bab iv pembahasan · bambu gombong. dari tabel 3 diperoleh hasil pada bagian pangkal dan tengah...
TRANSCRIPT
28
BAB IV
PEMBAHASAN
4. 1 Sifat Anatomi
4. 1. 1 Bentuk Batang Bambu
Bambu gombong (G. verticillata) dan bambu mayan (G. robusta)
termasuk kedalam genus yang sama yaitu Genus Gigantochloa. Pada umumnya
bambu dengan Genus Gigantochloa memiliki batang yang dapat tumbuh besar
sehingga disebut sebagai bambu raksasa. Gambaran tentang bentuk batang bambu
disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Bentuk batang Bambu Gombong bagian (a) pangkal (b) tengah dan
(c) ujung.
Gambar 16 Bentuk batang Bambu Mayan bagian (a) pangkal (b) tengah dan
(c) ujung.
(a) (b) (c)
(b) (a) (c)
29
Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Seperti halnya pada
kayu bentuk batang bambu terdapat perbedaan diameter pada bagian pangkal dan
ujungnya yang disebut taper. Batang bambu memiliki buku (node) yang
memisahkan anatara ruas (internode) yang satu dengan ruas lainnya. Pengukuran
dimensi buluh dan taper disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengukuran dimensi buluh dan taper
Jenis Posisi
Dimensi Taper
Diameter
(cm)
Jarak Antar
Buku (cm) Dalam Luar
Gombong
Pangkal 9,97 36,74 0,0055 0,0018
Tengah 9,05 43,21 0,0066 0,0017
Ujung 7,93 40,35 0,0053 0,0066
Mayan
Pangkal 9,25 39,17 0,0037 0,0014
Tengah 9,31 53,86 0,0051 0,0010
Ujung 7,90 45,02 0,0041 0,0060
Dilihat berdasarkan hasil pengamatan kedua jenis bambu memiliki
diameter yang hampir sama besar. Kecendrungan kesamaan dimensi tidak hanya
ditemukan dari diameternya saja, begitu juga dengan tebal dinding yang terdapat
pada masing-masing jenis bambu memiliki nilai tebal dinding yang hampir sama
besar. Bambu mayan memiliki nilai jarak antar buku yang lebih panjang daripada
bambu gombong.
Dari Tabel 3 diperoleh hasil pada bagian pangkal dan tengah bambu
gombong memiliki nilai taper yang lebih besar dibandingkan bambu mayan.
Sedangkan pada bagian ujung bambu mayan memiliki nilai taper yang lebih besar
daripada bambu gombong. Besar nilai taper erat kaitanya terhadap bentuk suatu
batang menyerupai bentuk kerucut. Semakin besar nilai taper maka semakin tidak
silindris suatu batang bambu mendekati bentuk kerucut. Nilai taper juga berguna
dalam pendugaan suatu volume batang.
4. 1. 2 Tipe Ikatan Vaskuler
Pengamatan berupa tipe ikatan vaskuler dilakukan pada arah horizontal
dan vertikal. Hasil pengamatan anatomi berupa tipe ikatan vaskuler dengan
mikroskop terhadap penampang melintang bambu gombong dan bambu mayan
pada bagian pangkal, tengah dan ujung dapat disajikan pada Tabel 4.
30
Tabel 4 Tipe ikatan vaskuler pada Bambu Gombong dan Mayan
Jenis
Bambu
Bagian
Horizontal
Bagian Vertikal
Pangkal Tengah Ujung
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
Gombong
Tepi III III III III III III
Inti III dan IV III III III III IV
Dalam IV III III III III IV
Mayan
Tepi III III III III III III
Inti III III III IV III III dan IV
Dalam III III III IV III III dan IV
Pola ikatan vaskuler bambu gombong pada bagian pangkal ruas memiliki
dua tipe ikatan vaskuler berbeda, bagian tepi memiliki pola ikatan tipe III, bagian
inti memiliki pola ikatan peralihan dari tipe III ke tipe IV, dan bagian dalam
memiliki pola ikatan tipe IV. Sedangkan pola ikatan vaskuler ke arah vertikal
batang bagian tengah dan ujung, hampir semua memiliki pola ikatan vaskuler tipe
III terkecuali pada ujung buku, bagian inti dan dalam memiliki pola ikatan tipe
IV. Untuk membedakan ikatan vaskuler tipe III dan IV pada bambu gombong
dapat dilihat pada Gambar 17 (a), (b) dan (c).
Gambar 17 a) Ikatan vaskuler peralihan tipe III dan IV pada bagian pangkal ruas
inti
b) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian tengah ruas inti
c) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian ujung buku inti.
Untuk membedakan tipe ikatan vaskuler pada bambu mayan dapat dilihat
pada Gambar 18 (a), (b) dan (c).
31
Gambar 18 a) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian pangkal ruas dalam
b) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian tengah buku inti
c) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian ujung ruas inti
Sama seperti bambu gombong, bambu mayan memiliki dua tipe ikatan vaskuler
berbeda, yaitu tipe III dan tipe IV. Hampir semua pola ikatan vaskuler pada
bambu mayan memiliki tipe III, terkecuali pada bagian tengah buku dan ujung
buku yang memiliki pola ikatan tipe IV.
Menurut Nuryatin (2012), BJ bambu dipengaruhi oleh kandungan
sklerenkim pada bambu. Vaskuler dengan ikatan bertipe III dan IV relatif
memiliki sklerenkim yang hampir sama, walaupun memiliki jumlah rantai serabut
yang berbeda. Sehingga vaskuler dengan tipe ikatan III dan IV tidak memiliki
perbedaan BJ yang signifikan. Pola ikatan tipe IV memiliki diameter batang yang
besar serta dinding batang yang tebal sehingga sesuai jika digunakan sebagai
bahan baku struktural.
Pola ikatan vaskuler bambu adalah variabel sifat anatomi selain dapat
digunakan sebagai kunci identifikasi juga menunjukan karakter yang mewakili
sifat-sifat suatu jenis bambu. Pola tersebut memiliki fungsi dan keterikaitan
dengan sifat-sifat dasar yang berguna dalam arah pemanfaatan bambu.
4. 1. 3 Distribusi Ikatan Vaskuler
Pengujian ikatan vaskuler mencakup pengamatan terhadap distribusi
kerapatan ikatan vaskuler, luas dimensi arah lebar ikatan vaskuler, proporsi luas
vakuler dan tipe ikatan pembuluh pada arah horizontal (tepi, inti dan dalam) dan
vertikal (pangkal, tengah dan ujung).
Jumlah vaskuler diperoleh dari perhitungan jumlah ikatan vaskuler yang
terdapat dalam suatu luasan foto, dengan kata lain distribusi ikattan vaskuler
adalah kerapatan ikatan vaskuler dalam satu luasan yang sama. Proporsi luas
32
ikatan vaskuler diperoleh dari perhitungan luas satu ikatan vaskuler di kali dengan
banyaknya jumlah ikatan vaskuler di bagi dengan luas foto. Luas dimensi arah
lebar ikatan vaskuler diperoleh berdasarkan pengukuran rata-rata diameter ikatan
vaskuler.
Distribusi ikatan vaskuler pada arah horizontal
Perbedaan jumlah vaskuler /mm2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu
arah horizontal Gambar 19.
(a)
(b)
Gambar 19 (a)Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah
horizontal.
Pada Gambar 19 (a) terlihat bahwa ikatan vaskuler pada bagian tepi
memiliki kerapatan yang sangat tinggi bila dibandingkan bagian inti dan dalam.
Semakin kearah dalam semakin sedikit/jarang jumlah ikatan vaskuler per satuan
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ju
mla
h V
ask
ule
r /m
m2
Jenis dan Bagian Bambu
Tepi
Inti
Dalam
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Pro
po
rsi
Lu
as
Ika
tan
Va
sku
ler
(%)
Jenis dan Bagian Bambu
Tepi
Inti
Dalam
33
luas. Gambar 19 (b) menunjukkan bahwa proporsi luas vaskuler bambu gombong
dan bambu mayan semakin kecil dari tepi ke dalam. Selain itu bagian ruas
memiliki jumlah vaskuler/mm2 dan proporsi luas vaskuler yang lebih tinggi bila
dibandingkan bagian buku. Sayatan distribusi ikatan vaskuler pada penampang
lintang bambu gombong (Gambar 20).
Gambar 20 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan
(b) buku pangkal Bambu Gombong.
Dari data hasil pengamatan (Lampiran 1), bagian ruas bambu gombong
memiliki nilai rata-rata kerapatan distribusi ikatan vaskuler yang lebih besar yaitu
1,156 buah/mm2 dari kerapatan distribusi ikatan vaskuler bagian buku dengan
nilai 0,887 buah/mm2. Besar nilai proporsi ikatan vaskuler rata-rata bagian ruas
(64,86%) memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan bagian buku
(55,41%).
Sayatan penampang lintang bambu dan distribusi kerapatan ikatan
pembuluh pada bambu mayan terlihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan
(b) buku pangkal Bambu Mayan.
(a) (b)
tepi tengah dalam tepi tengah dalam
(a) (b)
tepi tengah dalam tepi tengah dalam
34
Dari hasil pengamatan (Lampiran 2), menunjukan nilai distribusi
kerapatan ikatan vaskuler pada bagian ruas pangkal tepi (1,84 buah/mm2) lebih
tinggi bila dibandingkan bagian inti (0,68 buah/mm2) dan dalam (0,48 buah/mm
2).
Bagian ruas memiliki nilai distribusi ikatan yang lebih tinggi bila dibandingkan
bagian buku.
Distribusi ikatan vaskuler pada arah vertikal
Bila dibandingkan selisih nilai antara jumlah vaskuler/mm2 dengan proporsi
vaskuler pada bagian tepi ke dalam, jumlah vaskuler/mm2 memiliki nilai selisih
yang lebih besar. Hal ini dikarenakan bagian tepi memiliki ukuran vaskuler yang
lebih kecil dan berjumlah banyak, sedangkan bagian tengah dan dalam memiliki
ukuran vaskuler yang besar dengan jumlah sedikit. Perbedaan jumlah
vaskuler/mm2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu arah horizontal disajikan
pada Gambar 22.
(a)
(b)
Gambar 22 (a) Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah vertikal.
0,00,20,40,60,81,01,21,4
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong MayanJu
mla
h V
ask
ule
r /m
m2
Jenis dan Bagian Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
01020304050607080
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Pro
pors
i L
uas
Vask
ule
r
(%)
Jenis dan Bagian Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
35
Dari data hasil pengamatan pada kedua jenis bambu dapat dilihat adanya
kecenderungan meningkatnya jumlah vaskuler/mm2 dari pangkal ke ujung.
Semakin tinggi posisi bagian batang berbanding lurus tehadap kerapatan ikatan
vaskuler. Gambar 22 (b) menunjukan bahwa proporsi luas vaskuler pada kedua
jenis bambu cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Hal ini diduga karena
bagian tengah memiliki ukuran vaskuler yang lebih besar daripada bagian
pangkalnya dan mengecil ke bagian ujung.
4. 2 Sifat Fisis
4. 2. 1 Kadar Air
Pengujian penentuan kadar air terhadap banyaknya jumlah air yang
tersimpan dalam bambu per satuan volume dilakukan pada keadaan kering udara.
Jumlah kandungan kadar air pada kedua jenis bambu ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Pengujian kadar air (%) kering udara pada jenis Bambu Gombong dan
Mayan
Gambar 23 Diagram kadar air (%) pada bilah bambu.
Bambu gombong memiliki KA 12,7 – 14,8 % dengan rata – rata 13,82 %.
Sedangkan bambu mayan memiliki nilai KA 12,89 – 14,49 % dengan rata-rata
02
4
6
810
12
1416
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ka
da
r A
ir (
%)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 13,53 14,69 13,48 12,89
Tengah 14,80 12,85 14,49 13,43
Ujung 14,37 12,70 13,38 13,32
Rata-Rata 14,23 13,41 13,78 13,21
36
13,5 %. Berdasarkan hasil pengujian (Gambar 23), terlihat bahwa kadar air kering
udara pada bambu bagian tengah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
bagian pangkal dan ujungnya, terkecuali pada jenis bambu gombong dengan
lokasi bagian buku. Jika dilihat berdasarkan persen kadar air rata-rata hasil ini
sedikit lebih besar dari dugaan Janssen (1981) yang memperkirakan bahwa pada
kelembaban relatif (RH) 90% kadar air kering udara bambu sekitar 12,7%. Nilai
perbedaan kadar air ini dipengaruhi oleh presentase sklerenkim yang terdapat
pada suatu bambu, yang dapat diduga dari nilai berat jenis (BJ). Semakin tinggi
nilai BJ maka semakin tinggi tingkat kestabilan dimensi bambu.
Kandungan air pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian
ujung atau ditunjukkan pula oleh perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung.
Kandungan air yang besar dapat menyebabkan tingkat kesetabilan dimensi lebih
rendah pada bagian pangkal dibanding bagian ujung (Mohmod et al. 1991).
Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi sebagian rongga-rongga sel
akan mengurangi nilai penyusutan. Adapun faktor lain yang diduga ikut
berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian pangkal ke
bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya penyusutan.
4. 2. 2 Berat Jenis dan Kerapatan
BJ bambu gombong berkisar 0,57 – 0,68 dengan rataan 0,62 dan BJ
bambu mayan berkisar 0,65 - 0,7 dengan rataan 0,67. Berdasarkan hasil
pengamatan, BJ bambu gombong cenderung meningkat dari bagian pangkal ke
bagian ujung. Sedangkan kecenderungan ini tidak tampak pada bambu mayan
dengan lokasi buku. Hasil pengujian BJ bilah pada bagian pangkal, tengah dan
ujung tersaji pada Tabel 6 dan Gambar 24.
Tabel 6 Tabel pengujian berat jenis (BJ)
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 0,61 0,66 0,66 0,70
Tengah 0,57 0,60 0,67 0,67
Ujung 0,64 0,68 0,65 0,67
Rata-rata 0,61 0,65 0,66 0,68
37
Gambar 24 Diagram pengujian berat jenis pada ketiga bagian posisi vertikal.
Perbedaan besarnya kerapatan pada masing-masing bagian disajikan pada
Tabel 7 dan Gambar 25.
Tabel 7 Nilai pengujian kerapatan (g/cm3)
Gambar 25 Diagram hasil pengukuran pengujian kerapatan (g/cm3).
Pengujian kerapatan bambu gombong dan bambu mayan yang berumur 4
tahun yang berasal dari daerah Hutan Tanaman Bambu IPB Dramaga dilakukan
terhadap volume kering udara dan berat kering tanur. Besar nilai kerapatan bambu
gombong berkisar antara 0,66 – 0,77 g/cm3 dengan rata-rata 0,72 g/cm
3 dan nilai
kerapatan pada bambu mayan berkisar antara 0,74 - 0,79 g/cm3 dengan rata – rata
0,76 g/cm3.
0
0,2
0,4
0,6
0,8
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ber
at
Jen
is
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ker
ap
ata
n (
g/c
m3)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 0,69 0,76 0,74 0,79
Tengah 0,66 0,68 0,77 0,76
Ujung 0,74 0,77 0,74 0,76
38
BJ dan kerapatan bambu gombong menunjukkan kecenderungan
meningkat dari pangkal ke ujung. Bila dikaitkan dengan struktur anatomi
kecenderungan ini berbanding lurus dengan nilai jumlah vaskuler/mm2 yang
meningkat dari pangkal ke bagian ujung. Sedangkan pada bambu mayan tidak
tampak adanya kecenderungan yang sama, nilai BJ dan kerapatan bambu mayan
cenderung menurun dari pangkal ke bagian ujung. Hal ini diduga nilai BJ dan
kerapatan tidak hanya dipengaruhi oleh nilai jumlah vaskuler/mm2, faktor
proporsi luas ikatan vaskuler merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi nilai BJ dan kerapatan. Nilai proporsi luas ikatan vaskuler bambu
mayan cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Sedangkan pada lokasi buku
dan ruas, bagian buku memiliki nilai BJ yang lebih besar dari bagian ruasnya.
Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model
(GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor
yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas
dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Pengujian statistik KA, BJ dan kerapatan
Posisi Lokasi KA (%) BJ ρ (g/cm
3)
Gombong Mayan Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal
Buku 14,7 ± 0,45
(3,03)
12,9 ± 1,19
(9,23)
0,7 ± 0,02
(2,99)
0,7 ± 0,04
(6,23)
0,8 ± 0,02
(2,72)
0,8 ± 0,05
(6,01)
Ruas 13,5 ± 1,18
(8,69)
13,5 ± 1,33
(9,83)
0,6 ± 0,04
(6,79)
0,7 ± 0,05
(8,02)
0,7 ± 0,05
(7,11)
0,7 ± 0,06
(7,73)
Tengah
Buku 12,9 ± 1,10
X
(8,56)
13,4 ± 1,91
(14,18)
0,6 ± 0,03
(4,34)
0,7 ± 0,08
(12,04)
0,7 ± 0,03
(4,20)
0,8 ± 0,08
(10,86)
Ruas 14,8 ± 0,20
Y
(1,35)
14,5 ± 0,67
(4,61)
0,6 ± 0,08
(14,10)
0,7 ± 0,07
(10,06)
0,7 ± 0,09
(13,51)
0,8 ± 0,08
(9,75)
Ujung
Buku 8,5 ± 7,38
(87,16)
13,3 ± 0,35
(2,61)
0,5 ± 0,40
(86,78)
0,7 ± 0,04
(5,38)
0,5 ± 0,45
(86,87)
0,8 ± 0,04
(4,74)
Ruas 14,4 ± 0,94
(6,51)
13,4 ± 1,43
(10,68)
0,6 ± 0,07
(10,53)
0,7 ± 0,06
(8,66)
0,7 ± 0,07
(9,46)
0,7 ± 0,07
(9,54)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
39
Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan nyata KA oleh faktor
perbedaan lokasi (ruas dan buku) pada bagian tengah bambu gombong. Tidak ada
perbedaan nyata BJ dan kerapatan oleh faktor jenis, posisi vertikal batang, dan
lokasi (ruas dan buku). Hasil pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan kerapatan
yang diamati disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Hubungan korelasi antara faktor KA, BJ dan kerapatan
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Kerapatan
(g/cm3)
0,740 0,998
0,000 0,000
Berdasarkan hasil uji korelasi ditemukan hubungan yang erat antara ketiga
variabel. Semakin tinggi kadar air yang tekandung di dalam bambu maka semakin
tinggi nilai berat jenis dan kerapatan.
4. 2. 3 Kembang Susut Dimensi
Bambu sebagai hasil alam merupakan bahan anisotropis, oleh karena itu
penelitian terhadap stabilitas pengembangan dan penyusutan dimensi bambu
dilihat dari tiga arah, yaitu arah tebal, arah diameter dan arah arah longitudinal.
Seperti halnya kayu, penyusutan dan pengembangan bambu arah
longitudinal sangat kecil (tidak mencapai 1%), baik untuk bagian pangkal,
maupun bagian tengah. Melalui hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 26
a dan b, terlihat bahwa penyususutan dan pengembangan arah tebal paling besar
dibandingkan penyusutan arah lebar, sedangkan penyusutan dan pengembangan
arah longitudinal sangat kecil.
Besarnya nilai penyusutan arah tebal pada 2 jenis bambu cenderung lebih
besar dibanding susut arah lebar, diduga karena antara lain karena tidak
terdapatnya sel jari-jari sebagai penahan proses penyusutan ke arah tebal sehingga
penyusutan arah tebal lebih besar. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989)
pengembangan secara sederhana adalah kebalikan dari proses penyusutan.
40
(a)
(b)
Gambar 26 Nilai (a) penyusutan dan (b) pengembangan dimensi pada Bambu
Gombong dan Mayan.
Faktor lain yang diduga ikut berperan dalam penyusutan adalah adanya distribusi
ikatan vaskular yang tidak merata antara bagian luar, tengah dan dalam dinding
batang bambu. Sehingga nilai penyusutan tebal adalah total dari nilai penyusutan
bagian luar, tengah dan dalam sedangkan pada arah lebar nilai penyusutan
ditentukan oleh dua bagian baik terluar maupun bagian paling dalam dinding
batang yang relatif nilai susutnya lebih kecil karena umumnya mempunyai
kerapatan yang lebih tinggi sehingga nilai penyusutan ke arah lebar akan
mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan arah tebal.
Selain struktur anatomi perbedaan kadar air dan lignin serta zat ekstraktif
dapat mempengaruhi besar kembang susut pada bambu. Kandungan air pada
bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian ujung atau ditunjukkan pula oleh
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Tebal 3,98 4,14 4,22 4,38
Lebar 1,64 1,70 1,78 1,56
Panjang 0,16 0,33 0,11 0,18
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
Pen
yu
suta
n (
%)
Jenis Bambu
Tebal
Lebar
Panjang
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Tebal 2,87 3,47 3,26 3,01
Lebar 1,65 1,40 1,10 1,08
Panjang 0,30 0,17 0,13 0,15
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
Pen
gem
ban
ga
n (
%)
Jenis Bambu
Tebal
Lebar
Panjang
41
perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung, yang dapat menyebabkan tingkat
kestabilan dimensi lebih rendah pada bagian pangkal dibandingkan bagian ujung
(Mohmod et al. 1991). Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi
sebagian rongga-rongga sel akan mengurangi nilai penyusutan. Adapun faktor lain
yang diduga ikut berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian
pangkal ke bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya
penyusutan.
Proses penyusutan pada bambu berbeda jika dibandingkan dengan kayu
karena pada bambu, penyusutan dimulai pada saat pengeringan atau di atas titik
jenuh serat (Liese 1985). Hal ini diduga karena adanya perbedaan dalam struktur
anatomi antara kayu dan bambu, dimana pada bambu strukturnya didominasi oleh
parenkim sebagai jaringan dasar yang dindingnya cukup tipis, sehingga pada saat
pengeringan (masih diatas titik jenuh serat) air bebas yang keluar dari rongga sel
parenkim mengakibatkan tahanan dalam lumen akan menjadi berkurang sehingga
dinding sel parenkim yang tipis akan melisut (collaps) dan proses penyusutan pun
akan dimulai sebelum dinding sel menyusut. Dengan demikian pada tanaman
bambu, besarnya penyusutan akan lebih besar bila dibandingkan dengan kayu.
Tabel 10 Hasil analisa statistik pengujian penyusutan dimensi bambu pada bilah
Posisi Lokasi KA (%) BJ Susut (%)
Gombong Mayan Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal
Buku 14,7 ± 0,45
(3,03)
12,9 ± 1,19
(9,23)
0,7 ± 0,02
(2,99)
0,7 ± 0,04
(6,23)
7,4 ± 0,25H
(3,37)
7,1 ± 0,28H
(3,88)
Ruas 13,5 ± 1,18
(8,69)
13,5 ± 1,33
(9,83)
0,6 ± 0,04
(6,79)
0,7 ± 0,05
(8,02)
7,0 ± 0,78H
(11,10)
7,1 ± 0,35H
(4,95)
Tengah
Buku 12,9 ± 1,10
X
(8,56)
13,4 ± 1,91
(14,18)
0,6 ± 0,03
(4,34)
0,7 ± 0,08
(12,04)
6,0 ± 0,40HI
(6,57)
6,1 ± 0,33I
(5,50)
Ruas 14,8 ± 0,20
Y
(1,35)
14,5 ± 0,67
(4,61)
0,6 ± 0,08
(14,10)
0,7 ± 0,07
(10,06)
5,8 ± 0,49H
(8,43)
6,1 ± 0,61H
(9,90)
Ujung
Buku 8,5 ± 7,38
(87,16)
13,3 ± 0,35
(2,61)
0,5 ± 0,40
(86,78)
0,7 ± 0,04
(5,38)
3,2 ± 2,80I
(86,73)
4,9 ± 0,33J
(6,58)
Ruas 14,4 ± 0,94
(6,51)
13,4 ± 1,43
(10,68)
0,6 ± 0,07
(10,53)
0,7 ± 0,06
(8,66)
4,4 ± 0,23I
(5,20)
4,9 ± 0,41I
(8,44)
Keterangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
42
Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model
(GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor
yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas
dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 10. Dari hasil uji statistik
didapatkan adanya perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor posisi vertikal.
Tidak ada perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor jenis dan lokasi (ruas dan
buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan susut volume yang diamati
diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Uji korelasi KA, BJ dan susut dimensi
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710
0,000
Susut
Volume (%)
0,621 0,603
0,000 0,000
Dari hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan susut dimensi ditemukan adanya
hubungan yang erat pada ketiga faktor. Semakin tinggi kadar air yang terdapat
pada bambu maka berpengaruh nyata terhadap besar nilai berat jenis suatu bambu.
Semakin tinggi nilai kadar air pada suatu bambu maka berhubungan erat terhadap
besar susut volume pada bambu. Semakin tinggi nilai BJ suatu bambu maka
berhubungan erat terhadap besar nilai penyusutan bambu.
4. 3 Sifat Mekanis
4. 3. 1 Modulus of Elasticity (MOE)
Nilai MOE bilah bambu gombong berkisar antara 108.413 – 212.493
kgf/cm2 dengan rata- rata 145.557 kgf/cm
2, sedangkan MOE buluh utuh berkisar
antara 47.418 – 83.327 kgf/cm2 dengan rata – rata 60.287 kgf/cm
2. Nilai MOE
bilah bambu mayan berkisar antara 121.960 – 150.203 kgf/cm2 dengan rata – rata
134.400, sedangkan untuk buluh utuh berkisar antara 54.370 – 61.728 kgf/cm2
dengan rata – rata 57.409 kgf/cm2 (Tabel 12 dan Gambar 27).
43
Tabel 12 Nilai MOE rata-rata (kgf/cm2) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan
Gambar 27 Posisi nilai MOE pada bagian pangkal, tengah dan ujung.
Berdasarkan Gambar 27, terlihat bahwa nilai MOE bilah bambu gombong
dan bambu mayan meningkat dari bagian pangkal ke bagian tengah lalu menurun
ke bagian ujung. Kecenderungan ini juga terlihat pada lokasi (ruas dan buku) yang
berbeda. Janssen (1981) mengemukakan perbedaan nilai MOE terjadi karena
perbedaan persentase skelerenkim. Jika dilihat sifat anatominya, bagian pangkal
ruas bambu gombong terjadi peningkatan nilai proporsi luas vaskular bundel ke
bagian tengah lalu mengalami penurunan ke bagian ujung (Lampiran 3). Selain itu
hal ini diduga karena adanya perbedaan fase tumbuh pada kedua jenis bambu.
Pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh
maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban.
Perbedaan nilai MOE juga diduga karena pengaruh jumlah lignin dan
dimensi panjang sel serabut. Kandungan lignin pada bagian pangkal mengalami
peningkatan ke bagian ujung. Liese (1980) menyatakan bahwa, secara
keseluruhan ukuran panjang serat semakin bertambah panjang dari posisi pangkal
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
ruas buku ruas buku
bilah buluh bilah buluh
Gombong mayan
MO
E x
10
4(k
g/c
m2)
Jenis Bambu
pangkal
tengah
ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal bilah 108.413 120.677 147.857 126.827
buluh 47.418 54370
Tengah bilah 212.493 160.652 150.203 135.907
buluh 50116 56.129
Ujung bilah 158.531 112.578 123649 121960
buluh 83.327 61.729
44
batang menuju ke ujung batang bambu tersebut (Liese 1980). Panjang serabut
berkorelasi sangat kuat terhadap nilai MOE (Liese et al. 2003). Serabut tersusun
atas sejumlah lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel
serabut akan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu.
Dari hasil pengamatan nilai MOE pada kedua jenis bambu, terlihat bahwa
bambu gombong memiliki nilai MOE yang lebih tinggi daripada bambu mayan
baik pada lokasi ruas maupun buku. Selain itu, terdapat perbedaan nilai MOE
yang berbeda pada lokasi (ruas dan buku), dengan nilai MOE pada bagian buku
lebih kecil dari bagian ruas. Hal ini disebabkan serabut tersusun atas sejumlah
lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel serabut akan
memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu. Dransfield dan
Widjaja (1995) menyatakan serat terpendek ditemukan di sekitar buku sedangkan
serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu. Hal ini diperkuat oleh
Bachtiar (2008) yang mengemukakan arah serat pada daerah buku tidak semua
lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke
keluar. Hal ini diduga yang mempengaruhi perbedaan nilai MOE pada kedua
lokasi yang berbeda dengan nilai MOE pada lokasi buku lebih rendah dari ruas.
Berdasarkan hasil uji MOE, pada Gambar 27 terlihat bahwa terdapat
perbedaan nilai MOE pada buluh utuh lebih kecil dibandingkan dengan bilah
bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh tahanan geser bambu pada buluh yang
sangat lemah, sehingga menyebabkan defleksi akibat geser menjadi besar
dibandingkan akibat momen.
Gambar 2817 Diagram elastisitas bilah dan buluh utuh bambu.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 1 2 3 4
Beb
an
(k
gf)
Defleksi (mm)
Buluh Utuh 1
Buluh Utuh 2
Bilah 1
bilah 2
45
Sehingga kerusakan beban maksimal pada buluh terjadi bukan karena patah tapi
disebabkan karena contoh uji mengalami kerusakan belah terlebih dahulu yang
menyebabkan terjadinya penurunan grafik.
4. 3. 2 Modulus of Rupture (MOR)
Tegangan pada batas patah (MOR) merupakan ukuran kekuatan suatu
bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya
kerusakan. Hasil pengujian nilai MOR selengkapnya tercantum dalam lampiran
sedangkan nilai rata-rata disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 29.
Tabel 13 Nilai MOR (kg/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal bilah 899 1.288 1.189 1.233
buluh 464 313
Tengah bilah 1.406 1.637 1.341 1.303
buluh 361 238
Ujung bilah 1.252 1.171 1.265 1.300
buluh 520 258
Nilai MOR bilah bambu gombong berkisar 899 – 1.637 kgf/cm2 dengan
rata- rata 1.276 kgf/cm2, sedangkan MOR buluh utuh berkisar antara 361 – 520
kgf/cm2 dengan rata – rata 448 kgf/cm
2. Nilai MOR bilah bambu mayan berkisar
antara 1.189 – 1.341 kgf/cm2 dengan rataan 1.271 kgf/cm
2, sedangkan untuk
buluh utuh berkisar antara 238 – 313 kgf/cm2 dengan rata – rata 269 kgf/cm
2.
Gambar 2918 Diagram nilai MOR pada bagian pangkal, tengah dan ujung.
0
500
1000
1500
2000
ruas buku ruas buku
bilah buluh bilah buluh
Gombong mayan
MO
R (
kgf/
cm2)
Jenis Bambu
pangkal
tengah
ujung
46
Pada Gambar 29 terlihat bahwa MOR bambu gombong dan bambu mayan
cenderung meningkat pada bagian pangkal ke bagian tengah namun terjadi
penurunan pada bagian tengah ke bagian ujung. Hasil penelitian Subyakto (1995)
menunjukkan bahwa nilai MOR dari bagian pangkal ke bagian ujung mengalami
peningkatan. Adanya penurunan nilai MOR dari bagian tengah ke bagian ujung
diduga pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh
maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban.
Selain itu berdasarkan hasil uji korelasi yang dilakukan terdapat hubungan yang
erat antara nilai MOE dan MOR, sehingga pendugaan MOR dengan MOE dapat
dilakukan.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur dengan model Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan lokasi (ruas dan buku) (Tabel 14).
Tabel 14 Uji statistik terhadap pengujian MOE dan MOR pada bilah
Posisi Lokasi MOE (kgf/cm
2) MOR (kgf/cm
2)
Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal
Buku 120677,0 ± 10760,00
(8,92)
126828,0 ± 12252,00
(9,66)
1288,9 ± 57,40X
(4,46)
1233,1 ± 114,60
(9,29)
Ruas 108413,0 ± 6952,00
B
(6,41)
147857,0 ± 18368,00A
(12,42)
899,2 ± 46,10Y
(5,13)
1190,0 ± 200,00
(16,84)
Tengah
Buku 160653,0 ± 64654,00
(40,24)
135907,0 ± 20843,00
(15,34)
1638,0 ± 540,00
(32,97)
1304,0 ± 110,10
(8,44)
Ruas 212493,0 ± 116371,00
(54,76)
150203,0 ± 12776,00
(8,51)
1407,0 ± 467,00
(33,22)
1341,0 ± 179,00
(13,31)
Ujung
Buku 112579,0 ± 26811,00
(23,82)
121960,0 ± 19268,00
(15,80)
1171,0 ± 253,00
(21,57)
1300,2 ± 164,70
(12,67)
Ruas 158532,0 ± 57767,00
(36,44)
123650,0 ± 16611,00
(13,43)
1253,0 ± 275,00
(21,95)
1266,0 ± 174,00
(13,78)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Hasil analisa statistik menunjukan terdapat perbedaan nyata nilai MOE akibat
faktor jenis bambu, dengan nilai MOE pada bambu mayan lebih besar daripada
47
bambu gombong. Nilai MOR tidak dipengaruhi oleh jenis bambu dan posisi
vertikal. Terdapat perbedaan nyata MOR akibat perbedaan lokasi.
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah
bambu yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Korelasi antara nilai KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah
Korelasi MOE
(kgf/cm2)
MOR
(kgf/cm2)
KA (%)
MOR
(kgf/cm2)
0,781 - -
0,000 - -
KA (%) 0,270 0,222 -
0,111 0,193 -
BJ -0,017 0,128 0,710
0,924 0,456 0,000
Terdapat hubungan yang kuat antara MOE dan MOR. Semakin tinggi nilai
MOE yang didapatkan maka nilai MOR yang didapatkan semakin tinggi juga.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 2 faktor yaitu jenis bambu dan posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung)
diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil pengujian statistik nilai MOE dan MOR pada buluh
Posisi MOE (kgf/cm
2) MOR (kgf/cm
2)
Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal 47418,0 ± 561,00
(1,18)
54370,0 ± 19028,00
(35,00)
464,3 ± 65,40A
(14,08)
313,2 ± 11,55B
(3,69)
Tengah 50116,0 ± 14300,00
(28,53)
56129,0 ± 23508,00
(41,88)
361,6 ± 21,80A
(6,02)
238,3 ± 68,00B
(28,52)
Ujung 83328,0 ± 25781,00
(30,94)
61729,0 ± 11507,00
(18,64)
520,0 ± 261,00
(50,09)
258,2 ± 47,30
(18,31)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Dari hasil uji statistik didapatkan ada perbedaan nyata nilai MOR akibat faktor
jenis. Perbedaan MOR terlihat pada bagian pangkal dan tengah kedua jenis
48
bambu, dengan nilai yang lebih besar pada jenis bambu gombong. Tidak ada
perbedaan nyata nilai MOE oleh faktor jenis, posisi vertikal. Tidak ada perbedaan
nilai MOR akibat faktor posisi vertikal.
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, MOE da MOR pada buluh yang
diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Korelasi antara nilai MOE, MOR, KA, dan BJ pada buluh
Korelasi MOE
(kgf/cm2)
MOR
(kgf/cm2)
KA (%)
MOR (kgf/cm2)
0,459 - -
0,056 - -
KA (%) 0,223 0,571 -
0,374 0,013 -
BJ 0,023 -0,513 -0,549
0,928 0,029 0,018
Terdapat hubungan erat MOR dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai MOR semakin
tinggi pula.
4. 3. 3 Kekuatan Tarik
Kekuatan tarik sejajar serat bambu gombong adalah 885 – 2.768 kgf/cm2
dengan rata – rata 1.761 kgf/cm2. Sedangkan pada bambu mayan berkisar 853 –
2.734 kgf/cm2 dengan rata – rata 1.584 kgf/cm
2. Hasil pengujian keteguhan tarik
sejajar serat selengkapnya dalam Lampiran 18 dan nilai rata-ratannya tercantum
dalam Tabel 18 dan ilustrasinya dalam Gambar 30.
Tabel 18 Nilai keteguhan tarik (kgf/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 1.696 1.483 2.223 853
Tengah 2.548 885 2.734 980
Ujung 2.768 1.189 1.772 941
49
Gambar 3019 Diagram keteguhan tarik sejajar serat.
Pada Gambar 30 terlihat kecenderungan nilai tarik sejajar serat meningkat
dari bagian pangkal ke bagian ujung. Hal yang berbeda terjadi pada bambu
mayan, kekuatan tarik menurun dari bagian tengah ruas ke bagian ujung ruas.
Wangaard (1950) menyatakan bahwa keteguhan tarik sejajar serat sangat
tergantung kepada kekuatan serabut (sifat kohesi) dan dipengaruhi oleh dimensi
kayu, elemen penyusun dan susunannya dalam kayu. Kekuatan tarik terbesar akan
diperoleh spesimen dengan serabut yang tersusun secara lurus serta berdinding
tebal. Serat melintang akan mengurangi kekuatan tarik. Sedangkan Janssen (1981)
mengemukakan bahwa kekuatan tarik tergantung kepada persentase sklerenkeim
(serabut) yang dimiliki bambu. Hal ini diperkuat oleh Wang (1970) yang
mengemukakan bahwa skelerenkim memberikan kontribusi dalam stabilitas
kekuatan, sementara Li (2004) menyatakan bahwa kerapatan serabut dalam
jaringan skelerenkim adalah indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan
bambu.
Jika ditinjau berdasarkan struktur anatominya bagian ujung ruas memiliki
distribusi penyebaran ikatan vaskuler yang lebih rapat dari bagian tengah dan
pangkalnya. Kecendrungan ini dicerminkan dengan nilai kekuatan tarik pada
bambu gombong. Sedangkan kecenderungan yang berbeda pada bambu mayan
terjadi penurunan nilai kekuatan tarik dari bagian tengah ruas ke bagian ujung
ruas. Hal ini diduga karena proporsi luas vaskuler pada bagian tengah lebih besar
daripada bagian ujungnya.
Pada kedua kelompok sampel nampak bahwa nilai tegangan tarik bambu
akan berkurang lebih dari 50% pada bagian buku (Gambar 30). Menurut sumbu
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ket
egu
ha
n T
arik
(k
g/c
m2)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
50
longitudinal, serat pada internodia yang berada di dekat nodia selalu mempunyai
ukuran yang paling pendek. Ukuran panjang serat tersebut semakin bertambah
panjang dari posisi di dekat nodia menuju kepertengahan nodia dan mencapai
ukuran terpanjang pada bagian tengah internodia. Disamping itu arah serat pada
daerah buku tidak semua lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan
sebagian kecil berbelok ke keluar (Bachtiar 2008).
Dalam pembuatan sampel uji tarik dibuat daerah kritis yang luas
penampangnya kecil (Gambar 31). Diharapkan, kerusakan akibat beban tarik
terjadi pada daerah kritis, yaitu sampel putus pada daerah tersebut. Pada pengujian
yang dilakukan, putusnya sampel pada daerah kritis seperti pada Gambar 32 (a)
tidak terjadi semua pada sampel.
Gambar 31 Contoh uji tarik sejajar serat.
keterangan :
(a) contoh uji tarik rusak pada daerah kritis
(b) contoh uji tarik rusak bukan pada daerah kritis
Gambar 32 Contoh kerusakan pada pengujian tarik sejajar serat.
(a) (b)
51
Kuat tarik bambu bagian dalam yang lebih kecil akan mengakibatkan rusaknya
sampel tidak seragam, seperti terlihat pada Gambar 32 (b), dimana pada daerah
kritis sebelah dalam sudah putus, sementara bagian luar belum.
Besarnya variasi mengakibatkan permasalahan dalam pengujian tarik.
Kerusakan yang terjadi tidak selalu pada daerah kritis, seperti yang diharapkan.
Kerusakan dapat terjadi pada daerah buku mengarah pada buku, seperti pada
Gambar 32 (b). Pada keadaan ini, kerusakan pada daerah kritis terjadi, bukan
karena tarik, tetapi karena geser.
Dari diagram kekuatan tarik (Gambar 30) terlihat pada bagian pangkal
ruas dan tengah ruas bambu mayan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
bambu gombong. Hal ini diduga karena adannya perbedaan struktur anatomi
terhadap persentase serabut. Kekuatan suatu bahan dapat pula diduga melalui sifat
fisik terutama BJ karena BJ dapat digunakan sebagai penduga kekuatan suatu
bahan. Dengan demikian semakin besar nilai BJ maka semakin tinggi pula nilai
kekuatan suatu bahan.
Tabel 19 Hasil analisa statistik pada pengujian tarik sejajar serat
Posisi Lokasi Tarik (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 1484,0 ± 458,00
(30,85)
853,4 ± 86,20X
(10,10)
Ruas 1696,0 ± 327,00
BH
(19,29)
2224,0 ± 284,00AYHI
(12,77)
Tengah
Buku 1484,0 ± 458,00
X
(30,85)
980,4 ± 132,20X
(13,48)
Ruas 1696,0 ± 327,00
YIJ
(19,29)
2734,2 ± 19,90YH
(0,73)
Ujung
Buku 1190,0 ± 193,00
X
(16,20)
941,6 ± 80,80X
(8,58)
Ruas 2768,0 ± 397,00
AYJ
(14,33)
1772,0 ± 457,00BYI
(25,76)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
52
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil analisa statistik pengujian tarik yang
disajikan pada Tabel 19.
Uji statistik mengindikasikan terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik
akibat perbedaan jenis bambu, yaitu pada sampel pangkal ruas bambu gombong
dan mayan, dengan nilai kekuatan tarik pada bambu gombong lebih besar dari
mayan. Nilai kekuatan tarik di pengaruhi oleh perbedaan jenis pada sampel ujung
ruas dengan nilai bambu mayan lebih besar dari bambu gombong. Terdapat
perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat perbedaan posisi arah vertikal, pada
pangkal ruas bambu, tengah ruas bambu dan ujung ruas bambu pada kedua jenis
bambu. Terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat faktor lokasi (ruas
dan buku) pada sampel bambu gombong bagian tengah ruas dan tengah buku,
ujung ruas dan ujung buku. Pada bambu mayan terdapat perbedaan
nyata/pengaruh terhadap nilai kekuatan tarik oleh faktor lokasi pada sampel
bagian pangkal ruas dan buku, tengah ruas dan buku, ujung ruas dan buku.
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tarik sejajar serat
yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan hasil uji
korelasi tidak terdapat hubungan yang erat nilai kteguhan tarik sejajar serat
dengan nilai KA dan BJ.
Tabel 20 Hubungan korelasi antara KA, BJ, dan tarik
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Tarik
(kgf/cm2)
0,307 0,050
0,068 0,771
4. 3. 4 Kekuatan Tekan Sejajar Serat
Kekuatan tekan sejajar serat bilah bambu gombong berkisar 391 – 491
kgf/cm2 dengan rata – rata 434 kgf/cm
2, pada bambu mayan berkisar 430 – 533
kgf/cm2 dengan rata – rata 469 kgf/cm
2. Kekuatan tekan sejajar serat buluh bambu
gombong berkisar 458 – 665 kgf/cm2 dengan rata – rata 525 kgf/cm
2, pada bambu
53
mayan berkisar 366 – 524 kgf/cm2 dengan rata – rata 466 kgf/cm
2 (Tabel 21 dan
Gambar 33).
Tabel 21 Nilai keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada jenis Bambu
Gombong dan Mayan
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal bilah 391 426 489 477
buluh 491 459 492 465
Tengah bilah 452 428 444 445
buluh 458 494 509 524
Ujung bilah 491 415 533 430
buluh 665 580 436 366
Gambar 33 Keteguhan tekan sejajar serat.
Pada Gambar 33 terlihat bahwa nilai tekan sejajar serat pada kedua jenis
bambu cenderung menaik dari pangkal ke ujung. Hasil pengamatan struktur sel
penampang lintang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan distribusi
jumlah ikatan vaskular/mm2 dari bagian pangkal ke bagian ujung, sehingga akan
meningkatkan nilai keteguhan tekan dari pangkal ke ujung batang. Hal yang
berbeda terjadi pada bambu mayan bagian bilah buku dan buluh ruas dan buku.
Hal ini disebabkan pada sampel posisi ujung bambu mayan terserang oleh
kumbang bubuk, yang diindikasikan dengan berkurangnya volume sampel dan
berubah menjadi butiran serbuk yang banyak. Selain itu disebabkan adanya
penurunan proporsi luas ikatan vaskuler dari bagian tengah ke ujung.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
bilah buluh bilah buluh
gombong mayan
Ket
egu
han
Tek
an
//
Ser
at
(kg/c
m2)
Jenis Bambu
pangkal
tengah
ujung
54
Berdasarkan hasil pehitungan rata-rata keteguhan tekan sejajar serat pada
bilah, meunjukan bahwa nilai keteguhan tekan bambu mayan lebih tinggi daripada
bambu gombong. Sedangkan pada bagian buluh, bambu gombong memiliki
keteguhan tekan sejajar serat yang lebih tinggi daripada bambu mayan.
Dari Gambar 33 terlihat bahwa kekuatan tekan bilah pada kedua jenis
bambu lebih kecil dibandingkan kekuatan tekan buluh utuhnya. Hal ini
dikarenakan pada buluh utuh bambu memiliki angka kelangsingan yang lebih
besar sehingga menyebabkan kekuatan lebih besar.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi
(ruas dan buku) (Tabel 22).
Tabel 22 Hasil analisa statistik pada pengujian tekan sejajar serat bilah
Posisi Lokasi Tekan Bilah (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 426,8 ± 13,93
(3,26)
477,1 ± 67,00
(14,05)
Ruas 391,1 ± 100,70
(25,74)
489,1 ± 46,90
(9,58)
Tengah
Buku 428,6 ± 71,70
(16,73)
587,0 ± 246,00
(41,88)
Ruas 452,1 ± 135,30
(29,93)
444,7 ± 75,50
(16,98)
Ujung
Buku 415,7 ± 65,90
(15,86)
430,5 ± 64,10
(14,89)
Ruas 491,5 ± 61,20
(12,45)
533,1 ± 140,40
(26,34)
Keterangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama pada lokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah akibat
faktor jenis bambu, posisi vertikal dan lokasi (ruas dan buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat
pada bilah yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 23.
55
Tabel 23 Hasil analisa korelasi antara KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat
pada bilah
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Tekan
(kgf/cm2)
0,086 0,397
0,616 0,017
Terdapat hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah
dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai keteguhan tekan sejajar serat semakin tinggi
pula.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 24).
Tabel 24 Hasil analisa statistik keteguhan tekan sejajar serat buluh
Posisi Lokasi Tekan Buluh (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 443,9 ± 27,60
(6,21)
465,8 ± 16,88
(3,62)
Ruas 491,7 ± 57,00
(11,59)
492,4 ± 40,00
(8,13)
Tengah
Buku 494,7 ± 66,60
(13,46)
525,0 ± 147,50
(28,09)
Ruas 458,0 ± 54,60
(11,92)
509,8 ± 67,60
(13,26)
Ujung
Buku 580,9 ± 99,10
(17,06)
366,6 ± 163,50
(44,59)
Ruas 665,7 ± 132,10
(19,84)
437,0 ± 232,00
(53,16)
Keterangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan akibat faktor jenis, posisi
vertikal dan lokasi (ruas dan buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat
pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 25.
56
Tabel 25 Hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan tekan sejajar serat buluh
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Tekan
(kgf/cm2)
-0,058 0,135
0,739 0,433
Tidak ada hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar pada
buluh dengan KA dan BJ.
4. 3. 5 Kekuatan Geser Sejajar Serat
Kekuatan geser sejajar serat rata – rata bambu gombong dan bambu mayan
adalah 86,03 kgf/cm2 dan 91,16 kgf/cm
2 (Tabel 26 dan Gambar 34).
Tabel 26 Nilai keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm2)
Gambar 34 Diagram kekuatan geser sejajar serat.
Dari hasil pengujian kekuatan geser sejajar serat pada Gambar 34
menunjukan kekuatan geser cenderung meningkat dari arah pangkal ke arah ujung
pada kedua jenis bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh distribusi jumlah ikatan
pembuluh per satuan luas yang semakin besar dari bagian pangkal ke bagian
ujung.
0
20
40
60
80
100
120
140
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ku
at
Ges
er (
kg/c
m2)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 81,79 76,87 74,09 84,55
Tengah 89,57 88,84 84,31 98,93
Ujung 90,76 88,32 93,91 111,16
57
Perbedaan lokasi pada bambu mayan menyebabkan hasil kekuatan geser
pada lokasi buku lebih besar nilainnya dari lokasi ruas. Hal ini diduga bahwa pada
buku-buku (node), serat-serat ini saling bertautan dan sebagian memasuki
diafragma dan cabang-cabang dapat meningkatkan nilai ketahan terhadap
pembebanan geser sejajar serat. Sedangkan pada bambu gombong tidak terlihat
perbedaan yang jelas terhadap nilai kekuatan geser sejajar serat pada kedua lokasi
(ruas dan buku).
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 27).
Tabel 27. Hasil Analisa Statistik Pengujian Keteguhan Geser Sejajar Serat
Posisi Lokasi Geser (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 76,9 ± 7,68
(9,99)
84,6 ± 12,89
(15,24)
Ruas 81,8 ± 6,98
(8,53)
74,1 ± 12,19
(16,45)
Tengah
Buku 88,9 ± 13,95
(15,70)
98,9 ± 11,15
(11,27)
Ruas 89,6 ± 11,49
(12,82)
84,3 ± 15,66
(18,57)
Ujung
Buku 88,3 ± 18,56
(21,02)
111,2 ± 26,70
(23,99)
Ruas 90,8 ± 10,43
(11,49)
93,9 ± 16,24
(17,29) Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Dari hasil uji analisis statistik tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan geser
akibat faktor jenis, posisi vertikal batang dan lokasi (ruas dan buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan geser sejajar serat
pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 28.
58
Tabel 28 Hasil analisa korelasi antara KA, BJ dan keteguhan geser sejajar serat
Korelasi KA BJ
BJ 0,710
0,000
Geser 0,039 0,292
0,822 0,084
Tidak ada hubungan yang erat antara keteguhan geser sejajar serat dengan
KA dan BJ.