bab ii tinjauan teoretis 2.1 kajian pustaka 2.1.1 lansia 2 ... · 2.1 kajian pustaka 2.1.1 lansia...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
2.1 Kajian pustaka
2.1.1 Lansia
2.1.1.1 Pengertian
Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang.
Menurut Stanley & Beare (2007), mendefinisikan lansia
berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang
menganggap bahwa orang telah tua jika menunjukkan ciri fisik
seperti rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi.
World Health Organization (WHO) menetapkan 65 tahun yang
termasuk katagori lansia (AS dan Eropa Barat). Sedangkan di
negara-negara Asia, lansia adalah mereka yang berusia 60
tahun keatas. Orang sehat aktif berusia 65 tahun mungkin
menganggap usia 75 tahun sebagai pemulaan lanjut usia
(Brunner dan Suddart dalam Azizah, 2011).
Menurut Surini & Utomo, 2003 dalam buku Azizah, 2011
lanjut usia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap
lanjut dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani semua
individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan.
2.1.1.2 Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO (2010) batasan umur lansia dapat dibagi
dalam empat kelompok :
a. 65 : Usia Pertengahan (Middle Age)
b. 65 > - 74 : Lanjut Usia (Junior Old Age)
c. 75 - 90 : Usia Lanjut Tua (Old Age)
d. 90 > : Usia Sangat Tua (Very / Longevity Old Age)
Menurut Setyonegoro, 2010 dalam buku Azizah, LM, 2011
masa usia lanjut (geriatric age) yaitu umur >65 atau 70 tahun.
Masa usia lanjut (geriatric age) ini dibagi menjadi tiga batasan
umur yaitu: young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan
very old (>80 tahun).
2.1.1.3 Tugas Perkembangan Lanjut Usia
Lansia memiliki tugas perkembangan khusus. Hal ini
dideskripsikan oleh Burnside, Duvall, dan Havighurst, dalam
Potter dan Perry (2005). Lima kategori tugas perkembangan
lansia meliputi:
1. Menyesuaikan diri terhadap penurunan kekuatan fisik.
Lansia meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit
dengan pola hidup sehat, ketika lansia menyesuaikan diri
saat terjadinya perubahan normal tubuh seiring terjadinya
penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi
tubuh.
2. Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan penurunan
pendapatan.
Lansia umumnya pensiun dari pekerjaan purna sehingga
harus menyesuaikan diri dan membuat perubahan karena
hilangnya peran bekerja.
3. Menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan.
Mayoritas lansia dihadapkan pada kematian pasangan,
teman, dan kadang anak. Kehilangan ini kadang sulit untuk
diselesaikan, apalagi pada lansia yang menggantungkan
hidupnya dari seseorang yang meninggal dan sangat
berarti bagi dirinya.
4. Menerima diri sendiri sebagai individu lansia.
Beberapa lansia kesulitan untuk menerima diri sendiri
selama penuaan. Mereka memperlihatkan
ketidakmampuannya sebagai koping dan menyangkal
penurunan fungsi, meminta cucunya untuk tidak
memanggil mereka “nenek/kakek” atau menolak bantuan
5. Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup.
Lansia dapat merubah rencana kehidupannya. Beberapa
masalah kesehatan mengharuskan lansia untuk tinggal
dengan keluarga atau temannya. Perubahan rencana
kehidupan lansia membutuhkan periode penyesuaian yang
lama, selama lansia memerlukan bantuan dan dukungan
professional perawatan kesehatan dan keluarga.
2.1.2 Posyandu Lansia
2.1.2.1 Pengertian
Posyandu Lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk
masyarakat usia lanjut disuatu wilayah tertentu yang sudah
disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu Lansia
merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui
pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya
melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran serta
para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial
dalam penyelenggaraannya (Erfandi, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), Posyandu
Lansia adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan
kesehatan terhadap lansia ditingkat desa/ kelurahan dalam
masing-masing wilayah kerja puskesmas. Keterpaduan dalam
Posyandu Lansia berupa keterpaduan pada pelayanan yang
dilatar belakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai
macam penyakit. Dasar pembentukan Posyandu Lansia
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
terutama lansia.
2.1.2.2 Tujuan Posyandu Lansia
Menurut Erfandi (2008), tujuan Posyandu Lansia secara
garis besar yakni (1) meningkatkan jangkauan pelayanan
kesehatan lansia dimasyarakat, sehingga terbentuk pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia, (2)
mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta
masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan,
disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia
lanjut.
2.1.2.3 Sasaran Posyandu Lansia
Menurut Fallen, 2010 terdapat dua sasaran Posyandu
Lansia, yakni sasaran langsung, yaitu kelompok pra usia lanjut
(45-59 tahun), kelompok usia lanjut (60 tahun ke atas), dan
kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas);
dan sasaran tidak langsung, yaitu keberadaan keluarga lansia
berada, organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan
usia lanjut, masyarakat luas.
2.1.2.4 Kegiatan Posyandu Lansia
Bentuk pelayanan pada Posyandu Lansia meliputi
pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional, yang
dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk
mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau ancaman
masalah kesehatan yang dialami. Menurut Effendi, 2009 ada
sembilan kegiatan pada Posyandu Lansia adalah :
1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan
dasar dalam kehidupan, seperti makan/minum, berjalan,
mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air
besar/kecil dan sebagainya.
2. Pemeriksaan status mental terkait mental emosional
dengan menggunakan pedoman metode dua menit.
3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan
dan pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks
masa tubuh.
4. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan
stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu
menit.
5. Pemeriksaan urin, guna mengetahui kadar gula dalam air
seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula (diabetes
mellitus).
6. Pemeriksaan urin, guna mengetahui zat putih telur (protein)
dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal.
7. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan
dan atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir-butir
diatas.
8. Penyuluhan Kesehatan, biasa dilakukan di dalam atau di
luar kelompok dalam rangka kunjungan rumah dan
konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah
kesehatan yang dihadapi oleh individu dan kelompok usia
lanjut.
9. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi
kelompok usia lanjut yang tidak datang, dalam rangka
kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
Selain itu banyak juga Posyandu Lansia yang mengadakan
kegiatan tambahan seperti senam lansia, pengajian, membuat
kerajian ataupun kegiatan silaturahmi antar lansia. Kegiatan
seperti ini tergantung dari kreasi kader posyandu yang
bertujuan untuk membuat lansia beraktivitas kembali dan
berdisiplin diri. Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan
Posyandu Lansia dibutuhkan sarana dan prasarana
penunjang yaitu: tempat kegiatan (gedung, ruangan atau
tempat terbuka), meja, kursi, alat tulis, buku pencatatan
kegiatan, timbangan, dewasa, meteran pengukuran tinggi
badan, stetoskop, tensimeter, peralatan laboratorium
sederhana, thermometer, dan Kartu Menuju Sehat (KMS)
lansia.
2.1.2.5 Masalah Kesehatan pada Lansia
Masalah kesehatan pada lansia ialah gabungan dari
kelainan-kelainan akibat penyakit dan proses menua yaitu
proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti sel serta
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Siburian (2008) pemerhati masalah kesehatan pada lansia
menyatakan ada empat belas belas masalah kesehatan pada
lansia, yaitu:
1. Immobility (kurang bergerak), disebabkan oleh gangguan
fisik, faktor lingkungan sehingga dapat menyebabkan
lansia kurang bergerak. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf dan
penyakit jantung.
2. Instability (tidak stabil/ mudah jatuh), dapat disebabkan
oleh faktor intrinsik (yang berkaitan dengan tubuh
penderita), baik karena proses menua, penyakit maupun
ekstrinsik (yang berasal dari luar tubuh) seperti obat-
obatan tertentu dan faktor lingkungan. Akibatnya akan
timbul rasa sakit, cedera, patah tulang yang akan
membatasi pergerakan. Keadaan ini akan menyebabkan
gangguan psikologik berupa hilangnya harga diri dan
perasaan takut.
3. Incontinence (buang air) yaitu keluarnya air seni tanpa
disadari dan frekuensinya sering. Meskipun keadaan ini
normal pada lansia tetapi sebenarnya tidak dikehendaki
oleh lansia dan keluarganya. Hal ini akan membuat lansia
mengurangi minum untuk mengurangi keluhan tersebut,
sehingga dapat menyebabkan kekurangan cairan.
4. Intellectual Impairment (gangguan intelektual/dementia),
merupakan kumpulan gejala klinik yang meliputi gangguan
fungsi intelektual dan ingatan yang cukup berat sehingga
menyebabkan terganggunya aktivitas kehidupan sehari-
hari.
5. Infection (infeksi), merupakan salah satu masalah
kesehatan yang penting pada lansia, karena sering
didapati juga dengan gejala tidak khas bahkan asimtomatik
yang menyebabkan keterlambatan diagnosis dan
pengobatan.
6. Impairment of vision and hearing, taste, smell,
communication, convalencence, skin integrity (gangguan
panca indera, komunikasi, penyembuhan dan kulit),
merupakan akibat dari proses menua. Semua panca
indera berkurang fungsinya, demikian juga pada otak,
saraf dan otot-otot yang dipergunakan untuk berbicara,
sedangkan kulit menjadi lebih kering, rapuh dan mudah
rusak dengan trauma yang minimal.
7. Impaction (konstipasi), sebagai akibat dari kurangnya
gerakan, makanan yang kurang mengandung serat dan
kurang minum.
8. Isolation (depresi), akibat perubahan sosial, bertambahnya
penyakit dan berkurangnya kemandirian sosial. Pada
lansia, depresi yang muncul adalah depresi yang
terselubung, gangguan fisik saja seperti sakit kepala,
jantung berdebar-debar, nyeri pinggang, gangguan
pecernaan, dan lain-lain.
9. Inanition (kurang gizi), dapat disebabkan karena
perubahan lingkungan maupun kondisi kesehatan. Faktor
lingkungan dapat berupa ketidaktahuan untuk memilih
makanan yang bergizi, isolasi sosial (terasing dari
masyarakat), terutama karena kemiskinan, gangguan
panca indera; sedangkan faktor kesehatan berupa
penyakit fisik, mental, gangguan tidur, obat-obatan, dan
lainnya.
10. Impecunity (tidak punya uang), semakin bertambahnya
usia, maka kemampuan tubuh untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan akan semakin berkurang, sehingga jika tidak
dapat bekerja maka tidak akan mempunyai penghasilan.
11. Iatrogenesis (penyakit akibat obat-obatan), sering dijumpai
pada lansia yang mempunyai riwayat penyakit dan
membutuhkan pengobatan dalam waktu yang lama, jika
tanpa pengawasan dokter maka akan menyebabkan
timbulnya penyakit akibat obat-obatan.
12. Insomnia (gangguan tidur), sering dilaporkan oleh lansia,
mereka mengalami sulit untuk masuk dalam proses tidur,
tidur tidak nyenyak dan mudah terbangun, tidur dengan
banyak mimpi, jika terbangun susah tidur kembali,
terbangun didini hari, lesu setelah bangun di pagi hari.
13. Immune deficiency (daya tahan tubuh menurun),
merupakan salah satu akibat dari proses menua, meskipun
terkadang dapat pula sebagai akibat dari penyakit
menahun, kurang gizi dan lainnya.
14. Impotence (impotensi), merupakan ketidakmampuan untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk
melakukan senggama yang memuaskan yang terjadi
paling sedikit tiga bulan. Hal ini disebabkan karena terjadi
hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin sebagai
adanya kekakuan pada dinding pembuluh darah, baik
karena proses menua atau penyakit.
2.1.2.6 Mekanisme Pelayanan Posyandu
Mekanisme pelayanan Posyandu Lansia berbeda dengan
posyandu balita. Menurut Fallen, 2010 mekanisme pelayanan
ini tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan
kesehatan di suatu wilayah penyelenggara. Ada yang
menyelenggarakan Posyandu Lansia ini dengan sistem 5 meja
seperti posyandu balita, ada pula yang hanya 3 meja. Tiga
meja tersebut meliputi:
1. Meja I: pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan
berat badan dan atau tinggi badan.
2. Meja II: pencatatan berat badan, tinggi badan dan index
massa tubuh (IMT); juga pelayanan kesehatan seperti
pengobatan sederhana dan rujukan kasus.
3. Meja III: melakukan kegiatan konseling atau penyuluhan,
dapat juga dilakukan pelayanan pojok gizi.
2.1.2.7 Kunjungan Posyandu Lansia
Kunjungan posyandu adalah kedatangan atau pergi untuk
melakukan kunjungan posyandu, dengan tujuan
memeriksakan kondisi kesehatannya. Kunjungan ke
Posyandu idealnya dalam satu tahun minimal frekuensi
kunjungannya dilaksanakan sebanyak 12 kali kunjungan.
Hal ini karena seharusnya posyandu menyelenggarakan
kegiatan setiap bulan, jadi bila teratur akan ada 12 kali
setiap tahun. Dalam kenyataannya tidak semua posyandu
dapat berfungsi setiap bulan. (Novi, 2007).
2.1.2.8 Kendala Pelaksanaan Posyandu Lansia
Erfandi (2008) mengemukakan ada lima faktor kendala
dalam pelaksanaan Posyandu Lansia yaitu:
1. Pengetahuan lansia yang rendah tentang manfaat
posyandu. Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini
dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam kehidupan
sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan posyandu,
lansia akan mendapat penyuluhan tentang cara hidup
sehat dengan segala keterbatasan atau masalah
kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan
pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat,
yang menjadi dasar pembentukan sikap dan dapat
mendorong minat atau motivasi mereka untuk selalu
mengikuti Posyandu Lansia.
2. Jarak rumah lansia dengan lokasi Posyandu Lansia jauh
atau sulit dijangkau. Jarak posyandu yang dekat akan
membuat lansia mudah menjangkau posyandu tanpa
harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena
penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh.
Kemudahan dalam menjangkau lokasi posyandu ini
berhubungan dengan faktor keamanan atau keselamatan
bagi lansia. Jika lansia merasa aman atau merasa mudah
untuk menjangkau lokasi posyandu tanpa harus
menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius,
maka hal ini dapat mendorong minat atau motivasi lansia
untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan demikian,
keamanan ini merupakan faktor eksternal dari
terbentuknya motivasi untuk menghadiri Posyandu Lansia.
3. Kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun
mengingatkan lansia untuk datang ke Posyandu Lansia.
Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong
minat atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan
Posyandu Lansia. Keluarga bisa menjadi motivator kuat
bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk
mendampingi atau mengantar lansia ke posyandu,
mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu, dan
berusaha membantu mengatasi segala permasalahan
bersama lansia.
4. Sikap lansia yang kurang baik terhadap petugas
posyandu yaitu ketidaksiapan atau ketidaksediaan lansia
untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia, karena sikap
seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu obyek.
5. Kader Posyandu Lansia. Kader juga harus mampu
berkomunikasi dengan efektif, baik dengan individu atau
kelompok maupun masyarakat, kader juga harus dapat
membina kerjasama dengan semua pihak yang terkait
dengan pelaksanaan posyandu, serta untuk memantau
pertumbuhan dan perkembangan lansia pada hari buka
posyandu yaitu pendaftaran, penimbangan,
pencatatan/pengisian KRS, penyuluhan dan pelayanan
kesehatan sesuai kewenangannya dan pemberian PMT,
serta dapat melakukan rujukan jika diperlukan.
2.1.3 Kepatuhan
2.1.3.1 Pengertian
Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka
menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan
berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan,
tunduk, patuh pada ajaran dan aturan.
Komitmen seseorang terhadap nilai dapat dinyatakan
antara lain pada kepatuhannya terhadap suatu yang
dianggap baik. Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh,
yang berarti disiplin dan taat. Sacket (dalam Niven, 2002),
mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana
perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh petugas kesehatan.
Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah
atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai
aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh bila mau
datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau
melaksanakan yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali,
2002 dalam Tisna 2009).
2.1.3.2 Proses Perubahan Sikap dan Perilaku (Teori Kelman)
Proses perubahan sikap dan perilaku individu dimulai
dengan tahap kepatuhan, tahap identifikasi, dan kemudian
baru menjadi internalisasi. Berikut tahapan proses
perubahan sikap dan perilaku:
1. Tahap kepatuhan / kesediaan
Dalam tahap ini individu mematuhi anjuran atau instruksi
petugas tanpa kerelaan dan seringkali karena ingin
menghindari hukuman atau sanksi jika tidak patuh atau
untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi
anjuran tersebut. Perubahan yang terjadi dalam tahap ini
bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan
selama masih ada pengawasan petugas.
2. Tahap identifikasi
Dalam tahap ini kepatuhan individu berdasarkan rasa
terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya
perilaku, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik
dengan petugas kesehatan atau tokoh yang
menganjurkan perubahan tersebut (change agent).
Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa
tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut,
sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau
diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan
manfaat dari tindakan tersebut, tetapi jika dia ditinggalkan
petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak
perlu melanjutkan perilaku tersebut.
3. Tahap internalisasi
Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau
tokoh merupakan seseorang yang dapat dipercaya
(kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu
memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut
serta membuat mereka mengerti akan pentingnya
perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri.
Memang proses internalisasi ini tidaklah mudah dicapai
sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah
nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri
dengan nilai atau perilaku yang baru.
2.1.3.3 Variable yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
Menurut Suddart & Brunner (2002) ada empat variable
yang mempengaruhi tingkat kepatuhan yaitu:
1. Variable demografi seperti usia, jenis kelamin, suku
bangsa, status social ekonomi dan pendidikan.
2. Variable penyakit seperti keparahan penyakit dan
hilangnya gejala akibat terapi.
3. Variable program terapeutik seperti kompleksitas program
dan efek samping yang tidak menyenangkan.
4. Variable psikososial seperti sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap
penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya
financial.
2.1.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat
digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2002)
antara lain:
1. Pemahaman tentang intruksi
Tak seorang pun dapat mematuhi interuksi jika ia salah
paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan
pasien merupakan bagian yang penting dalam
menentukan derajat kepatuhan.
3. Isolasi sosial dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan
individu serta juga dapat menentukan tentang program
pengobatan yang dapat mereka terima.
4. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Becker, dkk dalam Niven (2002) telah membuat suatu
usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk
memperkirakan adanya ketidakpatuhan, sebab orang-
orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami
depresi, ansietas sangat memperhatikan kesehatannya,
memiliki ego yang lebih lemah dan yang kehidupan
sosialnya lebih memusatkan perhatian pada diri sendiri.
2.1.3.5 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan (Ferry Effendi,
2009)
1. Dukungan professional kesehatan
Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan
untuk meningkatkan kepatuhan, komunikasi memegang
peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan
oleh professional kesehatan dalam menanamkan
ketaatan bagi pasien.
2. Dukungan sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para
professional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga
pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien
maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
3. Prilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan.
4. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga
mengenai penyakit yang dideritanya serta cara
pengobatannya.
2.2 Perspektif teoritis
Faktor-faktor
Tingkat pengetahuan lansia mengenai Posyandu Lansia
Kesadaran akan manfaat Posyandu Lansia
Jarak rumah lansia dengan lokasi Posyandu Lansia
Status ekonomi
Pandangan lansia terhadap diri sendiri
Sikap petugas posyandu
Dukungan keluarga
Prasarana Posyandu lansia
Usia
pendidikan
Gambar 2.2.1 Kerangka Konseptual
Kepatuhan
Lansia Posyandu Lansia
Berkunjung
an
Dipengaruhi