bab ii tinjauan umum mengenai hukum perlindungan
TRANSCRIPT
21
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN, PENGELOLA, WISATAWAN, DAN OBYEK WISATA
2.1 Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
2.1.1 Pengertian Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan definisi yang cukup
luas mengenai Perlindungan konsumen. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
member perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala
upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya
atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-
haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan
konsumen tersebut.1
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang diperkuat
melalui undang-undang khusus member harapan agar pelaku usaha tidak lagi
berlaku sewenang-wenang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta
perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan
1 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, ed. I, cet. I, Kencana, Jakarta, h.4.
22
mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah
dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.2
Menurut A. Zen Umar Purba terdapat kerangka umum ten tang sendi-sendi
pokok pengaturan perlindungan konsumen, yaitu :3
a. kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;
b. konsumen mempunyai hak;
c. pelaku usaha mempunyai kewajiban;
d. pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada
pembangunan nasional;
e. perlindungan konsumen dalam iklan bisnis dehat;
f. keterbukaan dalam promosi barang dan jasa;
g. pemerintah perlu berperan aktif;
h. masyarakat juga perlu berperan serta;
i. perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai
bidang;
j. konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.
Pemerintah berkewajiban, berlandaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, melakukan upaya pendidikan serta
pembinaan kepada konsumen, terutama mengingat masih rendahnya tingkat
kesadaran sebagian besar masyarakat akan hak-haknya sebagai konsumen.
Melalui instrumen yang sama diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha
2 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, cet. I, Visimedia, Jakarta, h.4.
3 Ibid, h.5.
23
dalam menjalankan prinsip-prinsip ekonomi tetap menjunjung hal-hal yang patut
menjadi hak konsumen.4
Piranti Hukum Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melindungi
konsumen dan tidak untuk mematikan usaha para pelaku bisnis. Perlindungan
konsumen justru membangun iklim usaha yang sehat, yang mendorong lahirnya
perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan
barang dan/atau jasa yang berkualitas dan berdaya saing. Lebih dari itu, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam
pelaksanaannya memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah, yang masih menjadi rona perekonomian nasional.5
2.1.2 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan kosnumen memberikan penjelasan yang lebih
terhadap konsumen mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen
dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang
tercipta antara konsumen dan pelaku uasaha merupakan hubungan hukum yang
memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa segala
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen
yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap
berlaku
4 Badan Perlindungan Konsumen Nasional, 2005, Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. II,
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta, h.4.
5 Ibid.
24
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.6
Hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan
produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan
bermasyarakat.7 Sedangkan dalam hukum perlindungan konsumen sendiri adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam
kehidupan bermasyarakat.8
Setelah mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan
kosnumen, maka dapat diketahui definisi hukum konsumen lebih luas
dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan
konsumen merupakan salah satu bagian dari hukum konsumen yang melindungi
hak-hak konsumen.9
Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum
konsumen maka dalam menerapkannya dalam kehdupan sehari-hari harus sejalan
dengan hukum perlindungan kosnumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam
6 Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Konsumen: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. I, Pustaka Sinar, Jakarta, h.65.
7 Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. II, Diadit Media,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 22.
8 Ibid.
9 Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarna
Indonesia/ Grasindo, Jakarta, h.11.
25
.
Pasal ini menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum
konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur perlindungan konsumen tetap berlaku selama tidak
bertentangan dan belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
2.1.3 Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan lima (5) asas yang relevan dalam pembangunan nasional,
yaitu :
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua
pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang
kedudukannya lebih tinggi disbanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus
memperoleh pihak-pihaknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai hak dan
kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen
26
dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara
seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta
pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih
dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
Negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bila diperhatikan substansinya dapat dikelompokkan
menjadi tiga (3) asas yaitu asas kemanfaatan yang didalamya meliputi asas
keamanan dan keselamatan konsumen, asas keadilan yang meliputi asas
keseimbangan, asas kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan
disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas
27
maksimalisasi dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas maksimalisasi dan
kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.10
Tujuan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah melindungi
kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi peringatan bagi pelaku usaha
untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan
bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
10 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.26.
28
4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsure
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dan
berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan kosumen.
Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen ini merupakan isi dari pembangunan
nasional karena tujuan perlindungan konsumen yang ada merupakan sasaran akhir
yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan dibidang perlindungan
konsumen. Adapun untuk menjaga pelaksanaan perlindungan konsumen agar
tidak menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya
harus didasarkan pada asa atau kaidah hukum perlindungan konsumen. Dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
terdapat asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen, agar tidak menyimpang
dari tujuan perlindungan konsumen, yang menyebutkan bahwa, perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, keadilan, kesimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.11
11 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, h.26.
29
2.2 Pengelola
2.2.1 Pengertian Pengelola
Pengelola adalah seseorang atau badan yang melakukan proses
pengkoordinasian dan pengintregitasan terhadap semua sumber daya, baik
manusia maupun teknikan untuk mencapai berbagai tujuan khusus yang
ditetapkan dalam suatu organisasi.
Apabila dikaitkan dengan usaha dalam bidang pariwisata, pengelola dapat
dikatakan sebagai pengusaha pariwisata. Menurut pasal 1 angka 8 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengusaha pariwisata
adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.
Dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, pengelola merupakan
pelaku usaha. Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah:
“Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan ddan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan usaha dalam bidang
ekonomi”.
2.2.2 Hak dan Kewajiban Pengelola
30
Pengelola/pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
yang tertuang dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, hak pengelola adalah :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukumsengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak-hak pengelola diatas juga disertai dengan berbagai kewajiban yang
diemban oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Sebagai berikut :
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan;
31
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Sedangkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan pada pasal 22 menyebutkan bahwa ada 4 hak dari
pengelola/pengusaha pariwisata yaitu :
a) Mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang
kepariwisataan;
b) Membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c) Mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha;
d) Mendapatkan fasilitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
32
Kewajiban dari pengelola/pengusaha pariwisata itu sendiri ada di pasal 26
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu :
a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
a) Memberikan informasi yang akurat dan bertanggungjawab;
b) Memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
c) Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan
keselamatan wisatawan;
d) Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan
yang berisiko tinggi;
e) Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi
setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
f) Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam
negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
g) Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
h) Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program
pemberdayaan masyarakat;
i) Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan
dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
j) Memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
k) Memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
l) Menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha
kepariwisataan secara bertanggungjawab; dan
33
m) Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.2.3 Prinsip Tanggung Jawab Pengelola
Prinsip mengenai tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting
dalam hukum perlindungan konsumen, karena dalam kasus pelanggaran hak
konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis pihak yang
bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada
piak yang terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dibedakan menjadi :12
a) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on
fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsure kesalahan yang
dilakukannya. Prinsip ini berlaku dalam hukum pidana dan perdata
(khususnya Pasal 1365-1367 KUHPerata). Dalam Pasal 1365
KUHPerdata, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan
hukum jika terpenuhinya empat unsur pokok yaitu adanya perbuatan,
unsure kesalahan, kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas
antara perbuatan dengan kerugian yang diderita.
Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi korban
yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.
12 Roma Rita Oktaviyanti, 2012, Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Terhadap
Penawaran Voucher Wisata Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Mengenai
Perlindungan Konsumen, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, h.30.
34
Mengenai beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163
HIR atau pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata, yang mengatur
bahwa barang siapa yang mengakui mempunyai suatu hak maka harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
b) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tak bersalah.
Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Dasar teori pembalikan
beban pembuktian adalah seseorang yang dianggap bersalah sampai yang
bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentunya
bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah (presumption of
innocence) yang lazim dikenal dengan hukum. Ketika asas ini diterapkan
dalam kasus konsumen maka akan tampak bahwa teori ini sangatlah
relevan dimana yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan ada di
pihak pelaku usaha yang digugat.
c) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (presumption of
nonliability)
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu
bertanggungjawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi
konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah
hukum pengangkutan, dimana kehilangan atau kerusakan pada bagasi
kabin yang biasa diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung
jawab dari penumpang (konsumen).
35
d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak ini sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Namun demikian ada
juga ahli yang mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak ini tidak
selamanya sama dengan prinsip tanggung jawab absolut. Dalam tanggung
jawab mutlak, kesalahan tidak ditetapkan sebagai faktor yang menentukan,
terdapat pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab seperti force majeur. Di pihak lain,
tanggung jawab absolut merupakan prinsip tanggung jawab tanpa
kesalahan dan tidak ada pengecualian. Prinsip tanggung jawab mutlak ini,
digunakan dalam hukum perlindungan konsumen untuk menjerat pelaku
usaha, khususnya produsen yang memasarkan produknya yang merugikan
konsumen.
Asas tanggung jawab ini dkenal dengan nama product liability.
Gugatan product liability ini dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu:
melanggar jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha, bahwa barang
yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat
dapat terjadi dalam konstruksi barang, desain, dan atau pelabelan. Ada
unsur kelalaian apabila si pelaku usaha yang digugat itu gagal
menunjukkan ia cukup berhati-hati dalam mebuat, menyimpan,
mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan barang.
Menerapkan tanggung jawab mutlak, yaitu prinsip tanggung jawab yang
menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.
36
Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan
untuk dibebankan dari tanggung jawab mutlak ini dipergunakan untuk
“menjerat” pelaku usaha yang memasarkan produk yang merugikan
konsumen.
Variasi berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak
pada risk liability, dimana dalam risk liability ini, kewajiban mengganti
rugi dibebankan pada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian.
Namun pihak penggugat (konsumen) tetap diberi beban pembuktian walau
tidak sebesar si tergugat. Penggugat hanya perlu membuktikan adanya
hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha dengan kerugian yang
diderita, dan selebihnya digunakan prinsip strict liability.
d) Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh
pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh
pelaku usaha. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen seharusnya
pelaku usaha tidak boleh sepihak menentukan klausul yang merugikan
konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika pun
ada pembatasan maka harus berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang jelas.
2.2.4 Tanggung Jawab Pengelola
Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pengelola/pelaku usaha diatur
secara tersendiri atau terpisah dari pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha
37
maupun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku
usaha tersebut diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Inti dari
pengaturan tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab pelaku usaha
secara umum (Pasal 19) dan secara khusus dalam hal untuk menyediakan cadang
atau fasilitas purna jual dan jaminan atau garansi (Pasal 25 dan Pasal 26),
tanggung jawab pelaku usaha di bidang periklanan dan importasi produk (Pasal 20
dan Pasal 21), beban pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan pelaku usaha
(Pasal 22 dan Pasal 28), serta pembebasan pelaku usaha dalam
pertanggungjawaban (Pasal 27).13
Beban pembuktian yang ditanggung pelaku usaha untuk membuktikan ada
tidaknya kesalahan konsumen merupakan system pembuktian terbalik karena
justru pihak yang digugat yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan.
Berdasarkan hukum tentang pembuktian pada umumnya, setiap orang yang
mendalilkan bahwa otrang tersebut mempunyai sesuatu hak atau untuk
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain dengan
menunjukkan suatu peristiwa, mewajibkan membuktikan adanya hak tersebut.
Walaupun beban pembuktian dalam perkara ini dibebankan ke;pada pelaku usaha,
tidak menutup kemungkinan bagi pihak Kejaksaan untuk dapat melakukan
pembuktian.14
Pembebasan pelaku usaha dari tanggung jawab terhadap kerugian pihak
konsumen diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
13 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.59.
14 Irna Nurhayati, 2011, Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen dalam
Perspektif UU No. 8 Tahun 1999, Jurnal, h.30.
38
Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 27 tersebut, pelaku usaha dapat
dibebaskan dari kewajiban bertanggungjawab apabila memenuhi persyaratan
dibawah ini :15
a) Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan.
b) Cacat barang timbul dikemudian hari.
c) Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
d) Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
e) Lewatnya jangka waktu penuntutan yaitu 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
2.3 Wisatawan
2.3.1 Pengertian wisatawan
Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu perjalanan wisata
disebut (tourist), jika lama tinggalnya sekurang-kurangnya 24 jam di daerah atau
negara yang dikunjungi.16
Wisatawan adalah seseorang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa,
agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan perjanjian lain
daripada negara di mana orang itu biasanya tinggal dan berada disitu kurang dari
24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan, di dalam jangka waktu 12 bulan berturut-
turut, untuk tujuan non-imigran yang legal, seperti perjalanan wisata, rekreasi,
15 Ibid, h.32.
16 Gamal Suwantoro, 2004, Dasar-Dasar Pariwisata, ed. II, Andi Offseet, Yogyakarta, h.4.
39
olahraga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah keagamaan atau urusan
usaha.17
Dalam penulisan ini definisi wisatawan adalah setiap orang yang bepergian
dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati
perjalanan serta kunjungannya.
Dari beberapa batasan yang telah disebut di atas, maka secara umum
didapat ciri-ciri tentang seseorang yang disebut sebagai wisatawan, yaitu:
perjalanan yang dilakukan lebih dari 24 jam, perjalanan tersebut hanya untuk
sementara waktu, dan orang yang melakukan perjalanan itu tidak mencari nafkah
di tempat atau negara yang dikunjunginya.18
2.3.2 Jenis-jenis wisatawan
Berdasarkan sifat perjalanan, lokasi dimana perjalanan dilakukan, wisatwan
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :19
a) Foreign Tourism atau wisatawan asing adalah orang yang melakukan
perjalanan wisata yang dating memasuki suatu Negara lain yang bukan
merupakan negara dimana dia biasanya tinggal, istilah wisatawan asing
saat ini popular dengan sebutan Wisatawan Mancanegara.
b) Domestic ForeignTourist adalah orang asing yang berdiam atau bertempat
tinggal pada suatu Negara yang melakukan perjalanan wisata di wilayah
17 Dolina Gitapati, 2012, Analisis Kunjungan Wisatawan Obyek Wisata Nglimut Kecamatan
Limbangan Kabupaten Kendal, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang,
h.22. 18 Ibid.
19 Dolina Gitapati, op.cit, h.28
40
c) Negara dimana dia tinggal. Orang tersebut bukan warga negara dimana dia
berada tetapi Warga Negara Asing (WNA) yang karena tugas dan
kedudukannya menetap dan tinggal pada suatu negara.
d) Domestic Tourist adalah Wisatawan Dalam Negeri (WDN) yaitu seorang
warga negara yang melakukan perjalanan negaranya, wisatawan semacam
ini lebih dikenal dengan Wisatawan Nusantara.
e) Indigenous Foreign Tourist adalah warga suatu negara tertentu yang
karena tugas atau jabatannya ada di luar negeri dan pulang ke negara
asalnya untuk melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri.
f) Transit Tourist adalah wisatawan yang sedang melakukan perjalanan
wisata ke suatu negara tertentu yang menumpang kapal udara atau kapal
laut ataupun kereta api yang terpaksa singgah pada suatu
pelabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya sendiri. Biasanya ini
terjadi apabila ada pergantian transportasi yang digunakan untuk
meneruskan perjalanan ke negara tujuan atau menambah penumpang atau
mengisi bahan bakar dan kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan
semula. Waktu yang cukup lama untuk pergantian tersebut itulah yang
digunakam oleh penumpang tour di tempat yang disinggahinya.
g) Business Tourist adalah orang yang mengadakan perjalanan untuk tujuan
lain bukan wisata, tetapi perjalanan wisata itu dilakukan setelah tujuan
utamanya selesai. Jadi perjalanan wisata merupakan perjalanan sekunder
setelah tujuan primernya.
2.3.3 Motif Perjalanan Wisatawan
41
Para wisatawan pun mempunyai motif untuk mengadakan perjalan wisata.
Motif-motif bagi wisata dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:20
a) Motif fisik. Motif ini berhubungan dengan kebutuhan badaniah/fisik
seperti olahraga, istirahat, kesehatan dan sebagainya.
b) Motif budaya. Motif ini adalah sifat dari wisatawan, bahwa mereka ingin
mempelajari atau memahami tata cara dan kebudayaan bangsa atau daerah
lain seperti kebiasaan, kehidupan sehari-hari, music, tarian, dan
sebagainya.
c) Motif interpersonal. Motif ini terlahir dari keinginan wisatawan untuk
bertemu keluarga, teman, tetangga, atau orang-orang tertentu seperti artis
atau tokoh politik.
d) Motif status atau prestise. Motif ini didasari atas anggapan bahwa orang
yang pernah mengunjungi tempat/daerah lain melebihi sesamanya yang
tidak pernah bepergian akan menaikkan gengsi bahkan statusnya.
2.3.4 Hak Dan Kewajiban Wisatawan
Wisatawan adalah subyek yang berperan sangat penting dalam dunia
pariwisata. Wisatawanlah yang menentukan maju mundurnya atau sukses
tidaknya dunia pariwisata. Oleh karena itu, perlindungan atas hak dan kewajiban
wisatawan perlu mendapat perhatian serius. Dalam Undang-Undang Nomor 10
20 Ibid, h.23.
42
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, hak-hak wisatawan diatur secara rinci dalam
Pasal 20. Setiap wisatawan berhak memperoleh :
a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b) pelayanan kepariwisataan sesuai standar;
c) perlindungan hukum dan keamanan;
d) pelayanan kesehatan;
e) perlindungan hak pribadi; dan
f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.
Selain itu, dalam Pasal 21 juga disebutkan bahwa setiap wisatawan yang
memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan
fasilitas khusus sesuai kebutuhannya.
Sementara itu, dalam Pasal 25, yang menjadi kewajiban setiap wisatawan,
yaitu :
a) menjaga dan menghormati norma agama, adat-istiadat, budaya, dan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b) memelihara dan melestarikan dunia;
c) turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan
d) turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan
dan kegiatan yang melanggar hukum.
Selain dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan kewajiban wisatawan sebagai konsumen juga diatur dalam pasal 5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
43
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Selain Undang-undang Kepariwisataan, Undang-undang Perlindungan
Konsumen juga mengatur mengenai hak dan kewajiban wisatawan sebagai
konsumen. Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen, menyebutkan hak konsumen adalah :
a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
44
g) hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Dan pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, menyebutkan kewajiban konsumen adalah :
a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
2.4 Daya Tarik Wisata
2.4.1 Pengertian Obyek Wisata Dan Atraksi Wisata
Dalam pengembangan produk industri pariwisata, obyek dan atraksi wisata
mempunyai peranan sekaligus menentukan dalam penarikan kunjungan
wisatawan. Kedua unsur ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan,
karena dimana ada obyek wisata maka disana pula terdapat atraksi wisata. Sesuatu
yang dapat disebut dengan obyek wisata yaitu apabila untuk untuk melihat obyek
45
tersebut tidak ada persiapan yang dilakukan terlebih dahulu. Dengan kata lain
obyek dapat dilihat secara langsung tanpa bantuan orang lain seperti
pemandangan alam, gunung, sungai, danau, candi, monument, mesjid, gereja, dan
pura. semuanya itu dapat dilihat tanpa bantuan orang lain, walaupun terkadang
harus membayar untuk sekedar tanda masuk atau dikenal sebagai karcis.
Berbeda halnya dengan atraksi wisata yaitu segala sesuatu yang harus
dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat dilihat dan dinikmati, misalnya tarian,
kesenian, rakyat, dan upacara adat. Tanpa persiapan yang matang maka atraksi
tidak dapat menarik dan tidak berjalan dengan lancer sehingga tidak menjadi daya
tarik bagi wisatawan. Jadi, obyek dan atraksi wisata merupakan segala sesuatu
yang terdapat di daerah tujuan wisata yang menjadi daya tarik agar orang-orang
mau berkunjung ke tempat tersebut.
2.4.2 Jenis Dan Macam Daya Tarik Wisata
Hal-hal yang dapat menarik untuk berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan
wisata :21
a) benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta seperti iklim
(matahari, kesejukan, kering, panas, dan hujan), bentuk tanah dan
pemandangan (lembah, pegunungan, air terjun, dan gunung berapi), hutan
belukar, flora dan fauna, pusat-pusat kesehata (sumber air panas, sumber
air mineral, dan belerang);
21 Dolina Gitapati, op.cit, h.37.
46
b) hasil ciptaan manusia, baik yang ersifat sejarah, kebudayaan, maupun
keagamaan, seperti monument bersejarah, museum, kesenian rakyat, acara
tradisional, festival kesenian, dan tempat ibadah;
c) tata cara hidup masyarakat adalah salah satu sumber terpenting untuk
ditawarkan kepada para wisatawan misalnya adat istiadat Ngaben di Bali,
Sekaten di Yogyakarta, Penggilingan Padi di Karanganyar, dan Upacara
Waisak di Borobudur.
Obyek dan daya tarik wisata menurut Direktorat Jenderal Pemerintah di bagi
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Obyek wisata alam
Obyek wisata alam adalah sumber daya alam yang berpotensi serta
memiliki daya tarik bagi pengunjung baik dalam keadaan alamai maupun
setelah ada usaha budi daya. Potensi obyek wisata alam dapat dibagi
menjadi 4 (emat) kawasan, yaitu :
a) flora dan fauna;
b) keunikan dan kekhasan ekosistem, misalnya ekosistem pantai dan
ekosistem hutan bakau;
c) gejala alam, misalnya kawah, sumber air panas, air terjun, dan
danau;
d) budidaya sumber daya alam, misalnya swah, perkebunan,
peternakan, dan usaha perikanan.
2. Obyek wisata
47
Obyek wisata sosial budya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
sebagai obyek dan daya tarik wisata meliputi museum, peninggalan
sejarah, upacara adat, seni pertunjukkan, dan kerajinan.
3. Obyek wisata minat khusus
Obyek wisata minat khusus merupakan jenis wisata yang baru
dikembangkan di Indonesia. Wisata ini lebih diutamakan pada wisatawan
yang mempunyai motivasi khusus. Dengan demikian, biasanya para
wisatawan harus memiliki keahlian. contohnya, berburu, mendaki gunung,
arung jeram, tujuan pengobatan, agrowisata, dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan obyek dan atraksi wisata maka pengembangan
suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan wisata yang dapat menarik untuk
dikunjungi oleh wisatawan harus diperlukan bahwa daerah tersebut mempunyai
something to see, something to do, dan something to buy. Something to see artinya
di daerah tersebut harus ada obyek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan
yang dimiliki oleh daerah lain, sehingga daerah tersebut mempunyai karakteristik
tersendiri. Something to do berarti di tempat tersebut selain banyak yang dapat
dilihat dan disaksikan, ada pula fasilitas rekreasi yang harus tersedia yang dapat
membuat para wisatawan betah untuk tinggal lebih lama di daerah tersebut.
Something to buy artinya tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja
terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat. Selain itu tersedia sarana
pendukung seperti bank, kantor pos, dan telekomunikasi.