bab iv hasil pelitian dan pembahasan 1.1 gambaran...

21
BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.1 Desa Sidomulyo 4.1.1.1 Sejarah Desa Sidomulyo Pada awalnya Desa Sidomulyo adalah hutan belukar yang ada diwilayah Kecamatan Paguyaman kabupaten Gorontalo. Namun “ Sidomulyo” berasal dari bahasa jawa yang bermakna “Jadi Mulya” . Dengan harapan semoga semoga desa ini menjadi mulya. Desa ini adalah eks Unit Pemukiman Transmigran (UPT) yang dibuka sejak tahun 1952 oleh Departemen Transmigrasi. Rombongan transmigrasi pertama tiba pada tahun 1953 berasal dari daerah Jawa Timur dan berturut turut sampai rombongan ke sebelas. Dari sebelas rombongan transmigran inilah oleh Departemen Transmigrasi di bagi menjadi dua Desa yakni rombongan 1 6 menjadi Desa Sidomulyo dan rombongan 7 11 menjadi Desa Sidodadi. Guna menunjang sektor pendidikan maka pada tahun 1955 bangunlah Sekolah Dasar yang pertam.a yakni SDN Sidomulyo. Pada tahun 1958 terjadi pergolakan PERMESTA dimana tentara permesta banyak membunuh warga sipil yang pro pusat (NKRI) tidak terkecuali dengan warga Desa Sidomulyo dan Sidodadi. Pada saat itu telah dikumpulkan di Lapangan pusat kecamatan Paguyaman di Desa Molombulahe dengan maksud akan dibunuh secara masal. Namun pada saat itu, datanglah Bapak nani Wartabone yang pro pusat (NKRI) membantu dengan menurunkan pasukan tawon dan langsung menaungi Lapangan Hijau Molombulahe lalu Mondok di sebuah

Upload: vuongthu

Post on 13-Jul-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

BAB IV

HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1.1 Desa Sidomulyo

4.1.1.1 Sejarah Desa Sidomulyo

Pada awalnya Desa Sidomulyo adalah hutan belukar yang ada diwilayah

Kecamatan Paguyaman kabupaten Gorontalo. Namun “ Sidomulyo” berasal dari

bahasa jawa yang bermakna “Jadi Mulya” . Dengan harapan semoga semoga desa

ini menjadi mulya. Desa ini adalah eks Unit Pemukiman Transmigran (UPT) yang

dibuka sejak tahun 1952 oleh Departemen Transmigrasi. Rombongan transmigrasi

pertama tiba pada tahun 1953 berasal dari daerah Jawa Timur dan berturut – turut

sampai rombongan ke sebelas. Dari sebelas rombongan transmigran inilah oleh

Departemen Transmigrasi di bagi menjadi dua Desa yakni rombongan 1 – 6 menjadi

Desa Sidomulyo dan rombongan 7 – 11 menjadi Desa Sidodadi.

Guna menunjang sektor pendidikan maka pada tahun 1955 bangunlah Sekolah

Dasar yang pertam.a yakni SDN Sidomulyo. Pada tahun 1958 terjadi pergolakan

PERMESTA dimana tentara permesta banyak membunuh warga sipil yang pro pusat

(NKRI) tidak terkecuali dengan warga Desa Sidomulyo dan Sidodadi. Pada saat itu

telah dikumpulkan di Lapangan pusat kecamatan Paguyaman di Desa Molombulahe

dengan maksud akan dibunuh secara masal. Namun pada saat itu, datanglah Bapak

nani Wartabone yang pro pusat (NKRI) membantu dengan menurunkan pasukan

tawon dan langsung menaungi Lapangan Hijau Molombulahe lalu Mondok di sebuah

Page 2: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

pohon besar di tengah lapangan tempat berkumpulnya masa. Dengan kejadian

rencana pembantaian oleh tentara Permesta batal maka selamatlah warga transmigran

dari rencana tersebut.

Pada tahun 1965 ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI merupakan sejarah

hitam bagi warga desa sidomulyo dimana banyak warga yang tidak tahu menahu

sempat terlibat akibat terjebak dengan kegiatan organisasi sayapnya PKI yakni

Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan pola membagi – bagikan alat pertanian seperti

pacul dsb. Ketika masa penumpasan gerakan PKI banyak warga yang harus berurusan

dengan pihak TNI yakni Koramil dan Kodim bahkan banyak yang disiksa akibat

keterlibatan warga pada organisasi tersebut.

Pada tahun 1967 desa ini Di serahkan oleh Departemen Transmigran kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo dan mulai saat itulah desa Sidomulyo

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemerintaha kecamatan Paguyaman

Kabupaten Gorontalo.

Pada tahun 1987 Kecamaan Paguyaman di bagi menjadi dua kecamatan yakni

kecamatan Paguyaman dan kecamatan perwakilan Boliyohuto. Walaupun Kecamatan

Boliyohuto masih berstatus perwakilan (persiapan) namun Desa Sidomulyo telah di

tunjuk menjadi pusat pemerintahan kecamatan.

Pada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 43 tahun

1995 Kecamatan Boliyohuto di resmikan menjadi kecamatan yang definitif terpisah

dari kecamatan Paguyaman dan Desa Sidomulyo resmi menjadi pusat pemerintahan

Kecamatan Boliyohuto.

Page 3: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

4.1.1.2 Letak Geografis

Secara administrasi, Desa Sidomulyo mempunyai batas – batas wilayah

sebagai berikut :

- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Monggolito

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Iloheluma

- Sebelah selatan berbatasan dengan Sidomulyo Selatan

- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Diloniyohu

Desa Sidomulyo merupakan salah satu desa yang berada di wiliyah

administrasive di Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo.

4.1.1.3 Keadaan Penduduk

Berdasarkan registrasi pada Juni 2009 jumlah penduduk di Desa Sidomulyo

sebanyak 1211 jiwa yang tersebar di tiga dusun dengan rincian sebagai berikut:

a. Dusun Karang Nongko 361 jiwa

b. Dusun Karang Sari 459 Jiwa

c. Dusun Karang Ria 391 jiwa

Berdasarkan data yang ada jumlah masyarakat suku jawa berjumlah 307 kk,

sedangkan jumlah masyarakat suku Gorontalo 75 kk.

Page 4: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

4.1.1.4. Struktur Pemerintahan

Pemerintahan Desa Sidomulyo saat ini di pimpin oleh Kepala Desa yang dua

kali periode telah terpilih dengan struktur pemerintahan sebagai berikut:

a. Kepala Desa : Yunus Dj. Taidi

b. PLT Sekdes : Siti Famalia Rahim

c. Kaur Bendahara : Rodiah Thalib

d. Kaur Pembangunan : Zubair Ahmad

e. Kadus I : Suyoto

f. Kadus II : Husin Polo’o

g. Kadus III : Masri Pajungge

h. Satgas : - Haris Manhiya,

Hasan Harun

4.1.2 Desa Sidodadi

4.1.2.1 Sejarah Desa Sidodadi

Sejarah Desa Sidodadi tidak terlepas dari sejarah desa Sidomulyo, karena

pada awalnya kedua desa ini terbentuk dari rombongan para transmigran dimana

rombongan 7 – 11 adalah rombongan yang bermukim menjadi desa Sidodadi. Sama

halnya dengan Desa Sidomulyo Desa Sidodadi juga merupakan Hutan belantara.

Sementara itu para transmigran ditempatkan pada suatu tempat yang diberi nama

“bedeng” selama enam bulan. Selanjutnya mereka mendapatkan bantuan rumah dari

Page 5: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

pemerintah untuk para transmigran. Namun, hampir disetiap pekarangan rumah masih

banyak semak belukar yang membuat para penduduk transmigran tidak memiliki

harapan untuk tinggal ditempat tersebut. Melihat keadaan demikian Bapak Inspektor

Jenderal Transmigrasi dari Makasar yaitu Bapak R. Sudjaki dan kepala Jawatan

Transmigrasi Kabupaten Gorontalo yaitu Bapak Mardjono bersma pemuka – pemuka

masyarakat transmigran memikirkan bagaimana cara untuk mendekatkan hati para

transmigran dengan tempat yang asing untuk mereka. Maka terjadilah suatu

kesepakatan bahwa Desa yang pada awalnya bernama Desa Motobuloo ini berubah

menjadi Desa “Sidodadi”.

Kata Sidodadi berasal dari bahasa Jawa yang memiliki makna ” Pasti jadi “

disini dimaksudkan bahwa suatu desa yang pasti jadi. Ini merupakan harapan –

harapan dari para pendiri Desa tersebut bahwa semak – belukar yang ada pada saat itu

menjadi satu desa yang baik sesuai dengan desa yang mereka tempati sebelumnya.

Pergantian nama Desa di upacarakan yang dihadiri oleh para tokoh – tokoh dan

masyarakat yang dimeriahkan dengan kesenian traditional . Hal ini diharapakan untuk

memberikan motivasi serta semangat kepda masyarakat, dan ternyata dalam waktu

singkat pekarangan dibersihkan dan dan ditanami pula, sehingga pantaslah tempat ini

menjadi sebuah desa yaitu Desa Sidodadi.

4.1.2.2. Letak Geografis

Secara administrasi, Desa Sidodadi mempunyai batas – batas wilayah sebagai

berikut :

Page 6: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bandung Rejo

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sidomukti

- Sebelah selatan berbatasan dengan Monggolito

- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Diloniyohu

Desa Sidodadi merupakan salah satu desa yang berada di wiliyah administrasive

di Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo.

4.1.2.3 Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk di Desa Sidodadi sebanyak 1699 jiwa yang tersebar di

empat dusun dengan rincian sebagai berikut:

a. Dusun Selo Rejo 530 jiwa

b. Dusun Maun Rejo 378 Jiwa

c. Dusun Patuk Rejo 385 jiwa

d. Dusun Mulyo Rejo 406 Jiwa

Berdasarkan data yang ada jumlah masyarakat suku jawa berjumlah 400 kk,

sedangkan jumlah masyarakat suku Gorontalo 49 kk.

4.1.2.4 Struktur Pemerintahan

Pemerintahan Desa Sidomulyo dapat dilihat dengan struktur pemerintahan

sebagai berikut:

a. Kepala Desa : Riono Marsono

b. Sekdes : Warni Tina

c. Kaur Bendahara : Titin

Page 7: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

d. Kaur Pemerintahan : Nasi N. Iji

e. Kaur Pembangunan : Sutapman

f. Kaur Umum : Hermin Adam

g. Kadus I : Sutiwar

h. Kadus II : Risan

i. Kadus III : Suyarno

j. Kadus IV : Sahrin Baderan

4.2 Perilaku Komukasi Antar Etnis Jawa dan Etnis Gorontalo di Desa

Sidomulyo dan Desa Sidodadi Kecamatan Boliyohuto

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa perilaku

komunikasi yang terjadi antara etnis Jawa dan etnis Gorontalo terlaksana dengan

baik. Berbicara tentang komunikasi merupakan proses penyampaian ide, informasi

dan lain sebagainya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari penggunaan bahasa yang

dipakai. Bahasa dalam hal ini merupakan salah satu alat terpenting yang digunakan.

Desa Sidodadi dan Desa Sidomulyo merupakan desa yang menggunakan bahasa

bilingual and multilingual. Seseorang dalam masyarakat bilingual atau multilingual

harus memilih bahasa yang digunakan disaat berkomunikasi.

Berbicara tentang bahasa Bilingual atau multilingual, di Desa Sidomulyo dan

Desa Sidodadi telah terjadi sejak para transmigran datang, tentunya hal ini

membutuhkan proses yang cukup lama. Namun, dengan melihat kondisi para

transmigran yang telah lama hal ini tidak terelakkan lagi, bahkan tidak sedikit orang

Page 8: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

yang dapat membedakan masyrakat transmigran dan masyarakat lokal dalam hal ini

Etnis Gorontalo disaat berbahasa. Penggunaaan bahasa tersebut merupakan suatu

keharusan agar mereka dapat berinteraksi dengan sebaik – baiknya. Banyak

masyarakat yang dapat mengetahui bahasa – bahasa tersebut berdasarkan

lingkungannya masing – masing.

“Seperti yang di kemukakan oleh salah seorang masyarakat desa Sidomulyo

(etnis Jawa) menyatakan bahwa ibu yatin belajar bahasa Gorontalo sejak di bangku

Sekolah hal ini menunjukan bahwa lingkungan sekolah telah membelajarkan Dia

untuk bahasa Gorontalo tidak hanya itu lingkungan sekitar juga membantu ibu Yatin

dalam berbahasa Gorontalo. ( Hasil wawancara, 9 juni 2013 dengan Ibu Yatin

masyarakat Desa Sidomulyo etnis Jawa)”.

Selanjutnya hasil wawancara dengan salah satu masyarakat Sidomulyo Etnis

Gorontalo.

“ bapak dedi dapat berbahasa jawa setelah besar dan bergau dengan teman –

teman jawa lainnya jika beliau mendengarkan orang yang sedang berbahasa jawa

belia dapat memehami apa yang disampaikan. (hasil wawancara, tanggal 9 juni 2013

dengan Bapak Dedi Dauna masyarakat Desa Sidomulyo)”.

Berbeda halnya dengan ibu Marni yang dapat berbahasa Jawa karena di

wajibkan oleh tuntutan Profesi (Guru).

“ Saya dapat berbahasa Jawa karena tuntutan profesi, saya sebagai seorang

Guru sekolah Dasar harus menyesuaikan dengan anak – anak yang pada saat itu rata –

rata dapat berbahasa Jawa. Hal ini terjadi karena disaat saya menjelaskan dan anak –

anak belum mengerti saya pun harus mengulang kembali dengan menggunakan

bahasa Jawa. (Hasil wawancara, tanggal 16 juni 2013 bersama ibu Marni Antu S.Pd

Selaku masyarakat Desa Sidodadi dan Guru pada Sebuah Sekolah Dasar)”.

Page 9: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dapat menyimpulkan bahwa setiap etnis

Jawa maupun Gorontalo dapat berbahasa Jawa atau Gorontalo dengan cara yang

berbeda – beda seperti lingkungan sekolah, linkungan tempat tinggal dan tuntutan

profesi. Tentunya Dalam hal penguasaan bahasa hampir sebagian responden

menyampaikan bahwa belum dapat berbahasa secara keseluruhan, namun dapat

memahami apa yang disampaikan oleh lawan bicara. Saat berkomunikasi hal yang

perlu diperhatikan adalah proses penyampaian pesan, apakah lawan bicara dapat

memahami apa yang disampaikan, dari hasil wawancara beberapa responden

menyampaikan bahwa mereka akan berbahasa Jawa maupun Gorontalo disaat

berkomunikasi dengan orang yang dapat mengerti bahasa tersebut. Namun, beberapa

masyarakat sering menggabungkan kedua bahasa tersebut disaat berkomunikasi.

Seperti yang responden temui disaat datang ke rumah salah seorang responden untuk

melakukan wawancara. Pada Saat itu responden baru saja tiba dari tempat bekerja

(sawah),

Peneliti : “ Assalamua alaikum..

mohon maaf ibu menggaggu waktu istirahatnya sebentar..”

Responden : “ yo..yoo ngak opo – opo, maaf baru pulang dari sawah

masih ada lata’o ( hasil wawancara pada tanggal 9 Juni

2013 bersama ibu Yatin).

Page 10: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwa seseorang yang

bersuku Jawa maupun Gorontalo akan menggunakan bahasa tersebut dengan lawan

bicara yang mereka memahami dan si penerima pesan pun mengerti maksud pesan

yang disampaikan.

Lingkungan sekitar, sawah, pasar dan tempat – tempat umum lainnya menjadi

sarana bagi kedua etnis ini untuk berkomunikasi. Tentunya penguasaan dua bahasa

atau lebih (Bilingual dan Multilingual) memberikan manfaat yang sangat besar,

karena masyarakat dapat bertukar pikiran dengan menggunakan bahasa tersebut.

Bahkan masyarakat merasa senang dapat berbahasa lebih dari dua bahasa.

4.3 Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa dan Etnis Gorontalo di Desa

Sidomulyo dan Desa Sidodadi Kecamatan Boliyohuto

Suatu masyarakat yang telah tingal bersama – sama dapat saling mengambil

dan menerima kebudayaan dari masing – masing kelompoknya hal ini yang di kenal

dengan akulturasi, akulturasi yang terjadi di Desa Sidomulyo dan Desa Sidodadi

menghasil kan suatu budaya baru bersama masyarakat lokal lainnya. Kebudayaan ini

terus berkembang dan dilaksanakan sampai dengan sekarang.contoh kecil yang

disampaikan berupa:

“hasil wawancara dengan bapak kepala desa Sidomulyo beliau menyampaikan

bahwa salah satu contoh kecil yang dapat terlihat dari berbaurnya kedua suku ini

adalah kebiasaan dari Suku Jawa yang menggambil rumput disaat sebelum pulang ke

rumah, rumput tersebut akan digunakan untuk makanan ternak. Kebiasaan tersebut di

ikuti oleh masyarakat Suku Gorontalo sampai dengan sekarang. (hasil wawancara

Page 11: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

dengan Bapak Kepala Desa Sidomulyo Bapak Yunus Dj. Taidi pada tanggal 9 juni

2013)”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat di lihat bahwa sebuah kebiasaan

yang ada pada masyarakat Jawa dalam hal ini adalah pengambilan rumput untuk

makanan ternak menjadi kebiasaan untuk masyarakat Gorontalo, kebiasaan ini adalah

kebiasaan yang terjadi secara tidak sengaja, Keinginan masyarakat jawa untuk

memberikan makana pada ternak mereka telah menarik perhatian masyrakat

gorontalo pula untuk melakukan hal tersebut. Dengan sendirinya dan tanpa disadari

kedua suku tersebut telah melakukan akulturasi dimana suku Gorontalo menerima

kebiasaan dari Suku Jawa dalam pengambilan rumput. Hal ini dipertegas dengan

pernyataan dari bapak Kepala Desa

“ bagi masyarakat gorontalo kebiasaan mengambil rumput adalah hal yang

baru setelah pulang kerja, namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat pun

berpikir bahwa kebiasaan tersebut dapat ditiru karena mengguntungkan bagi mereka,

sehingganya dengan sendirinya masyarakat gorontalo menjadi terbiasa dengan

kebiasaan pengambilan rumput tersebut”. (hasil wawancara dengan Bapak Kepala

Desa Sidomulyo bapak Yunus Dj. Taidi pada tanggal 9 Juni 2013)”.

Dalam hal ini masyarakat Gorontalo yang merasa tertarik denagn kebiasaan

mengambil rumput setelah bekerja dari sawah merasa tertolong dengan adanya

kebiasaan tersebut, dimana mereka berfikir bahwa hal ini bersifat positif karena

ternak mereka dapat memakan rumput yang diambil di rumah.

Banyak hal yang terjadi setelah kedua suku tersebut berbaur, tidak hanya

dalam pengambilan rumput diatas, contoh lainnya adalah pada perkawinan. Hal – hal

yang ada pada kebudayaan perkawinan Jawa dan Gorontalo sangatlah berbeda,

Page 12: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

dimulai dari saat sebelum pelaksanaan pesta sampai dengan hari pelaksanaan pesta.

Pada Kebudyaan masyarakat Jawa sebelum pelaksnaaa pesta terdapat tradisi

yang dikenal dengan “rewang”. Arti rewang sendiri menegaskan pada tolong –

menolong, masyarakat sekitar berdatangan sebelum pelaksnaan pesta, yang dilakukan

adalah membantu warga tersebut untuk melaksakan persiapan pesta.

“ seperti yang dijelaskan oleh salah seorang warga masyarakat desa Sidodadi,

rewang adalah kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa saat sebelum hari

pelaksanaan pesta, kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan itu seperti menggoreng

bawang, kerupuk, kacang, meggoreng tahu bagi ibu – ibu, untuk bapak – bapak

membantu pendirian tenda dan lain sebagainya, Namun setelah keduanya tinggal

serumpun kebiasaan itu sering dilakukan secara bersama – sama. Tanpa mengenal

status masing – masing entah masyarakat yang berbahasa jawa maupun gorontalo(

Hasil wawancara bersama ibu Astuti masyarakat Desa Sidodadi Pada tanggal 19 Juni

2013)”.

Berdasarkan uarian diatas dapat dilihat bahwa masyarakat jawa memiliki rasa

persaudaraan serta tolong menolong yang kuat, masyarakat Gorontalo pun menjadi

terbiasa dengan adanya kebiasaan tersebut, bahkan untuk masyarakat gorontalo yang

akan melaksanakan sebuah hajatan kebiasaan rewang pun mulai dipakai, dalam

masyarakat Gorontalo sendiri hal tersebut ada dan dilaksanakan pada saat

pelaksanaan hajatan, namun lebih didominasi oleh para keluarga, bebeda halnya

dengan masyarakat Jawa selain keluarga masyarakat sekita pun berdatangan untuk

tolong – menolong yang lebih dikenal dengan rewang.

Selain itu pada saat pelaksanaan pesta pada masyarakat Jawa dikenal dengan

namanya Bece’an. Bece’an adalah kebiasaan orang jawa dalam memberikan sesuatu

Page 13: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

kepada yang berhajatan dengan maksud menolong dengan seadanya, seperti beras,

laksa, teh, ayam dan lain sebagainya

“ bece’an itu adalah kebiasaan masyarakat Jawa dalam membantu yang

berhajatan dengan membawa berupa beras, teh, laksa, ayam, susu dan lain – lain yang

di letakkan pada sebuah tas besar sehingga mudah untuk dibawa, ini dilakukan oleh

para ibu – ibu khususnya yang langsung diserahkan kepada ibu yang berhajatan. Lain

pula dengan bapak – bapaknya, biasanya bapak – bapak membawa amplop yang akan

diserahkan kepada bapak yang berhajatan. Disaat pulang tas yang berisikan beras dan

lain sebagainya akan diisi kembali dengan makanan yang telah disediakan oleh

keluarga yang berhajatan. Sekarang ini saat masyarakat jawa maupun gorontalo

melakukan hajatan maka bece’an ini sudah dilakukan. ( hasil wawancara dengan ibu

Suratmi warga masyarakat desa Sidodadi pada tanggal 19 juni 2013)”.

Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Gorontalo di desa Sidomulyo

“ bece’an untuk saat ini sudah dilaksanakan oleh kedua suku, gorontalo

melaksanakan acara tersebut untuk menghormati masyarakat Jawa, namu ada pula

kebiasaan kita masyarakat Gorontalo yang diikuti oleh masyarakat Jawa seperti

pelaksnaan resepsi dimalam hari. Resepsi pada awalnya hanya dikenal oleh

masyarakat Gorontalo, namun seiring dengan berkembangnya jaman masyaraat kedua

suku ini melaksanakan kedua – duanya. Pada pagi hari melaksanakan bejean dan pada

malam hari melaksanakan resepsi (hasil wawancara bersama ibu Tuti Taliki pada

tanggal 9 Juni 2013)”

Bardasarkan Uraian diatas masyarakat Jawa dan Gorontalo memiliki

kebiasaan masing – masing, masyarakat Jawa dapat menerima pelaksnaan resepsi dan

masyarakat Gorontalo dapat melaksanakan bece’an pada saat malaksanakan hajatan.

Kedua suku ini telah melaksanakan akulturasi budaya khususnya pada perkawinan.

Kebiasaan yang dilaksnakan oleh kedua suku tersebut telah menghasilkan sebuah

kebudayaan baru dimana masyarakat dapat membaurkan kedua kebudayaan masing

masing yaitu pelaksanaan bece’an pada pagi hari serta pelaksnaan resepsi pada

malam hari. Sedangkan untuk penmapilan kesenian pada saat resepsi kedua

Page 14: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

kebudayaan ini telah terpuruk dengan perkembangan jaman dimana pelaksanaan

resepsi yang disertai dengan penampilan- penampila dari kedua kebudayaan masing –

masing seperti, kuda kepang, reog, penampilan tarian dana – dana dan lain

sebagainya kini telah bergser di ganikan denagn kesenian yang zaman modern seperti

band, orgen, dan karoke. Hal tersebut dipertegas oleh bapak Kepala Desa Sidodadi

dalam wawancara yang dilakukan.

“ kedua suku ini telah melaksanakan kebiasaan berupa bece’an pada pagi hari

dan resepsi pada malam hari, hal ini telah berjalan sejak lama. Namun untuk

penyelenggaraan pesta dalam hal ini menghibur masyarakat kesenian – kesenian yang

dilaksanakan telah berganti dengan kesenian zaman modern seperti orgen dan lain

sebagainya.(hasil wawancara dengan bapak kepala desa Sidodadi Bapak Riono

Marsono pada tanggal 19 juni 2013)”.

Pergeseran kesenian yang terjadi diakibatkan oleh perkembangan jaman,

kesenian – kesenian ini menjadi pertunjukan yang langka yang hanya dapat

disaksikan pada pelaksanaan acara – acara penting yang diselenggarakan oleh

pemerintah. Pergeseran kesenian ini sama halnya dengan pergeseran Kebiasaan para

petani dari kedua suku ini dalam proses menanam Padi yang lebih bergantung pada

ketersediaan air. Proses penanaman padi dalam suku Gorontalo dikenal dengan “

Pagoba” yang menyesuaikan dengan dunia perbintangan. Oleh Suku jawa Pagoba

tersebut dipercayai dan sering diikuti. Sebelumnya dilaksanakan musyawarah oleh

kedua suku tersebut sebelum proses penanaman. Masyarakat Gorontalo memperikan

prediksi yang baik untuk waktu menanam sehingga untuk seluruh masyarakat

Page 15: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

melakukan proses penanaman secara serentak pada waktu yang telah di tentukan.

Seperti yang dijelaskan oleh bapak Warijan.

“ untuk proses penanaan kami mengikuti proses orang Gorontalo, jadi disaat

mulai menanam semuanya berkumpul dan sepakat untuk membeicarakan waktu

bertanam yang tepat. (hasil wawancara dengan Bapak Warijan masyarakat Desa

Sidomulyo pada tanggal 6 juni 201 )”.

Namun, seperti yang sudah dijelaskan sekarang ini proses penanaman sudah

tidak bergantung pada ilmu perbintanagan, karena masyarakat lebih mengandalkan

pada ketersediaan air sehingga proses penanaman tidak dapat dilaksanakan secara

serentak. Namun masih ada beberapa petani yang menggunakan ilmu perbintangan

terebut. Hal yang sama di pertegas oleh salah seorang Tokoh dari desa Sidodadi

“ saat ini pelaksnaan penanaman padi sudah jarang menggunakan proses

perbintangan karena semuanya tergantung pada ketersediaan air pada saat itu. Karena

jika pada saat yang di tentukan tidak dapat menanam karena ketersediaan air tidak

ada. Sehingga semua berdampak pada hasil tanam (hasil wawancara dengan bapak

Endi Payuhi pada tanggal 19 juni 2013)”.

Selain proses komunikasi dan akulturasi yang telah dijelaskan di atas ada

beberapa hal yang perlu diketahui antara kedua etnis tersebut diantaranya adalah

sebagai berikut:

a. Etos Kerja

Sebelum memahami tentang etos kerja masyarakat Jawa dan

Gorontalo, terlebih dahulu memahami arti penting dari etos kerja. Menurut

Maulana (103 : 2008) menjelaskan bahwa “etos adalah semangat, jiwa atau

Page 16: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

pandangan hidup suatu bangsa”. Sementara itu Gadeng (2009)

menyimpulkan bahwa ” etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang

kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang

baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja

mereka”. Etos kerja merupakan bagian yang patut menjadi perhatian dalam

keberhasilan, Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan kepribadian,

perilaku, dan karakternya. Setiap individu atau kelompok memiliki etos

kerja yang berbeda, Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma

sosial masyarakat itu. Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi

landasan perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar

dalam kehidupan masyarakat. Sehingganya dengan melihat etos kerja dari

seseorang ataupun kelompok maka kita dapat menilai bagaimana

kehidupan seseorang atau kelopok tersebut. Seperti halnya etos kerja

masyarakat Jawa dan Gorontalo. Menurut pandangan umum terlihat

perbedaan tentang etos kerja suku Jawa dan suku Gorontalo, Suku Jawa

terlihat lebih rajin, seperti yang di sampaikan oleh Bapak Kepala desa

Sidomulyo.

“dalam hal etos kerja masyarakat Jawa lebih tekun, rajin dibandingkan

masyrakat gorontalo, menurut pantauan saya setiap hari masyarakat Jawa

selalu pergi ke sawah untuk bekerja, karena mereka bekerja untuk

menafkahi kebutuhan sehari – hari”. (hasil wawancara dengan Bapak

Kepala Desa Sidomulyo tanggal 9 juni 2013).

Keuletan kerja yang ada pada masyarakat Jawa menjadi nilai tersendiri

di lingkungan mereka tinggal. Banyak hal yang menjadi faktor yang

Page 17: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

menjadikan masyrakat jawa lebih tekun, selain status mereka yang

merupakan masarakat transmigran menuntut mereka untuk lebih giat dalam

perantauan. Ada beberapa pepatah yang menjelaskan tentang etos kerja

masyarakat Jawa yang merupakan warisan dari nenek moyang diantaranya,

Darni ( 59: 2006) menjelaskan bahwa pepatah aja ngaya merupakan

pepatah yang ada pada masyarakat Jawa yang artinya (jangan memaksakan

diri). Pepatah tersebut menjelaskan bahwa dalam bekerja janganlah

memaksakan diri, terimalah apa adanya rezeki yang sudah diberikan

dengan usaha yang sudah dikerjakan.

b. Pernikahan antar etnis Jawa dan Gorontalo

Pernikahan merupakan syariat untuk mengesahkan hubungan dua

insan manusia yang berbeda jenis agar menjadi pasangan yang halal.

Pernikahan yang terjadi antar etnis merupakan hal yang telah lama terjadi

sejak masyarakat Jawa datang sebagai para transmigran. Hal ini terjadi

karena banyaknya persebaran etnis Jawa yang ada di Gorontalo sehingga

memungkinkan untuk melakukan pernikahan. Pernikahan pasangan beda

etnis antara Jawa dan Gorontalo juga memunculkan akulturasi budaya yang

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akulturasi budaya Jawa dan

Gorontalo dalam bidang bahasa terjadi dalam bentuk peminjaman istilah

pada bahasa lisan atau tulisan. Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang

masyarakat Sidodadi yang melakukan pernikahan beda etnis.

Page 18: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

“ saya adalah orang Gorontalo dan suami saya adalah orang Jawa,

dalam rumah tangga kami, berkomunikasi sering menggunakan kedua

bahasa tersebut, bahkan disaat menikah kami melakukan kedua adat

tersebut dalam hajatan pernikahan kami, dan kami sudah saling mengenal

budaya masing – masing.( hasil wawancara dengan seorang warga desa

Sidodadi bersama ibu Misiyan pada tanggal 9 juni 2013).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa,

pernikahan antar etnis sangat baik, karena dapat menyatukan dua

kebudayaan. Namun, hal yang patut dijaga adalah saling menghargai agar

rumah tangga menjadi hamoninis.

c. Peralatan Kerja

Peralatan kerja merupakan peralatan yang di pakai seseorang untuk

mengolah lahan atau pertanian. Peralatan kerja yang digunakan oleh

masyarakat Jawa dan Gorontalo pada umumnya sudah sama dalam bidang

pertanian khususnya. Hal ini dikarenakan oleh waktu yang telah lama bagi

kedua etnis ini dalam berbaur sehingga menjadikan mereka untuk saling

bertukar informasi dan lain - lain Peralatan yang sering digunakan dalam

bertani diantaranya:

1. Cangkul. Cangkul digunakan untuk menggali, membersihkan

tanah dari rumput atau pun untuk meratakan tanah. Cangkul masih

digunakan hingga kini. Cangkul terbuat dari besi dan kayu.

2. Ani – ani/ ketam. Ani-ani atau ketam adalah sebuah pisau kecil

yang dipakai untuk memanen padi. Dengan ani-ani tangkai bulir

Page 19: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

padi dipotong satu-satu, sehingga proses ini memakan banyak

pekerjaan dan waktu, namun keuntungannya ialah, berbeda dengan

penggunaan sebuah arit, tidak semua batang ikut terpotong.

Dengan demikian, bulir yang belum masak tidak ikut terpotong.

3. Arit/Sabit. Arit adalah alat pertanian untuk memotong padi di sawah

dan merupakan alat pertanian yang penting bagi petani. Terbuat dari besi

bertangkai, dibuat sedemikian rupa agar mudah dipakai. Matanya

membentuk bulan sabit, karena itu disebut sabit. Terdapat beberapa jenis

sabit yang disesuaikan dengan kebutuhan, seperti sabit bergerigi yang di

gunakan untuk memotong padi, sabit yang memiliki ukuran besar dan

kecil memiliki kegunaan masing – masing pula diantaranya untuk

memotong rumput dan dahan – dahan besar.

4. Gerejag/Gebotan. Gerejag/Gebotan merupakan alat yang dipakai

petani dalam proses panen di sawah, dimana alat ini berfungsi

melepas biji padi dari tangkainya, dengan cara tangkai padi di

ayunkan di gebotan sehingga biji padi bisa terlepas dari

tanggkainya. Namun, untuk saat ini sudah banyak yang memakai

perontok sebuah mesin yang lebih moderen lagi untuk

memisahkan biji padi dari tangkainya.

5. Peralatan matekap/membajak sawah. Metekap adalah istilah orang

bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang

mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor

Page 20: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

sapi yang kemudian di ikat pada "TENGALA" dan "LAMPIT"

yang berfungsi untuk membajak sawah.

6. Penakut/orang – orangan sawah. Petakut / orang orangan disawah

biasanya dibuat dari batang bambu yang di bungkus dengan jerami

hingga dibuat mirip seperti orang yang berada di tengah sawah,

dengan tujuan untuk menghalau burung agar takut memakan biji

padi yang sedang menguning.

d. Bagaimana keadaann masyrakat dengan adanya masyarakat Jawa yg lebih

Dominan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari kedua desa, jumlah

masyarakat Jawa mendominasi jumlah penduduk untuk kedua desa

tersebut. Sehingganya ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam

pelaksanaan berbagai macam kegiatan yang khususnya bidang

pemerintahan. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang disampaikan oleh

Bapak Kepala Desa Sidomulyo.

“ seperti yang kita ketahui bersama masyarakat Jawa lebih tekun

dalam bekerja sehingga saat pemerintah malakukan kegiatan – kegiatan

desa seperti undangan rapat guna peningkatan kesejahteraan tidak sering

dihadiri, solusi yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan

pengumuman tersebut pada kegiatan – kegiatan sosial masyarakat seperti

majelis ta’lim, kelompok tani dan organisasi – organisasi desa lainnya.

( wawancara dengan bapak Kepala Desa Sidomulyo Yunus Dj. Taidi pada

tanggal 9 juni 2013) ”.

Proses akulturasi yang terjadi antara kedua suku ini, menghasilkan sebuah

kebudayaan baru yang sampai dengan saat ini telah dilaksanakan. Proses akulturasi

Page 21: BAB IV HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 GAMBARAN …eprints.ung.ac.id/5638/11/2013-1-87201-231409082-bab4-29072013044818.pdfPada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah

dari kedua suku tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap keduanya, dalam

pelaksanaan proses akulturasi ini tidak terlepas dari adanya proses komunikasi dalam

hal ini dalah dipengaruhi oleh bahasa. Kedua suku ini telah memahami proses

akulturasi yang terjadi di dukung oleh adanya bahasa, karena disaat berkomunikasi

masyarakat menggunakan kedua bahasa tersebut. Dengan adanya pengguasaan

bahasa yang lebih dari satu memudahkan masyarakat dalam proses penyampaian dan

penerimaan pesan. Tidak hanya itu, kedua bahasa ini sering digunakaan dalam

berbagai pertemuan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat

tersebut. Sehingga denagn keseharian ini masyarakat terbiasa mendengarkan bahasa

dari kedua suku tersebut.