bab iv penafsiran m. quraish shihab …digilib.uinsby.ac.id/3217/7/bab 4.pdfkembalinya kepada allah,...
TRANSCRIPT
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
BAB IV
PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TERHADAP AYAT-
AYAT TENTANG ESENSI DARI SIFAT-SIFAT TUHAN DAN
ANTROPOMORPHISME TUHAN SERTA ANALISISNYA
A. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-Ayat tentang
antropomorphisme Tuhan dan Esensi dari Sifat-sifat Tuhan
a. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-Ayat tentang Esensi Sifat-
Sifat Tuhan
Surat al-A‟raf ayat 180
“Dan hanya kepunyaan Allah asma‟‟ al-h{usna, maka bermohonlah kepada-
Nya dengannya dan tinggalkan orang-orang yang menyimpang dalam nama-
nama-Nya, nanti mereka akan dibalas menyangkut apa yang telah mereka
kerjakan.”1
Dalam menafsirkan ayat ini M. Quraish Shihab menyatakan bahwa
penyifatan nama-nama Allah menggunakan kata yang berbentuk superlatif,
yang berarti bahwa nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang
terbaik dibandingkan dengan yang lainnya, yang dapat disandang-Nya atau
baik hanya untuk selain-Nya saja, tapi tidak baik untuk-Nya. Sebagai contoh
Sifat Pengasih sifat ini termasuk sifat yang baik. Ia dapat disandang oleh
1Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 252.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
makhluk/ manusia, tetapi karena asmâ al-h{usna hanya milik Allah, maka
pastilah sifat kasih-Nya melebihi sifat kasih makhluk, baik dalam kapasitas
maupun substansinya. sebaliknya sifat pemberani menurut M. Quraish Shihab
baik disandang oleh manusia namun sifat ini tidak wajar disandang oleh
Allah. Lebih jauh beliau mengatakan karena keberanian mengandung kaitan
dalam substansinya dengan jasmani dan mental, sehingga tidak mungkin
disandang oleh-Nya. Hal ini berbeda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan
sebagainya.2
M. Quraish Shihab mengatakan bahwa memang sifat-sifat yang
disandang-Nya terambil dari bahasa manusia. Namun kata yang digunakan
saat disandang manusia pasti mengandung makna kebutuhan serta
kekurangan. Seperti kata kuat jika kata ini disandangkan kepada Tuhan maka
maknanya akan berbeda dengan jika disandangkan kepada manusia. Kekuatan
manusia diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi yakni adanya otot-
otot yang berfungsi baik dengan arti lain manuusia membutuhkan otot yang
kuat untuk mempunyai kekuatan fisik. Berbeda dengan Allah, sifat kuat yang
disandang Allah hanya dapat dipahami dengan menafikan hal-hal yang
mengandung makna kekurangan dan kebutuhan itu.3
Surat al-Hajj ayat 74
2M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol 5
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 316-317. 3Ibid., 317.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”4
Menurut M. Quraish Shihab penyebutan dua sifat Allah yakni Maha
Kuat lagi Maha Perkasa adalah bertujuan untuk menunjukkan betapa tidak
berbandingnya antara Allah swt. Yang Maha Kuat lagi Perkasa dengan
Tuhan-Tuhan kaum Musyrikin yang justru lebih hina, lemah, dan remeh.5
Surat al-Kahf ayat 26
“Katakanlah:” Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal.
Kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi.
Alangkah terang penglihatan-Nya dan pendengaran-Nya; tak ada seorang
pelindung pun bagi mereka selain dari-Nya; dan Dia tidak mengambil
seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan putusan.”6
Menurut M. Quraish Shihab Firman Allah yang berbunyi “Alangkah
terang penglihatan-Nya dan pendengaran-Nya” adalah terang dan tajam yang
tidak dapat dijangkau hakikatnya oleh siapapun dari semua makhluk-Nya.7
b. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-Ayat tentang
Antropomorphisme Tuhan
1. Ayat- ayat tentang wajah Allah
Surat al-Qas}as} ayat 88
4Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 523.
5Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 9, 126-127.
6Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 447.
7Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 8, 44.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
“Dan jangan menyembah bersama Allah, tuhan apapun yang lain, tidak
ada tuhan melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu binasa, kecuali wajah-Nya.
Bagi-Nya segala penentuan, dan hanya kepada-Nya kamu
dikembailkan.”8
Menurut M. Quraish Shihab kata wajh digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang digunakan untuk berhadapan atau berkaitan
dengan seseorang. Wajah adalah sesuatu yang nampak darinya. Kata
wajah biasa juga digunakan dalam arti totalitas sesuatu atau zatnya. Ini
karena hanya dengan melihat wajah identitas seseorang dapat dikenali
walau seluruh badan tertutup. Sebaliknya, walau semua badan terbuka
tetapi wajah tertutup maka identitas seseorang akan sulit dikenali.9 Beliau
juga mengutip pendapat Thabâthabâi tentang kata wajh dalam ayat
tersebut, menurut Thabâthabâi ada dua kemungkinan makna untuk makna
dari kata tersebut. Pertama, sebagai suatu yang dipakai untuk berhadapan,
maka dalam konteks “wajah Allah” ia adalah sifat-sifat Allah yang terpuji,
yang dengannya Allah menerima permohonan hamba-hamba-Nya dan
yang kepadanya makhluk-Nya mengarah, seperti sifat Hidup, Ilmu,
Qudrat, Pendengaran, Penglihatan, dan juga sifat-sifat fi‟il (perbuatan)-
Nya; seperti Penciptaan, Penganugerahan rezeki, Penganugerahan hidup
dan mati, pencurahan rahmat, pemberi ampunan dll. Dan kemungkinan
yang kedua mengenai “wajah Allah” adalah zat Allah itu sendiri.10
Kata hâlik terambil dari kata halak yang dari segi penggunaan al-
Qur‟an dapat mengandung beberapa arti, antara lain hilang dan punahnya
8Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 625.
9Shihab, Tafsir al-Misbâh, 427.
10Ibid., 428.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
sesuatu. Ia juga bisa berarti “hilangnya sesuatu pada diri seseorang
walaupun masih ada pada yang lainnya.” Ia dapat juga berarti kematian.11
Menurut M. Quraish Shihab firman Allah “
jika kata wajh diartikan dengan sifat-sifat Allah yang terpuji maka firman
tersebut berarti segala sesuatu lenyap dan binasa pada zatnya. Tidak
memiliki hakikat kecuali apa yang berada pada sisi Allah yang merupakan
limpahan dari-Nya. Adapun yang tidak dinisbahkan/ disandarkan kepada-
Nya, maka itu tidak lain kecuali wahm yang lahir dari seseorang atau
fatamorgana yang muncul dari khayalan, misalnya manusia, tidak
memiliki hakikat kecuali apa yang dilimpahkan Allah kepada dirinya
berupa jasmani dan ruhani serta sifat-sifat kesempuranaan dan yang
kesemuanya itu bersumber dari Allah. Adapun yang lahir dari kehidupan
bermasyarakat seperti kekuatan, kekuasaan, harta benda, kemuliaan, anak-
anak maka semua itu adalah fatamorgana yang akan binasa serta harapan
kosong belaka. Tidak ada yang memiliki hakikat kecuali apa yang
dilimpahkan Allah berkat kemurahan-Nya. Dan itu merupakan bukti-bukti
yang menunjukkan sifat-sifat kemuliaan dan kesempurnaan-Nya, seperti
rahmat, rezeki, keutamaan dan ihsan. Dengan demikian tulis Thabâthabâi,
hakikat yang mantap dalam kenyataan, yang tidak binasa, dan tidak lenyap
dari segala sesuatu adalah sifat-Nya yang mulia dikarenakan kekekalan
dari zat Yang Maha Suci itu.12
11
Shihab, Tafsir al-Misbâh, 428. 12
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
Apabila kata wajh diartikan sebagai zat Allah, maka yang
dimaksud dengan penggalan ayat itu adalah bahwa segala wujud selain
Allah bersifat “mumkin” yakni “bisa wujud bisa jadi tidak wujud”. Kalau
dia wujud, maka wujudnya disebabkan oleh Allah swt. Dengan demikian
yang “mumkin” pada hakikatnya adalah halik yakni tiada. Yang tidak
disentuh dengan ketiadaan adalah zat Allah semata.13
Dan yang dimaksud binasa adalah perubahan wujud serta
kembalinya kepada Allah, atau yang diistilahkan perpindahan dari dunia
ke akhirat. Dan ini tentu saja bagi yang wujudnya bermula di dunia
sehingga surga dan neraka tidak termasuk dari ayat ini.14
Surat al-Rah{mân ayat 27
“Dan kekal wajah Tuhanmu Dhul Jalâl wal Ikrâm.”15
M. Quraish Shihab menuturkan dalam tafsirnya,
Dahulu –sampai abad III H, hampir semua ulama enggan
menafsirkan makna wajah Tuhan. Mereka hanya menegaskan bahwa
Allah bukanlah seperti makhluk, dan kita tidak tahu apa yang dimaksud
dengan wajah-Nya. Ulama-ulama yang hidup sesudah mereka tidak
puas dengan penjelasan demikian, dan berusaha untuk memahami
maknanya. Ada yang berkata bahwa wajah adalah bagian yang termulia
dari sesuatu dan yang menunjuk identitasnya. Anda dapat mengenal
seseorang yang terbuka wajahnya walau tertutup semua badannya, dan
tidak jika sebaliknya. Karena itu wajah diartikan dengan zat atau diri
sesuatu dan itulah menurut ulama dewasa ini makna kalimat wajhu
Rabbika/ wajah Tuhanmu.16
Thabâthabâ‟i memahami kalimat itu dalam arti sifat-sifat-Nya
yang mulia yang merupakan perantara antara diri-Nya dan makhluk-
13
Shihab, Tafsir al-Misbâh, 429. 14
Ibid. 15
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 886. 16
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 13, 512.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
Nya. Dengan sifat-sifat itu Allah menurunkan buat mereka aneka
keberkatan/ kebajikan seperti penciptaan, pengaturan dan pengendalian
seperti ilmu, qudrat, rahmat, maghfirah, rezeki dan lain-lain.17
Demikian penafsiran M. Quraish Shihab yang mengutip pendapat
dari Thabâthabâ‟i intinya yang dimaksud wajah Allah adalah sifat-sifat
Allah yang Maha Agung lagi Maha Mulia.
2. Ayat-ayat tentang Tangan Allah
Surat Shâd ayat 75
“Allah berfirman:‟Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada
yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah engkau
menyombongkan diri ataukah engkau termasuk kelompok yang tinggi?”18
Kalimat khalaqt bi yadayy/ Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,
menurut M. Quraish Shihab banyak sekali yang memperdebatkan
maknanya. Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata bahwa ada
sifat khusus yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan
bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat kebendaan/ jasmani dan
keserupaan dengan makhluk. Ada juga yang memahami kata tangan dalam
arti kekuasaan, sedangkan penggunaan bentuk dual sekedar untuk
menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah
duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau sebagai
isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu tanah
17
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 13, 512. 18
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 741.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
juga ruh Ilahi. Demikian beberapa pendapat yang dikemukakan M.
Quraish Shihab dalam tafsirnya akan tetapi beliau lebih puas kepada
pendapat yang memahami kata tersebut sebagai isyarat tentang betapa
manusia memperoleh penanganan khusus dan penghormatan dari sisi
Allah swt. Dari sini pula sehingga ayat ini tidak menggunakan bentuk
tunggal untuk kata tangan tetapi bentuk dual yakni yadayy/ kedua tangan-
Ku.19
Surat Yâsîn ayat 83
“Maha Suci Allah yang dalam (genggaman) tangan-Nya kerajaan segala
sesuatu dan hanya kepada-Nya kamu akan kembali.”20
Dalam ayat ini M. Quraish Shihab menafsirkan tangan dengan
kekuasaan tanpa melakukan penjelasan lebih lanjut.21
Surat al-Mulk ayat 1
“Maha Melimpah kebajikan Dia yang di tangan-Nya segala kerajaan, dan
Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa.”22
Kata biyadih terambil dari kata yad yang berarti tangan, bila
dinisbahkan kepada Allah maka menurut M. Quraish Shihab bermakna
kekuasaan atau nikmat. Kata ini digunakan di sini untuk menggambarkan
19
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 12, 287. 20
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya..., 714. 21
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 11, 581. 22
Ibid., 955.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
cakupan kuasa-Nya terhadap sesuatu sekaligus pengendalian-Nya atas
segala sesuatu, karena “tangan” dalam penggunaan manusia digunakan
untuk mengelola dan mengendalikan sesuatu yang digenggam. Allah yang
di tangan-Nya kekuasaan, mengandung juga makna bahwa Dialah yang
menganugerahkan kekuasaan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia
pula yang mencabutnya.23
3. Tentang pernyataan Allah dapat dilihat atau tidak
surat al-An‟am ayat 103
“Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
menjangkau segala penglihatan dan Dialah Yang Maha Tersembunyi lagi
Maha Mengetahui”.24
Kata tudrik atau yudrik terambil dari kata darak yang hakikatnya
adalah “mencapai apa yang diharapkan”. Ia dipahami dalam kaitannya
dengan makhluk sebagai terjangkaunya dengan indera sesuatu yang
inderawi dan dengan akal sesuatu yang ma‟kul.25
Jika demikian, menurut ayat ini manusia tidak dapat menjangkau
hakikat zat Allah dan sifat-Nya dengan pandangan mata atau panca indera
tidak juga dengan akal.
Ayat di atas menggunakan kata yang sama –yudrik- untuk Allah
dan untuk makhluk. Persamaan kata itu oleh sementara pakar bahasa
23
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 14, 342. 24
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 204. 25
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 4, 218.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
dipahami semata-mata untuk penyesuaian kebahasaan dengan kata
sebelumnya yang juga menggunakan kata yang sama , tetapi hakikat
maknanya jauh berbeda. Buat Allah kata tersebut dipahami dalam arti
menjangkau dan mengusai.26
Kata al-Abs}âr adalah bentuk jamak dari kata bas}ar yaitu potensi
yang terdapat dalam mata yakni kornea mata berupa selaput bening yang
memasukkan cahaya ke dalam mata sehingga bola mata dapat melihat.
Pada hakikatnya yang melihat bukannya bola mata tetapi sesuatu yang
terdapat dalam bola itu. Menurut M.Quraish Shihab ayat ini menyatakan
bahwa Allah tidak dapat dijangkau oleh potensi penglihatan makhluk,
sedang Dia dapat menjangkau yakni melihat dan menguasai segala apa
yang dapat dilihat. Jika demikian, ketidakmampuan makhluk melihat Allah
dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan potensi penglihatan
makhluk itu sendiri. Sebagai contoh kelelawar yang potensi matanya lebih
lemah dari manusia, tidak dapat melihat sesuatu di siang hari. Sebaliknya
ada binatang –seperti burung rajawali- yang potensi matanya lebih kuat
dari manusia justru dapat melihat dari jarak jauh dimana potensi mata
manusia tidak dapat menjangkaunya. Di sisi lain perlu diingat bahwa
sesuatu tidak dapat dilihat bukan karena dia tidak ada, tetapi boleh jadi
karena dia terlalu kecil dan halus sehingga tersembunyi atau karena dia
terlalu besar, terang dan jelas.27
26
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 4, 218. 27
Ibid, vol 4, 219.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
Untuk permasalahan makhluk dapat melihat Tuhan M. Quraish
menyatakan:
Bagaimana makhluk dapat melihat Tuhan, padahal makhluk
adalah wujud yang fana‟ lagi terbatas? Bagaimana mungkin sesuatu
yang fana‟ lagi terbatas dapat menjangkau yang kekal lagi tidak
terbatas? Jika ia mejangkau-Nya, maka yang tidak terbatas beralih
menjadi terbatas dan ini adalah sesuatu yang mustahil.
Kemampuan mata manusia, indera dan akalnya
dianugerahkan Allah sesuai dengan fungsi yang dikehendaki-Nya
untuk diemban manusia dalam kehidupan dunia ini, yaitu menjadi
khalifah, memakmurkan bumi serta untuk menjangkau bukti-bukti
kehadiran Ilahi di alam raya ini. Bukan untuk menjangkau hakikat
Ilahi yang Maha Kuasa lagi kekal itu.28
Dari uraian di atas terlihat M.Quraish Shihab menegaskan bahwa
manusia tidak dapat melihat Allah ini disebabkan karena mata manusia
tidak bisa menjangkau zat Ilahi sebab manusia adalah zat yang fana‟ dan
terbatas sedangkan Allah adalah zat yang baqi‟ dan tidak terbatas, jika
manusia bisa melihat Allah menurut M.Qurais Shihab maka zat yang baqi‟
dan tidak terbatas akan menjadi fana‟ dan terbatas sedangkan itu mustahil
untuk Allah.
M. Quraish Shihab juga mengutarakan bahwa mata manusia sudah
ada fungsinya sendiri yakni, mengggunakannya untuk memakmurkan
bumi serta untuk menjangkau kehadiran Ilahi di alam raya ini bukan untuk
melihat zat Allah itu sendiri.
Selanjutnya mengenai pengertian “Dia dapat menjangkau semua
penglihatan” bukan berarti menjangkau sesuatu yang berpotensi untuk
dilihat, akan tetapi Dia menjangkau segala sesuatu baik lahir maupun
28
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 4, 219.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
batin, nyata maupun ghaib, masa lampau maupun masa datang karena
tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Ini untuk membedakan antara
penglihatan makhluk dengan penglihatan Tuhan karena penglihatan
makhluk sangatlah terbatas, hanya dapat melihat yang bersifat lahiriah
seperti warna, bentuk, panjang, pendek, besar kecil, jauh dekat dll.29
Surat al-Qiyâmah ayat 22-23
“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya (mereka)
melihat.”30
Menurut M. Quraish Shihab Didahulukannya kalimat ilâ Rabbihâ /
kepada Tuhannya bertujuan membatasi penglihatan itu hanya kepada
Allah. Seakan-akan mata mereka tidak melihat lagi kepada selain-Nya.
Apa yang dilihatnya dari aneka keindahan, anggap bagaikan mereka tidak
melihatnya.31
Sedangkan kata nâz}irah menurut M. Quraish Shihab dipahami oleh
banyak ulama terutama yang beraliran ahlu Sunnah dengan melihat
dengan mata kepala, walau dalam konteks ayat ini banyak di antara
mereka yang menggaris bawahi bahwa melihat yang dimaksud itu adalah
dengan pandangan khusus. Lebih jauh beliau memberi penjelasan dengan
Mengutip hadis dari Imâm Bukhâri melalui jarîr Ibn Abdillâh
meriwayatkan bahwa satu ketika Nabi saw. Duduk bersama sahabat-
sahabat saat bulan sedang purnama lalu bersabda: “Sesungguhnya kamu
29
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 4, 220. 30
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 999. 31
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 14, 637.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
akan melihat Tuhan kamu sebagaimana kamu melihat bulan purnama
ini.”32
M. Quraish Shihab juga mencantumkan pendapat dari Aliran
Mu‟tazilah yang tidak memahami kata nâz}irah dalam arti melihat.
Menurut mereka mata manusia tidak mampu melihat-Nya dengan
berpedoman pada surat al-An‟âm ayat 103: “Dia tidak dapat dijangkau
oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menjangkau segala penglihatan
dan Dialah Yang Maha Tersembunyi lagi Maha Mengetahui.” Sehingga
Mu‟tazilah memaknai melihat dalam ayat ini dengan menanti yakni
menanti nikmat-nikmat-Nya.33
Mengenai penjelasan dari ayat beserta
pendapat Mu‟tazilah bisa dilihat pada pembahasan sebelumnya.
4. Tentang Allah Bersemayam di atas ‘Arsy
Terdapat dalam Surat al-Sajdah ayat 4
“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas „Arsy.
Tidak ada bagi kamu selain-Nya satu penolong pun dan tidak juga
pemberi syafa‟at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”34
Surat al-A‟raf ayat 54
32
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 14, 637. 33
Ibid. 34
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 660.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas „Arsy. Dia
menutup malam dengan siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-
masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.”35
Surat al-H{adid ayat 4
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari; kemudian
Dia bersemayam di atas „Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”36
Surat al-Furqân ayat 59
“Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia bersemayam di atas „Arsy
(Dialah) ar-Rah{mân, maka tanyakanlah tentang Dia kepada yang
mengetahui.”37
35
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 230. 36
Ibid., 900. 37
Ibid., 567.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
Mengenai makna dari kata “Allah bersemayam” dalam sekian
banyak Firman-Nya di atas M. Quraish Shihab mengutarakan dalam
tafsirnya bahwa makna kata tersebut dari sekian banyak ayat di atas sudah
menjadi bahan perbincangan para ulama mutakallimin, Ada yang enggan
menafsirkannya dengan mengatakan “hanya Allah yang tahu maknanya”
seperti ungkapan ulama salaf (abad I-III H). “Kata Istawâ dalam ayat
tersebut dikenal oleh bahasa, tetapi kaifiat/ caranya tidak diketahui,
mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid‟ah”.
Demikian ucapan Imam Malik ketika makna tersebut ditanyakan
kepadanya.38
Masih dalam tafsir al-Misbah di situ diterangkan bahwa ulama-
ulama sesudah abad ke III, berupaya menjelaskan maknanya dengan
mengalihkan makna kata istawâ dari makna dasarnya yaitu “bersemayam”
ke makna majazi yaitu “berkuasa”, sehingga dengan demikian ayat ini
menegaskan tentang kekuasaan Allah swt. dalam mengatur dan
mengendalikan alam raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan
kebesaran dan kesucian-Nya dari segala sifat kekurangan atau
kemakhlukan.39
Sedangkan kata „Asry yang dari segi bahasa adalah tempat duduk
raja/ singgasana, terkadang dipahami dengan arti kekuasaan. Sebenarnya
menurut M. Quraish Shihab yang mengutip pendapat Thabâthabâ‟i kata ini
pada mulanya bermakna sesuatu yang beratap. Tempat duduk para
38
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 11, 178. 39
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
penguasa dinamai „Arsy, karena tingginya tempat itu dibanding dengan
tempat yang lain. Yang jelas, hakikat makna kata tersebut pada ayat ini
tidak dikatehui manusia. Adapun yang terlintas dalam benak orang-orang
awam tentang artinya, maka Allah Maha Suci dari pengertian itu, karena
jika demikian Allah yang terangkat dan ditahan oleh „Arsy, padahal,
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap;
dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat
menahan keduanya selain Allah” (QS. Fâthir: 41).40
Selanjutnya M. Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya:
Merupakan suatu yang lumrah sejak dahulu kala, bagi para
penguasa atau hakim atau siapapun yang menjadi sumber rujukan
orang lain, bahwa mereka meiliki tempat duduk yang berbeda
dengan orang lain, baik dalam bentuk permadani atau tempat
bersandar atau bahkan semacam balai-balai. Yang paling terhormat
adalah tempat duduk raja yan dinamai „Arsy/ singgasana. Peringkat
bawahnya adalah kursi, yang digunakan untuk menunjuk tempat
duduk raja atau siapa yang di bawah peringkat raja,lalu makna
tersebut berkembang sehingga kekuasaan raja pun dinamai „Arsy.
Pemilik „Arsy, memagang kendali pemerintahan dan kekuasaan dan
semua merujuk kapadanya. Sebagai contoh, setiap masyarakat
terlibat dalam berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, militer,
dan lain-lain. karena banyak dan bercabangnya aspek-aspek
tersebut, maka setiap aspek ditangani oleh kelompok, dan
kelompok ini mempunyai hirarki dan kursi sesuai dengan
kemampuan atau bobot masing-masing. Yang di bawah harus
mengikuti ketetapan yang di atasnya, demikian seterusnya. Hirarki
ini, harus terpelihara, karena perbedaan yang ada bila tidak
disatukan dalam satu tujuan dan diserasikan atau dikoordinasikan
oleh satu kendali, pastilah akan kacau. Dari sini masyarakat maju
mengatur kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam –ragam dengan
ragam- masing-masing ada kursinya dan berbeda-beda pula tingkat
dan nilainya. Ia dimulai dari yang kecil, kemudian yang (kecil) ini
tunduk di bawah kursi yang lebih besar, dan ini pun demikian,
sampai akhirnya pemilik kursi/ kekuasaan besar tunduk pada
40
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 5, 115-116.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
pemilik „Arsy. Demikian juga ada kursi buat kepala Desa, Camat,
Bupati, Gubernur, Menteri dan Presiden.41
Demikian penjelasan M. Quraish Shihab mengenai kehidupan
bermasyarakat yang di dalam kehidupan terdapat kursi atau para pemimpin
yang masing-masing kursi tersebut mempunyai tanggung jawab atas kursi
yang di bawahnya dan mempunyai kewajiban tunduk kepada kursi yang di
atasnya. Demikian itulah kejadian-kejadian juz‟i yang terlihat sehari-hari
dan semua kejadian itu merujuk kembali kepada Allah swt sebagai pemilik
penguasa dan pengatur alam semesta ini.42
Tetapi perlu dicatat, bahwa Allah yang duduk di kursi/ „Arsy yang
tertinggi itu keadaan dan pengaturan-Nya terhadap alam raya. Berbeda
dengan makhluk penguasa, misalnya manusia dalam kehidupan
bermasyarakat manusia yang duduk di atas kursi tidak mengetahui dan
tidak juga mengatur secara rinci apa yang dikuasai oleh pemilik kursi yang
berada di bawahnya, adapun Allah swt., maka Dia mengetahui dan
mengatur secara rinci apa yang ada di bawah kekusaan dan pengaturan
pemilik kursi-kursi yang di bawahnya. Inilah menurut M. Quraish Shihab
yang dimaksud dengan Dia bersemayam di atas „Arsy. Dia yang
menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu.43
41
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 5, 116. 42
Ibid. 43
Ibid, 116-117.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
B. Analisis terhadap Pendapat M. Quraish Shihab tentang Esensi dari Sifat-
sifat Tuhan dan antropomorphisme Tuhan
Persoalan Allah memiliki sifat atau tidak telah muncul sekitar abad
kesepuluh antara Mu‟tazilah dengan Asy‟ariyah. Jika tuhan mempunyai sifat, sifat
itu mestilah kekal seperti halnya zat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat
kekal bukan hanya satu sifat tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat
membawa pada faham banyak yang kekal, ini selanjutnya membawa pula kepada
faham shirk atau politheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi.44
Ulama Mutakalimin ada yang mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai
sifat. Ulama yang menafikan sifat kepada Allah adalah ulama golongan
Mu‟tazilah, Menurut mereka tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan,
hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa bagi mereka Tuhan tidak
mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap
mengetahui, berkuasa dan sebagainya, tetapi bukan dari sifat dalam arti
sebenarnya. Dengan kata lain, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan itu adalah Tuhan itu sendiri.45
ada juga yang mengatakan bahwa
Allah mempunyai sifat. Ulama yang mengatakan Allah mempunyai sifat adalah
kaum Asy‟ari yang menegaskan bahwa Allah mempunyai sifat. Menurut Asy‟ari
tidak dapat dipungkiri bahwa Allah mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatan-
Nya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat. Dan
44
Nasution, Teologi Islam, 135. 45
Rozak, Ilmu kalam, 39.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
sifat-sifat itu termasuk seperti memiliki tangan dan kaki akan tetapi oleh
Asy‟ariyah diartikan secara simbolik bukan secara harfiah.46
sedangkan menurut M. Quraish Shihab Tuhan mempunyai sifat ini terbukti
pada saat beliau menafsirkan surat al-A‟raf ayat 180. Di situ terlihat bahwa beliau
menerima adanya sifat bagi Allah bahkan beliau menjelaskan secara panjang lebar
mengenai sifat Allah. Menurutnya ada sifat yang layak dan baik jika
disandangkan kepada Allah maupun disandangkan pada mausia dan ada yang
tidak layak disandangkan kepada Allah tapi wajar jika disandangkan pada
manusia. Seperti sifat pengasih sifat ini termasuk sifat yang baik. Ia dapat
disandang oleh makhluk/ manusia, tetapi karena asmâ al-H{usna hanya milik
Allah, maka pastilah sifat kasih-Nya melebihi sifat kasih makhluk, baik dalam
kapasitas maupun substansinya. sebaliknya sifat pemberani menurut M. Quraish
Shihab baik disandang oleh manusia namun sifat ini tidak wajar disandang oleh
Allah. Lebih jauh beliau mengatakan karena keberanian mengandung kaitan
dalam substansinya dengan jasmani dan mental, sehingga tidak mungkin
disandang oleh-Nya.47
Mengenai sifat-sifat Allah M. Quraish Shihab juga menjelaskan dalam
tafsirnya bahwa memang sifat-sifat yang disandang-Nya terambil dari bahasa
manusia. Namun kata yang digunakan saat disandang manusia pasti mengandung
makna kebutuhan serta kekurangan. Seperti kata kuat jika kata ini disandangkan
kepada Tuhan maka maknanya akan berbeda dengan jika disandangkan kepada
46
Rozak, Ilmu kalam, 174. 47
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 5, 316-317.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
manusia. Kekuatan manusia diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi yakni
adanya otot-otot yang berfungsi baik dengan arti lain manuusia membutuhkan otot
yang kuat untuk mempunyai kekuatan fisik. Berbeda dengan Allah, sifat kuat
yang disandang Allah hanya dapat dipahami dengan menafikan hal-hal yang
mengandung makna kekurangan dan kebutuhan itu.48
Jika ketika menafsirkan surat al-A‟raf ayat 180 M. Quraish Shihab menjelaskan
mengenai sifat-sifat Allah secara panjang lebar berbeda ketika menafsirkan Surat
al-Hajj ayat 74 M. Quraish Shihab hanya menjelaskan esensinya saja dengan
mengatakan bahwa penyebutan dua sifat Allah yakni Maha Kuat lagi Maha
Perkasa dalam surat al-Hajj ayat 74 adalah bertujuan untuk menunjukkan betapa
tidak berbandingnya antara Allah swt. Yang Maha Kuat lagi Perkasa dengan
Tuhan-Tuhan kaum Musyrikin yang justru lebih hina, lemah, dan remeh.49
Begitu
juga ketika menafsirkan Surat al-Kahf ayat 26 beliau hanya berkomentar bahwa
penglihatan dan pendengaran Allah tidak dapat dijangkau oleh siapapun.50
Dengan kata lain pendapat M. Quraish Shihab mengenai esensi dari sifat-
sifat Allah cenderung kepada pendapatnya kelompok Asy‟ariyah yakni Allah
memiliki sifat dan sifat itu bukanlah Zat tetapi sesuatu yang selalu melekat pada
Zat.
Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai antropomorphisme bagi
Tuhan ada yang secara tegas langsung menolak sehingga menafsirkan ayat-ayat
yang memberikan kesan bahwa tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan
48
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 5, 317. 49
Ibid, vol 9, 126-127. 50
Ibid, vol 8, 44.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
kata lain, ayat-ayat Al-Qur‟an yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat
jasmani diberi takwil oleh Mu‟tazilah dengan pengertian yang layak bagi
kebesaran dan keagungan Allah51
Ada juga yang menolak faham bahwa Tuhan
mempunyai sifat jasmani bila sifat jasmani itu dipandang sama dengan manusia.
Akan tetapi mereka tidak mentakwilkan ayat yang menggambarkan
antropomorphisme bagi tuhan akan tetapi mereka menerimanya secara harfiyah,
Namun semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaiman
cara dan batasnya) dan pendapat ini adalah pendapatnya kaum Asy‟ariyah.52
Sedangkan M. Quraish Shihab ketika menafsirkan kata wajh pada surat al-
Qas}s}as ayat 88 dan surat al-Rah}mân ayat 27 beliau tafsirkan dengan sifat-sifat
Allah yang Agung dan Mulia. Perlu diketahui pada saat menafsirkan surat al-
Qas}s}as ayat 88 beliau menggabungkan dua pendapat mengenai kata wajh tersebut
yakni sifat-sifat dan zat Allah. Setelah menguraikan kedua pendapat tersebut
beliau mengemukakan kemungkinan dari penafsiran ayat tersebut dengan
mengatakan “Jika demikian maknanya, maka maksud penggalan ayat ini...” atau
dengan “Jika kita memahami kata wajh sebagaimana pengertian yang pertama –
yakni sifat Allah- maka Firman-Nya berarti...”.53
akan tetapi ketika menafsirkan
surat al-Rah}mân beliau hanya mengutip pendapat yang mengatakan wajh adalah
sifat Allah.54
51
Yusuf, Alam Pikiran, 92-93. 52
Rozak, Ilmu kalam, 171. 53
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 10, 428-429. 54
Ibid, vol 13, 512.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
Dapat diketahui dari pemaparan beliau mengenai wajh Allah bahwa beliau
tidak langsung menerima kata tersebut secara harfiah akan tetapi beliau
melakukan pentakwilan mengenai makna wajh Allah beliau mentakwilkannya
dengan sifat-sifat Allah yang Agung dan Mulia.
Ketika menafsirkan kata tangan pada surat Shâd ayat 75 itu beliau
memaparkan 3 pendapat. Pendapat pertama hanya mengimani dan
mengembalikan semua kepada Allah, sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci
dari segala sifat kebendaan/ jasmani dan keserupaan dengan makhluk. Pendapat
kedua mengartikan tangan dengan kekuasaan. Pendapat ketiga mengartikan
tangan dengan anugerah duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada
manusia. Dalam hal ini M. Quraish Shihab mengambil pendapat yang ketiga
dengan mengatakan, “Pendapat yang lebih memuaskan adalah memahami kata
tersebut sebagai isyarat tentang betapa manusia memperoleh penanganan khusus
dan penghormatan dari sisi Allah.” Inilah pendapat yang diterima oleh M.
Quraish Shihab.55
Sama ketika menafsirkan surat al-Mulk ayat 1, beliau mengatakan bahwa
tangan yang dinisbahkan kepada Allah berarti kekuasaan atau nikmat.56
Jika di
surat shad beliau memilih nikmat untuk menafsirkan kata tangan di surat ini
beliau memilih dua pendapat yakni kekuasaan dan nikmat. Sedangkan pada surat
Yâsîn ayat 83 beliau tafsirkan dengan kekuasaan.57
55
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 12, 170. 56
Ibid, vol 14, 342. 57
Ibid, vol 11, 581.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
Sehingga bisa dipahami bahwa menurut M. Quraish Shihab tangan yang
dinisbahkan kepada Allah bukan berarti tangan dalam arti hakiki akan tetapi
bermakna kekuasaan karena menurut beliau tangan berfungsi untuk menguasai
apapun yang digenggamnya atau nikmat yang berasal dari Allah.
Ada dua ayat Mengenai Allah dapat dilihat atau tidak, ayat tersebut ialah
Surat al-Qiyâmah ayat 22-23 dan al-An‟am ayat 103. Dalam menafsirkan surat al-
Qiyâmah beliau tidak banyak berkomentar apalagi berpendapat mengenai tafsiran
ayat ini. Beliau hanya mengutip pendapat dari ulama mutakallimin dan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Jarîr Ibn Abdillâh.58
Berbeda ketika
menafsirkan ayat 103 surat al-An‟am beliau mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang fana‟ lagi sedangkan Allah adalah kekal dan tidak terbatas, tidak
mungkin yang fana‟ bisa menjangkau yang kekal karena jika yang kekal bisa
dijangkau oleh yang fana, maka Ia tidak lagi kekal sedangkan itu tidak mungkin.59
Jadi M. Quraish Shihab berpendapat bahwa manusia tidak dapat melihat Allah
entah yang dimaksud beliau hanya didunia atau juga berlaku diakhirat yang dalam
hal ini seperti pendapatnya kaum Mu‟tazilah.60
Mengenai Tuhan bersemayam di atas Arsy terdapat dalam ayat 59 surat al-
Furqan, ayat 54 surat al-A‟raf, ayat 11 dari surat Fus}s}ilat, ayat 4 surat al-Sajdah.
Tidak banyak bahkan tidak ada perbedaan Dalam menafsirkan sekian banyak ayat
58
Shihab, Tafsir al-Misbâh,, vol 14, 637. 59
Ibid, vol 4, 219. 60
Aliran Mu‟tazilah ketika memahami ayat 23 surat al-Anbiya‟ mengatakan bahwa Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata kepala kapan saja. Lafadz nafi pada ayat tersebut
ditujukan pada waktu dan tempat tertentu, baik dunia maupun akhirat. (untuk ulasan lebih
lanjut lihat pada pembahasan sebelumnya bab II atau lihat Abdul Rozak dan Rosihon
anwar, Ilmu kalam (Bandung: Pustaka setia, 2001), 171).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
diatas yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab. Dan inti dari tafsiran beliau
adalah bahwa yang dimaksud dengan bersemayam adalah berkuasa. Sehingga
bersemayam di atas Arsy beliau tafsirkan dengan Allah Maha Mengetahui dan
sebagai pengatur apa yang ada di bawahnya.61
Dari sekian banyak uraian yang berkenaan dengan penafsiran M.Quraish
Shihab mengenai sifat-sifat kejasmanian Allah dapat diketahui bahwa M. Quraish
Shihab menafikan sifat kejasmanian yang dinisbahkan kepada Allah. Sehingga
dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan ayat yang berbicara tentang kejisiman
Allah beliau cenderung kepada pemikiran kaum Mu‟tazilah yang selalu
mentakwil ayat-ayat yang berbicara tentang kejisiman Allah. Adanya penafian
terhadap sifat kejasmanian ini tidak lain hanyalah untuk menyucikan dan
memelihara keesaan Allah karena setiap pemikir atau ulama menyelesaikan
persoalan ini sesuai denga kerangka berpikir masing-masing. Seperti yang telah
disebutkan oleh Abdul Rozak dan Rosihon Anwar dalam bukunya Ilmu Kalam
bahwa tiap-tiap aliran melalui kerangka berpikir masing-masing berusaha untuk
menyucikan dan memelihara keesaan Allah.62
61
Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol 5, 116-117. 62
lihat Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu kalam (Bandung: Pustaka setia, 2001),
167.