bab ii tinjauan umum tentang perjanjian dan utang piutang dibawah tangan 2.1. perjanjian ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG
DIBAWAH TANGAN
2.1. Perjanjian
2.2.1. Pengertian Perjanjian
Sebelum berbicara masalah perjanjian Utang piutang terlebih
dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian
kalau dilihat dari Undang – undang Hukum Perdata (BW) dalam buku III
dapat dijumpai mengenai perikatan pada umumnya. Perikatan mempunyai
pengertian yang lebih luas dari perjanjian karena perikatan dapat berupa
perjanjian yang disebut dengan perikatan yang bersumber dari perjanjian.
Disamping itu ada juga perikatan yang bersumber dari undang – undang.
Menurut pandangan R. Subekti memberikan definisi, perjanjian adalah
“Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal.115
Beliau memberikan ketegasan, bahwa bagi para pihak yang
melakukan perikatan mempunyai keterikatan untuk berbuat sesuatu yang
masing-masing kepentingan yang telah disepakati. Ini berarti tiap-tiap
pihak yang melakukan perikatan itu harus bertanggung jawab terhadap hak
pihak yang lain. kuatnya perikatan itu, ditujukan dengan adanya hukum
15 Soebekti I, loc.cit.
22
untuk menuntut pihak lain yang melalaikan kewajibannya sebagai suatu
upaya hukum menjamin hak para pihak dalam peristiwa perikatan.
Dengan diadakannya suatu perjanjian maka para pihak yang
berjanji harus tunduk kepada hal–hal yang telah diperjanjikan. Semua
perjanjian harus dilakukan dengan etikad baik dan tidak boleh dilakukan
secara bertentangan dengan keputusan dan keadilan.
Menurut Yahya Harahap perjanjian adalah suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan
kekuatan hak pada suatu pihak untuk menunaikan prestasi.16 Dari
pengertian ini unsur perjanjian harus adanya hubungan hukum
menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang
memberikan hak pada suatu pihak yang meletakan kewajiban dipihak lain.
Dengan demikian perjanjian ini biasa disebut perjanjian sepihak
disamping perjanjian sepihak juga dikenal dengan perjanjian timbal balik
dalam perjanjian ini masing–masing pihak sama – sama mempunyai hak
dan kewajiban secara timbal balik. Pengertian itu ditunjukan pula, bahwa
terdapat adanya hak bagi para pihak yang lain, yang melakukan perjanjian,
disamping kewajibannya. Untuk menjamin kekuatan perjanjian itu, maka
dikatakan bahwa perjanjian yang merupakan kesempatan berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang melakukan perjanjian.
Kalau ditelusuri maka dari perikatan dan perjanjian, maka
didalamnya terdapat makna adanya persetujuan, jadi tidak akan ada
16 Yahya Harahap. M, loc.cit.
23
perikatan, bila tidak ada kesepakatan sebagai wujud. Bila berbicara
tentang hak dan kewajiban, maka hal itu akan membawa suatu
konsekuensi hukum bagi para pihak, dalam bagian ini menjelaskan tentang
perjanjian kredit perbankan pada umunya seperti yang telah dikemukakan
terlebih dahulu tentang perjanjian yang akan dikaji dari segi
pengertiannya.
Menurut R. Setiawan, Mengutip pendapat sarjana yang bernama
Pitlo menjelaskan pengertian Perikatan adalah suatu hubungan hukum
yang bersifat harta kekayaan antara dua atau lebih atas dasar pihak yang
satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi (debitur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.17
Sedangkan Mgs. Ady Putra Tje Aman, Secara lengkap menguraikan
pendapat beberapa ahli tentang pengertian adalah sebagai berikut :
1. Menurut K.R.M.T. Tirtoningrat, (1966.83) yang dimaksud dengan perjanjian adalah : suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua atau lebih untuk menimbulkan kata sepakat diantara dua atau lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukuman yang diperkenankan oleh undang – undang. 2. Soebekti, berpendapat bahwa perjanjian adalah : suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melakukan sesuatu hal. 3. Wiryo Projodikoro, menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau tidak untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut perjanjian itu”)18. Berdasarkan pendapat diatas, dapat diketahui adanya beberapa kesamaan
bahwa perjanjian mengandung pengertian suatu pernyataan kesepakatan
antara dua pihak atau bersama-sama melakukan dan untuk tidak
17 Setiawan.R, 1986, Pokok – pokok Hukum Perikatan,Bina Cipta, Bandung, h. 2. 18 Mgs. Edy Putra Tje Aman, 1985, Kredit Perbankan,Liberty Jakarta, h. 18.
24
melakukan sesuatu yang mengandung hak dan kewajiban diantara mereka
serta sepakat untuk menerima akibat bila mereka tidak memenuhi
persyaratan masing-masing.
2.1.2 Unsur-unsur Perjanjian
Unsur-Unsur perjanjian, Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi
dalam perjanjian yaitu :
1. Unsur Essensialia, merupakan unsur perjanjian yang selalu harus ada
dalam suatu perjanjian atau dengan kata lain merupakan suatu unsur
mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada,
misalnya: unsur kata sepakat, unsur “sebab yang halal” merupakan unsur
essensialia untuk adanya suatu perjanjian, seperti : harga barang yang
jelas.
2. Unsur Naturalia, merupakan unsur perjanjian yang oleh para pihak dapat
disingkirkan atau diganti, misalnya kewajiban penjual untuk menanggung
biaya penyerahan (levering) dan untuk menjamin (Pasal 1476 jo 1492
KUHPer) dapat dikesampingkan atas kesepakatan kedua belah pihak.
Unsur naturalia pada hakekatnya unsur yang merupakan hukum pelengkap
yang diatur di dalam Buku III KUHPer.
3. Unsur Accidentalia, merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh
para pihak dalam perjanjian tersebut, misalnya : untuk benda-benda
tertentu dapat dikecualikan dalam perjanjian. Unsur accidentalia
merupakan unsur yang secara khusus diperjanjikan dan mengikat para
25
pihak yang membuatnya, misalnya dalam perjanjian diperjanjikan bahwa
risiko tetap ada pada pihak penjual, meskipun barang masih ada pada
pihak penjual. Hal ini merupakan pengaturan yang secara khusus
diperjanjikan, menyimpang dari Pasal 1460 KUHPer.
Pelaksanaan suatu perjanjian, dalam pelaksanaan perjanjian perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu perjanjian
merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang
lain untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan
suatu perjanjian terdapat hal yang harus dilaksanakan yang disebut
prestasi.
2. Menurut prestasinya perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang.
b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.19
3. Eksekusi Riil, ialah dalam hal si berutang (debitur) tidak dapat
melaksanakan apa yang telah dijanjikan (tidak menepati janjinya), maka si
berpiutang (kreditur) dapat mewujudkan sendiri prestasinya yang
dijanjikan dengan biaya debitur. Walaupun selalu ada kemungkinan
mendapatkan suatu ganti rugi, tetapi lebih memuaskan bagi seseorang
apabila mendapatkan apa yang telah dijanjikan itu. Apa yang diperjanjikan
19 Subekti III, loc.cit
26
itu disebut prestasi primair sedangkan ganti rugi disebut prestasi subsidair.
Secara harfiah eksekusi riil berarti pelaksanaan atau pemenuhan kewajiban
debitur seperti yang diperjanjikan.20
4. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian, yaitu untuk
melaksanakan suatu perjanjian terlebih dahulu harus memperhatikan
secara cermat apa isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja
hak dan kewajiban masing-masing pihak. 2 Dan menurut Pasal 1339
KUHPer bahwa suatu perjanjian tidak hanya untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-
undang.
Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh masing-
masing pihak. Karena ini merupakan salah satu sendi yang paling penting dalam
hukum perjanjian. Bila awalnya sudah tidak mempunyai niat yang tidak baik bisa
menimbulkan berbagai masalah, artinya perjanjian tersebut harus dilaksanakan
dengan mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan, dan kesusilaan.
Menurut Pasal 1338 KUHPer menyatakan bahwa setiap perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan untuk
mengawasi pelaksanaan perjanjian agar pelaksanaan perjanjian tersebut tidak
menyimpang dari kepatutan dan keadilan. Maksud dari Pasal 1338 KUHPer bila
dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum maka hukum itu
mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian (ketertiban) supaya apa yang
20 J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung, h. 57.
2 Subekti III, op.cit, h. 39
27
diperjanjikan dapat dipenuhi dan memenuhi tuntutan keadilan dengan tidak
meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.
Suatu isi perjanjian terdiri dari serangkaian kata-kata maka perlu lebih
dahulu ditetapkan dengan cermat apa yang dimaksudkan oleh para pihak,
perbuatan ini dinamakan menafsirkan perjanjian. 3 Penafsiran perjanjian ini
mempunyai pedoman utama yaitu jika kata-kata dalam perjanjian itu jelas, maka
tidak dibolehkan untuk menyimpang dari jalan penafsiran tersebut, misalnya :
dalam suatu perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi,
maka tidak boleh ditafsirkan sebagai seekor kuda.
Disamping pedoman utama terdapat pula pedoman-pedoman yang lain, yang
penting dalam menafsirkan perjanjian, adalah:
a. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam
penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang
membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata
menurut hukum.
b. Jika sesuatu janji berisikan dua macam pengertian, maka dipilih
pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada
memberikan pengertian yang tidak memungkinkan pelaksanaannya.
c. Jika kata-kata dapat memberikan dua macam pengertian, maka harus
dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
d. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan atau di tempat di mana perjanjian itu diadakan.
3 Subekti III, Ibid, h. 43
28
e. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji
harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
f. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas
kerugian orang yang telah meminta diperjanjikan suatu hal dan untuk
keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.4
2.1.3 Syarat-syarat sahnya perjanjian
Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang telah memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga diakui
oleh hukum. Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila telah memenuhi 4
syarat seperti yang ditegaskan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.
Dimana untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal 24
Empat syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian artinya syarat-syarat
tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa syarat ini perjanjian
dianggap kurang baik. Syarat No. 1 (Kesepakatan mereka yang
mengikatkan diri) dan syarat No. 2 (kecakapan untuk membuat suatu
perikatan) disebut sebagai syarat subjektif yaitu syarat untuk subjek
4 Subekti III, Ibid, h. 44 24 Surya Diningrat, 1982, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h. 35.
29
hukum atau orangnya. Sedangkan syarat No. 3 (suatu hal tertentu) dan
syarat No.4 (suatu sebab yang halal) disebut sebagai syarat objek yaitu
syarat untuk objek hukum atau bendanya.
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
Dengan dianutnya asas konsensualisme dalam hukum perjanjian
yaitu “asas bahwa perjanjian sudah sah dan mengikat pada detik
tercapainya sepakat (konsensus), adalah suatu asas universal”.25
Dengan adanya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa
kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Pada dasarnya
kesepakatan ini terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya
kebebasan bersepakat para subyek hukum atau orang dapat terjadi dengan
:
1. Secara tegas baik dengan mengucapkan kata atau tertulis
2. Secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat.26
Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok
dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu
juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik.
25 Subekti, 1993, Perbandingan Hukum Perdata, Cet. XII, Pradnya Paramita,
Jakarta, (Selanjutnya Disebut Subekti V), h. 40. 26 C.S.T. Kansil, 1995, Op.Cit, h. 24.
30
Dalam mengadakan perjanjian tertentu kata sepakat saja belum
cukup melainkan harus ada suatu bentuk atau perbuatan tertentu yang
dikehendaki secara nyata, maka perjanjian tersebut dikatakan pula
perjanjian riil.
Dalam perjanjian utang piutang di bawah tangan pernyataan
sepakat berarti belum cukup, maka harus disertai dengan suatu perbuatan
nyata yaitu penyerahan sejumlah uang dari pihak kreditur kepada debitur.
Uang merupakan obyek dari perjanjian Utang piutang. Begitu uang
diserahkan berarti sejak saat itu perjanjian tersebut lahir dan mengikat
kedua belah pihak. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut
menginginkan perjanjian yang mereka buat mengikat secara sah.
“Mengikat secara sah artinya perjanjian itu menimbulkan hak dan
kewajiban bagi yang diakui oleh hukum”.27
2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Pada prinsipnya para pihak dalam suatu perjanjian diisyaratkan
harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri, prinsip demikian
dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap pihak yang
sebenarnya tidak cakap bertindak dari akibat-akibat yang dapat
merugikannya.
Kecakapan untuk membuat perjanjian adalah apabila seseorang
mempunyai kemampuan untuk berbuat sendiri tanpa bantuan orang lain,
27 Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Cet. II, Alumni, Bandung,
(Selanjutnya Disebut Abdul Kadir Muhammad I), h. 94.
31
untuk mengemukakan suatu perjanjian dan orang yang membuat perjanjian
tersebut haruslah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan tentang segala
perbuatannya.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
Dan pada asasnya, tiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat
pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata
disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah :
1. Orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan 3. Semua orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.28 Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang
membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu
mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan
tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari
sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian
itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah
seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta
kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi
tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu
perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan menurut hukum
28 Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Cetakan XVII, Intermasa, Jakarta,
(Selanjutnya Disebut Subekti VI), h. 17.
32
tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah
pengawasan pengampuan, sehingga kedudukannya sama dengan seorang
anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus
diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah
ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampunya atau
kuratornya.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seorang perempuan
yang bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan
atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (Pasal 108 KUH Perdata).29
Namun pasal ini sudah tidak berlaku lagi setelah adanya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009. semua orang yang dilarang oleh
undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu, Mengenai
hal tertentu ini mempunyai makna bahwa perjanjian tersebut harus
mengenai suatu obyek tertentu, sehingga perjanjian yang telah dibuat akan
terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama
tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaaan pihak yang berhak meminta
pembatalan tersebut.
3. Suatu hal tertentu
Sebagai syarat ketiga disebutkan suatu perjanjian harus mengenai
suatu hal tertentu, artinya objek yang berupa barang atau hak serta
harganya haruslah tertentu dan dapat ditentukan sehingga jelas pula apa
yang menjadi hak-hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian
29 Ibid, h. 18.
33
itu. Jika timbul suatu perselisihan barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu
sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu
perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh Undang-Undang juga jumlahnya
tidak perlu ditentukan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Dalam membuat perjanjian antara subyek hukum mengenai obyeknya,
apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak,
benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai obyek hukum benda oleh
pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai :
1. Jenis barang 2. Kualitas dan mutu barang 3. Buatan pabrik dan dari negara mana 4. Buatan tahun berapa 5. Warna barang 6. Ciri khusus barang tersebut 7. Jumlah barang 8. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu 30 Menurut Pasal 1332 KUH Perdata yang menentukan bahwa hanya barang
barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian.
4. Suatu sebab yang halal
Dalam pengertian pada benda (obyek hukum) yang menjadi pokok
perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut
hukum sehingga perjanjian itu kuat. Yang dimaksud sebab yang halal
dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah bukannya dalam arti yang
30 C.S.T. Kansil, 1995, Op.Cit, h. 226.
34
menyebabkan orang membuat perjanjian atau yang mendorong orang
membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu
sendiri” yang menggambarkan tujuan yang dicapai oleh para pihak.
Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menyebabkan dan
mendorong seseorang untuk mengadakan perjanjian, namun yang diawasi
oleh Undang-Undang adalah isi dari perjanjian itu apakah bertentangan
dengan kesusilaan atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban
umum atau tidak. “Ini diakibatkan Undang-Undang tidak memberikan
pegangan yang pasti tentang pengertian apa itu sebab dalam perjanjian”. 31
Wiryono Projodikoro, memberikan pengertian sebab atau kausa dalam
hukum perjanjian adalah sebagai isi dan tujuan dari suatu perjanjian,
sehingga menyebabkan adanya perjanjian itu.32
Menurut Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab
adalah terlarang apabila oleh Undang-Undang bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum. Akibat dari hukum dari perjanjian yang
berkausa tidak halal adalah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.
Berarti tidak mempunyai dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di
muka hakim, karena sejak semula perjanjian itu dianggap tidak pernah
ada.
Maka dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian Utang piutang.
31 Purwahid Patrick, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian dan dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, h. 64. 32 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. XXII, PT.
Bale, Bandung , h. 35.
35
1. Mengenai obyek perjanjian ialah : a. Isi dari perjanjian b. Tujuan perjanjian
2. Mengenai subyek perjanjian ialah : a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu
melakukan perbuatan hukum tersebut. b. Ada sepakat yang menjadi dasar perjanjian yang harus
dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan atau penipuan) 33
Jadi jelas diantara persyaratan – persyaratan tersebut harus
dipenuhi oleh para pihak, karena ada kondisi seseorang menurut hukum
dinyatakan tidak cakap untuk melaksankan perbuatan hukum yakni
sebagai berikut :
1. Orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal tertentu
ditetapkan oleh undang- undang telah dilarang untuk
membuat persetujuan-persetujuan tertentu;
Bertitik tolak pada ketentuan pasal tersebut diatas, maka perikatan,
persetujuan dan perjanjian mengandung resiko dan akibat hukum yang
bisa menyebabkan kehidupan seseorang atau para pihak berada dalam
kondisi yang tidak memberikan kebebasan untuk bertindak secara diluar
hukum, karena telah diikat serta dibatasi dalam suatu kondisi dimana hak-
hak tertentu serba terbatas karena adanya ketentuan hukum.
33 Subekti, 1992, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung, (Selanjutnya Disebut Subekti VII), h. 16.
36
Selanjutnya yang ada dalam pokok-pokok perjanjian itu, merupakan
hukum dan Undang-undang yang berlaku bagi para pihak yang
membuatnya, hal itu dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu :
semua persetujuan dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Demikian pula persetujuan itu tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang34.
Berdasarkan undang-undang dan peraturan tersebut maka syarat-
syarat suatu perjanjian sangat diperlukan dan ditentukan oleh berbagai
keadaan yang ditentukan berdasarkan hukum, seperti syarat sahnya suatu
perjanjian, kejelasan benda dan atau perbuatan yang diperjanjikan serta
mereka dalam keadaan cakap untuk melakukan persetujuan dan perjanjian
menurut ketentuan–ketentuan yang berlaku, seperti keadaan sebenarnya
dari pihak yang melakukan perjanjian yang merupakan kondisi obyektif,
bahwa mereka diakui secara hukum dan memenuhi aturan serta norma
lainnya sesuai dengan agama, norma adat dan norma susila lannya yang
berlaku dimana perjanjian itu dilakukan.
2.2. Utang Piutang Dibawah Tangan
2.2.1. Pengertian Utang Piutang Dibawah Tangan
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan
34 R.Setiawan, Op.cit. h. 11.
37
dalam jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di
kemmudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang
wajib dipenuhi oleh debitur dan apabila tidak dipenuhi member hak kepada
kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.
Piutang adalah tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas uang, barang
atau jasa yang ditentukan dan bila debitur tidak mampu memenuhi maka kreditur
berhak untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.
Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam yang dijumpai
dalam kitab Undang-Undang hukum Perdata Pasal 1721 yang berbunyi:“pinjam
meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu dan habis pemakaian dengan
syarat bahwa yang belakangan ini akan mengemballikan sejumlah yang sama dari
macam keadaan yang sama pula”
Sehingga hutang piutang yaitu merupakan kegiatan antara orang yang
berhutang dengan orang lain/ pihak lain pemberi hutang atau disebut pelaku
piutang, dimana kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang dipaksakan
melalui suatu perjanjian atau melalui pengadilan. Atau dengan kata lain :
merupakan hubungan yang menyangkut hukum atas dasar seseorang
mengharapkan prestasi dari seorang yang lain jika perlu dengan perantara hukum.
Sedangkan maksud dibawah tangan tersebut menurut kamus besar bahasa
indonesia merupakan kata kiasan tidak di muka umum, tidak dilaksanakan secara
resmi atau tidak disaksikan oleh pihak resmi, di bawah kekuasaan orang
sehinggga pengertian perjanjian utang-piutang di bawah tangan adalah
38
hukum perdata dibuat oleh para pihak atas dasar kesepakatan mereka
untuk menyetujui isi dan bentuk dari perjanjian dan ditandatangani secara
langsung dengan tulisan oleh yang menandatangani dan dibawahnya
ditulis jumlah uangnya.
Pada saat sekarang ini masih ada juga yang membuat perjanjian
Utang piutang cukup dengan kuitansi saja sebagai tanda bukti bahwa
sekreditur telah memberikan sejumlah uang kepada si debitur tanpa
bantuan dari seorang pejabat umum yang berwenang.
Mengenai akta di bawah tangan tersebut diatur dalam Pasal 1874 KUH
Perdata yang mengatakan bahwa :
“Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akte-akte yang
ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara
seorang pejabat umum.”
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa
perantaraan seorang pejabat umum. Melainkan dibuat dan ditandatangani
sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam bentuk
akta di bawah tangan salah satunya adalah perjanjian Utang piutang di mana
hanya dibuat oleh pihak yang berkepentingan tanpa bantuan seorang pejabat
umum yang berwenang seperti Notaris / PPAT.
Perjanjian Utang piutang di bawah tangan adalah : Perjanjian yang dibuat oleh
para pihak sendiri tanpa ada bantuan dari pejabat umum. Dimana para pihak
39
tersebut tertarik untuk melakukan perjanjian Utang piutang di bawah tangan
disebabkan karena praktis, ekonomis, perlu uang cepat, dan tanpa perlu pejabat
yang berwenang.
Para pihak telah terikat dengan apa yang menjadi isi dari perjanjian
yang telah mereka sepakati dan yang telah ditandatangani, karena dengan
ditandatanganinya suatu perjanjian artinya para pihak telah menyetujui isi
dan mentaati serta melaksanakan apa yang tercantum dalam perjanjian
tersebut yang sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
Undang bagi mereka yang membuatnya.
Menurut Pasal 1876 KUH Perdata atau Pasal 2 dari Ordonansi
Tahun 1867 Nomor 29 yang memuat ketentuan tentang “kekuatan
pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang
Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka”.35 Maka barang siapa
yang terhadapnya diajukan suatu tulisan dibawah tangan (yang
dimaksudkan ialah akte di bawah tangan) diwajibkan secara tegas
mengakui atau memungkiri tanda tangannya.
Maka dari itu segala bentuk surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak
yang dibuat berdasarkan kesepakatan mereka, berlaku sebagai Undang-
Undang bagi mereka yang membuatnya dan juga bersedia untuk
mengikatkan diri dengan para pihak yang ikut serta dalam perjanjian
tersebut. Perjanjian Utang piutang yang dibuat secara sah tanpa ada
35 Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Cet. XXIII, Pradnya Paramita, Jakarta,
(Selanjutnya Disebut Subekti VIII), h. 29.
40
paksaan dari manapun dan dibuat oleh orang yang mempunyai kecakapan
untuk membuat perjanjian maka perjanjian tersebut telah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga para pihak harus
mentaati dan melaksanakan isi dari perjanjian yang telah dibuat tersebut.
Maka dalam uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan perjanjian Utang piutang dibawah tangan adalah segala segala
bentuk surat perjanjian Utang piutang, baik berupa kuitansi saja yang
dibuat oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat
umum yang berwenang membuatnya.
2.2.2. Lahirnya Perjanjian Utang Piutang Dibawah Tangan
Menurut asas konsensualisme suatu perjanjian lahir pada detik
tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak
mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi pokok perjanjian.
Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara kedua belah
pihak tersebut, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga
yang dikehendaki oleh pihak yang lain,meskipun tidak sejurusan tetapi
secara timbal balik, kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian untuk mengetahui apakah telah lahirnya suatu
perjanjian suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila
kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahir suatu perjanjian. Dalam
suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak berjumpa
atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut
41
masih dapat dipakai, tetapi di dalam masyarakat yang sudah ramai dan
modern, ukuran tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang
memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam menyelenggarakan
urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat untuk tercapainya suatu
perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa
ditinggalkan, sebab sudah sering terjadi apa yang ditulis dalam surat atau
yang diberitahukan lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan
atau berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan
surat menyurat atau telegram tadi. Berhubung dengan kesulitan-kesulitan
yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang
dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa yang
dinyatakan oleh seseorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai
sebagai pegangan untuk orang lain.
2.2.3. Berakhirnya perjanjian utang dibawah tangan
Suatu perjanjian yang dibuat oleh kreditur dan debitur secara umum
pada suatu saat akan berakhir dan dengan demikian hapuslah perikatan itu.
Apabila kita tinjau mengenai hapusnya perikatan itu terdapat peraturannya
yaitu :
1. Yang terdapat dalam KUH Perdata secara umum terdapat dalam
Pasal 1361 KUH Perdata dan pasal-pasal berikutnya. Mengenai
hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUH Per, terjadi karena 10
hal, yaitu :
42
a. Karena pembayaran
b. Adanya consignatie, artinya adalah penawaran pembayaran
tunai diikuti oleh penyimpanan barang atau penitipan barang.
c. Pembaharuan utang (novatie)
d. Adanya kompensasi, berarti perhitungan utang sebelah
menyebelah atau perjumpaan utang.
e. Pencampuran utang
f. Pembebasan utang
g. Hapusnya barang yang terutang
h. Pembatalan perjanjian atau kebatalan
i. Berlakunya suatu syarat pembayaran yang diatur dalam Bab I
Buku III KUH Perdata.
j. Lewat waktu (kadaluwarsa) hal ini akan diatur dalam bab
tersendiri.
2. Yang terdapat pengaturannya di luar KUH Perdata. Sedang
mengenai hapusnya perikatan yang diatur di luar KUH Perdata
terjadi karena yaitu :
a. Lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam
perjanjiannya.
b. Hilangnya atau meninggalnya seorang anggota dalam perjanjian
contohnya karena perjanjian perseroan (maatschap) dan dalam
perjanjian pemberian kuasa (lastgeving).
c. Meninggalnya orang yang memberikan perintah.
43
d. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap
e. Di dalam isi perjanjian ditegaskan hal-hal yang menghapuskan
perjanjian itu.
Dalam perjanjian utang piutang di bawah tangan akan berakhir
apabila si debitur telah memenuhi kewajibannya untuk membayar
Utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.
Pembayaran yang dimaksudkan tidak diharuskan berupa uang saja, tetapi
penyerahan barang juga disebut juga pembayaran. Pada asasnya hanya
orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara
sah, seperti yang terutang atau orang yang menanggung, walaupun
demikian pihak ketiga yang tidak berkepentingan dapat membayar utang
secara sah, asalkan saja ia bertindak atas nama si berutang. Maka si
berpiutang diharuskan untuk menerima pembayaran tersebut.