bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. kondisi geografis … · 2013. 3. 15. · 17 bab iv hasil...

38
17 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Geografis dan Pemerintahan Kota Salatiga Salatiga terletak di sebelah selatan Semarang dengan luas wilayah 295 KM 2 , dengan ketinggian 580 M di atas permukaan laut. Luas wilayah administrasi Salatiga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan sejarah kota ini. Tidak diketahui secara pasti luas dan batas wilayah Salatiga sampai pada pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusannya pada tanggal 13 Februari 1895 tentang penghapusan Kabupaten Salatiga menjadi sebuah Distrik Salatiga, Afdeeling Ambarawa, Kabupaten Semarang, Karesidenan Semarang. Salatiga memiliki iklim yang sejuk, agak lembab dan memiliki pemandangan indah karena terletak di lereng Gunung Merbabu dan Ungaran. Pada akhir tahun 1905, populasi hampir 115.000 jiwa yang terdiri dari orang Eropa, orang China, beberapa orang Arab dan Asiatik asing lainnya. Sedangkan pada tahun 1915 populasi hampir 396.000 jiwa. Distrik Salatiga dibagi menjadi empat sub distrik, yaitu Salatiga, Bringin, Getasan dan Tuntang (Encyclopedie van Nederlandsch Deel VI) Dalam St. No. 35 tahun 1895, Salatiga tidak lagi menjadi sebuah kabupaten karena kedudukan Bupati digantikan dengan seorang Patih yang bernama Raden Soemowidjojo dari tahun 1904 1919 kemudian digantikan oleh Raden Mas Soerohamiprodjo pada tahun 1919-1928.

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 17

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Kondisi Geografis dan Pemerintahan Kota Salatiga

    Salatiga terletak di sebelah selatan Semarang dengan luas wilayah

    295 KM2, dengan ketinggian 580 M di atas permukaan laut. Luas wilayah

    administrasi Salatiga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan

    sejarah kota ini. Tidak diketahui secara pasti luas dan batas wilayah

    Salatiga sampai pada pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat

    Keputusannya pada tanggal 13 Februari 1895 tentang penghapusan

    Kabupaten Salatiga menjadi sebuah Distrik Salatiga, Afdeeling

    Ambarawa, Kabupaten Semarang, Karesidenan Semarang.

    Salatiga memiliki iklim yang sejuk, agak lembab dan memiliki

    pemandangan indah karena terletak di lereng Gunung Merbabu dan

    Ungaran. Pada akhir tahun 1905, populasi hampir 115.000 jiwa yang

    terdiri dari orang Eropa, orang China, beberapa orang Arab dan Asiatik

    asing lainnya. Sedangkan pada tahun 1915 populasi hampir 396.000 jiwa.

    Distrik Salatiga dibagi menjadi empat sub distrik, yaitu Salatiga, Bringin,

    Getasan dan Tuntang (Encyclopedie van Nederlandsch Deel VI)

    Dalam St. No. 35 tahun 1895, Salatiga tidak lagi menjadi sebuah

    kabupaten karena kedudukan Bupati digantikan dengan seorang Patih yang

    bernama Raden Soemowidjojo dari tahun 1904 – 1919 kemudian

    digantikan oleh Raden Mas Soerohamiprodjo pada tahun 1919-1928.

  • 18

    Setelah itu jabatan Patih dihapus dengan berubahnya status gementee

    Salatiga menjadi stadsgementee (Emy Wuryani, 2006: 56).

    Perkembangan sistem pemerintahan di Salatiga tidak terlepas dari

    tuntutan orang-orang Eropa yang tinggal di Salatiga. Mereka menuntut

    pemerintah Hindia Belanda supaya Salatiga diberi status gementee yang

    kemudian disetujui oeh kerajaan Belanda pada tanggal 25 Juni 1917.

    Menurut Handjojo, alasan Salatiga dijadikan suatu gementee ialah karena

    Salatiga memiliki letak yang strategis diantara kota Solo, Semarang dan

    Magelang. Kota ini merupakan tempat peristirahatan orang-orang kaya dan

    kulit putih. Alasan kedua ialah bangsa Belanda yang bertempat tinggal di

    Salatiga tidak senang berada di bawah pemerintahan seorang Bupati

    pribumi (Handjojo, 1973:14)

    Gementee Salatiga dipimpin oleh seorang Burgermeester

    (walikota) yang ditunjuk oeh Gubernur Jenderal. Adapun yang menjadi

    daerah gementee Salatiga meliputi desa yang selama ini menjadi jalur

    utama kegiatan ekonomi, pusat kegiatan pemerintahan dan tempat tinggal

    orang-orang Eropa, yaitu Salatiga atau Krajan, Sidorejo Lor,

    Kutowinangun, Kalicacing, Ledok, Gendongan dan Mangunsari (Emy

    Wuryani, 2006:58)

    Sedangkan menurut mantan walikota Salatiga, Handjojo, didirikan

    stadsgementee Solotigo yang wilayahnya terdiri dari 8 desa, diambil dari

    wilayah Asistenan Solotigo, yaitu:

  • 19

    1. Sebagian besar dari Desa Sidorejo Lor sekarang

    2. Sebagian besar dari Desa Solotigo Krajan sekarang

    3. Sebagian besar dari desa Kutowinangun sekarang

    4. Seluruh Desa Kalicacing sekarang

    5. Kurang lebih separo dari Desa Mangunsari sekarang

    6. Sebagian besar dari Desa Gendongan sekarang

    7. Sebagian kecil dari Desa Tegalrejo sekarang

    8. Sebagian kecil dari Desa Ledok sekarang

    Beberapa bagian dari desa tidak dimasukkan dalam stadsgementee

    karena penduduknya sedikit, merupakan tanah sawah dan tegalan serta

    mencari batas yang lurus dan menggunakan jalur atau sungai sebagai

    batas. Terbentuknya stadsgementee bertujuan untuk menjamin

    kesejahteraan golongan atas yaitu bangsa Belanda.

    Pada tanggal 25 Agustus 1937, Salatiga termasuk dalam distrik

    Semarang yang dikepalai oleh Raden Soegiri Soemobroto (Reegerings

    Almanak, 1940:325). Dengan demikian struktur pemerintahan Salatiga

    pada tahun 1895-1942 mengalami perubahan dan terdapat dua sistem

    pemerintahan yang bersifat kolonial dan tradisional. Sistem pemerintahan

    kolonial untuk gementee Salatiga, sedangkan sistem pemerintahan

    tradisional untuk desa-desa Salatiga yang tidak termasuk ke dalam sistem

    pemerintahan gementee. Sistem pemerintahan ini berlangsung sampai

    pemerintah militer Jepang menduduki Salatiga pada tanggal 9 Maret 1942.

  • 20

    B. Pendudukan Jepang di Salatiga

    Bala tentara Jepang memulai pendaratannya di Pulau Jawa di

    daerah Krawang dan Banten (Jawa Barat) dan Kragan (Jawa Tengah).

    Jepang mendarat di Kragan, sebuah daerah di sebelah timur kota Rembang

    pada tanggal 28 Februari dan tanggal 1 Maret 1942 dengan kekuatan 6

    divisi, yang kurang lebih berjumlah 50.000 orang. Melalui daerah Kragan,

    tentara Jepang memasuki daerah Purwodadi, Grobogan, Cepu, dan

    Surakarta. Di tempat ini bala tentara Jepang bergerak ke dua arah yaitu ke

    Surakarta dan Boyolali, dan keduanya bertemu di kota Klaten. Dari daerah

    ini tentara Jepang melanjutkan perjalanannya menuju Jogyakarta,

    Magelang, dan Semarang. Setelah diadakannya perjanjian Kalijati pada

    tanggal 8 Maret 1942, kekuasaan Hindia Belanda resmi diserahkan kepada

    pemerintah Jepang. Sehingga Indonesia mulai diperintah oleh Jepang yang

    luas wilayahnya meliputi wilayah Hindia Belanda dahulu. Luas wilayah

    kekuasaan Jepang di Jawa Tengah dapat dikatakan sama dengan luas

    wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Yang membedakan hanyalah

    mengenai nama jawatan pemerintahan dan sebutan wilayah pengelolaan

    administrasi (DEPDIKBUD, 1980:19).

    Menurut Handjojo, bala tentara Jepang menduduki kota Salatiga

    datang dari arah Solo dengan kekuatan kurang lebih setengah batalyon.

    Setelah pemerintahan Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada tanggal

    9 Maret 1942, mulailah masa pendudukan Jepang di Salatiga yang ditandai

    dengan penurunan bendera Hindia Belanda yang dikibarkan di rumah

  • 21

    Asisten Residen Nuson dengan disaksikan oleh seorang opsir Jepang

    (Handjojo, 1975: 17). Pada saat Jepang masuk Salatiga, tidak ada

    perlawanan ataupun pertempuran dengan Koninklijk Nederlands-Indisch

    Leger (KNIL) maupun polisi, karena lima hari sebelumnya tentara Hindia

    Belanda telah meninggalkan Salatiga menuju Magelang kemudian Jawa

    Barat dengan tidak merusak gedung-gedung seperti apa yang telah

    direncanakan oleh Vernielings Corps atau Pasukan Pengrusak.

    Setelah itu diikuti tindakan-tindakan lain dari pemerintah Jepang

    dengan mengeluarkan aturan yang bersifat menyerupai Jepang. Pada saat

    itu Salatiga masih dipimpin oleh walikota yang merangkap Asisten

    Residen. Asisten Residen Salatiga Nuson masih diwajibkan bekerja kurang

    lebih satu bulan lamanya sampai akhirnya seluruh nama jawatan diganti

    dengan bahasa Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, semua pemerintahan

    Hindia Belanda dihapuskan dan untuk nama seluruh jawatan dirubah

    dengan istilah-istilah Jepang, seperti:

  • 22

    Tabel 1

    Pergantian Nama Jawatan Salatiga Tahun 1942-1945

    No Nama Jawatan Sebelum

    Pendudukan Jepang

    Nama Jawatan Pada Masa

    Pendudukan Jepang

    1. Residen Syucokan

    2. Asisten Residen Sidokan

    3. Bupati Kunco

    4. Patih Fuku Kenco

    5. Walikota Shityo

    6. Wedana Gunyto

    7. Asisten Wedana Sontyo

    8. Lurah Kutyo

    9. Kasunanan/ kasultanan Kooti

    10. Karesidenan Shuu/ Syuu

    11. Kabupaten Ken

    12. Kotapraja Si

    13. Kawedanan Gun

    14. Asistenan Son

    15. Desa Ku

    16. Jawatan Kepolisian Keisatsu

    17. Jawatan Pengadilan Negeri

    Tihoo Hooun

    18. Jawatan Kejaksaan Tihoo Kensatsu Kyoku

    19. Jawatan Penerangan Sendenka

    20. Jawatan Pertanian Noo-ka

    21. Jawatan Perikanan Suisan-ka

    22. Jawatan Kehutanan Rin-ka

    23. Jawatan Pendidikan Sungaka

    24. Jawatan Bank Rakyat Syomin Ginko

    25. Jawatan Listrik Denki-ka

    26. Jawatan Pekerjaan Umum

    Dobu-ka

    27. Sekolah Pertama Syotoo Kokumin Gakko

    28. Sekolah Rakyat Kokumin Gakko

    29. Sekolah Menengah Tjuntoo Gakko

    Sumber : Handjojo, 1973:18-19

    Menurut Undang-Undang No. 27 tentang perubahan tata

    pemerintahan daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali dua koci

    Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas:

  • 23

    1. Syuu (Karesidenan), yang terbagi atas Si dan Ken

    2. Si (Kotapraja atau sama dengan “stadsgementee” dahulu), dipimpin

    Shityo (Walikota). Shityo pertama R. Patah

    3. Ken (Kabupaten atau sama dengan “regentschap” dahulu), dipimpin

    Kenjo (Bupati). Daerah ken terbagi atas gun

    4. Gun (Kawedanan atau sama dengan “district” dahulu),dipimpin

    Guntyo (Wedono)

    5. Son (Kecamatan atau sama dengan “onderdistrict” dahulu), dipimpin

    oleh Shontyo. Contoh: Bringin-Son

    6. Ku (Desa), dipimpin Kutyo atau Lurah/ Kepala Desa

    Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah daerah yang tertinggi

    ialah Syuu (Karesidenan) yang dipimpin oleh Syucokan. Dalam tugasnya,

    Syucokan dibantu oleh Cokan kambo (Majelis Permusyawaratan Cokan)

    yang memiliki tiga bu (bagian), yaitu Naseibu (bagian pemerintahan

    Umum), Keizabu ( bagian ekonomi) dan Keisatsubu (bagian kepolisian).

    Untuk Pulau Jawa sendiri terdapat 17 Syuu (karesidenan). Di Jawa

    Tengah terbagi atas 5 Syuu, yaitu Pekalongan, Banyumas, Pati, Kedu dan

    Semarang. Sedangkan wilayah Jepara-Rembang diganti namanya menjadi

    Pati Syuu. Salatiga sendiri masuk Karesidenan Semarang/ Semarang Syuu

    (DEPDIKBUD, 1979:13). Berdasarkan Osamu Seirei No.17 tanggal 15

    Desember 2602, desa Tanduk, Sidomulyo, Banyuanyar dan Seboto yang

    semula masuk Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang dimasukkan ke

    Surakarta Kooci (Kawedanan Ampel Kabupaten Boyolali).

  • 24

    Pada bulan Mei tahun 1942, Raden Patah diangkat menjadi Asisten

    Residen kota Salatiga. Namun, karena Raden Patah berhalangan, maka

    digantikan sementara oleh Raden Roeslam sampai akhir Oktober 1942.

    Kemudian pada tanggal 1 November 1942 Raden Soemardjo yang semula

    Guntyo Tengaran ditetapkan menjadi Shityo Salatiga sampai tanggal 30

    Juni 1945 dan digantikan oleh Soemitro (Handjojo, 1973:21).

    Pemerintah Jepang juga membentuk Tonari Gumi atau yang biasa

    dikenal dengan sebutan Rukun Tetangga (RT). Tujuan dibentuknya Tonari

    Gumi ini ialah untuk memudahkan pemerintah Jepang mengawasi

    masyarakat secara langsung dan supaya segala perintah serta informasi

    dari Jepang kepada rakyat, misalnya pengerahan tenaga dapat disampaikan

    dengan mudah dan cepat.

    Berbagai kebijakan mulai diberlakukan pemerintah Jepang. Pada

    tanggal 20 Maret 1942 pemerintah Jepang mulai mengeluarkan peraturan

    mengenai pemasangan bendera Merah putih yang sementara dilarang

    untuk dikibarkan. Sebagai gantinya rakyat diwajibkan mengibarkan

    bendera Hinomaru pada setiap jawatan, kantor, dan bangunan resmi

    lainnya. Lagu Indonesia Raya juga dilarang untuk dinyanyikan. Lagu

    kebangsaan yang boleh dinyanyikan ialah Kimigayo.

    Semua pegawai harus menandatangani surat pernyataan setia

    kepada pemerintahan bala tentara Dai Nippon dan diharuskan memakai

    ban lengan putih dengan bendera merah di tengah yang berarti bendera

    Jepang. Selanjutnya, tahun Masehi disesuaikan dengan tahun Jepang yaitu

  • 25

    terpaut 660 tahun lebih tua, misalnya tahun 1944 Masehi menjadi tahun

    2604. Waktu Indonesia juga disesuaikan dengan tahun Jepang yang terpaut

    1,5 jam lebih dahulu, misalnya pukul 04.00 menjadi pukul 05.30. Sejak

    saat itu juga rakyat diwajibkan marayakan hari raya Tenchosetsu yakni

    hari lahirnya Kaisar Hirohito (Suwarti, 2004:16). Pemerintah Jepang di

    Salatiga juga mewajibkan setiap pegawai kantor dan anak-anak sekolah

    untuk melakukan apel dengan menaikkan bendera Jepang sambil

    menyanyikan lagu kebangsaan negara Jepang, Kimigayo, dengan

    menghadap ke Timur Laut sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar

    Tenno.

    Pada masa pendudukan Jepang, kondisi masyarakat Salatiga sangat

    memprihatinkan. Pada awalnya memang baik-baik saja karena beberapa

    waktu sebelum Jepang datang, di Salatiga sudah terdapat orang Jepang

    yang berdagang di sekitar Pecinan (Jalan Jenderal Sudirman) sebagai

    mata-mata. Hanya saja masyarakat Salatiga dan Belanda kurang bisa

    membedakan karena mirip dengan etnis Cina. Mereka berkomunikasi

    dengan baik dengan masyarakat Salatiga dan mampu berbahasa Indonesia.

    Pada tanggal 9 Maret 1942 tentara Jepang masuk ke Salatiga. Sejak

    saat itulah kondisi kota Salatiga kacau, terutama dalam pemerintahannya.

    Orang-orang Belanda ditawan dan dimasukkan di kamp-kam interniran,

    yang dibagi menjadi beberapa tempat, yaitu Roncali (dulu istana Djoen

    Eng), Ambarawa dan Banyubiru. Sementara KNIL dan polisi telah dibawa

    ke Magelang dan Kalijati lima hari sebelum kedatangan Jepang. Sisa-sisa

  • 26

    KNIL dan polisi ditawan di Cilacap. Kondisi yang mencekam

    menimbulkan teror tersendiri bagi masyarakat Salatiga (wawancara

    dengan Eddy Supangkat 6 jnuari 2013)

    Setelah teror terhadap penduduk berkebangsaan Belanda, teror

    selanjutnya terhadap masyarakat pribumi. Tentara Jepang mendatangi

    rumah penduduk secara door to door kemudian menggeledah isi rumah

    untuk kemudian menyita kamera, radio, lampu senter serta senjata tajam.

    Tentara Jepang menyita kamera atau foto tustel milik masyarakat sehingga

    tidak ada yang sempat mengabadikan momen ketika Jepang berada di

    Salatiga.

    Ketakutan pihak Jepang membuat mereka mengontrol siaran radio

    serta menyegelnya supaya masyarakat tidak dapat mendengarkan siaran

    luar negeri sedangkan siaran lokal masih diperbolehkan. Berikut

    merupakan program radio standar dari Stasiun Pemancar Jakarta pada

    bulan April 1944 :

  • 27

    Tabel 2

    Program Radio (Stasiun Pemancar Jakarta) Tahun 1942-1945

    Pukul Program

    7.30 Bahasa Jepang

    7.40 Pengantar siaran hari ini

    8.00 Pengumuman berita pemerintah

    8.30 Berita dalam bahasa Jawa

    8.45 Gerak badan (taisho) melalui radio

    9.00 Berita dalam bahasa Sunda

    9.15 Musik Barat

    9.45 Jeda

    11.00 Ceramah untuk wanita atau musik

    11.30 Musik keroncong atau gamelan

    13.00 Gerak badan (taisho) melalui radio

    13.30 Orkes

    14.00 Berita dalam bahasa Indonesia

    14.15 Musik

    15.30 Jeda

    17.45 Pelajaran bahasa Jepang

    18.00 Siaran untuk anak-anak (“Bahasa Jepang Sederhana”)

    18.05 Siaran untuk anak-anak (pelajaran menyanyi Jepang)

    18.30 Berita dalam bahasa Indonesia

    18.45 Berita dalam bahasa Jawa

    19.00 Berita dalam bahasa Sunda

    19.15 Musik

    19.30 Pengumuman dari kantor Kotamadya Khusus Jakarta

    19.40 Musik

    19.55 Menyanyi, keroncong

    20.10 Bahasa Jepang, music

    20.30 Orkes

    21.00 Komentar berita

    21.30 Berita dalam bahasa Indonesia

    21.45 Hiburan

    22.00 Berita dalam bahasa Jawa

    22.30 Berita dalam bahasa Sunda

    23.00 Musik

    24.00 Hiburan

    24.25 Pengumuman dari Kantor Kotamadya Khusus Jakarta

    24.30 Penutup

    Sumber : Aiko Kurasawa, 1993:256

  • 28

    Berita dalam bahasa Jepang tidak ditujukan bagi warga Jepang

    melainkan untuk orang Indonesia yang belajar bahasa Jepang. Program

    radio yang ada di Tabel 2 diatas merupakan pengaturan untuk wilayah

    Jakarta. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah hanya bahasa Jawa saja

    yang dimasukkan. Menilai dari programnya, peran radio dalam

    propaganda pemerintah Jepang beraneka ragam. Ia berfungsi sebagai

    sarana yang paling cepat dan akurat untuk menyebarkan seluruh

    pengumuman pemerintah.

    Senjata tajam seperti parang dan pedang semua disita oleh tentara

    Jepang. Hal ini dilakukan untuk menghindari perlawanan dari masyarakat.

    Masyarakat dipaksa mengumpulkan besi-besi tua di sepanjang Jalan

    Tuntang (sekarang Jalan Diponegoro) yang masih dipakai, seperti pagar

    besi, tiang listrik dan tiang telepon yang tidak dipasang. Besi-besi tua yang

    terdapat di makam Tionghoa dan makam Belanda di Kerkhof juga diambil.

    Kewajiban masyarakat untuk menanam tanaman jarak dan rosela

    diberlakukan. Tanaman ini menjadi tanaman wajib untuk kebutuhan bahan

    bakar. Baik pria maupun wanita diwajibkan menanam tanaman ini

    (wawancara dengan Suwarni 4 Januari 2013). Bahkan Salatiga yang ketika

    jaman pemerintah Hindia Belanda mendapat julukan “Salatiga de

    Schoonste van Midden Java” atau Kota Salatiga yang Terindah Se-Jawa

    Tengah karena banyak bunga-bunga seperti alamanda di sepanjang jalan,

    menjadi tak indah lagi karena bunga-bunga tersebut diganti dengan

    tanaman jarak.

  • 29

    Pemuda-pemuda yang terlihat sehat dan fisiknya bagus

    dipekerjakan menjadi romusha yang dijanjikan akan diberi upah yang baik

    dan dipekerjakan di tempat yang bagus. Karena pada saat itu kondisi

    ekonomi masyarakat lemah, mereka percaya dan mau menjadi romusha

    meskipun pada akhirnya romusha Salatiga banyak yang dikirim ke luar

    Jawa, Birma, Irian Barat dan Filiphina dan tidak kembali. Selain itu, rakyat

    juga takut apabila tidak mau menjadi romusha akan diberi hukuman oleh

    tentara Jepang.

    Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang memprihatinkan

    membuat masyarakat ada yang terpaksa mencuri. Akhirnya siapapun yang

    ketahuan mencuri kemudian dihukum dan disiksa dengan cara mengikat

    tangan orang tersebut dan disayat menggunakan silet. Orang yang lewat

    dipaksa menyiramkan air asam kepada orang yang sedang disiksa tersebut.

    Di Salatiga terdapat rumah penyiksaan di Buksuling. Orang-orang yang

    dicurigai sebagai mata-mata Belanda ditangkap, ditelanjangi kemudian

    diperintahkan untuk tengkurap di atas seng yang sebelumnya sudah

    dipanaskan di bawah sinar matahari sampai ia mengaku.

    Wanita-wanita pribumi yang terlihat cantik dipaksa untuk melayani

    dan menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Mereka dibawa ke tangsi-tangsi

    di Salatiga dan dijanjikan akan diberi pekerjaan yang baik. Namun

    kenyataannya wanita-wanita pribumi dan nonik-nonik Belanda dibawa

    hanya untuk menjadi pekerja seks untuk tentara Jepang sebelum pergi

    berperang (wawancara dengan Eddy Supangkat 6 Desember 2013).

  • 30

    C. Kondisi Sosial-Ekonomi Salatiga Pada Masa Pendudukan Jepang

    1. Mata Pencaharian Penduduk

    Dengan adanya peraturan yang dikeluarkan pemerintah Jepang

    mengenai pengumpulan bahan makanan terutama padi, serta letak kota

    Salatiga yang berada di lereng Gunung Merbabu maka dapat

    dipastikan mata pencaharian penduduk Salatiga adalah bertani,

    menjadi peternak, pedagang, pegawai negeri serta buruh kasar.

    Pada masa Jepang di Salatiga, petani diharuskan menanam jarak

    yang diambil minyaknya untuk keperluan cadangan perang

    (Wawancara dengan Wasipin 31 Desember 2012). Karena jarak

    merupakan tanaman wajib, maka tanaman padi dan palawija menjadi

    terdesak sehingga hasil padi dan palawija tidak cukup untuk makan

    sehari-hari.

    Dalam Sinar Baroe 29 Djoeni 2604, dikemukakan bahwa

    pemerintah Jepang memberikan imbalan atas hasil jerih payah

    masyarakat yang berhasil melipatgandakan hasil bumi seperti padi dan

    palawija di pendopo Salatiga-Gun. Mereka menerima pakaian, uang,

    cangkul, dan sebagainya. Namun tentu saja hal ini dilakukan sebagai

    usaha menarik simpati masyarakat untuk lebih mempercayai

    pemerintah Jepang yang mengaku sebagai saudara tua.

    Pemeliharaan ternak merupakan suatu usaha untuk menguatkan

    ekonomi masyarakat disamping pertanian. Ditinjau dari sudut makanan

    yang sebagian masyarakat mengkonsumsi daging ayam, sapi maupun

  • 31

    kerbau mendorong masyarakat bekerja sebagai peternak. Selain dapat

    dijual, hewan ternak seperti kerbau dan sapi menjadi sarana

    perhubungan lalu lintas pada masa itu (Sinar Baroe 6 Djoeni 2604 hal

    3 kol 1).

    Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 pasal 1 yang dikeluarkan

    oleh Panglima Tentara Keenambelas pada tanggal 7 Maret 1942 yang

    berbunyi “Bala Tentara Nippon melangsungkan pemerintah militer

    untuk sementara waktu di daerah yang ditempatinya agar supaya

    mendatangkan keamanan yang sentausa dengan segera” (Sartono

    Kartodirdjo, 1975:5), pemerintah Jepang segera menanamkan

    kekuasaan yang sementara kosong yang diserahkan kepada Gunseibu

    yang berpusat di Semarang untuk Jawa Tengah. Pegawai-pegawai

    berkebangsaan Belanda banyak yang dipecat. Akhirnya Jepang

    mengalami kekurangan staf pegawai di pemerintahan, yang sebenarnya

    pegawai Jepang telah dikirim tetapi kapalnya terkena torpedo dari

    pihak Sekutu. Karena kekurangan pegawai, dengan terpaksa

    pemerintah Jepang mengangkat pegawai-pegawai berkebangsaan

    Indonesia.

    Dengan diangkatnya pegawai-pegawai Indonesia, maka pada

    tanggal 1 April 1942 pemerintah militer Jepang mengeluarkan undang-

    undang mengenai peraturan gaji pegawai negeri dan lokal. Untuk

    sementara waktu gaji bagi pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang

    dahulu dibayar dibawah f.100,- sebulan, akan tetap dibayarkan f.100,-.

  • 32

    Sedangkan bagi pegawai yang dahulu gajinya melebihi f.100,- akan

    dibayar menurut aturan berikut:

    Tabel 3

    Daftar Gaji Pegawai Bangsa Indonesia Untuk Sementara Waktu

    Tahun 1942-1945

    No. Banyaknya gaji dahulu

    sebulan

    Potongan

    %

    Banyaknya gaji

    sekarang sebulan

    1. f. 100 – 150 5% f. 100

    2. f. 151 – 200 7,5% f. 141

    3. f. 201 – 250 10% f. 184

    4. f. 251 – 300 12% f. 224

    5. f. 301 – 400 12% f. 239

    6. f. 401 - 500 18% f. 269

    7. f. lebih dari 501 20% f. 409

    Sumber : Museum Sono Budoyo No. 1989

    Berdasarkan pada peraturan gaji yang tercantum diatas, jelas

    bahwa pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang gajinya melebihi

    f.100,- terkena potongan yang cukup besar. Disamping itu ditetapkan

    pula untuk tidak memberikan gaji kepada pegawai Indonesia melebihi

    f.500,-. Disebutkan juga kewajiban untuk pegawai negeri supaya

    bekerja dengan sungguh-sungguh penuh cinta kasih dan bersikap

    seperti pemimpin. Seorang pemimpin selalu berjasa dan mengabdi

    pada pekerjaan yang dikerjakannya (Sinar Baroe 20 Go-Gatsu 2604

    hal 3 kol 4).

    Selain mata pencaharian yang telah disebutkan di atas, pekerjaan

    yang dilakukan masyarakat Salatiga pada masa pendudukan Jepang

    ialah menjadi buruh kasar. Kebanyakan dari mereka menjadi kuli

    angkut dan buruh gendong di pasar dengan upah yang tidak seberapa

  • 33

    (Wawancara dengan Eddy Supangkat tanggal 4 Januari 2013). Selain

    itu ada pula masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang.

    2. Pemenuhan Kebutuhan Sandang dan Pangan

    Ketika perang antara Amerika dengan Jepang semakin sengit pada

    tahun 1944, tuntutan akan bahan baku kebutuhan perang semakin

    meningkat. Pada sidang I Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat)

    pada tanggal 16-20 Oktober 1943 telah disepakati untuk :

    a. Memperkuat dan melindungi para prajurit PETA dan Heiho;

    b. Menggerakkan tenaga kerja untuk keperluan masyarakat dan

    perang;

    c. Meneguhkan susunan penghidupan masyarakat dalam masa

    perang;

    d. Memperbanyak hasil produksi pangan.

    Dalam hal memproduksi bahan pangan, petani dipaksa

    menyerahkan sebagian padi yang mereka hasilkan dengan harga yang

    sangat rendah. Karena beras yang mereka hasilkan tidak cukup untuk

    memenuhi konsumsi sendiri dan kebutuhan sehari-hari, mereka

    terpaksa membeli beras padahal di lain pihak petani sendiri tidak

    mampu atau kesulitan dalam membeli beras apabila persediaan mereka

    sudah habis. Menurut Aiko Kurasawa (1993:103), mereka umumnya

    petani kecil yang bekerja di atas sepetak tanah yang luasnya kurang

    dari 0,5 hektar baik milik sendiri maupun menyewa. Mereka terlilit

    hutang, sehingga setelah mereka membayar hutang dalam bentuk padi

  • 34

    yang dipanen, biasanya hanya sedikit yang tertinggal di tangan mereka.

    Oleh karena itu hanya sebagian kecil hasil panen yang dapat mereka

    jual. Berikut merupakan harga beras pada masa pendudukan Jepang

    sesuai dengan Maklumat Gunseikan No.2:

    Tabel 4

    Harga Eceran Beras (setengah giling) Tahun 1943-1945

    (Unit: sen)

    Tahun Beras biasa

    (per kg)

    Beras biasa

    (per liter)

    Beras ketan

    (per kg)

    Beras

    Ketan

    (per liter)

    1943 Antara

    9,17-10,37

    sen

    - - Antara

    9,17-10,37

    sen

    1944 10 - 11 -

    1945 13 11 14 12

    Sumber : Aiko Kurasawa, 1993:98

    Tabel 5

    Harga yang ditetapkan pabrik penggilingan beras tahun 1942-1945

    Jenis Harga (per 100 kg)

    Padi bulu Rp 3,80,-

    Padi cere Rp 3,45,-

    Gabah Rp 4,15,-

    Beras no.1 Rp 6,50,-

    Beras no.2 Rp 4,--

    Sumber : Handjojo,1973:20

    Karena kelangkaan dan distribusi yang tidak merata, harga beras di

    daerah pedesaan melambung tinggi. Pembagian beras lebih sering dan

    jatahnya lebih banyak dibandingkan pedesaan. Hal ini disebabkan

    adanya anggapan pemerintah Jepang yang menilai sebagian besar

    penduduk pedesaan ialah produsen beras sehingga tidak perlu dipasok

    beras dari luar. Dengan demikian, kebijakan Jepang mengenai wajib

  • 35

    serah padi mengakibatkan tekanan yang luar biasa dan penderitaan

    bagi petani pada khususnya.

    Pemerintah Jepang mendorong masyarakat untuk makan berbagai

    macam makanan pelengkap seperti gaplek, jagung, singkong, dan

    kedelai karena bahan makanan seperti nasi digunakan pemerintah

    untuk memenuhi kebutuhan perang. Akan tetapi, harga-harga makanan

    pelengkap tersebut juga meningkat di pasaran karena menurunnya

    panen dan meningkatnya permintaan masyarakat.

    Berbagai jenis tanaman yang sebelumnya tidak pernah dimakan

    dianjurkan supaya dimanfaatkan. Contohnya bonggol dan batang

    (debog) pohon pisang dan pepaya. Selain itu, masyarakat juga

    memakan bekicot (siput) sebagai sumber protein pengganti.

    Sekalipun gagasan ini cukup bermanfaat dan agak mengganjal perut,

    namun gizi rakyat semakin memburuk (Wawancara dengan Kaslan 9

    Desember 2012). Hal ini karena makanan pengganti tidak memuaskan.

    Masyarakat lebih suka makan nasi dibandingkan makanan lainnya dan

    bagi mereka nasi begitu penting sehingga mereka sering berkata

    “Kalau belum makan nasi, belum makan”. Menurunnya produksi

    pangan di Jawa dapat dilihat pada tabel berikut ini :

  • 36

    Tabel 6

    Produksi Pangan di Jawa tahun 1941-1944 (dalam kg)

    Tahun Padi Palawija

    1941 83.934.807 121.525.781

    1942 83.081.989 118.054.367

    1943 81.125.225 107.109.669

    1944 68.115.550 90.055.664

    Sumber : Sartono Kartodirdjo, 1976:147

    Tidak ada upaya dari pemerintah Jepang di Salatiga untuk

    membantu memenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Meskipun

    pemerintah Jepang telah mengeluarkan anjuran untuk berhemat serta

    giat menabung (Sinar Baroe 3 Rokugatsu 2604 hal 4 kol 3), namun

    karena perekonomian masyarakat yang merosot dan serba sulit,

    anjuran tersebut dirasa percuma oleh masyarakat dari golongan bawah

    karena tidak ada uang yang akan ditabung, kecuali bagi mereka yang

    bekerja sebagai pegawai dengan gaji yang cukup.

    Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasa bertambah

    berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang

    sangat memprihatinkan. Rakyat hanya memakai pakaian compang-

    camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak pada

    penyakit gatal-gatal akibat kutu di dalam karung tersebut. Masalah

    sandang merupakan masalah yang cukup serius. Sebagian masyarakat

    bahkan sudah ada pula yang mengganti pakaian dengan lembaran karet

    sebagai penutup badan.

    Kain yang merupakan salah satu barang yang sangat penting, yaitu

    untuk baju, sarung, dan juga jarik bagi masyarakat Salatiga dan

  • 37

    sekitarnya sangat langka dan bahkan sangat sulit sekali

    mendapatkannya (Mia Nuraini 2012:64). Karung goni, kliko, serat,

    lembar karet merupakan barang pengganti dari kain di masa Jepang.

    Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biasanya masyarakat yang

    memiliki saudara dari luar daerah dibantu dengan mengirimkan

    makanan berupa singkong dan gaplek. Ada juga yang menerima uang

    dari keluarga yang bekerja di luar Salatiga sebagai prajurit dengan

    perantara Salatiga Shityo (Sinar Baroe 11 Shigatsu 2604 hal.2 kol 2).

    3. Tenaga Romusha

    Salah satu tujuan pokok pendudukan Jepang di Asia Tenggara,

    khususnya Indonesia ialah untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi

    serta memperoleh pasokan ekonomi yang penting demi kelangsungan

    perang. Jepang sangat memperhatikan kegiatan-kegiatan ekonomi,

    memberikan serta mencurahkan tenaga yang besar dalam bidang ini.

    Permintaan akan tenaga kerja meningkat ketika situasi perang semakin

    berkobar. Pada saat itulah muncul kebutuhan besar untuk

    pembangunan pertahanan seperti perlindungan serangan udara. Hal ini

    berarti tenaga kerja tidak hanya diperlukan untuk eksploitasi ekonomi,

    tetapi juga untuk segala proyek yang berhubungan dengan

    kelangsungan perang. Pada tahap itulah perekrutan romusha di Jawa

    meningkat.

    Romusha secara harafiah berarti seorang pekerja yang melakukan

    pekerjaan sebagai buruh kasar (Aiko Kurasawa, 1993:123). Sebagian

  • 38

    besar tenaga romusha ialah petani biasa, yang diperintahkan supaya

    bekerja pada proyek pembangunan dan pabrik. Awalnya, romusha

    dipekerjakan sebagai buruh tetap, namun lama kelamaan mereka mulai

    dianggap kurang lebih sebagai buruh kuli paksaan. Jenis-jenis

    pekerjaan untuk tenaga romusha menurut Aiko Kurasawa (1993:144)

    ialah menyelenggarakan pekerjaan yang berhubungan dengan

    kepentingan ala tentara Jepang dan pembela tanah air, memperbaiki

    dan menambah produksi bahan-bahan keperluan bala tentara serta

    persenjataan, menambah penghasilan bahan-bahan makanan yang

    penting serta membuat Jinji atau gua untuk tempat perlindungan

    tentara Jepang (wawancara dengan Wasipin 31 Desember 2012).

    Untuk membangun sarana-sarana pertahanan seperti benteng-

    benteng, jalan raya, dan sebagainya, Jepang sangat memerlukan tenaga

    kasar. Selain itu tenaga romusha diperlukan untuk bekerja di pabrik-

    pabrik atau tempat-tempat produksi lainnya. Pada mulanya pekerjaan

    tersebut dilakukan secara sukarela oleh masyarakat karena pengerahan

    tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan dan masyarakat masih

    dipengaruhi oleh propaganda untuk kemakmuran bersama Asia Timur

    Raya. Namun lama kelamaan pengerahan tenaga yang bersifat sukarela

    berubah menjadi paksaan. Mereka diperlakukan sangat buruk,

    kesehatan tidak dijamin, makanan yang tidak cukup dan pekerjaan

    yang berat menyebabkan romusha banyak yang meninggal. Meskipun

    pada sidang Chuo Sangi In IV tentang mengatur urusan prajurit

  • 39

    pekerja dan perlindungan mereka dan keluarganya telah ditetapkan

    sebagai berikut:

    Hendaknya prajurit pekerja dihormati dan dihargai sebagai prajurit

    “Pembela Tanah Air” dan dijauhkan segala perlakuan terhadap

    pekerja yang mengganggu perasaan yang berhubungan dengan

    agama dan adat istiadat (Djawa Baroe 14 tanggal 15 Agustus 2604

    hal 4).

    Kenyataannya romusha diperlakukan sangat buruk. Untuk

    menghilangkan ketakutan di kalangan penduduk karena perlakuan

    Jepang kepada romusha semena-mena, sejak tahun 1943 Jepang

    melancarkan kampanye yang menganggap romusha sebagai pahlawan.

    Di dalam kampanye tersebut mereka mendapat julukan “prajurit

    ekonomi” atau “prajurit pekerja” yang digambarkan sebagai orang

    yang sedang melaksanakan tugas sucinya untuk angkatan perang

    Jepang dan tidak boleh disebut kuli. Romusha ialah prajurit dan

    sumbangan mereka terhadap perang sangat dihargai. Akan tetapi

    faktanya diantara 300.000 tenaga romusha yang dikirim ke luar Jawa,

    diperkirakan 70.000 orang dalam kondisi yang memprihatinkan

    (Sartono Kartodirdjo, 2975:139).

    Selain pekerjaan yang telah disebutkan di atas, romusha

    dipekerjakan untuk mengumpulkan tanaman iles-iles (sejenis talas),

    membuat pupuk, mencangkul dan sebagainya untuk kemudian

    diserahkan kepada Jepang. Rakyat yang menjadi romusha tidak hanya

    dipekerjakan di desa saja tetapi juga dikirim ke Kalimantan dan

    Burma. Awalnya romusha dijanjikan menerima upah dari Jepang,

  • 40

    sehingga banyak rakyat yang bersedia untuk menjadi romusha. Namun

    pada kenyataannya romusha setiap hari hanya dibayar dengan jagung

    rebus sakbumbung (secangkir) atau beras untuk makan. Pada waktu

    pendudukan Jepang tahun 1942-1945, banyak romusha yang

    kehilangan nyawa akibat kelaparan. Mereka sulit sekali memperoleh

    tambahan makanan dengan uang mereka sendiri. Akibatnya banyak

    juga yang mengalami kekurangan gizi. Bagi masyarakat yang memiliki

    sawah, hasil padi sebagian disetor ke ABC (koperasi milik Jepang) dan

    sebagian lagi untuk makanan sehari-hari. Bagi mereka yang tidak

    memiliki sawah, untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, rakyat

    bekerja menjadi buruh kasar bagi orang-orang yang memiliki sawah

    (wawancara dengan Kaslan 9 Desember 2012).

    4. Kegiatan Niaga

    Pada masa pendudukan Jepang di Salatiga, masyarakat melakukan

    transaksi jual beli di Pasar Kalicacing, yang kemudian pada tahun 1928

    direlokasi oleh pemerintah Hindia Belanda dan ditempatkan yang saat

    ini bernama Pasar Raya I (wawancara dengan Eddy Supangkat 6

    Januari 2013). Barang dagangan yang dibawa ke pasar Salatiga tidak

    hanya berupa hasil bumi saja, melainkan ada pula gerabah. Berikut ini

    adalah tabel yang menunjukkan para pedagang yang datang ke Salatiga

    dan barang apa saja yang mereka bawa dan mereka jual di pasar

    Salatiga yaitu pasar Kalicacing :

  • 41

    Tabel 7

    Daerah asal pedagang dan barang yang diperdagangkan

    tahun 1900-1942

    No Daerah asal pedagang Barang yang diperdagangkan

    1 Bringin Hasil bumi (beras, ubi,pisang), kayu bakar,

    arang dan daun jati

    2 Dadapayam Beras, kelapa, kayu bakar, dan arang

    3 Susukan Singkong, tape, kambing, dan sapi

    4 Suruh Hasil bumi, kambing, sapi

    5 Karanggede Tape, kambing, sapi

    6 Kopeng dan Getasan Sayuran, singkong, jagung, bunga, kayu dan

    arang

    7 Bandungan (Ambarawa) Bunga, sayuran, kambing dan sapi

    8 Klaten (Bayat, Ceper,

    Pedan)

    Pakaian, gerabah, stagen, lurik berupa : jarik

    dan selendang

    9 Ampel (Boyolali) Beras, kambing, sapi

    10 Solo Pakaian, batik dan tikar

    11 Salatiga Tahu, tempe, mainan anak-anak, kain tenun,

    karak

    12 Semarang Ikan asin, gula pasir, teh, kain dan barang-

    barang industri

    13 Demak Gerabah berupa : cobek, kuali, genthong,

    tempayan, dsb

    Sumber: (Emy Wuryani, 2006 : 36)

    Namun setelah pendudukan Jepang, masyarakat yang berdagang

    umumnya enggan untuk pergi berdagang dikarenakan takut dengan

    pasukan Jepang. Barang yang semakin langka, para pedagang juga

    takut untuk berdagang dikarenakan barang-barang milik para pedagang

    seperti beras, bahkan ketela dirampas oleh Jepang. Meskipun begitu

    masih ada pedagang yang tetap menjajakan barang dagangannya untuk

    mencukupi kebutuhan. Barang-barang yang dijual antara lain gula

    jawa, jengkol serta sayur mayur (Wawancara dengan Suwarni tanggal

    3 Januari 2013). Karena perekonomian yang semakin merosot, maka

    daya beli masyarakat ikut merosot juga.

  • 42

    Untuk perdagangan kain, jarik lurik, batik yang didapat dari pasar

    Salatiga sangat sulit dan bahkan tidak ada yang menjualnya lagi karena

    susahnya untuk mendapatkan barang tersebut. Di Salatiga pada saat itu

    ada yang menjual karung goni, kliko, serat yang semuanya merupakan

    barang pengganti dari kain di masa Jepang. Pedagang dari Ambarawa

    membeli barang-barang tersebut dari Salatiga yang kemudian dijual di

    Ambarawa. Berikut adalah tabel harga barang-barang tersebut pada

    masa itu :

    Tabel 8

    Daftar harga barang pengganti kain pada masa pendudukan Jepang

    tahun 1942-1945

    No Nama Harga per Harga per

    Barang 1 helai 1/2 Helai

    1 Kliko 4 rupiah 2 rupiah

    2 Serat 3 rupiah 1 rupiah

    3 Karung 4 rupiah 2 rupiah

    Sumber : Mia Nuraini, 2012:65

    Wanita membantu pria bekerja sebagai petani maupun berdagang

    di pasar. Namun karena perekonomian masyarakat pada saat itu tengah

    merosot, maka daya beli masyarakat juga turun.

    Menurut Meta Sekar Puji Astuti (2008:119), pengembangan

    jaringan toko Jepang di Jawa Tengah sangat pesat. Meskipun skalanya

    tidak besar, namun toko-toko Jepang mencapai pelosok-pelosok kota

    kecil seperti Prembun di daerah Kebumen, Muntilan, Magelang,

    Karanganyar, Purworejo, Cepu, Salatiga, Wonosobo dan lainnya.

    Selain pengembangan toko-toko Jepang, orang-orang Jepang

  • 43

    melakukan bisnis perkebunan, peternakan dan penanaman bunga di

    daerah tersebut.

    Pada umumnya penilaian masyarakat pribumi dengan adanya toko-

    toko milik Jepang di kawasan Pecinan yang sekarang Jalan Jenderal

    Sudirman cukup baik. Dikarenakan pelayanan dari orang Jepang yang

    relatif sopan dibandingkan toko milik orang Cina. Harga yang

    ditawarkan juga terjangkau dibandingkan toko-toko Belanda. Hal ini

    menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat pribumi.

    Dalam hal perniagaan, semasa pendudukan Jepang di Salatiga,

    dibuka sebuah perusahaan milik orang Cina bernama Tjien Lam Kong

    Jap Shie di Djalan Solo (sekarang jalan Jenderal Sudirman).

    Perusahaan ini memproduksi potlot tinta, potlot hitam, kapur tulis ,dan

    kuas untuk cat (Sinar Baroe 7 Djoeni 2604 hal 4 kol 2).

    Pusat-pusat kegiatan ekonomi di Salatiga tidak hanya di pasar-

    pasar saja terdapat pula warung-warung milik pribumi dan toko-toko

    yang dimiliki oleh orang Cina dan Arab. Orang-orang asing Asia yaitu

    orang Cina dan Arab mendominasi perdagangan pada masa itu.

    Sehingga orang-orang Cina banyak yang mendominasi perekonomian

    di Salatiga. Hal ini dapat kita lihat pula sampai saat ini di sepanjang

    jalan Jenderal Sudirman terdapat banyak sekali toko-toko yang

    dimiliki oleh orang Cina dan beberapa orang Arab.

    Sarana transportasi juga mengalami kemunduran yang pesat.

    Sebelum Jepang menginjakkan kakinya di Salatiga beberapa kendaraan

  • 44

    di Salatiga salah satunya bus ESTO dibawa oleh Belanda menuju

    Bandung untuk berperang menghadapi Jepang (Mia Nuraini,2012:67).

    Bus ESTO yang masih berada di Salatiga disita dan diambil alih oleh

    Jepang dan diganti Rp 500,- per bus-nya untuk sarana transportasi

    tentara Jepang. Meskipun begitu, di Salatiga masih terdapat sarana

    transportasi yang digunakan masyarakat, seperti Bis Adam jurusan

    Semarang-Salatiga, dokar dan gerobag yang masih ada sampai tahun

    1960an (wawancara dengan Bp. Eddy Supangkat 6 Januari 2013)

    Jepang dengan truknya yang besar dan terbuat dari besi digunakan

    untuk menjarah barang-barang yang kemudian diangkut dan dibawa ke

    negaranya. Penjarahan tesebut juga termasuk mengambil hewan-hewan

    yang biasanya digunakan untuk sarana angkutan di Salatiga. Sapi, kuda

    merupakan hewan yang dapat dimanfaatkan tenaganya untuk menarik

    gerobak dan dokar diambil oleh Jepang. Hewan-hewan ternak juga

    dijarah oleh Jepang dari orang-orang kaya dan para pengusaha jasa

    angkutan seperti gerobak dan dokar (Mia Nuraini, 2012:67).

    5. Perubahan Sosial

    Di dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa,

    terdapat tiga lapisan sosial, yaitu wong cilik (orang kecil) yang terdapat

    baik di desa maupun di kota-kota. Pada umumnya terdiri dari petani-

    petani, buruh kecil, tukang becak, tukang gunting rambut. Golongan

    priyayi terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah. Sebagian golongan

    ini berasal dari sistem birokrasi pemerintahan kerajaan-kerajaan sejak

  • 45

    sebelum penjajahan Belanda dan sebagian lagi berasal dari orang-

    orang yang mendapat pendidikan akademis pada zaman Hindia

    Belanda. Golongan bangsawan ialah keturunan raja-raja atau sultan-

    sultan di pusat-pusat kraton seperti di Jawa Tengah. Untuk lingkungan

    umat Islam terdapat golongan abangan dan golongan santri. Golongan

    santri ialah orang-orang yang menjalankan syari’at Islam sepenuhnya,

    sedangkan orang-orang abangan ialah orang-orang yang tidak

    menjalankan syari’at Islam sepenuhnya, misalnya tidak melakukan

    sholat lima kali sehari.

    Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 188), revolusi membawa

    banyak perubahan. Golongan yang pada masa kolonial memiliki status

    sosial yang rendah, memegang posisi yang penting. Begitu pula

    sebaliknya dengan golongan yang dulunya memegang dominasi, turun

    menjadi golongan yang kurang berkuasa. Adanya golongan intelektuil

    membuat golongan bangsawan merosot. Di bawah golongan ini

    terdapat golongan menengah, yaitu pegawai rendahan, pedagang-

    pedagang kecil dan tukang, sedangkan golongan yang paling bawah

    adalah golongan petani di desa-desa dan buruh kasar. Stratifikasi sosial

    tidak lagi didasarkan atas dasar ras, yang pada jaman kolonial hal ini

    merupakan ciri masyarakat kolonial. Stratifikasi lebih ditentukan oleh

    tingkat pendidikan.

    Masa pendudukan Jepang yang berlangsung selama tiga setengah

    tahun, terjadi perubahan sosial yang cukup besar baik di kota-kota

  • 46

    maupun di desa. Perubahan itu terjadi berdasarkan kepentingan

    pemerintah pendudukan Jepang. Kepentingan yang dimaksud meliputi

    propaganda untuk mempengaruhi rakyat, kebutuhan akan tenaga-

    tenaga untuk menjalankan administrasi pemerintahan serta untuk

    keperluan perang.

    Pada masa pendudukan Jepang, lahir satu kelompok baru yaitu

    golongan pemuda, yang pada masa sesudahnya terutama selama

    Perang Kemerdekaan memegang peranan besar. Pada umumnya

    mereka berasal dari lingkungan sosial yang berbeda-beda. Ada yang

    pendidikannya sampai sekolah menengah, namun ada pula yang hanya

    sampai sekolah dasar. Perhatian Jepang dicurahkan kepada kaum muda

    ini karena mereka memiliki semangat yang tinggi dan sangat giat.

    Jepang sendiri membentuk gerakan-gerakan seperti Seinendan

    (Barisan Pemuda), Heiho (pembantu prajurit Jepang), Peta (Tentara

    Pembela Tanah Air), Fujinkai (himpunan wanita), Keibodan (barisan

    bantu polisi). Di kalangan masyarakat, kedudukan Peta dianggap

    kedudukan yang paling tinggi. Status mereka seringkali lebih tinggi

    dari seorang kepala daerah. Apabila seseorang menjadi anggota Peta,

    maka statusnya menjadi naik. Di Salatiga sendiri pernah diadakan

    acara khusus untuk menghormati prajurit Peta dan Heiho dengan

    mengadakan penghormatan, penyambutan atas kedatangan prajurit

    serta perjamuan sederhana (Sinar Baroe 5 Go-Gatsu 2604 hal 2 kol 2).

  • 47

    Prajurit Peta dan Heiho mendapatkan perlakuan khusus baik dari

    masyarakat maupun dari pemerintah.

    Kelompok lain yang juga mengalami perubahan status pada masa

    pendudukan Jepang ialah kelompok guru. Apabila pada masa Hindia

    Belanda tidak semua guru diperbolehkan mengajar anak-anak priyayi,

    pada masa pendudukan Jepang guru-guru diperbolehkan mengajar

    anak-anak priyayi dari sekolah dasar sampai sekolah menengah.

    Jepang juga menyadari bahwa golongan ulama memiliki

    kedudukan yang penting dalam masyarakat, terutama di desa-desa.

    Pendapat-pendapat mereka umumnya lebih didengarkan dibandingkan

    pendapat dari para priyayi. Hal itu diperlukan Jepang untuk melakukan

    propaganda. Karena itu Jepang meningkatkan status golongan ini

    sebagai guru-guru di desa untuk menjadi pemimpin. Para pemimpin

    agama juga diberi kesempatan untuk menjadi kepala daerah.

    Merujuk pada tindakan pemerintah Jepang mengenai pendaftaran

    semua penduduk warga asing, baik Tionghoa/ Cina, Eropa, maupun

    bangsa keturunan lain dapat disimpulkan bahwa komposisi penduduk

    Salatiga pada waktu itu telah terdiri dari bermacam-macam jenis

    keturunan. Antara lain Indonesia asli (mayoritas Jawa), warga

    keturunan Tionghoa, Eropa khususnya Belanda.

    Golongan minoritas seperti Indo-Eropa, peranakan Cina, peranakan

    Arab dan lainnya mengalami kemerosotan dalam kedudukan. Apabila

    dalam sistem masyarakat kolonial zaman Belanda kedudukan mereka

  • 48

    lebih tinggi dari kedudukan bangsa Indonesia yang menempati lapisan

    terendah, maka pada zaman Jepang orang-orang yang sebelumnya

    malu dengan statusnya sebagai golongan Indo, mulai bangga

    menyatakan dirinya sebagai peranakan yaitu berasal dari ayah atau ibu

    Indonesia (Sartono Kartodirdjo, 1975:137).

    6. Sistem Pendidikan

    Selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang

    mengeluarkan kebijakan mengenai pendidikan yang ditandai oleh tiga

    prinsip pokok (Selo Soemardjan, 2009:419), yaitu :

    a. Pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan

    untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial;

    b. Pengaruh Belanda dihapuskan secara sistematis dari sekolah-

    sekolah, sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan

    landasan utama;

    c. Semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk mengindoktrinasi

    gagasan kemakmuran Asia Tenggara di bawah pimpinan Jepang.

    Pada masa pemerintahan Belanda, yang dapat merasakan

    pendidikan formal hanyalah kalangan menengah ke atas untuk

    pribumi. Sedangkan untuk kelas menengah ke bawah tidak memiliki

    kesempatan mengenyam pendidikan formal. Sedangkan pada masa

    pendudukan Jepang diskriminasi semacam itu mulai dihilangkan.

    Rakyat dari lapisan manapun berhak mengenyam pendidikan formal.

    Jenjang pendidikan pada masa Jepang disamakan dengan negara

  • 49

    Jepang, yakni Sekolah Dasar 6 tahun, Sekolah Menengah 3 tahun dan

    Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun. Jenjang pendidikan semacam ini

    masih digunakan di Indonesia sampai saat ini.

    Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di semua

    sekolah dan bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib.

    Selain sekolah formal, Jepang juga membuka berbagai kursus.

    Dibuktikan dengan dibukanya kursus Bahasa Nippon (Jepang) dan

    Bahasa Indonesia di Salatiga yang diikuti 110 orang laki-laki dan

    perempuan. Adapun guru bahasa Jepang adalah Tuan S. Ito dan Tuan

    Widdisiswojo dibantu Tuan Soetomo mengajarkan Bahasa Indonesia

    dan Olahraga (Sinar Baroe 15 Agoestoes 2604, hal 2 kol 3).

    Dalam surat kabar Sinar Baroe 21 Djoeli 2604 hal 4 kolom 5,

    selain kursus Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia, Jepang juga

    membuka kursus kesehatan yang dibuka di Gedoeng Nippon-Go

    Gakko Djetis. Kursus ini diikuti oleh para guru di Salatiga dan

    sekitarnya. Lama kursus ini 3 minggu dan masuk setiap pukul 6-7 sore

    dan dilatih oleh dokter dari Semarang dan Salatiga.

    Dalam bidang pendidikan, Jepang tidak hanya membuka sekolah

    umum saja, tetapi juga membuka sekolah guru yang terdiri dari

    Sekolah Guru 2 tahun, Sekolah Guru 4 tahun, dan Sekolah Guru 6

    tahun (Sartono Kartodirdjo, 1975:171). Di Salatiga, Jepang membuka

    Sekolah Guru Negeri untuk lelaki atau Sekolah Guru Lelaki yang

    bertempat di belakang rumah Sekolah Normal. Sekolah Guru Lelaki

  • 50

    menerima murid sebanyak 70 anak berusia 14-17 tahun dan lamanya

    belajar selama 4 tahun. Setiap bulan murid dikenakan biaya sebesar f 5

    (Sinar Baroe 19 Go Gatsu 2604 hal 4, kol 5). Siswa dari Sekolah Guru

    Lelaki dipersiapkan untuk mengajar Sekolah Rakyat, diajarkan

    mengenai semangat berjuang serta cara untuk menjadi teladan yang

    baik untuk semua orang. Guru dari Jepang dan Indonesia telah ditunjuk

    untuk mendidik calon-calon guru ini. Diantaranya tuan Akiyama

    selaku guru kepala, tuan Ito sebagai guru Bahasa Jepang, tuan R.

    Soedarsono, tuan Soewadji, tuan Slamet dan dua orang bangsa Jepang

    dari kalangan militer telah ditunjuk untuk mengajarkan kepada murid-

    murid dalam hal semangat keprajuritan.

    Dalam aspek pendidikan, kurikulum dan sistem pengajaran

    disesuaikan untuk kepentingan perang. Oleh sebab itu Jepang selalu

    mewajibkan siswa mengikuti latihan dasar kemiliteran. Setiap pagi

    siswa wajib mengikuti gerak badan atau senam yang disebut Taisho

    dan baris berbaris sambil berteriak Hajime!!! apabila dalam keadaan

    siap. Siswa dan guru juga diwajibkan menghafal lagu kebangsaan

    Jepang “Kimigayo” dan mengheningkan cipta yang kurang lebih

    berbunyi “Noshi to wa shime no tane shito te o wari na kyono mede

    kusara” serta melakukan penghormatan kepada Tenno (Kaisar) yang

    dipercaya sebagai keturunan Ometerasu Omikami (Dewa Matahari)

    (wawancara dengan Suwarni 4 Januari 2013). Menurut Shuchokan

    dalam Sinar Baroe tanggal 6 Djoeni 2604 hal 3 kol 1“ Salatiga adalah

  • 51

    pusat Semarang Syuu dan layak untuk tempat belajar, disebabkan

    hawanya yang baik itu”.

    Pelajaran yang diajarkan ditetapkan oleh pemerintah militer Jepang

    sebagai berikut:

    a. Latihan kemiliteran (kyoren) i. Ilmu bumi atau geografi

    b. Pelajaran moral (shushin) j. Ilmu alam

    c. Pekerjaan praktis (sagyo) k. Olahraga

    d. Bahasa Jepang l. Musik

    e. Bahasa Indonesia m. Seni menulis (shuji)

    f. Bahasa daerah n. Kerajinan tangan

    g. Sejarah o. Melukis

    h. Perawatan rumah (untuk siswi)

    Latihan kemiliteran tetaplah yang paling utama karena disesuaikan

    dengan kepentingan perang. Latihan-latihan militer kepada penduduk

    dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan negeri-negeri yang telah

    diduduki pemerintah militer Jepang. Pelajaran yang ditekankan kepada

    mereka ialah seishin atau semangat. Semangat yang diutamakan ialah

    semangat ksatria atau bushido yakni berbakti kepada tuannya atau

    pemimpinnya dan orang tuanya. Selain itu ditekankan pula perlunya

    disiplin dan diberantasnya rasa rendah diri serta semangat budak. Hal

    inilah yang kemudian dipakai para pemuda Indonesia ketika

    mempertahankan kemerdekaan.

  • 52

    Mengenai mutu pendidikan sekolah secara umum, meskipun

    Jepang mendorong pendidikan,tetapi hanya sedikit waktu yang

    disisihkan untuk belajar di dalam kelas. Murid seringkali diperintahkan

    untuk melakukan kerja bakti (kinro hoshi) yang meliputi

    membersihkan tempat-tempat umum, mencari berbagai tanaman liar

    untuk diserahkan kepada pihak Jepang, bekerja di sawah, menanam

    pohon jarak dan rami.

    7. Kesehatan

    Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942-1945,

    kondisi kesehatan rakyat mulai memprihatinkan akibat pengerahan

    tenaga romusha di daerah-daerah. Untuk memelihara kesehatan

    romusha, beberapa sarana kesehatan disediakan di kamp-kamp

    romusha yang besar. Namun, dibandingkan dengan jumlah tenaga

    romusha, tenaga kesehatan dan obat-obatan jauh dari kata cukup. Jam

    kerja romusha berlangsung sepanjang hari, jarang diberi hari libur

    sehingga mereka menderita berbagai penyakit dan kelelahan yang luar

    biasa, dan beberapa diantaranya meninggal dunia. Kecelakaan kerja

    dan kelaparan menjadi pemandangan yang biasa.

    Menurut Bapak Kaslan, untuk menjaga kesehatan, rakyat seringkali

    membuat ramuan sendiri untuk mengobati penyakitnya. Mereka

    menggunakan daun-daunan yang mereka temukan meskipun

    pengetahuan mengenai obat-obatan sangat terbatas. Untuk mengobati

    masuk angin, misalnya mereka menggunakan daun dadap serep.

  • 53

    Pakaian yang dipakai oleh masyarakat yang terbuat dari karung

    goni serta kotor karena jarang diganti membuat mereka terkena

    penyakit gatal. Pada saat itu serangan kutu yang menurut sumber lisan

    berwarna putih dan berukuran agak besar merajalela sehingga

    dinamakan wabah kutu Jepang. Baik laki-laki maupun perempuan,

    entah ia cantik ataupun tidak, semuanya terkena penyakit gudigen dan

    koreng. Tidak jarang karena kebersihan yang kurang terjaga dan gizi

    yang tidak terpenuhi dengan baik, masyarakat banyak yang meninggal

    karena kolera. Pada saat itu hampir 4 sampai 7 orang meninggal dalam

    sehari. Karena langkanya kain dan terbatsanya ekonomi masyarakat

    pada waktu itu, orang yang meninggal dunia hanyalah dibungkus

    dengan tikar, tidak dengan kain mori (wawancara dengan Suwarni 4

    Januari 2013). Berbeda dengan jaman pemerintah Hindia Belanda yang

    sangat memperhatikan sarana kesehatan masyarakat, pemerintah

    Jepang yang mengaku sebagai “saudara tua” kurang memperhatikan

    kesehatan masyarakat Salatiga. Sehingga pada periode tahun 1942-

    1945 angka kematian cukup tinggi yang dibuktikan pada tabel berikut :

    Tabel 9

    Angka Kelahiran dan Kematian Tahun 1939-1944

    Wilayah Karesidenan Semarang

    Tahun Jumlah Kelahiran

    (ribuan orang)

    Jumlah Kematian

    (ribuan orang)

    1939 73 52

    1943 63 55

    1944 48 103

    Sumber : Aiko Kurasawa, 1993:105

  • 54

    Meningkatnya angka kematian pada tahun 1944 dan menurunnya

    angka kelahiran disebabkan karena masyarakat tidak memiliki tenaga dan

    keinginan dalam memenuhi fungsi reproduksi karena kelaparan dan

    kesulitan-kesulitan hidup dalam kesehariannya.