bab ii tinjauan umum mengenai yurisdiksi...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI YURISDIKSI, TANGGUNG JAWAB
NEGARA DAN KAWASAN TUMPANG TINDIH
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Yurisdiksi Negara
Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan negara.
Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara
untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, namun kegiatan
tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional20. Berdasarkan hukum
internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek yaitu21:
a. Aspek ekstern yaitu hak negara untuk melakukan hubungan dengan
berbagai negara tanpa ganguan maupun campur tangan dari negara lain
b. Aspek intern yaitu hak dan wewenang suatu negara untuk menentukan
segala urusan dalam negeri di berbagai bidang.
c. Aspek teritorial yaitu kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh
negara atas individu dan benda di wilayah negara tersebut.
Dengan adanya kedaulatan, negara memiliki wewenang untuk menetapkan
dan menegakkan hukum nasionalnya. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi
dalam hukum internasional.
2.1.1 Pengertian Yurisdiksi Negara
Negara memiliki kedaulatan yang kemudian melahirkan hak dan
kewenangan untuk mengatur hal-hal internal dan eksternal negara itu, termasuk
menetapkan ketentuan hukum nasional terhadap suatu peristiwa. Kewenangan ini
20Boer Mauna, Op.cit, h. 23. 21Ibid, h. 24.
13
dikenal sebagai yurisdiksi negara dalam Hukum Internasional. Kata Yurisdiksi
berasal dari kata yurisdictio. Yurisberarti kepunyaan hukum atau kepunyaan
dalam hukum, sedangkan dictio berarti ucapan, sabda, atau sebutan22. Maka
dilihat dari asal katanya, yurisdiksi berarti masalah hukum, kepunyaan menurut
hukum, atau kewenangan menurut hukum. Dalam Piagam PBB sering digunakan
istilah domestic jurisdiction yaitu kewenangan domestik. Meskipun dalam
praktek, yurisdiksi lebih sering digunakan untuk menyatakan kewenangan yang
dimiliki oleh negara terhadap orang, benda, atau peristiwa. Adapun beberapa
pendapat para ahli mengenai yurisdiksi, adalah sebagai berikut :
a. Menurut Wayan Parthiana, apabila yurisdiksi dikaitkan dengan negara
maka berarti kekuasaan atau kewenangan negara untuk menetapkan
dan memaksakan hukum yang dibuat oleh negara itu sendiri23.
b. Menurut Imre Anthony Csabafi, yurisdiksi negara dalam hukum
internasional publik berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan
mepengaruhi dengan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan
yudikatif atas hak-hak individu, harta kekayaan, dan peristiwa yang
tidak hanya mencakup masalah dalam negeri24.
c. Menurut Shaw, yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum
negara terhadap orang, benda, dan peristiwa hukum. Yurisdiksi
22Sefriani, 2014, Hukum Internasional : Suatu Pengantar, Cetakan IV, Rajawali Pers,
Jakarta, h. 232. 23I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung,
h.294. 24Anthony Csabafi, 1971, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law,
The Hague, h. 45.
14
merupakan refleksi dari kedaulatan negara, persamaan derajat negara,
dan prinsip non intervensi25.
d. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua)
pengertian, yaitu :
1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;
2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu
wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum26.
e. Menurut John O’Brien, yurisdiksi yang dimiliki oleh negara yang
berdaulat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kewenangan negara untuk membuat ketentuan hukum terhadap
orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya
(legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction).
2. Kewenangan negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-
ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or
enforcement jurisdiction).
3. Kewenangan pengadilan negara untuk mengadili dan memberikan
putusan hukum (yudicial jurisdiction)27
2.1.2 Prinsip Yurisdiksi Negara
A. Yurisdiksi Teritorial
Semua Negara merdeka yang berdaulat memiliki yurisdiksi terhadap
semua orang dan benda di dalam batas teritorialnya dan dalam semua perkara
25Sefriani, Op.cit, h.233. 26Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta, h. 1278 27Sefriani, Op.cit, h. 234.
15
pidana dan perdata yang timbul di wilayah teritorialnya, prinsip ini dikemukakan
oleh Lord Macmillan.
Jika terjadi suatu kejahatan di wilayah teritorial suatu Negara, maka
pengadilan Negara tersebut memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan :
a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah negara yang ketertiban
sosialnya paling terganggu.
b. Biasanya pelaku kejahatan ditemukan di mana kejahatan dilakukan.
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti sehingga proses
persidangan dapat lebih efisien dan efektif.
d. Seorang WNA yang datang ke wilayah suatu negara dianggap
menyerahkan diri pada sistem hukum nasional negara tersebut, sehingga
ketika ia melakukan pelanggaran maka ia harus tunduk pada hukum
setempat meskipun mungkin saja apa yang dilakukan sah (lawful) menurut
sistem hukum nasional negaranya sendiri28.
Seiring dengan perkembangan teknologi, prinsip yurisdiksi teritorial
dianggap kurang relevan karena seseorang dapat melakukan kejahatan terhadap
suatu negara padahal ia sedang berada di negara lain. Oleh sebab itu dilakukan
perluasan terhadap prinsip ini guna memberikan pembenaran terhadap tindakan
yang dilakukan oleh negara dalam kasus-kasus dimana satu atau lebih unsur
penyusun tindakan atau perbuatan yang terjadi di luar wilayah negara tersebut.
Secara teknis, perluasan yurisdiksi teritorial adalah sebagai berikut :
a. Prinsip Teritorial Subjektif (Subjective Territorial Principle)
28Ibid, h. 239.
16
Dengan menerapkan prinsip ini, maka negara dapat menuntut dan
menghukum pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di wilayah
negaranya tetapi tindakan itu diselesaikan atau menimbulkan kerugikan di
negara lain. Penerapan prinsip ini tidak secara umum melainkan secara
khusus oleh negara-negara yang terlibat dalam Konvensi Jenewa untuk
Memberantas Pemalsuan Mata Uang (Genewa Convention for Suppression
of Counterfeiting Currency) 1929 dan Konvensi Jenewa untuk
Memberantas Obat Bius (Genewa Convention for Suppression of Illicit
Traffic Drug) 1936. Konvensi ini mengatur setiap negara peserta
berkewajiban menghukum tindak kejahatan dimanapun akhir tindakan itu
dilakukan.
b. Prinsip Teritorial Objektif (Objective Territorial Principle)
Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan
yang menimbulkan kerugian di negaranya meskipun perbuatan itu dimulai
dari negara lain, tetapi dengan syarat perbuatan tersebut dilaksanakan atau
diselesaikan di dalam wilayah mereka dan menimbulkan akibat yang
sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial ekonomi di wilayah mereka.
Hyde mengemukakan definisi teori teritorial objektif adalah perbuatan
yang digerakan dari luar suatu negara yang menimbulkan akibat yang
berbahaya sebagai konsekuensi langsungnya yang karena itu
17
membenarkan yang berdaulat di wilayah itu untuk menuntut pelaku jika
pelaku itu memasuki wilayah negara tersebut29.
Meskipun yurisdiksi ini penting dan kuat, tetapi dalam prakteknya tidak
bersifat multak karena terdapat beberapa pembatasan atau pengecualian terhadap
penerapan yurisdiksi ini. Imunitas tersebut dapat dinikmati oleh :
a. Pejabat diplomatik negara asing
Pejabat diplomatik memiliki imunitas hukum nasional negara dimana
mereka ditempatkan. Imunitas ini meliputi imunitas dari yurisdiksi
kriminal negara tuan rumah, yurisdiksi sipil, dan yurisdiksi administratif.
Imunitas ini tercantum dalam Konvensi Wina tentang Hubungan-
hubungan Diplomatik Pasal 31-32.
b. Terhadap negara dan kepala negara asing
Berdasarkan prinsip par in parem non habet imperium maka suatu negara
yang berdaulat tidak dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap negara lain
yang berdaulat kecuali terhadap yang lebih rendah. Kepala negara
merupakan suatu negara dimanapun berada oleh sebab itu kepala negara
mendapatkan imunitas30.
c. Kapal publik negara asing
Terdapat dua teori mengenai imunitas dari yurisdiksi negara terhadap
kapal publik negara asing, yaitu :
a. Teori pulau terapung (floating island), teori ini menyatakan bahwa
kapal negara harus dianggap sebagai bagian dari wilayah negara sesuai
29J.G Starke, 2014, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 273-274. 30Ibid, h. 279.
18
bendera kapal. Maka kapal tersebut dapat dikatakan sebagai wilayah
ekstrateritorial negara bendera.
b. Pengadilan lokal memberikan imunitas kepada kapal, awak kapal dan
isi kapal yang tidak bergantung pada floating island theory. Imunitas
ini diberikan atas dasar hukum nasional negara tersebut. Imunitas ini
dapat dihapus oleh negara pemilik kapal31.
d. Organisasi internasional
Tiap organisasi internasional memiliki imunitas di walayah-wilayah
negara anggotanya32.
B.Yurisdiksi Terhadap Individu
Yurisdiksi terhadap individu bergantung pada kualitas orang yang terlibat
dalam suatu peristiwa hukum. Kualitas orang ini dapat membenarkan suatu negara
atau beberapa negara melakukan tindakan hukum terhadap orang yang memasuki
wilayah negara tersebut. Berdasarkan praktek internasional, yurisdiksi ini
dilaksanakan menurut prinsip-prinsip berikut :
a. Prinsip nasionalitas aktif
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap warga
negaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Prinsip ini
diberikan oleh hukum internasional kepada setiap negara yang ingin
memberlakukannya. Prinsip ini juga memberikan hak kepada negara yaitu
negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan
tindak pidana yang mengikutsertakan negara lain kepada negara tersebut.
31Ibid, h. 293. 32Sefriani, Op.cit, h. 241.
19
b. Prinsip Nasionalitas Pasif
Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi guna
melindungi warga negaranya yang menjadi korban kejahatan oleh orang
asing di luar negeri. Dasar pembenar yurisdiksi ini adalah bahwa setiap
negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan apabila
negara asal pelaku kejahatan tidak bisa atau tidak memungkinkan untuk
menghukum pelaku tersebut maka negara asal korban berwenang untuk
memberikan hukuman dengan syarat yaitu pelaku harus berada di wilayah
teritorialnya33.
C. Yurisdiksi Menurut Prinsip Perlindungan
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing
yang melakukan kejahatan serius yang mengancam kepentingan vital negara,
keamanan, kedaulatan, dan ekonomi. Alasan-alasan pembenar yurisdiksi dengan
prinsip perlindungan adalah sebagai berikut :
a. Dampak yang timbul dari kejahatan tersebut sangat besar bagi negara yang
dituju.
b. Jika yurisdiksi suatu negara tidak dilaksanakan menurut prinsip
perlindungan, maka pelaku kejahatan dapat lolos dari hukuman. Karena
negara dimana kejahatan itu dilakukan menganggap perbuatan itu tidak
melanggar hukum atau karena ekstradisi yang akan ditolak dengan alasan
bahwa kasus bersifat politis.
33J.G. Starke, Op.cit, h. 303.
20
Prinsip ini sangat berbahaya karena setiap negara bebas
menginterpretasikan perbuatan apa saja yang dapat dikatakan membahayakan
kepentingan negaranya. Hal ini menyebabkan negara bersikap sewenang-
wenang34.
D. Yurisdiksi Menurut Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili
pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa harus
memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Menurut Amnesti
Internasioanal, yurisdiksi universal adalah yurisdiksi dimana pengadilan nasional
dimanapun berhak menginvestigasi dan menuntut seseorang yang dituduh
melakukan kejahatan internasional tanpa memperhatikan nasionalitas pelaku,
korban maupun hubungan lain dengan negara dimana pengadilan itu berada.
Beberapa ciri unik dari yurisdiksi universal adalah :
a. Setiap negara berhak untuk melaksankan yurisdiksi universal dengan
bertanggung jawab untuk tidak mencoba memberikan perlindungan di
wilayah negaranya.
b. Setiap negara yang melaksanakan yurisdiksi ini tidak perlu
mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku dan korban serta dimana
kejahatan itu dilakukan. Satu-satunya yang harus dipastikan adalah pelaku
kejahatan berada dalam wilayah territorial negaranya.
c. Yurisdiksi universal hanya berlaku bagi kejahatan internasional35.
34Sefriani, Op.cit, h. 251. 35Ibid, h. 244.
21
2.1.3 Macam – Macam Yurisdiksi Negara
Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi
suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi oleh kekuasaan atau
kewenangan sebagai berikut :
1. Yurisdiksi Legislatif.
Kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur
hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam
wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif
sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif
(legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).
2. Yurisdiksi Eksekutif.
Kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar
subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan
eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya
kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain.
Yurisdiksi ini disebut sebagai yurisdiksi eksekutif (executive jurisdiction).Ada
pula sarjana yang menyebutnya dengan enforcement jurisdiction (yurisdiksi
pengadilan).
22
3. Yurisdiksi Yudikatif.
Kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang
melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial
jurisdiction36.
Berdasarkan objek yang diatur, yurisdiksi negara terbagi menjadi :
1. Yurisdiksi Personal
Yurisdiksi suatu Negara terhadap orang atau badan hukum, baik warga Negaranya
sendiri maupun warga negara asing dan badan hukum nasional atau asing.
Yuridiksi personal ini dapat dibagi menjadi :
a. Yurisdiksi personal berdasarkan prinsip nasionalitas atau kewarganegaraan
aktif, maksudnya berdasarkan suatu anggapan bahwa setiap warga negara
dari satu negara akan membawa hukum negaranya kemanapun ia pergi dan
dimanapun ia berada.
b. Yurisdiksi personal berdasarkan prinsip nasionalitas atau kewarganegaraan
pasif, yaitu suatu negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili orang
asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar
negeri.
c. Yurisdiksi personal berdasarkan prinsip perlindungan (protected
principle), yaitu suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap
warga negara asing yang melakukan kegiatan di luar negeri dan diduga
dapat mengancam kepentingan, keamanan, integritas, kemerdekaan atau
36Huala Adolf, 1991, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Cetakan
Pertama, Rajawali Press, Jakarta, h. 184.
23
kepentingan umum Negara tersebut. Penerapan prinsip ini disertai alasan-
alasan :
(a) akibat kejahatan tersebut sangat besar bagi Negara yang menjadi
korban
(b) bila yurisdiksi tidak dijalankan, maka kejahatan tersebut besar
kemungkinan akan lolos dari tuntutan, karena tidak melanggar
hukum dari negara pelaku tersebut atau penyerahan ekstradisi
ditolak karena kejahatan tersebut bersifat politik
2. Yurisdiksi Kebendaan
Persoalan yang muncul adalah negara manakah yang berhak mengatur dan
hukum negara manakah yang berlaku terhadap suatu benda yang berada pada
suatu tempat tertentu. Titik beratnya pada benda itu sendiri. Sehubungan dengan
penggolongan benda bergerak dan tidak bergerak, timbul kemungkinan-
kemungkinan yaitu :
a. Bahwa untuk selamanya benda tersebut berada dalam wilayah suatu
negara
b. Pada suatu waktu, berada di atas negara tertentu dan pada waktu yang lain
berada di negara-negara yang berbeda.
c. Sebagian dari benda tersebut berada di suatu negara dan sebagian lagi
berada di wilayah lain.
3. Yurisdiksi Kriminal
Yurisdiksi negara terhadap peristiwa pidana yang terjadi pada suatu negara
tertentu. Penekanannya pada peristiwa pidana atau tindak pidana.
24
4. Yurisdiksi Sipil
Yurisdiksi negara atas peristiwa-peristiwa hak sipil atau perdata yang
terjadi pada suatu tempat tertentu dan di dalamnya tercantum aspek internasional.
Yurisdiksi Negara berdasarkan ruang atau tempat objek masalah dapat dibagi
menjadi :
1. Yurisdiksi Teritorial
Yurisdiksi suatu negara untuk mengatur, menerapkan dan memaksakan hukum
nasional negara tersebut terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam lingkup
wilayah negara bersangkutan.
2. Yurisdiksi Quasi Teritorial
Yurisdiksi negara yang diterapkan pada wilayah yang bukan wilayah negara yang
bersangkutan.
3. Yurisdiksi Ekstrateritorial
Yurisdiksi suatu negara yang diberikan oleh hukum internasional untuk
melaksanakan kedaulatannya di wilayah yang tidak termasuk yurisdiksi teritorial
dan yurisdiksi kuasi teritorialnya.
4. Yurisdiksi Universal
Yurisdiksi negara yang tidak semata-mata didasarkan pada tempat, waktu maupun
pelaku dari peristiwa hukum tersebut tetapi lebih menitikberatkan pada
kepentingan umat manusia sehingga jika terjadi suatu kejahatan yang menyakiti
hati umat manusia di dunia maka setiap negara berhak menangkap pelaku.
25
5. Yurisdiksi Eksklusif
Yurisdiksi negara yang timbul akibat adanya keinginan dibalik kemampuan yang
dimiliki oleh negara untuk mengeksploitasi dasar laut dan kekayaan alam yang
ada di dalamnya37.
2.2 Tinjauan Umum Mengenai Tanggung jawab Negara
2.2.1 Sifat Tanggung jawabNegara
Negara dalam interaksinya tidak dapat dihindarkan dari kemungkinan
terjadinya kesalahan atau pelanggaran yang merugikan negara lain. Kemungkinan
ini memunculkan pemikiran bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat
menikmati hak-haknya tanpa memikirkan hak-hak negara lain, inilah alasan
munculnya Tanggung jawab negara.Tanggung jawab negara menurut A
Dictionary of Law adalah “The obligation of a state to make reparation arising
from a failure to comply with a legal obligation under international law”38.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa tanggung jawab negara untuk
melakukan perbaikan (reparation) timbul ketika suatu negara melakukan
kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional.
Hukum Tanggung jawab negara dikembangkan melalui hukum kebiasaan yang
muncul dari praktik negara, pendapat para ahli, juga putusan internasional. Pada
37Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2011, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum
Internasional, Garaha Ilmu, Yogyakarta, h.55-59. 38Elizabeth A. Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New
York, h. 477.
26
umumnya, para pakar mengemukakan karakteristik timbulnya Tanggung jawab
negara adalah sebagai berikut39 :
1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua
negara tertentu
2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang
melanggar hukum atau kelalaian
Karakteristik diatas belum pernah disepakati secara universal, namun
dalam prakteknya telah banyak diikuti oleh hukum internasional klasik. Dengan
menyimpulkan secara sederhana uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa
pertanggungjawaban negara hanya bisa dituntut dalam hubungan antar negara
ketika satu negara merasa dirugikan oleh negara lain akibat pelanggaran
kewajiban/kelalaian yang muncul dari treaty, hukum kebiasaan internasional, atau
akibat tidak memenuhi suatu putusan pengadilan.
Dalam hal membahas mengenai tanggung jawab negara, maka dalam
praktiknya perlu mengingat batas-batas antara hukum nasional dan hukum
internasional. Batasan antara kedua hukum ini berkaitan dengan40:
a. Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah
tindakan oleh suatu negara yang dianggap menimbulkan tanggung jawab
b. Kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan kesalahan
39Sefriani, Op.cit, h. 267. 40J.G Starke, Op.cit, h. 395.
27
Penjelasan butir (a) adalah bahwa setiap tindakan harus berupa
pelanggaran kewajiban atau tidak memenuhi beberapa kaidah tanggung jawab
negara secara internasional. Selanjutnya, negara tidak dapat melepaskan tanggung
jawab dengan mengatakan bahwa tidak ada hukum nasional yang dilanggar
padahal secara bersamaan telah terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional.
Komisi Hukum Internasional menyatakan, fakta bahwa suatu tindakan memenuhi
karakteristik pelanggaran hukum internasional tidak dapat dipengaruhi oleh
tindakan yang sama namun menurut karakteristik hukum nasional diangggap
suatu tindakan yang sah.
Penjelasan butir (b) adalah negara tidak dapat melepaskan diri dari
pertanggung jawaban negara dengan menyatakan bahwa badan negara yang telah
melakukan pelanggaran telah melakukan tindakan diluar kewenangannya menurut
hukum nasional, dikenal sebagai doktrin imputabilitas. Setiap negara tidak dapat
menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk melepaskan diri dari
Tanggung jawab. Hal ini tertuang dalam Draft articles on Responsibility of State
for Internationally Wrongful Acts, ILC Pasal 1-3.
Dalam hukum internasional klasik, pihak yang dapat menuntut Tanggung
jawab negara hanya negara yang dirugikan saja. Namun, Draft ILC 2001 tentang
Tanggung jawab Negara membawa perkembangan dalam hal ini, karena
membedakan antara negara yang dirugikan (injured states) diatur dalam Pasal 42
dengan negara yang tidak dirugikan (noninjured states) diatur dalam Pasal 48.
Pasal 42
A state is entitled as injured state to invoke the responsibility of another State if
the obligation breached is owed to:
28
1. that state individually; or
2. a group of states including that state, or the international community as a
whole, and the breach of the obligation:
a. specially affects that state or
b. is of such a character as readily to change the position of all the other
states to which the obligation is owed with respect to the further
performance of the obligation.
Berdasarkan Pasal 48, selain injured states dapat mengajukan tuntutan
pertanggung jawaban dalam dua hal :
a. Kewajiban yang dilangggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk
negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk perlindungan
kepentingan kelompok tersebut. Mencakup perjanjian regional bidang
keamanan, perlindungan HAM, dan lingkungan.
b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat internasional
keseluruhan. Mencakup perlindungan HAM seperti genosida, perbudakan,
diskriminasi dan perlindungan lingkungan seperti larangan penggunaan
bom di lautan.
2.2.2 Macam-Macam Tanggung jawab Negara
1. Terhadap harta milik asing dan orang asing
Negara memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi warga negaranya di
luar negeri, hak dan kewajiban ini tidak jarang menimbulkan konflik.Perlakuan
buruk negara terhadap warga negara asing menimbulkan tangggungjawab negara.
Perlakuan buruk tersebut dapat berupa pengingkaran keadilan, pengambilalihan
harta benda secara paksa, atau tindakan organ negara yang merugikan. Garcia
Amador pada tahun 1956 merumuskan dua prinsip. Pertama, orang asing harus
dapat menikmati hak-hak fundamental yang diakui dalam hukum internasional
29
serta jaminan perlakuan yang sama. Kedua, jika hak tersebut dilanggar maka akan
menimbulkan Tanggung jawab negara41.
2. Terhadap aktifitas ruang angkasa
Aktifitas ruang angkasa memiliki resiko yang sangat tinggi sehingga
negara akan selalu dianggap bertanggungjawab secara mutlak artinya apabila
terjadi sesuatu yang menyebabkan kerugian maka pihak yang dirugikan tidak
perlu membuktikan kesalahan yang merugikan tersebut42.
3. Terhadap pelanggaran kontraktual dan hutang
Suatu pelanggaran kewajiban perjanjian akan menimbulkan Tanggung
jawab negara sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Menurut Permanent Court of
International Justice, yang menjadi prinsip dalam hukum internasional adalah
bahwa setiap pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk
memberikan ganti rugi.
Dalam klaim yang menuntut Tanggung jawab negara terhadap hutang,
terdapat tiga teori yang telah dikemukakan.Pertama oleh Lord Palmerston, dapat
menggunakan jalur diplomatik dan kekerasan. Kedua oleh Drago (MenLu
Argentina), melalui jalur diplomatik dan hukum. Dan ketiga, yang paling banyak
diikuti saat ini yaitu tidak ada ketentuan maupun metode karena pembayaran
hutang dianggap sebagai suatu kewajiban perjanjian sama halnya seperti
pemenuhan kewajiban perjanjian-perjanjian lainnya43.
41Sefriani, Op.cit, h. 283-285. 42Ibid, h. 287. 43Ibid.
30
4. Terhadap Kejahatan Internasional
Kejahatan Internasional ialah pelanggaran kewajiban internasional negara
yang bukan pelanggaran kewajiban kontrak. Untuk menentukan adanya
pertanggung jawaban negara atas kejahatan internasional maka dikenal ajaran
pembebanan kesalahan kepada negara. Ajaran ini menyatakan bahwa kejahatan
yang dilakukan oleh petugas atau orang yang bertindak atas nama negara dapat
dibebankan kepada negara sehingga menimbulkan pertanggungjawaban negara.
Ajaran pembebanan dapat digunakan apabila hukum internasional menyatakan
perbuatan tersebut termasuk pelanggaran dan menyatakan bahwa perbuatan
tersebut dapat dibebankan.Apabila terdapat perbedaan pendapat antara hukum
internasional dengan hukum nasional maka hukum internasional yang berlaku44.
5. Tanggung jawab Negara dan Teori Kesalahan (Fault)
Suatu perbuatan dikatakan mengandung unsur kesalahan apabila perbuatan
tersebut dilakukan secara sengaja dengan tujuan yang buruk atau kelalaian yang
tidak dapat dibenarkan. Sulit untuk membuktikan suatu negara melakukan
perbuatan secara sengaja dengan tujuan yang buruk. Oleh sebab itu, dalam
praktiknya teori ini digunakan dalam keadaan spesifik tertentu dimana unsur
kesengajaan diperlukan agar negara dapat dimintai pertanggung jawabannya45.
2.2.3 Pembebasan Dari Tuntutan Pertanggungjawaban
1. Tindakan dibawah paksaan
Tindakan yang dilakukan oleh suatu negara dimana negara tersebut tunduk
terhadap negara lain. Jadi negara yang melakukan tindakan pelanggaran
44Sugeng Istanto, Op.cit, h. 81. 45Ibid, h. 82.
31
dibawah paksaan dan perintah tersebut tidak dapat dituntut pertanggung
jawabannya.
2. Atas Dasar Hukum Internasional
Kekerasan dalam hukum internasional diperbolehkan dengan syarat-syarat
yang juga telah ditetapkan oleh hukum internasional. Negara yang
menggunakan kekerasan terhadap negara lain tidak dapat dituntut
pertanggung jawabannya apabila kekerasan tersebut bertujuan untuk
memberikan sanksi dan untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan
negara lain tersebut.
3. State Necessity
Pembebasan dari pertanggung jawaban negara dapat terjadi jika terdapat
kepentingan negara yang sangat darurat dan mengharuskan negara
melakukan tindakan satu-satunya yang bisa dilakukan guna menghindari
kerugian yang lebih besar lagi, namun dengan catatan tidak mengancam
keadaan negara lain. Jadi tindakan dilakukan secara sengaja dan telah
memperhitungkan dampak yang akan timbul. State necessity terdapat
dalam Pasal 25 draft Articles on the Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts.
4. Exhaustion of Local Remedies
Negara yang merasa dirugikan tidak dapat melakukan klaim atau tuntutan
sebelum upaya penyelesaian sengketa dengan menggunakan hukum
nasional negara tergugat ditempuh terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan
agar negara tergugat dapat memperbaiki kesalahan yang
32
dilakukan.Namun, ketentuan ini tidak berlaku terhadap kesalahan atau
pelanggaran yang mengakibatkan kerugian secara langsung oleh satu
negara ke negara yang lain. Dalam bukunya Starke mengemukakan
beberapa prinsip mengenai local remedies, adalah sebagai berikut:
1. Local remedies tidak perlu digunakan jika bukti-bukti menunjukan
bahwa tidak ada etikad baik dari pengadilan setempat untuk
memberikan ganti rugi.
2. Penggugat tidak bisa mengupayakan local remedies apabila negara
tersebut menganggap bahwa local remedies di negara tersebut tidak
dapat diandalkan atau memang tidak disediakan.
3. Tidak digunakannya local remedies dapat diterima apabila telah
disepakati terlebih dahulu dalam perjanjian antar negara tersebut.
5. Keadaan memaksa (Force Majeur)
Negara dapat membebaskan diri dari tuntutan pertanggungjawaban apabila
terbukti bahwa terdapat keadaan yang sangat darurat dan menyebabkan
negara harus melakukan tindakan yang tidak dapat dihindari. Tindakan
tersebut harus bersifat tidak disengaja dan tidak diprediksi sebelumnya.
Keadaan ini tercantum dalam Pasal 23 draft Articles on the Responsibility
of States for Internationally Wrongful Acts46.
46Sefriani, Op.cit, h. 288-292.
33
2.3 Tinjauan Umum Mengenai Kawasan Tumpang Tindih
2.3.1 Dasar Penentu Keabsahan Kawasan Tumpang Tindih
Kawasan tumpang tindih (overlapping) merupakan kawasan yang diakui
oleh lebih dari satu negara. Setiap negara yang berkonflik memilliki kepentingan
untuk menguasai wilayah yang masih tumpang tindih demi menjalankan
kedaulatannya atas wilayah tersebut sehingga negara dapat mengeksplorasi
wilayah itu. Konflik mengenai kawasan tumpang tindih tidak dapat diselesaikan
secara sepihak. Negara-negara yang berkonflik harus menyelesaikan secara
bersama-sama melalui perjanjian para pihak, baik bilateral maupun multilateral.
Terhadap kawasan yang mengalami overlapping telah diatur dalam UNCLOS
(United Nations Convention of the Law of the Sea) 1982 dan Statuta Mahkamah
Internasional.
2.3.2 Status Hukum Kepemilikan Kepulauan Spratly
Pasal 122 UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the Sea)
menyatakan bahwa "laut tertutup atau setengah tertutup" berarti suatu teluk,
lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih Negara dan
dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau
yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi
eksklusifnya dua atau lebih Negara pantai. Berdasarkan definisi ini maka Laut
Cina Selatan dikatakan sebagai laut tertutup atau setengah tertutup. UNCLOS
juga mengatur bahwa setiap negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau
setengah tertutup untuk bekerja sama dalam melaksanakan hak dan kewajiban.
Setiap wilayah harus memiliki status hukum yang jelas karena hal ini akan
34
berkaitan dengan tindakan yang diambil jika terjadi sesuatu di wilayah tersebut,
baik secara administrasi maupun pidana.
Status kepemilikan yang belum jelas ini sering mendapatkan itikad yang
kurang baik dari negara-negara yang mengklaim kepulauan Spratly. Hal ini
terbukti dari tindakan negara-negara pengklaim yang menempatkan armada
perang dan melakukan latihan militer di kepulauan Spratly. Tentu saja tindakan
ini membuat konflik perebutan wilayah semakin memanas. Tiap negara
pengklaim memiliki dasar pengklaim yang berbeda, antara lain : Tiongkok
berdasarkan pendudukan dan hak-hak historis, Taiwan berdasarkan pendudukan
dan hak-hak historis, Filipina berdasarkan pendudukan, Landasan Kontinen, dan
kedekatan geografis, Vietnam berdasarkan pendudukan dan hak-hak historis,
Malaysia berdasarkan alasan keamanan, Landasan Kontinen, dan kedekatan
geografis, dan yang terakhir adalah Brunei Darussalam berdasarkan Landasan
Kontinen.
Berdasarkan dasar pengklaiman dari tiap negara, Landasan Kontinen dan
alasan keamanan adalah dasar pengklaiman yang paling lemah. Hal ini
dikarenakan kedua alasan tersebut tidak termasuk dalam prinsip hukum
internasional mengenai penentu kepemilikan pulau. Sehingga dasar pengklaiman
Brunei Darussalam, Malaysia dan Filipina termasuk lemah. Disisi lain, Taiwan
juga memiliki dasar pengklaiman yang tidak dapat dibenarkan karena Taiwan ada
karena Pemerintahan Tiongkok Nasionalis kalah dari Pemerintahan Republik
Rakyat Tiongkok sedangkan pengajuan klaim dilakukan atas namaTiongkok.
35
Sehingga Taiwan tidak bisa menggunakan hak-hak historis Tiongkok untuk
melakukan klaim.
Tiongkok telah melakukan klaim sejak tahun 1887 dan pada tahun 1910
dan 1921 Tiongkok melakukan pengelolaan di Kepulauan Spratly. Pada tahun
1951 dan 1958 Tiongkok juga telah melakukan klaim secara terbuka atas
kepemilikan Kepulauan Spratly dan pada saat itu Filipina tidak melakukan protes.
Ditinjau dari hukum internasional, tindakan Filipina dianggap telah mengakui
klaim dari Tiongkok. Kedekatan geografis merupakan salah satu dasar
pengklaiman Filipina, alasan ini juga dianggap lemah karena hampir semua
negara yang mengklaim memiliki kedekatan geografis.
Vietnam telah melakukan klaim sejak abad 17, tetapi pada abad 19
Perancis datang menjajah IndoTiongkok sehingga Perancis yang melanjutkan
untuk melakukan pengelolaan dan eksplorasi terhadap kepulauan Spratly.
Kemudian Jepang berhasil memukul mundur Perancis tetapi penguasaan Jepang
terhadap Kepulauan Spratly hanya sementara karena pada tahun 1946 Tiongkok
berhasil mengusir Jepang. Jepang menyerahkan semua wilayah jajahannya kepada
Tiongkok namun Kepulauan Spratly tidak disebut didalamnya. Meskipun
demikian, pada perjanjian Sino-Perancis telah disebutkan bahwa Kepulauan
Spratly merupakan bagian wilayah Tiongkok. Selain itu, Pada tahun 1992
Vietnam Utara juga telah mengakui bahwa Kepulauan Spratly adalah bagian dari
Tiongkok. Vietnam yang dewasa ini melakukan klaim adalah kelanjutan dari
Pemerintahan Vietnam Selatan. Hal ini menjelaskan bahwa Tiongkok memiliki
36
hak historis yang besar terhadap kepulauan Spratly. Dalam melakukan klaim
kepemilikan wilayah, hak historis baru dianggap sah apabila :
a. Negara yang mengklaim menerapkan kedaulatannya secara nyata, damai
dan terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang.
Tiongkok mempertahankan kedaulatannya dengan memperlihatkan sikap
yang tegas pada saat menolak kedatangan Jerman tahun 1883, pada tahun
1910 dan 1921 Tiongkok mendatangkan investor serta secara terus
menerus menempatkan pasukan militernya di Kepulauan Spratly. Secara
de jure Tiongkok mengukuhkan melalui Deklarasi Laut Teritorial 1958,
Undang-Undang Laut Teritorial dan Contiguous Zone tahun 1992.
b. Tidak ada perlawanan terhadap klaim yang diajukan Negara pengklaim
terhadap klaim yang dilakukan secara terbuka maupun diam.
Klaim yang diajukan Tiongkok tidak mendapatkan penolakan dari negara
lain pada awalnya. Jerman juga mengakuin kedaulatan Tiongkok dengan
membatalkan kunjungan ke Kepulauan Spratly.
Konflik Laut Cina Selatan hingga saat ini masih bergejolak dan belum
terdapat putusan pengadilan internasional yang menyatakan secara resmi status
kepemilikan Kepulauan Spratly. Namun Dewan Keamanan PBB memiliki
wewenang untuk tetap menjaga keamanan kawasan kepulauan Spratly
berdasarkan Pasal 290 UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the
Sea) 1982 yang menyatakan bahwa “…….untuk memelihara hak masing-masing
pihak dalam sengketa atau untuk mencegah kerugian yang berat terhadap
lingkungan laut, sambil menunggu keputusan akhir (final decision)”.