bab iii konsep mashlahat dalam hukum islam a....
TRANSCRIPT
59
BAB III
KONSEP MASHLAHAT DALAM HUKUM ISLAM
A. Definisi Mashlahat
Mashlahat (المصلحت) secara bahasa berarti al-manfa’ah atau
manfaat/faidah. Mashlahat merupakan ism al-masdar dari shaluha,
shalaha dan berlawanan kata dengan al-mafsadah (mafsadat) yang berarti
keruskan. Dalam Lisān al-‘Arab sebagaimana dikutip Said Ramdhan Al-
Buthi pada karyanya Dhawābith al-Mashlahah fi al-Syarȋah al-Islāmiyah,
dijelaskan bahwa :
حصيل ء كان بالجلب والتسىا -المصلحت واحدة المصالح، فكل ماكان فيه النفع
فهى جديز بأن –ذائذ، أو بالدفع واال تقاء، كاستبعاد المضار واآلالم للائد واالفى
(al-Buthi, tt : 23) يسمى مصلحت.
“Bentuk jama‟ dari kata maslahat adalah al-mashālih, dan setiap
hal yang di dalamnya terdapat manfaat - seperti halnya mencari
faidah dan kenikmatan atau menolak dan mencegah dengan
menjauhkan dari kesusahan dan bahaya - maka bisa dikatakan
sebagai maslahat.”
Mashlahat menurut ulama ahli fiqih bisa dipahami maksudnya
dengan pernyatan “mashlahat adalah manfaat yang dimaksudkan oleh
pembuat hukum (al-syāri’) untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan
harta benda dengan menetapkan peraturan-peraturan secara urut dan jelas”
(al-Buthi, tt : 23).
Secara terminologis, mashlahat telah diberi muatan makna oleh
beberapa ulama ushul al-fiqh. Al-Ghazāli (w.505 H) misalnya
mengatakan bahwa makna dasar dari mashlahat adalah menarik/
60
mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan.
Menurut al-Ghazali, yang dimaksud maslahat dalam terminologi syar‟i
adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syariah) yang
berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan dan harta benda.
Ditegaskan oleh Al-Ghzali bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin
dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut
dikualifikasikan sebagai mashlahat. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai
dengan al-Mafsadah; maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang
dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut
dikualifikasikan sebagai mashlahat (al-Ghazāli, 1997 : 416-417).
Pengertian mashlahat juga dikemukakan oleh Izz al-Dȋn Abd al-
Salām (w.660 H) dalam pandanganya mashlahat itu identik dengan al-
khair (kebajikan), al-naf’ (kebermanfaatan), dan al-husn (kebaikan).
Sementara Najm al-Dȋn al-Tūfi (w. 716 H) berpendapat bahwa mashlahat
dapat ditinjau dari segi urfi dan syar’i. Menurut al-Tūfi dalam arti urfi
maslahat adalah sebab yang membawa kepada kebaikan dan kemanfaatan,
seperti perniagaan yang merupakan sebab yang membawa kepada
keuntungan, sedang dalam arti syar’i mashlahat adalah sebab yang
membawa kepada tujuan al-syāri’ baik yang menyangkut ibadah maupun
muamalah, dan ditegaskan bahwa mashlahat masuk dalam cakupan
maqāshid al-syarȋ’ah (Asmawi, 2010 : 35-36).
61
B. Dasar Kehujahan Mashlahat
Dari berbagai macam kriteria dan pembagian mashlahat yang
penulis kemukakan diatas, ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa
mashlahat al-mua’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum Islam. Kemashlahatan seperti ini termasuk dalam
metode qiyas.1 Jumhur juga bersepakat bahwa mashlahat al-mulgha tidak
dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum Islam karena tidak
ditemukan dalam praktik syarā‟. Adapun terhadap mashlahat al-mursalah,
pada prinsipnya jumhur ulama menerima sebagi salah satu alasan dalam
menetapkan hukum syarā‟. Sekalipun dalam penerapan dan syaratnya
mereka berbeda pendapat. (Harun, 1997 : 120)
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan
mashlahat al-mursalah sebagai dalil, disyaratkan mashlahat tersebut
harus berpengaruh kepada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma‟
yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemashlahatan itu
merupakan „illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau
1 Mashlahat al-mu’tabarah yaitu kemashlahatan yang didukung oleh syarā‟.
Maksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahatan tersebut.
contohnya adalah qiyas Umar ibn al-Khattab terhadap orang yang meminum khamr kepada
orang yang menuduh zina dengan 80 kali deraan. Logikanya adalah seseorang yang meminum
minuman keras apabila mabuk, bicaranya tidak terkontrol dan diduga keras akan menuduh
orang lain berbuat zina. Hukuman untuk seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina
adalah 80 kali deraan (Q.S al-Nur, 24 : 4). Oleh karena itu adanya dugaan keras menuduh
orang lain berbuat zina akan muncul dari orang yang mabuk, maka Umar ibn al-Khattab dan
Ali ibn Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum minuman keras (khamr)
hukumnya sama dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Cara melakukan qiyas
(analogi) ini, menurut ulama ushul fiqih termasuk kemashlahatan yang di dukung oleh syarā‟.
Artinya bentuk dan jenis hukuman dera 80 kali bagi seseorang yang meminum minuman keras
di analogikan kepada hukuman orang yang melakukan tuduhan zina. (Harun, 1997 : 117-118)
62
jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash
sebagai motivasi suatu hukum.2
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahat al-
mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka
dianggap sebagai ulama fiqh paling banyak dan luas menerapkannya.
Menurut mereka mashlahat al-mursalah merupakan induksi dari logika
sekumpulan nash dan bukan dari nash yang terperinci seperti berlaku
dalam qiyas. Untuk bisa menjadikan mashlahat al-mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabillah
mensyaratkan tiga syarat yaitu :
a. Kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syarā‟ dan termasuk
dalam jenis kemashlahatan yang didukung nash secara umum.
b. Kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar
perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahat al-
mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari
atau menolak kemudharatan.
2 Contoh jenis sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah Rasulullah
SAW melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota dengan maksud untuk
membeli barang mereka, sebelum petani itu memasuki pasar (HR. al-Bukhari dan Abu Daud).
Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari kemudharatan bagi petani dengan terjadinya
penipuan harga oleh pedagang yang membeli barang petani tersebutdibatas kota. Sifat yang
menjadi dasar larangan ini adalah adanya kemudharatan dan aspek kemudharatan ini
berpengaruh kepada hukum jual beli seperti yang dilakukan pedagang tersebut. jenis
kemudharatan seperti ini juga ada dalam masalah lain seperti masalah dinding rumah yang
hampir rubuh ke jalan karena kondisi dinding itu bisa member mudharat kepada orang lain.
Kemudharatan petani dalam jual beli diatas menurut ulama Hanafiyah sejenis dengan
kemudharatan dinding yang hampir roboh tersebut. oleh sebab itu motivasi hukum („illah)
dalam masalah jual beli diatas, yaitu sama-sama member mudharat. Menghilangkan
kemudharatan, bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan syarā‟ yang wajib dilakukan.
Menolak kemudharatan itu termasuk kedalam konsep mashlahah al-mursalah. Dengan
demikian, ulama Hanafiyah menerima mashlahah al-mursalah, sebagai dalil dalam
menetapkan hukum dengan syarat sifat kemashlahatan itu sama dengan kemashlahatan yang
didukung oleh nash. (Nasroen Harun, 1997 : 121)
63
c. Kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan
kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu (Harun, 1997 :
122).
Ulama golongan Syafi‟iyah pada dasarnya juga menggunakan
mashlahah al-mursalah sebagai salah satu dalil syarā‟. Akan tetapi al-
Syafi‟i memasukkannya kedalam qiyas. Misalnya Ia meng-qiyaskan
hukuman bagi peminum khamr kepada hukuman bagi orang yang
menuduh zina, yaitu sebanyak 80 kali deraan, karena orang yang mabuk
akan mengigau dan dalam pengigauanya di duga keras akan menuduh
orang lain berbuat zina. (Nasroen Harun, 1997 : 123)
Dengan demikian, jumhur ulama sepakat bahwa mashlahah al-
mursalah sebagai salah satu metode dalam menginstinbathkan hukum
Islam. dalil yang dijadikan hujjah dalam menetapkanya antara lain adalah:
1. Induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung kemashlahatan bagi manusia, antara lain adalah Q.S al-
Anbiya, ayat (107) :
Artinya : “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Departemen
Agama, 1971 : 508)
Menurut jumhur ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat
apabila bukan dalam rangka memenuhi kemashlahatan umat manusia.
Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnnah
64
Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemashlahatan
umat manusia, di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan
mashlahat terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung
kemashlahatan adalah legal.
2. Kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan
tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari‟at Islam
terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa
perbuatan sahabat, seperti Abu Bakar mengumpulkan al-Quran atas
saran Umar ibn al-Khattab sebagai salah satu kemashlahatan untuk
melestarikan al-Quran dan menuliskan al-Quran pada satu logat bahasa
di zaman „Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadinya
perbedaan bacaan al-Qur‟an itu sendiri (Harun, 1997 : 124).
Berbeda dengan jumhur ulama, al-Thūfi berpendapat bahwa
seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah mashlahat
(kemashlahatan) bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk
kemashlahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh
nash tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nash.
Mashlahat menurutnya merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri
dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syarā‟. Ada empat
prinsip yang dianut oleh al-Thūfi tentang mashlahat yang menyebabkan
pandanganya berbeda dengan Jumhur ulama yaitu :
1. Akal bebas menentukan kemashlahatan dan kemafsadatan
(kemudharatan), khususnya di bidang mu‟amalat dan adat. Untuk
65
menentukan sesuatu (termasuk kemashlahatan atau kemudharatan)
cukup dengan akal. Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama yang
mengatakan bahwa sekalipun kemashlahatan dan kemudaharatan itu
dapat dicapai dengan akal, namun kemashlahatan itu harus mendapat
dukungan dari nash atau ijma‟, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2. Mashlahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh
sebab itu, untuk kehujahhan mashlahat tidak perlu dalil pendukung
karena mashlahat itu di dasarkan kepada pendapat akal semata.
3. Mashlahat hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat
kebiasaan, adapun dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang
ditetapkan syarā‟, seperti shalat dzuhur empat raka‟at, puasa selama
satu bulan lamanya, tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk
obyek mashlahat, karena mashlahat-mashlahat seperti ini merupakan
hak Allah semata.
4. Mashlahat merupakan dalil syarā‟ paling kuat. Oleh sebab itu, ia juga
mengatakan apabila nash, atau ijma‟ bertentangan dengan mashlahat
maka di dahulukan mashlahat dengan cara men-takhsȋs nash tersebut
(pengkhususan hukum) dan bayān (perincian penjelasan). (Harun,
1997 : 124)
Penolakan kehujjahan mashlahat datang dari ulama Zhahȋriyah
dan Syȋ‟ah. Menurut mereka, apabila mashlahat dapat diterima sebagai
dalil syarā‟, maka akan mengakibatkan hilangnya kesucian hukum-hukum
syarā‟, disebabkan unsur subyektif yang akan timbul dalam menetapkan
suatu kemashlahatan. Disamping itu, kemashlahatan itu sendiri terletak
66
diantara dua kemungkinan, yaitu kemungkinan di dukung syarā‟ dan
kemungkinan ditolak syarā‟. Sesuatu yang keberadaanya masih dalam
kemungkinan, tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
(Harun, 1997 : 128)
C. Mashlahat dan Maqāshid al-Syarȋ’ah
Secara etimologi maqāshid al-syarȋ’ah, merupakan istilah
gabungan dari dua kata yaitu maqāshid dan al-syarȋ’ah. Maqāshid adalah
bentuk plural dari qashd, maqshad yang merupakan derivasi dari kata
kerja qhasada, yaqshidu, qashdan yang maknanya bisa berarti menuju
arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas. Sementara al-
syarȋ’ah secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Menurut ar-
Raisyuni menyatakan bahwa al-syarȋ’ah bermakna sejumlah hukum
„amaliyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan
konsepsi aqidah maupun legislasi hukumnya (Jamhar, 2012 : 51).
„Allāl al-Fāsy, sebagaimana dikutip Basro Jamhar mendefinisikan
maqāshid al-syarȋ’ah sebagai tujuan yang dikehendaki syara’ dan rahasia-
rahasia yang ditetapkan oleh Syāri’ (pembuat hukum) dalam menetapkan
hukum terhadap hamba-Nya. Adapun inti dari maqāshid al-syarȋ’ah
adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan,
atau menarik manfaat dan menolak mudharrat, atau dengan kata lain
adalah untuk mencapai kemashlahatan, karena tujuan penetapan hukum
dalam Islam adalah untuk menciptkan kemashlahatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara‟ (Jamhar, 2010 : 52).
67
Sumber hukum Islam utama yang menjadi konsensus para ulama
adalah al-Qur‟an dan Al-Hadȋts . Sebagai sumber utama hukum Islam Al-
Qurȃn telah meletakkan dasar-dasar pokok dan prinsip-prinsip umum
hukum Islam. salah satu diantaranya yang paling dominan adalah prinsip
mashlahat. Pada umumnya ayat-ayat yang berkaitan dengan legislasi
hukum (tasyri’) selalu menjadikan mashlahat sebagai faktor penentunya.
Atas dasar itu para ulama mengambil kesimpulan bahwa mashlahat
merupakan tujuan inti/pokok legislasi dalam hukum Islam.
Dilihat dari sudut pandang “kerasulan” (tujuan utama di
turunkanya utusan/rasul), dapat diketahui bahwa syariat Islam diturunkan
oleh Allah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara
keseluruhan. Hal ini disebut secara jelas dalam surat Al-Anbiya‟ ayat 107
yang berbunyi :
Artinya : “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (Departemen Agama, 1971 : 508)
Menurut Alaiddin Kotto, alam adalah apa-apa selain Allah. Oleh
sebab itu, kerasulan Muhammad tersebut bukan hanya untuk manusia
semata melainkan juga untuk mahluk Allah lainya. Namun demikian,
mahluk itu pada umumnya diciptakan Allah untuk manusia, maka dalam
hal ini al-Syatibi berpendapat inti pokok syariat Allah adalah untuk
manusia (Kotto, 2006 : 121).
68
Al-Syatibi dalam al-Muwāfaqāt fȋ Ushūl al-Syarȋ’ah
mengemukakan bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah
untuk kemashlahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Kemashlahatan
itu akan terwujud dengan cara terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat dharuriyyat, hajiyyat dan terealisasinya kebutuhan tahsiniyyat bagi
manusia itu sendiri.3
Pada dasarnya, ulama ahli ushul menamakan mashlahah sebagai
tujuan Allah selaku Pencipta Syariat (qhasd al-Syȋri’). Jadi secara teologis
pakar ushul fiqh menerima paham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan-Nya. Hal ini sebenarnya
merupakan masalah yang diperselisihkan dalam teologi Islam, bahkan
menjadi perbincangan dalam filsafat (Hamka Haq, 2007 : 78).
3 Kebutuhan dharuriyyat, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia yang harus ada demi kemashlahatan mereka. Hal-hal tersebut mencakup lima sendi
utama yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Bila sendi itu tidak ada atau tidak
terpelihara secara baik, kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatanya tidak terwujud
dengan baik di dunia maupun akhirat. Menurut al- Ghazali, yang menjadi inti pokok dari apa
yang dimaksud dengan mashlahat. Dengan kata lain, mashlahat itu adalah segala bentuk
perbuatan yang mengacu kepada terpeliharanya lima kebutuhan paling mendasar bagi manusia
seperti disebutkan diatas. Kebutuhan hajiyyat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan
oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya ketiadaan
aspek hajiyyat, ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak,
melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Perinsip utama aspek ini
adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif dan memudahkan urusan
manusia. Untuk maksud ini, Islam menetapkan sejumlah ketentuan-ketentuan dalam beberapa
bidang, salah satunya adalah ‘uqūbat. Islam menetapkan kewajiban membayar denda (diyat)
bukan qishās bagi orang yang melakukan pembunuhan secara tidak sengaja, menawarkan hak
pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap yang membunuh anaknya.
Kebutuhan tahshiniyāt adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan
dengan al-mukarrim al-akhlāq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang
ibadah, adat dan muamalah. Artinya seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan
manusia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyyat dan
juga tidak akan membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hajiyyat. Namun
ketiadaan aspek ini menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal
sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatutan, dan menurunkan martabat pribadi masyarakat
(Kotto, 2006 : 122-125).
69
Dalam filsafat agama, terdapat satu paham yang berpendapat
bahwa segala kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa dirancang
sebelumnya. Paham ini disebut okkosionalisme.4 Menurut paham ini jika
ada peristiwa yang kelihatanya serasi dan sejalan, hal itu sebenarnya
terjadi secara seketika karena Tuhan memang menjadikan keduanya
demikian, seperti dua buah jam yang dapat menunjukkan waktu yang sama
karena sang pembuat menjadikanya demikian.
Majid Fakhri berpendapat bahwa paham ini dikembangkan oleh
Asy‟ariyyah yang dasar pemikirannya memandang bahwa Tuhan sebagai
penguasa langit dan bumi yang segala kemauan-Nya tidak dapat ditolak
dan tidak dapat dijangkau akal. Tuhan dapat berbuat sesuatu tanpa tujuan
tertentu. Intinya segala kejadian di alam ini tergantung sepenuhnya pada
kehendak mutlak Tuhan.
Sebaliknya, Mu‟tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam mengadakan syariat, yaitu untuk menjaga kemashlahatan
manusia (mashālih al-‘ibād). Dengan menggunakan metode induksi al-
Syatibi sependapat dengan Mu‟tazilah bahwa Tuhan mengirimkan syariat
dengan tujuan untuk menjaga kemashlahatan manusia.
Pandangan al-Syatibi dan Mu‟tazilah sangat sejalan dengan
argumen teologis yang dipakai dalam filsafat agama untuk membuktikan
adanya Tuhan. Argumen ini berdasar pada keteraturan benda-benda dan
4 FR. Tenant sebagaimana dikutip Hamka Haq menjelaskan bahwa menurut paham
ini, manusia hanyalah penonton terhadap gerakan-gerakan jasmani yang digerakkan
sepenuhnya oleh Tuhan. Selanjutnya paham ini dikembangkan oleh Melebrence (1638-1715
M) yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara dua peristiwa yang tampaknya
merupakan rangkaian sebab akibat (Hamka Haq, 2007 :126).
70
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada alam semesta yang mengarah pada
tujuan tertentu yaitu kebaikan universal. Untuk itu, pasti ada dzat yang
menentukan tujuanya yaitu Tuhan.
Dalam argumen ini, Tuhan dipandang Maha Bijaksana dan
mempunyai maksud tertentu dalam perbuatan-Nya. Dengan demikian,
segala peristiwa dan apa saja yang ada dalam ala mini tidak terjadi begitu
saja, tetapi Tuhan membuat suatu rencana untuk satu tujuan tertetu, yaitu
kemashlahatan. (Hamka Haq, 2007 : 79-80).
Mashlahat yang diwujudkan manusia adalah untuk kebaikan
manusia itu sendiri, bukan untuk kepentingan Allah. Namun demiian,
manusia tidak boleh menurutkan nafsunya, tetapi harus bedasar pada
syariat Allah. Hal ini karena syariat diadakan untuk kemashlahatan
manusia maka perbuatan manusia hendaklah mengacu pada syariat.
Al-Syatibi menjelaskan bahwa mashlahat bersifat universal,
berlaku umum dan abadi atas seluruh manusia dan dalam segala keadaan.
Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas syariat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bahwa setiap aturan (nidzam) bagi kemashlahatan diciptakan tuhan
secara harmonis dan tidak saling berbenturan. Jika aturan itu tidak
harmonis dan saling bertentangan, Tuhan tentu tidak mensyariatkanya,
karena hal itu lebih tepat disebut dengan sumber keruskan (al-
mafsadah), sedangkan Tuhan menghendaki kemashlahatan secara
mutlak. Teori keharmonisan tatanan alam sangat sejalan dengan
argument filosofis, yaitu bahwa jika dunia diamati, kita menemukan
71
adanya hukum keteraturan universal. Bedasarkan hal ini, dapat
diketahui bahwa perbuatan Tuhan mestilah menghendaki
keharmonisan dalam berbagai proses peristiwa di alam ini.
2. Kemashlahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan
hanya berlaku secara khusus pada satu tempat tertentu saja. Untuk itu
syariat berlaku secara umum pula. Hal ini sesuai dengan QS. al-Sabā‟
ayat 28 :
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui.” (Departemen Agama, 1971 : 688)
Selain itu manusia memiliki kesamaan tabiat dan kecenderungan
kepada mashlahat. Jika hukum syariat itu berlaku secara khusus atas
sebagian manusia saja maka kaidah pokok ajaran Islam seperti iman,
tidak berlaku secara umum pula.
3. Mashlahat universal (kulliyah) adalah mashlahat yang diterima secara
umum. hal ini sesuai dengan sifat syariat yang di maksudkan Tuhan
untuk berlaku secara umum menurut kondisi manusia (‘ādah). Jika
pertentangan antara mashlahat universal dan mashlahat parsial, maka
mashlahat universal yang berlaku. Universalitas mashlahat tidak
hilang meski bertentangan dengan kenyataan parsial. Misalnya
kewajiban memelihara jiwa secara universal tetap berlaku meski
dengan jalan menghilangkan jiwa seseorang melalui qishāsh.
72
4. Kaidah-kaidah pokok mashlahat universal bersifat tegas dan pasti
(qhat’i) bukan bersifat samar atau tidak pasti (mutasyābih). Al-Syatibi
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah pokok disini
adalah kaidah dalam teologi ushūl al-dȋn dan ushūl fiqh.
5. Kaidah-kaidah mashlahat universal tidak berlaku padanya nashakh
(pembatalan). Nasakh hanya terjadi pada kaidah-kaidah parsial,bahkan
para ahli ushul mengakui dalam setiap agama meski dalam cara yang
berbeda-beda.
Bedasarkan argumen diatas, diketahui bahwa universalitas
mashlahat dan syariat mengandung arti keharmonisan dan keutuhan
hukum Tuhan, yaitu tidak ada kontradiksi antara satu bagian dan bagian
yang lain. Teori keharmonisan seperti ini sebenarnya dianut oleh
Mu‟tazilah yang dalam hal ini menyatakan bahwa perbuatan Tuhan
bersifat harmonis dari segi strukturnya, maka tidak lepas pula dari kaitanya
dengan hukum taklif dan mukkallaf. Segala perbuatan Tuhan tidaklah
mengacaukan dua hal (hukum taklif dan mukallaf) dan tidak membawa
mukallaf keluar dari kesungguhan berbuat. Demikian itulah disebut
dengan harmonis (Hamka Haq, 2007 : 81-84).
Fazlur Rahman juga menerima konsep keharmonisan ciptaan dan
hukum-hukum Tuhan. Menurutnya, kehidupan manusia tidak bermakna
kecuali jika ala mini sendiri punya tujuan. Tujuan itu terdapat suatu
rancangan pada ala mini, sedang rancangan itu sendiri ada karena Allah
menciptkanya. Lebih dari itu Fazlur Rahman menyatakan bahwa ala mini
tidak hanya merupakan satu tatanan fisik tetapi juga merupakan satu
73
tatanan moral. Dengan kata lain, ala mini tidak tersusun atas fakta-fakata
empirik bedasarkan kausalitas, tetapi juga adalah suatu dunia moral yang
didalamnya kemashlahatan (goodness) menjadi jalan sebaik-baiknya bagi
perilaku manusia (Hamka Haq, 2007 : 85).
Dari berbagai macam argumen diatas, dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa Tuhan mempunyai tujuan tertentu dalam perbuatan-
Nya dan tujuan utama adanya syariat yang bersumber dari Tuhan adalah
untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat (mashālih
al-‘ibād fȋ al-dunya wal al-akhirah).
D. Mashlahat sebagai Metode Istinbat Hukum
Metode istinbat hukum dengan dasar mashlahat, lebih sering
dikenal dengan metode istishlāh. Sebagaimana metode ijtihad lainya,
istishlāh juga merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya tidak
diatur secara eksplisit dalam sumber utama syariah yaitu Al-Quran dan
Al-Hadits. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek
mashlahat secara langsung.
Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu ushul fiqih dikenal
ada tiga macam mashlahat yaitu mashlahat al-mu’tabarah, mashlahat al-
mulgah, dan mashlahat al-mursalah.5 Mashlahat al-mu’tabarah adalah
5 Pembagian mashlahat dalam segi ini adalah pembagian dari adanya pengakuan
syarā‟. Maslahat yang mu’tabarah yaitu mashlahat yang secara khusus mendapatkan
pengakuan syarā’, mashlahat jenis ini merupakan al-hujjah as-syar’iyyah dan buahnya adalah
qiyas yang mengandung makna memetik hukum dari kandungan makna logis suatu nash dan
ijma’. Kedua maslahat mulghah yaitu mashlahat yang secara tegas mendapat dalil
penolakanya. Al-Ghazālimencontohkan mashlahat mulgha yang terjadi pada kasus fatwa
seorang ulama kepada seorang raja yang menyetubuhi istrinya disiang hari pada bulan
Ramadhan . Ketiga mashlahat mursalah yaitu mashlahat yang tidak terdapat dalil dari syarā‟
yang secara khusus mengakui maupun menolaknya. Jumhur ulama ushul sepakat bahwa
74
mashlahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam al-Quran
maupun dalam al-Hadits. Sedangkan mashlahat al-mulgah adalah
mashlahat yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam
kedua sumber hukum Islam al-Quran dan al-Hadits. Mashlahat al-
mursalah yaitu mashlahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber
tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya (al-Quran dan al-
Hadits) (Djamil, 1997 : 141).
Imam Al-Ghazāli dalam al-Mustashfā min ‘Ilm al-Ushūl,
menetapkan beberapa syarat agar mashlahat dapat dijadikan sebagai dasar
hukum. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kemashlahatan itu termasuk kategori peringkat dharuriyyat.6Artinya
bahwa untuk menetapkan suatu kemashlahatan, tingkat keperluan-nya
harus diperhatikan. Apakah akan sampai mengancam eksistensi lima
unsur pokok mashlahat atau belum sampai pada batas tersebut.
mashlahat mursalah bisa dijadikan hujjah syariyyah. Untuk menggunakan metode ini para
ulama memberikan syarat. Imam malik memberikan persyaratan pertama mashlahat tersebut
harus bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang
ditetapkan. Kedua mashlahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang dharuri dan
menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj) dengan menghilangkan masyaqqat dan madharat.
Ketiga maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud yang di syariatkan huku (maqashid al-
syariat) (Fathurrahman Djamil, 1997 : 141). 6 Di sisi lain, al-Ghazāli juga mengkategorisasikan mashlahat berdasarkan kekuatan
subtansinya (quwwatiha fi dzātiha), dimana mashlahat itu dibedakan menjadi tiga, yaitu
mashlahat tingkat dharuriyyat, mashlahat tingkat hajjiyāt dan mashlahat tingkat tahsiniyāt.
Masing-masing bagian disertai oleh mashlahat penyempurna/pelengkap (takmiliah).
Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (al-ushūl al-khamsah) yang berada pada tingkatan
daruriyyat merupakan tingkatan tertinggi dari mashlahat. Kelima tujuan/prinsip dasar
mencakup memelihara (hifdz al-dȋn), memelihara jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal pikiran
(hifdz al-‘aql), memelihara keturunan (hifdz al-nasl) dan memelihara harta kekayaan (hifdz al-
mal). Pandangan al-Ghazāli tentang al-ushūl al-khamsah ini disempurnakan lagi oleh Syihab
al-Dȋn al-Qarāfi dengan menambahkan satu tujuan/prinsip dasar lagi yakni memelihara
kehormatan diri (hifdz al ‘ird) meskipun diakui sendiri oleh al-Qarāfi bahwa hal ini menjadi
bahan perdebatan para ulama. Pandangan ini nampaknya cukup berdasar lantaran adanya teks
suci syariah yang secara eksplisit melarang al-qadzaf (tindakan melempar tuduhan palsu zina
terhadap orang lain) dan sekaligus mengkriminalisasikanya (Asmawi, 2010 : 51).
75
b. Kemashlahatan itu bersifat qath’i. Artinya, yang dimaksud dengan
mashlahat tersebut benar-benar telah diyakini sebgai mashlahat tidak
pada dugaan atau dzan semata.7
c. Kemaslahatan itu bersifat kullȋ. Artinya bahwa kemaslahatan itu
berlangsung secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual.
Apabila mashlahat itu bersifat individual, maka al-Ghazāli
mensyaratkan mashlahat tersebut harus sesuai dengan maqhasid al-
syari’at (Djamil, 1997 : 142).
Bedasarkan persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh para
ahli ushūl al- fȋqh diatas, dapat dipahami bahwa hubungan antara metode
istishlāh dengan maqāshid al-syari’ah sangatlah erat. Imam Malik
mengungkapkan bahwa mashlahat itu harus sesuai dengan tujuan
disyariatkanya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan
kesulitan, jelas memperkuat asumsi ini. Begitu pula dengan syarat
pertama yang di kemukakan Al-Ghazāli bahwa yang dimaksud
memelihara aspek daruriyyat adalah untuk memelihara lima unsur pokok
mashlahat yang berupa agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Djamil,
1997 : 143).
7 Husain Hamid Hisan dalam nadzariyat al-mashlahat fi al-Fiqh al-Islāmi,
sebagaimana dikutip Bazro Jamhar menjelaskan bahwa ditinjau dari sisi cakupanya, mashlahat
dibagi menjadi tiga jenis yang pertama, berkaitan dengan semua orang. Seperti menjatuhkan
hukuman mati terhadap pembuat bid‟ah merupakan kemashlahatan yang berhubungan erat
dengan semua orang, sebab akibat perbuatanya dapat mengakibatkan kemudharatan bagi senua
orang. Kedua, mashlahat yang berkaitan dengan mayoritas (kebanyakan) orang, tetapi tidak
bagi semua orang. Seperti orang yang mengerjakan bahan baku pesanan orang lain untuk
dijadikan sebagai barang jadi atau setengah jadi, wajib mengganti bahan baku yang dirusaknya.
Kewajiban ini diberlakukan jika kenyataan menunjukkan pada umumnya penerimaan pesan
tidak berhati-hati dalam pekerjaanya. Ketiga, mahslahat yang berkaitan dengan orang-orang
tertentu. Hal ini sebenarnya jarang terjadi, seperti adanya kemashlahatan bagi seorang istri agar
hakim menetapkan keputusan fasakh karena suaminya dinyatakan hilang (mafqud) (Jamhar,
2012 : 57).