bab iii - seasonuploads.files.wordpress.com€¦ · web viewmunakahat (pernikahan dalam ......
TRANSCRIPT
MUNAKAHAT
(Pernikahan dalam Islam)
1. QS. Ar-Rum ayat 21:
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Nikah dari segi bahasa berasal dari kata "nakaha”: berarti “kumpul" dan definisi secara
syara' adalah suatu akad yang mengarah kepada bolehnya jima' dengan mengucap lafadz
nikah.
Dalam UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 , perkawinan didefinisikan
sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa nikah adalah penyempurna ibadah karena bilamana
seseorang telah sempurnya syahwat batiniahnya maka ia akan membutuhkan syahwat
farji (kemaluan)
Tujuan Nikah
Para ulama fiqih menetapkan tujuan nikah antara lain adalah
a. Menjaga kelangsungan keturunan
b Mengeluarkan air yang memberi mudharat kepada badan apabila ditahan
c. Untuk mencapai kenikmatan (seksual)
d. kebutuhan psikis sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al Qur'an
e. hasrat seksual hanyalah sebuah efek dari perkawinan
f. menyatukan hati dan pikiran sepasang anak manusia untuk hidup bersama dan berbagi
kesenangan maupun duka bersama
g. memperoleh keturunan pun bukanlah sebuah tujuan utama akan tetapi sebuah buah
dari cinta dan perkawinan dimana kehadiran seorang anak akan semakin mempererat
hubungan cinta dan kasih sayang iantara mereka berdua.
Hukum Pernikahan
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, tergantung dari kondisi dan situasi
seseorang dan permasalahannya.
1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga
sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari
zina adalah wajib.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya
seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina
pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup
dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah
mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Bila dia menikah, tentu dia
akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi
wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk
memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,\”Menikahlah, karena aku berlomba
dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib
nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/7
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab
orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk
menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan
hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya
itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorng
akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram
baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima
resikonya.
Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau
atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram
dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah
dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita
kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Maka pernikahan itu makruh
hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian
berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat
kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka
bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh
Syarat dan rukun Nikah
Rukun Nikah adalah sebagai berikut :
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk
menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan
misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki
karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam
masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir,
sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi
wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (”Aku
nikahkanengkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (”Aku nikahkan engkau
dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan
menyatakan, “Qabiltu Hadzanm nikah atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (”Aku terima
pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang
dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dan firman-Nya:
ساء من آباؤكم نكح ما تنكحوا وال الن
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dnikahi oleh ayah-
ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa
apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini
merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan
dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat
(menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas.
Kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
م تنكح ال تستأمر حتى األي تستأذن حتى البكر تنكح وال
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat,
dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari
no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya
menikahkannya tanpa seizinnya.
Ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
نكاح ال بولي إال
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
ما باطل فنكاحها باطل، فنكاحها باطل، فنكاحها مواليها إذن بغير نكحت امرأة أي
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil,
nikahnya batil, nikahnyabatil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya
batil, tidak sah.
Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh
bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain,
sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya.
(Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-
285)
Siapakah Wali dalam pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. yaitu
kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin
dengan perantara laki-laki (dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari
pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak
ayah, dan seterusnya.
Yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita
1.adalah ayahnya,
2. kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek,
kakeknya kakek, dst.)
3. anak laki-laki si wanita,
4. cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah.
5. saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja.
6.anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah.
7. paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah.
8. paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah).
9. maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat
‘ashabah-nya dengan si maula.
10. sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab an nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin bi
nikakihil Hurrah Abuha, dan seterusnya).
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لطان من ولي فالس له ولي ال
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu
Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi
Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
يخطب وال ينكح وال الـمحرم ينكح ال
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan , dan
tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah
yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar
seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan
semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil
dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. persyaratan‘adalah ini
merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan
pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali,
kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat
dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai
wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali
yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti
seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki,
satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang
memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Thalaq dan segala permasalahannya
Para Misionaris dan Orientalis dewasa ini memusatkan serangannya pada dua
permasalahan yang berkaitan dengan wanita, yaitu masalah perceraian (talak) dan
poligami.
Sungguh sangat disayangkan ghazwul fikri yang disebarkan oleh mereka itu sudah
mendapat sambutan Iuas dari kaum Muslimin. Sehingga mereka ikut-ikutan menganggap
kedua masalah tersebut sebagai problematika rumah tangga dan masyarakat.
Padahal sesungguhnya Islam tidak mensyari'atkan kedua masalah tersebut kecuali untuk
menyelesaikan problematika yang cukup banyak dalam kehidupan lelaki, wanita, rumah
tangga dan masyarakat. Dan problem yang sebenarnya adalah terletak pada
kesalahfahaman terhadap syari'at Allah atau salah dalam penerapannya. Dan segala
sesuatu, apabila tidak benar dalam penerapannya maka akan menimbulkan bahaya yang
lebih besar.
Mengapa Islam Memperbolehkan Talak?
Tidak setiap perceraian itu dibolehkan dalam Islam, karena ada talak yang dimakruhkan,
bahkan diharamkan. Karena hal itu dapat merobohkan bangunan rumah tangga yang
sangat ditekankan Islam agar kita membina dan membangunnya. Oleh karena itu
Rasulullah SAW bersabda, "Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
perceraian."
Sehingga perceraian yang disyari'atkan oleh Islam itu mirip dengan operasi menyakitkan
yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan terkadang salah satu
anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh anggota tubuhnya yang tersisa,
atau karena menghindarkan bahaya yang lebih besar.
Apabila sampai diputuskan untuk bercerai antara dua pasangan dan tidak berhasil segala
sarana perbaikan dan upaya mempertemukan kembali di antara kedua belah pihak, maka
perceraian dalam keadaan seperti ini merupakan obat yang sangat pahit yang tidak ada
obat yang lainnya. Oleh karena itu dikatakan dalam pepatah, "Jika tidak mungkin
bertemu, maka ya berpisah." Al Qur'an Al Karim juga mengatakan:
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-rnasing
dari limpahan karunia-Nya..." (An-Nisa': 130)
Apa yang telah disyari'atkan oleh Islam, itulah yang sesuai dengan akal, hikmah dan
kemaslahatan. Karena termasuk sesuatu yang jauh dari logika akal sehat dan fithrah, jika
dipaksakan dengan kekuatan hukum suatu pabrik yang merusak dua penanam saham
yang keduanya tidak saling bertemu dan tidak saling mempercayai.
Sesungguhnya memaksakan kehidupan ini dengan kekuasaan hukum adalah siksaan yang
keras. Manusia tidak tahan, karena itu lebih buruk daripada penjara sepanjang masa.
Bahkan menjadi neraka yang kita tidak kuat menahannya. Seorang ahli hikmah
mengatakan, "Sesungguhnya bahaya yang terbesar adalah mempergauli orang yang tidak
menyetujui kamu dan tidak menentang kamu."
Mempersempit Lingkup Perceraian
Islam telah meletakkan sejumlah kaidah (prinsip-prinsip) dan ajaran-ajaran yang
seandainya manusia mau mengikuti dengan baik dan melaksanakannya, maka sedikit
sekali kita menemukan perceraian dan niscaya semakin minim perceraian itu. Di antara
prinsip-prinsip itu adalah:
1. Memilih isteri dengan baik dengan cara memusatkan perhatian pada agama dan akhlaq
sebelum harta, pangkat (jabatan) dan kecantikan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Wanita itu dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan karena agama, maka beruntunglah orang yang memperoleh wanita
yang kuat agama-nya, maka tanganmu akan penuh debu (rugi) jika tidak kamu ikuti."
(HR. Muttafaqun 'Alaih)
2. Melihat wanita yang dikhitbah sebelum terlaksananya aqad, agar memperoleh
kemantapan dan kepuasan hati. Karena melihat sejak dini itu merupakan langkah menuju
kerukunan dan cinta kasih.
3. Perhatian wanita dan wali-walinya untuk memilih suami yang mulia (baik) dan
mengutamakan yang baik agama dan akhlaqnya, sebagaimana petunjuk dalam Sunnah.
4. Disyaratkan pihak wanita harus ridha untuk menikah dengan calon suami yang
ditawarkan kepadanya. Tidak boleh ada pemaksaan untuk menikah dengan orang yang
tidak dicintainya.
5. Mendapat ridha (memperoleh persetujuan) dari wali wanita, baik yang wajib atau
sunnah.
6. Bermusyawarah dengan ibu dari calon pengantin putri, agar pernikahan itu disetujui
oleh semua pihak. Karena Rasulullah SAW bersabda, "Ajaklah para wanita untuk
bermusyawarah tentang anak-anak wanitanya."
7. Diwajibkannya mempergauli (bergaul) dengan baik dan melaksanakan hak-hak dan
kewajiban antara suami isteri, serta membangkitkan semangat keimanan untuk berpegang
teguh pada ketentuan-ketentuan Allah serta bertaqwa kepada Allah SWT.
8. Mendorong suami agar hidup secara realistis, karena tidak mungkin ia menginginkan
kesempurnaan mutlak pada isterinya. Tetapi hendaknya ia melihat yang baik-baik
(kebaikan-kebaikan), selain kekurangan-kekurangannya. Jika ia tidak suka kepada suatu
sikap tertentu dari isterinya ia juga merasa senang dengan sikapnya yang lain.
9. Mengajak para suami untuk berfikir dengan akal dan kemaslahatan. Jika ia merasa
tidak suka terhadap isterinya, maka jangan sampai ia cepat memperturuti perasaannya,
dengan mengharap semoga Allah merubah sikapnya dengan yang lebih baik. Allah
berfirman:
"Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa': 19)
10. Memerintahkan kepada suami untuk menghibur dan menasehati isterinya yang
sedang nusyuz dengan bijaksana dan bertahap. Dari lemah lembut yang tidak lemah,
sampai pada yang keras namun tidak kasar. Allah berfirman:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesunggahnnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (An-Nisa': 34)
11. Memerintahkan masyarakat untuk ikut menyelesaikan ketika terjadi perselisihan
antara suami isteri, yaitu dengan membentuk "Majlis Keluarga." Majlis ini terdiri dari
orang-orang yang bisa dipercaya dari keluarga kedua belah pihak, untuk berupaya
mengishlah dan merukunkan serta memecahkan krisis yang menimpa dengan baik, Allah
SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan.
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal." (An-Nisa': 35)
Inilah beberapa ajaran Islam, yang seandainya kaum Muslimin mau mengikutinya dan
memeliharanya dengan sungguh-sungguh maka kasus perceraian itu akan berkurang.
Kapan dan Bagaimana Perceraian itu Dilakukan?
Islam tidak mensyari'atkan talak (perceraian) pada setiap waktu dan setiap keadaan.
Sesungguhnya talak yang diperbolehkan sesuai dengan petunjuk Al Qur'an dan As-
Sunnah adalah hendaknya seseorang itu pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai.
Maka tidak boleh mencerai istrinya ketika haid, dan tidak boleh pula dalam keadaan suci
sedangkan ia mempergaulinya. Jika ia melakukan hal itu maka talaknya adalah talak yang
bid'ah dan diharamkan. Bahkan sebagian fuqaha' berpendapat talaknya tidak sah, karena
dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah Nabi SAW Rasulullah SAW bersabda,
"Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak
(tidak diterima)."
Dan wajib bagi seseorang yang mentalak bahwa dia dalam keadaan sadar. Apabila ia
kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan marah yang menutup ingatannya
sehingga ia berbicara yang tidak ia inginkan, maka menurut pendapat yang shahih itu
tidak sah. Berdasarkan hadits, "Tidak sah talak dalam ketidaksadaran." Abu Dawud
menafsirkan hadits ini dengan 'marah', dan yang lain mengartikan karena 'terpaksa'.
Kedua-duanya benar.
Dan hendaklah orang yang mencerai itu bermaksud untuk mencerai dan berpisah dari
isterinya. Adapun menjadikan talak itu sebagai sumpah atau sekedar menakut-nakuti,
maka tidak sah menurut pendapat yang Shahih sebagaimana dikatakan oleh sebagian
ulama salaf dan ditarjih oleh Al 'Allamah lbnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah.
Jika semua bentuk talak ini tidak sah maka tetaplah talak yang diniati dan dimaksudkan
yang berdasarkan pemikiran dan yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan ia melihat itulah
satu-satu jalan penyelesaian untuk keselamatan dari kehidupan yang ia tidak lagi mampu
bertahan. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas, "Sesungguhnya talak itu harena diperlukan."
Yang Dilakukan Setelah Talak
Perceraian yang terjadi tidak harus memutuskan hubungan suami isteri sama sekali, yang
kemudian tidak ada jalan menuju perbaikan. Karena talak seperti dijelaskan dalam Al
Qur'an memberikan bagi setiap orang yang bercerai untuk mengevaluasi dan mempelajari
kembali. Oleh karena itu talak terjadi satu kali, satu kali. Apabila kedua kalinya tidak
juga bermanfaat maka terjadilah talak ketiga yang memutuskan hubungan selamanya,
sehingga tidak halal baginya setelah itu.
Maka mengumpulkan tiga talak dalam satu ucapan itu bertentangan dengan syari at Al
Qur'an. Inilah yang dijelaskan dan diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
muridnya Ibnu Qayyim dan yang dipakai Mahkamah Syar'iyah di negara-negara Arab.
Perceraian tidak mengharamkan bagi wanita untuk memperoleh nafkah selama masa
iddah, dan tidak boleh bagi suami mengeluarkan isterinya dari rumah. Bahkan wajib atas
suami untuk membiarkan sang istri tinggal di rumahnya dekat dengan dia, barangkali
dengan begitu kerukunan akan kembali dan hati menjadi jernih. Allah SWT berfirman:
"Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru."
(At-Thalaq: 1)
Perceraian tidak memperbolehkan bagi seseorang untuk memakan mahar (maskawin)
yang telah diberikan kepada isterinya atau meminta kembali mahar atau segala sesuatu
yang telah diberikan kepada isterinya sebelum perceraian, Allah SWT berfirman:
"Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah." (Al Baqarah: 229)
Begitu pula isteri yang ditalak itu berhak memperoleh mut'ah sebagaimana ditetapkan
oleh kebiasaan. Allah SWT berfirman:
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah
menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kuwajiban bagi orang-orang yang bertaqwa" (Al
Baqarah: 241)
Selain itu tidak halal bagi suami (yang mentalak) bersikap keras terhadap isterinya atau
menyebarkan keburukannya atau menyakiti dirinya dan keluarganya. Allah SWT
berfirman:
"Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (Al Baqarah: 229)
"Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu." (Al Baqarah: 237)
Inilah talak yang disyari'atkan oleh Islam. Sungguh itu merupakan terapi yang diperlukan
pada saat dan alasan yang tepat, dengan tujuan dan cara yang benar.
Agama Masehi Katolik mengharamkan talak secara mutlak kecuali dengan alasan zina
menurut Katolik Ortodox, sehingga mayoritas kaum Masehi Kristen keluar dari hukum
yang mereka yakini yaitu haramnya talak. Itulah yang membuat sebagian besar negara-
negara Kristen memberlakukan hukum buatan mereka sendiri yang memperbolehkan
cerai tanpa memakai persyaratan-persyaratan sebagaimana hukum Islam dengan segala
ketentuan-ketentuan serta adab-adabnya. Maka tidak heran jika mereka itu bisa bercerai
dengan sebab-sebab yang sepele (ringan) dan akhirnya kehidupan rumah tangga mereka
terancam berantakan dan hancur.
Alasan Hak Cerai di Tangan Lelaki
Mereka bertanya mengapa hak cerai itu di tangan lelaki dan mempermasalahkannya,
maka kita jawab, "Sesungguhnya lelaki adalah sebagai kepala rumah tangga, yang
bertanggungjawab pertama kali dan yang memikul beban di dalam rumah tangganya.
Dialah yang harus memberikan mahar dan kewajiban-kewajiban lain setelahnya,
sehingga dia dapat membangun rumah tangga di atas tanggung jawabnya. Barangsiapa
dapat berbuat demikian maka ia menjadi mulia dan tidak mungkin merusak bangunan
rumah tangga itu kecuali karena ada tujuan-tujuan tertentu, atau karena kebutuhan yang
memaksa yang menjadikan ia berkorban dengan menanggung seluruh kerugian
karenanya.
Kemudian laki-laki itu pada umumnya lebih mengetahui tentang akibatnya dan lebih
banyak bertahan, serta lebih sedikit terpengaruh daripada wanita, sehingga lebih baik jika
wewenang itu berada di tangannya.
Adapun wanita, ia cepat terpengaruh, mudah emosi dan selalu hangat perasaannya. Kalau
seandainya talak itu berada dalam kekuasaannya, pasti akan sering terjadi perceraian
dengan alasan-alasan yang ringan dan perselisihan kecil.
Bukan pula suatu kemaslahatan jika talak itu diserahkan kepada Peradilan (Mahkamah),
karena tidak setiap sebab talak itu boleh diumumkan di peradilan yang kemudian menjadi
permainan para pengacara dan para penulis serta menjadi bahan perbincangan.
Orang-orang Barat telah menjadikan talak melalui peradilan, maka tidak sedikit
perceraian di kalangan mereka dan peradilan tidak henti-hentinya mengurus suami-istri
yang ingin bercerai.
Bagaimana Seorang Istri yang tidak Suka Pada Suami Itu Bisa Melepaskan
Dirinya?
Ada pertanyaan yang menghantui kebanyakan orang, yaitu, "Jika talak itu berada di
tangan laki-laki sebagaimana yang kita ketahui alasan-alasannya, maka apa wewenang
yang diberikan oleh syari'at Islam kepada wanita? Dan bagaimana cara menyelamatkan
dirinya dari cengkeraman suaminya jika ia tidak suka hidup bersama karena tabi'atnya
yang kasar, atau akhlaqnya yang buruk, atau karena suami tidak memenuhi hak-haknya
atau karena lemah fisiknya, hartanya, sehingga tidak bisa memenuhi hak-haknya atau
karena sebab-sebab lainnya."
Sebagai jawabannya adalah, "Sesungguhnya Allah SWT Yang Bijaksana telah
memberikan kepada wanita beberapa jalan keluar yang dapat membantu wanita untuk
menyelamatkan dirinya, antara lain sebagai berikut:
1. Wanita membuat persyaratan ketika aqad bahwa hendaknya ia diberikan wewenang
untuk bercerai. Ini boleh menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad. Dalam hadits shahih
dikatakan, "Persyaratan yang benar adalah hendaknya kamu memenuhinya selama kamu
menginginkan halal kemaluannya."
2. Khulu', wanita yang tidak suka terhadap suaminya boleh menebus dirinya, yaitu
dengan mengembalikan maskawin yang pernah ia terima atau pemberian lainnya. Karena
tidaklah adil jika wanita yang cenderung untuk cerai dan merusak mahligai rumah
tangga, sementara suaminya yang menanggung dan yang dirugikan. Allah SWT
berfirman,
"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus diri. . ." (Al Baqarah: 229)
Di dalam hadits diceritakan bahwa isteri Tsabit bin Qais pernah mengadu kepada
Rasulullah SAW tentang kebenciannya kepada suaminya. Maka Nabi SAW bersabda
kepadanya, "Apakah kamu sanggup menggembalikan kebunnya, yang dijadikan sebagai
mahar" maka wanita itu berkata, "Ya." Maka Nabi SAW memerintahkan Tsabit untuk
mengambil kebunnya dan Tidak lebih dari itu.
3. Berpisahnya dua hakam (dari kedua belah pihak) ketika terjadi perselisihan. Allah
SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah
seorang hakam dan keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscanya Allah memberi
taufik kepada suami isteri ini."
Penamaan Al Qur'an terhadap Majlis keluarga ini dengan nama "Hakamain"
menunjukkan bahwa keduanya mempunyai hak memutuskan (untuk dilanjutkan atau
tidak). Sebagian sahabat mengatakan kepada dua hakam, "Jika kamu berdua ingin
mempertemukan, pertemukan kembali, dan jika kamu berdua ingin memisahkan maka
pisahkanlah.
4. Memisahkan (menceraikan) karena lemah syahwat, artinya apabila seorang lelaki itu
lemah dalam hubungan seksual maka diperbolehkan bagi seorang wanita untuk
mengangkat permasalahannya ke hakim sehingga hakimlah yang memutuskan pisah di
antara keduanya. Hal ini untuk menghindarkan wanita itu dari bahaya, karena tidak boleh
saling membahayakan di dalam Islam.
5. Meminta cerai karena perlakuan suami yang membahayakan, seperti seorang suami
yang mengancam isterinya, menyakitinya, dan menahan infaqnya. Maka boleh bagi isteri
untuk meminta kepada qadhi untuk menceraikannya secara paksa agar bahaya dan
kezhaliman itu dapat dIhindarkan dari dirinya. Allah SWT berfirman:
"Janganlah kamu tahan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian
kamu menganiaya mereka..." (Al Baqarah: 231)
"Maka ditahan (dirujuk) dengan baik atau menceraikan dengan cara yang baik..." (Al
Baqarah: 229)
Di antara bahaya yang mengancam adalah memukul isteri tanpa alasan yang benar.
Bahkan sebagian imam berpendapat bolehnya menceraikan antara wanita dengan
suaminya yang kesulitan, sehingga ia tidak mampu untuk memberikan nafkah dan
isterinya meminta cerai. Karena hukum tidak membebani dia untuk bertahan dalam
kelaparan dengan suami yang fakir. Sesuatu yang ia tidak bisa menerima sebagai realisasi
kesetiaan dan akhlaq yang mulia.
Dengan solusi ini maka Islam telah membuka kesempatan bagi wanita sebagai bekal
persiapan untuk menyelamatkan dirinya dari kekerasan suami dan penyelewengan
kekuasaan suami yang tidak benar.
Sesungguhnya undang-undang yang dibuat para ahli tidak lebih hanya menzhalimi hak-
hak wanita. Adapun sistem yang dibuat Allah SWT sebagai pencipta manusia, laki-laki
atau perempuan maka tidak ada kezhaliman di dalamnya dan tidak ada pernikahan. Itulah
keadilan yang sempuma, Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin. (Al Maidah: 50)
Salah Faham dan Salah Terap dalam Talak
Kebanyakan kaum Muslimin telah salah dalam menfungsikan talak. Mereka
menempatkannya bukan pada tempatnya dan mereka menggambarkan talak itu seakan
seperti pedang yang dihunus lalu diletakkan di atas leher sang isteri. Mereka juga
mempergunakan sebagai sumpah untuk sesuatu yang berat atau yang ringan. Banyak
fuqaha' yang memperluas di dalam menjatuhkan talak, sampai talaknya orang yang
mabuk dan marah, bahkan orang yang terpaksa. Padahal haditsnya mengatakan, "Tidak
sah talak yang dalam ketidaksadaran." Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya talak itu
berdasarkan keperluan." Sehingga mereka juga menjatuhkan talak tiga dengan satu
perkataan ketika marah. Padahal talak itu dimaksudkan untuk menakut-nakuti dalam
pertengkaran di luar rumah, sedangkan dengan isterinya ia sangat bahagia dan rukun.
Tetapi yang dimaksud oleh nash-nash dan tujuan dari syari'ah yang mudah di dalam
membina rumah tangga dan memeliharanya, adalah mempersempit dalam menjatuhkan
talak, maka tidak sah kecuali dengan kata-kata yang jelas, pada saat tertentu, dan dengan
maksud tertentu. Inilah yang kita berlakukan, pendapat yang dianut oleh Imam Bukhari
dan sebagian ulama salaf, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya
memperkuat pendapat ini dan menyetujuinya, ini pula yang sesuai dengan ruh Islam.
Adapun kesalahfahaman dan salah penerapan hukum Islam itu adalah tanggung jawab
kaum Muslimin, bukan tanggungjawab Islam itu sendiri.
Tugas Siswa
Individual Membaca ayat Al Qur’an yang berkaitan degan nikah, thalaq dan
permasalahannya
Kelompok Membuat makalah/ kliping/display/artikel/ perihal :
- nikah mut’ah
- nikah sirri
- Poligami (poligini dan poliandri)
- Berpacaran sebelum nikah
Nikah “MBA” (kecelakaan)
Diskusi dan Studi Kasus :
Perceraian para selebritis dari berbagai perspektif Maraknya ‘kumpul kebo’ di kalangan remaja dan mahasiswa Hubungan antara Zina dan penularan virus VIV Kasus poligami public vigur
Soal Latihan
1. Uraikan macam-macam hukum nikah dalam Islam
2. Hafalkan ayat dan terjemahan yang menjelaskan tentang pernikahan
3. Bagaimana Islam mengatur perceraian?
4. Apa saja Syarat dan rukun Nikah
5. Tuliskan hikmah pernikahan dalam Islam?
?