bab ii tinjauan teoritis dan hasil...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS DAN HASIL PENELITIAN
A. Tinjauan Teoritis
1. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Dalam Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa perbuatan yang
pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah
disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu
dilakukan. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar
feit”, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat
penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar
feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik,
yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:
“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang
tindak pidana.”
Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat
beberapa unsur yakni:
1. Suatu perbuatan manusia;
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang;
3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Keragaman pendapat di antara para sarjana hukum mengenai
definisi strafbaar feit itu sendiri, yaitu:
1. Perbuatan Pidana
Prof. Mulyatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan
perbuatan pidana. Menurut pendapat Beliau istilah “perbuatan pidana”
2
menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang
menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya
dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata
“perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat
berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.
Selain itu, kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang
diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu
yang sebenarnya dilarang hukum tetapi dapat juga bersifat pasif yaitu
tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum.
2. Peristiwa Pidana
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro,
S.H., dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “peristiwa
pidana” pernah digunakan secara resmi dalam Undang Undang Dasar
Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14 ayat (1). Secara substansif,
pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada
suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia
maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-
hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan
peristiwa alam.
3. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit diperkenalkan
oleh pihak pemerintah Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak
dipergunakan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus,
misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang Tindak Pidana Narkotika.
Istilah tindak pidana menunjukkan gerak-gerik tingkah laku dan
gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga
seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya
dia, dia telah melakukan tindak pidana.
Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak tidak berbuat, yang
di dalam undang-undang pada Pasal 164 KUHP mengharuskan
seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan
3
timbul kejahatan ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat
dikenai sanksi.
Prof. Sudarto berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah
tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan Beliau lebih condong
memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh
pembentuk undang-undang.1
Oleh karena itu, kesimpulan dari berbagai definisi di atas yaitu
tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan selain
perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya
dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat
sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana terbagi menjadi dua yaitu:
a) Unsur Objektif
Unsur yang terdapat di luar diri si pelaku. Unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan di
mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur ini
terdiri dari:
1) Sifat melanggar hukum.
2) Kualitas dari diri si pelaku
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan
jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di
dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3) Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
b) Unsur Subjektif
1 Sudarto,Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,1983, Hlm.19.
4
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini
terdiri dari:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam
Pasal 53 ayat (1) KUHP.
3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam
Pasal 340 KUHP yaitu pembunuha yang direncanakan
terlebih dahulu.
5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.
Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah yang
menyebabkan perbedaaan pendapat di kalangan sarjana hukum
pidana. Salah satu pihak berpendapat bahwa masalah ini
merupakan unsur tindak pidana, di pihak lain berpendapat
bukanlah merupakan unsur tindak pidana, masalah tersebut adalah:
a. Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana
(Bijkomende voor waarde strafbaarheid);contoh Pasal 123, Pasal
164, dan Pasal 531 KUHP.
b. Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak
pidana (Voorwaarden van vervlog baarheid); contoh Pasal 310,
Pasal 315, dan Pasal 284 KUHP.
Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah
merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut
terdapat timbulnya kejadian atau peristiwa. Ada pihak lain yang
berpendapat ini merupakan unsur tindak pidana. Oleh karena itu, jika
syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen perbuatan pidana
terdiri dari:
5
a. Kelakuan dan Akibat (perbuatan)
Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak
terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang
dimaksud pada Pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat
dikatakan bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada
jika pelakunya adalah seorang PNS.
b. Hal Ikhwal atau Keadaan yang menyertai perbuatan
Misal pada Pasal 160 KUHP ditentukan bahwa penghasutan itu
harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa
keadaan yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah
dengan dilakukan di muka umum.
c. Keadaan Tambahan yang memberatkan pidana
Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu
seseorang terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan
pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan
tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada
Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (dua tahun delapan
bulan), tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat
ancaman pidananya diberatkan menjadi 5 tahun (lima tahun) dan
jika menyebabkan kematian menjadi 7 tahun (tujuh tahun).
d. Unsur melawan hukum yang objektif
Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau
objektif yang menyertai perbuatan.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif
Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku
kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat
kalimat “dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat
melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir,
tetapi tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila
niat hatinya baik, contohnya jika mengambil barang untuk
kemudian dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut
6
tidak dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek yaitu mengambil
barang untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan
pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk
rumusan pencurian.
c. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)
Pada umumnya rumusan delik di dalam KUHP merupakan
rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh
pelakunya. Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan
dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik
beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan
apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan
aksidentalia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah
Pasal 362 (pencurian), Pasal 160 (penghasutan), dam Pasal 209-
210 (penyuapan). Jika seseorang telah melakukan perbuatan
mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup.
Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang
dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu.
Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada
akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya
sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak
menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan) yang
terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan
mencekik, menusuk, menembak, dan sebagainya.
Van Hamel kurang setuju dengan pembagian delik formal
dan material ini, karena menurutnya walaupun perilaku yang
terlarang itu tidak dirumuskan sebagai penyebab dari suatu akibat,
tetapi karena adanya perilaku semacam itulah seseorang dapat
dipidana. Ia lebih setuju menyebutnya sebagai “delik yang
dirumuskan secara formal” dan “delik yang dirumuskan secara
material”.
7
2. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-
macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti
dan cara-cara bagaimana alat bukti itu dipergunakan dan dengan
cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.
Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti
yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk
inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari
kebenaran materiil (Hakim aktif menemukan fakta yang terjadi
sebenarnya), berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup
puas dengan kebenaran formil (Kebenaran yang diperoleh
berdasarkan fakta yang diperoleh). Sejarah perkembangan hukum
acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori
untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori
pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).
Berikut ini Penulis akan menguraikan keempat sistem atau teori
pembuktian tersebut di atas sebagai berikut:
1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang
secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Dikatakan
secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang
melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini
disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheorie).
Sistem ini menitikberatkan pada adanya bukti yang sah menurut
undang-undang. Meskipun hakim tidak yakin akan kesalahan
terdakwa, namun apabila ada bukti yang sah menurut undang-
8
undang, maka ia dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.
Jadi misalnya ada dua orang saksi yang telah disumpah secara
istimewa dan mengatakan kesalahan terdakwa maka hakim
mesti menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa meskipun
barangkali hakim itu berkeyakinan bahwa terdakwa adalah
tidak berdosa. Demikian sebaliknya apabila syarat berupa dua
saksi itu tidak dipenuhi, maka hakim mesti membebaskan
terdakwa dari tuntutan walaupun hakim berkeyakinan bahwa
terdakwalah yang berdosa.
2) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim
melulu. Sistem atau teori ini terlalu besar memberi kebebasan
kepada hakim sehingga sulit untuk diawasi. Sehingga dengan
adanya hal demikian terdakwa atau penasehat hukumnya sulit
untuk melakukan pembelaan. Menurut sistem ini, dianggap
cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan
atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.
Dalam sistem ini hakim dapat menurut perasaan belaka dalam
menentukan apa suatu keadaan harus dianggap telah terbukti.
3) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas
alasan yang logis (La Conviction Rais onnee). Menurut teori ini
hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar
keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang
berlandaskan kepada aturan-aturan pembuktian tertentu. Sistem
atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena
hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.
Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar,
sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasehat
hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini
hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya
bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.
9
4) Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
(Negatief Wettelijk). HIR maupun KUHAP, begitu pula
Nederland Sub verbo (Ned.Sv) yang lama dan yang baru
semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut
dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294
Herziene Inlands Reglement (HIRt. Pasal 183 KUHAP
berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”. Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP
tersebut di atas nyata bahwa pembuktian harus didasarkan
kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat-alat bukti yang
sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-
alat bukti tersebut. Hak tersebut dapat dikatakan sama saja
dengan ketentuan yang tersebut pada Pasal 294 ayat (1)
Herziene Inlands Reglement (HIR) yang berbunyi: “Tidak
seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim
mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar
telah terjadi. Perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang
yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”.2
B. Analisis
1. E-commerce
a. Prinsip-prinsip dalam e-commerce menurut UU ITE
Undang-Undang ITE mengatur beberapa prinsip-prinsip dalam
kontrak elektronik, walaupun tidak diatur secara jelas tetapi
beberapa Pasal dalam UU ITE ini secara tersirat mengatur
mengenai prinsip-prinsip kontrak dalam suatu transaksi elektronik.
2 Hari Sasangka,Lili Rosita,Loc.Cit.
10
a. Prinsip Kepastian Hukum
Dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa:
“Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam
kontrak elektronik mengikat para pihak.”
Suatu transaksi elektronik mengikat para pihak yang saling
terkait di dalamnya, artinya suatu kontrak elektronik merupakan
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Jika ada
salah satu pihak yang melanggar kontrak elektronik tersebut
maka pihak lain dapat mengajukan gugatan terhadap pihak
yang melanggar kontrak tersebut.
b. Prinsip Itikad Baik
Dalam Pasal 17 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa:
“Para pihak yang melakukan transaksi elektronik dalam
lingkup publik ataupun privat wajib beritikad baik dalam
melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.”
Prinsip itikad baik mempunyai arti para pihak yang
melakukan transaksi tidak bertujuan untuk secara sengaja
mengakibatkan kerugian kepada pihak lain. Pihak pengirim
harus jujur mengenai produk yang diperjanjikan dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma
kepatutan maupun norma kesusilaan.
c. Prinsip Konsensualisme
Dalam Pasal 20 UU ITE mengatur kapan suatu transaksi
elektronik dikatakan terjadi.
Pasal 20 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa:
“Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi
elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim
pengirim telah diterima dan disetujui penerima.”
11
Pasal 20 ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa:
“Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan
pernyataan penerimaan secara elektronik.”
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kontak elektronik kesepakatan terjadi pada saat
penawaran transaksi elektronik yang dikirim oleh pengirim
diterima dan disetujui oleh penerima dengan pernyataan secara
elektronik, misalnya dengan mengirimkan konfirmasi foto
bahwa barang yang sudah datang.
d. Prinsip Keterbukaan atau Transparansi
Dalam Pasal 9 UU ITE menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem
elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.”
Pihak yang menawarkan produk harus terbuka atas produk
yang ditawarkan dan isi kontrak tidak boleh mengandung unsur
yang merugikan konsumen. Jika pihak yang menawarkan
produk melakukan hal yang merugikan konsumen dapat dikenai
sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 45 ayat(2)
UU ITE.
e. Prinsip Kebebasan Kontrak yang terbatas
Para pihak bebas membuat kontrak tentang apa saja dan
mengikat bagi para pihak sebagaimana halnya dengan undang-
undang. Kontrak elektronik ada barang-barang tertentu yang
tidak boleh diperjualbelikan seperti hewan dan tanah. Karena
persyaratan jual beli tanah harus dituangkan dalam akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).
12
b. Pembuktian E-commerce
Sama seperti sahnya perjanjian/kontrak pada umumnya,
keabsahan suatu transaksi elektronik sebenarnya tidak perlu
diragukan lagi sepanjang terpenuhinya syarat-syarat kontrak.
Dalam sistem hukum Indonesia, sepanjang terdapat kesepakatan
diantara para pihak; cakap mereka yang membuatnya; atas suatu
hal tertentu; dan berdasarkan suatu sebab yang halal, maka
transaksi tersebut seharusnya sah, meskipun melalui proses
elektronik. Untuk mendukung pandangan tersebut, dalam lingkup
internasional terdapat beberapa ketentuan yang dapat menjadi
acuan, antara lain:
1. The United Nations Conference on International Trade Law
(UNCITRAL) Model Law on E-Commerce of 1996, yang
merumuskan bahwa akibat, keabsahan atau dapat ditegakkannya
suatu informasi tidak dapat disangkal semata-mata karena
formatnya sebagai pesan data (data message);
2. The European Union (EU) Directive on E-Commerce of 2000:
menegaskan bahwa negara anggotanya wajib menjamin bahwa
sistem hukum mereka memungkinkan kontrak dibuat dengan
sarana elektronik;
3. Singapore's E-Transaction Act of 1998: merumuskan bahwa
untuk menghindari keraguan, dinyatakan bahwa informasi tidak
dapat disangkal akibat hukumnya, keabsahannya maupun
kemampuan untuk ditegakkannya semata-mata dengan alasan
bahwa informasi tersebut dalam bentuk rekaman elektronik.
Beberapa prinsip utama UNCITRAL Model Law on Electronic
Commerce juga menyebutkan diantaranya sebagai berikut.3
3 Mariam Darus Badrulzaman, E-commerce Tinjauan dari Hukum Kontrak Indonesia, Hukum Bisnis
XII, 2001, Hlm.38.
13
1. Segala informasi elektronik dalam bentuk data elektronik dapat
dikatakan memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan
hukum.
2. Pasal 6 UNCITRAL Model Law menyatakan bahwa dalam
hukum mengharuskan adanya suatu informasi dalam bentuk
tertulis, suatu data elektronik dapat memenuhi syarat untuk itu.
3. Dalam hal tanda tangan, suatu tanda tangan elektronik
merupakan tanda tangan yang sah. Transaksi elektronik dapat
dilakukan dengan tanda tangan digital atau tanda tangan
elektronik. Tanda tangan digital adalah pendekatan yang
dilakukan oleh teknologi encryption terhadap kebutuhan akan
adanya suatu tanda tangan atau adanya penghubung antara satu
dokumen/ data message dengan orang yang membuat atau
menyetujui dokumen tersebut. Sementara itu tanda tangan
elektronik adalah suatu tehnik penandatanganan yang
menggunakan biometric ataupun berbagai cara lainnya, artinya
tidak selalu harus menggunakan public key crypthography4
4. Dalam hal kekuatan pembuktian dan data bersangkutan, data
message memiliki kekuatan pembuktian.
Di indonesia sendiri telah dibentuk UU ITE sehingga
penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai bukti dari suatu
transaksi elektronik telah diterima secara sah dalam hukum
Indonesia. Seperti dikatakan dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) UU ITE :
“Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. “
Hal ini dipertegas lagi dengan ketentuan pada Pasal 5 ayat ( 2 ) UU
ITE bahwa:
4 Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negri Departemen Perindustrian dan Perdagangan
jakarta dan Lembaga kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik Jakarta, 2001, Hlm. 75.
14
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh
karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat
dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan
informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan
alat bukti yang sah menurut UU ITE.
Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang
dimaksud adalah pengakuan terhadap informasidan/atau dokumen
elektonik beserta hasil cetakannya sebagai alat bukti sah di
pengadilan, sehingga sekarang ini alat bukti di pengadilan
bertambah satu yang sebelumnya belum ada.
Dalam transaksi elektronik yang berlangsung dengan
menggunakan media elektronik, transaksi dilakukan tanpa tatap
muka di antara para pihak. Bukti atas transaksi yang dilakukan
tersimpan dalam bentuk dokumen atau data elektronik yang
terekam dalam sistem penyimpanan dokumen di komputer.
Mengenai alat-alat bukti dalam transaksi elektronik, Michael
Chissick dan Alistair Kelman menyatakan ada tiga tipe pembuktian
yang dibuat oleh komputer, yaitu :5
1. Real Evidence (bukti nyata). Real evidence atau bukti nyata
meliputi hasil rekaman langsung dari aktivitas elektronik
5 Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT.
Refika Aditama, Bandung , 2005, Hlm.114.
15
seperti rekaman transaksi, kalkulasi-kalkulasi atau analisa-
analisa yang dibuat oleh komputer itu sendiri melalui
pengaplikasian software dan penerima informasi dari device
lain seperti yang built-in langsung dalam komputer atau remote
sender. Bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Jika
sebuah komputer bank secara otomatis mengkalkulasi
(menghitung) nilai pembayaran pelanggan terhadap bank
berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan credit
balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan
digunakan sebagai sebuah bukti nyata.
2. Hearsay Evidence (bukti yang berupa kabar dari orang lain).
Termasuk pada hearsay evidence adalah dokumen-dokumen
atau data yang diproduksi oleh komputer yang merupakan
salinan dari informasi yang diberikan (dimasukkan) oleh
seseorang ke dalam komputer. Cek yang ditulis dan slip
pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga
termasuk hearsay evidence.
3. Derived Evidence merupakan informasi yang
mengkombinasikan antara bukti nyata (real evidence) dengan
informasi yang dimasukkan olehseseorang ke komputer dengan
tujuan untuk membentuk sebuah dokumen atau data yang
tergabung. Contoh dari derived evidence adalah tabel dalam
kolom-kolom harian sebuah statement bank karena tabel ini
diperoleh dari real evidence (yang secara otomatis membuat
tagihan bank) dan hearsay evidence (check individu dan entry
pembayaran lewat slip-paying in).
Dengan dilakukannya ketiga pendekatan tersebut terhadap
bukti elektronik maka akan membantu hakim dalam memutuskan
suatu perkara.Mengenai pembuktian isi dari dokumen itu sendiri
memang tidak mudah untuk dibuktikan. Sifat yang ingin dibuktikan
adalah sifat integrity. Sifat ini dapat terjaga dan dibuktikan jika
16
digunakan tanda tangan elektronik untuk mengesahkan dokumen
tersebut.
Pengakuan catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti
yang sah di pengadilan telah dirintis oleh UNCITRAL yang
mencantumkan dalam Model Law on E-Commerce ketentuan
mengenai transaksi elektronik diakui sederajat dengan tulisan di
atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan.
Mengacu pada ketentuan UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia
untuk menempatkan bukti elektronik dalam bentuk informasi,
dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang
sah, sepanjang ditetapkan dalam undang-undang yang khusus
mengatur mengenai transaksi elektronik dan hal ini direalisasikan
oleh pemerintah dengan dibentuknya UU ITE. Pemerintah sebagai
regulator mengatur kegiatan perekonomian Indonesia, dalam hal ini
kegiatan ekonomi berupa transaksi secara elektronik membuat
suatu kebijakan atau perangkat hukum berupa UU No.11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki
tujuan antara lain:6
a. Memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam
menjalankan aktivitas usahanya. Dengan adanya perangkat
hukum, maka kepastian hukum akan terjamin. Informasi
/dokumen elektronik/hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum
yg sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU ITE.
b. Memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku usaha dan
bagi konsumen. Pelaku Usaha menyediakan informasi yg
lengkap dan benar. sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 UU
ITE. Melindungi Konsumen dari berita bohong dan
menyesatkan yg merugikan Konsumen dalam transaksi sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). Melindungi Pelaku
Usaha dari tindakan-tindakan melawan hukum, misal:
6 Elly Erawaty, Pengantar Hukum Ekonomi Indonesia, edisi ketiga, Unpar, Bandung, 2004, Hlm.10.
17
seseorang yang melanggar/menerobos sistem pengamanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 (3) UU ITE.
c. Memberikan proteksi secara khusus bagi pelaku usaha nasional
khususnya yang termasuk sebagai pengusaha kecil dalam
menghadapi persaingan dengan pengusaha asing. Pemerintah
menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif untuk
mengembangkan usaha dari pelaku usaha nasional supaya dapat
bersaing dengan pengusaha asing dengan adanya perbuatan
yang dilarang, misal: informasi/dokumen elekronik yang
melanggar kesusilaan, memiliki muatan perjudian, pencemaran
nama baik, pemerasan, atau pengancaman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 UU ITE.
d. Melindungi kepentingan umum dari kemungkinan terjadinya
praktik bisnis yang tidak sehat dari para pelaku ekonomi. Nama
Domain (alamat internet) yg telah terdaftar tidak boleh
disalahgunakan oleh Pelaku Usaha lain karena dpt merugikan
pemilik domain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU
ITE.
e. Menciptakan pemerataan pendapatan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi makro. Dengan adanya sistem elektronik
maka jaringan usaha akan semakin luas dan produksi
meningkat sehingga penyerapan tenaga kerja juga akan tinggi.
Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan
terhadap informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik
sebagai alat bukti. Artinya, kini telah bertambah satu lagi alat bukti
yang dapat digunakan di pengadilan. Informasi maupun dokumen
elektronik serta tanda tangan elektronik yang merupakan bagian di
dalamnya dapat menjadi alat bukti yang sah sebagaimana
ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Adapun kegiatan
melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber
18
(cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan
sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata.
Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang
berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Dengan demikian, subjek pelakunya juga harus dikualifikasikan
sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara
nyata. Dengan diberlakukannya UU ITE, maka secara yuridis
terciptalah suatu dasar hukum bagi transaksi-transaksi elektronik
dan informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap
kegiatan yang berurusan dengan sistem elektronik harus
mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam undang-undang ini.
Pengakuan secara yuridis melalui Pasal 5 ayat (1) UU ITE
terhadap alat bukti elektronik ini membawa akibat yuridis
diakuinya alat bukti elektronik tersebut sebagai bagian dalam alat
bukti yang selama ini berlaku. Pengakuan alat bukti elektronik ini
merupakan suatu langkah maju dalam hukum pembuktian. Apabila
terjadi suatu perkara perdata yang mempersengketakan suatu
dokumen elektronik dalam bentuk kontrak elektronik, maka
dokumen tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi para pihak
untuk menyelesaikan perkara atau hakim yang nantinya memutus
perkara.
Oleh karena itu UU ITE ini mengatur suatu dimensi baru
yang belum pernah diatur sebelumnya maka muncullah beberapa
istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan kegiatan
di dunia siber. Salah satu hal yang baru adalah adanya bentuk alat
bukti elektronik yang sah secara hukum, yaitu informasi dan
dokumen elektronik, ataupun hasil cetak dari informasi dan
dokumen elektronik, dan juga tanda tangan elektronik yang
merupakan alat yang digunakan untuk menentukan keabsahan dari
suatu informasi atau dokumen elektronik. Alat bukti elektronik ini
19
benar-benar merupakan hal yang baru dalam dunia hukum
mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang
menyatakan dan mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti
yang sah.
Penggunaan alat bukti elektronik pada prakteknya terdapat
anggapan yang berbeda. Salah satu pendapat mengatakan bahwa
hasil cetak yang dimaksudkan Pasal 5 ayat (1) UU ITE merupakan
bukti tertulis. Hasil cetak merupakan perwujudan/penampakan dari
informasi dan/atau dokumen elektronik yang tersimpan secara
elektronik misalnya tersimpan di hard disk. Informasi yang
tersimpan secara elektronik harus dapat dibuktikan keberadaannya
dengan cara menampilkannya ke monitor komputer atau dicetak
lewat printer tampil di kertas. Dengan demikian, informasi
elektronik itu dapat dilihat dengan kasat mata dan diketahui
keberadaannya. Jadi, hasil cetak merupakan bukti elektronik dalam
wujud tertulis. UU ITE sendiri menyebutkan bahwa informasi dan
dokumen elektronik adalah perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan hukum acara, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat
(2) UU ITE.
Namun berdasarkan Pasal 1 angka 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal
6 dan Pasal 7 UU ITE dapat dikategorikan syarat formil dan
materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai nilai
pembuktian, yaitu berupa informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan, yang dapat dilihat,
ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem
Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar dan seterusnya yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya; dinyatakan sah apabila
menggunakan/berasal dari Sistem Elektronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang; dianggap sah apabila
informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan,
20
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.
Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat
dikatakan bahwa dokumen elektronik agar memenuhi batas
minimal pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang
mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang
digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima
atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang; kemudian juga harus dapat
menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan
seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika
diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar
dokumen tersebut berasal dari orang yang membuatnya
(authenticity) dan dijamin tidak dapat diingkari oleh pembuatnya
(non repudiation). Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan,
maka dapat dikatakan dokumen elektronik mempunyai derajat
kualitas pembuktian seperti bukti permulaan tulisan (begin van
schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh karena
dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi
batas minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan
salah satu alat bukti yang lain. Dan nilai kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain,
dokumen elektronik masih merupakan suatu alat bukti biasa di
muka pengadilan, dimana masih membutuhkan alat bukti lainnya
misalnya keterangan saksi untuk menguatkannya.
Perkembangan teknologi informasi terutama yang berkaitan
dengan transaksi elektronik seperti e-commerce, e-business,
internet banking, dan lain sebagainya memerlukan pengaturan dan
ketentuan yang jelas yang dapat mengamankan kepentingan
informasi dan transaksi tersebut. Dalam UU ITE diatur bahwa
informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
21
merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia. Tapi, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen
elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE,
suatu informasi elektronik/ dokumen elektronik dinyatakan sah
untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik
yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu
sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut:
1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi
yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami
oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut; dan
5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau
petunjuk.
Pengakuan terhadap informasi dan dokumen elektronik dapat
dilakukan dengan :
1. Didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data,
dimana informasi dan dokumen elektronik tersebut dapat diakui
tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi
terhadap metode bisnis yang dilakukan dan menggunakan
sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan perundang-
22
undangan. Pengakuan ini sering digunakan dalam praktek
bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen
elektronik dengan dokumen konvensional.
2. Menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalnya
dengan output dari sebuah program komputer yang hasilnya
tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya,
rekaman telepon dan transaksi ATM. Artinya, dengan
sendirinya bukti elektronik tersebut diakui sebagai bukti
elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bila
dibuktikan lain, informasi, dokumen atau data tersebut dapat
dikesampingkan.
3. Perpaduan dari dua metode di atas, yaitu pengakuan terhadap
informasi dan data elektronik tersebut dilihat dari proses
penyimpanan informasi dan dokumen tersebut serta hasil akhir
dari informasi atau dokumen elektronik tersebut.
Suatu informasi dan dokumen elektronik sebagai bukti
elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem
elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat
menunjukkan bahwa informasi dan dokumen yang dimilikinya
berasal dari sistem elektronik yang terpercaya. Mengenai hal ini
diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE.
Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem
elektronik yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan
dua jenis kekuatan pembuktian yaitu valid dan tidak valid, atau
layak atau tidak layak untuk dipercaya. Hal ini akan mengarah
kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri.
Jika memenuhi semua kriteria standar, sepanjang tidak dapat
dibuktikan lain oleh para pihak, sistem telah dapat dijamin berjalan
sebagaimana mestinya dan output informasi atau dokumen
elektronik dapat dinyatakan valid dan otentik secara substansial
23
sehingga informasi dan dokumen tersebut dapat diakui di
persidangan dan selayaknya diterima sebagai alat bukti otentik.
Alat bukti elektronik dapat dipercaya jika dilakukan dengan cara :
1. menggunakan peralatan komputer untuk menyimpan dan
memproduksi print-out,
2. proses data seperti pada umumnya dengan memasukkan
inisial dalam sistem pengelolaan arsip yang
dikomputerisasikan, dan
3. menguji data dalam waktu yang tepat, setelah data dituliskan
oleh seseorang yang mengetahui peristiwa hukumnya.
4. Syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi bagi pihak-pihak
yang ingin menggunakan informasi dan dokumen
elektronik,yaitu :
1) mengkaji informasi yang diterima untuk menjamin
keakuratan data yang dimasukkan,
2) metode penyimpanan data dan tindakan pengambilan data
untuk mencegah hilangnya data pada waktu disimpan,
3) penggunaan program komputer yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan untuk memproses data,
4) mengukur uji pengambilan keakuratan program, dan
5) waktu dan persiapan model print-out komputer.
Di dalam hukum acara pidana, pembuktian lebih
diutamakan dengan menggunakan alat bukti berupa saksi, hal ini
bermakna bahwa suatu perbuatan pidana menurut pembentuk
undang-undang hanya dapat diketahui oleh seorang saksi yang
secara langsung mengetahui atas perbuatan pidana tersebut.
Selanjutnya perlu dipahami bahwa dalam rangka penilaian
keabsahan penggunaan alat bukti di dalam hukum acara pidana,
terdapat prinsip yang sama baik di dalam Pasal 294 ayat 1 HIR dan
Pasal 183 KUHAP, yang pada asasnya mengatur tentang:
24
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.”
2. Pembuktian Tindak Pidana E-commerce di Pengadilan
Pembuktian perkara tindak pidana e-commerce dalam
pemeriksaan di pengadilan tentunya untuk mengungkapkan kebenaran
mengenai peristiwa pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah
didakwakan kepada terdakwa dan apabila terbukti dalam pemeriksaan
di pengadilan maka sesuai dengan alat bukti yang ada dan keyakinan
hakim, dapat diambil keputusan untuk menghukum atau membebaskan
terdakwa dari hukuman.
Pembuktian perkara tindak pidana e-commerce dalam
pemeriksaan di pengadilan memerlukan alat bukti. Alat bukti yang
dimaksudkan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.
Hal ini berarti alat bukti yang digunakan terdapat dalam Pasal 184
KUHAP ditambah dengan alat bukti lain berupa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik. Hakim dalam pemeriksaan perkara
tindak pidana teknologi informasi perlu menggunakan semua alat bukti
yang tersedia baik yang diatur dalam KUHAP maupun Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dalam Pasal 44 menyatakan: Alat bukti penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan
undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-
undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan
angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
25
Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, berbunyi: “Saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, berbunyi: “Keterangan saksi adalah
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan
pengetahuannya itu.”
Pasal 185 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana menyebutkan pada ayat:
1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan.
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5) Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil
pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
26
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu
dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa: “dalam
keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang
lain atau testimonium de auditu. Pasal 185 ayat (6) Yang dimaksud
dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan
keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan
obyektif”.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Pasal 186 menyatakan: Keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 28
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana):
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, menyebutkan: Surat sebagaimana tersebut
pada Pasal 184 ayat (1) huruf (c), dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
27
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
Alat bukti (Surat): segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hatiseseorang
untuk pembuktian. Alat bukti surat; surat yang dibuat atas kekuatan
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti tulisan:
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa
dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.7
Dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan pada ayat:
1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
7 Anonim, Kamus Hukum. PT. Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm. 20.
28
Sedangkan dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan pada ayat:
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang
lain.
Dalam Pasal 1 angka (14) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana,: Tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal
1 angka (15): Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut,
diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
Dengan sistem pembuktian di Indonesia, di mana
pembuktian berdasarkan la conviction Raisonee, yaitu keyakinan
hakim dengan dasar dan alasan yang logis maka, hakim memegang
peranan yang sangat penting. Keyakinan hakim yang dituangkan
dalam putusan harus dengan alasan yang didasarkan pada
pemikiran yang masuk logika/logis. Sistem pembuktian ini
mengakui adanya alat bukti tertentu tetapi tidak ditetapkan secara
limitatif oleh undang-undang. Kalau diperhatikan dari pasal demi
pasal yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 1981/KUHAP ternyata
UU No. 8 Tahun 1981 menganut sistem pembuktian menurut
29
undang-undang secara negatif di mana sistem ini merupakan
gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
melulu. Berkaitan dengan sistem pembuktian juga harus
diperhatikan mengenai batas minimum pembuktian. Hal ini
merupakan asas yang mengatur batas yang harus dipenuhi dalam
pembuktian kesalahan terdakwa. Dasarnya ada di Pasal 183 UU
No. 8 Tahun 1981 yang telah mengatur bahwa: “hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang melakukannya. Artinya kalau dihubungkan
dengan Pasal 184 ayat (1) minimal dibutuhkan 2 (dua) alat bukti,
alat bukti mana sebagaimana diatur dalam Pasal 184 UU No. 8
Tahun 1981 (KUHAP).
Menurut Pitlo, pembuktian adalah suatu cara yang
dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan
dengan kepentingannya. Pembuktian tentang benar tidaknya
terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan
bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Membuktikan
berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-
peristiwa tertentu. Adapun enam butir pokok yang menjadi alat
ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dasar Pembuktian
Yang dimaksud dengan Dasar Pembuktian adalah dasar-dasar
yang dipergunakan untuk mendapatkan suatu kebenaran atas
fakta-fakta. Dengan kata lain dasar pembuktian itu adalah
isi/materi dari alat bukti itu sendiri. Dapatlah dikatakan bahwa
jikalau alat bukti itu adalah wadahnya, maka dasar pembuktian
adalah isi dari wadah tersebut.
30
2. Alat Pembuktian
Alat Pembuktian adalah alat-alat yang dipergunakan untuk
menggambarkan atau menerangkan suatu keadaan atau
peristiwa pidana berdasarkan fakta-fakta yang terjadi diwaktu
yang lampau guna keperluan proses pidana.
3. Penguraian Alat Pembuktian
Penguraian Pembuktian adalah cara-cara yang dipergunakan
untuk menguraikan suatu peristiwa atau keadaan berdasarkan
penggunaan alat bukti yang dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana. Penguraian Pembuktian memegang peranan
yang sangat penting didalam pemeriksaan perkara di
pengadilan karena berdasarkan bukti-buktilah Hakim
menetapkan keyakinannya.
4. Kekuatan Pembuktian
Yang dimaksud Kekuatan Pembuktian disini adalah kekuatan
pembuktian dari masing-masing alat bukti. Dalam perkara
pidana biasanya kekuatan pembuktian terletak pada fakta-fakta,
dimana pembuktiannya didasarkan atas kebenaran dari fakta-
fakta yang telah teruji kebenarannya oleh Hakim.
5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk
membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan
(bewijslast).
6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk
mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).
Pada hakekatnya, pembuktian dimulai sejak adanya suatu
peristiwa hukum. Apabila ada unsur-unsur pidana (bukti awal telah
terjadinya tindak pidana) maka barulah dari proses tersebut
dilakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini),
dan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
31
Kepolisian dalam Pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
Kejahatan e-commerce memiliki karakter yang berbeda
dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban, modus
operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan
dan pengaturan khusus di luar KUHP. Perkembangan teknologi
informasi yang demikian pesatnya haruslah di antisipasi dengan
hukum yang mengaturnya dimana kepolisian merupakan lembaga
aparat penegak hukum yang memegang peranan penting di dalam
penegakan hukum. Agar suatu perkara pidana dapat sampai pada
tingkat penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka
sebelumnya harus melewati beberapa tindakan-tindakan pada
tingkat penyidik. Pada dasarnya proses pidana melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
1. Tahap penyidikan oleh aparat kepolisian
2. Tahap penuntutan oleh Jaksa (Penuntut Umum)
3. Tahap pemeriksaan di pengadilan.
Pada proses penyidikan, aparat penyidik melakukan
serangkaian tindakan yang diperlukan guna mendapatkan alat bukti
yang nantinya diperlukan dipersidangan. Apabila tidak cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukummaka penyidik berwenang
untuk menghentikan proses penyidikan, begitu juga sebaliknya
apabila bukti-bukti telah terpenuhi dan peristiwa tersebut adalah
merupakan tidak pidana maka penyidik akan melanjutkan proses
penyidikan dengan membuat berita acara (pemberkasan perkara)
untuk diserahkan kepada penuntut umum.
32
Tindak pidana e-commerce menggunakan sarana internet
sulit sekali mencari dan mengumpulkan alat bukti untuk menjerat
pelaku, baik pelaku penyedia sarana internet maupun pelaku
pemain perjudian itu sendiri, dimana data-data jaringan internet
atau komputer sulit untuk ditembus oleh aparat penegak hukum,
sehingga aparat kesulitan dalam mengumpulkan bukti bukti untuk
menjerat pelaku tindak pidana.
Apabila ada unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadinya
tindak pidana) maka barulah dari proses tersebut dilakukan
penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini), dan dalam
Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian, Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Menurut Petrus Reinhard Golose, seperti yang tertuang
didalam artikelnya di buletin hukum yang menjelaskan bahwa
untuk itu hal atau langkah-langkah yang dilakukan oleh Polri dalam
menangani kasus e-commerce atau kasus-kasus perusakan terhadap
komputer melalui jaringan adalah sebagai berikut:
1) Pembuatan Laporan Polisi, yang diikuti dengan pemanggilan
Saksi dari pemilik ISP (Internet Service Provider) yang telah
diketahui bahwa ISP tersebut digunakan oleh si pelaku
(hacker);
2) Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan warnet
atau café net yang digunakan pelaku, sekaligus untuk
mengumpulkan, melacak dan/atau melakukan penyitaan
33
terhadap bukti elektronik (digital evidence) yang ada di TKP,
seperti hard disk;
3) Melakukan pemeriksaan terhadap para saksi dan ahli yang
memiliki keahlian dibidang teknologi informasi, baik dari
Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (UNPAD)
atau lembaga-lembaga lainnya;
4) Pemeriksaan terhadap tersangka, setelah didahului dengan
upaya paksa penangkapan dan/atau penahanan, berdasarkan
bukti permulaan dan/atau alat bukti yang cukup;
5) Pemberkasan dan penerapan pasal-pasal pidana yang dapat
disangkakan terhadap tersangka didalam melakukan kegiatan
penyidikan diperlukan suatu bukti permulaan yang cukup yaitu
alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan
mensyaratkan adanya minimal laporan polisi ditambah salah
satu alat bukti. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan beban
pembuktian yang telah disyaratkan Undang-Undang dalam hal
ini yakni minimal dua alat bukti. Dalam melakukan penyidikan
suatu kasus kejahatan dunia maya, seorang penyidik dapat
menggunakan alat-alat investigasi standar(standartinvestigative
tools), antara lain:
a. Informasi sebagai dasar bagi suatu kasus
Informasi dapat diperoleh dari observasi, pengujian bukti
elektronik yang tersimpan dalam hard disk atau bahkan
masih dalam memori. Bagi penyidik,sangat penting untuk
memperoleh informasi melalui crime scene search
(penyidikan di tempat kejadian perkara) yang bertumpu
pada komputer.
b. Interview dan Interogasi
Alat ini dipergunakan untuk memperoleh informasi dari
pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan dunia maya.
Wawancara ini meliputi perolehan informasi dengan
memberikan pertanyaan kepada saksi-saksi, korban, dan
34
pihak lain yang mungkin memiliki informasi relevan untuk
memecahkan kasus tersebut. Sedangkan interogasi meliputi
perolehan informasi dengan memberikan pertanyaan kepada
tersangka dan saksi. Adapun tekniknya dilakukan dengan
pendekatan simpatik yang meliputi:
a) Pendekatan logis
Menggunakan alasan-alasan untuk meyakinkan
tersangka untuk mengakui perbuatannya;
b) Indifference
Dengan berpura-pura tidak memerlukan pengakuan
karena penyidik telah memiliki cukup bukti walaupun
tanpa pengakuan. Hal tersebut efektif untuk kasus
dengan banyak tersangka, dimana keterangan yang
bersangkutan saling dikonfrontir;
c) Facing-saving approach
Dengan membiarkan tersangka memberikan alasan-
alasan atas tindakannya dan menunjukkan pengertian
mengapa yang bersangkutan melakukan tindakan
tersebut.
c. Instrumen
Kegunaan teknologi dalam memperoleh bukti-bukti. Dalam
kasus kejahatan dunia maya, penggunaan data teknik
recovery untuk menemukan informasi yang “deleted” dan
“erased” dalamdiskmerupakan salah satu tipe
instrumennya. Selain itu, contoh-contoh tradisional lainnya
meliputi teknik forensik untuk mengumpulkan dan
menganalisis bukti-bukti dan analisis DNA.
6) Menyusun laporan kasus
Setelah semua bukti fisik telah dikumpulkan dan
didokumentasikan serta interogasi telah dilaksanakan, langkah
yang harus dilakukan ialah penyusunan laporan kasus yang
memuat:
35
a. Laporan penyelidikan;
b. Laporan penyidikan kasus pidana yang ditindaklanjuti dari
laporan penyelidikan;
c. Dokumentasi bukti-bukti elektronik
d. Laporan laboratorium dari ahli forensik komputer;
e. Pernyataan-pernyataan tertulis dari saksi-saksi, tersangka,
dan ahli;
f. Laporan TKP, foto-foto dan rekaman video;
g. Print out dari bukti-bukti digital yang berkaitan.
7) Pemeriksaan berkas perkara oleh Jaksa Penuntut Umum
Penuntut umum memberikan arahan kepada penyidik atas
kelemahankelemahan berkas perkara dan tambahan informasi
atau bukti tambahan yang perlu diperoleh atau klarifikasi
fakta-fakta dalam rangka memperkuat tuntutan serta
menyiapkan saksi-saksi untuk proses persidangan jika kasus
tersebut dilimpahkan ke pengadilan.
8) Membuat keputusan untuk menuntut Jika berkas perkara
dinyatakan lengkap, penuntut umum melakukan penuntutan
hukum kepada tersangka dalam suatu persidangan yang sangat
tergantung dari yuridiksi dan prosedur yang ditentukan oleh
undang-undang. Dalam tahap ini pilihan jenis tuntutan
ditetapkan berdasarkan hukum pembuktian yang diatur dalam
KUHAP.8
Berkaitan dengan tindak pidana e-commerce dengan
menggunakan sarana internet pihak kejaksaan berkoordinasi dengan
pihak kepolisian selaku penyidik untuk menjerat pelaku tindak pidana
tetapi apabila tidak ditemukan bukti yang kuat, serta ketentuan atau
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak
pidana tersebut maka terhadap pelaku dapat dilakukan penghentian
proses penyidikan maupun penuntutan.
8 Petrus Reinhard Golose, Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanganannya di Indonesia
oleh Polri, Buletin Hukum, 2006, Hlm.15.
36
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat bahwa cara yang
harus ditempuh oleh pihak kepolisian dan Kejaksaan apabila terjadi
suatu tindak pidana e-commerce adalah melakukan investigasi kasus
dengan cara mencari alamat ip address web dan mencari bukti
elektronik. Karena ip address web adalah bukti pertama yang kuat
didalam pengungkapan kasus e-commerce. Adanya terobosan hukum
baru karena Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara. Tetapi untuk “mensahkan” bukti
elektronik tersebut di hadapan pengadilan adalah dengan cara
memproses bukti elektronik tersebut dari bentuk elektronik yang
dihasilkan dari sistem komputer menjadi output yang dicetak ke dalam
media kertas. Bukti elektronik tersebut diubah perwujudannya dalam
bentuk hardcopy, yaitu di-print, tanpa adanya modifikasi apapun dari
manusia. Lalu untuk memperkuatnya, print out tersebut bisa
diserahkan kepada saksi ahli untuk dianalisa dan disampaikan
validitasnya di hadapan pengadilan.
Proses pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim melakukan
penilaian atas kekuatan alat-alat bukti yang diajukan oleh penuntut
umum di dalam dakwaannya. Hakim dalam hal ini berpedoman pada
sistem pembuktian negatif menurut Undang-Undang yaitu Pasal 183
KUHAP yang menentukan minimal dua alat bukti dengan disertai
keyakinan. Permasalahan terkadang di dalam suatu proses perkara
pidana mengalami kesulitan untuk mendapatkan suatu kebenaran yang
mutlak karena kurangnya bukti-bukti yang ada, atau juga bukti-bukti
yang ada kurang mendukung untuk menyelesaikan perkara tersebut
sehingga hal tersebut mengakibatkan banyaknya kasus-kasus yang tak
terselesaikan dan menumpuk di tingkat penyidikan/kepolisian.
Banyaknya kasus-kasus yang menumpuk tersebut biasanya tersendat
pada tingkat kepolisian karena jaksa dalam hal ini biasanya menolak
berkas perkara yang diserahkan penyidik karena kurangnya bukti-
bukti yang menguatkan dakwaan.
37
Untuk itu didalam sistem pembuktian dipersidangkan harus
berdasarkan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif. Yang mana undang-undang menetapkan secara limitatif alat-
alat bukti yang mana yang boleh dipakai hakim. Jika alat-alat bukti
tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-
undang maka hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun
hakim ternyata berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu
tidak benar. Menurut D.Simmon, sistem ini berusaha untuk
menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat
hakim dengan peraturan pembuktian yang keras. “Sistem ini disebut
juga dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie)”.9Teori
ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia,
karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain
dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran
itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
3. Kekuatan Alat Bukti E-commerce Berbasis Nilai Keadilan
Dalam hal e-commerce, tidak ada alat bukti lain yang dapat
digunakan selain data elektronik/digital yang ditransmisikan kedua
belah pihak yang melakukan perdagangan. Adapun saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah tidak mungkin dapat diajukan sebagai alat
bukti karena tidak bisa didapatkan dari suatu transaksi e-commerce.
Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan. Ada kalanya, keadilan sendiri dimaknai menurut asal
atau kata dasar adil yang artinya tidak berat sebelah. Pemahaman
seperti ini tidak salah, hanya saja belum lengkap. Adil itu tidak selalu
sama rata. Adil itu proporsional, sesuai dengan kebutuhannya. Gajah
besar dan gajah kecil, semua wajib diberi makan tapi besaran porsi dan
ongkos makannya berbeda. Equality doesn’t mean justice.
9 WirjonoProjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 2006,
Hlm.247.
38
Menurut Ulpianus, keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan
terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang
semestinya, untuknya.
Menurut Herbert Spencer, keadilan merupakan kebebasan setiap orang
untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal tidak melanggar
kebebasan yang sama dari orang lain.
Menurut Justinian, keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil,
bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya.
Sedangkan teori keadilan bermartabat mengemukakan suatu dalil
bahwa sekalipun konsep-konsep seperti rule of law dan rechtsstaat itu
secara etimologis sinonim dengan negara hukum, namun kedua konsep
negara hukum atau konsep negara hukum berdasarkan Pancasila. Teori
keadilan bermartabat sampai pada dalil seperti itu setelah menemukan
bahwa hasil penggalian terhadap nilai-nilai luhur Pancasila sebagai
sumber hukum utama mengingat nilai-nilai dan ukuran perilaku yang
baik itu adalah values dan virtues yang paling sesuai dengan nilai-nilai
bangsa. Nilai-nilai dalam Pancasila sebagai kesepakatan pertama,
menurut teori keadilan bermartabat kemudian dijadikan sebagai nilai-
nilai yang berasal dari satu sumber hukum filosofis, sumber hukum
historis, dan sumber hukum sosiologis sebagai satu paket. Hal itu
dikarenakan, semua nilai dan standar perilaku baik itu ternyata ada di
dalam, serta sama dan sebangun dengan hukum itu sendiri.10
Hubungan antara kekuatan pembuktian dengan alat bukti e-
commerce sebagai dasar Hakim dalam memutuskan perkara dengan
sistem positif yaitu Undang-Undang dan keyakinan Hakim serta
keadilan yang meletakkan supaya yang bersalah bertanggungjawab
secara proposional sesuai dengan nilai perbuatan.
4. Konsep Keadilan
Berbicara mengenai keadilan tentunya kita harus meninjau
beberapa teori mengenai keadilan tersebut, diantaranya adalah
10
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Cet.,Kesatu,Nusa Media,Bandung,2015,Hlm.185.
39
Aristoteles. Carl Joachim Friedrich dalam bukunya The Philosophy of
law in Historical Perspective menjelasakan bahwa keadilan mesti
dipahami dalam pengertian kesamaan. Aristoteles membedakan
keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. keadilan
distributif berlaku bagi hukum publik, dan yang kedua dalam hukum
perdata dan pidana. kedua keadilan tersebut sama-sama rentan
terhadap problema kesamaan atau kesataraan dan hanya bisa difahami
dalam kerangkanya. dalam wilayah keadilan distributif, hal yang
penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapain
yang sama rata. pada yang kedua, yang menjadi persolan ialah bahwa
ketidak setaraan yang disebabkan oleh, mislanya pelanggaran
kesepakatan, dikoreksi, dan dihilangkan.11
Suatu teori lain tentang keadilan datang dari John Stuart Mill
salah satu pendukung mazhab utilitarianisme, menurut Mill tidak ada
teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan kememfaatan.
keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-aturan yang
melindungi klaim-klaim yang dianggap esensial bagi kesejahteraan
masyarakat klaim-klaim untuk memegang janji, diperlakukan dengan
setara dan sebagainya. Keadilan bukanlah Suigeneris, karena dia
bergantung sepenuhnya kepada kemanfaatan sosial sebagai fondasinya.
Karena itu semua aturan keadilan, termasuk kesetaraan, bisa tunduk
kepada tuntutan-tuntutan kememfaatan. menurut teori Mill, apapun
yang membawa kebaikan terbesar bagi semuanya dapat disebut adil.12
Teori lain datang dari John Rawl mengemukakan “keadilan
sebagai kesetaraan” meyediakan pandangan yang jelas berbeda dari
kaum utilatarian. prinsip-prinsip keadilan diperoleh bukan dengan
mengevaluasi kememfaatan dan tindakan-tindakan (atau kecendrungan
tindakan) melainkan dari pilihan-pilihan rasional dalam kondisi yang
11
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Histori, Cet.,Ketiga, Nusa Media, Bandung, , 2010, Hlm. 24. 12
Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, Cet.,Keempat, Nusa Media, Bandung, 2015, Hlm.23.
40
adil. Rawls lebih menyoroti tataran makro ketimbang mikro. A Theory
of justicia menawarkan sebuah teori yang kompleks sekaligus ketat,
berbasis pemahaman cemerlang mengenai penggunaan kontrak sosial
sebagai basis teori keadilan.13
Reinhold Niebuhr pernah pula mengemukakan teori tentang
keadilan, pendekatan Niebuhr terhadap keadilan berbeda dari semua
pendekatan yang telah disebutkan lantaran penekanannya terhadap
dosa. Menurutnya, disebuah dunia yang sudah dirembasi oleh dosa, tak
ada satupun prinsip atau pendekatan dapat menghasilkan keadilan yang
sahih selamanya. Meskipun demikian, keadilan tetap harus dicarikan
pertama dan utama oleh keseimbangan kekuasaan. Yang ideal adalah
harmoni diri dengan diri, sehingga keadilan berusaha mendekati yang
ideal ini dengan menyeimbangkan kekuasaan sehingga yang lemah
akan terlindung dari yang kuat.14
Terlepas dari teori-teori diatas karena keadilan mirip seperti
gajah yang diteliti oleh orang buta. Maka, para ahli merasakan hal
yang berbeda,sehingga masing-masing melukiskan makhluk ini dengan
cara yang berbeda pula. sehinga gajah tidak pernah bisa dikenal
seluruhnya oleh diskripsi individual manapun. Tetapi dari semua teori
yang ada, dapat kita ambil benang merah bahwa keadilan bisa
digolongkan menjadi dua, pada suatu keadaan keadilan adalah sama
rata dan pada kondisi yang berbeda keadilan adalah memberikan sesuai
apa yang diperlukan.
5. Proporsionalitas Peran Para Pihak Dalam Tindak Pidana E-
Commerce
Penulis akan mengembangkan model "perdagangan elektronik"
di Indonesia berdasarkan proporsionalitas peran para pihak dalam
tindak pidana e-commerce.
13
Ibid., h.61. 14
Ibid., h.170.
41
a. Iklan Baris, merupakan salah satu bentuk e-commerce yang
tergolong sederhana, bisa dianggap sebagai evolusi/ perkembangan
dari iklan baris yang biasanya ditemui di koran-koran ke dalam dunia
online. Penjual yang menggunakan social media atau forum untuk
beriklan, biasanya tidak bisa langsung menyelesaikan transaksi pada
website yang bersangkutan. Namun penjual dan pembeli harus
berkomunikasi secara langsung untuk bertransaksi. Contoh iklan baris:
OLX.co.id (sebelumnya Tokobagus), Berniaga, dan FJB-Kaskus. Para
pihak yang terlibat dalam iklan baris adalah penjual dan pembeli.
Peran pihak penjual adalah menjual produk sedangkan peran pihak
pembeli adalah membeli produk dari penjual. Hubungan yang terjadi
adalah transaksi jual-beli.
b. Retail, merupakan jenis e-commerce yang di mana semua proses
jual-beli dilakukan melalui sistem yang sudah diterapkan oleh situs
retail yang bersangkutan. Oleh karena itu, kegiatan jual-beli di retail
relatif aman, namun biasanya pilihan produk yang tersedia tidak terlalu
banyak, atau hanya fokus ke satu-dua kategori produk. Contoh retail:
Berrybenzka, Zalora, dan Lazada. Para pihak yang terlibat dalam retail
adalah penjual, pembeli, dan pengelola web. Peran pihak penjual
menjual produk yang diambil dari pabrik tanpa perantara tangan kedua.
Peran pihak pembeli adalah membeli produk dari penjual. Sedangkan
peran pihak pengelola web hanya menyediakan sarana untuk para
penjual dan pembeli bertransaksi.
c. Marketplace, bisa dianggap sebagai penyedia jasa mall online,
namun yang berjualan bukan penyedia website, melainkan anggota-
anggota yang mendaftar untuk berjualan di website marketplace yang
bersangkutan. Marketplace umumnya menyediakan lapisan keamanan
tambahan untuk setiap transaksi yang terjadi, seperti sistem
pembayaran escrow atau lebih umum dikenal sebagai rekening
bersama. Jadi setiap terjadi transaksi di dalam sistem marketplace
tersebut, pihak marketplace akan menjadi pihak ketiga yang menerima
pembayaran dan menjaganya hingga produk sudah dikirimkan oleh
42
penjual dan diterima oleh pembeli. Setelah proses pengiriman selesai,
barulah uang pembayaran diteruskan ke pihak penjual. Contoh
marketplace: Qoo10 Indonesia, Elevenia, Lamindo Indonesia, Rakuten
Belanja Online, Bukalapak, dan Tokopedia.