bab v analisis dan bahasan hasil penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16574/5/t1... ·...

26
29 BAB V ANALISIS DAN BAHASAN HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini akan diuraikan jenis pola komunikasi dan mendiskripsikan pola komunikasi dalam hubungan keluarga yang terjadi pada keluarga yang memiliki gadget dengan berdasarkan observasi yang telah dilakukan di Ngemplak Salatiga. 5.1 Pola Komunikasi Pola Komunikasi yang terjadi oleh keluarga yang memiliki gadget di dusun Ngemplak oleh 13 keluarga yang memiliki anak usia dini 4-6 tahun. Menggunakan pola komunikasi sirkular antara orang tua dengan anak. Dikarenakan sebagian besar anak usia dini di dusun Ngemplak yang bermain gadget melakukan feedback atau umpan balik terhadap orang tua (komunikator). Ketika orang tua melakukan suatu komunikasi kepada anak, dan pesan yang disampaikan kepada anak menghasilkan sebuah feedback. Dari hasil observasi, didapati Aida memiliki kebiasan bermain dengan teman sebayanya setelah pulang sekolah dari siang hingga menjelang sore, aktivitas yang dilakukan oleh Aida dan teman sebayanya adalah bermain sepeda, barbie, pasaran, lompat tali, dan bercerita mengenai tokoh fiktif disertai keunggulan dari tokoh fiktif favorit masing-masing yang mereka temui didalam televisi, dan gadget (youtube). Aida dan teman-temanya juga bercerita tentang film kartun kesukaan mereka My Little Pony: Friendship Is Magic (season 4). Aida memiliki kebiasaan untuk mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), disela-sela Ibu Ratih mempersiapkan tas dan perlengkapan lainnya dan mandi sore untuk Aida, Aida membuka gadget milik orang tuanya dan mengakses youtube untuk menonton deretan video rujukan singkat film kartun dari youtube, Ibu Ratih biasanya hanya menanyakan “lihat apa dek, mandi dulu1 , aktivitas menonton Aida berhenti ketika Ayahnya mengantarkan TPA. 1 Observasi dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 15 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

Upload: vunguyet

Post on 13-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

29

BAB V

ANALISIS DAN BAHASAN HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini akan diuraikan jenis pola komunikasi dan mendiskripsikan

pola komunikasi dalam hubungan keluarga yang terjadi pada keluarga yang memiliki

gadget dengan berdasarkan observasi yang telah dilakukan di Ngemplak Salatiga.

5.1 Pola Komunikasi

Pola Komunikasi yang terjadi oleh keluarga yang memiliki gadget di dusun

Ngemplak oleh 13 keluarga yang memiliki anak usia dini 4-6 tahun. Menggunakan pola

komunikasi sirkular antara orang tua dengan anak. Dikarenakan sebagian besar anak

usia dini di dusun Ngemplak yang bermain gadget melakukan feedback atau umpan

balik terhadap orang tua (komunikator). Ketika orang tua melakukan suatu komunikasi

kepada anak, dan pesan yang disampaikan kepada anak menghasilkan sebuah feedback.

Dari hasil observasi, didapati Aida memiliki kebiasan bermain dengan teman

sebayanya setelah pulang sekolah dari siang hingga menjelang sore, aktivitas yang

dilakukan oleh Aida dan teman sebayanya adalah bermain sepeda, barbie, pasaran,

lompat tali, dan bercerita mengenai tokoh fiktif disertai keunggulan dari tokoh fiktif

favorit masing-masing yang mereka temui didalam televisi, dan gadget (youtube). Aida

dan teman-temanya juga bercerita tentang film kartun kesukaan mereka My Little Pony:

Friendship Is Magic (season 4).

Aida memiliki kebiasaan untuk mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an),

disela-sela Ibu Ratih mempersiapkan tas dan perlengkapan lainnya dan mandi sore

untuk Aida, Aida membuka gadget milik orang tuanya dan mengakses youtube untuk

menonton deretan video rujukan singkat film kartun dari youtube, Ibu Ratih biasanya

hanya menanyakan “lihat apa dek, mandi dulu”1, aktivitas menonton Aida berhenti

ketika Ayahnya mengantarkan TPA.

1Observasi dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 15 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

30

Peneliti mengambil satu contoh ketika Aida diam-diam bermain gadget saat ibunya

melakukan kesibukan dan ibunya berusaha memantau serta mengingatkan Aida.

“kalau semisal saya kebelakang nanti dia main hp lagi. “hayo” , “enggak kok

aku cuma mainan pou“.2

Dari kutipan wawancara dengan Ibu Ratih dapat disimpulkan bahwa Aida

memberikan feedback terhadap ibunya. Meskipun Aida sedang bermain gadget, Aida

pun tetap merespon dengan baik. Apa yang dikomunikasikan oleh ibunya tersampaikan

kepada Aida, sehingga pesan yang disampaikan mudah dipahami oleh Aida. Sehingga,

dengan begitu hasil observasi di lapangan dapat dikatakan sesuai dengan teori pola

komunikasi sirkular yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell, dapat dilihat dari

kutipan wawancara diatas serta komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anak

menghasilkan feedback.

5.2 Pola Komunikasi Di Dalam Hubungan Keluarga

Dari 13 narasumber yang memiliki anak usia dini yang sering bermain

gadget peneliti mengambil 3 keluarga yang mencakup pada pola komunikasi

dalam hubungan keluarga, serta munculnya pola komunikasi yang tampak

diterapkan didalam pola asuh atau mendidik anak sesuai dengan pola

komunikasi dalam hubungan keluarga yang dikemukakan oleh Braumrind ada 3

yaitu otoriter, permissive, dan authoritative. Serta 8 keluarga tersebut memiliki

pola yang berbeda-beda. Serta cara yang berbeda-beda dalam mendidik anak.

5.2.1 Authotarian (otoriter)

Sebuah keluarga di dusun Ngemplak menggunakan pola komunikasi

Authotarian (otoriter) didalam hubungan keluarga. Keluarga tersebut yaitu

keluarga dari Ibu Yani. Ibu Yani memiliki anak perempuan bernama Lala yang

berusia 6 tahun, Lala ini sering bermain gadget. Awal memperkenalkan gadget

2Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

31

kepada anak karena merasa kasihan melihat anaknya tidak memiliki gadget

sedangkan teman-teman sebayanya memiliki. Namun dengan keputusan seperti

itu mengakibatkan anaknya menjadi lalai dalam dibidang pendidikan.

”Dulu waktu masih TK dikasih tablet malah bukae ngawur rak tau sinau

terus diminta, terus kakaknya SMP tadi diperbolehkan buka hp selama hari

libur soale sabtu terus minggune libur. Tapi nggak seharian main hp terus.”3

“Ma aku mau minjem hp, belum hari libur. Terus ya manut. Beberapa

kali pernah mohon-mohon, Ma please Ma ngga buka saru wes?, tapi tetap ngga

tak bolehin mba”4

Dari kutipan wawancara tersebut dapat dilihat bahwa kontrol yang

dimiliki orang tua Lala sangat tinggi, dan penerimaannya rendah. Anak tidak

dapat mengutarakan keinginannya. Anak dituntut harus mengikuti aturan yang

ditetapkan oleh orang tua. Dengan orang tua bersikap mengkomando, dan

bersikap kaku, cenderung emosional dan bersikap menolak. Tak jarang hukuman

secara fisik diterapkan oleh orang tua otoriter seperti; menyubit, menjewer

telinga, bahkan menarik rambut.

“terus ada hal tidak layak untuk ditonton aku jadi takut, loh kok ono

gambar ngene terus aku dadi wedi mbak, woo lha iki. pertama sopo sing ngetik

iki?”. “yo nggak ada to ma, coba dilihat dipencariane kalau nggak ada berarti

muncul dewe ma”5

Lala semakin aktif bermain gadget dan tidak mau belajar. Selain itu

orang tua mendapati Lala melihat gambar yang tidak sesuai dengan umur Lala.

Akhirnya orang tua menarik gadget serta melakukan pengawasan yang lebih

3Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB.

4Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB.

5Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB.

32

ketat, serta orang tua belajar lebih dalam menggunakan gadget agar tidak gaptek

(gagap teknologi).

“jane teknologi ki apik anak dadi iso edit iki kui. tapi nek keblalasen aku

wedi dewe mbak. Mergo kejadian itu, ono gambar-gambar dewasa. Akhire tak

lerenke wae.”6

Meskipun orang tua Lala sadar dengan adanya dampak positif dan

negatif yang dimiliki gadget. Namun mereka tetap bersikap otoriter kepada

anak. selain itu Ibu Lala pun berusaha agar perhatian anaknya teralihkan dari

gadget, agar anak tidak kecanduan bermain gadget lagi.

“mangkane dia tak arahke belajar,belajar. Harus bisa membaca menulis

sendiri. Soale semester kemarin kan diwacake gurune dia tinggal menjawab

nilaine apik-apik. Sekarang harus mengerjakan sendiri jawab sendiri.”7

Dari kutipan wawancara dengan Ibu Yani dapat disimpulkan bahwa

orang tua Lala adalah orang tua dengan pola komunikasi otoriter terhadap anak,

anak tidak dapat mengutarakan pendapat, atau keinginannya secara demokratis.

Melainkan anak dituntut harus mengikuti aturan serta kemauan dari orang tua.

Disini orang tua senang mengkomando anak dan anak harus mematuhi peraturan

yang telah ditetapkan. Sehingga pola komunikasi dalam hubungan keluarga Ibu

Yani sesuai dengan teori pola komunikasi yang dikemukakan oleh Braumrind.

Dari hasil observasi diketahui Lala memiliki kebiasaan menghabiskan

waktunya untuk dirumah bersama Ayah, & Kakaknya, usai sekolah Lala

biasanya menonton TV bersama Kakaknya atau menggambar melalui komputer

Ayahnya, ketika bersama Kakaknya Lala biasa menyaksikan program acara

televisi yang dipilih oleh Kakanya seperti Inbox, FTV, dan Film animasi

6Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB.

7Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB.

33

menjelang sore, jarak usia antara Lala dan Kakaknya yang sudah SMP

menjadikan Lala enggan mengutarakan keinginannya untuk menonton program

acara yang Ia senangi, Ketika Ibu Lala pulang, Lala yang sebelumya tampak

tenang seperti menunjukkan kepanikannya seperti bergegas pergi ke bagian lain

dari rumah dan mengatakan “udah Pa, yo”8 disusul dengan “dolanan meneh”9

ungkap Ibu Lala. Selanjutnya Ibu Lala tampak menekankan kepada Lala untuk

belajar berhitung sedangkan Lala tampak kebingungan dengan cara belajar

seperti membuang pandangan dan menengok ke segala arah menghindari

pandangan Ibunya. Lala memiliki kegemaran menggambar dan bernyanyi

setelah les matematika dan bahasa Inggris, Ibu Lala sering mengarahkan

pandangannya ketika Lala bernyanyi. “Lala ki sukae nyanyi mba, tapi nek diajak

sinau angel, kadang tak liati, habis itu nanti akhire gelem mba, kadang ya

mesake tapi nek sinau sama mama e mesti angel”10

5.2.2 Permissive

Pola komunikasi yang kedua dalam hubungan keluarga adalah

Permissive, terdapat empat keluarga yang menggunakan pola komunikasi dalam

keluarga Permissive. Keluarga pertama yang akan dibahas adalah keluarga dari

Ibu Ratih yang memiliki anak perempuan usia 5 tahun yang senang bermain

gadget bernama Aida. Keseharian Aida ini bersama pengasuh jika dirumah.

Karena kedua orang tuanya bekerja. Awal mula perkenalan Aida dengan gadget

tidak diketahui oleh orang tuanya.

8Observasi dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Sabtu, 18 November 2017 pukul 15.30 WIB.

9Observasi dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Sabtu, 18 November 2017 pukul 15.30 WIB.

10Observasi dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Sabtu, 18 November 2017 pukul 15.30 WIB.

34

“Kan tau-tau dia buka hp saya. Kan hp saya nggak ada passwordnya.

Terus saya kaget loh dek kamu buka apa? “buka youtube, mainan-mainan baby

doll.”11

“Terus saya tanya kamu tau dari mana? Dari mas Aiz. Mas Aiz ini teman

sekolahnya. Mas Aiz dapet gadget dari siapa? “dari ibunya”. Ibunya kan guru

disitu. Jadi sebelum saya jemput atau ayahnya jemput disekolah mainnya sama

mas Aiz itu, nah pas mengisi waktu luang disitu si mas Aiz ini mungkin minta

gadget kepada Ibunya.12

Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Ratih dapat disimpulkan

bahwa orang tua Aida memiliki kontrol yang rendah terhadap anak, dikarenakan

orang tua mengalami suatu kecolongan terhadap perilaku anak yang dapat

bermain gadget padahal sebelumnya orang tua tidak pernah memperkenalkan

gadget kepada anak.

Selain itu orang tua berusaha mengalihkan perhatian Aida untuk tidak

bermain gadget namun kerap gagal. Sehingga Ibu Ratih kerap melakukan

sharing dengan Ibu-Ibu disekolahan Aida yang mengalami hal yang sama.

Kerap kali orang tua Aida mengalami keputusasaan akibat anaknya kecanduan

bermain gadget.

“Pernah mbak nggak tak bolehin main gadget. Malah marah nggak mau

berangkat sekolah. Soalnya kalau dipaksa-paksa sampai nangis mbak. Si Mbok

jaman now kalah sama anak. Terus kalau pagi saya kan kerja, saya nyuruh

mbaknya yang momong dia pagi itu buat ngatasi Aida. Sampai saya suka sms

“Mbak gimana adek tadi masih rewel? Rewelnya kenapa?. “Ya biasa to bu

mainan hp”. Jadi kalau pagi ya ribut gitu mbak.”13

11Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

12Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

13Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

35

“Pernah hpnya saya umpetin, terus saya bilang hpmu rusak. Terus

minjem hp bapaknya.”11

“Kenapa dek? Itu hp buat kerja jangan buat mainan nanti batrenya

habis”. “Terus beralih mbak ke hp ibunya “bun pinjem hpnya bun” terus kalau

udah gitu saya tegur “dek kok mainan hp terus sih dek”. Loh kan hpku masih

rusak”12

“Waktu itu yaudah cuma sehari itu tok terus dia lupa kan mbak.

Besoknya dia tanya “hpku udah jadi belum?”. “ya besok bunda tanyain. Tiap

hari nanyain terus”13

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa Orang tua Aida telah

berupaya agar anaknya tidak kecanduan oleh gadget. Namun upaya yang telah

dilakukan kerap gagal dan Aida kerap menimbulkan keributan dirumah bila

tidak diizinkan bermain gadget.

Selain itu Ibu Ratih kerap mendapati permintaan Aida yang meminta

dibelikan mainan setelah menonton dari Youtube.

“Dia buka youtube terus dia liat mainan-mainan itu. Imbasnya “Bun

besok beli mainan ini.”14

Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Ratih dapat disimpulkan

bahwa orang tuanya memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan

keinginannya. Dan kontrol yang rendah terjadi didalam keluarga ini, selain itu

sikap penerimaan orang tua tinggi, dan orang tua kerap menuruti permintaan

anaknya. Sehingga pola komunikasi dalam hubungan keluarga Ibu Ratih ini

sesuai dengan teori pola komunikasi dalam hubungan keluarga yang

dikemukakan oleh Braumrind.

14Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

36

Dari hasil observasi, didapati Aida memiliki kebiasan bermain dengan

teman sebayanya setelah pulang sekolah dari siang hingga menjelang sore,

aktivitas yang dilakukan oleh Aida dan teman sebayanya adalah bermain sepeda,

barbie, pasaran, lompat tali, dan bercerita mengenai tokoh fiktif disertai

keunggulan dari tokoh fiktif favorit masing-masing yang mereka temui didalam

televisi, dan gadget (youtube). Aida dan teman-temanya juga bercerita tentang

film kartun kesukaan mereka My Little Pony: Friendship Is Magic (season 4).

Aida memiliki kebiasaan untuk mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al-

Qur’an), disela-sela Ibu Ratih mempersiapkan tas dan perlengkapan lainnya dan

mandi sore untuk Aida, Aida membuka gadget milik orang tuanya dan

mengakses youtube untuk menonton deretan video rujukan singkat film kartun

dari youtube, Ibu Ratih biasanya hanya menanyakan “lihat apa dek, mandi

dulu”, aktivitas menonton Aida berhenti ketika Ayahnya mengantarkan TPA.

5.2.3 Authoritative

Pola komunikasi yang ketiga dalam hubungan keluarga adalah

Authoritative, didusun Ngemplak terdapat 3 keluarga dengan pola tersebut salah

satu keluarga authoritative yaitu keluarga pertama dari Ibu Nur. Ibu Nur

memiliki anak laki-laki dengan usia 4 tahun bernama Aldi, Aldi yang sering

bermain gadge tdi usianya yang sangat dini.

“Tadi disekolahan ada penyuluhan nggak boleh main gadget. Tur

biasane Ibue megang langsung direbut, sekarang saya juga kurangi megang

gadget, anak-anak nggak tak bolehin pegang. Jadi dari diri saya sendiri yang

kontrol. Bahaya emang itu dampaknya gadget”15.

“Bapake itu dulu belike sampai 4x Mbak. Terus rusak belike neh gitu

terus. Terus akhire yang terakhir ini rusak nggak dibelikan lagi sama Bapaknya.

15Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

37

Sekarang yang kecil nggak tak kasih hp. Karena dampaknya sangat-sangat

bahaya”16

Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Nur dapat disimpulkan bahwa

orang tua Aldi memiliki penerimaan dan kontrol yang tinggi, dan bersikap

responsif terhadap kebutuhan anaknya.

Ibu Nur memiliki kesadaran yang tinggi akan dampak pemberian gadget

secara dini terhadap anaknya sendiri khususnya anak usia dini. Faktor lainnya

kedua orang tua Aldi bekerja menggunakan gadget, dan Aldi yang melihat

memiliki rasa penasaran lalu merebut dan bermain-main menggunakan gadget

yang kian lama menjadi aktif kecanduan bermain gadget.

“Bapake kerjanya pakek hp, jadi kerjaan dikirim lewat hp. Udah selesai

ya dikirim lewat hp hampir setiap hari harus pegang hp. Tapi kan jarang

dirumah”17.

“Kalau batre belum habis nggak mau lepas. Mulailah saya kontrol

nggak sering buka hp, kalau sudah pada tidur saya baru buka hp. Pelan-pelan

tak kasih tau, nggak langsung tak ambil soale kan kasihan. Kula juga butuh hp

wong kula dagange nganggo hp”18.

Dari kutipan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa Aldi mengenal

gadget dari orang tuanya, karena orang tuanya bekerja harus menggunakan

gadget. Serta timbul rasa dari diri sendiri untuk tidak membuka gadget saat

bersama dengan anak-anak.

Ibu Nur pun mengatasi rengek-rengekan Aldi yang sering meminta untuk

diperbolehkan bermai gadget.

16Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

17Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

18Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

38

“Iya mohon-mohon, kula ajeng balesi Whatssapp langsung nangis kalau

nggak dikasih. Luar biasa nangisnya, pokoknya 10 menit dia harus pegang.

Udah nonton baru tak minta pelan-pelan. Pokoke TV ini selalu nyala mbak, jadi

kalau dia nggak mainan hp ya nonton TV”19.

“Kalau tidak hujan, saya ajak ke taman kota mbak, tak ajak jalan-jalan.

Kalau nggak hujan sering tak ajak keluar”20

Dari kutipan wawancara diatas orang tua Aldi cenderung terhindar dari

kekacauan serta kegaduhan yang terjadi dirumah. Aldi sendiri jika bermain

dengan teman sebayanya kerap berkelahi, jadi Ibu Nur lebih senang Aldi berada

dirumah karena beliau bisa mengawasi secara langsung.

“Anak ini berbeda mbak malah sering berantem, dia malah seneng

mainan sendiri. Saat keluar itu malah kemana-mana jadi saya takut. Jadi dalam

pengawasan. Dirumah nonton tv, liat buku, seneng mewarnai, kalau disekolah

ya main sama teman-temannya”21.

Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Nur dapat disimpulkan.

Kedua orang tua Aldi adalah orang tua yang menghindari kekacauan, dan

memiliki rasa penerimaan tinggi, kontrol yang tinggi serta mendorong anak

untuk menyatakan keinginannya. Ibu Nur juga melakukan beberapa upaya agar

perhatian anaknya teralihkan dari gadget. Sehingga pola komunikasi dalam

hubungan keluarga Ibu Nur sesuai dengan teori pola komunikasi dalam

hubungan keluarga yang dikemukakan oleh Braumrind.

Dari hasil observasi kebiasaan Aldi adalah bermain bersama teman-

teman sebayanya, Aldi biasa mengabiskan waktunya untuk bersepeda bermain

bola, petak umpet, dan aktivitas lainya, didalam lingkup pertemananya Aldi

19Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

20Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

21Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

39

merupakan anak yang kerap memprovokasi temannya untuk melakukan sebuah

aktivitas bermain, penggunaan gadget sementara waktu diberhentikan

dikarenakan selama 4x berturut – turut orang tua Aldi telah membeli gadget baru

hingga akhirnya rusak, disela sela waktu orang tua Aldi menyempatkan diri

untuk dengan bepergian bersama.

Tabel 5.1

Hasil Observasi Keluarga Terhadap Ke Tiga Pola Komunikasi Hubungan

Keluarga

Pola

Komunikasi Anak Observasi Ciri - ciri Keterangan

Authotarian Lala Lala memiliki

kebiasaan

menghabiskan

waktunya untuk

dirumah bersama Ayah,

& Kakaknya, usai

sekolah Lala biasanya

menonton TV bersama

Kakaknya atau

menggambar melalui

komputer Ayahnya,

ketika bersama

Kakaknya Lala biasa

menyaksikan program

acara televisi yang

Frazier (2012)

mengungkapkan

bahwa aspek-aspek

pola asuh otoriter

antara lain:

a. Pedoman

perilaku Orang

tua cenderung

mengatur anak-

anak sehingga

tidak ada ruang

untuk berdiskusi

dan penjelasan.

Sistem yang

digunakan untuk

Diketahui bahwa

Lala adalah anak

yang patuh, dalam

ciri-ciri otoriter,

kepatuhan

merupakan

kebajikan, sehingga

dilestarikan tanpa

kompromi dengan

penerimaan pendapat

yang berbeda.

kepatuhan Lala

berupa mengikuti

pola belajar yang

ditentunkan oleh

40

dipilih oleh Kakanya

seperti Inbox, FTV,

dan Film animasi

menjelang sore, jarak

usia antara Lala dan

Kakaknya yang sudah

SMP menjadikan Lala

enggan mengutarakan

keinginannya untuk

menonton program

acara yang Ia senangi,

Ketika Ibu Lala pulang,

Lala yang sebelumya

tampak tenang seperti

menunjukkan

kepanikannya seperti

bergegas pergi ke

bagian lain dari rumah

dan mengatakan “udah

Pa, yo” disusul dengan

“dolanan meneh”

ungkap Ibu Lala.

Selanjutnya Ibu Lala

tampak menekankan

kepada Lala untuk

belajar berhitung

menegakkan

pedoman tersebut

cenderung bersifat

dictator. Orang

tua sering kali

mengunakan

hukuman yang

berat.

b. Kualitas

hubungan

emosional antar

orang tua dan

anak Pola asuh

otoriter dapat

membuat

kedekatan antara

orang tua dan

anak mengalami

hambatan. Anak-

anak dengan pola

asuh otoriter

sering kali merasa

cemas dan

memiliki tingkat

depresi yang

tinggi, serta

orang tua, dan sikap

apolitis terhadap

dirinya, dikarenakan

pengaruh keinginan

orang tuanya yang

mutlak, sehingga

dalam menghindari

tegangan yang

diberikan orang tua

seperti penekanan

kontak mata, dan

penekanan secara

verbal dapat segera

terlewati. Penguasaan

mata pelajaran yang

ada disekolah

merupakan hal yang

penting, waktu yang

memang dialokasikan

untuk belajar

seharusnya juga

dimaksimalkan,

namun bukankah

berarti pembenaran

ketika obsesi orang

tua diterapkan tanpa

41

sedangkan Lala tampak

kebingungan dengan

cara belajar, seperti

membuang pandangan

dan menengok ke

segala arah menghindari

pandangan Ibunya. Lala

memiliki kegemaran

menggambar dan

bernyanyi setelah les

matematika dan bahasa

Inggris, Ibu Lala sering

mengarahkan

pandangannya ketika

Lala bernyanyi. “Lala ki

sukae nyanyi mba, tapi

nek diajak sinau angel,

kadang tak liati, habis

itu nanti akhire gelem

mba, kadang ya mesake

tapi nek sinau sama

mama e mesti angel”

memiliki masalah

perilaku dan

pengendalian

dorongan,

terutama saat

tidak berhadapan

dengan orang tua.

c. Perilaku

yang mendukung

Perilaku yang

mendukung pada

pola asuh ini

disebut “

menghambatan”

perilaku, yang

memiliki tujuan

untuk mengontrol

anak dari pada

mendukung

proses berpikir

anak.

d. Tingkat

konflik antara

orang tua dan

anak kontrol

yang lebih tanpa

mempertimbangkan

keinginan anaknya,

dapat dilakukan

dalam proses

pengembangan anak.

Pada observasi

diketahui tidak

didukungnya Lala

pada kegemarannya

bernyanyi dan

menggambar.

Berdasarkan ciri-ciri,

pola komunikasi

yang terjadi antara

orang tua dan Lala

orang tua

menerapkan pola

asuh ototiter.

42

ada kedekatan

sejati dan rasa

saling

menghormati

dapat

mengakibatkan

pemberontakan,

dengan kata lain,

pola asuh

otoriter dapat

mengakibatkan

konflik antara

orang tua dan

anak.

Permissive Aida Dari hasil observasi,

didapati Aida memiliki

kebiasan bermain

dengan teman

sebayanya setelah

pulang sekolah dari

siang hingga menjelang

sore, aktivitas yang

dilakukan oleh Aida

dan teman sebayanya

adalah bermain sepeda,

barbie, pasaran, lompat

Menurut Hurlock,

E. B. (1993). Pola

asuh permisif

memiliki ciri-ciri

Kontrol orang tua

kurang, Bersifat

longgar atau bebas,

Anak kurang

dibimbing dalam

mengatur dirinya,

Hampir tidak

menggunakan

Aida memiliki

kebiasaan bermain

bersama teman-

teman sebayanya,

aktivitas luar rumah

meliputi bersepeda,

pasaran, bermain

barbie, lompat tali,

keseharian Aida lebih

sering menghabiskan

waktu dengan

pengasuh dan teman-

43

tali, dan bercerita

mengenai tokoh fiktif

disertai keunggulan dari

tokoh fiktif favorit

masing-masing yang

mereka temui didalam

televisi, dan gadget

(youtube). Aida dan

teman-temanya juga

bercerita tentang film

kartun kesukaan mereka

My Little Pony:

Friendship Is Magic

(season 4).

Aida memiliki

kebiasaan untuk

mengikuti TPA (Taman

Pendidikan Al-Qur’an),

disela-sela Ibu Ratih

mempersiapkan tas dan

perlengkapan lainnya

dan mandi sore untuk

Aida, Aida membuka

gadget milik orang

tuanya dan mengakses

youtube untuk

hukuman, Anak

diijinkan membuat

keputusan sendiri

dan dapat berbuat

sekehendaknya

sendiri.

teman sebayanya,

pada pola asuh orang

tua Aida,

menunjukkan adanya

kelonggaran dalam

mengakses gadget,

seperti hp yang tidak

di password,

sehingga anak dapat

mengakses

keinginannya tanpa

harus berkompromi

dengan orang tuanya

dengan mudah,

Orang tua Aida tidak

berusaha menggali

dorongan-dorongan

anak “lihat apa dek?,

mandi dulu” proses

pengawasan yang

terjadi lemah dalam

mengontrol aktivitas

anak dengan

informasi baru yang

didapat dari youtube

melalui gadget, pola

44

menonton deretan video

rujukan singkat film

kartun dari youtube, Ibu

Ratih biasanya hanya

menanyakan “lihat apa

dek, mandi dulu”,

aktivitas menonton

Aida berhenti ketika

Ayahnya mengantarkan

TPA.

komunikasi yang

terjadi antara orang

tua dan Aida

merupakan pola

komunikasi permisif,

sesuai dengan yang

dikatakan oleh

Menurut Hurlock, E.

B. (1993), bahwa

pada pola asuh

permisif orang tua

cenderung memiliki

kontrol yang rendah

terhadap anaknya.

Authoritative Aldi Kebiasaan Aldi adalah

bermain bersama

teman-teman

sebayanya, Aldi biasa

mengabiskan waktunya

untuk bersepeda

bermain bola, petak

umpet, dan aktivitas

lainya, didalam lingkup

pertemananya Aldi

merupakan anak yang

kerap memprovokasi

Menurut Hurlock,

E. B. (1993). Pola

asuh demokratis

(authoritative)

memiliki ciri-ciri

Anak diberi

kesempatan untuk

mandiri dan

mengembangkan

kontrol internal,

Anak diakui

sebagai pribadi

Pada aktivitas

bermain diluar

rumah, Aldi sering

berkelahi dengan

teman sebayanya

sehingga

menimbulkan

kekhawatiran pada

Ibu Nur. Dalam

penganggulangannya,

Ibu Aldi memberi

gadget dan lebih

45

temannya untuk

melakukan sebuah

aktivitas bermain,

penggunaan gadget

sementara waktu

diberhentikan

dikarenakan selama 4x

berturut – turut orang

tua Aldi telah membeli

gadget baru hingga

akhirnya rusak, disela

sela waktu orang tua

Aldi menyempatkan diri

untuk dengan bepergian

bersama.

oleh orang tua dan

turut dilibatkan

dalam pengambilan

keputusan,

Menetapkan

peraturan serta

mengatur

kehidupan anak.

tenang ketika Aldi

menghabiskan waktu

berada dirumah, Ibu

Aldi memberi

pengalihan melalui

gadget, diketahui

bahwa Aldi sudah

bergonta-ganti gadget

sebanyak 4x

dikarenakan

kerusakan akibat

kelalaian Aldi, orang

tua Aldi kemudian

menentukan untuk

memberhentian

penggunaan gadget

dengan tidak

membelikan ulang

sementara waktu,

disamping

mengajarkan

konsekuensi terhadap

Aldi dan efek jera,

orang tua juga

mengajarkan untuk

tidak memiliki

46

ketergantungan lebih

terhadap gadget,

beberapa kali Aldi

ingin meminjam

gadget dari orang tua

namun, ketika

diberitahu bahwa

gadget yang

digunakan oleh orang

tuanya digunakan

untuk bekerja, Aldi

yang rentan diluar

rumah lebih memilih

menghabiskan waktu

untuk menonton film

di TV, membaca

buku dan bermain

mainan

konvensionalnya.

Pada pola

komunikasi Aldi dan

orang tua

menunjukkan pola

komunikasi

demokrasi atau

authoritative, proses

47

tersebut dibuktikan

dengan pemahaman

Ibu Nur menyangkut

kegemaran Aldi

terhadap gadget, dan

pemahaman Aldi

untuk meminimalisis

pertikaian dengan

teman sebayanya,

disertai konsekuensi

tanpa gadget untuk

waktu yang

ditentukan oleh orang

tuanya.

5.3 Komunikasi Interpersonal

Dari kedelapan keluarga diatas semuanya memiliki cara yang berbeda-

beda dalam mengatasi masalah anak yang senang bermain gadget. selain itu

kedelapan keluarga memiliki pola tersendiri tidak dipungkiri terdapat beberapa

keluarga yang mengalami pola yang sama, namun masing-masing orang tua

mengalami tingkat kesulitan yang berbeda-beda pula dan mengatasi dengan

caranya masing-masing. Dalam proses komunikasi tidak hanya memunculkan

sebuah pola, namun didalam proses komunikasi terdapat komunikasi

interpersonal yang nantinya akan menjadi faktor terpenting dalam menentukan

perkembangan individu. Peneliti mengambil salah satu contoh dari kelurga Ibu

Yani.

48

“Ma belike ini ma. Besok ya kalau udah punya uang. Nek anakku sing

cilik manut mbak, tapi nek mbakyune diomongi nanti sek, yo raine karo

besengut. Soale karakter anak kan beda-beda”.22

Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Yani bahwa anaknya dapat mengerti

kondisinya, serta menurut perkataan orang tuanya dikarenakan adanya

kedekatan antara ibu dan anak sehingga memunculkan perubahan sikap pada

komunikan.Selain itu anak mempercayai tentang pesan yang disampaikan oleh

orang tua.

“kakak punya hp kelas berapa? SMP?, berarti besok kalau aku udah

besar kayak kakak belike lho ma”.23

Wawancara diatas dikemukakan oleh Lala sebagai anak Ibu Yani. Lala

yang dulu kerap bermain gadget, kini sikap Lala mulai berubah menjadi lebih

mengerti tentang apa yang dilarang dan diperbolehkan. Tentunya memberi

penjelesan atau pengertian terhadap anak usia dini bukanlah hal yang mudah

bagi Ibu Yani.

Tentunya dengan adanya komunikasi interpersonal dalama keluarga

mampu merubah perilaku anak serta dapat mempersuasif anak dengan berupa

bujukan dan rayuan agar anak lebih terkendali dan lebih memahami maksut dari

orang tuanya. Selain itu, dengan adanya komunikasi interpersonal

menggambarkan kedekatan anak dan orang tua dan merupakan komunikasi

paling efektif karena kerap digunakan untuk melancarkan komunikasi yang

berupa persuasi yang sifatnya halus, dan berupa ajakan. Seperti yang

dikemukakan oleh Hoveland dalam (Wiryanto, 2004: 6) mendefinisikan

komunikasi, demikian: “ The process by which an individual (the

22Wawancara dengan Ibu Ratih (Ibu dari Aida) pada hari Jumat, 1 Desember 2017 pukul 15.30 WIB.

23Wawancara dengan Ibu Ratih (Ibu dari Aida) pada hari Jumat, 1 Desember 2017 pukul 15.30 WIB.

49

communicator) transmits stimuli (ussualy verbal symbols) to modify, the

behaviourof other individu”. (Komunikasi adalah proses di mana individu

mentrasmisikan stimulus untuk mengubah perilaku individu yang lain).

Secara garis besar anak-anak saat ini cenderung lebih menyukai bemain

dengan gadget dibandingkan bermain diluar dikarenakan lingkungan sekitar,

pola asuh orang tua, dan kesibukan orang tua sendiri. Seperti kita tahu dari hasil

wawancara diatas, anak-anak mengenal gadget dari lingkungan sekitar,

kesibukan orang tua yang mengharuskan anak untuk bermain sendiri, serta gaya

pola asuh yang terdiri dari otoriter, bebas, bahkan hingga demokratis. Kesibukan

orang tua dalam pekerjaan yang membuat kurangnya perhatian kepada anak,

lingkungan anak-anak terlalu dekat dengan kemajuan teknologi, kurangnya

interaksi secara tatap muka mengakibatkan anak mencotoh apa yang ada

disekitarnya.

Dikarenakan pemikiran orang tua saat ini telah berbeda dengan orang tua

zaman dulu, belum lagi harga gadget yang terjangkau sehingga orang tua lebih

memilih untuk membelikan gadget untuk anak dibandingkan membelikan

berbagai macam mainan untuk anak. Pada dasarnya selain pemenuhan secara

materi maupun kebutuhan anak sehari-hari,seorang anak lebih membutuhkan

perhatian lebih dari orang tua. Menurut para ahli psikologi, usia usia dini (0-8

tahun) sangat menentukan bagi anak dalam mengembangkan potensinya.

Kehidupan pada masa anak dengan berbagai pengaruhnya adalah masa

kehidupan yang sangat penting khususnya berkaitan dengan diterimanya

rangsangan (stimulasi) dan perlakuan dari lingkungan hidupnya (Mutiah, 2010:

3).

Gadget sendiri memiliki dampak positif dan negatif bagi penggunanya.

Untuk anak usia dini khususnya, mereka tidak perlu repot-repot menggunakan

50

kertas, buku atau pensil untuk belajar menulis dan membaca karena dengan

menggunakan gadget terdapat aplikasi untuk belajar membaca, menulis, dan

mewarnai serta dilengkapi animasi-animasi yang menarik sehingga membuat

anak tidak bosan saat belajar. Dimudahkan dalam dunia pendidikan bukan

berarti kita sebagai orang tua harus mengandalkan gadget dalam kehidupan

sehari-hari setiap saat terutama dalam pola pengasuhan anak. Selain itu anak

diberi kebebasan untuk bermain gadget setiap saat. Bahaya gadget pun dapat

mempengaruhi perkembangan secara motorik maupuk psikis, bahkan bahaya

radiasi, menyebabkan kecanduan (Komarudin, (n.d)). Pada dasarnya permainan

mempunyai arti sebagai sarana mensosialisasikan diri (anak) artinya permainan

digunakan sebagai sarana membawa anak ke alam masyarakat (Mutiah, 2010:

113).

Dunia anak-anak adalah bermain. Justru melalui berbagai permainanlah

proses belajar dapat berlangsung dengan baik, alat permainan adalah alat bantu

mereka dalam bermain sedangkan perhatian orang tua kepada anak dapat

diberikan kedalam dalam aktivitas bermain interaktif (Satiadarma, 2001:64).

Apalagi barang yang dibelikan adalah alat permainan yang bisa membuat anak

menikmatinya selama berjam-jam sendirian. Jenis permainan ini menimbulkan

dampak negatif seperti misalnya (Satiadarma, 2001:63):

1. Anak jelas tidak belajar karena sibuk menikmati permainanya.

2. Anak tidak bersosialisasi karena ia menikamti permainan tersebut

sendirian.

3. Anak semakin menarik diri dari aktivitas sosial termasuk berada

bersama dengan keluarga.

4. Perkembangan secara emosional anak mengalami hambatan karena

kurang berinteraksi dengan orang lain.

51

Selain itu komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak pun harus

terbina secara baik. Fitzapatrick dan Badzinski (lihat Baxter & Clark, 1996)

dalam (Lestari, 2012:62) menyebutkan dua karakteristik yang menjadi fokus

penelitian komunikasi keluarga dalam relasi orang tua-anak.

• Pertama, komunikasi yang mengontrol yakni tindakan

komunikasi yang mempertegas otoritas orang tua atau

egalitarianisme orang tua-anak.

• Kedua, komunikasi yang mendukung yang mencakup

persetujuan, membesarkan hati, ekspresif afeksi, pemberian

bantuan, dan kerja sama.

Melalui bahasa tertentu orang tua menyampaikan pesan-pesan baik intelek

maupun emosional kepada anak-anak mereka. Melalui proses komunikasi,

bahasa disampaikan dari satu individu ke individu lain, dari orang tua ke anak

mereka. Dalam proses ini terjadi transformasi konsep dari orang tua kepada anak

(Satiadarma, 2001:97). Pemelihan kata pun mampu mempengaruhi pesan yang

akan disampaikan, jika orang tua menyampaikan dengan bahasa yang kasar

tentu pesan yang diterima oleh anak memiliki makna yang berbeda jika

dibandingkan dengan pesan yang disampaikan dengan bahasa yang halus.

Karena bahasa menjadi dasar pembentuk pola pikir seseorang. Melalui bahasa

menjadikan seseorang mampu melihat pesan moral yang terdapat didalamnya.

Jika dengan pola komunikasi di dalam hubungan keluarga terdapat

otoriter, cenderung bersikap kaku, yang mana orang tua lebih senang

mengkomando serta menentukan aturan-aturan, kontrol yang tinggi dan batasan-

batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. orang tua dengan pola otoriter tentu

memiliki sikap penerimaan yang rendah. Bagi orang tua yang otoriter jika anak

52

tidak mematuhi perintah yang dikehendaki orang tuanya bahwa anak ini akan

bertindak semaunya, dan jika anak tidak dipukul dia tidak akan menurut.

Terkadang orang tua otoriter kerap menghukum secara fisik.

Cara otoriter menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak.

inisiatif dan aktivitas-aktivitasnya menjadi “tumpul”. Secara umum

kepribadiannya lemah, demikian pula kepercayaan dirinya (Gunarsa dan

Yulia,1983:82). Seperti yang dialami Lala, mendapati orang tua dengan pola

komunikasi di dalam hubungan keluarga yang otoriter. Sehingga anak tumbuh

dalam rasa takut, serta anak tidak dapat mengutarakan keinginannya, karena

dibatasi oleh orang tua. Anak pun harus mengikuti kemauan orang tuanya.

Ketika anak melakukan kesalahan orang tua langsung menanyai dengan nada

yang tinggi menggunakan emosi. Seharusnya orang tua lebih bijak dalam

menangani anak yang melakukan kesalahan, menghadapi dengan tenang bukan

sebaliknya.

Lalu dengan pola komunikasi di dalam hubungan keluarga permissive,

yang mana orang tua lebih cenderung bebas namun kontrol rendah. Hanya pada

hal-hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orang tua baru bertindak. Pada

cara bebas ini pengawasan menjadi longgar. Karena harus menentukan sendiri,

maka perkembangan kepribadiannya menjadi tidak terarah (Gunarsa dan

Yulia,1983:83). Terjadi pada Aida, karena orang tua bekerja. Aida hanya diasuh

oleh pembantu. Serta pengawasan orang tua yang rendah menyebabkan aida

mengenal gadget dari teman sekolahnya, mengakibatkan Aida sulit untuk

dijauhkan dai gadget. Serta membuat Aida bebas meminta untuk dibelikan

mainan baru, dan kurangnya ketegasan Aida. Dan kurangnya waktu

kebersamaan antara orang tua dan anak. Pada anak tumbuh kekauan

(egocentrisme) yang terlalu kuat dan kaku dan mudah menimbulkan kesulitan-

53

kesulitan kalau harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam lingkungan

sosialnya (Gunarsa dan Yulia,1983:83).

Yang terakhir pola komunikasi di dalam hubungan keluarga secara

authoritative, pola komunikasi ini cenderung demokratis. Orang tua sama-sama

memiliki rasa kontrol dan penerimaan yang tinggi, serta mendorong anak

menyatakan pendapat. Tindakan-tindakan tidak sesuai baiknya diterangkan

secara rasional dan obyektif sambil meyakinkan perbuatannya, kalau baik perlu

dibiasakan dan kalau tidak baik hendaknya tidak diperlihatkan lagi (Gunarsa dan

Yulia,1983:84). Seperti Aldi, Orang tuanya responsif terhadap kebutuhannya,

selain itu orang tua Aldi pun menyadari bahaya dari dampak gadget. Itensitas

menggunakan gadget ketika sedang bersama anak pun mulai dikurangi. Karena

orang tua cemas akan dampak buruk yang nantinya akan diterima oleh Aldi, kita

tahu sendiri bahwa Aldi masih berusia 4 tahun yang sepenuhnya belum tahu

tentang pemanfaatan gadget. Serta pengalihan tanpa ada unsur paksaan membuat

Aldi mudah dialihkan perhatiannya.

Pola komunikasi dalam hubungan keluarga, yang baik menerapkan dengan pola

komunikasi secara demokratis, dimana orang tua tetap dapat mengkontrol dan

sikap penerimaan yang seimbang mampu menjadi dasar acuan agar dapat

memantau perkembangan anak. Namun setiap keluarga memiliki pola

komunikasi yang berbeda terutama dalam pengasuhan anak. karena setiap orang

memiliki ciri khas masing-masing. Namun tidak ada salahnya berusaha menjadi

orang tua yang tidak lepas dari tanggung jawab, dan memberikan yang terbaik

untuk anak. Agar anak jauh dari dampak buruk gadget serta kurangnya

pemahaman pemanfaatan gadget pada anak khususnya anak usia dini. Baiknya

anak usia dini tidak perlu diperkenalkan oleh gadget, mungkin lebih baik

menghabiskan energi anak dengan hal-hal yang dia sukai seperti melakukan

54

aktivitas diluar rumah bersama. Mulai dari hal yang kecil mengajak anak-anak

mengikuti kegiatan sosial, atau jalan-jalan dengan anak diwaktu luang, dan

mendukung kegiatan yang anak sukai. Agar anak tumbuh lebih terarah dan

mampu berinteraksi sosial dengan baik selain itu tumbuhnya rasa percaya diri.