bab ii tinjauan teoritis -...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Anak Tunagrahita
2.1.1 Pengertian anak tunagrahita
Menurut Somantri (2006), tunagrahita adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata
dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Dalam
kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah
mental retardation, mentally retarded, mental dificiency
dan mental defective. Istilah tersebut memiliki arti yang
sama yang menjelaskan kondisi anak yang
kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh
keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam
interaksi sosial.
Menurut Maramis (dalam Sunaryo, 2002), yang
dimaksud dengan tunagrahita ialah keadaan dengan
intelegensi kurang (abnormal) sejak masa perkembangan
(sejak lahir atau sejak kanak-kanak) atau keadaan
kekurangan intelegensi sehingga daya guna sosial dan
dalam pekerjaan seseorang menjadi terganggu. Segala
8
keterbatasan itulah yang menyebabkan anak tunagrahita
menjadi ketergantungan dalam melakukan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.
Retardasi mental adalah jelas apabila jelas
terdapat fungsi intelegensi yang rendah yang disertai
adanya kendala dalam penyesuaian perilaku dan
gejalanya timbul pada masa perkembangan
(Soetjiningsih, 1995). Tunagrahita atau keterbelakangan
mental merupakan kondisi di mana perkembangan
kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak
mencapai tahap perkembangan yang optimal.
2.1.2 Klasifikasi anak tunagrahita
Menurut Somantri (2006), setiap klasifikasi
tunagrahita selalu diukur dengan tingkat inteligensi yang
terbagi menjadi 3 klasifikasi yaitu:
a. Tunagrahita ringan (mampu didik)
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil
yang memiliki IQ antara 69-55 menurut skala
Weschler. (Somantri, 2006), menjelaskan bahwa
anak debil mampu dididik dan dilatih.
b. Tunagrahita sedang
Tunagrahita sedang disebut juga dengan imbesil.
Kelompok ini memiliki IQ 54-40 menurut skala
9
Weschler (Somantri, 2006). Anak tunagrahita sedang
mampu diajak berkomunikasi, kelemahannya tidak
begitu mahir dalam menulis, membaca dan berhitung.
c. Tunagrahita berat
Tunagrahita berat disebut juga dengan idiot.
Menurut skala Weschler, IQ anak tunagrahita berat
dalam kegiatan sehari-hari sangat membutuhkan
pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang
maksimal. Anak tunagrahita berat tidak dapat
mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dari
bahaya.
2.1.3 Penyebab tunagrahita
Menurut Grossman (dalam Delphie, 2006),
tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor
a. Genetik
1. Kerusakan/kelainan/biokimiawi
2. Abnormalitas (chromosomal abnormalities)
3. Anak tunagrahita yang lahir disebabkan oleh
faktor ini pada umumnya adalah Sindroma Down
atau sindrom mongol (mongolism) dengan IQ
antara 20-60 dan rata-rata memiliki IQ 30-50
b. Pada masa sebelum kelahiran (prenatal)
1. Infeksi rubella (cacar)
10
2. Faktor rhesus (Rh)
c. Pada saat kelahiran perinatal
Retardasi mental atau tunagrahita yang disebabkan
oleh kajadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah
luka-luka pada saat kelahiran, sejak nafas (asphysia),
dan lahi prematur.
d. Pada saat setelah lahir (post natal)
Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya meningitis
(peradangan pada selaput otak) dan problema
nutrisis yaitu kekurangan gizi misalnya: kekurangan
protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-
kanak dapat menyebabkan tunagrahita.
e. Gangguan metabolisme/ nutrisi antara lain:
1. Phenylketonuria. Gangguan pada metabolisme
asam amino, yaitu gangguan pada enzym
Phenylketonuria.
2. Gargoylisme. Gangguan metabolisme saccharide
dalam hati, limpa kecil dan otak.
3. Cretinisme. Gangguan pada hormon tiroid yang
dikenal karena defisiensi yodium.
Karateristik umum tunagrahita menurut Somantri (2006),
yaitu :
1. Keterbatasan intelegensi
11
Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks
yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
mempelajari informasi dan ketrampilan-ketrampilan
menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan
situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari
pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat
menilai secara kritis, menghindari kesalahan-
kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan dan
kemampuan untuk merencenakan masa depan. Anak
tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal
tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama
menulis dan membaca juga terbatas.
2. Keterbatasan sosial
Di samping memiliki keterbatasan intelegensi,
anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam
mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena
itu mereka memerlukan bantuan. Anak tunagrahita
cenderung berteman dengan anak yang lebih muda
usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat
besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial
dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu
dibimbing dan diawasi.
12
3. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama
untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru
dikenalnya. Anak tungrahita memiliki keterbatasan
dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya
mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat
pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang
berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, anak
tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan
sesuatu, membedakan yang dan yang buruk dan
membedakan yang benar dan yang salah.
2.1.4 Dampak anak tunagrahita pada orang tua
Menurut Somantri (2006) dampak tunagrahita
bagi orang tua yaitu:
1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan yang
bisa dibagi dalam wujud, yaitu:
a. Proteksi biologis
b. Perubahan emosi yang tiba-tiba
2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan,
kemudian terjadi praduga yang berlebihan.
3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang
normal.
13
4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri, kemudian
berkonsultasi untuk mendapat berita-berita yang lebih
baik.
5. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua
merasa berdosa sebenarnya perasaan itu tidak selalu
ada. Perasaan tersebut bersifat kompleks dan
mengakibatkan depresi.
6. Mereka bingung dan malu yang mengakibatkan orang
tua kurang suka bergaul dengan tetangga dan lebih
suka menyendiri.
7. Kehilangan kepercayaan diri untuk bergaul dengan
orang dan lingkungan sekitarnya.
2.2. Strategi Koping
2.2.1. Pengertian koping
Pengertian koping menurut Sarafino dan Smith
(2011) adalah proses dimana individu mencoba untuk
mengelola perbedaan yang dirasakan antara tuntutan
dan sumber daya. Dalam hal ini koping juga merupakan
suatu proses usaha individu untuk mengatasi stres
dengan banyak cara serta cara individu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang penuh
tekanan. Mekanisme koping diartikan sebagai cara
individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan
14
diri dengan perubahan serta respons terhadap situasi
yang mengancam (Keliat & Akemat, 1999). Sedangkan
menurut Lazarus dan Folkman (1984), koping adalah
perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam
upaya untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal
khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.
Koping bukan peristiwa tunggal melainkan sesuatu yang
dinamik (gabungan metode koping yaitu skill dan strategi
yang dipakai berkesinambungan mengadakan perubahan
hubungan individualisme lingkungan.
2.2.2. Jenis Koping
Menurut Lazarus & Folkman (1984), koping
mempunyai dua fungsi utama, yaitu: mengatasi penyebab
stres dan mengatur respons emosi terhadap masalah
tersebut. Koping terdiri atas strategi yang bersifat kognitif
dan behavioral. Strategi tersebut adalah:
1. Emotion focused coping
Suatu usaha yang dillakukan untuk mengontrol
respon emosional terhadap situasi yang sangat
menekan. Dalam hal ini emotional focused coping
cenderung dilakukan apabila individu tidak mampu
atau merasa tidak mampu mengubah kondisi yang
15
stressfull, yang dilakukan individu yaitu mengatur
emosinya.
Emototional focused coping diarahkan pada
pengontrolan respon emosi pada stres atau cara
individu berusaha untuk mengatur emosinya dengan
beberapa cara, antara lain adalah dengan mencari
dukungan emosi dari sahabat atau keluarga atau
meningkatkan aktivitas yang disukai, bahkan tak
jarang dengan penggunaan alkohol dan obat-obatan
terlarang. Cara lain yang biasa digunakan individu
dalam pengaturan emosinya adalah dengan cara
berpikir dan mengambil sisi positif dari situasi yang
dialami. Folkman dan Lazarus (dalam Safaria &
Saputra, 2009), mengidentifikasi beberapa aspek
emotional focused coping yang didapat dari
penelitian-penelitiannya yaitu:
a. Self control, yaitu mencoba untuk mengatur
perasaan diri sendiri atau tindakan dalam
hubungannya untuk menyelesaikan masalah
b. Distancing, yaitu membuat sebuah harapan
positif dari masalah yang dihadapi atau
mengembangkan pola pikir yang positif
16
c. Escape avoidance, yaitu mengkhayal mengenai
situasi atau melakukan tindakan untuk
menghindar dari situasi yang tidak
menyenangkan. Dalam hal ini individu mencoba
untuk tidak memikirkan mengenai masalah
dengan tidur atau menggunakan alkohol yang
berlebih serta melakukan aktivitas-aktivitas
d. Positive reappraisal yaitu mencoba untuk
membuat suatu arti positif dari situasi yang
dihadapi , kadang-kadang dengan sifat religius
atau membuat penelitian masalah secara positif
e. Accepting responsibility, yaitu menerima untuk
menjalankan masalah yang dihadapinya
sementara mencoba untuk memikirkan jalan
keluarnya.
2. Problem focused coping
Problem focused coping adalah usaha untuk
mengurangi stressor, dengan cara mempelajari
ketrampilan-ketrampilan yang baru untuk digunakan
mengubah situasi, keadaan atau pokok
permasalahan tersebut. Individu akan cenderung
menggunakan strategi ini apabila dirinya yakin akan
dapat mengubah situasi (Smet, 1994). Problem
17
focused coping diarahkan pada penurunan tuntutan
stres dan peningkatan kemampuannya menghadapi
stres. Misalnya melakukan negoisasi, keluar dari
tempat yang menimbulkan stres, mengatur jadwal
baru, mencari pengobatan atau menambah
ketrampilan yang lain. Folkman dan Lazarus (dalam
Safaria & Saputra, 2009), mengidentifikasi beberapa
aspek problem focused coping yang didapat dari
penelitian-penelitiannya yaitu:
a. Confrontive coping, melakukan penyelesaian
masalah secara konkret
b. Seeking social emotional support, yaitu usaha
untuk memperoleh dukungan secara emosional
maupun sosial dan bantuan informasi dari orang
lain dari orang
c. Plan problem solving, yaitu menganalisis setiap
situasi yang menimbulkan masalah serta
berusaha mencari solusi secara langsung
terhadap masalah yang dihadapi.
2.2.3. Sumber koping
Menurut Jaya (2015), ada 3 sumber koping yang
menolong manusia untuk beradaptasi terhadap
stres yaitu:
18
a. Tehnik pertahanan
Sumber ini merupakan bagaimana cara
seseorang dalam melakukan tehnik dari
masalah yang dihadapi
b. Motivasi
Sumber ini didapatkan dari orang sekitar untuk
membantu seseorang dalam melakukan
koping nya.
c. Dukungan sosial
Sumber ini meliputi dukungan dari orang
sekitar baik informasi, nasehat maupun
tindakan langsung.
2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi koping
Setiap individu mempunyai cara masing-masing
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut
Jaya (2015), cara individu menangani situasi yang
mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya
individu meliputi:
a. Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting karena
selama dalam usaha mengatasi stres, individu
dituntut untuk mengarahkan tenaga yang cukup besar
b. Keyakinan atau pandangan positif
19
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang
sangat penting, seperti keyakinan akan nasib
(external focus of control) yang mengarahkan individu
pada penilaian ketidakberdayaan yang akan
menurunkan kemampuan strategi koping yang
berfokus pada masalah.
c. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari
informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi
masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif
tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif
tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai
dan akhirnya melaksanakan rencana dengan
melakukan suatu tindakan yang tepat.
d. Keterampilan sosial
Ketrampilan sosial ini meliputi kemampuan untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara
yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku
dimasyarakat.
e. Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan
kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu