bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii... · terpenting dari berbagai komponen fisiologis...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Keseimbangan Tubuh
Berbicara mengenai keseimbangan tidak lepas dari kestabilan karena
kestabilan adalah suatu kegiatan untuk menahan seluruh gaya yang mempengaruhi
susunan tubuh manusia agar tetap seimbang Pate (1993). Defenisi menurut
O’sullivan (1981) keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan
pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama ketika saat posisi tegak. Selain itu
keseimbangan juga diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengontrol
alat-alat tubuh yang bersifat neuromuskular (Nurhasan, 1986).
Frass dan Deutch dikutip oleh Lubis (2001) mendefenisikan keseimbangan
sebagai kemampuan untuk mempertahankan equibrium saat diam dan pada waktu
melakukan gerakan. Anggraini (2014) juga mengatakan keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam keadaan statis atau dinamis,
dengan mengunakan aktivitas otot yang minimal. Nala (2011) juga mengatakan
bahwa keseimbangan adalah kemampuan tubuh melakukan reaksi atas perubahan
sikap dan posisi tubuh sehingga tubuh tetap stabil dan terkendali. Keseimbangan
tubuh yang baik juga didukung dengan memperkuat kontrol postural. Kontrol
postural merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol posisi dengan tujuan
stabilitas dan orientasi (Shumway-Cook & Woollacott, 2007).
9
2.2 Keseimbangan Dinamis
Menurut harsono (1988) keseimbangan dinamis (dynamic balance) yaitu
kemampuan orang untuk bergerak dari satu titik atau ruangan (space) ke lain titik
atau ruangan dengan mempertahankan keseimbangan (equilibrium).
Keseimbangan dinamis juga diartikan oleh Nala (2011) sebagai pemeliharaan
keseimbangan tubuh dalam posisi bergerak.
Menurut batson (2009) keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks
dari sistem (vestibular, visual, dan somatosensorik atau proprioseptor) dan
muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain) yang diatur dalam otak
sebagai respon terhadap perubahan kondisi internal dan eksternal. Bagian otak
yang mengatur meliputi basal ganglia, serebelum, area asosiasi. Sikap tubuh
secara alami melakukan pengaturan postur yang tidak dirasakan secara dasar dan
tidak di pisahkan oleh keseimbangan statis maupun dinamis karena tubuh jarang
sekali dalam keadaan diam sempurna tanpa melakukan gerakan sama sekali.
Kekuatan dari keseimbangan dan mobilitas sangat diperlukan untuk
mengontrol segmen dan posisi tubuh dalam suatu ruangan saat diam (statis)
maupun bergerak (dinamis), namun keseimbangan tubuh saat bergerak
memerlukan kemampuan yang lebih dimana komponen muskuloskeletal sangat
berpengaruh pada kestabilan dan kontrol termasuk luas gerak sendi, fleksibilitas
spinal dan kekuatan serta ketahanan (Bastille, 2004). Keseimbangan adalah
kemampuan seseorang untuk menjaga pusat gravitasi tubuh dalam basis dukungan
dan mempertahankan kondisinya, baik saat dalam keadaan diam (statis) maupun
dalam keadaan bergerak (dinamis), kondisi saat diam yaitu keseimbangan statis
10
dan saat bergerak yaitu keseimbangan dinamis (Demir et al, 2013). Keseimbangan
adalah kemampuan mempertahankan sikap tubuh yang tepat pada saat melakukan
gerakan. (Juniarti, 2007). Keseimbangan juga diartikan oleh Dantas (2003)
sebagai kualitas fisik yang di dapatkan dari kombinasi antara aksi otot dengan
tujuan untuk mempertahankakn tubuh terhadap gaya gravitasi.
Tubuh tidak perna dalam keadaan benar-bnar diam (statis), saat bergerak atau
melangka memerlukan keseimbangan yang lebih untuk mempertahankan posisi
tubuh agar tidak jatuh dan memelihara tahanan tersebut terhadap gaya gravitasi
sehingga tubuh akan selalu stabil, jika seseorang tidak bisa mempertahankan
keseimbangan saat berjalan maka orang tersebut memiliki gangguan
keseimbangan dan sangat beresiko untuk jatuh (Baptista, 2006).
2.3 Fisiologi Keseimbangan
Kemampuan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan dan kestabilan
postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan
sistem regulasi yang berperan untuk pembentukan keseimbangan. Bagian
terpenting dari berbagai komponen fisiologis pada tubuh manusia dalam
melakukan reaksi keseimbangan adalah proprioseptif, kemampuan untuk
merasakan posisi bagian sendi atau tubuh dalam gerak (Brown et al, 2006 ).
Peningkatan keseimbangan dipengaruhi oleh beberapa jenis reseptor
sensorik pada kulit, otot, kapsul sendi, dan ligamen yang memberikan tubuh
kemampuan untuk mengenali perubahan lingkungan baik internal maupun
eksternal kepada setiap sendi (Riemann et al, 2002a). Mempertahankan massa
tubuh serta menyangga tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain agar
11
seimbang dengan bidan tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh saat bagian
tubuh lain bergerak adalah tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan agar
tidak jatuh.
2.3.1 Komponen-Komponen Pengontrol Keseimbangan
Komponen pengontrol keseimbangan pada tubuh manusia terdiri dari tiga
komponen penting, yaitu :
1. Sistem informasi sensorik
Sebagian besar kegiatan sistem saraf berasal dari pengalaman sensorik dari
reseptor sensorik, baik berupa reseptor visual, auditorius, reseptor raba di
permukaan tubuh, atau jenis reseptor lain. Sistem sensorik merupakan hal penting
dalam prinsip dasar kontrol postur antara lain :
- Kemampuan visual (penlihatan) memegang peran penting dalam sistem
sensorik, yaitu membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk
mempertahankan keseimbangan, sebagai monitor tubuh selama melakukan gerak
statis maupun dinamis, sumber informasi lingkungan tempat kita berada,
mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan. Dengan informasi
visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang
pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja otot yang sinergis untuk
mempertahankan keseimbangan agar tubuh tidak jatuh.
Cratty & Martin (1969) juga menyatakan bahwa keseimbangan akan terus
berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama
untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor tubuh selama
melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan juga merupakan sumber utama
12
informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang
peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan
tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal
dari objek sesuai jarak pandang.
- Sistem vestibular Merupakan komponen sistem sensorik yang berperan
penting dalam mengatur keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata.
Reseptor ini berada di dalam telinga, meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus,
serta sakulus. Reseptor ini disebut dengan labyrinthine. Sistem labyrinthine
berperan dalam mendektesi perubahan posisi kepala dan kecepatan perubahan
sudut. Melalui reflex vestibulooccular, mereka mengontrol gerak mata, terutama
ketika melihat objek yang bergerak. Pesan di kirim melalui saraf kranialis VIII ke
nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju
nukleus vestibular tetapi serebelum, retikular formasi, thalamus dan korteks
serebri.
- Nukleus vestibular menerima input dari reseptor labyrinth, retikular
formasi, dan serebelum. Ouput dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron
yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot
punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga
membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot
postural.
- Sistem somatosensoris sistem merupakan indra yang berperan dalam
mendeteksi pengalaman yang disebut
sentuhan atau tekanan, suhu (hangat atau dingin), sakit (termasuk gatal dan geli),
13
termasuk juga propriosepsi (sensasi pergerakan otot) serta posisi persendian
seperti postur, pergerakan, visera dan ekspresi wajah. Perasa visera terkait dengan
informasi indra dari dalam tubuh. Terdiri dari taktli atau proprioseptif serta
persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna
dorsalis medulla spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju
serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus
medialis dan thalamus (Willis Jr, 2007).
Kesadaran manusia akan posisi tubuh bergantung pada implus yang datang
dari alat indra dalam dan sekitar sendi, yaitu ujung-ujung saraf yang beradaptasi
lambat di sinovia dan ligamentum. Implus dari alat indra ini berasal dari reseptor
raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran
akan posisi tubuh dalam ruang.
2 Central processing berfungsi untuk memetakan lokasi titik gravitasi, menata
respon sikap, serta mengorganisasikan respon dengan sensorimotor. Sistem saraf
pusat menhasilkan respon motorik yang sesuai untuk menjaga postur tubuh agar
tetap seimbang. Beberapa komponen sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses
kontrol postural yakni kortex, thalamus, basal ganglia, vestibular, dan serebelum (
Guccione et al, 2012).
3 Efektor berfungsi sebagai perangkat biomekanik untuk merealisasikan respon
yang telah terprogram di pusat, yang terdiri dari unsur lingkup gerak sendi,
kekuatan otot, dan respon otot-otot postural yang sinergis.
- Lingkup gerak sendi (LGS)
14
Lingkup gerak sendi (LGS) atau sering disebut Range of motion (ROM)
adalah kemampuan sendi untuk membantu tubuh dalam mengarahkan gerakan
terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi. Luas gerak
sendi dapat juga diartikan sebagai ruang gerak atau batas-batas gerakan dari suatu
kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut dapat memendek
atau memanjang secara penuh atau tidak. Terdiri dari inner range, middle range,
outer range dan full range.
- Kekuatan otot (Muscle strenght)
Kekuatan otot adalah kemampuan otot dalam menhasilkan tegangan dan
tenaga selama usaha maksimal yang dilakukan dalam keadaan gerak maupun
diam. Kekuatan otot dilihat dari seberapa besar sistem saraf (sistem
neuromuskuler) mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi.
kekuatan otot ekstermitas bawah berperan dalam mempertahankan keseimbangan
tubuh dalam melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lain yang
mempengaruhi posisi tubuh.
- Respon otot-otot postural yang sinergis (postural muscles response synergies)
Respon otot-otot postural yang sinergis diperlukan dalam aktivitas kelompok
otot yang dibutukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur.
Pertahanan keseimbangan tubuh dalam berbagai posisi dan gerakan di lakukan
oleh kelompok otot pada ekstermitas atas maupun ekstermitas bawah. Respon
otot-otot tersebut bekerja secara sinergis (kecepatan dan kekuatan yang tepat)
dalam berbagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan
aligmen tubuh.
15
2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan
Dalam mempertahankan kondisi tubuh agar tetap stabil baik pada keadaan
diam (statis) maupun keadaan bergerak (dinamis) diperlukan keseimbangan.
keseimbangan tubuh seseorang baik keseimbangan dinamis maupun statis di
pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1) Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua objek, pada benda, pusat gravitasi
terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada
tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu
ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat
gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi
manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan
belakang vertebra sakrum ke dua. Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat
faktor, yaitu : ketinggian dari titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran
bidang tumpu, lokasi garis gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat badan.
16
Gambar 2.1 Centre of gravity
(Sumber : Michael Kent, 2007)
2) Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat
gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi
dengan bidang tumpu adalah yang menentukan derajat stabilitas tubuh.
Gambar 2.2 Line of gravity
(Sumber : Michael Kent, 2007)
3) Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan
permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh
dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang
tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri
17
dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin
dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi.
Gambar 2.3 Base of Support
(Sumber : Michael Kent, 2007)
2.4 Lansia (Lanjut Usia)
Usia lanjut dikatan sebagai tahap akhir dari perkembangan manusia.
Menurut WHO (1989), batasan lansia adalah kelompok usia 45-59 tahun sebagai
usia pertengahan (middle/ young elderly), usia 60-74 tahun disebut lansia
(elderly), usia 75-90 tahun disebut tua (old), usia diatas 90 tahun disebut sangat
tua (very old). Menjadi tua merupakan tahap terakhir dari hidup manusia
yang tidak dapat di hindari yang dialami oleh manusia yang melewati masa
dewasa. Menjadi tua akan di tandai dengan penurunan funsi organ-organ tubuh
secara bertahap. Pada sistem muskuloskeletal otot akan mengalami penurunan
18
massa otot dan tonus, sedangkan sendi mengalami penurunan fleksibilitas dan
mengalami degenerasi (Shinta, 2007).
Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara
tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan
akhirnya menjadi tua. Seseorang dengan usia kronologis 70 tahun mungkin dapat
memiliki usia fisiologis seperti orang usia 50 tahun. Atau sebaliknya, seseorang
dengan usia 50 tahun mungkin memiliki banyak penyakit kronis sehingga usia
fisiologisnya 90 tahun (Pujiastuti & Utomo, 2003).
Menjadi tua adalah suatu proses kehidupan dimana` manusia tidak dapat
menhindarinya namun bisa menhambatnya. Proses menjadi tua disebabkan oleh
faktor biologi, berlangsun secara alamiah, terus menerus dan berkelanjutan yang
dapat menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis biokimia pada jaringan tubuh
dan akhirnya mempengaruhi fungsi, kapasitas fisik atau mental jiwa
(Constantinides, 1994). Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat
dihindari, berjalan secara terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan
menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga
akan mempengaruhi fungsi dan kapasitas fisik secara keseluruhan (Depkes RI,
2004). Proses degenerasi merupakan proses alami yang terdiri dari faktor biologis,
lingkungan, psikologikal ( Khazaei et al, 2014)
2.5 Proses Degenerasi Lansia
Proses degenerasi atau kemunduran pada manusia tidak terjadi pada waktu
bersamaan. Pujiastuti & Utomo (2003) mengatakan proses degenerasi terjadi
secara fisiologis dan patologis, penuaan yang terjadi sesuai dengan kronologis
19
usia dan dipengaruhi oleh faktor endogen, yaitu perubahan dimulai dari sel-
jaringan-organ-sistem pada tubuh disebut penuaan primer. Bila penuaan banyak
dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya, gaya hidup
disebut penuaan sekunder. Penuaan sekunder ini tidak sesuai dengan kronologis
usia dan patologis. Faktor eksogen juga memengaruhi faktor endogen sehingga
dikenal dengan faktor resiko, dimana faktor resiko tersebut merupakan penyebab
penuaan patologis (pathological aging). Degenerasi akan bertambah apabila
terjadi penyakit fisik yang berinteraksi dengan lansia. Proses degenerasi ini juga
dipengaruhi oleh gaya hidup setiap orang yang berbeda. Proses degenerasi atau
kemunduran pada lansia akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari, dimana proses
degenerasi ini terjadi karena penurunan fungsi motorik, yaitu penurunan pada
kekuatan tulang, otot, dan sendi yang akan mempengaruhi fleksibilitas, kekuatan,
kecepatan, stabilitas yang merupakan gangguan keseimbangan sehingga
menyebabkan lansia muda jatuh dan terjadi kekakuan tubuh dan juga terjadi
penurunan pada fungsi sensorik yang berpengaruh pada sensitifitas indera yaitu
terjadinya anesthesia, hiperstesia, dan paraestesia. Proses degenerasi juga
mempengaruhi sensomotorik, sehingga lansia mengalami gangguan keseimbangan
dan koordinasi tubuh.
Nitz, (2004) mengatakan dampak yang ditimbulkan dari proses menua
antara lain adanya perubahan morfologis pada otot yang menyebabkan perubahan
fungsional otot yaitu terjadi penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas, da
fleksibilitas, penurunan fungsi propioseptif serta kecepatan, gangguan sistem
20
vestibular, visual, dan waktu reaksi. Berbagai perubahan yang terjadi akibat
proses menua menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan (pujiastuti, 2003).
2.6 Epidemiologi Gangguan Keseimbangan pada Lansia
Proses penuaan yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan
fisiologis sistem muskuloskeletal salah satu diantaranya adalah perubahan struktur
otot yang menyebabkan atrofi pada otot. Dampak perubahan morfologis pada otot
ini dapat menurunkan kekuatan otot (Pujiastuti, 2003). Kekuatan otot merupakan
komponen utama dari kemampuan melangkah, berjalan dan keseimbangan
(Guccione, 2012). Jika terjadi atrofi otot pada lansia maka akan menyebabkan
gangguan keseimbangan.
Berdasarkan survey masyarakat Amerika Serikat, Tenetti (1992)
mendapatkan sekitar 30% lansia yang berumur lebih dari 65 tahun jatuh tiap
tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Lima persen
dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang (cedera) atau memerlukan
perawatan di rumah sakit.
2.7 Patofisiologi Penurunan Keseimbangan pada Lansia
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam
faktor diantaranya adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem
saraf pusat (SSP) maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal
(Nurgroho, 2008). Proses penuaan (degenerasi) menyebabkan terjadinya
perubahan pada berbagai fungsi organ-organ tubuh yang merupakan komponen
yang berperan penting dalam menyeimbangkan tubuh saat berdiri maupun
bergerak.
21
Perubahan tersebut meliputi perubahan pada komponen-komponen penting
dalam keseimbangan, diantaranya :
1. Pada sistem muskuloskeletal terjadi perubahan pada :
- Jaringan penhubung (kolagen dan elastin) mengalami perubahan menjadi
bentangan cross linking yang tidak teratur. Perubahan tersebut menyebabkan
penurunan mobilitas dan fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan nyeri,
penurunan kemampuan unutuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak,
berjalan dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
- Kartilago mengalami fibrasi, perubahan tersebut terjadi pada sendi-sendi besar
penumpu berat badan. Perubahan ini mengakibatkan peradangan, kekakuan, nyeri,
keterbatasan gerak, dan aktivitas sehari-hari terganggu.
- Berkurangnya kepadatan tulang disebabkan oleh penurunan penyerapan
kalsium di usus, peningkatan kanal haversi sehingga tulang menjadi keropos yang
mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis menyebabkan nyeri, deformitas, dan
fraktur.
- Perubahan morfologis otot pada lansia merupakan penurunan kekuatan,
flesibilitas, peningkatan reaksi, dan penurunan kemampuan fungsional otot yang
berdampak pada mobilitas.
- Sendi mengalami penurunan fleksibilitas sehingga terjadi penurunan luas
gerak sendi serta menyebabkan jaringan ikat sekitar sendi mengalami penurunan
daya lentur dan elastisitas menyebabkan kekakuan sendi, gangguan berjalan,
keterbatasan luas gerak sendi, dan aktivitas sehari-hari.
2. Sistem saraf
22
Penuaan menyebabkan susunan saraf pada lansia mengalami perubahan
morfologis dan biokimia menyebabkan Penurunan persepsi sensorik dan respon
motorik pada susunan saraf dan penurunan reseptor proprioseptif.
3. Sistem Kardiovaskular dan Respirasi
Penurunan pada curah jantung (cardiac ouput) dan kapasitas paruh, penurunan
mobilitas tulang rusuk sehingga ekspansi rongga dada dan kapasitas ventilasi paru
menurun.
4. Sistem Indra
Penuaan menyebabkan ketajaman penlihatan berkurang, gangguan pendengaran,
penurunan kemampuan pengecapan, penurunan sensivitas nilai ambang untuk
identifikasi bau, penurunan kecepatan hantaran saraf.
5. Sistem Integumen
Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan bercak akibat perubahan
dari jaringan kolagen serta elastisitasnya, serta timbul liver spot (pigmen berwarna
coklat pada kulit). Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Dampak dari berbagai penurunan fungsi yang di alami lansia menimbulkan
gangguan keseimbangan yang merupakan faktor utama penyebab lansia muda
jatuh.
2.8 Yoga
Yoga adalah sistem latihan dengan intensitas ringan (low impact), lembut
yang berfokus pada tubuh, pernapasan, dan meditasi. Yoga berasal dari praktik
23
India kuno dan telah menjadi teknik terapi terkemuka di dunia (Middleton, 2013).
Yoga, yang berasal dari India ini, yang terdiri dari satu set teknik yang telah ada
selama lebih dari 3000 tahun dan telah menjadi bagian dari pengobatan India
Raub (2002), Woodyard (2011). Yoga telah menjadi salah satu yang paling umum
digunakan sebagai terapi pengobatan komplementer dan alternatif di Amerika
Serikat (Wang et al, 2013 ).
Parktisi yoga di Amerika Serikat semakin meningkat. Berdasarkan survey
Kesehatan Nasional, partisipasi yoga melonjak 40% dari tahun 1997 ke tahun
2002 dari total populasi yang berpartisipasi dalam yoga pada 12 bulan terakhir
mencapai 13,2 juta di 2007 (Barnes, 2008). Orang-orang yang berada di asia timur
percaya bahwa pelatihan yoga mempengaruhi energi dan kegiatan di endokrin,
jantung, paru, otot, dan sistem saraf melalui stimulasi dan menfasilitasi pemulihan
fisik, emosional, dan spiritual (Prado et al, 2014). Dengan mengadopsi postur
(asana) yang sangat mendasar dan ringan, tujuan yoga adalah memberikan
sejumlah manfaat fisik dan mental. Yoga dapat membantu meredakan sakit otot
dan tulang dengan merehabilitasi cedera otot dan tulang serta mencegah
kembalinya cedera melalui peregangan, penguatan, dan keselarasan tubuh.
Program yoga aman dan efektif dalam mengurangi efek samping yang tidak
diinginkan (Salem J. et al, 2013).
Peneltian yang dilakukan Salem J. et al (2013) ini mendapat dukungan dari
Departement of Health and Human Services and National Recreation and Park
Association USA yang merekomendasikan yoga sebagai solusi total untuk
24
pelatihan bagi lansia. Sebuah penilitian menunjukkan penderita stroke yang
berpartisipasi dalam kelas yoga pasca stroke dapat meningkatkan keseimbangan
sampai 34%. Penelitian yang dipresentasikan pada American College of Sports
Medicine Pertemuan Tahunan di Denver dan melibatkan 19 pria dan 1 wanita
pasien pasca stroke juga menunjukkan penderita stroke mengalami peningkatan
ketahanan dan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menjadi aktif secara
fisik . Weller (2001) juga mengatakan yoga dapat mengurangi stress dengan
efektif seperti latihan pelongaran otot yang ringan, pernapasan, meditasi dan
pelemasan. Dengan mempraktekkan tekni-teknik ini juga membantu untuk
mengumpulkan tenaga untuk mengatasi rasa sakit dan bentuk stress lainnya
dengan lebih efektif.
Grafinkel et al (1994) dalam penelitiannya pada pasien osteoartritis dengan
latihan yoga selama 8 minggu secara signifikan menigkatnya kekuatan, luas
gerak sendi pada tangan, dan mengurangi rasa sakit dan nyeri. Hatha Yoga,
melalui postur (asana) fisik statis, menggunakan peregangan dan meningkatkan
kekuatan otot dan fleksibilitas sehingga akan bermanfaat untuk beberapa masalah
muskuloskeletal (Tran et al, 2001).
Dalam kehidupan sehari-hari, tubuh menahan beban fisik dan stres
keseharian yang akan bertumpuk di bagian tubuh tertentu, dan mengakibatkan
berbagai ketidak nyamanan fisik, mental, maupun psikis, melalui yoga hal
tersebut dapat diperbaiki sebab dikatakan oleh Jung ( dalam Krisna, 1999) bahwa
latihan yoga juga menyentuh fisik sehingga menimbulkan keselarasan antara fisik
25
dan mental manusia. Bahkan yoga dapat juga menurunkan stress dan menambah
percaya diri, keadaan ini dapat dilihat pada para praktisi yang telah mengikuti
yoga, tampak tenang dalam menyelesaikan masalahnya (Shindu, 2006). Penelitian
menggunakan yoga memang menunjukkan hasil yang positif untuk meningkatkan
kekuatan otot dan fleksibilitas dan keseimbangan (Garfinkel et al, 2002;. Raub,
2002). Yoga juga sangat baik dimasukkan dalam praktek medis untuk
meningkatkan kapasitas fungsional pasien, bagi mereka yang memiliki
keterbatasan dalam melakukan pelatihan aerobik karena berbagai alasan kesehatan
(Akhtar P, 2013)
2.9 Pelatihan Hatha Yoga Modifikasi pada Lansia
Lansia mengalami kendala pengaturan keseimbangan karena menurunnya
presepsi terhadap kedalaman, menurunnya penlihatan perifer, menurunnya
kemampuan untuk mendeteksi informasi spatial. Kondisi ini berakibat
meningkatnya resiko jatuh pada lansia. Pelatihan yang ditujukan untuk
memperbaiki keseimbangan sangat bermanfaat, karena menurut nina (2007),
secara fisiologis, olahraga atau latihan dapat meningkatkan kapasitas aerobik,
kekuatan, fleksibilitas, dan keseimbangan. Secara psikologis dapat meningkatkan
mood, mengurangi resiko pikun, dan mencegah depresi. Secara sosial dapat
mengurangi ketergantungan pada orang lain, dapat banyak teman dan
menigkatkan produktivitas.
Pelatihan keseimbangan itu misalnya pelatihan hatha yoga. Hatha yoga adalah
bentuk latihan yang lembut dan aman yang bermanfaat pada fisik, mental dan
26
emosional dan juga merupakan intervensi yang baik untuk mengurangi resiko
jatuh dan meningkatkan keseimbangan pada lansia (Galantino et al, 2012).
Pelatihan hatha yoga difokuskan pada aspek fisik dan mental di mana praktisi
dapat melakukannya sendiri pada waktu luan (Raub, 2002), pelatihan ini
menkhususkan pada penguatan, di mana terdapat gerakan-gerakan tertentu dan
koordinasi motorik yang diperlukan untuk meningkatkan keseimbangan postural
(prado et al, 2014). Dalam penelitian Woodyard (2001), Gauchard (1999) postur
(asana) hatha yoga meningkatkan respon fisiologis, seperti keseimbangan
emosional dan harmoni tubuh saat bergerak, pose ini juga meningkatkan kekuatan
dan fleksibilitas, dimana faktor-faktor ini mempunyai pengaruh penting dalam
aktivitas sehari-hari, dan secara substansial meningkatkan kontrol postural
dinamis dalam individu di atas usia 60 tahun (Gauchard,1999) & ( Oken, 2006).
Pelatihan hatha yoga sangat bermanfaat bagi lansia karena hatha yoga
mencakup latihan fisik yang ringan, yang mengikutsertakan setiap sendi pada
tubuh dalam gerakan memperkuat, melonggarkan dan menyeimbangan setiap
bagian tubuh dengan sepenuhya (Weller, 1995). James A & Raub (2002)
mengatakan Hatha Yoga, didasarkan pada pengetahuan, pengembangan, dan
keseimbangan energi psikofisik dalam tubuh karena itu disebut sebagai "yoga
psikofisik." Tiga elemen utama yang digunakan dalam Hatha Yoga untuk
mencapai tujuannya adalah tubuh, bagian fisik, pikiran, dan elemen yang
berhubungan tubuh dengan pikiran dengan cara yang khusus, nafas.
27
Pelatihan hatha yoga menawarkan teknik khusus untuk masing-masing
elemen tersebut. Untuk bagian fisik, atau tubuh, ia menawarkan asana ("postur"),
teknik untuk pengkondisian fisik, yang disebut kriyas ("tindakan"), mudra
("segel"), bandha ("kunci"), serta teknik untuk relaksasi fisik total dan sadar.
Menurut Brenda Andreregg seperti yang dikutip Karen Weinrib, latihan
hatha yoga yang teratur dapat meningkatkan fungsi proprioseptif. Latihan hatha
yoga merupakan latihan isometrik yang dapat meningkatkan kekuatan otot.
Latihan ini juga membantu mempertahankan tonus otot, fungsi proprioseptif,
kekuatan otot, dan tonus otot yang baik sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan keseimbangan (Juniarti, 2007). Pelatihan ini melibatkan gerakan
yang terkoordinasi dari otot- otot sehingga diperoleh stabilitas dan fleksibilitas
yang baik. Stabilitas dan fleksibilitas yang baik dapat membantu meningkatkan
keseimbangan pada lansia. Cissel et al, (2005) juga mengatakan yoga dapat
meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia melalui postur (asana) hatha
yoga. Pelatihan yoga dapat dimodifikasi sehingga pose atau postur yang sulit
dapat mudah dilakukan oleh lansia (Morris, 2008). Mengingat pentingnya unsur
keseimbangan pada lanjut usia, maka dilakukan pelatihan hatha yoga pada lansia,
dimana latihan hatha yoga tesebut telah dimodifikasi guna menyesuaikan dengan
usia para peserta latihan. Modifikasi pada pelatihan hatha yoga ini yaitu
penggunaan kursi sebagai alat bantu dalam beberapa postur asanas yang
seharusnya dilakukan di lantai dan menyesuaikan asanas yang ekstrim sehingga
dapat diikuti oleh lansia. Postur asanas dari latihan hatha yoga ini bermanfaat
untuk memperbaiki postur tubuh dan melatih keseimbangan. Hatha yoga yang
28
telah dimodifikasi dengan bantuan kursi untuk lansia akan sangat membantu
dalam memudahkan lansia melakukan postur (asana) atau gerakan-gerakan pada
hatha yoga sehingga akan tercapainya keseimbangan yang diharapkan (Juniarti,
2007).
Aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur, yang melibatkan gerakan
tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani
disebut olahraga atau pelatihan (Farizati, 2002). Hatha yoga adalah suatu proses
jasmani menuju latihan-latihan mental yang lebih tinggi.
Dunia oriental percaya bahwa pelatihan ini mempengaruhi energi dan
kegiatan di endokrin, jantung, paru, otot, dan sistem saraf melalui stimulasi dan
memfasilitasi atau membantu dalam pemulihan fisik, dan emosional, serta
spiritual (Prado et al, 2014). Middleton et al, 2013 mengatakan manfaat dari
hatha yoga pada penderita arthritis yaitu peningkatan yang signifikan secara
statistis pada keseluruhan kesehatan fisik, fleksibilitas, dan keseimbangan serta
penurunan yang signifikan dalam gejala depresi dan meningkatkan pengaruh
positif.
Gauchard menyatakan bahwa latihan proprioseptif seperti yoga dapat
memperbaiki Kontrol postural dan meningkatkan keseimbangan Pujiastuti (2013).
Peningkatan yang signifikan pada kualitas fisik dan fungsional autonomi
(Baptista, 2006)
Tummers dan Hendrick (2004) mengatakan Pelatihan hatha yoga untuk
lansia telah ditunjukan sebagai terapi yang efektif untuk asma, profil lipid,
kecemasan, artritis, tekanan darah, masalah kardiovaskular, sakit kepala dan
29
gangguan lainnya. Postur (asana) hatha yoga modifikasi ditekankan untuk lansia
yaitu berbasis kebugaran untuk kekuatan otot, kesehatan tulang, dan fleksibilitas
serta Range Of Motion (ROM) (Salem J et al, 2013). Yoga mengabungkan luas
gerak sendi dan gerakan peregangan sehingga dapat memberikan kontribusi untuk
postur yang baik , dan mengurangi risiko cedera, serta memperbaiki
fungsionalnya (Middleton, 2013)
. Otak, otot dan tulang bekerja bersama-sama menjaga keseimbangan tubuh
agar tetap seimbang dan mencegah terjatuh. Ketiga organ ini merupakan sasaran
yang terpenting dan harus dioptimalkan pada latihan keseimbangan (Schmid.
2010). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa latihan hatha yoga peregangan
melalui postur (asana) membantu memperkuat otot dan meningkatkan
fleksibilitas, berperan penting dalam menyeimbangkan dan menstabilkan tubuh
sehingga mengurangi resiko jatuh pada lansia. Secara khusus, meningkatkan
fleksibilitas otot-otot besar di bagian atas dan belakang kaki antara lutut dan
pinggul (paha depan dan paha belakang) serta mobilitas sendi pinggul,
kemampuan untuk menyeimbangkan ketika berdiri (keseimbangan statis), dan
kekuatan di tulang belakang lumbal semua berkontribusi untuk menyeimbangkan
saat bergerak (keseimbangan dinamis). Selain membantu meningkatkan
fleksibilitas dan kualitas hidup, yoga juga melancarkan sirkulasi darah,
meningkatkan kesadaran dan waspada (kognisi) yang dapat membantu mencegah
jatuh. Melalui beberapa postur (asanas) dari pelatihan hatha yoga modifikasi ini
bermanfaat untuk memperbaiki postur tubuh dan melatih keseimbangan (Juniarti,
2007). Sebagian deskripsi dari efek yoga pada gangguan muskuloskeletal
30
menunjukkan manfaat selama asanas (postur) saat aktif peregangan terjadi traksi
otot (Nayak, 2004). Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa yoga dapat
memperbaiki postur tubuh, kekuatan, daya tahan, dan fleksibilitas, meningkatkan
keseimbangan, gait, dan kecemasan akan jatuh serta kekuatan genggaman
tangan.(Middleton, 2013).
Pelatihan hatha yoga modifikasi adalah bentuk latihan yang ringan dan
lembut yang berdampak pada fisik, mental dan emosional dan juga merupakan
intervensi yang baik untuk mengurangi resiko jatuh pada lansia dan meningkatkan
keseimbangan pada lansia (Schmid, 2010). Tujuan utama dari pelatihan hatha
yoga modifikasi ini yaitu untuk meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia
sehingga dapat mengurangi resiko jatuh pada lansia. Zettergren et al, (2011)
mengatakan lansia berpartisipasi dalam 60 menit yoga per minggu selama 8
minggu, secara signifikan terjadi meningkat pada keseimbangan dan mobilitas
yang dapat mengurangi resiko jatuh pada lansia. Latihan yoga modifikasi yang
menfokuskan pada postur (asanas) pada ekstermitas bawah, yang dapat
meningkatkan mobilitas tulang belakang, keseimbangan, dan fungsional (Salem
J. et al 2013). Pelatihan hatha yoga modifikasi terdiri dari Gerakan asana yang
ringan dan lembut, maka hatha yoga merupakan pengobatan yang potensial untuk
pasien yang menderita gangguan keseimbangan, seperti yang melibatkan
vestibular, otot, dan sistem saraf. (prado et al, 2014). Shinta (2007) mengatakan
Pelatihan Hatha Yoga modifikasi pada lansia dapat dilakukan karena di dalam
yoga terdapat teknik-teknik yang ideal untuk usaha preventif, promotif, kuratif,
dan rehabilitatif bagi kesehatan. Setelah lansia melakukan latihan dari beberapa
31
gerakan hatha yoga postur (asana) yang telah dimodifikasi maka akan
meningkatkan kekuatan otot pada ekstermitas bawah dan meningkatkan sistem
vestibular/kesimbangan tubuh sehingga dapat memperoleh body aliigament yang
baik ( Salem J. et al, 2013)
2.9.1 Program Pelatihan Hatha Yoga Modifikasi pada Lansia
Ekstermitas bawah sangat berperan dalam keseimbangan tubuh, pelatihan
hatha yoga modifikasi adalah pelatihan yang di desain sesuai kebutuhan para
praktisinya. Keseimbangan tubuh yang baik juga didukung dengan memperkuat
kontrol postural. Kontrol postural merupakan kemampuan tubuh untuk
mengontrol posisi dengan tujuan stabilitas dan orientasi (Shumway-Cook &
Woollacott, 2007). Dengan kemampuan batang tubuh yang baik maka kontrol
postural akan meningkat karena kemampuan otot dalam mempertahankan
ekstermitas atas maupun bawah menjadi lebih stabil (Kibler dkk, 2006). Maka
dalam meningkatkan dan mempertahankan kemampuan otot dapat dilakukan
dengan pemberian pelatihan hatha yoga pada lansia.
Salem J. et al (2013) mengatakan hatha yoga secara tradisional dipandang
sebagai bentuk latihan yang relatif aman, mampu meningkatkan kekuatan,
fleksibilitas, daya tahan, keseimbangan, dan kapasitas fungsional pada kesehatan
individu sehat maupun individu dengan gangguan musculoskeletal. Dalam
penelitiannya pada 20 peserta lansia berumur 60 tahun keatas terhadap pemberian
hatha yoga modifikasi yang mengabungkan postur (asana) dan pernapasan
(pranayama) dari postur (asana) seri awal dan menengah, dimana yoga ini
32
menfokuskan pada ekstermitas bawah yang menargetkan pada peningkatkan
kekuatan kelompok otot yang lemah dan memperbaiki struktur otot yang terluka
serta menyembuhkanya, sehingga dapat menigkatkan keseimbangan pada lansia.
Peregangan Statis adalah teknik yang biasanya digunakan pada pelatihan
hatha yoga yang terdiri dari Kontraksi otot untuk merengangkan otot, dan saat
rileksasi dalam perengangan hanya mengunakan tahanan badan untuk
merengangkan otot (Long, 2006). Pose atau postur (asana) dari hatha yoga
tersebut dapat meningkatkan respon fisiologis, seperti keseimbangan dan harmoni
tubuh saat bergerak, postur (asana) ini juga meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas, dimana faktor-faktor ini mempunyai pengaruh penting dalam
aktivitas sehari-hari, dan secara substansial meningkatkan kontrol postural
dinamis dalam individu di atas usia 60 tahun (Gauchard,1999) & ( Oken, 2006).
Berikut adalah beberapa pose atau postur (asana) hatha yoga yang telah di
modifikasi untuk meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia, dibagi
menjadi dua seri antara lain :
1. Postur awal, terdiri dari :
- posture Chair (Utkatasana) with wall
- posture Tree (Vrksasana) bilateral and wall
- posture Downward dog (Adho Mukha Svanasana) with wall
- posture Warrior I (Virabhadrasana I) with chair (front)
- posture Warrior I (Virabhadrasana I) with chair (back)
- posture Warrior II (Virabhadrasana II) with chair (front)
33
- posture Warrior II (Virabhadrasana II) with chair (back)
- posture Side stretch (Parsvottanasana) with wall (front)
- posture Side stretch (Parsvottanasana) with wall (back)
2. postur menengah, terdiri dari :
- posture Chair (Utkatasana)
- posture Tree (Vrksasana) unilateral and wall
- posture Tree (Vrksasana) unilateral
- posture Warrior II (Virabhadrasana II) (front)
- posture Warrior II (Virabhadrasana II) (back)
- posture Side stretch (Parsvottanasana) with chair (front)
- posture Side stretch (Parsvottanasana) with chair (back)
- posture One-leg balance (Utthita Hasta Padangusthasana) with block
- posture One-leg balance (Utthita Hasta Padangusthasana) with chair
- posture One-leg balance (Utthita Hasta Padangusthasana) unilateral
- posture Crescent (Ashta Chandrasana) (front)
- posture Crescent (Ashta Chandrasana) (back)
Pelatihan pada lansia di modifikasi sesuai kebutuhan dan kemampuan lansia,
sehinngga tidak akan berdampak buruk pada lansia. Modifikasi yang dilakukan
yaitu dengan menggunakan kursi dan blocks sebagai alat bantu untuk melakukan
beberapa potur (asana). Pelatihan dilakukan 3 kali dalam seminggu dengan durasi
waktu 30-45 menit, setiap pose dilakukan selama 3 menit. istirahat 0,5 menit
untuk melanjutkan postur (asana) berikutnya. Pada seri awal dilakukan selama 4
34
minggu dan 4 minggu selanjutnya pada seri menengah. Waktu yang tepat untuk
melakukan pelatihan hatha yoga modifikasi ini yaitu pada pagi hari dan sore hari.
2.10 Time Up and Go Test (TUGT)
Ada berbagai metode untuk menilai gangguan keseimbangan salah satunya
yaitu “time up go test” (TUGT). Time Up and Go test (TUGT) merupakan tes
keseimbangan dan gangguan jalan yang menggunakan alat sederhana yaitu
stopwatch dan kursi yang dapat dilakukan dimana saja. Time up and Go Test
(TUGT) adalah tes yang menentukan gangguan keseimbangan pada lansia dengan
menggunakan waktu, dimana waktu yang diperlukan lansia untuk untuk
menenpuh jarak yang di tetapkan yaitu 3 meter (Middleton et al, 2013). Time Up
and God Test (TUGT) yaitu tes yang menggunakan waktu yang ditempuh lansia
untuk berdiri dari kursi, berjalan pada jarak 3 meter dan kembali menuju kursi
kemudian duduk. Jika waktu yang diperlukan lansia lebih dari 12 detik maka
lansia tersebut beresiko jatuh (Zettergren, 2011).
Time Up and Go Test (TUGT) menunjukan secara signifikan penurunan
mobilitas pada individu, individu yang memerlukan waktu lebih dari 12 detik
untuk menempuh jarak 3 meter memerlukan penangganan yang difokuskan pada
peningkatakan kekuatan, keseimbangan dan mobilitas (Galantino, 2012).
Pada penelitian ini lebih memfokuskan pada gangguan keseimbangan yang
disebabkan oleh penuaan. Maka dari itu peneliti memilih Time Up and Go Test
(TUGT) ini karena test ini sangat membantu dalam menentukan keseimbangan
dinamis pada lansia.
Metode pengukuran:
35
Mengukur kecepatan terhadap aktivitas yang mungkin menyebabkan gangguan
keseimbangan.
1) Peralatan yang diperlukan untuk melakukan test ini yaitu :
- Kursi dengan sandaran dan penyangga lengan
- Stopwatch
- Dinding
2) Waktu tes yaitu :
10 detik - 3 menit
3) Prosedur tes :
Posisi awal subjek duduk bersandar pada kursi dengan lengan berada pada
penyangga lengan kursi. subjek mengenakan alas kaki yang biasa dipakainya. Saat
memberi aba-aba “mulai” subjek berdiri dari kursi, boleh menggunakan tangan
untuk mendoron berdiri jika subjek menghendaki. subjek terus berjalan sesuai
dengan kemampuanya menempuh jarak 3 meter menuju ke dinding, kemudian
berbalik tanpa menyentuh dinding dan berjalan kembali menuju kursi.
Sesampainya di depan kursi subjek berbalik dan duduk kembali bersandar. Waktu
dihitung sejak aba-aba “mulai” hingga subjek duduk bersandar kembali.
subjek tidak diperbolehkan mencoba atau berlatih lebih dulu, stopwatch
mulai menhitung setelah pemberian aba-aba mulai dan berhenti menhitung saat
subjek kembali pada posisi awal atau duduk.
- Bila kurang dari 12 detik, maka subjek dikatakan normal.
- Bila lebih dari 12 detik, maka subjek dikatakan memiliki gangguan
keseimbangan dinamis.
36
- Bila lebih lebih dari 40 detik, maka subjek harus mendapatkan pengawasan
yang optimal karena sangat beresiko jatuh (Shumway, 2000) & (Podsiadlo,
1991)