bab iii metode penelitian dan analisis · 2018-01-22 · melalui penelitian tentang tebal...

19
30 BAB III METODE PENELITIAN DAN ANALISIS 3.1 Lokasi Penelitian Bandar Udara Radin Inten II terletak di Jl. Alamsyah Ratu Prawiranegara Branti Raya, Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Tepatnya berada di koordinat 05 o 14’25,77”LU 105 o 10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m). (Wikipedia, 2016) Lokasi Bandar Udara Radin Inten II dilihat dari citra satelit Bandara Radin Inten II yang disajikan dalam Gambar 3.1. Gambar 3.1 Lokasi Bandar Udara Radin Inten II (Sumber: Wikipedia, 2016) 3.2 Metode dan Tahap Penelitian Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam penelitian: 3.2.1 Tahap Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi penjabaran maksud dan tujuan penelitian, penyiapan metodelogi penelitian, check list kebutuhan pelaksanaan penelitian, dan kajian awal hasil studi kepustakaan dan perencanaan terkait. 3.2.2 Tahap Pengumpulan Data Ada dua data yang diperlukan yaitu data primer dan data sekunder.

Upload: phamtram

Post on 29-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

30

BAB III

METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

3.1 Lokasi Penelitian

Bandar Udara Radin Inten II terletak di Jl. Alamsyah Ratu Prawiranegara

Branti Raya, Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Tepatnya berada di

koordinat 05o14’25,77”LU 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki

(86 m). (Wikipedia, 2016)

Lokasi Bandar Udara Radin Inten II dilihat dari citra satelit Bandara Radin

Inten II yang disajikan dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Lokasi Bandar Udara Radin Inten II

(Sumber: Wikipedia, 2016)

3.2 Metode dan Tahap Penelitian

Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam penelitian:

3.2.1 Tahap Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian meliputi penjabaran maksud dan tujuan penelitian,

penyiapan metodelogi penelitian, check list kebutuhan pelaksanaan penelitian, dan

kajian awal hasil studi kepustakaan dan perencanaan terkait.

3.2.2 Tahap Pengumpulan Data

Ada dua data yang diperlukan yaitu data primer dan data sekunder.

31

a. Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dilapangan

melalui penelitian tentang tebal perkerasan dan perpanjangan runway dan

kondisi apron di Bandara Radin Inten II. Adapun cara yang dilakukan dalam

mengumpulkan data primer adalah:

• Wawancara (interview) yaitu melakukan tanya jawab langsung dengan

semua pihak yang mempunyai wewenang atau yang berkaitan dengan

pengelolaan Bandara Radin Inten II.

b. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku refrensi, sumber

sumber lain seperti internet, dan data yang diperoleh dari instansi yang terkait.

Data – data sekunder yang diperlukan antara lain:

• Layout Bandara Radin Inten II

Layout bandar udara meliputi landasan pacu (runway) dan apron beserta

luas dan panjangnya.

• Jumlah Penumpang

Data jumlah penumpang selama 5 tahun terakhir.

• Data dan Jumlah Pesawat Terbang

Data jumlah pesawat terbang sangat dibutuhkan untuk mengetahui

kapasitas dan kebutuhan landasan pacu (runway) dan apron dalam

melayani pesawat terbang yang telah ada di Bandara Radin Inten II.

• Jenis Pesawat Terbang dan Rute Penerbangan

Data jenis pesawat dan rute penerbangan yang dilayani oleh Bandara

Radin Inten II.

• Kondisi Lingkungan Bandara Radin Inten II

Data kondisi lingkungan lapangan terbang yaitu meliputi

temperatur/suhu, angin permukaan, kemiringan landasan pacu (runway),

ketinggian bandara dari muka air laut dan kondisi permukaan landasan.

• Data Tanah

Digunakan dalam perhitungan perkerasan yang akan dilakukan.

32

3.3 Diagram Alur Pengerjaan Tugas Akhir

Berikut ini adalah diagram alur pengerjaan Tugas Akhir, terpapar dalam

Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Diagram Alur Pengerjaan Tugas Akhir

Studi Literatur dan Studi Pendahuluan

Analisis Data

Tebal Perkerasan dan Perpanjangan Runway dan Pengembangan Apron

di Bandara Radin Inten II

Mulai

Hasil Perhitungan

Kesimpulan dan Saran

Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan

Selesai

Data Sekunder

• Layout Bandara Radin Inten II • Jumlah Penumpang • Data dan Jumlah Pesawat Terbang • Jenis Pesawat Terbang dan rute

yang dilayani • Kondisi Lingkungan Bandara Radin

Inten II • Data Tanah

Data Primer

• Wawancara (Interview)

✓ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan

33

3.4 Perencanaan Perkerasan Lentur dengan Menggunakan Metode FAA

Metode perencanaan FAA yang dibahas pada tugas akhir ini adalah metode

perencanaan yang mengacu pada standar perencanaan pekerasan FAA Advisory Circular

(AC) No.150_5320_6D. Metode ini adalah pengembangan perencanaan berdasarkan

metode CBR. Perencanaan konstruksi perkerasan dengan menggunakan grafik-grafik,

tabel-tabel, yang telah dibuat bersasarkan hasil pengamatan yang telah ada. Pada

perhitungan dengan metoda yang mengacu pada Advisory Circular (AC) No.

150_5320_6D, telah mengeluarkan grafik-grafik yang berisi hubungan keberangkatan

tahunan desain, berat pesawat kotor, nilai CBR (California Bearing Ratio) dengan

ketebalan lapisan perkerasan.

Menurut Basuki (1986) ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam

pehitungan dengan menggunakan metode FAA, yaitu:

a. Klasifikasi Tanah

Metode yang dikembangkan oleh Federal Aviation Administration (FAA)

ini pada dasarnya menggunakan statistik perbandingan kondisi lokal dari tanah,

sistem drainase dan cara pembebanan untuk berbagai tingkah laku beban. FAA

telah membuat klasifikasi tanah, untuk perencanaan perkerasan yang dibagi dalam

13 kelas dari E1 sampai E13. Klasifikasi dari Airport Paving FAA, Advisory

Circular, adalah sebagai berikut :

• Kelas EI

Adalah jenis tanah yang mempunyai gradasi tanah yang baik, kasar, butiran-

butiran tanahnya tetap stabil walaupun sistem drainasenya tidak baik.

• Kelas E2

Jenis tanah mirip grup E1, tetapi kandungan pasirnya lebih sedikit, dan

mungkin mengandung presentase lumpur dan tanah liat yang lebih banyak.

Tanah dalam kelas ini bisa menjadi tidak stabil apabila sistem drainasenya

tidak baik.

• Kelas E3 dan E4

Terdiri dari tanah yang berbutir halus, tanah berpasir dengan geradasi lebih

jelek dibanding dengan grup E1 dan E2. Grup ini terdiri dari pasir berbutir

halus tanpa daya kohesi, atau tanah liat berpasir dengan kualitas pengikatan

34

mulai dari cukup sampai baik.

• Kelas E5

Terdiri dari tanah yang bergradasi kurang baik, dengan kandungan lumpur

dan tanah liat campuran lebih dari 35% tetapi kurang dari 45%.

• Kelas E6

Terdiri dari lumpur yang berpasir dengan indeks plastisitas yang sangat

rendah. Jenis ini relatif stabil bila kering atau pada moisture content

rendah. Stabilitasnya akan kurang bahkan hilang dan menjadi sangat

lembek dalam keadaan basah, maka sangat sukar dipadatkan kecuali jika

moisture content dikontrol dengan sangat teliti sesuai kebutuhan.

• Kelas E7

Temasuk didalamnya tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir

berlempung, dan lumpur berlempung. Mempunyai rentangan konsistensi

kaku sampai lunak ketika kering dan plastis ketika basah.

• Kelas E8

Mirip dengan E7, tetapi pada liquid limit yang lebih tinggi akan

menghasilkan derajat pemempatan yang lebih besar, pengembangan

pengerutan, dan stabilitas yang lebih rendah dibawah kondisi

kelembaban yang kurang menguntungkan.

• Kelas E9

Terdiri dari campuran lumpur dan tanah liat sangat elastis dan sangat sulit

dipadatkan. Stabilitasinya rendah, baik keadaan basah dan kering.

• Kelas E10

Adalah tanah liat yang berlumpur dan tanah liat yang membentuk

gumpalan keras dalam keadaan kering, serta sangat pastis bila basah.

Pada masa pemadatan perubahan volumenya sangat besar, mempunyai

kemampuan mengembang menyusut dan sangat elastis.

• Kelas E11

Mirip dengan tanah grup E10, tetapi mempunyai liquid limit yang lebih

tinggi, termasuk didalamnya tanah dengan liquid limit antara 70-80,

dengan index plastisitas diatas 30.

35

• Kelas E12

Jenis tanah yang mempunyai liquid limit di atas 80, tidak diukur

berapapun index plastisitasnya.

• Kelas E13

Meliputi semua jenis tanah rawa organik, seperti gambut mudah dikenal

di lapangan. Dalam keadaan asli, sangat rendah stabilitasnya, sangat

rendah density, dan sangat tinggi kelembabannya.

Berikut ini adalah tabel klasifikasi tanah dasar untuk perencanaan perkerasan

dengan metode FAA yang ditabelkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Klasifikasi Tanah Dasar untuk Perencanaan Perkerasan Metode FAA

Kelas Tanah

Analisa Saringan

Liquid

Limit

Plasticity

index

Subgrade Class

% bahan tersisa

saringan no. 10

% Bahan lebih kecil dari saringan no. 10

Drainase baik

Drainase Jelek

Pasir kasar lolos

saringan no. 10

tapi ditahan saringan no. 40

Pasir halus lewat

saringan no. 40 ditahan no. 200

Campuran lumpur

dan tanah liat lolos no. 200

Kerikil

E1 0 – 45 40 60 15 25 6 Fa / Fa Fa / Ra

E2 0 – 45 15 85 25 25 6 Fa / Ra F1 / Ra

E3 0 – 45 25 25 6 F1 / Fa F2 / Rb

E4 0 – 45 35 35 10 F1 / Ra F3 /Rb

Butiran halus

E5 0 – 55 45 40 15 F3 / Rb

E6 0 – 55 45 40 10 F4 / Rc

E7 0 – 55 45 50 10 – 30 F5 / Rc

E8 0 – 55 45 60 15 – 40 F6 / Rc

E9 0 – 55 45 40 30 F7 / Rd

E10 0 – 55 45 70 20 – 50 F8 / Rd

E11 0 – 55 45 80 30 F9 / Re

36

Tabel 3.1 Lanjutan

Kelas Tanah

Analisa Saringan

Liquid

Limit

Plasticity

index

Drainase baik

Subgrade Class

% bahan tersisa

saringan no. 10

% Bahan lebih kecil dari saringan no. 10

Drainase baik

Drainase Jelek

Pasir kasar lolos

saringan no. 10

tapi ditahan saringan no. 40

Pasir halus lewat

saringan no. 40 ditahan no. 200

Campuran lumpur

dan tanah liat lolos no. 200

E12 0 – 55 45 80 F10 / Fa

E13 Tanah gambut, tidak bisa digunakan (Sumber: Basuki, 1986)

Apabila di dalam test laboratorium yang kita dapatkan nilai CBR-nya, pada

Tabel 3.2 ini diberikan hubungan nilai CBR dengan mutu tanah menurut FAA. Table 3.2 Hubungan Antara Harga CBR dengan Kalsifikasi Subgrade Menurut FAA

Klasifikasi CBR

Fa 20 (atau lebih)

F1 16 – 20

F2 13 – 16

F3 11 – 13

F4 9 – 11

F5 8 – 9

F6 7 – 8

F7 6 – 7

F8 5 – 6

F9 4 – 5

F10 3 – 4

(Sumber: Basuki, 1986)

b. Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama

Konfigurasi roda pesawat udara mempengaruhi penyaluran beban

pesawat udara ke perkerasan. Berat pesawat udara didistribusikan ke

perkerasan melalui roda depan atau roda hidung (nose gear) dan roda utama

37

(main gear). Main gear menerima hampir seluruh beban pesawat udara, 95

% berat pesawat udara dibebankan pada main gear, sedangkan sekitar 5 %

sisanya diterima oleh nose gear. Berikut berbagai konfigurasi roda pesawat

yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

• Sumbu Tunggal Roda Tunggal ( Single )

Gambar 3.3 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Tunggal (Sumber: Yang, 2004)

• Sumbu Tunggal Roda Ganda ( Dual wheel )

Gambar 3.4 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Ganda (Sumber: Yang, 2004)

38

• Sumbu Tandem Roda Ganda ( Dual Tandem )

Gambar 3.5 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Tandem Ganda (Sumber: Yang, 2004)

• Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel ( DDT )

Gambar 3.6 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Ganda Dobel (Sumber: Yang, 2004)

c. Menentukan pesawat rencana

Pada Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat

yang beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan

data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat. Kemudian dipilih jenis pesawat

yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan pesawat

39

rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi

jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu.

Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan

tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang

beroperasi di dalam bandar udara. Karena pesawat yang beroperasi di bandara

memiliki angka keberangkatan tahunan yang berbeda-beda, maka harus

ditentukan keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat dengan konfigurasi

roda pendaratan dari pesawat rencana.

d. Menentukan Beban Roda Pendaratan Utama Pesawat (W2)

Untuk pesawat berbadan lebar yang dianggap mempunyai MTOW cukup

tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam perhitungan Equivalent

Annual Departure (R1) ditentukan beban roda tiap pesawat, 95% berat total dari

pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, dalam perhitungan dengan

menggunakan rumus :

W2 = P × MSTOW × 1

𝐴

Keterangan:

MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas

A = Jumlah konfigurasi roda pesawat

P = Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama

W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat

(Sumber: Basuki, 1986)

e. Menentukan Nilai Ekuivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana

Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani

berbagai macam jenis pesawat, yang mempunyai tipe roda pendaratan yang

berbeda-beda dan bervariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang diakibatkan oleh

semua jenis model lalu-lintas itu harus dikonversikan ke dalam pesawat rencana

dengan equivalent annual departure dari pesawat-pesawat campuran, sehingga

dapat disimpulkan bahwa perhitungan ini berguna untuk mengetahui total

keberangkatan keseluruhan dari bermacam pesawat yang telah dikonversikan ke

dalam pesawat rencana. Untuk menentukan R1 dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan:

40

Log R1 = Log R2 (𝑊2

𝑊1)0,5

Keterangan:

R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen pesawat udara desain

R2 = Keberangkatan tahunan yang dikonversi ke dalam main gear pesawat

udara desain

W1 = Beban roda pesawat udara desain

W2 = Beban roda pesawat udara

(Sumber: Basuki, 1986)

Pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda pendaratan utama

yang berbeda dengan pesawat kecil, maka pengaruhnya terhadap perkerasan

diperhitungkan dengan menggunakan berat lepas landas kotor dengan

susunan roda pendaratan utama adalah roda tunggal yang dikonversikan

dengan nilai yang ada. Dengan anggapan demikian maka dapat dihitung

keberangkatan tahunan ekivalen (Equivalent Annual Departure R1).

Tabel 3.3 Faktor-Faktor untuk Mengubah Keberangkatan Tahunan Pesawat Udara Menjadi

Keberangkatan Tahunan Ekivalen Pesawat Udara Desain

Poros Roda Pendaratan

Utama Pesawat

Sebenarnya

Poros Roda Pendaratan Utama

Pesawat Desain

Pengali untuk Keberangkatan

Sebenarnya Untuk Mendapatkan

Keberangkatan Ekivalen

Roda Tunggal Roda Ganda

Tandem Ganda

0,8

0,5

Roda Ganda Roda Tunggal

Tandem Ganda

1,3

0,6

Tandem Ganda Roda Tunggal

Roda Ganda

2,0

1,7

Double Tandem Ganda Roda Ganda

Tandem Ganda

1,7

1,0

(Sumber: Horonjeff, 1993)

41

f. Menentukan Susunan Tebal Perkerasan.

Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah

perencanaan untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut

harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. Pada tahapan ini, data-

data awal seperti CBR tanah dasar, CBR Subbase, dan Equivalent Departure

dijadikan input untuk menentukan tebal perkerasan. Data tersebut diatas

dimasukkan pada kurva rencana yang telah sesuai standar FAA sehingga

menghasilkan tebal perkerasan yang nantinya perlu dikoreksi, perhitungan

secara detail dijelaskan sebagai berikut:

• Tebal Perkerasan Total

Tebal perkerasan total dihitung dengan memplotkan data CBR Subgrade,

MTOW (Maximum Take Off Weight) pesawat rencana, dan nilai

Equivalent Annual Departure ke dalam Gambar 3.7 penentuan tebal

perkerasan untuk pesawat rencana. Perencanaan perkerasan yang

dikembangkan oleh FAA ini adalah perencanaan untuk masa umur

rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap dilakukan

pemeliharaan secara berkala. Grafik-grafik pada perencanaan perkerasan

FAA menunjukkan ketebalan perkerasan total yang dibutuhkan (tebal

pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal lapisan permukaan). Nilai

CBR tanah dasar digunakan bersama-sama dengan berat lepas landas

kotor dan keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat rencana. Beban

lalulintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral

dari permukaan selama operasional. Demikian juga pada sebagian

landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke perkerasan, oleh

karena itu FAA memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada

permukaan yang berbeda-beda:

✓ Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk

tempat pesawat yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu

(Holding Apron), bagian tengah landasan hubung dan landasan pacu

✓ Tebal perkerasan 0,9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan

datang, seperti belokan landasan pacu berkecepatan tinggi.

42

✓ Tebal perkerasan 0,7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui

pesawat, seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan

pacu.

Gambar 3.7 Grafik Perencanaan Perkerasan Lentur ntuk Pesawat Dual Wheel (Sumber: Basuki, 1986)

Grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik garis lurus dari

sumbu CBR, ditentukan secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor

(MSTOW), kemudian diteruskan kearah horizontal ke kurva

keberangkatan tahunan ekivalen dan akhirnya diteruskan vertikal ke

sumbu tebal perkerasan dan tebal total perkerasan didapat.

43

• Menentukan tebal perkerasan Subbase Course

Dengan nilai CBR Subbase yang ditentukan, MTOW dan Equivalent

Annual Departure maka dari Gambar 3.7 didapat harga yang merupakan

tebal lapisan diatas subbase, yaitu lapisan surface dan lapisan base

coarse. Maka, tebal subbase sama dengan tebal perkerasan total

dikurangi tebal lapisan diatas subbase.

• Menentukan Tebal perkerasan Base Course

Tebal Base Course sama dengan tebal lapisan diatas Subbase Course

dikurangi tebal lapisan permukaan (Surface Course). Hasil ini harus

dicek dengan membandingkannya terhadap tebal Base Course minimum

dari grafik. Apabila tebal Base Course minimum lebih besar dari Base

Course hasil perhitungan, maka selisihnya diambil dari lapisan Subbase

Course, sehingga tebal Subbase Course berubah.

Gambar 3.8 Grafik Penentuan Tebal Base Course Minimum

(Sumber: Basuki, 1986)

44

Tabel 3.4 Tebal Minimum Base Course

Design Load Range

Minimum Base Course

Design Aircraft Thickness

(pound) (kg) (in) (mm) Single Wheel 30.000-50.000 (13.600-22.700) 4 100

50.000-70.000 (22.700-34.000) 6 150 Duel Wheel 50.000-100.000 (22.700-45.000) 6 150

100.000-200.000 (45.000-90.700) 8 200 Duel Wheel 100.000-250.000 (45.000-113.400) 6 150

250.000-400.000 (113.400-181.000) 8 200 B-757 200.000-400.000 (90.700-181.000) 6 150 B-767

DC-10 400.000-600.000 (181.000-272.000) 8 200 L101 I

B-747 400.000-600.000 (181.000-272.000) 6 150 600.000-850.000 (272.000-385.700) 8 200 C-130 75.000-125.000 (34.000-56.700) 4 100

12.500-175.000 (56.700-79.400) 6 150 (Sumber: Basuki, 1986)

Grafik perencanaan Gambar 3.7 adalah grafik perencanaan untuk tingkat

keberangkatan tahunan maksimum 25.000 keberangkatan. Untuk

keberangkatan tahunan diatas 25.000, grafik tersebut juga dapat

digunakan dengan mengalikan hasil akhir tebal total perkerasan yang

didapat dengan menggunakan grafik keberangkatan tahunan 25.000

dengan angka persentase yang diberikan di Tabel 3.5 dibawah ini: Tabel 3.5 Persentase Pengali Untuk Tingkat Keberangkatan Tahunan diatas 25.000

Tingkat Keberangkatan % Tebal Total Keberangkatan Tahunan

Tahunan >25000

50.000 104

100.000 108

150.000 110

200.000 112 (Sumber: Basuki, 1986)

3.5 Perhitungan Panjang Runway

Dalam melakukan perhitungan panjang runway suatu bandara ada beberapa faktor

45

yang harus diperhatikan. Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka faktor-

faktor tersebut adalah:

a. Koreksi Ketinggian (Elevasi)

Keterangan: Fe = Faktor koreksi elevasi

h = Elevasi diatas permukaan laut (m) (Sumber: Basuki, 1986)

b. Koreksi Suhu (Temperature)

Ft = 1 + 0,01 {T – (15 – 0,0065 x h)} Keterangan: Ft = Faktor koreksi temperature

T = Temperature di bandara (oC) (Sumber: Basuki, 1986)

c. Koreksi Kemiringan Runway (Slope)

Fs = 1 + (0,1 S)

Keterangan: Fs = Faktor koreksi emiringan

S = Kemiringan runway (%) (Sumber: Basuki, 1986)

d. Koreksi Angin Permukaan (Surface Wind)

Berikut adalah pengaruh angin permukaan terhadap panjang runway yang

ditabelkan pada Tabel 3.6 Tabel 3.6 Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway

Kekuatan Angin Persentase Pertambahan / Pengurangan Runway +5 -3 +10 -5 -5 +7

(Sumber: Basuki, 1986)

Setelah koreksi ketinggian (elevasi), koreksi temperature, koreksi

kemiringan, dan koreksi angin permukaan ditemukan, maka diperoleh

panjang runway perencanaan:

Lr = ARFL × Ft × Fe × Fs ± Fa

Dimana: Lr = Panjang rencana runway

46

ARFL= Runway minimum yang dibutuhkan

Ft = Faktor koreksi temperature

Fe = Faktor koreksi elevasi

Fs = Faktor koreksi kemiringan

Fa = Faktor koreksi angin

3.6 Perhitungan Lebar Komponen Runway

Lebar perkerasan komponen runway tidak boleh kurang dari tabel yang

tercantum pada Tabel 3.7, Tabel 3.8, dan Tabel 3.9.

Tabel 3.7 Klasifikasi Bandar Udara

Tanda kode Panjang landasan (ft) Panjang landasan (m)

A >7000 >2133 B 5000-7000 1524-2133 C 3000-5000 914-1524 D 2500-3000 762-914 E 2000-2500 610-762

(Sumber: Horonjeff, 1993)

Tabel 3.8 Standar Dimensi Landasan Kategori C, D, dan E

Airplane Design Group

I II III IV V VI Runway Width 100 100 100 150 150 200 Shoulder Width 10 10 20 25 35 40 Blast Pad Width 120 120 140 200 220 280 Lenght 100 150 200 200 400 400 Safety Area Width 500 500 500 500 500 500 Lenght 1000 1000 1000 1000 1000 1000 Object-Free Area 800 800 800 800 800 800 Width Lenght 1000 1000 1000 1000 1000 1000 Obstacle-Free Zone 400 400 400 400 400 400

200 200 200 200 200 200 (Sumber: Horonjeff, 1993) Tabel 3.9 Lebar Landasan Pacu

Aerodrome Code Letter

A B C D E

Pavement Width Aerodrome Code Number

47

Tabel 3.9 Lanjutan

Aerodrome Code Letter

A B C D E

1 18 18 23 2 23 23 30 3 30 30 30 45 4 45 45 45 Pavement and Shoulder Width 60 60 60

(Sumber: Horonjeff, 1993)

3.7 Perhitungan Dimensi Apron

Dalam menentukan dimensi apron harus mengacu pada tabel yang tercantum

pada Tabel 3.10 dan 3.11. Tabel 3.10 Wing Span Clearance (c)

Code Letter Aircraft Wing Span Clearance

A Up to but including 15 m (49 ft) 3,0 m (10 ft)

B 15 m (49 ft) up to but not including 24 m (79 ft) 3,0 m (10 ft)

C 24 m (79 ft) up to but not including 36 m (118 ft) 4,5 m (15 ft)

D 36 m (118 ft) up to but not including 52 m (171 ft) 7,5 m (25 ft)

E 52 m (171 ft) up to but not including 60 m (197 ft) 7,5 m (25 ft)

(Sumber: Basuki 1986)

Tabel 3.11 Posisi Parkir Pesawat – Jarak Pemisah Minimun

Kode hrurf

untuk

pesawat

udara

Dari garis tengah aircraft

parking position taxiline

ke objek

Dari garis tengah

apron ke objek

Dari ujung sayap

pesawat udara pada

aircraft parking position

ke objek

A 12,0 m 16,25 m 3,0 m

B 16,5 m 21,5 m 3,0 m

C 24,5 m 26,0 m 4,5 m

D 36,0 m 40,5 m 7,5 m

48

Tabel 3.11 Lanjutan

Kode hrurf

untuk

pesawat

udara

Dari garis tengah aircraft

parking position taxiline

ke objek

Dari garis tengah

apron ke objek

Dari ujung sayap

pesawat udara pada

aircraft parking position

ke objek

E 42,5 m 47,5 m 7,5 m

F 50,5 m 57,5 m 7,5 m

*Jarak pemisah minimum adalah 10 meter jika menggunakan parker bebas (free moving)

(Sumber: Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara Nomor: KP 29 Tahun 2014)