bab iv analisis geomorfologi dan aplikasinya · pdf filekertasari dan sekitarnya (menggunakan...
TRANSCRIPT
43
BAB IV
ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK
TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN
4.1. ANALISIS GEOMORFOLOGI
4.1.1 Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai
Interpretasi pola aliran dapat mudah dilakukan dengan pemanfaatan data
penginderaan jauh baik citra foto ataupun nonfoto. Terlebih data penginderaan jauh
streoskopis (foto udara) dengan menampakkan tiga dimensi yang akan memunculkan
hasil yang maksimal. Citra satelit yang paling baik digunakan untuk mengetahui pola
aliran adalah citra radar yang menghasilkan kenampakan tiga dimensi yang paling baik.
Pola aliran sungai yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola
dendritik dan sentrifugal-trelis. Pola aliran dendritik ini mempunyai ciri seperti
percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengah arah dan sudut yang beragam.
Berkembang di batuan yang homogen dan tidak terkontrol oleh struktur. Pola ini juga
mempunyai kemiringan yang relatif landai. Pada daerah penelitian, pola dendritik ini
dapat dijumpai di bagian utara peta.
Pola aliran sungai sentrifugal mempunyai ciri aliran dari satu titik menuju ke
keliling luar titik tersebut. Disebut juga radial sentrifugal. Pola ini dapat mencirikan
suatu bentukan bukit hasil erosional. Kemiringan bukit tersebut relatif sama ke semua
arah. Selain itu juga terlihat pola trelis, dimana terdapat banyak sekali anak sungai
utama yang mengalir mengikuti jurus lapisan (Thornbury, 1969). Pola ini biasa terdapat
pada perbukitan lipatan. Pada daerah ini, pola sentrifugal-trelis dapat dijumpai di tengah
peta (Gambar 4.1).
Tipe genetik sungai di daerah penelitian ini didominasi oleh tipe subsekuen.
Sungai tipe subsekuen adalah sungai yang mengalir mengikuti arah jurus perlapisan
batuan pada daerah dengan batuan yang kurang resisten (Davis, 1902; dalam Thornbury
1969). Tipe ini terdapat pada Sungai Cibalandongan, cabang hulu Sungai Cikuya,
cabang hulu Sungai Cirendeuy, dan sungai-sungai di Gunung Gantungan dan Canggah.
44
Gambar 4.1 Pola aliran sungai dan tipe genetik sungai.
4.1.2 Pola Kelurusan
Pola kelurusan dapat mengindikasikan arah tegasan utama yang bekerja di
daerah penelitian. Dari peta Digital Elevation Model (DEM), dianalisis 120 data
kelurusan bukit dan sungai yang kemudian dibuat diagram rosetnya. Hasilnya adalah
kelurusan dominan pada arah baratlaut-tenggara (Gambar 4.2). Hal ini mengindikasikan
bahwa pernah ada tegasan utama berarah baratdaya-timurlaut yang bekerja di daerah
penelitian.
Keterangan: K : Konsekuen S : Subsekuen O : Obsekuen
45
Gambar 4.2 (a) Pola dan (b) Diagram Roset Kelurusan Punggungan dan Sungai Daerah
Kertasari dan Sekitarnya (menggunakan software Dips versi 5.1, 2011)
4.1.3 Satuan Geomorfologi
Berdasarkan klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Brahmantyo dan Bandono, 2006),
daerah penelitian dapat dibagi menjadi lima satuan geomorfologi yaitu: (Lampiran Peta-
II).
4.1.3.1 Satuan Lembah Sinklin Kertasari
Satuan ini mencakup 50% dari luas daerah penelitian, memiliki ketinggian 40 -
150 m di atas permukaan laut. Pada peta geomorfologi, satuan ini diberi warna ungu.
Satuan ini menempati bagian baratlaut, tengah, hingga selatan daerah penelitian yang
dicirikan oleh topografi yang relatif melandai. Satuan ini memiliki relief sedang dengan
kemiringan lapisan antara 8° - 75°. Proses geomorfik yang berkembang pada satuan ini
adalah pelapukan dan erosi lateral sungai.
Satuan geomorfologi ini disusun oleh litologi perselingan batupasir-batulanau
dengan resistensi yang cukup rendah terhadap proses geomorfik sehingga
memungkinkan membentuk relief yang relatif melandai (Foto 4.1).
a
b
46
Foto 4.1. Satuan Lembah Sinklin Pamedaran bagian selatan (garis kuning) Diambil dari puncak Gunung Canggah ke arah baratdaya
Sungai yang mengalir pada satuan ini umumnya memiliki pola aliran
trelis, dengan anak sungai yang mengalir searah jurus lapisan, yang mengindikasikan
adanya struktur lipatan. Hal itu sesuai dengan pengamatan struktur kedudukan batuan
yang mengindikasikan adanya struktur sinklin dengan sumbu berarah timurlaut-
tenggara.
4.1.3.2 Satuan Perbukitan Sinklin Pamedaran
Satuan Perbukitan Sinklin Pamedaran menempati 20% dari wilayah penelitian.
Berada pada bagian tengah daerah penelitian dengan ketinggian 150 - 359 m di atas
permukaan laut. Pada peta geomorfologi, satuan ini diberi warna krem. Satuan ini
memiliki bentuk morfologi berupa perbukitan dengan ciri kontur rapat. Satuan ini
memiliki kemiringan lereng yang terjal (Foto 4.2). Bagian tengah satuan ini sedikit
membentuk lembah karena pengaruh erosi sungai yang kuat. Erosi kuat ini terjadi
karena daerah tengah tersebut merupakan sumbu sinklin yang memiliki banyak zona
lemah.
47
Satuan geomorfologi ini disusun oleh batuan breksi volkanik yang sangat rentan
terhadap erosi. Proses yang berkembang pada satuan ini adalah longsoran batuan dan
pelapukan akibat vegetasi.
Foto 4.2. Satuan Perbukitan Sinklin Pamedaran (garis kuning) Diambil dari arah jalan raya Kertasari mengarah ke timur.
Sungai yang mengalir pada satuan ini memiliki pola aliran sentrifugal-trelis yang
mengindikasikan bentukan bukit erosional dan pengaruh struktur lipatan.
4.1.3.3 Satuan Dataran Denudasional Kertasari
Satuan geomorfologi ini (Foto 4.3) mencakup 25% dari luas daerah penelitian,
berada pada ketinggian sekitar 40 – 100 m di atas permukaan laut. Pada peta
geomorfologi, satuan ini diberi warna biru muda yang menempati wilayah utara peta.
Satuan ini dicirikan oleh dataran yang sedikit bergelombang dengan persen lereng rata-
rata 10% dan pola kontur yang cukup renggang.
Satuan geomorfologi ini disusun oleh batulempung yang memiliki resistensi
rendah terhadap proses erosi. Bentukan bukit-bukit kecil diperkirakan karena pengaruh
adanya konkresi karbonat yang membuat litologi lebih resisten. Proses geomorfik yang
berkembang pada satuan ini adalah pelapukan, longsoran, dan erosi lateral sungai.
48
Foto 4.3. Satuan Dataran Denudasional Kertasari (garis kuning) Diambil dari Gunung Gantungan, mengarah ke utara.
4.1.3.4 Satuan Dataran Aluvial Kertasari
Satuan geomorfologi ini meliputi 5% dari keseluruhan luas daerah penelitian,
dan berada pada ketinggian 5 – 40 meter di atas permukaan laut. Pada peta
geomorfologi, wilayah ini diberi warna abu-abu dan menempati bagian barat daya,
timur, dan utara peta. Satuan ini secara umum dicirikan oleh dataran yang landai. (Foto
4.4). Proses geomorfik yg berkembang adalah erosi lateral serta sedimentasi sungai.
Foto 4.4 Satuan Dataran Aluvial Kertasari Diambil dari Gunung Canggah mengarah ke baratdaya
Satuan geomorfologi ini disusun oleh aneka jenis batuan dengan ukuran
lempung hingga bongkah yang belum terkonsolidasi, berupa batuan beku dan batuan
sedimen yang dihasilkan dari hasil erosi hulu sungai.
49
4.1.4 Tahapan Geomorfik Daerah penelitian termasuk ke dalam tahapan geomorfik dewasa karena terdapat
inverted topography (Thornbury, 1969) yaitu perbukitan sinklin. Massa batuan pada
bagian lembah telah habis tererosi. Proses erosi seperti ini memakan waktu yang lama,
oleh karena itu daerah penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam tahapan geomorfik
dewasa.
Tahapan geomorfik daerah penelitian tidak dideduksi dari bentukan
lembah/sungai karena deduksi itu hanya berlaku untuk cakupan regional (Thornbury,
1969).
4.2 APLIKASI UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN Lahan atau tanah merupakan sumberdaya fisik wilayah utama yang sangat
penting untuk diperhatikan dalam perencanaan tata guna lahan. Perencanaan tata guna
lahan sangat diperlukan karena jumlah lahan terbatas dan merupakan sumberdaya yang
hampir tidak terbaharui, sedangkan jumlah manusia yang memerlukan lahan terus
bertambah. Selain itu, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya
dapat menyebabkan kerusakan lahan.
Evaluasi lahan diperlukan karena sifat lahan beragam, sehingga perlu
dikelompokkan ke dalam satuan-satuan yang lebih seragam. Keragaman ini
memengaruhi jenis-jenis penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing satuan
lahan. Keragaman ini bersifat sistematik sehingga dapat dipetakan. Kesesuaian lahan
untuk penggunaan tertentu dapat dievaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang
diperlukan untuk evaluasi cukup tersedia dan berkualitas baik. (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2006).
Daerah penelitian sangat berpotensi untuk menjadi pusat permukiman karena
letaknya dekat (±2 km) dengan waduk Malahayu yang sedang dikembangkan menjadi
obyek wisata. Untuk itu diperlukan evaluasi lahan untuk permukiman agar
pembangunan permukiman ke depannya dapat lebih optimal.
Evaluasi tata guna lahan untuk kawasan permukiman daerah penelitian dapat
dilakukan dengan analisis geomorfologi yang diolah lebih lanjut dengan sistem
50
informasi geografis. Data-data yang diperlukan adalah data spasial dari litologi,
geomorfologi, kemiringan lahan, kebasahan lahan, dan tutupan lahan.
4.2.1 Aplikasi Metode Proses Hirarki Analitik
Kelima data spasial tersebut di atas menjadi lima parameter tersendiri yang akan
ditumpang-susun dengan perhitungan nilai bobot (weighted overlay). Metode
pembobotan yang digunakan adalah metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Metode
PHA ini digunakan untuk menentukan bobot dan nilai maksimum untuk jumlah semua
parameter yang diperoleh dari penilaian perbandingan antarparameter. Perbandingan ini
disusun dalam matriks perbandingan atau matriks pairwise comparison.
Penilaian matriks didasarkan oleh tingkat keberpengaruhan suatu nilai dalam
penentuan tata guna lahan. Tidak ditemukan referensi mengenai penggunaan
parameter-parameter sejenis untuk evaluasi lahan permukiman dengan metode ini. Oleh
karena itu, penentuan nilai pada analisis ini didasarkan oleh pengamatan penulis akan
tingkatan signifikansi pengaruh masing-masing parameter terhadap penggunaan lahan
permukiman. Makin besar biaya yang diperlukan untuk merekayasa lahan akibat
kekurangan yang diakibatkan oleh suatu parameter, makin tinggi nilai parameter
tersebut. Sebagai contoh, parameter slope memiliki nilai tertinggi karena rekayasa
pondasi rumah pada lahan miring memakan biaya besar. Belum lagi resiko terkena
bencana longsor.
Tabel 4.1. Matriks Perbandingan antarparameter Evaluasi Lahan
Setelah dihitung nilai pada matriks perbandingan, keseluruhan nilai dijumlahkan
perkolom parameter. Total perkolom ini akan digunakan sebagai pembagi dari nilai-
nilai pada matriks perbandingan, yang kemudian akan disusun pada matriks berikutnya
51
yaitu matriks normalisasi. Tabel 4.2 memperlihatkan matriks normalisasi yang
digunakan dalam penelitian ini.
Nilai-nilai yang telah dinormalisasi ini kemudian dijumlahkan dan dirata-ratakan
perbaris parameternya. Nilai inilah yang dinamakan bobot prioritas, yang merupakan
kunci dari metode PHA ini. Bobot prioritas ini nantinya digunakan dalam metode
weighted overlay kelima jenis data spasial.
Tabel 4.2 Matriks Normalisasi Parameter Evaluasi Lahan
Konsistensi perbandingan antar matriks diuji dengan melakukan pengujian rasio
konsistensi. Pengujian ini dimulai dengan mengetahui princial eigen value maksimum.
Hal tersebut didapatkan dengan prinsip perkalian matriks, yaitu baris dikali kolom.
Hasil perkalian tersebut akan menghasilkan matriks nilai eigen. Tahap selanjutnya
adalah menentukan principal eigen dengan cara melakukan pembagian antara matriks
nilai eigen dengan tiap elemen matriks bobot prioritas pada baris yang sama. Matriks
principal eigen yang telah didapat berupa matriks n baris dan 1 kolom yang selanjutnya
matriks tersebut dirata-ratakan. Nilai rata-rata ini merupakan principal eigen value
maksimum (λmaks). Berikut ini adalah perhitungan principal eigen value maksimum
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Matriks Principal Eugen Value
1 3 5 5 7 0,468370591 2,651817
0,33333 1 3 5 7 0,279332453 1,608746
0,2 0,33333 1 0,33333 3 X 0,086078347 = 0,44022
0,2 0,2 3 1 3 0,124236703 0,657958
0,14286 0,14286 0,33333 0,33333 1 0,041981907 0,218903
52
2,651817 : 0,468370591 = 5,661791325
1,608746 : 0,279332453 = 5,759253212
0,44022 : 0,086078347 = 5,11417689
0,657958 : 0,124236703 = 5,296003982
0,218903 : 0,041981907 = 5,214224296
Ʃ = 27,04544971
λmaks = 27,04544971 : 5 = 5,409089941
Tahap selanjutnya adalah penentuan indeks konsistensi dengan menggunakan
rumus λmaks – n/n-1. Dengan didapatkannya indeks konsistensi maka akan didapat juga
rasio konsistensi yang merupakan pembagian indeks konsistensi dengan Random
Indeks. Untuk jumlah parameter yang digunakan 5 buah, maka nilai RI adalah 1,12.
Indeks Konsistensi = λmaks – n/n – 1
= 5,409089941 – 5/5 – 1
= 0,102272485
Rasio Konsistensi = Indeks Konsistensi/Random Index
= 0,102272485/1,12
= 0,091314719 hasil cukup konsisten
Hasil pengujian rasio konsistensi mendapatkan nilai 0,091314719 yang
mempresentasikan nilai yang konsisten dari suatu matriks perbandingan. Menurut Saaty
(1988) nilai rasio konsistensi dapat dikatakan konsisten jika memliliki nilai kurang dari
0,1. Dengan demikian nilai rasio konsistensi penelitian dapat dikatakan memiliki nilai
yang cukup konsisten dan nilai dari bobot prioritas setiap parameter dapat
dipertanggungjawabkan.
4.2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Pengolahan data spasial menggunakan sistem informasi geografis sudah lazim
dilakukan pada perencanan tata guna lahan. Pada penelitian ini, SIG digunakan untuk
pengolahan data spasial mulai dari awal hingga penggabungan kelima data tersebut.
Perangkat lunak yang digunakan antara lain Global Mapper 10, Er Mapper 7.0, dan
ArcGIS 9.3.
53
Data spasial litologi dan geomorfologi diwakili oleh peta geologi (Lampiran
Peta-III) dan peta geomorfologi (Lampiran Peta-II). Kedua peta ini disusun berdasarkan
pengamatan langsung di lapangan dan juga pengamatan peta topografi dan peta Digital
Elevation Model. Peta kemiringan lahan (Gambar 4.3) dimodifikasi dari peta DEM. Dua
peta lainnya yaitu peta kebasahan lahan (Gambar 4.4) dan tutupan lahan (Gambar 4.5)
dibuat dari modifikasi citra satelit Landsat ETM+ 8 band dari USGS (2003) dengan
band 3 dan 4 sebagai data olahan. Citra yang beratribut 8 band diolah dengan
menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Pengolahan
data dengan metode NDVI menggunakan perangkat lunak Er Mapper. Metode NDVI
memakai data olahan band 4 dari satelit Landsat ETM+ yang memiliki kemampuan
mendeteksi survei biomassa dan delineasi tubuh air, sedangkan band 3 memiliki
kemampuan aplikasi membedakan tingkat absorbs klorofil pada vegetasi (Saputra,
2010).
4.2.3 Pengolahan Data
4.2.3.1 Litologi
Litologi daerah penelitian terdiri dari perselingan batupasir-batulanau, breksi
volkanik, dan batulempung. Untuk evaluasi lahan permukiman, urutan nilai litologi dari
yang terbaik adalah perselingan batupasir-batulanau, breksi volkanik, dan batulempung.
Litologi perselingan batupasir-batulanau merupakan litologi yang dapat menghasilkan
zona akifer yang optimal. Litologi breksi andesit pun banyak dipakai sebagai bahan
fondasi bangunan. Sedangkan batulempung dikenal luas sebagai material yang kurang
baik untuk fondasi bangunan karena volumenya dapat mengembang jika basah, hal ini
sesuai dengan pernyataan Hardiyatmo (2002) tentang mineral lempung montmorilonit
dan ilit.
4.2.3.2 Geomorfologi
Satuan geomorfologi daerah penelitian telah dijelaskan pada subbab
sebelumnya. Urutan nilai terbaik berdasarkan relief topografi dan tingkat erosinya.
Lembah Sinklin Pamedaran diberi nilai tertinggi karena relief topografinya halus hingga
sedang, dengan tingkat erosi yang paling rendah. Dilanjutkan dengan Satuan Dataran
Denudasional Kertasari yang memiliki relief topografi yang juga halus hingga sedang,
54
namun di satuan ini terlihat banyak sekali longsoran yang rapuh. Dilanjutkan dengan
Satuan Perbukitan Sinklin Pamedaran yang memiliki relief topografi terjal, juga banyak
ditemukan longsoran tebing dengan bongkahan yang dinilai membahayakan. Terakhir
ialah Satuan Dataran Aluvial Kertasari yang diberi nilai terendah karena rawan terkena
limpasan banjir dari sungai dan tingkat erosi lateralnya yang signifikan.
4.2.3.3 Kemiringan Lereng
Peta ini (Gambar 4.3) dibuat berdasarkan pengelasan persen lereng Zuidam
(1983). Persen lereng di daerah penelitian berkisar dari 0% hingga 140%. Untuk
evaluasi lahan permukiman, semakin kecil nilai persen lereng semakin baik nilainya.
Hal ini sesuai dengan persyaratan fisik kawasan perdesaan yaitu terletak pada lahan
yang bermorfologi datar-landai dengan kemiringan lahan 0-8% tanpa rekayasa teknis
(Badan Standardisasi Nasional Indonesia, 2004).
Gambar 4.3 Peta Kemiringan Lereng Daerah Kertasari dan Sekitarnya
55
4.2.3.4 Kebasahan Lahan
Tingkat kebasahan lahan daerah penelitian terbagi dalam 5 zona yaitu zona
mengalir, merembes, basah, lembab, dan kering (Gambar 4.4). Kawasan permukiman
yang ideal tentunya harus dekat dengan sumber air, namun juga tidak tepat berada di
zona mengalir atau merembes. Untuk itu, urutan zona dari nilai terbaik adalah zona
lembab, zona basah, zona merembes, zona kering, dan zona mengalir.
4.2.3.5 Tutupan Lahan
Tingkat tutupan lahan daerah penelitian terbagi dalam 4 zona yaitu zona lahan
rapat, lahan sedang, lahan jarang, dan lahan gundul (Gambar 4.5). Berdasarkan
penjelasan Pasal 13 ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah,
Gambar 4.4 Peta Kebasahan Lahan Daerah Kertasari dan Sekitarnya
56
Gambar 4.5 Peta Tutupan Lahan Daerah Kertasari dan Sekitarnya
pedoman teknis penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang di wilayah pedesaan.
Untuk itu, kawasan permukiman sebisa mungkin tidak mengganggu lahan dengan
tutupan yang rapat. Selain itu, biaya pembangunan juga akan semakin mahal. Oleh
karena itu, zona lahan rapat diberi nilai terburuk dan zona lahan gundul diberi nilai
terbaik.
4.2.4 Peta Rekomendasi Tata Guna Lahan Permukiman
Kelima peta tersebut di atas kemudian ditumpang-susun dengan pembobotan
nilai yang telah dihitung berdasarkan metode PHA. Perangkat lunak yang digunakan
adalah ArcGIS 9.3. Hasil dari tumpang-susun berbobot ini adalah Peta Rekomendasi
Tata Guna Lahan Permukiman (Gambar 4.6 dan Lampiran Peta-IV).
Terdapat 4 zona hasil evaluasi tata guna lahan permukiman di daerah penelitian,
yaitu Zona Sangat Layak, Zona Layak, Zona Kurang Layak, dan Zona Tidak Layak
(karena kerapatan kontur ketinggian yang berwarna hitam, Zona Tidak Layak yang
berwarna merah tidak begitu terlihat.). Zona Sangat Layak meliputi 40% daerah
57
penelitian, tersebar di utara dan timur daerah penelitian. Kelemahan beberapa zona ini
ialah litologi batulempung. Disarankan untuk menguatkan tanah dengan campuran
batugamping gerusan (Al-Khashab dan Al-Hayalee, 2008) atau melakukan kompaksi
permukaan (Bergado, dkk, 1996).
Zona Layak meliputi 30% daerah penelitian, tersebar di tengah daerah penelitian
dengan relief sedang. Kelemahannya adalah persen lereng yang dapat mencapai 30%.
Disarankan untuk melakukan sistem pemotongan tanah (cut and fill) atau menggunakan
pondasi berstruktur tangga (Frick dan Setiawan, 2001).
Zona Kurang Layak meliputi 25% daerah penelitian, tersebar di baratlaut,
tengah, dan utara daerah penelitian. Pada kenyataannya di lapangan, ada bagian zona ini
yang merupakan kawasan permukiman walau persen lerengnya mencapai 30%. Hal ini
disebabkan oleh faktor kedekatannya dengan jalan utama dan juga merupakan kawasan
terdekat dengan obyek wisata waduk Malahayu. Selain itu, daerah tersebut terdiri dari
litologi breksi volkanik yang cukup kuat sebagai pondasi bangunan. Disarankan hal-hal
yang sama seperti pada Zona Layak. Daerah yang jauh dari obyek wisata baiknya
dijadikan kawasan budidiya seperti perkebunan jati.
Zona Tidak Layak meliputi 5% daerah penelitian, tersebar di tengah daerah
penelitian pada puncak gunung dengan relief yang sangat terjal. Daerah ini memang
selayaknya menjadi kawasan hutan lindung untuk menjaga keseimbangan dan
kelestarian alam juga menyokong kehidupan masyarakat sekitar. Contohnya, untuk
mencegah longsor, mempertahankan kualitas udara, dan menjaga asupan sumber daya
airtanah.
58
Gambar 4.6 Peta Rekomendasi Tata Guna Lahan Permukiman Daerah
Kertasari dan Sekitarnya
4.2.5 Validasi Lapangan
Foto 4.5 dan 4.6 memperlihatkan validasi lapangan untuk klasifikasi Zona
Rekomendasi Tata Guna Lahan Permukiman di bagian baratdaya daerah penelitian.
Foto ini memberi gambaran akan fungsi lahan nyata di lapangan. Zona Tidak Layak
memang bukan digunakan sebagai kawasan permukiman, melainkan untuk hutan
lindung. Hutan lindung berfungsi untuk menjaga kelestarian alam guna menyokong
kehidupan masyarakat sekitar.
Zona Kurang Layak juga bukan digunakan untuk kawasan permukiman,
melainkan untuk perkebunan jati dan sawah terasering. Zona Layak dan Sangat Layak
di Foto 4.5 digunakan sebagai persawahan. Zona Sangat Layak dan Zona Layak di Foto
4.6 digunakan sebagai kawasan permukiman yaitu Desa Kertasari.
Zona Sangat Layak
Zona Layak
Zona Kurang Layak
Zona Tidak Layak
59
Foto 4.5 Validasi Lapangan: Klasifikasi Zona Rekomendasi Tata Guna Lahan
Permukiman. Diambil dari S. Cibalandongan ke arah timurlaut.
Foto 4.6 Validasi Lapangan: Klasifikasi Zona Rekomendasi Tata Guna Lahan
Permukiman. Diambil dari G. Canggah ke arah baratdaya.
Zona Tidak Layak
Zona Kurang Layak
Zona Layak dan Sangat
Layak
Zona Layak dan Sangat Layak
Desa Kertasari