bab ii_2007tmk-3.pdf
TRANSCRIPT
II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR
2.1. Deskripsi Daerah Irigasi Jatiluhur
Daerah aliran sungai Citarum yang terletak di wilayah utara Provinsi Jawa
Barat, mencakup sekitar 12 ribu kilometer persegi, terdiri atas 12 sungai dari
selatan ke utara yang berakhir di Laut Jawa, yakni Bekasi, Cikarang,
Cilemahabang, Cibeet, Citarum, Ciherang, Cilamaya, Cijengkol, Ciasem,
Cigadung, Cipunegara dan Cipancuh. Total aliran rata-rata per tahun sekitar
12.95 milyar meter kubik dan 7.65 milyar meter kubik yang telah diatur, melalui
bendungan, bendung, pintu air dan kanal dan sekitar 5.30 meter kubik yang terus
mengalir ke laut.
Waduk Jatiluhur (Ir. Juanda) yang dibangun di Sungai Citarum untuk
multi tujuan (multy purpose), wilayah tangkapan seluas 4.50 ribu kilometer
persegi, luas permukaan 8.20 ribu hektar, tinggi 96 meter, volumenya 2.45 juta
meter kubik, volume efektif 1.87 milyar meter kubik kapasitas aliran 8.00 ribu
meter kubik per detik.
Unit pembangkit listrik H. Juanda terdiri dari 6 turbin, 5 turbin dengan
kapasitas terpasang masing-masing turbin 35 MVA x Cos phi 0.92 dan 1 turbin
dengan kapasitas 40 MVA x Cos phi 0.62, sedangkan kapasitas terpakai 5 turbin
dengan masing-masing 30 MW dan 1 turbin dengan kapasitas terpakai 24 MW.
Jaringan irigasinya mengairi 240 ribu hektar, bukan hanya di DAS
Citarum tetapi juga DAS Bekasi, Ciasem dan Cipunegara. Penyuplai air domestik
dan industri untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya sebesar 16 meter kubik per
detik.
Sarana penunjang suplai air irigasi dan air bersih Perum Jasa Tirta II
dilengkapi dengan stasiun pompa yang terletak di Bendung Curug dan Pengolah
14
Air Bersih (PAB), dimana pompa ini membantu menaikkan air ke kanal agar
mencapai tinggi muka air normal.
Tabel 1. Stasiun Pompa Air dan Kapasitasnya di Daerah Irigasi Jatiluhur
Kapasitas (m3/detik) Stasiun Pompa Jenis Pompa
Unit Terpasang Terpakai
Tarum Timur Listrik 8 4 x 17.50 2 x 10.00
4 x 17.50 2 x 10.00
Tarum Barat Hidrolik 17 17 x 5.50 17 x 4.00
PAB Pejompongan Listrik 4 4 x 2.07 3 x 1.83 1 cadangan
Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004)
Pemanfaatan air saat ini untuk irigasi, domestik, munipical dan industri,
dan penyimpanan serta transfer air. Permintaan air di wilayah hilir dipengaruhi
oleh transfer antar daerah aliran sungai ke wilayah Jabotabek. Suplai air untuk
Jabotabek akan diberikan oleh sejumlah DAS yang lokasinya di Timur dan Barat,
dengan sistem Citarum sebagai sumber utama. Suplai air di daerah aliran sungai
Citarum akan meningkat dengan makin berkembangnya permintaan air di
wilayah Jabotabek.
2.2. Tata Guna Lahan Daerah Irigasi Jatiluhur
Daerah Irigasi Jatiluhur terdiri dari 3 wilayah sesuai dengan saluran induk
yang ada, yakni Tarum Utara, Tarum Timur dan Tarum Barat. Wilayah Tarum
Barat meliputi Kabupaten dan Kota Bekasi, berbeda dengan 2 wilayah lainnya,
wilayah berkembang mengarah menjadi pusat industri dan pemukiman. Kondisi
ini sangat berbeda dengan wilayah Tarum Utara dan Tarum Timur yang
merupakan wilayah sentra produksi pangan.
Penggunaan lahan di wilayah ini dikategorikan dalam: (1) pemukiman,
(2) sawah irigasi teknis, (3) ladang, (4) padang rumput dan lahan kritis, (5) hutan
rakyat dan negara, (6) lahan industri/pabrik, (7) rawa, empang dan kolam, dan
15
(8) penggunaan lainnya, yang secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Tata Guna Lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2003
PenggunaanLahan Kota Kabupaten Kara- Subang Indra- Total Jawa Barat
Bekasi Bekasi wang mayu DIJSawahIrigasi Tehnis 228.00 37493.00 80618.00 60031.00 65752.00 244122.00 376865.00
(1.08) (29.43) (45.36) (29.28) (32.24) (33.21) (10.62)Irigasi Semitehnis 36.00 6243.00 5142.00 8367.00 19229.00 39017.00 121964.00
(0.17) (4.90) (2.89) (4.08) (9.43) (5.31) (3.44)Irigasi Sederhana - 889.00 3888.00 2241.00 2769.00 9787.00 10145.00
(0.00) (0.70) (2.19) (1.09) (1.36) (1.33) (0.29)Tadah hujan 547.00 8278.00 3167.00 7732.00 23258.00 42982.00 167421.00
(2.60) (6.50) (1.78) (3.77) (11.40) (5.85) (4.72)Non PU 30.00 2411.00 - 6339.00 2536.00 11316.00 163432.00
(0.14) (1.89) (0.00) (3.09) (1.24) (1.54) (4.61)Lainnya - 675.00 - - 1444.00 2119.00 2869.00
(0.00) (0.53) (0.00) (0.00) (0.71) (0.29) (0.08)Total 841.00 55989.00 92815.00 84710.00 114988.00 349343.00 934046.00Lahan keringPemukiman 6724.00 22205.00 30772.00 24576.00 26480.00 110757.00 393298.00
(31.97) (17.43) (17.31) (11.98) (12.98) (15.07) (11.08)Ladang 12712.00 15717.00 7806.00 27962.00 7395.00 71592.00 784359.00
(60.45) (12.34) (4.39) (13.64) (3.63) (9.74) (22.10)Padang rumput - 4.00 263.00 485.00 - 752.00 31396.00
(0.00) (0.00) (0.15) (0.24) (0.00) (0.10) (0.88)Lahan kritis - 1264.00 421.00 380.00 54.00 2119.00 12270.00
(0.00) (0.99) (0.24) (0.19) (0.03) (0.29) (0.35)Hutan Rakyat - 2632.00 1880.00 12616.00 5866.00 22994.00 218741.00
(0.00) (2.07) (1.06) (6.15) (2.88) (3.13) (6.16)Hutan Negara - - 12719.00 15306.00 23577.00 51602.00 572995.00
(0.00) (0.00) (7.16) (7.46) (11.56) (7.02) (16.15)Lahan Industri - 1013.00 1809.00 21580.00 1158.00 25560.00 318293.00
(0.00) (0.80) (1.02) (10.52) (0.57) (3.48) (8.97)Rawa 8.00 161.00 18.00 421.00 330.00 938.00 10543.00
(0.04) (0.13) (0.01) (0.21) (0.16) (0.13) (0.30)Bangunan Air - 10204.00 11020.00 5010.00 6613.00 32847.00 36218.00
(0.00) (8.01) (6.20) (2.44) (3.24) (4.47) (1.02)Empang 61.00 782.00 782.00 1252.00 636.00 3513.00 23111.00
(0.29) (1.10) (0.92) (1.04) (0.71) (0.91) (0.88)Lainnya 683.00 17417.00 17417.00 10760.00 16873.00 63150.00 213510.00
(3.25) (24.39) (20.51) (8.94) (18.96) (16.37) (8.17)Total 20188.00 71399.00 84907.00 120348.00 88982.00 385824.00 2614734.00Lahan Kering+Sawah 21029.00 127388.00 177722.00 205058.00 203970.00 735167.00 3548780.00Total Prov Jabar (km2) 209.55 1065.35 1533.86 1855.01 1636.51 6298.28 28675.82Sumber : BPS (2003) Keterangan : ( ) nilai persentase; DIJ : Daerah Irigasi Jatiluhur
Luas (hektar)
Tata guna lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur didominasi sawah irigasi
tehnis, proporsi tertinggi di wilayah Kabupaten Karawang (45.36 persen) diikuti
Indramayu (32.24 persen), Bekasi (29.43 persen), Subang (29.28 persen) dan
terakhir Kota Bekasi (1.08 persen). Kondisi ini menunjukan sektor yang paling
dominan di wilayah tersebut, seperti Kota Bekasi merupakan wilayah yang terus
berkembang menjadi wilayah perkotaan, seiring dengan peranannya sebagai
16
wilayah penyangga Jakarta, dan berperan sebagai kota satelit dari Jakarta
(Tabel 2). Begitu juga dalam pengaturan dan penyaluran air baku PAM DKI
dilakukan di Bendung Bekasi serta penggelontoran Sungai Ciliwung guna
pemeliharan saluran.
Proporsi terbesar penggunaan lahan di Kota Bekasi didominasi ladang,
ada dua kemungkinan penyebab terjadinya pengalihan fungsi lahan menjadi
ladang, yakni dari dulunya peruntukannya untuk ladang atau konversi dari sawah
irigasi. Kemungkinan kedua yang paling banyak terjadi, dari pengamatan di
lapang alih fungsi ini sengaja dilakukan sebagai respons dari pertambahan
jumlah penduduk yang pesat serta nilai ekonomi tanah pemukiman yang lebih
tinggi dan terus meningkat. Kota Bekasi akan terus berkembang sebagai wilayah
pemukiman, dimana proporsi pemukiman mencapai 31.97 persen dan bila lahan
kering (ladang) beralih fungsi menjadi pemukiman maka sebagian besar wilayah
tersebut menjadi wilayah perkotaan.
2.3. Kondisi Perekonomian Daerah Irigasi Jatiluhur
Tingkat pertumbuhan ekonomi DI Jatiluhur sebesar 9.30 persen dengan
pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Karawang 19.50 persen, diikuti
dengan Kabupaten Subang sebesar 13.70 persen, bahkan lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan provinsi Jawa Barat (11.20 persen).
Wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut merupakan
wilayah sentra produksi pangan di Daerah Irigasi Jatiluhur atau didominasi sektor
pertanian apabila dihubungkan dengan tata guna lahan di wilayah tersebut,
sedangkan Kota Bekasi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dibawah dari
kedua wilayah ini. Kabupaten Indramayu tingkat pertumbuhan ekonominya
terendah (5.1 persen), kabupaten ini juga merupakan sentra produksi pangan
17
dengan proporsi luas sawah irigasi tehnisnya di urutan ke 3 setelah ke 2 wilayah
diatas.
Tabel 3. Kondisi Perekonomian di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2000-2003
Kabupaten Tkt Pertdan Kota 2000-2003
2000 2001 2002 2003 (%/thn) (1 )
Kota Bekasi 8 875.60 10 080.20 11 032.39 11 914.29 10.30Bekasi 30 267.21 32 427.58 34 730.73 37 674.86 7.50Karawang 7 532.29 9 620.21 11 346.28 12 867.00 19.50Subang 4 002.86 4 562.85 5 226.74 5 892.97 13.70Indramayu 15 558.92 16 452.33 17 525.16 18 048.85 5.10Total 66 236.88 73 143.18 79 861.30 86 397.96 9.30Jawa Barat 174 915.26 193 296.58 214 302.25 234 450.80 11.20Sumber: BPS.(2004b)Keterangan(1) Harga berlaku
PDRB ( milyar rupiah)
Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tidak menggambarkan besarnya
PDRB. Kabupaten Bekasi memiliki PDRB tertinggi, tetapi tingkat
pertumbuhannya tidak tinggi, dan merupakan wilayah pada urutan ke 4 dalam
dominasi sawah irigasinya. Kabupaten Indramayu. dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi terendah memiliki PDRB tertinggi dibanding wilayah lainnya. Begitu pula
dengan Kota Bekasi tingkat pertumbuhan berada pada urutan ketiga memiliki
PDRB lebih besar dibandingkan kedua wilayah diatas.
Tabel 4 menggambarkan jumlah penduduk di DI Jatiluhur, dimana total
penduduk 8.61 juta jiwa dan tinggal dalam 1.97 juta rumah tangga. dengan rata-
rata anggota per rumah tangga 4.64 jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk
tertinggi terjadi di wilayah perkotaan seperti Kota dan Kabupaten Bekasi. dimana
pada tahun 2000-2005 antara 21.70 persen dan 24.19 persen. diperkirakan
tingkat pertumbuhan pada tahun 2005-2010 sebesar 20.22 persen dan 23.48
persen. Tingkat pertumbuhan penduduk ini sangat berbeda dibandingkan dengan
tingkat pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat, yang berkisar antara
13.00 persen dan 10.00 persen.
18
Tabel 4. Distribusi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur pada Tahun 2003
Penduduk (jiwa) Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Total
Rumah tangga
Jumlah Anggota RT
Kota Bekasi 930 143 914 862 1 845 005 430 070 4.29
Kabupaten Bekasi 945 380 913 545 1 858 925 456 738 4.07
Karawang 971 833 910 192 1 882 025 465 847 4.04
Subang 681 128 689 877 1 371 005 383 731 3.57
Indramayu 854 386 798 760 1 653 146 435 871 3.79
Total (%)
4 382 870 (50.90)
4 227 836 (49.10)
8 610 106 (100)
2 172 257 (100)
Sumber ; BPS (2003).
Kabupaten Karawang dengan pertambahan penduduk sebesar 11,17
persen dan diprediksi pada antara tahun 2005 sampai dengan 2010 tingkat
pertambahan penduduknya lebih rendah berkisar 9.15 persen. Kabupaten
Subang dan Indramayu keduanya di atas 4.00 persen pada tahun 2000 sampai
dengan 2005, dan diperkirakan akan menurun diatas 3,00 persen antara tahun
2005-2010 (BPS 2001).
Tabel 5. Pertumbuhan Penduduk Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2000-2010
Kota Tkt Jumlah Penduduk Tktdan Pertumb (ribu jiwa) Pertumb
Kabupaten 2000 2005 (%) 2010 (%)
Kota Bekasi 1 698.13 2 066.93 21.71 2 484.91 20.22Bekasi 1 701.10 2 112.70 24.20 2 610.13 23.54Karawang 1 773.47 1 971.51 11.17 2 151.84 9.15Subang 1 336.10 1 397.03 4.56 1 447.05 3.58Indramayu 1 597.51 1 663.87 4.15 1 715.00 3.07Total 8 106.31 9 212.04 13.64 10 408.93 12.99Provinsi Jabar 36 174.25 39 956.16 10.45 44 095.04 10.36Sumber : BPS (2001)
Jumlah Penduduk (ribu jiwa)
Hasil sensus tahun 2000, menunjukan dalam lima tahun terakhir telah
terjadi migrasi penduduk ke Kota dan Kabupaten Bekasi, dengan tingkat migrasi
masing-masing 22.29 persen dan 18.53 persen. Kondisi ini sangat berbeda
dengan Kabupaten Karawang dengan tingkat migrasinya 8.99 persen dan 3.23
19
persen untuk Kabupaten Subang dan Indramayu. Pola migrasi di DI Jatiluhur
khususnya Kota Bekasi, 36.00 persen dari penduduk yang bermigrasi merupakan
penduduk baru atau 6.77 persen dari total penduduk.
Tata guna lahan, pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah
penduduk menunjukkan bahwa Kota dan Kabupaten Bekasi merupakan wilayah
yang perkembangannya paling pesat, dari wilayah sentra produksi pangan
menjadi wilayah perkotaan. Penurunan proporsi sawah irigasi tehnis maupun
setengah tehnis, dan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, berarti
menurunkan kebutuhan air irigasi. Penurunan kebutuhan air irigasi bukan berarti
penurunan kebutuhan air baku untuk sektor lainnya, tetapi justru kebutuhan air
non pertanian meningkat secara tajam. Gambaran ini menunjukkan bahwa
wilayah Tarum Barat merupakan wilayah dengan persaingan antar sektor
pengguna air lebih besar dibandingkan dengan 2 wilayah lainnya, dan
dibutuhkan pengelolaan sumberdaya air yang efisien.
2.4. Status dan Perkembangan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur
Pada tahun 1956 Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri terakhir Indonesia
yang mendeklarasikan tentang Proyek Serbaguna Jatiluhur. Tujuan utama
proyek tersebut meningkatkan produktivitas padi untuk menjaga ketahanan
pangan nasional. Proyek pembangunan Waduk Jatiluhur (Proyek Jatiluhur)
dimulai tahun 1957, dibagi dalam dua kegiatan, pertama membangun waduk
yang membendung Sungai Citarum dengan kapasitas 3 juta meter kubik, dengan
pembangkit tenaga listrik berkapasitas 150 MW. Kedua, membangun sistem
irigasi yang mencakup 240 ribu hektar sawah irigasi tehnis di wilayah utara
Provinsi Jawa Barat yang dihubungkan dengan sistem irigasi Walahar dan
Salamdarma, dengan dua kali panen dalam setahun. Proyek ini selesai pada
20
tahun 1967, waduk ini kemudian dinamakan Waduk Ir. Djuanda sedangkan
wilayah pelayanannya disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur.
Pengelola waduk Jatiluhur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/1967
tanggal 24 Juli 1967 diubah menjadi Perusahaan Umum Jatiluhur. Pada tahun
1970 dengan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1970 diubah menjadi Perum
Otorita Jatiluhur, sebagai perusahaan yang bertujuan memperoleh profit.
Pengelolaan air irigasi merupakan pengelolaan sosial bukan komersial sehingga
terjadi benturan antara tujuan perusahaan untuk mencapai profit dengan tujuan
pembangunan waduk untuk menopang ketersediaan pangan. Pengelolaan
waduk secara efisien dan efektif perlu dilakukan sehingga konflik kepentingan
tidak terjadi.
Berdasarkan alasan diatas pemerintah mengubah status Perum Otorita
Jatiluhur dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1980,
Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No.13
Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perusahaan Umum, dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 1999 tentang tugas Perum Jasa Tirta II (PJT
II) memberikan pelayanan umum dan secara simultan mencari keuntungan
sesuai prinsip pengelolaan perusahaan.
Adapun visi PJT II mewujudkan kesejahteraan dan perusahaan
pengelolaan air dan sumberdaya air yang berkualitas tinggi dalam melayani
suplai air secara luas dan berkontribusi pada ketahanan pangan nasional.
Sedangkan misi PJT II untuk mewujudkan visi perusahaan melalui
(1) suplai air baku bagi kebutuhan air minum, pembangkit tenaga listrik,
pertanian, industri, pencucian dan lain-lain, (2) pembangkit tenaga listrik dan
suplai tenaga listrik, (3) pengembangan pariwisata dan pemanfaatan lahan,
(4) menjaga ketahanan pangan dalam artian mensuplai air pertanian dan
mengendalikan aliran untuk kelestarian lingkungan melalui informasi,
21
rekomendasi dan arahan, dan (5) memaksimumkan profit dan membantu
memperoleh benefit berdasarkan prinsip bisnis, serta menjamin keberlanjutan
aset pemerintah dan keberlanjutan pelayanan publik.
2.5. Sistem Operasi dan Prosedur Operasional Waduk Jatiluhur
Perkembangan sosial ekonomi kota Jakarta setelah 50 tahun DI Jatiluhur
dibangun menyebabkan perubahan permintaan air, terutama pada wilayah
Tarum Barat sebagai penyuplai air wilayah tersebut. Peningkatan permintaan air
diiringi dengan peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan yang mencemari
lahan dan air di wilayah Tarum Barat.
Pertumbuhan ekonomi berakibat pada meningkatnya pemakaian lahan
untuk pemukiman dan air permukaan sepanjang saluran Tarum Barat. Perluasan
wilayah pemukiman yang juga disebabkan peningkatan jumlah penduduk,
berakibat pada rusaknya berbagai sarana penyaluran air, dan pengalihan air
secara berlebihan dan tidak teratur. Kegiatan ekonomi telah berakibat pada
peningkatan erosi yang menyebabkan pendangkalan saluran sehingga
menurunkan debit aliran.
Sektor pertanian dalam hal ini kelompok tani atau petani dalam
mempersiapkan input usahataninya berdasarkan pada proporsi lahan yang akan
ditanami, curah hujan dan air yang akan dialokasikan serta intensitas tanam.
Meskipun curah hujan sulit untuk diperkirakan dan hanya sekitar 80 persen air
hujan efektif yang dapat digunakan. petani sangat bergantung pada ketersediaan
air di saluran irigasi. Banyaknya air yang akan dialokasikan ditetapkan oleh
Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA).
Perkiran curah hujan berdasarkan pada data historis 4 atau 5 tahun yang
lalu, sehingga seringkali curah hujan aktual melebihi angka perkiraan yang
berakibat pada kelebihan suplai air atau sebaliknya dibawah angka perkiraan
22
yang berakibat terjadinya kekurangan air. Apabila terjadi kelebihan suplai air
dapat dilakukan penyimpanan atau mengurangi jumlah yang dikeluarkan dari
waduk tetapi apabila terjadi kekurangan menyebabkan jumlah air yang disuplai
lebih besar dari yang direncanakan sehingga mempengaruhi ketersediaan air di
waduk.
Selama musim kering (bulan Mei sampai dengan September) tahun
berjalan, Organisasi Pemakai Air merencanakan areal yang akan ditanami dan
intensitas tanam, dimulai pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan
September tahun berikutnya. Komisi Irigasi Tingkat Provinsi mengesahkan
rencana yang diajukan Organisasi Pemakai Air. Pemberian air berdasarkan pada
evapotranspirasi, faktor tanaman, perkolasi dan tergantung pada hujan efektif (80
persen) dan efisiensi saluran pada masing-masing wilayah Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A). PPTPA pada tingkat DAS mendiskusikan rencana dan
merekomendasikan kesimpulannya pada Gubernur bersama dengan rencana
alokasi air untuk pengguna lainnya seperti PLTA, munipical dan industri
termasuk Jakarta.
Perubahan alokasi areal yang akan ditanami secara substansial akan
merubah jumlah air yang akan dialokasikan. Keputusan Gubernur Jawa Barat
tentang alokasi air tiap tengah bulanan merupakan dasar rekomendasi pada
setahun mendatang. Keputusan Gubernur tersebut diteruskan kepada PJT II
yang menanggapinya dengan membuat instruksi operasional sistem pengelolaan
sumberdaya air, yang disebut Keputusan Direktur PJT II. PJT II menyalurkan air
dari Waduk Juanda dan menyalurkan ke Bendung Curug untuk diteruskan
melalui Kanal Tarum Utara, Tarum Barat dan Tarum Timur.
Keputusan Gubernur menetapkan alokasi air selama 12 bulan menjadi
instruksi kepada PJT II untuk pengoperasian waduk, bendung dan saluran induk.
PJT II membagi wilayah kerjanya dalam 5 sub wilayah yang disebut divisi, yakni
23
1. Divisi I, yang dialiri oleh Saluran Induk Tarum Barat mencakup Kabupaten
dan Kota Bekasi.
2. Divisi II, yang dialiri Saluran Induk Tarum Timur mencakup Kabupaten
Subang dan Indramayu.
3. Divisi III, yang dialiri Saluran Induk Tarum Utara mencakup Kabupaten
Krawang.
4. Divisi IV, Stasiun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
5. Divisi V, mencakup wilayah disebelah hulu Waduk Juanda.
Divisi membagi wilayahnya menjadi beberapa seksi, yang mencakup
suatu wilayah pengamatannya, tugasnya meliputi operasional bendung, pintu air
dan banyaknya air yang disalurkan. Total pintu sadap dan pembagi pada saluran
primer dan sekunder masing-masing berjumlah 15.10 ribu buah dan 895 buah.
sedangkan total pintu sebanyak 1.10 ribu buah. Operasional dan tanggung jawab
pada saluran tersier menjadi tanggung jawab dari Perkumpulan Petani Pemakai
Air (P3A). Banyaknya P3A di wilayah Tarum Barat. Timur dan Utara masing-
masing sebanyak 570.69 ribu dan 900 buah. P3A cukup menjamin efektifitas
operasional.
Sistem operasional yang dilakukan PJT II dalam menyalurkan air dari
Waduk Juanda, pengendalian ketinggian air dilakukan di Bendung Curug dan
menyalurkannya melalui pompa ke saluran induk Tarum Barat dan Tarum Timur
maupun melalui pengaturan pintu air ke Tarum Utara. Pengaturan tinggi muka air
guna penyaluran air ke Tarum Utara cukup hanya dengan pengaturan pintu air di
Bendung Walahar. Pusat operasional PJT II cepat dalam menanggapi kebutuhan
air di wilayah hilir dan mengatur sistem penyaluran air setiap hari. Data curah
hujan yang terjadi akan mempengaruhi operasional yang dilakukan, yakni
dengan mengubah jumlah air yang disalurkan ke hilir. Prosedur penyaluran yang
dilakukan PJT II dapat dilihat pada skema diatas (Gambar 1).
24
Gambar 1. Skema Prosedur Operasional Waduk Juanda
Air irigasi ditambah dengan curah hujan efektif dapat memenuhi
kebutuhan tanaman padi. Berdasarkan data dari PJT II, dalam satu tahun
terdapat 120 sampai dengan 130 hari hujan, dengan curah hujan 18 mm sampai
dengan 20 mm atau 2.40 ribu mm per tahun. Sebidang sawah yang menerima air
hujan, kelebihan airnya akan dialirkan ke sawah lainnya pada hari berikutnya. Air
yang diterimanya akan mencukupi kebutuhannya dalam sehari dengan asumsi
setiap harinya air yang dibutuhkan sebanyak 5 mm sampai dengan 10 mm per
hari. Berdasarkan data dari PJT II, bahwa sejak turun hujan sampai digunakan
membutuhkan waktu paling lama 3 hari, hari pertama menerima air hujan, hari
kedua mengalirkannya dan hari ketiga mengkonsumsinya.
KANTOR WADUK JUANDA DIVISI-DIVISI
PJT IIPDAM KANTOR
BENDUNG CURUG
STASIUN CURAH
TMA
SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN
DIVISI OPERASI
INSTRUKSI
T M S
PUSAT OPERASI PJT II
PPTPA
KOMISI IRIGASI
GUBERNUR
SKEP
AREAL IRIGASI
25
Prosedur pemakaian air hujan dalam hari operasional merupakan kondisi
teraman, dalam prakteknya pemakaian air hujan pada hari operasional dengan
asumsi tidak turun hujan pada hari yang keempat. Pengoperasiannya
membutuhkan waktu pengantaran air ke wilayah permintaan, waktu yang
dibutuhkan kurang lebih setengah hari dengan debit 0.6 meter per detik, dengan
kata lain air yang disalurkan dari Bendung Curug akan diterima di wilayah
permintaan pada hari berikutnya.
2.6. Ketersediaan dan Alokasi Sumberdaya Air.
DI Jatiluhur merupakan wilayah yang menerima pelayanan dari jaringan
yang dikelola PJT II, dan sistem pengairan seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Wilayah pelayanan DIJ berdasarkan pada tiga saluran induk yakni Tarum
Barat, Tarum Timur dan Tarum Utara. Air keluar dari Waduk Jatiluhur ke
Bendung Curug dan disalurkan ke tiga saluran induk yang ada. Saluran induk
Tarum Utara menghubungkan daerah irigasi yang dilayani Bendung Walahar
yang telah ada sebelum Waduk Jatiluhur dibangun, dan merupakan aliran sungai
Citarum. Suplai utamanya berasal dari Bendung Curug, seluruh kebutuhan
wilayah ini dipenuhi dari Waduk Jatiluhur. Saluran induk Tarum Timur
menghubungkan Bendung Curug dengan Daerah Irigasi Cipunegara, Cimalaya
dengan bendung terhilirnya Bendung Salamdarma, serta bendung-bendung
lainnya dengan kapasitas lebih kecil yang berada di wilayah ini. Saluran induk
Tarum Barat dengan bendung terhilirnya Bendung Bekasi, dibuat bersamaan
dengan Waduk Jatiluhur. Bendung Bekasi ini sebagai pemasok utama air baku
wilayah Jakarta serta mengairi daerah persawahan yang ada dan
penggelontoran sungai Ciliwung.
26
SKEMA SISTEM PENGAIRAN JATILUHUR
Waduk Ir. H. Djuanda Volume 2.5 Mm3
(+ 107.00 m )
Wadulk SagulingVolume 0.9 M m3
( + 64 3.00 m 3
Waduk Cirata Volume 1.9 Mm3
(+22 000 m)
Citarum
CilalanangS.Cibeet
CiherangCilamay
a
Cipunegara
S CikarangK.Bekasi Ciliwung
Q maks 800 m3/det
B.Curug
B.Barugbug
LAUT JAWA
Q maks 300 3/d t
Cijengkol Cigadung
B.Beet
B.Karang Saluran Tarum Barat
B..Kedung Gede
Saluran Tarum Timur
B.Bekasi
B. Walahar
Saluran Tarum Utara
Saluran Tarum Utara Cab Barat
Saluran Tarum Utara Cab Timur
B.Jengkol
B. Salamdarma
Q maks 1600 m3/det
Q max678 m3/det Q maks
350 m3/det
B. Gadung
Q maks 1050 m3/det
B. LebiahCiasem
C B L
Gambar 2. Skema Sistem Pengairan Jatiluhur
27
DI Jatiluhur dirancang sebagai sentra produksi padi untuk menopang
ketahanan pangan nasional, namun dalam perkembangannya, bertambahnya
jumlah penduduk pada masing-masing wilayah dan meluasnya wilayah
pemukiman serta meningkatnya sektor industri menyebabkan kebutuhan air non
pertanian terus meningkat dari waktu ke waktu, meskipun sektor pertanian masih
merupakan pemakai air terbesar. Sektor pengguna air yang bersumber dari
Waduk Jatiluhur ini terdiri dari sektor pertanian, industri dan perusahaan daerah
air minum (PDAM).
Apabila dilihat pada neraca penggunaan air tahunan di DI Jatiluhur (Tabel
6), total pemakaian air dibandingkan dengan air yang tersedia baik yang berasal
dari inflow sungai Citarum maupun sumber yang ada pada masing-masing
wilayah dan curah hujan yang terjadi menunjukkan proporsinya antara 43.78
persen sampai dengan 76.43 persen. Setiap tahun selalu terdapat surplus air,
yang berarti menambah stok pada Waduk Jatiluhur, baik pada tahun normal
maupun ketika El Nino terjadi yakni pada tahun 1997 dan 2003. Anomali iklim ini
menurunkan ketersediaan air yakni sekitar 7.88 milyar meter kubik (tahun 1997)
dan 7.91 milyar meter kubik (tahun 2003). Penurunan air yang tersedia ini
berakibat pada meningkatnya proporsi air yang digunakan yakni sekitar 76.43
persen dan 73.39 persen.
Sektor pertanian sebagai pengguna air terbesar yakni sebesar 92.21
persen (tahun 1994), mulai tahun 1999 sampai tahun 2004 proporsi sektor
pertanian terus menurun dari 90.76 persen menjadi 87.31 persen dari total air
yang digunakan. Komoditi utama yang memanfaatkan sumberdaya air tersebut
yakni padi, dengan luas lahan irigasi tehnis berkisar 240 ribu hektar. Pada tahun
2003, dimana merupakan tahun dengan curah hujan lebih sedikit dibanding
tahun-tahun sebelumnya memanfatkan sekitar 87.31 persen dari total air yang
digunakan.
28
Tabel 6. Neraca Air Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 1994 – 2003
TAHUN Irigasi Domestik Peternakan Industri Total Surplus/Citarum Setempat Total Perikanan Defisit
1994 7235.31 5167.38 12402.69 5418.73 331.30 72.14 54.65 5876.82 6525.87(58.34) (41.66) (92.21) (5.64) (1.23) (0.93)
1995 6544.22 5841.19 12385.41 6113.39 295.29 77.75 69.68 6556.11 5829.30(52.84) (47.16) (93.25) (4.50) (1.19) (1.06)
1996 6864.26 6062.76 12927.02 6789.63 331.27 59.48 78.46 7258.84 5668.18(53.10) (46.90) (93.54) (4.56) (0.82) (1.08)
1997 4644.24 3236.15 7880.39 5472.08 395.30 63.00 92.89 6023.27 1857.12(58.93) (41.07) (90.85) (6.56) (1.05) (1.54)
1998 6661.40 6442.58 13103.98 7151.13 447.37 47.68 101.72 7747.90 5356.08(50.83) (49.17) (92.30) (5.77) (0.62) (1.31)
1999 5587.00 4692.40 10279.40 5685.31 422.85 45.78 110.36 6264.30 4015.10(54.35) (45.65) (90.76) (6.75) (0.73) (1.76)
2000 4966.60 5505.90 10472.50 5978.27 428.03 46.20 118.54 6571.04 3901.46(47.43) (52.57) (90.98) (6.51) (0.70) (1.80)
2001 7122.27 6461.90 13584.17 6317.14 471.24 45.71 150.73 6984.82 6599.35(52.43) (47.57) (90.44) (6.75) (0.65) (2.16)
2002 5540.10 5882.00 11422.10 5781.56 522.21 47.59 156.03 6507.39 4914.71(48.50) (51.50) (88.85) (8.02) (0.73) (2.40)
2003 4294.46 3617.82 7912.28 5069.52 545.33 40.22 151.44 5806.51 2105.77(54.28) (45.72) (87.31) (9.39) (0.69) (2.61)
Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004)Keterangan : ( ) nilai persentase
PEMAKAIAN AIR ( juta m3)KETERSEDIAAN AIR (juta m3)SUMBER AIR
Pemakai air terbesar kedua adalah PDAM. dimana PJT II melayani
beberapa PDAM yakni dari Kabupaten Indramayu, Subang, Purwakarta,
Krawang, Bekasi dan DKI Jakarta. Proporsi penggunaan air sektor ini terus
meningkat sejak tahun 1999 sampai dengan 2003 yakni 6.75 persen dan 9.39
persen.
Industri merupakan sektor pemakai air Jatiluhur, dengan total pemakaian
air paling kecil dibandingkan kedua sektor lainnya. Industri yang ada di DI
Jatiluhur sangat bervariasi jenis, skala serta kebutuhan airnya. Proporsi sektor
industri hanya sekitar 0.93 persen pada tahun 1994 dan 2.61 persen pada tahun
2003. Meskipun proporsinya kecil dalam penggunaan air tetapi limbah yang
dihasilkan oleh kegiatan sektor ini mempengaruhi kualitas air di wilayah hilirnya.
Neraca air di Daerah Irigasi Jatiluhur yang terdapat pada Tabel 6
menggambarkan surplus air selama periode 1994-2003, hal ini bertentangan
29
dengan kenyataan dimana terjadi kelangkaaan air irigasi di wilayah tersebut
terutama pada musim kemarau dan pada saat adanya El Nino (1997 dan 2003).
Neraca air ini dibuat berdasarkan data tahunan yang merupakan kumulatif dari
penyaluran air tengah bulanan, sehingga tidak merefleksikan variasi alokasi air
berdasarkan waktu dan musim.
Wilayah Tarum Utara merupakan wilayah yang sumber air utamanya
berasal dari Waduk Jatiluhur, pada Tabel 7 terlihat behwa terdapat surplus
setiap tahunnya, bukan berarti di wilayah tersebut tidak mengalami kelangkaan
air. Sama seperti gambaran dari neraca DIJ, neraca air per wilayah berdasarkan
layanan saluran induk yang ada merupakan kumulatif tahunan sehingga tidak
dapat mengindikasikan terjadinya surplus atau defisit air sepanjang tahun.
Tabel 7. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Utara Tahun 1994 – 2004
KETERSEDIAANPERIODE (juta m3)
CURUG IRIGASI PDAM INDUSTRI TOTAL1994 4854.61 1577.53 3.57 3.97 1585.08
(99.52) (0.23) (0.25)1995 4412.42 1854.02 3.65 4.41 1862.08
(99.57) (0.20) (0.24)1996 4620.99 1920.02 3.66 5.39 1929.07
(99.53) (0.19) (0.28)1997 2617.62 1875.11 3.62 5.85 1884.58
(99.50) (0.19) (0.31)1998 4863.85 2275.83 4.86 6.22 2286.90
(99.52) (0.21) (0.27)1999 3674.34 2058.33 5.58 54.97 2118.88
(97.14) (0.26) (2.59)2000 3539.37 1999.19 5.83 36.91 2041.94
(97.91) (0.29) (1.81)2001 4501.91 2097.22 6.11 38.96 2142.29
(97.90) (0.29) (1.82)2002 5101.56 2129.37 6.37 39.13 2174.88
(97.91) (0.29) (1.80)2003 1903.53 1712.51 6.10 32.09 1750.71
(97.82) (0.35) (1.83)2004 2684.51 1927.53 6.11 30.70 1964.34
(98.13) (0.31) (1.56)
Sumber: Perum Jasa Tirta II (2004)Keterangan : ( ) nilai persentase
PEMANFAATAN(juta m3)
30
Pemakai air paling dominan di wilayah ini adalah sektor pertanian, yakni
sekitar 99.52 persen (tahun 1994) dan 98.13 persen (tahun 2004) sedangkan
PDAM dan industri memanfaatkan 0.31 persen dan 1.56 persen pada tahun
2004. Sektor industri meningkat pesat sejak tahun 1999, selain disebabkan
bertambahnya industri pemakai air tetapi juga ada beberapa pengalihan
pelayanan, pengalihan pelayanan dari Tarum Barat ke Tarum Utara. Proporsi
total penggunaan air terbesar terjadi pada tahun 2003 yakni sebesar 91.97
persen dari air yang disalurkan sedangkan pada tahun-tahun normal hanya
sekitar 47 persen.
Hal ini menandakan bahwa debit sungai Citarum sebagai sumber utama
mengalami penurunan yang berarti sehingga air yang disalurkan hanya sebesar
yang dibutuhkan, sedangkan pada tahun normal kelebihan air dari sungai
Citarum dibuang melalui saluran ini.
Wilayah Tarum Timur merupakan wilayah sentra produksi padi, sehingga
sektor pertanian mendominasi pemakaian air di wilayah ini, sama dengan
wilayah Tarum Utara. Sektor domestik dan industrinya pengguna air dengan
proporsi kecil, dan peningkatan penggunaannya relatif kecil. Selain ketiga sektor
tersebut, di wilayah ini ada sektor pengguna lainnya yakni sektor agroindustri.
Sektor pertanian pada tahun 2004 memanfaatkan sekitar 51 persen dari
air yang tersedia (Tabel 8). PDAM dan industri tidak terlalu pesat
perkembangannya, pada tahun 2004 masing-masing hanya menggunakan 0.16
persen dan 0.66 persen. Sektor industri perkembangannya tidak sepesat di
Wilayah Tarum Utara. Sektor agroindustri menggunakan air sebesar 3.46 persen
(tahun 1994) dan 2.20 persen (tahun 2004). Neraca air wilayah ini menunjukkan
bahwa wilayah Tarum Timur merupakan sentra produksi pangan (khususnya
padi) dan wilayah dengan perkembangan agroindustri yang tidak terdapat di
wilayah lainnya.
31
Tabel 8. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Timur Tahun 1994 – 2004
PERIODESBR LAIN CURUG TOTAL IRIGASI AGROIN PDAM INDUSTRI TOTAL
1994 3068.29 1161.54 4229.83 2000.84 72.05 1.90 7.75 2082.54(72.54) (27.46) (96.08) (3.46) (0.09) (0.37)
1995 3411.27 981.86 4393.13 2153.12 76.18 1.36 9.55 2240.20(77.65) (22.35) (96.11) (3.40) (0.06) (0.43)
1996 3116.80 1133.52 4250.32 2222.76 59.33 1.29 8.91 2292.28(73.33) (26.67) (96.97) (2.59) (0.06) (0.39)
1997 1856.45 1126.82 2983.27 2728.75 62.31 1.36 12.07 2804.48(62.23) (37.77) (97.30) (2.22) (0.05) (0.43)
1998 3842.41 1122.53 4964.94 2575.66 47.53 1.44 12.23 2636.86(77.39) (22.61) (97.68) (1.80) (0.05) (0.46)
1999 2823.45 1071.28 3894.73 2098.99 45.17 0.97 10.16 2155.29(72.49) (27.51) (97.39) (2.10) (0.05) (0.47)
2000 3515.97 1194.72 4710.69 2373.60 45.79 1.04 10.94 2431.37(74.64) (25.36) (97.62) (1.88) (0.04) (0.45)
2001 4392.08 1315.93 5708.01 2626.12 45.03 1.38 11.21 2683.74(76.95) (23.05) (97.85) (1.68) (0.05) (0.42)
2002 3529.96 1397.25 4927.21 2103.03 47.59 2.32 14.14 2167.09(71.64) (28.36) (97.04) (2.20) (0.11) (0.65)
2003 2032.90 1284.27 3317.17 2063.07 46.00 3.76 15.70 2128.53(61.28) (38.72) (96.92) (2.16) (0.18) (0.74)
2004 3211.76 1306.02 4517.78 2311.93 52.36 3.89 15.70 2383.88(71.09) (28.91) (96.98) (2.20) (0.16) (0.66)
Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004)Keterangan : ( ) nilai persentase
(juta m3)KETERSEDIAAN PEMANFAATAN
(juta m3)
Wilayah yang paling cepat perkembangannya sektor non pertaniannya
adalah wilayah Tarum Barat, wilayah ini berbatasan langsung dengan Jakarta
dan merupakan pemasok air baku untuk PAM DKI. Konversi lahan pertanian
menjadi lahan pemukiman juga meningkat pesat, meskipun sampai saat ini
sektor pertanian masih mendominasi pemakaian air sebesar 79.80 persen pada
tahun 2004 (Tabel 9). Sektor domestik (khususnya PAM DKI) merupakan
pengguna air terbesar kedua yakni sebesar 16.82 persen sedangkan PDAM
lainnya hanya sebesar 1.17 persen. Sektor industri menggunakan air sebesar
2.21 persen dari total air yang digunakan pada tahun 2004.
Proporsi penggunaan air sektor pertanian menurun dari tahun ke tahun,
seiring dengan peningkatan penggunaan dari PAM DKI, industri dan PDAM
lainnya. Perkembangan yang pesat dari kedua sektor non pertanian merupakan
gambaran pertumbuhan penduduk dan perkembangan sektor industri di wilayah
32
ini, juga meningkatnya wilayah perkotaan. Peningkatan wilayah perkotaan terjadi
dengan mengkonversi lahan pertanian menjadi pemukiman. yang berakibat pada
menurunnya penggunaan air sektor pertanian.
Tabel 9. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Barat Tahun 1994 – 2004
PERIODESBR LAIN CURUG TOTAL PERTANIAN INDUSTRI PDAM PAM DKI TOTAL
1994 2041.41 1106.35 3147.76 1840.85 9.65 3.30 322.01 2175.81 (64.85) (35.15) (84.61) (0.44) (0.15) (14.80)
1995 2401.44 1079.29 3480.72 2106.24 14.09 4.99 284.60 2409.92(68.99) (31.01) (87.40) (0.58) (0.21) (11.81)
1996 3106.06 1108.25 4214.31 2669.88 19.66 5.66 320.22 3015.42(73.70) (26.30) (88.54) (0.65) (0.19) (10.62)
1997 1505.29 1031.94 2537.23 2010.69 33.05 8.34 378.32 2430.41(59.33) (40.67) (82.73) (1.36) (0.34) (15.57)
1998 2714.69 1063.29 3777.97 2274.13 37.88 9.26 431.97 2753.25(71.86) (28.14) (82.60) (1.38) (0.34) (15.69)
1999 1778.62 1004.50 2783.12 2032.41 26.28 15.03 400.42 2474.13(63.91) (36.09) (82.15) (1.06) (0.61) (16.18)
2000 1989.36 1291.85 3281.21 2204.11 29.19 16.43 403.96 2653.68(60.63) (39.37) (83.06) (1.10) (0.62) (15.22)
2001 2069.82 1294.45 3364.27 1707.16 32.53 19.64 415.02 2174.35(61.52) (38.48) (78.51) (1.50) (0.90) (19.09)
2002 2352.06 1400.01 3752.07 2275.00 45.63 23.51 417.64 2761.78(62.69) (37.31) (82.37) (1.65) (0.85) (15.12)
2003 1584.97 1345.44 2930.41 2030.92 55.15 29.76 437.90 2553.72(54.09) (45.91) (79.53) (2.16) (1.17) (17.15)
2004 2250.54 1397.17 3647.71 2183.90 60.49 31.97 460.41 2736.78(61.70) (38.30) (79.80) (2.21) (1.17) (16.82)
Sumber: Perum Jasa Tirta II (2004)Keterangan : ( ) nilai persentase
(juta m3)PEMANFAATANKETERSEDIAAN
(juta m3)
Wilayah Tarum Barat sebagai wilayah penyangga DKI Jakarta,
merupakan wilayah dengan pertumbuhan non pertanian lebih pesat dari kedua
wilayah lainnya di DIJ. Perkembangan pemakaian air sektor non pertanian
seiring dengan pengalihan lahan dari areal pertanian ke pemukiman dan industri,
konversi lahan akan menggeser fungsi utama wilayah ini, bukan lagi sebagai
sentra produksi pangan tetapi sebagai wilayah perkotaan dan industri. Peralihan
dari fungsi wilayah ini, diduga akan meyebabkan persaingan antar sektor
pengguna air di wilayah tersebut.
33
2.7. Institusi Terkait dalam Pengelolaan DAS Citarum
DI Jatiluhur sebagai bagian dari DAS Citarum, dalam pengelolaannya
akan sangat terkait dengan pengelolaan DAS Citarum, termasuk institusi yang
terkait. Berbagai institusi yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya air di DAS
Citarum, diantaranya: (1) Departemen Kehutanan, (2) Departemen
Pertambangan dan Energi, (3) Kementerian Lingkungan Hidup, (4) Departemen
Dalam Negeri, (5) Departemen Pekerjaan Umum, (6) Departemen Pertanian,
(7) Departemen Perdagangan dan sebagainya. Berbagai institusi dalam
pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur, seperti (1) Perum Jasa Tirta II, (2)
PIPWS Citarum, (3) Proyek Andalan Irigasi Jawa Barat, (4) Dinas/Sub Dinas
Pengairan Kabupaten, (5) PT PLN Persero, (6) Balai Pengelolaan
Sumberdaya Air Wilayah Sungai, (7) Dinas Pengelolan SDA Provinsi Jawa Barat,
(8) Bapedalda, dan (9) Bapeda Provinsi.
Situasi tersebut menyebabkan tugas dan tanggung jawab atau mandat
yang diberikan pada lembaga atau institusi seperti PJT II sebagai operator DAS
Citarum menjadi sulit dan tidak jelas, dimana setiap institusi atau lembaga
memiliki rencana dan program pengelolaan sumberdaya air.
Di wilayah Citarum Hulu, terdapat berbagai program antara lain : Program
Pengendalian Banjir dan Kekeringan, Program Pembangunan Bendungan kecil
di Sungai Cikapundung, Program Pembagian Aliran dari Cibutarua ke Cisangkuy,
Proyek Pengembangan Penanaman Wilayah Hulu di Citarik. Semua rencana dan
program diatas seharusnya dapat dikoordinasikan dalam Rencana Induk
Pengelolan Sumberdaya Air Terpadu Citarum (Master Plan of Integrated Citarum
Water Resources Management). Ringkasan tugas dan tanggung jawab beberapa
lembaga yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya air di Citarum dapat dilihat
dengan jelas pada Tabel 10.
34
Tabel 10. Tanggung Jawab Institusi Pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2006
Deskripsi Wil Tang- kapan Air
Kuali-tas Air
Kuanti- tas Air
Lingkung- an Sungai
Banjir dan Kekeringan
Infras- truktur
Pusat dan Lokal √ √ √ √ √ ⎯
Dep. Pertamben √ ⎯ √ √ √ √
Dep. Kehutanan √ ⎯ √ ⎯ √ ⎯
Dep. Pertanian √ ⎯ √ ⎯ √ √
Dep. PU √ √ √ √ √ √
Kementrian LH ⎯ √ √ √ √ ⎯
Dep Perhub. ⎯ ⎯ √ ⎯ ⎯ ⎯
Dep.Industri ⎯ √ √ √ ⎯ ⎯
Dep. Kesehatan ⎯ √ √ √ ⎯ ⎯
Bapedalda ⎯ √ √ √ √ ⎯ Bappeda √ √ √ √ √ ⎯
Sumber : Direktorat SDA Departemen PU (2006) Keterangan : √ : Ya . ⎯ : Tidak
Tabel 11 menggambarkan institusi dan lembaga yang melakukan
perencanaan, operasional, pemeliharaan, rehabilitasi dan pembangunan di DAS
Citarum. Tanggung jawab satu dengan lainnya menjadi tumpang tindih sehingga
wilayah kerja masing-masing institusi tidak jelas. Sebagai contoh dalam
mengevaluasi kualitas air, PJT II sebagai “operator” fasilitas pengelolaan
berdasarkan pada Peraturan Gubernur No.94 tahun 1999 hanya diijinkan
mengambil contoh dan menganalisis sumberdaya air di badan sungai
(instream), dan tidak berhak terhadap sumberdaya air di daratan (off-stream),
meskipun banyak polutan dan limbah terjadi dan berasal dari wilayah tersebut.
Koordinasi pengelolaan sumberdaya air melalui batasan kuantitas air ada
pada Panitia Provinsi Tata Pengaturan Air (PPTPA) yang dibentuk oleh Gubernur
Provinsi Jawa Barat dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat
No:614.05/S.K.835.HUK/97, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 67/PRT/1993 tentang PPTPA dan Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA).
PPTPA diketuai oleh Kepala Kantor Koordinasi Wilayah Purwakarata, Wakil
35
Presiden Direktur PJT II, sedangkan sebagai Sekretaris Panitia adalah Direktur
Opersional PJT II, dan sebagai anggota panitia semua stakeholder yang terlibat
dalam pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum.
Tabel 11. Institusi-institusi Terkait dalam Pengelolaan DAS Citarum Tahun 2006
No Institusi/Lembaga Opera-sional
Pemeli- haraan
Rehabi-litasi
Pengem-bangan
Peman-tauan
Peren-canaan
1. Proyek Pengembangan DAS Citarum
⎯ ⎯ √ √ ⎯ √
2. Proyek Andalan Irrigation Jawa Barat ⎯ √
√
⎯
⎯
⎯
3. Perum Jasa Tirta II √ √ ⎯ ⎯ √ ⎯ 4. Dinas Pengairan
Kabupaten ⎯
⎯
√
√
⎯
⎯
5. Balai Pengelolaan Wilayah Sungai Citarum
⎯
⎯
√
√
√
⎯
6. Dinas Pengelolaan SDA Prov. Jawa Barat
⎯
⎯
⎯ √
√ √
7. Bapedalda ⎯ ⎯ ⎯ ⎯ √ ⎯ 8. Bappeda Provinsi
Jawa Barat ⎯
⎯
⎯
⎯
√
√
9. PT. PLN (Persero) √ √ √ √ √ √ 10 Perhutani ⎯ ⎯ √ √ √ ⎯ 11 PNP ⎯ ⎯ ⎯ √ √ ⎯
Sumber : Direktorat SDA Departemen PU (2006) Keterangan : √ : Ya . ⎯ : Tidak
Panitia menyiapkan program suplai air tahunan untuk berbagai
penggunaan di wilayah hilir Citarum serta menyiapkan dan menetapkan
operasioal terpadu waduk yang ada di Citarum dengan asumsi kondisi hidrolis.
Koordinasi antar institusi ataupun lembaga yang terlibat dalam pengelolan
DAS Citarum tidak dilakukan dengan baik sehingga berbagai program menjadi
tumpang tindih serta tanggung jawab setiap institusi menjadi tidak jelas.
Akibatnya ketika terjadi bencana yang disebabkan pengelolaan yang tidak
terkoordinasi, akan sulit mencari penyebab dab penanggung jawabnya.
36
2.7.1. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air
Guna menjaga kelestarian daerah tangkapan air. pemerintah daerah
merencanakan program koordinasi antar institusi yang terlibat antara lain.
Pemerintah Daerah Kabupaten, Perum Perhutani, PN Perkebunan, Bapedalda,
Tokoh Masyarakat dan PJT II. Program telah menetapkan Arboretum di Wayang
Windu, Air terjun Citarum di Gunung Wayang, Desa Kertasari, Kecamatan
Taruma Jaya, Kabupaten Bandung. Arboretum merupakan percontohan
penghutanan kembali lahan yang telah dijadikan perkebunan secara tidak sah
oleh rakyat setempat. PJT II menyumbang 15.50 ribu pohon yang ditanam
langsung di Wayang Windu, dan memagari sekeliling areal.
Program resettlement Kampung Pasir Peundey, Desa Mekar Jaya,
Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung, di Cisangkuy bagian hulu sungai
Citarum, pada akhir program PJT II menyumbang 6.72 ribu bibit pohon.
Rencana ini diusulkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Warga Peduli
Lingkungan dibawah kordinasi BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Seiring dengan program diatas Dirjen Bangda, Departemen Dalam Negeri
mengusulkan Proyek Penanaman dan Pengembangan Tanah Wilayah Hulu di
Citarik (Sub DAS Citarum) dengan pendanaan bersama pemerintah Jepang.
Areal yang menjadi target proyek adalah lahan pribadi atau masyarakat yang
berbatasan dengan areal hutan, proyek ini diperluas ke Sub DAS Cikeruh dan
Cirasea.
2.7.2. Pengelolaan Kualitas Air
Institusi kunci dalam pengelolaan kualitas air yakni jasa lingkungan dan
BAPPEDALDA pemerintah daerah setempat. Institusi ini memonitor kualitas air di
sungai dan drainase, dan bertanggung jawab dalam memelihara kualitas air yang
baik.
37
PJT II mengimplementasikan Program Air Bersih di Sungai Citarum dan
Bekasi sebagai aktivitas pengelolaan kualitas air, PJT II telah memonitor kualitas
air pada 70 stasiun sepanjang kedua sungai tersebut dan menganalisa sampel di
laboratorium sebulan sekali. Parameter hasil analisa dilaporkan ke institusi terkait
di Provinsi Jawa Barat, lembaga lingkungan hidup provinsi dan kabupaten
menindak lanjuti hasil laporan tersebut. Telah terjadi beberapa kasus, dimana
pemantauan dan laporan tidak tepat waktu sehingga tindak lanjutnya kurang
tepat.
2.7.3. Pengendalian Banjir dan Kekeringan.
Kegiatan pengendalian banjir dikoordinasi oleh Satkorlak tingkat
kecamatan sedangkan pegawai pemerintah dan staf PJT II merupakan anggota
unit tersebut. Kegiatannya meliputi persiapan antisipasi bencana banjir,
penyelamatan dan pemulihan. PJT II memfasilitasi dengan bahan dan fasilitas
yang ada di sistem jaringan Jatiluhur untuk mencegah banjir.
Dalam pengoperasian waduk-waduk di Citarum secara terpadu, PJT II
telah menyiapkan dan menetapkan aturan pelaksanaan harian untuk mengatasi
banjir dan kekeringan. PJT II memberi peringatan dini bila terjadi banjir ke
wilayah bencana, dan tim pengendali banjir untuk mencegah banjir di wilayah
hilir. Analisa pengoperasian waduk dengan berbagai kombinasi kesalahan atau
kejadian luar biasa yang mungkin terjadi pada ketiga waduk di sungai Citarum.
PJT II juga menetapkan dan merancang air yang tersedia selama
kemarau melalui pengenalan cara pemberian air gilir-giring pada saluran
sekunder sistem irigasi. Selanjutnya koordinasi dengan BBPT dan agensi lain
yang berkompeten dalam mempersiapkan dan melakukan pembibitan untuk
melakukan hujan buatan pada beberapa wilayah tertentu.
38
2.7.4. Pengelolaan Infrastruktur
Tugas dan tanggung jawab PJT II meliputi operasional dan pemeliharaan
infrastruktur sampai ke saluran sekunder sistem irigasi yang ada. PJT II tidak
berwenang memperbaiki infrastuktur karena merupakan aset pemerintah pusat,
semua biaya operasonal dan pemeliharaan dikeluarkan dari anggaran PJT II.
Pembangunan dan rehabilitasi infrastuktur sumberdaya air telah
dilakukan oleh Proyek Pengembangan DAS Citarum, dibawah pengendalian
Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum. Proyek
bertanggung jawab atas konservasi air, perbaikan sungai dan provisi air baku.
Sedangkan rehabilitasi dan perbaikan saluran sekunder telah dimplementasikan
melalui Proyek Andalan Irigasi Jawa Barat, dan anggarannya berasal dari
Provinsi Jawa Barat.
Banyaknya lembaga atau institusi yang terlibat dalam pengelolaan suatu
DAS menimbulkan berbagai masalah yang diakibatkan oleh tidak adanya
koordinasi serta menyebabkan ketidak jelasan tanggung jawab apabila terjadi
suatu resiko. Selain itu, banyaknya institusi atau lembaga yang terlibat
menyebabkan tingginya biaya pengelolaan serta sulitnya mengevaluasi
pelaksanaan program tersebut. Pengelolaan suatu DAS sebaiknya dilakukan
secara terpadu mulai dari hulu sampai ke hilir karena DAS merupakan suatu
kesatuan dimana kegiatan ataupun program yang diberlakukan pada wilayah
hulu akan mempengaruhi kondisi sumberdaya air di wilayah hilir.