bab v analisis a. struktur sastra kitab - abstrak.uns.ac.id · pada pembahasan di atas dapat...
TRANSCRIPT
83
BAB V
ANALISIS
A. Struktur Sastra Kitab
Struktur sastra kitab yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi: struktur
penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id, gaya penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id, pusat
penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id dan gaya bahasa teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id.
1. Struktur Penyajian Teks Miftāhu’-l-Aqā’id
Struktur teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id terdiri atas tiga bagian yang masing-
masing bagian merupakan unsur-unsur yang berkesinambungan. Bagian tersebut
adalah (1) pendahuluan, (2) isi, dan (3) penutup.
I. Pendahuluan, terdiri atas:
A1: Basmalah dan Hamdalah, selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
a. Basmalah dan Hamdalah.
Pendahuluan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan basmalah dan
hamdalah dalam bahasa Arab kemudian diikuti terjemah dalam bahasa Melayu.
Hal ini terbukti dengan kutipan berikut. “Bismi `l-Lāhi `r-Rāhmani `r-Rahīm. Al-
hamdu li 'l-Lāhi `l-Lazi kāna wa lā makāna `l-mutanazzahi „ani `t-taghā`ishi Wā
nnuqshān. Segala puji-pujian bagi Allah Tuhan Yang adanya tatkala itu tiada di
tempat pada-Nya: Yang Suci Ia daripada kehinaan dan kekurangan.” (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:1).
Pada kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam bagian pendahuluan
teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan basmalah dan hamdalah dalam bahasa
Arab kemudian diikuti terjemah dalam bahasa Melayu secara interlinier.
84
b. Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya.
Setelah basmalah dan hamdalah, teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diikuti dengan
selawat dan salam dalam bahasa Arab kemudian dan terjemah dalam bahasa
Melayu. seperti kutipan teks berikut.
Wa `sh-shalātu // wa `s-salāmu „alā sayyidi `l-anāmi wa „alā alihi wa
ashhābihi `l-muayyidina ‟alā dini [`l]-islam. Dan rahmat dan
salamnya atas penghulu kami Nabi Muhammad yaitu penghulu segala
manusyia, dan atas keluarganya, dan segala sahabatnya yang meneguh
agama Islam. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:2).
Pada kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam bagian pendahuluan
teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan selawat kepada Nabi Muhammad Saw.
beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya dalam bahasa Arab kemudian
diikuti terjemah dalam bahasa Melayu secara interlinier.
B1. Penjelasan makna tuggal dan keesaan.
Selain (basmalah dan hamdalah selawat dan salam kepada Nabi
Muhammad Saw., keluarga, sahabat, dan para pengikutnya) pada bagian
pendahuluan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id juga diawali dengan makna Mufarrid yang
artinya „bersifat sendiri‟, dan makna Wahid yang artinya „bersifat esa‟ dalam
bahasa Arab kemudian diikuti terjemah dalam bahasa Melayu. Seperti kutipan
berikut.
Al-mutafarridi bijalālihi `l-mutawakhhidi bi w(ā
) h(a) d
[ā
]niyyati[hi]. yang
tunggal Ia dengan kebesaran-Nya lagi esa Ia dengan keesaan-Nya. (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:1).
85
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam bagian pendahuluan
teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan penjelasan makna tunggal dan keesaan
dalam bahasa Arab kemudian diikuti terjemah dalam bahasa Melayu.
C1: Kata “Ammā ba‟du”.
Antara pendahuluan (basmalah dan hamdalah, selawat dan salam kepada
Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat, dan para pengikutnya, penjelasan
makna tunggal dan keesaan) dan isi teks dibatasi dengan kata “Ammā ba‟du”
dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id dalam bahasa Arab kemudian diikuti terjemah
dalam bahasa Melayu. Seperti kutipan berikut.
Bismi `l-Lāhi `r-Rāhmani `r-Rahīm. Al-hamdu li 'l-Lāhi `l-Lazi kāna
wa lā makāna `l-mutanazzahi „ani `t-taghā`ishi Wā nnuqshān. Segala
puji-pujian bagi Allah Tuhan yang adanya tatkala itu tiada di tempat
pada-Nya: Yang Suci Ia daripada kehinaan dan kekurangan Al-
mutafarridi bijalālihi `l-mutawakhhidi bi w(ā
) h(a) d
[ā
]niyyati[hi].
Yang tunggal Ia dengan kebesaran-Nya lagi esa Ia dengan keesaan-
Nya Wa `sh-shalātu // wa `s-salāmu „alā sayyidi `l-anāmi wa „alā
alihi wa ashhābihi `l-muayyidina ‟alā dini [`l]-islam. Dan rahmat dan
salamnya atas penghulu kami Nabi Muhammad yaitu penghulu segala
manusyia, dan atas keluarganya, dan segala sahabatnya yang meneguh
agama Islam Ammā ba’du, fa hazihi „aqidatun fimā lā budda li `l-
mukallafiiina an ya‟taqidahu mimmā yajibu fi haqqi maulānā jalla wa
„azza wa mā yastahilu wa mā yajūzu wa kaza yajibu „alaihim mislu
zalika fi haqqi `r-rusuli „alaihim `sh-shalātu wa `s-salāmu. Adapun
kemudian dari itu. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:1–3).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam bagian pendahuluan
teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan kata “Ammā ba‟du” yang artinya „adapun
kemudian dari itu‟.
D1: Latar belakang kepengarangan.
Dilanjutkan dengan latar belakang kepengarangan. Dalam teks Miftāhu‟-l-
Aqā‟id latar belakang kepengarangan teks berupa alasan yang mendorong
penulis untuk menulis karangan.
86
Seperti kutipan teks berikut.
Ammā ba‟du, fa hazihi „aqidatun fimā lā budda li `l-mukallafiiina an
ya‟taqidahu mimmā yajibu fi haqqi maulānā jalla wa „azza wa mā
yastahilu wa mā yajūzu wa kaza yajibu „alaihim mislu zalika fi haqqi
`r-rusuli „alaihim `sh-shalātu wa `s-salāmu. Adapun kemudian dari
itu, maka inilah iktikad pada menyatakan barang yang tadapat tiada
bagi segala mukalaf bahwa iktikadkan mereka itu akan Dia daripada
barang yang wajib pada Hak Tuhan kita Yang Mahabesar amat
mulialah dan barang yang mustahil // dan barang yang jaiz. Dan
demikian lagi, wajib atas mereka itu mengiktikadkan seperti demikian
itu pada hak segala Rasulullah „alaihimu`sh-shalātu wa `s-salām.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:2–3).
Pada kutipan di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam bagian
pendahuluan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan alasan atau latar belakang
penulisan teks dalam bahasa Arab kemudian diikuti terjemah dalam bahasa
Melayu secara interlinier.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam bagian
pendahuluan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id terdiri atas basmalah dan hamdalah, selawat
kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya,
penjelasan makna tuggal dan keesaan, kata “Ammā ba‟du”, dan latar belakang
kepengarangan.
II. Isi, terdiri atas:
A2: Penjelasan tentang pentingnya Makrifatullah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.3–7)
B2: Sifat wajib Allah yang berjumlah dua puluh. Sifat wajib Allah yang berjumlah
dua puluh itu terbagi menjadi 4 bagian, yaitu sifat Nafsiyah, sifat Salbiyah,
sifat Ma‟ānī, dan sifat Ma‟nawiyah:
1) Sifat Nafsiyah; pengertian sifat Nafsiyah dan sifat-sifat yang tergolong ke dalam
sifat Nafsiyah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.8);
87
2) Sifat Salbiyah; pengertian sifat Salbiyah dan sifat-sifat yang tergolong ke dalam
sifat Salbiyah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.8–10 );
3) Sifat Ma‟ānī; pengertian sifat Ma‟ānī dan sifat-sifat yang tergolong ke dalam sifat
Ma‟ānī (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.10–6);
4) Sifat Ma‟nawiyah; pengertian sifat Ma‟nawiyah dan sifat-sifat yang tergolong ke
dalam sifat Ma‟nawiyah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.16–18);
C2: Sifat-sifat mustahil Allah yang berjumlah dua puluh. Sifat mustahil merupakan
lawan dari dua puluh sifat wajib pada Allah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.23–24);
D2: Sifat Jaiz Allah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal. 24);
E2: Sifat-sifat wajib Rasulullah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.25–26);
F2: Sifat sifat mustahil Rasulullah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal.25–26);
G2: Sifat Jaiz Rasulullah (Miftāhu‟-l-Aqā‟id hal. 26)
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam bagian isi teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id terdiri atas penjelasan tentang pentingnya Makrifatullah, sifat-
sifat wajib Allah, penggolongan sifat-sifat wajib Allah, sifat-sifat mustahil Allah,
sifat jaiz Allah, sifat-sifat wajib Rasulullah, sifat-sifat mustahil Rasulullah dan
sifat jaiz Rasulullah
III. Penutup, terdiri atas:
A3: Doa penutup
Dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id bagian penutup berisi doa kepada Allah. Hal
ini dapat dibuktikan dengan kutipan berikut. “Wa billāhi taufiq lā rabba siwāhu
wa nas`aluka allahumma \a\n taj‟alanā wa ahbā`inā „inda `l-mauti nā thi‟īnā bi
kalimati `th-thayyibati ālamīna bihā bermula kepada Allah jua memohonkan
88
negri hai tiada tuhan lain daripada-Nya bahwa kupohonkan // kepada hadiratmu
ya Tuhanku bahwa kujadikan kar(en)a-Nya akan kamu.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:30).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam bagian penutup teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan doa penutup yang meggambarkan rasa syukur
penulis kepada Allah dalam bahasa Arab diikuti terjemah dalam bahasa Melayu.
B3: Judul kitab.
Selanjutnya dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan judul kitab pada
akhir teks. Seperti kutipan berikut. “Kitab musamma bi `l-aqidah musamma bi
miftahul aqāid fi waqti wa kitabihi teuku ilir tamma.“ (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:31).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam penutup teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan judul kitab yang bernama Miftāhu‟-l-Aqā‟id
diikuti kalimat penutup dalam bahasa Arab.
C3: Kata “tamat” dan “tamma”
a. Kata “Tamat” pada akhir teks.
Selain judul kitab, teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan kata “tamat”
sebagai tanda selesai atau akhir dari teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut.“Dengan Ia pun akan dia tamat kitab musamma bi `l-aqidah
musamma bi miftahul aqāid.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:31).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam penutup teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan kata “tamat” yang artinya „selesai‟ yang
terletak pada akhir teks.
b. Kata “Tamma” pada kolofon.
Setelah kata tamat di akhir teks, dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id juga kata
“tamma” pada kolofon untuk mengakhiri teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id. Hal ini sesuai
89
dengan kutipan berikut. ““Dengan Ia pun akan dia tamat kitab musamma bi `l-
aqidah musamma bi miftahul aqāid teuku ilir tamma.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:31)
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam kolofon teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan kata “tamma” yang artinya „selesai‟. Maka
dapat disimpulkan bahwa dalam bagian penutup teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id terdapat
dua tempat yang menandakan selesainya teks.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penutup teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan doa penutup, judul kitab, kata “tamat”pada
akhir teks dan kata “tamma” pada kolofon teks.
Skema struktur penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id sebagai berikut.
I
A1 ( a–b ) –B1–C1–D1
II
A2–B2–C2–D2–E2–F2
III
A3–B3–C3 (a–b)
2. Gaya Penyajian Teks Miftāhu’-l-Aqā’id
Gaya penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan bentuk interlinier.
Contohnya dapat dibuktikan pada kutipan berikut. “Bismi `l-Lāhi `r-Rāhmani `r-
Rahīm. Al-hamdu li 'l-Lāhi `l-Lazi kāna wa lā makāna `l-mutanazzahi „ani `t-
taghā`ishi Wā nnuqshān. Segala puji-pujian bagi Allah Tuhan Yang adanya
tatkala itu tiada di tempat pada-Nya: Yang Suci Ia daripada kehinaan dan
kekurangan. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:1).”
90
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam pendahuluan teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan basmalah dan hamdalah dalam bahasa Arab
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Hal ini menunjukkan gaya
penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan bentuk interlinier.
Bagian pendahuluan kedua juga menggunakan bentuk interlinier seperti
kutipan berikut, “Wa `sh-shalātu // wa `s-salāmu „alā sayyidi `l-anāmi wa „alā
alihi wa ashhābihi `l-muayyidina ‟alā dini [`l]-islam. Dan rahmat dan salamnya
atas penghulu kami Nabi Muhammad yaitu penghulu segala manusyia, dan atas
keluarganya, dan segala sahabatnya yang meneguh agama Islam.” (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:2).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam pendahuluan teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan selawat dan salam kepada Nabi Muhammad
Saw. beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya dalam bahasa Arab
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Hal ini menunjukkan gaya
penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan bentuk interlinier.
Bagian pendahuluan ketiga juga menggunakan bentuk interlinier,
seperti kutipan berikut.
Ammā ba‟du, fa hazihi „aqidatun fimā lā budda li `l-mukallafiiina an
ya‟taqidahu mimmā yajibu fi haqqi maulānā jalla wa „azza wa mā
yastahilu wa mā yajūzu wa kaza yajibu „alaihim mislu zalika fi haqqi
`r-rusuli „alaihim `sh-shalātu wa `s-salāmu. Adapun kemudian dari
itu, maka inilah iktikad pada menyatakan barang yang tadapat tiada
bagi segala mukalaf bahwa iktikadkan mereka itu akan Dia daripada
barang yang wajib pada Hak Tuhan kita Yang Mahabesar amat
mulialah dan barang yang mustahil // dan barang yang jaiz. Dan
demikian lagi, wajib atas mereka itu mengiktikadkan seperti demikian
itu pada hak segala rasulullah „alaihimu`sh-shalātu wa `s-salām.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:2–3).
91
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam pendahuluan teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diawali dengan kata “Ammā ba‟du”, yang artinya „dan adapun
kemudian daripada itu‟. Kemudian latar belakang penulisan teks dalam bahasa
Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Hal ini menunjukkan
bahwa teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan bentuk interlinier.
Bagian isi teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id yang tidak menggunakan bentuk
interlinier. Gaya penyajian tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Ketahui olehmu, hai segala mukalaf. Bahwasanya pertama-tama yang wajib atas
segala akil balig itu makrifatullah. Maka, makna makrifat itu iaitu mengetahui
akan yang diketahui seperti adanya dengan dalil akli atau dengan naqli”.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:3).
Pada kutipan diatas membuktikan bahwa pada bagian pembuka isi teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id tidak menggunakan bentuk interlinier, karena lebih
menekankan penjelasan formal tanpa disertai dalil Arab.
Syahdan setelah sudahlah <mengehu> mengetahui segala mukalaf
makrifat yang demikian itu. Maka wajib pula atasnya barang yang
wajib pada hak Taala, dan barang yang mustahil, dan barang yang jaiz
padanya.Maka setengah daripada segala sifat yang wajib yakni yang
tsabit bagi Subhānahu wa ta‟āla itu yaitu dua puluh sifat yang terbagi
ia kepada empat bahagi. Pertama sifat nafsiyah, kedua sifat salbiyah,
ketiga sifat ma‟ani, keempat sifat maknawiyah. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:7).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam isi teks Miftāhu‟-l-
Aqā‟id menjelaskan, mulai dari sifat-sifat wajib Allah, sifat-sifat mustahil-Nya, dan
penggolongan sifat-Nya. Hal ini mempertegas bahwa bagian isi teks Miftāhu‟-l-
Aqā‟id tidak semua menggunakan bentuk interlinier.
Pada bagian penutup teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan bentuk
interlinier, seperti kutipan berikut. “Wa billāhi taufiq lā rabba siwāhu wa
92
nas`aluka allahumma \a\n taj‟alanā wa ahbā`inā „inda `l-mauti nā thi‟īnā bi
kalimati `th-thayyibati ālamīna bihā bermula kepada Allah jua memohonkan
negri hai tiada tuhan lain daripada-Nya bahwa kupohonkan // kepada hadiratmu
ya Tuhanku bahwa kujadikan kar(en)a-Nya akan kamu.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:30–
31).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam penutup teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan penjelasan akhir teks dan ungkapan penulis
bahwa tiada Tuhan selain Allah serta ungkapan berserah diri pada Allah dalam
bahasa Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Hal ini
menunjukkan bahwa teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan bentuk interlinier.
Bagian penutup kedua teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id tidak menggunakan bentuk
interlinier. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut. “Dan akan segala...ketika
mengata lailāhaillallah Muhammad Rasulullah dengan Ia pun akan dia tamat
kitab musamma bi `l-aqidah musamma bi miftahul aqāid fi waqti wa kitabihi
takwilih tama.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:31).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam penutup teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id diakhiri dengan lafal lailāhaillallah Muhammad Rasulullah
dalam bahasa Arab kemudian tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Lalu
kalimat penutup dalam bahasa Arab kemudian tidak diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu. Hal ini mempertegas bagian penutup kedua pada teks Miftāhu‟-l-
Aqā‟id tidak menggunakan bentuk interlinier.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pendahuluan,
isi, dan penutup teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id ada yang menggunakan bentuk interlinier
dan ada bagian yang tidak menggunakan bentuk interlinier.
93
3. Pusat Penyajian Teks Miftāhu’-l-Aqā’id
Miftāhu‟-l-Aqā‟id menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan ajaran
tauhid, yaitu mengenai sifat-sifat wajib Allah, sifat-sifat mustahil Allah, dan
penggolongan sifat Allah, sifat-sifat wajib Rasulullah, sifat-sifat mustahil
Rasulullah dan sifat jaiz Rasulullah. Pusat penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id
menggunakan pusat penyajian orang pertama jamak, yakni yang disampaikan oleh
pengarang layaknya seorang guru kepada muridnya yang ingin mempelajari ajaran
tauhid khususnya ilmu sifat dua puluh. Pusat penyajian Miftāhu‟-l-Aqā‟id
diuraikan sebagai berikut.
a. Kita
Pusat penyajian dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan metode orang
pertama jamak seperti yang terlihat dalam kutipan berikut. “Maka adapun Quran
itu yang disuratkan pada segala mushaf kita dan yang dikhafadzkan dengan
segala dada kita dan yang dibaca dengan segala lidah kita itu qadim jua tetap
surat-Nya dan yang menyurat dan pembacaan dan yang membaca itu muhdas.”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:15).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa kata “kita” tersebut
merujuk kepada pengarang dan pembaca dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id. Dalam
teks ini pengarang berperan sebagai yang lebih paham daripada pembacanya.
b. Dia
Selanjutnya dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan metode orang
ketiga tunggal, hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut. “Dan adalah ta‟arif sifat
salbiyah itu ibarat daripada menafikan barang sifat-Nya yang tiadalah yang
94
bersifat dengan Dia Tuhan yang Maha Besar dan amat tinggi-Nya.” (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:10).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa kata ganti “Dia”
menunjukkan kata ganti untuk Allah. Maka dalam penulisannya menggunakan
huruf kapital. Hal ini menunjukkan bahwa pusat penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id
menggunakan metode orang ketiga tunggal.
kata ganti “Dia” seperti kutipan diatas menunjukkan kata ganti untuk
Allah, maka kata ganti “dia” dikutipan berikut menunjukkan kata ganti tokoh
untuk ulama masyhur. ”Kata Syekh Abu Hasan Alasyari dan segala yang
mengikut dia seperti tiada ta‟azur mengetahui kita akan zat hak Taala” (Miftāhu‟-
l-Aqā‟id:15).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa kata ganti “dia”
menunjukkan salah satu tokoh umat Islam yang dibicarakan pengarang yaitu
tokoh ilmu tauhid Syekh Abu Hasan Alasyari. Hal ini menunjukkan bahwa pusat
penyajian teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan metode orang ketiga tunggal.
c. Mereka
Selain menggunakan pusat penyajian orang ketiga tunggal teks Miftāhu‟-l-
Aqā‟id juga menggunakan orang ketiga jamak seperti dalam kutipan berikut.
Ammā ba‟du, fa hazihi „aqidatun fimā lā budda li `l-mukallafiiina an
ya‟taqidahu mimmā yajibu fi haqqi maulānā jalla wa „azza wa mā
yastahilu wa mā yajūzu wa kaza yajibu „alaihim mislu zalika fi haqqi
`r-rusuli „alaihim `sh-shalātu wa `s-salāmu. Adapun kemudian dari
itu, maka inilah iktikad pada menyatakan barang yang tadapat tiada
bagi segala mukalaf bahwa iktikadkan mereka itu akan Dia daripada
barang yang wajib pada Hak Tuhan kita Yang Mahabesar amat
mulialah dan barang yang mustahil // dan barang yang jaiz. (Miftāhu‟-
l-Aqā‟id:2).
95
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa kata ganti “mereka”
menunjukkan para mukalaf yang dibicarakan pengarang, yang juga sebagai tokoh
dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id. Hal ini menunjukkan bahwa pusat penyajian dalam
teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan metode orang ketiga jamak.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan pusat penyajian metode orang pertama jamak,
orang ketiga tunggal, dan orang ketiga jamak. Dalam teks ini pengarang bersifat
sebagai layaknya seorang guru yang menyampaikan ilmu kepada muridnya yaitu
para mukalaf.
4. Gaya Bahasa Teks Miftāhu’-l-Aqā’id
Sastra kitab sebagai sarana untuk mengajarkan agama Islam mempunyai
istilah-istilah khusus dari lingkungan agama Islam, yang erat kaitannya dengan
bahasa Arab. Istilah-istilah khusus tersebut secara otomatis berupa unsur bahasa
Arab karena agama Islam sendiri adalah agama yang berasal dari Arab. Unsur
bahasa Arab dalam sastra kitab, meliputi: kosakata, ungkapan, kata penghubung,
sarana retorika, dan bahasa kiasan.
a. Kosakata
Adapun beberapa kosakata Arab dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id, baik yang
sudah diserap maupun yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia dapat
dilihat dalam tabel berikut.
96
Tabel 10
Kosakata Arab yang Sudah Diserap
No. Kosakata No. Kosakata No. Kosakata
1. . afal 19. khas 37. Taala
2. akaid 20. kitab 38. tamat
3. akhir 21. makhluk 39. wallahualam
4. akhirat 22. makna
5. alam 23. maujud
6. alhamdulillah 24. mukalaf
7. Allah 25. mukmin
8. amal 26. mustahil
9. alim 27. nabi
10. bismillah 28. nafi
11. dalil 29. mukmin
12. faal 30. paham
13. hal 31. rahmat
14. hadis 32. rezeki
15. ibarat 33. risalah
16. iktikad 34. sahabat
17. ilmu 35. salam
18. kalam 36. selawat
97
Tabel 11
Kosakata Arab yang Belum Diserap (dibuat kecil
No. Kosakata Arab No. Kosakata Arab
1. „ain zat 21. nasyar
2. azalī 22. sayūjadu
3. baqa` 23. qa`im
4. fa`il 24. qadim
5. furu` 25. qiyam
6. idrāka 26. sabit
7. iftiqar 27. salbiyah
8. ihāthah 28. ta‟alluq
9. istigna` 29. ta‟azur
10. khārij 30. ta`rif
11. kunhi 31. ta‟tsir
12. ma‟dum 32. tanbihun
13. mahluqat 33. tarkib
14. Ma‟nawiyah 34. wahdaniyah
15. malzūm 35. wājibu `l-Wujūd
16. maushuf
17. muhdas
18. muhtaj
19. nafilah
20. nafsiyah
98
Pada data di atas dapat disimpulkan bahwa dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id
telah ditemukan 39 kosakata Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia,
35 kosakata Arab yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini
menunjukkan gaya bahasa sastra kitab banyak menggunakan kosakata Arab.
b. Ungkapan
Ungkapan yang dimaksud adalah ucapan-ucapan khusus dalam bahasa
Arab. Dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id ada beberapa ungkapan khusus dalam bahasa
Arab sebagai berikut.
1. „Alaihimu`sh-shalātu wa `s-salām
Ungkapan „alaihimu`sh-shalātu wa `s-salām terdapat dalam kutipan teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id berikut. “Dan demikian lagi, wajib atas mereka itu
mengiktikadkan seperti demikian itu pada hak segala rasulullah „alaihimu`sh-
shalātu wa `s-salām”. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:3)
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa ungkapan ‘alaihimu`sh-
shalātu wa `s-salām yang berarti „semoga atasnya kesejahteraan dan
keselamatan‟ diucapkan sesudah menyebut nama para rasul.
2. Subhānahu wa ta‟āla
Ungkapan “Taala” terdapat dalam kutipan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id berikut.
“Maka, nyatalah daripada isyarat ayat yang Mahamulia itu. Bahwa, yang
menjadikan alam itu hanya Allah Subhānahu wa ta’āla.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:5).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa ungkapan “Subhānahu wa
ta‟āla” yang berarti „Mahasuci Allah dan Mahatinggi‟ diucapkan sesudah
menyebut Allah dengan menyifati kata Allah.
99
3. „Azza wa jalla
Ungkapan “‟azza wa jalla” terdapat dalam kutipan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id
berikut. “Makasanya telah nyatalah // kepadamu hai mukalaf daripada segala
barang yang dihampunkan kedua kalimat itu daripada segala barang yang wajib
atasmu mengiktikad akan dia daripada iman akan Allah ‘azza wa jalla.”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:6)
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa ungkapan “„azza wa
jal-la” yang berarti „Yang Mahaluhur dan Mahamulia‟ diucapkan sesudah
menyebut Allah.
4. Radiya`l-lahu „anh
Ungkapan “radiya`l-lahu „anhu” terdapat dalam kutipan teks Miftāhu‟-l-
Aqā‟id berikut. “Dan kata Abu Bakar Ashsidiq radiya`l-lahu ‘anhu.” (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:7)
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa ungkapan “radiya`l-
lahu „anh” yang berarti „semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaan
kepada-Nya‟ diucapkan sesudah menyebut nama para sahabat Nabi yang laki-laki.
5. Karāma`l-lāhu wajhah
Ungkapan “karāma`l-lāhu wajhah” terdapat dalam kutipan teks Miftāhu‟-
l-Aqā‟id berikut. “Maka, barang yang dapat oleh makhluk, Maka yaitu makhluk
seperti kata Ali karāma`l-lāhu wajhah” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:6)
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa ungkapan
“karāma`l-lāhu wajhah” yang berarti „semoga Allah memuliakan wajah-Nya‟
diucapkan sesudah menyebut nama sahabat Ali.
100
Pada kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa sastra kitab juga
menggunakan ungkapan atau kelompok kata yang menyatakan makna khusus
dalam bahasa Arab.
c. Sintaksis
Teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id sebagai salah satu sastra kitab banyak mendapat
pengaruh sintaksis atau ilmu tata kalimat dalam bahasa Arab berupa konjungsi.
Sintaksis dalam Teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id diuraikan sebagai berikut.
1. Dan
Dalam bahasa Indonesia kata “dan” digunakan sebagai kata penghubung.
Akan tetapi, dalam bahasa Melayu, kata “dan” digunakan sebagai kata
penghubung dan kata tumpuan / kata awalan sebagaimana yang terdapat dalam
teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Wa `sh-shalātu // wa `s-salāmu „alā sayyidi `l-anāmi wa „alā alihi wa
ashhābihi `l-muayyidina ‟alā dini [`l]-islam. Dan rahmat dan salam-Nya atas
penghulu kami Nabi Muhammad yaitu penghulu segala manusyia, dan atas
keluarganya, dan segala sahabatnya yang meneguh agama Islam. (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:2).
Dan demikian lagi, wajib atas mereka itu mengiktikadkan seperti
demikian itu pada hak segala rasulullah „alaihimu`sh-shalātu wa `s-salām.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:3).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa kata “dan” digunakan
sebagai kata penghubung pada kutipan pertama dan kata awalan/kata tumpuan
pada kutipan kedua. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari bahasa Arab.
Chamamah-Soeratno, et.al. berpendapat tentang kata dan sebagai berikut.
101
Dalam bahasa Melayu kata dan tidak pernah dipakai untuk membuka
kalimat. Dalam bahasa Arab terdapat pemakaian kata wa (و) yang
secara etimologis berarti ‗dan„. Dalam struktur sintaksis Arab kata wa
(dan) dapat juga dipakai untuk memulai kalimat. Dalam pemakaian ini
kata dan tidak berfungsi sebagai penghubung kata yang digabungkan
melainkan sebagai kata tumpuan (Chamamah-Soeratno, et.al.,
1982:185).
2. Maka
Dalam bahasa Indonesia kata “maka” digunakan sebagai kata penghubung.
Akan tetapi, dalam bahasa Melayu, kata “maka” digunakan sebagai kata
penghubung dan kata awalan/kata tumpuan sebagaimana yang terdapat dalam teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Maka wajib pula atas-Nya barang yang wajib pada hak Taala, dan
barang yang mustahil, dan barang yang jaiz pada-Nya.Maka setengah
daripada segala sifat yang wajib yakni yang tsabit bagi Subhānahu wa
ta‟āla itu yaitu dua puluh sifat yang terbagi ia kepada empat bahagi.
Pertama sifat nafsiyah, kedua sifat salbiyah, ketiga sifat ma‟ani,
keempat sifat maknawiyah. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:7).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa kata “maka” digunakan
sebagai kata penghubung dan kata awalan/kata tumpuan. Hal ini disebabkan
adanya pengaruh dari bahasa Arab. Dalam kaidah bahasa Arab kata fa ( ف ) yang
secara etimologis berarti kata “maka” dipakai sebagai kata tumpuan.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id
sebagai salah satu sastra kitab banyak mendapat pengaruh sintaksis atau ilmu tata
kalimat dalam bahasa Arab berupa penggunaan kata “dan” dan kata “maka”.
d. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id, meliputi: gaya
penguraian, gaya penguatan, gaya polisindeton gaya pertentangan, gaya
penyimpulan, litotes dan bahasa kiasan (simile) yang diuraikan sebagai berikut.
102
a) Gaya Penguraian
Teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id menggunakan gaya bahasa penguraian (analitik)
sebagai gaya bahasa pengekspresian isi pikiran, yaitu menguraikan isi gagasan
secara terperinci. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu kutipan berikut, “Maka
setengah daripada segala sifat yang wajib yakni yang tsabit bagi Subhānahu wa
ta‟āla itu yaitu dua puluh sifat yang terbagi ia kepada empat bahagi. Pertama
sifat nafsiyah, kedua sifat salbiyah, ketiga sifat ma’ani, keempat sifat
ma’nawiyah. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:7).
Kutipan di atas menginformasikan bahwa bagian yang dicetak tebal
merupakan uraian dari masalah yang akan dibahas, yakni mengenai pembagian
sifat dua puluh dalam empat bagian. Bagian yang dicetak tebal fungsinya untuk
menguraikan atau menjelaskan gagasan mengenai pembagian sifat dua puluh
secara terperinci.
b) Gaya Penegasan
Gaya penguatan yang terdapat pada teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id juga
digunakan untuk menguatkan atau menegaskan suatu pernyataan. Gaya ini
ditandai dengan penggunaan kata itulah atau inilah, seperti pada kutipan berikut.
Maka, barang yang dapat oleh makhluk, Maka yaitu makhluk seperti
kata Ali karāma`l-lāhu wajhah “Kullumā takhatthara fi hibā lika wa
tashawwaru fi bālika fa`l-lahu bikhilā fi zalika.” Arti-Nya, “tiap-tiap
barang yang // berupa dalam hatimu maka Allah Taala bersalahan
yang demikian itu. Dan kata Abu Bakar Ashsidiq radiya`l-lahu „anhu
“Al-„ajzu „an dark{i}(l) idrak\i\ idrakun.”Arti-Nya, yang lemah
daripada mendapatkan yang didapat itulah pendapat. (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:6–7).
Dan menerima adam arti-Nya tiada diam dan bersetengah dan tiada
berdahulu kemudian karena sekalian itu daripada segala sifat yang
hadis jua. Maka sekali-kali tiada harus disifatkan yang qadim dengan
103
dia. inilah mazhab ahlul haq daripada mazhab ahlusunah waljamaah.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:14).
Kutipan di atas menginformasikan bahwa kata itulah atau inilah digunakan
untuk mengawali kalimat di akhir paragraf sekaligus juga untuk menegaskan
uraian sebelumnya pada paragraf tersebut. Dapat disimpulkan bahwa gaya
penguatan yang terdapat dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id dijelaskan untuk
menguatkan suatu pernyataan atau pendapat.
c) Gaya Polisendeton
Gaya polisindeton yang terdapat pada teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id ditandai
dengan pemakaian kata sambung dan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Dan daripada pihak iftiqār sekalian makhluk-Nya kepada hadirat-Nya itu
me[nge]wajibkan daripada hadirat-Nya bersifat dengan sembilan sifat, yaitu dan
hayat, dan qudrat, dan qadar, dan iradat, dan muridan, dan aliman, dan ilmu,
dan wahdaniyah”. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:28).
Kutipan di atas menginformasikan bahwa gaya yang digunakan dalam teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id adalah gaya bahasa polisindeton, beberapa kata yang berurutan
dihubungkan dengan kata sambung dan.
d) Gaya Pertentangan(Antitesis)
Dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id terdapat gaya pertentangan (antitesis)
adalah mempertentangkan dua sifat, yakni sifat wajib Rasulullah dan sifat
mustahil Rasulullah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Dan lagi pula wajib atas mereka itu amanah artinya kepercayaan
daripada karena bahwasanya jikalau tiada ada segala Rasulullah itu
amanah niscaya adalah mereka itu khianat dari karena mereka
itu dipilih daripada sekalian makhluk lagi disuruhkan mereka itu
mengajar sekalian itu mereka itu. Maka yang demikian itupun
mustahil jua pada mereka itu. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:25).
104
Kutipan di atas menginformasikan bahwa bagian yang dicetak tebal
mengandung gagasan yang saling berlawanan. Gagasan yang bertentangan
tersebut adalah sifat wajib Rasulullah dan sifat mustahil Rasulullah. Pertentangan
tersebut dimaksudkan agar perbedaan di antara keduanya tampak dengan jelas.
e) Gaya Penyimpulan
Gaya penyimpulan yang terdapat pada teks teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id juga
digunakan untuk mengikhtisarkan suatu uraian, yaitu berdasarkan pada uraian
sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Syahdan apabila sudahlah diketahui segala mukalaf akan segala
barang yang wajib pada hak Subhānahu wa ta‟āla dan akan segala
barang yang mustahil dan segala barang yang jaiz pada hadirat-Nya
dan akan segala barang yang wajib pada segala Rasulullah „alaihimu
`s-shalātu wassalam, // dan akan segala barang yang mustahil, dan
akan barang yang jaiz pada mereka itu. Maka seyogyanya diketahui
segala iktikad yang telah tersebut itu sekalian terhimpun dalam
kalimat Lāilāhaillallah Muhammad rasululullah, artinya tiada tuhan
hanya Allah, nabi Muhammad pesuruh Allah. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:26–
27).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa bagian yang dicetak
tebal mengandung hasil simpulan dari kalimat sebelumnya yaitu kalimat
“Lāilāhaillallah Muhammad rasululullah” digunakan untuk menjelaskan akhir
teks dan untuk menyatakan simpulan dari kalimat.
f) Gaya Retoris Litotes
Bahasa retoris litotes yang terdapat pada teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id digunakan
sebagai pernyataan yang memperkecil sesuatu dan menyatakan kebalikannya
dengan tujuan merendahkan diri. Kutipan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id yang
membuktikan hal tersebut adalah sebagai berikut. “bermula kepada Allah jua
memohonkan negri hai tiada tuhan lain daripada-Nya bahwa kupohonkan //
105
kepada hadiratmu ya Tuhanku bahwa kujadikan kar(en)a-Nya akan kamu.”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:30–31).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id
menggunakan gaya bahasa retoris litotes. Litotes ditandai dengan pengecilan suatu
pernyataan (Gorys Keraf, 2007:131). Kutipan di atas menjelaskan pengarang
merasa memiliki banyak kekurangan selaku hamba Allah. Pengarang merasa
hanya atas izin Allah Taala pengarng dapat menulis kitab tersebut. Intinya,
pemakaian litotes pada teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id bertujuan untuk merendahkan diri
atau menjadikan dirinya merasa kurang pada suatu pernyataan.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa retoris
litotes terdapat dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id. Litotes digunakan untuk
mengecilkan suatu pernyataan dengan tujuan merendahkan diri.
g. Bahasa Kiasan
Dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id ini terdapat bahasa kiasan berupa
perbandingan atau perumpamaan (simile) yaitu membandingkan suatu hal atau
keadaan dengan hal atau keadaan lain dengan kata pembanding. Hal tersebut
dapat dilihat pada salah satu kutipan teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id berikut. “Yakni qadim
itu ibarat daripada menafikan alam yang mendahulu bagi zat-Nya.” (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:9).
Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa pengarang menggunakan
kata ”ibarat” untuk membandingkan makna Qidam atau sedia dengan sifat yang
menunjukan penolakan adanya permulaan bagi wujud Allah. Pada
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa kiasan yang berupa
106
perbandingan atau perumpamaan (simile) juga terdapat pada teks Miftāhu‟-l-
Aqā‟id untuk membandingkan suatu hal dengan hal lain.
B. Kandungan Ajaran Tauhid Teks Miftāhu’-l-Aqā’id
Miftāhu‟-l-Aqā‟id berisi ajaran tauhid khususnya mengenai ilmu sifat dua
puluh, meliputi: sifat-sifat wajib Allah, sifat-sifat mustahil Allah, sifat jaiz Allah
dan penggolongan sifat-sifat wajib Allah lalu sifat-sifat wajib Rasulullah, sifat-
sifat mustahil Rasulullah, sifat jaiz Rasulullah.
1. Sifat-Sifat Wajib Allah dan Penggolongan Sifat-Sifat Wajib Allah
Dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id, pengarang menggolongkan dua puluh sifat
wajib Allah menjadi empat sifat yang diuraikan sebagai berikut.
a. Sifat Nafsiyah
Kata Nafsiyah berasal dari kata “nafs” yang artinya diri. Sifat ini adalah
sifat khusus untuk menunjukkan adanya Allah dan hanya pada diri Allah. Sifat
wajib Allah yang tergolong dalam sifat Nafsiyah hanya satu saja yaitu Wujūd.
Wujūd merupakan sifat wajib Allah yang pertama artinya ada.. Hal ini sesuai
dengan kutipan teks berikut. “Maka sifat nafsiyah // itu yaitu suatu sifat jua yaitu
wujud artinya ada, yakni adanya dengan zat-Nya dan ada seru tempat sekalian
alam itu dengan diadakanya.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id: 7–8).
Sifat wajib Wujūd artinya ada (Abbas, 1997:37). Hal ini sesuai dengan
kutipan di atas. Dari kutipan di atas dikemukakan bahwa Allah bersifat Wujūd
yang berarti ada.
Sifat Nafsiyah adalah hal (keadaan) yang ada pada Zat selama Zat itu
dalam keadaan tiada dikarenakan oleh sesuatu. Wujūd merupakan sifat wajib
Allah yang tergolong sifat Nafsiyah (Abidin, 1994:251). Pendapat ini sesuai
107
dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dikemukakan pula bahwa Wujūd
termasuk sifat Nafsiyah artinya adanya Allah itu adalah karena zat-Nya sendiri,
bukan karena diadakan oleh sebab-sebab lain di luar zat-Nya. Keberadaan Allah
Taala dibuktikan dengan melihat adanya alam ini. Semua yang ada di alam ini
tidak terjadi dengan sendirinya atau secara kebetulan, tetapi ada yang
menciptakannya. Jika Allah yang menjadikan semua itu tidak ada, maka segala
yang ada di dalam alam ini pun juga tidak akan ada.
b. Sifat Salbiyah
Sifat ini adalah sifat-sifat yang tidak layak atau tidak sesuai bagi Allah.
Sifat Salbiyah ada lima macam, yaitu Qidam, Baqā‟, Mukhālafatuhu li `l-
Hawādits, Qiyāmuhu Binafsih, dan Wahdāniyat.
1. Qidam
Sifat wajib Allah yang tergolong sifat Salbiyah yang pertama
adalah Qidam artinya tidak bermula. Hal ini sesuai dengan kutipan teks berikut.
“Dan sifat salbiyah itu lima sifat jua, yaitu qadim artinya // sedia. Yakni qadim
itu ibarat daripada menafikan alam yang mendahulu bagi zat-Nya.” (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:8–9).
Sifat wajib Qidam artinya tidak berawal (Abbas, 1997:38). Pendapat ini
sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa
Allah bersifat Qidam yang artinya sedia (sudah ada dari sananya) atau tidak
berawal.
Sifat Salbiyah adalah sifat yang menunjukkan atas penolakan segala yang
tidak layak bagi Allah Azza wajalla (Abidin, 1994:253). Dari kutipan di atas
dapat pula dikemukakan bahwa Qidam termasuk sifat Salbiyah.
108
2. Baqā‟
Sifat wajib Allah yang tergolong sifat Salbiyah yang kedua adalah
Baqā‟ yang berarti kekal. Hal ini sesuai dengan kutipan teks berikut. “Dan baqa`
artinya kekal. Yakni baqa` itu ibarat daripada menafikan alam yang mendatang
bagi wujud-Nya.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:8).
Sifat wajib Baqā‟ artinya tidak berkesudahan wujud-Nya (Abbas,
1997:38–39). Pendapat ini sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas
dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat Baqā‟ yang berarti kekal atau tidak
berkesudahan wujud-Nya.
Sifat Salbiyah adalah sifat yang menunjukkan atas penolakan segala yang
tidak layak bagi Allah Azza wajalla (Abidin, 1994:253). Baqā‟ merupakan sifat
wajib Allah yang tergolong sifat Salbiyah.
3. Mukhālafatuhu li `l-Hawādis
Sifat wajib Allah yang tergolong dalam sifat Salbiyah yang ketiga adalah
Mukhālafatuhu li `l-Hawādits yang berarti Tuhan berbeda dengan yang baru atau
yang diciptakan (makhluk). Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Dan
mukhalafatuhu lilhawadisi artinya bersalahan hak Taala dan segala yang bahar.
Yakni tiada bersamaan hak Taala dengan suatu jua pun daripada segala yang
bahar daripada zatNya; dan pada segala sifatNya; dan pada segala afalNya”.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id: 9).
Sifat wajib Mukhālafatuhu li `l-Hawādis artinya Allah berbeda dengan
segala yang baru (Abbas, 1997:39). Pendapat ini sesuai dengan kutipan di atas.
Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat Mukhālafatuhu li `l-
Hawādis yang berarti Allah Taala tidak sama dengan segala yang baru.
109
Sifat Salbiyah adalah sifat yang menunjukkan atas penolakan segala yang
tidak layak bagi Allah Azza wajalla (Abidin, 1994:253). Mukhālafatuhu li `l-
Hawādits merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Salbiyah.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Mukhālafatuhu li `l-
Hawādits termasuk sifat Salbiyah. Oleh karena itu, dapat dikatakan arti
Mukhālafatuhu li `l-Hawādits adalah sifat Allah yang menolak adanya kemiripan
dengan segala yang baru, baik pada zat Allah, sifat Allah, maupun perbuatan
Allah.
4. Qiyāmuhu Binafsihi
Sifat wajib yang tergolong sifat Salbiyah yang keempat adalah Qiyāmuhu
Binafsih yang berarti Tuhan berdiri sendiri. Sifat mustahil tersebut seperti berdiri
pada zat yang lain (Makhal) atau berkehendak kepada pencipta yang menciptakan
zatnya (Muhashish). Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Dan Qiyam Binafsihi
artinya qaim sendirinya. Yakni tiada siapa menjadikan Dia; dan tiada berkehendak
// Ia kepada tempat; dan kepada fa‟il yang menentukan Dia; Dan hanyasanya qaim
jua Ia sendirinya”;. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:9–10).
Sifat wajib Qiyāmuhu Binafsih artinya ada dengan sendirinya (Abbas,
1997:39–40). Dari kutipan tersebut dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat
Qiyāmuhu Binafsih yang artinya Allah Taala berdiri dengan sendirinya.
Bahwa sifat Salbiyah adalah sifat yang menunjukkan atas penolakan
segala yang tidak layak bagi Allah Azza wajalla (Abidin, 1994:253). Pada
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Qiyāmuhu Binafsih termasuk sifat
Salbiyah. Oleh karena itu, dapat dikatakan arti Qiyāmuhu Binafsih adalah sifat
110
Allah yang menolak adanya zat yang menjadi tempatnya (Makhal) dan yang
menciptakannya (Muhashish).
5. Wahdāniyah
Sifat wajib yang tergolong sifat Salbiyah yang kelima adalah Wahdāniyat
yang berarti Esa, baik pada zat Allah, sifat Allah, maupun perbuatan Allah. Hal
ini sesuai dengan kutipan berikut:
Dan wahdaniyah artinya esa Ia. Yakni tIada dua bagi zatNya; dan tIada dua
bagiNya pada segala afalNya artinya nafilah tarkib mau daripada zatNya.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:10).
Sifat wajib Wahdāniyah artinya Esa zat, Esa sifat, dan Esa perbuatan-Nya
(Abbas, 1997:40). Dari kutipan tersebut dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat
Wahdāniyah yang berarti Esa.
Sifat Salbiyah adalah sifat yang menunjukkan atas penolakan segala
yang tidak layak bagi Allah Azza wajalla (Abidin, 1994:253). Wahdāniyah
merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Salbiyah. Pendapat ini sesuai
dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat pula dikemukakan bahwa
Wahdāniyah termasuk sifat Salbiyah.
c. Sifat Ma‟ānī
Sifat Ma‟ānī adalah sifat yang ada pada zat Allah yang menjadi sifat
wajib bagi Allah. Sifat Ma‟ānī ada tujuh macam, yaitu Qudrat, Irādat, „Ilmu,
Hayāt, Sama‟, Bashar, dan Kalām.
111
1. Qudrat
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟ānī yang pertama adalah Qudrat yang
berarti kuasa. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.”Dan qudrat artinya kuasa”.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:12).
Sifat wajib Qudrat artinya berkuasa (Abbas, 1997:40). Dari kutipan di atas
dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat Qudrat. Maksudnya, Allah berkuasa atas
segala sesuatu sehingga tidak satu makhlukpun yang kuasa menahan dan
menghalangi kehendak-Nya.
Bahwa sifat Ma‟ānī adalah setiap sifat yang maujudah yang ada pada
yang maujud yang mengakibatkan lahirnya hukum (Abidin, 1994:253–254).
Qudrat merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Ma‟ānī. Pendapat ini
sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat pula dikemukakan bahwa
Qudrat termasuk sifat Ma‟ānī. Artinya, sifat Qudrat ada pada zat Allah dan
menjadi sifat wajib bagi Allah yang melahirkan sifat Qādirān.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Qudrat termasuk sifat
Ma‟ānī. Oleh karena itu, sifat ini termasuk sifat khusus yang hanya dimiliki oleh
Allah Swt. Qudrat menjadi sifat wajib bagi Allah sehingga melazimkan timbulnya
sifat Qādirān.
2. Irādat
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟ānī yang kedua adalah Irādat yang
berarti berkehendak. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.”Dan iradah artinya
berkehendak”. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:12).
Sifat wajib Irādat artinya berkehendak (Abbas, 1997:41). Pendapat ini
sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa
112
Allah bersifat Irādat yang berarti berkehendak. Maksudnya, setiap yang akan ada
dan akan tiada diketahui Allah sehingga tak satupun di dalam alam ini ada sesuatu
yang tidak dikehendaki-Nya.
Sifat Ma‟ānī adalah setiap sifat yang maujudah yang ada pada yang
maujud yang mengakibatkan lahirnya hokum (Abidin, 1994:253–254). Irādat
merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Ma‟ānī. Pendapat ini sesuai
dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat pula dikemukakan bahwa Irādat
termasuk sifat Ma‟ānī. Artinya, sifat Irādat ada pada zat Allah dan menjadi sifat
wajib bagi Allah yang melahirkan sifat Murīdān.
3. „Ilmu
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟ānī yang ketiga adalah „Ilmu yang
artinya mengetahui. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Ilmu artinya tahu.”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:11).
Sifat wajib „Ilmu artinya mengetahui (Abbas, 1997:41). Pendapat ini
sesuai dengan kutipan di atas bahwa dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat
„Ilmu yang berarti mengetahui. Maksudnya, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Sifat Ma‟ānī adalah setiap sifat yang maujudah yang ada pada yang
maujud yang mengakibatkan lahirnya hukum (Abidin, 1994:253–254). Irādat
merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Ma‟ānī. Pendapat ini sesuai
dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat pula dikemukakan bahwa „Ilmu
termasuk sifat Ma‟ānī. Artinya, sifat „Ilmu ada pada zat Allah dan menjadi sifat
wajib bagi Allah yang melahirkan sifat Ālimān.
113
4. Hayāt
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟ānī yang keempat adalah Hayāt yang
artinya hidup. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Hayat artinya hidup”.
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:12).
Sifat wajib Hayāt artinya hidup (Abbas, 1997:41–42). Dari kutipan di
atas dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat Hayāt yang berarti hidup.
Maksudnya, Allah hidup tidak dibatasi oleh waktu dan tidak membutuhkan
tempat serta materi.
Sifat Ma‟ānī adalah setiap sifat yang maujudah yang ada pada yang
maujud yang mengakibatkan lahirnya hokum (Abidin, 1994:253–254). Hayāt
merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Ma‟ānī. Pendapat ini sesuai
dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat pula dikemukakan bahwa Hayāt
termasuk sifat Ma‟ānī. Artinya, sifat Hayāt ada pada zat Allah dan menjadi sifat
wajib bagi Allah yang melahirkan sifat Hayyān.
5. Sama‟
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟ānī yang kelima adalah Sama‟ yang
berarti mendengar. Hal ini sesuai dengan kutipan teks berikut. “Dan sama‟
artinya mendengar.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:14).
Sifat wajib Sama‟ artinya mendengar (Abbas, 1997:42). Dari kutipan di
atas dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat Sama‟ yang berarti mendengar.
Maksudnya, pendengaran Allah meliputi segala sesuatu, tidak dibatasi oleh jarak
dan ukuran. Maka tidak mungkin pendengaran Allah seperti mendengar melalui
telinga yang hanya mendengar yang dekat dan tidak mendengar yang jauh.
114
Sifat Ma‟ānī adalah setiap sifat yang maujudah yang ada pada yang
maujud yang mengakibatkan lahirnya hokum (Abidin, 1994:253–254). Sama‟
merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Ma‟ānī. Pendapat ini sesuai
dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat pula dikemukakan bahwa Sama‟
termasuk sifat Ma‟ānī. Artinya, sifat Sama‟ ada pada zat Allah yang menjadi sifat
wajib bagi Allah yang melahirkan sifat Samī‟ān..
6. Bashar
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟ānī yang keenam adalah Bashar yang
artinya melihat. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Bashar artinya melihat.”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:12).
Sifat wajib Bashar artinya melihat (Abbas, 1997:42–43). Dari kutipan di
atas dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat Bashar yang berarti melihat.
Maksudnya, penglihatan Allah meliputi segala sesuatu, tidak dibatasi oleh waktu
dan jarak. maka tidak mungkin penglihatan Allah seperti melihat melalui mata
yang hanya melihat yang dekat dan tidak melihat yang jauh atau tidak melihat
dalam kegelapan.
Sifat Ma‟ānī adalah setiap sifat yang maujudah yang ada pada yang
maujud yang mengakibatkan lahirnya hokum (Abidin, 1994:253–254). Bashar
merupakan sifat wajib Allah yang tergolong sifat Ma‟ānī. Pendapat ini sesuai
dengan kutipan di atas.
7. Kalām
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟ānī yang ketujuh adalah Kalām yang
artinya berkata. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Kalam artinya berkata.”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:12).
115
Sifat wajib Kalām artinya berkata (Abbas, 1997:43). Hal ini sesuai dengan
kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa Allah bersifat
Kalām yang berarti berkata. Maksudnya, perkataan Allah meliputi segala sesuatu,
tidak dibatasi oleh jenis dan ukuran maka tidak mungkin Allah berkata melalui
huruf dan suara seperti berkata melalui mulut dan lidah.
d. Sifat Ma‟nawiyah
Sifat Ma‟nawiyah adalah sifat yang berhubungan dengan sifat Ma‟ānī atau
sifat yang merupakan kelanjutan dari sifat Ma‟ānī. Sifat Ma‟nawiyah ada tujuh
macam, meliputi: Qādirān, Murīdān, Ālimān, Hayyān, Samī‟ān, Bashīrān, dan
Mutakallimān.
1. Qādirān
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟nawiyah yang pertama adalah Qādirān
yang artinya yang kuasa. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Qadiran, dan
yang kuasa.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:17).
Sifat wajib Qādirān artinya selalu berkuasa (Abbas, 1997:43–44).
Pendapat ini sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat
dikemukakan bahwa Allah bersifat Qādirān. Maksudnya, Allah selalu tetap dalam
keadaan berkuasa, tidak dibatasi oleh suatu apapun.
Pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Qādirān termasuk sifat
Ma‟nawiyah karena sifat tersebut adalah ada pada zat Allah yang disebabkan oleh
sifat Ma‟ānī yaitu Qudrat. Qādirān merupakan sifat wajib Allah yang keempat
belas.
116
2. Murīdān
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟nawiyah yang kedua adalah Murīdān
yang artinya yang berkehendak. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Muridan,
dan yang berkehendak,.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:17).
Sifat wajib Murīdān artinya selalu berkehendak (Abbas, 1997:44).
Pendapat ini sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat
dikemukakan bahwa Allah bersifat Murīdān yang berarti yang berkehendak.
Maksudnya, Allah tetap selalu dalam keadaan menghendaki, tidak dibatasi oleh
suatu apapun.
3. „Alimān
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟nawiyah yang ketiga adalah Ālimān
yang artinya yang tahu. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “„Aliman, dan yang
tahu.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:17).
Sifat wajib Ālimān artinya selalu mengetahui (Abbas, 1997:44). Pendapat
ini sesuai dengan kutipan di atas. Pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa
Allah bersifat Ālimān yang berarti yang tahu. Maksudnya, Allah tetap selalu
dalam keadaan tahu, tidak dibatasi oleh suatu apapun.
4. Hayyān
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟nawiyah yang keempat adalah Hayyān
yang artinya yang hidup. Lawan dari sifat wajib Allah yang merupakan sifat
mustahil Allah adalah Mayyitān yang artinya yang mati. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut. “Hayyān, Artinya, yang hidup.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:17).
Sifat wajib Hayyān artinya selalu hidup (Abbas, 1997:44). Dari kutipan di
atas dapat dikemukakan Allah bersifat Hayyān yang berarti yang hidup.
117
Maksudnya, Allah tetap selalu dalam keadaan hidup, tidak dibatasi oleh suatu
apapun.
5. Samī‟ān
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟nawiyah yang kelima adalah Samī‟ān
yang artinya yang mendengar. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Sami‟an,
dan yang menengar.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:17).
Sifat wajib Samī‟ān artinya selalu mendengar (Abbas, 1997:44). Pendapat
ini sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa
Allah bersifat Samī‟ān yang berarti yang mendengar. Maksudnya, Allah tetap
selalu dalam keadaan mendengar, tidak dibatasi oleh suatu apapun.
6. Bashīrān
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟nawiyah yang keenam
adalah Bashīrān yang artinya yang melihat. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
“Bashiran, dan yang melihat.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:17).
Sifat wajib Bashīrān artinya selalu melihat (Abbas, 1997:44). Pendapat ini
sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa
Allah bersifat Bashīrān yang artinya yang melihat. Maksudnya, Allah tetap selalu
dalam keadaan melihat, tidak dibatasi oleh suatu apapun.
7. Mutakallimān
Sifat wajib yang tergolong sifat Ma‟nawiyah yang ketujuh adalah
Mutakallimān yang artinya yang berkata. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
“Mutakaliman, dan yang berkata.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:17).
Sifat wajib Mutakallimān artinya selalu berkata-kata (Abbas, 1997:45).
Pendapat ini sesuai dengan kutipan di atas. Dari kutipan di atas dapat
118
dikemukakan bahwa Allah bersifat Mutakallimān yang artinya yang berkata.
Maksudnya, Allah tetap selalu dalam keadaan yang berkata, tidak dibatasi oleh
suatu apapun.
2. Sifat-Sifat Mustahil Allah
Sifat-sifat mustahil Allah adalah sifat-sifat yang tidak mungkin ada atau
sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat wajib Allah. Dalam teks Miftāhu‟-
l-Aqā‟id ada dua puluh sifat mustahil Allah yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Tiada Ada
Sifat mustahil Allah yang pertama adalah tiada ada. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut. “yang pertama tiada ada.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya,
tidak mungkin Allah itu tidak ada karena bukti adanya Allah ialah adanya alam
ini. Jika Allah yang menjadikan alam ini tidak ada, maka alam ini pun juga
tidak akan ada.
2. Baharu
Sifat mustahil Allah yang kedua adalah baharu. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut. “kedua baharu.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya, tidak
mungkin Allah itu baru atau berpermulaan ada-Nya karena bukti Allah bahwa
tidak berpermulaan ada-Nya adalah makhluk yang diciptakan di alam ini. Jika
Allah berpermulaan ada-Nya, maka Allah sama saja dengan makhluk.
3. Tiada Kekal
Sifat mustahil Allah yang ketiga adalah tidak kekal. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut. “ketiga tiada kekal.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya,
119
tidak mungkin Allah tidak kekal atau akan binasa oleh suatu apapun yang dapat
membinasakannya dan hanya Allah saja yang dapat menolak kebinasaan itu.
4. Bersamaan dengan Segala yang Baharu
Sifat mustahil Allah yang keempat adalah sama atau menyamai dengan
yang baru dalam hal ini (makhluk). Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
“keempat bersamaan dengan segala yang baharu.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:8–9).
Maksudnya, tidak mungkin Allah itu sama dengan yang baru (makhluk) karena
tidak ada satu pun sesuatu yang sama dengan Allah, baik dalam segala kebesaran,
keagungan, maupun kekuasaan-Nya.
5. Berkehendak Kepada Tempat atau Fail
Sifat mustahil Allah yang kelima adalah Al-Qiyamu bin nafsi yang artinya
berkehendak kepada tempat atau kepada fa‟il. Hal ini sesuai dengan kutipan
berikut. “Berkehendak kepada tempat atau kepada fa‟il yang mene[n]tukan Dia”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya, tidak mungkin Allah tidak berdiri sendiri
dengan berkehendak kepada makhluk yang diciptakan-Nya karena Allah tidak
membutuhkan pertolongan kepada siapapun.
6. Tiada Esa
Sifat mustahil Allah yang keenam adalah tidak esa. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut, “keenam tiada esa.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23) menunjukkan atas
penolakan segala yang tidak layak bagi Allah Azza wajalla. Maksudnya, tidak
mungkin Allah itu tidak Esa karena Allah Maha Esa, tidak terdiri dari zat apapun
yang terbilang, tidak terdiri dari sifat apapun yang terbilang, dan tidak pula
perbuatan Allah bersekutu dengan perbuatan lain.
120
7. Mati
Sifat mustahil Allah yang ketujuh adalah mati. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut. “ketujuh mati.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya, tidak
mungkin Allah itu mati karena Allah itu hidup dan tidak akan mati. Alam ini
kalau tidak ada Allah yang mengaturnya pasti akan kacau dan hancur semuanya.
8. Babil
Sifat mustahil Allah yang kedelapan adalah babil. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut. “kedelapan babil.” Maksudnya, tidak mungkin Allah itu tidak
menyadari dirinya sendiri tidak tahu karena Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. Jahlu semakna dengan zan, syak, dan waham.
9. Lemah
Sifat mustahil Allah yang kesembilan adalah lemah. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut. “kesembilan lemah” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya, tidak
mungkin Allah itu lemah karena Allah sangat berkuasa atas segala sesuatu,
baik menciptakan maupun meniadakan
10. Mengadakan Suatu dengan Tiada Dikehendaki
Sifat mustahil Allah yang kesepuluh adalah mengadakan suatu dengan
tiada dikehendaki. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “kesepuluh mengadakan
suatu dengan tiada dikehendaki.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya, tidak
mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa dikehendaki atau tanpa diketahui,
karena sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang diciptakan.
121
11. Tuli
Sifat mustahil Allah yang kesebelas adalah tuli. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut, “kesebelas tulis.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya, tidak
mungkin Allah itu tuli atau mendengar dengan telinga karena Allah mendengar
segala sesuatu. Jadi, suara apapun dan bagaimanapun pasti didengar oleh Allah.
12. Buta
Sifat mustahil Allah yang kedua belas adalah buta. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut. “keduabelas buta.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya,
tidak mungkin Allah itu buta atau melihat dengan mata karena Allah melihat
segala sesuatu. Jadi, apa saja yang ada pasti terlihat oleh Allah.
13. Kelu
Sifat mustahil Allah yang ketiga belas adalah kelu. Hal ini sesuai dengan
kutipan berikut. “ketigabelas kelu.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya, tidak
mungkin Allah itu kelu atau tidak dapat berkata-kata karena kalau demikian tentu
Allah tidak dapat memerintah makhluk-Nya.
14. Yang Mati
Sifat mustahil Allah yang ketujuh belas adalah yang mati. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut. “keempat belas yang mati (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23).
Maksudnya, tidak mungkin Allah dalam keadaan yang mati karena Allah
mempunyai sifat Hayāt. Jadi, Allah tetap selalu dalam keadaan hidup.
15. Yang Babil
Sifat mustahil Allah yang keenam belas adalah yang babil. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut. “kelima belas yang babil (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23).
Maksudnya, tidak mungkin Allah dalam keadaan yang babil atau dalam keadaaan
122
tidak menyadari dirinya sendiri tidak tahu karena Allah tetap selalu dalam
keadaan tahu. Oleh karena Allah mempunyai sifat „Ilmu.
16. Yang Lemah
Sifat mustahil Allah yang keempat belas adalah yang lemah. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut. “keenam belas yang lemah.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23).
Maksudnya, tidak mungkin Allah dalam keadaan yang lemah karena Allah
tetap selalu dalam keadaan berkuasa. Oleh karena itu, Allah mempunyai sifat
Qudrat.
17. Mengadakan Suatu dengan Tiada Dikehendaki
Sifat mustahil Allah yang kelima belas adalah mengadakan suatu
dengan tiada dikehendaki. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “ketujuh belas
mengadakan suatu dengan tiada dikehendaki (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:23). Maksudnya,
tidak mungkin Allah dalam keadaan yang benci atau dalam keadaan tidak
berkehendak karena Allah tetap selalu dalam keadaan berkehendak. Oleh karena
itu, Allah mempunyai sifat Iradah.
18. Yang Tuli
Sifat mustahil Allah yang kedelapan belas adalah yang tuli. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut. “kedelapan belas yang tuli.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:24).
Maksudnya, tidak mungkin Allah dalam keadaan yang tuli karena Allah
mempunyai sifat Sama‟. Jadi, Allah tetap selalu dalam keadaan mendengar.
19. Yang Buta
Sifat mustahil Allah yang kesembilan belas adalah yang buta. Hal ini
sesuai dengan kutipan berikut. “kesembilan belas yang buta.” (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:24). Maksudnya, tidak mungkin Allah dalam keadaan yang buta
123
karena Allah mempunyai sifat Bashar. Jadi, Allah tetap selalu dalam keadaan
melihat.
20. Yang Kelu
Sifat mustahil Allah yang kedua puluh adalah yang kelu. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut. “kedua puluh yang kelu.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:24).
Maksudnya, tidak mungkin Allah dalam keadaan yang kelu atau dalam keadaan
tidak berkata-kata karena Allah mempunyai sifat Kalām. Jadi, Allah tetap selalu
dalam keadaan berkata.
3. Sifat jaiz Allah
Sifat jaiz Allah menurut Muhammad An-nawawi bahwa “sifat Jaiz Allah
yaitu menciptakan setiap yang mungkin wujudnya atau tidak menciptakanya”.
(An-Nawawi, 2010 :28-29). Merupakan kewenangan atau hak Allah untuk
menciptakan atau tidak menciptakan sesuatu baik itu yang mungkin wujud atau
tidak bewujud. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “segala yang jaiz pada hak
Taala itu menjadikan ilmu dengan segala suka daripada segala suka, dan
menurunkan Quran, dan menyuruhkan segala rasul, dan barang yang lain dari itu.”
(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:24). Maksudnya, ilmu tidak berwujud dan Allah mempunyai
hak untuk memberikan ilmu kepada siapapun makhluk yang Allah kehendaki atau
Allah sukai, seperti menurunkan Alquran sebagai wahyu untuk Rasulullah
Muhammad SAW.
2. Sifat-Sifat Wajib Rasulullah
Sifat-sifat wajib Rasulullah adalah sifat yang harus ada pada diri para
Rasulullah. Dalam teks Miftāhu‟-l-Aqā‟id ada tiga sifat wajib Rasulullah yang
akan dijelaskan sebagai berikut.
124
1. Shidiq
Sifat wajib Rasulullah yang pertama Shidiq yang berarti benar. Hal ini
sesuai dengan kutipan berikut. Maka daripada segala yang wajib dan segala yang
mustahil pada mereka itu yaitu shidiq artinya benar dari karena bahwasanya
jikalau tiada pada sekalian mereka itu benar niscaya tiadalah // harus mereka itu
jadi pesuruh yang kepercayaan pada tuhan kita jalla wa azza. (Miftāhu‟-l-
Aqā‟id:24–25).
Sifat shiddiq yang berarti benar atau jujur bertentangan dengan sifat
mustahil tidak benar artinya apa yang disampaikan tidak sesuai kenyataan (An-
Nawawi, 2010:31–32). Kutipan dan pendapat diatas menekankan bahwa semua
berita atau pesan yang disampaikan oleh Rasulullah benar-benar perintah Allah
dan keyakinan Rasulullah sendiri, mustahil jika Rasulullah mempunyai sifat
bohong (tidak benar) artinya, semua yang disampaikan oleh Rasulullah tidak
sesuai dengan kenyataan, dan mustahil seorang rasul mempunyai sifat pendusta
bahkan menjadi utusan yang dipercaya oleh Allah.
Dari pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa Shidiq termasuk sifat
wajib yang mutlak harus ada pada diri setiap para rasul Allah, karena seorang
rasul harus selalu benar dalam menyampaikan perintah maupun anjuran dari Allah
ataupun semu hal yang berasal keyakinan setiap rasul sendiri.
2. Amanat
Sifat wajib Rasulullah yang kedua Amanat yang berarti dapat dipercaya
atua terpercaya. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
dan lagi pula wajib atas mereka itu amanah artinya kepercayaan
daripada karena bahwasanya jikalau tiada ada segala Rasulullah itu
amanah niscaya adalah mereka itu khianat dari karena mereka itu
dipilih daripada sekalian makhluk lagi disuruhkan mereka itu
125
mengajar sekalian itu mereka itu. Maka yang demikian itupun
mustahil jua pada mereka itu.(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:25).
Sifat Amanat yang berarti dapat dipercaya atau terpercaya bertentangan
dengan sifat mustahil khianat artinya tidak setia, tidak memenuhi janji (An-
Nawawi, 2010:31–33). Berdasar kutipan dan Pendapat diatas menekankan bahwa
Rasulullah sangat menjaga dirinya dari perbuatan maksiat baik yang bersifat
lahiriah seperti zina, minum khamar, gibah, mencuri dan lain sebagianya ataupun
yang bersifat batiniah seperti dengki, sombong, munafik dan lain sebagianya.
Maka seoarang rasul pasti sudah terjaga dari segala bentuk perbuatan atau hal
yang dilarang Allah, mustahil jika Rasulullah mempunyai sifat khianat artinya,
Rasulullah menyimpang dari perintah Allah.
Dari pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa Amanat termasuk sifat
wajib yang mutlak harus ada pada diri setiap para rasul Allah, karena seorang
rasul pasti selalu terjaga dari segala perbuatan maksiat kepada Allah .
3. Tabligh
Sifat wajib Rasulullah yang ketiga Tabligh yang berarti menyampaikan
semua perintah Allah. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
Dan lagi pula wajib atas mereka itu tablig artinya menyampaikan
segala titah Allah dari karena bahwasanya jikalau tiada ada segala
Rasulullah itu menyampaikan segala yang disuruhkan Allah kepada-
Nya niscaya adalah mereka itu menambahkan atau menukarkan segala
titah Allah. // Maka yang demikian itu melazimkan tiada harus
mengikut barang yang perbuatan dan perkataan mereka itu maka yang
demikian itupun mustahil jua pada mereka itu. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:25–
26).
Sifat Tabligh yang berarti menyampaiakan semua yang mereka dapat dari
Allah bertentangan dengan sifat mustahil menyembunyikan atau tidak
menyampaikan perintah dari Allah. (An-Nawawi, 2010:34). Kutipan dan pendapat
126
diatas menekankan bahwa setiap rasul mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan segala yang mereka dapat dari Allah, mustahil jika Rasulullah
mempunyai sifat menyembunyikan perintah artinya, Rasulullah tidak
menyampaikan perintah Allah kepada manusia dan menyembunyikan perintah
tersebut. (An-Nawawi, 2010:33–34).
Dari pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa Tabligh termasuk sifat
wajib yang mutlak harus ada pada diri setiap para rasul Allah, karena seorang
rasul harus menyampaikans segala perintah maupun anjuran dari Allah kepada
seluruh manusia.
5. Sifat-Sifat Mustahil Rasulullah
Sifat-sifat mustahil Rasulullah adalah sifat-sifat yang tidak mungkin ada
atau sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat wajib Rasulullah. Dalam teks
Miftāhu‟-l-Aqā‟id ada tiga sifat mustahil Rasulullah yang akan dijelaskan sebagai
berikut.
1. Tiada benar
Sifat mustahil Rasulullah yang pertama adalah tiada benar yang berarti
bohong atau tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
Maka daripada segala yang wajib dan segala yang mustahil pada mereka itu yaitu
shidiq artinya benar dari karena bahwasanya jikalau tiada pada sekalian mereka
itu benar niscaya tiadalah // harus mereka itu jadi pesuruh yang kepercayaan
pada tuhan kita jalla wa azza. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:24–25).
Sifat shiddiq yang berarti benar atau jujur bertentangan dengan sifat
mustahil tidak benar artinya apa yang disampaikan tidak sesuai kenyataan (An-
Nawawi, 2010:31–32). Maka mustahil jika Rasulullah mempunyai sifat tidak
127
benar dalam arti lain Rasulullah menyampaiakan sesuatu tidak sesuai dengan
kenyataan. Maka pastilah sifat tidak benar menjadi sifat yang mustahil bagi para
rasul.
2. Khianat
Sifat mustahil Rasulullah yang kedua adalah khianat yang berarti tidak
setia atau tidak menepati janji. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
dan lagi pula wajib atas mereka itu amanah artinya kepercayaan
daripada karena bahwasanya jikalau tiada ada segala Rasulullah itu
amanah niscaya adalah mereka itu khianat dari karena mereka itu
dipilih daripada sekalian makhluk lagi disuruhkan mereka itu
mengajar sekalian itu mereka itu. Maka yang demikian itupun
mustahil jua pada mereka itu.(Miftāhu‟-l-Aqā‟id:25).
Sifat Amanat yang berarti dapat dipercaya atau terpercaya bertentangan
dengan sifat mustahil khianat artinya tidak setia, tidak memenuhi janji (An-
Nawawi, 2010:31–33). Maka mustahil jika Rasulullah mempunyai sifat khianat
dalam arti lain Rasulullah menyimpang dari perintah Allah, tidak taat kepada
Allah, melanggar aturan Allah. Maka pastilah sifat khianat menjadi sifat yang
mustahil bagi para rasul karena tidak sesuai dengan sifat kerasulan mereka.
3. Tiada menyampaikan
Sifat mustahil Rasulullah yang ketiga adalah tiada menyampaikan yang
berarti menyembunyikan suatu perintah yang harusnya disampaikan kepada
manusia. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
Dan lagi pula wajib atas mereka itu tablig artinya menyampaikan
segala titah Allah dari karena bahwasanya jikalau tiada ada segala
Rasulullah itu menyampaikan segala yang disuruhkan Allah
kepada-Nya niscaya adalah mereka itu menambahkan atau
menukarkan segala titah Allah. // Maka yang demikian itu
melazimkan tiada harus mengikut barang yang perbuatan dan
perkataan mereka itu maka yang demikian itupun mustahil jua pada
mereka itu. (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:25–26).
128
Sifat Tabligh yang berarti menyampaiakan semua yang mereka dapat dari
Allah bertentangan dengan sifat mustahil menyembunyikan atau tidak
menyampaikan perintah dari Allah. (An-Nawawi, 2010:34). Maka mustahil jika
Rasulullah mempunyai sifat tiada menyampaiakan dalam arti lain Rasulullah tidak
menyampaiakan perintah Allah, menyembunyikan perintah Allah. Maka pastilah
sifat tiada menyampaikan menjadi sifat yang mustahil bagi para rasul karena tidak
sesuai dengan sifat kerasulan mereka yang harus menyampaikan setiap perintah
Allah kepada manusia.
6. Sifat Jaiz Rasulullah
Sifat jaiz Rasulullah adalah segala kewenangan atau sifat kemanusiaan
yang murni dimiliki oleh setiap manusia. Hal itu sesuai dengan kutipan berikut.
“Dan daripada segala yang jaiz pada segala Rasulullah itu yaitu segala perangai
tubuh manusia seperti sakit dan makan dan minum dan beranak dan beristri dan
barang sebagainya maka yang demikian itu tiada mengurangkan derajat dan
ketinggian martabat mereka itu kepada Allah.” (Miftāhu‟-l-Aqā‟id:26)
Sifat jaiz yang dimiliki Rasulullah sama sekali tidak mengurangi
ketinggian derajatnya sebagai seorang utusan Allah. Karena seoarang rasul juga
mengalami sakit, makan, minum, menikah dan lain sebagainya, ini menunjukkan
sifat-sifat kemanusiaan dari para rasul (An-Nawawi, 2010: 37–39).
Dari kutipan dan pendapat diatas dapat diambil simpulan bahwa seorang
rasul mempunyai kewenangan sebagaimana yang dipunyai oleh manusia pada
umumnya, dan dengan adanya sifat-sifat kemanusiaan tersebut tidak mengurangi
ketinggian, kemuliaan, dan martabat dari seorang utusan Allah.