bab iii studi kristis hadis usia menikah ‘aisyah. r.a...
TRANSCRIPT
59
BAB III
STUDI KRISTIS HADIS USIA MENIKAH AISYAH. R.A
A. Penelusuran Redaksi Hadis Usia Menikah Aisyah R.a
Kegiatan penelusuran hadis dikenal dengan istilah takhij al hadis. Takhrj
berasal dari fiil madli kharaja () yang berarti tampak atau jelas. Arti
lain dari term ini adalah al-istinba (mengeluarkan), al-tadrib (melatih)
dan al-taujih (memperhadapkan). Dengan makna tersebut maka takhij al-
hadis secara sederhana berarti mengeluarkan hadits artinya hadis dicari
atau dilacak dari sumbernya (kitab hadis). Secara terminology berarti
menyebutkan hadis dengan sanadnya sendiri atau cara menunjukan letak
hadis pada sumber yang orisinil takhrijnya beserta sanadnya kemudian
dijelaskan martabat hadisnya bila diperlukan (Ulamai, 2006: 4).
Penelusuran hadis bisa dilakukan secara manual maupun digital.
Pencarian secara manual dapat ditelusuri menggunakan kitab seperti
Mujam al Mufahras li Alfz al Hadis dengan menggunakan kata kunci
lafaz hadis, namun cara ini dinilai agak lebih rumit (Weinsinck, 1987:
410). Metode yang kedua metode digital, metode ini muncul bersama
dengan perkembangan tekhnologi, metode ini dapat memudahkan para
scientis melakukan sebuah inovasi penelusuran hadits secara efektif dan
efisien dengan menggunakan alat tekhnologi digital seperti CD Mausuah
al-hadis al-syarf dan aplikasi Jawmi al kalim. Kegiatan seperti ini
sangat penting mengingat hadis tidak seluruhnya ditulis pada zaman Nabi.
60
Dalam menelusuri hadis usia pernikahan Aisyah r.a penulis
menggunakan dua metode diatas dengan mendahulukan metode digital
kemudian menelusuri kebenannya dengan cara manual, melacak ke
sumber buku langsung. Untuk melacak hadis usia pernikaan Aisyah r.a
penulis menggunakan kata kunci bint tisa yang mana lafaz tersebut
menunjukkan usia dan terdapat hampir ada di semua redaksi hadis tentang
usia pernikahan Aisyah r.a.
Berdasar hasil penelusuran penulis menggunakan Jawmi al
Kalim terdapat 83 hadis yang berbicara tentang usia pernikahan Aisyah
r.a. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh rawi-rawi yang beragam
sehingga untuk memudahkan pengolahan hadis tersebut penulis
mengklasifikasikannya sesuai dengan kesamaan periwayat yang ada.
Adapun kelompok-kelompok hadis tersebut adalah:
1. Dari jalur Hisyam bin Urwah, dari Urwah, dari Aisyah r.a terdapat
27 (dua puluh tujuh) hadis. Contoh hadis dari Shahih Bukhari No.4738
" &% #
- - - - * /.- * "8 7
Diriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf, dari Sufyan, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah r.a, berkata: sesungguhnya Nabi Saw telah menikahi Aisyah r.a saat dia berusia enam tahun, kemudian digaulinya pada usianya sembilan tahun dan tinggal bersama dengan Nabi Saw pada usianya sembilan tahun.
2. Dari jalur Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah r.a, terdiri dari 7 (tujuh)
hadis. Diantaranya hadis yan diriwayatkan oleh imam Muslim no.
2549
61
> 8> %> 7>= 8 % 8> 8 >
- 8 - - * : " 8 7
8 - % > "
Telah menceritakan kepada kita Abd ibn Humaid, telah mengkhabarkan kepada kita Mamar, dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah r.a: Bahwa Nabi SAW menikahinya ketika dia berusia tujuh tahun , dan dia mengisi hari-harinya bersama Rasulullah pada usianya sembilan tahun, Nabi Saw bersenda gurau bersamanya, dan kemudian Nabi Saw wafat saat Aisyah r.a berusia delan belas tahun.
3. Dari jalur Abu Muawiyyah dari Al-Amasy dari Ibrahim dari Al-
Aswad, dari Aisyah r.a, terdiri dari 8 (delapan) hadis. Contoh hadis
yang dirwayatkan imam Annasai di kitabnya Sunan Annasai no. 3206
# I %G 8> & % % > :
# - * >P # " 7
" - % >
Telah menceritakan kepada kita Muhammad ibn Al Ala dan Ahmad ibn Harb mereka berkata telah menceritakan kepada kita Abu Muawiyah dari al Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah r.a bahwa Nabi Saw telah menikahi Aisyah r.a pada saat usia Aisyah r.a sembilan tahun dan kemudian beliau wafat saat Aisyah r.a berumur delapan belas tahun.
4. Dari jalur-jalur lainnya (bermacam jalur rawi dan berbeda-beda).
Jumlahnya 40 hadis, contoh hadis yang dirwayatkan imam Ibn Majah
dalam kitab Sunannya no. 1867
62
> & # % %
8 8 : " 7 8 - 8 S -
- % > # *
Telah menceritakan kepada kita Ahmad ibn Sinan, telah menceritakan kepada kita Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kita Israil, dari Abi Ishaq, dari Abi Ubaidah dari Abdillah, berkata: Bahwa Nabi Saw menikahi Aisyah r.a ketika dia berusia tujuh tahun , dan membangun rumah tangga bersama saat dia berusia sembilan tahun kemudian Nabi Saw wafat ketika Aisyah r.a berusia delapan belas tahun.
B. Kritik Sanad terhadap Hadis Usia Pernikahan Aisyah r.a
Pada umumnya dalam penelitian hadis kritik sanad selalu menjadi
yang utama dari kritik matan, hal itu disebabkan karena beberapa hal
diantaranya, pertama dalam latar belakang periwayatan hadis didominasi
oleh penuturan (syafahiyah) dan amat sedikit data yang tertulis sehingga
tradisi periwayatan seperti ini memposisikan keguruan dalam proses
pembelajaran, kedua sebagai upaya antsisipatif terhadap budaya
pemalsuan hadis, ketiga sanad adalah mahkota bagi keberadaan matan dan
keempat hasil dari kritik sanad menjadi point dalam melakukan kritik
matan. (Abbas, 2004: 54)
Kritik sanad disebut juga kritik eksternal, yang mana kajiannya
hanya berkutat seputar rawi bagian luar dari point hadisnya. Dalam kritik
sanad kajian berfokus pada kualitas rawinya, ketersambungan sanadnya
dan metode periwayatnnya.
Setelah melakukan penelusuran hadis seperti diatas, langkah-langh
penelitian sanad hadis selanjutnya sebagi berikut: (Ismail, 1992: 51)
63
1. Itibar
Itibar adalah masdar dari Itabaro menurut bahasa artinya peninjauan
terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang
sejenis. Sedangkan menurut istilah hadis berarti menyertakan sanad-sanad
lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya
tampak hanya seorang perawi saja. Dengan menyertakan sanad tersebut
akan dapat diketahui apakah ada perawi lain atau tidak. (Ismail, 1992: 51)
Seperti yang telah dijelaskan diatas penulis klasifikasikan jalur
rawinya menjadi 4 kelompok seperti kelompok diatas. Kelompok pertama
hingga ke tiga adalah jalur rawi yang mayoritas, kemudian yang keempat
adalah kelompok jalur rawi yang hanya sedikit diriwayatkannya.
Dalam kajian hadis usia menikah Aisyah banyak sekali jalur rawi yang
harus diteliti, oleh karena itu sebagai langkah Itibarnya penulis
menggabungkan sanad antar jalur rawi. Dari penggabungan tersebut kita
mengetahui bahwa hadis ini tidak diriwayatkan oleh satu jenis jalur rawi
saja tetapi ada empat jalur rawi.
Dari beberapa kelompok rawi diatas penulis uraikan sebgai berikut
rawi J. riwayat 1 J. riwayat 2 J. riwayat 3 J. riwayat 4
1 Aisyah r.a Aisyah r.a Aisyah r.a Abdullah
2 Urwah Urwah Aswad Abi
Ubaidah
3 Hisyam Zuhri Ibrahim Abi Ishaq
4 Sufyan Mamar Amasy Israil
64
5 Muhammad
bin Yusuf
Abdurrazaq Abu
Muawiyah
Abu Ahmad
6 Abd bin
Hamid
Ahmad bin
Harb
Ahmad bin.
Sinan
7 Muhammad
bin al Ala
8 Bukhari Muslim Annasai Ibn Majah
2. Pembuatan Skema Sanad
Untuk memudahkan pembacaan, penulis membentuk sebuah
skema sanad sebagai berikut:
Abdullah Aisyah r.a
Aswad Urwah
Zuhri Hisyam
Sufyan
Abu Muawiyah
Ahmad bin Harb
Amasy
Ibrahim
Abd bin Hamid
Mamar
Abdurrazaq Muhammad bin Yusuf
Abi Ubaiah
Abi Ishaq
Israil
Abu Ahmad
Ahmad bin Sinan
65
3. Meneliti Kepribadian Perawi
Setelah mengetahui setiap jalur rawinya langkah selanjutnya yaitu
meneliti kualitas setiap perawi. Kualitas kepribadian setiap perawi sangat
penting dan menjadi salah satu penentu kevalidan suatu hadis, oleh karena
itu dalam kajian hadis tentang usia pernikahan Aisyah r.a ini penulis
menelusuri masing-masing kualiatas rawinya.
Ulama hadis sependapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada
diri pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis
dapat diterima atau ditolak, keduanya adalah adil dan abit. Adil ini tidak
sepenuhnya sama dengan arti kata bahasa Indoenesia yang berarti tidak
berat sebelah tetapi dalam istilah hadis dimaksudkan beragama Islam,
mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muruah.
Sedangkan abit diartikan dengan seorang periwayat yang hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan hadis yang
diterimanya dengan baik kepada orang lain (Ismail, 1992: 67-70). Jika sifat
keduanya dimiliki seorang perawi maka perawi tersebut dinyatakan iqah.
Bagian yang terakhir dari penelitian kepribadian rawi yaitu
mengetahui Al Jarh Wa Attadil yaitu kritik yang bersisi pujian atau celaan
terhadap periwayat hadis, dari sini kita akan mengetahui bagaimana akhlaq
dan posisi periwayat dimata orang lain (Ismail 1992: 72).
Muhammad bin al Ala
Ibn Majah An Nasai Muslim Bukhari
66
Untuk memenuhi beberapa standar penilaian diatas penulis
menggunakan kitab rujukan seperti Tahzb at Tahzb oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani, Tahzb al Kaml f Asma ar Rijal atau dengan bantuan CD
Mausuah al Hadis asyyarf. Di dalamnya kita bisa menemukan biografi
periwayat hadis dari mulai jalur keturunan, para gurunya, para muridnya
dan juga pendapat dari para ulama tentang kepribadiannya. Seperti halnya
sebagai berikut:
a. Jalur Rawi Pertama
1. Aisyah r.a
Aisyah r.a adalah putri dari sahabat Nabi Saw Abu Bakar as
Sidiq dan Ummu Rumman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams,
nasabnya at Taimiyah, dengan nama panggilannya (kunyah) Ummu
Abdullah, dan gelarnya (laqob) Ummu al-Muminin, dalam darajah
ilmu hadis ia menduduki tingkatan Sahabat (al-Jazari, 1989: 188)
Aisyah r.a menikah dengan Nabi sepeninggalnya Khadijah, ia
adalah istri yang dapat dibilang paling disayang diantara istri-istri Nabi
Saw lainnya sehingga Nabi Saw mempunyai panggilan khuhus
kepadanya yaitu Khumaira (yang mempunyai pipi kemerah-merahan).
Aisyah r.a adalah istri Nabi Saw yang paling banyak
meriwayatkan hadis, ia meriwayatkan hadis dari Nabi Saw dari rawi-
rawi lainnya juga seperti Usaid bin Hadir, Juamah binti Wahab, Haris
bin Hisyam bin Mughirah, Hamzah bin Umar, Ramlah binti Abi
Sufyan, Saad bin Malik bin Sinan, Abdullah bin Ustman bin Amir,
Umar bin Khattab bin Nufail, Fatimah binti Rasulullah. Adapun murid-
67
muridnya Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abi Rabiah,
Ibrahim bin Yazid bin Syarik, Ibrahim bin Yazid bin Qais, Abu Hafsah
Maula Aisyah, Abu Abdullah, Abu Iyadh, Urwah bin Zubair bin
Awwam.
Penilaian ulama tentang Asiyah r.a: dia termasuk golongan
shahabat yang adalah (mempunyai sifat adil) dan iqah (dapat
dipercaya dan kuat ingatannya). Tidak ada sahabat yang menyela
tentang kepribadiannya, dia adalah istri Nabi Saw yang sering bersama
mendampingi Nabi Saw, tidak diragukan lagi kejujuran dan kevalidan
riwayatnya.
2. Urwah bin Zubair bin Awwam
Urwah bin Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad.
Ayahnya merupakan pendamping setia Nabi Muhammad SAW, dan
Ibunya bernama Asma Bint Abu Bakr Al-Shiddiq, dan Bibinya adalah
Sayyidah Aisyah r.a, dia termasuk dari generasi tabiin pertengahan,
guru-gurunya diantaranya Aisyah binti Abi Bakar, Asma binti Abi
Bakar, Usamah bin Zaid bin Haris. Muridnya Ibrahim bin Uqbah, Abu
Bakr bin Abdullah bin Abi Jahim, dia adalah orang yang iqah. Dia
tinggal di Madinah dan wafat pada tahun 93 H (al-Asqalani VII, 1984:
180)
Penilaian ulama tentang Urwah bin Zubair: Al ajali: iqah dan
seorang laki-laki yang shaleh. Khalid bin Nizar dari Ibnu Uyainah
mengatakan ia adalah orang yang paling memahami hadis Aisyah r.a.
68
Ibnu hibban menyebutnya termasuk qolongan orang yang iqah. (al-
Asqalani VII, 1984: 182-184)
Ulama menyimpulkan hadis dari Urwah dapat diterima karena
dia termasuk orang yang paling bisa memahami hadis Aisyah.
3. Hisyam bin Urwah
Nama lengkapnya Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Awam,
nama panggilannya ibnu Mundir. Ia dilahirkan di Madinah dan
meninggal di Makkah pada tahun 145 H. Semasa hidupnya ia menimba
ilmu dari Bakr ibn Wail bin Daud, Husain bin Abdullah bin Ubaidillah
bin Abbas, Hafsah binti Sairin. Adapun murid-muridnya yaitu Abban
bin zaid, Ibrahim bin Humaid bin Abdurrahman, Abu Bakar bin Iyas
bin Salim. Ia termasuk kelompok Shughra minattabiin
Penilaian ulama tentang Urwah, Muhammad bin Saad
mengatakan Hisyam termasuk orang yang iqah yang ditetapkan
sebagai hujjah. Yaqub bin Syaibah dalam tahzib at tahzib (al-Asqalani
VII, 1984: 50) juga berpendapat tentang Hisyam:
Hisyam adalah orang yang terpercaya, kuat riwayatnya, tidak ada yang menolaknya kecuali setelah ia tinggal di Irak. Di Irak ia menyebarkan riwayat yang mengatasnamakan ayahnya tapi ditolak oleh orang Madinah. Di Madinah ia hanya meriwayatkan hais yang benar-benar ia dengar dari ayahnya tapi di Irak ia mengatakan menengar dari ayahnya padahal ia tiak menengar dari ayahnya namun dari orang lain (al-Asqalani, 1984: VII, 50)
4. Sufyan bin Uyainah
Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran Maimun al-Hilali, nama
panggilannya Abu Muhammad. Dia adalah generasi pertengahan dari
69
pengikutnya tabiin. Lahir pada tahun 107 H. Ia meninggal pada hari
sabtu hari pertama pada bulan Rajab tahun 198 H. (al-Asqalani IV,
1984: 120)
Semasa hidupnya ia belajar kepada Abban ibn Taghlib, Ibrahim
bin Uqbah, Ibrahim bin Muhammad bin Muntasyir, Ismail bin
Umayyah, Amr bin Dinar, Zuhri, Muhammad bin Amr bin Alqamah.
Adapun murid muridnya seperti Amasy, Ibnu Juraij, Syubah, Abu
Muawiyah, Muhammad bin Idris as-Syafii, Abdurrazaq, Ahmad bin
Hanbal, Yahya bin Muin. Termasuk golongan kibaru tabiin itba. (al-
Asqalani IV, 1984: 117-118)
Penilaian ulama: Al-Ijli mengatakan bahwa Sufyan bin Uyainah
adalah seorang yang iqah dan teguh pendirian, serta hadisnya hasan.
Ibn Mahdi: orang yang lebih mengetahui hadis hijaz. Ibnu Saad
mengatakan dia adalah seorang yang iqah dan teguh pendirian dan
banyak hadis darinya yang digunakan sebagai hujjah. Ibnu Hibban
Mengatakan bahwa Ibnu Uyainah adalah seorang iqah huffadh yang
sempurna ahli wirai ( al-Asqalani IV, 1984: 119-122).
Kesimpulan Bahwa Ibnu Uyainah adalah seorang yang iqah
dan hadist periwatannya dijadikan hujjah.
5. Muhammad bin Yusuf
Muhammad bin Yusuf al-Bukhari nama panggilannya adalah
Abu Ahmad. Gurunya Ibnu Uyainah, Abi Usamah, Waqi, Ahmad bin
Yazid bin Ibrahim, Jarir bin Abi Humai bin Qarthammad bin Usamah
bin Zaid. Dan salah satu muridnya adalah Imam Bukhari. Khallah
70
menilainya dengan penilaian iqah muttafaq alaih. (al-Asqalani VIII,
1984: 538)
6. Bukhari
Nama lengkap Imam Bukhari adalah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari.
Panggilannya Abu Abdullah Abi Hasan al-Bukhari. Dia lahir pada hari
jumat setelah shalat jumat, 13 Syawal 194 H, wafat pada hari sabtu
malam hari raya idul fitri tahun 256 H. Beliau adalah penulis Kitab
Shahih Bukhari. Dia mengembara mencari hadis dari beberapa perawi
hadist di Mesir, kota-kota di Irak, Hijaz, Syam (al-Mizzy XXIV, 1980:
48).
Imam Bukhari berjumpa dengan sekelompok kalangan atba' at
tabi'in muda, dan beliau meriwayatkan hadis dari mereka, sebagaimana
beliau juga meriwayatkan dengan jumlah yang sangat besar dari
kalangan selain mereka. Dalam masalah ini beliau telah menulis dari
sekitar 1030 hadis dari kalangan ahlul hadis. (al-Mizzy 1980:, 441)
Guru-guru Imam Bukhari terkemuka yang telah beliau
riwayatkan haditsnya ialah : Ibrahim bin Musa, Ahmad bin Hambal,
Yahya bin Main, Hisyam bin Ammar Ad-Dimasyqi, dan sebagainya.
Sedangkan diantara murid beliau adalah : Imam Muslim bin Al-Hajjad
An-Naisaburi, Imam Abu Isa at-Tirmidzi, Al-Imam Shalih bin
Muhammad, dan sebagainya. (al-Mizzy, 1980: 431-434)
Ahmad bin Yassar al-Mawarzi mengatakan bahwa Muhammad
bin Ismail mencari ilmu, berada dalam majlis bersama orang-orang,
71
serta melakukan perjalanan dalam mendapat hadis dan dia mahir
tentang hadis, dia memiliki pengetahuan dan hafalan yang baik, serta
hadisnya disepakati. (al-Mizzy, 1980: 438)
An-Nasai mengatakan bahwa kitab paling bagus adalah kitab
muhammad bin Ismail al-Bukhari. (al-Mizzy, 1980: 442)
b. Jalur Riwayat Kedua
1. Zuhri
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin
Syihab, tinggal di Syam, dia termasuk golongan tabiin pertengahan dia
lahir pada tahun 58 H, akhir masa kekhalifahan Muawiyah yaitu tahun
wafatnya Aisyah r.a dan dia wafat pada tahun 124 H. (al-Mizzy XXVI,
1980: 441)
Para gurunya adalah Aban bin Ustman, Ibrahim bin
Abdurahman bin Auf, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Abdullah
bin Jafar, Rabiah bin Ibad, Abdurrahman bin Azhar, Abdullah bin
Amir. Adapun muridnya Abban bin Shalih bin Umair bin Ubaid,
Ibrahim bin Amir bin Masud, Usamah bin Yazid, Ishaq bin Yahya bin
al-Qamah. Hisyam bin Urwah, Mamar, Sufyan bin Uyainah. (al-
Asqalani VIII, 1984: 445-447)
Pendapat ulama tentang kepribadiannya: Ibnu Saad mngatakan
bahwa Zuhri adalah seorang yang iqah, memiliki banyak hadis, dan
memiliki banyak pengetahuan, banyak meriwayatkan hadis serta
seorang yang fakih. Allaits bin Saad: dia adalah orang yang alim dan
72
seorang yang fakih. (al-Asqalani VIII, 1984: 448-449). Abu Masud
Ahmad bin Furat mengatakan bahwa tidak ada sanad yang lebih baik
dari Zuhri, dan dia memiliki seribu hadis. (al-Mizzy VIII, 1980: 431)
Kesimpulannaya Zuhri adalah seorang yang telah diyakini
keiqahannya.
2. Mamar bin Rasyid
Termasuk dalam kelompok kibar al itba, nama panggilannya
abu Uwah dia wafat pada tahun154 H. gurunya Abban bin abi Iyas,
Ibrahim bin Aqbah bin Abi Iyas, Ishaq bin Rasyid, Ismail bin
Umayyah, Sulaiman al-Amasy, Amr bin Dinar, Muhammad bin
Muslim bin Syihab az-Zuhri. Muridnya antara lain Abban bi Yazid,
Ismail bin Ibrahim bin Muqsim, Ibrahim bin Khalid, Sufyan at-Tsauri,
Sufyan bin Uyainah, Abdurrazzaq bin Hammam. (al-Mizzy
XXVIII,1980: 304-305)
Pendapat ulama: Yahya bin Muin mengatakan Mamar
termasuk orang yang iqah. Amr bin Ali mengatakan bahwa Mamar
adalah seorang yang jujur dapat dipercaya. Ibnu hibban mengatakan ia
seorang hafiz hadis dapat dipercaya dan seorang yang wirai. (al-
Mizzy XXVIII, 1980: 309-310)
Kesimpulannya Mamar termasuk perawi yang diakui
kestiqahannya.
3. Abdurrazzaq
Abdurrazzaq bin Hamam bin Nafi al-Himyari, ugra min al
itba. Dia wafat pada 211 H. Gurunya: Ibrahim bin umar bin kisan,
73
Ibrahim bin maimun, Ibrahim bin Yazid, Israil bin Yunus bin abi
Ishaq, Jafar bin Sulaiman, Muhammad bin Muslim at-Thaifi, Malik
bin Anas, Mamar bin Rasyid. Muridnya Ibrahim bin Musa bin Yazid,
Ahmad bis Shalih, Ahmad bin Fadholah bin Ibrahim, Ahma bin
Muhammad bin Sabit, Ahmad bin Ali al-Jurjani, Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Abd bin Humaid, Muhammad bin Daud bin
Sofyan. (al-Mizzy XVIII, 1980: 53-55)
Pendapat ulama: Ahmad bin Shalah berkata kepada Ahmad
bin Hanbal apakah ada orang yang lebih baik hadistnya dari pada
Abdurrazaq? Ahmad mengatakan tidak ada. Abu Zurah mengatakan
bahwa Abdurrazaq adalah salah satu dari orang yang kuat dalam
periwatan hadis. Yaqub bin Saibah mengatakan bahwa Abdurrazaq
adalah seorang yang iqah dan kuat dalam periwayatan hadis. (al-
Mizzy XVIII, 1980: 56-58)
Ahmad bin Adiy mengatakan bahwa Adurrazaq memiliki
beberapa asnaf dan banyak hadis, banyak kalangan muslim yang
mengambil dan menulis hadis darinya, dan mereka tidak meriwayatkan
hadisnya sama sekali kecuali dengan menisbatkannya pada paham
Syiah. Dan Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa
Abdurrazaq dalam bermadzhab lebih mendahulukan madzhab Jafar
bin Sulaiman (al-Mizzy XVIII, 1980: 60-61). Al-ajali mengatakan ia
iqah dan berpaham Syiah (al-Asqalani, 1984: VI, 341).
Kesimpulannya Abdurrazaq adalah seorang perawi yang iqah dan
berhaluan Syiah.
74
4. Abd bin Humaid
Nama lengkapanya Abdul Amid bin Umaid bin Nasr, gelarnya
abu Muhammad. Dia hidup di Hams dan meninggal di Karbal pada
tahun 249 H. Semasa hidupnya ia pernah berguru kepada Ahmad bin
Ishaq bin Yazid, Jafar bin Aun bin Jafar bin Umar, Abdurrazzaq bin
Himam bin Nafi. Adapun salah satu muridnya adalah Imam Muslim.
Az-Dzahabi mengatakan Abd bin Humaid adalah orang yang hafidz,
dan Ibnu Hibban jua mengatakan dia adala oran yang iqah.
5. Imam Muslim
Nama lengkapnya adalah Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kusyadz al-Qusyairi an-Naisaburi. Beliau lahir di Naisabur pada tahun
204 H, wafat pada hari Ahad bulan Rajab tahun 261 H. (al-Mizzy
XXVII, 1980: 505)
Guru-guru dari Imam Muslim antara lain: Ibrahim bin Halid al-
Yaskuri, Ibrahim bin Ziyad an-Tamr, Ahmad bin Sinan al-Qathan,
Ahmad bin Muhammad bin Ibnu Hanbal, Adbul Hamid Bayan, Abd
bin Humaid. (al-Mizzy XXVII, 1980: 409-504)
Murid-muridnya antara lain: Ibrahim bin Ishaq, at-Tirmidzi,
Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah, Abu Hamid Ahmad bin
Muhammad, Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin Hasan. (al-Mizzy
XXVII, 1980: 505)
Imam Muslim adalah seorang Muhaddis, hafiz yang terpercaya.
Belia banyak menerima pujian dari para ulama hadis maupun ulama
lainnya. Hatim mengatakan dia adalah seorang yang iqah. Al Khatib al
75
Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah saya melihat abu
Zurah dan Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan
Muslin bin al-Hajjaj di bidang pengetahuan hadis sahih atas guru-guru
mereka pada masanya (Suryadilaga, 2003: 60)
c. Jalur Riwayat Ketiga
1. Aswad
Aswad bin Yazid bin Qaisy an-Nakhai, atau Abu Amar,
disebut juga Abdurrahman al-Kufiy, beliau adalah saudara dari
Abdurrahman bin Yazid, dan paman dari Ibrahim an-Nakhai Puteranya
bermana Abdurrahman bin Aswad. Beliau dari kalangan tabiin, wafat
di Kuffah pada tahun 75 H. Ada juga yang mengatakan tahun 74 H.
(al-Asqalani II, 1984: 233-235).
Gurunya : Bilal bin Rabah, Hudzaifah bin al-Yaman, Salman
al-Farisiy, Abdullah bin Masud, Ali bin Abi Thalib, Umar bin
Khattab, Muadz bin Jabal, Maqol bin Sinn al-Asyjaiy, Abu Bakar,
Abu Mahdzrah al-Jumakhiy, Abu Musa al-Asyari, Aisyah, Fatimah
binti Saad, Ummu Salamah. (al-Asqalani II, 1984: 233-24).
Adapun murid-murid dari Abu Aswad antara lain: Ibrahim bin
Suwaid an-Nakhai, Ibrahim bin Yazid an-Nakhai, Asyast bin Abu
Syatsa, Riyah bin Hrist an-Nakhai, Saad bin Ilaqah, Dhahak bin
Muzahim, Abdurrahman bin Aswad bin Yazid, Umarah bin Umair,
Kastir bin Mudrik, Muharib bin Distar, Mustayyab bin Rafi, Abu
76
Ishaq as-Sabii, Abu Burdah bin Abu Musa, Abu Hasan al-Araj. (al-
Asqalani II, 1984: 234)
Pendapat ulama tentang Aswad: Menurut Abu Thalib dari
Ahmad bahwa Aswad adalah orang yang iqoh dan temasuk ahli
kebaikan. Abu Ishaq mengatakan bahwa Aswad adalah seorang yang
iqah Sedangkan menurut Muhammad bin Saad bahwa Aswad adalah
seorang yang iqah. (al-Asqalani II, 1984: 235). Ibnu Hibban berkata
bahwa Aswad adalah seorang yang iqah yang faqh serta seorang
zahid. (al-Asqalani II, 1984: 343)
2. Ibrahim
Ibrahim bin Yazid bin Qaisy bin Amr bin Rabiah bin Dzahl
an-Nakhai, ugra min at tabiin, nasabnya an-Nakhai, gelarnya Abu
Imran, dia tinggal di Kufah dan wafat pada tahun 96 H pada masa
pemerintahan Walid bin Malik (al-Asqalani II, 1984: 340).
Guru-guru dari Ibrahim bin Yazid diantara pamanya sendiri
Aswad dan Abdurrahman, Masyruq, Alqamah, Abu Mamar, Hamam
bin Harist.(al-Asqalani II, 1984: 177)
Murid-murid Ibrahim an-Nakhai: Sulaiman al-Amasy,
Manshur, Ibnu Aun, Zabid al-Yamiy, Hamad bin Sulaiman, Mughirah
bin Muqassim, adh-Dhobiy, Hasan bin Ubaidillah an-Nakhai, Hakam
bin Utaibah, Zubair bin Adi.
Pendapat ulama: Ahmad bin Abdullah al-Ijliy berkata tidak
diceritakan seorangpun dari shahabat nabi tentang hadis kecuali hadis
yang diceritakan secara berjamaah. Dia juga merupakan laki-laki yang
77
shalih, fakih dan termasuk mufti ahli Kufah bersama dengan asy-
Syabi. (al-Mizzy II, 1980: 237). Asy-Syabi mengatakan bahwa
Ibrahim adalah seorang yang alim (al-Asqalani I, 1984: 178). Abu
Usamah berkata dari Amasy bahwa Ibrahim an-Nakhai sering kali
bertukar pengetahuan tentang hadist (al-Mizzy I, 1980: 238). Ibnu
Madini berkata bahwa an-Nakhai tidak bertemu dengan salah
golongan sahabat, sedangkan Abu Hatim berpendapat bahwa Ibrahim
tidak bertemu dengan golongan sahabat kecuali dengan Aisyah, dia
tidak mendengar hadis dari Aisyah r.a. (al-Asqalani I, 1984: 178)
3. Amasy
Sulaiman bin Mihran al-Asyadi al-Kahili terkenal dengan
sebutan al-Amasyi, dia merupakan ulama kufah lahir pada tahun 61 H
dan wafat pada tahun 148 H
Guru-gurunya antara lain: Aban bin Ayyasy, Ibrahim at-
Tamimi, Ibrahim an-Nakhai, Ismail bin Abi Khalid, Ismail bin Raja
az-Zubaidi, Ismail bin Muslim al-Makki, Anas bin Malik. (al-Mizzy
XII, 1980: 77)
Murid-murid dari Amasy antara lain: Aban bin Taghlib,
Ibrahim bin Tahman, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Fazari,
Asbad bin Muhammad al-Qurasyi, Ishaq bin Yusuf al-Azraq, Israil bin
Yunus, Ismail bin Zakaria, Jabir bin Nuh al-Khimani, Jarir bin Hazim,
Jarir bin Abdul hamid, Jafar bin Aun, Hasan bin Ayyasy, khafs bin
Iyas, Abu Muawiyah, Abu Awanah. (al-Mizzy XI, 1980: 80-83)
78
Pendapat ulama: Bukhari berkata bahwa Amasy meriwayatkan
1300 hadis. (al-Mizzy XII, 1980: 83) Yahya bin Muin berkata bahwa
hadist yang diriwayatkan Amasy dari Anas adalah mursal. Ali bin
Madani berkata bahwa ada enam orang yang menjaga ilmu dari umat
Nabi Muhammad yaitu Amar bin Dinar yang merupakan ahli Makkah,
Ibnu Shihab az-Zuhri ahli Madinah, Abu Ishaq Asy-Syabii ahli
Kufah, Sulaiman bin Mihran al-Amasy, Yahya bin Abi Kastir an-
Nafilah ahli Basrah, dan Qatadah. (al-Mizzy XII, 1980: 84) Ahmad bin
Abdullah al-Ijli berkata Amasy merupakan orang yang iqah. (al-
Mizzy XII, 1980: 87) Menurut an-Nasai bahwa Amasy adalah
seorang yang iqah yang tetap. (al-Mizzy XII, 1980: 89). Kesimpulan
Amasy termasuk perawi yang iqah.
4. Abu Muawiyah
Abu Muawiyah Muhammad bin Khazim al-Kufi adh-Dhorir,
lahir pada tahun 113 H wafat pada bulan Safar atau Rabiul Awwal 195
H ada juga yang mengatakan dia meninggal pada tahun 194 H. (al-
Mizzy XXV, 1980: 133)
Guru-gurunya antara lain: Ibrahim bin Thahman, Ismail bin
Abi Khalid, Ismail bin Muslim al-Maki, Abi Burdah Buraid bin
Abdullah bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asyari, Bassyar bin
kadam, Jafar bin Burqan, Juwaibar bin Said, Haristah bin Abi Rijal,
Sulaiman al-Amasyi. (al-Mizzy XXV, 1980: 124)
Murid-muridnya antara lain: Ibrahim bin Abu Muawiyah adh-
Dharir, Ahmad bin Harb al-Muwshalli, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin
79
Abu al-Hawari, Ahmad bin Abu Syuraih ar-Razi, Ahmad bin Sinan,
Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Ahmad bin Abdul jabbar. (al-Mizzy
XXV, 1980: 125)
Pendapat ulama tentang Abu Muawiyah Abdullah bin Hanbal
berkata dia mendengar dari ayahnya bahwa hadis yang diriwayatkan
Abu Muawiyah selain dari riwayat Amasy adalah hadis yang
mutorib karena dia tidak menjaga hadis tersebut dengan baik. (al-
Mizzy XXV, 1980: 128)
Al-Ijli mengatakan bahwa Abu Muawiyah adalah seorang yang
iqah, dan memiliki ucapan yang lembut. Abu daud mengatakan Abu
Muawiyah termasuk golongan Murjiah, dan merupakan pembesar
Murjiah di Kufah (al-Mizzy, 1980: XXV, 132). Sedangkan Ibnu
Hibban mengatakan bahwa Abu Muawiyah adalah seorang Hafi yang
sempurna tetapi dalam golongan Murjiah yang keji. (al-Mizzy XXV,
1980: 133)
Kesimpulan: Abu Muawiyah adalah seorang perawi yang iqah
dan berpaham Murjiah
5. Ahmad bin Harb
Ahmad bin Harb bin Muhammad bin Ali bin Hayyan bin
Mayan, abaqahnya kibar tabii al-itba, nasabnya Attai, gelarnya
Abu Ali Ayyub, tinggalnya di al-Musali dan wafat di al-Azanah pada
tahun 263 H. Guru-gurunya antara lain: Ibnu Uyainah, Abu Muawiyah,
Ibnu Idris, Ibnu Fudail. Sedangkan murid-muridnya: Nasai, Ahmad
80
bin Abdullah, Ahmad bin Abdurrahman, Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad. (al-Mizzy I, 1980: 288-289)
Pendapat Ulama: Abdurrahman bin Abi Hatim mengatakan
bahwa Ahmad bin Harb adalah orang yang terpercaya kebenarannya.
Abu Zakaria mengatakan bahwa Ahmad adalah orang yang
diutamakan dan wirai. (al-Mizzy I, 1980: 288)
6. Muhammad bin Ala
Muhammad bin Ala bin Kuraib, thabaqahnya kibar tabii al-
itba, gelarnya Abu Kuraib dan tinggal di Kufah wafat pada tahun 248
H. Guru-gurunya antara lain: Ibrahim bin Ismail, Ibrahim bin Yazid,
Ibrahim bin Yusuf, Bakr bin Abdurrahman, Jafar bin Aun, Sufyan bin
Uyainah, Muawiyah bin Hisyam, Abu Muawiyah adh-dharir. Murid-
muridnya antara lain: Ibrahim bin Maqil, Abu Hamdan bin Gharim al-
Bukhari, Abu Khatim. (al-Mizzy XXVI, 1980: 243-246)
Pendapat ulama: Abi hatim berkata bahwa Muhammad bin
Ala adalah orang yang terpercaya kebenarannya. Didalam kitabnya
Ibnu Hibban ia mengatakan bahwa Muhammad termasuk dari orang-
orang yang iqah. Ibrahim bin Abu Thalib mengatakan bahwa
Muhammad bin Yahya berkata kepadaku siapakah yang paling hafidh
didaerah Iraq? Kemudian aku berkata aku tidak melihat orang yang
lebih hafidz setelah Ahmad bin Hanbal selain Abu Kuraib. (al-Mizzy
XXVI, 1980: 247)
Kesimpulan: Muhammad bin Ala termasuk orang yang iqah
81
7. An-Nasai
Nama lengkap dari Imam an-Nasai adalah Abu Abdurrahman
Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Kurasani An-Nasai.
Nama imam An-Nasai dinisbatkan pada sebuah daerah bernama Nasa
di wilayah Kurasan yang disebut juga Nasawi yang masih termasuk
wilayah Khurasan. Dia lahir di daerah Nasa pada tahun 214 H dan
wafat di Palestina pada hari Senin 13 Shafar tahun 33 H (al-Mizzy I,
1980: 340). Imam Nasai termasuk salah satu dari beberapa Imam ahli
hadis yang terkenal, ia pemilik kitab Sunan an-Nasai.
Diantara guru-guru beliau: Ahmad bin Nashr an-Naysaburi,
Abi Shalih bin Ziyad as Susii. Sedangkan murid-muridnya antara lain:
Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin
Shalih, Abu Hasan Ahamad bin Umair, dan sebagainya.(al-Mizzy I,
1980: 329)
Pandangan Ulama tentang an-Nasai: Ali bin Umar mengatakan
bahwa Abdurrahman an-Nasai pada zamannya adalah seorang syaikh
yang paling faqih di Mesir, lebih mengetahui tentang hadis yang ahih
dan aar-aar yang cacat. (al-Mizzy I, 1980: 338). Abu Said bin
Yunus mengatakan an-Nasai merupakan Imam yang iqah yang teguh
pendirian dan seorang hafi (al-Mizzy I, 1980: 243-340).
d. Jalur Riwayat Keempat
1. Abdullah
Abdullah bin Masud bin Ghafil bin Habib bin Syamhi bin
Mahzum. Dia termasuk golongan Sahabat. Nasabnya Huzail al-Madani.
82
Nama gelarnya Abu Abdurrahman, julukannya Ibnu Ummi Abd,
tinggalnya di Kufah. Dia merupakan golongan sahabat yang awal masuk
Islam dan banyak mengetahui rahasia Rasulullah Saw karena sebagian
besar waktunya dihabiskan untuk mememani Rasulullah Saw. Dia
termasuk sahabat yang banyak memiliki keutamaan.
Dia meriwayatkan hadis langsung dari Nabi Saw juga dari
perawi yang lain seperti Saad bin Muad al-Anshari, Safwan bin Asal al-
Maradi, Umar bin Khattab. Murid-murid dari Abdullah antara lain
anaknya Abdurrahman, Abu Ubaidah, Abdullah bin Utbah bin Masud,
Anas, Jabir, Ibnu Umar. (al-Asqalani VI, 1984: 27). Nabi Saw berkata
kepada Abdullah bahwa dia adalah seorang muallim (al-Asqalani VI,
1984: 28).
Ali bin Abdullah al-Madini mengatakan bahwa tidak ada sahabat
Nabi Saw yang memiliki sejumlah murid yang menghafal riwayat-
riwayatnya dan melestarikan pendapat-pendapat fikihnya kecuali tiga
orang Zaid bin Sabit, Abdullah bin Masud dan Ibnu Abbas. (al-
Ghaitabi, tt: 394) .
Bukhari mengatakan bahwa Abdullah wafat di Madinah sebelum
wafatnya Umar bin khattab, Abu Naim mengatakan Abdullah wafat
pada tahun 32 H sedangkan Yahya bin Bakir mengatakan Abdullah
wafat tahun 33. Ibnu Naim berkata bahwa Ibnu Masud telah mengambil
dari Rasulullah serta keluarga 70 surat.
83
2. Abi Ubaidah
Amir bin Abdullah bin Masud, tingkatannya tabiin pertengahan
nasabnya Huzali, gelarnya Abu Ubaidah dia tinggal di kufah dan wafat
pada tahun 83 H. Gurunya antara lain bapaknya meskipun dia tidak
mendengar langsung hadistnya, Abu Musa al-Asyari, Amr bin Haris,
Kaab bin Ujrah Aisyah, Umi Zainab ats-Tsaqafiyah, Bara bin Azi,
Masyruq. Murid-muridnya antara lain: Ibahim an-Nakhai, Abu Ishaq
an-Sabii, Saad bin Ibrahim, Amr bin Marrah, Nafi bin Jabir. (al-
Asqalani V, 1984: 75)
Pendapat ulama: at-Tarmidzi mengatakan bahwa dia tidak
mengenal nama Abu Ubaidah, dan Abu Ubaidah tidak mendengar
apapun dari ayahnya, dan dia banyak kekeliruan. Ibnu Hibban
mengatakan Abu Ubaidah termasuk seorang yang iqah dan dia tidak
mendengar hadis dari ayahnya. Darquthni mengatakan bahwa Abu
Ubaidah adalah orang yang lebih mengetahui tentang hadis-hadis yang
diriwayatkan ayahnya dari Hanif bin Malik. (al-Asqalani V, 1984: 76)
3. Abu Ishaq
Umar bin Abdullah bin Ubaid, thabaqahnya tabiin pertengahan,
julukannya Abu Ishaq , dia tinggal dan wafat di Kufah pada tahun 128
H.
Guru-gurunnya antara lain: Ibrahim bin Muhammad bin Ali,
Anas bin Malik, Ayyub bn Khalid, Stalabah bin Malik, Hisyam bin
Urwah. Huzaifah. Diantara murid-muurid Abu Ishaq adalah Ismail bin
84
Ayyas, Ali bin Ghurab, Amr bin Muhammad, Isa bin Yunus. (al-
Asqalani VII, 1984: 471-472)
Pendapat Ulama: Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan
bahwa tidak ada cacat dalam periwayatan Abu Ishaq, tetapi banyak
hadist darinya yang mursal. An-Nasai dan Yahya bin Main mengatakan
bahwa periwayatan dari Abu Ishaq adalah aif (lemah). Abu Hatim bin
Hibban mengatakan bahwa Abu Ishaq memalingkan beberapa khabar
serta hadis, periwatannya tidak dapat dijadikan hujjah. Ibnu Saad
mengatakan bahwa Abu Ishaq adalah seorang yang iqah banyak hadis
yang tidak ada sanad dan hadisnya adalah Mursal. (al-Asqalani, 1984:
VII, 472-473
Kesimpulan: bahwa hadis dari periwayatan Abu Ishaq adalah
lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah
4. Israil
Israil bin Yunus bin Abi Ishaq. Thabaqahnya kibarul al-Itba,
nasabnya SabiI al-Hamdani, julukannya Abu Yusuf, dia tinggal di
Kufah dan wafat pada tahun 160 H. Diantara guru-guru Israil adalah
Ibrahim bin Muhajir, Ibrahim biin Abdul Ala, Sulaiman al-Amasy.
Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin Abdullah, Ahmad bin khalid,
Abdurrazaq bin Hamman, Abu Ahmad Muhammad bin abdullah. (al-
Asqalani II, 1984: 517-518).
Pendapat ulama tentang kepribadian Israil, Ahmad bin Hanbal
mengatakan bahwa Israil adalah seorang yang iqah. Yahya bin Main
mengatakan bahwa Israil adalah seorang yang iqah dan lebih Hafidh.
85
al-Ajili mengatakan dia iqah. Abu Hatim mengatakan termasuk iqah
serta orang yang jujur. Abi Yaqub bin Syaibah mengatakan bahwa
hadis-hadis riwayat Israil diperbincangkan. Muhammad bin Ahmad
mengatakan aif, sedangkan an-Nasai mengatakan tidak ada kecacatan
dalam periwatannya. (al-Asqalani II, 1984: 521-523)
5. Abu Ahmad
Muhammad bin Abdullah bin Zubair bin Umar bin Dirham,
thabaqahnya sugra min al itba, nasabnya Zubairi al Asadi, gelarnya
Abu Ahmad, dia tinggal di Kufah dan meninggal pada tahun 203 H.
Diantara guru-guru Abu Ahmad adalah Aban bin Abdullah al Bajalli,
Ibrahim bin Thamhan, Israil bin Yunus, Basyir bin Muhajir, Habib bin
Hasan. Sedangkan nama murid-muraidnya antara lain: Ibrahim bin Said
al-Jauhari, Ahmad bin Abi Suraij ar-Razi, Ahmad bin Said ar-Ribathi,
Ahmad bin Sinan al-Qathan. (al-Mizzy XXV, 1980: 476-477)
Pendapat ulama tentang Abu Ahmad: Ibnu Numair mengatakan
dia adalah orang yang jujur. Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Abu
Ahmad memiliki banyak kesalahan dalam hadis Sofyan. Al-Ijli
mengatakan bahwa dia termasuk perawi yang iqah dan berpaham
Syiah. Abu Zurah dan Ibnu Hirasy mengatakan ia termasuk seorang
yang jujur. An-Nasai mengatakan tidak ada kecacatan didalam hadist
periwatannya. (al-Mizzy XXV, 1980: 379-380). Kesimpulan bahwa Abu
Ahmad adalah seorang perawi yang jujur, meskipun banyak kesalahan
dalam hadist Sofyan.
6. Ahmad bin Sinan
86
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Sinan bin Asad bin
Hibban al-Qathan. Thabaqahnya wusa min tabii al itba, nasabnya
al Wasiti al Qathan, gelarnya Abu Jafar, dia tinggal di hait dan
meninggal pada tahun 259 H. Para gurunya antara lain Ishaq bin
Yusuf Arzaq, Abi Usamah Hammad bin Usamah, Afwan bin
Muslim, Muhammad bin Abdullah bin Zubair. Sedangkan muridnya
antara lain: An-Nasai didalam hadist Malik, Jafar bin Ahmad bin
Sinan, Zakaria bin Yahya as-Saji, Abu Bakar Abdullah bin Abi
Daud. (al-Mizzy I, 1980: 321-322) .
Pandangan ulama tentang pribadi Ahmad bin Sinan, an-Nasai
mengatakan iqah. Abu Hatim mengatakaan bahwa dia adalah
seorang yang iqah dan jujur. Abdurrahman bin Abi Hatim
berpandangan bahwa dia adalah seorang Imam pada zamannya.
Ibrahim bin Arumah berpendapat bahwa dia adalah orang yang
sempurna atau profesional dan terpercaya keabitannya. (al-Mizzy I,
1980: 323)
7. Ibnu Majah.
Nama lengkapnya Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin
Majah al-Rab'i al-Quzwaini adalah seorang ahli hadis yang terkenal
karena menyusun kitab Sunan Ibnu Majah. Ia memiliki gelar Abu
Abdullah, lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Lahir di Iraq pada
tahun 209 H dan wafat pada hari Senin bulan Ramadhan 273 H. Dia
telah melakukan lawatan dan berkeliling dibeberapa negara seperti
87
Irak, Mesir, Syam, Hijaz, Kufah Bashrah dan negara-negara lain. (al-
Mizzy XXVII, 1980: 41).
Murid-murid Ibnu majah antara lain: Ibrahim bin Dinar al-
Hausyabi, Ahmad bin Ibrahim al-Qazuyani, Abu Amr Ahmad bin
Muhammad. Jafar bin Idris. (al-Mizzy XXVII, 1980: 40)
Pandangan ulama tentang Ibnu Majah: Abu Yala al-Khalil
bin Abdullah al-Halili mengatakan bahwa Ibnu Majah adalah
seorang yang sangat iqah, riwayat-riwayatnya adalah mutafaq
alaih dan dapat dijadikan hujjah, memiliki pengetahuan tentang
hadis dan seorang hafi, dia juga banyak menyusun kitab-kitab
dalam berbagai ilmu seperti hadis, tafsir dan tarikh. (al-Mizzy
XXVII, 1980: 41)
4. Persambungan Sanad
Sanad hadis memuat dua komponen yang penting, memuat nama-
nama periwayat seperti yang telah diuraikan diatas dan memuat lambang-
lambang periwayatan (igat) yang berfungsi memberikan petunjuk tentang
metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing perawi. Dari
lambang-lambang tersebut kita bisa melihat tingkat akurasi sebuah
riwayat.
Kegiatan periwayatan hadis berkutat pada kegiatan menerima dan
menyampaikan hadis kepada seseorang atau dari seseorang dan dengan
cara tertentu, hal itu dikenal shighat Tahammul Wa al Ada Al Hadis
88
Dilihat dari jenis igat penyampainnya, hadis diatas menggunakan
lafaz addasan dan an. Sigat addasan disepakati ulama sebagai
bentuk periwayatan as sama (pendengaran) artinya disitu terdapat
ketersambungan periwayat, sedangakan igat an sebagian ulama banyak
yang mempersoalkannya karena tergolong pada hadis muanan yang
dicurigai memiliki sanad yang putus. Namun itu bukan keputusan final,
hadis muanan dapat dinilai sanadnya bersambung jika dipenuhi beberapa
syarat: yang pertama tidak ada tadlis, kedua adanya pertemuan antara
perawi, ketiga periwayat yang menggunakan lafaz an adalah rawi yang
iqah. (Ismail, 1992: 83)
Jalur rawi pertama perawinya orang-orang yang iqah kecuali
Hisyam bin Urwah yang disinyalir lemah ingatanya dan diragukan
periwayatannya saat di Irak. Jalur kedua dan ketiga perawinya iqah dan
muttasil sanadnya. Adapun untuk kategori hadis yang keempat
diriwayatkan dari sedikit rawi, berdasar catatan Muhammad Fuad Abdul
Baqi hadis tersebut munqoti karena Aba Ubaid tidak mendengar dari
ayahnya seperti yang dikatakan Abu Syuba Abu Atim dan Ibn Ibban (al
Asqalani V, tt: 76)
Dalam jalur kedua meskipun muttasil dan iqah ada sedikit
kejanggalan, terdapat rawi yang mempunyai aqidah tertentu seperti
Abdurrazzaq bin Hamam penganut Syiah (dalam jalur rawi kedua) dan
Abu Muawiyah penganut Murjiah (dalam jalur rawi ketiga). Dalam
kaitannya dengan aqidah para ulama hadis sangat berhati-hati karena hal
itu bisa berdampak pada kepentingan golongan. Oleh karena itu ulama
89
hadis menetapkan persyaratan bagi rawi yang menganut aqidah tertentu
dan dikatakan dapat diterima. Pertama, periwayatnya harus Muslim,
kedua, jika mengikuti mazhab yang menyimpang (bidah) ia bukan orang
yang ekstrim dalam bidah dan bukan termasuk provokator, ketiga hadis
yang diriwayatkan tidak berkaitan dengan bidahnya. (Fathullah, 2005:
37). Kaitanya dengan persyaratan tersebut keduanya tegolong orang yang
pasif dalam beraqidah tersebut, jadi periwayatannya dapat diterima.
Adapun kesimpulan darajah hadisnya adalah:
No Dilihat dari jumlah perawinyaDilihat dari maqbul mardudnya
1 Khabar/Hadis Ahad Sahih ligoirihi/Hasan liatihi
2 Khabar/Hadis Ahad Sahih liatihi
3 Khabar/Hadis Ahad Sahih liatihi
4 Khabar/Hadis Ahad Hadis Munqai
C. Kritrik Matan Hadis
1. Aspek Bahasa
Dari segi teks atau kebahasaan hadis di atas mempunyai 4 kata
kunci pokok yang dapat di jadikan penelitian dalam matan yakni
tazawwaja, Bintu, Ban, sitta sinn dan saba sinn.
Kata tazawwaja pada dasarnya tidak mempunyai makna lain selain
apa yang telah diketahui bersama yaitu memperistri, menikahi, atau
mengawini sama halnya dengan kata nikah (Bisri, 1999: 303)
Selanjutnya kata binta merupakan bentuk mufrad (tunggal) jama
dari banat kata yang digunakan untuk menunjukkan nasab yang
90
merupakan lawan dari ibna, nasab untuk garis laki-laki, binta tidak selalu
menunjukkan arti perempuan yang masih kecil tetapi penggunaannya bisa
bagi semua umur seperti contoh Fatimah binti Muhammad, Salma binti
Fulan. Berbeda dengan kata ibyan, iflun yang artinya menunjukkan anak
kecil dibawah lima tahun/belum balig. (Bisri, 2002: 112)
Adapun ban yang masdarnya bunyn berarti membangun yakni
membangun rumah tangga namun demikian arti membangun rumah
tangga yang dikehendaki hadis ini adalah kiasan secara halus yang
bermakna jima yang berarti menggauli. Artinya Aisyah r.a baru digauli
Nabi ketika usianya mencapai 9 tahun, 2 atau 3 tahun setelah
pernikahannya. (Manzhur, 206-207)
Sedangkan perbedaan usia Aisyah r.a yang ada dalam beberapa
redaksi hadis ada yang meriwayatkan sitta ada juga yang saba. al-
Nawawi (tt: 207) menjelaskan dalam kitab Sahih Muslim Syarah al
Nawawi tidak ada pertentangan diantara ulama tentang umur Aisyah r.a,
perbedaan tersebut dikarenakan Asiyah r.a menikah umur 6 dan akan
menginjak 7.
2. Kesesuaian dengan al-Quran dan Hadis Lainnya
Al-Quran tidak menyebutkan secara spesifik pada usia berapa
seseorang sebaiknya menikah, namun ada ayat yang sering dikaitkan
dengan usia pernikahan (Q.S Thalaq [65]: 4)
9 $# u z t z s y9 $# /3 !$ |p ) F; s?$# E s sWn=rO 9 r& 9 $# u s9
z ts 4 Ms9 ' & u $uq F{ $# =y_ r& r& z t n=xq 4 tu , G t !$# ygs & ! r&
# Z
91
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Kata yang perlu digaris bawahi adala wa allti lam yahina At-
Tabari mengartikan dengan perempuan yang belum haid, karena masih
kecil. Senada juga dengan Jalaludiin al-Mahali dan al-Suyuti dalam tafsir
Jalalin, mereka mengartikan sama. Penjelasan yang berbeda ungkap
Iffatul Umniati (Rahima, 2012: 25) dikatakanan oleh Hayyan Muhammad
bin Yusuf dalam tafsir al-Bahr al-Muhi yang memaknai sebagai
perempuan yang masih kecil yang belum haid dan juga bisa berlaku untuk
perempuan yang dewasa yang juga belum haid.
Sedangkan kebanyakan ulama fiqh mengkaitkannya dengan
pembolehan pernikahan anak. Dengan alasan jika iddahnya anak kecil
yang belum haid saja diatur dalam al-Quran itu berarti menikahkan anak di
usia kecil adalah boleh. Namun jika ayat tersebut di atas dimaknai dengan
perempuan dewasa yang tidak mengalami haid maka pemaknaan ini tidak
bisa di jadikan dasar atas pernikahan muda.
Dilihat dari hubungannya dengan hadis lain, penulis tidak
menemukan pertentangan namun ada sebuah hadis yang menganjurkan
para pemuda dan pemudi yang sudah mampu untuk melaksanakan
pernikahan.
) : 5
92
Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan dalam hal baah maka kawinlah karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu melaksanakannya hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng ( HR.Bukhari Mislim). Hadis tersebut menganjurkan para pemuda pemudi yang sudah
mampu untuk menikah. mampu bukan hanya kemampuan fisik
(biologis) tetapi juga kemampuan psikis. Jika seseorang secara psikis atau
batin atau keduanya belum mempunyai kemampuan dan kematangan
sebaiknya menunda pernikahan tersebut dengan cara berpuasa karena
puasa dapat mencegah dari jahatnya nafsu birahi.
Berdasarkan data sejarah Aisyah r.a adalah perempuan yang
cerdas dan matang secara fisik dan psikis, gadis-gadis bermukim di daerah
tropis sering kali lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang
bermukim di daerah dingin.
3. Asbab Al Wurud
Berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap beberapa kitab
syarh hadis, hadis tersebut tidak mempunyai asbb al-wurd al-khssah,
hadis ini termasuk dalam kategori hadis fili (perbuatan yang dilakukan
Nabi Saw). Pada saat itu Nabi saw telah ditinggal mati oleh Khadijah r.a,
Nabi Saw merasakan sangat sedih kemudian Khaulah mengusulkan
kepada Nabi Saw untuk menikahi Aisyah bint Abu Bakar untuk
menguatkan persahabatannya dengan Abu Bakar, sahabat yang sangat
dicintainya. Kemudian Nabi Saw mengutus Khaulah kepada keluarga Abu
93
Bakar, setujulah mereka kemudian berlangsunglah pernikahan. (Bint
Syathi, 1974: 62)
D. Pandangan Ulama Terhadap Hadis Usia Menikah Aisyah r.a (Pro-
Kontra)
Terlepas dari suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, dalam
memahami suatu teks pastinya ada perbedaan diantara para ulama, hal itu
dianggap suatu hal yang wajar. Kaitannya dengan hadis usia menikah
Aisyah r.a ada ulama yang setuju dengan hadis diatas namun ada juga
yang tidak setuju dan menggugat keabsahan hadis dengan menyertakan
beberapa argument kesejarahan.
1. Ulama yang menerima riwayat hadis usia menikah Aisyah r.a
Sudah tidak menjadi hal yang asing lagi di kalangan para
ilmuwan dan orang awam bahwa Aisyah r.a menikah pada usia yang
sangat belia. Hal itu dapat dibuktikan dengan keberadaan buku-buku
sejarah, sirah, yang mengutip usia belia Aisyah r.a saat menikah
tentunya semua itu berlandaskan pada hadis diatas.
Diantara ulama yang menerima riwayat tersebut seperti Aisyah
Abdurrahman binta as Syati, dalam bukunya Sayyidti Baiti
Annubuwwah, bintu Syati menulis Aisyah r.a dilahirkan tiga atau
empat tahun setelah diutusnya Nabi Muhammad menjadi Rasul dan
Abu Bakar menikahkan putrinya tersebut dengan Nabi Saw pada usia
enam atau tujuh tahun dengan mahar 400 Dirham (Bint Syathi, 1974:
205)
94
Dalam literature sejarah tidak satupun memuat berita tentang
adanya reaksi masyarakat waktu itu terhadap pernikahan Nabi Saw
dengan Aisyah r.a, itu artinya pernikahan tersebut dianggap sebagai
peristiwa yang wajar. Masyarakat Makkah tidak kaget dengan
peristiwa tersebut bahkan tidak seorang pun dari musuh Nabi Saw
menanggapi pernikahan tersebut sebagai suatu bahan ejekan dan
celaan, walaupun sebenarnaya mereka tidak akan membiarkan hal
sekecil apapun dari diri Nabi Saw untuk dijadikan bahan gunjingan
terhadap Islam. Artinya pernikahan pada usia yang belia merupakan
hal yang lumrah dan Aisyah r.a bukanlah orang yang pertama
melakukannya.
Quraish Shihab (2011: 530) juga menuturkan pada masa
lampau sebelum dan masa Rasul bahkan generasi susudahnya
menikahi perempuan yang seusia dengan dengan anak kandung
merupakan suatu yang lumrah dalam masyarakat umat manusia.,
artinya itulah adat kebiasaan yang dapat diterima masyarakat masa
lampau. Faktor usia tidak terlalu berperan dalam memilih calon
pasangan.
Kasus tersebut dapat dilihat seperti pernikahan Abdul Muthalib
menikahi perempuan yang sebaya dengan istri anknya yakni Halah
anak paman Aminah.
2. Ulama yang menolak hadis usia menikah Aisyah r.a
Tuduhan-tuduhan negative terhadap Nabi Saw seakan tidak
pernah usai, para misonaris dan orientaslis terus saja menuduh Nabi
95
Saw mempunyai ahlak yang tercela, kaitannya dengan hal ini mereka
menuduh Nabi Saw seorang pedofilia (kelainan seksual yang
melibatkan anak dibawah umur). Tuduhan-tuduhan itu sangat tidak
beralasan sebab mereka menjustifikasi suatu persoalan tanpa
mengadakan penelitian terlebih dahulu. Mereka menjadikan nilai di
negara-negaranya sebagai tolak ukur untuk menjustifikasi apa saja
yang ada di dunia. Seperti halnya hukum rajam, hukum cambuk yang
mereka nilai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Bahkan juga
seorang laki-laki dewasa yang menikahi wanita yang sudah mencapai
tahap pubertas dianggap sebuah pemerkosaan terhadap hak asasi
manusia.
Tuduhan miring tersebut yang kemudian membangunkan rasa
geram para ilmuwan masa kini seperti Habib ur Rahman Sidiqui
Kandhalvi, Hakeem Niaz Ahmad dan ulama Indonesia O. Hashem
mereka mengadakan penelitian tentang hadis pernikahan usia tersebut
dengan menggunakan beberapa argument data sehingga menghasilkan
kesimpulan bahwa Aisyah r.a menikah tidak di usia belia.
Adapun argument-argument yang dikemukakan mereka yaitu:
1. Sikap ahl hadis.
Mereka meragukan keiqahan perawi hadis usia menikah
Aisyah r.a yang bernama Hisyam bin Urwah. Ibn Hajar al
Asqalani dalam bukunya Tahzb at Tahzb yang membahas
kredibilitas perawi Hisyam bin Urwah menuturkan bahwa
penduduk Madinah menolak riwayat Hisyam yang disampaikan
96
orang-orang Irak. Yaqub bin Syaibah dalam Tahzb at Tahzb (Al-
Asqalani: 50) juga berpendapat tentang Hisyam:
Hisyam adalah orang yang terpercaya, kuat riwayatnya, tidak ada yang menolaknya kecuali setelah ia tinggal di Irak. Di Irak ia menyebarkan riwayat yang mengatasnamakan ayahnya, tapi ditolak oleh orang Madinah. Di Madinah ia hanya meriwayatkan hadis yang benar-benar ia dengar dari ayahnya tapi di Irak ia mengatakan mendengar dari ayahnya padahal ia tidak mendengar dari ayahnya namun dari orang lain
Dengan demikian Hisyam dituduh sebagai mudallis ia
mendengar dari orang lain tetapi mengatakannya mendengar dari
ayahnya.
Ibn Hajar (tt: 50) mengatakan "Hisyam sangat bisa
dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia
ceritakan setelah ia pindah ke Iraq. Mizan al i`tidal buku lain yang
berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadis Nabi saw
mencatat: Ketika masa tua, ingatan Hisyam mengalami
kemunduran yang mencolok (Al-Zahbi, tt: 301). Oleh karena itu
Khandhalvi mengatakan sangat dimungkinkan ada riwayat yang
terselip yaitu lafaz asyroh dari lafaz sitta, saba dan tisa yang
mana seharusnya sabata asyaroh, sittata asyroh dan tisata
asyroh. (Kandhalvi, 1997: 35)
Kandhalvi mengatakan (1997: 42) bahwa pada tahun 131 H
tatkala berumur 70 tahun Hisyam pindah ke Irak untuk
mendapatkan uang karena ia terbelit hutang setelah pernikahan
anaknya, dia tinggal di Irak selama 15 tahun dan meninggal pada
tahun 146 dalam usia 85 tahun. Adapun saat ia tinggal di Madinah
97
imam Malik dan Abu Hanifah tercatat sebagai salah satu muridnya,
tetapi anehnya diantara mereka tidak ada yang mengutip riwayat
hadis tentang usia pernikahan Aisyah ini. Ini artinya Hisyam tidak
meriwayatkan hadis tersebut di Madinah tetapi di Irak.
2. Perbandingan umur Aisyah r.a dengan Asma kakaknya
Umur Aisyah r.a dihitung dari umur Asma Menurut Abdur
rahman ibn Abi Zannad: Asma lebih tua 10 tahun dibanding
Aisyah r.a (al-Zahabi, 1992: 289). Menurut Ibn Hajar Al-
Asqalani: Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73
or 74 H. Menurut riwayat dari Ibnu Kair (1933: 371)
Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun
Habib ar Rahman Kandhalvi (1997: 79) mengutip riwayat-riwayat
tersebut sebagai perhitungan. Ia menceritakan Saudara tertua dari
Aisyah r.a berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100
tahun di tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika
hijrah (622M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah
(ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau
18 tahun. Jadi, Aisyah r.a, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada
tahun dimana Aisyah r.a berumah tangga. Jadi berdasarkan data dari
Ibn Hajar, Ibn Katir, dan Abdurrahman ibn Abi Zannad, usia Aisyah
98
ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20
tahun.
3. Perbandingan umur Aisyah r.a dengan Fatimah r.a
Umur Aisyah r.a jika dihubungkan dengan umur Fatimah r.a
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani (1978: 377) Fatimah r.a dilahirkan
ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun
Fatimah r.a 5 tahun lebih tua dari Aisyah r.a. Jika Statement Ibn
Hajar adalah faktual, berarti Aisyah r.a dilahirkan ketika Nabi Saw
berusia 40 tahun. Jika Aisyah r.a dinikahi Nabi pada saat usia Nabi
Saw 52 tahun, maka usia Aisyah r.a ketika menikah adalah 12 tahun.
4. Perang Badr dan Uhud.
Kandhalvi mengutip sebuah riwayat mengenai partisipasi
Aisyah r.a dalam perang Badr yang dijabarkan dalam Shahih Muslim
No. 4472 Aisyah mengatakan Rasulullah berangkat ke Badar tatkala
mencapai Harrat al Wabarah (sekitar 9,4 Km dari Madinah seorang
laki-laki yang sudah terkenal keberaniannya menemuinya. Dari
pernyataan ini tampak jelas, Aisyah r.a merupakan anggota
perjalanan menuju Badar.
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah r.a dalam perang
Uhud juga tercatat dalam Shahih Bukhari Kitab al-Jihad wa al-Siyar,
Bab Ghazwi al-Nisa wa Qitalihinna ma`a al Rijal: Anas bin Malik
mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri
dekat Rasulullah. [pada hari itu] Saya melihat Aisyah r.a dan Ummi-
99
Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya untuk
mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb]. Hal ini dijadikan
bukti yang menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang
Uhud dan Badr.
Kandhalvi selanjutkan mengatakan terdapat riwayat lain yang
menyatakan larangan anak-anak mengikuti perang Badar maupun
Uhud. Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitab al-Magazi, Bab Gazwah al-
Khandaq wa Hiya al-Ahzab): Ibn `Umar menyatakan bahwa
Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud,
pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang
Khandaq, ia berusia 15 tahun, Nabi Saw mengijinkan Ibnu Umar ikut
dalam perang tsb. Berdasarkan riwayat di atas, anak-anak berusia di
bawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam
perang, dan kenyataanya Aisyah r.a ikut dalam perang Badar dan
Uhud artinya beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal
berusia 15 tahun. Disamping itu, Wanita-wanita yang ikut menemani
para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu,
bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain
dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah r.a. (Hashem, 2009: 69-70)
Itulah beberapa data sejarah yang diungkapkan oleh Kandhalvi
untuk menolak keabsahan hadis tentang usia menikah Aisyah r.a saat
masih belia.