bab iii pengaturan pengujian peraturan perundang- undangan …€¦ · susunan hirarkis peraturan...
TRANSCRIPT
39
BAB III
PENGATURAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA
Dalam bab ini dibahas mengenai pengujian peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia saat ini. Pembahasan diawali dengan jenis peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara periodisasi, kewenangan pengujian di
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan pemisahan
kewenangan dan batu ujinya dalam pengujian peraturan perundang-undangan.
Selain itu juga dibahas mengenai implikasi hasil pengujian yang menjelaskan
jenis putusan dan keberlakuan hasil pengujian.
A. JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Susunan hirarkis peraturan perundang-undangan berdasarkan jenisnya diatur
dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-
Undangan. Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan
(hukum tertulis) disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan
perundang-undangan. Sistem peraturan perundang-undangan Indonesia
menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.
Karena peraturan perundang-undangan itu adalah salah satu dari sumber hukum
maka hirarki tertinggi yaitu konstitusi menjadi sumber hukum bagi peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
40
Berikut periodisasi tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada
sejak Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966 yang telah dikukuhkan oleh
MPRS dengan Ketetapan MPRS No.XX/ MPRS/1966 sampai yang berlaku saat
ini.1
Tabel 3.1.Pemberlakuan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan sejak 1966-
sekarang
Tap MPR No.XX
/MPRS/1966
TAP MPR
No.III
/MPR/2000
UU No 10
Tahun 2004
UU No 12
Tahun 2011
1. UUD RI 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. PERATURAN
PEMERINTAH
(PP)
5. KEPUTUSAN
PRESIDEN
(KEPRES)
6. PERATURAN
-PERATURAN
PELAKSANAAN
LAINNYA :
1. Peraturan
Menteri
2. Instruksi
Menteri
3. dll
1. UUD RI
1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. KEPPRES
7. PERDA
1. UUD RI 1945
2. UU/PERPU
3. PP
4. PERPRES
5. PERDA
a. Perda
Provinsi
b. Perda
Kab/Kota
c. Peraturan
Desa
1. UUD RI
1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. PP
5. PERPRES
6. PERDA
Prov
7. PERDA
Kab/
Kota
Dalam tabel tersebut dapat dikemukakan bahwa periodisasi hirarki
perundang-undangan dari masa ke masa telah menetapkan UUD 1945 sebagai
1Ni’matul Huda, Kedudukan Peraturan…,Op.Cit., h.32.
41
politik hukum tertinggi dalam susunan hirarki yang turut berperan dalam
menjadikan peraturan perundang-undangan menjadi kesatuan nilai.
Dalam Pasal 7 ayat 1 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyatakan secara eksplisit tata urutan peraturan perundang-undangan dimulai
dari,
1. Undang-Undang Dasar,
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang,
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota,2
Jenis peraturan perundang-undangan selain yang telah disebutkan diatas,
yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, antara lain:
peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang
dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang,
DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat. Pasal 8 ayat 1 berupa peraturan khusus yang bersifat
teknis sebagai pelaksana dari hukum yang lebih tinggi. Mengenai daya mengikat
Pasal 8 ayat (1) Pandangan Jimly Assidiqie yang dikutip Ni’matul Huda dan
Nazriyah mengenai ketentuan Pasal 8 ayat (1) “…bahwa jika ada peraturan yang
dibentuk tidak atas dasar perintah peraturan yang lebih tinggi, maka dapat
ditafsirkan bahwa peraturan yang demikian itu (i) tidak diakui keberadaannya, dan
2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
42
(ii) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.3 Dalam pasal 7 ayat (2) UU
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan yang dimaksud dengan
“hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Sepanjang peraturan perundang-undangan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (yang puncaknya UUD
NRI 1945) serta dibuat dengan prosedur pembuatan peraturan perundang-
undangan yang baik, maka peraturan tersebut sah dan mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum. Pandangan Bagir Manan yang dikutip oleh Zainal Arifin
Hoesein mengenai peraturan perundang-undangan memiliki tiga unsur penting,
yaitu :4
a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis,
sehingga dapat juga disebut hukum tertulis;
b. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau
lingkungan jabatan (badan,organ) yang memiliki wewenang
membuat peraturan yang berlaku atau mengikat umum;
c. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat secara
hukum.
Tata urutan peraturan perundang-undangan menunjukkan tingkatan
daripada masing-masing bentuk yang bersangkutan dimana yang disebut lebih
dahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada bentuk-bentuk yang tersebut
belakangnya (dibawahnya). Disamping itu, tata urutan peraturan perundang-
undangan mengandung konsekuensi hukum bentuk peraturan atau ketetapan yang
tingkatannya lebih rendah tidak boleh mengandung materi yang bertentangan
dengan materi yang dimuat di dalam suatu peraturan yang bentuknya lebih tinggi,
terlepas dari soal kekuasaan mana yang berwenang memberikan penilaian
3 Ni’matul Huda dan Nazriyah, Teori dan Pengujian…, Op.Cit., h.89.
4 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review…,Op.Cit.,h. 44.
43
terhadap materi peraturan serta bagaimana nanti konsekuensinya apabila suatu
peraturan itu materinya dinilai bertentangan dengan materi peraturan yang lebih
tinggi. Di Indonesia saat ini untuk melakukan pengujian atau penilaian peraturan
perundang-undangan hanya dapat dilakukan oleh kekuasaan yudikatif.5Melalui
dinamika perubahan tata urutan peraturan perundang-undangan dapat disimpulkan
bahwa UUD sebagai konstitusi tertulis selalu berada pada tingkatan yang tertinggi
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber atau dasar
bagi norma hukum di bawahnya.
B. KEWENANGAN PENGUJIAN DAN BATU UJI MAHKAMAH
AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Konsep judicial review memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
tersusun secara hirarkis. Pengujian oleh lembaga yudisial dalam judicial review
adalah untuk menilai sesuai atau tidaknya satu peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi secara hirarkis.
Konseptualisasi pemberlakuan kewenangan konstitusional pengujian peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang masing-masing memiliki
kewenangan konstitusional (constitutional authorities) yang diatur dalam UUD
NRI 1945. UUD NRI 1945 menganut dualistik kewenangan pengujian perundang-
undangan yang mana ketentuan didalamnya mengatur secara spesifik kompetensi
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
5 Sebelumnya terhadap Perda bermasalah dapat dilakukan pembatalan oleh eksekutif
dalam hal ini pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri dan Gubernur), namun setelah diputuskan
dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang pada intinya mencabut kewenangan tersebut
dan yang dapat dilakukan adalah upaya judicial review di Mahkamah Agung.
44
1. Kewenangan Pengujian dan Batu Uji Mahkamah Agung
Pasal 24A ayat 1 UUD NRI 1945 menyebutkan kewenangan Mahkamah
Agung diantaranya adalah mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah
Agung baru diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atau judicial review
adalah pada saat berlakunya konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dalam konstitusi
RIS dan UUDS 1950 memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk
menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang saja.
Sedangkan untuk pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar tidak
dapat dilakukan judicial review karena menurut Pasal 95 Ayat 2 UUDS 1950
ditegaskan bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat (de wet is
onschenbaar).6Pada masa tersebut belum mengakui supremasi konstitusi.
Ketentuan pengujian MA kemudian dipertegas dalam Pasal 31 dan Pasal
31A UU Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU Nomor 3 tahun
2009 tentang Mahkamah Agung juncto Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang No 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung dibatasi
melakukan pengujian pada objek peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap Undang-Undang yang disebut sebagai pengujian
legalitas. Pengujian legalitas memberikan putusan atas validitas atau keabsahan
norma yang lebih rendah supaya tetap bersumber dan berdasar pada norma hukum
yang lebih tinggi tingkatannya. Objek pengujian adalah norma hukum di bawah
undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi
6 Ari Satio Rantjoko, Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji
Peraturan Perundang-Undangan Dibawah Undang-Undang Di Indonesia, Jurnal Rechtens, Vol.
3, No. 1, 2014, h.45.
45
atau Perda Kabupaten serta peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga seperti
ditentukan dalam pasal 8 ayat 1 UU Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Terhadap objek tersebut dilakukan pengujian legalitas norma terhadap
undang-undang sebagai norma hukum tertinggi sebagai acuan dalam pengujian di
Mahkamah Agung. Undang-undang yang menjadi dasar pengujian dipandang
sebagai statusnya adalah praduga konstitusional. Dengan dasar praduga
konstitusional, MA tidak dapat menilai suatu undang-undang dinyatakan
konstitusional atau tidak. Namun berpegangan pada praduga konstitusional maka
MA hanya dapat menilai legalitas norma di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian perundang-undangan di bawah
undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung dalam bentuk PERMA. Prosedural
yang mengatur kewenangan hak uji materiil (HUM) di Mahkamah Agung diatur
di Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil yang menjadi acuan dalam pengujian peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang putusannya bersifat final
and binding berarti tidak ada upaya hukum lainnya.
2. Kewenangan Pengujian dan Batu Uji Mahkamah Konstitusi
Melalui perubahan konstitusi sebanyak empat kali (1999-2002) semakin
mempertegas prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), prinsip check
and balances serta prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia. Pada perubahan
yang ketiga UUD NRI 1945 Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai
negara ke-78 yang membentuk MK pada tahun 2003 (Perubahan ketiga UUD NRI
1945) yang disahkan 9 November 2001 yang dipertegas pembentukannya dalam
46
Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI 1945. Melalui ketentuan ini pula diketahui
sejak perubahan ketiga UUD NRI 1945, gagasan pembentukan MK masih tekstual
dalam UUD 19457, namun sejak perubahan keempat mempertegas pembentukan
MK paling lambat 17 Agustus 2003, semasa itu kewenangan konstitusional MK
sementara dilakukan oleh MA.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI
1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Ketentuan tersebut juga dipertegas dalam
peraturan turunannya dalam Pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 8
tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Pasal 29 ayat 1 huruf a UU No 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Serta memiliki kewajiban memberikan putusan atas DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. Dalam perkembangan progresif, objek pengujian di MK
tidak hanya Undang-Undang namun norma hukum yang setara dengan itu yang
memiliki kedudukan setara adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
(Perppu). Dalam hal ini batu uji terhadap UUD NRI 1945 yang dilakukan oleh
MK untuk menilai konstitusionalitas undang-undang yang telah disahkan oleh
pembentuk undang-undang (legislator) dan kemudian dalam perkembangannya
didalilkan oleh pemohon baik itu perorangan, kesatuan adat, badan hukum
7 Dikatakan tekstual karena sampai diundangkannya UU No 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi dijalankan oleh
Mahkamah Agung untuk sementara
47
maupun lembaga negara sebagai subyek hukum dalam pengujian terhadap
undang-undang tersebut karena dipandang ketentuan ayat, pasal, atau beberapa
pasal dan ayat diantaranya telah merugikan konstitusionalitas subjek hukum.
Terhadap objek pengujian tersebut pula dapat dilakukan pengujian formil akibat
proses pembentukan undang-undang yang tidak sesuai dengan prosedur hukum
pembentukan undang-undang yang diatur. Pengaturan mengenai hukum acara
pengujian konstitusionalitas di MK di atur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang.
Melalui kewenangan yang dilakukan MK maka dapat dikatakan bahwa MK
berfungsi untuk menegakkan konstitusi dan cara yang dapat ditempuh dalam
konsepsi normatif adalah dengan prinsip supremasi konstitusi. Maria Farida
Indrati menyatakan pandangannya mengenai fungsi MK,
“MK, sebagai salah satu lembaga pelaku kekuasaan kehakiman
berdasarkan konstitusi memiliki fungsi peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Melihat dari latar belakang
pembentukannya MK berfungsi sebagai lembaga penegak
supremasi konstitusi. Ukuran keadilan dan hukum yang
ditegakkan dalam peradilan yang dijalankan oleh MK adalah
konstitusi itu sendiri. Walaupun demikian konstitusi tidak hanya
dimaknai norma tertulis saja, melainkan juga prinsip dan moral
konstitusi antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi,
perlindungan hak asasi manusia serta perlindungan hak
konstitusional warga negara.”8
Dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang demikian banyak
pandangan yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah peradilan
ketatanegaraan. Bahwa MK dibentuk dengan landasan yuridis untuk mengadili
8Maria Farida Indrati, Teori Perundang-Undangan, HKUM4404/MODUL, Tangerang,
2016, h. 1.18
48
perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi, dalam rangka menjaga dan
menegakkan konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Selain memiliki empat kewenangan dan kewajiban yang konstitusional, MK
juga memiliki fungsi yang merupakan derivasi dari kewenangan itu. Bahwa MK
memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution),
penafsir konstitusi (the final interpreter of constitution), pengawal demokrasi (the
guardian of democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the
protector of citizen’s constitutional right), pelindung hak asasi manusia (the
protector of human rights). Seluruh fungsi yang dimiliki MK tidak terlepas dari
perlindungan terhadap muatan kaidah yang diatur dalam konstitusi, karena
memang dasar pembentukan MK adalah menegakkan konstitusi yang telah
banyak mengatur hal-hal yang konstitusional bagi warga negara, kelembagaan
maupun persoalan demokrasi konstitusional.
C. JENIS PUTUSAN DAN IMPLIKASI HASIL PENGUJIAN
Putusan Mahkamah atas hasil pengujian memiliki implikasi dari jenis
masing-masing putusan. Terhadap putusan tersebut diatur secara eksplisit dalam
peraturan terkait. Namun perkembangan dunia peradilan menuntut untuk dapat
menerapkan beberapa varian dalam putusan dan tentu memiliki implikasi yang
berbeda-beda. Pada prinsipnya tiap putusan yang dibacakan dalam sidang yang
terbuka untuk umum, terhadapnya tidak ada upaya hukum lainnya secara vertikal
dan mengikat kepada tiap orang maupun institusi manapun. Berikut memberikan
beberapa macam putusan dalam Mahkamah,
49
1. Putusan Mahkamah Agung
Di MA sendiri mengenai implikasi putusannya tidak terdapat varian putusan
yang bersifat progresif seperti MK. Namun demikian, MA dapat membatalkan
atau memerintahkan mencabut objek peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan undang-undang. Berikut beberapa jenis putusan MA,
a. Permohonan Keberatan Dikabulkan
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan
dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Seperti dalam Putusan MA Nomor 37P/HUM/2017, MA mengabulkan
permohonan hak uji materiil dari Sutarno dkk. dan mencabut 14 pasal dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak
Dalam Trayek terhadap Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Permohonan Keberatan Ditolak
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan
itu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, Mahkamah Agung
menolak permohonan keberatan tersebut. Salah satu permohonan keberatan
hasil uji materil yaitu Putusan MA No 21/P/HUM/2017 perkara permohonan
50
keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005
Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan
Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 325, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia).
c. Permohonan Keberatan Tidak Diterima
Dalam hal permohonan keberatan tidak diterima adalah dengan
pertimbangan pemohon dan permohonan keberatan tidak memenuhi syarat
dari segi hukum formil yang harus dipenuhi pemohon. Seperti putusan
permohonan tidak diterima karena suatu undang-undang yang menjadi batu
uji permohonan sedang dilakukan pengujian di MK maka putusan tersebut
dimaksudkan setelah pemeriksaan di MK selesai dan menghasilkan putusan
MK, maka setelahnya pemohon dapat melakukan permohonan keberatan
kembali ke MA. Seperti pengujian Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan, dalam Perkara Nomor 67 P/HUM/2015, Nomor 69
P/HUM/2015, dan Nomor 34 P/HUM/2017 diputus tidak dapat diterima,
karena masih ada pengujian Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi.
Terhadap pelaksanaan putusan, dalam 90 (sembilan puluh) hari setelah
putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata Pejabat
yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan
Perundang-Undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
51
Dengan demikian putusan MA baru memiliki daya eksekutorial terhadap
peraturan yang dinyatakan bertentangan setelah pejabat otoritas pembentuk
norma hukum tersebut telah merubah atau membentuk norma baru yang
sesuai dengan batasan-batasan dan koridor Putusan MA.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi
a. Permohonan Dikabulkan
Putusan menyatakan permohonan dikabulkan, yaitu apabila
permohonannya beralasan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa permohonan beralasan atau dalam hal pembentukan undang-undang
dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal
permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal 56 ayat (2) “ Dalam hal Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.” Berkaitan dengan permohonan yang dikabulkan
juga dibedakan antara : (a) putusan yang menyatakan materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945 (pengujian materiil) diatur dalam Pasal 56 ayat (3) dan (b)
putusan yang mengabulkan permohonan berkaitan dengan pembentukan
undang-undang yang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 (pengujian formil)
52
diatur dalam Pasal 56 ayat (4). Putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan
Mahkamah Agung. Putusan MK yang dikategorikan sebagai putusan yang
dikabulkan diantaranya Putusan MK No.25/PUU-VIII/2010 yaitu Pengujian
Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU No.4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
b. Permohonan Tidak Diterima (niet onvankelijk verklaard)
Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat
diterima (niet onvankelijk verklaard), apabila permohonannya melawan
hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, maka amar
putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.9
Pasal 50 menyebutkan, bahwa undang-undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan Pasal 51 menyatakan sebagai berikut : (1) pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara
9 Bambang Sutiyoso, Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap
Pencari Keadilan, Vol 12 No.3, Jurnal Hukum, Yogyakarta, 2008, h.356.
53
Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum
publik atau privat; atau d. lembaga negara.; (2) pemohon wajib menguraikan
dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (3) dalam
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa: a. pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan/ atau b. materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang- undang dianggap bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak
memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi
dapat meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau
kewenangan tertentu. Dengan kata lain, putusan itu akan membawa akibat
tertentu yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan atau
kewenangan.10
Adapun kategori putusan yang tidak dapat diterima sebagai
berikut :
i. Putusan MK No 45/PUU-XIII/2015 dalam perkara pengujian UU
No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan terakhir kali
diubah dengan Undang-Undang No 3 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 14 tahun 1985 tentang
10 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005, h. 213.
54
Mahkamah Agung dan Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
ii. Putusan MK No 58/PUU-XV/2017 dalam perkara pengujian
Perppu No 2 tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No 17 tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
c. Permohonan ditolak (ontzegd)
Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak, apabila
permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan permohonan
ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula
putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
d. Konstitusional bersyarat (Conditionally constitutional)
Putusan Konstitusional bersyarat adalah merupakan putusan dimana
dalam amarnya, sebuah undang-undang dinyatakan konstitusional atau tidak
55
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dengan ditambahkannya
ketentuan atau syarat yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
putusan tersebut untuk membuat undang-undang yang dimaksud menjadi
konstitusional atau dengan kata lain suatu norma dinyatakan konstitusional
jika dipahami sesuai dengan syarat yang diberikan oleh hakim konstitusi
yang dinyatakan dalam putusannya, ini berarti permohonan yang diajukan
ditolak dengan catatan.
Putusan-putusan MK yang dapat dikualifikasikan sebagai putusan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) di antaranya sebagai
berikut:11
1) Putusan MK No 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara
No.008/PUU-III/2005 bertanggal 19 Juli 2005 tentang Sumber
Daya Air;
2) Putusan MK No 19/PUU-III/2005 bertanggal 28 Maret 2006
tentang Persyaratan Badan Hukum Bagi Wakil Pelaksanaan
Penempatan TKI Swasta di Luar Negeri;
e. Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional)
Merupakan putusan yang menyatakan permohonan yang diajukan
dikabulkan dengan catatan bahwa norma yang bersangkutan dipandang
inkonstitusional karena alasan tertentu. Jika tidak demikian, maka norma
yang bersangkutan dipandang masih konstitusional. Adapun putusan-
putusan MK yang dapat dikategorikan sebagai putusan inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional) diantanya :12
1) Putusan MK No.54/PUU-VI/2008 bertanggal 14 April 2009
tentang Pembagian Hasil Cukai untuk Daerah Penghasil
Tembakau;
11
Ni’matul Huda, Perkembangan…,Op.Cit.,h.45-46 12
Ni’matul Huda, Perkembangan…, Op.Cit., h.46
56
2) Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009
tentang Tidak Pernah Dijatuhi Pidana terhadap Jabatan Publik yang
Dipilih;
3) Putusan MK No. 133/PUU-VII/2009 bertanggal 25 November
2009 tentang Pemberhentian Pimpinan KPK secara tetap.
f. Putusan Memuat Norma Baru
Dalam hal memberikan putusannya tidak jarang hakim Mahkamah
Konstitusi menyatakan menghapus ketentuan pada bagian anak kalimat
sebuah pasal dalam undang-undang yang sedang diuji, hal ini membawa
konsekuensi pasal tersebut memiliki norma baru yang sama sekali berbeda
dengan norma sebelumnya, hal inilah yang menjadi perdebatan ketika
Mahkamah Konstitusi dianggap mulai memasuki ranah positive legislator,
yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi kewenangan badan
legislatif sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945. Adapun putusan-putusan
MK yang dikategorikan sebagai putusan yang memuat norma baru
diantaranya :13
1) Putusan Nomor 102/PUUVII/2009 bertanggal 6 Juli 2009
mengenai penggunaan KPT dan Paspor dalam Pemilu,
2) Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 bertanggal 7
Agustus 2009 tentang perhitungan tahap kedua untuk penetapan
perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
bagi Parpol peserta pemilu,
g. Menunda Keberlakuan Norma
Di dalam khasanah peradilan konstitusi dikenal adanya konsep limited
constitustional yang berarti menoleransi berlakunya aturan yang sebenarnya
bertentangan dengan konstitusi hingga batas waktu tertentu. Berbeda dengan
model putusan conditionally constitutional ataupun model putusan
13
Syukri Asy'ari, dkk, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Kepaniteraan dan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi Indonesia , Jakarta, 2013, h.14.
57
conditionally unconstitutional yang memutuskan aturan yang pada saat
diputuskan dinyatakan tidak bertentangan atau bertentangan dengan
konstitusi, namun nantinya akan dapat bertentangan dengan konstitusi karena
dilanggarnya syarat-syarat yang diputuskan peradilan konstitusi, maka model
putusan limeted constitustional bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan
yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu karena disadarkan atas
pertimbangan kemanfaatan. Hasil penelitian menunjukan MK pernah
mengeluarkan model putusan ini, yakni dalam Putusan Nomor 016-PUU-
IV/2006 bertanggal 19 Desember 2006. MK dalam putusannya menyatakan
bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002) telah melahirkan
dualisme Pengadilan Tipikor dan kekeliruan landasan konstitusional
pembentukan Pengadilan Tipikor yang seharusnya diatur dengan undang-
undang tersendiri. Berdasarkan alasan tersebut, MK menyatakan Pasal a quo
bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi karena beberapa alasan
substansial berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, MK
memutuskan untuk menangguhkan daya tidak mengikatnya Pasal 53 UU
30/2002 dalam batas waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan diucapkan
dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Sementara itu berdasarkan sifat dari putusan, terbagi dalam 3 (tiga) kategori
yaitu condemnatoir, declaratoir, dan constitutief.
58
1) Condemnatoir
Putusan yang bersifat condemnatoir merupakan putusan yang
berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk
melakukan suatu prestasi, Akibat dari putusan condemnatoir adalah
diberikannya hak kepada penggugat atau pemohon untuk meminta
tindakan eksekusi terhadap tergugat atau termohon. Sementara di
dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi perkara yang memberi
kemungkinan adanya putusan yang bersifat comndemnatoir adalah
perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Pasal 64 ayat (3)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa “ Dalam
hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon
tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.” Secara eksplisit pasal tersebut tidak menyebut
adanya perintah penghukuman (condemnatoir), hanya secara
declaratoir menyatakan tidak berwenang, akan tetapi dari putusan
sela dalam Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat dan dalam hal ini
sengketa kewenangan antar lembaga negara untuk tidak melaksanakan
kewenangan yang sedang dipersengketakan, jika berdasarkan hal
tersebut maka tentu saja dapat dikatakan termasuk dalam jenis
putusan yang bersifat condemnatoir.14
Sebagai contoh adalah Putusan
Nomor 1/SKLN-X/2012 dalam perkara sengketa kewenangan
14
Maruarar Siahaan, Hukum Acara…,Op.Cit., h. 205.
59
lembaga negara antara Menteri Dalam Negeri sebagai pemohon
dengan Komisi Pemilihan Umum sebagai termohon I dan Komisi
Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai Termohon II, selain itu ada
juga Putusan Nomor 63/PHPU.D-IX/2011 dalam perkara perselisihan
hasil pemilu, dimana sebelum putusan akhir, Mahkamah Konstitusi
memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru
untuk melakukan pemungutan suara ulang Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2011 di
seluruh TPS se-kota Pekanbaru.
2) Declaratoir
Putusan yang bersifat declaratoir merupakan putusan dimana
hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Berkaitan dengan
hukum acara Mahkamah Konstitusi, dalam Pasal 56 ayat (3) Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “ Dalam hal
permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Hakim dalam amar putusannya akan menyatakan bahwa materi
muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian-bagian dari undang-undang tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat putusan tersebut
menyatakan apa yang menjadi hukum atau disebut dengan
declaratoir. Sebagai contoh adalah Putusan Perkara Nomor 32/PUU-
VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
60
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
UUD NRI Tahun 1945, dalam amar putusannya putusan tersebut
secara tegas menyatakan Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta
Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, putusan tersebut
menyatakan apa yang menjadi hukumnya maka dapat dikatakan
putusan tersebut bersifat declaratoir.
3) Constitutief
Suatu putusan dikatakan sebuah putusan yang bersifat constitutief
adalah ketika putusan tersebut meniadakan satu keadaan hukum atau
menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Berkaitan dengan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh
Mahkamah Konstitusi, ketika putusan menyatakan suatu undang-
undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat maka dapat dikatakan putusan
tersebut bersifat constitutief, ketika sebuah putusan telah meniadakan
keadaan hukum yang lama dan menimbulkan keadaan hukum yang
baru maka putusan tersebut tergolong bersifat constitutief.15
Ketika
sebuah putusan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar maka itu merupakan declaratoir yang menjelaskan atau
15
Ibid
61
memaparkan putusan tersebut, disamping declaratoir, ketika putusan
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar maka putusan
tersebut juga bersifat constitutief, dimana telah meniadakan keadaan
hukum yang lama dan telah menciptakan sebuah keadaan hukum yang
baru, sebagai contoh adalah putusan konstitusional bersyarat Putusan
Nomor 49/PUU-VIII/2010 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD
NRI Tahun 1945.
B. KEBERLAKUAN HASIL PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN
Sifat keberlakuan hasil putusan di MA dan MK adalah putusan yang final
and binding. Terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum lain
dalam lingkup kekuasaan manapun (Penjelasan Pasal 10 ayat 1 UU MK). Setelah
putusan yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka putusan
tersebut telah dinyatakan berlaku dan memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh
warga negara dan penyelenggara negara (erga omnes) . Asas erga omnes
diberlakukan sebagai konsekuensi terhadap pengujian norma hukum publik.
Dengan demikian apabila ketentuan dalam norma pengujian materiil
menyatakan bertentangan dengan undang-undang (lingkup MA) atau bertentangan
dengan UUD NRI 1945 (lingkup MK) maka muatan materi ayat, pasal atau
sebagian dari norma tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka putusan
tersebut sudah bersifat final. Sehingga norma yang dinyatakan bertentangan tidak
dapat lagi dipakai sebagai dasar hukum tindakan maupun putusan. Terkait siapa
saja addresat putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
62
Dasar, dalam pandangan Thomas Gawron dan Ralf Ragowski yang dikutip Saldi
Isra menyatakan in our view, it is important.. to distinguish between effect of the
court according to addresees and to look for specific arena of
implementation…five main addressees, respectively arenas of implementation,
can be distinguished:legislative arena, the judicial arena, the administrative
arena, involving associations and political parties, and the private arena
involving establishments and citizen.16
Putusan hasil pengujian bukan merupakan peraturan perundang-undangan
namun dapat mengikat peraturan perundang-undangan. Putusan atas pengujian
ditindaklanjuti oleh para addressad termasuk kekuasaan eksekutif dan legislatif
sebagai subjek pembuatan produk hukum melalui revisi ketentuan yang telah
dibatalkan melalui putusan pengujian. Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi
mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan, namun tidak
semua putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Pemohon
dapat langsung dilaksanakan (excecutable), karena untuk pelaksanaan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan
pembentukan undang-undang baru atau undang-undang perubahan, sehingga jika
dilihat dari pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-
undang, maka putusan Mahkamah Konstitusi dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Putusan yang langsung dapat dilaksanakan (excecutable);
2. Putusan yang memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan peraturan
perundang undangan atas perubahan peraturan yang bersangkutan.
16
Saldi Isra, Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung Dengan Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1,Padang, 2015, h.25.
63
Sebagai contoh, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang memerlukan
tindak lanjut, antara lain:17
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
tanggal 1 Desember 2004 atas pengujian Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang menyatakan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara
keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ini
diperlukan tindak lanjut dengan pembentukan Undang-undang
ketenagalistrikan yang baru.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7
Desember 2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menyatakan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK yang mengabulkan permohonan dan menetapkan adanya
undang-undang baru, maka tugas legislator adalah membentuk undang-undang
tersebut dengan berdasarkan koridor yang ditentukan dalam putusan MK.
Kewenangan pembentukan perundang-undangan tidak boleh
mengesampingkan atau mengabaikan putusan pengujian peraturan perundang-
undangan yang berakibat pada ketidakpastian hukum atas dualisme norma. Norma
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bahkan dalam Putusan MK
pengabaian pada putusan MK dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat putusan Mahkamah Agung
yang tidak mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dengan masih
menggunakan penafsiran dan menerapkan ajaran “sifat melawan hukum materiil”
berdasarkan atas yurisprudensi.18 Pemuatan putusan MK dalam Berita Negara
sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK dirasa cukup untuk
17
Inosentius Samsul, Hasil Akhir Pengkajian Hukum Tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2009, h.103. 18
Budi Suhariyanto, Masalah Eksekutabilitas Putusan Mahkamah Konstitusi oleh
Mahkamah Agung,Vol.13 No 1, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2016, h.181.
64
diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara
terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah
dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
tersebut sehingga jika dilanggar dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan
hukum dan batal demi hukum sejak semula (adinitio).19
Jimly Assidhiqie menyampaikan pandangannya mengenai keberlakuan
putusan di MK. Ketentuan pasal 47 menyatakan putusan itu langsung berlaku
mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
“Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Artinya efek
keberlakuannya bersifat prospektif ke depan (forward looking),
bukan berlaku ke belakang (backward looking). Artinya, segala
perbuatan hukum yang sebelumnya dianggap sah atau tidak sah,
hanya karena putusan MK berlaku mengikat sejak
pengucapannya dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan undang-undang
yang belum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat adalah perbuatan hukum yang sah secara hukum,
termasuk akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan hukum
yang sah itu, juga sah secara hukum”.20
Sama hal nya dengan Putusan MK sifat keberlakuan dari Putusan MA
terhadap pengujian legalitas perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang juga bersifat final dan mengikat.
19 Mohammad Mahrus Ali dkk, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang
Bersifat Konstitutional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru, Vol.12 No.3, Jurnal Konstitusi,
2014, h.635. 20
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Cetakan ke 2, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, h.220