bab v analisis indeksikalitas: akuntansi ...repository.ub.ac.id/8632/6/bab v.pdf · donatur...
TRANSCRIPT
64
BAB V
ANALISIS INDEKSIKALITAS:
AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL
DARI PERSPEKTIF RUANG BELAJAR AQIL (RBA)
5.1. Akad sebagai Dasar Pengelolaan Donasi
Pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa
hidup tanpa bantuan manusia lain. Kesadaran atas interdependensi ini mendorong
manusia untuk membantu memenuhi kebutuhan manusia lain (Wright, 2002).
Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memberikan bantuan. Salah satunya
adalah donasi melalui lembaga yang akan menyalurkannya kepada masyarakat.
Sebagai sebuah entitas socio-enterprise, RBA memiliki peran untuk
mengelola bantuan publik yang diperolehnya demi memenuhi kebutuhan
masyarakat di bidang literasi. Bantuan publik tersebut adalah donasi finansial dan
non-finansial yang diberikan oleh donatur secara rutin atau insidentil.
Pengelolaan donasi di RBA dilakukan dengan berlandaskan pada akad atau
perjanjian antara representatif RBA dengan donatur. Sebelum mengalokasikan
dana untuk sesuatu, RBA harus mengetahui peruntukan dari donasi yang diterima.
Hal tersebut tergambarkan dalam pernyataan penasihat RBA:
“… yang unik begini, kita dalam menerima donasi, shadaqah, atau zakat
selalu ada akad yang jelas. Jadi, uang yang kita terima ini alokasinya untuk
apa? Nah, si pemberi ini punya preferensi nggak, sih? Donaturnya ini.
Misalnya, “Ini nanti buat operasional.” Ya, maka kita hanya gunakan untuk
operasional aja. Bahkan, nggak boleh untuk bayar kewajiban. Begitu juga
kalau sudah dinyatakan, “Ini untuk bayar kewajiban.” Berapa pun
jumlahnya, maka tidak boleh dibuat operasional apalagi yang lain. Jadi,
tidak pernah tercampur…” (Wawancara 20 Juni 2017)
65
Penggalan wawancara di atas menjelaskan bahwa preferensi donatur atas
peruntukan donasinya menjadi pertimbangan utama bagi RBA untuk mengelola
donasi. Setelah informasi tentang preferensi diperoleh, barulah RBA menyatakan
kesanggupan untuk mengelola donasi yang diberikan sesuai dengan
peruntukannya. Saat itulah akad antara donatur dan RBA terjadi.
Akad atau perjanjian adalah sebuah kesepakatan yang digunakan ketika dua
pihak melakukan transaksi atas sebuah objek. Hasil observasi dan wawancara
menunjukkan bahwa akad tidak hanya digunakan untuk transaksi umum seperti
jual beli melainkan juga untuk mengelola donasi.
Arwani (2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa asas yang mendasari
pelaksanaan sebuah akad. Pertama, akad harus dilakukan berdasarkan asas
keadilan. Kedua pihak yang terlibat perjanjian harus memenuhi hak dan
kewajiban yang telah disepakati. Selain itu, kedua pihak harus mengungkapkan
kehendak dan keadaan yang dihadapi dengan benar.
Asas kedua adalah itikad baik. Setiap substansi perjanjian yang dibuat harus
dilaksanakan berdasarkan kemauan baik kedua pihak. Kesediaan untuk saling
percaya dibutuhkan dari kedua pihak untuk melaksanakan tujuan perjanjian.
Adanya kepercayaan akan menutut kedua pihak untuk bertanggung jawab penuh
selama masa berlangsungnya perjanjian.
Asas ketiga yang mendasari sebuah akad adalah kemanfaatan dan
kemaslahatan. Isi dari akad yang baik adalah yang mampu mendatangkan
kemanfaatan bagi pihak yang terlibat akad maupun masyarakat. Sementara,
kemaslahatan berarti melindungi kepentingan pokok masyarakat seperti urusan
66
religiusitas, jiwa dan raga, akal pikiran, martabat diri dan keluarga, dan harta
kekayaan.
Ketiga asas tersebut tampak diterapkan di RBA. Donasi harus digunakan
sesuai dengan isi kesepakatan RBA dengan donatur. Selain itu, donasi tersebut
harus disalurkan dalam bentuk yang menghasilkan manfaat bagi masyarakat.
Umumnya, donasi tersebut digunakan untuk menjalankan program-program RBA
seperti KRS+ dan RBL beserta kegiatan-kegiatan di bawahnya. Sementara, itikad
baik dalam akad pengelolaan donasi dapat diartikan sebagai kesediaan RBA untuk
memaparkan kebutuhannya secara jujur dan menjaga amanah atau kepercayaan
yang diberikan oleh donatur. Bendahara RBA menjelaskan hal tersebut melalui
pernyataan berikut ini:
“… setiap amanah [sambil menggerakkan tangan seolah menerima sesuatu]
yang diberikan entah itu oleh donatur, entah itu oleh masyarakat, entah itu
tim sendiri, atau pengelola sendiri untuk menjalankan project itu insya Allah
akan disalurkan tanpa ada pemotongan atau hmmm… apa ya… [sambil
berpikir] ada pengurangan sedikit pun. Sebisa mungkin, semisal ada dari
donatur, uang ini untuk apa, tujuannya juga jelas, akadnya jelas dan
disalurkan sesuai apa yang donatur mau. Kita juga menjelaskan kebutuhan
kita apa.” (Wawancara 11 Juni 2017)
Saat donatur mengetahui kebutuhan RBA, preferensi alokasi donasi pun
dapat mereka tentukan. Donatur memiliki hak untuk mengalokasikan donasinya
pada pos operasional, kewajiban yang menjadi tanggungan RBA, atau justru
membebaskan RBA untuk menentukan prioritas pemanfaatan donasi. RBA pun
memiliki tanggung jawab untuk mengelola donasi dan memberikan kepastian
kepada donatur bahwa donasi mereka bermanfaat.
Pengelolaan donasi sesuai dengan akad telah memenuhi salah satu syarat
praktik penganggaran yang baik yaitu mengalokasikan sumber daya sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki (NACSLB, 1998). Akad antara RBA dan donatur
67
berperan sebagai penanda alokasi donasi yang diberikan. Tujuan kebermanfaatan
donasi yang dikehendaki donatur tercapai saat donasi yang diberikan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat melalui kegiatan RBA.
5.2. Sumber Daya Dikelola dan Dicatat Sesuai Kebutuhan
Setiap kegiatan membutuhkan sumber daya agar dapat berjalan sesuai
tujuan yang diharapkan. Kebutuhan akan sumber daya diidentifikasi dalam proses
perencanaan kegiatan. Langkah yang ditempuh setelah mengidentifikasi
kebutuhan sumber daya adalah menyusun strategi pemenuhannya.
Begitu pula dengan program-program RBA. Seluruh kegiatan yang berada
di bawah naungan program-program RBA membutuhkan sumber daya. Sebagai
contoh, kegiatan penelitian KRS+ membutuhkan fasilitas berupa buku, listrik, dan
koneksi internet. Sementara, kegiatan lokakarya membutuhkan alat gambar, alat
jahit, dan keperluan lainnya. Kebutuhan sumber daya manusia juga selalu muncul
pada setiap pelaksanaan kegiatan.
Kebutuhan atas sumber daya di RBA diidentifikasi sebelum melaksanakan
kegiatan. Setelah itu, pengelola atau penanggung jawab kegiatan akan mencari
tahu ketersediaan sumber daya yang dimaksud di RBA. Hal tersebut diungkapkan
oleh bendahara dalam pernyataan berikut ini:
“Kalau untuk ngerjain project, resource yang aku keluarkan… yang jelas
apa yang kita (RBA) punya dulu dan kebutuhan dari projectnya apa. Selama
yang RBA punya bisa mencukupi project, ya pakai itu. Entah itu relawan,
keuangan, bahan-bahan (peralatan dan perlengkapan). Misal kebutuhan
project melebihi resource yang kita punya, sebisa mungkin kita cari untuk
memenuhi kebutuhan project.” (Wawancara 11 Juni 2017)
Sumber daya yang tidak tersedia segera diupayakan pemenuhannya melalui
pencarian donasi. RBA menghubungi calon donatur untuk menjelaskan kegiatan
68
dan sumber daya apa saja yang dibutuhkan untuk menjalankannya. Setelah itu,
barulah calon donatur dapat memberikan keputusan tentang pemberian donasi.
Apabila sumber daya telah didapat, RBA memiliki tanggung jawab untuk
mengelola sesuai dengan peruntukannya, sebagaimana telah dijelaskan pada sub
bab sebelumnya. Selain itu, RBA harus mampu mengelola sumber daya yang
terbatas untuk menjadikannya bermanfaat sesuai kebutuhan masyarakat.
Penggunaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan mengikuti prinsip
efektivitas (Productivity Commission, 2003).
Sebuah sumber daya menjadi bermanfaat saat sumber daya tersebut mampu
memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, penilaian kebutuhan masyarakat adalah
langkah kunci untuk mewujudkan manfaat dari sebuah sumber daya (NACSLB,
1998). Identifikasi kebutuhan yang dilakukan RBA menunjukkan bahwa socio-
enterprise ini menerapkan prinsip efektivitas dalam pengelolaan sumber daya.
Prinsip lain yang digunakan oleh RBA dalam mengelola donasi adalah
efisiensi alokatif. Productivity Commission (2003) menjelaskan bahwa efisiensi
alokatif menitikberatkan pada penggunaan sumber daya yang tersedia untuk
menciptakan nilai bagi kesejahteraan masyarakat.
Identifikasi kebutuhan membantu RBA dalam menggunakan sumber daya
secara efisien. Item pada daftar kebutuhan yang tidak berpengaruh terhadap
jalannya kegiatan dihapus. Penghapusan item yang tidak dibutuhkan
mempermudah upaya pengelola atau penanggung jawab kegiatan dalam mencari
dan mengelola donasi. Sehubungan dengan penerapan efisiensi alokatif, penasihat
memberi keterangan sebagai berikut “Masa project kaya gini aja butuh sekian
69
banyak? Terus ya akhirnya kita tunjukkan contohnya. Ada item-item yang nggak
diperlukan akhirnya bisa dihilangkan.” (Wawancara 20/6/2017)
Prinsip efisiensi alokatif juga memiliki hubungan dengan sifat RBA yaitu not-
for-profit. Pertimbangan kebutuhan membantu RBA untuk mengelola sumber
daya yang ada agar bermanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Saat seluruh
sumber daya digunakan untuk menjalankan program, secara otomatis tidak ada
jumlah yang tersisa untuk dihitung sebagai keuntungan.
Pencatatan donasi dilakukan segera setelah donasi diterima. Penerima donasi,
baik pengelola maupun penanggung jawab kegiatan, berkewajiban untuk mencatat
informasi tentang jumlah, asal, dan peruntukan donasi. Kewajiban tersebut
disampaikan oleh koordinator RBA:
“Kalau project, yang membuat itu (laporan) seharusnya adalah koordinator
projectnya. Dia harus mencatat semua resource yang dia gunakan.
Sumbernya dari mana, digunakan untuk apa. Dia harus tahu kebutuhannya dia
apa dulu. ….Kalau sudah, maka dia harus mencatat apa saja yang sudah dia
gunakan berikut buktinya karena bukti itu menjadi sesuatu yang esensial
untuk melaporkan kembali ke masyarakat. Seenggaknya, pada donatur.”
(Wawancara 13 Juni 2017)
Salah satu aktivitas dari sebuah siklus akuntansi adalah pencatatan
(Weygandt, et al., 2013). Aktivitas pencatatan yang dilakukan oleh RBA
menunjukkan bahwa akuntansi digunakan sebagai alat untuk
mempertanggungjawabkan penggunaan donasi. Pencatatan dilakukan ketika
donasi diterima dan dikeluarkan untuk keperluan kegiatan. Bukti-bukti yang
digunakan untuk pencatatan berupa tanda terima atau foto saat donasi diterima.
70
Gambar 5.1
Tanda Terima Donasi yang Diterima dan Dikeluarkan oleh Ruang Belajar Aqil
Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)
Terjadinya akad pemberian donasi tidak menjadi sebuah indikator bahwa
pencatatan donasi harus dilakukan segera. RBA hanya mencatat donasi apabila
donasi telah berada di tangan. Praktik pencatatan RBA yang demikian mengikuti
metode cash basis.
Falk (dikutip oleh Parsons, 2003) menyatakan bahwa metode pencatatan
cash basis sesuai untuk entitas not-for-profit atau bersifat sosial. Pada entitas not-
for-profit, penerima manfaat utama dari aktivitas entitas bukanlah donatur
melainkan masyarakat. Donatur tidak memiliki kuasa untuk mengatur jalannya
entitas. Mereka hanya bisa memastikan bahwa entitas memiliki sumber daya yang
cukup untuk menjalankan program. Oleh karena itu, metode pencatatan cash basis
dianggap tepat karena dapat memberikan informasi ketersediaan sumber daya
secara aktual.
Selain pencatatan dari aspek keuangan, RBA juga melakukan pencatatan
dari aspek kesekretariatan. Peran pencatatan kesekretariatan dilakukan oleh
sekretaris dan diwujudkan dalam bentuk notulensi rapat pengelola. Notulensi
tersebut menjadi bukti tertulis atas rancangan program dan pemilihan penanggung
jawab kegiatan.
71
Notulensi rapat pengelola berperan membantu penanggung jawab dalam
mengembangkan rancangan program. Keberadaan notulensi sekaligus
memperkuat akuntabilitas RBA dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan
program dan sumber daya yang dimanfaatkan.
5.3. Struktur Laporan mengikuti Kebutuhan Informasi Masyarakat
Akuntansi mengenal keberadaan standar dalam pelaporan aktivitas dan
kondisi keuangan sebuah entitas. Tujuan penggunaan standar adalah untuk
memandu entitas dalam menyusun informasi yang dibutuhkan oleh pengguna
laporan. Entitas dengan beragam bentuk menerbitkan laporan untuk
mempertanggungjawabkan aktivitasnya. Tidak terkecuali pada entitas yang
bersifat not-for-profit.
Bentuk laporan yang umum diterbitkan oleh sebuah entitas adalah laporan
keberlanjutan. Laporan tersebut memuat segala informasi tentang entitas termasuk
laporan keuangan dan tanggung jawab sosial. Standar yang digunakan untuk
pelaporan keuangan entitas not-for-profit di Indonesia adalah Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) 45. Sementara, standar pelaporan tanggung jawab
sosial yang umum digunakan adalah Global Reporting Initiative (GRI).
Ruang Belajar Aqil (RBA) memiliki tiga jenis laporan yaitu laporan
kegiatan, laporan pembelajaran, dan laporan tahunan. Isi dari laporan tahunan
merupakan kompilasi dari laporan kegiatan, laporan pembelajaran, dan laporan
keuangan bulanan. Hal yang berbeda dari ketiga laporan tersebut adalah
pembuatannya yang tidak persis mengacu kepada standar yang berlaku umum di
Indonesia sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya.
72
Standar pelaporan RBA adalah kebutuhan informasi dari pengguna laporan.
Pihak-pihak yang disebut pengguna laporan adalah donatur dan masyarakat secara
umum. RBA meyakini bahwa laporan yang baik adalah yang mudah dipahami
sehingga penggunanya bisa memperoleh informasi yang dibutuhkan. Hal tersebut
dijelaskan oleh sekretaris:
“Kalau ngacu standar tertentu karena kita ada tim audit, ya. Awalnya
sistem laporannya nggak kaya yang sekarang gitu. Akhirnya, dibuat untuk
mempermudah kita, jadi itu dibuat keluar-masuk, pemasukan sama
pengeluaran. Terus, saldo akhir. Dibuat sesederhana mungkin biar semua
paham. Kan otomatis kalau kita buat laporan yang oke-oke banget,
mungkin kalangan akuntansi aja yang paham. Ini jadi semua kalangan itu
paham.” (Wawancara 12 Juni 2017).
Ekspresi di atas menunjukkan bahwa RBA berusaha agar informasi yang terdapat
dalam laporan mereka dapat dipahami dengan mudah oleh semua kalangan. Salah
satunya adalah melalui penyajian informasi pos-pos keuangan dengan sederhana.
Penggunaan standar baku akuntansi untuk menyusun laporan tahunan dinilai
tidak sesuai dengan kebutuhan informasi para pemangku kepentingan
(stakeholder) RBA. Susunan laporan yang terlalu mengikuti standar baku hanya
dapat dipahami oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang akuntansi.
Sementara, stakeholders RBA berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Standar
baku yang rumit akan mempersulit masyarakat dalam memahami isi dari laporan
RBA.
Sebaliknya, jika kebutuhan informasi masyarakat dijadikan sebagai standar,
penyajian laporan akan berfokus kepada bagaimana informasi di dalamnya dapat
tersampaikan dan dipahami dengan baik. Format laporan RBA pun menjadi
berbeda dengan laporan perusahaan. Hal itu terjadi karena kebutuhan informasi
73
masyarakat dan perusahaan berbeda. Penasihat mengutarakan pendapatnya akan
perbedaan kebutuhan yang dimaksud:
“Nggak masalah. Kita nggak ngikuti itu karena kembali kebutuhan kita
belum ke sana dan pengguna laporan kita juga nggak membutuhkan yang
seperti itu. Biasanya, fokus pertanyaan donatur atau stakeholder siapapun
yang kami kasih laporan itu, pertanyaannya, “Kok saldo akhirnya nol?
Terus kenapa setiap bulan harus sepuluh ribu?” Pertanyaannya seputaran
itu. Selebihnya nggak ada pertanyaan. Paling kalaupun ada pertanyaan
tambahan itu seputar alokasi.” (Wawancara 20 Juni 2017)
Pernyataan di atas memberikan gambaran tentang informasi apa saja yang
dibutuhkan oleh donatur dari RBA. Sehubungan dengan sifat RBA sebagai not-
for-profit socio-enterprise, informasi yang dibutuhkan ialah tentang pemanfaatan
donasi. Berbeda dengan kebutuhan informasi pemangku kepentingan entitas for-
profit yang berkisar pada keuntungan dan keberlangsungan usaha di masa depan.
Perbedaan kebutuhan informasi stakeholders RBA menjadikan penyajian
laporan tidak mengikuti standar PSAK 45 dan GRI. Mautz (dikutip oleh Parsons,
2003) menyatakan bahwa fenomena seperti ini wajar bagi entitas not-for-profit.
Fokus, ruang lingkup kegiatan, dan pemangku kepentingan not-for-profit socio-
enterprise yang beragam menuntut penyajian laporan yang lebih fleksibel.
Pengelola not-for-profit socio-enterprise harus merancang strategi penyampaian
laporan yang mereka yakini informatif bagi pengguna.
Meskipun tidak sesuai dengan standar yang ada, laporan RBA tetap
mengikuti kriteria kualitatif laporan keuangan seperti relevansi (relevance),
penyajian yang sebenar-benarnya (faithful representation), dan kemudahan untuk
dipahami (understandability). Tidak hanya untuk laporan keuangan, kriteria ini
juga digunakan dalam laporan kegiatan dan laporan pembelajaran.
74
Laporan kegiatan disusun dengan sederhana tanpa mengurangi informasi
yang harus disampaikan. Pada laporan kegiatan, pengguna dapat memperoleh
informasi tentang latar belakang kegiatan, pelaksanaan, hingga umpan balik dari
para peserta. Penyajian umpan balik bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan
yang dilaksanakan memiliki dampak dan memenuhi kebutuhan peserta. Inilah
yang disebut Parsons (2003) sebagai penyajian manfaat untuk pengguna kegiatan
(customer’s benefit).
Sementara, laporan pembelajaran berisikan informasi tentang pembelajaran
yang diperoleh panitia. Laporan tersebut mencantumkan secara jelas kendala yang
dihadapi, solusi yang diberikan, dan pembelajaran yang diperoleh panitia sebagai
individu dan bagian dari kelompok. Melalui laporan ini, pengguna dapat melihat
implementasi nilai RBA yaitu kepedulian, pembelajaran, dan pemberdayaan
dalam kegiatan yang dijalankan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa standar utama
dalam menyusun segala jenis laporan yang ada di RBA adalah kebutuhan
informasi dari pengguna laporan. Hal tersebut bertujuan agar laporan-laporan
tersebut dapat memberikan manfaat bagi penggunanya.
5.4. Pelaporan Kebermanfaatan
Pengungkapan tentang seberapa jauh misi telah tercapai adalah salah satu
fokus pelaporan yang dilakukan oleh entitas not-for-profit (Mook, 2014). Misi
yang dimiliki setiap entitas not-for-profit berbeda sesuai bidang masing-masing.
Entitas not-for-profit socio-enterprise sendiri memiliki misi yang mengakar pada
dasar keberadaan mereka yaitu penciptaan nilai sosial kepada masyarakat.
75
Salah satu prinsip yang dipegang RBA dalam menjalankan misinya adalah
kebermanfaatan mereka bagi masyarakat. Prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam
program-program yang ada, melainkan pada pelaporan informasi. Hal tersebut
disampaikan oleh penasihat melalui penggalan wawancara berikut:
“Jadi, dalam konteks memberikan informasi kepada publik, itu juga sebuah
kebermanfaatan. Karena di RBA ini kan kita tidak hanya berbicara program,
tapi juga berbicara pengelolaan [melebarkan tangan]. Pengelolaan kita
diupayakan untuk bisa mencapai kondisi bahwa hasil dari pengelolaan itu
bisa berguna buat orang lain dan itu menjadi bentuk tanggung jawab sosial
karena kita hidup di masyarakat.” (Wawancara 20 Juni 2017)
Ekspresi di atas menjelaskan bahwa aktivitas di RBA tidak hanya berkisar di
seputar program, melainkan berjalannya entitas secara keseluruhan. Pengelolaan
memegang peran penting dalam memastikan bahwa operasional entitas
menghasilkan manfaat bagi stakeholders. Salah satunya melalui publikasi laporan
secara rutin.
Karakteristik yang khas dari laporan RBA adalah pencantuman kolom
kebermanfaatan, khususnya pada laporan kegiatan. Kolom kebermanfaatan
menjelaskan tentang peruntukan donasi yang diberikan sebagai sumber daya
untuk menjalankan kegiatan. Kebermanfaatan dari semua jenis donasi diungkap
dalam laporan tersebut, baik donasi tunai maupun non-tunai. Pelaporan
kebermanfaatan memiliki hubungan dengan pelaksanaan akad dengan donatur
sebagaimana dibahas pada sub bab pertama. Penyediaan informasi
kebermanfaatan donasi bertujuan untuk memberitahukan kepada donatur bahwa
donasi telah disampaikan sesuai dengan akad di awal. Sekretaris memaparkan
keterkaitan tersebut:
“Ya kebermanfaatan itu terkait dengan akad. Akad itu ibarat janji
[tersenyum]. Jadi ya apa yang kita sampaikan itu harus benar-benar sesuai.
76
Nggak boleh ada yang dilebihkan. Nggak boleh ada yang dikurangkan.
Seperti itu.” (Wawancara 12 Juni 2017)
Inisiatif RBA untuk melaporkan kebermanfaatan mencerminkan upaya
untuk melakukan pelaporan yang sebenar-benarnya (faithful representation).
Penjelasan Sekretaris memberikan gambaran bahwa setiap tanggung jawab yang
diberikan kepada RBA dilaksanakan persis dengan akad yang disepakati kedua
pihak. Selanjutnya, pelaksanaan akad dilaporkan pula sesuai dengan kenyataan
yang terjadi di lapangan, tanpa dilebihkan atau dikurangi.
Informasi kebermanfaatan pada laporan kegiatan RBA disajikan secara
kualitatif. Melalui informasi tersebut, pengguna laporan dapat mengetahui
manfaat donasi untuk melaksanakan sebuah kegiatan. Selain itu, berdasarkan
jawaban yang diberikan oleh pengelola di atas, pengguna laporan dapat
memperoleh gambaran mengenai akad donasi yang terjadi antara RBA dengan
donatur.
Lebih lanjut, pelaporan kebermanfaatan yang dilakukan oleh RBA dapat
menjadi dasar untuk menilai kinerja mereka selaku entitas socio-enterprise yang
bersifat not-for-profit. Kriteria untuk menilai kinerja entitas not-for-profit adalah
pelaporan asal muasal dan penggunaan sumber daya (Mautz dalam Mook, 2014).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, informasi kebermanfaatan memberikan
gambaran tentang akad antara RBA dan donatur. Unsur yang terdapat dalam akad
adalah asal muasal dan peruntukan donasi yang menjadi sumber daya kegiatan
sehingga kinerja RBA dapat dinilai berdasarkan kemampuan mereka dalam
memanfaatkan donasi sesuai akad.
77
Gambar 5.2
Kolom Kebermanfaatan pada Laporan Kegiatan RBA
Sumber: Laporan Kegiatan Ruang Belajar Aqil (2016)
Haski-Leventhal dan Foot (2016) menyatakan bahwa selama ini terdapat
banyak stakeholders dari entitas not-for-profit yang tidak bisa mengamati
penggunaan donasi yang mereka berikan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh
minimnya keterangan pada laporan entitas not-for-profit tentang pemanfaatan
donasi. Perilaku entitas not-for-profit yang demikian berdampak pada rendahnya
kepercayaan donatur kepada mereka.
RBA menjadi salah satu not-for-profit socio-enterprise yang memperhatikan
pentingnya ketersediaan informasi tentang pemanfaatan donasi kepada
stakeholders. Pengungkapan informasi tentang pemanfaatan donasi
memperlihatkan bahwa RBA berusaha menerapkan prinsip transparansi dalam
pembuatan laporannya. Dengan adanya transparansi, asimetri informasi antara
entitas dengan donatur dapat diminimalisasi (Adams dan Simnett dikutip oleh
Haski-Leventhal dan Foot, 2016).
78
5.5. Saldo Akhir yang Ideal adalah Nol Rupiah
Pada dasarnya, not-for-profit socio-enterprise adalah sebuah entitas yang
bertujuan untuk menciptakan nilai sosial kepada masyarakat tanpa mengambil
keuntungan. Kegiatan not-for-profit socio-enterprise dilakukan tanpa memungut
biaya dari peserta. Begitu pula dengan pengelolaan donasi. Seluruh donasi yang
ada diupayakan untuk tersalurkan sepenuhnya kepada pihak yang berhak
menerima manfaatnya. Oleh karena itu, not-for-profit socio-enterprise tidak
memiliki pintu untuk memperoleh keuntungan.
Sebagai sebuah not-for-profit socio-enterprise, RBA mengupayakan agar
tidak ada sumber daya, terutama uang, yang tersisa tanpa termanfaatkan. Hal
tersebut disampaikan oleh Koordinator program RBL yang menangani beragam
kegiatan sosial RBA:
“Karena RBA ini not-for-profit, jadinya memang nggak boleh ada dana
yang tertahan di sini. Sebisa mungkin dana itu serapannya harus tinggi.
Tahu serapannya tinggi ya dana itu harus mendekati nol. Jadi, sebenarnya
bukan sepuluh ribu tapi mendekati nol. Maksimal kalau bisa sepuluh
ribu. Nah, untuk sepuluh ribu itu, rata-rata sih biasanya nol saldonya.
Nol, sepuluh ribu. Pernah waktu itu sembilan puluh ribu karena belum
kepakai. Tapi, memang karena not-for-profit dan kita memang inginnya
masyarakat ini menyerap semua apa yang kita dapat, ya di akhir bulan
mau nggak mau harus nol.” (Wawancara 13 Juni 2017)
Jawaban yang diberikan di atas memperjelas bahwa saldo ideal yang seharusnya
tercantum dalam laporan keuangan RBA adalah sebesar nol rupiah. Nilai nol
rupiah menjadi tolok ukur bahwa donasi yang diperoleh disalurkan sepenuhnya
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pencapaian saldo akhir sebesar nol
rupiah didasari oleh asumsi bahwa seluruh kegiatan telah terlaksana.
Namun, RBA mengakui bahwa mencapai saldo akhir sebesar nol rupiah
tidaklah mudah. Beberapa transaksi yang dilakukan dalam operasional kerap kali
79
tidak memiliki nilai nominal yang bulat. Keterangan tersebut disampaikan
penasihat dalam penggalan wawancara dengan penasihat:
“Kenapa sepuluh ribu? Jadi, dari perjalanan bulan-bulan sebelumnya, kita
rata-rata transaksi, kalau menghabiskan… bukan menghabiskan [meralat
ucapan]… menggunakan donasi yang kita terima atau zakat yang kita
terima, itu pasti nggak bulat. Ada kembalian entah seribu, dua ribu, tiga
ribu. Maka, akhirnya kita tetapkan yang logis adalah sepuluh ribu. Itu kaya
transaksi listrik, air, internet, kemudian transaksi administratif kaya fotokopi
segala macam. Itu masing-masing kalau rata-rata dua ribu, tiga ribu, kan ya
tercukupi lah sepuluh ribu. Jadi, kita memang nggak bisa menghabiskan nol.
Kecuali di akhir tahun harus nol. Supaya saldo kita bisa memulai lagi dari
awal. Karena prinsip kita kan not-for-profit gitu. Angka sepuluh ribu itu dari
kebiasaan bulan-bulan sebelumnya.” (Wawancara 20 Juni 2017)
Berdasarkan jawaban di atas, RBA memiliki kebijakan penetapan saldo akhir
donasi tunai maksimal sebesar Rp 10.000,00. Batasan tersebut dinilai logis untuk
menoleransi jumlah uang yang tersisa dari transaksi operasional entitas.
Penetapan batas maksimal saldo akhir sebesar Rp 10.000,00 menunjukkan
bahwa seluruh donasi yang diterima oleh RBA diupayakan untuk bermanfaat bagi
masyarakat dalam bentuk kegiatan yang bersifat sosial. Semakin kecil donasi yang
tersisa di RBA, semakin besar penggunaan donasi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Haski-Leventhal dan Foot (2016) mengungkapkan bahwa entitas not-for-
profit yang menggunakan sebagian besar dananya untuk pelaksanaan program
adalah entitas not-for-profit yang efisien. Sebagaimana telah dibahas pada sub-bab
kedua, efisiensi dalam konteks ini berkaitan dengan kesadaran akan kebutuhan
masyarakat.
Tidak adanya keuntungan yang diambil dari donasi yang diterima
menunjukkan bahwa RBA menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai prioritas
utama. Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat adalah hal yang utama. Berbeda
80
halnya dengan entitas seperti perusahaan atau for-profit enterprise yang
mengutamakan perolehan keuntungan. Inilah salah satu poin yang membedakan
not-for-profit socio-enterprise dari for-profit enterprise.
5.6. Pengamalan Nilai-Nilai Entitas pada Proses Pelaporan
Laporan tahunan entitas pada umumnya mencantumkan informasi dasar
seperti pernyataan visi dan misi serta nilai-nilai yang mereka usung. Ketentuan ini
tidak hanya berlaku bagi perusahaan, melainkan juga pada jenis entitas lain seperti
not-for-profit socio-enterprise. Infomasi dasar tersebut membantu pengguna untuk
mengenali profil sebuah entitas. RBA adalah salah satu not-for-profit socio-
enterprise yang berusaha mengenalkan nilai-nilai yang mendasari aktivitas
mereka. Selain diselipkan pada pernyataan visi dan misi, nilai-nilai tersebut juga
berusaha diwujudkan melalui penyajian laporan itu sendiri.
Bab sebelumnya telah menjelaskan bahwa RBA memiliki tiga nilai utama
yaitu kesadaran (awareness), pembelajaran (learning), dan pemberdayaan
(empowerment) (Laporan Tahunan RBA, 2016). Ketiga nilai tersebut diupayakan
untuk terwujud melalui pelaksanaan program, pengelolaan, dan pelaporan.
Penjelasan mengenai penanaman nilai kesadaran disampaikan oleh penasihat
sebagai berikut:
“Saya yakin juga, masyarakat juga, dengan memperoleh infomasi yang
memadai tentang RBA, kegiatannya, donasinya, apa pun itu yang bisa
dilaporkan dan bisa diketahui, mereka akan tahu bagaimana menempatkan
diri. Artinya, kesadaran yang kita wujudkan, bisa juga mendorong orang
lain atau lingkungan sekitar kita untuk jadi sadar juga. Jadi, awarenessnya
terbentuk sebagai salah satu value yang diperjuangkan oleh RBA.
Awareness [menekankan]” (Wawancara 20 Juni 2017)
81
Ekspresi tersebut disampaikan dalam perbincangan dengan peneliti
mengenai perspektif tanggung jawab sosial. Pandangan bahwa berbagi informasi
adalah sebuah bentuk kesadaran tergambarkan pada ekspresi di atas. Kesadaran
yang dimaksud adalah kesadaran untuk peduli terhadap kebutuhan lingkungan
sekitar yaitu informasi. Informasi yang dilaporkan sebagai wujud kepedulian
diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk turut peduli
dengan aktivitas-aktivitas bersifat sosial yang dilakukan oleh RBA. Secara tidak
langsung, laporan RBA berperan dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat
melalui informasi yang ada di dalamnya.
Nilai kedua yang ditanamkan RBA dalam proses pelaporannya adalah
pembelajaran (learning). Pembelajaran yang dimaksud adalah upaya agar
pengguna laporan dapat mempelajari sesuatu dari laporan RBA. Penasihat
menyampaikan tentang nilai tersebut dalam penggalan jawaban berikut:
“... Termasuk juga diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan dalam
program maksudnya, ya. Dan diwujudkan juga dalam pengelolaan dan juga
diwujudkan dalam komunikasi. Laporan-laporan yang kita punya, saat
dipelajari oleh orang-orang, ya mereka belajar sesuatu. Tidak hanya
informasi tentang RBA, tidak hanya tentang donasi RBA. Bahkan, mereka
juga belajar, “Oh, ternyata begini lho, untuk melaporkan keuangan.”
Akhirnya, mereka juga jadi percaya.” (Wawancara 20 Juni 2017)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa RBA tidak memandang laporan sebagai
sebatas bentuk pertanggungjawaban, tetapi juga sebagai media untuk
menanamkan nilai pembelajaran. Masyarakat atau pengguna laporan diharapkan
mampu memperoleh manfaat pembelajaran dari informasi yang disajikan pada
laporan RBA. Salah satunya tentang cara melaporkan informasi keuangan.
Selain pembelajaran kepada pengguna, proses penyusunan laporan juga
memberikan pembelajaran kepada anggota KRS+ yang dilibatkan sebagai panitia
82
kegiatan. Setiap kegiatan di RBA tidak dianggarkan sehingga panitia harus
mengupayakan sumber daya dari masyarakat. Pembelajaran yang ditekankan pada
pembuatan laporan adalah pertanggungjawaban pengelolaan donasi masyarakat.
Koordinator mengungkapkan hal tersebut:
“... nilai-nilai ini mulai ditanamkan oleh mentor bahwa ketika kamu
menggunakan dana dari masyarakat, kamu harus melaporkannya kepada
masyarakat. Maka dari itu, mentor menanamkan nilai-nilai tersebut seperti
mengajarkan bagaimana caranya membuat laporan yang baik. Memberikan
akses… membuat akses bagaimana bendahara ini bisa memublikasikan
laporan keuangan kepada masyarakat.” (Wawancara 13 Juni 2017)
Nilai pembelajaran untuk bertanggung jawab ditanamkan dengan cara
mengajarkan penyusunan laporan yang benar kepada pengelola dan anggota
KRS+. Setelah itu, mentor bagaimana menyampaikan laporan tersebut kepada
masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengetahui informasi atas
pelaksanaan kegiatan RBA berikut penggunaan donasi yang diterima. Selain itu,
pembelajaran pembuatan laporan diberikan karena tidak semua pengelola ataupun
pelaksana kegiatan RBA memahami langkah-langkah dan standar pelaporan baku
akuntansi. Padahal, mereka memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
aktivitas RBA kepada masyarakat. Oleh karena itu, setiap individu di RBA
diberikan pembelajaran agar mereka mampu menyajikan laporan yang sederhana
dan mudah dipahami, baik oleh mereka sendiri ataupun masyarakat.
RBA memandang bahwa tanggung jawab sosial tidak hanya dilaksanakan
melalui program, melainkan juga pada pelaporannya. Oleh karena itu, nilai-nilai
tidak hanya dicantumkan sekadar untuk memenuhi ketentuan. Lebih dari itu, nilai-
nilai tersebut turut dilibatkan dalam proses pelaporan itu sendiri. Dengan
demikian, masyarakat dan pengguna laporan dapat merasakan implementasi nilai-
nilai RBA dari informasi yang dilaporkan.