, 1851). Dibangunnya jalan raya di segala penjuru
menunjukkan keberadaan distrik Magelang sebagai daerah yang dianggap penting
bagi penguasa dan mempengaruhi jumlah penduduk yang beberapa diantaranya
merupakan masyarakat pendatang. Tercatat dalam tulisan Nessel (1935) tentang
jumlah penduduk yang ada di Magelang dalam beberapa kurun waktu, yaitu :
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk di Magelang pada awal pendirian kadipaten
Tahun Orang Eropa Cina
Laki-Laki Wanita Anak Total
1818 13 4 7 24 1919
1823 22 12 27 61 1751
1831 34 29 45 108 1959
1834 36 28 37 101 2150
(sumber : Nessel, 1935, Pemerintah Kota Magelang, 1936)
Dalam buku Natuur en Aardrijkskundige Beshcriving van Het Eiland Java
yang ditulis Kussendracht, 1840 : 195 diceritakan tentang kondisi Kota Magelang
yang saat itu selain sudah ada kantor Karesidenan Kedu dan rumah Residen Kedu
serta dilengkapi juga dengan rumah penjara dan beberapa permukiman orang-
orang Cina (Kussendracht, 1840; Aa van der Aa, 1851; Buddingh, 1859).
“.. steenen gebouwen, waaronder het residentiehuis, ......”
“ de woning van den secreatis, de dalm (verblijf) van den regent, de
inlandsce temple of mesigit, de chinesche kampong en het
gevangenhuis boven andere uitmunten ....” (Kussendracht, 1840: 195)
“… bangunan- bangunan tembok, antara lain rumah residen,…”
“tempat tinggal …., kediaman bupati, masjid, kampung Cina dan
penjara yang lebih unggul di atas bangunan lainnya…” (Kussendracht,
1840 : 195)
Mengacu pada tulisan yang dibuat Kussendracht (1840) yang tentunya
menggambarkan kondisi pada saat buku tersebut dibuat, dapat dijelaskan pada
tahun tersebut distrik Magelang sudah berkembang sangat pesat dengan adanya
139
fasilitas pemerintahan yaitu kadipaten dan karesidenan serta didukung dengan
beberapa fasilitas kota lainnya yang menggambarkan pada saat itu distrik
Magelang dianggap menguntungkan. Hal ini juga didukung dengan beberapa
informasi yang menjelaskan bahwa pada tahun 1840 dibangun sebuah tempat
peristirahatan dalam bentuk hotel kecil dengan nama “Loze” di sebelah Timur
Alun-alun milik tuan Loze (iklan di Majalah Vooruit Magelang, 1935; AJ van der
Aa, 1851).
Banyak pabrik yang dibangun pada tahun 1850an seperti yang diceritakan
dalam tulisan AJ van der Aa (1851) yang menuliskan keberadaan 13 pabrik gula
kecil di Kadipaten Magelang yang kemungkinan di distrik Magelang juga terdapat
pabrik terebut (analogi dari peta 1870; Aa, 1851). Adanya fasilitas tersebut
menjelaskan bahwa Magelang sudah berkembang sebagai kota peristirahatan dan
kota perkebunan yang didukung dengan kondisi alam yang sangat indah seperti
yang banyak dituliskan dalam iklan-iklan di dalam Majalah Vooruit Magelang
terbitan tahun 1935-1937. Fasilitas tersebut juga dibarengi dengan munculnya
perumahan-perumahan petinggi Belanda di daerah Bayeman dan salah satunya
merupakan rumah Tuan Loze di daerah Utara Alun-alun dengan pemandangan
mengarah ke Barat atau ke arah pegunungan.
Lukisan-lukisan di bawah selain menggambarkan keindahan yang terbentuk
dari gunung, juga bisa menjelaskan tentang kehidupan masyarakat pada saat itu
yang mengenal pembagian sawah dengan cara pemetakan dan irigasi. Sementara
pada lukisan lainnya bisa dijelaskan tentang sosial kehidupan para saudagar
ataupun orang-orang yang mempunyai status yang tinggi mempunyai kebiasaan
melakukan latihan perang dengan menggunakan kuda. Terlihat dengan jelas,
masyarakat menggunakan lembah dan kaki gunung sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat yang pada saat itu berkembang pada bidang pertanian dan perkebunan.
Pada Gambar 5.12 menjelaskan kondisi persawahan yang ada pada periode
sebelum tahun 1900-an, terlihat sejauh mata memandang dari Kota Magelang bisa
menikmati keindahan alam yang terbentuk dari beberapa gunung yang
mengelilingi Kota Magelang.
140
Gambar 5.12 Karakter alam yang dibentuk oleh budaya dan kegiatan masyarakat
pada tahun 1900-an
(foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Pemerintah Hindia Belanda di samping membuat fasilitas peristirahatan,
permukiman dan transportasi juga membangun suatu saluran air untuk memenuhi
kebutuhan air di Kota Magelang sebagai ibu kota pusat pemerintah dan kota
militer. Saluran yang mengairi sawah seluas 800 bahu, dibuat dari desa Gunung
Saren (7.5 km sebelah Utara Magelang) sepanjang 6 km untuk mengalirkan air
Kali Elo ke tengah Kota Magelang. Tahun 1848-1850 dibuat bendungan,
sementara tahun 1856-1857 juga dibuat bendungan menyertai dibangunnya
Lukisan yang menggambarkan
masyarakat dalam pengolahan
alam
141
saluran air sepanjang 12 kilometer di tepi Sungai Elo, di Desa Manggis, sebelah
Selatan Gunung Saren (Suroyo, 2000:120). Pada tahun 1883 dibangun plengkung
sebagai penyangga saluran air kota sebagai pengairan26
. Ada beberapa jalan raya
dan jembatan yang dibuat oleh pemerintah Belanda, seperti yang ditulis Lissa
(1935) dan Pemerintah Kota Magelang (1936).
Bangsa pendatang lainnya yang sudah bermukim di Magelang selain
bangsa Eropa adalah Cina dan orang Arab sudah bertempat tinggal di Magelang
(Bleekker, 1850). Semakin kuatnya Kota Magelang sebagai kota perkebunan dan
kota militer membuat semakin banyak masyarakat termasuk orang Cina
berdatangan. Sesuai peraturan Belanda saat itu, masyarakat non pribumi harus
dilokalisir dengan persetujuan dari pihak pemerintah Belanda. Klenteng sebagai
fasilitas ibadah orang Cina dan Pecinan sebagai fasilitas komersialnya dibangun
tahun 1864 oleh Kapitein Be Koen Wie (Tjok Lok) (Prasasti di Klenteng
Magelang) untuk mendukung keberadaan mereka. Walaupun diperkirakan
sebelum Inggris menguasai Magelang, orang Arab27
dan Cina sudah banyak yang
bertempat tinggal di Magelang. Pembangunan Klenteng tentu saja didahului
dengan adanya pendatang Cina yang datang ke Magelang dan diberi lokasi
permukiman di Selatan Alun-alun.
Pada Gambar 5.13 terlihat beberapa bangunan kolonial dibangun di
kawasan pusat kota dengan bentukan tropis. Iklim yang terbentuk di Kota
Magelang dimanfaatkan dalam desain masing-masing bangunan. Ini terlihat pada
rumah residen yang menghadap ke Barat untuk menikmati keindahan alam kota
serta dilengkapi dengan bentuk asritektur tropis. Bangunan Sekolah Katholik
menggunakan bentukan tropis indisch. Sementara itu terdapat penginapan yang
terletak di Timur Alun-alun yang juga menggunakan bentuk tropis dengan
mempertimbangkan arah pemandangan alam.
26
Pada periode selanjutnya dikembangkan beberapa plengkung di dua tempat yang berbeda 27
Permukiman Arab kemungkinan terletak di dekat dengan Pasar Kebon Polo.
142
Gambar 5.13 Seting Ruang Fisik Kota Tahun 1819-1905
(sumber : digambar ulang dari peta administrasi tahun 1905)
Kompleks rumah sakit militer
terletak di sebelah Timur
kompleks militer yang
mempunyai pemandangan
gunung ke arah Timur
Kompleks militer terletak di jalan
utama dan dekat dengan pusat
kota, selain juga mempunyai akses
pemandangan alam ke segala arah
Kadipaten berada
di sebelah Utara
alun-alun sebagai
penguasa lokal
Karesidenan berada
tidak di sekeliling alun-
alun, namun justru
berada di sebelah Barat
kota dengan
pertimbangan
pemandangan alam
(Utami, 2001)
Pecinan terletak di
sebelah Selatan alun-
alun segaris lurus
dengan pasar dan
terletak di jalan utama
pasar
143
Gambar 5.14 Beberapa elemen yang berkembang tahun 1813 – 1905
(foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Gereja Katholik Sekolah Katholik Plengkung I
Pendopo Bupati
Rumah Residen
Alun Alun Penginapan Pasar
144
Beberapa fasilitas kota yang dibangun pada periode ini tercatat Apotik Van
Gorkom28
tahun 1865 untuk melayani Sultan Yogyakarta mendapatkan obat
(Sjouke, 1935, AJ van der Veen, 1965), pabrik air minum “Chevalier O’ Herne”
tahun 1883, labolatorium dan pabrik sigaret “Ko Kwat Ie & Zonen” tahun 1900,
toko sepeda Hvd Oordt29
tahun 1902, pasar Rejowinangun, stanplaat30
yang
berada di sebelah barat pasar, Rumah Sakit Militer tahun 1874 di sebelah Timur
kompleks militer31
, Kweekschool sekolah calon guru tahun 1875 dan MOSVIA32
sebagai sekolah calon pamong praja yang dilengkapi dengan fasilitasnya serta
Ambonsche school 33
tahun 1879. Bangunan-bangunan tersebut terletak di jalan
yang strategis.
Secara umum, bangunan-bangunan yang ada di Kota Magelang pada
periode ini mempunyai bentuk kolonial dengan perpaduan bentuk tradisional
tergantung dari fungsi. Pasar tradisional yang berada di sebelah Selatan kawasan
Pecinan mempunyai bentuk tradisional, dikarenakan fungsi pasar ini lebih banyak
untuk kepentingan masyarakat setempat (lihat Gambar 5.14). Sementara beberapa
sekolah dibangun dengan bentuk kolonial yang sangat kuat dengan tetap
mempertimbangkan bentuk lokal dan penyesuaian iklim. Bangunan-bangunan
yang ada di Pecinan terbagi menjadi dua bentuk, bentuk kolonial dan bentuk indis
sebagai perpaduan bentuk.
Perang Diponegoro telah membuat Belanda memikirkan tentang
pertahanan di daerah pedalaman dengan pertimbangan perlawanan rakyat pribumi
tidak hanya terfokus di kota-kota pemerintahan saja. Sesudah tahun 1880 dibuat
28
Apotik van Gorkom setelah terjadi peristiwa pembumihangusan dibangun Gedung Bioskop
Kresna, yang saat ini sudah dibongkar 29
Saat ini Toko Sepeda Oodrt masih merupakan toko yang pada tahun 1980an masih menjual
sepeda 30
Standplaat yang ada pada masa pemerintahan Belanda terletak di sebelah barat pasar
Rejowinangun yang saat ini dikenal dengan istilah shooping , yaitu terminal angkutan kota 31
Rumah Sakit Militer fungsinya saat ini tetap namun bangunannya sudah banyak yang berubah
terutama mulai era tahun 1990-an. 32
Kweekschool dan MOSVIA merupakan sekolah pada masa penjajahan Belanda yang mempunyai
fungsi penting. Kweekschool yang ada di Magelang merupakan sekolah tinggi guru yang sering
disebut dengan hooge kweekschool yang saat ini dipakai sebagai kantor catatan sipil Kabupaten
Magelang, sementara MOSVIA adalah sekolah bumiputera yang banyak melahirkan kaum
intelektual yang saat ini dipakai sebagai kantor Mapolresta Kota Magelang. 33
Ambonsche School pada saat ini gedungnya dibangun sekolah dengan nama SMP N 13 yang
awalnya setelah kemerdekaan digunakan sebagai Sekolah Teknik (ST)
145
garnizun pedalaman di setiap provinsi di Jawa, yaitu Malang untuk Jawa Timur,
Magelang untuk Jawa Tengah dan Bandung untuk Jawa Barat dan pada tahun
1913 ditambah Cimahi (Handinoto, 2004). Sementara untuk melengkapi kekuatan
bala tentaranya di Kota Magelang, pemerintah Belanda mendirikan fasilitas
pendukung militer lainnya, misalnya Wisma Zie Bang untuk keperluan militer
tahun 1888, kompleks KNIL sebagai kompleks KNIL. Pada umumnya bangunan
militer mempunyai bentuk kolonial atau indis dengan tetap beradaptasi pada iklim
tropis Indonesia.
Distrik Magelang berkembang pesat sebagai ibu kota kabupaten, ibu kota
karesidenan serta sebagai kota militer dan kota peristirahatan didukung dengan
fasilitas jalan rayanya. Fasilitas jalan raya dibangun sebagai fasilitas pendukung
khususnya pengembangan perkebunan. Berikut ini adalah beberapa fasilitas yang
dikerjakan sampai dengan tahun 1905 (Pemerintah Magelang, 1936,
Danoesoegondo, 1936) :
1. Tahun 1822, jalan sepanjang Yogya via Muntilan, Magelang, Secang,
Pringsurat sampai Pingit dengan proyek Groote Postweg
2. Tahun 1833, jalan dari Yogyarta ke Magelang diperpanjang ke Pringsurat
(ini merupakan jalan menuju Semarang via Grabag-Salatiga)
3. Tahun 1842, jalan diperpanjang via Pingit sampai ke Ambarawa, yang
menghubungkan Yogyakarta-Magelang-Ambarawa-Semarang
4. Tahun 1842, dibuat jalan Magelang – Salaman menjadi groote postweg
5. Tahun 1843, dibangun jembatan besar yang menghubungkan Semarang –
Yogyakarta dan yang menghubungkan Magelang-Bagelen
6. Tahun 1851, dibuat jalan dari Salaman ke Purworejo
7. Tahun 1852, jalan Magelang – Salaman menjadi groote postweg
8. Tahun 1862, memperbaiki jalan-jalan yang sudah ada
9. Tahun 1870, dilakukan perbaikan jalan raya Magelang – Secang –
Temanggung – Parakan – Wonosobo
10. Akhir abad 19, dibuat jalur Kereta Api Yogyakarta-Magelang-Ambarawa
146
Salah satu peristiwa membuktikan posisi Distrik Magelang sebagai salah
satu distrik yang berkembang pada periode ini adalah adanya pameran hasil
perkebunan dan pertanian yang diselenggarakan di distrik Magelang pada tanggal
20-22 Agustus 1891 yang banyak memperlihatkan adanya budaya masyarakat pada
saat itu sebagai masyarakat yang mengandalkan perkebunan dan pertanian sebagai
penghidupan mereka serta menampilkan beberapa peralatan kerajinan. Peristiwa
pameran yang cukup besar ini ditulis dalam satu buku dengan judul “Beschrijving
den Tentoonstelling te Magelang van Producten van Inlandsche Nijverheid, Uit de
Residentie Kedoe” diterbitkan tahun 1894 di Batavia (Jakarta). Pameran tersebut
kemungkinan diselenggarakan di lembah Bukit Tidar.
Gambar 5.15 Beberapa hasil kerajinan yang ditampilkan dalam pameran 1891
(sumber : Residentie, 1894)
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada saat itu masyarakat Kota
Magelang dan Kedu pada umumnya juga melakukan kegiatan kesenian. Selain itu
juga kegiatan yang terkait dengan kesenian membatik. Hal ini terlihat dengan
147
adanya alat yang digambarkan pada pameran tersebut yaitu alat membatik dan alat
untuk meletakkan kain batik. Selain itu terdapat alat-alat pertanian dan hasil
gerabah, alat-alat pertukangan serta alat-alat untuk menghasilkan kerajinan
(Residentie Kedu, 1894). Beberapa peralatan yang dipamerkan tersebut
memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dan diwadahi dalam kehidupan
masyarakat.
Distrik Magelang yang awalnya berkembang sebagai ibu kota pemerintahan
dan perkebunan, sejalan dengan kestrategisan lokasi, berkembang juga sebagai
kota militer dan kota peristirahatan. Fungsi-fungsi tersebut terkait dengan kondisi
alam di Distrik Magelang. Hal ini bisa dijelaskan seperti di bawah ini :
a. Fungsi sebagai ibu kota pemerintahan. Lokasi strategis diantara beberapa
kota penting dan berada di lembah yang relatif datar menjadi alasan
mendasar bagi pembentukan ibu kota pemerintahan.
b. Fungsi sebagai kota militer. Lokasi yang strategis di antara tiga kota
penting (Yogyakarta – Solo – Semarang) menjadi salah satu alasan
perletakan basis militer di Distrik Magelang sebagai pindahan dari
Surakarta. Alasan lainnya sebagai daerah yang berada di lembah dan
diyakini akan mampu melihat kondisi yang ada di kaki gunung dan di
perbukitan (pergerakan lokal menggunakan kaki gunung dan perbukitan)
sehingga dapat dijadikan pengontrolan atas pergerakan masyarakat
c. Fungsi sebagai kota perkebunan. Lahan yang subur sebagai bentukan dari
kegiatan gunung berapi menjadikan sebagai kota perkebunan dan lahan
pertanian yang mampu dijadikan gudang makanan. Sungai yang mengalir
di sepanjang distrik dan mengalir dari atas gunung juga ikut membentuk
kesuburan baik bagi kaki gunung itu sendiri maupun bagi lembahnya.
d. Fungsi sebagai kota peristirahatan. Wilayah perkebunan membentuk
pemandangan yang sangat indah. Perkebunan dan lahan pertanian terlihat
dari lembah dan menjadi salah satu potensi pemandangan alam. Gunung
yang mengelilingi membentuk Kota Magelang sebagai kota mempunyai
iklim sejuk dengan panorama tak terbatas di segala arah. Lembah yang
148
relatif datar dibangun bungalow-bungalow dan penginapan baik resort
maupun hotel.
Fungsi-fungsi tersebut, telah membentuk Kota Magelang sebagai kota yang
semakin banyak didatangi oleh masyarakat luar, baik dari Eropa, Asia maupun
masyarakat lokal sendiri. Kepadatan penduduk semakin meningkat seiring dengan
keberadaan pemerintah, kekuasaan dan fungsi kota. Ekspresi masyarakat dalam
pengembangan kota terlihat pada tata ruang kota yang terbentuk pada periode
tersebut dan fungsi kawasan yang berbasis pada alam. Terhitung pada tahun 1845,
di Kedu terdapat 357.188 jiwa dengan perincian penduduk Eropa berjumlah 174
jiwa, orang Jawa 35.367 jiwa, orang Arab dan Malaysia 73 jiwa, orang militer 37,
orang Djajng-Sekars dan prajurit 50 jiwa, orang Slaven 3 jiwa dan orang Cina
sejumlah 2.484 jiwa dengan penduduk yang terkonsentrasi di distrik Magelang (AJ
Aa, 1851).
Alam menjadi inspirasi pada pengembangan kota pada periode 1819 –
1905. Kesuburan, kestrategisan, pemandangan alam dan kesucian menjadi
inspirasi bagi penguasa pemerintah Belanda maupun masyarakat lokal. Kesucian
yang terbentuk pada periode ini lebih banyak diyakini oleh masyarakat lokal
dengan kekuatan gunung (walaupun tidak mensucikan gunung seperti pada abad 9)
dan khususnya Bukit Tidar yang diyakini merupakan pakuning Pulau Jawa.
Keunikan yang terjadi, pemerintah Belanda selalu menuliskan dan memberikan
penjelasan yang cukup mendetil mengenai legenda-legenda yang beredar di
masyarakat dan sebagian dari mereka ikut meyakini cerita tersebut walaupun juga
dengan pertimbangan lingkungan (AJ van der Veen, 1965, Huisman, 1964).
Pada periode ini, terjadi perubahan beberapa segi kehidupan dalam
memperlakukan alam. Seiring dengan kedatangan Belanda dan Inggris,
masyarakat yang awalnya mengolah lahan subur hanya sebagai lahan pertanian,
berkembang ke perkebunan (Kussendracht, 1840).
149
5.2.2.2.2 Peran pemerintah Belanda dalam membentuk kota militer,
kota perkebunan dan kota peristirahatan. Distrik Magelang berkembang pesat
seiring dengan penambahan fungsi Kota Magelang. Diawali sebagai ibu kota
Kabupaten, ibu kota karesidenan dan pada tahun 1828 dipilih sebagai kota militer.
Pada periode ini, pemerintah Belanda sudah mulai melakukan penzoningan atas
dasar fungsi dan politik yang dianut, yang antara lain adanya penzoningan
permukiman untuk pribumi, Eropa dan Cina. Selain itu pemerintah juga
membangun beberapa fasilitas pendukung yang disesuai dengan kebutuhan orang-
orang Belanda yang tinggal di Kota Magelang dan sekitarnya, misalnya societiet.
Semua fasilitas tersebut berada di sepanjang jalan utama yang menghubungkan
Yogyakarta – Semarang. Perletakan tersebut mampu menjelaskan bahwa
keberadaan pemerintah Belanda telah menggeser kedudukan orang-orang pribumi
yang memanfaatkan lahan-lahan di sekitar kademangan. Untuk mendukung
keberadaan orang-orang Belanda, baik sebagai pejabat pemerintah dan petinggi,
pemerintah melakukan pembangunan jalan yang dilakukan sejak tahun 1822.
5.2.2.3 Kotapraja Magelang sebagai ibu kota Karesidenan Kedu (1906-1942)
5.2.2.3.1 Perkembangan Kotapraja Magelang sebagai kota
peristirahatan. Magelang ditunjuk sebagai kotamadya (gemeente) pada 1 April
1906 dengan keputusan Stbl 1906 nomor 125 dengan pertimbangan Kota
Magelang sebagai lokasi yang strategis (Lissa, 1935 dan Danoesoegondo, 1936)
dan sebagai pos kilometer penting bagi Belanda, yaitu Semarang-Ambarawa-
Magelang-Yogyakarta. Selain itu juga karena daerah yang lebih datar
dibandingkan dengan distrik lain yang ada di Kabupaten Magelang.
Pada awal periode, Kota Magelang belum bisa sepenuhnya berkembang
sendiri karena mengalami kendala keuangan (Sjouke, Pemerintah Magelang, 1936.
Setelah situasi dan kondisi memungkinkan, pada tanggal 7 Februari 1913,
pemerintah kota meresmikan rumah tinggal yang digunakan sebagai balaikota dan
baru tahun 1923 atas inisiatif Meneer C.A. Schitzler dibangun balaikota baru di
bangunan lama pada bulan Januari 1924 dan diresmikan pada bulan Agustus 1924
150
(Sjouke, 1935, Magelang Vooruit 1937, Pemerintah Magelang, 1936). Bangunan
rumah tinggal dengan bentuk tradisional, dibongkar dan dibangun kembali di
lokasi yang sama dengan bentuk kolonial tropis.
Gambar 5.16 Lokasi Balai kota terhadap Kadipaten dan Karesidenan
(Sumber: peta administrasi tahun 1923 dan foto: Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Kadipaten
Karesidenan
Kotapraja
Ke Semarang
Ke Yogyakarta
Jalur pemandangan ke gunung
di sebelah Barat
Telomoyo - Andong
Sumbing
Sindoro – Sumbing
Merapi
151
Gambar. 5.17 Wilayah Karesidenan Kedu Setelah Tahun 1906
(digambar ulang dari peta 1915, 2010)
Gambar 5.18 Balai Kota Magelang sebelum dipugar dan setelah dipugar
(Sumber : Majalah Vooruit, 1935, Sjouke, 1935, Majalah Vooruit, 1936,
Pemerintah Magelang, 1936, AN van der Veen, 1965).
Pembangunan balai kota Magelang sangat menarik dengan bentuk kolonial
tropisnya yang berpadu dengan pertimbangan orientasi ke pemandangan alam yang
terbentuk di segala arah. Selain itu, disebutkan bahwa bangunan ini terletak di
jalan yang pada saat itu merupakan lahan yang sangat strategis untuk menikmati
keindahan dan kenyamanan dari jalan Residente laan. Jalan Residente laan
merupakan jalan yang dilengkapi boulevard yang sangat indah menuju ke
Kompleks Karesidenan Kedu (Pemerintah Magelang, 1936).
Sebelum Sesudah
Kab. Magelang
Temanggung
Bagelen
Kota Magelang
152
Tercatat beberapa fasilitas yang dibangun pada periode ini, yaitu water torn
(1916 – 1920) oleh Karsten di sebelah barat dalam alun-alun, Rumah Sakit Jiwa
Pusat di bagian Utara gemeente Magelang (1916), guest house para jenderal dan
militer (1920) yang berada di sekitar Taman Badaan saat ini, Rumah Sakit Budi
Rahayu (1935), Rumah Sakit Paru di Kerkopan atau Kwarasan 1939 selain juga
dibangun kawasan Kwarasan oleh Karsten serta gedung olah raga di kaki Bukit
Tidar. Fasilitas pemerintahan terdapat kawedanan (sekarang SMP N 2), kantor
RRI Magelang yang letaknya di sebelah Timur Kantor Karesidenan atau di sebelah
Barat Kantor Kotapraja. Rumah Sakit yang saat ini dikenal dengan RSJP (Rumah
Sakit Jiwa Pusat) dibangun di lahan kosong di sebelah Utara kota dengan orientasi
pada kesuburan tanah dan keindahan alam. Demikian juga kawasan Kwarasan
yang terbentuk di kota sebelah Barat-Selatan.
Fasilitas sekolah yang sudah ada di Magelang yaitu MULO (1914),
kompleks susteran, penyelesaian kompleks sekolah calon pamong praja yang
awalnya menggunakan area di dekat kantor karesidenan (kweekschool) serta
pembangunan gedung MOSVIA, Christen MULO (SMP K 1), Ambonsche School
(SD Magelang I,II,VI,VII), HIS (SMP N 4), Eropesche School 1ste
(Kantor PN),
Eropesche School 2de
(TK Pertiwi), Eropesche School 3de
(Balai
Pelajar/Perpustakaan Kota), Eropesche School School m/j Bijbel (SD K II Poncol),
HJS Kejuron (SD Cacaban IV), HJS jambon (perumahan Inspeksi Pajak), Christen
Schakelschool (SD K I Kemirikerep), Katholic Schakelschool
(Jl.Prawirokusuman), Holl.Chinese School (SKKP Kristen Jalan Tidar), Malaise-
Chinese School (SMP K III Pajajaran), Ambasch Leergang (ST/STM/SMP 13),
Standart School (Selatan Balai Pertemuan Paten), Vervolkschool, CVO (SD
Rejowinangun I), Kopschool (SD Cacaban I), Pawiyatan kelas III (Balai
Kesehatan Paten), Setya Hredaya Onderwijs, SHO (Paten Tegal, Agen beling),
Taman Siswa (Gudang tembakau Karang Kidul), Adhidarma (Asrama Pav de
Streur meteseh), Sekolah Cina, Tionghwa Hwaa Kwan (SD/SMP Sedar Nasional
Nanggulan, MOSVIA ( Veen, 1965).
Pertokoan terdapat di Groote Weg Noord (Jalan Ahmad Yani) sebagai
153
daerah usaha dan Groote Weg Zuid (Jalan Pemuda). Toko “Ong Sione Sing” yang
menjual rokok, Toko Swalayan “Hasselink”, Toko Bunga “Art Floral”, Toko
daging “Maison Tidar” dan Toko Serba Ada “Liong Hoe Ging” di groote weg. Di
Groote Weg Zuid antara lain Toko “Ong Hok Liem” yang menjual peralatan
rumah tangga dan sigaret, Toko “Tan” menyediakan perlengkapan mobil, listrik
dan alat olah raga, Penjahit “T.H.K.O” melayani pembuatan baju laki-laki dan
seragam, Japanish Fotografisch – Atelier “Midori” dan cabang perusahaan roti dari
firma Bie Sing Hoo (Sjouke, 1935). Selain itu beberapa perkantoran antara lain
Kantor gadai “Kroemer’s” yang terletak di Jalan Utama yaitu groote weg 18,
Kantor Biro arsitek “DJ MUIS” yang telah merancang kawasan Bayeman pada
masa itu dan Kantor Pusat Biro Arsitek H.Pluyter yang terletak di Residentielaan
(Sjouke, 1935, Veen, 1965).
Saluran Kota di Magelang dikembangkan pada periode 1906 – 1942.
Saluran Kota Magelang34
dimulai dari wilayah Sidotopo - Dekil - Menowo -
Potrobangsan-Plengkung I - Plengkung II - Pungkuran-Kadipaten-Kauman-
Mosvia-Plengkung Tengkon-Kemirikerep - lembah Bukit Tidar yang kemudian
mengalir ke luar daerah perkotaan untuk irigasi (Sukimin, 1984). Saluran kota
juga menjadi salah satu pemecahan bencana banjir yang pernah terjadi di tahun
1920 (Majalah Vooruit 1936). Sukimin (1984) menuliskan :
“ ….. Kalau saya bermain-main mulai dari pos Polisi Menowo, disana
belum ada warung-warung, lalu ke selatan, saya melihat saluran air yang
terus membujur ke Selatan melalui tengah Kota denga airnya yang
mengalir deras, karena air itu seolah-olah ditalang dengan tembok
pondasi yang kuat, yang makin ke Selatan seperti makin meninggi,
sehingga sampai di Selatan akan membatasi pemandangan dari jalan
besar Semarang-Yogyakarta, berupa rumput hijau yang terpelihara
sangat rapi, dan disela-sela oleh indahnya bunga ALANDA dan
BOUGENVILLE yang seolah-olah merambat pada dinding saluran yang
hijau itu. Dari dinding itu menjorok ketepi jalan adalah taman bunga
yang berwarna-warni, dengan pagar kawatnya setinggi ± ½ m. Taman itu
selalu ada yang menjagannya, dan tidak boleh anak-anak bermain
disitu…..”
34
Saluran ini sampai saat ini masih ada dan cukup terawat dengan istilah yang banyak dikenal oleh
masyarakat lokal dengan Plengkung I, Plengkung II dan Plengkung III (Tengkon) untuk
menggambarkan titik-titik tumpu saluran air. Jika tidak ada saluran air ini, Kota Magelang akan
banjir. Hal ini pernah terjadi pada akhir tahun 1990an pada saat saluran bocor dan daerah
sekitarnya terjadi banjir.
154
“ …. Karena lengkungan jimbatan air itulah maka tempat itu diseput
PLENGKUNG. Terus ke Selatan kira-kira 500m terdapat PLENGKUNG
lagi. Saluran di atas kota itu dari situ masih terus kelihatan sampai nanti
mendapatkan simpang empat yang ketiga jalan PUNGKURAN. Di jalan
Pungkuran itu saluran terus menerobos masuk ke komplek
KABUPATEN, terus menerobos kampong Kauman, lewat disamping
Masjid Besar,menerobos jalan besar, terus masuk melalui belakang
gedung MOSVIA. Dibelakang gedung Mosvia, saluran itu melompati
jalan lagi dengan Plengkung di kampong TENGKON, selanjutnya lewat
kampong Kemirikerep dan sampai dilembah kaki Gunung TIDAR.
Sampai disitu saluran itu menuju keluar daerah perkotaan dan berfungsi
sebagai saluran IRIGASI untuk mengairi persawahan disebelah Tenggara
Kota Magelang….. “
Gambar 5.19 Penggambaran Saluran Air (Plengkung) dengan tanamannya
(Sumber: Sukimin, 1984)
Gambar 5.20 Plengkung sebagai pendukung struktur saluran air
(sumber: Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Plengkung II Plengkung I
Saluran Air Kota Magelang
155
Pada akhir periode ini, Karsten, salah seorang arsitek Belanda ikut berperan
serta sebagai salah seorang konsultan dalam menata permukiman yang sudah ada
dengan membuat sebuah masterplan untuk beberapa kawasan terpilih (Magelang
Vooruit, 1937). Salah satunya adalah Kawasan Kwarasan yang dibangun dengan
mempertimbangkan karakter kawasan dan menggunakan panorama alam serta
penggunaan bentuk bangunan yang sesuai dengan bentuk lokal sebagai konsep
desainnya. Salah satu tujuan dibangunnya kawasan Kwarasan adalah mendapatkan
permukiman bersih dan sehat bagi masyarakat Belanda yang tinggal di Kota
Magelang (Magelang Vooruit, 1936). Selain itu, Belanda juga melakukan
pembangunan di sekitar Badaan (Majalah Vooruit, 1936).
Gambar 5.21 Permukiman Kwarasan sebelum dan setelah ditata Karsten, 1937
(sumber : Majalah Vooruit, 1936)
Permukiman dengan lapangan
Ngupasan yang belum tertata rapi
dan sehat
Permukiman yang sudah ditata
lingkungan agar sehat dengan
memperhatikan pemandangan
yang terbentuk dari kontur asli.
Lapangan tetap dipertahankan di
lokasi aslinya dan dijadikan
sebagai pusat kegiatan
156
Gambar 5.22 Kondisi perkembangan fisik Kota Magelang tahun 1923
(sumber : Digambar ulang dari Peta Tahun 1923)
Pecinan berkembang karena
adanya kegiatan
perekonomian dengan
pertimbangan kebijakan politik
Belanda
Militer berkembang di jalur
strategis namun agak jauh
dengan pusat kegiatan
Pertimbangan potensi alam
lebih dominan dibandingkan
fungsi kota pemerintahan.
157
Gambar 5.23 Kawasan Pusat Kota Magelang tahun 1923
(sumber : Digambar ulang dari Peta Kota Magelang tahun 1923 dan Koleksi
KITLV, Leiden, Belanda)
Klenteng Masjid
Pecinan Jalan Raya
Klenteng
Masjid
Kadipaten
Balaikota
Karesidenan
Penjara
158
Gambar 5.24 Kawasan Militer tahun 1923
(sumber : Digambar ulang dari Peta Kota Magelang tahun 1923 dan Koleksi
KITLV, Leiden, Belanda)
159
Perkembangan ke arah Utara dipicu setelah didirikannya kompleks militer
yang berada di sebelah Utara alun-alun yang pada Majalah Vooruit, yang
diceritakan sebelum era kereta api, daerah tersebut merupakan hutan yang hanya
bisa dilewati dengan berjalan kaki. Kawasan ini berkembang juga didukung
dengan adanya stasiun yang dibangun di sebelah Utara kompleks militer. seiring
dengan waktu perkembangan sudah menggunakan poros Utara Selatan dan barat
Timur namun masih sebatas dengan pertimbangan jalur utama (jalan Yogya-
Semarang) dan kompleks-kompleks yang sudah terbangun.
Kawasan Bayeman sebagai salah satu daerah permukiman, berkembang
pesat. Banyak rumah-rumah petinggi pemerintahan maupun saudagar didirikan di
sepanjang kawasan Bayeman yang banyak dibangun oleh Arsitek DJ Muis
(Majalah Vooruoit, 1936). Di kawasan sekitar Kompleks karesidenan banyak
dibangun rumah para jenderal dan petinggi karesidenan, salah satunya deretan tiga
rumah dengan satu rumah utama35
yang terletak di jalan Diponegoro.
Fasilitas kota yang ikut mempengaruhi perkembangan kota dengan lokasi
Kota Magelang berada di jalur strategis adanya pasar-pasar tradisional yang
berkembang di Kota Magelang. Terdapat beberapa pasar tradisional di Kota
Magelang, antara lain adalah Pasar Redjowinangun dan Pasar Gotong Royong.
Menurut artikel yang ditulis oleh walikota Magelang, Nessel van Lissa, pasar
Redjowinangun dalam perencanaannya dibuat oleh Thomas Karsten (Majalah
Vooruit, 1936).
“…. In verband met deen voorgebonomen bouw van een nieuwen
pasar op het passeterrein Redjowinganun, waarvan de plannen
reeds door den stedebouwkundig advseur der Gemeentee, den
Heer Ir. Karsten, zijn ontworpen, warden aan dezen pasar geen
kostbare verbetteringen tot stand gebracht. …..”
“… Sehubungan dengan pembangunan pasar baru di kawasan
pasar Redjowinganun, yang rancangannya telah dibuat oleh
35
Rumah ini diperkirakan milik seorang jenderal dengan konsep rumah utama dan rumah
pendukung yang dibawahnya menurut informasi pemilik tahun 2000 terdapat jalur persembunyian
dan jalur bawah tanah yang menghubungkan Kantor Karesidenan Kedu – rumah jenderal –
Kwarasan (wawancara pemilik rumah,anonym, 2000). Saat ini salah satu dari rumah tersebut telah
dibongkar pada tahun 2000an.
160
penasehat planologi kotapraja, Tuan Ir. Karsten, tidak dilakukan
perbaikan yang mahal pada pasar ini… “
Gambar 5.25. Kondisi Pasar Redjowinangun pada peta tahun 1910 dan 200036
(foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda; Utami, 2000)
Menurut artikel tersebut pasar memberi dampak pembangunan yang sangat
besar, karena letak Kota Magelang di tengah-tengah daerah perkebunan dan berada
di jalur strategis ke kota-kota penting yaitu Yogyakarta, Solo dan Semarang.
Pada tahun 1939 – 1941, di Magelang terjadi pembenahan besar-besaran
dan dilakukan pembangunan dalam segala bidang.
36
Pada tahun 2008 Pasar Redjowinangun terbakar dan sampai saat ini belum dibangun kembali
161
Gambar 5.26 Pengembangan daerah Barat dan Timur Kota Magelang
(sumber : dipetakan dari Soekimin, 1984)
Tahun 1938/1939 dilakukan pembenahan perkampungan (untuk alasan
kesehatan) dan juga pengaspalan perkampungan. Pada saat itu Magelang seolah-
olah terbagi menjadi dua zona yaitu zona kota lama-kota dagang (Magelang
Timur) dan kota baru-kota ambtenaren (Magelang Barat) dan pada saat itu
pembangunan terjadi di zona sebelah Barat Daya kota (Sukimin, 1984). Ini
didukung dengan dibuatnya jalan tembus di daerah Jambon – Jambon Kidul-
Gladiool. Pengaspalan kampung tahun 1938/1939 dilakukan antara lain di Jalan
pahlawan depan STM/ST, Jalan Raden Saleh dan sekitarnya, jalan-jalan di
kampong Potrosaran, Kebondalem, Potrobangsan, sebagian kampong Wates, Jalan
Dr.Soetomo dan sekitarnya, jalan-jalan di kampong Dukuh dan Boton, jalan di
kampung Bogeman, pembuatan Tugu Wolu dan jalan-jalan di Kampung
Magersari. Pembuatan jalan dan pengaspalan dilengkapi oleh saluran air dan
dialiri saluran kota (Sukiman, 1984).
Kawasan Barat
Kawasan Timur
162
Beberapa hotel yang dibangun pada periode ini antara lain Hotel Centrum
di Poncol dengan konsep taman dan kebun yang sangat indah. Lokasi yang
memungkinkan melihat panorama gunung khususnya yang berada di arah Timur,
Hotel Montagne (dalam bahasa Prancis montagne berarti gunung) yang berada di
lokasi jalan utama dan mempunyai panorama indah ke gunung-gunung yang
mengelilingi Kota Magelang dan bukit. Hotel Olga di simpang jalan karesidenan
yang mampunyai konsep taman dan kebun yang indah dan beberapa hotel kecil
lainnya. Selain itu pada tahun 1932, penginapan Loze dipugar dan dibangun hotel
besar dengan tetap mempertahankan keindahan alam sebagai inpirasi dengan
penggunaan bangunan berarsitektur tropis. Terdapat kebun di dalam kompleks
Hotel Loze dan kolam renang. Terlihat pada dua reklame hotel dan peta diatas,
hotel cenderung menggunakan simbol gunung untuk memperlihatkan Kota
Magelang.
Gambar 5.27 Reclame Hotel Loze dan Hotel Montagne
(sumber : Sjouke, 1935, Magelang Vooruit, 1936)
163
Periode ini juga diketemukan route-route perjalanan ke beberapa lokasi di
sekitar Kota Magelang (Krafft, 1935) yang dibuat oleh orang Belanda untuk
menikmati alam Magelang dan sekitarnya.
Gambar 5.28 Jalur Wisata di sekitar Kota Magelang
(sumber : Sjouke, 1935, Magelang Vooruit, 1936)
Potensi Kota Magelang sebagai kota perkebunan dijadikan gudang emas
baik bagi pemerintah Belanda maupun bagi masyarakat lokal. Curah hujan yang
sangat mendukung terbentuknya kualitas terbaik pada hasil perkebunan
menjadikan Magelang dan sekitarnya sebagai daerah unggulan. Kebijakan ini
mempengaruhi dikembangkannya Kota Magelang sebagai daerah industri
perkebunan dengan dibangun beberapa pabrik pengolahan perkebunan.
Pembangunan beberapa fasilitas untuk mendukung keberadaan masyarakat
baik Eropa maupun masyarakat lokal mempertimbangkan aspek alam sebagai
potensi utama Kota Magelang, walaupun di satu sisi pembangunan fasilitas itu
sendiri menggunakan lahan pertanian. Beberapa literatur menyebutkan adanya
beberapa arsitek yang terlibat dalam pengembangan Kota Magelang, yaitu Thomas
Karsten, DJ Muis dan H.Pluyter (Majalah Vooruit, 1935-1937). Karya Thomas
Karsten terdapat pada Menara Air (water torn), Pasar Redjowinangun dan
permukiman Kwarasan, DJ Muis banyak mendesain rumah-rumah yang ada di
kawasan Bayeman dan beberapa bangunan di Kota Magelang khususnya pusat
164
kota. Sementara H.Pluter dengan desain fenomenal melakukan pembangunan
kembali Masjid Besar Magelang. Ketiga arsitek tersebut mendesain bangunan dan
rumah tinggal di Magelang dengan memadukan bentuk bangunan kolonial dan
bangunan tradisional yang disesuaikan dengan iklim setempat.
Pada periode ini, banyak dibahas keindahan alam dan kesuburan tanah Kota
Magelang agar menarik masyarakat luar kota untuk datang dan menetap di Kota
Magelang. Daerah-daerah pertanian dengan persawahan yang khususnya terletak
di pinggiran kota dengan perkebunan yang banyak terdapat di Kota Magelang
maupun Kabupaten Magelang dijadikan sebagai potensi lokal. Pembangunan
fasilitas kota dan pengembangan kota yang terinspirasi oleh alam menjadikan
Magelang dikenal dengan Kota Taman atau Kota Kebun (Lissa, 1935,
Danoesoegondo, 1936, Pemerintah Magelang 1936, Soekimin 1984). Misalnya
pembangunan setelah dipugarnya Losmen Loze, yang dalam reklamenya dan
uraian yang ditulis dalam Majalah Magelang vooruit memberikan informasi akses
pemandangan yang bisa dinikmati dari dalam gedung dan dari kebun belakang.
Selain itu, Karsten tidak menggunakan konsep cut and fill, namun justru
membiarkan adanya kontur sebagai potensi utama dalam perencanaan.
Gambar 5.29 Panorama dan letak yang strategis menginspirasi perkembangan
Kota Magelang
(sumber : analisis, 2011; foto: Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Perkebunan
Perkebunan
Perkebunan
165
Banyak kegiatan yang ada pada saat itu terkait dengan kegiatan pertanian,
perkebunan maupun peternakan. Bisa dijelaskan bahwa pada saat itu sudah
terdapat beberapa kesenian misalnya tarian dan juga pencak silat sebagai salah satu
kesenian bela diri. Peternakan antara lain adalah sapi, kambing, burung dan kuda.
Sementara itu, pada pameran tahun 1936 terlihat adanya pameran kesenian yang
menampilkan beberapa budaya dari luar, misalnya Batavia dan Ponorogo (Majalah
Magelang Vooruit, 1936) dengan kemenarikan penyediaan restauran di atas water
torn, sebagai simbol kota yang dibangun oleh Karsten pada tahun 1916. Buku
Tentoonstellings- uitgave van Vereeniging, 1936 diketahui ada beberapa kesenian
yang dipamerkan antara lain Ketoprak “Darmo Moedo”; Kerontjong Prampoewan
dari Priangan; Lenong dari Betawi; Gamelan; Reog Ponorogo dan Longser dll.
Gambar 5.30 Pameran tahun 1924 di Alun-alun Kota Magelang
(foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
166
Gambar 5.31 Denah pameran di Kota Magelang Tahun 1936 di Alun-Alun
(sumber : Tentoonstellings- uitgave van Vereeniging, 1936)
5.2.2.3.2 Pengaruh pemerintah kolonial Belanda dalam
pengembangan Kota Magelang sebagai kota peristirahatan. Belanda memberi
warna sangat kuat pada periode ini, seiring dengan penunjukkan distrik Magelang
sebagai kotapraja yang dipimpin oleh seorang walikota (burgemester) Belanda.
Permukiman, perkantoran dan sekolah ditata mengikuti peraturan kebijakan
pemerintah Belanda dan potensi alam yang terbentuk dari Kota Magelang.
Fasilitas banyak dibangun untuk kebutuhan orang Eropa yang menganggap
kotapraja Magelang sebagai tempat yang tepat untuk dikembangkan sebagai kota
peristirahatan dengan letak yang strategis.
Keinginan Belanda menjadikan Magelang sebagai kota yang mampu
mendukung kota-kota disekitarnya, telah mendorong pemerintah Belanda
melakukan berbagai pembangunan. Magelang sebagai kota pendukung
perkebunan, dikembangkan menjadi kotapraja sebagai pusat kegiatan perkebunan
dan meletakkan beberapa pabrik untuk pengolahan hasil perkebunan. Fungsi
sebagai kota militer dan kota pertahanan telah mendorong pemerintah Belanda
167
untuk membangun fasilitas-fasilitas militer antara lain KNIL, guest house, societiet
militer dan sebagainya.
Beberapa peristiwa yang terjadi di Magelang ikut mempengaruhi kebijakan
pemerintah dalam mengembangkan Kota Magelang. Beberapa peristiwa yang
terjadi di Magelang dalam kurun waktu 1906 – 1942 yang berdampak pada
kebijakan pembangunan antara lain :
a. Tahun 1906 dan tahun 1929, pengangkatan Magelang sebagai gemeente
dan stadgementee yang berakibat pada banyaknya kebijakan dalam
membangun fasilitas pemerintahan dan pendukung (Pemerintah Magelang,
1936, Majalah Vooruit, 1937)
b. Tahun 1920, banjir yang melanda di Magelang mendorong pemerintah
melakukan perbaikan kampung dan fasilitasnya (Majalah Vooruit, 1937)
c. Tahun 1931 dan 1936, penyebaran penyakit karena kualitas permukiman
yang tidak terjaga mendorong pemerintah umtuk melakukan perbaikan dan
pengembangan kampung. Beberapa permukiman yang diperbaiki oleh
pemerintah yaitu permukiman Kwarasan, Kebondalem, Botton, Dukuh,
Samban, Ngentak, Pucangsari, Ringinanom dan Magersari (Majalah
Vooruit, 1935). Selain itu pada tahun 1936 juga dilakukan pengembangan
di sekitar pusat kota, misalnya Bayeman, Samban, Jagoan , Ngupasan
(akhirnya menjadi Kwarasan) dan Kemirirejo (Majalah Vooruit 1936)
5.2.3 Kota Magelang pada periode pemerintahan Jepang (1942 – 1945)
5.2.3.1 Perkembangan Kota Magelang pada periode pemerintahan Jepang.
Pada periode kekuasaannya, Jepang hanya menduduki Indonesia dalam
rentang waktu yang sangat singkat37
. Pada jaman ini hampir semua jalan rusak,
taman-taman tidak terpelihara namun tidak banyak diadakan perbaikan sarana
37
Sebenarnya jika melihat beberapa toko dan perusahaan dengan nama-nama Jepang, kemungkinan
orang-orang Jepang sudah ada sebelum Jepang secara resmi menguasai Magelang. Salah satu toko
atau studio yang menggunakan nama Jepang adalah studio foto Azumi yang banyak
mendokumentasikan bangunan-bangunan di Magelang pada era tahun 1910-1920an
168
prasarana. Pada umumnya Jepang hanya menggunakan bangunan yang ada dan
mengalihfungsikan beberapa bangunan untuk kepentingan pemerintahan Jepang.
Misalnya bangunan MOSVIA yang beralih fungsi pada saat pemerintahan Jepang
sebagai tempat latihan pemuda (Nomin Sinentai), Gedung HCS sebagai markas
kempeitai, asrama Huishoutschool di jalan Kartini sebagai markas nakamura Butai,
gedung susteran sebagai Zokyu Nippongo Gakko (Sukimin, 1984 : 29). Bangunan
baru yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda pada tahun 1936 dan
dilanjutkan Jepang tahun 1942 dengan dikerjakan secara gotong royong oleh
seluruh masyarakat adalah gelanggang olah raga ( Majalah Vooruit, 1936) yang
diresmikan pada tahun 1943.
Gelanggang olah raga diresmikan pada tahun 1943 tersebut, sebenarnya
dibangun bersamaan dengan pembangunan Kawasan Kwarasan, namun baru
diresmikan pada tahun 1943 (Sinar Matahari Djokyakarta, April 1943).
“ …. Tanggal 26 boelan ini, saja djoempai oeraian tentang pemboekaan
resmi dari lapang olah-raga “Tidar” di Magelang…..”
“ Saja kenali Goenoeng “Tidar” di Magelang itoe dari dekat. Boekan
satoe doea kali, tetapi berkali-kali saja mengoendjoenginja. Di jaman
Belanda, lapangan loeas di kaki goenoeng “Tidar” itoe tidak
dipergoenakan sebagaimana mestija. Sekarang di kaki goenoeng
“Tidar” itoe bangsa Indonesia tidak disoeroeh “tidoer” tetapi disoeroeh
melatih diri, menjentausakan rochani dan djasmaninja” (Tjahaja, April
1943).
Pada tahun 1943 bulan April, diresmikan juga bangunan Si Fudjin Kai yang
pada tanggal 9 Juni 1943 sebagai tempat upacara dan tempat latihan baris berbaris.
Pada tahun 1943 dibuka Sekolah Pertanian di Magelang. Beberapa perubahan
fungsi bangunan yang juga terjadi pada masa pemerintahan Jepang antara lain
dibukanya cabang Bank di Magelang dengan nama The Yokohama Specie Bank
Ltd Cabang Magelang (Pewarta Niaga, 1942), tahun 1943 dibuka kantor cabang
pembuatan peta khusus wilayah Jawa Tengah (Pandji Pustaka, 1943).
Untuk mendukung transportasi yang menghubungkan Magelang dengan
kota yang lain selain dengan menggunakan kereta api adalah dibukanya
transportasi Magelang – Purworejo serta Magelang – Temanggung – Wonosobo
(Majalah Tjahaja, September 1942).
169
Gambar 5.32. Pertumbuhan bangunan dan kawasan tahun 194538
(sumber : digambar ulang dari peta kota 1945, 2010)
38
Pada umumnya pada tahun 1945 dan 1923 tidak terjadi perbedaan signifikant, hanya terkait
perubahan fungsi bangunan.
170
Sementara itu dengan letaknya yang selalu dianggap strategis dan
menunjukkan kontinuitas, pada tahun 1944 juga diadakan pameran atau pasar
malam pada tanggal 24 Agustus sampai dengan tanggal 10 September “Pasar
Malam Djawa Senloolai” di lapangan Tidar Magelang (Soeara Asia, Agustus
1944). Penggunaan lapangan Tidar menjadi sangat menarik, karena pada saat
bersamaan juga digunakan untuk menghimpun pemuda untuk berlatih.
Penggunaan lembah Magelang sebagai pengontrol keamanan seperti yang
pernah dilakukan Belanda pada awal penguasaan terkait pergerakan lokal menjadi
satu hal yang menarik pada penggunaan ruang kota. Jepang mengontrol
pergerakan lokal dan serangan dari pemerintah sekutu Inggris dengan cara
menguasai Kota Magelang karena letaknya yang strategis dan sebagai basis militer.
Kaki Bukit Tidar, alun-alun, taman Badaan, lapangan militer banyak digunakan
sebagai tempat berkumpul bagi masyarakat untuk dapat dilatih dan diberikan
semangat perjuangan untuk menolak keberadaan penguasa Eropa, walaupun
sebenarnya ini merupakan bagian dari politik pemerintah Jepang dalam menguasai
masyarakat setempat. Masyarakat pada saat itu melihat lembah dengan fungsi
yang tidak menguntungkan dan bergerak ke kaki gunung. Sehingga terdapat dua
keyakinan berbeda antara penguasa dan masyarakat dalam melihat potensi kota.
5.2.3.2 Pengaruh pemerintah Jepang terhadap perkembangan Kota
Pemerintah Jepang berfokus pada pertahanan penguasaan. Pemerintah
Jepang hanya melakukan pengalihan fungsi bangunan ataupun kawasan serta
mengganti sistem pemerintahannya. Tidak ada pengaruh pada perkembangan kota
baik secara fisik maupun dari budaya bermukimnya. Ruang terbuka menjadi salah
satu fasilitas utama kota yang digunakan oleh pemerintah Jepang.
5.2.4 Perkembangan bentuk fisik periode kolonial (1810 – 1945).
Magelang berkembang sangat pesat pada saat dikuasai Belanda, khususnya
setelah dipilihnya Distrik Magelang sebagai ibu kota karesidenan pada tahun 1817,
kota militer pada tahun 1828 dan puncaknya dengan dinaikkan status Distrik
Magelang sebagai gemeente pada tahun 1906. Tercatat pada tahun 1936 di
171
Magelang terdapat 4650 orang Eropa, 4500 orang Cina, 200 orang Arab dan 48850
masyarakat lokal (Majalah Vooruit 1936), sementara pada tahun 1818 tercatat
hanya 24 orang Eropa dan 1919 orang Cina serta pada tahun 1834 terdapat 101
orang Eropa dan 2150 orang Cina (Lissa, 1936).
Beberapa alasan dikembangkannya fungsi ibu kota pemerintahan, kota
militer dan status gemeente yang akhirnya membentuk sebagai pusat kegiatan
adalah :
1. Magelang sebagai distrik yang berada di lokasi yang strategis (Yogyakarta
– Semarang – Surakarta)
2. Lembah Magelang sebagai bagian dari gudang beras/gudang makanan dan
daerah perkebunan yang diharapkan akan mendukung kelangsungan hidup
pemerintah
3. Lembah Magelang lembah yang paling datar dibandingkan dengan daerah-
daerah hinterland lainnya, memungkinkan sebagai pusat pertahanan untuk
memberantas pergerakan-pergerakan lokal dan kota peristirahatan yang
mempunyai pemandangan alam yang sangat indah
Gambar 5.33 Aspek yang mempengaruhi Kota Magelang 1813-1942
Magelang
STRATEGIS
GUDANG
BERAS LOKASI
DATAR
ALAM
INDAH
Pusat Kegiatan
Ibu Kota Pemerintahan
Militer
Permukiman
Pabrik Hasil
Perkebunan
Peristirahatan Peristirahatan
Potensi dari dalam kota Potensi dari luar kota
172
Tabel 5.2. Kronologis Magelang sebagai wanua, distrik, regency, gemeente dan
stadgemeente
78 – 88
(mitologi)
Dilakukan pembukaan lahan di tanah Jawa dengan menancapkan tumbal di
Bukit Tidar
± 500 Prasasti Tuk Mas yang mencerita lembah yang diapit dua sungai suci yang
dikelilingi oleh tempat suci (gunung)
905 Wanua Poh yang masuk dalam Watak Kinawang, Kerajaan Mataram Kuno
dijadikan daerah perdikan sebagai daerah sima yaitu daerah bebas pajak
untuk kepentingan bangunan suci
907 Wanua Mantyasih Kerajaan Mataram Kuno, yang saat itu dipimpin lima
patih menjadi daerah perdikan sebagai daerah sima kepatihan untuk menjaga
bangunan-bangunan suci yang ada disekitar Wanua Mantyasih dan menjaga
jalan raya Wanua Kuning Kagunturan
1006 Wanua Poh dan Mantaysih hancur karena letusan Gunung Merapi
1546 Kdu menjadi bagian dari Pengging dan Demak
1575 Kebon Dalem masuk dalam wilayah Kdu yang menjadi bagian dari
Mataram Baru yang dipimpin oleh seorang demang
1755 Kebon Dalem masuk dalam wilayah Kdu sebagai daerah tempat
peristirahatan dan kebun sultan dengan di bawah wewenang Wedana Jaba
(Siti Bhumi)
1810 Inggris membentuk regency Magelang yang terdiri dari tujuh distrik dengan
ibu kota kabupaten di distrik Magelang (Kebon Dalem) serta membangun
tiga elemen dasar kota yaitu alun-alun, kadipaten dan masjid
1813 Magelang dikuasai Belanda
24 Maret 1817 Belanda meningkatkan Kedu menjadi Karesidenan Kedu
14 Maret 1818 Magelang dijadikan ibu kota Karesidenan Kedu dengan SK Komisaris
Jendral 14 Maret 1818 no 24 dan membangun kantor karesidenan di sebelah
Barat alun-alun
13 Maret 1828 Jendral De Kock memindahkan markas besar tentara Belanda dari Surakarta
ke Kota Magelang dan membangun kompleks militer di sebelah Utara alun-
alun
31 Juli 1901 Dibentuk Karesidenan Kedu yang terdiri dari Gemeente Magelang, Regency
Magelang, Regency Temanggung, Regency Purworejo, Regency Wonosobo
dan Regency Kebumen
1906 Resmi dibentuk Gemeente Magelang dengan dipimpin Burgemeester
1929 Magelang dijadikan Stadgemeente dan berhak mengurus rumah tangganya
(sumber : Utami, 2011)
173
Gambar 5.34 Bentuk fisik pusat Kota Magelang tahun 1810 – 1945
(sumber : rekonstruksi, peta administrasi tahun 1870, 1906, 1923 dan 1945)
174
Gambar 5.35 Beberapa karakter bangunan yang ada tahun 1945
(sumber : rekonstruksi, peta administrasi tahun 1870, 1906, 1923 dan 1945)
Bangunan yang terletak di sekitar alun-
alun mempunyai karakter sebagai
bangunan kolonial tropis dengan
mengacu pada potensi alam kota
Bioskop Roxy dan Restaurant Bandung Bank ESCOMPTO
Kantor Biro Arsitek DJ MUIS
Toko Hasselink (Poncol)
Hotel Loze Hotel Montagne (Poncol)
175
5.2 Bentuk Fisik Kota Magelang Setelah Indonesia Merdeka
5.3.1 Bentuk fisik Kota Magelang periode Perjuangan Fisik
5.3.1.1 Perkembangan Kota Magelang pada periode perjuangan fisik.
Pada tahun 1946, Kota Magelang sebagai salah satu kota yang berkembang
mempunyai penduduk kurang lebih 30.352 jiwa (Koran Merdeka : Suara Rakjat
Republik Indonesia, November 1946). Kota Magelang pada periode ini menjadi
salah satu kota yang menjadi medan pertempuran yang kemungkinan disebabkan
lokasi yang strategis diantara Yogyakarta dan Semarang serta karena fungsinya
sebagai kota militer. Pada bulan Nopember 1945, Inggris yang memusatkan
kekuatan besar-besaran di Magelang dengan didukung Markas Tentara Sekutu
Inggris di Tuguran yang berakibat pada meletusnya peperangan dan kemudian
diakhiri dengan Pidato perhentian peperangan oleh Presiden Sukarno pada tanggal
2 November 1945 lewat RRI Semarang yang diumumkan menggunakan corong
RRI Magelang. Beberapa kantor pemerintahan pusat Jakarta dipindahkan di Kota
Magelang, salah satunya adalah Badan Keoeangan Negara yang menggunakan
salah satu lokasi di Kompleks Karesidenan Kedu (Koran Merdeka : Suara Rakjat
Republik Indonesia, November 1946) serta Kantor Besar Pedjabat Padjak pada
tahun 1946. Selain itu juga dibukanya Laboratorium dan Kantor Kesehatan Kedoe
di Bayeman no 12 yang digunakan sebagai kantor kesehatan (Koran Merdeka :
Suara Rakjat Republik Indonesia, September 1946 dan Mimbar Merdeka,
September 1946).
Pada tanggal 20 Desember 1948 terjadi pembumihangusan oleh masyarakat
terhadap beberapa bangunan penting dengan pertimbangan bangunan tersebut tidak
dikuasai Belanda kembali. Ini merupakan salah satu politik oleh masyarakat dalam
mempertahankan posisi penting kota yang berada di letak strategis kota
Yogyakarta – Semarang. Strategi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat lokal,
namun juga dibantu dari kekuatan militer di sekitar Kota Magelang. Bangunan-
bangunan yang dibumihangus antara lain (Sukiman, 1984) sebagian tangsi militer
dan Kaderschool; sebagian gedung kantin militer (dwi warna); kantor kawedanan
(SMP 2 ); SR IV (Balai Pelajar), Pengadilan Negeri Boton; sebagian gedung SMP
176
1; Gedung Kesenian Panti Peri; Gedung SD di sepanjang jalan Pahlawan; Markas
PMI Jalan A Yani; Hotel Nitika (Hotel Montagne); MOBRIG di Karesidenan
Kedu; sebagian gedung Yayasan Pav de Steur; Maskas ALRI; Kadipaten
Magelang; Kantor Pengadilan Negeri (Bank BPD Jateng) Gedung Balai Pemuda;
Gedung Asia Raya; Hotel Loze (Magelang Theater); Bioskop Roxy; Gedung
Susteran (SMKK Pius); Sebagian Gedung Mosvia; Kantor Kepolisian Kota; HJS
Kejuron dan HJS Jambon.
Bangunan-bangunan yang dibumi hangus tersebut telah membuat
Magelang menjadi kota yang tidak terurus. Pada periode 23 Desember 1948 – 27
Desember 1949 Belanda melakukan perbaikan-perbaikan, yang antara lain
mengaspal jalan protokol; memperbaiki jembatan progo (yang menghubungkan
Magelang-Bandungan) serta merehabilitasi gedung-gedung yang mereka tempati
dan membuka kembali sekolah-sekolah. Pada tahun 1949 masyarakat yang
sebelumnya mengungsi di daerah kaki gunung atau Kabupaten Magelang, mulai
datang di Kota Magelang, karena adanya pengumuman keselamatan sudah bisa
didapatkan di daerah Kota Magelang (Merdeka : Soeara Rakjat Republik
Indonesia, 1949). Salah satu bangunan yang diperbaiki adalah bangunan
Pengadilan Negeri pada tahun 1949 (Koran Pelita Rakjat, Febuari 1949).
Gambar 5.36 Bangunan di kawasan pusat kota yang dibumihangus tahun 1948
(gambar ulang dari informasi Sukimin, 1984)
Warna kuning : bangunan yang dibumihanguskan
177
Gambar 5.37 Peristiwa Pembumihangusan oleh masyarakat lokal
Peristiwa pembumihangusan membuktikan Kota Magelang sebagai daerah
yang dianggap penting untuk dikuasai karena letaknya yang strategis sebagai
daerah pertahanan dan sebagai jalur penghubung beberapa kota penting saat itu.
Selain itu juga terdapat peristiwa penting pada tahun 1948 sebelum pecahnya
Agresi Militer II, yaitu diselenggarakannya Konggres Kebudayaan Indonesia pada
tanggal 20 Agustus – 25 Agustus 1948 di Magelang (Pelita Rakjat, 1948).
5.3.1.2 Pengaruh Pemerintah Pusat dalam pengembangan Kota Magelang.
Letak Kota Magelang yang strategis serta sebagai kota militer telah
mempengaruhi pemerintah pusat dalam kebijakan penggunaan lahan ataupun
bangunan. Salah satunya yaitu pemindahan Kantor Besar Pedjabat Padjak dan
Badan Pemeriksa Keoeangan Negara (Majalah Vooruit 1935) serta pengembangan
kawasan militer.
STRATEGIS IBU KOTA
PEMERINTAHAN
PUSAT
KEGIATAN
KOTA
MILITER
BASIS
PERTAHANAN
PERISTIWA
PEMBUMIHANGUSAN
178
5.3.2 Bentuk fisik Kota Magelang periode perbaikan fisik (1950 – 1980)
5.3.2.1 Perkembangan Kota Magelang pada periode perbaikan fisik dan
pengembangan wilayah berdasar potensi kota.
Pada rentang waktu 1951 sampai dengan 1960 Kota Magelang bisa
dikatakan tidak banyak berubah22
. Kondisi politik pada saat itu belum mendukung
untuk melakukan pembangunan. Baru pada tahun 1960/1965 Kota Magelang
mulai melakukan pembangunan di beberapa aspek, antara lain pembangunan
kembali Pasar Rejowinangun dan kios-kios pasarnya yang berjajar di sebelah
Timur Pasar Rejowinangun ke arah Keplekan. Namun hal ini menurut Sukimin,
1984, justru telah merusak pemandangan indah yang sebelumnya bisa dinikmati
dari Barat – Timur, dari simpang tiga Bayeman ke arah Timur (Sukimin, 1984
:32), seperti dituliskan dalam bukunya yang berjudul :
“Pada tahun 1960/1965 ada pembangunan fisik yang agak
lumayan, yaitu membangun kios-kios pasar dan Kantor Pasar
Rejowinangun. Bangunannya memang menjadi baik, tetapi karena
kios-kios itu dibangun melonjok ke jalan, maka lalu
menghilangkan pemandangan yang bagus. Yaitu, semula bila
orang berdiri di simpang tiga RSU Tidar, lalu menghadap ke
Timur, pandangannya akan lurus jelas sampai ke simpang tiga
jalan Mataram/Keplekan. Tetapi setelah pembangunan itu,
pandangannya terhalang kios-kios itu. Ini mengurangi
keindahan…. “(Sukimin, 1984 :32)
Pembenahan kampung untuk perencanaan seluruh kota dimulai pada tahun
1968, antara lain pembangunan rumah sehat Menowosari yang awalnya adalah
rawa dan sawah yang tidak terawat, tahun 1972 - 1973 dilakukan pelebaran jalan
di Pecinan dan pembuatan trotoarnya serta pembangunan kios-kios di sepanjang
Jalan Ahmad Yani Utara (Sukimin, 1984). Pemindahan terminal dari Barat pasar
ke bekas kuburan Cina di Utara Bukit Tidar yang saat ini menjadi pertokoan dan
pusat perhentian angkutan dalam kota. Perkembangan pusat kota dan sekitar pasar
mendorong untuk mengalihkan kegiatan transportasi dikemudian hari.
22
Pada tahun 1950-1960, Pembangunan di Magelang tidak berjalan dengan alasan keuangan dan
juga kondisi saat itu masih belum bisa dikatakan aman (Sukimin, 1984).
179
Tabel 5.3. Bangunan yang dibangun tahun 1966 – 1979 di Kota Magelang
No Nama Bangunan Lokasi
1 Gedung Asuransi Jiwa Sraya Jalan Ahmad Yani, Poncol
2 Sekolah SMEA N Jalan Ahmad Yani, Kramat
3 Sekolah SMA Pendowo Jalan Perintis Kemerdekaan, Kupatan,
Kramat
4 Gedung Toyota Motor Jalan Ahmad Yani, Kedungsari
5 Gedung Kedu Motor Jalan Ahmad Yani, Dekil, Kedungsari
6 Gedung SMP Persiapan II -
7 Gedung SD Santa Maria Jalan Ahmad Yani, Bodongan, Kramat
8 Gereja Fatimah Jalan Ahmad Yani, Pucangsari,
Kedungsari
9 Perumahan Perhutani Jalan Kartini
10 Sekolah SMP N 3 Pulo Mas, Pucangsari, Kedungsari
11 Perumahan Menowosari Menowo
12 Gedung Universitas Tidar Tuguran
13 Kios-kios di Jalan A.Yani Jalan Ahmad Yani, Pucangsari dan
Kedungsari
14 Sekolah SMP N 5 Magelang Sanden, Kramat
15 Monumen Jendral Ahmad Yani Taman Badaan Barat
16 Gedung Balai Pelajar Jalan Pahlawan
17 Kantor Dep.Dik.Bud Kodya Jalan Pahlawan
18 Kantor DPRD Jalan Veteran
19 Kantor Pemerintah Daerah Jalan Veteran
20 Kantor Catatan Sipil Jalan Pahlawan
21 Kantor Inspeksi Pajak Jalan Veteran
22 Kantor Bea Cukai Jalan Veteran
23 Rumah Dinas Kepala BNI Jalan Pahlawan
24 Sekolah TK Pertiwi Kodya Jalan Diponegoro
25 Kantor PKK Kodya Jalan Diponegoro
26 Kantor Pengadilan Negeri Jalan Ahmad Yani – JalanVeteran
27 Fountain alun-alun Alun-alun
28 Taman Hiburan Rakyat Jalan Ahmad Yani
29 Gedung Olah Raga Jalan Ahmad Yani
30 Pembangunan Pasar Ampera Jalan Tidar
31 Perbaikan Gedung RSU Jalan Tidar
32 Perbaikan Stadion Tidar Jalan Tidar
33 Membuat Monumen Pahlawan Tidar Jalan Tidar
34 Membangun Pasar Tidar Jalan Tidar
35 Membangun Terminal di lembah
Tidar
Jalan Ikhlas
36 Pembangunan perumahan Karet Karet, Jurangombo
(sumber : Sukimin, 1984)
180
Gambar 5.38 Penyebaran Kompleks Militer di Kota Magelang
(sumber : Peta 2000)
Kompleks Militer Armed Sambung
merupakan kawasan militer baru.
Sebagai pengembangan kota
Kompleks Akademi Militer
berkembang seiring dengan fungsi Kota
Magelang sebagai kota militer.
Kompleks Rindam sejak dulu
digunakan sebagai kompleks militer
yang berkembang sejak tahun 1828
Kompleks Militer Armed Sambung
merupakan kawasan militer baru.
Sebagai pengembangan kota
Kota Magelang berkembang sebagai kota
militer dengan selalu ditambahnya fasilitas-
fasilitas militer untuk mendukungnya
181
Gambar 5.39 Perkembangan Kota Periode 1950 – 1980 dengan mengacu pada
kota taman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
Perkembangan Kota Magelang pada periode ini dipacu juga oleh semakin
berkembang pesatnya fungsi kota sebagai kota militer dengan dibangunnya
Akademi Militer Nasional pada tahun 1957 sebagai pusat pendidikan (lihat
Gambar 5.38). Fasilitas-fasilitas militer dikembangkan seiring dengan fungsi Kota
Magelang sebagai Kota Militer.
5.3.2.2 Pengaruh pemerintah Kota Magelang dalam pengembangan kota
Pemerintah pada periode ini mulai berusaha untuk melakukan pembangunan
di segala bidang khususnya dengan tujuan awal untuk mengembalikan kota
Magelang sebagai kota yang asri dan kembali ke alam sebagai pertimbangan
utama. Pemerintah memberikan saran pengembalian ke fungsi kota pada masa
kolonial Belanda, yaitu sebagai kota taman dan kota peristirahatan dengan
mengacu pada potensi alam yang terbentuk dari Kota Magelang sebagai
pertimbangan pengembangan kota. Walaupun pada akhir periode terdapat
beberapa kebijakan pembangunan yang justru berbeda dengan konsep awal.
Kota
Perekonomian
Pusat
Kegiatan
Kota
Militer
Strategis
Kota
Taman
182
5.3.3. Bentuk fisik Kota Magelang periode Kota Jasa dan Kota Transit
(1980 – 2000)
5.3.3.1 Perkembangan Kota Magelang sebagai kota jasa dan transit.
Kota Magelang pada periode ini mulai melakukan perubahan konsep kota
menjadi kota transit-jasa Semarang – Yogyakarta – Purworejo yang berdampak
pada perubahan wajah kota. Mulai tahun 1980 mulai dilakukan perbaikan dan
pelebaran jalan, antara lain Jalan Pahlawan, Jalan Tidar dan Jalan Tentara Pelajar
yang akhirnya menjadi generator bagi perkembangan tata ruang di kawasan yang
dilewati perbaikan dan pelebaran jalan (Sukimin, 1984; Utami, 2001).
Pembangunan kembali Pasar Gotong Royong tahun 1980-an karena kebutuhan
perdagangan yang tidak mampu ditampung oleh Pasar Rejowinangun. Selain itu
pada tahun 1980-an juga dibangun sebuah gedung pertemuan yang terletak di Jalan
Kartini, yaitu Gedung Pertemuan Bumi Kyai Sepanjang.
Puncak pembangunan pada periode ini terjadi pada tahun 1990 sampai
dengan tahun 2000 dengan pembangunan gedung-gedung baru serta perumahan
yang tersebar dari Selatan dan Utara dengan konsep pengembangan daerah Timur
dan Utara. Generator di sebelah Timur adanya terminal baru, generator di sebelah
Utara adanya pembangunan beberapa fasilitas kesehatan, daerah Mako dengan
pemindahan kantor pemda dari jalan Veteran serta dibangunnya Taman Kyai
Langgeng di sebelah Barat kota (Utami, 2001 dan Utami, 2010).
Pada periode ini, banyak bangunan baru yang menggantikan bangunan
lama dan juga banyak bangunan baru yang dibangun di kompleks bersejarah.
Dalam rentang waktu dua puluh tahun, beberapa kompleks bangunan yang berubah
konsepnya antara lain Kompleks Rumah Sakit Jiwa, Losmenan, Pecinan, Balai
Kota dan Rumah Sakit Tentara. Kompleks Rumah Sakit Jiwa Kramat yang
dulunya merupakan rumah sakit jiwa dengan konsep ruang terbuka dan
mempertimbangkan kondisi alam yang ada, digantikan dengan pertokoan dan
perumahan baru di bagian Selatan kompleks dan akademi-akademi kesehatan di
bagian barat Selatan kompleks. Rumah Sakit Jiwa Pusat (RSJP) yang dibangun
183
tahun 1916, terletak di ujung Utara Kota Magelang merupakan kompleks yang
cukup luas yang dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap dan penataan
landsekapnya yang sangat menarik.
Gambar 5.40 Bangunan di kompleks RSJP dan Ruang terbuka yang berubah
menjadi akademi, pertokoan dan perumahan
(sumber peta : Utami, 2010 dan Google earth 2010; foto: Utami, 2007-2012)
184
Gambar 5.41 Perkembangan ruang fisik Kompleks Rumah Sakit Jiwa di Kramat
(sumber : peta tahun 1906, 1945 dan 2010)
1906
1940
2010
Rencana Lahan RSJP
Sawah Tegal
Kampung
Kompleks RSJP
Sawah
Tegal
Kolam Ikan
Kompleks RSJP
Permukiman
Perumahan dan
Pertokoan
Tahun 1906, merupakan lahan
sawah dengan beberapa
tegalan
1945, kompleks RSJP
dilengkapi ruang terbuka,
lahan pertanian. Orientasi
kawasan ke arah barat dan
Timur, ke arah gunung
2010, kompleks RSJP
Ruang terbuka dan lahan
pertanian bergeser menjadi
perumahan dan pertokoan
Keindahan dan kesuburan digeser
oleh kestrategisan karena aspek
perekonomian
185
Sementara itu, di kawasan pusat kota dan sekitar Alun-alun, terdapat
banyak perubahan bentuk dan fungsi bangunan yang akhirnya menjadi generator
perubahan fasad bangunan di kawasan pusat kota, antara lain:
a. Pusat Perbelanjaan Gardena menggantikan Bioskop Roxy
b. Pusat Perbelanjaan Matahari menggantikan sebagian dari Losmenan
c. Kantor Bank Pemerintah Daerah (BPD) menggantikan Kantor Pengadilan
d. Bank Central Asia (BCA) dan Perbelanjaan Trio menggantikan societiet
e. Balai Latihan Keuangan (BLK) menggantikan kompleks kadipaten.
Sementara itu pada periode ini juga berkembang beberapa kawasan yang
disebabkan karena adanya generator baru, antara lain adalah:
a. Kawasan Kyai Langgeng yang awalnya merupakan taman bunga
berkembang menjadi tempat wisata dan menjadi generator bagi
perkembangan di kawasan sekitarnya
b. Kawasan Canguk yang berkembang seiring dengan dipindahkannya
terminal kota dari kaki Utara Bukit Tidar ke daerah Timur
c. Kawasan Sidotopo yang awalnya merupakan ruang terbuka kota dan
dibangun beberapa fasilitas kota. Perkembangan ini merupakan bagian
dari adanya pengembangan sekolah-sekolah di Kota Magelang.
d. Kawasan Sanden yang awalnya didominasi oleh ruang terbuka hijau dan
sawah, menjadi berkembang dengan Gelanggang Olah Raga (GOR) dan
kemudian didukung dengan dibangunnya Rumah Sakit Islam.
186
Gambar 5.42 Generator Kawasan yang mempengaruhi perkembangan kota
(sumber : peta administrasi tahun 2000 kompilasi Utami, 2001)
Terminal
Canguk
Alun - Alun
Taman
Kyai Langgeng
GOR Samapta
Sidotopo
Pengembangan Kawasan
Sidotopo sebagai generator kota
bagian Utara
GOR Samapta sebagai
penggerak kawasan bagian
Utara-Barat
Taman Kyai
Langgeng sebagai
generator bagian
Selatan - Barat
Terminal Canguk sebagai
generator bagian Selatan-Timur
187
5.3.3.2 Pengaruh kebijakan pemerintah dalam pembentukan kota ekonomi
Pembangunan-pembangunan kawasan yang awalnya dianggap tidak
strategis, namun pengembangan beberapa bangunan sebagai generator
menyebabkan kawasan di sekitar bangunan tersebut menjadi berkembang pesat.
Termasuk dalam hal ini adanya kebijakan pemerintah dalam melakukan tukar
guling untuk beberapa kawasan yang dianggap penting oleh pemerintah untuk
pengembangan kawasan dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1980 dan
berdampak pada pengembangan kawasan disekitarnya.
Pengembangan kota khususnya di pusat kota yang akhirnya mengubah
bentuk sebagai kawasan bisnis dengan karakter bangunan. Kasus ini terlihat jelas
pada kawasan pusat kota dengan pembangunan Departemen Store Gardena dan
Matahari di kompleks Losmenan dengan bangunan-bangunan yang awalnya
merupakan kompleks Hotel Loze yang mempertimbangkan potensi alam, Gedung
BCA yang menggantikan Gudang Candu yang menggunakan bangunan yang
mempertimbangkan bentuk arsitektur tropis dan sebagainya. Perumahan-
perumahan juga banyak dibangun baik oleh pemerintah maupun swasta sebagai
bagian dari kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan.
Beberapa perumahan yang berkembang tetap terinsiprasi oleh alam, walaupun di
satu sisi telah menggeser inspirasi alam yang terbentuk sebelumnya dengan salah
satu kasusnya adalah pembangunan perumahan Armada Estate yang mengubah
ruang terbuka di Kompleks Rumah Sakit Jiwa.
5.3.4 Bentuk fisik Kota Magelang periode Kota Perekonomian
5.3.4.1 Bentuk fisik perkembangan Kota Magelang sebagai kota
perekonomian.
Perkembangan ruang fisik sebagai kota perekonomian menggunakan
pertimbangan letak kota yang strategis dan fungsi kota sebagai kota militer. Tahun
188
200023
merupakan titik balik bagi pembangunan Kota Magelang karena
pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan kondisi geografis.
Hal ini juga didukung dua periode sebelumnya yang memang sudah banyak
meninggalkan alam sebagai inspirasi dalam pengembangan kota. Banyak kawasan
kota yang berkembang lebih terinspirasi oleh pertumbuhan perekonomian kota.
Dampak dari pertimbangan perekonomian yang lebih dominan daripada
pertimbangan geografis dan alam antara lain:
a. Pengembangan kawasan rumah sakit khususnya Rumah Sakit Tentara24
dan
Rumah Sakit Jiwa Kramat yang semakin lama mengurangi ruang terbuka
yang ada dan beberapa pengembangan kawasan rumah sakit baru yang
banyak menggunakan ruang terbuka
b. Pengembangan kawasan Bayeman (Jalan Tentara Pelajar) yang berubah
fungsi kawasannya dari yang awalnya rumah tinggal berkonsep land huis
menjadi kawasan perekonomian strategis
c. Pengembangan kawasan Jendralan (Jalan Diponegoro) yang berubah fungsi
dari awalnya rumah tinggi dengan konsep landhuis menjadi pertokoan dan
fasilitas pendukung perekonomian
d. Pengembangan beberapa pertokoan di beberapa tempat, antara lain
Bayeman, Jendralan, Botton, Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Ahmad Yani
dengan menggantikan rumah-rumah di kawasan bersejarah dan di kawasan
yang awalnya ruang terbuka hijau
e. Pengembangan beberapa fasilitas perhotelan25
yang mengambil lokasi
ditempat-tempat yang strategis misalnya di kawasan Tengkon, Jalan
Sudirman dan Jalan Ahmad Yani
23
Pada tahun 2000, walikota terpilih merupakan walikota pertama yang berdasarkan pemilihan
umum secara langsung. Kebijakan yang ada cenderung bersifat ekonomi praktis 24
Saat ini Rumah Sakit Tentara sedang diadakan pemugaran dengan tujuan efektivitas fungsional 25
Pada saat ini di Jalan Sudirman, sedang dibangun hotel berbintang yang awalnya merupakan
lahan kosong.
189
Gambar 5.43 Peta Tata Guna Lahan Kota Magelang
(Sumber : Peta Administrasi Kota Magelang Kondisi tahun 2008)
190
Gambar 5.44 Bangunan-bangunan di sekeliling alun-alun Kota Magelang
(sumber : Utami, 2007 – 2010)
191
Terjadi pengurangan ruang terbuka hijau, walaupun dengan status tanah milik
militer, Kota Magelang mempunyai cukup ruang terbuka hijau privat22
.
Perkembangan Kota Magelang tentunya tidak terlepas dari peran penting
adanya pengembangan kawasan Borobudur dengan dibangunnya beberapa pusat
perbelanjaan dan hotel yang bisa digunakan sebagai pendukung wisatawan datang
ke Borobudur dan melewati Kota Magelang. Selain itu juga dipengaruhi oleh
pesatnya fungsi kota dalam bidang pertahanan.
5.3.4.2 Pengaruh kebijakan pemerintah kota sebagai kota perekonomian.
Banyak investor yang datang di Kota Magelang dengan pertimbangan
untuk menanamkan modal. Penentuan kawasan dengan pembagian pada Bagian
Wilayah Kota (BWK) sangat mempengaruhi perkembangan tersebut. Berdasarkan
kebijakan yang disusun dalam RUTRK sebenarnya tetap berorientasi pada potensi
alam walaupun tetap berdasar pengembangan perekonomian. Namun beberapa
investor mengubah dengan pertimbangan perekomian yang lebih menguntungkan.
Beberapa kawasan sebagai generator kota menjadi pendorong
pengembangan kawasan sekitarnya, misalnya di kawasan Jalan Sukarno Hatta
dengan adanya Terminal Induk kota berkembang kawasan bisnis, kawasan
Sidotopo berkembang fasilitas pendidikan dan perumahan , kawasan armada yang
menggunakan sebagaian kawasan bekas ruang terbuka Rumah Sakit Jiwa Pusat
(RSJP) dan berkembang sebagai kawasan bisnis dan perumahan (Utami, 2001).
5.3.5 Bentuk perkembangan fisik ruang Kota Magelang tahun 1945 – 2010
Perkembangan ruang kota semakin lama bergeser karena adanya perubahan
a set of belief. Konsep awal yang sudah dijalankan tahun 1960-an ternyata
ditinggalkan seiring dengan perekonomian menjadi aspek dominan.
22
Kegiatan militer yang banyak menggunakan ruang terbuka bisa meminimalisir perubahan tata
guna lahan di Kota Magelang
192
v
Gambar 5.45 Perkembangan fisik Kota Magelang terinspirasi oleh alam
(sumber : analisa, 2012)