bab ii.docx

38
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batu Bata Batu bata merupakan salah satu bahan material sebagai bahan pembuat dinding, yang terbuat dari tanah liat atau tanah lempung yang dibakar sampai berwarna kemerah merahan. Tidak semua jenis tanah liat dapat digunakan untuk pembuatan batu bata. Jenis tanah liat yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu bata hanyalah yang memiliki cukup kandungan pasir dan terasa berlemak saat dipegang. Hingga saat ini batu bata telah menjadi bagian dari sebagian besar rumah yang ada di Indonesia. Dengan berbagai keunggulannya, tidak heran jika batu bata ini masih bertahan untuk menjadi bagian dari rumah kita. Dimana batu bata memeiliki keunggulan yaitu murahj, mudah didapat, memiliki warna yang khas, kuat, serta penolak panas yang baik (Susanta, 2007). Secara umum terdapat 2 jenis batu bata, yaitu batu bata pres dan batu bata konvensional. Pembuatan

Upload: jacob-jones

Post on 22-Jun-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batu Bata

Batu bata merupakan salah satu bahan material sebagai bahan pembuat dinding,

yang terbuat dari tanah liat atau tanah lempung yang dibakar sampai berwarna

kemerah merahan. Tidak semua jenis tanah liat dapat digunakan untuk pembuatan

batu bata. Jenis tanah liat yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku

pembuatan batu bata hanyalah yang memiliki cukup kandungan pasir dan terasa

berlemak saat dipegang. Hingga saat ini batu bata telah menjadi bagian dari

sebagian besar rumah yang ada di Indonesia. Dengan berbagai keunggulannya,

tidak heran jika batu bata ini masih bertahan untuk menjadi bagian dari rumah

kita. Dimana batu bata memeiliki keunggulan yaitu murahj, mudah didapat,

memiliki warna yang khas, kuat, serta penolak panas yang baik (Susanta, 2007).

Secara umum terdapat 2 jenis batu bata, yaitu batu bata pres dan batu bata

konvensional. Pembuatan batu bata pres menggunakan bantuan mesin- mesin.

Hasilnya adalah batu bata yang memiliki tekstur halus, memiliki ukuran yang

sama dan terlihat lebih rapi. Sedangkan batu bata konvensional dibuat dengan

cara tradisional dan menggunakan alat- alat yang sederhana. Proses

pembuatannya tanah liat atau tanah lempung yang telah dibersihkan, diberi sedikit

air dan selanjutnya dicetak menjadi bentuk kotak-kotak. Cetakan batu bata

biasanya terbuat dari kayu yang secara sederhana dibuat menjadi kotak. Adonan

yang telah dicetak, dikeluarkan dan dijemur di bawah matahari sampai kering.

Page 2: BAB II.docx

Batu bata yang sudah kering kemudian disusun menyerupai bangunan yang tinggi

kemudian dibbakar dalam jangka waktu yang cukup lama, kurang lebih 3 hari.

Sampai batu bata terlihat sedikit hangus. Suhu api pada saat pembakaran dapat

mencapai 1000 derajat Celcius. Dalam pembakaran batu bata biasa menggunakan

kayu atau sekam yang akan membuat batu bata memiliki lubang- lubang kecil

menyerupai pori-pori. Salah satu cirri dari batu bata konvensional adalah bentuk

yang tidak selalu sama, tidak rapid an bertekstur kasar. Ini dapat dipahami karena

pembuatan batu bata konvensional menggunakan alat- alat yang sederhana dan

lebih mengutamakan sumber daya manusia dalam pembuatannya (Dewi Pujiani,

2011).

Di pasaran terdapat bermacam-macam ukuran batu bata. Umumnya batu bata

yang diperjualbelikan berukuran tebal atau tinggi 3 - 5 cm, lebar 7 - 11 cm,

panjang 17 - 22 cm, serta berat ± 3 kg / biji. Ukuran batu bata ini tergantung dari

merek dan daerah asalnya (Dewi Pujiani, 2011).

2.2 Konsep Dasar Ergonomi

2.2.1 Pengertian dan Tujuan Ergonomi

Ergonomi berasal dari kata Yunani ergon (kerja) dan nomos (aturan), secara

keseluruhan ergonomi berarti aturan yang berkaitan dengan kerja. Ada beberapa

definisi tentang ergonomi yang dikeluarkan oleh para pakar dibidanngnya antara

lain:

a. Ergonomi adalah ilmu, seni, dan penerapan teknologi untuk menyerasikan

atau menyeimbangkan segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas

Page 3: BAB II.docx

maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik

maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi baik

(Tarwaka, dkk, 2004).

b. Ergonomi adalah ilmu serta penerapannya yang berusaha untuk

menyeserasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya

dengan tujuan tercapainya produktifitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya

melalui pemanfaatan manusia seoptimal- optimalnya (Suma’mur P.K, 2009).

Tujuan ergonomi adalah meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental

melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban

kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja. Meningkatkan

kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial dan

mengkoordinir kerja secara tepat, guna meningkatkan jasmani social baik selama

kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. Menciptakan

keseimbangan yang rasional antara aspek teknis, ekonomis, dan antropologis dari

sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup

yang tinggi. (Tarwaka.dkk, 2004)

2.2.2 Metode dan Prinsip Ergonomi

1. Metode

Terdapat beberapa metode dalam pelaksanaan ilmu ergonomi.

Metode-metode tersebut antara lain (Suma’mur P.K, 2009).

a. Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja, inspeksi

tempat kerja penilaian fisik pekerja, uji pencahayaan, ergonomic checklist

Page 4: BAB II.docx

dan pengukuran lingkungan kerja lainnya. Variasi akan sangat luas mulai

dari yang sederhana sampai kompleks.

b. Treatment, pemecahan masalah ergonomi akan tergantung data dasar pada

saat diagnosis. Kadang sangat sederhana seperti merubah posisi mebel,

letak pencahayaan atau jendela yang sesuai dengan dimensi fisik pekerja.

c. Follow- up, dengan evaluasi yang subyektif misalnya dengan menanyakan

kenyamanan, bagian badan yang sakit, nyeri bahu dan siku, keletihan, sakit

kepala dan lain-lain. Dan secara obyektif misalnya dengan parameter

produk yang ditolak, absensi sakit, angka kecelakaan dan lain-lain.

2. Prinsip

Memahami prinsip ergonomic akan mempermudah evaluasi setiap tugas atau

pekerjaan meskipun ilmu pengetahuan dalam ergonomic terus mengalami

kemajuan dan teknologi yang digunaka dalam pekerjaan tersebut terus

berubah. Prinsip ergonomi adalah pedoman dalam menerapkan ergonomi di

tempat kerja. Adapun prinsip ergonomic yaitu bekerja dalam posisi atau postur

normal, mengurangi beban berlebihan, menempatkan peralatan agar selalu

berada dalam jangkauan, bekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh,

mengurangi gerakan berulang dan berlebihan, meminimalisasikan gerakan

statis, hindari sikap kerja paksa upayakan bekerja dengan sikap alamiah,

menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, melakukan gerakan peregangan

saat bekerja untuk mengurangi rasa lelah (Tarwaka.dkk, 2004).

Page 5: BAB II.docx

2.2.3 Pengelompokan Ergonomi

Pengelompokkan bidang kajian ergonomi yang secara lengkap dikelompokan

sebagai berikut (Suma’mur P.K, 2009).

a. Faal kerja, yaitu bidang kajian ergonomic yang meneliti energi manusia yang

dikeluarkan dalam suatu pekerjaan. Tujuan dan bidang kajian ini adalah untuk

perancangan sistem kerja yang dapat meminimasi konsumsi energi yang

dikeluarkan saat bekerja.

b. Antropometri, yaitu bidang kajian ergonomi yang berhubungan dengan

pengukuran dimensi tubuh manusia untuk digunakan dalam perancangan

peralatan dan fasilitas sehingga sesuai dengan pemakaianya.

c. Biomekanika yaitu hubungan bidang kajian ergonomic yang berhubungan

dengan mekanisme tubuh dalam melakukan suatu pekerjaan, misaalnya

keterlibatan otot manusia dalam bekerja dan sebagainya.

d. Penginderaan, yaitu bidang kajian ergonomic yang erat kaitannya dengan

masalah penginderaan manusia, baik indera penglihatan, penciuman, perasa

dan sebagainya.

e. Psikologi kerja, yaitu bidang kajian ergonomic yang berkaitan dengan efek

psikologis dan suatu pekerjaan terhadap pekerjaannya, misalnya terjadi stress,

kelelahan kerja (kelelahan umum) daan lain sebagainya.

Pada prakteknya, dalam mengevaluasi suatu sistem kerja secara ergonomi,

kelima bidang kajian tersebut digunakan secara sinergis sehingga didapatkan

suatu solusi yang optimal, sehingga seluruh bidang kajian ergonomi adalah

Page 6: BAB II.docx

suatu sistem terintegrasi yang semata- mata ditujukan untuk perbaikan kondisi

pekerjanya.

2.3 Beban Kerja

2.3.1 Definisi Beban Kerja

Beban kerja atau work load adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus

diselesaikan oleh tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu (Eko Nurmianto,

2004). Setiap pekerjaan merupakan beban bagi yang melakukan pekerjaan

tersebut, baik itu berupa beban fisik, mental maupun sosial. Kemampuan Kerja

setiap orang berbeda- beda tergantung dari tingkat ketrampilan, kesegaran

jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh masing- masing

pekerja. Maka dari itu setiap beban kerja yang diterima harus seimbang atau

sesuai baik itu terhadap kemampuan fisik, kognitif, maupun keterbatasan manusia

menerima beban tersebut (Suma’mur P.K, 2009).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja

Menurut Tarwaka (2004) secara umum beban kerja dan kapasitas kerja

dipengaruhi oleh faktor yang kompleks, baik itu eksternal dan internal.

1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh

pekerja, sering disebut dengan stressor. Yang termasuk beban kerja eksternal

adalah:

a. Tugas- tugas (task) yang dilakukan bersifat fisik seperti, stasiun kerja, tata

ruang tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja, sikap

Page 7: BAB II.docx

kerja, sarana informasi termasuk display dan kontrol, alur kerja dan lain-

lain.

b. Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti, lamanya

waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem

pengupahan, sistem kerja, model struktur organisasi, pelimpahan tugas

dan wewenang.

c. Lingkungan kerja dapat memberikan beban tambahan pada pekerja adalah:

i. Lingkungan kerja fisik seperti: mikroklimat (suhu udara,

kelembaban udara, kecepatan rambat udara dan suhu radiasi),

intensitas penerangan, intensitas kebisingan, vibrasi mekanis dan

tekanan udara.

ii. Lingkungan kerja kimiawi seperti: debu, gas- gas pencemar udara,

uap logam, fume dalam udara dan lain- lain.

iii. Lingkungan kerja biologis seperti: bakteri, virus dan parasit, jamur,

serangga.

iv. Lingkungan kerja psikologis seperti: pemilihan dan penempatan

tenaga kerja, hubungan antara pekerja dengan pekerja, pekerja

dengan atasan, pekerja dengan keluarga dan pekerja dengan

lingkungan sosial yang berdampak kepada performansi kerja di

tempat kerja.

Page 8: BAB II.docx

2. Faktor Internal

Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu

sendiri sebagai akibat reaksi dari beban kerja eksternal. Reaksi tersebut

disebut strain. Faktor internal meliputi:

a. Faktor somatis ( jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan dan

status gizi).

b. Faktor psikis ( motivasi, persepsi, kepercayaan, keiinginan dan kepuasan).

2.3.4 Penilaian Beban Kerja

Jenis pekerjaan sebagai produsen batu bata lebih bersifat kerja fisik. Sikap kerja

dalam proses pembuatan batu bata terdiri dari sikap kerja berdiri, membungkuk,

jongkok dengan arah mundur secara berulang-ulang. Hal demikian menyebabkan

pengerahan tenaga lebih besar yang menyebabkan beban kerja fisik lebih besar.

Penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif,

yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode pengukuran langsung

yaitu dengan mengukur energi yang dikeluarkan melalui asupan oksigen selama

bekerja. Semakin berat beban kerja maka semakin banyak energi yang diperlukan

atau dikonsumsi. Meskipun metode dengan menggunakan asupan oksigen lebih

akurat, namun hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan

diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan metode pengukuran tidak

langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama bekerja (Tarwaka,dkk,

2004).

Page 9: BAB II.docx

Berat ringannya beban kerja yang diterima seseorang dapat diukur dengan

menghitung denyut nadi. Denyut nadi per menit menggambarkan proses aktivitas

jantung dalam memompa darah ke luar masuk organ jantung. Semakin besar

frekuensi denyut jantung per menit berarti semakin tinggi aktivitas tubuh sehingga

metabolisme tubuh pun semakin tinggi. Peningkatan nadi kerja umumnya akan

terjadi saat seseorang melakukan pekerjaan yang menguras energi (Adiputra,

2002), ( Suma’mur P.K 2009).

Mengenai kategori beban kerja Pheasant (1991) menjelaskan bahwa salah

satu pendekatan untuk mengetahui kategori berat ringannya beban kerja

didasarkan pada konsumsi oksigen, energi yang terpakai, dan denyut jantung

adalah seperti terlihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi.

Sumber: Pheasant, 1991 hal 29

2.3.5 Denyut Nadi Sebagai Alat Ukur Beban Kerja

Salah adalah telemetri dengan menggunakan rangsangan electrocardio graph

(EEG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia, dapat dicatat secara manual

dengan memakai stopwatch dengan metode 10 denyut ( tens pulse methode).

Kategori Beban

Kerja

Konsumsi

Oksigen

(l/min)

Energi

Terpakai

(Kcal/min)

Denyut

Jantung

(denyut/min)

Ringan <0,5 <2.5 <90

Sedang 0,5-1,0 2.5-5.0 90-110

Berat 1,0-1,5 5.0-7.5 111-130

Sangat Berat 1,5-2,0 7.5-10 131-150

Extreme 2,0-2,5 >10 151-170

Page 10: BAB II.docx

Caranya dengan menentukan berapa lama waktu untuk mendapatkan 10 denyutan

( hitung dari denyut pertama sampai denyut ke- 11) dibagi waktu dalam detik

kemudian dikali 60 detik akan diperoleh denyut per menit (Tarwaka, dkk, 2004).

Penggunaan nadi kerja untuk menilai kategori beban kerja mempunyai

beberapa keuntungan. Selain mudah, cepat, dan murah juga tidak diperlukan

peralatan yang mahal serta hasilnya cukup reliable serta tidak terlalu mengganggu

proses kerja dan tidak menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi

terhadap perubahan pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi. Denyut nadi

segera berubah seirama dengan perubahan pembebanan, baik yang berasal dari

pembebanan fisik ( Adiputra, 2002).

2.3.6 Dampak beban kerja

Manusia dan beban kerja serta faktor- faktor dalam lingkungan kerja merupakan

satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesatuan demikian digambarkan sebagai

roda keseimbangan yang dinamis. Apabila ada keseimbangan yang tidak

menguntungkan, terdapatlah keadaan labil bagi tenaga kerja dan berakibat pada

gangguan daya kerja, kelelahan, gangguan kesehatan bahkan kematian. Penyakit

akibat demikian mungkin berupa perburukan penyakit- penyakit umum dengan

frekuensi angkat dan beban kerjanya meningkat, tapi mungkin pula menjadi

penyakit akibat kerja. Berat beban yang melebihi batas kemampuan fisik yang

menyebabkan kelelahan kerja dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja

seperti keseleo, ketegangan otot dan lain-lain (Suma’mur P.K, 2009).

Berat ringannya beban kerja baik fisik maupun mental dapat mempengaruhi

tingkat kelelahan. Beban kerja fisik yang terlalu berat dapat berakibat cadangan

Page 11: BAB II.docx

energi tubuh sangat berkurang serta penumpukan asam laktat yang berlebihan

sehingga tingkat kelelahan menjadi berat. Beban kerja yang terlalu ringan dan

monoton dalam waktu lama dapat menimbulkan kebosanan dan berakibat

stimulasi elektris sistim inhibisi menjadi lebih kuat, sehingga menurunkan

kemampuan bereaksi dan menimbulkan kecenderungan untuk tidur. Semuanya ini

dapat mengakibatkan kelelahan dalam tingkat yang berat meskipun beban kerja

fisik maupun mental yang harus dijalankan tidak berat (Purnawati, 2006)

2.4 Sikap Kerja

Sikap kerja (posture) adalah sikap dari tubuh manusia saat mereka mengadakan

interaksi dengan suatu peralatan kerjanya. Untuk sikap tubuh dalam keadaan

istirahat pada dasarnya yaitu sikap tubuh yang semua dari bagian tubuh tidak

melakukan interaksi seperti: duduk santai, berdiri, jongkok dan berbaring. Adapun

criteria sikap kerja yang ideal dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan

antara lain adalah sebagai berikut (Pheasant, 1991), (Pujiani Dewi,2011).

1. Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit.

2. Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan

alamiah.

3. Sikap kerja yang berubah- ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja

statis rileks.

4. Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang.

Pada prinsipnya dalam proses pembuatan batako dan batu bata sama. Pada saat

melakukan pekerjaan seperti saat mencetak batu bata tradisional, sikap tubuh

dapat merupakan salah satu atau gabungan dari sikap- sikap tersebut diatas. Untuk

Page 12: BAB II.docx

sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan untuk

melaksanakan pekerjaan dengan tangan efektif dan dengan usaha dari otot yang

sedikit. Secara umum untuk sikap kerja yang berdiri akan lebih baik dari sikap

kerja jongkok, sikap kerja yang bervariasi akan lebih baik dari sikap kerja statis,

dan santai akan lebih baik dari sikap kerja statis dan tegang. Sikap kerja yang

tidak alamiah seperti sikap kerja jongkok yang relatif lama yang terdapat pada

sikap kerja pembuat batu bata akan menyebabkan gangguan sistem

musculoskeletal, tidak diatur sistem istirahatnya, dan dapat menimbulkan

kelelahan kerja. Sikap kerja jongkok yang berkepanjangan adalah merupakan

sikap kerja statis mempunyai kekurangan kalau dibandingkan dengan kontraksi

ototnya (Pujiani Dewi,2011).

1. Memerlukan tenaga yang lebih tinggi dalam usaha yang sama.

2. Denyut nadi meningkat lebih tinggi.

3. Cepat merasakan lelah.

4. Setelah bekerja memerlukan waktu untuk pemulihan yang relative lebih lama.

Sedangkan menurut Pheasant (1991) ada tujuh prinsip dasar dalam

mengatasi sikap tubuh selama bekerja yaitu:

1. Hindari inklinasi kedepan pada tubuh.

2. Hindari penggunaan anggota gerak bagian atas dalam posisi terangkat.

3. Hindari pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin).

4. Hindari inklinasi kedepan pada kepala dan leher.

5. Lengkapi sandaran punggung pada semua tempat duduk.

Page 13: BAB II.docx

6. Bila mungkin persendian hendaknya dalam rentangan atau jangkauan

sepertiga dari gerakan maksimum.

7. Bila menggunakan tenaga otot, hendaknya anggota badan dalam posisi

menghasilkan tenaga yang maksimum.

Sikap kerja dalam proses pencetakan batu bata adalah sikap kerja beridiri

dimulai dari persiapan alat, pembuatan adonan cetakan dari tanah liat, proses

pemadatan. Sedangkan posisi jongkok dan membungkuk dimana sikap kerja ini

pada proses pencetakan dan pemadatan yang kalau dilihat sikap kerja ini adalah

sikap kerja paksa. Sehingga jika lingkungan kerja memungkin untuk melakukan

perubahan sikap kerja dari jongkok menjadi sikap berdiri dengan bantuan meja

kerja untuk meninggikan tempat cetakan batu bata akan menurangi keluhan

subyektif dan kelelahan kerja. Dan apabila tidak memungkinkan untuk

meninggikan tempat cetakan batu bata, pada saat proses pencetakan maka dapat

dilakukan dengan sikap kerja duduk menggunakan kursi kecil atau tingklik untuk

menghindari sikap kerja paksa jongkok. (Wayan Dana, 2002).

2.5 Kelelahan Kerja

2.5.1 Definisi Kelelahan Kerja

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari

kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan

diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan saraf pusat terdapat sistem aktivasi

(simpatis) dan sistem inhibisi ( parasimpatis). Kelalahan menunjukkan kondisi

yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya menyebabkan kehilangan

Page 14: BAB II.docx

efisiensi dan menurunnya kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan

diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum.

Kelelahan otot adalah merupakan perasaan nyeri otot, ditunjukkan melalui gejala

sakit nyeri yang luar biasa seperti ketegangan otot dan daerah sekitar sendi.

Sedangkan kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk

bekerja yang disebabkan oleh monotomi berupa intensitas dan lamanya bekerja,

keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status kesehatan. Tubuh dirasakan

terhambat melakukan aktivitas, kehilangan keinginan untuk melakukan tugas-

tugas fisik maupun mental, merasa berat, ngantuk dan letih. Secara umum gejala

kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat

melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila

rata- rata beban kerja melebihi 30-40 % dari tenaga aerobik (Tarwaka,dkk, 2004).

Menurut Suma’mur P.K (2009) kelelahan kerja adalah kelelahan yang terjadi

pada manusia oleh karena kerja yang dilakukan. Istilah kelelahan biasanya

menunjukkan kondisi berbeda- beda dari setiap individu, tetapi semuanya

bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan

tubuh. Kelelahan (Fatigue) adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam

kehidupan sehari- hari. Istilah kelelahan mengarah pada kondisi melemahnya

tenaga untuk melakukan suatu kegiatan. Kata kelelahan menunjukkan keadaan

yang berbeda- beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas

kerja dan ketahanan tubuh .

Page 15: BAB II.docx

2.5.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kelelahan Akibat Kerja

a. Usia

Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan 20-50an

dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia (Grandjean,1988). Dengan

menanjaknya umur, maka kemampuan jasmani dan rohani pun akan menurun

secara perlahan- lahan tapi pasti. Aktivitas hidup juga berkurang, yang

mengakibatkan semakin bertambahnya ketidakmampuan tubuh dalam

berbagai hal. Pada usia lanjut jaringan otot akan mengerut dan digantikan oleh

jaringan ikat. Pengerutan otot menyebabkan daya elastisitas otot berkurang

termasuk juga daya angkat beban ( Tarwaka, 2004).

Aging process tidak bisa dihindari. Pada umur diatas 40 tahun tubuh

sudah mengalami berbagai perubahan- perubahan akibat proses penuaan yang

secara alami terjadi maupun diperberat akibat penyakit- penyakit yang pernah

dialami. Penurunan produksi hormon akibat proses penuaan mengakibatkan

kemampuan tubuh untuk memperbaiki sendiri dan mengatur sendiri termasuk

pengaturan fungsi energi tubuh menjadi rendah. Penurunan kekuatan fisik

terjadi mulai umur 30 tahun. Kemampuan fisiologis menurun secara bermakna

pada umur 44 tahun. Sehingga kemampuan untuk mengantisipasi beban kerja

fisik maupun mental berkurang ( Purnawati, 2006)

b. Status Pendidikan

Page 16: BAB II.docx

Pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki persepsi

yang lebih baik terhadap tugas dan faktor- faktor stress lainnya ditempat kerja.

Mereka akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memecahkan

masalah- masalah ataupun tugas di tempat kerja sehingga memiliki kapasitas

yang lebih besar dalam mengantisipasi kelelahan ( ILO, 2004)

Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja langsung dengan

pelaksanaan tugas, akan tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri serta

kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada untuk kelancaran

pelaksanaan tugas. Pendidikan merupakan suatu kekuatan dinamis dalam

mempengaruhi seluruh aspek kepribadian individu (Purnawati, 2006)

c. Masa Kerja

Menurut ILO (2004) dan Purnawati (2006) masa kerja berperan dalam

menentukan dosis pajanan di tempat kerja dan tentunya dapat mempengaruhi

berat ringannya tingkat kelelahan. Tidak adekuatnya beban kerja yang

melebihi kapasitas pekerja yang dialami bekepanjangan selama kehidupan

kerja akan berakibat penumpukan kelelahan sehingga berakibat tingginya

tingkat kelelahan. Sebagai contoh, semakin lamanya masa kerja berpengaruh

kepada tingkat kelelahan diakibatkan tingkat monotoni kerja yang telah

terakumulasi salama bertahun- tahun.

d. Beban Kerja

Berat ringannya beban kerja baik fisik maupun mental dapat mempengaruhi

tingkat kelelahan. Beban kerja fisik yang terlalu berat dapat berakibat

cadangan energi tubuh sangat berkurang serta penumpukan asam laktat yang

Page 17: BAB II.docx

berlebihan sehingga tingkat kelelahan menjadi berat. Beban kerja yang terlalu

ringan dan monoton dalam waktu lama dapat menimbulkan kebosanan dan

berakibat stimulasi elektris sistim inhibisi menjadi lebih kuat, sehingga

menurunkan kemampuan bereaksi dan menimbulkan kecenderungan untuk

tidur. Semuanya ini dapat mengakibatkan kelelahan dalam tingkat yang berat

meskipun beban kerja fisik maupun mental yang harus dijalankan tidak berat

( Purnawati, 2006).

e. Kondisi Lingkungan Kerja

Kondisi lingkungan kerja seperti iklim lingkungan kerja yang tidak nyaman,

kebisingan, maupun penerangan yang tidak sesuai dengan standar serta

perorganisasian kerja yang tidak ergonomi dapat merupakan beban tambahan

bagi tubuh pekerja. Kelelahan akibat mengerjakan tugas- tugas utama akan

bertambah dengan adanya stres dari lingkungan kerja. Adanya bagian- bagian

lapangan pandang yang terlalu terang dibandingkan dengan tingkat

penerangan umum akan menimbulkan kesilauan yang berakibat rasa tidak

enak atau tidak nyaman dan mempercepat timbulnya kelelahan mata. Akan

diperlukan usaha-usaha tambahan dari tubuh untuk mengantisipasi

ketidaknyamanan ini yang dapat berpengaruh terhadap kelelahan. Istirahat

pendek dapat dilakukan untuk mengurangi kelelahan mata serta mengurangi

kemonotonan dalam bekerja. Adapun suhu udara yang berlebihan merupakan

beban tambahan yang harus diperhatikan dan diperhitungkan. Kenyamanan

lingkungan kerja untuk diluar ruangan dengan suhu antara 21º C - 30º C

dengan kelembaban relatif antara 65% - 95% (Dana, 2003). Untuk orang

Page 18: BAB II.docx

Indonesia pada umumnya beraklimatisasi iklim tropis, yang suhunya sekitar

28º C - 32º C dengan kelembaban sekitar 85% - 95% bahkan mungkin lebih.

Beban tambahan berupa panas lingkungan dapat menyebabkan beban

fisiologis, misalnya kerja jantung semakin bertambah sehingga terjadi

peningkatan denyut nadi. Suhu udara yang berlebih juga dapat mengakibatkan

perubahan fungsional pada organ yang bersesuaian pada tubuh manusia serta

dapat mengakibatkan rasa letih dan kantuk, mengurangi kestabilan dan

meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja sehingga dapat menurunkan

efisiensi atau produktivitas kerja ( Suma’mur P.K).

f. Sikap Kerja

Sikap kerja yang tidak alamiah sering menimbulkan sikap kerja paksa seperti

membungkuk, jongkok secara terus menerus yang dapat menyebabkan

kelelahan. Sehingga harus diusahakan sikap kerja yang alamiah untuk

mengurangi tingkat kelelahan ( Dana, 2003).

2.5.3 Gejala Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja pada umumnya dikeluhkan sebagai kelelahan dalam sikap,

orientasi, dan penyesuaian pekerja yang mengalami kelelahan kerja (Setyawati,

2010). Gejala kelelahan kerja ( Fatigue Symptoms) secara subyektif dan objektif:

1. Perasaan lesu, mengantuk, dan pusing.

2. Tidak atau berkurangnya konsentrasi.

3. Berkurangnya tingkat kewaspadaan.

4. Persepsi yang buruk dan lambat.

5. Tidak ada atau berkurangnya gairah untuk bekerja.

Page 19: BAB II.docx

6. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani.

Suma’mur P.K, 2009, membuat daftar gejala atau perasaan yang ada

hubungannya dengan kelelahan yaitu:

1.) Pelemahan kegiatan

Gejala kelelahan yang berupa pelemahan kegiatan ditunjukkan dengan

perasaan berat di kepala, badan terasa lelah, kaki terasa berat, seringnya

menguap, pikiran menjadi kacau, mengantuk dan ingin berbaring, adanya

beban pada mata, gerakan canggung dan kaku, saat berdiri tidak stabil atau

sempoyongan.

2.) Perubahan motivasi

Gejala kelelahan yang berupa perubahan motivasi dapat berupa: merasakan

susah berfikir, lelah untuk bicara, perasaan menjadi gugup, tidak dapat

berkonsentrasi, sulit memusatkan perhatian, mudah untuk lupa, kepercayaan

diri berkurang, merasa cemas, sulit mengontrol sikap, tidak tekun dalam

pekerjaan.

3.) Pelemahan fisik

Gejala kelelahan yang berupa pelemahan fisik ditunjukkan dengan: sakit di

kepala, kaku di bahu, merasa nyeri di punggung, sesak nafas, merasakan haus,

suara menjadi serak, merasa pening, spasme di kelopak mata, tremor pada

anggota badan

2.5.4 Pengukuran Kelelahan

Page 20: BAB II.docx

Beberapa cara yang saat ini digunakan untuk mengetahui kelelahan, yang

sifatnya hanya mengukur manifestasi- manifestasi atau indikator- indikator

kelelahan yaitu:

a. Kualitas dan kuantitas dari penampilan kerja.

b. Mencatat persepsi subjektif dari kelelahan.

c. EEG (Electroencephalography).

d. Uji flicker fusion.

e. The Blink Apparatus.

f. The psikomotor. Tes ini mengukur fungsi- fungsi yang melibatkan persepsi,

interpretasi dan reaksi- reaksi motorik: simple and selective reaction times

test, tachistoscopic test.

g. Tes mental : aritmatic problem, test konsentrasi misalnya tes Bourdon

Wiersma.

Meskipun ada banyak macam alat ukur untuk mengevaluasi kelelahan seperti

disebutkan diatas, dalam penelitian ini hanya dilakukan uji coba satu jenis alat

ukur (tes) yaitu kuesioner yang bertujuan mencatat persepsi subjektif dari

kelelahan umum yang terdiri dari 30- item gejala kelelahan umum. Kuesioner 30-

item gejala kelelahan umum diadopsi dari IFRC (industrial Fatigue Research

Committee of Japanese Association of Industrial Health), yang dibuat pada tahun

1967. Disosialisasikan dan dimuat dalam prosiding Symposium on Methodology

of Fatique Assessment. Symposium ini diadakan di Kyoto Jepang pada tahun

1969. Sepuluh item pertama mengindasikan adanya pelemahan aktivitas terdiri

dari perasaan berat di kepala, lelah di seluruh badan, berat di kaki, menguap,

Page 21: BAB II.docx

pikiran kacau, mengantuk, ada beban pada mata, gerakan canggung dan kaku,

berdiri tidak stabil, dan ingin berbaring. Selanjutnya 10 item kedua pelemahan

motivasi kerja terdiri dari susah berpikir, lelah untuk berbicara, gugup, tidak

berkonsentrasi, sulit memusatkan perhatian, mudah lupa, kepercayaan diri

berkurang, merasa cemas, sulit mengontrol sikap, dan tidak tekun dalam

pekerjaan. Pada 10 item ketiga atau terakhir mengindasikan adanya kelelahan

fisik atau kelelahan pada beberapa bagian tubuh terdiri dari sakit kepala, kaku di

bahu, nyeri punggung, sesak nafas, haus, seuara serak, merasa pening, spasme

kelopak mata, tremor pada anggota badan, dan merasa kurang sehat

(Tarwaka,dkk, 2004), (Purnawati 2006).

Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan semakin

besar pula tingkat kelelahan. Dikatakan bahwa kelemahan dari kuesioner ini

adalah tidak dilakukan evaluasi terhadap item pertanyaan secara tersendiri.

Kuesioner ini kemudian dikembangkan dimana jawaban kuesioner diskoring

dengan menggunakan empat skala Likert. Selanjutnya setelah selesai melakukan

wawancara dan pengisian kuesioner maka langkah selanjutnya menghitung

jumlah skor dari 30 pertanyaan yang diajukan dan dijumlahkan menjadi skor

individu (Tarwaka,dkk,2004), (Purnawati,2006).

Berdasarkan disain penelitian kelelahan subjektif dengan menggunakan

empat skala Likert ini, akan diperoleh skor individu terendah adalah sebesar 30

dan skor tertinggi adalah 120. Tingkat kelelahan berdasarkan tes subjektif

kelelahan didapatkan skor 30-52 rendah, skor 53-75 sedang, skor 76-98 tinggi,

skor 99- 120 sangat tinggi (Tarwaka, dkk, 2004).

Page 22: BAB II.docx

2.5.5 Dampak Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang

menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak

enak di samping semangat kerja yang menurun. Dan kelelahan kerja dapat

meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja, sehingga dapat merugikan diri pekerja

sendiri maupun perusahaannya karena adanya penurunan produktivitas kerja

(Setyawati, 2010).

2.6 Hubungan Beban kerja dan Sikap kerja Terkait Dengan Kelelahan Kerja

Bahwa semakin berat beban kerja maka akan semakin banyak energi dan nutrisi

yang diperlukan atau dikonsumsi, sehingga kondisi fisik pekerja menurun dan

kebutuhan akan oksigen meningkat. Ketika pekerja melakukan aktivitas dengan

beban kerja berat, jantung dirangsang sehingga kecepatan denyut jantung dan

kekuatan pemompaannya semakin meningkat. Jika kurang suplai oksigen ke otot

jantung menyebabkan dada merasa tertekan dan jika terus menerus kekurangan

oksigen, maka akan terjadi akumulasi yang selanjutnya metabolisme anaerobik

dimana akan menghasilkan asam laktat yang mempercepat timbulnya kelelahan

(Eko Nurmianto, 2003). Denyut nadi akan berubah seirama dengan dengan

perubahan pembebanan. Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh

seseorang tenaga kerja dapat digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang

tenaga kerja dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sesuai dengan kemampuan

dan atau kapasitas kerja bersangkutan. Pekerjaan secara manual dalam pembuatan

batu bata tradisional dengan sikap kerja jongkok, membungkuk lama apabila tidak

dilakukan secara alamiah atau ergonomis akan lebih cepat menimbulkan

Page 23: BAB II.docx

kelelahan kerja baik kelelahan umum maupun kelelahan otot (Tarwaka, dkk,

2004), ( Dana, 2003).

Pada dasarnya, jika dilihat dari awal proses membuat adonan yang digunakan

sebagai bahan cetakan, kemudian dalam proses mencetak batu bata dan batako

hampir sama, walaupun bahan yang digunakan untuk membuat batu bata dan

batako berbeda, proses pengeringannya berbeda, serta hasil cetakan dari batu bata

lebih kecil dari pada hasil cetakan batako. Walaupun demikian, sikap kerja yang

digunakan dalam bekerja sama, yaitu bekerja dengan sikap yang tidak alamiah,

sehingga sering menimbulkan sikap kerja paksa seperti bekerja dalam posisi

membungkuk, jongkok dan menggunakan kedua kaki sebagai tumpuan berat

tubuh dalam waktu yang lama. Sikap kerja paksa ini dapat mengakibatkan

peningkatan denyut nadi yang sangat menanjak sehingga sering menimbulkan

kelelahan kerja ( Dana ,2003), ( Pujiani Dewi, 2011).

Berdasarkan penelitian Dana (2003), dengan melakukan perlakuan dua kali

dalam waktu yang berbeda terhadap pekerja produsen batako, didapatkan pada

perlakuan I ( dengan sikap jongkok) denyut nadi awal pada pukul 08.30 dengan

rerata 71,38 denyut per menit dengan simpang baku 6,20 denyut per menit. Pada

perlakuan II (dengan sikap berdiri) dengan waktu yang sama didapatkan rerata

adalah 72,48 denyut per menit dengan simpang baku 4,73 denyut permenit.

Lonjakan peningkatan nadi kerja pada perlakuan I pukul 10.00 sebesar rerata

116,63 denyut per menit dengan simpang baku 4,11 denyut per menit dan pada

perlakuan II (dengan sikap berdiri) dengan waktu yang sama didapatkan rerata

adalah 105,13 denyut per menit dengan simpang baku 3,48 denyut permenit.

Page 24: BAB II.docx

Pukul 12.00 keluhan subjektif mulai muncul, maka pekerja batako mulai bekerja

dengan santai yang mengakibatkan denyut nadi kerjanya menurun lebih tajam

untuk perlakuan I dikarenakan tingkat kelelahan pada perlakuan I lebih besar dari

pada perlakuan II. Penurunan denyut nadi kerja perlakuan I rerata 107,58 denyut

per menit dengan simpang baku 4,50 denyut per menit dan perlakuan II sebesar

rerata 102,74 denyut per menit dengan simpang baku 3,32 denyut permenit. Hasil

perlakuan I dan perlakuan II tersebut dikategorikan berdasarkan kategori Pheasant

(1991) termasuk dalam kategori sedang. Dari hasil penelitian tersebut dilakukan

uji t-test for Equality of Means, menunjukan hasil berbeda makna ( p < 0,05) yaitu

dengan p = 0,000 dan t = 4,13 berarti ada hubungan antara sikap kerja terhadap

peningkatan beban kerja dan kelelahan kerja, dengan perlakuan menggunakan

meja serta menggunakan sikap berdiri menurunkan beban kerja pekerja batako.

Sehingga harus diusahakan sikap kerja yang alamiah untuk mengurangi beban

kerja dan tingkat kelelahan.