bab iii sedera secvikal belum fix agus

68
BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI SPINAL DAN VERTEBRA B. JARAS SENSORIK DAN MOTORIK UMN dan LMN Kontrol gerak oleh Sistem Saraf Pusat terbagi menjadi Sistem Saraf Somatis (SSS) dan Sistem Saraf Otonom (SSO). Sistem saraf somatis mengontrol kontraksi otot skelet secara sadar (volunter). Sedangkan Sistem saraf otonom mengontrol gerak organ visceral secara tidak sadar (involunter) (Martini, 2008). Berdasarkan letak anatomis, motoneuron pada sistem saraf somatis terbagi menjadi dua, yakni Upper Motorneuron (UMN) dan Lower Motorneuron (LMN). Upper motorneuron adalah semua neuron yang menyalurkan impuls motorik ke lower motorneuron dan terbagi menjadi susunan piramidalis dan extrapiramidalis. Upper motorneuron berjalan dari korteks serebri sampai dengan medulla spinalis sehingga kerja dari upper motorneuron akan mempengaruhi aktifitas dari lower motorneuron (Sidharta, 2009). Lower motorneuron adalah neuron-neuron yang menyalurkan impuls motorik pada bagian perjalanan terakhir ke sel otot skeletal, hal ini, yang membedakan dengan upper motorneuron. Lower motorneuron mempersarafi serabut otot dengan berjalan melalui radix anterior, nervus spinalis dan saraf tepi. Lower motorneuron memiliki dua jenis yaitu

Upload: sugard-darmanto

Post on 07-Apr-2016

47 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

FREE

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI SPINAL DAN VERTEBRA

B. JARAS SENSORIK DAN MOTORIK

UMN dan LMN Kontrol gerak oleh Sistem Saraf Pusat terbagi menjadi Sistem

Saraf Somatis (SSS) dan Sistem Saraf Otonom (SSO). Sistem saraf somatis mengontrol

kontraksi otot skelet secara sadar (volunter). Sedangkan Sistem saraf otonom

mengontrol gerak organ visceral secara tidak sadar (involunter) (Martini, 2008).

Berdasarkan letak anatomis, motoneuron pada sistem saraf somatis terbagi menjadi dua,

yakni Upper Motorneuron (UMN) dan Lower Motorneuron (LMN). Upper motorneuron

adalah semua neuron yang menyalurkan impuls motorik ke lower motorneuron dan

terbagi menjadi susunan piramidalis dan extrapiramidalis. Upper motorneuron berjalan

dari korteks serebri sampai dengan medulla spinalis sehingga kerja dari upper

motorneuron akan mempengaruhi aktifitas dari lower motorneuron (Sidharta, 2009).

Lower motorneuron adalah neuron-neuron yang menyalurkan impuls motorik pada

bagian perjalanan terakhir ke sel otot skeletal, hal ini, yang membedakan dengan upper

motorneuron. Lower motorneuron mempersarafi serabut otot dengan berjalan melalui

radix anterior, nervus spinalis dan saraf tepi. Lower motorneuron memiliki dua jenis

yaitu alfa-motorneuron memiliki akson yang besar, tebal dan menuju ke serabut otot

ekstrafusal (aliran impuls saraf yang berasal dari otak/medulla spinalis menuju ke

efektor), sedangkan gamma-motorneuron memiliki akson yang ukuran kecil, halus dan

menuju ke serabut otot intrafusal (aliran impuls saraf dari reseptor menuju ke

otak/medulla spinalis). Begitu halnya dengan nervi cranialis merupakan dari LMN

karena nervus-nervus cranialis ini sudah keluar sebelum medulla spinalis yaitu di pons

dan medulla oblongata (Sidharta, 2009 ; Snell, 2007).

A. Jaras Motorik

Page 2: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Sistem motorik merupakan sistem yang mengatur segala gerakan pada manusia.

Gerakan diatur oleh pusat gerakan yang terdapat di otak, diantaranya yaitu area motorik

di korteks, ganglia basalis, dan cerebellum. Jaras untuk sistem motorik ada dua, yaitu

traktus piramidal dan ekstrapiramidal.

2. Jaras piramidal dan ektrapiramidal

Sistem saraf somatis secara umum melibatkan tiga tingkat neuron yang disebut

neuron descendens. Neuron tingkat satu sistem saraf somatis berada di sistem saraf

pusat tempat impuls tersebut berasal. Neuron tingkat pertama memiliki badan sel di

dalam cortex cerebri atau berada di tempat asal impuls. Neuron tingkat kedua adalah

sebuah neuron internuncial (interneuron) yang terletak di medulla spinalis. Akson

neuron tingkat kedua pendek dan bersinaps dengan neuron tingkat ketiga di columna

grisea anterior (Snell, 2002).

Page 3: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 1. Jaras neuron motorik

Page 4: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 2. Jaras neuron motorik

Secara fungsi klinis tractus descendens dibagi menjadi tractus pyramidals dan

extrapyramidals. Tractur pyramidals terdiri dari tractus corticospinal dan tractus

corticobulbar. Tractus extrapyramidals dibagi menjadi lateral pathway dan medial

pathway. Lateral pathway terdiri dari tractus rubrospinal dan medial pathway terdiri

dari tractus vestibulospinal, tractus tectospinal dan tractus retikulospinal. Medial

pathway mengontrol tonus otot dan pergerakan kasar daerah leher, dada dan ekstremitas

bagian proksimal (Martini, 2006).

Page 5: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 2. Jaras pyramidal dan ekstrapiramidal

Tractus Corticospinal

Serabut tractus corticospinal berasal dari sel pyramidal di cortex cerebri. Dua

pertiga serabut ini berasal dari gyrus precentralis dan sepertiga dari gyrus postcentralis.

Serabut desendens tersebut lalu mengumpul di corona radiata, kemudian berjalan

melalui crus posterius capsula interna. Pada medulla oblongata tractus corticospinal

nampak pada permukaan ventral yang disebut pyramids. Pada bagian caudal medulla

Page 6: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

oblongata tersebut 85% tractus corticospinal menyilang ke sisi kontralateral pada

decussatio pyramidalis sedangkan sisanya tetap pada sisi ipsilateral walaupun akhirnya

akan tetap bersinaps pada neuron tingkat tiga pada sisi kontralateral pada medulla

spinalis. Tractus corticospinalis yang menyilang pada ducassatio akan membentuk

tractus corticospinal lateral dan yang tidak menyilang akan membentuk tractus

corticospinal anterior (Snell, 2002)

Gambar 3. Tractus Piramidalis

Page 7: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Tractus Corticobulbar

Serabut tractus corticobulbar mengalami perjalanan yang hampir sama dengan tractus

corticospinal, namun tractus corticobulbar bersinaps pada motor neuron nervus cranialis

III, IV, V, VI, VII, IX, X, XI, XII. Tractus coricobulbar menjalankan fungsi kontrol

volunter otot skelet yang terdapat pada mata, dagu, muka dan beberapa otot pada faring

dan leher. Seperti halnya dengan tractus corticospinal, tractus corticobulbar pun

mengalami persilangan namun persilangannya terdapat pada tempat keluarnya motor

neuron tersebut. (Martini, 2006).

Medial Pathway

Medial Pathway (jalur medial) mempersarafi dan mengendalikan tonus otot dan

pergerakan kasar dari leher, dada dan ekstremitas bagian proksimal. Upper motor

neuron

Page 8: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

jalur medial berasal dari nukleus vestibularis, colliculus superior dan formasio

retikularis. (Martini, 2006).

Nukleus vestibularis menerima informasi dari N VIII dari reseptor di vestibulum untuk

mengontrol posisi dan pergerakan kepala. Tractus descendens yang berasal dari nukleus

tersebut ialah tractus vestibulospinalis. Tujuan akhir dari sistem ini ialah untuk menjaga

postur tubuh dan keseimbangan. (Martini, 2006).

Colliculus superior menerima sensasi visual. Tractus descendens yang berasal dari

colliculus superior disebut tractus tectospinal. Fungsi tractus ini ialah untuk mengatur

refleks gerakan postural yang berkaitan dengan penglihatan (Snell, 2002).

Formasio retikularis ialah suatu sel-sel dan serabut-serabut saraf yang

membentuk jejaring (retikular). Jaring ini membentang ke atas sepanjang susunan saraf

pusat dari medulla spinalis sampai cerebrum. Formatio reticularis menerima input dari

hampir semua seluruh sistem sensorik dan memiliki serabut eferen yang turun

memengaruhi sel-sel saraf di semua tingkat susunan saraf pusat. Akson motor neuron

dari formatio retikularis turun melalui traktus retikulospinal tanpa menyilang ke sisi

kontralateral. Fungsi dari tractus reticulospinalis ini ialah untuk menghambat atar

memfasilitasi gerakan voluntar dan kontrol simpatis dan parasimpatis hipotalamus

(Martini 2006; Snell, 2002).

Page 9: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 4. Tractus Medial

Lateral Pathway

Lateral Pathway (jalur lateral) berfungsi sebagai kontrol tonus otot dan presisi

pergerakan dari ekstremitas bagian distal. Upper motor neuron dari jalur lateral ini

terletak dalam nukleus ruber (merah) yang terletak dalam mesencephalon. Akson motor

neuron dari nukleus ruber ini turun melalui tractus rubrospinal. Pada manusia tractus

rubrospinal kecil dan hanya mencapai corda spinalis bagian cervical. (Martini, 2006).

Traktus Ekstrapiramidal

System ekstrapiramidal tersusun dari semua jaras motorik yang tidak melalui

piramis medulla oblongata dan berkepentingan untuk mengatur sirkuit umpan balik

motorik pada medulla spinalis, batang otak, serebelum, dan kortek serebri. Selain itu,

system ini juga mencakup serabut-serabut yang menghubungkan kortek serebri dengan

Page 10: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

masa kelabu ( seperti striata, nucleus ruber, dan subtantia nigra), dengan formation

rerikuaris dan dengan nucleus tegmental batang otak lainnya.

Page 11: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik,

nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum

berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-

komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing

komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai

sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut

segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri

dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).1,3

Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap

neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus

striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks

area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus

striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan

bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena

komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada

hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit

striatal asesorik.1,3 Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang

menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2

adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus.

Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari

striatum-subtansia nigra-striatum.

Lateral pathway terdiri dari tractus rubrospinal dan medial pathway terdiri dari

tractus vestibulospinal, tractus tectospinal dan tractus retikulospinal. Medial pathway

mengontrol tonus otot dan pergerakan kasar daerah leher, dada dan ekstremitas bagian

proksimal.1

Pada jaras ekstra piramidal, jaras ini disebut juga jaras striatal. Ini menyampaikan saraf

motorik tanpa meleawti kompinen jalur piramidal.jaras ini penting dalam pengaturan

propioseptif tubuh. Jaras ini tersusun atas komponen3 :

princpal : kortex-korpus triatum-globus palidus-talamus

asesoris 1 : talamus-korpus striatum

Page 12: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

8

Page 13: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

asesoris 2 : globus palidus – nukleus subtalamikus

asesoris 3 : korpus striatum –substansia nigra

Sistem sensoris

Sistem saraf sensorik berperan dalam menyampaikan rangsangan yang diterima reseptor

ke otak dalam hal ini korteks sensorik ( girus post sentralis). Persepsi rasa baik nyeri,

sentuhan , tekanan dan suhu akan diterima reseptor kulit dan kemudian dijalarkan ke

otak melalui medula spinalis.3

1) Lemniskus Medialis Kolumna Dorsalis

Impuls yang masuk ke medulla spinalis berjalan melalui serabut bermielin tebal yang

masuk melalui divisi medial akar dorsal saraf spinalis ke kolumna 9

dorsalis massa putih yang ipsilateral, selanjutnya akan terbagi menjadi cabang

asenden dan descenden. Cabang descenden menyusun rangkaian reflek dengan cabang-

cabang kolateralnya ke kolumna dorsalis masa kelabu. Cabang asenden merupakan

serabut penghubung sensorik yang pertama. Pada saat masuk, serabut-serabutasenden

ini berada tepat disebelah medial kornu dorsalis.

Page 14: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 7. Lemniskus Medialis Kolumna Dorsalis

Dalam perjalanannya keatas, serabut asenden ini akan semakin bergeser ke

medial (karena ada serabut lain di tingkat yang lebih atasnya akan masuk), sehingga

serabut yang berada paling medial ( pada tingkat servikal) adalah yang berasal dari area

sacral, sedangkan yang lebih lateral berasal dari ekstremitas atas. Serabut asenden ini

akan berakhir di nucleus grasilis dan nucleus kuneatus pada perbatasan servikal dan

medulla oblongata. Serabut dari nucleus-nukleus ini akan berjalan melengkung ke

ventral dan membentuk kumpulan serabut yaitu lemnikus medialis, dan akhirnya

memasuki nucleus ventroposterior lateralis thalamus. Jalur sensorik ini merupakan

penghantar impuls sensorik: rasa raba, tekanan (dalam), getaran, sensasi posisi dan

diskriminasi sensorik.

Page 15: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

2) Traktus Spinothalamikus

Badan sel neuron tingkat pertamanya berada di ganglia akar dorsalis dan mempunyai

serabut yang lebih tipis disbanding serabut lemnikus medialis. Serabut-serabutnya

memasuki medulla spinalis di bagian lateral akar dorsal dan terpisah menjadi cabang

asenden dan descenden. Cabang asenden nya akan ke atas (1-2 segmen) pada kolumna

postero lateral sebelum bersinap dengan neuron tingkat kedua yang terletak di kolumna

dorsalis. Selanjutnya, akson ini akan menyilang garis tengah ( komisura ventralis massa

putih) dan terus keatas didalam ventrolateral ( masa putih) sebagai traktus

spinotalamikus.

Ada beberapa serabut spinothalamikus yang mempunyai cabang kolateral ke

beberapa daerah nucleus tertentu seperti formasio retikularis. Traktus spinothlamikus

berakhir di nucleus ventroposterior lateralis thalamus. Traktus ini merupakan transmisi

rasa panas, dingin, nyeri, gatal serta merupakan jalur alternative untuk rasa raba

( kasar).

Page 16: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

C. SISTEM SARAF OTONOM

Susunan saraf otonom merupakan bagian susunan saraf yang berhubungan

dengan persarafan struktur involunter seperti jantung, otot polos, dan kelenjar di seluruh

tubuh, serta tersebar di dalam susunan saraf pusat dan perifer. Susunan saraf otonom

dapat dibagi dalam dua bagian simpatis dan parasimpatis dan keduanya mempunyai

serabut saraf aferen dan eferen (Snell, 2006).

Kontrol yang dilakukan oleh sistem saraf otonom berlangsung sangat cepat dan

tersebar luas karena satu akson preganglionik dapat bersinaps dengan beberapa neuron

postganglionik. Kumpulan serabut-serabut aferen dan eferen dalam jumlah besar

bersama dengan ganglia yang sesuai membentuk plexus otonomik di toraks, abdomen

dan pelvis (Snell, 2007).

Page 17: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Bagian simpatis sistem otonom

Sistem simpatis adalah bagian terbesar dari kedua bagian sistem otonom yang

didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, yang kemudian mempersarafi jantung dan

paru, otot pada sebagian besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar

keringat, serta banyak organ visera abdominopelvik.

Fungsi sistem simpatis adalah menyiapkan tubuh pada keadaan darurat. Denyut

jantung meningkat, arteriola di kulit dan usus mengalami konstriksi, dan arteriola pada

otot-otot rangka berdilatasi, serta tekanan darah meningkat.Selain itu, saraf simpatis

membuat pupil berdilatasi, menghambat otot polos bronkus, usus, dan dinding vesika

urinaria, serta menutup sphincter. Rambut berdiri dan kulit berkeringat (Snell, 2007).

a. Serabut saraf eferen

Substansia grisea medula spinalis dari segmen thoracal I sampai segmen

lumbal II, mempunyai cornu laterale atau columna intermedia, yang merupakan

tempat badan sel neuron penghubung simpatis. Akson sel-sel ini yang bermielin

meninggalkan medulla spinalis pada radix anterior dan kemudian berjalan

melalui rami communicates alba ke ganglia paravertebralis truncus sympathicus.

Serabut sel-sel penghubung disebut preganglionik karena serabut ini menuju ke

ganglion perifer. Saat serabut preganglionik mencapai ganglia pada truncus

symphaticus, serabut tersebut mungkin menempuh perjalanan sebagai berikut :

1. Serabut tersebut mungkin berhenti pada ganglion yang dimasukinya dan

bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglion. Celah diantara kedua

neuron tersebut dijembatani oleh zat neurotransmiter yaitu acetycholine.

Axon neuron eksitator yang tidak bermielin meninggalkan ganglion. Serabut

saraf postganglionik ini kemudian menuju ke nervi thoracici sebagai rami

communicantes grisea dan tersebar dalam cabang-cabang saraf spinal untuk

menyarafi otot polos di dalam dinding pembuluh darah, kelenjar keringat,

dan musculus arrector pili kulit.

2. Sebagian serabut-serabut yang masuk ke dalam ganglia truncus symphaticus

di daerah thorax bagian atas akan berjalan sepanjang truncus symphaticus

Page 18: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

menuju ke ganglia di daerah leher, tempat serabut-serabut tersebut akan

bersinap dengan sel-sel eksitator. Di sini serabut saraf postganglionik

meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea dan

sebagian besar akan bergabung dengan nervi cervicales. Banyak serabut

postganglionik yang masuk ke dlaam bagian bawah truncus symphaticus dari

segmen bawah thoracal dan dua segmen lumbal bagian atas medulla spinalis

akan turun ke ganglia pada regio lumbalis dan sacralis, tempat serbaut-

serabut tersebut bersinaps dengan sel eksitator. Serabut postganglionik

meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea yang

bersatu dengan nervi lumbales, nervi sacrales, dan nervus coccygeus.

3. Serabut preganglionik mungkin berjalan melalui ganglia pada bagian

thoracal truncus symphaticus tanpa bersinaps. Serabut-serabut bermielin ini

membentuk tiga buah nervi splanchnici. Nervus splanchnicus major berasal

dari ganglia thoracica ke lima sampai sembilan, menembus diaphragma, dan

bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca. Nervus

splanchnicus minor berasal dari ganglia thoracica ke sepuluh dan sebelas,

menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam

ganglia coeliaca bagian bawah. Nervus splanchnicus imus berasal dari

ganglion thoracica kedua belas, menembus diaphragma, dan bersinaps

dengan sel-sel eksitator pada ganglia renalia. Oleh karena itu nervi

sphlanchnici terdiri atas serabut-serabut preganglionik. Serabut-serabut

postganglionik berasal dari sel-sel eksitator di dalam ganglia yang telah

disebutkan, dan tersebar ke otot-otot polos dan kelenjar pada visera.

Beberapa serabut preganglionik yang berjalan di dalam nervus splanchnicus

major berakhir langsung pada sel-sel di medulla suprarenalis. Sel-sel medula

ini dapat dianggap sebagai modifikasi sel-sel eksitator simpatis.

b. Serabut saraf aferen

Serabut aferen bermielin berjalan dari visera melalui ganglia simpatik tanpa

bersinaps. Serabut-serabut tersebut masuk ke saraf spinalis melalui rami

communicantes alba dan mencapai badan selnya dalam ganglion sensorium

nervi spinalis yang sesuai. Axon sentral kemudian masuk ke medulla spinalis

Page 19: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

dan mungkin membentuk komponen aferen lengkung refleks lokal. Serabut yang

lain berjalan ke atas sampai ke pusat otonom yang lebih tinggi di dalam otak

(Snell, 2006).

Bagian parasimpatis sistem otonom

Aktivitas bagian parasimpatsis sistem otonom bertujuan untuk menyimpan dan

memulihkan tenaga. Laju denyut jantung melambat, pupil berkonstriksi, gerakan

peristaltik dan aktivitas kelenjar keringat meningkat, otot-otot sphincter membuka, serta

dinding kandung kemih berkontraksi (Snell, 2007).

a. Serabut saraf eferen

Konektor pada bagian parasimatis susunan saraf otonom terletak di

dalam batang otak dan segmen sakralis medulla spinalis. Sel-sel penghubung di

dalam batang otak ini membentuk sebagian nuclei yang merupakan asal dari

saraf otak III, VII, IX, dan X, dan axonnya bagian-bagian otak yang

mengandung saraf kranial yang sesuai.

Sel-sel penghubung sacral didapatkan pada substansi grisea segmen

sacralis kedua, ketiga dan keempat medula spinalis. Sel-sel ini tidak cukup

banyak untuk membentuk cornu lateral substansia grisea seperti sel-sel

penghubung pada daerah thoracolumbal. Axon bermielin meninggalkan medulla

spinalis di dalam radix anterior saraf spinalis yang sesuai, kemudian

meninggalkan nervus sacralis, dan membentuk nervus splanchnicus pelvicus.

Semua serabut eferen yang telah dijelaskan adalah serabut preganglionik,

yang bersinaps dengan sel eksitator di dalam ganglia perifer, yang biasanya

terletak dekat dengan visera yang dipersarafi. Serabut preganglionik kranial

bersinaps di ganglion ciliare, pterygopalatinum, submandibulare, dan oticum.

Serabut preganglionik di dalam nervus splanchnicus pelvicus berhenti pada

ganglia yang terdapat plexus hypogastricus atau dinding visera. Yang khas,

serabut postganglionik tidak bermielin dan relatif pendek bila dibandingkan

dengan serabut post ganglionik simpatis.

Page 20: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

b. Serabut saraf aferen

Serabut –serabut aferen bermielin berjalan dari visera ke badan selnya

yang terletak didalam ganglion sensorium nervi cranialis atau ganglion

sensorium nervi sacrales. Axon sentralnya kemudian masuk ke susunan saraf

pusat dan ikut berperan dalam pembentukan lengkung refleks lokal atau berjalan

ke pusat susunan saraf otonom yang lebih tinggi.

Komponen aferen susunan saraf otonom identik dengan komponen

aferen susunan saraf somatik, dan membentuk sebagian segmen aferen umum di

seluruh sistem saraf. Ujung-ujung saraf komponen aferen otonom tidak dapat

diaktifkan oleh sensasi seperti panas atau raba, tetapi diaktifkan oleh regangan

Page 21: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

atau kekurangan oksigen. Setelah serabut aferen masuk ke dalam medula

spinalis atau otak, serabut-serabut tersebut berjalan bersama-sama atau

bercampur dengan serabut aferen somatik (Snell, 2006).

D. TRAUMA SPINAL

E. TRAUMA CERVICAL

E.1 DEFINISI

Trauma servikal adalah cedera pada tulang belakang yang mengenai servikal

akibat trauma sehingga menyebabkan kerusakan fungsi neurologis seperti fungsi

motorik dan sensorik (syamsuhidajat).

E.2 ETIOLOGI

Cedera servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, kecelakaan lalu

lintas, jatuh dari ketinggian atau trauma pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam

olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat

benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan cedera

servikal.

Page 22: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 1. Penyebab cedera servikal

E.3 EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan bahwa di Amerika Utara sekitar 14.000 cedera tulang belakang

terjadi setiap tahun. Kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak ke-4 di

Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke, dengan jumlah kematian

50 kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya. Cedera medula spinalis, cenderung

terjadi pada populasi laki-laki usia muda. Dengan perbandingan 3-20 kali lebih sering

dibanding pada perempuan.

E.4 KLASIFIKASI

Meskipun ada banyak c1assifications dari cedera tulang belakang servikal akut,

mekanisme seharusnya cedera merupakan dasar yang paling umum untuk c1assification

tersebut. sebuah c1assification cedera dari servikal tulang belakang disajikan dalam

tabel 1 :

Page 23: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Tabel 1. Klasifikasi trauma servikal

Klasifikasi Narrowing sagittal diameter of spinal canal

Distractive hyperflexion

a. hyperflexion sprain

b. unilateral facet interlocking

c. bilateral facet interlocking

Compressive hyperflexion

a. hyperflexion fracture dislocation

b. tear-drop fracture

Distractive hyperextension

a. hyperextension dislocation

- hyperextesion sprain

Compressive hyperextension

b. hyperextension fracture dislocation

Axial compression

a. wedge-like fracture of vertebral body

b. burst fracture

none

moderate

usually severe

usually severe

often severe

common

temporary, sometimes severe

commonly not

none

varying, usually severe

Page 24: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 2. Mekanisme kompresi pada cedera servikal

Gambar 3. Mekanisme Hiperfleksi kompresi

Page 25: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 4. Mekanisme hiperekstensi distraktif

Page 26: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 5. Mekanisme hiperekstensi kompresi

Page 27: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 6. Fraktur kompresi

Klasifikasi lainnya juga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan trauma spinal :

1. Compression : Vertebral body fracture, Disc herniation, Epidural hematoma,

Displacement of posterior wall of the vertebral body

Gambar 7. Trauma kompresi servikal

Page 28: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

2. Flexion Injury : Tearing of interspinous ligaments, Disruption of capsular ligaments

around facet joints, Fracture of posterior elements, Disruption of posterior ligaments,

dan Often unstable fractures

Gambar 8. Trauma fleksi servikal

3. Extension Injury : Tearing of anterior longitudinal ligament, Separation of vertebral

bodies, Rupture of Disc, Avulsion of upper vertebral body from disc

Gambar 9. Trauma ekstensi servikal

4. Rotation : Associated with unilateral facet dislocation

Page 29: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar 10. Trauma rotasi servikal

Gambar 11. Klasifikasi cedera servikal

Page 30: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

E.5 MANIFESTASI KLINIS

Lesi saraf spinal dapat dibedakan menjadi lesi lengkap dan berbagai jenis lesi

tidak lengkap :

E.5.1 Komplit Lesi

Pada tahap akut lesi lengkap ada total kelumpuhan flaccid dengan kehilangan

total refleks tendon dan kepekaan di bawah tingkat cedera. The cremasteryc, sfingter

ani, dan bulbocavernusos refiexes dapat bertahan selama beberapa waktu setelah cedera

dan kemudian menghilang. Respon plantar flexion yang sering tidak ada atau bentuk

flexorvariant dengan berkepanjangan Interval antara stimulus dan respon. Atau,

mungkin bertahan selama beberapa jam setelah cedera atau muncul kembali setelah 1

hari atau lebih biasanya hanya menghilang lagi dan memberi jalan kepada plantar

ekstensor respon.

Cl ke C4. Dengan lesi spinal di CI ke tingkat C4, diafragma lumpuh sebagai

akibat dari gangguan dari persarafan segmental saraf frenikus. Karena semua otot

pernafasan bawah lintang yang juga lumpuh, lesi pada tingkat ini akan menyebabkan

kematian dalam waktu singkat kecuali nafas buatan diterapkan dengan segera.

Di bawah C4. Pada tahap akut cedera bawah C4, fungsi tingkat diafragma

biasanya terganggu, tapi dapat pulih. Lengan pasien lumpuh dan bahu yang digerakkan

oleh aksi dari otot levator skapula dan otot trapezius. Leher dan daerah aspek anterior

lengan atas sensasi normal. seluruh tubuh memiliki gangguan sensibilitas complet.

Di bawah C5. Pasien dengan lesi di bawah C5 mungkin juga perlu pernapasan

buatan. Ketika cedera tindakan seperti bahu ditinggikan, lengan diculik, dan lengan

tertekuk Perlu dilakukan karena tindakan tanpa hambatan dari deltoid, bisep, dan otot

brakialis. Kontraktur siku dengan mudah dapat terjadi , dan dengan demikian lengan

harus disimpan dalam posisi ekstensi dan tangan di abudction.

Page 31: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Di bawah C6. Dengan cedera bawah C6 biasanya fungsi pernafasan cukup untuk

bernapas spontan, trakeostomi dan ventilasi buatan jarang ditunjukkan. Tangan

menunjukkan penyimpangan radial karena aksi otot ekstensor karpi radialis tetapi

lumpuh.

Di bawah C7. Tangan dan jari ekstensor dan fiexors fungsional dalam kasus

cedera bawah C7 vertebra, tapi interosei dan Sorne melawan otot adalah berkurang

sekali kekuatannya. Hal ini biasanya menghasilkan tangan cakar. Sebagian besar pasien

mampu menulis, untuk makan sendiri, untuk mengetik setelah pelatihan yang memadai,

untuk duduk di kursi roda dengan keseimbangan yang baik, dan dapat bahkan

mengambil kegiatan atletik kursi roda.

E.5.2 Lesi Inkomplit

Ada berbagai jenis lesi servikal inkomplit. Beberapa sindrom klinis tampak

saling terkait dan ekstensi satu sama lain. Hal tersebut bukanlah seatu mekanisme yang

berbeda, namun merupakan perkembangan terus meningkat tergantung keparahan

cedera. Root syndrome adalah penampakan klinis yang paling serius.

Cord anterior Syndrome  ditandai dengan kelumpuhan lengkap langsung dengan

hypesthesia dan hypalgesia bawah tingkat cedera, tetapi dengan keadaan yang sensitif,

gerak, posisi, dan getaran indera. Sindrom paling sering terlihat pada cedera

hyperflexion dari servikal yang keras dan juga kadang-kadang cedera dada.

Cord pusat Syndrome ditandai dengan tidak proporsionalnya penurunan fungsi

motorik yang lebih besar di ektremitas atas daripada ekstremitas bawah. Mungkin ada

disfungsi kandung kemih dan bervariasi derajat loos sensorik. Dalam varian ringan dari

sindrom, paresis dari lengan atau tangan dikombinasikan dengan kelemahan pada kaki;

dalam varian parah lengan atau tangan yang lumpuh dan kaki yang paretic. Pada pasien

dengan tipe yang terakhir mungkin ada gangguan sensorik yang melibatkan semua

modalitas, dan retensi urine. selalu presentasikan Bentuk sindrom adalah terutama

terlihat pada cedera hiperekstensi, tapi mungkin juga terjadi pada cedera hiperfleksi

Page 32: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Sindroma Brown-Sequard : Pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari

hemiseksi kord spinal. Defisit neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral,

sensasi vibrasi dan posisi. Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral

hilang. Luka tembus dan peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard

'lengkap', namun manifestasi tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam

pada lesi lain, termasuk trauma dan neoplasma.

E.6 PATOFISIOLOGI

Cedera dari tulang belakang leher dapat disebabkan Oleh kekuatan langsung

atau tidak langsung. Kekuatan langsung, seperti dari objek yang memukul jatuh leher

relatif jarang. Mereka bertindak secara langsung pada vertebra. Biasanya, hasilnya

adalah fraktur dari Prosesus spinosus atau lengkungan tulang belakang. Lesi yang

dihasilkan dari kekuatan tidak langsung disebabkan oleh pergerakan tulang belakang

yang melampaui jangkauan fisiologis. Hyper (Ante) fleksi hasil kompresi dari tulang

belakang tubuh atau dictraction discus elemen posterior. Hiperekstensi (kadang-

kadang diindikasikan sebagai hyperretroflexion atau hyperdeflexion) menghasilkan

fraktur kompresi keras dan merobek dari longitudinal ligament anterior. Hiperfleksi

lateral dan hyperrotation juga memainkan bagian dalam cedera tulang belakang

servikal. Kombinasi dari gerakan berlebihan bisa terjadi ,seperti hiperfleksi dan

kompresi aksial atau gangguan aksial yang bertindak untuk melukai servikal tulang

belakang. Kombinasi ini menentukan jenis cedera untuk tulang belakang leher.

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:

1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang

paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus

vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.

2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi medula

spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.

3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah

kapiler dan vena.

Page 33: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi

tulang.

E.6.1 Kerusakan Primer

Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer: (1) gaya impact dan

kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi, (3) tarikan medula spinalis, (4)

laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma. Sel neuron akan rusak dan

kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung mielin di dekatnya

sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik efek trauma ataupun oleh efek massa

akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel

pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami

kerusakan pada 72 jam setelah trauma.

Gambar 12. Mekanisme cedera primer saraf servikal

E.6.2 Kerusakan Sekunder

Page 34: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan

sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses

vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi

kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan

pada mitokondria, dan proses lain.

Gambar 12. Mekanisme cedera sekunder saraf servikal

Page 35: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

E.6.3 Proses Imunologi Pada Kerusakan Sekunder

Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino eksitatorik

dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor untuk

menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau penyebaran ujung

saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel melalui enzim lisosom.

Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya didapatkan predominasi infl

itrasi neutrofi yang melepaskan enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel

saraf, sel glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi

makrofag yang akan memfagositosis sel rusak. Proses rekrutmen sel imun pada lokasi

trauma dimediasi oleh berbagai golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular

adhesion molecule-1). Protein ini akan memodulasi infi ltrasi neutrofi l pada lokasi

trauma; penggunaan antibodi monoklonal ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi

mieloperoksidase, mengurangi edema medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah

medula spinalis. Molekul protein sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-

selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF),

sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga

monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih

lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan kelompok gen

yang meregulasi proses infl amasi, proliferasi, dan kematian sel. Proses modulasi

respons imun pada trauma medula spinalis merupakan sasaran target terapi kerusakan

sekunder.

E.6.4 Apoptosis

Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, infl amasi, radikal bebas,

dan proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma,

apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa

minggu berikutnya, apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses

apoptosis melalui dua jalur, jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan

reseptor Fas dan inducible. nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag,

sedangkan jalur intrinsik lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria,

sitokrom-C, dan kaspase-9; studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah

Page 36: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

kematian sel. Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor

necrosis factor meningkat pascatrauma

dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia, dan oligodendrosit yang akan

mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan 6

sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang

serupa dengan TNF.

E.7 DIAGNOSIS

E.7.1 Anamnesis

Riwayat trauma merupakan hal yang perlu diketahui. Trauma meliputi posisi,

waktu, yang terjadi setelah trauma dan keluhan yang dirasakan pasien.

E.7.2 Pemeriksaan Fisik

Adanya defisit neurologis merupakan tanda adanya gangguan pada spinal.

E.7.3 Foto Polos

Foto polos merupakan imejing dasar pada pasien yang dicurigai menderita

cedera servikal. Indikasi dilakukannya foto polos servikal antara lain adalah nyeri lokal,

deformitas, krepitus, edema, perubahan status mental, disfungsi neurologis, cedera

kepala dan multipel trauma. Serial foto servikal lengkap terdiri dari foto lateral,

anteroposterior, open mouth view, dan oblique film. Pillar view, swimmer’s view, dan

studi dinamik merupakan foto tambahan yang perlu dipertimbangkan untuk

mendapatkan evaluasi yang penuh dari cedera (Gofar.

Page 37: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar xx. Hubungan normal dari servikal lateral. 1,prosesus spinosus; 2,spinolaminar line; 3,posterior vertebral body line; 4,anterior vertebral body line.

Gambar xx. Lateral View. 1) Anterior vertebral line 2) Posterior vertebral line 3) Spinolaminal line 4) Interspinous line.

Foto lateral digunakan untuk menilai allignment tulang servikal, kelainan tulang,

kelainan diskus intervertebralis, dan jaringan lunak. Temuan seperti swelling

prevertebra dapat menjadi temuan satu-satunya pada pasien cedera akut. Foto

anteroposterior, walaupun berguna untuk evaluasi lima vertebra servikal bagian bawah

dan vertebra torakal atas; memiliki keterbatasan karena bayangan yang bertumpang

tindih dengan mandibula dan occiput.

Page 38: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

E.7.4 CT-Scan

Pada saat ini CT scan merupakan metode pilihan untuk melakukan evaluasi

trauma spinal akut. Dengan CT scan, tulang vertebra dapat divisualisasikan dengan

sangat baik, pecahan tulang kecil yang masuk ke kanalis spinalis dapat dinilai dengan

baik. Hal ini sangat berguna pada evaluasi fraktur C1-2 oleh karena subtipe fraktur

sangat sulit dilakukan dengan menggunakan foto polos saja.

E.7.4 Angiografi

Dengan perkembangan teknik CT angiography (CTA) dan MR angiography

(MRA), visualisasi sttuktur vaskular kini dapat dinilai dengan lebih baik dan semakin

non invasi dibandingkan dengan angiografi tradisional. MRA direkomendasikan oleh

beberapa penulis, tetapi teknik ini memiliki kelemahan dalam mendeteksi spasme dan

pecahan tulang kecil.

E.8 TATALAKSANA

Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi

memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan

prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.

E.8.1 Evaluasi

Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri

atas:

A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal

B: Breathing dan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan

D: Disabilitas (status neurologis)

E: Exposure/environmental control

Klasifi kasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma

dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik

dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan

melakukan dorsofl eksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi

urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit yang hangat

Page 39: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

dan adanya fl ushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level

trauma

E.8.2 Medikamentosa

Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan

oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain

yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson,

demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler.5,10 Pada tingkat seluler,

terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas,

opioid endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan

kematian sel.

Bertambahnya pemahaman fi siologi trauma medula spinalis akan menambah

pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid,

antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropinreleasing hormone (TRH),

antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya

memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis

bermakna.

E.8.3 Terapi kerusakan primer

Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang

berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya,

akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin

yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk

mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medula spinalis,

menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan

pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan

membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.

E.8.4 Terapi kerusakan sekunder

Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk keluaran

(outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat patofi

siologi yang sangat variatif.1

E.8.5 Kortikosteroid

Page 40: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,

mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,

menghambat pelepasan endorfi n dari hipofi sis, dan menghambat respons radang.

Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinfl amasi dan antiedema.

Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya,

dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan faktor

komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma,

inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta inhibisi

prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury

Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi

lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon

akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme

kerusakan sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30

mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus

selama 23 jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,

dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,

metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada

NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai 48 jam

ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu,

dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid,

dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Terapi ini masih

kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari

terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,

meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan kematian.

E.8.6 21-Aminosteroid (Lazaroid)

21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja dengan

mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. Efek lainnya adalah

mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta menstabilkan membran sel, namun

penggunaannya masih belum terbukti menghasilkan keluaran yang lebih baik.

E.8.7 GM-1 Gangliosid

Page 41: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel.

Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik.

Monosialotetraheksosil gangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor

pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein

kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan

terapi 72 jam pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru

menyatakan masih kurang bukti ilmiah terkait obat ini.

E.8.8 Antagonis opioid

Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson

sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik dibanding

metilprednison. Penggunaan obat satu golongan namun beda titik tangkap, yaitu

golongan antagonis reseptor kappa (seperti dinorfi n dan norbinaltorfi min) pada hewan

coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah,

pengurangan infl uks kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta modulasi pelepasan

asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji klinis lanjutan. Opioid endogen

akan menginhibisi sistem dopaminergik dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian

antagonis opioid dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis

membaik.

E.8.9 Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH

Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai fungsi

melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet activating factor,

peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah

spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid.

Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2

mg/kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik, terutama perbaikan

motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah injury.

E.8.10 Penyekat Kanal Kalsium

Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik,

vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA; obat yang dipakai

adalah nimodipin,

Page 42: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

golongan lainnya adalah benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan

natrium. Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering

dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium sehingga

mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh

darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan iskemi post trauma,

dibuktikan dengan efeknya pada aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis

masih belum terbukti mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada

keterlibatan kanal ion lain. Infl uks kalsium terjadi dalam hitungan detik pascatrauma

sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan

dosis justru malah memperjelek aliran darah regional menyebabkan hipoperfusi dan

iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya selektif.

E.8.11 Magnesium

Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder. Pada tikus

dengan onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO4 600 mg/kgBB mempunyai

efek baik dengan evaluasi somatosensory evoked potential dan mempunyai efek

mencegah peroksidase lipid, namun untuk memastikan efek pada kondisi klinis

sesungguhnya masih dibutuhkan serangkaian uji klinis pada manusia.

E.8.12 Penyekat Kanal Natrium

Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel pascatrauma. Efek

obat ini adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan antikonvulsi dengan tujuan

melindungi sel pascatrauma. Studi in vivo menggunakan tetrodotoksin dan golongan

lain, seperti QX- 314, masih belum menunjukkan efek yang diharapkan, begitu pula

penggunaan riluzol oleh Schwartz dan Fehlings masih belum menghasilkan perbaikan

klinis.

E.8.13 Modulasi metabolisme asam arakidonat

Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin, dan leukotrien

akan berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit sehingga menimbulkan

iskemia. Obat yang dapat memblokade enzim COX dianggap dapat bermanfaat.

Prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme asam arakidonat memiliki efek berbeda,

yaitu vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. Penggunaan naloxon digabung

Page 43: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

dengan indomethacin dan prostasiklin yang dimulai 1 jam pascatrauma memiliki efek

lebih meng untungkan dibandingkan dengan naloxon sendiri. Studi lain menggunakan

ibuprofen, meclofenamat (NSAID dan COX-inhibitor) dengan prostasiklin analog

(iloprost) me nunjukkan manfaat terhadap aliran darah.

E.9 Penatalaksanaan Gawat Darurat

E.9.1 Stabilisasi vertebra

Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat

diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir

pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan

penatalaksanaan adalah realignment dan fi ksasi segmen bersangkutan. Indikasi operasi

meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan traksi, gross

spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan

status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen konservatif.

E.9.2 Pemulihan Stabilitas Spinal

Pemulihan stabilitas spinal adalah penting untuk meminimalisasi risiko cedera

sekunder dan memungkinkan mobilisasi dini dari pasien dan oleh karena itu

mengurangi risiko yang berhubungan dengan tirah baring jangka panjang.

E.10 Eksternal Orthoses

Imobilisasi eksternal dari spinal servikal terdiri dari ‘servikal collar’ yang terdiri

dari berbagai desain, poster type orthoses, cervicothoracic devices termasuk Minerva-

type braces, dan halo orthosis. Servikal collar terdiri dari soft collar Philadelphia,

Miami J, Aspen, Newport, dan berbagai jenis tipe rigid collar. Soft collar memberikan

perlindungan yang minimal dan restriksi pergerakan yang sangat sedikit sehingga

peranannya pada manajemen trauma sangatlah terbatas. Poster type orthoses terdiri dari

orthoses tipe Guilford dan sternaloccipital- mandibular immobilization (SOMI).

Perlengkapan ini memberikan immobilisasi yang yang lebih baik dari servikal collar

tetapi jarang dapat diaplikasikan pada setting trauma akut.

Page 44: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar xx. Orthosis dan cast

Page 45: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar xx. Servikal orthosis

Page 46: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar xx. Traksi gartner well

Halo vest merupakan alat yang paling dapat diandalkan untuk mengontrol

pergerakan spinal servikal dan merupakan peralatan standar pada cedera servikal. Halo

vest dapat membatasi fleksi dan ekstensi, rotasi aksial, dan fleksi lateral dari servikal

atas, dimana level ini jarang dapat terlindungi dengan peralatan lain;dengan

kemampuannya membatasi pergerakan mulai occiput sampai C3, halo vest

direkomendasikan secara umum untuk terapi fraktur dislokasi axis, fraktur odontoid,

fraktur kombinasi C1-2 dan juga sebagai immobilisasi pasca operasi. Penggunaan halo

Page 47: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

vest lebih terbatas pada kelompok pediatrik dimana ketebalan tulang tengkorak dan

penggunaan pin dapat menjadi potensi permasalahan.

Gambar xx. Posisi pin pada tengkorak dan halo vest

E.11 Stabilisasi Pembedahan

Waktu yang tepat untuk dilakukannya intervensi pembedahan pada konteks

fraktur dislokasi servikal masih merupakan isu kontroversial. Pasien yang menunjukkan

defisit neurologis complete setelah beberapa jam atau lebih setelah cedera nampaknya

kemungkinanuntuk pulih kecil. Hampir semua ahli sependapat bahwa intervensi

pembedahan adalah pada pasien yang tidak stabil yang secara progresif menunjukkan

defisit neurologis. Pada pasien yang stabil, pemilihan waktu yang tepat untuk

dilakukannya dekompresi menjadi kurang jelas. Alasan perlunya dekompresi dini

adalah untuk meminimalisasi cedera sekunder dengan meningkatkan perfusi,

mengurangi distorsi anatomi, dan mengembalikan sirkulasi cairan serebrospinal yang

optimal. Namun beberapa ahli yang tidak setuju dengan dekompresi dini mengajukan

argementasi bahwa medula spinalis yang mengalami cedera lebih rentan terhadap

manipulasi dan perubahan hemodinamik yang dapat terjadi pada intervensi pembedahan

dini, dan risiko pembedahan merupakan penyebab morbiditas yang potensial. Teknik

Page 48: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Pembedahan yang digunakan adalah Anterior Cervical Decompression , Fusion And

Instrumentation

Gambar xx. Odontoid screw fixation untuk fraktur odontoid

Page 49: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Gambar xx. Arthrodesis posterior C1-2 secara tipikal dilakukan dengan fiksasi

screw dan bone graft

E.13 KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada trauma servikal :

1. Syok neuogenik

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending

pada medulla spinalis..

2. Syok spinal

Page 50: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya

cedera medulla spinalis.

3. Hipoventilasi

Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari

cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah srvikal bawah atau

torakal atas.

4. Hiperfleksia autonomic

Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti nasal,

bradikardi dan hipertensi.

E.14 SYOK NEUROGENIK

Definisi

Syok neurogenik dideskripsikan sebagai kehilangan mendadak dari tonus

autonom karena cedera dari medua spinalis. Gangguan jalur descendens simpatis

mengakibatkan hilangnya tonus vagal pada otot polos vaskular, yang menyebabkan

penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan vasodilatasi (Mack, 2013).

Epidemiologi

Hilangnya tonus simpatis, sehingga shock neurogenik, yang paling umum ketika tingkat

cedera di atas T6. Selain itu, syok neurogenik dapat terjadi kapan saja setelah timbulnya

cedera atau sakit, mulai dari waktu pertama muncul sampai beberapa minggu setelah

onset. Tidak ada penelitian pada manusia mendokumentasikan perubahan hemodinamik

yang terjadi setelah SCI akut pada anak-anak, dan kejadian syok neurogenik pada anak

dengan SCI tidak diketahui. Namun, laporan menunjukkan di mana saja 50-90% orang

dewasa dengan SCI serviks memerlukan resusitasi cairan dan infus vasoaktif untuk

mencapai parameter dewasa yang direkomendasikan (MAP> 85-90 mm Hg selama 7

hari) oleh Kongres pedoman Ahli Bedah Neurologi 'untuk pengelolaan SCI. Orang

dewasa dengan SCI lebih tinggi (C1-C5) mungkin lebih mungkin untuk memerlukan

intervensi kardiovaskular, seperti agen vasoaktif atau pacu jantung, daripada SCI rendah

(C6-C7) (Mack, 2013).

Page 51: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Patofisiologi

Sistem saraf simpatis mengatur denyut jantung dan kontriksi pembuluh darah

dengan mensekresikan catecolamine (epinefrin dan norepinefrin) ke dalam pembuluh

darah. Ketokolamin ini, dibawah kondisi normal, mempertahankan pembuluh darah

berkontriksi sebagian untuk perfusi yang adekuat. Ketika tekanan arteri rendah,

baroreseptor yang terletak di sinus carotis dan arkus aorta, mengirim pesan ke otak

melalui sistem saraf. Otak kemudian mengirim pesan melalui sistem saraf simpatis ke

medula adrenal, menyebabkan peningkatan produksi ketokolamin.

Pada syok neurogenik, fungsi normal sistem saraf simpatis terganggu, respon

kompensasi normal tubuh terhadap syok tidak terjadi. Cedera medula spinalis

menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang disuplai oleh nervus spinalis distal dari

cedera, menghasilkan penurunan resistensi vaskular sistemik, hipotensi dan hilangnya

kontrol suhu tubuh (Rahm, 2005).

Pada syok ini terjadi vasovagal berlebihan yang menyebabkan vasodilatasi

menyeluruh di regio splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal

umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok

neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya tonus simpatis, misalnya pada cedera

tulang belakang atau yang sangat jarang, cedera pada batang otak. Hipotensi pada

pasien dengan cedera tulang belakang disertai dengan pasokan oksigen yang cukup

karena curah jantung tinggi meskipun tekanan darahnya rendah (de Jong, 2014)

Syok neurogenik akibat dari cedera sumsum tulang belakang mengakibatkan

gangguan aliran otonom simpatik. Konsekuensi dari penurunan tonus adrenergik adalah

Page 52: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

ketidakmampuan untuk meningkatkan kerja inotropik jantung dan konstriksi lemah dari

pembuluh darah perifer dalam menanggapi rangsangan excitational. Hilangnya tonus

vagal menghasilkan hipotensi dan bradikardi. Akibat dari vasodilatasi perifer kulit

menjadi hangat. Hipotermia dapat terjadi akibat tidak adanya regulasi otonom

vasocontriction redistribusi darah ke inti tubuh. Semakin tinggi tingkat cedera tulang,

semakin berat shock neurogenik, karena lebih banyak massa tubuh yang terputus dari

pengaturan simpatik. Syok neurogenik biasanya tidak terjadi jika cedera di bawah

tingkat T6 (Greenberg, 2005).

Manifestasi klinik

Tidak ada tes diagnostik yang pasti, tetapi secara klasik pasien menunjukkan

hipotensi dan bradikardia relatif. Bradikardia sering diperburuk oleh suction, buang air

besar, dan hipoksia. Kulit sering hangat dan memerah pada awalnya. Hipotermia dapat

berkembang karena vasodilatasi mendalam dan kehilangan panas. Seringkali tekanan

vena sentral rendah karena penurunan resistensi vaskular sistemik (Mack, 2013).

Karena syok neurogenik memblok kerja dari sistem saraf simpatis, ketokolamin

tidak dibebaskan ke pembuluh darah. Sehingga tanda klasik dari syok (seperti takikardi,

diaporesis) muncul.

Vasodilatasi menyebabkan kulit menjadi merah, hangat dan kering pada tingkat

dibawah cedera spinal. Bagaimanapun, bagian proksimal dari cidera, serat saraf

simpatis didaerah tersebut tetap utuh.

Denyut jantung lemah dan menurun, disebabkan oleh menurunnya epinefrin

disirkulasi dan selanjutnya efek sistem parasimpatis. Pasien dengan syok neurogenik

mempunyai laju pernafasan yang meningkat, jika cedera pada kolumna spinalis terjadi

pada regio servikal, paralisis dari diafragma, musculus intercostal, mungkin terjadi

(Rahm, 2005).

Tatalaksana

Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik, menghasilkan suatu hipovolemia relatif

karena peningkatan kapasitas vena, dan pemberian cairan isotonik sering diperlukan.

Page 53: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Namun, hipotensi karena syok neurogenik sering refrakter terhadap resusitasi cairan.

Namun demikian, hipotensi pada pasien trauma tidak dapat diasumsikan karena syok

neurogenik awalnya, dan bisa menjadi tanda syok hemoragik. Dengan demikian, korban

trauma dengan hipotensi harus diperlakukan awalnya dengan cairan kristaloid (0,9%

natrium klorida, laktat ringer) atau koloid (albumin, produk darah) dan dievaluasi untuk

setiap kehilangan darah yang sedang berlangsung. Pasien harus diresusitasi memadai

dari perspektif hemodinamik sebelum menjalani operasi dekompresi tulang belakang.

Jika terdapat bradikardia, pasien mungkin berespon dengan atropin, glikopirolat,

atau infus vasoaktif dengan chronotropic, vasokonstriktor, dan inotropik lainnya seperti

dopamin atau norepinefrin. Isoproterenol juga dapat dipertimbangkan jika agen

chronotropic kuat diperlukan. Fenilefrin berpotensi menyebabkan refleks bradikardia,

tidak adanya aktivitas beta agonis, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien

dengan bradikardia yang muncul sebagai bagian dari shock neurogenik.

Prognosis

Pasien dengan cedera medula spinalis servikal lebih cenderung untuk mengalami

syok neurogenik. Pasien dengan cedera medula spinalis torakolumbal umumnya tidak

mengalami syok neurogenik. Kehadiran syok neurogenik telah terbukti menyebabkan

keterlambatan dalam manajemen operasi, yang berpotensi memperburuk hasil juga.

Meskipun dianjurkan untuk menghindari dan mengobati hipotensi agresif, tidak

diketahui apakah hipotensi memperburuk hasil.

Syok neurogenik dapat bertahan selama 1-6 minggu setelah cedera. Dysreflexia

otonom, tekanan darah istirahat rendah, dan hipotensi ortostatik yang tidak biasa selama

fase kronis, sering muncul setelah syok neurogenik telah teratasi. Ketidakstabilan

otonom sering dimanifestasikan oleh hipertensi episodik, diaphoresis, dan takikardia.

Kesimpulannya, cedera tulang belakang terlepas dari mekanismenya dapat

menyebabkan syok neurogenik ditandai dengan kehilangan mendadak tonus otonom

yang mengakibatkan hipotensi dan bradikardia relatif. Lesi yang lebih tinggi dikaitkan

dengan defisit yang lebih parah. Vasokonstriktor perifer, chronotropik, dan inotropik

mungkin diperlukan dalam kasus-kasus syok neurogenik.

Page 54: BAB III Sedera Secvikal Belum Fix Agus

Hipotensi yang dihasilkan dari hilangnya tonus otonom dapat memicu cedera

iskemik sekunder lanjut ke sumsum tulang belakang, dan harus dikelola secara agresif.

Dysautonomia mungkin berkembang dan sering berlanjut beberapa minggu setelah

cedera.

Setiap pasien yang datang dengan kemungkinan cedera medula spinalis seharusnya

tulang belakang mereka diimobilisasi untuk mencegah cedera lebih lanjut atau kompresi

pada saraf tulang belakang (Mack, 2013).