bab iv nilai-nilai identitas dalam konde pria boti dalam...
TRANSCRIPT
83
BAB IV
Nilai-nilai Identitas Dalam Konde Pria Boti Dalam dan Aktualisasinya di dalam
Kehidupan Sehari-hari
Dalam hidup bermasyarakat nilai-nilai dan norma merupakan landasan bagi
seseorang untuk membangun relasinya dengan orang lain. Nilai adalah sesuatu yang
bersifat universal dan dapat dipakai dalam berbagai prespektif, tentu pemakaian nilai
dalam berbagai prespektif akan menimbulkan pemahaman-pemahaman yang berbeda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia nilai didefinisikan sebagai kadar, mutu atau
sifat yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Berdasarkan definisi ini maka
dapat disimpulkan bahwa nilai merujuk kepada sesuatu yang sangat penting dan
berguna bagi kemanusiaan.1 Dengan kata lain, nilai dapat diartikan sebagai sifat atau
kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Dalam penulisan tesis ini, penulis melihat nilai dalam prespektif sosiologi oleh
karena itu penulis akan menjelaskan sedikit mengenai nilai dalam prespektif sosiologi
untuk mengantar pada nilai-nilai identitas yang terkandung dalam konde pria Boti
Dalam. Dengan kata lain ketika hendak berbicara mengenai nilai, perlu lebih dahulu
melihat apa itu nilai, bagaimana ciri dan fungsi dari nilai tersebut.
Dalam ilmu sosiologi nilai memiliki pengertian yang sangat luas. Nilai
dalam sosiologi berhubungan dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu
kondisi dapat terjadi di masyarakat. Adapun pendapat beberapa ahli menganai
pengertian nilai sosial. Soerjono Soekanto mendefinisikan nilai sebagai konsepsi
abstark dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
1 Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 2001), 34
84
buruk. Dengan demikian nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu kelompok
masyarakat. Selain Soerjono, juga pendapat dari Woods dan Robert M. Z. Lawang.
Woods mengatakan bahwa nilai sosial merupakan petunjuk umum yang telah
berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan
sehari-hari. Sedangkan menurut Robert M. Z. Lawang, nilai adalah gambaran
mengenai apa yang diinginkan, pantas, berharga, dan mempengaruhi perilaku sosial
orang-orang yang memiliki nilai tersebut.2
Nilai Sosial memiliki ciri dan fungsi, yaitu: merupakan konstruksi
masyarakat sebagai hasil interaksi antar warga masyarakat. Nilai sosial tersebut
disebarkan di antara warga masyarakat bukan bawaan individu sejak lahir dan
terbentuk melalui sosialisasi. Nilai sosial ini memengaruhi perkembangan diri
seseorang dan cenderung saling berkaitan dan membentuk sistem nilai. Sedangkan
fungsi dari nilai sosial sendiri adalah sebagai landasan, alasan, atau motifasi dalam
segala tingkah laku dan perbuatan seseorang. Nilai sosial ini dapat mengarahkan
masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku dan juga sebagai alat pengawas
perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang mau
berperilaku sesuai dengan yang diinginkan sistem nilai.3 Sebuah nilai akan memiliki
arti bila pada akhirnya nilai tersebut tidak hanya sebatas dimengerti namun dapat
diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat. Nilai akan semakin “bernilai” jika ia
nilai tersebut dihidupi dengan cara diberlakukan.
2 Maryati dan Suryawati, Sosiologi, 35.
3 Maryati dan suryawati, Sosiologi, 37.
85
Pada bab III telah diuraikan mengenai keadaan hidup orang Boti Dalam baik
dari segi agama, sosial, sejarah, asal mula orang Boti Dalam berkonde, dan
bagaimana aturan berkonde itu terus dijaga dari generasi ke generasi. Setelah melihat
hal-hal tersebut, maka dalam bab IV ini penulis membuat analisis berdasarkan teori
yang telah diuraikan dalam bab II dengan hasil penelitian yang ada dalam bab III.
Penulis akan mencoba menyoroti beberapa pertanyaan yaitu: Bagaimana simbol
berperan penting dalam kehidupan masyarakat Boti Dalam, apa yang menjadi
alasannya. Nilai-nilai identitas apa yang ada dalam konde rambut tersebut, dan
bagaimana nilai-nilai tersebut diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat Boti
Dalam. Berdasarkan analisis ini maka penulis akan sampai pada tujuan dari penulisan
tesis, yaitu melihat sejuah mana pemahaman orang Boti Dalam mengenai konde
rambut pria dan melihat nilai-nilai identitas apa yang terkandung dalam konde rambut
tersebut.
4.1 Pentingnya Simbol Dalam kehidupan Masyarakat Boti Dalam
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan beberapa hal yang menunjukan
bahwa simbol penting bagi mereka, yang akhirnya mengantar para pembaca untuk
mengetahui bahwa konde pria juga merupakan suatu simbol yang penting dalam
kehidupan masyarakat Boti Dalam. Nilai yang terkandung dalam simbol-simbol yang
akan dibahas ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan tentunya tidak
terlepas dari nilai dan aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Boti Dalam.
Salah satu bagian dari kebudayaan yang merupakan warisan para leluhur
bagi masyarakat Timor pada umumnya dan Boti Dalam khususnya, yang dapat
penulis lihat sebagai simbol ialah sirih pinang atau dalam bahasa Timor disebutp
86
Puah manus. Ketertarikan penulis untuk melihat sirih pinang sebagai salah satu
simbol, karena didasarkan pada pengalaman maupun pengamatan penulis, bahwa
sirih pinang adalah bagian yang tidak bisa dilepas pisahkan dalam kehidupan
masyarakat Boti Dalam. Hal ini terlihat ketika ada tamu yang berkunjung ke rumah
mereka, maka hal pertama yang akan disuguhkan ialah sirih pinang. Selain itu, bila
bertemu di jalan selain bertegursapa masyarakat Boti Dalam akan saling menukar
sirih pinang. Baik sesudah ataupun sebelum makan, sirih pinang selalu dipakai
sebagai makanan pembuka dan penutup, bahkan penulis pernah mendengar seorang
bapak berkata bahwa “lebih baik tidak makan nasi dari pada tidak makan sirih
pinang”. Tindakan-tindakan ini sebenarnya menunjukan bahwa sirih pinang adalah
sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Timor.
Sirih pinang sebagai simbol yang dipakai masyarakat Boti Dalam tentu
memiliki nilai tersendiri. Pada umumnya sebagian daerah yang ada di Indonesia
memakai atau lebih tepatnya memakan sirih pinang. Beberapa tempat di antaranya
ialah, Papua, Batak, Kalimatan, bahkan untuk daerah Nusa Tenggara Timur sendiri,
hampir setiap suku memakan sirih pinang dan menjadikannya sebagai simbol. Nilai
sirih pinang di setiap daerah hampir sama yaitu sebagai alat untuk membangun relasi,
sebagai tanda persahabatan, dan penghormatan. Berdasarkan pemahaman ini penulis
merasa perlu untuk melihat nilai sirih pinang sebagai simbol dalam kehidupam
masyarakat Boti Dalam, apakah hal tersebut memiliki nilai yang sama atau ada hal
istimewa yang terkandung di dalamnya sehingga simbol dijadikan sebagai suatu yang
penting.
87
Dalam bab III halaman 18 telah dibahas bahwa masyarakat Boti Dalam
memakai sirih pinang untuk membangun relasi di antara mereka dengan cara bila
mereka saling bertemu di jalan atau bertamu ke rumah tetangga, atau pun saudara,
mereka akan saling menyuguhkan sirih pinang. Sirih pinang pun dipakai dalam setiap
acara baik itu perkawinan, kematian, kelahiran maupun ritual-ritual yang mereka
lakukan. Penyuguhan sirih pinang dalam relasi masyarakat Boti Dalam memiliki
makna antara lain; keramatamahan, kekerabatan, dan penghormatan. Selain memiliki
makna-makna tersebut, terdapat juga makna lain lagi yakni sirih pinang sebagai
simbol dalam masyarakat Boti Dalam harga diri mereka.
Bagi Masyarakat Boti Dalam, ketika mereka menerima tamu, yang
terpenting adalah sirih pinang. Penyuguhan minum seperti teh dan kopi tidak terlalu
penting, mereka akan merasa lebih malu, bila sirih pinang tidak ada ketimbangan teh,
kopi dan gula. Oleh karena itu selain makanan pokok, sirih pinang adalah hal wajib
yang selalu ada dalam rumah mereka. Sirih pinang sebagai makna harga diri, terlihat
bila seseorang disuguhkan sirih pinang oleh kerabatnya dan bila ia tidak sempat
membalas dengan kembali menyuguhkan, atau ketika ada orang yang bertamu ke
rumah dan tidak ada sirih pinang maka tuan rumah tersebut akan merasa malu dan
untuk menutupi rasa malunya tersebut, ia mengucapkan kata maaf.
Dari pembahasan di paragraf-paragraf sebelumnya, dapat dikatakan bahwa
sirih pinang adalah makanan yang dipakai masyarakat Boti Dalam sebagai simbol
yang memuat begitu banyak nilai. Berkaitan dengan hal ini, maka penulis rasa
pemikiran Mary Douglas dapat dipakai untuk melihat bahwa makanan adalah simbol
88
yang memiliki peran penting dalam integrasi sosial. Di mana makanan adalah simbol
dalam pola relasi atau hubungan sosial yang dipakai untuk mengekspresikan atau
mengungkapkan apa yang dirasakan oleh manusia.4
Berkaitan dengan pendapat Douglas, maka perlu dilihat bagai mana orang
Boti mengekspresikan apa yang di rasakan oleh mereka melalui sirih pinang. Seperti
yang telah dijelaskan bahwa ketika bertemu dengan seseorang, maka hal pertama
yang akan dilakukan oleh seorang Boti Dalam ialah saling bertukar sirih pinang. Hal
ini sebenarnya merupakan bagian dari cara mereka mengekspresikan dan
mengungkapkan perasaan, yaitu perasaan menghormati, mengekspresikan
kekerabatan yang dibangun dan lebih dari itu sirih pinang bagi masyarakat Boti
Dalam adalah ungkapan rasa kebahagiaan. Ekspresi dan ungkapan perasaan itu
terbukti ketika orang Boti Dalam saling menyuguhkan dan makan sirih pinang, akan
terlihat bahwa ada jalinan keramatamahan di antara mereka. Sirih pinang seakan
merupakan “obat bahagia bagi mereka”. Jika dalam sehari tidak menikmati sirih
pinang bagi mereka hal ini seolah menghilangkan semangat dan rasa sukacita mereka.
Jadi warna merah sirih pinang yang menghiasi bibir mereka seakan menambah aura
kebahagiaan tersendiri atau keindahan tersendiri bagi mereka, sehingga tanpa merah
sirih pinang muka mereka seakan pucat.
Sirih pinang juga adalah bagian dari ekspresi dan ungkapan perasaan, ialah;
ketika ada pertikaian di antara masyarakat Boti Dalam dan saat pertikaian itu telah
4 Mery Douglas, Dechipeing of Meal, (Clifford Geertz, Myth, Symbol and Culture. Jurnal
Academy Of Art and Sciences, 1972), 61.
89
diselesaikan, maka akan ditandai dengan makan sirih pinang bersama. Jadi sirih
pinang dipakai sebagai simbol untuk mengungkapan rasa persaudaraan yang terjalin
kembali di antara mereka. Dalam acara perkawinanpun demikian, ketika hendak
melamar seorang gadis, sirih pinang dipakai sebagai simbol atau dapat dikatakan
sebagai sebuah sarana untuk mengungkapkan perasaan dari si pria tersebut, bahwa ia
mencintai gadis yang hendak dilamarnya. Oleh karena dalam budaya Boti Dalam,
ketika hendak pergi mengenal anak gadis orang, atau pun melamar anak gadis
tersebut, mereka sering menyebutnya dengan istilah Tah puah manus” yang artinya
“makan sirih pinang”. Berdasarkan contoh-contoh ini sebenarnya hendak
menunjukan, bahwa orang Boti Dalam memakai sirih pinang sebagai simbol
ungkapan dan ekspresi kebahagiaan serta cinta kasih mereka.
Pendapat dari Douglas yang menyatakan bahwa makanan dipakai sebagai
simbol untuk mengekspresikan dan mengungkapkan apa yang dirasakan oleh
manusia, bila kembali melihat pada konteks Boti Dalam bukan hanya kedua hal itu
yang terkandung dalam sirih pinang sebagai makanan yang dijadikan simbol. Sirih
pinang tidak hanya merupakan ekspresi dan ungkapan rasa manusia dengan
sesamanya tetapi lebih dari itu, sirih pinang menunjukan penghargaan dan relasi yang
dibangun oleh masyarakat Boti Dalam dengan leluhur mereka atau adanya
keterkaitan dengan dunia lain, dunia mistis, dunia kepercayaan mereka, jadi bukan
hanya persoalan fakta sosial dan fakta kultural, tetapi juga merupakan fakta yang
menunjukan relasi manusia dengan dunia yang transenden. Ketika masyarakat Boti
Dalam memakan sirih pinang sebagai penghargaan terhadap leluhur atau dunia mistis,
90
dikarenakan sirih pinang merupakan tradisi para leluhur yang diturunkan kepada
mereka, sehingga tradisi itu harus tetap dijaga dengan cara menjadikan sirih pinang
sebagai bagian yang tidak terlepas dari kehidupan mereka.
Telah dipaparkan juga bahwa sirih pinang merupakan salah satu dari aturan
Halaika atau bagian dari kepercayaan mereka, sehingga jika aturan itu dilakukan,
maka orang tersebut dianggap menghargai yang ilahi. Hal ini terbukti bahwa setiap
orang Boti Dalam baik itu pria dan wanita selalu membawa tas tempat sirih pinang
mereka kemana-mana, dari hal ini menunjukan bahwa sirih pinang juga
mengungkapkan relasi masyarakat Boti Dalam dengan yang ilahi.
Selain sirih pinang sebagai benda yang dijadikan simbol, adapun simbol
yang juga berwujud pada gerak tubuh.Simbol dalam bentuk gerak tubuh terlihat dari
cara orang Boti Dalam menyuguhkan sirih pinang terhadap tamu yang berkunjung ke
rumah mereka. Berdasarkan pengalaman penulis waktu pergi ke Sonaf (tempat
kediaman raja Boti) cara penyuguhan sirih pinang dilakukan dengan cara
berjongkok,posisi kaki kiri sedikit maju di depan kaki kanandan kedua tangan yang
memegang tempat sirih (Oko Mama) diangkat untuk memberikan sirih pinang.Ketika
penulis melakukan wawancara berkaitan dengan simbol gerak tubuh tersebut, penulis
mendapatkan jawaban bahwa posisi kaki kiri atau pun kanan yang berada di depan
tidak menjadi persoalan, yang menjadi intinya adalah gerakan tubuh seperti itu
memiliki makna penghargaan atau penghormatan terhadap tamu yang datang ke
rumah mereka.
91
Analisis penulis atas gerakan tubuh tersebut. Makna dibalik kaki yang
berjongkok adalah sebagai tumpuan. Arti tumpuan ialah, kaki yang berjalan untuk
bekerja akan mampu menghasilkan dan memenuhi kebutuhan keluarga dengan
demikian ia merupakan tumpuan keluarga. Sedangkan posisi tangan yang terangkat
ke atas, menunjukan bahwa setiap yang di dapat dari kaki yang berjalan dan tangan
yang bekerja, juga harus disyukuri dengan cara berbagi kepada orang lain. Jadi
bahasa tubuh dari penyuguhan sirih pinang tersebut, menunjukan bahwa seseorang
tersebut memberikan yang terbaik kepada orang lain dari semua yang didapatkan
sebagai wujud syukur. Selain itu, gerakan tubuh yang demikian sebenarnya juga
menunjukan kerendahan hati dari tuan rumah dalam menyambut tamu yang datang
berkunjung.5
Simbol sebagai gerak tubuh, merupakan suatu simbol non verbal yang
merupakan ekspresi tubuh manusia yang di dalamnya terdapat maksud yang hendak
disampaikan. Gerak tubuh merupakan bahasa tubuh yang dapat mengungkapkan
pikiran dan perasaan manusia yang paling dalam dan tersembunyi.6 Dari semua yang
telah dibahas mengenai sirih pinang maka dapat dikatakan bahwa sirih pinang
merupakan simbol yang dapat menunjuk pada benda dan juga gerak tubuh. Tanpa
sirih pinang dalam konteks masyarakat Boti Dalam maka relasi akan terasa kaku,
nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur bisa saja punah, oleh karena itu sirih
pinang sebagai simbol dalam masyarakat Boti Dalam sangat penting.
5 Berdasarkan hasil observasi, pada tanggal 24 April 2017.
6 Dori Wuwur Hendrikus, Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi,
Bernegosiasi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 200.
92
Selain sirih pinang, bahasa juga merupakan sebuah simbol penting dalam
kehidupan masyarakat Boti Dalam. Mengacu pada pendapat Whitehead ia juga
mengatakan Bahasa juga dipakai sebagai simbol. Dalam masyarakat Boti Dalam
falsafah hidup mereka tidak hanya berkaitan dengan pegangan hidup, melainkan yang
terpenting adalah pengaruh dari bahasa yang dipakai. Jadi dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa bahasa yang terkandung dalam falsafah hidup masyarakat Boti
Dalam meub onle ate tah onle usif, yang artinya bekerja seperti hamba, makan seperti
raja merupakan simbol yang memuat nilai kerja keras. Semboyan hidup inilah yang
dijadikan sebagai dorongan dan motivasi masyarakat Boti Dalam untuk bekerja keras
sehingga tidak hidup hanya pada belas kasihan dari orang lain.
Kramsch yang dikutip oleh Zainal Rafli mengatakan bahwa, bahasa
berfungsi untuk mengekspresikan, menampilkan dan menyimbolkan realitas budaya.
Dengan bahasa manusia menyampaikan sikap, kepercayaan, dan sudut pandang.7
Berdasarkan pendapat dari para ahli ini maka seperti yang dikatakan Whitehead
bahwa bahasa memiliki kekuatan untuk mendorong emosional seseorang agar
bertindak sesuai dengan bahasa tersebut.
Mengenai pendapat Kramsch, Kalimat meub onle ate, tah onle usif
sebenarnya merupakan sudut pandang, dari masyarakat Boti Dalam. Namun kalimat
yang merupakan sudut pandang ini, tidak berdiri sendiri atau tidak bisa dilepaskan
dari sikap dan kepercayaan mereka. antara sikap, kepercayaan dan sudut pandang
memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Kalimat meub onle ate, tah onle usif
7 Zainal Rafli dan Ninuk Lustyantie, Teori Pembelajaran Bahasa, (Yogyakarta:
Garudhawaca, 2016), 482.
93
ketika dijadikan sudut pandang maka kalimat ini dipakai untuk melihat kedepan dan
menjadi tolak ukur dalam kehidupan mereka, masyarakat Boti Dalam dituntut untuk
bersikap sesuai dengan sudut pandang tersebut. Sudut pandang yang diaktualisasikan
lewat sikap, juga merupakan bentuk dari kepercayaan mereka, sehingga pada
akhirnya dapat dikatakan bahwa kalimat meub onle ate, tah onle usif adalah Bahasa
yang memiliki kekuatan untuk mendorong emosional masyarakat Boti Dalam, dalam
berpikir, bertindak, sebagai wujud dari kepercayaan yang dianut.
Selain simbol dalam kebudayaan, adapun peranan simbol dalam sistem
kepercayaan masyarakat Boti Dalam. Pada umumnya dalam masyarakat tradisional di
Timor, untuk menunjukan yang ilahi mereka menanam dua tiang yang satu tinggi dan
yang satunya lagi pendek. Tiang-tiang tersebut merupakan representasi dari kehadiran
yang ilahi dan masyarakat Boti Dalam pun memakai konsep yang sama hal ini terlihat
dari kedua tiang yang ditanam di depan rumah dan juga di tempat mereka melakukan
ritual. Tiang tersebut merupakan simbol dari kehadiran Uis Neno dan Uis Pah,
sehingga bila orang Boti Dalam melaksanakan doa mereka akan berdiri di depan
kedua tiang kayu tersebut yang mereka lihat mewakili Uis Neno dan Uis Pah. selain
kedua tiang tersebut benda-benda langit pun sering disimbolkan sebagai Uis Neno
dan alam sekitar disimbolkan sebagai Uis Pah. Berdasarkan hal ini maka pendapat
Mercea Eliade dan Paul Tillich dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa simbol
adalah cara mengenal hal-hal religius, atau yang dimaksudkan adalah berkaitan
dengan hal-hal yang transende yang berada di luar batas pemikiran manusia.8
8 Bdk. Mercea Eliade dan Paul Tillic, pada bab II halaman 5,10.
94
Berdasarkan pandapat dari kedua ahli tersebut, penulis ingin mengatakan
bahwa simbol tidak hanya menolong manusia untuk melihat hal-hal yang transenden
itu dalam wujud benda atau apapun yang disimbolkan, misalnya Masyarakat Boti
Dalam mengetahui kehadiran yang Ilahi melalui tiang-tiang atau yang ilahi itu
berwujud benda-benda langit dan alam. Simbol menolong mereka agar tidak sekedar
mengetahui tapi jauh lebih dari itu mengenal nilai-nilai apa yang dimaksudkan dari
simbol itu. Misalkan Uis Pah disimbolkan dengan alam, karena alam adalah wujud
dari Uis Pah,maka alam patuh untuk dijaga, dilestarikan inilah yang dimaksud bahwa
simbol tidak hanya sekedar membantu manusia untuk mengetahui tatapi simbol juga
membantu manusia untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam simbol tersebut.
Simbol-simbol yang telah dibahas sebenarnya merupakan pengantar untuk
menunjukan bahwa ada satu simbol lagi yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat Boti Dalam, yaitu konde yang dipakai oleh para pria. Simbol konde
tersebut memainkan peran penting karena menunjukan identitas diri mereka dan
mengandung nilai-nilai kehidupan yang terus dipelihara dan dilakukan.
Berdasarkan semuanya ini dapat dikatakan bahwa simbol sangat penting
dalam kehidupan masyarakat Boti Dalam karena simbol dapat menolong mereka
untuk memahami hal-hal yang ada diluar pikiran mereka, selain itu simbol
memainkan peran penting dalam interaksi sosial, tanpa simbol relasi menjadi kaku
dan tidak dinamis. Karena itu simbol juga dapat dijadikan sebagai warisan leluhur
yang dapat diteruskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Dalam konteks Boti
Dalam, simbol yang satu berkaitan dengan simbol yang lainnya, nilai yang terdapat
95
dalam suatu simbol memiliki keterkaitan dengan aturan ataupun nilai-nilai yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat Boti Dalam.
4.2 Simbol Kedewasaan
Pada bagian ini penulis ingin mengatakan bahwa kedewasaan juga
merupakan sebuah simbol yang membentuk identitas masyarakat Boti Dalam dan
Simbol kedewasaan dilihat dengan konde yang dipakai mereka. Ketika berbicara
mengenai konde sebagai simbol kedewasaan, perlu membedakan antara simbol
dengan tanda, karena terkadang baik penulis maupun pembaca terjebak dalam dua
istilah tersebut. Konde bukanlah sebuah tanda kedewasaan, melainkan konde
merupakan sebuah simbol kedewasaan. Hal ini dapat dilihat kembali, pada bagian
pemikiran Tillich bahwa simbol berbeda dengan tanda, karena tanda bersifat Unifok
dan dapat diganti, sedangkan simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam
relaitas yang ditujukannya itu, dan sampai pada satu tingkat yang diwakili.9 Berkaitan
dengan hal ini maka penulis dapat mengatakan bahwa konde dalam konteks orang
Boti Bukanlah sebuah tanda kedewasaan, karena bisa saja untuk menunjukan bahwa
seorang Pria Boti Dalam telah dewasa, tanda lain bisa dipakai.
Kedewasaan menjadi sebuah simbol, karena simbol itu dalam konteks orang
Boti tidak hanya berbicara mengenai: konde harus dipakai sebagai tanda yang bisa
dilihat, tetapi lebih dari itu simbol mencakup nilai-nilai kedewasaan yang pada
akhirnya nilai-nilai kedewasaan itu ditandai dengan konde rambut pria Boti Dalam.
Berkaitan dengan yang penulis katakan, dapat ditegaskan lagi dengan pendapat
Herusatoto, bahwa tanda menunjukan pada sesuatu yang dapat dilihat, sedangkan
9 Bdk. Pendapat Paul Tillic dengan yang ada di bab II halaman 7.
96
simbol menunjuk pada sesuatu yang dapat dilihat dan juga tidak dapat dilihat.10
Berdasarkan pemaparan ini tampak bahwa kedewasaan merupakan sebuah simbol
yang di dalamnya terdapat tanda, dan dalam konteks masyarakat Boti Dalam simbol
kedewasaan ditandai dengan konde rambut yang dipakai oleh para pria.
Adapun tanda-tanda kedewasaan yang pada akhirnya membentuk sebuah
simbol yang memuat nilai-nilai kedewasaan yang menunjukan identitas masyarakat
Boti Dalam baik secara individu maupun secara kelompok. Pada umumnya
kedewasaan seseorang dilihat berdasarkan pada usia dan pertumbuhan secara biologis
yakni adanya perubahan bentuk tubuh dan juga kedewasaan yang dapat dilihat dari
aspek sikap dan perilaku. Dalam masyarakat Boti Dalam khususnya untuk pria,
kedewasaan mereka dilihat dengan konde rambut yang mereka pakai.
Dalam bab II dikatakan bahwa, masyarakat Boti Dalam sama seperti
masyarakat pada umumnya, di mana mereka mengukur kedewasaan berdasarkan usia
dan perilaku seseorang. Namun selain kedua hal tersebut saya melihat bahwa ketika
kedewasaan itu dilihat dari perilaku,yaitu kemampuan dalam bekerja. Ukuran
kedewasaan pria Boti Dalam dilihat juga berdasarkan kemampuan mengendalikan
emosi diri, kemampuan untuk berpikir sehat, mampu membuat keputusan sendiri,
mampu menyelesaikan masalah dengan baik, dan memiliki perhatian pada orang lain.
Uraian di atas menunjukan bahwa kedewasaan seorang pria Boti Dalam berkaitan erat
dengan emosionalnya.
Kedewasaan pria Boti Dalam juga berkaitan dengan relasi mereka dengan
yang ilahi. Hal ini dapat dilihat pada bab III halaman 19. Ketika seorang pria Boti
10
Bdk.pendapat Herusatoto dengan yang ada di bab II halaman 8.
97
Dalam hendak berkonde maka dalam ritual yang biasa di sebut Poi Pah, mereka akan
didoakan oleh Usif. Sejak kecil ajaran-ajaran kepercayaan Halaika telah ditanamkan
kepada mereka, di mana salah satu bentuk menjadi seorang Halaika yang baik.
Dewasa secara spiritualitas juga berkaitan dengan sistem kepercayaan
mereka, yang mana sistem kepercayaan juga turut membentuk identitas diri mereka.
adapun pendapat dari Eben Nuban Timo yang talah dijelaskan pada bab II yakni
orang Timor pada umumnya memahami bahwa pada rambut mereka terdapat daya
hidup, oleh karena itu seseorang dilarang untuk memotong rambutnya karena bila
rambut dipotong maka orang tersebut bisa mengalami sakit penyakit.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Boti Dalam, konde rambut yang
digunakan oleh kaum pria merupakan tanda hubungan mereka dengan yang ilahi dan
leluhur mereka, sehingga bila rambut dipotong maka dengan sendirinya mereka telah
melepaskan diri dari nilai-nilai yang membentuk identitas mereka yang disimbolkan
dengan konde rambut tersebut. Konde rambut yang dipakai oleh para pria juga
menunjukkan bahwa mereka taat terhadap perintah Uis Pah untuk berkonde, konde
juga merupakan warisan leluhur yang sehingga dengan berkonde mereka menghargai
para leluhur. Dengan demikian maka kedewasaan secara spiritualitas juga berkaitan
dengan kepercayaan mereka baik kepada leluhur maupun Uis Pah.
Kedewasaan juga dilihat berdasarkan pengaruh dari keadaan yang di
dalamnya seseorang berada. Menurut Antonius Purbiatmadi, kepribadian seseorang
dibentuk dari tiga hal, yaitu: Pertama, keluarga: karena keluarga merupakan tempat
utama dan pertama dalam proses pembentukan pribadi. Artinya keluarga menjadi
pusat internalisasi nilai-nilai atau norma-norma kepribadian. Kedua, sekolah: ada
98
aspek-aspek tertentu yang harus diserahkan kepada lembaga pendidikan, yakni yang
berkaitan dengan peningkatan dan pengembangan intelektual karena orang tua sibuk
bekerja karenanya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mendampingi anak,
maka orang tua membutuhkan mitra lain, yakni lembaga pendidikan atau sekolah.
Ketiga, lingkungan: lingkungan memberikan pengaruh yang besar terhadap
pembentukan pribadi seseorang. Lingkungan dapat memberi pengaruh positif dan
negatif.11
Kedewasaan masyarakat Boti Dalam dipengaruhi juga oleh keluarga dan
lingkungan, karena umumnya masyarakat Boti Dalam tidak bersekolah. Dalam
lingkup keluarga masyarakat Boti Dalam akan diajari ajaran-ajaran Halaika sejak
mereka masih kecil. Pengajaran nilai-nilai tersebut berlanjut sampai pada tahap
dimana seseorang dalam hal ini pria Boti Dalam telah mampu melakukan semua yang
menjadi ajaran Halaika dan hal tersebut ditandai dengan konde rambut yang mereka
pakai. Bukan saja keluarga, lingkungan di sekitar Boti Dalam pun turut berpengaruh
hal ini terlihat pada aturan Halaika yang dihidupi bersama.
Dari pendapat Antonius Purbiatmadi di atas jika dikaitkan dengan konteks
masyarakat Boti Dalam, maka dapat dikatakan bahwa tanpa lembaga pendidikan
formal pun, pembentukan kedewasaan pria Boti Dalam berjalan dapat berjalan
dengan baik. Hal ini dikarenakan didikan dalam keluarga dan lingkungan sekitar
sangat efektif. Jadi dapat dikatakan bahwa pengaruh keluarga dan lingkungan sekitar
sangat besar dalam pembentukan kedewasaan seseorang.
11
Antonius Purbiatmadi, “Biji Sesawi Memindahkan Gunung”, (Yogyakarta: Kanisius,
2010), 59-61.
99
Penjelasan di atas merupakan fakta lapangan, yang menunjukan bahwa
konde rambut adalah simbol kedewasaan baik secara biologis, emosional dan
spiritualitas. Jadi, dengan konde rambut yang dipakai sebagai simbol tersebut
sebenarnya mau menunjukan beberapa hal antara lain: Pertama, pria Boti Dalam yang
memakai konde tersebut dihadapkan pada nilai-nilai yang harus diemban, baik secara
biologis, emosional dan juga spiritualitas dengan demikian ada tuntutan moral bagi
diri pria tersebut untuk terikat dengan nilai-nilai itu dan karena telah terikat dengan
nilai-nilai itu, ia dituntut untuk dewasa.
Kedua, konde rambut sebagai simbol yang mengikat pria Boti Dalam yang
berkonde dalam konteks kedewasaan kelompoknya. Ia menjadi bagian dari kelompok
orang dewasa, yang mana ia dituntut untuk loyal terhadap kelompoknya yaitu
kelompok orang dewasa. Ketiga, konde sebagai simbol juga berkaitan dengan nilai-
nilai sosiologis di mana ia ingi menunjukan bahwa ia berada di golongan orang
dewasa, bukan lagi anak-anak. Karena itu, konde rambut sebagai simbol kedewasaan
memiliki keterkaitan dengan identitas sosial, karena berkaitan dengan diri sendiri dan
juga pada penerimaan orang lain.
Hal ini pula yang dikatakan oleh beberapa ahli yang telah dibahas dalam
bab II, Jan E. Stets dan Peter J. Burke. Mengatakan bahwa identitas sosial berkaitan dengan
hubungan seorang individu dengan kelompok. Di mana individu tersebut ketika hendak
masuk dalam suatu kelompok sosial, ia harus memiliki kesamaan dengan anggota kelompok
tersebut dengan demikian ia akan diterima oleh anggota kelompok tersebut, sebagai bagian
100
dari kelompok itu sebagaimana yang dikatakan Turner in-group.12
Berdasarkan fakta
empiris yang terjadi di masyarakat Boti Dalam, tidak turunan asli Boti Dalam yang
dikategorikan sebagai pria Boti Dalam, tetapi bila ada pria lain yang bukan turunan
asli Boti Dalam, namun bila ia memakai konde rambut maka dengan sendirinya ia
telah menjadi bagian dari masyarakat Boti Dalam.
Dari simbol kedewasaan ini, maka penulis akan melihat lagi hal-hal lain
yang dapat diidentifikasi dari konde rambut yang dipakai oleh pria Boti Dalam
sebagai nilai-nilai yang membentuk indentitas masyarakat Boti Dalam.
4.3 Nilai-Nilai Identitas Yang Terkandung Dalam Konde Rambut Pria Boti
Dalam
Simbol tidak hanya berkaitan dengan benda-benda yang ada disekitar
manusia, melainkan tubuh manusia juga adalah simbol itu sendiri. Dalam deskripsi
tentang tubuh manusia dilihat sebagai simbol untuk menunjukan suatu nilai tertentu.
Karena itu perlu juga untuk melihat bagaimana tubuh berkaitan dengan simbol dan
kaitannya sebagai identitas. Dillistone juga mengatakan bahwa bahwa tubuh manusia
adalah suatu simbol yang tepat karena di dalamnya terdapat banyak unsur. Pendapat
Dillistone ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ardhie Raditya, ia
berpendapat bahwa tubuh tidak hanya terbatas secara biologis tubuh dapat ditinjau
secara sosiologis.13
Berdasarkan teori dari Dillistone dan Raditya dapat dikatakan, bahwa
masyarakat Boti Dalam juga melihat Tubuh tidak hanya terbatas fungsi secara
12
Bdk. Pendapat Jan E. Stets, Peter J. Burke dan Turner, dalam bab II halaman 18. 13
Ardhie Raditya, “Sosiologi Tubuh: Membentang Teori di Ranah Aplikasi”, (Yogyakarta:
Kuakaba Dipantara, 2014), xiii.
101
biologis tetapi lebih dari itu tubuh dilihat sebagai bagian yang dapat menyimbolkan
nilai-nilai tentang kehidupan baik dalam sistem kepercayaan, budaya maupun relasi
sosial. Rambut adalah bagian dari tubuh manusia dan masyarakat Boti Dalam
memakai konde rambut sebagai simbol, di mana mereka memahami bahwa dalam
konde rambut tersebut tersimpan nilai-nilai yang menunjukan identitas mereka. Jadi
identitas masyarakat Boti Dalam tidak hanya dilihat secara fisik melalui konde
tersebut, tetapi lebih dari pada itu identitas diri mereka terbentuk dari nilai-nilai yang
terkandung dalam konde rambut tersebut.
Hal ini dilandaskan pada teori yang telah dijelaskan dalam bab II bahwa di
dalam simbol terdapat nilai-nilai jika dikaitkan lagi dengan pembahasan nilai pada
bagian awal bab ini, Lawang mengatakan bahwa nilai berkaitan dengan perilaku
sosial dan bila di lihat alam teori identitas, identitas terbentuk juga karena
dipengaruhi oleh perilaku sosial suatu kelompok masyarakat.
Nilai-nilai yang terkandung dalam konde pria Boti Dalam dapat diaplikasi
oleh mereka dalam bidang sosial, budaya dan agama. Pria Boti Dalam memahami
konde rambut bukan hanya sebagai identitas diri sendiri, melainkan juga konde pria
Boti Dalam dipahami oleh masyarakat Boti Dalam sebagai identitas bersama atau
identitas sosial.
Berkaitan dengan pemahaman konde pria Boti Dalam sebagai identitas
individu maupun identitas sosial, Jan Stets dan Peter Burke membagi identitas dalam
empat tipe dan dua diantaranya ialah identitas berdasarkan pada perseorangan di
mana sifat diri kelompok diinternalisasikan oleh anggota individu sebagai bagian dari
konsep diri dan tipe berikutnya adalah identitas sosial, identias yang dipakai bersama
102
dalam suatu kelompok.14
Kedua tipe identitas ini saling berkaitan karena pada satu
sisi seorang pria Boti Dalam akan menampilkan diri dengan konde yang dimilikinya
sebagai identitasnya individu, misalkan ia adalah seorang pria, seorang ayah dan
seorang suami. Namun di satu sisi secara individu pria Boti Dalam bertangung jawab
untuk menunjukan nilai-nilai identitas kelompok yang terkandung di dalam konde
rambutnya.
Konde rambut pria Boti Dalam sebagai simbol identitas kelompok terlihat
ketika orang berbicara mengenai suku Boti Dalam, maka yang akan terbayang dalam
benak mereka ialah pria yang berkonde, berkaitan dengan ini konde sebagai identitas
dilihat secara fisik. Namun di satu sisi konde rambut yang memuat nilai-nilai
identitas tersebut dijadikan sebagai identitas kelompok karena semua masyarakat Boti
Dalam dianjurkan untuk menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam konde pria
Boti Dalam, dalam kehidupan mereka. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Hendri
Tajfel bahwa, seorang individu tidaklah dianggap sebagai individu bila individu
tersebut merupakan bagian dari kelompok, dan hal ini sangat berkaitan dengan
identitas sosial.15
Terbangunnya satu identitas sosial yang sama dalam konteks kehidupan
masyarakat Boti Dalam juga karena adanya sikap, keyakinan, nilai-nilai yang sama
dari kehidupan mereka yang membuat mereka terlihat berbeda dengan kelompok
masyarakat yang lain, jadi dapat dikatakan bahwa identitas baik itu individu maupun
14
Jan E. Stets dan Peter J. Burke. “Identity Theory And Social Identity Theory”. (Pullman:
Depertemen Sociology, Washington: State University, 1998), 17-19. 15
Henri Tejfel, “Social Pshicologi (Introduction a ia Psychologie Sociale)”, (Vol.1). Paris:
Larousse.1972. 292.
103
sosial tidak hanya berkaitan dengan identitas fisik melainkan juga dengan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan semuanya ini, maka dapat dikatakan bahwa tubuh merupakan
salah satu bentuk simbol, dan tubuh sendiri merupakan simbol yang memiliki makna
tidak hanya terbatas pada fungsinya secara biologis, tubuh sebagai simbol memuat
begitu banyak unsur sosial yang berkaitan dengan agama, kebudayaan dan lain
sebagainya. Tubuh sebagai simbol dapat menunjukan identitas baik itu secara pribadi
maupun kelompok. Dalam kehidupan masyarakat Boti Dalam konde pria adalah
bagian dari tubuh yang merupakan simbol identitas individu maupun kelompok, dan
identitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan fisik, namun juga di dalamnya
menyimpan nilai-nilai.
4.3.1 Menjadi Panutan
Panutan merupakan makna yang mengandung nilai kesadaran moraldan dari
nilai ini membentuk identitas pria Boti Dalam, baik secara individu maupun secara
kelompok.Makna panutan lebih dilihat untuk pria Boti Dalam yang sudah menikah.
Pada bab III telah dijelaskan mengenai letak konde bagi pria Boti Dalam yang sudah
menikah, letak konde tersebut berada tepat di bagian ubun-ubun kepala atau bagian
atas tulang kepala. Hal ini menunjukan status dan kedudukan pria tersebut dalam
masyarakat Boti Dalam.
Seorang pria Boti Dalam yang telah menyandang status sosial sebagai yang
lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan pria Boti Dalam lainnya, telah
menjadi keharusannya untuk melakukan berbagai hal yang menunjukan bahwa ia
104
memang dapat dijadikan sebagai panutan, ia dituntut untuk berperilaku secara etik
dan moral sesuai dengan nilai yang ada di balik konde tersebut.
Berkaitan dengan pembahasan pada bagian ini, dapat dikatakan bahwa
makna panutan yang terdapat dalam konde pria Boti Dalam yang telah menikah,
menunjukan identitas dirinya. Dan ketika berbicara mengenai identitas, makaAnthony
P. Cohen mengatakan bahwa budaya merupakan identitas yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai, oleh kerena itu budaya harus diterima secara aktif.16
Berdasarkan pendapat
Cohen, penulis ingin berpendapat bahwa konde merupakan salah satu produk budaya
masyarakat Boti Dalam. Di dalam konde tersbut tersimpan nilai-nilai yang
membentuk identitas pra Boti Dalam, dan juga membentuk identitas masyarakat Boti
Dalam. Oleh karena itu konde tidak hanya dilihat sebagai cap untuk menunjukan
bahwa itu adalah identitas, karena identitas tidak hanya persoalan cap tersebut, tetapi
merupakan tindakan. Jadi dalam hal ini, panutan dilihatsebagai identitas yang tidak
hanya terbatas pada tanda, melainkan lebih pada sebuah nilai yang diwujudkan dalam
tindakan.
4.3.2 Berkharisma
Di dalam Konde pria Boti Dalam juga mengandung nilai yang menunjukan
bahwa seseorang berkharisma. Jadi ketika seorang pria Boti Dalam berkonde maka
hal tersebut memiliki makna bahwa ia telah dewasa dan mampu menjadi panutan.
Semakin pria tersebut mampu menjadi panutan dan hidup sesuai dengan aturan-
aturan yang berlaku dalam kepercayaan Halaika maka dengan sendirinya alam akan
memberikan kepadanya kharisma.
16
Bdk. Pendapat Anthony P. Cohen, pada bab II halaman 21.
105
Kharisma yang dimaksudkan ialah seorang pria Boti yang berkonde akan
diberikan kemampuan untuk berbicara dengan alam, atau mendengar apa yang alam
inginkan dan hal ini biasa terjadi ketika adanya ritual-ritual yang dilakukan. Selain itu
ia juga mampu menyembuhkan penyakit seseorang, ketika ada orang yang sakit dan
datang kepadanya ia akan diberitahukan alam mengenai apa penyebab sakit orang
tersebut dan apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut agar sembuh dari
penyakitnya, dan ia juga mahir dalam bertutur sejarah serta mengucapkan kata-kata
doa ketika adanya suatu ritual yang dilaksanakan.
Di dalam konteks ini teori simbol dapat dipakai untuk melihat bahwa
kharisma juga merupakan simbol yang berpengaruh bagi identitas seseorang. Erwin
Goodenough mengatakan bahwa simbol bekerja pada manusia dan simbol memiliki
daya kekuatan yang mempengaruhi manusia untuk bertindak. John H.M. Beattie juga
mengatakan bahwa simbol berada di luar pengalaman manusia dan merujuk pada
suatu realitas lain.17
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, maka dalam konteks
ini kharisma dikatakan sebagai simbol yang memiliki kekuatan, pemahaman tertentu,
dan memberi aura positif kepada seseorang ketika mengunakan simbol itu.
4.3.3 Kerja Keras
Konde pria Boti Dalam juga mengandung makna kerja keras, seperti yang
telah dijelaskan di bagian atas mengenai kedewasaan, telah disinggung bahwa
kedewasaan pria Boti Dalam juga dilihat berdasarkan kerja keras yang mereka
lakukan. Dalam bagian ini makna kerja keras yang terkandung dalam konde para pria
di dasarkan pada semboyan hidup mereka meub onle ate tah onle usif yang artinya
17
Bdk. Pendapat Erwin Goodenough dan Jhon H.M. Beattie, pada bab II halaman 4,5.
106
bekerja seperti hamba makan seperti raja. Semboyan hidup inilah yang dijadikan
sebagai dorongan dan motifasi masyarakat Boti Dalam untuk bekerja keras.
pengertian ini tidak merujuk pada strata sosial, atau pun nilai uang yang didapat,
melainkan pada nilai kerja keras tersebut. Secara umum pemikiran masyarakat telah
terpola bahwa yang menjadi tulang punggung dalam sebuah keluarga adalah para
pria.
Oleh karena itu para pria harus bekerja keras agar bisa menghidupi dan
mencukupkan kebutuhan keluarga. Sehingga kalau pria Boti Dalam akan berkonde
maka hal tersebut harus terlihat dari hasil kerja kerasnya salah satu kerja keras itu
terlihat dari kebun yang telah dimilikinya. Jika sikap kerja kerasnya telah terlihat
maka dengan sendirinya ia telah siap untuk berkonde. Jadi konde yang dipakai oleh
pria Boti Dalam juga menunjukan nilai kerja keras pria tesebut, sehingga semboyan
meub onle ate, tah onle Usif dapat terealisasikan dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan hal ini, maka sesuai dengan yang tertulis dalam Kajian Budaya
Naskah Kuna dikatakan bahwa, kerja keras merupakan sikap dan perilaku yang suka
berbuat sesuatu hal positif dan tidak suka duduk berpangku tangan. Dalam setiap
kegiatan, selalu dilakukan dengan gigi dan sungguh-sungguh. Perilaku ini
diwujudkan dalam hubungannya dengan diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.18
4.3.4 Kebenaran
Nilai-nilai yang telah dipaparkan sebelumnya, menuju pada satu nilai yaitu
kebenaran. Dalam kepercayan Halaika yang dianut oleh masyarakat Boti Dalam
18
Depdikbud, “Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Meougpalo Karakter” (Jakarta:
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), 84.
107
semua ajaran dan aturan yang mereka hidupi, selalu menekankan tentang cara hidup
benar, sehingga masyarakat Boti Dalam selalu melakukan hal-hal yang baik dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang jahat. Penyembahan kepada Uis Neno dan Uis Pah
selalu diwujudkan dengan cara hidup benar. Seperti yang telah dibahas dalam bab III
pada point kepercayaan Masyarakat Boti Dalam, telah dipaparkan mengenai aturan-
aturan yang harus dilakukan dan salah satu aturan tersebut ialah jangan mencuri (kais
mubak). Larangan jangan mencuri sebenarnya memiliki kaitan juga dengan ajaran
untuk bekerja keras. Ketika seseorang mampu bekerja keras, maka ia akan mampu
untuk menghasilkan makanan dan minuman, dengan demikian ia tidak akan mencuri
milik saudaranya. Aturan-aturan ini sebenarnya menunjukan satu nilai yaitu
melakukan kebenaran.
4.4 Aktualisasi Nilai-Nilai Identitas Dalam Kehidupan Masyarakat Boti
Dalam
Konde rambut pria Boti Dalam sebagai simbol identitas merupakan warisan
budaya, yang terus dipakai dan dipelihara oleh masyarakat Boti Dalam secara turun
temurun. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab III bahwa masyarakat Boti Dalam
adalah masyarakat yang masih menjaga keaslian budaya khususnya suku Timor,
sebagai penjaga tradisi para leluhur, masyarakat Boti Dalam tentu menjunjung tinggi
dan sangat menghormati para leluhur atau biasanya disebut roh-roh nenek moyang
sehingga dalam ritual-ritual mereka adapun ritual penghormatan yang ditujuhkan
kepada roh-roh nenek moyang. Konde rambut yang dipakai oleh pria Boti Dalam
menunjukan bahwa mereka masih memiliki hubungan dengan para leluhur. Berkaitan
108
dengan semuanya ini, maka perlu untuk melihat bagaimana masyarakat Boti Dalam
mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka.
4.4.1 Relasi
Nilai-nilai identitas yang terkandung pada konde pria Boti Dalam
diaktualisasikan dalam relasi mereka satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain
nilai-nilai identitas tidak hanya dipelihari dengan mengunakan konde tersebut, tetapi
juga nilai-nilai itu dilakukan dalam kehidupan mereka. Nilai kedewasaan misalnya:
dengan nilai kedewasaan sebagai nilai identitas masyarakat Boti Dalam mampu
membangun kehidupan dengan baik dalam keluarga, kelompok Boti Dalam sendiri
dan juga orang-orang di luar kelompok mereka.
Nilai kedewasaan yang mereka miliki dapat mendorong mereka untuk
mampu bertangung jawab dalam bekerja bagi kehidupan keluarga misalkan dengan
bekerja ia harus mampu menghasilkan makanan dari hasil kebunnya, ia mempunyai
ternak dan memiliki rumah yang layak dihuni. Sementara itu pekerjaan dari pihak
wanita, ia mampu mengurus rumah serta menjaga anak-anak dengan baik.
Relasi yang baik bukan hanya terbangun dalam kehidupan berkeluarga tetap
juga dalam kehidupan kelompok maupun diluar kelompok, dengan cara saling
menghargai satu dengan yang lain, baik dalam sistem kepercayaan maupun dalam
tutur kata dan perilaku setiap hari. Bertanggung jawab dalam melakukan sesuatu dan
membuat keputusan dengan benar, sehingga pada akhirnya kehidupan mereka
menunjukan nilai-nilai yang terkandung dalam konde rambut tersebut sebagai hal
yang harus mereka lakukan.
109
Selain nilai kedewasaan adapun kharisma yang mereka punyai dapat
menjadi alat untuk menolong orang lain. Kharisma yang didapatkan oleh seseorang
Masyarakat Boti Dalam tidak hanya sebagai konsumsi pribadi, melainkan sebagai
karunia yang dapat diaplikasikan untuk kehidupan bersama.
Secara sosial nilai-nilai tersebut dapat menjadi nilai pemersatu dalam
kehidupan masyarakat Boti Dalam. Nilai persatuan itu tidak hanya diterapkan dalam
kehidupan komunitas mereka saja, namun dalam relasi kehidupan antara masyarakat
Boti Dalam dan Boti Luar yang terpelihara dengan baik, dan hal ini telah dijelaskan
pada bab III oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa nilai-nilai identitas yang
terkandung dalam konde rambut tersebut dapat diaktualisasikan oleh para pria Boti
Dalam dan hal ini terlihat dari relasi sosial yang mereka bangun, baik dalam lingkup
keluarga, kelompok mereka dan juga diluar kelompok.
4.4.2 Mental
Nilai-nilai yang terkandung dalam konde pria Boti Dalam juga memiliki
pengaruh bagi mental masyarakat Boti Dalam secara umum, baik itu dari anak-anak
sampai kepada orang dewasa. Seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya,
bahwa di dalam konde pria Boti Dalam tersebut memiliki makna bekerja keras
dengan didasarkan pada semboyan hidup mereka meub onle ate, tah onle usif”.
Semboyan hidup inilah yang mendorong masyarakat Boti Dalam untuk
bekeja. Semboyan hidup ini tidak hanya berkaitan dengan dorongan untuk bekerja
keras, namun di satu sisi semboyan yang terkandung dalam konde rambut pria Boti
Dalam juga menanamkan mental baik bagi mereka. Perintah bekerja keras yang
terkandung dalam semboyan hidup mereka, pada akhirnya mengubah pola pikir
110
orang-orang Boti Dalam bahwa kalau ingin menikmati yang enak mereka harus
bekerja keras, mereka tidak boleh menerima segala sesuatu dengan gratis.
Masyarakat Boti Dalam tidak mau menerima bantuan secara gratis, mereka
memiliki prinsip bahwa yang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
mereka harus didapatkan dengan usaha dan kerja keras mereka. Semboyan hidup ini
membentuk mental masyarakat Boti Dalam untuk menjadi orang-orang yang
berusaha dan mandiri. Pembentukan mental kepada masyarakat Boti Dalam, dimulai
sejak anak-anak dan hal ini dapat dilihat dalam pemaparan dalam bab III, berkaitan
dengan ajaran melalui pendidikan non formal yaitu melalui nasihat-nasihat yang
didapat dalam keluarga maupun yang didapat dari petuah-petuah raja. Nilai kerja
keras didasarkan pada semboyan hidup masyarakat Boti Dalam diwujudnyatakan
melalui mental-mental yang tidak mau mengharapakan belas kasihan orang lain dan
mental-mental gratis.
4.4.3 Penghargaan Terhadap Tubuh
Dalam penulisan ini, konde rambut dilihat sebagai bagian dari tubuh
manusia. Konde rambut yang adalah bagian dari tubuh manusia dipakai sebagai
sebuah simbol untuk menyimpan dan menyatakan nilai-nilai atau makna yang
terkandung di dalamnya. Pada bagian penghargaan terhadap tubuh ini, penulis akan
melihat tubuh secara fisik. Di mana dalam konteks sekarang banyak orang yang tidak
lagi mampu menghargai tubuhnya. Kebanyakan orang akan menilai dan akan merasa
tidak puas terhadap tubuhnya, dan hal ini adalah suatu hal normal yang terjadi pada
sebagian besar orang.
111
Penilaian terhadap tubuh baik secara sosial maupun individu, dapat
menghasilkan berbagai macam hal, umumnya masyarakat telah terpola dengan ciri-
ciri tubuh ideal sehingga banyak yang berlomba-lomba untuk bisa memiliki tubuh
yang ideal. Bukan hanya itu dalam era globalisasi ini, gaya hidup barat atau pun dari
negara-negara maju lainnya sangat mendominasi, sehingga orang-orang kadang suka
untuk mengubah gayanya mulai dari bentuk badan, muka, rambut dan lain
sebagainnya. Berdasarkan realita ini, maka salah satu nilai yang terkandung dalam
konde pria Boti Dalam dapat menolong kita untuk melihat bagai mana konde rambut
tersebut menunjukan penghargaan kepada pencipta dengan cara memelihara dan
menghargai tubuhnya.
Konde rambut pria Boti Dalam memiliki arti penghargaan terhadap tubuh
sebagai ciptaan. Penghargaan terhadap tubuh tersebut merepresentasikan
penghargaan terhadapp sang pencipta. Masyarakat Boti Dalam memiliki prinsip
bahwa manusia tidak memiliki andil untuk mengurangi atau menambahkan apa yang
telah diberikan pencipta bagi mereka, oleh karena itu tugas manusia sendiri adalah
menjaga dan merawat yang telah ada dalam diri mereka sehingga setelah
memutuskan untuk berkonde para pria dilarang memotong rambut mereka.
Dalam konteks sekarang Ketidakpuasan terhadap tubuh secara keseluruhan
ataupun bagian-bagian tubuh tertentu, yang diasosiasikan dengan menurunnya
penghargaan terhadap diri, sehingga menyebabkan sebagian orang berusaha
memperbaiki penampilan fisiknya. Perasaan tidak puas terhadap tubuhnya
menyebabkan orang memiliki pikiran dan perasaan negatif dalam menilai tubuhnya
sendiri. Persepsi terhadap tubuh seringkali mengalami penyimpangan yang
112
disebabkan karena kurang percaya diri, rasa tidak puas dengan keadaan fisiknya dan
mempunyai persepsi yang salah terhadap tubuhnya.19
Ketidakpuasan terhadap tubuh, terutama apabila diikuti dengan adanya
perasaan benci terhadap tubuh, merupakan suatu ekspresi dari harga diri yang rendah.
Perasaan tersebut berasal dari perasaan benci terhadap tubuh yang mendasar. Di sisi
lain persepsi terhadap oleh karena itu kepedulian kepada citra tubuh dapat terjadi
dengan baik bila sering mendapat penilaian positif dari lingkungan sekitar, dengan
hal seperti ini akan membawa penghargaan yang tinggi terhadap diri orang yang
menerima pujian atau penilaian positif tersebut. 20
Penghargaan terhadap tubuh dimulai dari penilaian terhadap tubuh, dalam
konteks masyarakat Boti Dalam, mereka tidak melakukan penilain secara fisik
terhadap tubuh, namun mereka lebih melihat pada sifat dan perilaku. Jika saat ini
masyarakat modern melihat bahwa tubuh mereka harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman, sehingga akhirnya menghasilkan rasa tidak percaya diri bila
standar ideal itu tidak dicapai, dan dengan demikian menurunlah penghargaan
terhadap diri sendiri.
4.5 KESIMPULAN
Identitas tanpa sebuah simbol bukan merupakan sebuah identitas.Dalam
simbol terdapat terdapat nilai-nilai yang pada akhirnya membentuk identitas, dan
identitas yang ditunjukan melalui simbol, secara langsung akan berkaitan dengan
identitas pribadi dan identitas kelompok. Dalam konteks Boti Dalam para pria Boti
19
Annastasia Melliana S, “Menjelajah Tubuh Perempuan Dalam Mitos Kecantikan”,
(Yogyakarta: LkiS, 2006), 102. 20
Annastasia, “Menjelajah” 106,114.
113
wajib untuk berkonde, karena pada konde tersebut terdapat nilai-nilai yang
membentuk identitas diri mereka dan juga identitas kelompok.
Konde merupakan sebuah identitas, maka seorang pria Boti Dalam yang
tidak menggunakan konde dengan sendirinya menunjukan bahwa ia bukan pria Boti
Dalam lagi, walaupun ia berasal dari ibu dan ayah yang merupakan orang asli Boti
Dalam dan akhirnya ia akan disebut “orang Boti Luar”. Hal ini menunjukan bahwa
simbol memiliki kekuatan yang sangat besar bahkan simbol jauh melampaui garis
keturunan.
Kekuatan dari simbol terletak pada nilai-nilai luhur yang masih terus
dihidupi dan dipelihari dalam konde rambut tersebut. Sehingga apabila seorang pria
Boti Dalam tidak berkonde, ia akan kehilangan identitasnya sebagai seorang pria Boti
Dalam, dan fakta membuktikan bahwa bila ada pria dari suku lain yang menikah
dengan perempuan Boti Dalam dan bila ia ingin menjadi bagian dari orang Boti
Dalam, ia harus memakai konde karena dengan memakai konde rambut tersebut ia
telah menyandang identitas sebagai pria Boti dalam. Sekali lagi penulis mau
menegaskan bahwa identitas tidak hanya terbatas pada konde yang dipakai namun
berkaitan dengan nilai-nilai luhur tersebut membentuk identitas dirinya.
Ketika seseorang pria Boti Dalam berkonde maka nilai-nilai luhur sebagai
identitas yang terkandung dalam konde tersebut akan diaktualisasikan dalam
kehidupan mereka baik secara individu maupun kelompok, dan hal ini terlihat dari
bagaimana seseorang mampu membangun relasi yang baik dalam keluarga,
komunitas maupun dengan orang-orang yang ada di luar komunitas tersebut. nilai-
nilai identitas yang terkandung dalam konde rambut pria Boti Dalam memiliki
114
keterkaitan satu dengan yang lainnya didasarkan aturan dan norma yang berlaku
dalam kepercayaan Boti Dalam yaitu Halaika.
Dari analisis yang telah penulis lakukan, penulis memiliki suatu penyataan,
bahwa Konde bagi pria Boti Dalam merupakan identitas mereka, dan karena itu
konde melampaui segala hal dalam kehidupan mereka, karena di dalam konde
tersebut memuat hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan
Tuhannya.